Hukum, Integritas, Cita-cita Reformasi
NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII
DAFTAR ISI
5
PENYELAMATAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH Adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa pemeriksaan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah oleh BPK dan tindakan KPK untuk memberantas korupsi telah ikut menghambat pembangunan dalam era reformasi dewasa ini. Terhambatnya pembangunan itu terjadi justru karena baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah belum berhasil, dalam masa 10 tahun terakhir, membangun kelembagaan yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita reformasi.
27
46
Kedudukan Peraturan BPK Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia (Suatu Pendekatan Yuridis Formal)
KESAKSIAN PADA PERSIDANGAN PERKARA OEY HOEY TIONG DAN RUSLI SIMANJUNTAK
Adalah merupakan fitnah dan penghinaan kepada pribadi saya dan kepada BPK keterangan Oey Hoey Tiong, S.H. (OHT) dan Rusli Simanjuntak (RS) yang mengatakan bahwa saya, Anwar Nasution, pernah memerintahkan OHT untuk memusnahkan dokumen Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang saya ikuti berkaitan dengan Aliran Dana Rp 100 milyar dari YPPI Tahun 2003....
55
PENUNJANG & PENDUKUNG
Dalam Rapat Kerja Pelaksana BPK RI Tahun Anggaran 2008 pada Juli 2008, Sekretaris Jenderal BPK RI memaparkan capaian rencana strategis Kesetjenan.
24
PEMERIKSA PERLU TAHU ADA BANTUAN HUKUM
Masalah-masalah hukum yang muncul memerlukan kerja ekstra keras dari pimpinan BPK untuk melakukan koordinasi yang rumit dengan berbagai elemen terkait, baik internal maupun eksternal. Hal ini tidak lain agar setiap masalah hukum BPK yang ditangani penegak hukum, baik di pusat maupun perwakilan dari Perwakilan Aceh hingga Perwakilan Manokwari dapat dipahami, didukung, dan dilaksanakan dengan persepsi yang sama.
4
Editorial
18
Laporan Penerimaan Gratifikasi atas nama Anwar Nasution
30
Pola Pengkaderan Pimpinan Dan Kemungkinan Kemacetan Gerbong Untuk Promosi
32
Arah Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Kita
35 Kunjungan Delegasi Anao Dalam Rangka Implementasi Kerja Sama BPK RI dan ANAO 37
Pemaparan dan Praktik Mengenai Pengembangan Pribadi
38
Potret BPK
40
Humas: Urusan Citra Dan Wartawan
44
Cinta Kerja dan Cinta Keluarga
52
Keterbacaan dan Skema Pengetahuan
63
Pengelolaan Diabetes Melitus Selama Berpuasa
64
Gendit: ”Gendit Kedinginan”
65
Etos Kerja Mukmin
67
Peluncuran Buku ”Audit Kinerja pada Sektor Publik”
68
PMP di Kota Bukit Seribu Perak
70
Kabar Perwakilan
72
Resensi Buku NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
Hukum, Integritas, Cita-cita Reformasi
NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII
SURAT PEMBACA Yth. Pemimpin Redaksi Majalah Pemeriksa Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Sebelumnya saya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun untuk Majalah Pemeriksa, semoga ke depan MP terus menjadi lebih baik, bisa memberikan manfaat yang lebih untuk pembacanya. Selamat juga,.MP sekarang sudah berubah menjadi majalah yang cukup bagus, baik dari segi desain maupun isinya. Isinya sudah semakin komplit, dan dapat dinikmati oleh semua kalangan dari pimpinan sampai anak buah, mulai materi-materi teknis sampai materi keagamaan yang cukup menarik dan semoga bisa meningkatkan ketaatan kita kepada Allah SWT, atau paling tidak bisa sebagai sarana penyejuk hati. Mengenai wacana MP menjadi majalah bulanan, bagi saya sebagai pegawai baru, hal itu cukup menarik dan tentunya diperlukan dukungan dari semua pihak untuk mewujudkannya. Mungkin tidak ada salahnya apabila MP menerbitkan opiniopini/tulisan-tulisan dari para ahli di luar pegawai BPK untuk semakin memperkaya wawasan para pegawainya, tentunya dengan materi-materi yang berkaitan dengan tugas pokok BPK, dan pertimbangan porsi kolom untuk pegawai dan di luar pegawai. Selain itu, mungkin perlu pelatihan bagi para penulis artikel di MP, terutama untuk diri saya sendiri sebagai pemula. Seandainya ada pelatihan tersebut, tentunya akan amat sangat menarik. Sebagai seorang pegawai di lingkungan penunjang dan pendukung, mohon maaf saya hanya bisa latihan menulis artikel di bidang penunjang dan pendukung, yang mungkin kurang menarik dan hanya membuat penuh halaman. Sekali lagi saya mohon maaf, saya hanya berharap tulisan saya bisa sebagai penyeimbang isi MP, sehingga meliputi bidang teknis (audit) dan penunjang pendukung. Saya mengucapkan terima kasih, selama ini beberapa coretan-coretan saya sudah dimuat. Atas perhatiannya, saya mengucapkan terima kasih. Mohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita ke arah yang lebih baik. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Suwarno Perwakilan BPK RI di Banjarmasin
RALAT
Dalam Penerbitan Majalah Pemeriksa Edisi No.112/Tahun 2008 hal. 43 pada artikel yang berjudul “Bahasa yang Terukur”, keterangan pada tabel tertulis Bahasa yang Terukur seharusnya adalah Bahasa yang Tidak Terukur .
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
MAJALAH DWIWULANAN BP K - R I
Diterbitkan oleh Biro Humas & LN, Badan Pemeriksa Keuangan, STT No. 722/SK/Ditjen PPG/STT
Susunan Dewan Redaksi Majalah Pemeriksa
Pelindung Dharma Bhakti Pemimpin Redaksi Cris Kuntadi Anggota Redaksi Yudhi Ramdan M. Yusuf Jhon Ekowati Tyas Rahayu Dian Desilia Bestantia Indraswati R. Edi Susila Gunawan Wisaksono Staf Redaksi Nurmalasari Barlis Baharuddin Desain Grafis Sutriono Rianto Prawoto Alamat Redaksi dan Tata Usaha Gedung BPK-RI Jln. Gatot Subroto No.31 Jakarta Telp. (021)5704395-6 Pes.214/208 Fax.(021)57950285
Email:
[email protected] Redaksi menerima kiriman artikel (disertai dengan softcopy dan foto penulis) sesuai dengan misi majalah PEMERIKSA. Redaksi berhak mengoreksi/ mengubah naskah yang diterima sepanjang tidak mengubah isi naskah. Isi majalah ini tidaklah berarti sama dengan pendirian Badan Pemeriksa Keuangan.
Marhaban ya Ramadhan,
mari kita ambil ibroh dari setiap peristiwa Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan 1429 H, Redaksi mengucapkan selamat menunaikan ibadah shoum Ramadhan bagi seluruh muslim BPK dan selamat menikmati sajian kami. Semoga Ramadhan tahun ini kita dapat mengambil lebih banyak ibroh (pelajaran/contoh) dari lingkungan kita. Untuk itu, kami bermaksud menyajikan beberapa peristiwa yang dapat kita petik sebagai ibroh untuk menghadapi masa depan, dunia dan akhirat. Pertama, saat Anwar Nasution melapor kepada KPK atas penerimaan gratifikasi berupa tiket & biaya kamar hotel dari The Southern Methodist University Dedman School of Law, Amerika Serikat dan dari National Committee of Integrity & Transparency, Qatar. Sebelumnya, beliau juga melaporkan penerimaan ‘hadiah’ berupa tas seminar dan jam tangan, yang semuanya diputuskan oleh KPK apakah menjadi hak negara atau hak pribadi. Kedua, pernyataan ketidakterlibatan beliau dalam “mega skandal” aliran dana YPPI senilai Rp100 miliar sebagaimana diungkapkan saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor. Ketiga, dorongan Ketua BPK terhadap perbaikan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara sebagaimana pidatonya di hadapan para Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang juga kami sajikan pada Edisi 113 ini. Redaksi juga mengucapkan selamat & sukses kepada mas Heru Cahyono yang menjabat sebagai Plt. Kepala Bagian Publikasi & Layanan Informasi menggantikan Cris ‘Gendit’ Kuntadi, yang migrasi dari Biro Humas & Luar Negeri ke Auditama KN II.
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
LIPUTAN UTAMA
PENYELAMATAN ANGGARAN PENDAPATAN 1 DAN BELANJA DAERAH PENYELAMATAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH Prof. Dr. Anwar Nasution 1. Pendahuluan Adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa pemeriksaan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah oleh BPK dan tindakan KPK untuk memberantas korupsi telah ikut menghambat pembangunan dalam era reformasi dewasa ini. Terhambatnya pembangunan itu terjadi justru karena baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah belum berhasil, dalam masa 10 tahun terakhir, membangun kelembagaan yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita reformasi. Reformasi itu telah menggantikan sistem politik otoriter dengan sistem demokrasi, menggantikan sistem pemerintahan yang sentralistis dengan otonomi daerah dan menggantikan sistem ekonomi yang relatip tertutup dan ’serba negara’, yang menciptakan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), dengan globalisasi berdasarkan mekanisme pasar. Sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian berikut, ada empat bentuk kelembagaan atau institusi yang belum berhasil dibangun oleh Pemerintah dalam era reformasi. Pertama, Presentasi pada Gubernur, Bupati, Walikota dan Ketua DPRD seluruh Indonesia di Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) perihal Penjelasan tentang Upaya-upaya Penyelamatan APBN di Daerah, Gedung Nusantara V MPR-RI/DPR-RI/DPD-RI, Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jum’at, 22 Agustus 2008, pukul 15:00-16:15. Guru Besar Fakultas Ekonomi UI dan Ketua BPKRI periode 2004-2009.
lembaga di Pusat yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan otonomi daerah (Otda) yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam berbagai hal, Pemerintah Daerah merasa bahwa Pemerintah Pusat masih bertindak setengah hati dalam memberikan otonomi kepada daerah. Ini tercermin misalnya dari sering terganggunya kepastian mengenai besarnya jumlah transfer dana dari pusat ke daerah beserta jadwal kapan diterimanya. Peraturan Pusat pun sering berubah dan bersifat multi interprestasi sehingga menimbulkan kebingungan bagi pejabat daerah untuk menjalankannya. Sementara itu, proses evaluasi APBD Kabupaten/Kota oleh Provinsi dan APBD Provinsi oleh Departemen Dalam Negeri masih tetap bersifat birokratis dan berbelit-belit sehingga sering menyebabkan keterlambatan penetapan peraturan daerah tentang APBD. Kelembagaan kedua yang belum terbentuk hingga saat ini adalah belum adanya lembaga di tingkat Kabupaten/ Kota yang merencanakan penggunaan kewenangan dan dana yang mereka terima setelah Otda untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan Rakyat di daerahnya. Di berbagai daerah, Provinsi tidak mampu mengkoordinir program antar Kabupaten/Kota dan tidak ada lembaga yang mengkoordinir pembangunan antar provinsi. Lembaga ketiga yang belum terbentuk itu adalah karena hampir belum adanya kemajuan implementasi ketiga Paket UU tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004, baik diting Ketiga Paket UU Keuangan Negara tahun 20032004 itu adalah: (i) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (ii) UU No. 1 Tahun 2004 ten-
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
kat Pusat maupun Daerah. Lembaga keempat yang belum berhasil dibangun oleh Pemerintah adalah bagaimana mengorganisir BUMN/ BUMD serta Badan Layanan Umum (BLU), seperti rumah sakit dan sekolah (termasuk Perguruan Tinggi), dalam era reformasi. BUMN dan BUMD harus dirubah menjadi lembaga korporasi dan bukan lagi merupakan perpanjangan tangan birokrasi pemerintahan. Dewasa ini, BLU telah diberikan status otonomi yang independen, beralih dari sistem birokratis masa lalu. Independensi dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembelanjaan sekolah dan rumah sakit dan mendorong persaingan antara sesama mereka untuk meningkatkan mutu pelayanannya. Belum berhasilnya Pemerintah membangun keempat lembaga baru itu sekaligus menggambarkan masih belum adanya upaya preventif yang sistimatis dan terpadu untuk mencegah terjadinya korupsi. Upaya preventip pencegahan korupsi tersebut bukan saja berupa peningkatan tindakan represip, pelaporan harta kekayaan pejabat maupun pemberian gaji dan balas jasa yang wajar kepada penyelenggaran negara dan PNS serta Anggota tang Perbendaharaan Negara dan (iii) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Aturan mengenai Perguruan Tinggi, misalnya, ada dua jenis yang berbeda, yakni PP No. 61 Tahun 1999 tentang BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan Ayat 1, Pasal 68, UU No. 1 Tahun 2004 yang mengatur BLU (Badan Layanan Umum). PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU masih mempertahankan birokrasi BLU dan belum memberikan kemandirian penuh kepada sekolah dan rumah sakit.
TNI/POLRI maupun kepada pejabat BUMN/BUMD tapi juga termasuk perbaikan keempat lembaga yang disebut diatas. Untuk mempercepat pembangunan kelembagaan yang diperlukan dalam era reformasi, BPK tidak dapat berpangku tangan hanya sekedar menjalankan tugasnya melakukan pemeriksaan dan memberikan saran serta rekomendasi perbaikan pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan negara. BPK pun ikut proaktip mendorong dan membantu pembangunan kelembagaan yang diperlukan dalam era reformasi itu. Inisiatip BPK itu diarahkan pada dua sisi. Disatu sisi, BPK mendorong Pemerintah untuk mempercepat pembangunan sistem akuntansi dan pengelolaan keuangan negara, dan pemberdayaan pengawas internalnya. BPK sekaligus mendorong Pemerintah untuk melakukan perombakan struktural BLU dan BUMN/BUMD. Disisi lain, BPK menyarakan agar DPR-RI, DPD-RI serta DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota dapat meningkatkan pengunaan hak budjetnya.
2. Lembaga, Perilaku Caranya Berinteraksi
dan
Yang dimaksud dengan lembaga atau institusi bukanlah sekedar unit organisasi maupun jenjang hierarki jabatan seperti Pejabat Pemerintah Pusat dan Pejabat Pemerintah Daerah termasuk Gubernur, Bupati/Walikota maupun Pimpinan serta Bendahara Proyek. Lembaga juga sekaligus termasuk sistem yang meliputi aturan main dan tatacara maupun normanorma yang mengatur perilaku serta caranya berinteraksi antara sesamanya. Pada gilirannya, tatacara lembaga berinteraksi menentukan motivasi maupun sikap dan perilakunya. 2.1 Perubahan Sistem Politik dan Pemerintahan Reformasi sistem sosial yang terjadi setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 telah menggantikan sistem politik otoriter dengan demokratisasi. Dalam kaitan ini, TNI/POLRI telah meninggalkan
dwifungsinya yang dalam pelaksanaannya banyak mengandung ekses negatip. Berakhirnya dwifungsi telah meniadakan wakil TNI/POLRI di badan legislatip. Markas Besar TNI/POLRI tidak lagi dapat memerintahkan anggotanya untuk mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah. Reformasi telah menggantikan sistem pemerintahan yang sentralistis dengan pemberian otonomi daerah yang seluas luasnya. Sementara itu, perekonomian nasional sudah semakin terintegrasi dengan perekonomian global, baik melalui integrasi pasar barang dan jasa maupun pasar tenaga kerja dan pasar modal. Perubahan mendasar dalam sistem politik, sistem pemerintahan, sistem ekonomi maupun sistem akuntansi serta manajemen keuangan negara telah merubah sistem yang mengatur tatacara berinteraksi antara sesama unit pemerintahan yang sangat berbeda dewasa ini dibandingkan dengan dimasa lalu. Pada gilirannya, perubahan sistem yang mengatur tatacara berinteraksi itu menuntut perubahan sikap dan perilaku penyelenggara dan pejabat pemerintahan baik ditingkat Pusat maupun Daerah. Menurut UU No. 32 tentang Pemerintah Daerah, ada enam bidang tugas pemerintahan yang tetap merupakan monopoli Pemerintah Pusat tersebut, yakni: (i) politik luar negeri (ii) pertahanan (iii) keamanan, (iv) yustisi, (v) moneter dan fiskal nasional, serta (vi) agama. Oleh karena bidang tugasnya masih tetap berada ditangan Pemerintah Pusat, hanya pejabat Departemen Luar Negeri, TNI/POLRI, Penegak Hukum, Departemen Agama, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia yang tetap bersifat hierarkis karena hanya diatur oleh Pemerintah Pusat. Tugas-tugas pemerintahan lainnya dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tugas-tugas pemerintahan itu meliputi antara lain (a) pengaturan dan perundang-undangan; (b) penanganan sumber daya alam dan masalah lingkungan; (c) pendidikan; (d) kesehatan; (e) pertanian dan irigasi; (f) industri pengolahan dan (g) transportasi. Dalam sistem demokrasi politik dan sistem pemerintahan yang desentralis-
tis setelah reformasi, Rakyat memilih langsung Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota berdasarkan janji politik (‘platform’) yang dijanjikannya selama masa kampanye pemilihan. Dalam sistem politik otoriter yang berlaku sebelumnya, Presiden dipilih oleh MPR untuk melaksanakan GBHN (GarisGaris Besar Haluan Negara) yang ditetapkan oleh MPR. Pada sistem pemerintahan sentralistis pada masa lalu itu, Kepala Daerah dan pejabat daerah adalah merupakan aparat Pemerintah Pusat yang ditunjuk dan diangkat oleh Pemerintah Pusat untuk menjalankan kebijakan serta programnya di daerah. Karena ditunjuk oleh dan hanya bertanggung jawab kepada atasannya di Pusat, pejabat daerah hanya bertanggung kepada pejabat pusat dan bukan pada Rakyat didaerahnya. Kepala dan Bendahara Proyek di daerah hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada atasannya di Pusat. 2.2 Reformasi Sistem Akuntansi dan Pengelolaan Keuangan Negara Sebagaimana disebut diatas, hingga kini, Pemerintah belum berhasil membangun sistem pengelolaan dan akuntansi serta pertanggung jawaban keuangan negara yang sesuai dengan Paket Tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Penegakan transformasi dan akuntabilitas fiskal merupakan kunci pokok bagi upaya preventip pemberantasan korupsi. Salah satu penyebab pokok dari krisis ekonomi tahun 1997 adalah tidak adanya transparansi dan akuntabilitas serta maraknya KKN. Ditengah penataran P-4 yang mengajarkan “mantapnya ketahanan nasional dan stabilitas nasional yang terkendali”, perekonomian nasional justru ambruk dilanda krisis. Presiden Suharto yang baru saja beberapa bulan dipilih dan dilantik kembali, ditekan Landasan otonomi daerah diawali dengan diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam perkembangan berikutnya, kedua UU itu direvisi masing-masing oleh UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
oleh MPR yang memilihnya untuk meletakkan jabatan pada bulan Mei 1998. Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara sekaligus merupakan salah satu elemen pokok untuk mewujudkan demokrasi politik. Dalam sistem demokrasi politik, Rakyat ingin tahu penggunaan uang pajak, retribusi maupun hutang negara. Kenapa pembayaran efektip atas penggunaan jasa-jasa publik lebih tinggi dari tarip resmi? Masyarakat juga ingin tahu dimana uang negara disimpan, bagaimana pembagian pajak dan non-pajak antar daerah dan untuk apa dipergunakan. Masyarakat menuntut adanya peningkatan efisiensi serta balas jasa investasi negara, termasuk BUMN/ BUMD. Masyarakat pun menuntut adanya peningkatan mutu pendidikan, kesehatan masyarakat, lapangan pekerjaan maupun pelayanan umum yang pantas disediakan oleh pemerintahan. Tanpa adanya peningkatan mutu pendidikan dan kesehatan masyarakat, tidak mungkin ekonomi Indonesia dapat bersaing di pasar dunia dan TKI Indonesia mampu mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak di luar negeri. Transparansi dan akuntabilitas fiskal sekaligus merupakan instrumen penting untuk mengikis perasaan saling curiga dan saling cemburu antar Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat maupun antar sesama Pemda. Hanya dengan demikian sumber konflik yang mengancam disintegrasi NKRI dapat ditiadakan. Upaya untuk menghindari potensi konflik antar Pusat dan Daerah dan antara sesama Daerah sangat penting karena sejak tahun 1948, sejarah Republik Indonesia penuh dengan perang saudara dan gejolak daerah yang terus menerus terjadi hingga kini. Transparansi dan akuntabilitas penggunaan bantuan dan pinjaman luar negeri oleh daerah juga penting bukan saja untuk mencegah beban hutang yang terlalu besar. Pengalaman dari PRRI/ Permesta tahun 1950an, maupun dari G-30-S bantuan dan pinjaman bantuan luar negeri pun dapat digunakan oleh Penerbang Alan Pope yang ditembak jatuh oleh TNI di Ambon pada tahun 1950an adalah merupakan bagian dari bantuan Amerika Serikat kepada PRRI/Permesta. Sebelum G-30-S/PKI, PKI dan Angkatan kelima menerima kiriman senjata
Pemda dan Parpol untuk membeli peralatan perang untuk makar terhadap Pemerintah Pusat. Reformasi dalam sistem pembukuan dan administrasi keuangan tercermin dalam Paket Tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Paket UU ini ingin menggantikan sistem pembukuan dari single entry ke double entry account serta peralihan dari anggaran yang berbasis kas ke basis akrual. Sistem pembukuan disusun secara berjenjang mulai dari unit kecil hingga tertinggi. Uang negara tidak boleh lagi disimpan pada rekening pribadi pejabat dan semua rekening negara harus terintegrasi dalam suatu treasury single account. Basis proses penyusunan anggaran akan beralih kepada anggaran berbasis kinerja. Kepala Badan/Menteri dan Kepala Instansi Pemerintah wajib menandatangani Management Representative Letter yang mengatakan bahwa tidak ada informasi yang disembunyikan dari pemeriksaan BPK. Perubahan yang sangat mendasar ini memerlukan tenaga pembukuan profesional, sistem IT, maupun perubahan sikap semua pihak yang terlibat dalam penggunaan anggaran negara, terutama pimpinan dan bendahara proyek. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menuntut penggunaan satu pembukuan keuangan negara (treasury single account) dalam suatu rekening yang terpadu. Disamping untuk mencegah korupsi, tujuan dari penggunaan rekening Pemerintah yang terpadu itu, antara lain, adalah agar memungkinkan Pemerintah setiap saat mengetahui posisi keuangannya dan kondisi likuditasnya. Dimasa pemerintahan Orde Baru, rekening pribadi pejabat negara juga digunakan untuk menyimpan uang negara. Bunga rekening pribadi itu digunakan untuk keperluan pribadi pejabat yang bersangkutan dan/ataupun untuk anggaran non bujeter instansi yang dipimpinnya. Setelah 10 tahun reformasi, praktek buruk Orde Baru belum dapat dihilangkan. Per tanggal 31 Desember 2007, uang negara masih tersimpan dalam 32.570 rekening (termasuk rekening pribadi pejabat negara) yang tidak terintegrasi. dari RRC.
