Depik, 3(2): 146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
Pemodelan hidrodinamika arus pasang surut Teluk Mayalibit Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat
Hydrodynamics model of tidal current in Mayalibit Bay, Raja Ampat Province of West Papua Asep Sandra Budiman1*, Alan F. Koropitan2, I Wayan Nurjaya2 1Sekolah
Pascasarjana Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Jl. Dramaga, Bogor 16680. *Email Korespondensi :
[email protected] 2Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK Institut Pertanian Bogor. Jl. Dramaga Bogor 16680, Indonesia. Telp:0251-8623644
Abstract. Mayalibit Bay has an unique topography due to it has only one way long canal , narrow, and devious that connecting to
open sea. Study on the water mass dynamics concerning to elevation and tidal current in Mayalibit Bay was conducted by constructing the 2D numerical hydrodynamics model which was simulated for 30 days to describe the pattern of elevation and water current which was resulted from tidal processes. The 2D hydrodynamic equation was employed by finite difference methods. Validation result showed that the model has a good performance and it was relevance to in-situ measurement. The pattern of elevation and water current from many tide periods had been spatially analyzed. Generally, simulation showed that there was a significant difference between the elevation and water currents pattern inside and outside the bay during high and low tides.. Elevation and water current have higher value during highg tide (maximum 0.35 m and 0.2 m/s) than low tide period (maximum 0.14 m and 0.1 m/s ) with the velocity of water current was faster at ebb-tide or low tide. The water current in entry canal has higher value than in any part of the bay which themaximum velocity was varied from 1.6 m/s (flood-tide) to 3.7 m/s (ebb-tide). The direction of current during high tide flows was dominantly to the West-Northwest or enters the bay by following its geometric and to the East-Southeast or exits from the bay during the ebb-tides Keywords : Tidal; quasi-enclosed waters; numerical models; finite difference Abstrak. Teluk memiliki topografi yang unik karena hanya memiliki satu celah atau jalur panjang, sempit, dan berkelok yang menghubungkannya dengan laut terbuka. Kajian dinamika massa air terkait elevasi dan arus pasang surut di Teluk Mayalibit telah dilakukan dengan membangun sebuah model numerik hidrodinamika 2D yang disimulasi selama 30 hari untuk menggambarkan pola elevasi dan arus akibat pasang surut. Persamaan hidrodinamika 2D diselesaikan dengan metode beda hingga. Hasil validasi menunjukkan bahwa model telah memiliki performa yang cukup baik dan relevan bila diverifikasi dengan hasil pengukuran di lapangan. Pola elevasi dan arus dalam beberapa periode pasang surut dianalisis secara spasial. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara elevasi dan pola arus di dalam dan di luar teluk selama periode pasang purnama dan pasang perbani. Elevasi dan arus memiliki nilai yang lebih tinggi pada saat pasang purnama (maksimum 0,35 m dan 0,2 m/detik) dibandingkan dengan pada saat pasang perbani (maksimum 0,14 m dan 0,1 m/detik) dengan kecepatan arus yang lebih tinggi pada saat surut. Arus di jalur masuk teluk memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan bagian manapun di dalam teluk, dimana kecepatan maksimumnya bisa mencapai 1,6 m/detik (pasang) sampai 3,7 m/detik (surut). Arah arus dominan di dalam teluk pada saat pasang adalah Barat - Barat Daya atau masuk ke dalam teluk mengikuti geometrinya dan ke Timur-Tenggara atau ke luar teluk pada saat surut. Kata Kunci : Pasang surut;perairan quasi-enclosed (hampir tertutup);model numeric;finite difference
