1
POLA INTERAKSI DAN KOMUNIKASI MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI RAJA AMPAT PAPUA Muhammad Rais1
Abstract: This article describe religious phenomenon was polite and mercy with
another fellow at Raja Ampat, West Papua. The impression that emerged in the interaction and communication in the social life of Raja Ampat is a religion is not a barrier. The issue of the relationship with God through religion (way) any bulkhead not be among them. It seems that the spirit of kinship and gathering more dominant in society in the region. The results of this research indicate a positive impact in the social relations of religious communities, namely mutual understanding and tolerance of other religions. Therefore, this paper is read by the public is important to be able to be used as a comparison, that religious differences are not the only reason for people to not harmonious with different people.
Key Words: Social Interaction ,Mass Communications, Religious, Harmonis Pendahuluan Di Indonesia tercatat sebagai salah satu bangsa yang multikultural, tidak hanya dari segi agama, melainkan bahasa dan etnis.2 Jika dikelola dengan baik, maka keragaman tersebut dapat menjadi berkah. Sebaliknya, potensi positif tersebut sewaktu-waktu dapat berubah menjadi potensi negatif, berupa ancaman konflik yang maha besar. Apabila tidak dikelola dengan baik, tidak ada kerjasama (interaksi sosial), komunikasi aktif, nir-toleransi dan dialog yang konstruktif di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, maka umat beragama menjadi patalogi sosial bagi kemanusiaan itu sendiri. Di sinilah pentingnya memahami mulitikultural untuk senantiasa menjaga kebersamaan dalam perbedaan. Sebab, masyarakat agama yang multikultur, bukanlah kenyataan yang mengharuskan orang untuk saling menjatuhkan, saling merendahkan atau mencampuradukkan antara agama satu dengan yang lain. Justru sebaliknya, menempatkannya pada posisi yang saling menghormati, saling mengakui dan Dosen Sejarah Islam di Jurusan Dakwah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Sorong. E-mail:
[email protected] 2 Ragam bahasa yang ada di Indonesia selama ini teridentifikasi sebanyak 750 bahasa daerah. Namun demikian, masih dimungkinkan adanya bahasa-bahasa daerah yang belum teridentifika. Lihat dalam http://www.berita8.com/news. Akses 14 Januari 2013. sedangkan jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik berjumlah 1.128 suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia. Lihat dalam http://www.jpnn.com/berita. Akses 14 Januari 20113. Sedangkan jumlah agama di Indonesia yang diakui secara resmi oleh Pemerintah Indonesia ada 6 agama yakni; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hucu. Lihat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia. Akses pada 14 Januari 2013. 1
2
kerjasama, tanpa melunturkan identitas agama masing-masing. 3 Sikap yang harus dimiliki oleh setiap umat dalam menempatkan berbagai perbedaan, yakni hidup menghormati, memahami dan mengakui diri sendiri, tidak ada paksaan, tidak mementingkan diri sendiri maupun kelompok.4 Dalam sejarah perjalanannya, masyarakat multikultural di Indonesia bukannya tanpa konflik. Beberapa konflik kekerasan di Indonesia seperti kasus peristiwa kerusuhan komunal yang terjadi di Maumere and Larantuka, Nusa Tenggara Timur pada Tahun 1995.5 Pada Tahun 1996 sejarah mencatat beberapa peristiwa penting, seperti kerusuhan Tasikmalaya dan Situbondo,6 peristiwa 27 Juli di Jakarta,7 tragedi sahur di Rengasdengklok, kerusuhan di Majalengka dan kerusuhan di Banjarmasin.8 serta kerusuhan Etnis Dayak dan Madura di Sambas, Kalimantan Barat pada Tahun 1999 dan Sampit di Kalimantan Tengah pada Tahun 2001.9 Intensitas insiden terus mengalami peningkatan, beberapa peristiwa yang tampaknya sepele dan dianggap biasa oleh masyarakat setempat, yaitu konflik antarpreman Batumerah (Muslim) dan Mardika (Kristen) pada tagggal 19 Januari 1999, dapat berubah menjadi sebuah pertikaian antar kelompok agama dan suku bangsa, bahkan menjelma menjadi kerusuhan besar di seantero kota Ambon tanpa dapat dikendalikan. Secara faktual kasus-kasus kekerasan lainnya, tampak di beberapa kota besar di Indonesia, seperti di Medan, Jakarta, Solo, Ketapang dan Kupang tahun 1998; Bali tahun 1999, Ambon, Maluku Utara pada kurun tahun 1999, 2000, 2003, dan 2004, 3 Shohibul Adib, “Identitas Agama dalam Wacana Pluralisme”, dalam Merajut Perbedaan Membangun Kebersamaan (ed.) Nurkholis Setiawan, dkk. (Yogyakarta: Dialogue centre Press, 2011), hlm. 74-75. 