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
Perubahan mendasar dalam Paket Tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 sekaligus merubah fungsi Itjen/SPI/Bawasda. Inspektur Jenderal/Satuan Pengendalian Internal/Bawasda wajib mereviu laporan keuangan instansinya sebelum ditantangani oleh kepala kantornya untuk selanjutnya diserahkan bagi keperluan pemeriksaan oleh BPK. Melalui kegiatan reviu seperti ini, Itjen/SPI/Bawasda diharapkan berfungsi sebagai garda terdepan dalam mendeteksi dan menanggulangi penyimpangan maupun korupsi keuangan negara. Selama masa Orde Baru, aparat pengawasan internal hanya menjalankan fungsi inspeksi dan mendeteksi aliran serta kegiatan politik PNS dan Anggota TNI/POLRI maupun karyawan BUMN/BUMD. 3. Pembangunan Kelembagaan Perencanaan Pembangunan Daerah Sebagaimana telah disebut dimuka, Pemda tingkat Kabupaten dan Kota, belum mampu meningkatkan kemampuannya dalam menggunakan kewenangan dan anggarannya yang lebih besar yang mereka terima dalam rangka otonomi daerah. Untuk dapat meningkatkan kualitas prasarana didaerahnya, Pemda harus memiliki tenaga-tenaga teknik. Tanpa adanya tenaga dokter dan medis serta rumah sakit tidak mungkin Pemda dapat meningkatkan kualitas kesehatan. Peningkatan kualitas pendidikan memerlukan peralatan, buku maupun peningkatan kualitas guru. Penyuluhan pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan dan industri pengolahan memerlukan tenaga-tenaga akhli yang berdedikasi. Kewenangan Pemda itu termasuk untuk memanfaatkan letak geografisnya, kekayaan alam, maupun sumber daya manusia daerahnya. Kewenangan dan anggaran Pemda yang lebih besar itu harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya guna peningkatan pembangunan ekonomi daerah. Setiap proyek yang dipilih oleh Pemda harus dapat memberikan hasil maksimal (value for money) bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan Rakyat didaerahnya. Dalam era globalisasi sekarang ini, lembaga daerah itu harus mampu
memanfatkan peluang globalisasi yang ada dan sekaligus menangkal gangguan yang muncul daripadanya. Pembangunan kelembagaan Pemda agar mampu menggunakan kewenangan dan anggarannya yang lebih besar menjadi semakin sulit karena otonomi daerah di Indonesia langsung diberikan kepada Kabupaten/Kota. Karakteristik Pemda sangat heterogen ditinjau dari letak geografis maupun karakteristik sosial ekonominya. Pada gilirannya, perbedaan karakteristik tersebut mempengaruhi kemampuannya untuk membangun lembaga pemerintahan. Dilain pihak, di negara-negara lain, otonomi pemerintahan diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih besar seperti Provinsi atau negara bagian. Setelah berlakunya program otonomi daerah, Pemerintah Provinsi tidak lagi memiliki banyak kewenangan ataupun menguasai anggaran yang diperlukan. Dalam sistem fiskal yang terpusat dalam masa pemerintahan yang sentralistis dimasa lalu itu, Pemda tidak perlu membangun kemampuan kelembagaan lokal untuk merencanakan pembangunan untuk mencapai balas jasa yang maksimal bagi daerah yang bersangkutan. Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara juga tidak perlu dihiraukan. Kepala dan Bendahara Proyek Pemerintah Pusat yang ada di daerah hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada atasan yang menunjuknya di Pusat. Alasannya adalah karena selama masa Orde Baru, Pemerintah Pusat sekaligus menentukan program dan jenis proyek pembangunan maupun jumlah serta arah penggunaan anggaran belanja daerah. Pusat cenderung menetapkan rangkaian kebijakan, program maupun proyek pembangunan yang seragam di seluruh Tanah Air tanpa menghiraukan karakteristik maupun keunikan daerah. Arsitektur gedung proyek-proyek Pusat itu, seperti GLK (Gudang dan Lantai Jemur Koperasi), Puskesmas, SD Inpres dan Mesjid Amal Muslim Pancasila pun adalah seragam dari Sabang hingga Merauke. Proyek pembangunan Pemerintah Pusat yang seragam tersebut belum tentu diperlukan oleh seluruh daerah.
Peninggalan sentralisasi sistem fiskal dari masa Orde Baru belum dapat dikikis sepenuhnya selama 10 tahun usia reformasi. Keengganan Pemerintah Pusat untuk melepaskan kendalinya atas daerah merupakan salah satu faktor penyebab keterlambatan pengesahan APBD. Hal ini mengganggu implementasi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga menimbulkan ketidakpastian mengenai jumlah maupun waktu kedatangan penerimaan daerah berupa transfer dari Pusat. Sementara itu, aturan Pemerintah Pusat sering berubah, tidak konsisten dan multi interpretasi sehingga menimbulkan ketidakpastian pada Pemda. Kelambatan persetujuan evaluasi Mendagri/Gubernur ikut memperlambat pengesahan APBD Kabupaten/Kota. Kompleksnya penyusunan APBD sekaligus menimbulkan ketidakjelasan antara tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Daerah. Pengadaan beberapa barang oleh Pemda pun dikontrol ketat oleh Pemerintah Pusat: jumlah, jenis dan mutu barang, serta harganya. Contohnya adalah pengadaan Alat Pemadam Kebakaran yang tidak jelas siapa penanggung jawab yang sebenarnya. Proses penyusunan APBD yang sangat kompleks digambarkan dalam Gambar-1 yang diambil dari Gambar V.1 dalam Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2009. 4. Perubahan Struktural Penerimaan Pemda Program otonomi daerah di Indonesia diawali dengan memberikan kewenangan penggunaan anggaran pengeluaran kepada Pemda. Pemberian anggaran negara yang lebih besar kepada Pemda itu adalah mengikuti pemberian kewenangan atau fungsi yang lebih luas kepada daerah (money follows functions). Kewenangan Pemda dalam pemungutan pajak (taxing power) masih sangat terbatas pada sumber penerimaan yang tidak begitu penting. Bahkan, PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) pun masih dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak di Pusat. Pada gilirannya, sebagian besar diantara pajak daerah yang terpenting adalah berada pada Provinsi
sedangkan Kabupaten dan Kota hanya memiliki sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat terbatas. Daftar jenis dan tarip Pajak Daerah dimuat dalam Tabel-1 yang bersumber dari Tabel V.10 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2009. Tabel-2 memuat Jenis Retribusi Daerah yang bersumber dari Tabel V.11 dalam dokumen Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2009 yang sama. Tabel-1 itu menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi menguasai pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air serta bea balik namanya maupun pajak bahan bakar kendaraan bermotor serta pajak pengambilan air bawah tanah dan air permukaan. Pemerintah Kabupaten/Kota menguasai 7 jenis pajak: hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, pengambilan bahan galian Golongan C dan parkir. Tabel-2 menggambarkan adanya tiga kelompok retribusi daerah yang terdiri dari 27 jenis: (i) golongan retribusi jasa umum terdiri dari 10 jenis restribusi; (ii) golongan retribusi usaha terdiri dari 13 jenis dan (iii) golongan retribusi perijinan tertentu yang terdiri dari 4 retribusi. Jenis pajak dan restribusi daerah ini hanya menghasilkan pendapatan yang berarti di daerah perkotaan yang padat penduduk ataupun di daerah pariwisata seperti Provinsi Bali. Untuk meningkatkan PAD berbagai daerah mengintrodusir 12 jenis pajak baru dan sekitar 280 jenis retribusi baru. Berbagai pajak dan retribusi baru itu cenderung menimbulkan distorsi bagi penanaman modal maupun arus lalulintas transportasi serta perdagangan antar daerah. Ada tiga bentuk perubahan yang menonjol dalam struktur keuangan Pemda setelah otonomi daerah (Tabel3). Perubahan pertama adalah semakin besarnya porsi APBN Pemerintah Pusat yang diserahkan kepada Pemda. Dewasa ini, lebih dari sepertiga dari penerimaan Pemerintah Pusat telah ditransfer kembali ke daerah. Ini jauh lebih besar dari ketentuan yang dimuat dalam Pasal 7 UU No. 25 Tahun 1999 yang mewajibkan Pemerintah Pusat mentransfer setidaknya seperempat dari penerimaan dalam negerinya kem-
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
bali ke daerah. Pada tahun 2008, belanja APBN ke daerah sudah melebihi 41 persen yang terdiri dari belanja Pusat di daerah sebesar 11,8 persen dan transfer ke daerah sebesar 29,5 persen dari seluruh pengeluaran APBN. Perubahan mendasar yang kedua adalah dalam bentuk transfer dana dari Pusat ke Pemda itu. Pada masa Orde Baru, transfer dana dari Pusat kedaerah adalah terutama berupa earmarked grants untuk membelanjai kegiatan Pemerintah Pusat di daerah. Dewasa ini, Pemda diberikan kebebasan yang lebih besar dalam hal penggunaan dana itu. Dalam UU No. 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, disebut ada lima jenis sumber penerimaan Pemerintah Daerah yakni: (i) Pendapatan Asli Daerah (PAD); (ii) Dana Perimbangan yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi; (iii) Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan non pajak; (iv) Dana Alokasi Umum (DAU) yang bertujuan untuk pemerataan pendapatan daerah; (v) Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membantu pembelanjaan kegiatan khusus di daerah yang sejalan dengan prioritas nasional. Perubahan mendasar yang ketiga adalah dalam struktur sumber dana penerimaan oleh Pemda. Karena hanya menerima sekitar 10 persen dari transfer dana Pemerintah Pusat ke daerah Pemda Provinsi mengandalkan pada PAD untuk pembelanjaan anggarannya. Seperti telah disebut dimuka, sebahagian besar dari kewenangan memungut pajak jenis PAD terpenting adalah berada pada Pemda Provinsi. Sebaliknya, sumber penerimaan dana Pemda Kabupaten/Kota sangat tergantung pada transfer dana dari Pusat. Pemda Kabupaten/Kota menerima sebesar 90 persen dari dana transfer dari Pemerintah Pusat ke daerah itu. Disamping itu, PAD Pemda Kabupaten/Kota juga sangat terbatas. Tabel 3 menggambarkan bahwa PAD Kabupaten/Kota pada tahun 2006 hanya menyumbang sekitar 5,5 persen pada PAD nya. Sumbangan PAD pada Pendapatan Provinsi pada tahun yang
sama mencapai 40,64 persen. Sebesar 84,2 persen dari pendapatan Kabupaten/Kota adalah bersumber dari Dana Perimbangan. Dilain pihak, dana perimbangan hanya menyumbang sekitar 39,4 persen pada pemerimaan Provinsi pada tahun tersebut. 5. Pengeluaran APBD dan Akuntabilitasnya Tabel 4 menggambarkan perkembangan pengeluaran APBD. Tabel ini juga menunjukkan adanya pertumbuhan pengeluaran jumlah APBD yang sangat pesat setelah dimulainya program otonomi daerah. Perkembangan pesat dalam pengeluaran daerah itu adalah berkaitan langsung dengan penyerahan kewenangan pemerintahan kepada Pemda, utamanya Pemda Kabupaten/Kota. Arah penggunaan pengeluaran Pemda juga berkaitan dengan kewenangan yang dilimpahkan kepadanya. Mata anggaran Pemda yang terbesar adalah untuk pembelanjaan administrasi pemerintahan dan baru diiikuti oleh pengeluaran untuk pendidikan dan kebudayaan, pekerjaan umum, dan kesehatan. Ada beberapa yang menonjol dalam pengeluaran APBD yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama adalah masih maraknya bantuan keuangan Pemda pada aparat Pusat, terutama aparat keamanan serta ketertiban masyarakat maupun penegak hukum. Seharusnya seluruh pembelanjaan instansi Pusat hanya bersumber dari APBN. Mengikuti tradisi masa pemerintahan Orde Baru, ”bantuan” pada aparat keamanan dan penegak hukum itu adalah terutama untuk memberikan tambahan penghasilan berupa honor dan tunjangan jabatan Muspida serta pemberian hadiah dan kenangkenangan setelah mengahiri tugasnya di daerah yang bersangkutan. Biaya operasional, biaya koordinasi, biaya komunikasi, perjalanan dinas, kunjungan pejabat maupun biaya pendidikan dinas berbagai instansi vertikal juga ”dibantu” oleh APBD. Pembangunan sarana dan prasarana instansi vertikal juga sering dimintakan kepada Pemda padahal dananya sudah disediakan oleh
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
APBN. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, ”bantuan” seperti ini adalah masuk dalam pengertian gratifikasi. Kedua, adalah penyalah gunaan bantuan sosial terutama untuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pemberdayaan golongan masyarakat miskin. Dalam berbagai hal, LSM yang dibantu oleh Pemda itu ternyata adalah tim sukses aparat politik Pilkada Kepala Daerah maupun tokoh-tokoh lembaga legislatip. Sering pula bahwa penggunaan dana bantuan sosial Pemda itu yang sangat berbeda dengan tujuannya semula. Ketiga adalah penyalahgunaan biaya pemungutan (upah pungut) Pajak Bumi dan Bangunan serta Pajak maupun Retribusi Daerah yang masih menggunakan sistem pemungutan kuno, bagaikan kontrak pemungutan pajak yang diberikan oleh Raja-Raja Nusantara kepada Kapten Cina. Peraturan Pemerintah tentang Pajak dan Retribusi Daerah menetapkan besarnya upah pungut maksimum sebesar 5 persen sebagai insentip kepada pejabat yang terkait langsung dengan pemungutan pajak daerah itu. Dalam kenyataan, upah pungut pajak daerah itu juga dinikmati oleh pejabat maupun instansi yang tidak ada kaitannya dengan pemungutannya. Walaupun sistem politik sudah demokratis tapi, sistem akuntabilitas di daerah masih rancu. Hal ini terjadi, antara lain karena DPR dan DPRD belum memahami makna hak budjet yang dimilikinya karena sudah terlalu lama diredam selama masa pemerintahan Orde Baru. Kedua, karena Anggota DPRD belum dipilih berdasarkan distrik. Pada saat ini, Anggota DPRD dicalonkan oleh Partai yang bersifat hierarkis ke DPP nya di Pusat. Kepala Daerah wajib meminta persetujuan APBD dari DPRD di daerahnya serta menyampaikan pertanggungjawaban anggaran kepada lembaga legislatip daerah itu. Dilain pihak, karena ditunjuk dan mewakili partainya akuntabilitas seorang Anggota DPRD adalah lebih kepada partai yang mengangkat dan diwakilinya itu daripada pada Rakyat pemilih setempat. Kerancuan
akuntabilitas seperti ini yang juga ikut mempengaruhi kelambatan pengesahan APBD oleh DPRD maupun penerimaan pertanggungjawaban keuangan daerah. DPRD yang kurang akuntabel terhadap Rakyat pemilih didaerahnya akan menimbulkan alternatip perwakilan lain diluar partai politik dan lembaga perwakilan daerah. Salah satu bentuk lain alternatip perwakilan Rakyat itu adalah lembaga swadaya masyarakat termasuk NGO (non-governmental organisations). 6. Audit dan Program BPK UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menugaskannya untuk memeriksa semua lapis pemerintahan di Indonesia. Kini, Indonesia memiliki lima sistem administrasi pemerintahan, yakni: Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa/Kelurahan. Tabel-5 menggambarkan bahwa, jumlah seluruh lapis pemerintahan di Indonesia telah bertambah dengan cepat melalui proses pemekaran. Kini administrasi pemerintahan di Indonesia terbagi dalam 33 Provinsi, 370 Kabupaten, 95 Kota, 6.131 Kecamatan dan 73.405 Desa. Pada awal reformasi, sepuluh tahun y.l., jumlah provinsi hanya ada 27 dan kemudian Timor Timur memisahkan diri dan mendirikan negara baru, yakni, Timor Leste. Seperti yang disebut dalam celoka ”Bhinneka Tunggal Ika” pada kami Lambang Negara Burung Garuda Pancasila, Pemda di Indonesia yang jumlahnya berkembang dengan pesat adalah sangat bervariasi ditinjau dari sudut geographis maupun karakteristik sosial ekonominya. Heterogenitas daerah seperti ini semakin menambah tantangan bagi Pemda dan bagi sistem fiskal untuk dapat menyediakan pelayanan minimum masyarakat terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan masyarakat dan pelayanan umum lainnya. Dewasa ini, BPK baru dapat memeriksa ketiga lapis pemerintahan, yakni: Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk dapat menjalankan tugasnya itu, BPK telah menambah jumlah kantor perwakilannya yang tadinya baru ada di 7 provinsi 10
(2004) menjadi 29 dewasa ini. Provinsi yang belum mempunyai kantor perwakilan BPK, seperti di Provinsi Bengkulu, Banten dan Jawa Tengah serta Sulawesi Barat, diperiksa oleh kantor perwakilan yang ada di provinsi yang berdekatan. Sesuai dengan tersedianya anggaran, BPK akan membuka kantor perwakilan di setiap provinsi sesuai dengan ketentuan UU. Masih cukup banyak daerah yang belum dapat memenuhi jadwal waktu penyerahan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) untuk diperiksa oleh BPK sebagaimana diatur oleh UU No. 15 Tahun 2004. Dari sebanyak 468 LKPD yang seharusnya diterima untuk diperiksa oleh BPK pada tahun 2007, baru sebanyak 274 yang telah selesai diperiksa sedangkan sebanyak 34 belum diterima dan 160 dalam proses penyelesaian pemeriksaan karena keterlambatan penyerahannya. Tidak berbeda dengan opini pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), opini pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) selama periode 2004-2007 (Gambar-2) juga memberikan gambaran yang sangat mengecewakan. Dalam masa empat Sementara orang meremehkan opini disclaimer LKPP Indonesia karena LKPP Amerika Serikat juga mendapatkan opini disclaimer dari GAO (BPK negara itu) terus menerus selama 10 tahun terakhir. Pendapat ini adalah keliru karena berbeda dengan Indonesia, Amerika Serikat merupakan satusatunya negara yang mampu mencetak uang US dollar dan menjual obligasi Pemerintahnya, yang dinyatakan dalam satuan US dollar, untuk menutup defisit anggaran negaranya. Defisit anggaran negara itu termasuk untuk membelanjai perang di Iraq dan Afganistan ataupun perang melawan terorisme di seluruh pelosok dunia. Sebagian terbesar dari cadangan luar negeri dunia, termasuk Bank Indonesia, adalah ditahan dalam mata uang US dollar, obligasi Pemerintah Amerika Serikat dan surat-surat berharga lainnya yang dinyatakan dalam mata uang US dollar, Sebaliknya, Rupiah kita hanya laku sampai dengan Bandara Sukarno-Hatta di Cengkareng. SUN (Surat Hutang Indonesia) sulit dijual dipasar dunia karena reputasi kita yang terus menerus dilanda perang saudara, gejolak politik, keamanan, sosial dan ekonomi, tingkat laju inflasi yang tinggi dan kemampuan membayar hutang yang rendah. Sistem hukum dan akuntansi kita pun masih belum mampu menjamin hak milik perorangan dan memelihara transparansi serta akuntabilitas maupun mewujudkan good governance. Oleh karena itu, tidak ada orang ataupun negara asing yang menahan kekayaan ataupun cadangannya dalam Rupiah maupun SUN.
tahun terakhir, 2004-2007, LKPP terus menerus mendapatkan opini ”Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer)”. Persentase LKPD yang mendapatkan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) justru semakin berkurang dari 6 persen pada tahun 2004 menjadi 4 persen pada tahun berikutnya dan masing-masing sebesar 1 persen pada tahun 2006 dan 2007. Hanya masing-masing sebesar 1 persen dari LKPD pada tahun 2004 dan 2005 yang memperoleh Predikat Wajar dengan Paragraf Penjelasan. Persentase LKP yang mendapatkan opini Wajar dengan Pengecualian juga merosot dari tahun ke tahun. Sebaliknya, persentase LKPD yang mendapatkan opini Disclaimer (Tidak Memberikan Pendapat) atau Tidak Wajar justru meningkat dengan cepat selama periode 2004-2007 itu. Persentase LKPD yang mendapatkan opini disclaimer naik dari 2 persen pada tahun 2004 menjadi 18 persen pada tahun 2007. Dalam periode yang sama, persentase LKPD yang memperoleh opini Tidak Wajar naik dari 3 persen menjadi 18 persen. BPK tidak dapat berpangku tangan melihat kondisi laporan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang buruk itu. Berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, BPK telah mengambil lima bentuk inisiatip untuk ikut serta memperbaiki sistem pembukuan dan manajemen keuangan negara, baik ditingkat Pusat maupun Daerah. Inisiatip BPK yang pertama adalah mewajibkan semua auditee menyerahkan Management Representative Letter kepada BPK. Surat ini merupakan pernyataan dari pimpinan tertinggi organisasi pemerintahan itu yang mengatakan bahwa laporan keuangan yang diserahkan untuk diperiksa oleh BPK tersebut adalah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi pemerintah. Laporan keuangan itu juga telah direviu oleh Inspektur Jenderal/Satuan Pengendalian Intern ataupun oleh Bawasda. Inisiatif BPK yang kedua adalah untuk mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah segera mewujudkan sistem pembukuan keuangan negara yang terpadu (single treasury account). Hanya dengan demikian, Pemerintah
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
dapat mengetahui posisi keuangan maupun kondisi likuditasnya setiap saat. Inisiatip BPK yang ketiga adalah meminta seluruh auditee yang diperiksanya menyusun Rencana Aksi (Action Plan) guna meningkatkan opini pemeriksaan laporan keuangannya. Rencana Aksi hendaknya memuat program kerja yang jelas dengan pelaksanaan menurut jadwal waktu yang terencana dengan jelas pula. Program kerja dalam Rencana Aksi meliputi rencana perbaikan (1) sistem pembukuan; (2) sistem aplikasi teknologi komputer; (3) inventarisasi aset dan hutang; (4) jadwal waktu penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan serta pertanggung jawaban anggaran; (5) quality assurance oleh pengawas intern serta (6) perbaikan sumber daya manusia terutama adalam bidang akuntansi dan pengelolaan keuangan negara. BPK memantau dengan cermat pelaksanaan dari program Ren-
cana Aksi itu. Inisiatif BPK yang keempat adalah membantu entitas pemerintah untuk mencari jalan keluar untuk mengimplementasikan Rencana Aksi instansi pemerintah. Untuk mengatasi kelangkaan sumber daya manusia dalam bidang pembukuan, khususnya tenaga-tenaga akuntan, misalnya, BPK menyarankan agar instansi tersebut meminta tenaga dari BPKP yang sejak dari awal memang didirikan untuk membangun sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia. Alternatip lainnya adalah dengan merekrut sendiri tenaga-tenaga akuntan ataupun mengirimkan pejabatnya sekolah pada STAN dan ataupun Jurusan Akuntansi di berbagai Universitas yang tersebar diseluruh pelosok Tanah Air. Inisiatif BPK yang kelima adalah menyarankan kepada DPR-RI, DPDRI maupun DPRD Provinsi serta
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
Kabupaten/Kota untuk membentuk Panitia Akuntabilitas Publik (PAP). Lembaga legislatip sudah memiliki Panitia Anggaran yang menganalisis perencanaan anggaran negara maupun daerah. Mereka pun telah memiliki komisi-komisi untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh Departemen Teknis ataupun Dinas. Guna melengkapi fungsi manajemen, PAP perlu dibentuk agar lembaga-lembaga legislatip dapat mengawasi pelaksanaan penuh anggaran dan program kerja pemerintah selama satu tahun fiskal. Berbagai instansi, membelanjai kegiatannya dengan pungutan yang tidak dilaporkannya dalam APBN. BPK juga membantu untuk mempertemukan badan-badan legislatip dengan mitranya di luar negeri untuk memahami peranan PAP di parlemen negara lain.
