BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA
C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pencurian dalam KUHP. Jenis tindak pidana pencurian merupakan jenis tindak pidana yang terjadi hampir dalam setiap daerah di Indonesia. Oleh karenanya menjadi sangat logis apabila jenis tindak pidana ini menempati urutan teratas di antara tindak pidana terhadap harta kekayaan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya terdakwa/tertuduh dalam tindak pidan pencurian yang diajukan ke sidang pengadilan. Berikut akan dikaji secara mendalam tindak pidana pencurian beserta unsur-unsurnya yang diatur dalam KUHP.
I. PENCURIAN BIASA (PASAL 362 KUHP) Pencurian biasa ini perumusannya diatur dalam pasal 362 KUHP yang menyatakan : “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,(sembilan ratus rupiah)” 2 Berdasarkan rumusa pasal 362 KUHP diatas, maka unsur-unsur tindak pidana pencurian (biasa) adalah sebagai berikut: a. Unsur obyektif, yang meliputi unsur-unsur: 1. mengambil 2. suatu barang 3. yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain 2
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1994, hal.249
Universitas Sumatera Utara
b. Unsur subyektifnya, yang meliputi unsur-unsur: 2. dengan maksud 3. untuk memiliki barang/ benda tersebut untuk dirinya sendiri. 4. secara melawan hukum. Tindak pidana ini oleh pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai: mengambil barang, seluruhnya atau ssebagian milik orang lain dengan tujuan memiliknya secara melanggar hukum. 3 Sehingga patutlah kiranya dikemukakan, bahwa cirri-ciri khas tindakpidana pencurian adalah mengambil barang orang lain untuk memilikinya. A. Unsur obyektif 1. Mengambil. Dilihat dari makana ketika aturan ni dibuat, perbuatan “mengambil” sebagaimana dirumuskan di dalam pasal 362 KUHP telah mengalami perluasan makna. Terjadinya perluasan makna atas unsure “mengambil” dalam tindak pidana pencurian seiring dengan adanya perkembangan masyarakat. Pada awalnya, perbuatan “mengambil” itu bermakna sebagai “setiap perbuatan untuk membawa atau mengaihkan suatu barang ke tempat lain”. Perbuatan mengambil pada awalnya menunjuk pada “erbuatan dengan menggunakan sentuhan tangan”. Tetapi dalam pekembangannya, pengertian “mengambil” ini tidak hanya terbatas pada pengertian sebagaimana tersebut diatas. Perbuatan “mengambil” pada akhirnya mempunyai pengertian yang lebih luas. Sekarang ini pengertian “mengambil” tidak hanya terbatas pada “membawa atau mengalihkan dengan sentuhan tangan”, tetapi termasuk juga perbvuatan-perbuatan untuk mengalihkan atau memindahkan suatu barang dengan berbagai cara. Sekalipun demikian, perbuatan tersebut tetap mempunyai makna ”memindahkan atau mengalihakan suatu barang atau benda”. Oleh karenanya, belum 3
Wirjono Projodikoro, SH. DR, Tindak-Tindak Pidana tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hal.13
Universitas Sumatera Utara
dapat dikatakan “mengambil” apabila pelaku baru menyentuh atau memegang barangnya dan kemudian melepasnya kembali karena kemudian ketahuan oleh pemiliknya. Dalam hal ini perbuatan pelaku tersebut belum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian, tetapi baru merupakan “percoobaan pencurian”. Untuk melihat adanya perluasan pengertian “mengambil”, dibawah ini diberikan contoh-contoh perbuatan yang bermakna “mengambil”. a. Pada saat A berdiri dipasar ternak, dating mendekat seekor sapi yang terlepas dari ikatannya. Pada saat itu pemilik sapi tersebut sedang keluar untuk makan. Kemudian datang seseorang (B) pada A. Karena B mengira sapi tersebut milik A, maka B menawar sapi tersebut kepada A. Setelah terjadi kesepakatan harga diberikanlah uang pembelian tersebut kepada A. Ketika B mau membawa sapi tersebut keluar dari pasar secara kebetulan bertemu dengan pemilik sapi itu yang baru saja keluar dari warung makan. Pemilik sapi tersebut menuduh B mencuri sapinya. Setelah ada penjelasan tentang asal-usul pemilikan sapi tersebut, akhirnya A ditangkap polisi. Dalam kasus ini pengadilan akhirnya menjatuhkan pidana atas diri A karena pencurian. Melihat kasus di atas, tampaklah bahwa pebuatan A tersebut oleh hakim dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian sekalipun A hanya membiarkan sapi tersebut. b. Mengendarai mobil orang lain yang sedang diparkir tanpoa seizing pemiliknya merupakan perbuatan “mengambil” bensin. (beberapa sarjana tetap berpendirian bahwa pengendara tersebut mencuri mobil, sekalipun pidananya dapat diperingan). c. Menampung minyak kedalam kaleng atau bo9tol yang mengalir dari drum minyak yang besar merupakan perbuatan “mengambil” minyak. d. Mengalirkan arus listrik sebelum “meteran” dengan menggunakan kawat dinyatakan sebagai “mengambil tau mencuri listrik.
Universitas Sumatera Utara
Melihat contoh-contoh diatas tampak bahwa perkataan “mengambil” telah ditafsirkan secara dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, perbuatan mengambil dalam rumusan Pasal 362 KUHP saat ini mengandung pengertian yang lebih luas dari pengertiannya pada saat pasal tersebut dibuat hanya menunjuk pada pengertian “perbuatan dengan mengggunakan sentuhan tangan”. 2. Suatu barang atau benda Sebagaimana pengertian mengambil, pengertian “barang” dalam pasal 362 KUHP juga mengalami perkembangan makna. Pengertian “barang” dalam pasal 362 KUHP ini pada awalnya menunjuk pada pengertian barang atau benda bergerak dan berwujud, termasuk binatang 4. Benda bergerak dan berwujud tersebut misalnya, radio, televise, uang dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya pengertian “barang” atau “benda” tidak hanya terbatas pada benda/ barang berwujud dan bergerak tetapi termasuk dalam pengertian barang/benda adalah “barang/benda tidak berwujud dan tidak bergerak”. Benda yang dikategorikan sebagai benda tidak berwujud dan tidak bergerak tersebut antara lain halaman dengan segala sesuatu yang dibangun diatasnya, pohon-pohon dan tanamanyang tertanam dengan akarnya didalam tanah, buah-buahan yang belum dipetik dan sebagainya. Dengan terjadinya perlusan makna tentang barang tersebut, maka barang/benda tersebut dapat menjadi objek pencuarian. Konsepsi tentang “barang” menunjuk pada pengertian, bahwa “barang” tersebut haruslah “bernilai”, tetapi tidak perlu barang tersebut bernilai ekonomis..