4 Elga Sarapung, Pluralisme, Konflik dan Perdamaian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 8. 5 Kerusuhan dipicu oleh ketidakpuasan massa terhadap tuntutan jaksa atas terdakwa dalam kasus pencemaran Hostia Kudus. Sedang kasus di Larantuka dipicu oleh kasus yang sama (pencemaran Hostia Kudus) ketika sekitar 3.000 umat Katolik mengikuti upacara ‘Ekakristi’. Lihat . Akses tanggal 15 Januari 2013. 6 Ketidakpuasan massa terhadap tuntutan jaksa atas terdakwa dalam kasus pelecehan kyai salah satu pemicu kerusuhan di Situbondo. Tercatat lima orang meninggal dan delapan gereja dibakar. Sementara perlakuan kasar oknum Polisi terhadap seorang santri memicu munculnya kerusuhan di Tasikmalaya yang membawa empat korban meninggal dan puluhan toko dibakar massa. Lihat . Akses tanggal 15 Maret 2013. 7 Sebuah insiden perebutan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang disebabkan oleh adanya dualisme kepemimpinan partai, antara kubu Suryadi (Ketua DPP PDI hasil kongres Medan) dengan kubu Megawati (Ketua DPP PDI versi Munas Surabaya). LIhat . Akses tanggal 15 Febuari 2011. 8 Kerusuhan Banjarmasin ini terjadi setelah kampanye golkar menjelang pemilu 1997 tepatnya pada 23 Mei 1997. 9 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki. Akses 11 Januari 20113.
3
pada tahun 2000 terjadi di Mataram, Kalimantan tahun 2004, Jakarta tahun 2005 dan 2010, Poso antara tahun 2003-2006, Manis Lor, Kuningan dan Bekasi tahun 2007, 2010, kasus Tarakan pada 2010, dan kerusuhan-kerusuhan yang lainnya. Bahkan di awal tahun 2011 bulan Februari sejarah kerusuhan bernuansa SARA terjadi di Temanggung dan Bogor. Sejumlah gereja dan sepeda motor dirusak. Kerusuhan dipicu oleh ketidakpuasan massa atas tuntutan lima tahun penjara kepada terdakwa penistaan agama Antonius. Terakhir adalah kerusuhan terbaru di tahun 2011 yang lagi-lagi terjadi di tanah Ambon Manise. Dengan didukung oleh media massa, baik cetak maupun elektronik, pemberitaan kekerasan atas nama SARA tersebut di atas memberi kesan bahwa tidak ada lagi kedamaian di bumi Nusantara ini. Kesan tersebut, terbantahkan dengan ditemukannya fakta dan realita bahwa masih ada beberapa wilayah di negeri ini yang damai penuh dengan nuansa kebersamaan. Salah satu daerah yang dapat dijadikan sebagai salah satu contoh adanya kenyamanan dan perdamaian dalam masyarakat adalah Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Di mana para tokoh agama mempunyai kesadaran kultural dalam beragama. Kesadaran kultural tersebut muncul dari ada kesepakatan untuk menciptakan suasana damai dalam beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa, tenang dan bebas dari anarkisme yang mengatasnamakan doktrin agama. Berdasarkan observasi dan wawancara di lapangan menunjukkan kesadaran pemahaman multikultural demikian tinggi. Walaupun pendidikan masyarakatnya relatif rendah, tetapi kesadaran itu seolah terbangun berasaskan keluarga dan hubungan marga dari suku-suku lokal yang ada. Demikian halnya dengan para pendatang, yang terdiri dari suku Bugis, Jawa, Manado, Madura, Maluku, dan beberapa suku lokal lainnya, terlihat ada kerelaan menerima perbedaan agama di antara mereka. Bahkan, ketika terjadi pekawinan dengan suku lain dengan agama tertentu, bagi mereka bukanlah halangan untuk membangun interaksi dan komunikasi serta ikut berpartisipasi dalam dalam acara tersebut. Penelitian ini diarahkan untuk mengungkap konteks sosial kultur yang menjadi backround penting bagi interaksi dan komunikasi masyarakat multikultural di Kabupaten Raja Ampat. Sebuah pertanyaan mendasar yang dapat dikemukakan adalah Bagaimana pola interaksi dan komunikasi yang dilakukan masyarakat multikultur di Raja Ampat, sehingga terwujud harmonisasi beragama?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian akan diarahkan kepada dua pertanyaan
4