11
LAMPIRAN: ‘Penyelamatan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah”
TABEL 1. JENIS DAN TARIF PAJAK DAERAH PROPINSI JENIS PAJAK
1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air (PKB&KAA) a. Kendaraan Bermotor Bukan Umum/Pribadi dan Kendaraan di atas Air b. Kendaraan Bermotor Umum c. Kendaraan Bermotor Alat-alat Berat dan Alat-alat Besar 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air (BBN-KB&KAA) a. Penyerahan Pertama 1)Kendaraan Bermotor Bukan Umum/Pribadi 2)Kendaraan di Atas Air 3)Kendaraan Bermotor Umum 4)Kendaraan Bermotor Alat-alat Berat dan Alat-alat Besar b. Penyerahan Kedua 1) Kendaraan Bermotor Bukan Umum/Pribadi 2) Kendaraan di Atas Air 3) Kendaraan Bermotor Umum 4) Kendaraan Bermotor Alat-alat Berat dan Alat-alat Besar c. Penyerahan Karena Warisan 1) Kendaraan Bermotor Bukan Umum/Pribadi 2) Kendaraan di Atas Air 3) Kendaraan Bermotor Umum 4) Kendaraan Bermotor Alat-alat Berat dan Alat-alat Besar 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) 4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT&AP) a. Air Bawah Tanah b. Air Permukaan KABUPATEN/KOTA
TARIF (%)
1,5 1 0,5 10 5 10 3 1 1 1 0,3 0,1 0,1 0,1 0,03 5 20 10 TARIF MAKSIMUM (%)
JENIS PAJAK
10 10 35 25 10 20 20
1.Pajak Hotel 2.Pajak Restoran 3.Pajak Hiburan 4.Pajak Reklame 5.Pajak Penerangan Jalan 6.Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 7.Pajak Parkir Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2009, Tabel V.10., Hal. V-25
12
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
LAMPIRAN: ‘Penyelamatan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah” TABEL 2. JENIS RETRIBUSI DAERAH JENIS RETRIBUSI DAERAH
1
2.
3.
Golongan Retribusi Jasa Umum 1. Retribusi Pelayanan Kesehatan; 2. Retribusi Pelayanan Persampahan / Kebersihan; 3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil; 4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; 5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; 6. Retribusi Pelayanan Pasar; 7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; 8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; 9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; 10. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan; Golongan Retribusi Jasa Usaha 1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; 2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; 3. Retribusi Tempat Pelelangan; 4. Retribusi Terminal; 5. Retribusi Tempat Khusus Parkir; 6. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa 7. Retribusi Penyedotan Kakus; 8. Retribusi Rumah Potong Hewan; 9. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal; 10. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga; 11. Retribusi Penyeberangan di Atas Air; 12. Retribusi Pengelolaan Limbah Cair; 13. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah; Golongan Retribusi Perizinan Tertentu 1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; 2. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol 3. Retribusi Izin Gangguan; 4. Retribusi Izin Trayek;
Sumber : Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2009, Tabel V.11., Hal. V-26
13 NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
13
14 35,75 1,97 1,09
1,83 39,39 12,37 6,95 20,05 0,02 4,06 15,92 100,00
25,70 1,42 0,78
1,31 28,31 8,89 4,99 14,41 0,01 2,92 11,44 71,88
2,07 2,08 0,31
1,03 84,2 6,08 8,34 60,7 5,49 3,53 1,01 9,34 100
4,36 4,38 0,65
2,17 177,15 12,80 17,56 127,78 11,56 7,43 2,13 19,66 210,52
36,56 2,03 1,17
2,35 37,41 13,40 10,06 13,93 0,04 6,40 14,05 100,00
24,21 1,34 0,78
1,56 24,77 8,87 6,66 9,22 0,03 4,24 9,30 66,21
2,69 2,52 0,41
1,43 80,26 9,46 11,39 51,51 2,79 5,11 3,38 9,32 100,00
4,15 3,89 0,63
2,21 123,95 14,61 17,59 79,55 4,31 7,89 5,22 14,39 154,44
36,94 2,17 0,97
2,25 37,82 13,82 7,79 16,18 0,03 6,55 13,30 100,00
19,69 1,16 0,52
1,20 20,16 7,37 4,15 8,62 0,02 3,49 7,09 53,31
2,85 2,53 0,30
1,55 79,90 8,66 8,47 56,02 2,31 4,44 3,48 9,40 100,00
3,73 3,31 0,39
2,03 104,58 11,33 11,09 73,33 3,02 5,81 4,55 12,30 130,89
31,75 1,96 0,98
3,19 38,09 13,78 7,41 16,54 0,36 8,41 15,60 100,00
14,88 0,92 0,46
1,50 17,85 6,46 3,47 7,75 0,17 3,94 7,31 46,86
2,52 2,23 0,28
1,91 75,59 8,00 8,39 56,62 2,57 0,00 7,21 10,26 100,00
3,13 2,77 0,34
2,36 93,75 9,93 10,40
70,23 3,19 0,00
8,94
12,73 124,03
1.1. Pajak Daerah 1.2. Retribusi Daerah
Keterangan: *) Data APBD
14
Sumber: Badan Pusat Statistik, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Propinsi 2003-2006 dan Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 2004-2005 dan 2005-2006
B. Pembiayaan Daerah Total Pendapatan Daerah
2.1. Dana Bagi Hasil Pajak 2.2. Dana Bagi Hasil Bukan Pajak/Sumber Daya Alam 2.3. Dana Alokasi Umum 2.4. Dana Alokasi Khusus 2.5. Dana Bagi Hasil dari Propinsi 3. Lain-lain Pendapatan yang Sah
1.3. Hasil Perusahaan Milik Daerah&Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 1.4. Lain-lain PAD yang Sah 2. Dana Perimbangan
40,64 29,21 5,50
11,58
42,11
27,88
7,05
10,89
42,32
22,56
7,23
9,46
37,90
17,76
6,94
8,60
2006* Prop Kab/Kota % Nilai % Nilai 84,08 190,86 90,70 60,44
2005 Prop Kab/Kota % Nilai % Nilai 85,95 90,68 56,91 140,04
2004 Prop Kab/Kota % Nilai % Nilai 86,70 90,60 46,22 118,59
2003 Prop Kab/Kota % Nilai % Nilai 84,40 89,74 39,55 111,30
1. Pendapatan Asli Daerah
A. Pendapatan Daerah
Uraian
TABEL 3. REALISASI PENDAPATAN PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTA DI SELURUH INDONESIA (Triliun Rupiah)
LAMPIRAN: ‘Penyelamatan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah”
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
LAMPIRAN: ‘Penyelamatan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah”
TABEL 4. PROPORSI REALISASI BELANJA PEMERINTAH PUSAT, PROPINSI, DAN KABUPATEN/KOTA TAHUN 2006 Nasional a (%)
Bidang Pengeluaran
Administrasi Pemerintahan dan Pelayanan Umum Pendidikan Pekerjaan Umum Kesehatan Perhubungan Pertanian, Perikanan, Kehutanan, dan Perkebunan Permukiman Kependudukan dan Sosial Lingkungan Hidup Perindustrian, Pedagangan, dan Koperasi Ketenagakerjaan Pertambangan dan Energi Kepariwisataan Pertanahan dan Tata Ruang Lain-Lain Total
Propinsi b (%)
64,39 10,30 0,00 2,77 3,25 1,90 1,24 0,52 0,51 0,72 0,22 0,96 0,21 0,09 12,92 100,00
Kabupaten/Kota b (%)
56,87 7,50 13,26 5,64 2,17 3,70 3,44 1,57 1,75 1,23 0,80 0,51 0,45 0,22 0,88 100,00
42,75 24,68 14,06 6,62 1,04 3,52 2,13 1,45 1,02 0,93 0,45 0,35 0,42 0,47 0,10 100,00
Sumber: a. Badan Pemeriksa Keuangan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2006 b. Departemen Keuangan, Ditjen Perimbangan Keuangan Keterangan: - Bidang pengeluaran Lain-lain untuk Pemerintah Pusat meliputi Pelayanan Umum, Pertahanan, Ketertiban dan Keamanan, serta Agama - Bidang pengeluaran Lain-lain untuk Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota meliputi Penanaman Modal dan Olah Raga
TABEL 5. JUMLAH DAERAH ADMINISTRASI DI INDONESIA Daerah Administrasi Propinsi Kabupaten Kota Kecamatan Desa
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
27
26
32
30
31
30
33
33
33
33
249
268
268
268
302
349
349
349
349
370
65
73
73
85
89
91
91
91
91
95
4.028
4.044
4.049
4.224
4.918
4.994
5.277
5.641
5.656
6.131
67.925
69.065
69.050
68.819
70.460
70.921
69.858
71.555
71.563
73.405
Sumber: Badan Pusat Statistik, Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia 2008
15 NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
15
LAMPIRAN: ‘Penyelamatan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah”
GAMBAR 1
Sumber : Departemen Dalam Negeri, dikutip dari Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2009,Gambar V.1., Hal. V-36
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
16
17
LAMPIRAN: ‘Penyelamatan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah”
GAMBAR 2 Pe rk e m bangan Opini LKPD 2004 - 2007 (dalam %)
100% 87% 85%
90% 80%
71%
70%
62%
60%
2004 2005 2006 2007
50% 40% 30%
22%
10%
6%
4%
1% 1%
1%
0% WTP
TAHUN 2004 2005 2006 2007 Jumlah
18%
18%
20%
WTP Jml (%)
7%
WTP-DPP
WTP-DPP Jml (%)
WDP
WDP Jml (%)
3%
2%
1% 0% 0%
TMP
TMP Jml (%)
TW Jml (%)
6% 3% TW
TOTAL Jml (%)
17
6%
4
1%
249
87%
7
2%
10
3%
287
100%
13 3 3 36
4% 1% 1% 3%
4 0 0 8
1% 0% 0% 1%
308 326 171 1.054
85% 71% 62% 76%
25 102 50 184
7% 22% 18% 13%
12 28 50 100
3% 6% 18% 7%
362 459 274 1.382
100% 100% 100% 100%
Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan
Keterangan: WTP : Wajar Tanpa Pengecualian WTP-DPP : WTP Dengan Paragraf Penjelasan WDP : Wajar Dengan Pengecualian TMP : Tidak Memberikan Pendapat (disclaimer) TW : Tidak Wajar
18 NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
17
Laporan Penerimaan Gratifikasi atas nama Anwar Nasution
18
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
19
20
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
21
22
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
23
HUKUM
PEMERIKSA PERLU TAHU ADA BANTUAN HUKUM1 Oleh: Ditama Binbangkum PEMERIKSA PERLU TAHU ADA BANTUAN HUKUM Etty Herawati dan Anang Budi Sutanto
B
elakangan ini banyak kasus penegakan hukum yang terkait dengan hasil pemeriksaan BPK ditangani oleh Kepolisian, Kejaksaan, ataupun KPK, yang mau tidak mau, suka atau tidak suka, ‘terpaksa’ melibatkan para personil dari BPK. Proses ini tidak hanya terjadi di Pusat saja, BPK Perwakilan pun mengalami hal senada. Bisa jadi, salah satu penyebabnya adalah implementasi otonomi daerah yang ‘kebablasan’, yang turut menyemarakkan berbagai permasalahan hukum yang terkait dengan BPK Perwakilan. Masalah-masalah hukum yang muncul memerlukan kerja ekstra keras dari pimpinan BPK untuk melakukan koordinasi yang rumit dengan berbagai elemen terkait, baik internal maupun eksternal. Hal ini tidak lain agar setiap masalah hukum BPK yang ditangani penegak hukum, baik di pusat maupun perwakilan dari Perwakilan Aceh hingga Perwakilan Manokwari dapat dipahami, didukung, dan dilaksanakan dengan persepsi yang sama. Personil dari BPK yang diminta untuk membantu proses penegakan hukum, dapat diberikan perlindungan dan bantuan hukum oleh Sub Direktorat (Subdit) Bantuan Hukum (Bankum) pada Direktorat Legislasi, Analisa, dan Bantuan Hukum (Dit. LABH) yang berada di bawah Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara (Ditama Binbangkum). Para Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, dan bukan pendapat Ditama Binbangkum. Staf pada Ditama Binbangkum.
24
pemeriksa pada umumnya telah mengetahui bahwa unit ini telah ada sejak tahun 2006 (semula unit ini setingkat eselon IV di bawah Biro Hukum), namun banyak yang masih misinterpretasi tentang apa saja yang dilakukan oleh Bankum, dalam status apa dapat meminta bantuan, serta bagaimana caranya meminta bantuan. Apa saja yang dapat diberikan bantuan? Apabila dilihat dari berbagai kasus penegakan hukum, kaitan para personil dari BPK tersebut bisa jadi karena masalah pribadi maupun karena profesi sebagai auditor, pejabat struktural, atau Anggota BPK. Status atau kedudukan ini penting untuk diidentifikasi karena menentukan apakah yang bersangkutan dapat diberikan bentuan hukum atau tidak. Cara mudah untuk mengetahui apakah masalah tersebut merupakan masalah pribadi atau dinas, adalah dengan memperhatikan fokus substansi atau latar belakang dari kasus yang sedang ditangani penyidik atau pengadilan. Apa fokusnya? Ada dua pertanyaan mudah yang dapat diajukan untuk menjawab hal tersebut. Pertama, apakah terkait dengan hasil pemeriksaan (HP) BPK? Jangan buru-buru mengambil kesimpulan bahwa jika terkait dengan HP BPK maka itu pasti masalah kedinasan. Ada kriteria lanjutan, yaitu apakah HP yang dipermasalahkan itu merupakan HP BPK yang resmi (dalam arti telah diproses sesuai dengan aturan main dalam PMP dan SPKN)? Jika tidak, bisa jadi pemeriksa akan terantuk dua kali proses, yaitu masalah pelanggaran pidana dan pelanggaran kode etik BPK. Kedua, apakah terkait dengan kerugian negara? Jika semua pertanyaan dijawab dengan kata ‘ya’, berarti kasusnya men-
yangkut BPK sebagai lembaga negara. Artinya, dalam hal ini dapat meminta pendampingan hukum kepada Dit. LABH melalui Ditama Binbangkum. Hal penting yang perlu diperhatikan ketika menghadapi hal ini adalah keyakinan bahwa Pemeriksa atau Anggota berada dalam proses penegakan hukum tersebut sebagai ‘BPK’ dan bukan sebagai ‘pribadi’. Konsekuensinya, perlu ekstra hati-hati dan selalu dipastikan bahwa apa pun yang diberikan, entah itu HP, pendapat, petunjuk, atau keterangan lainnya, bukanlah pendapat atau keterangan pribadi, melainkan pendapat atau keterangan BPK yang ‘kebetulan’ diberikan melalui pemeriksa tersebut. Hingga saat ini belum ada aturan yang jelas tentang apa saja yang dapat diperoleh seorang Anggota atau Pemeriksa yang terpaksa harus berurusan dengan penegak hukum. Karena merupakan amanat UU, seyogyanya Pimpinan BPK mengatur secara tegas tentang hal ini, agar tidak mengakibatkan keengganan dari Anggota atau Pemeriksa untuk berurusan dengan penegakan hukum, yang dapat berakibat pada keengganan untuk mengungkap hal-hal yang diperkirakan akan masuk dalam proses penegakan hukum. Perlu diatur tentang batasanbatasan hak-hak yang dapat diperoleh seorang Anggota atau Pemeriksa yang beritikad baik. Jika BPK akan menyusun peraturan tentang bantuan hukum ini, peraturan bantuan hukum di Bank Indonesia dapat dijadikan sebagai salah satu acuan. Tentunya, dengan melakukan penyempurnaan agar tidak menjadi kebablasan seperti kasus Aliran Dana YPPI. Status Hukum dalam Proses Penegakan Hukum Status hukum Anggota, Pemeriksa,
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
atau Pelaksana BPK lainnya yang membantu proses penegakan hukum, dapat dibedakan sebagai ahli, saksi, tersangka, terdakwa, atau terpidana. Setiap Anggota atau Pemeriksa perlu memastikan dalam status hukum apa dirinya berurusan dengan penegak hukum. Setiap status memiliki konsekuensi yang berbeda bagi dirinya. Yang paling sering terjadi adalah panggilan dari penyidik atau pengadilan dengan status sebagai ‘saksi ahli’. Dalam hal ini, maka Bankum perlu memastikan apakah status sebenarnya untuk menyusun strategi yang tepat dalam pemberian bantuan hukum. Hal ini disebabkan, para penegak hukum selama bertahun-tahun tidak pernah membedakan status ‘ahli’ dengan ‘saksi ahli’; padahal KUHAP secara tegas membedakan antara ‘ahli’ dengan ‘saksi’. Harapan akan peningkatan status pun sangat berbeda antara keduanya. Menurut KUHAP, “keterangan ahli” adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Tidak ada keterkaitan antara ‘ahli’ dengan terjadinya kasus, sehingga tidak mungkin statusnya naik menjadi ‘tersangka’. Berbeda dengan ‘saksi’, yang menurut KUHAP merupakan orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, maka ada harapan akan ada peningkatan menjadi ‘tersangka’ karena bisa jadi ia terlibat dalam peristiwa pidana. Sebagai contoh, Burhanuddin Abdullah (mantan Gubernur Bank Indonesia) dalam kasus aliran dana YPPI sebesar Rp100 miliar, yang semula sebagai saksi, akhirnya menjadi tersangka. Secara logika hukum, tidak mungkin seorang pemeriksa menjadi saksi dalam kasus pidana (termasuk pidana korupsi) yang terkait dengan pemeriksaan yang dilakukannya, kecuali sebelum menjadi Pemeriksa di BPK ia bekerja memegang jabatan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan di kantor entitas yang diperiksanya, dan se-
lanjutnya ketika ia pindah ke BPK ‘kebetulan’ ditugaskan oleh Pimpinan BPK untuk memeriksa pada entitas tersebut. Yang paling memungkinkan adalah pemeriksa menjadi ‘ahli’. Masalahnya, ahli apa? Dalam status sebagai pribadi, sebagai pemeriksa, atau sebagai BPK? Ketentuan Pasal 11 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2006 menyebutkan bahwa BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Tidak ada keterangan lebih lanjut karena Penjelasan huruf c Pasal tersebut menyatakan ‘cukup jelas’. Dari Pasal tersebut dapat diuraikan unsur-unsur pemberian keterangan ahli sebagai berikut: 1. Yang diberi kewenangan oleh UU untuk memberikan keterangan ahli adalah BPK. Yang diberi kewenangan bukanlah pribadi, sehingga keterangan yang diberikan adalah keterangan BPK. Artinya, siapa pun yang diberi mandat untuk memberikan keterangan, maka itu diberikan untuk dan atas nama BPK. Apabila dikaitkan definisi ahli di atas, maka ini merupakan sesuatu yang unik, berbeda dengan KUHAP. Ahli menurut KUHAP melekat pada seorang pribadi, sedangkan menurut Pasal ini, ahli melekat pada BPK selaku institusi. 2. Kewenangan tidak bersifat imperatif (mengikat), tetapi fakultatif (terbuka) yang ditandai dengan kata dapat. Secara a contrario, dapat diinterpretasikan bahwa BPK tidak wajib memberikan keterangan yang diminta. Dengan penafsiran sebab akibat (kausalitas), dapat diinterpretasikan juga bahwa BPK bukanlah satu-satunya pihak yang dapat dimintai sebagai ahli di bidang kerugian negara. 3. Keterangan yang diberikan adalah keterangan ahli. Hal ini menegaskan bahwa sebagai BPK, yang diberikan adalah keterangan sebagai ahli, bukan saksi. 4. Keterangan ahli diberikan dalam proses peradilan. Proses peradilan sendiri dalam KUHAP tidak didefinisikan tersendiri, na-
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
mun dapat disimpulkan dari berbagai pasal. Berdasarkan Pasal 3 KUHAP bahwa “peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” KUHAP mengatur antara lain mengenai proses penyidikan (termasuk di dalamnya penyelidikan), penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Beberapa pasal dalam KUHAP juga menyebut istilah proses peradilan yang dapat ditafsirkan tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan demikian, Anggota atau Pemeriksa dapat mulai berurusan dengan penegakan hukum sejak tahap penyidikan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan. 5. Keterangan yang diberikan adalah keterangan yang terkait dengan kerugian negara/daerah. Kontroversi yang berkembang di BPK saat ini adalah apakah keterangan tentang kerugian negara itu merupakan hasil pemeriksaan BPK ataukah bisa juga diberikan dalam kasus yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pemeriksaan BPK. UU tidak mengatur tentang batasan ini. Sehingga, bisa saja BPK memberikan keterangan ahli tentang kerugian negara yang bukan bersumber dari hasil pemeriksaan BPK. Proses Pemberian Bantuan Hukum Saat ini, dengan kekuatan yang terdiri dari dari sembilan personil, Bankum berupaya memberikan bantuan dan perlindungan hukum, antara lain melakukan pendampingan hukum dalam kegiatan gelar perkara di depan instansi yang berwenang, pendampingan pemberian keterangan ahli oleh Pemeriksa dalam proses peradilan, menjadi kuasa hukum dalam penanganan gugatan atau perkara yang melibatkan BPK, dan memberikan pendapat atau saran hukum terhadap kebijakan pimpinan. Dalam proses pendampingan tersebut, Bankum memastikan bahwa pelaksana tugas kedinasan terlindungi hak dan kewajibannya, memastikan bahwa proses hukum acara pidana telah diterapkan dengan tepat oleh penyidik sesuai KUHAP, pemeriksa yang diminta sebagai ahli telah diberikan hak-hak untuk mempelajari berkas terlebih dulu, memberikan pendapat yang 25
lebih bebas, dan seterusnya. Demikian halnya untuk proses hukum acara perdata dan tata usaha atau administrasi negara. Siapa saja yang dapat diberikan perlindungan hukum? Guna mengetahui siapa saja yang dapat diberikan perlindungan dan bantuan hukum, dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari pelaksanaan tugas dan wewenang BPK, serta dilihat dari struktur kelembagaan. Dari struktur kelembagaan, para pihak yang dapat memperoleh perlindungan dan bantuan hukum adalah setiap Pelaksana BPK yang melaksanakan tugas kedinasan BPK. Hal ini sejalan dengan prinsip mandat dalam Hukum Administrasi Negara bahwa pemberian mandat tidak memindahkan tanggung jawab kepada yang diberikan kepada mandat. Sejalan pula dengan prinsip hukum perdata bahwa seseorang yang beritikad baik perlu dilindungi, serta sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP yang mengatur bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum. Sedangkan dilihat dari pelaksanaan tugas dan wewenang BPK, dapat merujuk pada ketentuan Pasal 26 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2006 yang mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Anggota BPK, Pemeriksa, dan pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK diberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan oleh instansi yang berwenang. Pemberian perlindungan hukum oleh instansi yang berwenang ini perlu didampingi oleh Bankum untuk menjamin bahwa Anggota atau para Pelaksananya memperoleh jaminan perlindungan hukum. Guna mewujudkan ketentuan ini, Bankum perlu bekerja sama dengan instansi yang berwenang, 26
yang memiliki kompetensi perlindungan hukum dan jaminan keamanan berdasarkan peraturan yang berlaku. Bankum juga perlu melakukan kerjasama dengan unit kerja yang lain, khususnya yang terkait langsung dengan masalah hukum. Sebagai contoh adalah diberikannya bantuan hukum
kepada Tim Pemeriksa yang menghadapi masalah hukum berupa ancaman atau somasi dari auditee, tim yang menangani masalah pertanahan dalam pembangunan gedung di kantor Pusat BPK, pemeriksa yang berususan dengan KPK, ataupun Kejaksaan. Adakalanya Bankum melakukan negosiasi agar penyelesaian masalah tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku. Dari uraian di atas, maka para pihak yang berhak memperoleh perlindungan dan bantuan hukum adalah Anggota, Pemeriksa, Pelaksana BPK selain Pemeriksa, serta pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Selanjutnya, bagaimana cara atau prosedur memperoleh perlindungan dan bantuan hukum dari Ditama Binbangkum? Hingga saat ini Pimpinan BPK belum menetapkan prosedur khusus yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memperoleh perlindungan dan bantuan hukum. Namun dengan mengacu pada tugas dan fungsi Ditama Binbangkum, dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pihak yang ingin memperoleh perlindungan dan bantuan hukum mengirimkan permintaan melalui Nota Dinas kepada Kepala Ditama Binbangkum. 2. Permintaan tersebut kemudian didisposisikan kepada Kadit LABH yang selanjutnya memberikan arahan kepada Kasubdit Bankum untuk segera melakukan koordinasi dengan pihak pemohon bantuan dan menganalisa kasus yang terjadi. Dari hasil analisa, dapat disimpulkan mengenai dapat tidaknya dilakukan pendampingan atau bantuan hukum, langkah-langkah yang akan diambil dan perlu diantisipasi. 3. Personil Bankum yang ditunjuk bekerjasama dengan pihak pemohon untuk berkoordinasi dengan instansi penegak hukum yang terkait untuk pelaksanaan kegiatan, termasuk melakukan pembuatan suratsurat, menghadap pejabat instansi yang berwenang. 4. Setelah kegiatan pendampingan atau bantuan hukum berakhir, personil yang ditunjuk membuat laporan untuk dokumentasi kegiatan. Dukungan Biro Teknologi Informasi melalui surat elektronik (e-mail) menjadi sarana yang efektif sehingga informasi atau pertanyaan dapat disampaikan dengan cepat antara pihak pemohon bantuan hukum dengan Subdit Bankum. Karena selain forum resmi tersebut, masih terdapat kegiatan lain berupa konsultasi atau diskusi terkait dengan pelaksanaan bantuan hukum. Biasanya hal ini terjadi sebelum kepastian akan adanya pendampingan atau bantuan hukum dilaksanakan. Selain melalui sarana e-mail, komunikasi melalui telepon dan datang langsung ke ruang kerja Bankum adalah yang sering dilakukan oleh pihak yang berkepentingan untuk dilakukan pendampingan atau bantuan hukum.
