MENDESAK, AMANDEMEN PASAL PENCURIAN RINGAN DALAM KUHP Oleh: Setiawan Nurdayasakti Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang & Dosen Tidak Tetap Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Malang. Email :
[email protected]
Abstraksi Persidangan kasus kasus pencurian dengan nilai ekonomis barang yang dicurinya sangatlah kecil kian sering terjadi. Minah, Basar dan Kholil, Manisih, Sri Suratmi, Rusmanto dan Yuwono, Siptoyono dan Sulastri, Parto, Aspuri, Rasminah serta Aal merupakan sederetan nama dari mereka yang telah dijadikan terdakwanya. setiap kali dilakukan proses peradilan atas kasus-kasus semacam ini selalu mendapatkan respons dan simpati warga masyarakat. Ironisnya, persidangan yang sebenarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk menegakkan aturan hukum justru menjadi kontra produktif, karena nyata-nyata malah mengusik rasa keadilan dalam masyarakat. Penggunaan ketentuan Pasal 362 KUHP sebagai dasar untuk mengadili mereka merupakan salah satu penyebabnya. Implikasinya mereka diproses dengan mempergunakan acara pemeriksaan biasa. Prosedur pemeriksaan perkaranya memakan waktu yang cukup lama, bahkan mereka dapat dikenai penahanan. Disamping itu selama proses persidangan, mereka juga dihantui dengan maksimum ancaman pidana penjara lima tahun dari ketentuan Pasal 362 KUHP tersebut. Ini semua tidak sebanding dengan kejahatan yang mereka lakukan. Amandemen atas ketentuan Pasal 364 KUHP dengan menyesuaikan nilai ekonomis barang yang menjadi obyek pencurian dengan kondisi ekonomi saat ini merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Ini harus dilakukan oleh Pemerintah bersama DPR. Karena pasal tersebut merupakan pasal yang tergolong tipiring dengan maksimum ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan, persidangan bisa dilakukan dengan mempergunakan mekanisme acara pemeriksaan cepat. Selani prosesnya memakan waktu yang cepat , mereka juga tidak perlu ditahan. Kata Kunci: Amandemen, Pencurian ringan. Abstract The trial of the case of theft with the economic value of the stolen goods is small with increasing frequency. Minah, Basar and Kholil, Manisih, Sri Suratmi, Rusmanto and Yuwono, Siptoyono and Sulastri, Parto, Aspuri, Rasminah and AAL is a series of names of those who have been made defendants. every time a process of trial of such cases is always to get a response and the sympathy of the community. Ironically, the trial is meant as an effort to uphold the rule of law precisely be counter productive, because obviously even disturbing sense of justice in society. The use of the provisions of Article 362 of the Criminal Code as a basis to judge them is one of the causes. The implications are processed using ordinary examination. Checking procedure takes his case at length, they can be subject to arrest. In addition, during the trial, they are also haunted by a maximum imprisonment of five years from the provisions of Article 362 of the Criminal Code. It just was not worth the crimes they committed. Amendment of Article 364 of the Criminal Code by adjusting the economic value of the object stolen goods with the current economic condition is one way 64
that can be done to overcome them. This should be done by the Government and the Parliament. Since the article is classified tipiring article with a maximum penalty of three months imprisonment, the trial could be done by using the mechanism of rapid examination. Selani rapid time consuming process, they also do not need to be detained. Key Word: Amendment, minor theft. ____________________________________________________________________________________ PENDAHULUAN Beberapa bulan menjelang berakhirnya tahun 2009, di berbagai mass media, baik itu media cetak maupun media elektronik ramai diberitakan mengenai terjadinya kasus dimana ada seorang nenek bernama Minah, petani dari dusun Sidoharjo, Desa Damarkradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah, dijatuhi pidana penjara 15 hari dengan masa percobaan 1 bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Kabupaten Banyumas gara-gara mencuri 3 buah kakao (biji buah coklat), di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antar (RSA). Masing-masing kakao itu berharga sekitar Rp. 500,00 (lima ratus rupiah). Jadi secara total ketiga biji kakao itu bernilai sekitar Rp. 1.500,00 (seribu lima ratus rupiah). Majelis Hakim yang diketuai oleh Muslih Bambang Luqmono, SH. itu menyatakan bahwa Minah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar ketentuan Pasal 362 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian.1 Persidangan ini sempat menyedot perhatian dan simpati masyarakat. Hal ini dikarenakan nilai ekonomis barang yang dicuri itu sangatlah kecil. Lagi pula pelaku pencuriannya berasal dari kalangan masyarakat tidak mampu. Bahkan jika dilihat dari usianya, Nenek Minah tergolong orang yang berusia lanjut. Awal peristiwa ini terjadi pada tanggal 2 Nopember 2009, saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya, di mana lahan tersebut sebenarnya juga berada di bawah
pengelolaan PT RSA. Saat itulah Minah memetik 3 buah biji kakao. Maksudnya, ketiga buah biji kakao itu hendak disemai untuk bibit di tanah garapannya. Namun malang bagi Minah. Belum sempat membawa pulang barang curiannya, ia terpergok oleh Sutarno, mandor perkebunan yang sedang melakukan patroli. Walaupun sudah mengembalikan barang curiannya itu, ternyata oleh pihak PT. RSA yang sudah sangat sering mengalami peristiwa pencurian biji kakao, Minah dilaporkan kepada polisi. Seminggu kemudian ia mendapat panggilan dari polisi untuk diperiksa. Proses hukum terhadap dirinya ternyata terus berlanjut sampai ke Pengadilan. Hingga akhirnya majelis hakim menjatuhkan pidana penjara 15 hari dengan masa percobaan 1 bulan, yang artinya Minah tidak perlu menjalani pidana penjara untuk 15 hari itu, asalkan selama 1 bulan ia tidak melakukan tindak pidana apapun.2 Pada waktu yang hampir bersamaan, yakni pada tanggal 16 Desember 2009, Pengadilan Negeri Kota Kediri menjatuhkan putusan pemidanaan pada perkara yang mirip dengan perkara di atas, yakni perkara pencurian dimana nilai barang yang dicuri tidaklah terlalu mahal. Barang itu adalah sebuah semangka yang nilainya tidak lebih dari Rp. 500,00 (lima ratus rupiah). Pelakunya adalah Basar Sriyanto (45 tahun) dan Kholil (49 tahun), petani asal Desa Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Peristiwa itu terjadi siang hari, sekitar pukul 11.00 WIB, pada tanggal 21 September 2009, atau tepatnya hari kedua Idul Fitri 1430 H. Ketika itu Basar dan Kholil yang sedang bersepeda 2
1
“Rasa Keadilan - Elegi Minah dan Tiga Buah Kakao di Meja hijau”, Harian Kompas, Jum’at, 20 November 2009.
“Tangis Hakim Warnai Vonis Minah (Nenek 55 Tahun Diadili Gara-Gara Mencuri Kakao Seharga Rp. 500,)“, Harian Republika, Jum’at, 20 Nopember 2009.