Pendahuluan Kepulauan Raja Ampat terletak di pusat Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle) dan merupakan pusat keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia saat ini (Rumetna et al. 2011) serta menyimpan 64% kekayaan terumbu karang dunia (McKenna et al. 2002). Wilayah ini terletak di ujung barat Pulau Papua atau tepatnya pada koordinat 2o25’ LU - 4o25’ LS dan 130o – 132o25’ BT (COREMAP, 2001). Kepulauan Raja Ampat termasuk dalam kawasan perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir di wilayah Papua yang dikenal dengan nama Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) yang merupakan sebuah kawasan laut yang menjadi prioritas konservasi laut di tingkat regional dan internasional. Pemerintah Papua Barat telah cara membentuk jejaring 12 Kawasan Konservasi Perairan (KKP) seluas lebih dari 3,6 juta hektar yang meliputi wilayah perairan dan pulau-pulau kecil. KKP tersebut meliputi Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih, Abun, 7 KKP di Raja Ampat dan sebuah 146
Depik, 3(2): 146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
KKP yang luas di Kaimana (Huffard et al., 2010). Wilayah administrasi Kabupaten Raja Ampat memiliki sekitar 610 buah pulau dengan 4 pulau besar , yakni: Pulau Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool (DKP, 2007). Teluk Mayalibit berada di tengah Pulau Waigeo dan merupakan perairan semi-tertutup yang terhubung ke laut lepas melalui jalur yang panjang dan sempit. Teluk Mayalibit ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) melalui Perda No. 27 tahun 2008 dengan luas 53.100 hektar (Rumetna et al., 2011). Teluk Mayalibit merupakan sebuah perairan yang hampir tertutup di tengah-tengah pulau Waigeo Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat yang berada di posisi lintang antara 0,0090-0,440LS dan 130,530131,250BT dengan luas total sekitar 4000 km2. Teluk ini dikelilingi oleh pantai-pantai bertebing yang dicirikan dengan relief sedang-tinggi, batu gamping putih, batuan beku, basal, masif, dan keras dengan tinggi tebing 2 m sampai100 m serta kemiringan 20% sampai terjal (Pemkab RJA, 2006) dan terhubung langsung dengan perairan lepas melalui suatu jalur akses keluar masuk yang panjang (38 km) dan sempit (McKenna et al., 2002) (Gambar 1).
Gambar 1. Teluk Mayalibit Papua Barat Dinamika perairan Teluk Mayalibit, khususnya arus lebih dipengaruhi oleh pasang surut. Saat pasang, massa air bergerak ke dalam teluk dan keluar pada saat surut. Hal ini sejalan dengan Triatmodjo (1999) yang mengatakan bahwa pasang surut merupakan gaya penggerak utama sirkulasi massa air atau arus di perairan sempit dan semi tertutup seperti teluk. Sirkulasi massa air yang terkait arus dapat dibangkitkan oleh adanya gaya gavitasi melalui fenomena pasang surut, angin, dan gradien tekanan (Pond dan Pickard, 1983). Penelitian mengenai sirkulasi massa air Teluk Mayalibit diperlukan sebagai bahan masukan dan informasi tambahan bagi para pengelola wilayah perairan ini karena sifatnya yang relatif rentan pencemarandari kegiatan pembangunan di pesisir karena sifat teluk ini yang dangkal dan tertutup (Huffard et al., 2010). Kajian sirkulasi massa air di suatu wilayah perairan dapat dilakukan melalui berbagai metode diantaranya pengukuran langsung di lapangan, pemasangan stasiun atau melalui penginderaan jauh,cara ini cukup akurat namun memerlukan, waktu, biaya dan tenaga yang yang banyak. Cara lain yang dapat ditempuh adalah melalui aplikasi model numerik., data yang diperukan cukup untuk keperluan validasi saja sehingga lebih efisien dari segi waktu, biaya, dan tenaga. Hasil model yang telah divalidasi dan telah menunjukkan korelasi atau kemiripan dengan kondisi sebenarnya di lapangan dapat digunakan untuk memprediksi dinamika berbagai proses yang terjadi di perairan (Ramming and Kowalik, 1980), sehingga survey lapangan yang biasanya dilakukan berbulan-bulan, hanya cukup dilakukan dalam beberapa hari saja sebagai bahan validasi lapangan model untuk prediksi. Model numerik yang dibuat dalam penelitian ini adalah model hidrodinamika arus pasang surut 2D dengan perata-rataan terhadap kedalaman. Model ini cocok diterapkan di Teluk Mayalibit mengingat kondisi teluk ini yang hampir tertutup dimana gaya pembangkit utama arus adalah pasang surut dan kedalaman perairan yang dangkal. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Teluk Mayalibit antara lain adalah penelitian oleh Charlton et al. (2001) yang melakukan studi geologi dan tektonik Teluk Mayalibit, McKenna et al. (2002) yang melakukan studi biologi perairan di Raja Ampat termasuk Teluk Mayalibit, Mudiana (2008) yang melakukan studi mengenai salah satu jenis tumbuhan bernama Styphelia abnormis di Pulau Wiaigeo yang mengelilingi Teluk Mayalibit, Hufard et al. (2010) tentang Pengelolaan Berbasis Ekosistem (PBE) Kab. Raja Ampat termasuk Teluk Mayalibit, Larsen et al. (2011) yang melakukan kajian sosio-ekonomi Raja Ampat termasuk Teluk Mayalibit, Rumetna et al. (2011) mengenai pengelolaan secara struktral bagi daerah pesisir Kab.Raja Ampat, Doheni et al. (2013) yang mengkaji kondisi lingkungan Raja Ampat termasuk Teluk Mayalibit terkait penggunaan lahan dan sedimentasinya, Suhardjono (2013) meneliti hutan mangrove di Kalitoko Teluk Mayalibit, dan Oktaviani et al. (2014) yang meneliti tingkat kematangan salah satu jenis ikan tuna di Teluk Mayalibit. Penelitian-penelitian model 147
Depik, 3(2): 146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
hidrodinamika pasang surut di wilayah teluk dan perairan semi tertutup sendiri yang pernah dilakukan antara lain adalah penelitian Choi et al. (2003) di Teluk Sok Kwu Wan Hongkong, Supiyati (2005) di perairan Pulau Baai Bengkulu, Chu dan Kyriakidis (2006) di Teluk San Diego, Plus et al. (2009) di Teluk Arcachon Perancis, Nugraha dan Surbakti (2004) di Teluk Pelabuhan Ratu, Sasmal et al. (2011) di Teluk Arab, Pratama et al. (2012) di Teluk Benete NTB, dan Pokavanich et al. (2013) di Teluk Kuwait sedangkan penelitian model hidrodinamika pasang surut di Teluk Mayalibit belum pernah dilakukan oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sirkulasi massa air Teluk Mayalibit yang terkait elevasi dan arus oleh fenomena pasang surut melalui model Hidrodinamika Pasang Surut 2D.
Bahan dan Metode
Waktu dan tempat Wilayah kajian dan daerah model adalah perairan Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat Papua yang secara geografis terletak pada posisi lintang antara 130,520 – 131,250 BT dan 0,010 – 0,440 LS dengan luas total sekitar 4000 km2 (Gambar 2). Penelitian yang meliputi pembangunan model dan analisa dilakukan pada bulan Maret - Mei 2014.
Gambar 2. Wilayah kajian dan daerah model (kotak merah) beserta titik validasi (lingkaran merah) Alat dan bahan Posisi stasiun ditentukan dengan GPS GARMIN 76CSX, Arus untuk validasi model diukur dengan RCM-7 di lintang 130,9163o BT dan 0,3109o LS dengan penambatan (mooring) selama 20 jam selama EWIN P2O LIPI tahun 2008. Data yang digunakan untuk masukan model meliputi data batimetri dan pasang surut. Batimetri menggunakan data dari peta laut no. 477 tahun 1996 dan no.186 tahun 2001 kepulauan Raja Ampat yang dikeluarkan Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL (1996). Data pasang surut untuk batas terluar model (open boundary condition) menggunakan elevasi dari FES 2004 (Finite Element Solution 2004, Lyard et al,. 2006) yang merupakan model peramalan pasang surut global dengan resolusi 1/8o x 1/8o. Pembangunan model numerik dilakukan melalui penulisan baris program di PC dengan Fortran 90 dimana hasil keluarannya disimulasikan dengan Matlab R2007b dan Surfer 10. Persamaan hidrodinamika Persamaan hidrodinamika dibangun atas 4 Jenis gaya yg bekerja pada massa air laut, yaitu gaya gradien tekanan, gaya coriolis, gaya gravitasi, dan gaya friksi per unit massa (Ramming dan Kowalik, 1980; Pond and Pickard, 1983; Stewart, 2006). Persamaan momentum untuk Model Hidrodinamika Pasang surut 2D ini memiliki bentuk sebagai berikut: Komponen-x: 148