yaitu Pertama, Bagaimana kehidupan beragama di Kabupaten Raja Ampat?. Kedua, Bagaimana relasi dan komunikasi masyarakat di Kabupaten Raja Ampat?. Kehidupan Beragama Di Kabupaten Raja Ampat Semua agama yang diturunkan Allah swt. disebut agama samawi. Tentunya agamaagama tersebut memiliki Nabi dan Kitab Suci tersendiri. Allah swt. menunrunkan kepada Nabi Musa agama Yahudi dan kitab sucinya Taurat, kepada Nabi Isa diturunkan agama Nashrāni dan kitab sucinya Injil, dan kepada Nabi Muhammad saw. agama Islam dan kitab sucinya Al-Qur’an. Semua agama yang disebutkan ini bersumber dari Allah swt, maka tentu saja agama-agama tersebut memiliki hubungan yang erat, bila ditinjau dari aspek lintasan sejarah. Ajaran agama-agama samawi pada dasarnya mempunyai hubungan erat satu sama lain, bahkan selalu mengandung konsepsi-konsepsi hidup yang bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan yang terdapat di dalam agama sebelumnya. Dalam masa perkembangannya, agama Nasrani dan Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat di berbagai negara. Sementara itu, Yahūdi kelihatannya hanya berkembang di negara-negara tertentu, terutama di negara Israil dan sekitarnya. Sebagaimana yang telah disebutkan, agama Yahudi, agama Islam serta Nasrani memiliki hubungan yang erat dalam lintasan sejarahnya, maka tentu saja korelasi antara keduanya sangat menarik untuk dicermati. Apabila difokuskan kajiannya antara hubungan agama Kristen dan agama Islam di tanah Papua, khsusnya masyarakat Raja Ampat. Di Kabupaten Raja Ampat terdapat tiga suku besar, yaitu suku Moi yang terdiri dari suku Moi, Modik, Klaba dan Karon yang mendiami Pulau Salawati. Kemudian suku Biak yang terdiri dari suku Biak, Nufor, dan Beser yang mendiami daerah Waigeo Selatan, Misool dan sebagian Salawati. berikutnya suku Amer, terdiri dari suku Amer, Fiawat, Kipil, Petrip, Mayo, Kawe, dan Kaldarum yang mendiami Salawati, Misool, Waigeo Selatan dan Waigeo Utara. Tiap suku bangsa mempunyai lembaga adat istiadat dan budaya sendiri yang berbeda satu sama lain.10 Dalam konteks yang lebih mikro, keberadaan umat beragama di daerah ini sangat stabil dan kondisuf. Di mana keberadaan umat beragama di tengah-tangah 10 Buku Produk Domestik Regional Bruto, Kabupaten Raja Ampat Menurut Lapangan Usaha, (Raja Ampat: BPS, 2012), h. 7.
5
masyarakat berjalan sesuai dengan koridor dan rel-rel agama yang telah ada. Di mana umat beragama berjalan sesuai dengan harapan masing-masing tokoh umat beragama. Dalam wawancara dengan Imam Masjid di kota Waisai, menjelaskan bahwa para elit agama di daerah ini tetap menjalin hubungan baik dan membangun kebersamaan dalam membina dan melayani umat masing-masing. Inti dari apa yang ingin disampaikan oleh tokoh agama ini, umat beragam serta tokoh-tokoh mereka silahkan mengerjakan agama dan keyakinan sesuai dengan ajaran agama masing-masing, tanpa saling menghina, mencurigai dan mencomoh satu dengan yang lain. Kepuasan beragama secara pribadi adalah tujuan penting dalam membina kerukunan antar umat beragama. Stabilitas hubungan antar tokoh agama selalu berkordinasi secara baik. Dalam kondisi-kondisi tertentu yang tidak diinginkan, ketika ada propokator dari luar yang hendak memicu konflik yang bernuansa SARA, para tokoh agama di daerah ini segera berkumpul dan membicarakannya secara serius dalam form Forum Umat Beragama (FUB) setempat.11 Dalam diskusi dengan tokoh-tokoh agama yang ada di Kabupaten Raja Ampat tersebut, biasanya dicari problem utama dari adanya pemicu konflik umat beragam. Dalam wawancara dengan pak Imam, dia menjelaskan pernah adanya gejala-gelala tersebut pada tahun 2009 dan mereka segera menyelesaikannya secara damai lalu menginformasikannya ke masing-masing jamaah dan umat mereka. Artinya dalam masyarakat, para tokoh mengantisipasi gangguan-gangguan dari luar yang tidak diinginkan oleh masyarakat setempat dan pemerintah daerah sendiri. Dapat dikatakan, dilihat dalam persepektif antropologis, kabupaten Raja Ampat merupakan daerah yang multikultural. Tiga ideologi agama besar hidup dan berkembang di dearah ini, yakni Islam, Katholik, dan Kristen. Hal ini bukanlah fenomena baru, tetapi proses beragama di daerah ini memiliki sejarah yang panjang dan