65
setelah berkunjung ke rumah kerabatnya, merasa kehausan di jalan. Tiba tiba mata mereka menatap beberapa butir semangka yang ditanam di sebuah kebun, yang ternyata milik Darwati, warga kelurahan Ngampel, Kecamatan Mojoroto, Kabupaten Kediri. Tanpa berpikir panjang, mereka memetik sebutir dan bermaksud hendak memakannya. Namun malang, belum sempat semangka itu mereka makan, adik pemilik kebun semangka itu memergoki ulah mereka. Kebetulan ia adalah seorang anggota POLRI yang bernama Inspektur Dua (IPDA) Polisi Marwan Susanto. Dengan dibantu temannya yang bernama Gaguk Pambudi, Marwan Susanto membawa Basar dan Kholil ke Markas Polsekta Mojoroto, Kota Kediri. Di sana mereka langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan hingga 2 (dua) bulan 10 (sepuluh) hari lamanya. Penahanan itu dilakukan di Markas Polsekta Mojoroto dan Lembaga Pemasyarakatan Kediri. Basar dan Kholil mengaku, bahwa selama menjalani proses penyidikan mereka sempat dihajar dan ditodong dengan pistol.3 Di Pengadilan Negeri Kota Kediri, Jaksa Penuntut Umum, Dwiyanto, SH, mengajukan tuntutan agar Basar dan kholil dijatuhi pidana penjara 2 bulan 10 hari. Jangka waktu ini sama dengan lamanya masa penahanan yang telah dijalani oleh mereka. Namun majelis hakim yang diketuai oleh Roro Setyowati, SH. Berpendapat lain. Basar dan Kholil dijatuhi pidana penjara 15 hari dengan masa percobaan 1 bulan. Sama dengan pidana yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto Kepada Minah. Jika Jaksa Penuntut Umum menggunakan ketentuan Pasal 363 ayat (1) dan ayat (4) KUHP sebagai dasar tuntutannya, yakni pasal tentang pencurian yang ancaman pidananya diperberat, maka Majelis Hakim mempergunakan Ketentuan Pasal 362 KUHP sebagai dasar putusannya, yakni pasal tentang pencurian dalam bentuk pokok. Seperti halnya kasus Minah, persidangan 3
“Basar dan Kholil Memaafkan Polisi yang Disebut Menghajar Mereka”, Harian Surya, Kamis, 17 Desem-ber 2009.
perkara tindak pidana pencurian yang menimpa Basar dan Kholil ini juga sempat menyedot perhatian publik. Lagi-lagi hal ini tidak lain adalah dikarenakan nilai ekonomis barang yang dicuri oleh mereka sangatlah kecil, yakni sebutir semangka yang harganya tidak lebih dari Rp. 500,00 (lima ratus rupiah) saja.4 Kasus pencurian dengan nilai ekonomis barang yang dicurinya sangatlah kecil hingga sempat menarik perhatian masyarakat, terjadi pula di Kabupaten Batang, Jawa Tengah pada awal November 2009. Pencurian itu dilakukan oleh 4 (empat) orang, yakni Rusnanto (14 tahun), Juwono (16 tahun), Sri Suratmi (25 tahun), serta Manisih (39 tahun). Mereka adalah warga Dusun Secentong, Desa Kenconorejo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Di daerah tempat mereka tinggal ada sebuah lahan milik PT. Sigayung yang ditanami pohon randu. Sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga desa di sekitar lahan tersebut untuk memungut sisa-sisa kelopak buah randu yang berserakan di tanah setiap kali ada panen raya kapuk randu. Jika dijual, sisa-sisa kelopak kapuk randu itu laku karena dapat dijadikan sebagai kayu bakar. Setiap karungnya, sisa-sisa kelopak kapuk randu itu berharga Rp. 4.000,(empat ribu rupiah). Seperti halnya warga desa lainnya, saat panen raya kapuk randu di awal Bulan November 2009 itu, Manisih, Sri Suratmi, beserta 2 (dua) orang kerabatnya yang masih tergolong di bawah umur, yakni Rusmanto dan Yuwono mengais sisasisa kelopak randu. Ketika hampir terkumpul 1 (satu) karung, mereka terpergok oleh petugas keamanan lahan yang bernama Hadi Susilo (33 tahun) dan anak pemilik lahan tersebut yang bernama Farel Dian Purnama (19 tahun). Kedua orang ini kemudian mengamankan mereka serta melaporkannya kepada sang pemilik lahan, yakni Effendi Sufatah. Selanjutnya oleh Effendi Sufatah 4
“Curi 1 Semangka Kena 2 Bulan”, Harian Surya, Rabu 16 Desember 2009.
66
mereka dilaporkan kepada petugas polisi di POLRES Batang. Oleh Polisi mereka ditangkap dan ditahan hingga 3 (tiga) bulan lamanya di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Rowobelang, Kabupaten Batang. Berkat upaya yang dilakukan oleh para tokoh lembaga swadaya masyarakat, penahanan yang sudah tiga bulan lamanya dijalani oleh mereka itu, pada akhirnya ditangguhkan. Sungguhpun demikian, kendatpun penahanannya ditangguhkan, di pengadilan oleh jaksa penuntut umum mereka dituntut pidana penjara satu bulan dengan masa percobaan 3 bulan. Namun akhirnya, oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah mereka dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana penjara 24 hari.5 Di samping kasus-kasus sebagai mana tersebut di atas, pada Bulan Desember 2009, Pengadilan Negeri Kabupaten Pasuruan di Bangil menyidangkan pula perkara yang hampir sama, yakni kasus pencurian dan penggelapan sebelas bungkus makanan ringan dalam kemasan (snack) dan satu sachet kopi dengan nilai total Rp. 19.000,00 (Sembilan belas ribu rupiah). Terdakwa pada kasus ini adalah Sulfiana (35 tahun), buruh PT. United Tobacco Processing, sebuah perusahaan pemilik pabrik pengolahan tembakau. Dalam surat dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum Bambang Supono menyebutkan bahwa Sulfiana, karyawan bagian operator mesin, yang pada waktu itu bertugas sebagai supervisor sementara, didakwa tidak membagikan 11 bungkus makanan kecil (snack) dengan nilai masing-masing Rp. 1.200,00 (seribu dua ratus rupiah) dan satu sachet kopi kepada para buruh di bagian mesin. Peristiwa tersebut terjadi pada kurun waktu antara Bulan Juli sampai dengan Bulan Desember 2008. Pihak manajemen perusahaan melaporkan sulfiani ke penyidik Polres Pasuruan pada Bulan Maret 2009. Dalam dakwaan primer Jaksa penuntut umum mendakwanya dengan ketentuan Pasal 374 KUHP tentang penggelapan karena jabatan dan ketentuan Pasal 372 KUHP tentang 5
“Keadilan : Pencuri Buah Randu Senilai Rp. 12.000,- Dihukum 24 Hari”, Harian Kompas, Rabu, 3 Pebruari 2010.
