BAB III KEDUDUKAN PASAL 504 DAN PASAL 505 KUHP DALAM KAITANNYA DENGAN PASAL 34 UNDANG-UNDANG DASAR 1945
A. Tertib Hukum Negara Indonesia (Rechtsordnung) Mengenai tata urutan Peraturan Perundang-undangan diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 dan sekaligus merupakan koreksi terhadap pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan yang selama ini pernah berlaku yaitu TAP MPR No. XX Tahun 1966 dan TAP MPR No. III Tahun 2000. Untuk lebih jelasnya Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan tersebut adalah : 109 1. TAP MPRS No. XX Tahun 1966 Tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan RI: 1. UUD RI 1945 2. TAP MPR 3. UU/Perpu 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti : - Peraturan Menteri - Instruksi Menteri - dan lain-lainnya 2. TAP MPR No. III Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan: 1. UUD RI 1945 2. TAP MPR RI 3. UU 4. Perpu 5. Peraturan Pemerintah 109
Dikutip dari Bewa Ragawino, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, Hasil Penelitian di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung, Agustus Tahun 2005, hlm.14
Universitas Sumatera Utara
6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah 3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan: 1. UUD RI 1945 2. UU/Perpu 3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan Presiden 5. Peraturan Daerah: a. Perda Provinsi dibuat DPRD Provinsi dengan Gubernur b. Perda Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota c. Peraturan Desa/ Peraturan yang setingkat dibuat oleh BPD atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya. 4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: 1. UUD RI 1945 2. TAP MPR RI 3. UU/Perpu 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan Daerah Provinsi 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Ajaran
tentang
tata
urutan
peraturan
perundang-undangan
tersebut
mengandung beberapa prinsip berikut : 110 1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada dibawahnya. 2. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang tingkat lebih tinggi. 3. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 4. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat. 110
Ibid, hlm. 16
Universitas Sumatera Utara
5. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut. Selain itu, peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih umum. Konsekuensi penting dari prinsip-prinsip di atas adalah harus diadakannya mekanisme yang menjaga dan menjamin agar prinsip tersebut tidak disimpangkan atau dilanggar. Mekanismenya yaitu ada sistem pengujian secara yudisial atas setiap peraturan perundang-undangan, kebijakan, maupun tindakan pemerintah lainnya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau tingkat tertinggi yaitu UUD. Tanpa konsekuensi tersebut, tata urutan tidak akan berarti. Hal ini dapat menyebabkan peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah dapat tetap berlaku walaupun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi. 111 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia sebagai jantung dan jiwa negara. Undang-Undang Dasar suatu negara menberi tahu kita tentang apa maksud menbentuk negara, bagaimana cita-citanya dengan bernegara, apa yang ingin dilakukannya, serta asas-asas kehidupan yang terdapat didalamnya. Dengan UndangUndang Dasar, suatu negara sebagai sebagai komunitas memiliki tujuan yang jelas dan akan memandu menuju apa yang dicita-citakan. 112 Konstitusi adalah dokumen yang dihidupkan oleh keadilan. Konstitusi adalah sarana, bukan keadilan itu sendiri. Kehendak politik yang menciptakan konstitusi 111 112
Ibid, hlm. 17 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Op. Cit, hlm. 81
Universitas Sumatera Utara
harus diperhatikan karena kehendak politik adalah penciptaan sebuah tertib sosial berkeadilan. Kekuasaan terikat pada kehendak politik itu, bukan pasal-pasal mati konstitusi. 113 Undang-Undang Dasar sangat penting bagi penyelenggaraan hukum suatu negara. Oleh karena itu pada saat tertentu hukum perlu melihat panduan yang diberikan oleh undang-undang dasarnya. Hal tersebut terjadi, misalnya, pada saat hukum mengalami kebuntuan dan tidak tahu kemana harus melangkah. Pada saat itulah kita akan mencari dan menemukan asas-asas besar yang tersimpan dalam Undang-Undang Dasar. 114 Didalam negara Republik Indonesia ini terdapat banyak sekali peraturan hukum atau perundang-undangan, yang berbeda-beda pula tinggi dan rendahnya atau hierarkinya. Peraturan hukum yang jumlahnya amat banyak tersebut secara bersamasama merupakan apa yang dinamakan suatu tertib hukum atau legal order atau rechtsordnung, apabila memenuhi empat syarat tersebut: 115 a. Adanya kesatuan subjek (penguasa) yang mengadakan peraturan hukum b. Adanya kesatuan asas kerohanian yang meliputi dan mendasari seluruh peraturan hukum tersebut c. Adanya kesatuan daerah dimana keseluruhan hukum tersebut berlaku 113
Donny Gahral Adian, Hukum Tanpa Detak Keadilan, Harian Kompas Tgl. 23 Nopember
2009 114
Ibid, hlm. 82 Sunarjo Wreksosuhardjo, Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Andi Offset, 2005), hlm. 19 115
Universitas Sumatera Utara
d. Adanya kesatuan waktu dalam mana peraturan-peraturan hukum tersebut berlaku. Untuk memeriksa apakah empat unsur tersebut dipenuhi oleh seluruh peraturan hukum di Indonesia, marilah kita baca pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam alineanya yang keempat. Disana terdapat empat hal yang menunjukkan bahwa empat syarat bagi adanya suatu tertib hukum terpenuhi. Dengan adanya suatu pemerintah negara Indonesia, maka ada kesatuan subjek (penguasa), dengan adanya pancasila maka ada kesatuan asas kerohanian, dengan disebutkannya seluruh tumpah darah Indonesia maka ada kesatuan daerah, dengan disebutkannya “disusunlah kemerdekaan Indonesia” dalam bentuk negara maka timbullah suatu masa baru yang terpisah dari waktu yang lampau dan merupakan jangka waktu yang berlangsung lama. Peraturan-peraturan hukum yang ada didalam negara Republik Indonesia mulai saat berdirinya negara Republik Indonesia merupakan suatu tertib hukum. Undang-Undang Dasar merupakan sumber hukum dari semua peraturan hukum yang dibawahnya itu tidaklah merupakan peraturan hukum yang tertinggi. 116 Jika dihubungkan dengan ketentuan hukum pidana pasal 504 dan 505 maka apabila bertentangan dengan Undang-Undang Dasar maka peraturan tersebut tidak mengikat dan berdaya guna.
116
Ibid, hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
Pada prinsipnya mekanisme dan dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur dalam Undang-Undang Dasar. Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai suatu organisasi kekuasaan, maka UndangUndang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau sekumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan tersebut dibagi antara badan legislatif, eksekutif dan badan yudikatif. Juga sebagai pengontrol terhadap norma-norma hukum positif yang lebih rendah dalam hierarki tertib hukum Indonesia 117 Dalam menghadapi antinomi hukum (konflik antar norma hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu: 118 1. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan perundang-undangan yang ada kemudian mengalahkan peraturan perundangan-undangan yang ada terlebih dahulu. 2. Lex specialis derogat legi generali, peraturan perundang-undangan yang khusus mengalahkan peraturan perundang-undangan yang umum. 3. Lex superior derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dibawahnya. Pada saat menerapkan asas-asas tersebut, ditemukan beberapa masalah, yaitu: 119 1. Adakah hukum positif yang mengatur tentang hal itu; 2. Adakah ketentuan hukum positif yang justeru melemahkan asas-asas tersebut; 117
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2004), hlm. 178-179 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 90 119 Ibid, hlm. 90 118
Universitas Sumatera Utara
3. Apakah suatu aturan hukum itu batal demi hukum apabila peraturan tersebut diterapkan. Berdasarkan uraian diketahui bahwa dalam indentifikasi aturan hukum sering kali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas. Seperti penerapan aturan hukum mengenai gelandangan dan pengemis dalan hukum pidana dengan penghukuman sebagai solusi dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan, serta pengaturan gelandangan dan pengemis dalam tataran Undang-Undang Dasar 1945 yang secara hukum dinyatakan dilindungi dan diayomi sebagai bentuk perlindungan negara terhadap masyarakatnya. Mengenai hierarkhi perundang-undangan Adolf Merkel murid dari Hans Kelsen dalam teorinya Stufenbau des Recht, mengatakan bahwa ajaran ini mengutamakan adanya hierarkhi perundang-undangan yang harus ditaati, dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum yang lainnya yang pada ujungnya bersumber seluruhnya pada suatu grundnorm atau norma dasar yang hipotetis. 120 Melihat penerapan hukum di Indonesia, aliran positivisme cukup banyak mempengaruhi sistem hukum, baik yang telah ada sebelumnya maupun produk hukum yang lahir di era reformasi. Salah satu pengaruh dari ajaran Kelsen yang 120
Deni Bram, Tinjauan Teori Hukum Kehadiran Mahkamah Konstitusi Di Indonesia Dalam Jurnal Themis Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Vol. 2 No. 1 Oktober 2007, hlm. 90
Universitas Sumatera Utara
terlihat dalam sistem hukum di Indonesia yaitu dengan dikenalnya suatu tata urutan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang tampilan luarnya merujuk pada stufenbau theory, norma-norma ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 letaknya diatas undang-undang, sedangkan peraturan pelaksanaan untuk undang-undang harus sesuai dengan undang-undang yang dimaksud. 121 Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (1) menegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal 34 ayat (1) tersebut yang selanjutnya diikuti dengan 2 dan 3 ayat, yang merupakan pasal yang mengatur kesejahteraan sosial. Pasal tersebut juga bermakna kewajiban negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk melakukan usaha yang maksimal guna mensejahterahkan masyarakatnya sebagai suatu tanggung jawab negara terhadap warga negara. 122 Pengertian ‘tanggung jawab’ yang dipakai Magnis Suseno berbicara tentang tanggung jawab positif (positive responsibility), padahal yang tidak kalah penting, adalah juga tanggung jawab negatif (negative responsibility) dari negara. Secara sederhana, tanggungjawab positif mengharuskan kita melakukan sesuatu yang baik bagi orang lain, sementara tanggung jawab negatif mengharuskan kita tidak 121
Ibid, hlm. 91 Demikian juga halnya didalam prinsip persamaan didepan hukum dan hak untuk dibela oleh advokat (acces to legal counsel) merupakan hak asasi manusia yang perlu dijamin untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat di bidang hukum, bagi mereka yang disangka dan didakwa melakukan tindak pidana wajib diberi perlindungan hukum yang sewajarnya. Lihat Riza Nizarli dalam Jurnal Suloh Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Bantuan Hukum Bagi Orang Yang Tidak Mampu Dalam Perkara Pidana, Vol. II. 1 April 2004, hlm. 1 122
Universitas Sumatera Utara
melakukan sesuatu yang buruk atau membahayakan orang lain. Dengan melakukan tanggung jawab positif, negara berarti memang melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, misalnya, memberikan bantuan atau pertolongan, untuk rakyat yang miskin. 123 Perlindungan sosial dan hukum terhadap pengemis dan gelandangan sudah pada tahap mengkhawatirkan, karena kriminalitas baru dapat timbul dari kesewenang-wenangan
pemerintah
dalam
menerapkan
kebijakan
mengenai
kesejahteraan masyarakat. Tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan di dalam masyarakat. Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum. Agar supaya tercipta suasana yang aman dan tenteram di dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan termaksud harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas. Sehingga, hukum itupun dipandang sebagai suatu bagian dari realitas sosial yang bertalian erat sekali dengan faktor-faktor sosial lainnya. Hukum di satu sisi adalah merupakan hasil dari interaksi berbagai kekuatan sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya dan sebagai bagian dari realitas sosial yang juga dapat menimbulkan pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. 124 Penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan ketertiban, kepastian hukum serta rasa keadilan dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa 123
Agus Wahyudi, Moralitas, Keadilan dan Peran Negara: Masalah Pengalihan Subsidi, Majalah Flamma, Institute For Research And Empowerment (ire), Yogyakarta, Edisi 23, Volume 10, April 2005 124 Jurnal.unhalu.ac.id./download Fenomena PenegakanSupremasi Hukum Pada Pemilihan Umum Pasca Penetapan Calon legislatif tahun 2009/m.satria, Diakses Tgl. 18 Oktober 2010