4
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komemntar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1996. Hal.250
Universitas Sumatera Utara
Barang yang dapat menjadi objek pencurian adalah barang/benda yang ada pemiliknya. Apabila barang yang dicuri tersebut tidak dimiliki oleh siapapun (res nullius), demikian juga apabila barang tersebut oleh pemiliknya telah dibuang (derelicate), tidak dapat menjadi objek pencurian. 3. Benda tersebut seluruhnya atau sebagaian milik orang lain. Unsur ini mengandung suatu pengertian, bahwa benda yang diambil itu haruslaha barang/benda yang dimiliki baik seluruhnya atau sebahagian oleh orang lain. Jadi harus ada pemiliknya, sebab sebagaimana di natas disinggung, barang/benda yang tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian. Dengan demikian dalam tindak pidanan pencurian, tidak dipersyaratkan barang/benda yang diambil atau dicuri itu milik orang lain secara keseluruhan. Pencurian tetap ada, sekalipun barang tersbut hanya sebagian saja yang dimiliki oleh orang lain dan sebagian yang dimiliki oleh pelaku sendiri. Terhadap unsur “yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain” ini dapat diilustrasikan dalam contoh sebagai berikut: “Dua orang A dan B secara bersama-sama (patungan) membeli sepeda. Sepeda tersebut kemudian disimpan dirumah A. ketika A sedang keluar rumah, sepeda tersebut di curi oleh B dan kemudian dijualnya. Dalam hal ini perbuatan B tersebut tetap merupakan tindak pidana pencurian, sekalipun sebagian dari sepeda tersebut adalah milknya sendiri”. Berikut ini akan dibicarakan unsur pencurian selanjutnya yaitu unsure subjektif. B. Unsur Subyektif. 1. Dengan maksud. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa unsure kesengajaan dalam, rumusan tindak pidana dirumuskan dengan berbagai istilah, termasuk didalamnya adalah istilah
Universitas Sumatera Utara
“dengan maksud”. Dengan demikian, unsure “dengan maksud” dalam Pasal 362 KUHP menunjuk adanya unsure kesengajaan dalam tindak pidana pencurian. Persoalannya adalah, kesengajaan atau maksud itu harus ditujukan pada apa? Dalam hal ini kesengajaan atau maksud itu ditujukan “untuk menguasai benda yang diambilnya itu untuk dirinya sendiri secara melawan hukum”. Dengan demikian, berkaitan dengan unsur “dengan maksud” dimana maksud tersebut adalah untuk menguasai barang/benda yuang diambil untuk dirinya sendiri secara melawan hukum maka, untuk melihat apakah pelaku mempunyai maksud atau tidak untuk menguasai barang tersebut untuk dirinya sendiri secara melawan hukum haruslah dibuktikan : a. Bahwa maksud orang atau pelaku memang demikian adanya, artinya pelaku memang mempunyai maksud untuk menguasai barang itu untuk dirinya sendiri secara melawan hukum; b. Pada saat pelaku mengambil barang tersebut, harus mengetahui, barang yang diambilnya itu adalah milik orang ;ain baik secara melawan hukum keseluruhan atau sebahagian; dan c. Bahwa dengan perbuatan yang dilakukannya itu, pelaku tahu, bahwa ia melakukan suatu perbuatan yang melawan tau bertentangan dengan hak orang lain. 2. Memilki untuk dirinya sendiri. Unsur “memiliki” untuk dirinya sendiri dalam rumusan Pasal 362 KUHP merupakan terjemahan dari kata zich toeeigenen. Istilah zich toeeigenen sebenarnya mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar “memilki”. Oleh beberapa sarjana, istilah tersebut diterjemahkan distilah “menguasai”. Secara pribadi istilah “menguasai” lebih baik dari pada istilah “memiliki” untuk menerjemahkan kata zich toeeigenen. Apabila seorang mengambil suatu barang milik orang lain secara melawan hukum, tidak secara otomatis hak kepemilikan dari
Universitas Sumatera Utara
barang tersebut beralih pada yag mengambil barang tersebut. Sebab, pada hakikatnya hak milik itu tidak dapat beralih dengan cara melawan hukum. Orang yang mengambil barang itu hakikatnya belum menjadi “pemilik” dari barang yang diambilnya, tetapi baru “menguasai” barang tersebut, yaitu bahwa orang tersebut bertindak seolah-olah sebagai pemilik barang tersebut. Selain alasan di atas, penggunaan istilah “menguasai”, adalah oleh karena yang mengambil atau mencuri suaru barang/benda itu belum tentu dengan maksud untuk dimilki bagi dirinya sendiri. Bisa terjadi, orang yang mengambil barang/benda tersebut dengan maksud untuk diberikan pada orang lain bukan untuk dirinya sendiri. Sekalipun demikian, orang yang mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk dimilki sendiri secara otomatis masuk dalam pengertian pencurian, sebab unsur “memiliki” juga terkandung dalam pengertian zich toeeigenen. Sementara itu menurut MvT, yang dimaksud dengan zich toeeigenen adalah mengusai suatu barang/benda seolah-olah ia adalah pemilik dari benda tersebut. Berkaitan dengan istilah zich toeeigenen ini, Prodjodikoro berpendapat, bahwa istilah tersebut harus diterjemahkan sebagai berbuat sesuatu terhadap suatu barang/benda seolah-olah pemilik barang itu, dan dengan perbuatan tertentu si pelaku melanggar hukum. Bentuk dari perbuatan dari zich toeeigenen tersebut dapat bermacam-macam seperti menjual, menyerahkan, meminjamkan, memakia sendiri, menggadaikan dan sering bahakan bersifat negative, yaitu tidak berbuat apa-apa dengan barang itu, tetapi juga tidak mempersilahkan orang lain berbuat sesuatu dengan barang itu tanpa persetujuannya. 3. Secara Melawan Hukum Unsur “melawan hukum” dalam tindak pidana pencurian ini erat dengan unsure menguasai untuk dirinya sendiri (zich toeeigenen). Unsur “melawan hukum”
Universitas Sumatera Utara
ini akan memeberikan warna pada perbuatan “menguasai”, agar perbuatan “menguasai” itu menjadi perbuatan yang dapat dipidana. Terhadap pengertian “melawan hukum” itu sendiri sampai saat ini tidak ada kesatuan pendapat di antara para pakar hukum. D. Simons misalnya, menyatakan, bahwa melawan hukum ada apabila ada sesuatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, baik itu hukum subyektif (hak seseorang) maupun bertentangan dengan hukum pada umumnya, yang dapat berupa hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Sementara itu menurut Pompe, melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum, yang mempunyai ketentuan yang lebih luas dari undang-undang. Kecuali ketentuan undang-undang didalamnya juga termasuk peraturan-peraturan tidak tertulis. Senada dengan dua sarjana diatas, Noyon, mengartikan “melawan hukum” sebagai “memperkosa hak orang lain”. Apabila dicermati berbagai pendapat sarjana di atas pada hakikatnya tidak mempunyai perbedaan yang bersifat prinsipiil. Secara umum para sarjana menyetujui pendapat, bahwa esensi melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum baik dalm arti obyektif maupun hukum dalam arti subyektif dan baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Pendapat para sarjana tersebut diatas tampaknya tidak jauh berbeda dengan yurisprudensi yang berkembang seperti tampak dalam berbagai Arrest Hooge Raad dibawah ini. a. Arrest HR 6 Januari 1905, yang menyatakan: “melwan hukum” harus ditafsirkan sebagai “suatu sikap yang bertentangan dengan kewajiban hukum si p[elaku atau melanggar hak orang lain” b. Arrest HR 31 Januari 1919, yang menyatakan: yang dimaksudkan dengan perbuatan yang melanggar hukum itu adalah “berbuat sesuatu atau tidak berbuat
Universitas Sumatera Utara
sesuatu, yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan kepatutan atau tata susila taupun bertentangan dengan sikap hati-hati yang sepantasnya didalam pergaulan masyarakat atas diri atau barang orang lain”.
II. PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN Istilah “pencurian dengan pemberatan” biasanya secara doctrinal disebut sebagai “pencurian yang dikualifikasikan”. Pencurian yang dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan karenanya diancam dengan pedana yang lebih berat pula dari pencurian biasa. Pencurian dengan pemberatan atau pencurian yang dikualifikasikan diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP. Oleh karena pencurian yang dikualifikasikan tersebut merupakan pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsure-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan harus diawali dengan membuktikan pencurian dalam bentuk pokoknya. Unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan dapat dilihat dalam paparan di bwah ini. 2. Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 KUHP. Pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dirumuskan sebagai berikut: a. Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: vi) pencurian ternak
Universitas Sumatera Utara
vii) pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang; viii) pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekranagan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; ix) pencurian yang dialkukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama; x) pencurian yang unutk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan (seragam) palsu. b. jika pencurian yang diterangakan dalam ke-iii desertai dengan salah satu tersebut ke-iv dan ke-v, maka dikenakan pdana paling lama sembilan tahun. Selanjutnya di bawah ini akan dipaparkan unsur-unsur dalam Pasal 363 KUHP. Unutk melihat unsur-unsur dalam Pasal 363 KUHP, langkah pertama yang diambil adalah melihat unsure-unsur dalam Pasal 362 KUHP. Jadi untuk adanya pencurian dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 363 KUHP, harus terlebih dahulu dilihat dan dibuktikan unsure-unsur Pasal 362 KUHP. Baru setelah itu, dibuktikan unsure-unsur yang memperberat pencurian tersebut. Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka unsur-unsur dalam Pasal 363 KUHP adalah: 1. Unsur-unsur pencurian Pasal 362 KUHP 2. Unsur yang memberatkan, dalam Pasal 363 KUHP yang meliputi : Pencurian Ternak (Pasal 363 ayat (1) ke-I KUHP).
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 363 ayat (1) ke-I KUHP unsure yang memberatkan pencurian adalah unsur “ternak”. Apakah yang dimaksud dengan “ternak”? Penafsiran terhadap pengertian ternak ini telah diberikan undang-undang sendiri yaitu dalam Pasal 101 KUHP. Dengan demikian untuk melihat pengertian ternak digunakan penafsiran secara autentik yaitu penafsiran yang diberikan oleh undang-undang itu sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHP, “ternak” diartikan sebagai “hewan berkuku satu, hewan pemamah biak dan babi”. Hewan memamah biak, misalnya kerbau, sapi, kambing, dan sebagainya. Sedang hewan berkuku satu abtara lain kuda,keledai. Melihat isi Pasal 101 KUHP diatas terlihat, bahwa di satu sisi ketentuan Pasal 363 ayat (1) ke-1 KUHP oleh karena, pada umumnya pengertian “ternak” tidak meliputi di dalamnya kuda dan babi. Sementara di sisi lain, ketentuan Pasal 101 KUHP tersebut justru membatasi berlakunya ketentuan Pasal 363 ayat (1) ke-1 KUHP oleh karena, penertian “ternak” dalam Pasal 363 ayat (1) ke-1 tidak meliputi pluimvee seperti ayam, bebek dan sebagainya sebagai hewan yang justru biasanya di-“ternak”. Unsur “ternak” ini menjadi unsur yang memperberat tindak pidana pencurian, oleh kareana bagi masyarakat (Indonesia) ternak merupakan harat kekayaan yang penting. Sebagaimana dikatakan dalam pepatah Jawa, bahwa ternak merupakan “royo koyo”. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang (Pasal 363 ayat (1) ke-2 KUHP).
Universitas Sumatera Utara
Penafsiran terhadap unsur ini kiranya tidak terlalu sulit, oleh karena apa yang dimaksud dalam pengertian kebakaran dan sebagainya sudah demikian jelasnya. Alasan untuk memperberat ancaman pidana atas pencurian
itu
adalah,
oleh
karena
peristiwa-peristiwa
tersebut
menimbulkan kekacauan di dalam masyarakat, yang akan mempermudah orang untuk melakukan pencurian sedang mestinya orang harus sebaliknya mempberikan pertolongan kepada korban. Untuk berlakunya ketentuan Pasal 363 ayat (1) ke-2 ini tidak perlu, bahwa barang yang dicuri itu barang-barang yang terkena bencana, tetapi juga meliputi barang-barang disekitarnya yang karena ada bencana tidak terjaga oleh pemilinya. Dengan kata lain, dapat dikatakan, bahwa antara terjadinya bencana (malapetaka) tersebut dengan pencurian yang terjadi harus ada hubungannya.