penggelapan biasa. Sedangkan dalam dakwaan subsider jaksa penuntut umum mendakwanya dengan ketentuan Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Proses persidangan berlangsung seru, karena selalu dipenuhi oleh buruh dan segenap warga masyarakat. Selama proses persidangan berlangsung Sulfiana membantah dan tidak mengakui perbuatannya. Namun pada akhirnya dalam putusannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Pasuruan yang diketuai oleh Made Sukereni, SH dan beranggotakan Sutarno, SH dan Kadarwoko, SH menyatakan Sulfiana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 362 KUHP dan menjatuhkan pidana satu bulan penjara dengan masa percobaan 2 bulan. Putusan yang dijatuhkan pada Hari Rabu, tanggal 6 Januari 2010 ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 3 bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan.6 Belum lepas ingatannya dari kasus yang menimpa Nenek Minah, Basar dan Kholil serta Manise, Sri Suratmi, Rusmanto dan Yuwono, serta Sulfiana, masyarakat kembali dikagetkan dengan kasus serupa yang menimpa Parto (51 tahun), warga desa Peranti, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Pada tanggal 8 November 2009, Parto, yang tidak paham berbahasa Indonesia dan hanya paham berbicara dalam Bahasa Madura itu ketahua mencuri 5 batang pohon jagung muda yang ditanam di sawah milik Supardi (45 tahun), warga desa Peranti juga. Maksud Parto, kelima batang pohon jagung muda itu hendak dijadikan tambahan makanan sapi miliknya. Oleh Supardi, yang merasa dirugikan hingga senilai Rp.10.000,(sepuluh ribu rupiah) itu, Parto dilaporkan ke polisi. Kasus ini selanjutnya ditangani oleh POLSEK Asembagus, dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Situbondo guna diajukan ke pengadilan. Di Pengadilan, oleh jaksa penuntut umum Parto dituntut dengan pidana penjara 2 bulan, namun akhirnya oleh Majelis Hakim 6
.“Pledoi Sulfiana untuk 11 Bungkus Snack” Harian Kompas, Jum’at, 11 Desember 2009.
67
Pengadilan Negeri Situbondo yng diketuai oleh I Wayan Merta, SH., Parto dijatuhi pidana 1 bulan penjara dengan masa percobaan dua bulan.7 Nampaknya pemberitaan tentang kasuskasus pencurian dengan nilai ekonomis barang yang dicurinya sangatlah kecil tidak berhenti sampai di sini. Pemberitaan selanjutnya yang tidak kalah menarik perhatiaan masyarakat adalah pemberitaan tertang kasus pencurian yang menimpa pasangan suami-isteri Siptoyono (19 tahun) dan Sulastri (19 tahun), warga Jalan Monginsidi, Gang Pramuka, Desa Sukorejo, Kecamatan Kota, Kabupaten Bojonegoro. Pada Bulan Januari 2010, mereka disidangkan di Pengadilan Negeri Bojonegoro karena didakwa mencuri setandan buah pisang yang di dalamnya berisi empat sisir pisang susu yang harganya tidak lebih dari Rp. 5000,00 (lima ribu rupiah). Peristiwanya terjadi pada tanggal 19 Oktober 2010, dimana pada saat itu Siptoyono, yang baru diberhentikan sebagai tukang kebun di sebuah perguruan tinggi swasta di Bojonegoro, dan Sulastri, yang juga baru diberhentikan oleh majikannya sebagai pembantu di sebuah sarang burung walet di Bojonegoro, mengalami kesulitan uang guna memenuhi kebutuhan keluarga. Setelah gagal berusaha kesana-kemari mencari pinjaman, mereka nekat mencuri pisang di sebuah kebun milik Maskun, warga Desa Pacul, Kecamatan Kota, Kabupaten Bojonegoro. Dalam melakukan aksinya itu, mereka mengendarai sebuah sepeda motor supra, nomor polisi S 2679 CE. Setelah berhasil mengambil setandan pisang dan ketika hendak menyerahkannya kepada isterinya, warga masyarakat berhasil memergoki mereka. Selanjutnya oleh Maskur, si pemilik pisang itu, mereka dilaporkan kepada polisi. Oleh polisi mereka ditangkap dan ditahan hingga 3 (tiga) bulan lamanya. Di pengadilan, ketentuan pidana yang didakwakan kepada mereka adalah ketentuan Pasal 363 ayat (1) KUHP tentang pencurian yang ancaman pidanya diperberat. Maksimum ancaman pidana pada pasal ini adalah
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Persidangan kasus ini berakhir pada tanggal 31 Januari 2010 dengan dijatuhkannya putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro kepada mereka, yakni pidana penjara 3 tahun enam bulan. Kasus pencurian setandan pisang ini mendapat perhatian berbagai kalangan masyarakat di Bojonegoro. Perhatian itu antara lain datang dari para anggota DPRD Kabupaten Bojonegoro, sejumlah kepala desa di Bojonegoro, beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat) serta kalangan aktivis. Bahkan di persidangan, mereka mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma dari 6 (enam) orang advokad.8 Satu bulan setelah persidangan kasuskasus di atas, yakni pada Bulan Pebruari 2010, Pengadilan Negeri Serang, Propinsi Banten menyidangkan kasus serupa, dengan terdakwa Aspuri (19 tahun), seorang buruh tani asal Desa Bendung, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Propinsi Banten. Ia didakwa mencuri sehelai baju kaos kotor motif belang-belang milik Tb. Ahmad H dan Dewi, warga Kampung Sisipan, Desa Bendung, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Propinsi Banten. Baju kaos yang nilainya tidak lebih dari Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) itu oleh pemiliknya digantung di pagar depan rumah. Aspuri mengambil baju kaos tersebut karena menyangka bahwa kaos itu sudah tidak dipakai lagi. Lagi pula rumah tempat di mana baju kaos tersebut tergantung adalah sebuah rumah kosong yang sudah ditinggalkan oleh pemiliknya selama tiga bulan lebih. Peristiwa ini terjadi pada Bulan Oktober 2009. Pada hari Senin, tanggal 15 Pebruari 2010 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang menyatakan bahwa Aspuri terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagai mana diatur pada ketentuan Pasal 362 KUHP dan menjatuhkan putusan pidana penjara tiga bulan lima hari kepada terdakwa Aspuri. Putusan ini hampir sama dengan tuntutan jaksa, yakni pidana penjara tiga bulan sepuluh 8
7
“Mencuri Lima Batang Jagung, Petani Terancam Lima Tahun Penjara”, Tempo Interaktif, Selasa, 8 Desember 2009.
“Pasutri Pencuri Setandan Pisang Menuai Dukungan-Sidang Dipenuhi Pendukung, Pisang Dipajang”, Harian Surya, Rabu, 20 Januari 2010.
68
hari. Karena selama dilakukannya penyidikan hingga persidangan Aspuri sudah menjalani masa penahanan selama tiga bulan lima hari, maka begitu putusan dijatuhkan, Aspuri langsung dikeluarkan dari tahanan.9 Hampir enam bulan setelah peristiwaperistiwa sebagaimana tersebut di atas diberitakan, masyarakat kembali dikejutkan oleh pemberitaan mengenai kasus pencurian sop buntut dan enam buah piring. Pelakunya adalah Rasminah (55 tahun), seorang pembantu rumah tangga, asal Kampung Sawah, Kota Tangerang Selatan, Propinsi Banten. Peristiwa itu terjadi pada bulan Juni 2010. Pemilik sop buntut dan enam buah piring yang melaporkan kasus pencurian itu adalah majikannya sendiri yang bernama Siti Aisyah. Padahal di rumah majikannnya itu Rasminah sudah bekerja selama sepuluh tahun. Akibat dari laporan yang dilakukan oleh majikannya itu, selama proses penyidikan yang dimulai pada tanggal 5 Juni 2010, Rasminah harus mendekam dalam tahanan Polsek Ciputat selama dua bulan 3 hari dan setelah dilakukan pelimpahan perkara kepada penuntut umum Rasminah harus mendekam dalam tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang selama dua bulan. Pada tahap persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang memberikan penangguhan penahanan kepadanya. Setelah dilakukan persidangan, pada akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang menjatuhkan putusan bebas kepada Rasminah karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun atas putusan tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Satu tahun kemudian, yakni pada tanggal 31 Mei 2011, Mahkamah Agung menjatuhkan putusannya. Majelis Hakim Mahkamah Agung yang terdiri dari Artidjo Alkotsar, Imam Harjadi dan Zaharudin Utama, 9
“Sehelai Kaus Mengantar ke Meja Hijau”, Harian Kompas, Rabu, 10 Pebruari 2012.
