I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kayu merupakan produk biologi yang serba guna dan telah lama dikenal dan dimanfaatkan, baik untuk alat rumah tangga, senjata maupun sebagai bahan bangunan. Sebagai bahan bangunan kayu masih banyak digunakan karena harganya relatif murah dibanding bahan bangunan lainnya. Di samping mudah untuk dikerjakan dan penampilannya dekoratif, kayu merupakan bahan yang bisa diperbaharui (renewable). Martawijaya dkk. (1981) menyebutkan pasokan kayu yang berasal dari hutan alam sebagai bahan dasar industri semakin berkurang. Saat ini banyak ditanam jati cepat tumbuh yang diharapkan kayunya dapat digunakan sebagai kayu pertukangan, menggantikan kayu dari hutan alam. Kayu jati dengan kondisi kelas kuat dan kelas awet serta nilai artistik yang tinggi, memiliki pangsa pasar dalam dan luar negeri. Oleh karena itu, permintaan produk berbahan jati terus meningkat, sebagai bahan baku untuk industri kreatif seperti industri furniture dan cindera mata. Menurut Sumarna (2007) kebutuhan pasar domestik kayu jati mencapai 2 - 2,5 juta m3 per tahun. Kebutuhan kayu jati tersebut melebihi jumlah yang dapat diproduksi secara lestari dari hutan produksi. Berdasarkan data Statistik Perum Perhutani Tahun 2006 – 2010, produksi kayu pertukangan jati Tahun 2007 mencapai 521 ribu m3, Tahun 2008 477 ribu m3, Tahun 2009 455 ribu m3 dan Tahun 2010 berkisar 450 ribu m3. Menurunnya produksi tersebut terkait semakin berkurangnya luas tebangan jati dan menurunnya produktivitas tanaman jati di Perhutani dari tahun ke tahun. 1
Kurangnya pasokan bahan baku kayu jati secara umum disebabkan oleh panjangnya umur rotasi tebangan dan semakin sempitnya areal untuk pengembangan jati serta produktivitasnya yang masih rendah. Data statistik yang diterbitkan Perum Perhutani Tahun 2005 menyebutkan bahwa, Tahun 1999 produktivitas hutan jati mencapai 81,7 m3/ha, Tahun 2000 menjadi 75,4 m3/ha, Tahun 2001 menjadi 72 m3/ha, dan Tahun 2002 menjadi 70 m3/ha, sedangkan produktivitas hutan jati rakyat di Wonogiri Adiputranto (1999) melaporkan mencapai 7,8 – 15,5 m3/ha/thn. Menurut Siswamartana dkk. (2005), menurunnya produktivitas kayu tersebut disebabkan berbagai faktor, di antaranya adalah minimnya sumber benih unggul sehingga benih yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan benih sebagian besar berasal dari sumber benih yang kurang berkualitas seperti Areal Produksi Benih (APB), Tegakan Teridentifikasi, bahkan hutan tanaman rakyat. Berbagai strategi untuk meningkatkan produktivitas telah dan sedang dilakukan oleh Perhutani. Salah satu strategi yang ditempuh adalah pemuliaan untuk mendapatkan benih unggul yang berkelanjutan, yaitu dengan dibangunnya populasi pemuliaan melalui pertanaman uji keturunan yang pada akhirnya akan dikonversi sebagai kebun benih. Uji keturunan selain untuk memperoleh individuindividu yang memiliki kinerja yang baik secara genetik, yang di antaranya dicerminkan melalui pertumbuhan tinggi dan diameter, pertanaman uji keturunan juga diharapkan dapat menghasilkan kayu dengan kualitas yang baik. Lantican (1975) dalam Prayitno (2007) menyebutkan bahwa kualitas kayu selalu berhubungan dengan kecocokan kayu tersebut dengan pemakaian akhirnya.