berliku. Menurut data Kemenag Kab. Raja Ampat tahun 2012 menunjukkan jumlah pemeluk agama Islam sebanyak 19.925 atau sekitar 4,5%. Umat Kristen sebanyak 23.809 atau sekitar 5,0%. Sedangkan Katholik, berjumlah 702 atau sekitar 3,0%. Sedangkan sisanya, Hindu, 30 dan 17 orang atau sekitar 5%.12 Presentasi dari masing-masing pemeluk umat beragama di daerah ini, sesuai data di atas, sebenarnya tidak ada salah satu yang dominan. Nyaris berimbang. Maka, dengan kondisi seperti, pola pikir masyarakat pun telah dihadapkan dengan relaitas Wawancara di lakukan dengan Bapak Hanafi pada tanggal 2 Maret 2013 Buku Kemenag Kabupaten Raja Ampat, tahun 2013 lihat juga Raja Ampat dalam Angka, BPS Kabupaten Raja Ampat, h. 50. 11 12
6
yang tidak tunggal. Fenomena keragaman agama dan budaya di kalangan umat manusia dari zaman dahulu kala sampai hari ini adalah fakta yang tidak mungkin diingkari. Mengingkari fakta ini, sama saja dengan sikap tidak mengakui adanya cahaya matahari di kala siang bolong. 13 Mayarakat di Kabupaten Raja Ampat, khususnya di daerah Kelurahan kota Waisai dan sekitarnya, sadar akan adanya hakhak untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Kesadaran ini, tampaknya bersifat kultural bahkan mengakar di hati dan pikiran masyarakat. Maka, dengan kesadaran kulural seperti ini tidak membuat ada jarak antara masyarakat Muslim, Katholik maupun Kristen Protesten dalam berinteraksi setiap harinya. Dalam konteks beragama, umat Muslim dan Kristen, baik Katholik maupun Protesten terlihat saling menghargai dalam beragama. Agama bukanlah penghalang bagi mereka untuk membangun hubungan baik antara satu dengan lainnya. Bahkan secara sosial, satu umat dengan umat lainnya saling membantu dalam berbagai dimensi. Semangat gotong royong yang diusung oleh mereka terbangun berdasarkan ikatan primordial dari sejarah nenek moyang mereka. Menurut wawancara dengan ketua adat setempat, bahwa keturunan suku-suku yang ada, khususnya di Raja Ampat, bermula dari tujuh buah telur yang kemudian bertranformasi menjadi manusia. Manusia-manusia itu kemudian menjadi raja-raja yang menyebar ke empat pulau, yakni, Salawati, Saonek, Waegeo Selatan, dan Missol. 14 Walaupun tidak ada data yang menjelaskan tentang mitos tersebut, masyarakat Raja Ampat sangat percaya akan asal mula kejadian mereka. Agama yang datang belakangan, menurut tokoh adat, tidak boleh menghilangkan kearifan lokal yang sudah terbangun dari nenek moyang mereka. Dari angket yang diserbar secara random ke semua umat beragama, menjujukkan tingkat penerimaan mereka dengan umat lain, selain keyakinan mereka. Angket yang diseburkan tersebut diberikan secara tertutup dan menyembunyikan identitas nama dari umat beragama di wilayah tersebut. Angket berjumlah sekitar 200 buah. Format dan hasil isian pandangan masyarakat tetang resepsi (penerimaan) mereka dengan agama lain dapat dijelaskan sebagai table angket qusioner berikut ini:
Ahmad Syafi’i Ma’arif, (2009), Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan, h. 166. 14 Wawancara dilakukan dengan Bapak Adam Guman pada tanggal 01 Maret 2013. Dalam wawancara panjang tersebut banyak hal yang diceritakan mengenai asal mula dari keturunan Raja-raja yang ada di Kab. Raja Ampat. 13
7
Komponen 1.
Bagaimana pendapat Anda tentang pendirian rumah ibadah bagi agama lain? 2. Bagaimana pendapat Anda tentang pelaksanaan ibadah pada umat lain? 3. Bagaimana pendapat Anda tentang atribut/simbol agama lain? 4. Bagaimana pendapat Anda tentang perayaan hari-hari besar umat agama lain? 5. Apakah Anda mau ikut berpartisipasi terhadap perayaan agama lain? 6. Bagaimana pendapat Anda tentang ucapan selamat hari raya umat beragama? 7. Apakah Anda ingin melibatkan diri dalam perayaan harihari besar nasional? 8. Bagaimana pendapat Anda tentang berbaurnya anak Anda dengan umat lain? 9. Bagaimana pendapat Anda tentang makanan agama lain? 10. Bagaimana pendapat Anda tentang cara berpakaian agama
Tabel 1 Hasil Perhitungan Angket Setuju Sangat Tidak setuju setuju
Sangat tidak setuju -
Raguragu
87 %
10%
2%
1%
99%
-
-
-
1%
98%
-
-
-
2%
99%
-
-
-
1%
82%
10%
-
-
8%
87%
10%
2%
-
1%
-
99%
-
-
1%
82%
10%
4%
4%
-
87%
10%
-
-
3%
99%
-
-
-
1%
8
11.
12. 13.
14.
15. 16.