putusan Peng-adilan Negeri Tangerang yang telah membebaskan Rasminah itu dibatalkan. Sebagai gantinya, Rasminah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana penjara 130 hari. Sebenarnya tiga orang hakim Mahkamah Agung yang mengadili peristiwa ini tidak sepakat secara bulat dalam menjatuhkan putusan pemidanaan itu. Artidjo Alkotsar berpendapat bahwa Rasminah harus dijatuhi putusan bebas. Namun pendapat Artidjo ini kalah dengan pendapat dua hakim lainnya yang berpendapat bahwa Rasminah harus dijatuhi putusan pemidanaan. Apabila dihitung, maka putusan ini pas dengan lamanya masa penahanan yang sudah dijalani oleh Rasminah. Putusan ini mengundang keprihatinan banyak pihak. Tak kurang dari Menteri Kehakiman Amir Syamsudin menyayangkan putusan tersebut. Menurut beliau putusan ini dapat menimbulkan kesan bahwa hukum hanya mudah diterapkan kepada golongan masyarakat yang termarginalkan. Putusan tersebut dapat menimbulkan kesan bahwa hukum menjadi tajam ke masyarakat bawah dan tumpul ke masyarakat yang mempunyai kekuasaan. Selanjutnya beliau berharap agar aparat penegak hukum tidak terlalu kaku dalam menerapkan peraturan kepada masyarakat miskin dengan perkara yang ringan.10 Pemberitaan tentang Kasus pencurian sandal yang terjadi di Palu Sulawesi Tengah pada Bulan Januari 2012 merupakan puncak dari serangkaian pemberitaan mengenai kasus-kasus pencurian barang dengan nilai ekonomis kecil. Pemberitaan kasus tersebut tidak hanya menarik perhatian masyarakat saja, namun juga sempat menjadi bahan pemberitaan mass media di luar negeri, seperti Surat Kabar terbitan Amerika Serikat,The Washington Post. Pada saat itu diberitakan bahwa ada seorang anak yang bernama AAL ( 15 tahun), pelajar dari sebuah sekolah menengah kejuruan di Palu dituduh mencuri sebuah sandal jepit yang sudah butut milik seorang anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah bernama Briptu Ahmad Rusdi Harahap. 10
“Curi 6 Piring, Rasminah dipenjara 130 hari”, Harian Surya, Rabu, 1 Pebruari 2012.
69
AAL mengira sandal tersebut sudah tidak ada pemiliknya, namun Briptu Ahmad yang merasa sudah beberapa kali kehilangan sandal mempermasalahkan hal tersebut. Ia beranggapan bahwa sandal itu masih memiliki nilai ekonomis seharga Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah). AAL sempat dianiaya oleh oknum anggota Brimob tersebut hingga luka pada tiga bagian tubuhnya. Akhirnya kasus itu ditangani oleh penyidik POLRI hingga selanjutnya diilimpahkan ke Pengadilan. Ketentuan pidana yang didakwakan kepada AAL adalah ketentuan Pasal 362 KUHP. Di Pengadilan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu menyatakan bahwa AAL dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pencurian sandal tersebut. Berdasarkan Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, oleh Majelis Hakim AAL dijatuhi tindakan (matregel), yang berupa dikembalikan kepada orang tuanya tanpa pidana apapun. Kasus ini mendapatkan simpati publik yang luar biasa. Sebagai bentuk dukungan kepada AAL, telah terkumpul sandal jepit dalam jumlah yang sangat banyak dari warga masyarakat. Jumlahnya mencapai 1.200 buah. Oleh Komisi Perlindungan Anak sandal jepit itu dihadiahkan kepada Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia yang berkedudukan di Jalan Jendral Sudirman, Jakarta. 11
Banyaknya kisah tentang persidangan kasus-kasus pencurian di mana nilai ekonomis barang yang dicurinya sangatlah kecil, perlu mendapatkan perhatian. Terlebih-lebih setiap kali dilakukan proses peradilan atas kasus-kasus semacam ini selalu mendapatkan respons dan simpati warga masyarakat. Bahkan persidangan terhadap kasus-kasus tersebut yang sebenarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk menegakkan aturan hukum justru menjadi kontra produktif, karena nyata-nyata malah mengusik rasa keadilan dalam masyarakat. Di satu sisi mungkin masyarakat tidak terlalu merasakan seberapa jahat perbuatan si petindak, namun di sisi lain justeru 11
masyarakat melihat betapa beratnya akibat yang harus ditimpakan kepada mereka selama proses penanganan perkara berlangsung. Mulai dari proses peradilan yang bertele-tele, melelahkan mereka dan memakan waktu berkepanjangan, hingga lamanya masa penahanan yang harus mereka jalani. Oleh karena itu akar permasalahannya perlu dicari. Kajian secara mendalam terhadap masalah ini perlu dilakukan. PEMBAHASAN Jika dilakukan telaah yuridis atas pengenaan ketentuan pidana kepada para terdakwa pada kasus-kasus sebagaimana tersebut di atas, baik itu Minah, Basar dan Kholil, Manisih, Sri Suratmi, Rusmanto dan Yuwono, Siptoyono dan Sulastri, Parto, Aspuri, Rasminah serta AAL, maka sebenarnya tidak ada yang salah terkait masalah pengenaan ketentuan pidana itu. Mereka memang dapat dikenai ketentuan pidana sebagai mana diatur pada Pasal 362 KUHP tentang pencurian dalam bentuk pokok, yang di dalamnya menyebutkan : “Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. Seluruh unsur dalam ketentuan pidana Pasal 362 KUHP yang didakwakan pada mereka telah terpenuhi, baik itu unsur obyektif maupun unsur subyektif. Unsur-unsur obyektif meliputi : ‐ Perbuatannya, yaitu mengambil ‐ Obyeknya, yaitu suatu benda ‐ Keadaan yang menyertai/ melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Sedangkan Unsur-unsur subyektif meliputi : ‐ Adanya maksud yang ditujukan untuk memiliki
“Akhirnya Aal Masuk Pengadilan Negeri Palu”, Tempo Co. Jakarta, 20 Desember 2011.