Arinya,
pencuri
itu
benar-benar
mempergunakan
kesempatan adanya bencana itu untuk mencuri. Tidak masuk dalam rumusan ketentuan Pasal363 ayat (1) ke-2, apabila seseorang mencuri dalam sebuah rumah disuatu tempat dan secara kebetulan di bagian lain tempat itu misalnya sedang terajdi bencana yang tiodak diketahui oleh pelaku. Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau dikehendaki oleh yang berhak (Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP). Apabila diperinci maka unsure-unsur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP, selain unsure-unsur dalam Pasal 362 KUHP, meliputi unsure-unsur: 2.3.1. Unsur “malam”
Universitas Sumatera Utara
Tentang apa yang dimaksud dengan pengertian undang-undang telah memberikan batasannya secara definitive sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 98 KUHP. Dengan demikian, penafsiran unsure “malam” didasarkan pada penafsiran secara autentik. Berdasarkan Pasal 98 KUHP yang dimaksud dengan “malam” adalah waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit. Pengertian yang diberikan oleh Pasal 98 KUHP tersebut bersifat sangat fleksibel karena tidak menyebutkan secara definitive jam berapa. Pengertian “malam”dalam Pasal 98 KUHP mengitkuti tempat di mana tindak pidana itu terjadi. 2.3.2. Unsur “dalam sebuah rumah” (beberapa sarjana menggunakan istilah “tempat kediaman”). Istilah “rumah” atau tempat kediaman diartikan sebagai “setiap bangunan yang dipergunakan sebagai tempat kediaman”. Jadi di dalamnya termasuk gubug-gubug yang terbuat dari kardus yang banyak dihuni oleh gelandangan. Bahkan termasuk dalam pengertian “rumah” adalah gerbong kereta api, perahu atau setiap bangunan yang diperuntukkan untuktempat kediaman. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa istilah “rumah” mengandung arti setiap tempat tinggal. 2.3.3. Unsur “pekarangan tertutup yang ada rumahnya”. Menurut Lamintang, agar orang dapat dituntut dengan ketentuan ini, maka pencurian yang dilakukannya haruslah dalam suatu pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya (tempat kediaman). Dengan demikian, apabila orang melakukan pencurian dalam
Universitas Sumatera Utara
sebuah pekarangan tertutup tetapi di atas pekarangan ini tidak ada rumahnya (tempat kediamannya), maka orang tersebut tidak dapat dituntut menurut ketentuan Pasal ini. Apakah yang dimaksud dengan pekarangan tertutup? Dengan pekarangan tertutup dimaksudkan adalah sebidang tanah yang mempunyai tanda-tanda batas yang nyata, tanda-tanda mana dapat secara jelas membedakan tanah itu dengan tanah di sekelilingnya. Sementara itu menurut Lamintang, batas-batas tersebut tidak perlu berupa tembok atau pagar besi, tetapi dapat juga berupa pagar bambu, tumbuh-tumbuhan, selokan termsuk yang tidak ada airnya- atau timbunan batu atau tanah.
Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. Istilah yang sering digunakan oleh pakar hukum berkaitan dengan pencurian yang diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP adalah Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersamasama. Pengertian “bersama-sama” menunjuk pada suatu kerjasama di mana antara dua orang atau lebih mempunyai maksud untuk melakukan pencurian secara bersama-sama. Hal ini sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh yurisprudensi. Dalam Arrest HR 10 Desember 1894 secara eksplisit dinyatakan, bahwa pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama itu haruslah dilakukan dalam hubungannya debagai bentuk “turut serta melakukan tindak pidana” (mededaderschap) dan bukan sebagai “membantu melakuakan tindak
Universitas Sumatera Utara
pidana (medeplichtigheid). Dengan demikian baru dikatakan ada pencurian oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama apabila dua oaring atau lebih itu bertindak sebagai turut serta melakukan sebagaiman dimaksudkan dalam Pasal 55 KUHP, dan bukan misalnya yang satu sebagai pelaku (Pasal 55 KUHP) sedang yang lain hanya sebagai pembantu (pasal 56 KUHP). Sekalipun demikian, Pasal 363 ayat (1) ke-4 ini tidak mempersyaratkan adanya kerjasama antara pelaku sebelumnya. Pencurian oleh dua orang atau lebih sudah dianggap terjadi, apabila sejak saat melakukan pencurian ada kerja sama. Jadi tidak perlu ada persetujuan
sebelumnya
dari
para
pelaku.
Untuk
memperjelas
pemahaman terhadap pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, berikut ini disajikan beberpa yurisprudensi yang terkait. a. Arrest HR tanggal 29 Juni 1939 yang menyatakan : Dader adalah mereka yang telah memenuhi semua unsur-unsur yang terdapat di dalam suatu rumusan deliok. Jika dua orang secara bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, dimana perbuatan masing-masing itu dengan sendirinya tidak memenuhi semua unsure-uinsur yang terdapat di dalam rumusan delik, disitu dapat juga terjadi suatu perbuatan “medeplagen” (turut serta melakukan). b. Arrest HR tanggal 6 April 1925 dan tanggal 6 Desember 1943 yang menyatakan : Barang siapa melakukan pencurian bersama-sama dengan orang lain, maka ia juga dipertanggungjawabkan terhadapa hal-halyang memberatkan, misalnya karena pembongkaran, walaupun, benar bahwa pembongkaranb tersebut dikerjakan oleh orang lain. c. Arrest HR tanggal 17 Mei 1943, tanggal 28 Agustus 1923 dan tanggal 29 Oktober 1934 yang pada pokonya menyatakan: disitu terdapat medeplegen, “jika kedua pelaku kejahatan telah secara langsung bekerjasama pada pelasanaan dari kejahatan yang direnscanakan, dan kerjasama mereka itu adalah demikian
Universitas Sumatera Utara
sempurnanya, dan adalah tidak menjadi soal siapa di anatara mereka yang kemudian telah menyelesaikan kejahatan tersebut”. d. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat, dengan anak kunci palsu, dengan perintah palsu, atau pakaian jabatan (seragam) palsu. Beberapa unsur-unsur tersebut telah dijelaskan di muka. Oleh karena penmgertian unsur-unsur tersebut juga sama, maka tidak akan dibahasa kembali. Beberapa unsur yang masih memerlukan penjelsan berkaitan dengan penerapan ketentuan Pasal 363 ayat (1) ke-5 adalah: a. Unsur “membongkar”. Apa yang dimaksud dengan membongkar, pengertiannya tidak diberikan oleh undang-undang. Untuk melihat apa yang dimaksud dengan “membongkar” akan dilihat berdasarkan doktrin hukum pidana. Menurut Kartanegara, dengan istilah “membongkar” dimaksudkan adlah perbuatan pengerusakan terhadap benda. Misalnya membuat vlubang dinding tembok, melepaskan jendela atau pintu rumah, hingga terdapat kerusakan besar, pecah atau patah. Sementara itu menurut Koeswadji, “membongkar adalah setiap perbuatan dengan kekerasan yang menyebabkan putusnya kesatuan sesuatu barang atauan kesatuan buatan dari suatu barang. b. Unsur “merusak”. Sebagaimana pengertian “membongkar”, undang-undang juga tidak memberikan batasan terhadap apa yang dimaksud dengan “merusak”. Berkaitan dengan pengertian “merusak” dalam Pasal 363 ayat (1) ke-
Universitas Sumatera Utara