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
HUKUM
Kedudukan Peraturan BPK Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia (Suatu Pendekatan Yuridis Formal) Oleh: Maksum (Staf pada Direktorat LABH, Ditama Binbangkum)
A
mandemen UUD 1945 dan Paket tiga UU Keuangan Negara memberikan mandat yang sangat strategis atas keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal tersebut juga didukung dengan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang memberikan kedudukan, fungsi dan kewenangan yang semakin besar dan kokoh dalam melaksanakan kewenangan konstitusional. UU No. 15 Tahun 2006 mengamanatkan hal-hal yang perlu segera ditindaklanjuti oleh BPK antara lain untuk membuat Peraturan BPK yang dipergunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan kewenangan BPK dalam melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK Sebagai Pusat Regulator di Bidang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Dalam Rencana Strategis BPK menetapkan tujuan (goals) BPK adalah mewujudkan BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan Negara yang independen dan professional, memenuhi semua kebutuhan dan harapan pemilik kepentingan, mewujudkan BPK sebagai pusat regulator di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara, dan mendorong terwujudnya tata kelola yang baik atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Di dalam UU No. 15 Tahun 2006 terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang Peraturan BPK, terdiri dari: Pasal 1 angka 17, pasal 6 ayat (6), pasal 12, pasal 15 ayat (5) dan pasal 30 ayat (3). Pasal-pasal tersebut memberikan mandat kepada BPK untuk membuat Peraturan BPK yang dimuat di dalam Lembaran Negara. Ketentuan tersebut merupakan dasar hukum bagi BPK untuk membentuk Peraturan BPK yang berlaku umum. Kewenangan membentuk Peraturan BPK ini merupakan wujud semakin kokohnya kewenangan BPK di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara dalam rangka mendorong terwujudnya tata kelola keuangan Negara yang baik, transparan dan akuntabel. Secara teoritis (Geldings Theorie) berlakunya suatu kaedah hukum/peraturan perundang-undangan harus memenuhi aspek-aspek Yuridis, Sosiologis dan Filosofis. Penyusunan/pembentukan “Peraturan” yang akan dikeluarkan oleh BPK harus sesuai dengan tuntutan teori, asas dan NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
kaedah perancangan peraturan perundang-undangan secara taat asas. Kedudukan Peraturan BPK Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Badan Pemeriksa Keuangan mengemban amanat dari UU No. 15 Tahun 2006 untuk menjadi Pusat Regulasi di bidang pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara dan juga amanatkan dalam Rencana Strategis BPK 2006-2010. Kedudukan Peraturan BPK dalam Peraturan Perundangundangan di Indonesia, tidak terlepas dari Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 pernah mengenalkan hirarki perundang-undangan yang berlaku berbeda dengan hirarki perundang-undangan yang berlaku sekarang. Hirarki/Tata urutan perundang-undangan yang saat ini merupakan hukum positif, bersumber dari dua peraturan yang menjadi dasarnya, yaitu TAP MPR No. III/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara detail, perbedaan hirarki peraturan perundang-undangan dari masing-masing ketentuan tersebut dapat dilihat pada tabel . Ketentuan tata urutan perundang-undangan dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 sudah dicabut dengan TAP MPR No. III/MPR/2000. Tata urutan perundang-undangan yang diatur dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 dan UU No. 10 Tahun 2004, pada saat ini merupakan hukum positif yang mengatur hirarki peraturan perundang-undangan. Kemudian muncul pertanyaan, apakah peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh lembaga negara seperti BPK dan MA mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti ketentuan yang diatur pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Untuk menjawab permasalahan seperti yang diungkapkan diatas perlu melihat ketentuan pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 yang mengatur secara tegas mengenai daya mengikat suatu produk peraturan perundang-undangan 27
yang dikeluarkan oleh lembaga Negara dan/atau Departemen/lembaga pemerintah. Pada Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 mengatur sebagai berikut. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Kemudian penjelasan pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 lebih menegaskan sebagai berikut : Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Ketentuan pasal 7 ayat (4) ini memberikan kekuatan daya mengikat secara hukum dari suatu produk peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga Negara dan/atau departemen/lembaga. Demikian halnya dengan Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh BPK selaku pusat regulator di bidang pemeriksaan keuangan Negara, mempunyai kekuatan hukum mengikat baik secara internal maupun eksternal di bidang pemeriksaan keuangan Negara. Hal ini juga dipertegas dalam pasal 1 angka 17 UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang menetapkan sebagai berikut : “Peraturan BPK adalah aturan hukum yang dikeluarkan oleh BPK yang mengikat secara umum dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”. Meskipun demikian peraturan-peraturan yang dikeluarkan BPK tersebut tidak dapat dimasukkan dalam katagori sebagaiman dimaksud dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam TAP MPR No. III/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mensyaratkan bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga Negara dan/atau departemen/lembaga tersebut sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Bagaimana dengan BPK yang posisinya merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan Negara dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dapatkah mengeluarkan suatu peraturan walaupun tidak diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi? Keberadaan BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan Negara dalam system ketatanegaraan Indonesia telah dipertegas dalam Ketetapan MPR RI, yaitu: 28
1. TAP MPR No. X/MPR/2001, menetapkan sebagai berikut : ”Badan Pemeriksa Keuangan merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independent” ; 2. TAP MPR No. VI/MPR/2002, menetapkan sebagai berikut : ”Menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, dan peranannya yang bebas dan mandiri perlu lebih dimantapkan” . Kemudian pasal 23E UUD 1945 menegaskan bahwa : ”Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Selanjutnya ketentuan pasal 2 UU No 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan lebih memberikan penegasan sebagai berikut : ”BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara”. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa BPK secara yuridis formal memiliki landasan kuat dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya. Dalam melaksanakan kewenangan konstitusional tersebut, BPK berwenang menentukan arah dan kebijakan dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Bila BPK memandang perlu untuk mengeluarkan suatu ketentuan yang mengatur terkait dengan pemeriksaan keuangan negara, maka BPK dapat membuat dan menerbitkan peraturan yang berlaku dan mengikat secara umum di bidang pemeriksaan keuangan negara meskipun tidak diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Kesimpulan Berdasarkan paparan yang telah dikemukan, kiranya dapat ditarik suatu simpulan, sebagai berikut. 1. Disahkannya paket tiga UU Keuangan Negara memberikan pengaruh yang sangat progresif atas peranan dan kewenangan BPK menjadi semakin kokoh serta juga semakin mengakui eksistensi BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. 2. Kewenangan membentuk Peraturan BPK ini merupakan wujud semakin kokohnya kewenangan BPK di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara dalam rangka mendorong terwujudnya tata kelola keuangan Negara yang baik, transparan dan akuntabel. 3. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh BPK selaku pusat regulator di bidang pemeriksaan keuangan NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia TAP MPRS No. XX/ MPRS/1966
TAP MPR No. III/
Pasal 7 ayat (1) UU No. 10
MPR/2000
Tahun 2004
1.
UUD 1945
1.
UUD 1945
1.
2.
TAP MPR
2.
TAPMPR
2.
3.
UU/PERPU
3.
UU
4.
Peraturan Pemerintah
4.
5.
Keppres
6.
Keputusan Menteri
7.
UUD 1945 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggati Undang-undang/ PERPU
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
3.
Peraturan Pemerintah/PP
undang/PERPU
4.
Peraturan Presiden/ Perpres
5.
Peraturan Pemerintah/PP
5.
Peraturan Daerah/ PERDA
Keputusan Kepala Lembaga
6.
Keputusan Presiden/ Keppres
Pemerintahan dan lain-lain
7.
Peraturan Daerah/PERDA
Negara mempunyai kekuatan hukum mengikat baik secara internal maupun eksternal di bidang pemeriksaan keuangan Negara. Meskipun peraturan-peraturan yang dikeluarkan BPK tersebut tidak dapat dimasukkan dalam katagori sebagaiman dimaksud dalam Ketentuan hukum positif yang mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. 4. Dalam melaksanakan kewenangan konstitusional,
BPK berwenang menentukan arah dan kebijakan dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Bila BPK memandang perlu untuk mengeluarkan suatu ketentuan yang mengatur terkait dengan pemeriksaan keuangan negara, maka BPK dapat membuat dan menerbitkan peraturan yang berlaku dan mengikat secara umum di bidang pemeriksaan keuangan negara meskipun tidak diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
SISIPAN
Dari Pemeriksa ke Objek Pemeriksaan, Subjek Pemeriksaan alias Terperiksa oleh: JD Parera
Kita memahami sesuatu lewat bahasa. Bahasa yang kita pahami bisa merujuk ke objek/benda/tindakan/perbuatan berdasarkan pengalaman dan bahasa itu pun dapat merujuk pikiran dan pemikiran. Bahasa yang merujuk pengalaman bermakna referensi dan bahasa yang merujuk pemikiran bermakna konsep dan konseptual. Bahasa laporan BPK merujuk ke pengalaman langsung/temuan langsung dan bahasa undang-undang merujuk ke pemikiran. Tulisan ini terfokus pada bahasa UU RI No.15 tahun 2006 tantang Badan Pemeriksa Keuangan dan bahasa laporan hasil pemeriksaan penulis laporan BPK. Di dalam kalangan BPK dan masayarakat umum dikenal istilah auditor dan auditee. Mungkin kata auditor dan auditee terasa lebih cocok dan gagah daripada pemeriksa. Akan tetapi, secara formal dalam Undang-undang no.15 Tahun 2006 (UUD RI no.15 tahun 2006 pasal 1) dipakai istilah pemeriksa dan objek pemeriksaan. Dalam Undang-undang No.15 tahun 2006 tidak digunakan istilah auditor dan auditee. Dalam bahasa hukum secara umum dipakai istilah terdakwa sebagai pasangan untuk hakim sebagai pendakwa, tertuduh sebagai pasangan untuk jaksa sebagai penuduh, st. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah UU no.15 tahun 2006 tidak menggunakan istilah terperiksa sebagai pasangan pemeriksa. Yang digunakan dalam undang-undang tersebut adalah istilah objek pemeriksaan (pasal 31, ayat (4), butir a, b, c, d, dan e). NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
Di samping itu, juga digunakan istilah objek yang diperiksa (pasal 6 ayat (5)). Jadi, dalam Undang-undang no.15 tahun 2006 dipergunakan dua istilah, yakni objek yang diperiksa (pasal 6 ayat (5)) dan penjelasannya, serta objek pemeriksaan (pasal 31 ayat (4)). Penulis laporan hasil pemeriksaan dari BPK yang taat undang-undang akan memilih objek yang diperiksa dan atau objek pemeriksaan dengan makna ganda atau ambigu. Makna objek yang diperiksa menunjuk kepada orang/insan/manusia/ seperti ternyata dalam kalimat “Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (Pasal 6 ayat (4)). Melakukan pembahasan dengan objek yang diperiksa merujuk pada orang/manusia/ insan. Di samping istilah objek yang diperiksa, pada pasal 31 ayat (4) b, c, d, e terdapat istilah objek pemeriksaan yang merujuk kepada orang/manusia/insan. Dalam laporan BPK, objek yang diperiksa adalah entitas yang kena pemeriksaan. Agar tidak terjadi ambigu dalam laporan, mungkin perlu disepakati pembahasaan sebagai berikut. Objek yang diperiksa dan objek pemeriksaan merujuk kepada hal, peristiwa, kejadian, peristiwa penggunaan keuangan negara. Sedangkan orang yang diperiksa atau pejabat yang diperiksa, misalnya, bendahara disebut subjek yang diperiksa, subjek pemeriksaan. Subjek yang diperiksa atau subjek pemeriksaan kita sebut terperiksa sebagai pasangan pemeriksa. Dapatkah kita sepakati saran ini untuk lingkungan BPK? Terima kasih. 29
ManajemeN
POLA PENGKADERAN PIMPINAN DAN KEMUNGKINAN KEMACETAN GERBONG UNTUK PROMOSI Oleh: Indras Woro Wiyadi
P
erubahan lingkungan internal dan eksternal akan mempengaruhi ruang lingkup organisasi, baik menyempit maupun meluas. Lebih-lebih di era globalisasi, organisasi apa pun dituntut untuk lebih akomodatif terhadap perubahan lingkungan apabila ingin survive. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) merupakan lembaga Negara yang tidak dapat lepas dari pengaruh perubahan lingkungan, baik karena tuntutan peraturan maupun lingkungan global. Saat ini, BPK RI sedang dan bahkan hampir selesai melakukan pemekaran organisasi hingga ke tingkat provinsi, sesuai amanat UUD 1945 setelah amandemen. Peluang Karier Pemekaran organisasi memberi banyak peluang karier, baik jabatan struktural maupun fungsional. Teknik perekrutan kedua jabatan tersebut telah ada, namun tak ada salahnya terdapat wacana bagaimana jika sebaiknya perekrutan jabatan struktural menggunakan pola pengkaderan. Hal ini karena pada tantangan ke depan, masalah yang harus dihadapi lebih pelik dan kompleks. Pemeriksaan tidak dapat dilakukan secara parsial hanya pelaksanaan anggaran, melainkan harus ada perencanaan, pelaksanaan dan output, serta harus terintegrasi. Misalnya, dalam memeriksa entitas Pemda X, kemudian di-break down ke Dinas PU mengenai Proyek Pembangunan Bendungan. Proyek ini tidak dapat diperiksa di Dinas PU saja, tetapi harus ditelusuri ke Bapeda, Dinas Tata Kota, Kantor Lingkungan Hidup (kaitannya dengan Amdal). Jika dana bukan berasal dari satu sumber, dapat ditelusuri ke provinsi dan pemerintah pusat. Di sinilah perlunya koordinasi 30
antara Auditama Keuangan Pemerintah Pusat dengan Auditama Keuangan Pemerintah Daerah, untuk melakukan pemeriksaan dari hulu sampai hilir, sehingga hasil pemeriksaan benarbenar berbobot. Untuk mencapai hal itu, diperlukan pimpinan yang berwawasan luas dan dapat melihat masalah dari berbagai dimensi. Bagaimana pola perekrutan pimpinan dengan kualifikasi tersebut? Struktur organisasi Setiap organisasi, baik yang sederhana maupun kompleks, pasti memiliki sistem pengaturan cara kerja untuk mencapai tujuan. Salah satu perangkat pokok dalam organisasi adalah struktur organisasi, berupa peringkat personil sesuai kedudukannya serta menggambarkan garis komando maupun luas rentang kendali (Mas’ud Machfoedz: 2002:21). Berkaitan dengan struktur organisasi, BPK RI telah berulangkali merevisinya, baik di tingkat Badan maupun Pelaksana. Pada tingkat Badan, tertuang dalam UU BPK RI No. 15 Tahun 2006, sedangkan pada tingkat Pelaksana dituangkan dengan Keputusan Ketua BPK RI No. 34/K/I-VIII.3/6/2007 tentang Struktur Organisasi BPK RI. Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana BPK-RI dituangkan dalam Keputusan Ketua BPK RI No.39/K/IVIII.3/7/2007. Tulisan Drs. Moertriantoro dalam Majalah Pemeriksa No.77/Nop/2000 menyebutkan bahwa pada penyusunan struktur organisasi terdapat prinsip “hemat struktur dan kaya fungsi”. Artinya, dalam struktur organisasi tidak perlu terlalu banyak rincian, namun dapat mengakomodasi segala perubahan yang terjadi (optimal function). Prinsip tersebut dapat diwujudkan
dengan memposisikan orang-orang yang benar-benar memiliki kapabilitas di bidang manajerial. Secara teori, sumber daya manusia yang ditempatkan pada struktur organisasi adalah mereka yang menguasai fungsi-fungsi manajer, mulai dari planning hingga controlling. Secara praktik, fungsi-fungsi tersebut melebur menjadi satu kesatuan pada diri menajer. Artinya, manajer selalu siap menghadapi situasi dalam kondisi apa pun. Dapat disimpulkan bahwa akan lebih efektif jika orang–orang yang ditempatkan dalam struktur organisasi adalah mereka yang memiliki bakat me-manage. Dengan demikian, pendidikan hanya sebagai penunjang, bukan penentu. Tes seleksi yang hanya berlangsung satu atau dua hari belum dapat menilai atau mengukur kemampuan seorang manajer. Akan lebih bermanfaat apabila tes dilakukan dalam suatu laboratorium sebagai terobosan, kemudian calon-calon manajer dibidik sejak dini. Inilah yang dilakukan oleh para politisi untuk mengkader penggantinya. Calon-calon ini dibidik mulai dari kecamatan sampai tingkat nasional. Para profesional (termasuk BPK RI) tidak ada salahnya meniru cara ini, meskipun tidak 100%. Teknik pelaksanaannya, dapat memberdayakan peran intelijen. Teknik semacam ini sudah dilakukan oleh para politisi dalam melakukan fit and proper test untuk jabatan-jabatan yang bersifat politis. Jika cara itu efektif, tidak ada salahnya diterapkan pada tingkat jabatan pelaksana (sekjen ke bawah). Kerja sama Permasalahan yang tidak kalah penting adalah soal kerja sama. Kerja sama dapat menghasilkan output yang
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
optimal seandainya SDM yang terlibat pernah bekerja sama. Soal kemampuan kerja sama hanya dapat dilihat di lapangan, bukan dari jawaban tes. Sebab ada beberapa klausul yang tidak dapat dideteksi melalui tes, yakni dengan siapa harus bekerja sama, dan dalam hal apa bekerja sama. Faktor ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk memilih teknik perekrutan pejabat dengan pola pengkaderan seperti pada organisasi kepartaian. Kemampuan pejabat dalam pengambilan keputusan juga merupakan faktor yang menentukan optimalisasi struktur organisasi (kaya fungsi). Pengambilan keputusan berhubungan dengan masalah pilihan alternatif sehingga output-nya sangat tergantung pada karakter manusia. Sebelumnya, pengambilan keputusan dalam birokrasi berbeda dengan di sektor swasta. Saat ini, terjadi pergeseran karena derasnya tuntutan masyarakat akan pengelolaan yang baik, sehingga diperlukan pejabat yang tangkas dalam pengambilan keputusan dengan memperhatikan risiko yang ada. Dalam pemekaran BPK RI saat ini, akan muncul dampak yang tidak disadari, yakni macetnya rotasi ke atas (dari eselon bawah ke eselon atas) sehingga gerbong eselon bawah harus antri lama karena terbatasnya kursi. Salah satu penyebab adalah faktor usia yang terlalu muda dalam menduduki jabatan, baik di Eselon I, dan II, sehingga gerbong
cara teknik layak. Tantangan Dalam buku “BPK Dalam Angka” tidak ditemui data mengenai “Perkembangan Pegawai Menurut Jabatan Struktural”, sehingga penulis mengolah data dari lampiran struktur organisasi dalam Keputusan Ketua BPK RI No. 34/K/I-VIII.3/6/2007 tanggal 15 Juni 2007 di atas (Data perwakilan BPK RI baru 25 perwakilan). Dari data tersebut, diketahui untuk Eselon IV terdapat 626 kursi, Eselon III terdapat 151 kursi, Eselon II terdapat 46 kursi dan Eselon I terdapat 23 kursi. Dengan asumsi semua Eselon bergerak ke atas, maka untuk Eselon IV terdapat 475 kursi (626-151) tidak bergerak alias gerbong mandeg. Pada Eselon II terdapat 23 (46- 23) kursi tidak minimal, karena tidak memperhitungkan kemungkinan Eselon III, II dan I yang “mandeg”, serta kemungkinan pemekaran provinsi. Bagaimana agar hal itu dapat dihindari sedini mungkin? Kemacetan gerbong tersebut dapat teratasi sedikit dengan kemungkinan pemekaran provinsi sehingga terjadi penambahan kantor perwakilan. Selain itu, mutasi
menjadi salah satu alternatif pemecahan. Inilah tantangan Biro SDM BPK RI untuk merancang strategi dan kebijakan SDM di masa depan. Tantangan berat ini membuat BPK RI perlu mempersiapkan sedini mungkin dengan menyiapkan sumber daya manusia yang siap berkompetisi. Eksekutif pun telah menyiapkan SDM dan perlengkapan untuk menghadapi masa depan BPK RI, demikian pula dengan para politisi di dewan perwakilan. Entitas eksekutif, BPK RI dan Dewan Perwakilan Rakyat akan bersinergi untuk bersama-sama mewujudkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. *) Penulis staf Sub Bag. SDM, Hukum, Humas di Kantor Perwakilan BPK-RI Yogyakarta.