17.
lain? Bagaimana pendapat Anda tentang pemimpin dari agama lain? Apakah Anda mau menaati pimpinan dari agama lain? Bagaimana pendapat Anda tentang keberadaan sukusuku lain yang ada di Kab. Raja ampat? Bagaimana pendapat Anda tentang perbedaan agama pada suku-suku lain? Bagaimana pendapat Anda tentang bahasa pada suku-suku lain? Bagaimana pendapat Anda tentang perbedaan budaya pada suku-suku lain? Bagaimana pendapat Anda tentang pernikahan beda agama?
18. Apakah Anda mau menghadiri acara pernikahan agama lain? 19. Apakah Anda mau menghadiri upacara kematian agama lain? 20. Bagaimana pendapat Anda tentang bertetangga dengan agama lain? 21. Bagaimana sikap Anda tentang menjenguk tetangga sakit yang beragama lain?
70%
20%
-
5%
5%
70%
20%
-
5%
5%
98%
-
-
-
2%
82%
15%
-
-
3%
1%
99%
-
-
-
99%
-
-
-
1%
82%
10%
-
4%
4%
82%
10%
-
4%
4%
70%
20%
-
5%
5%
87%
10%
-
-
3%
82%
15%
-
-
3%
9
22. Bagaimana pendapat Anda tentang bertransaksi dengan pemeluk agama lain? 23. Bagaimana pendapat Anda tentang keluarga yang terdiri dari agama lain.
-
99%
-
-
1%
70%
20%
-
10%
10%
Dari hasil presentasi angket di atas, menujujukkan tingkat apresiasi dan pernerimaan masyarakat beragama dengan umat yang berbeda keyakinan dengan mereka. Dari 200 angket tersebut terdiri dari umat Islam, Protestan dan Katholik yang tinggal secara bersamaan di beberapa komplek. Angket tersebut sebenarnya ingin melihat pandangan umum masyarakat dalam berinteraksi dengan masyarakat di luar keyakinan mereka. Relasi Sosial Dan Komunikasi Masyarakat Di Kabupaten Raja Ampat Tidak ada satu pun agama yang tidak berangkat dari sebuah respon sosial masyarakat. Ketika agama berbasiskan “Titah Suci Tuhan” berdialektika dengan relitas sosial, berarti telah masuk pada kubangan sejarah atau telah menyejarah dalam masyarkat. Sejarah, ruang, dan waktu adalah penguji kebenaran serta kekokohan eksistensi agama. Sebagai penguji, sejarah, tentu memiliki seperangkat bahan ujian. Bahan itu adalah unsur-unsur budaya lokal dan budaya baru yang datang berikutnya.15 Dalam Islam misalnya, rujukan beragama memang satu, yaitu al-Qur’an dan alHadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam cukup beragam. Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas sendiri-sendiri dalam praktek dan amaliah keagamaan. Tampaknya perbedaan itu menjadi kewajaran, sunatullah, bahkan suatu rahmat. Keanekaragaman dalam kehidupan beragama, adalah sebuah keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini, perbedaan
dan
keanekaragaman
pendapat
dalam
bidang
ilmiah,
bahkan
keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya.16
Said Agiel Siradj, “Tradisi dan Reformasi Keagamaan”, Republika, 2 Juni 2007. M. Quraish Shihab, (2007), Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an, Bandung: Mizan, h. 52. 15 16
10
Masyarakat Muslim di daerah Raja Ampat menujukkan pengalaman berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia. Dalam berinteraksi sosial, nyaris tidak membedakan orang dari latar belakang agama apa yang mereka percayai (baca: anut). Hubungan antar sesama dalam memenuhi kebutuhan adalah sesuatu yang tidak bisa ditundatunda. Kebergantungan masing-masing kebutuhan hidup di antara masyarakat beragama di daerah ini, tidak dilihat dari apa agama mereka. Agama menjadi salah satu perekat hubungan dengan sesama umat, sementara ada banyak perekat-perekat lain yang dapat mereka bagun secara bersama. Sementara para pendatang yang mencari kehidupan di daerah ini, umumnya pedagang, nelayan dan sebagian PNS. Suku-suku pendatang, seperti Jawa, Bugis, Manado, Ambon, Ternate dan Madura umumnya berusaha memenuhi sektor perdagangan. Dari usaha kecil, seperti menjual nasi kuning, bahan-bahan bangunan, dan sembako lainnya yang menjadi kebutuhan masyarakat. Bagi umat Kristen, tidak pernah menanyakan orang agama apa yang berjualan di tempat itu. Pengamatan langsung menjujukkan tidak peduli dengan agama apa orang yang berjaualan tersebut. Sebaliknya, umat Islam pun tidak mengklim harus bertransaksi kepada sesama Muslim. Terjadinya pluralitas budaya dari penganut agama yang sama tidak mungkin dihindari ketika agama tersebut telah menyebar ke wilayah begitu luas dengan latar belakang kultur yang beraneka ragam. Dalam relasi, interaksi dan komunikasi umat beragama dengan budaya lokal akar budaya yang telah ada sebelumnya dengan sendirinya akan sangat menentukan terhadap seberapa dalam dan kuat ajaran agama yang universal mencapai realitas sosial budaya lokal. Pluralitas wajah agama itu dapat pula diakibatkan respons yang berbeda dari penganut agama yang sama terhadap kondisi sosial, budaya, maupun ekonomi yang mereka hadapi. Disatu sisi, peran tokoh kepala suku mempunyai peran yang sangat penting dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan di kawasan Raja Ampat. Kepala Suku atau tokoh adat masyarakat local, secara umum mempunyai wilayah adat sendirisendiri, sehingga perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan
melalui
musyawarah. Karena tanpa musyawarah akan sulit mendapatkan kesepakatan bersama.17 17 Buku Produk Domestik Regional Bruto, Kabupaten Raja Ampat Menurut Lapangan Usaha, (Raja Ampat: BPS, 2012), h. 23.