70
‐
Dengan melawan hukum.12
Menurut Memorie van Toelichting, yakni memori penjelasan rancangan KUHP ketika diajukan kepada Parlemen Belanda dahulu, unsur “benda” (yang dalam Bahasa Belanda disebut goed) sebagaimana dimaksud pada ketentuan ini adalah benda yang bergerak dan benda yang berwujud. Benda yang tidak bergerak baru dapat menjadi obyek pencurian apabila benda tersebut telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, misalnya sebatang pohon yang telah ditebang atau daun pintu rumah yang telah terlepas atau dilepas. 13 Dalam prakteknya, pengertian benda yang menjadi obyek pencurian telah ditafsirkan sedemikian luas, Hogeraad, Mahkamah Agung Belanda telah beberapa kali memperluas pengertian benda. Yang pertama hal tersebut dilakukan dalam arrest-nya (putusannya) yang dikeluarkan pada tanggal 23 Mei 1921 di mana pengertian benda yang pada mulanya hanya terbatas pada benda nyata/ berwujud (stoffelijk atau lichamelijk goed) telah diperluas hingga meliputi arus listrik. Arus listrik adalah benda yang tidak nyata/ tidak berwujud (onstoffelijk atau onlichamelijk goed). Dalam ilmu hukum hal ini dikenal sebagai ekstensive interpretasi (penafsiran ekstensif).14 Selanjutnya Hoogeraad melakukan lagi ekstensive interpretasi (penafsiran ekstensif) atas pengertian “benda”. Dalam arrestnya yang dikeluarkan pada tanggal 9 November 1932 pengertian benda tidak berwujud itu telah diperluas pula hingga meliputi gas.15 Di Memorie mengenai pencurian, 12
samping itu baik KUHP maupun van Toelichting tidak mengatur kriteria benda yang menjadi obyek sehingga dalam praktek kriteria benda
..Adami Chazawi, 2010, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, hlm. 5. 13 .Ibid, hlm. 9 – 11. 14 ..Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip, Semarang, hlm. 24. 15 .Adami Chazawi, Loc. Cit.
yang menjadi obyek pencurian itu berkembang menjadi luas, tidak hanya terbatas pada benda yang memiliki harga/ nilai ekonomis saja, namun telah ditafsirkan pula hingga mencakup benda yang memiliki nilai estetika, nilai historis, dan sebagainya. Syarat bernilainya suatu benda itu pun tidak harus diartikan sebagai benda yang bernilai bagi semua orang, akan tetapi dapat diartikan pula sebagai benda yang bernilai bagi orang tertentu, dalam hal ini adalah bernilai pribadi bagi pemiliknya.16 Bahkan untuk bendabenda yang memiliki harga/ nilai ekonomis, KUHP maupun Memorie van Toelichting tidak menentukan nominalnya. Berdasarkan perkembangan kriteria benda yang sedemikian ini, maka tentunya tidak ada yang salah apabila kepada para terdakwa pada kasus-kasus sebagaimana tersebut di atas dikenakan ketentuan Pasal 362 KUHP walaupun nilai ekonomis barang yang dicurinya sangatlah kecil. Pengenaan ketentuan Pasal 362 KUHP kepada mereka, membawa implikasi pada prosedur acara pemeriksaan kasus mereka sejak tahap penyidikan, tahap penuntutan hingga tahap persidangan. Walau pun nilai ekonomis barang yang dicurinya sangatlah kecil, mereka tidak diperiksa dengan menggunakan mekanisme acara pemeriksaan cepat sebagaimana lazimnya diterapkan pada kasus-kasus tindak pidana ringan (tipiring). Mereka disidangkan dengan mempergunakan mekanisme acara pemeriksaan biasa. Tidak diperiksanya mereka dengan menggunakan mekanisme acara pemeriksaan cepat untuk kasus-kasus tipiring itu disebabkan karena ketentuan Pasal 362 KUHP tidak termasuk pasalpasal yang dapat disidangkan dengan menggunakan mekanisme acara pemeriksaan cepat. Ketentuan Pasal 205 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP) telah menentukan kriteria tindak pidana-tindak pidana yang dapat diperiksa dengan menggunakan 16
Ibid.
71
mekanisme acara pemeriksaan cepat. Ketentuan pasal tersebut menyebutkan : Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyakbanyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini. Dari rumusan ketentuan di atas diketahui bahwa mekanisme acara pemeriksaan cepat antara lain hanya dimungkinkan bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan. Sedangkan maksimum ancaman pidana penjara pada ketentuan Pasal 362 KUHP adalah 5 tahun. Jadi petindak yang didakwa berdasarkan ketentuan Pasal 362 KUHP harus diperiksa dengan mempergunakan mekanisme acara pemeriksaan biasa. Oleh karena pada pemeriksaannya dipergunakan mekanisme acara pemeriksaan biasa, maka pemeriksaan perkaranya pun juga memakan waktu yang cukup lama, bahkan selama pemeriksaan berlangsung, baik penyidik, penuntut umum maupun hakim melakukan penahanan kepada mereka. Tindakan penyidik, penuntut umum maupun hakim melakukan penahanan ini ada dasarnya. Dasarnya adalah ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang antara lain menyebutkan : “Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. Tindak pidana sebagai mana dimaksud dalam pasal … “.
ketentuan Pasal 362 KUHP adalah 5 tahun. Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun termasuk tindak pidana yang pelakunya dapat ditahan. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP ini, maka penyidik, penutut umum dan hakim melakukan penahanan kepada para tersangka dan terdakwa kasus-kasus pencurian sebagai mana tersebut di atas, walaupun nilai ekonomis barang yang dicurinya sangatlah kecil. Sebenarnya dalam KUHP ada ketentuaan pidana yang lebih tepat untuk dipergunakan sebagai dasar mengadili kasus-kasus kasus-kasus pencurian di mana nilai ekonomis barang yang dicurinya sangatlah kecil, ketentuan tersebut adalah ketentuan sebagai mana diatur pada Pasal 364 KUHP tentang pencurian ringan atau yang dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah lichte diefstal17 Tidak seperti halnya pasal-pasal lain dalam KUHP yang tidak menentukan nominal nilai benda-benda yang menjadi obyek pencurian, ketentuan Pasal 364 KUHP secara eksplisit telah menentukan nilai nominalnya. Ketentuan tersebut menyebutkan menyebutkan : “Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 ke-4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5, apabila tidak di-lakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai karena pencurian ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. Dari ketentuan sebagai mana tertulis pada ketentuan Pasal 364 KUHP di atas dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat percurian ringan adalah : 17
PAF. Lamintang, 1989, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung, hlm. 50.
Maksimum ancaman pidana penjara pada 72
1. Pencurian biasa, asalkan nilai barang yang dicurinya tidak lebih dari Rp. 25,2. Pencurian dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih, asal nilai barang yang dicurinya tidak melebihi Rp. 25,3. Dalam melakukan pencurian cara masuk ke tempat barang yang diambilnya dapat dilakukan dengan jalan membongkar, memecahkan, memanjat, dengan menggunakan kunci palsu, perintah palsu, pakaian seragam palsu asalkan nilai barang yang dicurinya tidak melebihi Rp 25,- dan pencurian itu tidak dilakukan dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. Sebaliknya, sekalipun nilai barang yang dicurinya tidak melebihi Rp. 25,- namun tidak termasuk pencurian ringan dalam hal : 1. Pencurian ternak 2. Pencurian pada waktu ada kebakaran atau malapetaka lainnya 3. Pencurian pada waktu malam dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, oleh orang yang berada di situ tidak sepengatahuan atau kemauan yang berhak 4. Pencurian dengan kekerasan.18 Hal penting yang harus diketahui dari rumusan ketentuan Pasal 364 KUHP adalah bahwa barang yang menjadi obyek pencurian sebagai mana dimaksudkan pada ketentuan tersebut ialah barang yang hanya dapat dinilai dengan uang, yakni barang yang nilai ekonomisnya Rp. 25,- (dua puluh lima rupiah). Jadi pencurian barang yang tidak dapat dinilai dengan uang tidak termasuk dalam ketentuan ini. Sebagai contohnya adalah surat-surat, surat jalan, surat cinta, photo, rambut, dan sebagainya. Dalam KUHP Belanda yang bernama 18
.R. Soesilo, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, hlm. 252-253.