Depik, 3(2): 146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
Komponen-y:
Persamaan Kontinuitasnya memiliki bentuk: (uH ) (vH ) 0 t x y
Dimana dan adalah arus yang dirata-ratakan terhadap kedalaman (m/detik) dalam arah x dan y serta didefinisikan sebagai: dan , elevasi muka air (m), d=kedalaman perairan (m), H=d+ kedalaman total (m), g koefisien gravitasi bumi (m2/dt), koefisien gesekan dasar. Persamaan momentum dan persamaan kontinuitas tersebut diselesaikan secara numerik melalui metode beda hingga (finite difference) sehingga diperoleh bentuk: Komponen-x: 2 2 rt U in, j V ' gt n 1 n U i, j U i, j (1 ) H 'u in, j 1 in, j twx wx2 w2y 2 x H 'u Dimana: in, j in, j 1 d i, j d i, j 1 Vin1, j Vin, j Vin, j 1 Vin1, j 1 ; V' H 'u 2 4 Dengan cara sama kita peroleh persamaan momentum arah-y : 2 2 rt U ' V n gt i, j Vin, j1 Vin, j (1 ) H 'v in1, j in, j twy wx2 w2y 2 y H 'v dimana : in, j in1, j d i, j d i 1, j U in, j 1 U in, j U in1, j U in1, j 1 ; U' H 'v
2
4
Diskritisasi Persamaan Kontinuitas adalah :
U in, j U in, j 1 Vin, j Vin1, j n 1 n i, j i, j t x y
Dimana dimana U = H ; V = H adalah kecepatan transport arah-x,y (m2/dt). Suku-suku Non-Linier didiskritkan dengan metode finite difference menggunakan skema 2 langkah waktu (two-time level scheme) (model GF2 oleh Crean et al., (2008) dalam Kowalik dan Murty, 1993). Seluruh proses deskritisasi numerik persamaan hidrodinamika dua dimensi secara eksplisit tersebut harus memenuhi kriteria stabilitas Courant-Freiderichs-Lewy (CFL) sebagai berikut : L t 2gH max dimana : L=min[x,y] dan Hmax=max[d+]. Kriteria kestabilan dipenuhi dengan membuat model hidrodinamika teluk Mayalibit ini memiliki ukuran sel 111 m x 111 m dengan langkah waktu sebesar 6 detik. Hasil diskritisasi dari solusi numerik persamaan-persamaan pembangun hidrodiamika ini ditulis di PC dalam bentuk baris-baris perintah Fortran 90. Prosedur penelitian 149
Depik, 3(2): 146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
Secara garis besar, tahap pembangunan model hidrodinamika pasang surut Teluk Mayalibit ini terbagi atas beberapa tahap yaitu tahap uji kestailan dengan menjalankan simulasi model selama 30 hari, tahap validasi melalui penyesuaian komponen-komponen Hidrodinamika, dan tahap akhir yang berupa simulasi model kembali selama 30 hari untuk memperoleh gambaran pola elevasi dan arus dalam beberapa periode pasang surut (Gambar 3).
Gambar 3. Diagram alir pembangunan model dalam penelitian ini Validasi dilakukan terhadap nilai-nilai arus yang dihasilkan model dengan data-data arus hasil pengukuran di lapangan selama 20 jam beserta komponen pasang surut yang membangkitkannya selama periode tersebut (M2-M8) di titik yang sama (Gambar 1) melalui metode least square dengan bantuan perangkat lunak ttide. Validasi elevasi dilakukan dengan membandingkan elevasi dari 5 komponen pasang surut (S2,N2,M2,K1,O1) yang direkonstruksi melalui program Worldtide untuk bulan November 2011 antara hasil model di titik 0,420 LS dan 131,10 BT dengan pasang surut DISHIDROS TNI AL yang berada di Sorong atau di posisi lintang 0,80 LS dan 131,20 BT (Gambar 4). Model yang telah menunjukkan hasil validasi yang baik kemudian disimulasikan selama 1 bulan, yaitu pada November 2011 untuk memperoleh penggambaran pola elevasi dan arus secara spasial dalam beberapa kondisi pasang surut dengan bantuan perangkat lunak Matlab 2007b dan Surfer 10.