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan pengayoman dan perlindungan akan hak-haknya. Selain itu juga, penegakan hukum bertujuan pula untuk mengamankan pembangunan dan hasilhasilnya. Penerapan dan penegakan hukum dilakukan dengan menata dan menyempurnakan kembali fungsi dan peranan organisasi lembaga hukum, profesi serta badan peradilan, membina sikap perilaku, kemampuan dan keterampilan aparatur negara terutama para penegak dan pelaksana hukum, maka penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaedah-kaedah atau pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan social engineering, memelihara dan mempertahankan (social control) kedamaian pergaulan hidup. Sehingga dengan demikian, sistem penegakan hukum yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai-nilai dengan kaedahkaedah, serta dengan perilaku nyata dari manusia. Dalam teori hukum dibedakan tiga macam hal berlakunya hukum, yakni: Pertama, Hal berlakunya secara yuridis. Ada tiga pendapat yang menyatakan bahwa hukum itu mempunyai kelakuan yuridis, antara lain: Pertama, Hans Kelsen menyatakan bahwa apabila penentuannya berdasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya. Kedua, W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai kelakukan yuridis, jikalau kaedah tersebut berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan. Ketiga, Logemann, maka kaedah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya, Kedua, Hal berlakunya hukum secara sosiologi dilihat dari efektifitas hukum. Dalam hal
Universitas Sumatera Utara
berlakunya hukum secara sosiologis dapat dilihat dari dua teori yang ada, yaitu: Pertama, teori kekuasaan, bahwa hukum berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa. Kedua, Teori pengakuan, yang mengatakan bahwa kemandirian atau pendirian, dimana hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa hukum tadi tertuju, Ketiga, Hal berlakunya hukum secara filosofis. Artinya, bahwa hukum itu harus sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi. 125 Melihat kenyataan bahwa hukum merupakan produk politik dan isinya lebih banyak ditentukan oleh pemegang kekuasaan politik yang terbesar, maka sangat mungkin produk hukum itu lebih merupakan formalisasi dari kehendak pemegang kekuasaan politik yang inkonsistensi dengan hukum dasarnya. Oleh sebab itu perlu adanya hak uji (judicial review) materi terhadap aturan gelandangan dan pengemis dalam KUHP dan Undang-Undang Dasar 1945. Judicial review ini akan mengawal setiap produk peraturan perundangundangan agar konsisten dengan peraturan yang lebih tinggi dan pada tingkatannya paling tinggi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila baik sebagai cita hukum maupun sebagai staatsfundamentalnorm. Prinsip yang penting judicial review ini diperlukan untuk menjamin konsistensi peraturan perundang-undangan dengan peraturan dasarnya atau untuk membangun tertib hukum sesuai dengan tuntutan Pancasila sebagai dasar, ideologi, cita hukum dan staatsfundamentalnorm. 126 125 126
M. Satria, Ibid Mahfud MD, Op. Cit, hlm. 60-61
Universitas Sumatera Utara
Jika politik hukum diartikan sebagai arahan atau kebijakan hukum (legal policy) yang harus dijadikan pedoman untuk membangun atau menegakkan sistem hukum yang di inginkan. Maka judicial review dapat dipandang sebagai salah satu instrumen untuk menjamin ketepatan arah atau sebagai pengawal ketepatan isi dalam pembuatan hukum. Judicial review adalah pengujian isi peraturan perundangundangan oleh lembaga yudisial yang dapat member pengertian spesifik ke dalam judicial review dan constitutional review. Judicial review secara umum adalah pengujian oleh lembaga yudisial atas peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (di sini mencakup kompetensi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi), sedangkan constitutional review adalah pengujian oleh lembaga yudisial khusus untuk konsistensi UU terhadap UUD (disini yang dimaksud adalah khusus kompetensi Mahkamah Konstitusi yang merupakan bagian dari judicial review dalam arti umum. Dalam keinginan untuk membangun dan menegakkan sistem hukum tertentu, setiap langkah pembentukan hukum dalam semua hierarkinya (peraturan perundangundangan) harus sesuai dengan desain tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum itu. Dasar-dasar dari sistem hukum tersebut biasanya diletakkan di dalam UUD atau konstitusi. Jika ada isi peraturan perundang-undangan yang salah atau menyimpang dari UUD, maka harus ada cara untuk membenarkannya, dan salah satu cara untuk membenarkannya adalah setiap produk hukum harus sesuai dengan sistem hukum yang hendak di bangun adalah judicial review, yakni pengujian oleh lembaga yudisial atas suatu peraturan perundang-undangan: apakah ia sejalan atau
Universitas Sumatera Utara
tidak dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih tinggi. Dan lembaga yudisial berhak mengatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan batal atau dibatalkan karena isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tingi. Di sinilah letak judicial review dalam politik hukum nasional. 127 Untuk menggagas bagaimana Indonesia berhukum, maka haruslah berangkat dari perspektif kolektif dalam struktur sistem peradilan sehingga membentuk konstruksi sebagai suatu kesatuan yang searah kepada sasaran tertentu. Sasaran tertentu itu tidak melenceng yang secara eksplisit disebutkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa dalam membentuk pemerintahan negara Indonesia adalah yang bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana nilai-nilai tersebut sudah mengristal bagi seluruh bangsa Indonesia dan tidak boleh sedikit pun menyimpang dari nilai-nilai tersebut dalam menjalankan hukum di Indonesia. 128 Asas keadilan sosial dalam Pancasila harus dijadikan dasar kehidupan manusia dalam hubungan sosial, maka keadilan sosial (social justice) mendapat tempat sebagai asas atau dasar, atau prinsip dalam kehidupan sosial atau kehidupan bersama
antar
warga
masyarakat
berkembang
nilai
keadilan
yang
dimasyarakatkan. 129 Jadi tertib hukum Indonesia bersumberkan pada Pancasila yang 127
Mahfud MD, Op. Cit, hlm. 122-123 Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.7-8 129 M. Solly Lubis, Sistem Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 21 128
Universitas Sumatera Utara
dirumuskan dalam UUD 1945, sehingga dalam pelaksanaannya hukum harus dijadikan sebagai fondasi penegakan hukum. B. Harmonisasi Hukum
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa dalam negara hukum, maka konstitusi (baca: UUD 1945) harus menjadi acuan dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara. Dalam hal ini, maka sistem pemerintahannya perlu menghadirkan adanya suatu tata hukum, yang menjadi bingkai norma-norma hukum agar saling terkait dan tersusun menjadi sebuah sistem. Di mana setiap norma hukum dalam sistem tersebut tidak boleh mengesampingkan atau bahkan bertentangan norma hukum yang lainnya. 130
Dengan demikian dalam negara hukum, sistem hukumnya harus tersusun dalam tata norma hukum secara hirarkis dan tidak boleh saling bertentangan di antara norma-norma hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga jika terjadi konflik antar norma-norma tersebut maka akan tunduk pada norma-norma logisnya, yakni norma-norma dasar yang ada dalam konstitusi.
Karakteristik dari norma hukum yang bersumber pada norma dasar itu meliputi prinsip konsistensi dan legitimitas. Di mana suatu norma hukum tetap akan berlaku dalam suatu sistem hukum sampai daya lakunya diakhiri melalui suatu cara yang ditetapkan dalam sistem hukum, atau digantikan norma lain yang diberlakukan 130
http://djjp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/64-politik-hukum-perundang-undangan.html. diakses Tgl. 14 Pebruari 2011
Universitas Sumatera Utara
oleh sistem hukum itu sendiri. Dalam karakteristik tersebut maka berlaku prinsipprinsip, antara lain lex posterior derogate legi priori (norma hukum yang baru membatalkan norma hukum yang terdahulu), lex superior derogate legi inferiori (norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya membatalkan norma hukum yang lebih rendah), dan lex specialis derogate legi generalis (norma hukum yang bersifat khusus membatalkan norma hukum yang bersifat umum). Dengan demikian harmonisasi setiap peraturan perundang-undangan sangat diperlukan dalam rangka penegakan hukum. 131
Pembangunan materi hukum (legal substance) atau peraturan perundangundangan di Indonesia hingga kini terus berlansung (never ending process) karena peraturan perundang-undangan merupakan salah satu sendi utama dari sistem nasional, namun demikian masih saja ditemukan perundang-undangan bermasalah baik karena substansi, proses dan prosedur, maupun aspek legal drafting-nya. Paling tidak ada tiga permasalahan utama di bidang ini yaitu: (a) tumpang tindih dan inkosistensi perundang-undangan; (b) perumusan perundang-undangan yang kurang jelas; (c) implementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksanaanya. 132
Sedangkan yang dimaksud harmonisasi peraturan perundang-undangan ialah upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan dan keserasian asas dan sistem 131
Ibid Ahmad M. Ramli, Koordinasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan Pada Semiloka Keselamatan dan Kesehatan Kerja 2008 diselenggarakan oleh Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Jakarta Tanggal 11-13 Maret 2008, hlm. 1 132
Universitas Sumatera Utara
hukum sehingga menghasilkan peraturan/sistem hukum yang harmonis. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) memberikan pengertian bahwa harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis, maupun yuridis. Dalam pelaksanaannya kegiatan harmonisasi adalah pengkajian yang konfrehensif terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk apakah rancangan peraturan tersebut dalam berbagai aspek telah mencerminkan keselarasan atau kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan nasional lain, dengan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat atau konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia. 133
Harmonisasi hukum dalam pergertian yang lain diartikan sebagai upaya atau proses penyesuaian asas dan sistem hukum, agar terwujud kesederhanaan hukum, kepastian hukum dan keadilan. Harmonisasi hukum sebagai suatu proses dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mengatasi hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundangundangan, sehingga terbentuk peraturan perundang-undangan nasional yang
133
Ibid, hlm. 4-5
Universitas Sumatera Utara
harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan konsisten, serta taat asas. 134
Langkah sistemik harmonisasi hukum nasional, bertumpu pada paradigma Pancasila dan UUD 1945 yang melahirkan sistem ketatanegaraan dengan dua asas fundamental, asas demokrasi dan asas negara hukum yang diidealkan mewujudkan sistem hukum nasional dengan tiga komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum beserta kelembagaannya, dan budaya hukum. Langkah sistemik tersebut di satu sisi dapat dijabarkan dalam harmonisasi peraturan perundang-undangan dan di sisi lain diimplementasikan dalam rangka penegakan hukum. 135
Ada 3 (tiga) alasan mengapa perlu dilakukan pengharmonisasian hukum peraturan perundang-undangan, yaitu: 136
1. Undang-undang sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan merupakan subsistem dari sistem hukum nasional. Sebagai salah satu subsistem dari sistem yang lebih besar, peraturan perundang-undangan harus ada saling keterkaitan dan saling ketergantungan serta merupakan satu kebulatan yang utuh dengan subsistem yang lain;
134
http://kgsc.wordpress.com/2010/02/07/gaya-moral-penegakan-hukum-yang-baik/, diakses Tgl. 14 Pebruari 2011 135 Ibid 136 Ahmad M. Ramli, Koordinasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Op.Cit, hlm. 10-11
Universitas Sumatera Utara
2. Undang-undang dapat di uji (judicial review) baik secara materil maupun formil. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 c ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia, antara lain berwenang menguji undang-undang dengan Undang-Undang Dasar, berhubung dengan itu, pengharmonisasian
peraturan
fungsinya
upaya
sebagai
perundang-undangan
preventif
untuk
sangat
mencegah
strategis
diajukannya
permohonan pengujian peraturan perundang-undangan kepada kekuasaan kehakiman yang kompeten. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan bahwa suatu materi muatan pasal, ayat dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan tidak
mempunyai
kekuatan
hukum
mengikat atau tidak mempunyai dampak yuridis, sosial dan politis yang luas, karena pengharmonisasian hukum perlu dilakukan dengan cermat. 3. Menjamin proses pembentukan perundang-undangan dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum.