Eselon III dan IV ada yang harus berhenti dan tidak dapat naik lagi, walaupun se-
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
31
POTRET BPK
Pemberian tanda penghargaan oleh Ketua kepada salah satu pegawai pada peringatan HUT RI ke 63, tanggal 17 Agustus 2008.
Penandatanganan prasasti oleh Wakil Ketua BPK Abdullah Zaini pada acara pembukaan kantor perwakilan di Pangkal Pinang, 25 Juli 2008.
Anggota BPK I Gusti Agung Rai sedang memberikan materi dan penjelasan pada rapat dengan panitia Angket BBM RI, 03 September 2008.
Ketua DPD RI Ginanjar Kartasasmita foto bersama setelah rapat paripurna yang dihadiri gubernur, bupati dan walikota se-Indonesia, 24 Agustus 2008.
Sekretaris Jenderal BPK RI Dharma Bhakti memberikan ucapan selamat kepada Novy G. A Pelenkahu pada acara pelantikan pejabat, 15 Agustus 2008.
Peluncuran dan bedah buku Audit Kinerja pada Sektor Publik oleh I Gusti Agung Rai pada tanggal 20 Agustus 2008.
32
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
Rapat pertemuan Panitia angket BBM DPR RI dengan BPK RI, 03 September 2008.
Ketua BPK RI Anwar Nasution memberikan pidato kepada para kepala daerah tingkat I dan II saat di DPD RI, 24 Agustus 2008.
Melalui rencana Aksi (Action Plan) kita wujudkan laporan keuangan kementerian negara yang akuntabel, 27 Agustus 2008.
Ketua BPK RI Prof. Dr. Anwar Nasution menerima buku dari Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada kunjungan perkenalan, 02 September 2009.
Tim Futsal Eksekutif sebelum bertanding, 29 Agustus 2008.
Tim Futsal Eksekutif sebelum bertanding, 29 Agustus 2008.
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
33
ragam
Humas:
Urusan Citra dan Wartawan
H
ubungan masyarakat (humas) sering diibaratkan sebagai penjaga gerbang, siap melayani semua orang, dan tahu segalanya. Banyak orang masih mengartikan profesi humas sebagai tukang foto, tukang bikin spanduk, urusan wart a wan, pembuat press release, pembuat brosur dan produk komunikasi lainnya, sampai penerima tamu. Indrawadi (Kepala Humas Universitas Bung Hatta) menyebutkan bahwa praktisi humas lebih banyak melakukan pembuatan produk-produk komunikasi b e r dasar perintah. Karena tugas ini, maka apabila citra suatu instansi suram di mata publik dan stakeholder, berarti humaslah penyebabnya. Meskipun citra menurun akibat kesalahan di bagian keuangan, pembangunan fisik yang tidak sesuai, praktik KKN, kurang pekanya pimpinan terhadap lingkungan sekitar, atau hal-hal lain yang secara langsung berada di luar kegiatan kehumasan, tetap semua getah tertumpah pada humas. Apa sebenarnya yang disebut dengan profesi humas? Berikut beberapa ulasan mengenai humas dari berbagai sumber. Humas Pemerintahan Maraknya permasalahan yang kerap terjadi antara lembaga/organisasi/perusahaan dengan publik internal dan publik eksternalnya telah melahirkan humas sebagai mediator antara keduanya. Ada banyak definisi mengenai humas dari para pakar dalam berbagai bidang ilmu, salah satunya adalah Edward L Bernays dalam bukunya yang berjudul “Public Relations”. Ia menyatakan bahwa humas memiliki arti memberikan penerangan kepada publiknya dan mempengaruhi publik untuk mengubah sikap dan perbuatan. Sementara itu, pengertian pemerintahan menurut Prof. Dr. Ermaya Suradinata, MSi yang mengutip pendapat Sagre menyatakan bahwa pemerintah sebagai lembaga negara yang terorganisir, memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya. Sehingga desinisi humas pemerintahan yang dimuat oleh Bunga Rampai Pengetahuan Kehumasan Tahun 1987, Departemen Penerangan RI mengartikan hubungan masyarakat sebagai tugas yang memberikan informasi atau keterangan. Di Indonesia, humas pemerintahan tergabung dalam 34
satu wadah yang disebut Bakohumas (Badan Koordinasi Hubungan masyarakat). Dengan adanya wadah ini, pemerintah menghendaki keterpaduan dalam kehumasan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas kerja serta mempertinggi daya dan hasil guna dalam operasi penerangan dan kehumasan. Fungsi pokok humas pemerintahan adalah mengamankan kebijaksanaan pemerintah, memberikan pelayanan informasi dalam rangka meyakinkan masyarakat; menerima/ menampung informasi dari masyarakat, menjadi jembatan/ komunikator aktif dalam rangka komunikasi dua arah, serta ikut menciptakan iklim untuk mengamankan politik pembangunan. Ikut serta dalam pengambilan keputusan menjadi tugas strategis humas pemerintahan. Tugas takstisnya yakni memberikan informasi, menjalankan komunikas timbal balik, dan membuat citra yang baik. Dalam melaksanakan tugasnya, petugas humas hendaknya bekerja sama dengan unit-unit lain. Humas harus mampu menangani dan menganalisis baik langsung maupun tidak, menyampaikan pertimbangan-pertimbangan konkrit, saran-saran, serta ide-ide kepada pimpinan untuk pengolahan kebijaksanaan umum. Ruang lingkup kegiatan humas pemerintahan yaitu membina pengertian dan pemahaman pada khalayak terhadap kebijakan pemerintah (khalayak intern yaitu karyawan di lingkungan sendiri dan khalayak ekstern yaitu media massa, pejabat pemerintah, pemuka pendapat). Humas juga menyelenggarakan dokumentasi kegiatan pokok aparatur pemerintah, memonitor dan mengevaluasi tanggapan dan pendapat masyarakat, menugumpulkan data dan informasi yang datang dari berbagai sumber, serta melakukan analisis terhadap permasalahan yang telah diklasifikasikan ke dalam bidang-bidang permasalahan yang sesuai dengan bidang kehumasan. Menurut Prof. Dr. Astrid S Susanto, petugas humas merupakan penghubung antara instansi pemerintah dan masyarakat. Petugas humas dituntut menguasai informasi dan mengolah sedemikian rupa untuk kemudian meneruskan kepada pihak-pihak yang memerlukannya. Dalam melaksanakan tugasnya antara lain humas bekerja sama dengan wartawan. Peran humas di era reformasi bertambah berat karena masyarakat mengharapkan informasi yang lengkap, cepat, serta akurat, tentang apa yang dikerjakan oleh pemerintahannya. Merujuk pada pendapat Frazier Moore, seorang pakar di bidang humas, perlunya kegiatan humas dalam pemerintahan berlandaskan dua fakta. Pertama, masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui. Kedua, adanya NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
kebutuhan bagi para pejabat pemerintah untuk menerima masukan dari masyarakat tentang persoalan baru dan tekanan-tekanan sosial untuk memperoleh partisipasi dan dukungan masyarakat dalam pembangunan. Humas Perusahaan Menurut kamus Institute of Public Relations (IPR) praktik humas adalah keseluruhan upaya yang dilangsungkan secara terencana dan berkesinambungan dalam menciptakan dan memelihara niat baik dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya. Menurut Edwin Emerry, Phillip H. Ault, dan Warrean K Agee dalam bukunya Introduction to Mass Communication, fungsi humas adalah upaya mempengaruhi opini publik dengan komunikasi dua arah timbal balik. Kedudukan humas harus dekat dengan puncak pimpinan. Ia langsung berhubungan dengan direktur utama dan staf pimpinan yang mengoperasikan perusahaan. Kebanyakan, perusahaan seringkali memandang humas sebagai bagian dari suatu pekerjaan lain, misalnya bagian dari manajer personalia dan departemen pemasaran. Tugas utama dari humas perusahaan adalah menciptakan dan memelihara suatu citra baik dan tepat atas perusahaan terutama yang berkenaan dengan kebijakan produknya. Humas juga menyediakan informasi kepada khalayak, tentang kebijakan perusahaan, produk, jasa, dan personalia selengkap mungkin untuk menjangkau pengertian khalayak. Tugas internal humas perusahaan yakni: menyusun serta mendistribusikan news release juga foto-foto; mengorganisasikan konferensi pers termasuk acara resepsi dan kunjungan kalangan media massa ke perusahaan; menciptakan dan memelihara berbagai bentuk identitas perusahaan dan ciri khasnya (logo, komposisi warna); dan mengikuti rapat-rapat penting yang diselenggarakan oleh dewan direksi. Sedangkan tugas eksternalnya adalah mewakili perusahaan pada pertemuan asosiasi, menjalin hubungan dekat dengan politisi dan birokrat; dan menganalisis umpan balik dan berbgai laporan yang berhubungan dengan tingkat kemajuan penjualan perusahaan. Berhasil atau tidaknya suatu humas perusahaan diukur dari perolehan laba yang memuaskan perusahaan dan apakah perusahaan dapat terus bertahan dalam bisnisnya. Humas dan Wartawan Banyak lembaga/perusahaan/organisasi yang memiliki bagian khusus bertugas memperhatikan dan menjalin hubungan yang baik dengan media. Biasanya disebut dengan bagian ”hubungan media” atau ”media relations”, yang ditujukan untuk mencapai hubungan yang efektif dengan media. Media massa berperan besar dalam membentuk dan mempengaruhi opini publik. Apa yang disajikan oleh media tidak terlepas dari peranan wartawan yang meliput dan menulis berita. Berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999, wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik. Peran wartawan adalah menyampaikan informasi yang NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
didapat dan disebarluaskan pada kahalayak. Namun pada perkembangannya, peranan wartawan beralih fungsi sebagai alat atau media untuk membentuk citra baik yang positif maupun negatif. Sehingga tidaklah heran apabila pada praktiknya sekarang, media massa sering dijadikan sebagai alat propaganda bagi beberapa pihak tertentu. Bahkan tidak jarang peran media dimanfaatkan sebagai alat politik dalam meluncurkan manuver-manuver politik kelompok tertentu. Wartawan memiliki fungsi to describe, to explain, and to persuade. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila sekarang sebagian besar lembaga baik komersiil maupun non komersiil sangat memperhatikan media relations. Hal ini juga terlihat dari banyaknya buku-buku yang menekankan pentingnya media relations sebagai salah satu tugas penting yang perlu dikelola dengan baik oleh para Public Relations Officer (PRO). Menurut Yosal Iriantara dalam buku Media Relations dalam Konsep, Pendekatan, dan Praktik, disebutkan bahwa media relations membina dan mengembangkan hubungan baik dengan media massa sebagai sarana komunikasi antara organisasi dengan publiknya. Drs. Onong Uchjana Effendy, MA juga mengemukakan media relations sebagai komunikasi timbal balik yang dilakukan petugas humas dengan wartawan bagi kepentingan bersama yang dilandasi asas saling pengertian dan saling mempercayai.Hubungan keduanya bersifat saling membutuhkan dan bergantung. Dengan demikian, tak satu pihak pun boleh menganggap dirinya lebih tinggi dan penting. Ada lima sasaran utama yang harus diperhatikan guna mencapai media relations yang baik yakni: (1) memperoleh publisitas seluas mungkin mengenai upaya dan kegiatan lembaga yang dianggap baik; (2) menjamin adanya pemberitaan atau pendapat yang objektif, wajar, dan jujur mengenai hal-hal yang dianggap kurang menguntungkan lembaga; (3) mendapatkan umpan balik mengenai upaya dan kegiatan lembaga; (4) melengkapi pengumpulan informasi bagi pimpinan lembaga; (5) mewujudkan hubungan langgeng dengan media massa yang dilandasi rasa saling percaya dan menghargai. Ada beberapa program yang dapat dilakukan untuk melaksanakan media relations. Pertama, melakukan kon35
tak pribadi secara informal yang didasari kejujuran dan kepercayaan; kedua, melakukan news service yang bertujuan menyediakan bahan berita untuk media massa secara aktif maupun pasif seperti membuat news release, news kit yang merupakan kumpulan informasi mengenai lembaga; dan ketiga, contingency plan untuk menghadapi situasi non rutin yang sewaktu-waktu melibatkan media massa seperti permintaan media massa untuk mewawancarai pimpinan atau personil lembaga. Sejauh ini banyak lembaga yang telah melakukan program-progran tersebut secara rutin seperti mengirimkan siaran pers dan mengadakan kunjungan pers. Sebagai catatan bahwa pengiriman siaran pers hendaknya tidak terlalu berlebihan, karena pasokan informasi yang berlebihan akan menyebabkan tidak efektifnya media relations yang telah dibangun. Sebenarnya ada beberapa program lainnya yang dapat disertai dalam media relations yakni dengan komunikasi tatap muka. Program-program tersebut meliputi penyelenggaraan pameran yang bersifat umum atau tematik, pemberian ceramah atas dasar prakarsa lembaga itu sendiri serta program “open house” yang merupakan undangan kepada khalayak sasaran untuk mengunjungi lembaga. Demi keberhasilan kegiatan media relations perlu dihindari perilaku yang berlebihan (overpublicity yang berakibat overkill) serta dikembangkan sikap kemitraan dengan personil media massa. Berkaitan dengan hal tersebut maka Drs. Sunarto, MSi menyatakan bahwa ada sejumlah prinsip-prinsip umum yang perlu diperhatikan oleh lembaga dalam menciptakan dan membina media relations yang baik yakni: (1) memahami dan melayani media dengan tujuan untuk menciptakan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan; (2) menyediakan atau memasok materi-materi yang akurat dimana saja dan kapan saja; (3) menyediakan salinan berupa naskah dan foto-foto dengan baik dan cepat; (4) bekerja sama dengan para jurnalis dalam menyediakan materi yang baik; dan (5) menyediakan fasilitas verifikasi pada para jurnalis. Hal ini juga dipahami oleh Arthur Roalman dalam bukunya Profitable Public Relations yang dikutip oleh Onong Uchayana dalam buku yang sama, menyatakan bahwa hubungan dengan media yang baik dapat dibina dengan pengenalan asas-asas: (1) pers yang dilibatkan harus yakin bahwa narasumber tidak mencoba untuk “menggunakannya”; (2) hubungan dengan wartawan hendaknya dilakukan seolah-oleh dengan tujuan yang sungguh-sungguh untuk terus berhubungan bertahun-tahun; (3) pers secara fundamental berkaitan dengan ketelitian; (4) rencana pemberitaan harus dihormati; (5) tulisan yang baik bersifat esensial. Sedangkan S. Sahala Tua Saragih, dosen Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung mengatakan, ada lima kiat utama bagi humas dalam menghadapi wartawan. Pertama, hubungan humas dengan wartawan bersifat professional dan tidak terlalu mesra. Karena jika dari hubungan yang mesra ini terjadi perselisihan, akan berdampak buruk pada masing-masing lembaga. Di mata 36
wartawan, humas harus berwibawa secara alamiah, tidak dibuat-buat. Kedua, humas harus mengetahui seluk-beluk dunia wartawan, termasuk irama kerja dan fungsi medianya. Artinya, humas harus tahu nilai berita, tenggat waktu laporan wartawan, kode etik jurnalistik, UU Pers, serta visi dan misi media. Ketiga, humas juga harus/perlu memiliki kemampuan praktik jurnalisme, yakni meliput, wawancara, memotret, menulis berita langsung, berita khas (feature news), dan artikel opini. Keempat, humas harus mampu mengenal wartawan dan redaktur secara personal, agar humas dapat berkomunikasi dengan efektif dengan mitranya. Kelima, humas jangan bersikap diskriminatif terhadap wartawan/media massa. Semua wartawan profesional dan media massa harus diperlakukan dengan adil. Humas tidak boleh merusak idealisme wartawan dengan memberi uang atau sejenisnya. Humas tidak berurusan dengan pemenuhan kesejahteraan wartawan. Hal itu adalah urusan manajemen media tempat ia bekerja. Referensi: 1. Humas Peemrintahan dan Komunikasi Persuasif, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Jakarta, 2003, Drs. Sunarto, M.Si 2. Public Relations, Frank Jefkins, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1992 -Fiona (kontributor) dan Bestantia-
Humas dan Luar Negeri di BPK Sebelum 2006, humas di BPK menjadi bagian dalam Biro Hukum dan Perundang-undangan. Setelah itu, humas memisahkan diri menjadi biro tersendiri, dan pada 2007 menjadi Biro Humas dan Luar Negeri. Biro ini merupakan unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi Setjen, yang bertanggung jawab kepada Sekretaris Jenderal. Dengan dipimpin oleh seorang kepala, biro ini terdiri dari Bagian Publikasi dan Layanan Informasi, Bagian Hubungan Lembaga dan Media, Bagian Hubungan Dalam Negeri, dan Bagian Kerjasama Luar Negeri. Menurut Rachmah Ida, PhD dari Departemen Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya, Humas boleh saja menjadi satu dengan kerja sama luar negeri, tapi bukan ideal. Hanya saja, tambah Rachmah Ida, penggabungan itu akan membuat koordinasi lebih mudah, karena dasar dari building networking (jejaring) adalah membina hubungan masyarakat. Sebenarnya, konsep Public Relations adalah membina banyak hubungan dengan public, termasuk luar negeri. -Bestantia NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
KESAKSIAN
KASUS ALIRAN DANA LPPI/YPPI TAHUN 2003 Anwar Nasution Jakarta, 18 September 2008 1. Temuan Kasus YPPI oleh Tim Audit BPK di BI 2. Dasar Pengambilan Dana YPPI 3. Waktu dan Cara Pengambilan Dana YPPI 4. Penggunaan Dana YPPI 5. Penanganan Kasus YPPI 6. Saran Penyelesaian 7. Perbedaan Pendapat mengenai sumber pengembalian dana YPPI 8.
