Human Trafficking di Asia Tenggara: Mencari Solusi Kolektif Melalui ASEAN
Meidi Kosandi dan Evida Kartini Abstrak
Artikel ini mendiskusikan tentang peran optimal yang bisa diberikan oleh ASEAN dalam upaya memerangi kejahatan human trafficking di Asia Tenggara. Di tengah berbagai keterbatasannya, ASEAN dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong upaya memberantas human trafficking di kawasan. Mengambil pelajaran dari model kebijakan anti-trafficking Amerika Serikat dan Jerman, artikel ini berargumen bahwa ASEAN dapat mengembangkan model kebijakan tersendiri yang aplikabel dan efektif.
Kata kunci: ASEAN. Asia Tenggara, human trafficking, kejahatan transnasional, konvergensi kebijakan regional
Pengantar Kejahatan human trafficking merupakan salah satu masalah penting dalam kategori keamanan non-tradisional yang dihadapi oleh negara-negara ASEAN. Internal
trafficking sebagai salah satu jenis kejahatan ini ditemukan di semua negara; hampir seluruh negara kecuali Malaysia, Singapura dan Brunei merupakan pemasok human
trafficking; dan semua negara di kawasan Asia Tenggara ini menjadi sasaran sex trafficking. Perlindungan terhadap korban human trafficking yang tercatat oleh IOM selama tahun 2011 di kawasan ini mencapai 860 kasus. Jelas bahwa kejahatan ini merupakan masalah signifikan yang perlu direspon oleh negara-negara ASEAN. Permasalahan terkait human trafficking yang dihadapi oleh setiap negara di ASEAN memang bervariasi. Setiap negara perlu membuat kebijakan anti-trafficking yang spesifik untuk merespon masalah spesifik yang dihadapinya. Namun sebagai kejahatan terorganisir yang memiliki karakteristik lintas-batas negara (transnasional),
human trafficking termasuk dalam kategori masalah kolektif bagi negara-negara ASEAN. Solusi kolektif untuk mengatasi masalah bersama ini merupakan suatu kebutuhan. Kebijakan anti-trafficking yang spesifik di tingkat nasional harus 1
didukung dengan kebijakan yang lebih luas di tingkat regional terkait dengan pengaturan kerjasama perlindungan korban, penyidikan dan peradilan tindak kejahatan. Di dalam praktiknya, tindakan kolektif maupun kebijakan anti-trafficking nasional tersebut masih sangat terbatas dilakukan oleh ASEAN. Dalam sejarahnya, respon ASEAN terhadap human trafficking pada awalnya bersifat superfisial. ASEAN membuat Declaration on Transnational Crime pada tahun 1997 sebagai respons terhadap kecenderungan global untuk memerangi human trafficking, bukan karena kesadaran kolektif atas permasalahan nyata yang dihadapi oleh warganegara di kawasan Asia Tenggara. Namun seiring dengan perkembangan paradigma kebijakan anti-trafficking yang mengkategorikan jenis kejahatannya sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, sedangkan di sisi lain komitmen ASEAN terhadap pembentukan Komunitas Politik dan Keamanan semakin kuat, termasuk terhadap perlindungan HAM warganegara, maka perhatian terhadap kejahatan anti-trafficking semakin meningkat. Terdapat dua institusi di ASEAN yang saat ini bekerjasama mempromosikan
strategi
anti-trafficking,
yaitu
ASEAN
Intergovernmental
Commission on Human Rights (AICHR) dan ASEAN Commision for the Promotion and Protection of the Rights of Children and Women (ACWC). Forum para penegak hukum (Heads of Specialist Units on Trafficfking in Persons Meeting) secara rutin mengadakan pertemuan untuk membahas trafficking sejak tahun 2004 dan telah 22 kali bertemu hingga April tahun 2012. Perkembangan ini positif, namun dampaknya secara langsung terhadap upaya untuk pencegahan human trafficking, perlindungan korban, dan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan masih belum terlihat. Upaya untuk menanggulangi human trafficking masih lebih banyak bergantung pada kebijakan nasional setiap negara anggota ASEAN. Di dalam makalah ini, penulis mendiskusikan strategi yang efektif untuk memerangi human trafficking di Asia Tenggara, termasuk bagaimana memanfaatkan secara optimal kerjasama regional ASEAN. Jika kerjasama keamanan ASEAN dapat diarahkan untuk membuat kebijakan kolektif yang diiringi dengan koordinasi, 2
implementasi dan pengawasan efektif yang didukung oleh kepatuhan negara-negara anggota, maka besar kemungkinan kebijakan tersebut akan efektif. Namun jika tidak, ASEAN harus menemukan model kebijakan kolektif memerangi human trafficking yang memungkinkan konvergensi kebijakan negara-negara anggota. Tulisan ini akan dimulai dengan diskusi tentang diskursus strategi penanggulangan human trafficking yang berkembang di dalam literatur akademik dan kebijakan. Model kebijakan anti-trafficking yang dipandang paling progresif, yaitu model Amerika Serikat dan Jerman, menjadi topik diskusi selanjutnya. Kemudian diskusi dilanjutkan dengan analisa model strategi yang efektif untuk diadopsi ASEAN dengan mengambil pelajaran positif dan negatif dari praktik kebijakan anti-trafficking model AS dan Jerman. Tulisan ini akan ditutup dengan beberapa kesimpulan dan rekomendasi.