150
Depik, 3(2): 146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
Gambar 4. Titik pengamatan elevasi (lingkaran merah) hasil model dan hasil pengukuran DISHIDROS TNI AL untuk validasi
Hasil dan Pembahasan Komponen arus yang dianalisa lebih lanjut adalah komponen arus V (Utara-Selatan) mengingat titik validasi yang terletak di dalam kanal yang sejajar arah meridional (Utara-Selatan). Hasil analisa ttide arus hasil model dan pengukuran selama 20 jam (10 Nopember 2011 21:00 WIT – 11 Nopember 2011 17:00 WIT) menghasilkan nilai konstanta harmonik pasang surut M2, M4, M6, dan M8 yang signifikan (bertanda “*”) baik model maupun pengukuran dengan selisih nilai yang relatif kecil (Kecepatan:0,15-0,37 m; Fasa:78,280–78,510) (Tabel 1)
Pengukuran Model Pengukuran Model Pengukuran Model Pengukuran Model
Tabel 1. Perbandingan konstituen arus pasut hasil model dan pengukuran Konstanta Frekuensi Kecepatan Error Fasa (0) Error Fasa Harmonik (Hz) Arus Amplitudo (m/detik) *M2 0,08 1,15 0,17 278,43 8,67 0,08 0,71 0,015 203,14 1,22 *M4 0,16 0,44 0,17 116,64 23,24 0,16 0,29 0,015 38,14 3,09 *M6 0,24 0,47 0,05 115,57 7,18 0,24 0,31 0,012 37,06 2,48 *M8 0,32 0,47 0,04 113,43 5,43 0,32 0,31 0,006 35,15 1,2
SNR 47 2300 7 390 78 660 150 3000
Hasil analisa harmonik arus pasut menghasilkan konstanta harmonik M2-M8 karena konstanta-konstanta ini memiliki periode yang lebih kecil dari 20 jam (M2 = 12,42 jam). Hasil validasi antara komponen-komponen arus pasang surut hasil model dan pengukuran di lapangan pada umumnya sudah cukup baik karena selisih nilai amplitudo relatif kecil yaitu berkisar antara 0,15 – 0,37 m/detik atau kurang dari setengahnya dengan selisih fasa antara 78,280 – 78,510 atau kurang dari 900 (Tabel 2). Kecepatan arus hasil model dan pengukuran memiliki selisih nilai arus minimum yang sama, baik untuk kondisi pasang maupun surut (0,03 m/detik), namun model menunjukkan arus maksimum yang relatif lebih mendekati hasil pengukuran pada kondisi surut (selisih 0,07 m/detik) daripada pada kondisi pasang (selisih 0,63 m/detik) (Tabel 3). Tabel 2. Selisih kecepatan dan fasa arus pasang surut hasil model dan pengukuran 151
Depik, 3(2): 146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
Konstanta Kecepatan(m/detik) Fasa(0) Kecepatan Arus (m/detik) Min Max Rata-rata Arah Dominan
*M2 0,37 78,50
*M4 0,15 78,50
*M6 0,16 78,51
*M8 0,16 78,28
Tabel 3. Kecepatan dan arah arus saat pasang dan surut Kondisi Pasang Kondisi Surut Pengukuran Model Pengukuran 0,08 0,05 0,01 1,52 0,89 0,82 1,04 0,53 0,43 Utara Utara Selatan
Model 0,04 0,75 0,43 Selatan
Arus rata-rata model selama kondisi surut lebih mendekati dan bahkan sama dengan hasil pengukuran (selisih 0 m/detik) daripada selama kondisi pasang (0,51 m/detik). Validasi hasil model dan pengukuran melalui analisis harmonik sudah mencukupi karena proses ini merupakan bagian terpenting dalam validasi sebuah model dan karena hasilnya dapat menunjukkan presisi suatu model (Bernardes, 2007). Titik validasi yang berada didalam jalur teluk (Gambar 1) menyebabkan sulit memperoleh hasil model yang benar-benar mendekati kondisi di lapangan karena faktor-faktor non-linier (turbulen, gesekan dengan topografi, batimetri) yang diduga sangat intens di titik ini. Meski demikian, hasil validasi model ini dinilai yang terbaik yang dapat diperoleh setelah melalui berbagai proses penyesuaian komponen-komponen hidrodinamika (koefisien gesekan dasar, batimetri smoothing) (Gambar 3). Hasil validasi elevasi Grafik perbandingan elevasi menunjukkan bahwa antara elevasi hasil model dan elevasi DISHIDROS TNI AL memiliki selisih yang cukup kecil. Hal ini terlihat dari pola keduanya yang hampir berhimpit, baik ampitudo maupun fasa (Gambar 5).