Peranan Anwar Nasution Dalam Kasus YPPI 8.1 Proses Pengambilan Keputusan 8.2 Proses Audit 8.3 Upaya Penyelesaian Masalah 8.4Pemberian Penghargaan kepada Tim Audit BPK di BI
9. Tanggal-tanggal penting 10. Rincian Aliran Dana YPPI/LPPI
1. Temuan Kasus YPPI oleh Tim Audit BPK di BI • Kasus YPPI atau YLPPI adalah murni temuan Tim Audit BPK di BI. Selama periode bulan Pebruari hingga Mei 2005, Tim tersebut melakukan pemeriksaan atas Laporan Keuangan BI Tahun 2004 untuk memberikan opini. Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) adalah didirikan pada tahun 1977. NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
Status hukumnya disesuaikan dengan UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan pada bulan Desember 2003 dan sekaligus merubah namanya menjadi Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI); • P ada bulan Maret 2005 Tim Audit BPK di BI menemukan adanya aset/tanah BI yang digunakan oleh YLPPI. BI juga menyediakan modal awal YLPPI, memberikan bantuan biaya operasionalnya serta mengawasi manajemennya. Baru pada tahun 1993 ada pengaturan penggunaan tanah/aset BI oleh YLPPI dengan status pinjam pakai selama 10 tahun tanpa uang sewa. Karena adanya hubungan terafiliasi antara YLPPI dengan BI, maka Tim Audit BPK di BI meminta laporan keuangannya agar dapat diungkapkan dalam Laporan Keuangan BI; • D ari perbandingan antara kekayaan YLPPI per 31 Desember 2003 dengan posisi keuangannya per Juni 2003 diketahui adanya penurunan nilai asetnya sebesar Rp93 milliar. Informasi mengenai kekayaan YPPI per 31 Desember 2003 diperoleh dari Laporan Keuangannya yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Muhammad Toha; • Menindak lanjuti permasalahan penurunan nilai aset YLPPI sebesar Rp93 milliar tersebut, Tim Audit BPK di BI mulai melakukan pendalaman pada bulan Juni 2005. Tim menentukan sendiri metoda dan teknik serta objek pengungkapan kasus, analisis maupun penetapan opini pemeriksaannya. Karena kompleks dan sensitipnya kasus itu, Tim BPK memerlukan waktu pendalaman hampir satu setengah tahun hingga Oktober 2006. 37
2. Dasar Pengambilan Dana YPPI • Keputusan Rapat Dewan Gubernur BI (RDG) tanggal 3 Juni 2003 menetapkan agar Dewan Pengawas YLPPI menyediakan dana sebesar Rp100 miliar untuk keperluan BI; • S alah satu dari 2 RDG yang dilakukan pada tanggal 22 Juli 2003 adalah menetapkan pembentukan Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK) untuk melakukan:”penarikan, penggunaan dan penatausahaan” dana yang diambil dari YPPI tersebut. PPSK dibentuk untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka membina hubungan sosial kemasyarakatan sbb.: ”(a) melakukan kajian, upaya dan kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan; (b) melakukan penulisan riset, kajian, penulisan buku tentang sejarah kebijakan moneter, perbankan, sistem pembayaran, manajemen intern BI serta hal-hal lain yang terkait dengan BI sebagai suatu dokumentasi termasuk dalam hal ini penggantian hak patent buku dimaksud; (c) mengembangkan dan melakukan diseminasi kebijakan moneter dan perbankan secara intensif dan komprehensif kepada masyarakat secara luas; (d) mengembangkan dan melakukan community development dalam rangka kepedulian terhadap masalah sosial kemasyarakatan; (e) melakukan upaya dan kegiatan lain yang bersifat sosial kemasyarakatan sesuai penugasan Koordinator PPSK”; • RDG yang kedua yang dilakukan pada tanggal 22 Juli 2003 menetapkan agar BI mengganti dana yang diambil dari YPPI.
3. Waktu dan Cara Pengambilan Dana YPPI • Berdasarkan laporan Tim Audit BPK di BI, setelah AN menjabat di BPK, barulah ia mengetahui bahwa ternyata dana dari YPPI sudah mulai diambil dan disalurkan hampir sebulan sebelum PPSK resmi dibentuk berdasarkan RDG tanggal 22 Juli 2003. Tanggal-tanggal pencairan dana YPPI, pelaku dan tujuan penggunaannya diperinci pada Lampiran-1; • Dana YPPI diambil secara melawan hukum: – Manipulasi pembukuan YPPI dan BI. Pada saat perubahan status YPPI dari UU Yayasan lama ke UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, kekayaan dalam pembukuan YPPI berkurang sekitar Rp100 miliar. Jumlah Rp100 miliar ini 38
adalah lebih besar daripada nilai penurunan aset YPPI yang diduga semula sebesar Rp93 milyar tersebut diatas. Sebaliknya pengeluaran dana dari YPPI sebesar Rp100 miliar tersebut tidak tercatat pada pembukuan BI sebagai penerimaan ataupun hutang; – Menghindari Peraturan Pengenalan Nasabah Bank serta UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dana itu dipindahkan dulu dari rekening YPPI di berbagai bank komersil ke rekeningnya di BI dan baru kemudian seluruhnya ditarik secara tunai; – Bertentangan dengan UU Yayasan karena dana YPPI ditarik dan digunakan untuk tujuan yang berbeda dengan tujuan pendiriannya semula.
4. Penggunaan Dana YPPI • L aporan Tim Audit BPK sekaligus memberikan gambaran bahwa, dalam realita, tidak satu sen pun dana YPPI yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan sosial kemasyarakatan sebagaimana telah diputuskan dalam RDG tanggal 22 Juli 2003; • S ebesar Rp68,5 miliar dari Dana YPPI adalah digunakan untuk keperluan pemberian “tambahan bantuan hukum” bagi 5 orang mantan Anggota Direksi/Dewan Gubernur BI yang tengah menghadapi masalah hukum. Sebelumnya mereka sudah menerima bantuan hukum sebesar Rp27,7 milyar dari anggaran resmi BI sendiri (Lampiran-2) sebagaimana diatur dalam PDG No. 4/13/PDG/2002 tentang Perlindungan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas Kedinasan Bank Indonesia. Sebaliknya, “tambahan bantuan hukum” dari dana YPPI tidak ada aturannya. Dana YPPI untuk keperluan “tambahan bantuan hukum” tersebut didistribusikan oleh Oey Hoey Tiong (OHT) yang pada waktu itu menjabat sebagai Deputi Direktur Direktorat Hukum BI/Wakil Ketua PPSK; • B erbeda dengan bantuan hukum dari sumber anggaran resmi BI sendiri, “tambahan bantuan hukum” yang bersumber dari dana YPPI adalah diterimakan kepada individu mantan Anggota Direksi/Dewan Gubernur BI yang menghadapi masalah hukum itu atau kepada para perantaranya. Sebaliknya, bantuan hukum dari sumber resmi anggaran BI adalah diterimakan kepada pengacaranya masing-masing berdasarkan kontrak kerja; • Sebesar Rp31,5 miliar lainnya dari dana YPPI diberikan kepada sekelompok oknum Komisi IX NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
DPR-RI. Setelah Pemilu tahun 2004, Komisi IX berubah menjadi Komisi XI; • M enurut keterangan Asnar Ashari (AA) di persidangan, sebesar 10 persen dari dana YPPI yang diperuntukkan kepada sekelompok oknum Anggota DPR-RI diterima oleh atasannya di BI, Rusli Simanjuntak, sebagai “success fee”. RS dan AA adalah, masing-masing, Kepala Biro Gubernur BI/Ketua PPSK dan Administrator PPSK, yang menyerahkan dana YPPI sebesar Rp31,5 miliar kepada Anthony Zeidra Abidin (AZA) dan Hamka Yandhu (HY) untuk diteruskan kepada sekelompok oknum Anggota Komisi IX DPR tersebut. Pada waktu kejadian, AZA menjabat sebagai Ketua Panitia Perbankan Komisi IX DPR-RI dan setelah tahun 2005 terpilih menjadi Wakil Gubernur Provinsi Jambi; • Dari Laporan Tim Audit BPK yang memberikan gambaran bahwa awal waktu pengambilan dana YPPI yang lebih awal dari pembentukan PPSK dan penggunaan dana YPPI tersebut yang berbeda dengan tujuan pendirian PPSK dapatlah disimpulkan bahwa tujuan sebenarnya pendirian PPSK hanya merupakan tameng belaka untuk melakukan rangkaian perbuatan yang melawan hukum.
5. Cara Penanganan kasus YPPI • S etelah mendapatkan laporan dari Tim Audit BPK di BI tentang kasus Aliran Dana YPPI, pada akhir Mei 2005, Ketua BPK Anwar Nasution (AN) memanggil Gubernur BI Burhanuddin Abdullah (BA) pada tanggal 5 Juli 2005 dan meminta yang bersangkutan untuk dapat menyelesaikan kasus tersebut dengan baik agar tidak menimbulkan gejolak politik maupun mengganggu karirnya sendiri maupun karir semua pihak terkait. Himbauan yang sama disampaikan kepada Sdr. Paskah Suzeta (PS) yang datang ke BPK pada tanggal 21 Juli 2005. Pada waktu kejadian, PS menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI dan kemudian diangkat menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Kabinet Indonesia Bersatu; • P ertemuan terpisah dengan kedua tokoh itu diikuti oleh pertemuan-pertemuan lainnya dengan pihak terkait, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan, apakah di kantor maupun di rumah pribadi AN, atas inisiatip mereka sendiri datang menemui AN secara kekeluargaan untuk minta nasehat tentang cara penyelesaian kasus tersebut. NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
6. Saran Penyelesaian oleh AN • Ketua BPK, AN, menyarankan untuk dapat menyelesaikan kasus Aliran Dana YPPI sesuai dengan aturan hukum, termasuk UU tentang Yayasan, dan sistem pembukuan BI sendiri. Secara spesifik AN menyarankan sebagai berikut: ( 1) agar seluruh uang YPPI dapat dikembali kan; (2) agar pembukuan YPPI dapat dikoreksi kembali. • Toleransi yang diberikan oleh AN adalah:
(i) Memberikan jangka waktu penyelesaian oleh BI yang sama dengan tenggang waktu yang diperlukan Tim Audit BPK untuk mendalami kasus YPPI itu, termasuk melengkapi data dan bukti. Ternyata kemudian bahwa lamanya tenggang waktu itu adalah hampir satu sete-ngah tahun, terhitung tanggal pemberitahuan kasus itu pada BA (5 Juli 2005) hingga pelaporan kasus tersebut kepada KPK melalui surat pada tanggal 14 Nopember 2006; (ii) Setelah uang YPPI dikembalikan dan pembukuannya dikoreksi, AN akan menulis surat kepada penegak hukum bahwa tidak ada lagi kerugian negara.
7. Perbedaan pendapat mengenai sumber pengembalian dana YPPI • PS mengatakan kepada AN dan BA bahwa BA harus dapat menyelesaikan pembayaran kembali dana YPPI sebesar Rp31,5 miliar yang diterima oleh sekelompok oknum Anggota Komisi IX DPR-RI. Mengenai hal itu, AN menyarankan kepada PS dan BA agar mereka dapat menyelesaikan sendiri masalahnya sesuai dengan kesepakatan mereka pribadi yang tidak diketahui oleh AN; • Dalam suratnya tanggal 5 Desember 2006, Gubernur BI menawarkan pembayaran kembali seluruh dana yang telah diambil dari YPPI (Rp100 miliar) seolah-olah sebagai sewa tanah dan fasilitas BI kepada YPPI sejak didirikan pada tahun 1977. Usul itu ditolak oleh AN karena tidak ada dasar hukumnya: (i) tidak disebut dalam Akte Notaris YLPPI tanggal 29 Desember 1977 dan (ii) tidak ada kontrak sewa-menyewa antara BI dengan YLPPI/YPPI. Kontrak tahun 1993 justru 39
menyebut bahwa BI memberikan penggunaan tanah/asetnya kepada YPPI dengan status pinjam pakai selama 10 tahun tanpa sewa; • Sewaktu kedatangannya menemui AN di BPK, pada tanggal 15 Desember 2006, AZA mengatakan bahwa rekan-rekannya di DPR-RI (seperti PS dan HY) menawarkan barter antara deponir kasus Aliran Dana YPPI dengan Amandemen dua UU yang dibahas oleh Komisi XI DPR-RI. Kedua UU itu adalah UU No. 5 Tahun 1973 tentang BPK dan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Usul AZA ini juga ditolak oleh AN.
8. Peranan AN Dalam Kasus YPPI 8.1 Proses Pengambilan Keputusan: – Karena berada di Washington, D.C., AN tidak menghadiri RDG tanggal 3 Juni 2003; – AN menghadiri dua RDG pada tanggal 22 Juli 2003 untuk (i) membentuk PPSK dan (ii) mengembalikan dana YPPI. Seingatnya, AN mengajukan dua keberatan dalam RDG tanggal 22 Juli 2003 itu, yaitu: (i) keberatan atas pembentukan PPSK karena organisasi, lembaga, museum BI yg sudah ada dapat digunakan untuk menyalurkan bantuan sosial kemasyarakatan maupun untuk melakukan atau membelanjai kegiatan studi; (ii) BI tidak perlu meminjam dari pihak manapun (termasuk YLPPI) untuk menambah anggarannya; – Selama menjabat di BI, AN tidak pernah diberitahu tentang cara-cara pengambilan uang dari YLPPI yang ternyata melawan hukum. Juga AN tidak pernah diberitahu penggunaan dana YLPPI yang ternyata menyimpang dari tujuan pendirian PPSK. Dalam realita, ternyata bahwa PPSK hanya merupakan tameng belaka untuk tujuan yang berbeda dengan ke lima tujuan PPSK sebagaimana diputuskan dalam RDG 22 Juli 2003; – Sewaktu kelima mantan Anggota Direksi BI menjabat pada masa Pemerintahan Orde Baru, AN menyebut BI sebagai “sarang penyamun”. Oleh karena itu adalah tidak masuk akal jika AN mau melakukan rangkaian tindak pidana kriminal untuk mencari dana yang sangat besar bagi keperluan “penyogokan” oknum-oknum penegak hukum oleh para mantan itu.
nya, AN tidak pernah mencampuri proses audit yang dilakukan oleh Tim Audit BPK di BI. Tim Audit BPK di BI itu sendiri yang menentukan metoda dan teknik pengungkapan kasus Aliran Dana YPPI itu, melakukan analisis dan menarik ke-simpulan serta penentuan opini pemeriksaan atas kasus tersebut. Sebagai Ketua BPK, peran AN hanya memberi dukungan penuh dan dorongan semangat kepada Tim Audit BPK di BI; 8.3 Upaya Penyelesaian Masalah: AN telah mengambil inisiatip untuk menyelesaikan kasus Aliran Dana YPPI sebaik mungkin seperti yang telah disebut pada butir 5, 6 dan 7; 8.4 P emberian Penghargaan kepada Tim Audit BPK di BI:
Sebagai Ketua BPK, AN, telah mengusulkan kepada Pemerintah untuk memberikan penghargaan luar biasa kepada seluruh An- ggota Tim Audit BPK di BI atas hasil kerja mereka yang dapat membuka rangkaian penyimpangan dalam kasus Aliran Dana YPPI Tahun 2003. Sekali lagi, rangkaian dugaan tindakan kriminal dalam kasus YPPI itu adalah: (a) manipulasi pembukuan YPPI dan BI; (b) pelanggaran pe-raturan pengenalan nasabah bank dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang; (c) pelanggaran UU Yayasan (d) penyuapan kepada oknum-oknum penegak hukum serta sekelompok oknum Anggota Komisi IX DPRRI dan (e) pengambilan sebagian dana YPPI oleh Pengurus PPSK untuk kepentingan pribadi; Ada tiga bentuk penghargaan luar biasa yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada semua Anggota Tim Audit BPK yang menangani kasus Aliran Dana YPPI, yakni: (i) penganugerahan tanda jasa; (ii) kenaikan pangkat dipercepat; (iii) promosi jabatan.
8.2 Proses Audit: Karena bukan merupakan bidang keahlian40
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
Cek dari YPPI 2 Juli 2003 Rp5M dan Rp0,5M
Pencairan di BI Rp5M dan Rp0,5M 2 Juli 2003
Cek dari YPPI 27 Juni 2003 Rp2M
Pencairan di BI Rp2M 30 Juni 2003
Bank Indonesia
Cek dari YPPI 7 Juli 2003 Rp6,5M untuk IRP
Cek dari YPPI 9 Juli 2003 Rp7M untuk IRP
Pencairan di BI Rp7M 16 Juli 2003
Juli
Pelunasan pinjaman JSD ke YPPI Rp5M (Catatan 18 Juli 2003)
Pencairan di BI Rp7,5M 23 Juli 2003
Cek dari YPPI 23 Juli 2003 Rp7,5M
Penggunaan Dana YPPI untuk diseminasi, melalui perantaraan OHT, RS & AA, kepada oknum-oknum Anggota DPR-RI sebesar Rp31,5 milyar
RDG 22 Juli 2003
Dua Rapat Dewan Gubernur BI (RDG) mengambil keputusan: (i) membentuk Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PSK) dan (ii) BI mengembalikan dana Rp 100 M yang ditariknya dari YPPI dari sumber anggarannya sendiri. [Keputusan RDG tentang pembentukan PSK baru diberikan kepadaTim Audit BPK pada tanggal 6 Februari 2008]. Selama menjabat di BI, AN tidak pernah diberitahu tentang (a) kegiatan YPPI dan PSK; (b) tujuan sebenarnya pembentukan PSK; (c) cara penarikan dana dari YPPI yang memanipulasi pembukuan dan menghindari aturan KYC dan ML; (d) tujuan sebenarnya penggunaan dana YPPI; (e) tidak dibukukannya dana dari YPPI pada pembukuan BI; (f) dana YPPI ternyata sudah mulai ditarik dan digunakan 3 minggu sebelum PSK resmi dibentuk**),
Cek dari YPPI 4 Agst 2003 Rp2,5M dan Rp6M untuk JSD
Pencairan di BI Rp2,5M dan Rp6M 13 Agst 2003
Cek dari YPPI 27 Agst 2003 Rp30M untuk HS, HB dan PS
Pencairan di BI Rp30M 29 Agst 2003
Agustus
Bank Indonesia
Cek dari YPPI 12 Agst 2003 Rp10M dan Rp1,5M untuk JSD
Pencairan di BI Rp10M dan Rp1,5M 13 Agst 2003
Desember
Pencairan di BI Rp6M 8 Des 2003
Pencairan di BI Rp7,5M dan Rp3M 18 Sept 2003
September
Cek dari YPPI 4 Des 2003 Rp6M
Cek dari YPPI 17 Sept 2003 Rp7,5M dan Rp3M
Singkatan: - AA (Asnar Ashari), AN (Anwar Nasution), AP (Aulia Pohan), HB (Hendrobudiyanto), HS (Heru Supraptomo), IRP (Iwan R. Prawiranata), JSD (J. Sudrajad Djiwandono), MHS (Maman H. Soemantri), OHT (Oey Hoey Tiong), PS (Paul Sutopo), RS (Rusli Simanjuntak) - KYC (Prinsip Mengenal Nasabah), ML (UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang)
**) Tujuan PSK adalah melakukan kegiatan dalam rangka membina hubungan sosial kemasyarakatan melalui berbagai kegiatan sbb.: "(a) melakukan kajian, upaya dan kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan; (b) melakukan penulisan riset, kajian, penulisan buku tentang sejarah kebijakan moneter, perbankan, sistem pembayaran, manajemen intern BI serta hal-hal lain yang terkait dengan BI sebagai suatu dokumentasi termasuk dalam hal ini penggantian hak patent buku dimaksud; (c) mengembangkan dan melakukan diseminasi kebijakan moneter dan perbankan secara intensif dan komrehensif kepada masyarakat luas; (d) mengembangkan dan melakukan community development dalam rangka kepedulian terhadap masalah sosial kemasyarakatan; (e) melakukan upaya dan kegiatan lain yang bersifat sosial kemasyarakatan sesuai penugasan Koordinator PSK". Ternyata seluruh dana YLPPI diduga digunakan untuk keperluan penyogokan dan tidak satu sen pun dana PSK diberikan untuk keperluan sosial.
*) Aktiva YPPI pada neraca awalnya berkurang sekitar Rp 93 M setelah status hukumnya sebagai Yayasan berubah berdasarkan UU No. 6 Tahun 2001 dibandingkan dengan neraca akhirnya berdasarkan UU lama. Dana sebesar Rp 100 M yang ditarik dari YPPI juga tidak ada dalam pos penerimaan pembukuan BI. Melalui Catatan No: 5/02/Ctt/DP, tgl 25.07.2003 (yang hanya mengacu kepada Keputusan RDG tgl 03.06.2003). Pengurus YPPI dengan sengaja dan terencana melakukan manipulasi pembukuan lembaga itu yang disetujui oleh Dewan Pengawasnya (AF dan MHS). Catatan Bendahara YLPPI kepada Ketuanya, tanggal 1 Agustus 2003, merencanakan pencairan tunai hanya melalui rekening YLPPI di Bank Indonesia saja. Dalam catatan itu disebut bahwa cara pencairan uang seperti ini merupakan kesepakatan antara Bendahara YLPPI dengan OHT untuk mengurangi risiko pada petugas dan pertanyaan sehubungan dengan ketentuan Peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 yang terakhir diubah dengan Peraturan BI No. 5/21/PBI/2003 tentang penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (KYC) dan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (PU). KYC dan PU tidak berlaku bagi transaksi dengan bank sentral.
Juni
BI minta YPPI untuk menyisihkan dana sebesar Rp100 M*) untuk "menanggulangi pelaksanaan kegiatan BI yang bersifat insidentil dan mendesak". AN tidak ikut RDG karena berada di Washington D.C. tgl 2 - 9 Juni 2003.
RDG 3 Juni 2003
Pencairan di BI Rp6,5M 7 Juli 2003
Penggunaan Dana YPPI untuk Bantuan Hukum, melalui perantaraan OHT, kepada 5 orang mantan Gubernur/Deputi/Direktur BI sebesar Rp68,5 milyar
Tanggal-Tanggal Penting Penarikan Dana YLPPI/YPPI Untuk Pembelanjaan Kegiatan Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan Dan Penggunaannya
LAMPIRAN 1
41
42
Oey Hoey Tiong
Oey Hoey Tiong
Rustamaji (Kuasa dari J. Soedrajad D)
Oey Hoey Tiong
Penerima Cek
Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari
Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari
Oey Hoey Tiong dan Asnar Ashari
13-Agust-03
12-Agust-03 Jumlah
29-Agust-03
27-Agust-03 Total
29-Agust-03
27-Agust-03
29-Agust-03
13-Agust-03 13-Agust-03
04-Agust-03 12-Agust-03
27-Agust-03
13-Agust-03
04-Agust-03
Jumlah
16-Jul-03
07-Jul-03
07-Jul-03 09-Jul-03
Tgl Cair
Tgl Terima Cek
Total
18-Sep-03 08-Des-03
04-Des-03 Jumlah
18-Sep-03
17-Sep-03 17-Sep-03
Tgl Cair 30-Jun-03 02-Jul-03 02-Jul-03 23-Jul-03
Tgl Terima Cek 27-Jun-03 02-Jul-03 02-Jul-03 23-Jul-03 Jumlah
68,500,000,000
10,000,000,000
10,000,000,000
10,000,000,000
1,500,000,000 25,000,000,000
6,000,000,000 10,000,000,000
2,500,000,000
5,000,000,000
13,500,000,000
7,000,000,000
6,500,000,000
Jumlah Dana Rp
31,500,000,000
7,500,000,000
Mantan Direktur (Hendrobudianto) Mantan Direktur (Paul Sutopo) Mantan Direktur (Heru Supraptomo)
Penerima Dana Mantan Anggota DG (Iwan R. Prawiranata) kemudian diberikan ke oknum penegak hukum (?) **)Rustamaji (Kuasa dari J. Soedrajad D) Rustamaji, kuasa dari mantan Gubernur (J. Soedrajad D) kemudian diberikan diberikan ke oknum penegak hukum (?)