Mencari Strategi Efektif Kompleksitas masalah kejahatan Human Trafficking membuat penanggulangan yang efektif memerlukan paradigma dan strategi yang tepat. Kesalahan paradigma tentang human trafficking sering ditemukan di dalam praktiknya di lapangan sehingga kejahatan ini tidak mendapat perhatian yang sepatutnya dan seharusnya didapatkan. Kesalahan paradigma yang dimaksud adalah pertama, cara pandang skeptis terhadap human trafficking yang menyangsikan keabsahan data mengenai korban dan menganggap human trafficking sebagai komoditas sekuritisasi untuk mengalokasikan dana bagi anggaran pertahanan nasional. Data yang valid mengenai jumlah korban memang sampai saat ini sulit diidentifikasi. Umumnya angka jumlah korban yang dipublikasi merupakan angka estimasi tanpa verifikasi.1 Namun hal itu tidak berarti 1
Sejumlah pengamat dan jurnalis internasional menganggap langkah negara-negara dan organisasi
internasional untuk menetapkan kebijakan tentang kejahatan human trafficking sebagai suatu bentuk sekuritisasi untuk menggantikan agenda Perang Dingin yang menjadi kurang relevan setelah 1989. Lihat di antaranya Zbigniew Dumienski (2012). Dumienski menilai bahwa persoalan sebenarnya bukan merupakan kejahatan transnasional, melainkan perlindungan hukum dan penegakan hukum bagi migrasi ilegal. Ia cenderung menggunakan konsep migrasi ilegal (illegal migration) daripada “human trafficking” atau “trafficking in persons”.
3
kejahatan tersebut tidak ada dan tidak cukup besar untuk direspon. Dalam praktiknya, kejahatan tersebut nyata dan mengancam hak asasi warganegara. Selama tahun 2011 di Asia Tenggara sendiri, menurut laporan IOM, terdapat 860 kasus perlindungan terhadap korban kejahatan ini. Kesalahan paradigma yang kedua adalah cara pandang abai yang menilai kejahatan human trafficking sebagai sebagai masalah temporer dan individual. Sebagian negara telah secara tepat menetapkan human trafficking sebagai kejahatan transnasional yang solid dan terorganisir. Masalah tersebut dipandang berakar pada persoalan struktural yang terdapat di dalam sistem sosial, ekonomi, politik dan hukum suatu negara. Implikasinya, solusi permasalahan ini memerlukan peran negara agar lebih terorganisir dan komprehensif. Namun sebaliknya, mengabaikan human trafficking sebagai kejahatan transnasional akan cenderung menghindari paradigma tanggungjawab negara terhadap masalah tersebut. Implikasinya, akan sulit mengharapkan munculnya kebijakan negara yang mendukung upaya penanggulangan kejahatan tersebut.2 Strategi yang efektif harus mempertimbangkan sifat multidimensi pada setiap aspek penanganannya; multilevel pada tingkat supply dan demand; serta kerjasama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral. Strategi multidimensi sangat diperlukan mengingat bahwa kejahatan human trafficking dapat muncul dan berkembang dari kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan hukum tertentu sebagaimana dijelaskan pada bagian awal laporan ini. Beberapa faktor utama yang dianggap berkontribusi pada kejahatan human trafficking adalah kemiskinan, globalisasi, industri seks, lemahnya penegakan hukum (termasuk maraknya korupsi) dan rendahnya tingkat pendidikan. Solusi yang efektif harus mampu mengatasi atau sedikitnya mengurangi dampak dari faktor-faktor multidimensional tersebut.
2
Wendy N. Duong, 2011. “The Southeast Asian Story and Its Forgoten Prisoner of Conscience; Some
Proposed Measure to Combat Human Trafficking”. Seattle Journal for Social Justice. Vol. 9, Issue 2: 687. Duong menilai sejumlah negara tidak merasa bertanggung jawab terhadap upaya untuk menanggulangi kejahatan human trafficking karena cara pandang yang cenderung abai terhadap kejahatan tersebut.