Gambar 5. Perbandingan Elevasi DISHIDROS TNI AL dan Hasil Model pada bulan November 2011 Perbedaan fasa atau perbedaan waktu tempuh gelombang pasut terjadi salah satunya karena adanya perbedaan batimetri perairan antara lokasi model dengan lokasi stasiun pasang surut DISHIDROS TNI AL akibat keterbatasan database pasut di perairan Raja Ampat sehingga yang digunakan sebagai perbandingan adalah stasiun pasang surut Sorong. Namun demikian, Selisih nilai elevasi hasil model dan DISHIDROS TNI AL relatif kecil dan dianggap sudah baik dimana nilai RMSE-nya mencapai 0,008. Hasil perhitungan bilangan formzahl (F) sebesar 0,6 menunjukkan bahwa perairan ini memiliki tipe pasut campuran yang cenderung semidiurnal karena nilai F berada diantara 0,25 – 1,5 (Wyrtki, 1961). Elevasi dari DISHIDROS TNI AL memiliki rentang pasut 1,785 m dengan muka laut rata-rata berada di -0,001 m sedangkan elevasi hasil model memiliki rentang pasut 2,015 m dengan muka laut rata-rata sebesar -0,004 m (Tabel 5). Tabel 5. Perbandingan statistika elevasi Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL dan hasil model Parameter Statistika Hidros Model Min -1,002 m -1,094 m Max 0,783 m 0,921 m Rata-rata -0,001 m -0,004 m Tunggang Pasut 1,785 m 2,015 m RMSE 0, 008 152
Depik, 3(2): 146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
Elevasi dan arus hasil model Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada saat elevasi di batas terbuka menuju pasang, elevasi di dalam teluk semakin meningkat dari mulut sampai ke dalam teluk menyesuaikan dengan elevasi di luar teluk yang sedang mengalami peningkatan (menuju pasang). Elevasi yang terjadi berkisar antara -0,01 – 0,05 m (Gambar 6a). Pada saat puncak periode pasang tertinggi elevasi di dalam dan di luar teluk memiliki perbedaan yang cukup signifikan dan memiliki beda fasa yang hampir berkebalikan. Elevasi di dalam teluk pada saat itu berkisar antara 0,1 – 0,2 m sedangkan elevasi di luar teluk mencapai ketinggian 0,8 - 1 m (Gambar 6b). Hal ini menunjukkan bahwa jalur teluk yang panjang dan sempit seolah-olah berperan sebagai peredam bagi elevasi dari batas terbuka yang masuk ke dalam teluk. Pada saat periode menuju surut, elevasi di dalam teluk menunjukkan ketinggian yang semakin menurun dari dalam teluk sampai ke mulutnya mengikuti kondisi elevasi di batas terbuka yang sedang mengalami penurunan.
Gambar 6. Hasil simulasi elevasi pada saat pasang purnama (Spring Tide); (a) menuju pasang, (b) puncak pasang, (c) menuju surut, (d) puncak surut Elevasi di dalam teluk berkisar antara 0,04 - 0,16 m (Gambar 6c). Pada saat periode surut terendah, terjadi fenomena yang berkebalikan dengan yang terjadi pada saat puncak periode pasang dimana elevasi di dalam teluk memiliki kisaran nilai yang lebih tinggi daripada elevasi di luar teluk dengan perbedaan yang cukup signifikan. Elevasi di dalam teluk berkisar antara -0,2 – 0,15 m sedangkan elevasi di luar teluk berkisar antara -1 sampai -1,25 m (Gambar 6d). Hasil simulasi arus menunjukkan pola yang relevan dengan pola elevasinya, yakni bahwa arus mengalir dari elevasi yang lebih tinggi ke elevasi yang lebih rendah. Arah arus menuju daerah dengan elevasi yang lebih rendah. Arus di dalam dan di luar teluk memiliki arah yang berlawanan pada saat kondisi menuju pasang dan surut. Jalur teluk seolah-olah berperan sebagai penghambat bagi aliran massa air dari luar teluk untuk masuk sehingga terjadi perbedaan fasa yang besar (Gambar 7a dan Gambar 7b). Arus di dalam teluk dominan menuju ke tenggara dan timur serta memiliki besar dan arah yang hampir sama pada saat puncak pasang dan surut yaitu antara 0,001-0,003 m/detik ke Barat dan Barat Laut pada saat puncak pasang dan ke Timur dan Tenggara pada saat surut terendah (Gambar 7c dan Gambar 7d). Kecepatan arus yang relatif besar (1,78 – 3,70 m/detik) terlihat di jalur teluk yang sempit karena sifat kontinuitas massa air. Jalur masuk teluk memiliki kecepatan yang lebih besar dibandingkan bagian manapun di dalam teluk karena sifat kontinuitas massa air, dimana perubahan massa dari fluida yang melewati suatu ruang yang tetap haruslah sama antara debit masukan dan keluarannya (Pond dan Pickard, 1983), sehingga debit air yang masuk ke dalam jalur teluk akan dikeluarkan dalam jumlah yang sama dengan kecepatan yang relatif lebih tinggi untuk menjaga keseimbangannya.