Oknum Anggota DPR untuk amandemen UU 3,000,000,000 BI (?) 6,000,000,000 16,500,000,000
Jumlah Dana Rp Penerima Dana 2,000,000,000 5,000,000,000 Oknum Anggota DPR 500,000,000 untuk penyelesaian BLBI (?) 7,500,000,000 15,000,000,000
3.411.100.000 6.748.500.000 6.748.500.000
Jumlah
Bantuan Hukum dari Anggaran Resmi BI sendiri berdasarkan PDG No. 4/13/PDG/2002 tanggal 22 Oktober 2002 tentang Perlindungan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas Kedinasan Bank Indonesia.
Mantan Direksi (Heru Supraptomo) 6.748.500.000 Gabungan 3 mantan Direksi (Hendrobudianto, Paul Sutopo, 4.090.625.000 Heru Supraptomo) Total 27.747.225.000
Mantan DG Mantan Gubernur (J. Soedrajad D) Mantan Direksi (Hendrobudianto) Mantan Direksi (Paul Sutopo)
Nama
DANA RESMI ANGGARAN BI
**) Pelunasan pinjaman pribadi Mantan Gubernur (J. Soedrajad D) ke YPPI
*) Dana sebesar Rp 100 M yang ditarik dari YPPI tidak ada dalam pos penerimaan pembukuan BI. Melalui Catatan No: 5/02/Ctt/DP, tgl 25.07.2003 (yang hanya mengacu kepada Keputusan RDG tgl 03.06.2003). Pengurus YPPI dengan sengaja dan terencana melakukan manipulasi pembukuan lembaga itu yang disetujui oleh Dewan Pengawasnya dan dilaporkan kepada Gubernur BI. Catatan Bendahara YLPPI kepada Ketuanya, tanggal 1 Agustus 2003, merencanakan pencairan tunai hanya melalui rekening YLPPI di Bank Indonesia saja. Dalam catatan itu disebut bahwa cara pencairan uang seperti ini merupakan kesepakatan antara Bendahara YLPPI dengan OHT untuk mengurangi risiko pada petugas dan pertanyaan sehubungan dengan ketentuan Peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 yang terakhir diubah dengan Peraturan BI No. 5/21/PBI/2003 tentang penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (KYC) dan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (PU). KYC dan PU tidak berlaku bagi transaksi dengan bank sentral
Keterangan:
Bantuan Hukum Rp 68,5 miliar
Diseminasi DPR Rp 31,5 miliar
Penerima Cek
DANA DARI YPPI / LPPI *)
RINCIAN ALIRAN DANA YPPI/LPPI DAN BANTUAN HUKUM
LAMPIRAN 2
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
PENUNJANG & PENDUKUNG
Capaian Renstra Kesetjenan
Dalam Rapat Kerja Pelaksana BPK RI Tahun Anggaran 2008 pada Juli 2008, Sekretaris Jenderal BPK RI memaparkan capaian rencana strategis Kesetjenan.
S
asaran strategis kesetjenan memiliki cakupan pencapaian seluruh Biro di Setjen BPK, yaitu pada Biro Keuangan, Biro Umum, Biro Humas dan Luar Negeri, biro SDM, Biro Teknologi Informasi, dan Biro Sekretariat Pimpinan. Dalam pemaparannya, Sekjen BPK menyebutkan indikator sukses (KPI) Setjen, di antaranya adalah: jumlah hari penyelesaian risalah Sidang Badan, jenis opini laporan keuangan, tingkat pemenuhan dan penyerapan anggaran BPK, tingkat kesesuaian proses pelaksanaan anggaran dengan SOP, jumlah pengaduan yang ditindaklanjuti, serta indeks kepuasan pemilik kepentingan terhadap informasi yang dihasilkan BPK. Pada 2008, ini, kegiatan kesetjenan ditekankan pada pembangunan gedung kantor untuk perwakilan baru dengan prototipe yang mencirikan BPK, peningkatan kualitas prasarana dan sarana, pengembangan sistem dan prosedur kerja yang terukur, penguatan database (pegawai, aset, dan informasi), peningkatan hubungan dengan stakeholders utama, peningkatan kualitas SDM, dan mengimplementasi perencanaan berdasarkan analisis kebutuhan dan perhitungan yang realistis. NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
Biro Keuangan Pada Biro Keuangan, dipaparkan realisasi anggaran menurut jenis program atas pagu dalam DIPA tahun 2008 sampai dengan 30 Juni 2008, yang mencapai 30,08%. Sedangkan realisasi biaya pemeriksaan per 30 Juni 2008 pada beberapa perwakilan telah melebihi pagu anggaran dalam DIPA dan telah dipenuhi dari anggaran pusat. Pencapaian KPI biro ini pada semester I tahun 2008 dipenuhi dengan sasaran strategis terwujudnya pengelolaan dan tanggung jawab keuangan BPK yang transparan dan akuntabel. Target laporan keuangan tahun 2007 adalah mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian. Namun, pencapaiannya mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian. Selain laporan keuangan telah mendapat opini WTP, Biro Keuangan telah mempublikasikan Laporan Keuangan Tahun 2007 audited di website BPK dan Harian Media Indonesia. Sebagai pencapaian tambahan, BPK memperoleh penghargaan dari Pemerintah pada Rakernas Akuntansi dan Pelaporan Keuangan 2008 atas pencapaian tertinggi dalam penyusunan laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Melalui pemaparan tentang pencapaian Biro Keuangan ini, disampaikan pula bahwa dalam penyusunan lapo43
ran keuangan yang tepat waktu dan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan maka diperlukan dukungan dari seluruh satuan kerja, yaitu Biro Umum, Pusdiklat, dan perwakilan sehingga opini WTP dapat dipertahankan. Dukungan Inspektorat Utama juga diperlukan dalam hal pelaksanaan reviu laporan keuangan. Hasil audit KAP atas laporan keuangan BPK RI tidak hanya menghasilkan opini, tetapi juga laporan ketidakpatuhan dan penilaian atas sistem pengendalian intern. Hal ini perlu komitmen yang baik dari atasan maupun pelaksanaan anggaran di pusat, pusdiklat, dan perwakilan-perwakilan BPK. Langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh Biro Keuangan di antaranya adalah meningkatkan kualitas laporan keuangan tahunan, berkoordinasi dengan Biro Umum dan seluruh satker terkait dengan validitas dan kelengkapan data. Biro Keuangan juga akan menyusun SOP SAI BPK, serta meningkatkan efektivitas penganggaran dan monitoring. Biro Humas dan Luar Negeri Ada tiga sasaran strategis yang akan dicapai dan ditingkatkan pada semester II TA 2008 dan TA 2009, yaitu penyediaan informasi ke-BPK-an secara cepat dan akurat, peningkatan efektivitas penanganan pengaduan, dan pengoptimalan hubungan dan kerja sama dengan lembaga dan media di dalam dan luar negeri. Pada biro ini, terdapat dua bidang yang dilakukan. Pada bidang kehumasan, biro ini melakukan implementasi Program Public Awareness di tingkat pusat maupun perwakilan dengan memperkenalkan berbagai bentuk communication mix untuk setiap kegiatan penting BPK sekaligus melakukan peningkatan kapabilitas kehumasan. Selanjutnya adalah membuat media center untuk optimalisasi pelayanan pemberian informasi, menyempurnakan pengelolaan website dan produk publikasi BPK lainnya, mengembangkan aplikasi sistem informasi perpustakaan, serta meningkatkan hubungan dan kerja sama institusional dengan lembaga dan media. Pada bidang luar negeri, dilakukan peningkatan kapasitas kelembagaan dan pemeriksaan sektor publik BPK RI melalui komitmen internasional dan peran aktif BPK RI melalui kegiatan ASOSAI, INTOSAI, dan INTOSAI Development Initiative. Selain itu juga dilakukan kerja sama dengan BPK Negara lain sesuai kepentingan yang kebutuhan BPK, serta kerja sama dengan lembaga donor. Biro Teknologi Informasi Arah Pengembangan TI tahun 2008 di bidang hardware dan infrastruktur di antaranya adalah pembangunan infrastruktur (jaringan LAN/WAN) untuk perwakilan-perwakilan baru BPK, pengadaan peralatan PC, Note Book dan Printer, serta peningkatan kapasitas internet untuk mengantisipasi kebutuhan internet seluruh kantor. Pada bidang aplikasi komputer, di antaranya diarahkan ke pengembangan 44
aplikasi Sistem Informasi Database Entitas dan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan, pengembangan aplikasi aliran data keuangan, dan pengembangan modul Sistem Informasi Tugas Belajar sebagai bagian dari aplikasi SISDM. Biro Sumber Daya Manusia Pada Biro SDM, ada tujuh bidang yang dilakukan. Pertama, penataan arsip kepegawaian dan database untuk mempercepat pengambilan keputusan. Kedua, strategi pengelolaan SDM, yaitu pengelolaan SDM yang terpadu, berbasis kompentensi, pemeriksa dengan keahlian generalis, pengukuran kinerja yang dikaitkan dengan reward dan punishment, dan pemanfaatan TI. Ketiga, pola karier di BPK. Keempat, pengembangan berbasis kompetensi melalui, diklat di dalam dan luar negeri, magang/secondment, rotasi/mutasi, job enrichment/enlargement, konseling, dan pendidikan formal. Kelima, standar kompetensi. Standar ini disusun untuk semua keluarga jabatan. Tahap awal adalah workshop mengenai Standar Kompetensi Perilaku Pemeriksa. Keenam, rencana pembangunan Assessment Center, yaitu untuk pelatihan dan pengembangan individu untuk mencocokkan antara kompetensi jabatan yang dipersyaratkan dengan kompetensi individu. Terakhir adalahh program kesejahteraan, melalui remunerasi berbasis kompetensi dan kinerja, ASKES, dan program pensiun. Biro Umum Pada Raker, dilaporkan bahwa penyampaian laporan Barang Milik Negara (BMN) oleh perwakilan/unit kerja tidak tepat waktu dan tidak lengkap. Hampir seluruh kantor perwakilan/unit kerja tidak teliti dalam menyusun laporan BMN. Hanya 1 perwakilan yang lengkap dan tepat waktu, 2 perwakilan lengkap tetapi terlambat, 18 perwakilan tepat waktu tetapi tidak lengkap dan 10 perwakilan tidak lengkap dan terlambat. Biro Setpim Pada biro ini, dipaparkan permasalah yang dihadapi oleh Biro Setpim dalam pencapaian kinerja KPI. Permasalahan tersebut adalah pelatihan yang ditawarkan kepada Biro Setpim dari satker lain sebagian besar diikuti oleh CPNS. Selain itu, berdasarkan formula penghitungan yang ada, CPNS yang ikut pelatihan/diklat tidak bisa dimasukkan dalam perhitungan pencapaian jam pelatihan. Biro Setpim dengan sifat pekerjaan yang khusus (pelayanan kepada Ketua dan Angbintama) mengalami kesulitan untuk mengikuti pelatihan karena dituntut selalu siap melayani para pejabat tinggi Negara tersebut. Program pelatihan yang telah dijadwalkan pelaksanaannya oleh Biro Setpim baru akan dilaksanakan pada akhir Juni dan awal Agustus 2008 dengan pembatasan jumlah peserta. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pembiayaan di Pusdiklat.
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
RENCANA DAN REALISASI KEGIATAN DITAMA REVBANG Oleh: Daeng M. Nazier*
S
ecara struktur organisasi, Direktorat Utama Revbang terbagi dalam 1. Direktorat PSMK 2. Direktorat EPP 3. Direktorat Litbang 4. Pusdiklat Pada kesempatan ini akan dijabarkan jenis-jenis kegiatan yang akan dilaksanakan oleh masing-masing direktorat. 1. Direktorat Perencanaan Strategis dan Manajemen Kinerja Realisasi Semester I 2008 • Implementasi SIMAK BPK di seluruh Satuan Kerja (Satker). Kegiatan ini bertujuan untuk mengukur pencapaian KPI BPK Wide dan Satker serta mengevaluasi implementasi Inisiatif Strategis • Penyelesaian RKT, RKP dan RKSP TA 2008 dan konsep RKT, RKP TA 2009. Untuk mendapatkan data kegiatan yang dibutuhkan para Satker yang kemudian diselaraskan dengan anggaran yang tersedia dalam pagu sementara. Rencana Semester II 2008 • Penyusunan mekanisme (SOP) perencanaan yaitu mekanisme perencanaan kerja tahunan (RKT), mekanisme perencanaan kegiatan pemeriksaan (RKP), dan mekanisme perencanaan kegiatan setjen dan penunjang (RKSP). Dimana SOP diperlukan untuk memberikan suatu kerangka logis yang dapat memandu para pelaksana dalam melaksanakan perencanaan diselaraskan dengan penganggaran sehingga diharapkan RKT, RKP dan RKSP dapat lebih realistis, efisien, dan efektif. • Penyusunan inisiatif strategis (IS) badan dan satker TA 2009. Hal ini bertujuan agar IS Badan dan IS Satker TA 2009 dapat dibangun untuk mencapai Sasaran Strategis yang telah ditetapkan sehingga IS–IS tersebut dapat dimasukkan dalam proses penganggaran TA 2009. • Penyusunan laporan kinerja 2008 dalam rangka pelaksanaan PP 08 tahun 2006. Dengan tujuan agar dapat disusun suatu laporan kinerja yang bermutu, akuntabel, dan transparan yang diserahkan ke Menpan. NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
2. Direktorat Evaluasi dan Pelaporan Pemeriksaan Realisasi Semester I 2008 • Menyusun konsep IHPS II TA 2007 agar BPK dapat menyediakan IHPS II TA 2007 yang informatif dan mudah dipahami. • Mengevaluasi kesesuaian LHP dengan kriteria agar BPK dapat melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas LHP yang telah ditetapkan. • Inventarisasi entitas pelaporan agar BPK dapat melakukan mapping, perencanaan, dan pelaporan yang baik. Rencana Semester II 2008 • Menyusun konsep IHPS I TA 2008, dimana BPK akan menyerahkan IHPS Semester I TA 2008 ke DPR. • Menyusun SOP untuk penyusunan IHPS, agar tersedia suatu panduan / pedoman yang mengikat semua pihak dalam menyusun IHPS yang efisien dan efektif. • Menyusun kriteria pengadaan pemeriksa dari luar BPK, agar tersedia aturan yang mempunyai kepastian hukum yang mengikat pihak terkait. • Mengukur pemenuhan kebutuhan dan harapan pemilik kepentingan. Mapping: agar BPK dapat meningkatkan kinerjanya untuk dapat memenuhi dan bahkan memuaskan para pemilik kepentingan. • Menyusun kebijakan rekomendasi dari hasil evaluasi LHP. Tujuannya supaya Revbang dapat memberikan rekomendasi perbaikan dalam proses pemeriksaan di BPK. 3. Direktorat Penelitian dan Pengembangan Realisasi Semester I 2008 • Survey iklim organisasi (Organizational Readiness Survey) sampai dengan tahap penyusunan formula. Tujuannya agar BPK dapat memformulasikan iklim kerja dan budaya kerja di lingkungan BPK. • Menyelesaikan suatu Juklak Quality Assurance atau Juklak Keyakinan terhadap mutu pemeriksaan. Tujuan kegiatan ini adalah Agar BPK mempunyai pedoman dalam upaya peningkatan kualitas pemeriksaannya baik dari mulai tahap perencanaan 45
sampai dengan tahap tindak lanjut pemeriksaan. Penyempurnaan PMP supaya BPK mendapatkan PMP yang aplikatif dan implementatif. Menyiapkan bahan pertimbangan BPK atas usulan Sistem Akuntansi Pemerintahan dan SPI yang diajukan oleh pemerintah. Tujuannya adalah BPK dapat memberikan pertimbangan yang sangat berguna untuk kesempurnaan SAP dan SPI Pemerintah.
Usaha yang telah dilakukan untuk mengatasinya antara lain : • Mengintensifkan komunikasi dengan para LO • Membentuk Tim Integrasi Pelaksanaan Diklat dengan jajaran pimpinan unit • Tim Optimalisasi Pemanfaatan Balai Diklat yang melibatkan para Kepala Perwakilan dan Biro Keuangan dan Biro Umum
Rencana Semester II 2008 • Survey iklim organisasi (Organizational Readiness Survey) sampai dengan tahap penyusunan formula. Tujuannya adalah supaya BPK dapat memformulasikan iklim kerja dan budaya kerja di lingkungan BPK. • Menyelesaikan penyusunan Juklak Quality Assurance. Ini dimaksudkan agar BPK mempunyai pedoman dalam upaya peningkatan kualitas pemeriksaannya baik dari mulai tahap perencanaan sampai dengan tahap tindak lanjut pemeriksaan. • Melaksanakan Peer Review sebagai wujud akuntabilitas dan transparansi kepada publik dan pemilik kepentingan. • Membentuk Public Account Committee (PAC) sebagai alat DPR dalam memantau, menyikapi dan bersama dengan BPK memutuskan status dari tindakan perbaikan Pemerintah terkait dengan Hasil Pemeriksaan BPK. Tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan pendayagunaan rekomendasi BPK agar rekomendasi BPK ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. • Menyusun mekanisme penyusunan, penyampaian, dan pemantauan pendapat BPK. Tujuannya supaya tersedia suatu panduan yang mengikat semua pihak dalam proses penyusunan, penyampaian, dan pemantauan pendapat BPK ke pemilik kepentingan.
Agenda Pusdiklat pada Semester II Tahun 2008 adalah : 1. Menyelesaikan pengembangan lab keuangan daerah yang proses pengadaan konsultannya sudah mendekati tahap akhir (dana dari STAR-SDP) 2. Menyelesaikan penyempurnaan kurikulum berbasis kompetensi yang proses pengadaan konsultannya juga sudah mendekati final 3. Menyelesaikan pembangunan masjid dan ruang makan para peserta diklat, dan melakukan pembenahan ruang kelas dan sarana kerja 4. Melanjutkan kegiatan sertifikasi penilai (kerjasama dengan MAPPI), diklat retooling para pemeriksa yang tidak lulus assessment oleh Biro SDM, dan diklat teknis lain untuk menunjang pelaksanaan pemeriksaan tematik
• •
4. Pusdiklat Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya ternyata Pusdiklat masih menemui beberapa kendala, yakni : • Belum ditetapkannya Jabatan Fungsional Pemeriksa • Belum ditetapkannya Standar Kompetensi untuk Pemeriksa, Penunjang maupun Pendukung • Pembinaan Kompetensi Pemeriksa yang masih Umum • Struktur Organisasi yang belum mengakomodasi kegiatan Pusdiklat • Belum jelasnya kewenangan Pengelolaan Aset Balai Diklat • Keterbatasan kewenangan Pusdiklat dalam melakukan kerjasama • Perubahan portofolio pemeriksaan, terutama yang sifatnya tematik
46
Beberapa hal yang bisa disimpulkan dari Ditama Revbang adalah : 1. Penyerapan anggaran Direktorat EPP dan Direktorat Litbang masih sangat kecil. Direktorat EPP dan Direktorat Litbang agar mengakselarasikan pelaksanaan kegiatannya pada semester II TA 2008. 2. Mengingat Direktorat PSMK, EPP, Litbang, dan Pusdiklat pada semester II TA 2008 akan melaksanakan begitu banyak Kegiatan Strategis maka kepada keempat satker tersebut diharuskan menyusun suatu jadwal rencana kegiatan yang sangat ideal untuk dapat mengorganisasikan seluruh kegiatannya dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia. 3. Khusus untuk Direktorat Litbang agar menyusun suatu skenario yang meyakinkan dimana Direktorat Litbang dapat menyelesaikan seluruh kegiatan inisiatif strategis yang harus diselesaikan Tahun 2008. 4. Khusus untuk Pusdiklat agar dapat menyusun rencana pengembangan pegawai BPK agar disesuaikan dengan kegiatan satker lainnya dan menyusun suatu daftar prioritas yang harus dilaksanakan pada semester II TA 2008 dan TA 2009.