Melalui
harmonisasi
hukum,
akan
terbentuk
sistem
hukum
yang
mengakomodir tuntutan akan kepastian hukum dan terwujudnya keadilan. Begitu pula dalam hal penegakan hukum, harmonisasi hukum akan dapat menghindari tumpang tindih bagi badan peradilan yang melakukan kekuasaan kehakiman, dengan badan-badan pemerintah yang diberi wewenang melakukan fungsi peradilan menurut peraturan perundang-undangan. Dasar dan orientasi dalam setiap langkah harmonisasi hukum adalah tujuan harmonisasi, nilai-nilai dan asas hukum, serta tujuan hukum itu
Universitas Sumatera Utara
sendiri, yakni harmoni antara keadilan, kepastian hukum dan sesuai tujuan (doelmatigheid). Pada akhirnya, pelaksanaan penegakan hukum perlu memperhatikan aktualisasi tata nilai yang terkandung dalam konstitusi dan prinsip-prinsip penegakan hukum yang baik (good law enforcement governance). 137
C. Penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional Sebagai Wujud Perlindungan Masyarakat (Sosial Defence) Direktur utama PT. Jamsostek (Persero) Hotbonar Sinaga, yang juga ketua juga Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia, mengingatkan bahwa jaminan sosial berbeda dengan bantuan sosial. Hingga kini Indonesia belum melaksanakan jaminan sosial sesuai prinsip perlindungan sosial. Ketua YTKI (Yayasan Tenaga Kerja Indonesia), Awaloeddin Djamin prihatin jaminan sosial Indonesia tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, bahkan Vietnam. 138 Jaminan sosial berasal dari kata sosial dan security kata sosial menunjuk pada istilah masyarakat atau orang banyak (society). Sementara security diambil dari bahasa latin securus yang bermakna “se” (pembebasan atau liberation) dan “curus” yang berarti kesulitan atau uneasiness. Dengan demikian, jaminan sosial secara
137 138
http://kgsc.wordpress.com/2010/02/07, Op. Cit Harian Kompas, Tgl. 19 Oktober 2010, hlm.17
Universitas Sumatera Utara
harfiah adalah pembebasan kesulitan masyarakat atau upaya untuk membebaskan masyarakat miskin. 139 Di Indonesia telah lama diselenggarakan program jaminan sosial yaitu oleh PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen, PT. Asabri, Badan Pelaksana jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) dan berbagai program jaminan sosial mikro, tetapi terbatas pada pekerja sektor formal. Badan-badan penyelenggaraan tersebut beroperasi secara parsial masing-masing berlandaskan undang-undang atau peraturan-peraturan yang terpisah, tumpang tindih, tidak konsisten, dan kurang tegas. Sementara itu, diketahi bahwa manfaat yang diterima peserta masih terbatas sehingga peserta tidak terlindungi secara optimal. Pengelolaan lembaga belum transparan dan dengan manajemen yang profesionalitasnya masih perlu ditingkatkan. Pengertian jaminan sosial mencakup aspek hukum, aspek politik dan aspek ekonomi. Aspek hukum jaminan sosial berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk melaksanakan amanat Pasal 5 ayat (2), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), (2), dan (3), Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu sistem perlindungan dasar bagi masyarakat terhadap berbagai resiko sosial ekonomi. Aspek politik jaminan sosial adalah upaya pembentukan negara kesejahteraan yang merupakan keinginan politik dari pemerintah. Aspek ekonomi jaminan sosial terkait dengan redistribusi pendapatan melalui mekanisme kepesertaan wajib dan implementasi uji kebutuhan untuk keadilan. Sistem jaminan sosial diperlukan untuk ketahanan negara dan 139
Emir Soendoro, Op.Cit, hlm. 50
Universitas Sumatera Utara
sekaligus peningkatan daya beli masyarakat agar terwujud daya beli masyarakat dalam jangka panjang. Jaminan
sosial
merupakan
salah
bentuk
perlindungan
sosial
yang
diselenggarakan negara guna menjamin hak warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak, sebagaimana dalam Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Tahun 1948 dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 102 Tahun 1952. Pengertian jaminan sosial menurut International Labour Organization (ILO) pada tahun 1998 adalah perlindungan yang diberikan oleh masyarakat untuk masyarakat melalui seperangkat kebijaksanaan publik terhadap tekanan-tekanan ekonomi sosial bahwa jika tidak diadakan system jaminan sosial akan menimbulkan hilangnya sebagian pendapatan sebagai akibat sakit, persalinan, kecelakaan kerja, sementara tidak bekerja, hari tua dan kematian dini, perawatan medis termasuk pemberian subsidi bagi anggota yang membutuhkan. Tiga pilar yang mendasari sistem jaminan sosial yaitu: 140 1. Bantuan/pelayanan sosial, sistem ini didanai dari sumber pajak oleh negara atau sumbangan dari pihak yang mempunyai status ekonomi yang kuat;
140
Emir Soendoro, Op.Cit, hlm. 52
Universitas Sumatera Utara
2. Tabungan wajib, setiap orang diwajibkan menabung untuk dirinya sendiri (provident fund) sebagaimana yang telah dilaksanakan dalam program jaminan hari tua Jamsostek atau program jaminan pensiun Taspen; 3. Asuransi sosial, dimana setiap peserta membayar iuran atau membayar premi yang sifatnya wajib. Bisa juga premi/iuran atau dibayarkan oleh pihak lain atau oleh pemerintah, bagi mereka yang miskin. Sistem asuransi sosial ini paling baik, karena dana yang terkumpul memadai, dan tahan lama, sehingga paling banyak digunakan didunia. Sebagai sistem perlindungan dasar untuk masyarakat pekerja termasuk masyarakat luas yang mengalami musibah atau kemalangan baik yang disebabkan karena peristiwa yang berhubungan dengan kejadian industri misalnya kecelakaan kerja atau diluar hubungan industri seperti kemiskinan, maka manfaat jaminan sosial mencakup: pertama, santunan tunai untuk dukungan pendapatan pencari nafkah utama; kedua, kompensasi finansial untuk khusus kecelakan kerja dan kematian dini; ketiga, manfaat pelayanan kesehatan dan pemberian bantuan. Secara konseptual jaminan sosial beranjak dari amanat dan makna Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (3) yang menyebutkan bahwa: setiap orang mempunyai hak dasar untuk mendapatkan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya (basic living need) untuk mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Didalam pasal ini jelas
Universitas Sumatera Utara
dikatakan bahwa tidak adanya diskriminasi baik seseorang sebagai pengemis dan gelandangan dimata hukum, semua mempunyai hak yang sama serta perlindungan hukum yang sama pula. 141 Juga disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (2) menyebutkan bahwa: negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat serta memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta tercapainya kesejahteraan sosial. Jadi, Jaminan sosial tersebut tidak terbatas pada pekerja, pegawai negeri sipil, pejabat negara dan TNI/Polri. Kesejahteraan sosial dalam berbagai bentuk kegiatan meliputi semua bentuk intervensi sosial, terutama ditujukan untuk meningkatkan kebahagiaan atau kesejahteraan individu, kelompok, maupun masyarakat sebagai keseluruhan. Dapat pula menncakup upaya dan kegiatan-kegiatan yang secara langsung ditujukan untuk penyembuhan, pencegahan masalah sosial, misalnya masalah kemiskinan, penyakit dan disorganisasi sosial, serta pengembangan sumber-sumber manusia. Melihat konsepsi kesejahteraan sosial, ternyata masalah-masalah sosial dirasakan berat dan menganggu perkembangan masyarakat, sehingga diperlukan sistem pelayanan sosial
141
Emir Soendoro, Op.Cit, hlm. 53-54
Universitas Sumatera Utara
yang lebih teratur. Dalam hal ini berarti bahwa tanggung jawab pemerintah semakin perlu ditingkatkan bagi kesejahteraan warga masyarakatnya. 142 Dalam membicarakan kesejahteraan masyarakat secara luas, maka tidak dapat dilepaskan dari peranan pemerintah. Pemerintah selaku penyelenggara negara sebenarnya mempunyai berbagai peran, diantaranya ada lima peran yaitu: 143 1. Selaku penyelenggara administrasi negara (administrator) 2. Selaku regulator 3. Selaku kreditor 4. Selaku pemegang saham 5. Selaku pemberi kerja Selaku Administrator, pemerintah terlibat dengan seluruh penduduk yang merupakan warganegara dan melaksanakan semua aktifitas penyelenggara negara sesuai dengan fungsinya, baik dibidang bisnis maupun kepemerintahan, dalam kaitannya dengan kesejahteraan yang menyangkut warganegara, maka pemerintah harus menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat umum, maka pemerintah mempunyai tugas untuk menyediakan fasilitas jaminan sosial dasar seperti yang telah