153
Depik, 3(2): 146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
Gambar 7. Hasil simulasi arus pada saat pasang purnama purnama (Spring Tide); (a) menuju pasang, (b) puncak pasang, (c) menuju surut, (d) puncak surut Pada umumnya, hasil simulasi pada kondisi pasang perbani (neap tide) menunjukkan kemiripan pola dengan yang terjadi pada periode pasang purnama namun dengan kisaran elevasi dan arus yang relatif lebih rendah yaitu antara -0,03 – 0,09 m (Gambar 8) untuk elevasi dan antara 0 – 0,003 m/detik untuk arus (Gambar 9).
Gambar 8. Hasil simulasi elevasi pada saat pasang perbani (Neap Tide) ); (a) menuju pasang, (b) puncak pasang, (c) menuju surut, (d) puncak surut
154
Depik, 3(2): 146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
Gambar 9. Hasil simulasi elevasi pada saat pasang perbani (Neap Tide) ); (a) menuju pasang, (b) puncak pasang, (c) menuju surut, (d) puncak surut
Kesimpulan
Elevasi dan arus hasil model di dalam teluk memiliki perbedaan yang signifikan dengan elevasi dan arus di luar teluk baik besar maupun fasanya karena jalur teluk yang panjang dan sempit berperan dalam menahan perambatan elevasi dan arus disamping karena batimetrinya. Elevasi dan arus di dalam teluk memiliki nilai yang lebih besar saat pasang purnama (Spring Tide) dengan elevasi dan arus maksimum mencapai 0,35 m (elevasi) dan 0,2 m/detik (arus) saat surut terendah. Umumnya, kecepatan arus lebih besar saat surut (0,01 – 0,2 m/detik) daripada saat pasang (0,001 – 0,1 m/detik), baik saat pasang purnama maupun saat pasang perbani. Arus di jalur masuk teluk memiliki kecepatan yang lebih besar daripada di bagian teluk yang lainnya dimana kecepatan maksimumnya dapat mencapai 1,6 m/detik (pasang) – 3,7 m/detik (surut). Arah arus dominan di dalam teluk saat pasang adalah Barat - Barat Daya atau masuk ke dalam teluk mengikuti geometrinya dan ke Timur-Tenggara atau ke luar teluk saat surut.
Daftar Pustaka Bernardes, B.D.L. 2007. Hydrodynamical and ecological modeling of North Sea [Dissertation]. Lisboa(PT): Instituto Superior Tecnico, Universidade Tecnica de Lisboa. Charlton, T.R., R. Hall, E. Partoyo. 2001. The geology and tectonic evolution of Waigeo Island, NE Indonesia. InternationalJournal of Southeast Asian Earth Sciences. 6(3):289-297. Choi, K.W., J.H.W. Lee, K.T.M. Wong. 2003. Field verification of diffusion-induced circulation in Sok Kwu Wan Hongkong, dalam prosiding International Conference on Estuaries and Coasts, Hangzhou-China 9-11 November, 2003. Hal 663-670. Chu, P.C., K. Kyriakidis. 2006. Two chemical spill patterns in tidally dominated San Diego Bay. International Journal of Coastal Environment and Water Quality: 6(1):69-90. [COREMAP LIPI] Coral Reef Rehabilitation and Management Project LIPI. 2001. Critc Report: Baseline study Kepulauan Raja Ampat, Papua. [DISHIDROS TNI AL] Dinas Hidro-Oseanografi Tentara Nasional Indonesia. 1996. Peta Laut Indonesia No. 477. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Laporan Akhir: Penyusunan rencana strategis pengelolaan terumbu karang Kabupaten Raja Ampat. Unit Pelaksanaan Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II (COREMAP II).