5 KUHP Kartanegara memberikan pengertian yang sama dengan pengertian “membongkar” yaitu sebagai perbuatan pengerusakan terhadap suatu benda. Hanya saja, dalam istilah “membongkar” kerusakan yang ditimbulkan relative lebih besar disbanding dengan “merusak”. Dengan demikian, pengertian kedua istilah tersebut tetap saja bersifat relative. Penafsirannya harus didasarkan pada kenyataan yang terjadi. Penilaiannya sangat tergantung pada penilaian hakim terhadap fakta yang terjadi. c. Unsur “memanjat”. Sekalipun pengertian “memanjat” agak sulit dirumuskan dalam katakata, namun pengertiannya sudah cukup jelas. Memanjat merupakan istilah yang sudah secara umum diketahui oleh masyarakat. Istilah “memanjat”dalam Pasal 363 ayat (1) ke-5 ini pengertiannya sama dengan
pengertian
“memanjat” dalam kehidupan
sehari-hari
misalnya memanjat pohon, memanjat tebing, dan sebagainya. Pengertian “memanjat” dalam ketentuan Pasal 363 ayat (1) ke -5 diperluas oleh ketentuan pasal 99 KUHP. Berdasarkan ketentuan Pasal 99 KUHP termasuk dalam pengertian “memanjat” adalah masuk melalui lubang yang sudah ada tetapi bukan untuk masuk, ata untuk masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja di gali, begitu juiga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 99 KUHP, yang dengan istilah “memanjat” mengandung arti :
Universitas Sumatera Utara
1. memasuki rumah tidak melalui pintu masuk tetapi melalui lubang terdekat pada dinding rumah yang kebetulan rusak atau sedang diperbaiki, lubang mana tidak dipergunakan untuk memasuki rumah; 2. memasuki rumah dengan membuat galian lubang di dalam tanah, secara populer disebut dengan istilah “menggangsir”; 3. memasuki rumah dengan melalui saluran air atau parit yang mengelilingi rumah itu sebagai penutup. Untuk “memanjat” juga terwujud dalam setiap perbuatan menaiki suatu bagian dari ruamah, seperti menaiki jendela yang terbuka, naik ke atas genteng, naik ke atas tembok baik dengan tangga atau tidak dan melompat ke atas tembok rumah. Bahkan menggaet barang dari luar dengan sebuah kayu panjang termasuk juga dalam pengertian memanjat. d. Unsur “anak kunci palsu” Pengertian “anak kunci palsu” dirumuskan dalam ketentuan Pasal 100 KUHP, yang menyatakan bahwa dengan anak kunci palsu termasuk segala alat yang tidak diperuntukkan untuk membuka kunci. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 100 KUHP, pengertian kunci palsu meliputi benda-benda seperti kawat, paku, obeng dan lainnya yang digunkan untuk membuka slot kunci. Dengan anak kunci pulsa adalah juga termasuk sebuah anak kunci, tetapi anak kunci mana bukan merupakan anak kunci yang
biasanya digunakan untuk
membuka slot kunci tersebut.
Universitas Sumatera Utara
e. Unsur “perintah palsu” Di dalam undang-undang tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “perintah palsu”. Namun demikian, istilah “perintah palsu” dapat dilihat di dalam yurisprudensi. Menurut yurisprudensi, perintah palsu ini hanya berkaitan dengan “perintah palsu untuk memasuki rumah atau tempat kediaman dan pekarangan orang lain”. Sememntara itu oleh beberapa pakar hukum, istilah perintah palsu ditafsirkan dengan berbagai batasan. Moch. Anwar misalnya, menyatakan bahwa, perintah palsu yaitu suatu perintah yang kelihatannya seperti surat perintah asli dan seakan-akan dikeluarkan oleh yang berwenang membuatnya berdasarkan peraturan yang syah. Senada dengan pendapat di atas, R. Soesilo, menyatakan, bahwa perintah palsu adalah suatu perintah yang kelihatannya seperti surat perintah yang asli yang dikeluarkan oleh orang yang berwajib, tetapi sebenarnya bukan. Contoh: Seorang pencuri yang brlagak seperti petugas PLN membwa surat keterangan palsu dari Kepala PLN agar dapat masuk rumah (untuk mencuri). Demikian juga misalnya, seseorang yang bukan pegawi telkom, membawa surat palsu dari Kepala Telkom- misalnya purapura ingin memperbaiki telepon –supaya dapat masuk rumah untuk melakukan pencurian. f. Unsur “pakaian jabatan (seragam) palsu”.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud “seragam palsu” adalah seragam yang dipakai oelh orang yang tidak berhak. Sebagai contoh misalnya, apabila ada orang yang sebenarnya bukan anggota polisi, tetapi menggunakan seragam polisi (dengan maksud) agar ia dapat diperkenankan masuk rumah (misalnya dalam rangka berlagak sebagai seorang penyelidik). Sering terjadi pula seseorang yang bukan pegawai/ petugas telkom menggunakan seragam telkom agar dapat msuk rumah untuk melakukan pencurian. Setelah dibahas secara panjang lebar pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 ayat (1) KUHP, berikut ini akan dibahas pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 (2) KUHP. Di dalam ketentuan Pasal 363 ayat (2) KUHP dinyatakan: jika pencurian yang diterangkan dalam Pasal 363 ayat (1) KUHP, maka dikenakan pidana paling lama sembilan tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 363 ayat (2) KUHP di atas, maka pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya dan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama ataupun yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yangh diambilnya, dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat atau dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan (seragam) palsu, diancam dengan pidana yang lebih berat yaitu sembilan tahun. Apabila perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (2) KUHP diperinci jenis perbuatannya adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a.
pencurian di waktu mlam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang trtutup yang ada rumahnya yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama.
b.
pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya dimana pelaku untuk sampai pada tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan
dengan
membongkar,
merusak
atau
memanjat
atau
menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau seragam palsu.
2. Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 365 KUHP. Pencurian dengan pemberatan kedua adalah pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP. Jenis pencurian ini lazim disebut dengan istilah “pencurian dengan kekerasan” atau popular dengan istilah “curas”. Ketentuan Pasal 365 KUHP selengkapnya adalah sebagai berikut : 1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya. 2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun : Ke-1
jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tretutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
Ke-2
jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersamasama.
Universitas Sumatera Utara
Ke-3
jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan membongkar, merusak, atau memanjat atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Ke-4
jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 4) Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam ayat (2) ke-1 dan ke-3. Selanjutnya di bwah ini akandibahas unsur-unsur yang ada dalam ketentuan Pasal 365 KHUP. 1. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP adalah: 1.1 Pencurian, yang: 1.2 Didahului atau disertai atau diikuti 1.3 Kekerasan atau ancaman kekerasan 1.4 Terhadap orang 1.5 Dilakukan dengan maksud untuk: a. mempersiapkan atau, b. memudahkan atau, c. dalam hal tertangkap tangan, d. untuk memungkinkan melarikan diri bagi dirinya atau peserta lain, e. untuk menjamin tetap dikuasainya barang yang dicuri.