Nederlands Strafwetboek, ketentuan pidana tentang pencurian ringan dengan rumusan seperti yang diatur pada ketentuan Pasal 364 KUHP tidak ada, namun dalam KUHP (atau yang pada masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda disebut Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie) ketentuan pidana tentang pencurian ringan ada. Jadi ketentuan ini khusus diadakan untuk Hindia Belanda. Pada masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dulu, untuk penyelesaian perkara-perkara pidana yang ringan sifatnya, yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari Golongan Bumi Putra yang pada umumnya tinggal di pedesaan, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membentuk sebuah badan peradilan di kota-kota distrik (kawedanan), yakni badan peradilan yang bernama Landgerecht19 atau disebut juga pengadilan kepolisian. Landgerecht ini dibentuk agar tidak semua perkara pidana ditangani oleh Landraad yakni pengadilan yang ada di kota-kota kabupaten dan dipergunakan untuk mengadili orang-orang yang berasal dari Golongan Bumi Putra. Namun kewenagan Landgerecht terbatas hanya untuk mengadili perkara-perkara pidana yang tergolong dalam tindak pidana ringan (tipiring), termasuk di antaranya pencurian ringan. Maksud dibentuknya Landgerecht adalah untuk mempercepat proses penyelesaian perkaranya. Prosedur persidangannya disederhanakan. Perkara tidak perlu dilimpahkan ke kejaksaan. Jaksa tidak perlu hadir di persidangan. Perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Upaya hukumnya bukan banding dan kasasi, melainkan hanya perlawanan. Pada tahun 1951 Landgerencht dicabut. Pencabutannya dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951. Selanjutnya tugasnya dioper oleh Pengadilan Negeri.20 19
20
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak PidanaTindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 27. Hermien Hadiati Koeswadji, et. Al., 1984, Delik Harta Kekayaan, Asas-Asas, Kasus dan Permasalahannya, Sinar Wijaya, Surabaya, hlm. 36.
73
Sebenarnya tindak pidana pencurian yang pernah didakwakan kepada Minah, Basar dan Kholil, Manisih, Sri Suratmi, Rusmanto dan Yuwono, Siptoyono dan Sulastri, Parto, Aspuri, Rasminah serta AAL lebih memenuhi ketentuan pidana sebagai mana diatur pada ketentuan Pasal 364 KUHP tentang pencurian ringan, karena nilai ekonomis barang yang dicurinya sangatlah kecil, namun jika ada upaya untuk mengadili mereka berdasarkan ketentuan Pasal 364 KUHP maka akan terbentur kendala karena nilai nominal barang yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 364 KUHP jauh di bawah nilai nominal barang yang mereka curi. Pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dulu, dua puluh lima rupiah (pada waktu itu disebut dua puluh lima gulden) mempunyai nilai yang memadai, sehingga untuk kasus-kasus pencurian barang yang nilai ekonomisnya tidak terlalu tinggi, seperti misalnya pencurian ayam dapat diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Pasal 364 KUHP.21 Pada masa selanjutnya, seiring dengan berjalannya waktu, dan seiring pula dengan pergerakan laju inflasi, dua puluh lima rupiah kian mengalami penurunan nilai. Pada masa selanjutnya tidak ada seekor ayam pun yang dapat dibeli dengan harga Rp. 25,- (dua puluh lima rupiah). Berdasarkan kenyataan itu, maka penggunaan ketentuan Pasal 364 KUHP sebagai dasar untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus pencurian ringan menjadi sulit. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1960 pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 16/Perpu/1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada ketentuan Pasal 1 undang-undang ini disebutkan : “Kata-kata ‘Vijf en twintig gulden’ (dua puluh lima gulden) dalam Pasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diubah menjadi dua ratus lima puluh rupiah”.
Pasal 364 KUHP mengatur tentang pencurian ringan, Pasal 373 KUHP mengatur tentang penggelapan ringan, Pasal 379 KUHP mengatur tentang penipuan ringan, Pasal 384 KUHP mengatur tentang penipuan ringan oleh penjual dan Pasal 407 ayat (1) KUHP mengatur tentang penadahan ringan. Dalam Bahasa Belanda tindak pidana-tindak pidana tersebut diklasifikasikan se-bagai ‘tindak pidana enteng” (lichte misdrijven).22 Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 16/Perpu/1960 maka nilai eko-nomis barang yang menjadi obyek kejahatan pada tindak pidanatindak pidana tersebut, termasuk di antaranya tindak pidana pencurian ringan, telah dilipatkalikan hingga mencapai sepuluh kali lipat. Alasan pemerintah melipatkalikan nilai barang pada tindak pidana-tindak pidana sebagai mana tersebut di atas jelas disebutkan pada penjelasan Undang-Undang Nomor 16/Perpu/1960, yakni : “…Oleh karena keadaan ekonomi telah berubah, harga barang-barang meningkat, maka dirasa perlu untuk menaikkan harga barang yang dinilai dengan uang Rp. 25,dalam pasal-pasal 364, 373, 379 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”. Selanjutnya pada bagian lain penjelasan Undang-Undang Nomor 16/Perpu/1960 disebutkan pula bahwa : “… Harus diakui bahwa harga Rp. 25,- itu tidak sesuai dengan keadaan sekarang, di mana harga-harga telah membumbung tinggi, banyak kali lipat, jauh melebihi harga-harga barang pada kira-kira tahun 1915 ketika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana direncanakan, sehingga nilai uang Rp. 25,- itu sekarang 22
21
Ibid, hlm. 3.
Djoko Prakoso dan Edy Yunianto, 1946, Dualisme dalam Peraturan Hukum Pidana Sejak Berlakunya undang-Undang Nomor 1 tahun 1946, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 109.