*Disampaikan pada Rapat Kerja Pelaksana BPK RI Tahun 2008
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
Inspektorat Utama
Pengawasan Internal yang Terkonsentrasi
K
eputusan BPK RI No. 39/K/I-VIII.3/7/2007 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia menyebutkan bahwa Inspektorat Utama (Itama) adalah salah satu unsur pelaksana tugas penunjang BPK, yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada BPK melalui Wakil Ketua BPK. Dengan dipimpin seorang Inspektur Utama, Itama mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi seluruh unsure Pelaksana BPK. Fungsi Itama dalam melaksanakan tugasnya adalah: • Perumusan dan pengevaluasian rencana aksi Itama dengan mengidentifikasi indikator kinerja utama berdasarkan rencana implementasi rencana strategis BPK; • Perumusan rencana kegiatan Itama berdasarkan rencana aksi serta tugas dan fungsi Itama; • Perumusan kebijakan pengawasan di lingkungan Pelaksana BPK; • Pelaksanaan pengawasan di lingkungan Pelaksana BPK; • Pemberian pertimbangan aspek-aspek pengendalian intern dalam rangka penyempurnaan sistem dan prosedur kerja; • Pelaksanaan reviu atas konsep Laporan Keuangan BPK; • Pelaksanaan reviu atas sistem pengendalian mutu pemeriksaan; • Penyelenggaraan administrasi Majelis Kehormatan Kode Etik BPK; • Pelaksanaan kegiatan lain yang ditugaskan oleh BPK; • Pelaporan hasil kegiatan secara berkala kepada BPK. Itama terdiri dari Inspektorat I, Inspektorat II, dan Inspektorat III, yang tugas-tugasnya : Inspektorat I : Bertugas melakukan pengawasan di lingkungan Setjen, Staf Ahli Ditama Revbang, Ditama Binbangkum, Itama, AKN I, AKN II, dan Perwakilan BPK RI di wilayah Sumatera. Inspektorat II : Bertugas melakukan pengawasan di lingkungan AKN III, AKN IV, dan Perwakilan BPK RI di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
Inspektorat III :Bertugas melakukan pengawasan di lingkungan AKN V, AKN VI, AKN VII, dan Perwakilan BPK RI di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Menurut Inspektur I, Sri Hartini, dengan adanya Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana BPK RI yang baru, tugas dan fungsi unit kerja Itama lebih terkonsentrasi, tidak tersebar pada berbagai unit kerja sebagaimana terjadi pada organisasi sebelumnya. Tugas dan fungsi Itama seperti yang tercantum dalam Keputuan BPK tersebut cukup ideal, karena telah memuat seluruh unsur tugas pokok dan fungsi unit pengawasan internal secara rinci sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundangan dan lazimnya dalam suatu organisasi pemerintah. Terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan tugas di Itama. Yaitu tugas dan fungsi unit kerja Itama yang menjadi lebih berat dan banyak tugas tak terprediksi. Selain itu, kualitas dan kuantitas SDM belum memadai. Masih banyak SDM yang belum siap menghadapi beban kerja yang lebih berat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kendala lain adalah belum terdapatnya beberapa prosedur kerja (juknis, juklak) yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Itama, serta belum tersedianya SOP. Untuk mengatasi kendala-kendala itu, diadakan pelatihan berkelanjutan yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Itama, serta penyusunan dan penerbitan SOP untuk mengatasi pelaksanaan tugas yang berlaku pada unit kerja Itama agar sistematis, efektif, dan terarah. Upaya lain adalah dengan menambah jumlah SDM sesuai kebutuhan. Selama ini, hal-hal yang sudah dilakukan Itama adalah peningkatan disiplin, independensi dan profesionalisme pegawai; pembagian beban tugas kerja, peningkatan kinerja unit kerja; dan mengoptimalkan SDM yang ada dengan panutan dan arahan pimpinan. Sedangkan hal-hal yang akan dilakukan, menurut Sri Hartini, adalah melaksanakan evaluasi atas pelaksanaan seluruh kegiatan pemeriksaan, penunjang dan pendukung maupun anggarannya, penyusunan sistem dan prosedur kerja, penilaian kinerja perorangan, serta mengembangkan lebih jauh arti budaya kerja dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Masih ada hal-hal yang perlu perbaikan terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Itama. Pertama, kuantitas dan kualitas SDM, kemampuan, keterampilan, dan kompetensi pada unit kerja Itama perlu ditingkatkan. Hal ini 47
mengingat tugas dan fungsi Itama sangat berat. Kedua, Grade dan remunerasi seluruh personil pada Itama perlu ditijau ulang mengingat beban pekerjaan yang berat. Selama ini grade dan remunerasi auditor pada unit kerja Itama ditetapkan lebih rendah dibandingkan dengan auditor pada Auditorat Keuangan Negara untuk pangkat dan golongan serta masa kerja yang sama. Ketiga, perlu pengaturan yang tegas tentang kewajiban dari unit kerja Itama dalam melaksanakan tugas dan fungsi, karena PMP belum dapat mengakomodasi sepenuhnya kepentingan
Itama, termasuk pedoman untuk pelaksanaan pemeriksaan. Keempat, peningkatan disiplin dan integritas pegawai serta sistem dan prosedur kerja. Ditambahkan oleh Sri Hartini, bahwa saat ini optimalisasi SDM dipandang perlu karena kualitas SDM di Itama belum memenuhi. Itama masih sangat membutuhkan SDM yang berkualitas dan lebih profesional, terutama dalam bidang-bidang tertentu, seperti laporan keuangan, bidang konstruksi (teknik sipil/arsitektur), bidang hukum, dan kesekretariatan.
Pengelolaan SDM Berbasis Kompetensi
D
alam pengelolaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi, diperlukan kompetensi yang penting nilainya bagi perkembangan organisasi tersebut. Hal ini disebabkan oleh: 1. Perbedaan-perbedaan yang terkait langsung dengan karakteristik tertentu atau kompetensi yang terdapat pada seseorang yang berkinerja sangat baik, seringkali tidak terlihat/jarang terlihat pada pekerja dengan kinerja rata-rata. 2. Cara yang paling baik untuk mengetahui karakteristik-karakteristik yang terkait dengan kinerja tinggi di suatu posisi yaitu dengan mempelajari “top performers” 3. Di setiap posisi, terdapat beberapa atau sekelompok orang yang berkinerja lebih baik dan efektif dibandingkan rekan kerja yang lain. Orang-orang ini memiliki karakteristik dan pendekatan yang berbeda dari rekan kerjanya yang kinerjanya biasabiasa saja. Perbedaan Kompetensi Teknis dan Kompetensi Perilaku Kompetensi Teknis Pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman Diperoleh dari sekolah, Perguruan Tinggi, lingkungan kerja dan program training lainnya Lebih mudah untuk dibangun Lebih mudah untuk diakses (seperti tes tertulis, traditional interview, on-job assessment, job monitoring) Diperlukan untuk melakukan pekerjaan dengan benar, misalnya ketrampilan mengetik dibutuhkan oleh juru ketik. Kompetensi Perilaku Karakter, Attitude, Traits, Motivasi, Nilai-nilai Dibangun sejak lahir, kanak-kanak dan dewasa Sulit untuk dibangun, butuh waktu Beberapa kompetensi lebih sulit dibangun Membutuhkan keahlian khusus untuk mengetahui 48
kompetensi yang dimiliki oleh seseorang Kompetensi ini berperan penting dalam mendukung kinerja jangka panjang Seseorang dengan kompetensi perilaku yang bagus akan lebih mudah dibangun kompetensi teknisnya. Berperang penting dalam menghasilkan kinerja yang prima Landasan pentingnya standar kompetensi di BPK RI UU No 43/1999 tentang kepegawaian menyatakan bahwa setiap pemangku jabatan harus memenuhi kompetensi jabatan yang dipersyaratkan Renstra BPK 2006-2010 tentang profesionalisme SDM menetapkan bahwa penempatan pegawai didasarkan pada kompetensi tertentu yang telah ditetapkan Kode Etik. Pemeriksa wajib memutakhirkan, mengembangkan, dan meningkatkan kemampuan profesionalnya dalam rangka melaksanakan tugas pemeriksaan. Penggunaan dan Faktor Sukses Penerapan Standar Kompetensi Penggunaan Stankom yang telah dilakukan adalah: perekrutan dan seleksi pegawai, asessment pegawai (asessment terhadap 578 ketua tim th 2007 dan Juli 2008, 461 anggota tim), Assessment center, rencana pengembangan individu, kurikulum dan modul diklat, dan pemberian insentif (remunerasi). Sedangkan faktor suksesnya ditunjukkan dengan kejelasan strategi pemeriksaan, struktur organisasi yang align dengan strategi, komitmen penggunaan hasil assessment, dan validasi yang dilakukan secara periodik. Assessment adalah salah satu bagian dari sistem manajemen SDM yang diterapkan guna mendukung terciptanya SDM yang kompeten dan profesional. “Assessment Center” bukanlah suatu tempat, namun merupakan teknik evaluasi kemampuan dan kompetensi ganda. Dimana proses “AssessNO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
ment Center” ini terdiri dari beragam teknik melihat aspekaspek kritikal di dalam diri kandidat. Metode-metode yang digunakan adalah tes tertulis, wawancara, simulasi terkait dengan pekerjaan, dan dapat juga didukung dengan menggunakan kuesioner. Landasan pentingnya assessment center adalah: UU No 43/1999 tentang kepegawaian menyatakan bahwa setiap pemangku jabatan harus memenuhi kompetensi jabatan yang dipersyaratkan Renstra BPK 2006-2010 tentang profesionalisme SDM menetapkan bahwa penempatan pegawai didasarkan pada kompetensi tertentu yang telah ditetapkan Kode Etik Pemeriksa wajib memutakhirkan, mengembangkan, dan meningkatkan kemampuan profesionalnya dalam rangka melaksanakan tugas pemeriksaan Reformasi Birokrasi Baperjakat Membekali Tim Baperjakat dengan instrumen yang
dapat digunakan untuk mengevaluasi sejauhmana calon pejabat memenuhi kualifikasi jabatan Manfaat dari adanya assessment center, organisasi dapat: Mendapatkan gambaran kualitas SDM secara akurat, namun juga efektif dan efisien Memberikan masukan yang berarti untuk menentukan kebutuhan pelatihan dan pengembangan individu. Hasil AC terukur dan mudah dianalisa, sehingga dapat digunakan untuk mencocokkan antara kompetensi jabatan yang dipersyaratkan dengan kompetensi individu (profile match up process) Perlu diperhatikan bahwa hasil assessment center bukan satu-satunya penentu dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan SDM Harus dilakukan validasi terhadap hasil assessment center dan dilakukan secara berkala untuk meningkatkan efektivitas dan akurasi. Selain itu diperlukan komitmen dan dukungan dari pimpinan, konsistensi kebijakan, serta pemenuhan SDM untuk pengelolaan assessment center.
MENEROPONG KEBERADAAN BIRO UMUM
P
ernahkan terlintas dalam benak Anda, sebuah organisasi besar harus melakukan berbagai kegiatannya tanpa adanya dukungan sarana dan prasana yang memadai? Pernahkah kita mencoba membayangkan apa yang akan terjadi apabila saat ini kita bekerja tanpa didukung peralatan komputer, seperangkat meja kursi yang memadai, dan lingkungan kerja yang nyaman? Tentu kita tak ingin semua itu terjadi, dan sepakat bahwa pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana penunjang sangat penting artinya bagi kita dalam melaksanakan tugas perkantoran. Sebuah organisasi besar yang telah mempunyai fungsi, tugas, dan peran strategis tak cukup didukung oleh sistem kerja yang baik dan sumber daya manusia yang andal. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana harus berdiri sebagai sebuah sub sistem yang menunjang keseluruhan sub sistem yang ada. Profil Menempati beberapa ruang di gedung arsip lantai satu Kantor Pusat BPK RI, Jakarta, Biro Umum telah menjadi bagian yang menyatu dari BPK RI. Bagi sebagian orang, keberadaan Biro Umum terkadang ditempatkan sebagai sebuah unit yang “kurang diperhitungkan”. Berbagai persepsi yang kurang bersahabat pun terkadang sering terdengar terNO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
hadap keberadaannya. Namun semua itu tak menyurutkan semangat kerja para pegawainya. Dipimpin seorang kepala, Biro Umum, mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan sarana dan prasarana, serta pelayanan umum di lingkungan BPK RI. Melihat organisasi BPK yang begitu besar serta sedang berkembang ini, tentu bukan hal yang mudah bagi Biro Umum dalam melaksanakan tugasnya. Tanggung jawab dalam penyediaan dan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana, pencatatan dan inventarisasi aset, pemeliharaan dan perawatan aset, serta pengelolaan dokumen adalah gambaran tugas yang harus diemban Biro Umum saat ini. Dalam struktur organisasi BPK, Biro Umum adalah unit kerja eselon II yang secara struktur berada di bawah Sekretariat Jenderal. Kepala Biro Umum dibantu oleh empat Kepala Bagian, yaitu Kepala Bagian Perlengkapan, Kepala Bagian Pemeliharaan, Kepala Bagian Pengelolaan Dokumen, dan Kepala Bagian Rumah Tangga. Bagian Perlengkapan mempunyai tugas melaksanakan pengadaan, pendistribusian barang, serta proses inventarisasi dan pencatatan aset. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bagian Perlengkapan terdiri dari tiga Sub Bagian, yaitu Sub Bagian Pengadaan, Sub Bagian Penyimpanan dan Pendistribusian, serta Sub Bagian Analisis Kebutuhan dan Inventarisasi. 49
Kegiatan pengelolaan Barang Milik Negara (BMN), dilakukan oleh Sub Bagian Analisis Kebutuhan, Inventarisasi dan Penghapusan (AKIP) yaitu dengan melakukan analisis kebutuhan disertai cek fisik, opname barang dan inventarisasi. Tujuannya adalah agar mendapat informasi lebih lengkap mengenai kuantitas dan kualitas yang ada serta barang yang diperlukan oleh unit-unit di lingkungan BPK. Tugas lain yang dimiliki oleh bagian perlengkapan adalah melaksanakan kegiatan pengadaan keperluan sehari-hari perkantoran, inventaris kantor, bahan cetak, bahan komputer, dan lain-lain. Tugas ini dilakukan oleh Subbag Pengadaan. Adapun tugas untuk mendistribusikan barang-barang tersebut dilakukan oleh Subbagian Penyimpanan dan Pendistribusian. Biro Umum juga melaksanakan tugas pemeliharaan asetaset BPK RI. Tugas ini didelegasikan kepada satu unit baru setingkat eselon III yaitu bagian pemeliharaan, dibantu oleh dua Kepala Subbagian yaitu Kepala Subbagian Pemeliharaan Rumah Dinas dan Gedung Kantor serta Kepala Subbagian Pemeliharaan Kendaraan dan Barang Inventaris. Berbagai kegiatan yang menyagkut perawatan, perbaikan dan rehabilitasi baik untuk gedung kantor, kendaraan dinas, peralatan kantor dan aset lainnya, menjadi tanggung jawab kedua subbagian tersebut. Fungsi lain Unit eselon III lain yang berada di Biro Umum adalah Bagian Rumah Tangga. Sesuai dengan nomenklatur dari unit tersebut, Bagian Rumah Tangga mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam kerumahtanggaan BPK RI. Dikepalai oleh seorang kepala bagian, saat ini Bagian Rumah Tangga membawahi enam unit eselon IV. Termasuk dalam urusan
50
kerumahtanggaan adalah antara lain pemeliharaan kebersihan gedung dan halaman kantor, pengurusan layanan daya dan jasa, koordinasi satuan pengamanan gedung dan aset lainnya, penyiapan kendaraan operasional kantor/dinas. Selain itu, menjadi bagian tugas kerumahtanggaan pula adalah kegiatan pengelolaan administrasi dan kesekretariatan Sekjen, Kepala Ditama Binbangkum, Kepala Ditama Revbang, dan Irtama. Keseluruhan tugas-tugas tersebut dilaksanakan oleh Subbag Penyiapan Sarana dan Prasarana, Subbag Transportasi dan Pengamanan, Subbag Set Sekjen, Subbag Set Kaditama Binbangkum, Subbag Set Kaditama Revbang, serta Subbag Set Irtama. Masih terdapat satu fungsi lain pada Biro Umum, yang merupakan unsur penunjang strategis, yaitu dalam hal pengurusan perjalanan dinas Pimpinan, Pejabat dan Pegawai, penyelenggaraan kearsipan termasuk pemilahan dan pendeskripsian arsip inaktif, penggandaan dan pendistribusian HAPSEM ke departemen/lembaga/instansi, serta perwakilan BPK RI melalui kurir dan Pos. Pelaksanaan tugastugas tersebut diemban oleh Subbagian Surat dan Perjalanan Dinas, Subbagian Pengelolaan Arsip serta Subbagian Penggandaan dan Pencetakan. Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, Biro Umum terkadang menghadapi berbagai kendala. Pemetaan ruang kerja bagi unit-unit yang saat ini belum ideal, dikarenakan tempat yang terbatas, menjadi salah satu kendala yang saat ini dihadapi Biro Umum, diharapkan dengan selesainya pembangunan gedung baru yang terletak di belakang Gedung Umar Wirahadikusumah, masalah pemetaan ruang kerja dapat diatasi dan para pegawai di lingkungan BPK RI Pusat dapat bekerja dengan nyaman.
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
GENDIT
GENDIT KEDINGINAN Oleh: Cris Kuntadi, MM, BAP
B
erbagai perasaan bercampur di Auditorium Gedung Umar Wirahadikusuma (UWK) saat pelantikan pejabat Eselon II, III, dan IV. Yang promosi tentunya bahagia karena terbayang kekuasaan dan penghasilan lebih besar. Tetapi, harus diingat bahwa amanah itu akan diminta tanggung jawabnya dunia akhirat. Yang mutasi ada yang bahagia dan ada juga yang sedih. Bahagia karena dapat menikmati tour of duty pada unit kerja lain. Sedih, karena harus meninggalkan pekerjaan yang telah digelutinya beberapa waktu. Ada juga yang sedih karena penghasilan dan gradenya tidak naik. Bisa juga sedih karena berpisah dengan auditee yang ‘sangat akrab’ dengannya. Selesai pelantikan, seorang pejabat yang bertugas gawangi aset BPK, sebut saja pak Mono, bertanya: “Gimana perasaan Gendit saat disumpah menjadi Kepala Sub Auditorat II.B.2?” “Wuihh... dingiiin banget pak dhe.” Jawab Gendit yang biasa memanggilnya dengan ‘pak dhe’ karena memang usianya lebih tua dibanding dirinya. Meski demikian, diakui bahwa beliau jauh lebih terlihat muda dibanding usianya, mungkin karena hatinya tidak pernah dengki. “Kok dingin sih. Apakah sumpah yang dibacakan Pak Sekjen begitu merasuk dalam sanubari? Atau sedih banget karena harus meninggalkan Humas?” Selidik Pak Mono yang selalu melihat Gendit begitu enjoy sebagai “humas”-nya BPK. “Bukan pak, AC-nya ini lho duingiinn nian. Gak tahu, berapa suhu AC di sini. Saya sudah memakai pakaian sipil lengkap (PSL) saja masih kedinginan,” jawab Gendit dengan dialek Palembangnya. “AC-nya di-setting 18 derajat Ndit. Ini permintaan pejabat tinggi. Beliau sudah terbiasa pada suhu dingin di luar negeri. Maklum, beliau sangat sering pergi ke luar negeri.” Pak Mono yang selalu berambut cepak menjelaskan alasan setting AC central di gedung UWK dan gedung Arsip.
“Ini yang disebut tidak tahu program penghematan energi. Pan kita diminta Pemerintah & PLN untuk hemat energi biar hemat biaya. Sudah diimbau agar setting temperatur AC cukup 24 derajat saja sehingga konsumsi listriknya lebih hemat. Kalau memang ada permintaan seseorang, mestinya tidak mengabaikan kepentingan umum dong. Temperatur dari AC central dibuat 24 derajat dan untuk pejabat tertentu yang membutuhkan suhu dingin, dipasangkan AC split. Gitu dong.” Gendit sewot dengan penjelasan pak Mono. “Lho kok sewot ke saya sih. Kamu tuh mestinya bersyukur bisa berada di ruangan yang sejuk, tidak seperti pegawai lain di daerah yang listrik saja tidak ada.” Keeper futsal setiap pertandingan eksekutif BPK menjawab lebih sewot. “Ya maaf deh pak dhe, saya cuma mau mengingatkan program reduce (Red: mengurangi), re-use (Red: menggunakan kembali), dan recycle (Red: mendaur ulang) yang didengung-dengungkan Ditama Revbang. Saya kok melihat para pejabat dan pegawai pada acuh tak acuh dengan imbauan tersebut. Padahal kita mesti mengurangi penggunaan energi (reduce) dengan menambah suhu AC. Ada lagi pegawai yang untuk naik/turun satu lantai saja, naik lift. Padahal, kalau mereka mau naik/turun satu/dua lantai kan bisa lewat tangga saja sehingga hemat dan menyehatkan.” Gendit menjelaskan. “Ya maklum lah mas, namanya juga orang kampung. Di kampungnya gak ada lift sehingga selalu memanfaatkan lift meskipun hanya naik/turun satu/dua lantai. Padahal, tagihan listrik kita selalu meningkat dan sangat besar. Kita sebetulnya kepingin mencontoh Departemen Pertanian yang katanya dapat menghemat listrik sampai dengan 40%.” Pak Mono juga mulai memahami kebutuhan hemat energi. “Ya iyalah pak, masa ya iya dong. Menteri Pertaniannya kan orang berpendidikan dan juga sangat paham akan makna peng-
NO 113/Juli 2008 - Agustus 2008/Tahun XXVIII
hematan. Beliau tahu bahwa mubadzir itu perbuatan setan.” Gendit menimpali. “Lho, jadi mereka termasuk setan juga dong, orang-orang yang suka membiarkan komputer nyala padahal tidak dipakai, meninggalkan komputer hidup/stand by padahal ditinggal pulang. Itu kan kemubadziran. Wah-wah.. kayaknya humas perlu mensosialisasikan program hemat energi nih, biar orang-orang di BPK tidak digolongkan menjadi setan atau temennya setan.” Pak Mono mendapat ide bagus. “Ya saya pikir, jangan langsung gitu dong pak dhe. Kita apresiasi dan imbau saja pegawai agar mau berhemat untuk kantor. Mematikan lampu jika tidak terpakai. Rasulullah saja menegur sahabatnya yang berwudlu dan mandi di sungai secara berlebihan. Padahal di sungai yang airnya mengalir lho. Berarti, siapa yang bisa berhemat, akan mendapat pahala dari Allah SWT.” Gendit memberikan dalil. “Nah kalau satu program saja dijalankan, reduce, maka akan banyak penghematan yang diperoleh. Apalagi kalau program re-use juga dilakukan. Misalnya, dengan menggunakan kembali kertas yang baru dipakai satu muka untuk membuat konsep laporan/surat. Insya Allah kita akan menjadi orang-orang yang dikasihi dan disayangi Allah, karena tidak meniru syetan melakukan kemubadziran. Semoga menambah poin kita dalam menggapai syurga ya.” Gendit menambahkan. “Berarti, Kepala Bagian saya yang minta tembusan 3 lembar (untuk masing-masing Kepala Sub Bagian) untuk satu nota dinas (ND) permintaan meja komputer, boros juga yah? Mestinya kan unit kerja lain cukup mengirimkan satu lembar ND untuk pejabat yang dituju, lalu dia mendisposisi untuk bawahannya.” Pak Mono jadi teringat akan pemborosan yang dilakukan di lingkungannya. “Silakan .... Pacak-pacaknya pak dhe sajalah.” Jawab Gendit mengakiri pembicaraan. 51