Universitas Sumatera Utara
Unsur “didahului” atau “disertai” atau “diikuti” kekerasan atau ancaman kekerasan haruslah terkait erat dengan upaya untuk mempersiapkan atau mempermudah atau dalam hal tertangkap tangan untuk memungkinkan untuk melarikan diri bagi diri sendiri atau peserta lain atau untuk menjamin tetap dikuasainya barang yang dicuri. Lantas apa yang dimaksud dengan kekerasan? Penjelasan atas pengertian “kekerasan” dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 89 KUHP, yang menyatakan, bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Apabila unsur kekerasan atau ancaman kekerasan di atas dihubungkan dengan unsur lain dalam Pasal 365 KUHP, yaitu unsur “luka berat atau mati”, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan “kekerasan atau ancaman kekerasan” dalam Pasal 365 KUHP adalah “kekerasan dalam arti fisik”. Termasuk dalam pengertian kekerasan adalah mengikat orang yang punya rumah, menutup di dalam kamar dan sebagainya. Berkaitan dengan unsur “kekrasan atau ancman kekersan” ini perlu kiranya dikemukakan, bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut haruslah ditujukan kepada orang, bukan kepada barang. Dengan demikian, apbila kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut ditujukan terhadap benda, misalnya si pencuri mengancam akan manghancurkan barang atau benda hasil curian yang sudah berada dalam kekkuasaannya apabila ias tidak dibiarkan untuk meninggalkan tempat dengan aman, maka perbuatan ini tidak termasuk di dalam pencurian menurut Pasal 365 KUHP. Berkaitan dengan penerapan Pasal 365 KUHP, unsur yang masih memerlukan penjelasan adalah unsur “tertangkap tangan”. Pengertian unsur ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir ke-19 KUHAP, yang menyatakan, “tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian
Universitas Sumatera Utara
diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut serta melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. Sekarang kita akan melihat unsur-unsur dalam Pasal 365 ayat (2) KUHP. 2.
Unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) KUHP. 2.1
Unsur –unsur Pasal 365 ayat (2) ke-1 KUHP adalah: a. waktu malam b. dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. c. di jalan umum. d. dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
Apabila dilihat, maka sebagian besar unsur-unsur dalam Pasal 365 ayat (2) ke-1 sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Dua unsur yang kiranya msih membutuhkan penjelasan adalah unsur “dijalan umum” dan unsur “dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan”. Yang dimaksud dengan jalan (umum) adalah setiap jalan yang terbuka untuk lalu lintas umum berikut jembatan-jembatan dan jalan-jalan air yang terdapat di jalan tersebut, termasuk di dalamnya jaln untuk pejalan kaki, jalan hijau, tepi-tepi jalan, selokan-selokan dan tanggul-tanggul yang merupakan bagian dari jalan tersebut. Untuk mem peroleh gambran apa yang dimaksud “jalan umum”, berikut ini disajikan beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan persoalan tersebut: 1. Arrest HR tanggal 3 Februari 1928, yang menyatakan: “Sifat terbukanya untuk umum sesuatu jalan disyaratkan, bahwa yang berhak atas jalan itu sengaja menyediakan jalan tersebut untuk kepentingan umum dan penguasa telah menerima penyediaan tersebut. Orang-orang tertentu tidak dapat secara sepihak menyerahkan penguasaan atas sebuah jalan kepada penguasa”. 2. Arrest HR tanggal 25 April 1905, yang menyatakan : “Yang dimaksud dengan jalan umum menurut Pasal 536 KUHP tidaklah termasuk “terusan”.
Universitas Sumatera Utara
3. Arrest HR tanggal 21 Januari 1929, yang menyatakan: “Termsuk ke dalam pengertian jalan umum menurut Pasal 494 angka 6 KUHP adalah sebuah jembatan”. Unsur terakhir dalam pasal 365 ayat (2) ke-1 adalah unsur “dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan”. Unsur ini kiranya sudah demikian jelasnya. Termasuk dalam pengertian trem ini adalah sebuah bus. 2.2
Unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP. Unsur yang terdapat dalam pasal tersebut adalah unsur “dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama”. Terhadap unsur ini sudah dijelasakan di muka, sehingga tidak memerlukan penjelasan lagi.
2.3
Unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-3 KUHP. Sebagaimana unsur-unsur dalam pasal sebelumnya, unsur-unsur dalam Pasal 365 ayat (2) ke-3 juga sudah secara panjang lebar dijelaskan di muka. Dalam ketentuan Pasal 365 ayat (2) ke-3 ini diatur pencurian yang didahului, disertai atau diikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud untuk mempersiapkan dan sebagainya dimana masuknya ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang diambilnya dilakukan dengan jalan membongkar, merusak atau memanjat atau dengan memakai anaka kunci palsu, perintah palsu atau seragam palsu.
2.4
Unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-4 KUHP. Unsur pasal 365 ayat (2) ke-4 KUHP adalah unusr “mengakibatkan luka berat”. Tentang pengertian luka berat ini sudah diatur dalam ketentuan Pasal 90 KUHP. Menurut ketentuan Pasal 90 KUHP ynag dimaksud “luka berat” adalah :
Universitas Sumatera Utara
i. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau menimbulkan bahaya maut; ii. Tidak mampu secara terus-menerus untuk menjalankan tugas, jabatan atau pekerjaan pencahariaannya; iii. Kehilangan salah satu panca indera; iv. Mendapat cacat berat; v. Menderita sakit lumpuh; vi. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; dan vii. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan. 3.
Unsur-unsur Pasal 365 ayat (3) KUHP. Unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 365 ayat ke (3) KUHP
kiranya sudah cukup jelas adanya. Pencurian yang didahului, disertai atau diikuti oleh kekerasan atau ancaman kekerasan dan sebagainya apbila mengkibatkan kematian, maka terhadap pelakunya diancam dengan pidana yang lebih berat, yaitu berupa pidana penjara paling lima belas tahun. 4.
Unsur-unsur Pasal 365 ayat (4) KUHP. Unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 365 ayat (4) KUHP ini juga
sudah dibahas dalam bagian sebelumnya, sehingga tidak perlu lagi dibahas kembali. Dalam ketentuan ini ditegaskan, bahwa apabila pencurian yang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mengakibatkan luka atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama juga disertai salah satu hal yang dimaksud dalam ketentuan No. 1 dan 3, ancaman pidananya berupa pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Jenis tindak pidana pencurian ini merupakan tindak pidana yang paling berat di antara berbagai jenis tindak pidana pencurian yang lain.
Universitas Sumatera Utara
III.