4
Strategi multilevel juga sangat diperlukan mengingat kejahatan jenis ini tidak hanya terjadi karena adanya supply dari kelompok masyarakat miskin dan terbelakang, akan tetapi juga karena ada demand dari komunitas lainnya, yang didukung dengan jaringan kejahatan terorganisir yang beroperasi secara transnasional. Memproses secara hukum para pelaku kejahatan tersebut (traffickers) merupakan langkah penting untuk mengurangi praktik human trafficking, namun tidak cukup mengatasinya untuk jangka panjang. Hukum pidana bagi pelaku dapat memberikan keadilan bagi beberapa korban, namun dengan struktur kejahatan yang terorganisasi, pelaku yang tertangkap akan dapat digantikan oleh orang lain dalam jangka waktu tertentu. Penetapan dan penegakan hukum harus diikuti dengan perubahan struktur dan kultur di dalam masyarakat. Supply dan demand di negara asal maupun negara penerima harus ditangani secara efektif. Kerjasama internasional untuk menghadapi tantangan human trafficking ini merupakan suatu keharusan mengingat sifat transnasionalnya. Tindakan untuk menyelamatkan korban trafficking yang berada di luar negeri atau untuk mengusut pelaku kejahatan yang basis lokasinya terletak di luar negeri akan sulit untuk dilakukan tanpa adanya kerjasama dengan negara yang bersangkutan. Persoalan utama yang harus dihadapi tanpa kerjasama internasional adalah wilayah jurisdiksi. Suatu negara dapat mengurangi supply dan demand terhadap migran ilegal hanya dengan melakukan kontrol yang ketat terhadap keduanya. Persoalannya adalah kontrol tersebut tidak dapat dimiliki secara penuh di luar wilayah jurisdiksi negara tersebut. Indonesia misalnya, tidak dapat mengurangi demand yang berasal dari pasar tenaga kerja di Malaysia terhadap pekerja migran ilegal tanpa kerjasama dengan pemerintah Malaysia. Demikian pula di dalam hal perlindungan terhadap korban dan peradilan terhadap pelaku kejahatan trafficking. Korban dan pelaku yang berada di luar wilayah jurisdiksi negara akan sulit untuk dilindungi dan diadili tanpa kerjasama internasional. Di luar persoalan jurisdiksi, sejumlah negara memiliki keterbatasan sumberdaya ekonomi dan politik dalam mengatasi faktor-faktor penyebab human trafficking. Untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pendidikan di kantung-kantung wilayah asal korban misalnya, diperlukan program kesejahteraan, pemberdayaan ekonomi dan penyuluhan 5
tentang bahaya human trafficking. Padahal pada umumnya negara asal tidak memiliki kemampuan maksimal untuk mengatasi masalah sumberdaya ekonomi tersebut, bahkan meskipun seandainya tidak ada kasus korban trafficking dari negara tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan fakta bahwa umumnya di negara-negara asal, tingkat korupsi cenderung tinggi. Keterbatasan ekonomi juga mempengaruhi kemampuan negara untuk melakukan investasi di dalam membangun sistem informasi dan infrastruktur pengawasan yang memadai. Sistem informasi dan infrastruktur pengawasan diperlukan untuk tindakan pencegahan serta memberikan perlindungan kepada korban. Sistem informasi sangat diperlukan untuk menyediakan data yang valid tentang pekerja migran, termasuk yang ilegal. Tanpa sistem informasi yang memadai, data yang valid dan reliabel akan sulit untuk diperoleh. Padahal, data tersebut akan menjadi dasar bagi perlindungan korban dan penumpasan pelaku kejahatan ini.
Infrastruktur pengawasan di wilayah-wilayah
perbatasan untuk menghentikan proses transfer juga sangat penting untuk dibangun. Namun biaya yang diperlukan bagi pembangunannya, termasuk peningkatan kapasitas SDM yang akan mengoperasikannya, sangat besar. Padahal negara-negara asal korban human
trafficking
pada
umumnya
merupakan
negara-negara
dengan
komunitas-komunitas masyarakat miskin. Dengan adanya keterbatasan ekonomi tersebut, investasi di bidang sistem informasi dan infrastruktur pengawasan akan sulit untuk dilakukan. Kerjasama dengan negara-negara penerima dapat menjadi solusi alternatif yang dapat mengurangi beban ekonomi negara asal untuk mengatasi masalah sistem informasi dan pengawasan. Solusi perubahan paradigma dan prinsip multilevel, multidimensi dan kerjasama internasional tersebut masih perlu dijabarkan di dalam strategi praktis dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Di atas kertas, perubahan paradigma dan penerapan prinsip-prinsip tersebut ke dalam strategi menghadapi kejahatan human trafficking dapat dilakukan. Namun di dalam praktik sesungguhnya sulit untuk dilakukan, terutama terkait dengan perbedaan karakteristik khusus permasalahan human trafficking di setiap negara. Persoalan human trafficking yang dihadapi oleh Indonesia dan Thailand, 6