142
M. Fadhil Nurdin, Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial, (Bandung: Angkasa, 1990), hlm.
27-28 143
Achmad Subianto, Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pilar Penyangga Kemandirian Perekonomian Bangsa), ( Jakarta: Gibon Books, 2010), hlm. 269-270
Universitas Sumatera Utara
diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945. Diberbagai negara, hal ini diimplementasikan dalam bentuk social security system (SSS). 144 Konteks jaminan sosial memang tidak dapat dilepaskan dari peranan pemerintah selaku administrator. Untuk itu, pemerintah selain melaksanakan berbagai aktifitas pelayanan publik dan program bantuan sosial, juga wajib membentuk badan penyelenggara jaminan sosial. Sebenarnya, pemerintah telah memperhatikan jaminan sosial, tapi baru sebatas untuk pekerja perusahaan. Badan yang telah dibentuk adalah PT. Jamsostek yang memberikan pelayanan jaminan sosial hanya untuk tenaga kerja perusahaan dan belum meliputi seluruh masyarakat. Padahal, jaminan sosial dasar bagi seluruh rakyat, itu wajib dilakukan oleh pemerintah sebagai amanat UndangUndang Dasar 1945. 145 Praktek yang berkembang selama ini ternyata sistem jaminan sosial belum menyentuh kepada fakir miskin, gelandangan dan pengemis. kepedulian dan kepekaan akan nasib anak bangsa sekan menjadi semboyan di setiap kampanyekampanye yang berlangsung dinegeri ini. Untuk tercapainya ketertiban dan keharmonisan dalam suatu negara maka harus ada pengaturannya, apakah itu tertuang dalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keppres dan sebagainya. Agar semua tetap berada dalam suatu keharmonisan, maka pemerintah bertindak selaku Regulator dengan mengeluarkan
144 145
Ibid, hlm 270 Ibid, hlm 270-271
Universitas Sumatera Utara
berbagai aturan sehingga kehidupan kenegaraan, kemasyarakatan dan usaha dapat berjalan dengan baik, sejahtera dan berkeadilan. Dalam hal tertentu pemerintah kerap kali bertindak dengan memberikan pendanaan atau Kreditor bagi suatu proyek atau usaha untuk masyarakat luas dengan mengeluarkan pinjaman baik dalam bentuk pinjaman lunak maupun komersial. Dalam hal pemberi kerja yang berkewajiban untuk (antara lain) menyelenggarakan kesejahteraan bagi para pegawainya, yakni PNS, TNI dan Polri serta aparatur negara lainnya. Dalam aktifitas tertentu, pemerintah juga sering menyelenggarakan aktifitas usaha yang semula merupakan bagian dari aktifitas pelayanan kepada masyarakat. Dengan pembentukan badan usaha yang dikenal sebagai BUMN, pemerintah bertindak sebagai Pemegang Saham. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan usaha perasuransian, negara memiliki beberapa BUMN yaitu: 1. PT. Taspen 2. PT. Asabri 3. PT. Askes 4. PT. Jasa Rahardja 5. PT. Jiwasraya, dan lain-lain. Sebagai suatu sistem, sistem jaminan nasional dapat memberikan energi bagi setiap warga negara dan penduduk dari suatu negara untuk membangun cita-cita negaranya menuju masyarakat yang adil dan makmur. Kenyataan membuktikan
Universitas Sumatera Utara
bahwa suatu jaminan sosial yang merupakan suatu sistem yang dibangun secara mikro maupun makro, akan berdampak positif bagi kehidupan setiap orang dari suatu negara, dan sekaligus membangkitkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat dan negara yang bersangkutan. Pengelolaan jaminan sosial yang sesuai dibangunnya sistem jaminan sosial akan membawa suatu negara ke arah kemakmuran serta dapat mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. 146 Sistem jaminan sosial yang dibangun atas dasar niat dan keinginan yang baik dari orang perorangan, yang dikelola secara amanah dan benar, itu akan memberikan manfaat yang signifikan bagi negara dan masyarakat yang bersangkutan. Melalui penempatan dana yang terkumpul secara berjamaah (kolektif) dan berakumulasi dalam bentuk tabungan, iuran atau premi, akan menjadi tabungan jangka panjang nasional dalam jumlah yang sangat besar yang merupakan bagian dari cadangan keuangan nasional negara. 147 Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatakan: 1) Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada badan penyelenggara jaminan sosial; 2) Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan orang tidak mampu; 3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 146 147
Achmad Subianto, Op. Cit, hlm. 86 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pasal 17 ayat 4 disebutkan: “iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang tidak mampu dibayar oleh pemerintah”. Penduduk miskin sebagai objek jaminan sosial. Penduduk miskin adalah sebagai obyek utama dalam perlindungan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kewajiban negara untuk melindungi orang-orang jompo termasuk anak-anak terlantar sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan harus berkelanjutan dan ditindak lanjuti dengan berbagai program pemberdayaan. 148 Melihat konsepsi kesejahteraan sosial, ternyata masalah-masalah sosial dirasakan berat dan menganggu perkembangan masyarakat, sehingga diperlukan sistem pelayanan sosial yang lebih teratur. Dalam hal ini berarti bahwa tanggung jawab pemerintah harus ditingkatkan bagi kesejahteraan warga masyarakatnya. 149 Menurut ajaran kesejahteraan demokrasi, kemakmuran dan membaiknya tingkat pendidikan akan menumbuh sikap kritis anggota masyarakat. 150 dan apa yang diharapkan rakyat sebenarnya sedehana yaitu kesejahteraan, bukan kesejahteraan para 148
Emir Soendoro, Op.Cit, hlm. 126 Walter A. Friendlander, Introduction To Social Welfare: Principles And Practice, Thomas. Y. Crowell., New York, 1965 dalam M. Fadhil Nurdin, Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial, (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 29 Kesejahteraan Sosial adalah sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan sekelompok untuk mencapai kehidupan yang standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakatnya. tujuan sistem tersebut ialah untuk mencapai tingkat kehidupan yang sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan (perumahan), kesehatan, dan juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya. 150 Rahman Mulyawan, dkk, Sosialisasi Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum Daerah Secara Langsung Bagi Tokoh Masyarakat Dan Aparat Desa Didesa Karang Tengaj Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut Dalam Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Padjadjaran Bandung, Vol. 16 No. 10 Juni 2006, hlm. 41 149
Universitas Sumatera Utara
pemimpinnya saja, kesejahteraan umum yang dicita-citakan oleh kita semua, tentunya tidak akan pernah terwujud ketika bangsa ini tidak memahami pijakan untuk berjalan. 151 Semestinya hal ini tidak perlu terjadi kalau seluruh lembaga negara yang ada, benar-benar mau menjalankan peran dan fungsi sebagaimana yang telah dimandatkan oleh undang-undang. Fenomena kemiskinan dan pengangguran sejatinya merupakan ironi bagi bangsa ini, Indonesia memiliki aneka sumber daya alam yang sangat melimpah, tidak hanya unggul dalam hal kualitas namun juga kuantitas, tapi karena salah kelola, rakyat tidak menikmati kekayaan itu, yang pada akhirnya banyak masyarakat menjadi pengemis dan gelandangan. Kita bukan bangsa yang anti asing, justru semua pihak harus bekerja sama untuk mencapai cita-cita kesejahteraan. Namun, yang paling utama adalah mendasarkan semua keputusan politik pada kepentingan nasional. Dalam banyak kasus, undang-undang yang ada hanya menguntungkan pihak asing saja apalagi sering kali mereka menjadi sponsor pembuatan undang-undang tersebut. Semua itu menunjukkan bahwa hampir seluruh aturan main di negara ini tak lepas dari cengkraman pihak asing. Dengan kata lain, produk kebijakan yang dihasilkan oleh elit dimasa lalu dan kini banyak yang keluar dari haluan Undang-Undang Dasar 1945.
151
Fadli Zon, Haluan Baru Pemimpin Baru, dalam Majalah Tani Merdeka (Media Komunikasi Petani), Edisi 9 Juli-Agustus 2008, hlm. 58-59
Universitas Sumatera Utara
Spirit yang ada bukan lagi spirit pembangunan nasional, melainkan spirit kepentingan asing yang menempel pada diri pemimpin bangsa ini. 152 Perlu diingat bahwa negara Indonesia tidak dibangun atas paham individualisme yang merupakan akar dari kepastian hukum. Negara ini dibangun atas paham kemanusiaan diatas dasar Pancasila yang justeru mempersatukan kita. Berhukum dalam pancasila berarti menjadikan Pancasila sebagai dasar filosofi implementasi hukum di tanah air. 153 Dari sudut sejarah hukum, suatu bangsa memasuki tahap negara kesejahteraan ditandai dengan berkembangnya hukum melindungi pihak yang lemah. 154 Dengan adanya peranan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan indonesia diharapkan juga akan tersedia dana yang lebih wajar, 155 untuk menunjang pembangunan dalam penanganan gelandangan dan pengemis. Permasalahan kesejahteraan yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. akibatnya, masih ada
152
Ibid, hlm. 59 John Im Pattiwael, Hukum Untuk Si Miskin, Harian Kompas tgl. 15 Februari 2010 154 Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dindonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Disampaikan Dalam Rangka Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia (1950-2000) Kampus UI-Depok Tgl. 5 Februari 2000 155 Sofian Effendi.dkk, Membangun Martabat Manusia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 190 153
Universitas Sumatera Utara
warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat. 156 Pasal 1 Undang-undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, mendefinisikan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Selanjutnya pasal
4
menyebutkan:
“Negara
bertanggungjawab
atas
penyelenggaraan
kesejahteraan sosial”. Pasal 5 menyebutkan: 1) Penyelenggaran kesejahteraan sosial ditujukan kepada: a. Perseorangan; b. Keluarga; c. Kelompok; dan/atau d. Masyarakat. 2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki criteria masalah sosial: a. Kemiskinan; b. Ketelantaran; c. Kecacatan; d. Keterpencilan; e. Ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; 156
Penjelasan Umum dari Undang-undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial
Universitas Sumatera Utara
f. Korban bencana; dan/atau g. Korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Penjelasan Pasal 7 menyatakan bahwa, seseorang yang mengalami disfungsi sosial antara lain penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, tuna susila, gelandangan, pengemis, eks penderita penyakit kronis, eks narapidana, eks pecandu narkotika, pengguna psikotropika sindroma ketergantungan, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), korban tindak kekerasan, korban bencana, korban perdagangan orang, anak terlantar, dan anak dengan kebutuhan khusus. Pasal 25 menyatakan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi: a. Merumuskan kebijakan dan program penyelenggaraan kesejahteraan sosial; b. Menyediakan akses penyelenggaraan kesejahteraan sosial; c. Melaksanakan rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan; d. Memberikan bantuan sosial sebagai stimulant kepada masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial; e. Mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya; f. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia dibidang kesejahteraan sosial; g. Menetapkan standar pelayanan, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial; h. Melaksanakan analisis dan audit dampak sosial terhadap kebijakan dan aktifitas pembangunan;
Universitas Sumatera Utara
i. Menyelenggarakan pendidikan dan penelitian kesejahteraan sosial; j. Melakukan pembinaan dan pengawasan serta pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial; k. Mengembangkan jaringan kerja dan koordinasi lintas pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial tingkat nasional dan internasional dalam penyelenggaraan sosial; l. Memelihara taman makam pahlawan dan makam pahlawan nasional; m. Melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial; dan; n. Mengalokasikan anggaran untuk peyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam anggaran pendapatan dan belanjan negara.
Berdasarkan penjelasan diatas sistem jaminan sosial merupakan instrumen negara untuk mencegah kemiskinan, memberdayakan komunitas penyandang masalah kesejahteraan sosial, dan pengentasan kemiskinan. Sangat dibutuhkan sosiallisasi dan penjelasan kepada masyarakat Indonesia bahwa sebagai warga negara kita mempunyai hak untuk dilindungi, diayomi dan disejahterakan oleh negara. Keberadaan Pasal 34 UUD 1945 yang jelas-jelas berpihak pada program penegakan keadilan sosial berdimensi kerakyatan jelas menjadi modal awal yang sangat penting dalam melahirkan produk-produk perundang-undangan dibawahnya. Keberadaan pasal sekaligus pula memperlihatkan antara political will negara dalam membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini, tinggal bagaimana pesan yang tercantum dalam konstitusi tersebut harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Tanpa upaya sungguh-sungguh bisa jadi pasal 34 tersebut hanya akan berhenti
Universitas Sumatera Utara
sampai tahapan pernyataan saja dan tidak akan pernah bisa diwujudkan dalam kehidupan yang sesungguhnya. 157 Seharusnya apabila gelandangan dan pengemis mau berusaha maka permodalan bisa diberikan atau di pinjamkan dari dana zakat, infak dan sedekah atau dana yang disediakan oleh pemerintah sehingga seseorang bisa berusaha dengan cara yang baik dan tidak menjadi gelandangan dan pengemis.