Pencurian Ringan Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari pencurian
di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi diperingan. Pencurian ringan di dalam KUHP diatur dalam ketentuan Pasal 364. termasuk dalam pengertian pencurian ringan ini adalah pencurian dalam keluarga. Rasio dimasukkannya pencurian keluarga kedalam pencurian ringan adalah karena oleh karena jenis pencurian dalam keluarga ini merupakan delik aduan, dimana terhadap pelakunya hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan. Dengan demikian, berbeda dengan jenis pencurian pada umumnya yang tidak membutuhkan adanya pengaduan untuk penuntutannya. Disinilah tampak bahwa seolah-olah hukum memberikan “toleransi” atau “keringanan” terhadap pencurian dalam keluarga. Pencurian dalam keluarga diatur dalam Pasal 367 KUHP. Dengan demikian terdapat dua bentuk pencurian yang diatur dalam Pasal 364 dan 367 KUHP. 1.
Pencurian Ringan Jenis pencurian ini diatur dalam ketentuan Pasal 364 KUHP yang menyatakan:
“Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan 363 KUHP ke-4, begitu juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 365 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika haraga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah (cetak miring dari penulis),dikenai, karena pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. Berdasarkan rumusan Pasal 364 KUHP diatas, maka unsur-unsur dalam pencurian ringan adalah: 1. Pencurian dalam bentuknya yang pokok (Pasal 362 KUHP); 2. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau leboh secara bersama-sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KHUP);
Universitas Sumatera Utara
3. Pencurian yang dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam palsu; 4. Tidak dilakukan dalam sebuah rumah; 5. Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya; dan apabila harga barang yang dicurinya itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah. Pengertian dan penafsiran berbagai unsur tersebut sudah dibahas dalam bagaian sebelumnya, sehingga tidak perlu dibahas kembali. Berkaitan dengan penerapan unsur-unsur tindak pidana pencurian ringan ini, ada unsur yang terasa janggal, yaitu unsur sebagaimana tersebut dalam poin c. Mengikuti rumusan Psal 364 KUHP di atas, apabila sesorang mencuri dengan cara membongkar, merusak atau memanjat atau menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau seragam palsu tetapi nilai barang ayang dicuri itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, maka pelaku diadkwa melakukan tindak pidana ringan. Pertanyaannya adalah, bagaimana apabila nilai kerusakan akibat pembongkaran dan sebagainya itu lebih besar dari harag barang yang dicurinya? Haruskah pencuri dijerat dengan tindak pidana ringan? Disinilah agaknya kemampuan hakim dalam mengaktualisasikan perasaan keadilan masyarakat dituntu lebih bijaksana dan adil. Rasanya tidak adil apabila dalam kasus tersebut pelakunya hanya dijerat dengan tindak pidana ringan.
2.
Pencurian dalam keluarga Pencurian dalam keluarga diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP yang
menyatakan: a. Jika pembuat atau pembantu salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini ada suami (isteri) orang yang kena kejahatan itu, yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta benda, maka pembuat atau pembantu itu tidak dapat dituntut hukuman.
Universitas Sumatera Utara
b. Jika ia suaminya (isterinya) yang sudah diceraikan meja makan, tempat tidur, atau harta benda, atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin, baik dalam keturunan yang lurus, maupun keturunan yang menyimpang dalam derajat yang kedua, maka bagi ia sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dri orang yang dikenakan kejahatan itu.
c. Jika menurut adat istiadat keturunan ibu, kekuasaan bapak dilakuakn oleh orang lain dari bapak kandung, maka ketentuan dalam ayat kedua berlaku juga bagi orang itu. Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini merupakan pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun korbannya masih dalam satu keluarga. Pencurian dalam Pasal 367 KUHP akan terjadi, apabila seorang suami atau isteri melakukan (sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda istri atau suaminya. Berdasarkan ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP apabila suami-istri tersebut masih dalam ikatan perkwinan yang utuh, tidak terpisah meja atau tempat tidur juga tidak terpisah harta kekayaannya, maka pencurian atau membantu pencurian yang dilakukan oleh mereka mutlak tidak dapat dilakukan penuntutan. Jadi, apabila suami, misalnya, melakukan pencurian atau membantu (orang lain) melakukan pencurian terhadap harta benda istrinya, sepanjang keduanya masih terikat harta kekayaannya, maka terhadap suami itu mutlak tidak dapat dilakukan pennuntutan. Demikian berlaku sebaliknya. Tetapi apabila dalam pencurian yang dilakukan oleh suami atau isteri terhadap harta benda isteri atau suami ada orang lain (bukan sebagai keluarga) baik sebagai pelaku maupun sebagai pembantu maka terhadap orang ini tetap dapat dilakukan penuntutan, sekalipun tidak ada pengaduan. Pertimbangan terhadap tidak dapat dituntutnya suami atas pencurian terhadap isteri dan sebaliknya berdasarkan Pasal 367 KUHP ayat (1) KUHP adalah didasarkan atas
Universitas Sumatera Utara
alasan tata susila. Sebab, naluri kemanusiaan kita akan mengatakan betapa tidak pantasnya seorang suami-isteri yang masih terikat dalam perkawinan yang utuh, harus saling brhadapan di pengadilan. Rasanya perilaku tersebut tidak sesuai dengan etika moral yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, dengan tidak adanya pemisahan harta kekayaan antara suami-isteri, akan menjadi sulit menentukan mana harta suami dan harta isteri yang telah menjadi objek pencurian tersebut. Bagaimana apabila di antara suami-isteri tersebut telah terpisah meja dan ranjang atau harta kekayaan? Dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ayat (2) KUHP secara tegas dinyatakan, bahwa apabila antara suami dan isteri itu sudah terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka apbila terjadi pencurian di antara mereka dapat dilakukan penuntutan, sekalipun penuntutan terhadap mereka itu baru dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari yang dirugikan (suami atau isteri). Demikian juga apabila yang melakukan pencurian atau yang membantu melakukan pencurian itu adalah keluarga sedarah baik dalam garis lurus (ke atas atau ke bawah) atau ke samping atau keluarga semenda sampai derajat kedua, penuntutan dapat dilakukan apabila ada pengaduan. Sekarang marilah kita lihat ketentuan Pasal 367 ayat (3) KUHP. Aturan ini sebenarnya penting untuk suatu daerah yang menganut garis keturunan ibu (matrilineal). Dalam hal “peran” suami berdasarkan (hukum) adapt setempat dilakukan oleh orang lain, maka ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) Pasal 367 KUHP juga berlaku baginya.
Universitas Sumatera Utara
B.
BENTUK-BENTUK PENCURIAN DI LUAR KUHP Dalam bagian ini kita akan melihat bentuk-bentuk pencurian yang diatur di
luar KUHP, seperti pencurian melalui dunia maya atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Cyber Crime dan Illegal Loging. Dimana unsur-unsur pencurian itu tidak diatur langsung oleh KUHP akan tetapi melalui undang-undang yang lain yang di luar KUHP.