2
Tujuan akhir pemakaian kayu jati saat ini umumnya adalah untuk kayu pertukangan. Salah satu indikator penting untuk tujuan tersebut adalah kekuatan kayu. Kekuatan kayu berhubungan erat dengan berat jenis kayu, semakin tinggi berat jenis suatu kayu umumnya semakin kuat juga kayu tersebut. Haygreen dan Bowyer (1982) menyatakan kemungkinan untuk membuat suatu perkiraan kekuatan yang baik dapat dilakukan berdasarkan atas informasi berat jenis kayu tanpa mengetahui spesiesnya. Secara umum berat jenis kayu akan berkorelasi negatif terhadap laju pertumbuhan. Famili-famili dengan kinerja yang baik memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi jika dibandingkan dengan famili-famili yang lain pada lokasi uji keturunan, sehingga ada kekhawatiran famili-famili dengan kinerja yang baik tersebut memiliki berat jenis yang jauh lebih rendah dan akhirnya berdampak pada kualitas kayu. Menurut Haygreen dan Bowyer (1982), hasilnya tidak selamanya demikian apabila dihubungkan dengan laju pertumbuhan, karena hal ini tergantung pada spesies dan kisaran pertumbuhan yang terlibat. Dikemukakan pula bahwa yang lebih dekat hubungannya dengan kerapatan kayu dan berat jenis adalah umur pohon ketika kayu dihasilkan dan letak kayu di dalam pohon dari pada laju pertumbuhan. Berat jenis kayu biasanya diukur secara langsung dari pohon yang masih berdiri dengan cara mengambil beberapa sampel pohon. Dikarenakan banyaknya kendala yang dihadapi seperti biaya yang mahal, waktu lama, dan cenderung merusak pohon (destructive sampling), pengukuran berat jenis sekarang ini banyak dilakukan dengan cara lain yang tidak merusak pohon (non destructive
3
sampling), cepat dan relatif murah, yaitu dengan menggunakan alat pilodyn wood tester, suatu instrumen yang digunakan untuk mengukur kekerasan suatu kayu (Hansen, 2000). Informasi mengenai hubungan berat jenis kayu terhadap laju pertumbuhan pada satu kelas umur tertentu khususnya untuk tanaman jati masih sangat terbatas. Penelitian ini selain untuk memberikan informasi tentang famili-famili yang memiliki kinerja baik dalam hal pertumbuhan dan berat jenis kayu, juga diharapkan dapat memberikan informasi tentang variasi berat jenis kayu masingmasing famili dan seberapa besar pengaruh genetik pada berat jenis kayu. 1.2 Keaslian Penelitian Berdasarkan studi literatur dan permasalahan yang diuraikan dalam latar belakang di atas, berikut ini alasan mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan: 1.
Informasi hubungan antara berat jenis kayu terhadap laju pertumbuhan tanaman jati baik secara genetik maupun fenotipik masih sangat terbatas bahkan sebatas pengetahuan penulis, studi mengenai variasi genetik berat jenis kayu jati yang diukur secara sensus terhadap seluruh anggota populasi belum pernah dilakukan di Indonesia, misalnya penelitian oleh Hidayati (2010) hanya dilakukan pada sampel beberapa pohon saja. Fokus penelitianpenelitian sebelumnya juga lebih kepada membandingkan berat jenis kayu terhadap anatomi dan sifat fisika mekanik kayu.
4
2.
Penaksiran (estimasi) nilai berat jenis kayu khususnya jati dengan cara tidak merusak (non destructive) menggunakan bantuan alat pilodyn belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitan terakhir yang dilakukan di Indonesia menggunakan alat pilodyn oleh Yuliarto (2005) pada jenis Acacia mangium.
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Menaksir parameter genetik masing-masing variabel pengamatan
2.
Menentukan famili-famili dengan pertumbuhan dan berat jenis kayu terbaik. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan manfaat
yang terkait dengan: 1.
Peningkatan produktivitas dan kualitas kayu hutan tanaman jati
2.
Pelaksanaan konversi uji keturunan menjadi kebun benih.
5