BAB IV DEKRIMINALISASI TERHADAP GELANDANGAN DAN PENGEMIS DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
A. Proses Dekriminalisasi Kebijakan Perundang-undangan yang sering mendapat sorotan ialah kebijakan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana kejahatan atau sering disebut kebijakan kriminalisasi. Bertolak dari kenyataan bahwa kejahatan ditentukan oleh Undang-undang maka dapatlah dikatakan Undang-undanglah yang menciptakan kejahatan. Undang-undang memberikan kewenangan dan dasar legitimasi kepada
157
Rena Yulia, Op. Cit., hlm. 135
Universitas Sumatera Utara
penegak hukum untuk menyatakan apakah perbuatan seseorang merupakan kejahatan atau tidak. 158 Undang-undang sebagai penyebab timbulnya kejahatan karena materi yang tercantum dalam Undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat sudah tidak sesuai dengan hukum yang hidup dan berkembang didalam masyarakat, akibat hukum yang tidak baik, maka masyarakat cenderung tidak respek terhadap penegakan hukum dan melakukan pelanggaran sebagai bentuk perlawanan. Dalam batas pengertian yang demikian, maka sebenarnya tidaklah dapat dikatakan bahwa Undang-undang merupakan faktor kriminogen, artinya Undangundang bukan faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan, tetapi hanya sebagai salah satu faktor yang menyebabkan perbuatan seseorang dinyatakan atau di cap sebagai kejahatan. 159 Dalam salah satu laporan kongres PBB VI mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders (pencegahan kejahatan dan tindakan perawatan kepada pelanggar), khususnya yang membicarakan Crime Trends and Crime Preventions Strategies (tren/modus operandi kejahatan dan strategi pencegahan kejahatan), dikemukan antara lain ketiadaan konsistensi antara undang-undang dengan kenyataan merupakan faktor kriminogen, semakin jauh undang-undang bergeser dari perasaan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, maka semakin 158
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 201 159 Ibid
Universitas Sumatera Utara
besar ketidak percayaan akan keefektifan sistem hukum itu. Ketidaksesuaian itu tidak hanya berarti tidak sesuai dan tidak responsif lagi terhadap problem-problem sosial atau terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial dan pembangunan saat ini. 160 Ketidaksesuaian atau diskrepansi yang terlalu besar antara undang-undang dengan kenyataan dan kebutuhan masyarakat itulah yang dapat menyebabkan undang-undang itu disfungsional dan pada akhirnya dapat menjadi faktor kriminogen 161 . Salah satu contoh diantaranya adalah penghukuman kepada gelandangan dan pengemis dalam KUHP, karena dalam pandangan masyarakat pada umumnya perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana (delik). Secara tegas bahwa didalam Alqur’an dijelaskan bahwa perbuatan gelandangan dan pengemis bukan merupakan kejahatan seperti yang terdapat dalam Surat Al-Ma’un. Allah SWT berfirman: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orangorang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Ma’un: 1-7). “Itulah orang yang menghardik anak yatim”, maksudnya adalah Mereka yang menghardik anak yatim, menzalimi hak-haknya, dan tidak memberinya makan, tidak berbuat baik kepada mereka. Yatim adalah orang yang bapaknya telah meninggal dan dia dibawah usia baligh baik lelaki atau wanita.“dan tidak menganjurkan memberi 160 161
Ibid, hlm. 202 Ibid
Universitas Sumatera Utara
makan orang miskin”, maksudnya adalah tidak memerintahkan untuk memberi makan orang miskin karena kebakhilan atau karena mendustakan hari pembalasan. Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah SWT: Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, (QS. Al-Fajr: 17-18). Dari Ayat diatas dapat dipetik pelajaran mengenai fakir miskin dan anak terlantar sebagai berikut: 162 8. Ayat ini menjelaskan tentang anjuran memberi makan kepada orang miskin dan anak yatim. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam Kitab shahihnya dari Sahl bin Sa’ad bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Aku bersama orang yang menanggung anak yatim seperti ini”. Dan beliau menjadikan jari telunjuk berjejeran dengan jari tengah”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abi Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Orang yang berusaha untuk kebutuhan wanita janda dan miskin seperti seorang mujahid di jalan Allah”, dan aku menyangka beliau bersabda: “Seperti orang yang bangun malam tanpa merasa putus asa dan orang yang puasa yang tidak pernah meninggalkannya” 9. Anjuran untuk mengerjakan kebajikan, dan berbuat baik kepada orang lain dengan memberikan meminjam harta walaupun kecil, seperti meminjamkan bejana, timba, buku, parang dan yang lainnya sebab Allah mencela orang yang tidak berbuat demikian. 162
Amin bin Abdullah Asy-Syaqawi, Merenungi Tafsir Al-Ma’un, dalam www. islamhouse. com., diakses Tgl. 13 Juni 2011
Universitas Sumatera Utara
10.
Anjuran untuk berbuat ikhlas dalam beramal dan waspada terhadap
riya, sebagaimana firman Allah tentang sifat orang-orang yang beriman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS. Al-Insan: 8-9).” Didalam firman lain Allah SWT, juga menjelaskan bahwa perbuatan gelandangan dan pengemis bukan sebagai perbuatan yang patut dipidana atau bahkan dimarjinalkan dalam kehidupan masyarakat, Allah SWT berfirman: Artinya: “…dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (Q.S Al-Ma’aarij/70:24-25). Ayat ini mengisyaratkan bahwa Islam mempunyai ajaran tentang kepedulian terhadap orang-orang lemah, baik lantaran miskin, yatim, cacat maupun tertindas yang menjadikan hidup mereka terlantar. Untuk membantu penghidupan mereka ini didalam Islam ada lembaga yang bernama zakat, infaq dan sedekah. 163 Sedangkan dalam KUHP Belanda (1886), perbuatan gelandangan dan pengemis disebutkan sebagai perbuatan yang dihukum (dipidana), terhadap perbuatan ini terdapat pembagian tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran, yang berdasarkan asas konkordansi dioper kedalam Wvs Hindia Belanda (1918), kini KUHP. Sebelum Wvs Tahun 1886, di Belanda dikenal tiga jenis tindak pidana, yaitu Misdaden (kejahatan), wanbedrijven (perbuatan
tercela)
dan
overtredingen
163
Ahmad Kosasih, HAM dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003),hlm. 64
Universitas Sumatera Utara
(pelanggaran), yang mendapat pengaruh dari Code Penal Perancis (1810), yang membedakan tindak pidana kedalam tiga jenis yakni crime (kejahatan), delict (perbuatan tercela), dan contravention (pelanggaran). 164 Mengenai dasar pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran dapat disimpulkan dari keterangan Memorie van Toelichting (memori penjelasan) bahwa pembagian itu didasarkan pada alasan bahwa pada kenyataanya didalam masyarakat terdapat perbuatan-perbauatan yang pada dasarnya memang sudah tercela dan pantas dipidana. Bahkan sebelum dinyatakan demikian oleh undang-undang, dan juga ada perbuatan yang baru sifat melawan hukum dapat dipidana setelah undang menyatakan demikian. Untuk yang pertama disebut dengan rechtdelicten, dan yang kedua disebut dengan wetsdelicten 165 Pada hakikatnya ciri pembedaan itu terletak pada penilaian kesadaran hukum pada
umumnya
dengan
dengan
penekanan
(stress)
kepada
delik
hukum
(rechtsdelicten) dan delik undang-undang (wetsdelicten). Dimana yang dikatakan kejahatan sebagai delik hukum (rechtsdelicten) yaitu perbuatan-perbuatan yang menurut sifatnya walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang tetap mempunyai sifat jahat dan bertentangan dengan hukum, sedangkan yang dimaksud dengan pelanggaran sebagai delik undang-undang (wetsdelicten) yaitu perbuatan
164 165
Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 122 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 123
Universitas Sumatera Utara
yang baru mempunyai sifat jahat jika dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum setelah dicantumkan dalam undang-undang. 166 Apapun alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran, yang pasti jenis pelanggaran itu lebih ringan daripada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana dan pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi dengan pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih didominasi dengan ancaman pidana penjara. 167 Mengenai perbuatan/aktifitas yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis baru dapat dikatakan tindak pidana, jika perbuatan itu bersifat melawan hukum, bukan berarti tindak pidana yang tidak memuat perkataan “melawan hukum”, tidak dapat bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya akan tersimpul dari unsur tindak pidana yang lain dan kesalahan yang menunjuk pada sikap batin si pembuat sebagai kejiwaan yang terdapat di dalam rumusan delik. Dengan demikian maka perbuatan gelandangan dan pengemis dikategorikan melawan hukum harus dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana. Dalam hukum pidana, kedudukan sifat melawan hukum sangat khas. Umumnya telah terjadi kesepahaman dikalangan para ahli dalam melihat sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan tindak pidana. Bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap pidana. Roeslan Saleh mengatakan, “memidana sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya”. Sementara itu, Andi Zainal 166
E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 230 167 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 123-124
Universitas Sumatera Utara
Abidin mengatakan, “salah satu unsur esensial delik ialah sifat melawan hukum (wederechtelijkheid) dinyatakan dengan tegas atau tidak didalam suatu pasal undangundang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana yang melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum. Dengan demikian, untuk dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya tersebut harus bersifat melawan hukum. 168 Setiap pasal dalam undang-undang pidana itu sebenarnya selalu mensyaratkan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi unsur “melanggar hukum” yang dalam bahasa aslinya disebut wederechtelijk. Disini, kata recht yang dipakai dan bukan wet. Boleh dipersoalkan disini sebenarnya hukum mana sebenarnya dalam pidana itu yang dilanggar. Hukum adalah undang-undang yang tertulis itu, atau hukum yang didalam kepustakaan hukum sering dikenali dengan istilah living law, atau yang di Inggris di istilahkan dengan law of the country. 169 Maka apabila persoalan wederechtelijk dan law of the country ini diangkat dalam persoalan gelandangan dan pengemis, sebenarnya tidak ada unsur pidana dalam perbuatan mengemis dan gelandangan. Pengemis dan gelandangan itu tidaklah dapat disebut sebagai perbuatan yang menganggu ketertiban umum, karena perbuatan 168
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 51 169 Soetandiyo Wignjosoebroto, Nenek Minak Tak Curi Cokelat, Harian Kompas Tgl. 15 Februari 2010
Universitas Sumatera Utara
baru dianggap menganggu ketertiban apabila sudah sangat meresahkan masyarakat, yang dilakukan dengan cara-cara pemerasan, pemaksaan dan lain-lain sebagainya. Memang dalam KUHP yang berlaku sekarang, perkataan “melawan hukum” kadang-kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana, kadang-kadang tidak. Menurut Schaffmeister, ditambahkan kata: “melawan hukum” sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik dimaksudkan untuk ruang lingkup rumusan delik yang (telah) dibuat terlalu luas. 170 Seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana justru karena telah melakukan tindak pidana. Pertanggungjawabannya itu ditujukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan. Berhubung setiap tindak pidana harus bersifat melawan hukum, maka pertanggungjawabannya juga diarahkan kepada sifat melawan hukum dari
perbuatan
tersebut.