misalnya, sebagaimana telah dijelaskan di atas, memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, strategi untuk mengatasi masalah masing-masing kedua negara juga berbeda, disesuaikan dengan karakteristik permasalahan yang dihadapi.3 Kegagalan mencari strategi yang tepat bagi tiap negara, atau kecenderungan untuk menerapkan strategi yang seragam untuk karakteristik permasalahan yang berbeda, dapat menyebabkan tindakan negara dan aktivis human trafficking kurang efektif dan kurang relevan. Terlepas dari perbedaan karakteristik permasalahan setiap negara, banyak pemerintah negara dan pengamat masalah human trafficking memandang perlu pengaturan internasional dalam bentuk perjanjian dan hukum internasional agar terwujud kerjasama menanggulangi kejahatan ini. Lembaga-lembaga internasional yang terkait dengan kejahatan ini menetapkan beberapa strategi yang dapat diadopsi negara-negara anggotanya untuk menanggulangi human trafficking. UNIFEM (United Nations Development Fund for Women), misalnya, menyepakati delapan strategi yang mencakup: 1. Pencegahan melalui peningkatan kapasitas lembaga peradilan dan penegak hukum; 2. Pencegahan melalui pengendalian dan pembatasan prostitusi melalui sistem hukum; 3. Menolong dan merehabilitasi korban; 4. Melindungi perempuan dari kemungkinan trafficking dan penyuluhan tentang bahaya human trafficking; 5. Mengurangi demand dengan advokasi dan kampanye anti prostitusi anak dan sebagainya; 3
Lihat Diana Betz, 2009. Human Trafficking in Southeast Asia: Causes and Policy Implications, thesis
master pada Naval Postgraduate School, Monterey, California, hlm. 13. Menurut Betz, setiap negara harus menetapkan strategi yang sesuai dengan karakteristik permasalahan yang dihadapi yang mungkin tidak seragam. Salah satu contoh perbedaan dapat dilihat mulai dari interpretasi terhadap konsep human trafficking. Ketidaksepakatan mengenai konsep tersebut membuat kerjasama penanggulangannya sulit dilakukan.
7
6. Mengurangi supply dengan advokasi dan penyuluhan tentang bahaya human trafficking di antara para orang tua; 7. Mengurangi supply dengan cara membuka lapangan kerja dan peluang berusaha; 8. Mengurangi supply dengan kampanye urgensi pendidikan anak bagi para orang tua. Senada dengan itu, IOM merekomendasikan enam strategi untuk memberantas human trafficking, terutama untuk perempuan. Strategi tersebut meliputi: 1.
Kerjasama internasional. Kepentingan negara asal dengan negara
penerima
berbeda
dalam
menanggulangi
human
trafficking; 2.
Bantuan
pembangunan
(official
development
assistance)
ditargetkan pada kelompok yang rentan menjadi korban; 3.
Kampanye anti-trafficking pada kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban;
4.
Pengetatan
kontrol
perbatasan dan penetapan kebijakan
anti-trafficking yang tegas; 5.
Meningkatkan kinerja polisi di bidang ini dengan membentuk satuan khusus untuk mengatasi human trafficking;
6.
Meningkatkan kepedulian dan bantuan kepada para korban yang telah dieksploitasi.
Model Kebijakan Anti-Trafficking di AS dan Jerman Di tingkat negara, strategi-strategi tersebut dikonstruksikan sebagai paradigma yang disebut sebagai “3P Anti-trafficking Policy”. Kebijakan anti-trafficking 3P tersebut mencakup prevention, protection, dan prosecution. Dalam hal ini, Amerika Serikat dan Jerman merupakan dua negara yang di dalam laporan IOM dinilai telah
8
berhasil membuat dan mengimplementasikan kebijakan anti-trafficking yang tegas.4 Perbedaan antara kebijakan model AS dan Jerman ini dapat memberikan gambaran tentang model ideal yang diterapkan di negara-negara industri maju. Dalam indeks 3P,5 Jerman mengalami penurunan nilai pada tahun 2010 dan 2011 karena lemahnya perlindungan terhadap korban trafficking, namun secara keseluruhan nilai yang diperoleh Jerman masih di atas nilai rata-rata seluruh negara di dunia. Indeks 3P sendiri menggunakan sejumlah indikator untuk menilai setiap unsur kebijakan anti-trafficking tersebut. Indikator yang digunakan untuk menilai prevention adalah: 1. Adopsi hukum anti-trafficking yang melarang human trafficking; 2. Adopsi hukum yang melarang child trafficking; 3. Penerapan hukum-hukum lainnya yang relevan; 4. Sanksi yang setimpal; 5. Penegakan hukum; 6. Memelihara pemutakhiran statistik kejahatan trafficking. Indikator yang digunakan untuk menilai protection adalah: 1. Penganugerahan amnesti terhadap korban; 2. Tidak mengenakan persyaratan identifikasi diri untuk mendapatkan status sebagai korban; 3. Menyediakan bantuan hukum;
4
Christal Morehouse, 2009. Combating Human Trafficking: Policy Gaps and Hidden Policy Agendas in
the USA and Germany, disertasi doktor pada Faculty of Philosophy, University of Berlin, hlm. 17. Morehouse memandang bahwa kebijakan anti-trafficking AS dan Jerman dibayangi oleh agenda politik tersembunyi oleh pemerintah masing-masing sehingga mengurangi efektifitasnya. Namun sejauh ini, kedua negara tersebut telah mendemonstrasikan keberanian memformulasi dan mengimplementasi kebijakan yang lebih progresif dibandingkan negara-negara lainnya. 5
Indeks 3P dikeluarkan oleh DIW Berlin (German Institute of Economic Research, sebuah lembaga riset
terkemuka di negara tersebut), Universitat Gottingen, yang bertujuan untuk mengevaluasi komitmen dan kesungguhan dalam memerangi human trafficking. Publikasi Indeks tersebut dikeluarkan setiap tahun oleh DIW Berlin.