74
merupakan jumlah yang kecil sekali. Maka sewajarnya jumlah uang Rp. 25,- itu dinaikkan sedemikian rupa, hingga sesuai dengan keadaan sekarang. Jumlah yang sela-yaknya untuk harga barang dalam pasal-pasal itu menurut pendapat pemerintah ialah Rp. 250,-“. Dari alasan-alasan sebagai mana tersebut di atas jelaslah bahwa alasan yang melatarbelakangi dilipatkalikannya obyek tindak pidana-tindak pidana yang termasuk dalam klasifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven) semata-mata adalah alasan ekonomi. Dengan demikian dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 16/Perpu/1960 diharapkan agar ketentuan pidana sebagai mana diatur pada ketentuan pasal-pasal 364, 373, 379 384 dan 407 ayat (1) tersebut yang pada mulanya tidak efektif karena penurunan nilai uang, menjadi dapat efektif kembali. Kondisi perekonomian di Indonesia saat ini dapat dikatakan hampir sama dengan kondisi perekonomian di Indonesia pada tahun 1960. Utamanya akibat badai krisis moneter yang menghantam perekonomian Indonesia serta akibat faktor-faktor lain, harga barang mengalami kenaikan hingga sekian kali lipat, jauh melebihi harga barang pada saat diberlakukannya UndangUndang Nomor 16/Perpu/1960. Nilai uang Rp. 250,00 untuk saat ini menjadi kecil sekali. Hal ini berimplikasi pula pada efektifitas Pasal 364 KUHP dan pasal pasal lainnya yang termasuk dalam kualifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven) lainnya. Penerapan Pasal 364 KUHP sebagai dasar untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus pencurian ringan menjadi sulit. Pemerintah bersama dengan DPR tentunya harus memikirkan hal ini. Langkah-langkah seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1960 dulu perlu segera diambil. Pemerintah perlu segera memberlakukan undangundang yang substansinya sama dengan UndangUndang Nomor 16/Perpu/1960, yakni melakukan amandemen atas pasal-pasal KUHP yang mengatur tentang ‘tindak pidana enteng” (lichte
misdrijven). Dalam amandemen itu nilai barang yang menjadi obyek sejumlah ‘tindak pidana enteng” (lichte misdrijven) termasuk di antaranya pencurian ringan dilipatkalikan hingga mencapai nilai yang memadai. Namun hingga saat ini upaya ini belum dilakukan baik itu oleh pemerintah maupun DPR. Padahal jika upaya itu dilakukan maka akan banyak manfaat yang diperoleh, di antaranya : a. Ketentuan Pasal 364 KUHP tentang pencurian ringan dan pasal-pasal lain yang termasuk dalam kualifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven) menjadi efektif kembali. b. Prosedur penyelesaian perkaranya tidak lagi mempergunakan mekanisme acara pemeriksaan biasa, yang kadang-kadang cukup bertele-tele dan memakan waktu yang cukup lama, melainkan cukup diperiksa dengan mempergunakan mekanisme acara pemeriksaan cepat yang dalam prakteknya selama ini cukup memakan waktu satu hari saja. Penggunaan mekanisme acara pemeriksaan cepat itu dimungkinkan karena ketentuan Pasal 364 KUHP yang maksimum ancaman pidananya adalah 3 bulan penjara adalah termasuk dalam kualifikasi perkara tipiring seperti yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 205 ayat (1) KUHAP. c. Prosedur penyelesaian perkara pada acara pemeriksaan biasa, yang kadang-kadang cukup bertele-tele, melelahkan dan memakan waktu yang cukup lama, atau bahkan seringkali mengharuskan petindaknya ditahan, di satu sisi oleh masyarakat dinilai terlalu memberatkan petindak. Hal ini dinilai tidak sebanding dengan rasa keadilan masyarakat yang tidak terlalu merasakan seberapa jahat perbuatan petindak. Penggunaan mekanisme acara pemeriksaan cepat dapat menghin-darkan masyarakat dari perasaan itu.
75
d. Apabila perkara diperiksa dengan mempergunakan mekanisme acara pemeriksaan cepat maka pengadilan tidak perlu membentuk hakim majelis untuk memeriksanya, melainkan cukup hanya dengan menunjuk hakim tunggal. Hal ini diatur pada ketentuan Pasal 205 ayat (3) KUHAP. e. Di samping itu tersangka dan terdakwanya tidak perlu ditahan karena maksimum ancaman pidana pada ketentuan Pasal 364 KUHP hanya tiga bulan penjara. Ini tidak termasuk dalam pasal-pasal yang menurut ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP pelakuknya dapat dilakukan penahanan. f. Jika dibandingkan dengan pengenaan ketentuan Pasal 362 KUHP yang maksimum ancaman pidananya paling lama 5 tahun penjara, maka pengenaan ketentuan Pasal 364 KUHP yang maksimum ancaman pidananya paling lama 3 bulan penjara pada pelaku kasus-kasus pencurian di mana nilai ekonomis barang yang dicurinya sangatlah kecil tentu dirasakan akan lebih bersesuaian dengan rasa keadilan dalam masyarakat. g. Setelah dilakukannya amandemen pada ketentuan Pasal 364 KUHP, Maka mekanisme acara pemeriksaan cepat akan digunakan. Jika ini dilakukan, maka akan selaras dengan keberadaan lembaga pengadilan Landgerecht pada masa lalu yang maksud pembentukannya adalah untuk mempercepat proses penyelesaian perkara melalui persidangan yang telah disederhanakan prosedurnya. Seolah tak sabar menunggu pemerintah dan DPR yang tidak kunjung melakukan amandemen atas ketentuan Pasal 364 KUHP dan pasal-pasal lainnya yang termasuk dalam kualifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven). Mahkamah Agung menempuh langkah darurat. Walaupun berada di luar kewenangannya Mahkamah Agung telah
melakukan amandemen atas ketentuan pasalpasal KUHP yang termasuk dalam kualifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven), tak terkecuali ketentuan Pasal 364 KUHP tentang pencurian ringan. Amandemen itu dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 002 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Denda Dalam KUHP (selanjutnya disebut PERMA Nomor 2 tahun 2012). Pasal 1 PERMA tersebut menyebutkan : “Kata-kata dua ratus lima puluh rupiah dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000.000,00 (dua juta lima ratus rupiah”. Dari ketentuan di atas jelaslah bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan untuk melipatkalikan nilai ekonomis barang yang menjadi obyek kejahatan pada tindak pidana-tindak pidana yang termasuk dalam klasifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven), tak terkecuali tindak pidana pencurian ringan. Dasar pertimbangan Mahkamah Agung melakukan amandemen tersebut tidak sepenuhnya sama dengan dasar pertimbangan pemerintah ketika melakukan pemberlakukan Undang-Undang Nomor 16/Perpu/1960, yakni di samping didasarkan pada alasan ekonomi, juga didasarkan pada alasanalasan tertentu lainnya. Secara rinci alasan-alasan itu antara lain adalah sebagai berikut : 1. Sejak tahun 1960 seluruh nilai uang yang ada dalam KUHP belum pernah disesuaikan dengan kondisi sekarang. 2. Agar penanganan perkara dalam KUHP yang termasuk dalam klasifikasi tindak pidana ringan (lichte misdrijven) dapat dilakukan secara proporsional, tanpa melalui penahanan dan menggunakan mekanisme acara pemeriksaan cepat. 3. Banyak perkara perkara pencurian di mana nilai ekonomis barang yang dicurinya 76