11
Dari paparan di atas, relasi, interaksi dan komunikasi sosial yang dibangun masyarakat Raja Ampat terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tidak ada sekat-sekat teologis yang menghalangi mereka untuk membangun hubungan dengan sesama manusia. Secara khusus, interaksi dan komunikasi umat beragama lebih jauh dapat dilihat sebagai berikut: 1. Perilaku di Tengah Masyarakat Ketika memasuki daerah Raja Ampat, sapaan spontan keluar dari anggota masyarakat. Tanpa melihat dari mana dan siapa yang datang. Sapaan tersebut muncul dari keinginan masyarakat dalam membangun komunikasi dengan sesamanya. Sapaan yang bisa terdengar adalah, hallo kaka’, bagaimana keadaan kaka’, dan sehat kah kaka’. Sapaan itu demikian akrab di telinga masyarakat. Semangat untuk menyapa dan mau berinteraksi dengan masyarakat lainnya selalu diperlihatkan oleh masyarakat beragama di daerah ini. Ketika, wawancara dengan beberapa anggota masyarakat lokal, kenapa sapaan ini begitu membudaya di masyarakat. Umumnya jawaban yang diucapkan adalah kita sama-sama manusia harus saling menghargai dan merasa senasib sepenanggungan. Baik, di sani, baik pula di sana. Hormat di sani pasti hormat di sana. Jawaban yang diberikan oleh anggota masyarakat tersebut menujukan keterbukaan mereka dengan semua lapisan masyarakat.18 Artinya dalam konteks sapaan tersebut masyarakat ingin membangun masyarakat komunikatif. Demikian pula sikap yang ditampakkan oleh masyarakat bersifat akomodatif. Senyum dan sapaan telihat akrab di tengah-tangah pergaulan sosial masyarakat. 2. Perilaku Ekonomi Perilaku ekonomi masyarakat di daerah ini ditandai dalam aktivitas produksi, konsumsi dan distribusi. Secara tidak langsung, interaksi ekonomi tersebut mendapat kontribusi nilai dari pemahaman ajaran agama yang dimiliki oleh masing-masing umat beragama. Tidak jarang agama, bahkan ditempatkan sebagai nilai yang tertinggi dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi. Keberadaan suku-suku tertentu, seperti suku Jawa, Ternate dan Makassar dipandang sebagai penopang roda perekonomian masyarakat. Skill dan mampuan yang dimiliki para pendatang ikut serta mewarnai roda perekonominan masyarakat 18
Wawancara dengan Anwar pada tanggal 3 Maret 2013
12
setempat. Keberadaan mereka, tentu mempengaruhi cara masyarakat lokal memperlakukan nilai-nilai agama sebagai sesuatu yang berperan dalam perilaku ekonomi mereka. Dalam hal ini, apa yang dimaksud sebagai perilaku ekonomi menyangkut cara mereka melakukan produksi makanan, konsumsi dan distribusi, beriringan dengan cara mereka menempatkan pengetahuan agama sebagai nilai yang harus diperlakukan. 3. Pemahaman Agama Pemahaman agama masyarakat memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk perilaku sosial ekonomi. Namun, pemahaman agama semata tidak selalu berhasil mengejawantahkan apa yang dipahami dengan apa yang harus dipraktikkan. Tindakan sosial dan ekonomi masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar nilai-nilai agama. Hal ini berlangsung dalam konteks etos kerja, hubungan kerja, interaksi dengan masyarakat, dan perilaku sosial lainnya. Masyarakat berbaur dan melebur menjadi satu kesatuan dan saling membutuhkan satu dengan yang lain. Pemahaman agama masyarakat lokal memiliki pengaruh kuat dalam membentuk perilaku sosial ekonomi. Namun, pemahaman agama semata tidak selalu berhasil mengejawantahkan apa yang dipahami dengan apa yang harus dipraktikkan. Tindakan sosial dan ekonomi masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar nilainilai agama. Hal inilah yang melahirkan kenyataan, ada sebagian masyarakat yang memiliki pengetahuan agama yang dianggap baik (dilihat dari kualitas pendidikan dan lingkungan keluarga), namun tidak berhasil menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupannya. Sebaliknya, ada sebagian masyarakat yang memiliki pengetahuan agama awam, namun perilaku sosial ekonominya persis dengan apa yang diajarkan dalam nilai-nilai agama. Ajaran yang berorientasi kepada perdamaian dan kehidupan harmonis dalam keberbagaian masyarakat pada umumnya adalah orientasi dari penduduk setempat. Gerakannya menekankan pada sikap menghargai dan menghormati keberadaan “yang lain” (the other). Islam ramha, moderat dan toleran dengan sesama manusia, menjadi ciri khas masyarakat Raja Ampat. Islam sangat membenci kekerasan, karena bedasarkan catatan sejarah, tindak kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Padahal, Islam diturunkan Allah adalah sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh masyarakat dunia).