9
4. Memberikan izin tinggal; 5. Menyediakan akomodasi; 6. Menyediakan bantuan kesehatan; 7. Menyediakan balai latihan kerja; 8. Menyediakan bantuan rehabilitasi; 9. Menyediakan bantuan repatriasi untuk kembali ke negara asalnya. Sedangkan indikator yang digunakan untuk menilai prosecution adalah: 1. Kampanye publik untuk memperluas kewaspadaan terhadap human trafficking; 2. Pelatihan bagi pejabat eksekutif dan yudikatif dengan informasi seputar human trafficking; 3. Pertukaran informasi antar pemerintah; 4. Pengawasan perbatasan dan pintu masuk migran; 5. Adopsi dan implementasi national action plans untuk memerangi human trafficking; 6. Meningkatkan kerjasama dengan NGO dan organisasi internasional; 7. Meningkatkan kerjasama dengan pemerintah negara lain. Sebagai negara yang menjadi pengirim, transit dan penerima, peran pemerintah Jerman untuk melakukan pencegahan, perlindungan dan mengadili pelaku kejahatan human trafficking sangat penting. Kebijakan anti-trafficking di Jerman tidak bisa dilepaskan dari kebijakan regional Uni Eropa (UE), dimana Jerman menjadi salah satu negara yang paling berpengaruh selain Perancis dan Inggris. Setiap kebijakan dari UE harus diratifikasi menjadi peraturan nasional setiap negara anggotanya. Kebijakan yang didiskusikan dan ditetapkan oleh UE sangat berpengaruh terhadap kerangka kerja kebijakan anti-trafficking di Jerman. Di negara ini dibentuk sebuah lembaga koordinasi kebijakan anti-trafficking yang dinamakan Federal Working Group on Human Trafficking. Lembaga ini mengkoordinasi kebijakan dan implementasi kebijakan anti-trafficking pada 8 kementerian dan 2 badan pemerintahan. Kedelapan kementerian tersebut meliputi (1) 10
Kementerian Luar Negeri; (2) Kementerian Ekonomi dan Teknologi; (3) Kementerian Kesehatan; (4) Kementerian Keadilan; (5) Kementerian Dalam Negeri; (6) Kementerian Urusan Wanita, Manula, Pemuda dan Keluarga; (7) Kementerian Perburuhan dan Keamanan Sosial; serta (8) Kementerian Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan. Sedangkan dua badan pemerintah yang ikut bertanggung jawab terhadap upaya penanggulangan human trafficking di bawah Federal Working Group adalah Kepolisian Federal Jerman (BKA) dan Masyarakat Jerman untuk Kerjasama Pembangunan (GTZ). Kinerja Federal Working Group ini mendapat pengawasan dari Komisi Federal untuk Migrasi, Pengungsi, dan Integrasi. Sistem hukum dan informasi yang kondusif bagi perang terhadap human trafficking sejauh ini dipandang cukup maju. Kebijakan anti-trafficking di Jerman telah diadopsi ke dalam kitab undang-undang hukum pidana nasional pada tahun 1992 dan dilengkapi dengan undang-undang tentang human trafficking (2005), ketentuan migrasi dari UE (2007) dan undang-undang prostitusi yang ditetapkan pada tahun 2002. Jerman juga telah memiliki sistem informasi yang bisa diandalkan dan terintegrasi dari seluruh kementerian dan badan-badan pemerintah yang terkait, sehingga data terkini tentang pekerja migran dan pekerja seks dapat dimonitor. Data korban human trafficking, di sisi lain, masih berdasarkan estimasi. Kerjasama kelembagaan yang dibangun oleh Pemerintah Federal Jerman untuk mengatasi human trafficking tidak hanya terbatas pada kerangka kerjasama antar negara di tingkat regional melalui Uni Eropa. Selain kerjasama yang baik di tingkat UE, sejumlah negara pengirim pekerja migran yang bukan anggota UE bekerjasama dengan GTZ dan NGO yang juga menjalin kerjasama erat dengan Pemerintah Federal Jerman. Paradigma anti-trafficking yang diterapkan oleh AS disebut sebagai “4P Anti-Trafficking Policy”. Keempat “P” yang dimaksud mencakup Prevention, Protection, Prosecution dan Partnership. Pada prinsipnya, paradigma “4P” tidak memiliki perbedaan signifikan dari 3P Index versi WDI Berlin. “P” yang keempat, yaitu partnership ditambahkan oleh para pembuat kebijakan di AS untuk menekankan perlunya negara tersebut menerapkan strategi kemitraan di dalam memerangi human 11
trafficking.