I. PENCURIAN MELALUI DUNIA MAYA (CYBER CRIME) Cybercrime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Volodymyr Golubev menyebutnya sebagai “the new form of antisocial behavior. Beberapa julukan/sebutan lain yang “cukup keren” diberikan kepada jenis kejahatan baru ini di dalam berbagai tulisan, antara lain, sebagai “kejaqhatan dunia maya” (“cyberspace/virtual spaceoffence”), dimensi baru dari “hitech crime”, dimensi baru dari “transnatinal crime”, dan dimensi baru dari “white collar crime”. Bahkan dapat dikatakan sebagai dimensi baru dari “encironmental crime”. Cybercrime merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini. Kekhawatiran demikian terungkap pula dalam makalah “Cybercrime” yang disampaikan oleh ITAC (Information Technology Association of Canada) pada “Internasional Information Industry Congress (IIIC) 2000 Millenium Congress” di Quebec pada tanggal 19 September 2000, yang menyatakan bahwa” Cybercrime is a real and growing threat to economic and social development around the world. Information technology touches every aspect of human life and so can electronically
enabled
crime.”
Sehubungan
dengan
kekhawatiran
akan
Universitas Sumatera Utara
ancaman/bahaya cybercrime ini, karena berkaitan erat dengan dengan economic crimec dan organized crime (terutama untuk tujuan money laundering), maka kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders” (yang diselenggarakan tiap 5 tahun) telah pula membahas masalah ini. Sudah dua kali masalah ini diagendakan yaitu pada Kongres VIII/1990 di Havana dan pada Kongres X/ 2000 di Wina. Dengan memperhatikan perkembangan dua Kongres Internasional tersebut, maka wajar
Indonesia
pun
seyogianya
melakukan
antisipasi
terhadap
upaya
penanggulangan “Cyber Crime” ini. Pada bulan November 1996, “European Committee on crime Problems” membentuk panitia ahli di bidang Cybercrime yang kemudian disebut dengan “Committee of Experts on Crime in Cyberspace dan berhasil menyusun “Draft Convention on Cybercrime”. Draft Konvensi Cybercrime ini terdiri dari 4 bab: (I) mengenai peristilahan,(II) mengenai tindakan-tindakan yang diambil di tingkat nasional domestic (negara anggota) di bidang Hukum Pidana Materiil dan Hukum Acara, (III) mengenai Kerja sama Internasional, dan (IV) ketentuan penutup. Bab “Hukum Pidana Substantif” memuat ketentuan mengenai: Title 1: Offences against the confidentiality, integrity and availability of computer data an systems; Illegal Access: sengaja memasuki/ mengakses system computer tanpa hak (Art.2) Illegal Interception: sengaja dan tanpa hak mendengar/menangkapo secara diam-diam pengiriman (tansmisi) dan pemancaran (emissi) data computer yang tidak bersifat public ke, dari atau di dalam system computer dengan menggunakn alat bantu teknis (Art.3)
Universitas Sumatera Utara
Data interference: sengaja dan tanpa hak melakukan perusakan, penghapusan, perubahan atau perubahan data computer (Art.4) System Interference: sengaja melakukan gangguan/ rintangan serius tanpa hak terhadap berfungsinya system komlputer (Art.5) Misuse of Devices: penyalahgunaan perlengkapan komputer, termasuk program komputer, password komputer, kode masuk (access code) – (Art.6); Title 2: Computer related offences; Computer related Forgery (Art. 7): Pemalsuan (dengan sengaja dan tanpa hak memasukkan, mengubah, menghapus data autentik menjadi tidak autentik dengan maksud digunkan sebagai data auntentik); Computer related Fraud (Art. 8): Penipuan (dengan sengaja dan tanpa hak menyebabkan hilangnya barang/kekayaan oranglain dengan cara memasukkan, mengubah, menghapus data komputer, atau dengan mengganggu berfungsinya komputer/ sistem komputer, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi bagi dirinya sendiri atau orang lain). Title 3: Content related offences; Delik-delik yang berhubungan demngan pornografi anak (child pornography, Art. 9), meliputi perbuatan: memproduksi dengan tujuan didistribusikan melalui sistem komputer; menawarkan melalui sistem komputer; mendistribusi atau mengirim melalui sistem komputer; memperoleh melalui sistem komputer; memiliki di dalam sistem komputer atau di dalam media penyimpanan data. Title 4: “Offences related to infringements of copyright and related rights” (Art. 10) Title 5: Ancillary liability and sanctions;
Universitas Sumatera Utara
Attempt and aiding or abetting (Art. 11); Corporate liability (Art.12); Sanctions and measures (Art. 13). Walaupun Indonesia belum melakukan langkah-langkah kebijakan harmonisasi dengan negara-negara lain, khususnya dalam lingkungan Asia/Asean, namun sudah berusaha mengantisipasinya dalam penyusunan Konsep KUHP Baru. Kebijakan sementara yang ditempuh di dalam Konsep 2000 adalah sebagai berikut: Dalam Buku I (Ketentuan Umum) dibuat ketentuan mengenai: Pengertian “barang” (Pasal 174) yang didalamnya termasuk banda tidak berwujud berupa data dan program komputer, jasa telepon/telekomunikasi/jasa komputer; Pengertian “anak kunci” (Pasal 178) yang di dalamnyatermasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetis, signal yang telah diprogramkan untuk membuka sesuatu; Pengertian “surat” (Pasal 188) termasuk data tertulis/ tersimpan dalam disket, pita magnetis, media penyimpanan komputer, atau penyimpan data elektronik lainnya; Pengertian “ruang” (Pasal 189) termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu; Pengertian “masuk” (Pasal 190), termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer; Pengertian “jaringan telepon” (Pasal 191), termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer. b.
Dalam Buku II (Tindak Pidana): Dengan dibuatnya ketentuan umum seperti di atas, maka konsep tidak/belum
membuat delik khusus untuk cybercrime. Dengan adanya perluasan pengertian dalam Buku I di atas, diharapkan dapat menjaring kasus-kasus cybercrime dengan tetap
Universitas Sumatera Utara
menggunakan rumusan delik yang ada dalam Buku II. Namun disamping itu, konsep juga mengubah perumusan delik atau menambah delik-delik baru yang berkaitan dengan kemajuan teknologi, dengan harapan dapat juga menjaring kasus-kasus cybercrime, anatara lain: Menyadap pembicaraan di ruangan tertutup dengan alat bantu teknis (Pasal 263); Memasang alat bantu teknis untuk tujuan mendengar/merekam pembicaraan (Pasal 264); Merekam (memiliki/menyiarkan) gambar dengan alat bantu teknis di ruangan tidak untuk umum (Pasal 266); Merusak/ membuat tidak dapat dipakai bangunan untuk sarana/prasarana pelayanan umum (antara lain, bangunan telekomunikasi/ komunikasi lewat satelit/ komunikasi jarak jauh) (Pasal 546); Pencucian uang (Money Laundering) (Pasal 641-642)[
Universitas Sumatera Utara