13
Dalam proses kerukunan umat beragama di daerah Raja Ampat ini, dapat dikatakan mengetahui secara mendasar apa yang menyebabkan mereka menjalin hubungan baik dengan warga yang tidak seagama. Hal ini kelihatan jelas, ketika ditanyakan apa tujuan dan manfaat dari hubungannya dengan umat lain kebanyakan menjawab untuk hidup damai dan sejahtera, dan itu dibutuhkan toleransi. Situasi ini, turut didukung dengan adanya kebiasaan masyarakat lokal untuk melakukan sapaan antar sesamanya. Demikianlah pola interaksi dan komunikasi kongkrit yang terjadi masyarakat Raja Ampat, yakni menjunjug tinggi kearifan lokal, warisan budaya leluhur lebih dimaknai sebagai menjunjung tinggi toleransi antar-agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat Raja Ampat merupakan masyarakat yang sangat inklusif atau terbuka, mudah diajak kerjasama, kritis, ingin maju dan rela berkorban. Semangat kegotong royongan di antara mereka masih sangat kuat. Jika Habermas berusaha membangun sebuah masyarakat yang komunikatif19 atau meminjam istilah Gus Dur, masyarakat kosmopolit,20 maka Raja Ampat adalah modelnya. Hablu mina Allah dan hablu minannas dasar yang harus dipegangi dalam beragama, khususnya Islam. Selain menjalin hubungan dengan sang pencipta, Allah, dengan sesempurna mungkin terutama lewat ibadah mahdah, manusia juga dituntut menjalin hubungan baik dengan sesamanya. Penutup Agama samawi memiliki Nabi dan Kitab Suci tersendiri dari pemberi risalah, Tuhan yang maha Kuasa. Ajaran agama-agama samawi pada dasarnya mempunyai hubungan erat satu sama lain, bahkan mengandung konsepsi-konsepsi hidup yang bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan yang terdapat di dalam agama sebelumnya. Secara antropologis, masyarakat Raja Ampat merupakan salah satu daerah yang multikultural. Tiga ideologi agama besar hidup dan berkembang di dearah ini, yakni Islam, Katholik, dan Kristen. Masyarakat di Kabupaten Raja Ampat, khususnya di daerah Kelurahan kota Waisai dan sekitarnya, sadar akan adanya hak-hak untuk 19
Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston, Beacon Press, 1984), h.
10. 20 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), h. 23
14
memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Kesadaran ini, tampaknya bersifat kultural bahkan mengakar di hati dan pikiran masyarakat. Maka, dengan kesadaran kulural seperti ini tidak membuat ada jarak dan sekat-sekat teologis antara masyarakat Muslim, Katholik maupun Kristen Protesten dalam berinteraksi setiap harinya. Keberadaan umat beragama di daerah ini sangat stabil dan kondisuf. Di mana keberadaan umat beragama di tengah-tangah masyarakat berjalan sesuai dengan koridor dan rel-rel agama yang telah ada. Di mana umat beragama berjalan sesuai dengan harapan masing-masing tokoh umat beragama. Sebagai kesimpulan akhir dari penelitian ini, dapat disederhanakan sebagai berikut: 1.
Masyarakat Muslim di daerah Raja Ampat menujukkan pengalaman berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia. Dalam berinteraksi sosial, nyaris tidak membedakan orang dari latar belakang agama apa yang mereka anut. Agama menjadi salah satu perekat hubungan dengan sesama umat, sementara ada banyak perekat-perekat lain yang dapat mereka bangun secara bersama. Semangat gotong royong, saling membantu, terbuka, akomodatif antar umat beragama, demikan jelas terlihat. Sikap yang demikian terlihat dari pastisipasi mereka dalam acara keagmaan, seperti menghadiri hari-hari besar agama tertentu, ikut serta dalam acara-acara penting, membangun sarana prasarana ibadah, melayat bagi keluarga dan tetangga yang meninggal dunia, serta kegiataan-kegiatan sosial lainnya.