155
Depik, 3(2): 146-156 Agustus 2014 ISSN 2089-7790
Doheni, B., K. Maher, A. Minks, J. Rude, M. Tyner. 2013. Ridge to Reef: Land Use, Sedimentation, and marine resource vulnerability in Raja Ampat, Indonesia. Project Report of Conservation International and Bren School of Environment Science and Management, University of California, Santa Barbara (US). Huffard, C.L., J. Wilson, C. Hitipeuw, C. Rotinsulu, S. Mangubhai, M.V. Erdmann, W. Adnyana, P. Barber, J. Manuputty, M. Mondong, G. Purba, K. Rhodes, H. Toha. 2010. Pengelolaan berbasis ekosistem di Bentang Laut Kepala Burung Indonesia: Mengubah ilmu pengetahuan menjadi tindakan. Ecosystem Based Management Program: Conservation International, The Nature Conservancy, and WWF publishing, Indonesia. Kowalik, Z., T.S. Murty. 1993. Numerical modeling of ocean dynamics. World Scientific Publishing, London. Larsen, S.N., C. Leisher, S. Mangubhai, A. Muljadi, R. Tapilau. 2011. Laporan penilaian desa pesisir di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Indonesia. Program Kelautan – Wilayah Konservasi Asia Pasifik. The Nature Conservancy publishing, Indonesia. Lyard, F., F. Lefèvre, Letellier, O. Francis. 2006. Modelling the global ocean tides: a modern insight from FES2004, International Journal of Ocean Dynamics, 56(1):394-415. McKenna, S.A., G.R. Allen, S. Suryadi. 2002. A marine rapid assesment of the Raja Ampat Island, Papua Province, Indonesia. RAP Bulletin of Biological Assesment 22. Conservation International, Washington DC(US). Mudiana, D. 2008. Studi habitat Styphelia abnormis (Sond.) J.J.Smith. di Bukit Manitalu, Cagar Alam Waigeo Timur, Pulau Waigeo, Papua Barat. Journal of Biodiversitas. 9(2):128-133. Nugraha, R.B.H., H. Surbakti. 2004. Simulasi pola arus dua dimensi di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu pada bulan September 2004. Jurnal Kelautan Nasional 40(1):48-55. Oktaviani, D., J. Supriatna, M. Erdmann, A. Abinawanto. 2014. Maturity stages of Indian Mackerel Rastrelliger kanagurta (Cuvier, 1817) In Mayalibit Bay, Raja Ampat, West Papua. International Journal of Aquatic Science. 5(1):67-76. [PEMKAB RJA] Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. 2006. Atlas sumberdaya pesisir Kabupaten Raja Ampat. Plus, M., F. Dumas, Y. Stanisiere, D. Maurer. 2009. Hydrodynamic characterization of the Arcachon Bay, using model-derived descriptors. International Journal of Continental Shelf Research. 29(8):1008-1013. Pokavanich, T., I. Polikarpov, A. Lennox, F. Al-Hulail, T. Al-Said, E. Al-Enezi, F. Al-Yamani, N. Stokozov, B. Shuhaibar. 2013. Comprehensive investigation of summer hydrodynamics and water quality characteristic of desertic shallow water body: Kuwait Bay. International Journal of Coastal Dynamics. 12(2):1253-1264. Pond, S., G.L. Pickard. 1983. Introductory dynamical oceanography (2nd Edition). Pergamon Press Ltd. Headington Hill Hall, Oxford(GB). Pratama, T.R., E. Indrayanti, I.B. Prasetyawan. 2012. Kajian pola arus dan co-range pasang surut di Teluk Benete Nusa Tenggara Barat. Journal of Oceanography. 1(1):111-120. Ramming, H.G., Z. Kowalik. 1980. Numerical modelling of marine hydrodynamics: Applications to dynamics physical processes. Elsevier publishing for Oceanography Series 26, Amsterdam(NL). Rumetna, L., M.I. Amin, C. Rotinsulu, M. Mongdong. 2011. Pembentukan struktur tata kelola (lembaga pengelola) yang representatif untuk pengelolaan jejaring Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat yang efektif. Marine Program - Asia Pacific Conservation Region, The Nature Conservancy publishing, Indonesia. Sasmal, K., H. Warrior, S. Maity. 2011. Water circulation modeling study upon the construction of Al-Dannat development at the Halfmoon Bay, Saudi Arabian Gulf. International Journal of Oceanography and Marine Science. 2(7):148-157. Stewart, R. 2006. Introduction to physical oceanography. Department of Oceanography. A&M University, Texas(US). Suhardjono, S. 2013. Hutan mangrove di Kalitoko, Teluk Mayalibit, Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Papua Barat. Jurnal Biologi Indonesia. 9(1):141-150. Supiyati. 2005. Model hidrodinamika pasang surut di perairan Pulau Baai Bengkulu. Jurnal Gradien. 1(2):51-55 Triatmodjo, B. 1999. Teknik pantai. Beta Offset, Yogyakarta (ID). Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of South East Asia Waters. Naga Report. Vol 2. Scripps Institutions of Oceanography La Jolla. The Universty of California publishing, California(US).
156