Berbeda dengan Jerman, konteks kebijakan anti-trafficking AS adalah
kebijakan nasional dan bukannya di dalam kerangka kerjasama regional. Strategi kemitraan merupakan pilar penting untuk meningkatkan efektifitas kebijakannya. Melalui asistensi pembangunan di negara-negara berkembang yang diorganisir oleh USAID, Pemerintah Federal AS membangun kemitraan dengan banyak negara, organisasi internasional dan regional untuk mengurangi sisi supply dari kejahatan human trafficking, maupun pengembangan komunitas internasional yang peduli dan merespon positif perang terhadap kejahatan human trafficking. Struktur organisasi yang melakukan koordinasi antara badan pemerintah di dalam menghadapi kejahatan human trafficking sedikit lebih rumit dibandingkan dengan Jerman. Di AS, terdapat tiga lembaga yang menjalankan fungsi koordinasi tersebut, yaitu: Interagency Task Force (ITF) to monitor and combat trafficking in persons, Senior Policy Operating Group (SPOG), yang dibantu oleh Office of Management and Budget. ITF yang diketuai oleh Menteri Luar Negeri AS berkoordinasi dengan 7 lembaga di tingkat kabinet yang meliputi (1) Departemen Tenaga Kerja; (2) Departemen Keadilan; (3) Departemen Luar Negeri; (4) Departemen Keamanan Dalam Negeri (homeland security); (5) Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial; dan (6) Badan Pembangunan Internasional (USAID). SPOG juga berkoordinasi dengan lembaga-lembaga setingkat menteri yang sama ditambah dengan Departemen Pertahanan dan Dewan Keamanan Nasional. Di tingkat implementasi, terdapat 3 lembaga yang terkait dengan penerapan kebijakan human trafficking, yaitu Trafficking in Persons and Workers Exploitation Task Force, Smuggling and Trafficking Interagency Working Group, dan Human Smuggling and Trafficking Center. Badan Intelejen AS (CIA, Central Intelligence Agency) juga berkoordinasi masalah kewenangan dan informasi dengan SPOG. Sedangkan proses peradilan terhadap kasus-kasus traffickers ditangani oleh lembaga khusus, yang dinamakan Human Trafficking Prosecution Unit (HTP). Peraturan
perundang-undangan
yang
memberikan
kewenangan
kepada
pemerintah AS untuk memerangi kejahatan human trafficking disahkan pada tahun 12
2000 dan mengalami revisi sebanyak 4 kali hingga tahun 2008. Undang-undang Perlindungan Korban Trafficking (TVPA, the Trafficking Victims Protection Act) disusun berdasarkan the Declaration of Independence 1776, Amandemen Konstitusi AS ke-13 tahun 1865, dan konvensi internasional yang relevan. Berbagai kekurangan yang terdapat di dalam undang-undang tersebut direvisi hingga bentuknya sekarang yang dianggap sesuai dengan kepentingan nasional rakyat AS. Kebijakan anti-trafficking yang dimiliki oleh pemerintah AS seringkali dianggap prestasi yang membanggakan. Anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah AS melalui USAID antara tahun 2001 hingga 2010 mencapai US$ 163,3 juta untuk mengurangi sisi supply di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Latin dan wilayah lainnya. Untuk tahun 2010 sendiri, anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah AS adalah sebesar US$ 18,5 juta, juga untuk sisi supply. Berdasarkan laporan USAID, di masa mendatang, AS akan meningkatkan
upaya
penanggulangan
internal
trafficking
di
dalam
wilayah
domestiknya sendiri. Model penanggulangan kejahatan human trafficking di AS dan Jerman bukannya tanpa kritik. Morehouse (2009) menyoroti terdapatnya dua kelemahan utama dari kebijakan anti-trafficking di kedua negara tersebut. Yang pertama adalah kelemahan data. Pengembangan jaringan koordinasi antara lembaga pemerintah serta pembentukan beberapa lembaga baru yang khusus dibentuk untuk menangani kejahatan human trafficking tidak disertai dengan perbaikan data tentang korban dan pelaku kejahatan. Di kedua negara, dan lebih parah di AS, metode perhitungan angka estimasi korban tidak dapat dijelaskan secara metodologis. Angka estimasi yang dikeluarkan adalah angka estimasi kasar yang tidak dapat dijamin ketepatannya. Yang kedua adalah terdapatnya agenda politik tersembunyi (hidden agenda) di balik penetapan beberapa kebijakan anti-trafficking. Agenda tersembunyi yang dimaksud adalah kebijakan tentang prostitusi dan migrasi. Menurut Morehouse, AS dan Jerman mengunakan kebijakan anti-trafficking sebagai justifikasi kebijakan pembatasan terhadap migrasi dan prostitusi. Tujuan utama kebijakan anti-trafficking bukan untuk melindungi hak-hak asasi para korban dan warganegara yang berpotensi menjadi korban, akan tetapi untuk melakukan 13
pembatasan terhadap prostitusi dan migrasi. Persoalan dari hidden agenda tersebut adalah bahwa upaya penanggulangan kejahatan human trafficking tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan serius. Dalam praktiknya, korelasi antara strategi penanggulangan ini dengan penurunan angka kejahatan human trafficking tidak pernah sungguh-sungguh diperhatikan, apalagi dihitung. Perhitungan korelasi antara strategi penanggulangan human trafficking dengan dinamika kejahatannya yang dilihat dari banyaknya korban, tampaknya harus menjadi agenda riset lebih lanjut untuk menguji efektifitas strategi tersebut.