2.
Ajaran yang berorientasi kepada perdamaian dan kehidupan harmonis dalam keberbagaian masyarakat pada umumnya adalah orientasi dari umat beragama di Raja Ampat. Gerakannya menekankan pada sikap menghargai dan menghormati keberadaan yang lain. Dengan demikian, dalam berinteraksi dan berkomunikasi tidak ada lagi beban-beban psikologi agama yang menjadi hambatan.
3.
Peluang berkembangnya agama dari juru-juru dakwah di daerah ini sangat terbuka untuk setiap agama, di mana masyarakatnya mengharagai hak-hak masyarakat, menerima dan terbiasa dengan perbedaan agama. Sedangkan tantangan yang memerlukan perhatian serius adalah adanya suara-suara sayu yang dihembuskan oleh tokoh-tokoh agama tertentu yang dapat menimbulkan konflik.
15
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007). Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007). Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001). Ahmad Norma Permana (ed.), Metodologi Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Ahmad Syafi’i Ma’arif, (2009), Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan, Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam (Cet. I; Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2002). Badru D. Katerengga and David W. Shenk, A Muslim and Christian in Dialogue, (Scottdale :Herald Press, 1997). Budhy Munawar-Rachman, “Kata Pengantar”, dalam Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995). Budhy Munawar-Rachman, “Kata Pengantar”, dalam Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995). Buku Produk Domestik Regional Bruto, Kabupaten Raja Ampat Menurut Lapangan Usaha, (Raja Ampat: BPS, 2012). Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). Daniel L Pals (ed), Seven Theories Of Religion (New York: Oxford University Press, 1996). Elga Sarapung, Pluralisme, Konflik dan Perdamaian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Terj. Abdul Muis Naharong, (Jakarta: Rajawali, 1985). Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Terj. Abdul Muis Naharong, (Jakarta: Rajawali, 1985). Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985). Farud Esack Librtion and Pluralisme, (Oxfod: One Word, 1998). Franz Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: PT. Gramedia Utama, 2001). Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. Safroedin Bahar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003). H.A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987). H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Grasindo, 2004). H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme. h. 73. Tilaar mengutip definisi Michael Benedict dalam The Cybercultures Reader (edited by D. Bell & B. Kennedy, 2000). Hans Küng, Mencari jalan-jalan baru dialog antar agama, Editor Najiyah Martiam, (Yogyakarta: Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS 2006). Harsojo, Pengantar Antropologi (Jakarta: Bina Cipta, 1980). Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1985). Hendropuspito, O.C., D. Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisus, 1983).
16
HM. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). J. Verkuyl, Etika Kristen 1 (Jakarta, PT. BPK Gunung Mulia). Jalal al-Din Abd al-Rahman Al-Suyuthy, Al-Jami’ al- Sagir li al-Manawy (Mesir, Isa alBaby, 1954). Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston, Beacon Press, 1984). Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston, Beacon Press, 1984). K. White Stephen (ed), The Cambridge Companion to Habermas (New York, Cambridge University Press, 1995), hlm. 12. Lihat juga William Regh, Insight and Solidarity: A Study in the Discourse Ethics of Jurgen Habermas (California, University of California Press, 1994). Lexy J Moleong, Motodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990). M. Quraish Shihab, (2007), Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an, Bandung: Mizan. Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terjemahan H.M. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1980). Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur'an dan di Mata Barat Sebuah Studi Evaluatif (Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1997). Muhammad Farid Wajdi, Dâirah al-Ma’ârif al-Qarn al-Isyrîn, jilid V (Baeirut: Dâr alFikr, t.th), h. 531, lihat lebih lanjut dalam Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Djambatan, 1992). Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000). Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung: Al-Mizan, 2000). Raja Ampat dalam Angka, BPS Kabupaten Raja Ampat. Said Agiel Siradj, “Tradisi dan Reformasi Keagamaan”, Republika, 2 Juni 2007. Shohibul Adib, “Identitas Agama dalam Wacana Pluralisme”, dalam Merajut Perbedaan Membangun Kebersamaan (ed.) Nurkholis Setiawan, dkk. (Yogyakarta: Dialogue centre Press, 2011). Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1996). Thomas F. O’dea. Sosiologi Agama. (Jakarta, Rajawali Pers, 1987). Tim Paramadina, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004). Wawancara dengan Anwar pada tanggal 3 Maret 2013 Wawancara dengan Bapak Imam Masjid dan Pendata Marta dilakukan pada tanggal 4 Maret 2013. Wawancara dengan wakil Imam Bapak Haris pada tanggal 1 Maret 2013. Wawancara di lakukan dengan Bapak Hanafi pada tanggal 2 Maret 2013 Wawancara dilakukan dengan Bapak Adam Guman pada tanggal 01 Maret 2013. www. pustakawan.pnri.go.id. Diunduh pada hari Sabtu 28 Februari 2013.