Dengan
kata
lain
kesalahan
sipembuat
yang
dipertanggungjawabkannya itu, juga ditujukan kepada timbulnya tindak pidana yang bersifat melawan hukum. 171 Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor yang menentukan didalam pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law system yang dikenal dengan maksim latin “actus non est reus nisi mens sit rea”. Menurut Wilson, umumnya maksim ini diterjemahkan sebagai “an act not criminal in the absence og guilty mind”, bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai 170 171
Op. Cit, hlm. 52 Op.cit, hlm. 56
Universitas Sumatera Utara
kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat didalamnya. ini sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam sitem common law. 172 Karena setiap perbuatan mempunyai maksud dan tujuan, apakah gelandangan dan pengemis suatu yang bersifat jahat, ini menjadi dilematis apabila mengeneralisir masalah. Doktrin ini menyebabkan mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Dengan kata lain, bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut. Penerapan doktrin ini sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam sistem civil law. 173 Pelanggaran yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis seharusnya didekriminalisasi sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat miskin (social defence) karena dari perbuatan tersebut tidak ada pihak yang dirugikan dan kepentingan umum yang dilanggar. Bertolak dari pengertian diatas maka kriminalisasi terhadap gelandangan dan pengemis merupakan suatu kemunduran dalam penegakan hukum. Karena sesungguhnya penghukuman terhadap gelandangan dan pengemis bukan solusi dalam menjaga ketertiban umum melainkan dengan memberdayakan zakat, infak dan sedekah dengan baik. Secara sempit proses dekriminalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses, dimana suatu perilaku yang semula dikualifikasikan sebagai peristiwa pidana dan 172
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hlm. 7 173 Ibid, hlm. 7
Universitas Sumatera Utara
dikenakan sanksi negatif dibidang pidana, kemudian dihapuskan kualifikasi pidananya dan sanksi negatifnya. Dalam proses dekriminalisasi tidak hanya kualifikasi pidana yang dihapuskan, akan tetapi juga sifat melawan atau melanggar hukumnya. Kecuali itu, maka penghapusan kualifikasi pidana dan sanksi-sanksi negatifnya tidak diganti dengan reaksi sosial lainnya yang diatur, misalnya dalam bentuk sanksi perdata dan administratif. 174 Suatu proses dekriminalisasi dapat terjadi karena beberapa sebab, misalnya: 1. Suatu sanksi secara sosiologi merupakan persetujuan (sanksi positif) atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu (sanksi negatif). Ada kemungkinan bahwa nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku tertentu pula mengalami perubahan, sehingga perilaku tertentu pula mengalami perubahan, sehingga perilaku yang terkena sanksi tersebut tidak lagi ditolak. 2. Timbulnya keragu-raguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu. 3. Adanya keyakinan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksisanksi negatif tertentu sangat besar.
174
Soerjono Soekanto, dkk, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),
hlm. 47
Universitas Sumatera Utara
4. Sangat terbatasnya efektifitas dari sanksi-sanksi negatif tertentu, sehingga penerapannya akan menimbulkan pudarnya wibawa hukum. 175 Mahfud MD menyatakan sejumlah peristiwa hukum belakangan sering menyinggung rasa keadilan masyarakat, seperti hukum berhadapan dengan pelanggar dari kalangan kelas bawah dan miskin. Sementara pada pelanggar hukum yang berasal dari kalangan mampu, baik secara finansial maupun memilki akses pada kekuasaan, penegakan hukum akan berbeda, bahkan cenderung mengatur sedemikian rupa supaya hukum bisa lebih menguntungkan dirinya. 176 Mahfud MD juga mendesak penegak hukum lebih mendahulukan kebenaran substantif dalam menegakkan hukum. Hukum di Indonesia saat ini memang tengah mengalami permasalahan yang besar, terutama ketika orang kecil yang berurusan dengan hukum, aparat langsung memberlakukan bunyi hukum secara formal. 177 Oleh sebab itu penegakkan hukum dan kepastian hukum belum dinikmati oleh masyarakat Indonesia, bagi sebagian masyarakat Indonesia hukum dirasakan belum memberikan rasa keadilan, kemamfaatan, kesetaraan dan perlindungan terhadap HAM khususnya terhadap masyarakat kecil dan tidak mampu. 178 Menanggapi permasalahan gelandangan dan pengemis penulis sepakat untuk dihukum/dipidana gelandangan dan pengemis dalam hal apabila melakukan tindak 175
Soerjono Soekamto, Ibid, hlm. 47- 48 Harian Kompas, Rasa Keadilan Masih Tersisih: Masyarakat Miskin Semakin Tidak Berdaya, Tgl. 15 Februari 2010 177 Ibid 178 Satjipto Rahardjo, Menbedah Hukum Progresif, ( Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 212-213 176
Universitas Sumatera Utara
pidana yang merugikan dan menganggu ketertiban umum, bukannya dihukum karena label atau sebutan masyarakat yang termarjinal bagi mereka. Akan tetapi dalam hal melakukan pengemisan didepan umum serta gelandangan maka penulis berpendapat apabila perbuatan tersebut di dekriminalisasikan. Oleh karena itu, yang terpenting dalam upaya dekriminalisasi dalam mengatasi gelandangan dan pengemis adalah dengan mencari dan menemukan upaya penanganan gelandangan dan pengemis secara konferehensif. Solly Lubis mengatakan bahwa gagasan, cita-cita, atau idealisme penciptaan negara kesejahteraan, sangat erat hubungannya dengan perlindungan hak asasi manusia. Makin cenderung pemerintah mengemban hak asasi manusia maka makin dekat dengan misi dan visi pemerintah kearah negara kesejahteraan. Apalagi kalau tekad dan konsep perlindungan itu didalam Undang-undang Dasar ataupun rencanarencana pembangunan, tidak sekedar dalam bentuk formal dan seyogianya harus berupa tindakan konkrit dan riil. 179 Di Indonesia, kita masih berada pada tahap peletakan fondasi kostitusional mengenai perlindungan hak asasi manusia, dan masih jauh realisasinya sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat luas sebagai stakeholders. Namun demikian,
179
M. Solly Lubis, Suplemen Untuk Modul: Teori Hukum, Politik Hukum, Kebijakan Publik, Hukum Dan Kebijakan Publik, Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tanpa Tahun
Universitas Sumatera Utara
dalam studi tentang service state and public service ini selayaknya diterapkan dalam Undang-Undang Dasar. 180 Konsep hak asasi manusia bukan hanya tercantum dalam pernyataan hak asasi manusia sedunia atau deklarasi-deklarasi melainkan juga ia seringkali dituangkan dalam sejumlah konvensi, konstitusi, perundang-undangan, teori serta hasil-hasil dari pemikiran. Tidak semuanya berjalan dengan baik, karena banyak diantaranya yang hanya merupakan sentuhan ironi dari untaian kata-kata indah dihadapan realitas kehidupan masyarakat. tak jarang bagian-bagiannya merupakan salinan literal yang sesungguhnya cuma cocok untuk realitas-realitas lain. 181 Masalah utama yang layak diperhatikan tentang melaksanakan kebijaksanaan tersebut diatas adalah tentang bagaimana sistem hukum di Indonesia dapat secara efektif menjamah mayoritas masyarakat miskin (gelandangan dan pengemis) yang berkat sistem pelapisan sosial yang tak bergeming di negeri ini, jarak antara hukum dengan manfaatnya sangat dirasakan jauh dari nilai-nilai kesejahteraan. 182 B. Gelandangan dan Pengemis Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan, 180
Ibid, Service State (negara pelayanan): yakni pelayanan demi kesejahteraan rakyat makin menonjol, dan semua potensi alami (natural resources) maupun pengerahan tenaga sumber daya manusia (human resources) diarahkan kepada penciptaan kesejahteraan masyarakat lahir dan bathin. 181 Mulyana W. Kusumah, Hukum dan Hak Asasi Manusia Suatu Pemahaman Kritis, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 70 182 Ibid, hlm. 87
Universitas Sumatera Utara
bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial). 183 Melihat pengaturan gelandangan dan pengemis dalam hukum pidana, maka disini penulis melihat adanya kesalahan dalam perumusan kebijakan legislatif yang dapat menjadi kesalahan strategis dalam penegakan hukum pidana, karena kebijakan tersebut lebih menekankan pada pemidanaan tanpa melihat mengapa perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat, sehingga terkesan ada kesenjangan penegakan hukum. Perubahan hukum pada dasarnya dimulai dari adanya kesenjangan antara aturan yang ditegakkan dengan masyarakat, sehubungan dengan sifat hukum tertulis yang kaku itu, maka sejak semula tentunya sudah dapat diduga bahwa dalam perjalanan waktu ia akan senantiasa sulit untuk segera melakukan adaptasi terhadapterhadap perubahan-perubahan. Oleh karena itulah apabila timbul kesenjangan antara hukum dengan sesuatu perubahan dalam masyarakat, maka kesenjangan itu sebetulnya termasuk hal yang normal. Akan tetapi dalam hal penanganan gelandangan
dan
pengemis
mengunakan
hukum
pidana
sebagai
sarana
penanggulangan kejahatan, penulis beranggapan kurang efektif, apabila kesenjangan dalam pemerataan hak tidak dapat dilaksanakan oleh negara maka perubahan ditandai 183
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 2-3
Universitas Sumatera Utara
dengan oleh tingkah laku masayarakat yang tidak lagi merasakan kewajibankewajiban yang dituntut oleh hukum sebagai sesuatu yang harus dijalankan. 184 Dilihat dari sudut kajian hukum pidana, penggunaan sarana penal (sanksi pidana) dalam mengatur masyarakat (gelandangan dan pengemis) atau untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan, bukan merupakan keharusan atau tidak bersifat absolut/imperatif. Penggunaan sarana penal dalam mengatur masyarakat pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy) atau kebijakan pembangunan nasioanal (national development policy), bagian dari kebijakan atau politik kriminal dan juga bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Dilihat dari sudut kebijakan, penggunaan atau intervensi penal seyogianya tidak terlalu di obral. Kebijakan penggunaannya harus sehemat mungkin, lebih berhati-hati, cermat, bersifat selektif dan limitatif. 185 Kebijakan penal yang demikian didasarkan pada pertimbangan atau latar belakang pemikiran bahwa sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan, antara lain sebagai berikut: 186 a. Dilihat secara dogmatis/idealis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras oleh karena itu juga disebut sebagai ultimum remedium (sarana terakhir);
184
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 191-192 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 139 186 Ibid, hlm.139-140 185
Universitas Sumatera Utara