Kebijakan Anti-Trafficking Model ASEAN; Mungkinkah? Jika strategi penanggulangan human trafficking di AS dan Jerman dapat dianggap sebagai model yang paling progresif, apakah akan efektif untuk diterapkan di ASEAN? Jawabannya mungkin tidak. Pertama karena ada perbedaan karakteristik antara kedua model tersebut dengan negara-negara Asia Tenggara. Sebagai negara industri maju, AS dan Jerman memiliki anggaran ODA yang cukup besar sebagai bagian dari komitmen terhadap forum G8. Membuat program dengan target mengurangi supply dari negara-negara lain melalui ODA dapat dilakukan dengan mudah oleh AS dan Jerman. Sebaliknya, negara-negara Asia Tenggara hanya dapat memanfaatkan ODA yang dialokasikan oleh negara-negara maju untuk mereduksi sisi supply di wilayah Asia Tenggara. Sebagai penerima ODA, negara-negara Asia Tenggara harus menyesuaikan programnya dengan kepentingan dan batasan yang ditentukan oleh negara-negara pemberi bantuan. Daya tawar politik dari negara-negara Asia Tenggara juga relatif kecil untuk membuat perjanjian internasional seperti ekstradisi, data-sharing dan kebijakan bersama lintas-batas negara. Perbedaan lainnya juga dapat ditemukan dalam kerjasama regional yang dilakukan Jerman di dalam kerangka UE dan di Asia Tenggara dalam kerangka ASEAN. Model kebijakan anti-trafficking UE tidak dapat dengan mudah diadopsi oleh ASEAN melihat karakteristik pengambilan keputusan di ASEAN yang dikenal dengan istilah “ASEAN way”.
14
Kedua, model kebijakan anti-trafficking AS dan Jerman menunjukkan beberapa kelemahan yang tidak perlu ditiru oleh negara-negara Asia Tenggara. Kelemahan data dan prioritas kebijakan yang didemonstrasikan oleh kedua negara maju tersebut justru harus dihindari oleh negara-negara anggota ASEAN. Yang perlu dilakukan oleh negara-negara
ASEAN
adalah
menyerap
aspek-aspek
positif
dari
strategi
penanggulangan human trafficking model AS dan Jerman, menyempurnakan kekurangannya, dan menyusun program-program yang sesuai dengan karakteristik permasalahan dan kondisi sumberdaya negara-negara ASEAN sendiri. Model kebijakan anti-trafficking yang perlu dipertimbangkan ASEAN dengan demikian harus mencakup aspek positif dari model-model lain dan memungkinkan konvergensi kebijakan nasional negara-negara anggotanya. Beberapa hal yang bisa dipertimbangkan untuk diinkorporasi ke dalam model ASEAN adalah sebagai berikut. 1. Kriminalisasi human trafficking dengan definisi dan sanksi jelas. Perlu ada kebijakan anti-trafficking sebagai payung hukum yang memuat secara rinci macam-macam tindakan kriminal yang termasuk di dalamnya. Sanksi terhadap kejahatan ini juga perlu dirinci dan diberlakukan dengan tegas. 2. Pengadopsian paradigma 3P (prevention, protection and prosecution) atau 4P (3P + partnership) ke dalam kebijakan anti-trafficking di negara-negara ASEAN dengan definisi dan interpretasi yang disesuaikan dengan permasalahan, karakteristik dan kebutuhan negara-negara di kawasan ASEAN. 3. Pengembangan sistem informasi labor migration dan illegal trafficking. Data mengenai pekerja migran dan korban maupun jaringan human trafficking harus dapat tersedia secara on-line dan real-time. 4. Perbaikan sistem administrasi tenaga kerja. Dengan sistem administrasi yang tertata dengan baik, pengawasan terhadap pekerja migran ilegal dapat dilakukan dengan lebih mudah. Pekerja migran yang tidak memiliki kelengkapan administrasi akan dengan mudah terdeteksi. Pembangunan sistem administrasi ini dapat diintegrasikan dengan sistem informasi labor 15
migration dan illegal trafficking. Sistem ini juga harus terkoneksi secara transnasional. 5. Pembentukan lembaga koordinasi yang secara khusus ditugaskan untuk menangani kebijakan anti-trafficking secara lintas-batas kementerian dan badan-badan negara lainnya. Lembaga koordinasi ini dapat memudahkan formulasi dan implementasi kebijakan secara efisien dan efektif di tingkat eksekutif. 6. Pembentukan lembaga pelaksana pengawasan dan pengendalian human trafficking. Lembaga ini dapat diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk
membangun
sistem
dan
infrastruktur
yang
memungkinkan
pengawasan dan pengendalian terhadap human trafficking. Lembaga yang dimaksud dapat berbentuk lembaga independen seperti KPK, Komnas HAM, dan sebagainya. 7. Pembentukan lembaga peradilan khusus human trafficking. Dengan banyaknya jumlah korban dan terdeteksinya pelaku trafficking, badan peradilan human trafficking sangat berguna. 8. Meningkatkan kemitraan pemerintah dengan masyarakat –baik dari golongan pengusaha, akademisi maupun aktivis kemanusiaan– dalam mencegah dan memberantas kejahatan human trafficking, serta melindungi para korban. 9. Pendekatan
berbasis
komunitas
untuk
meningkatkan
kewaspadaan
masyarakat perlu dikembangkan. Partisipasi aktif masyarakat sangat penting untuk meningkatkan efektifitas pengawasan dan pengendalian. 10. Meningkatkan kerjasama regional antara negara-negara ASEAN untuk meningkatkan efektifitas pengawasan dan pengendalian keamanan di wilayah perbatasan, kerjasama penegak hukum dan peradilan. ASEAN perlu mengembangkan format kerjasama regional yang paling cocok dan dapat diterima oleh negara-negara anggotanya, yaitu suatu format kerjasama yang tetap menjunjung tinggi kedaulatan negara namun efektif mengurangi 16
kejahatan human trafficking. Fokus dan lokus perang melawan kejahatan human trafficking di Asia Tenggara mungkin harus tetap pada tingkat nasional dimana kewenangan negara tidak terusik, namun kerjasama dan koordinasi
di
tingkat
regional
perlu
dikembangkan.
Mekanisme
perlindungan korban, penyidikan dan peradilan extra-jurisdictional harus dapat disepakati dengan memperhatikan kedaulatan negara; 11. Meningkatkan kerjasama internasional dengan organisasi internasional, NGO dan negara-negara yang berkepentingan terhadap penanggulangan human trafficking di Asia Tenggara.
Kesimpulan dan Rekomendasi Meskipun kerjasama ASEAN untuk memerangi human trafficking selama ini bersifat superfisial, namun memanfaatkan kerjasama tersebut dapat saja menjadi efektif. Melakukan imitasi terhadap kebijakan anti-trafficking AS atau Jerman secara utuh mengandung resiko ketidakcocokan dengan karakteristik ASEAN. Oleh karena itu, ASEAN harus dapat mengembangkan model kebijakan anti-trafficking yang konvergen dengan karakteristik domestik, hubungan internasional dan permasalahan human trafficking di Asia Tenggara sendiri. Jika itu dapat dilakukan, maka kerjasama regional akan lebih mudah disepakati dan lebih efektif dalam memerangi human trafficking. Di dalam artikel ini, penulis menyarankan pemerintah negara-negara ASEAN untuk mempertimbangkan sebelas aspek kebijakan anti-trafficking di atas untuk diadopsi di dalam kebijakan domestik dan kerjasama regional. Keberhasilan memerangi human trafficking akan berdampak positif terhadap penjaminan HAM, keamanan dan kesejahteraan warganegara, yang merupakan kepentingan nasional setiap negara. Kepustakaan Betz D. 2009. Human Trafficking in Southeast Asia: Causes and Policy Implications. Thesis jenjang master pada Naval Postgraduate School, Monterey, California. Dumienski Z. 2012. “Myth and Reality of Human Trafficking: A View from Southeast Asia”, Interdisciplinary Political Studies, Vol. 2, No. 1, Special Issue: 59-66. Duong WN. 2011. “The Southeast Asian Story and Its Forgotten Prisoner of Conscience;
17
Some Proposed Measure to Combat Human Trafficking”, Seattle Journal for
Social Justice, Vol. 9, Issue 2: 679-773. Morehouse, Christal, 2009. Combating Human Trafficking: Policy Gaps and Hidden
Policy Agendas in the USA and Germany, disertasi doktor, Faculty of Philosophy, University of Berlin.
18