sangatlah kecil yang diadili di pengadilan mendapat sorotan masyarakat, karena ketentuan pidana yang diancamkan tidak sebanding dengan nilai barang yang dicurinya. 4. Banyak diadilinya perkara-perkara seperti yang disebutkan di atas, dirasa cukup membebani pengadilan, baik dari segi anggaran maupun dari segi persepsi publik terhadap pengadilan. 5. Penggunaan ketentuan Pasal 362 KUHP sebagai dasar untuk mendakwa pelaku pencurian di mana nilai ekonomis barang yang dicurinya sangatlah kecil tidaklah tepat. Seharusnya mereka lebih tepat didakwa dengan mempergunakan ketentuan Pasal 364 KUHP tentang pencurian ringan. 6. Jika mereka diperiksa dengan mempergunakan ketentuan Pasal 364 KUHP maka maksimum ancaman pidananya hanya tiga bulan dan selama proses persidangan mereka tidak perlu ditahan. Tidak tanggung-tanggung di dalam melipatkalikan nilai ekonomis barang yang menjadi obyek kejahatan pada tindak pidanatindak pidana yang termasuk dalam klasifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven) itu Mahkamah Agung telah melipatkalikannya hingga sepuluh ribu kali lipat. Hal ini bukanlah sebuah langkah yang tidak ada dasarnya. Untuk melakukan pelipatkalian itu Mahkamah Agung berpedoman pada harga emas yang berlaku pada tahun 1960. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Museum Bank Indonesia bahwa pada tahun 1959 harga emas murni per kilogramnya adalah Rp. 50.510,80 (lima puluh ribu lima ratus sepuluh rupiah). atau Rp. 50,51 (lima puluh rupiah lima puluh satu sen) per gramnya. Sementara itu harga emas per tanggal 3 Peburari 2012 adalah Rp. 509.000,00 (lima ratus Sembilan ribu rupiah) per gramnya. Berdasarkan hal ini maka perbandingan antara nilai emas pada tahun 1960 dengan nilai emas pada tahun 2012
adalah 1 berbanding 10.077. Atau dengan kata lain dibandingkan dengan tahun 1960, nilai emas pada tahun 2012 telah meningkat hingga mencapai sekitar 10.000 kali lipat. Berdasarkan kenyataan ini maka Mahkamah Agung melipatkalikan nilai nominal obyek tindak pidana pencurian ringan dan tindak pidana-tindak pidana lainnya yang termasuk dalam klasifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven) hingga sepuluh ribu kali lipat. Langkah MA ini kiranya kurang tepat, karena kenaikan harga barang tidak selalu berbanding lurus dengan kenaikan harga emas. Lagi pula harga emas tidak selalu stabil. Oleh karena itu cukup beralasan apabila ada yang menganggap bahwa penentuan angka nominal Rp. 2.500.000,00 pada ketentuan Pasal 1 PERMA Nomor 2 tahun 2012 sebagai suatu hal yang terkesan masih terlalu tinggi. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah menetukan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan, yakni terdiri dari : a. Undang-Undang Dasar tahun 1945 ; b. Ketetapan MPR ; c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ; d. Peraturan Pemerintah ; e. Peraturan Presiden f. Peraturan Daerah Propinsi ; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota. Jika dikaitkan dengan ketentuan di atas, maka Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tidak termasuk di dalamnya. Kedudukan PERMA pun tidak bisa disejajarkan dengan undangundang. Jadi sebenarnya PERMA tidak dapat dipergunakan untuk mengubah atau mengamandemen undang-undang. Amandemen undang-undang hanya dapat dilakukan dengan undang-undang. Dengan kata lain PERMA Nomor 2 tahun 2012 tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengubah/mengamandemen KUHP. Amandemen KUHP hanya dapat dilakukan melalui undang-undang. Dengan 77
demikian dapat dikatakan bahwa langkah Mahkamah Agung menerbitkan PERMA Nomor 2 tahun 2012 yang substansinya merubah KUHP merupakan langkah yang tidak tepat.
acara pemeriksaan biasa yang relatif memakan proses yang panjang dan membutuhkan waktu yang lama serta memungkinkan para terdakwanya ditahan.
Pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) UndangUndang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memang disebutkan bahwa peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung merupakan jenis peraturan perundang-undangan pula. Namun peraturan tersebut baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangannya. PERMA Nomor 2 tahun 2012 memang dibentuk berdasarkan kewenangan Mahkamah Agung RI. Namun pembentukan PERMA tersebut tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini KUHP.
3. Upaya penerapan ketentuan Pasal 364 KUHP tentang pencurian ringan kepada terdakwa kasus-kasus pencurian di mana nilai ekonomis barang yang dicurinya sangat kecil akan terbentur kendala, karena nilai nominal barang yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 364 KUHP jauh di bawah nilai nominal barang yang mereka curi ;
Mengingat bahwa langkah Mahkamah Agung menerbitkan PERMA Nomor 2 tahun 2012 merupakan langkah yang tidak tepat, maka Pemerintah bersama dengan DPR harus secepatnya melakukan amandemen atas ketentuan Pasal 364 KUHP dan pasal-pasal lainnya yang termasuk dalam kualifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven). Amademen itu harus dilakukan melalui suatu undang-undang.
4. Pemerintah dan DPR lamban di dalam mengambil langkah untuk melakukan amandemen atas ketentuan Pasal 364 KUHP dan pasal-pasal lainnya yang termasuk dalam kualifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven). 5. Langkah Mahkamah Agung melakukan amandemen atas ketentuan Pasal 364 KUHP dan pasal-pasal lainnya yang termasuk dalam kualifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven) dengan cara menerbitkan PERMA Nomor 2 tahun 2012 merupakan langkah yang tidak tepat, karena PERMA tidak mempunyai kedudukan yang setara dengan undang-undang.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut : 1. Penerapan ketentuan Pasal 362 KUHP pada proses peradilan terdakwa kasus-kasus pencurian dimana nilai ekonomis barang yang dicurinya sangat kecil tidaklah tepat.
6. Penggunaan harga emas sebagai pembanding di dalam menentukan nilai barang yang menjadi obyek kejahatan pada pasal-pasal KUHP yang termasuk dalam kualifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven) oleh PERMA Nomor 2 tahun 2012 merupakan langkah yang tidak tepat, karena tidak selalu kenaikan harga emas berbanding lurus dengan kenaikkan harga barang.
2. Penerapan ketentuan Pasal 362 KUHP pada proses peradilan terdakwa kasus-kasus pencurian di mana nilai ekonomis barang yang dicurinya sangat kecil berimplikasi pada harus dipergunakannya mekanisme
SARAN Sedangkan pada bagian akhir pada tulisan ini dikemukakan saran-saran sebagai berikut : 1. Pemerintah bersama DPR harus segera mengamandemen nilai barang yang menjadi 78
obyek kejahatan pada rumusan ketentuan Pasal 364 KUHP dan pasal-pasal lainnya yang yang termasuk dalam kualifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven). 2. Jika memerintah melakukan amandemen, maka penentuan nilai barang yang menjadi obyek kejahatan pada rumusan ketentuan Pasal 364 KUHP dan pasal-pasal lainnya yang yang termasuk dalam kualifikasi “tindak pidana enteng” (lichte misdrijven) harus disandarkan pada ukuran-ukuran tertentu yang wajar dan dapat dipahami oleh masyarakat.
Undang-Undang : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 16/Perpu/1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP). Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 002 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Denda Dalam KUHP
DAFTAR PUSTAKA : Chazawi, Adami, 2010, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang. Hadiati Koeswadji, Hermien, et. Al., 1984, Delik Harta Kekayaan, Asas-Asas, Kasus dan Permasalahannya, Sinar Wijaya, Surabaya. Lamintang, PAF, 1989 Delik-delik khusus kejahatan terhadap harta kekayaan, Sinar baru, Bandung. Prakoso, Djoko dan Edy Yunianto, 1946, Dualisme dalam Peraturan Hukum Pidana Sejak Berlakunya undangUndang Nomor 1 tahun 1946, Bina Aksara, Jakarta. Prodjodikoro, Wirjono, 2003, Tindak PidanaTindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Soesilo, R, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor. Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip, Semarang.
79