b. Dilihat dari segi fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi (antara lain: berbagai undang-undang organik, lembaga/aparat pelaksana) menuntut biaya tinggi; c. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur atau efek samping yang negatif; d. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan menanggulangi/ menyembuhkan (kurieren am symptom). Jadi, sanksi pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada diluar jangkauan hukum pidana; e. Hukum/sanksi pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosiokultural dan sebagainya); f. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural atau fungsional; g. Efektifitas pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karena itu masih sering dipermasalahkan. Mengingat fungsinya yang subsidair maka dalam menggunakan sarana penal ada beberapa pedoman atau prinsip-prinsip pembatas (the limiting principles) yang
Universitas Sumatera Utara
sepatutnya mendapat perhatian. Niegel Walker dalam Barda Nawawi Arief misalnya pernah menyajikan beberapa prinsip-prinsip pembatas antara lain sebagai berikut: 187 a. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan/retributif; b. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan dan membahayakan; c. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana yang lebih ringan; d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri; e. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya dari perbuatan-perbuatan yang akan dicegah; f. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik; g. Hukum pidana jangan memuat larangan/ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dilaksanakan/dipaksakan. Berdasarkan dimensi diatas, kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa yang akan mendatang (ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit. Sebab, sebagai suatu sistem, hukum pidana terdiri dari budaya, struktur dan substansi hukum. 188 Marc Ancel menyebutkan sistem hukum pidana abad XX masih harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempunakan oleh usaha bersama semua orang yang beritikad baik dan juga oleh semua ahli dibidang ilmu 187
Ibid, hlm.141 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hlm. 87 188
Universitas Sumatera Utara
ilmu sosial. Sistem hukum pidana asasnya memiliki empat elemen substanstif yaitu nilai yang mendasari sistem hukum (philosophic), adanya asas-asas hukum hukum (legal principles), adanya norma atau peraturan Perundang-undangan (legal rules) dan masyarakat hukum sebagai pendukung sistem tersebut (legal society). Keempat elemen dasar ini membentuk piramida, bagian atas adalah nilai, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang berada dibagian tengah, dan bagian bawah adalah masyarakat. Walau dibuat sesempurna mungkin, sistem pidana mengandung cacat pada beberapa hal: 189 1. Kejahatan harus ada sebelum perbaikan bisa dijalankan. Perbaikan tercipta dengan menerapkan hukuman, dan hukuman tidak bisa diterapkan sampai pelanggaran sudah terjadi. Setiap teladan hukuman baru yang dijatuhkan merupakan bukti tambahan bahwa hukuman tidak efektif dan masih menyisakan bahaya dan kekhawatiran. 2. Hukuman itu sendiri adalah suatu kejahatan, kendati perlu untuk mencegah kejahatan yang lebih besar. Pengadilan pidana dalam seluruh kinerjanya, hanya bisa menjadi rangkaian kejahatan-kejahatan yang muncul dari ancaman dan paksaan hukum, kejahatan yang muncul dari dituntutnya tertuduh sebelum ada kemungkinan untuk membedakan orang yang bersalah dengan orang yang tidak bersalah. 189
Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, terjemahan dari The Theory of Legislation oleh Nurhadi, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2010), hlm. 399
Universitas Sumatera Utara
3. Sistem pidana tidak mampu menjangkau banyak tindakan merugikan yang luput dari peradilan kerana kerapnya terjadi, kemudahan untuk menyembunyikannya, kesulitan dalam mendefinisikannya, atau kerena perubahan jahat opini publik yang mendukung pelanggaran-pelanggaran itu. Hukum pidana hanya dapat terselenggara dalam batas-batar tertentu, kekuasaannya hanya sampai pada perbuatan-perbuatan yang jelas dan mudah dibuktikan. Ketidaksemprnaan hukum pidana menyebabkan perlu diupayakan cara-cara baru yang berguna untuk menutupi kekurangannya. Cara-cara tersebut bertujuan untuk mencegah pelanggaran. 190 Maka diperlukan suatu kebijakan hukum pidana dalam menangani gelandangan dan pengemis sebagai amanat dari konstitusi. Dikaji dari perspektif politik hukum maka politik hukum pidana berusaha membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik. Menurut Marc Ancel maka penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif disini diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. karena itu istilah penal policy menurut Ancel, sama dengan kebijakan atau politik hukum pidana. usaha dan kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dari tujuan penaggulangan kejahatan. 191
190 191
Ibid, hlm. 399 Op.Cit, hlm. 87-88
Universitas Sumatera Utara
Padahal hukum yang dibutuhkan oleh dan untuk negeri berkembang yang tengah berubah lewat upaya-upaya pembangunan seperti Indonesia ini adalah hukum yang dapat berfungsi sebagai pembaharu bukan sekedar pengakomodasi perubahan seperti dimplisitkan dalam ajaran the sociological jurisprudence Roscoe Pound. Ditengarai oleh Robert Seidman bahwa pengalaman hukum yang melahirkan institusi-institusi hukum modern itu sesungguhnya cultural bound dalam konteks tradisi hukum barat. Hukum yang dibingkai oleh tradisi dan konfigurasi kultural barat ini nyata-nyata tidak mudah untuk dengan begitu saja dipakai dalam rangka mengatasi permasalahan hukum dan permasalahan pembangunan pada umumnya di negeri-negeri berkembang non barat yang memiliki aset-aset sosio kultural yang berbeda. Inilah kenyataan yang ditenggarai oleh Robert B. Seidman sebagai the law of the nontrasferability of law. 192 Berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana, maka tidak terlepas dari sasaran pokok pembangunan peraturan perundang-undangan yang meliputi: 193 1. Melanjutkan pembaharuan peraturan perundang-undangan dari masa kolonial.
192
Eman Suparman, Persepsi Tentang Keadilan dan Budaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa dalam Jurnal Penegakan Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Vol. 4 No. 1 Januari 2007, hlm. 25 Robert Seidman mengemukakan pada dasarnya memang tidak mudah untuk mentransfer begitu saja suatu sistem tertentu, dalam hal ini sistem hukum modern, kepada masyarakat lain yang mempunyai latar belakang budaya yang berlainan. Menurut hemat penulis penerapan pasal-pasal dalam KUHP sudah selayaknya dirubah dan digantikan dengan aturan-aturan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan suasana psikologis ke-Indonesiaan. 193 Rabiatul Syariah, Keterkaitan Budaya Hukum Dengan Pembangunan Hukum Nasional, Dalam Jurnal Equality Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 13 No. 1 Februari 2008, hlm. 36
Universitas Sumatera Utara
2. Memperbaharui peraturan perundang-undangan yang dibentuk setelah merdeka telah ketinggalan atau tidak mencerminkan dasar dan arah politik hukum menuju kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, berdasarkan atas hukum berkeadilan sosial. 3. Menciptakan peraturan perundang-undangan baru yang diperlukan baik dalam rangka memperkuat dasar dan arah politik hukum maupun mengisi kekosongan hukum akibat perkembangan baru. 4. Mengadakan atau memasuki berbagai persetujuan internasinal baik dalam rangka ikut memperkokoh tatanan internasional maupun untuk kepentingan nasional. Bagi indonesia, yang merupakan negara yang menganut paham demokrasi, dimana penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, merupakan suatu keharusan untuk diwujudkan secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara, bukan sekedar angan-angan atau impian belaka. Salah satu perwujudan negara demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah adanya keterbukaan (transparancy) dalam berbagai aspek, termasuk diantaranya adalah pengentasan kemiskinan yang mengakibatkan banyaknya gelandangan dan pengemis, sedangkan jaminan keadilan berkenaan dengan pemberian kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara untuk memperoleh kesejateraan. 194 Sebagaimana dikatakan Sadu Wasistiono, bahwa ciri-ciri tata pemerintahan yang baik adalah: 1. Mengikutsertakan masyarakat; 2. Transparan dan bertanggung jawab; 194
Budi Utomo, Op. Cit., hlm. 56
Universitas Sumatera Utara
3. Efektif dan adil; 4. Menjamin adanya supremasi hukum; 5. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, ekonomi, dan sosial didasarkan pada konsensus masyarakat; 6. Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan. Hukum tidak dapat dipisahkan dari kultur, sejarah dan waktu dimana kita sedang berada (law is not separate from the culture, history and time in which it exists) setiap perkembangan sejarah dan sosial, harus diimbangi dengan perkembangan hukum, karena setiap perubahan sosial pada dasarnya akan mempengaruhi perkembangan hukum. 195 Selanjutnya M. Solly Lubis dalam Alvi Syahrin menyatakan bahwa melalui pendekatan kultural, pembinaan hukum dilihat bukan sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan lalu perlunya perubahan hukum, tetapi adalah juga pergeseran nilai yang ingin menjabarkan sistem nilai yang dianut kedalam konstruksi hukum nasional. 196 Kita berfikir, dengan membuat hukum nasional sejak merdeka, segala sesuatunya menjadi beres dan dengan pandangan tegap kedepan bisa mengatakan, bahwa sejak hari ini Indonesia sudah mempunyai hukum yang dibuatnya sendiri. Ternyata itu baru langkah awal saja, karena kita masih menghadapi sejumlah besar persoalan sehubungan dengan hukum nasional kita sebut saja kitab undang-undang
195 196
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, (Jakarta: Sofmedia, 2009), hlm. 3 Ibid, hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
hukum pidana. 197 Tatanan sosial di Indonesia adalah begitu majemuk dan kompleks, sehingga dibutuhkan kearifan dan kehati-hatian tersendiri untuk merawatnya. Apabila peringatan tersebut tidak diperhatikan, maka bagi banyak komunitas lokal, hukum nasional dikhwatirkan akan menjadi beban daripada menciptakan ketertiban dan kesejahteraan. 198 Oleh sebab itu pembangunan Indonesia bersifat fundamental, tidak dilakukan secara tambal sulam, Indonesia merupakan suatu masyarakat yang sedang membangun dirinya secara lengkap (a society making), sehingga membutuhkan peninjauan kembali terhadap semua kelembagaan yang selama ini dipakainya, dengan berpegangan pada kaidah-kaidah bangsanya seperti konsep Pancasila, wawasan nusantara, pembagunan manusia seutuhnya dan seterusnya. 199 Pada saat cita hukum kita berbicara mengenai kekeluargaan, kebersamaan dan pancasila, cara berhukum kita lebih cenderung ke cara-cara yang liberal dan individualistis. Terasa ada kesenjangan dan bahkan semacam keterbelahan disini antara bentuk kehidupan sosial dan hukumnya. Sudah saatnya kitab undang-undang hukum pidana diperharui, diantaranya memperbaharui Pasal 504-505 dalam hukum pidana nasional Indonesia. Serta pembenahan kesejahteraan bagi masyarakat miskin, sebenarnya dalam hidup tidak ada satupun manusia yang ingin menjadi pengemis dan gelandangan.
197
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), (Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 49 198 Ibid, hlm. 62 199 Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 4
Universitas Sumatera Utara
Suatu perubahan memang perlu dilakukan, untuk menjadikan hukum negeri ini mengabdi dan melayani manusia dan bukan sebaliknya, tetapi, dunia pendidikan memang menghadapi kesulitan besar, apabila peran legislator secara terus menerus memproduksi hukum, tanpa menyadari adanya perbedaan antara watak liberal dan watak bangsanya sendiri. 200 Harus diakui bahwa pengaruh Belanda sangat besar dalam hukum Indonesia, artinya, memang berasalan melakukan pembaharuan hukum pidana yang sekarang berlaku, besarnya pengaruh hukum Belanda itu dapat terjadi kerena: 201 1. Prinsip konkordansi yang dianut dalam sistem hukum Belanda 2. Ilmu hukum yang berkembang di Indonesia sebagian terbesar didasari oleh ajaranajaran dan teori yang dikembangkan dunia barat 3. Praktek peradilan yang dilangsungkan di Indonesia, hampir seluruhnya bersumber kepada peraturan perundang-undangan dan doktrin ilmu hukum Belanda. Dari uraian diatas dapatlah ditegaskan bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform) dalam penegakan hukum terhadap gelandangan dan pengemis sangat mendesak perlu dilakukan karena latar belakang diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio filosofik, sosio kultural atas berbagai kebijakan aspek kebijakan, 202 dan penulis menilai bahwa pembentukan regulasi gelandangan dan pengemis tanpa melihat aspek yang telah yang telah 200 201
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 118 Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1996),
hlm. 24 202
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit, hlm. 30
Universitas Sumatera Utara
disinggung di atas, ini menyebabkan setiap peraturan yang diterapkan tidak dapat berlaku secara efektif karena peraturan tersebut bertentangan dengan nilai sosial. Karena hukum merupakan tumpuan harapan dan kepercayaan masyarakat untuk mengatur pergaulan hidup bersama. Hukum merupakan perwujudan atau manifestasi dan nilai kepercayaan. Oleh karena itu wajar apabila penegak hukum diharapkan sebagai orang yang sepatunya dipercaya, dan menegakkan wibawa hukum pada hakikatnya berarti menegakkan nilai kepercayaan didalam masyarakat. 203 di sinilah dibutuhkan kebijakan dengan menghilangkan aspek pidana dalam pengaturan gelandangan dan pengemis, dan peran negara yang harus melihat masalah ini secara riil (masalah bangsa yang harus diselesaikan secara bermartabat). Dapat disimpulkan bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut: 204 1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan: a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalahmasalah
sosial
(termasuk
masalah
kemanusiaan)
dalam
rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya); b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan);
203
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pemgembangan Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 5 204 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Loc.Cit, hlm. 31
Universitas Sumatera Utara
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan hukum. 2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (re-orientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan hukum pidana, apabila orientasi nilai-nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau Wvs). Pembaharuan hukum pidana yang mengatur gelandangan dan pengemis perlu dilakukan karena ada hubungan antara peningkatan kejahatan dengan tidak rasionalnya kebijakan perundang-undangan pidana, terlihat pula dalam pandangan John Kaplan yang dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief, salah satu aspek yang paling kacau dari peraturan pemidanaan ialah kondisi KUHP itu sendiri. Di kebanyakan negara, sanksi-sanksi yang tersedia untuk delik-delik yang berbeda, sama sekali tanpa suatu dasar atau landasan yang rasional. 205 Kebijakan dalam penanganan pengemis adalah penghukuman sanksi moral dan agama dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis tanpa pemidanaan yang tidak berdampak pada pengurangan komunitas tersebut. Akan lebih efektif rasanya 205
John Kaplan, Criminal Justice: Introductory Cases and Materials, (New York: The Foundation Press, Inc, Mineola, 1973), hlm. 443, dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, TeoriTeori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 204
Universitas Sumatera Utara
apabila sanksi sosial dilaksanakan daripada sanksi pidana, seperti yang diutarakan oleh Tgk. H. Abu Bakar Ismail Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lhokseumawe, mengharamkan pekerjaan gelandangan dan pengemis. Karena menurut beliau pengemis dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis: 1. Pengemis yang tidak layak menjadi pengemis (malas bekerja/sehat fisik), pengemis semacam ini dari perbuatannya sudah dikatagorikan haram, disebabkan dengan menipu dalam melakukan pengemisan, misalnya: berpura-pura cacat padahal tidak cacat; 2. Pengemis yang layak menjadi pengemis (orang cacat, orang lanjut usia yang terlantar), maka menurut beliau pengemis semacam ini di bolehkan diberikan sumbangan karena memang secara fisik tidak memungkinkan untuk bekerja. Perbuatan gelandangan dan pengemis merupakan tindakan merendahkan derajat dan martabat manusia bukan hanya dimata manusia, tapi juga di hadapan Tuhan serta menjatuhkan agama islam, sebetulnya persoalan ini juga harus ada jalan keluarnya dan pemerintah perlu memberikan solusinya. Sebab bukan tak mungkin akan menimbulkan persoalan baru termasuk menurunkan kualitas moral. Pemerintah dalam hal ini bertanggung jawab, karena pemerataan kesejahteraan masyarakat kecil di abaikan. 206
206
Wawancara dengan Tgk. H. Drs. Abu Bakar Ismail, MA., Wakil Ketua Permusyawaratan Ulama Kota Lhokseumawe, Tgl. 2 Mei 2011
Majelis
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya mengemis termasuk cara mencari harta yang diharamkan oleh Allah SWT, karena itu, mengemis tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim kecuali bila sangat terpaksa. Qabishah bin Mukhariq al Hilat Ra berkata: “aku pernah memikul tanggungan berat (di luar kemampuan), lalu aku datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadukan hal itu, kemudian beliau bersabda: “tunggulah sampai ada sedekah yang datang kepada kami, lalu kami perintahkan agar sedekah itu diberikan kepadamu”. 207 Setelah itu beliau bersabda: “hai Qabishah, sesungguhnya memintaminta itu tidak boleh kecuali bagi salah satu dari tiga golongan”, yaitu: a. Orang
yang
memikul
beban
tanggungan
yang
berat
(diluar
kemampuannya), maka dia boleh meminta-minta sehingga setelah cukup lalu berhenti, tidak meminta-minta lagi; b. Orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka dia tidak boleh meminta-minta sampai dia mendapatkan sekedar kebutuhan hidupnya; c. Orang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang yang sehat pikirannya dari kaumnya mengagapnya benar-benar miskin, maka dia boleh meminta sampai dia memperoleh sekedar kebutuhan hidupnya. Sedangkan selain dari 3 (tiga) golongan tersebut maka meminta-minta haram hukumnya (Hadist Riwayat Muslim). Ridwan Djalil (Kepala Dinas Sosial Kota Lhokseumawe) juga mengatakan bahwa perhatian pemerintah daerah terhadap gelandangan dan pengemis dirasakan sangat kurang, hal ini ditandai dengan dukungan anggaran yang kurang memadai 207
Bahron Anshori, Mengemis Itu Haram, Dalam Harian Serambi Indonesia No. 7.908 Tahun ke-23, Tgl. 3 Juni 2011, hlm. 22
Universitas Sumatera Utara
dalam penanganan gelandangan dan pengemis seperti yang diajukan oleh dinasnya yang memplot anggaran sebesar Rp. 600 juta tetapi yang disetujui sebanyak Rp. 60 juta. Selain itu, ternyata di Kota lhokseumawe belum pernah diadakan penertiban terhadap gelandangan dan pengemis, beliau berasumsi bahwa ketika gelandangan dan pengemis ditangkap tidak tahu harus ditempatkan dimana mereka karena sampai saai ini belum ada rumah singgah atau tempat pembinaan. Sejauh ini anggaran habis pada belanja aparatur negara. 208 Hal senada diungkapkan oleh Asnawi (Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kota Lhokseumawe) menjelaskan bahwa Tahun 2011 bidangnya hanya memperoleh 3 (tiga) program yaitu: 209 1. Bagi lanjut usia produktif diberikan bantuan sebesar Rp. 1600. 000,-/orang untuk 40 orang; 2. Kursi roda sebagai sarana untuk orang cacat; dan 3. Penertiban gepeng hanya untuk di tangkap, tapi belum terlaksana karena setelah ditangkap upaya yang apa yang harus dilakukan untuk mereka, karena terbentur anggaran dalam pelaksanaan dilapangan. Tingkat daerah kebijakan terhadap rehabilitasi sosial belum ter-implementasi dengan baik, karena kebijakan dalam pengentasan kemiskinan hanya berkutat pada kebijakan pengadaan bangunan fisik. Perlu dicatat bahwa dalam penegakan hukum terhadap gelandangan dan pengemis memiliki satu titik persilangan yang penting antara ide keadilan dan ide kebaikan atau kesejahteraan sosial. Sedikit sekali
208
Wawancara dengan Drs. Ridwan Djalil, (Kepala Dinas Sosial Kota Lhokseumawe), Tgl. 2
Mei 2011 209
Wawancara dengan Asnawi (Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kota Lhokseumawe), Tgl. 2 Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
perubahan sosial atau hukum-hukum yang menyenangkan atau memajukan kesejahteraan semua individu secara serupa. 210 Sebuah peraturan hukum bisa juga dipandang secara umum sebagai hal yang tidak penting untuk dipertahankan, bahkan secara umum disepakati bahwa peraturan demikian semestinya dihapuskan. Maka dengan demikian Pasal 504-505 Kitab Hukum Pidana sebaiknya diperbaharui, dengan menambahkan kriteria dan jenis gelandangan dan pengemis, sehingga dalam penerapan aturan hukum bisa memperoleh keadilan dan kepastian hukum.
210
H. L. A. Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), (Bandung: Nusamedia, 2009), hlm.
258
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Harus diakui Hukum pidana positif peninggalan kolonial dan orde lama dirasakan sudah ketinggalan zaman sehingga kurang memiliki relevansi sosial dengan situasi dan kondisi sosial yang diaturnya. Seperti gelandangan dan pengemis yang diatur dalam pasal 504-505 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, alasan penghukuman tersebut didasarkan kepada menganggu ketertiban umum, dikhawatirkan akan melakukan pencurian serta untuk menyembunyikan kejorokan dan kemiskinan rakyat Indonesia. Pilihan untuk menghukum gelandangan dan pengemis tersebut merupakan pilihan yang irrasional dengan melihat kondisi lembaga pemasyarakatan yang tidak mencukupi (over capacity). Maka sangat dibutuhkan fungsionalisasi hukum pidana bernurani yang dapat menjaga keselarasan antara kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu. 2. Penegakan hukum pidana dalam penanganan gelandangan dan pengemis harus di harmonisasikan dengan peraturan yang lebih tinggi dan nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat (the living law). Serta implementasi kebijakan perundang-undangan dalam kenyataan berhukum di dalam masyarakat, sehingga Undang-undang sistem jaminan sosial nasional dan Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
3. Hakikatnya gelandangan dan pengemis bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat didalamnya sehingga sangat tepat apabila didekriminalisasikan karena tidak ada yang dirugikan dari perbuatan tersebut, dalam Alqur’an Surat Al Ma’un disebutkan jangankan menghukum menghardik saja berdosa namun, perbuatan tersebut tepat untuk dihukum apabila gelandangan dan mengemis dibarengi dengan tindak pidana yang lain atau meminta dengan paksaan, menganggu ketertiban umum serta dengan kekerasan. Maka sebaiknya Pasal 504-505 tersebut dihapus atau diperbaharui melalui mekanisme judicial review untuk menjawab kebutuhan dalam di dalam kebuntuan berhukum. Pembaharuan hukum pidana yang mengatur gelandangan dan pengemis perlu dilakukan karena ada hubungan antara peningkatan kejahatan dengan tidak rasionalnya kebijakan perundang-undangan pidana, terlihat pula dalam pandangan John Kaplan yang dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief, salah satu aspek yang paling kacau dari peraturan pemidanaan ialah kondisi KUHP itu sendiri. Dikebanyakan negara, sanksi-sanksi yang
Universitas Sumatera Utara
B. Saran Penegakan hukum dalam penanganan gelandangan dan pengemis penulis menyarankan: 1. Undang-Undang Dasar dalam pelaksanaanya harus di implementasikan sebagai tertib hukum tertinggi, serta harmonisasi dengan peraturan yang lain. 2. Adanya kategori dalam penilaian pengemis, pengemis yang patut di hukum (berpura-pura menjadi pengemis serta sehat pisik dan jasmani) dan pengemis yang tidak layak di hukum (orangtua jompo, orang cacat dan anak yatim) untuk rancangan KUHP mendatang. 3. Diperlukan itikad baik oleh pemerintah terhadap penyandang masalah kesejahteran sosial, baik pemerintah pusat maupun daerah khususnya anggaran untuk perbaikan dan rehabilitasi gelandangan dan pengemis sebagai kebijakan yang pro rakyat. 4. Penghapusan pemidanaan terhadap gelandangan dan pengemis apabila apabila perbuatan meminta-minta tersebut dilakukan karena terpaksa untuk memenuhi kebutuhan.
Universitas Sumatera Utara
5. Sanksi yang dijatuhkan adalah perawatan didalam panti rehabilitasi (bagi yang cacat fisik dan lansia) apabila yang melakukan pengemisan itu secara fisik masih memungkinkan untuk bekerja maka diberikan sanksi denda atau kerja sosial.
Universitas Sumatera Utara