05
hukum & ham Reformasi Peradilan Militer
politik
10
Tentara & Peristiwa G30S
ekonomi & bisnis 12Problematika Anggaran Pertahanan
berita rakyat uk t n U
• SEMUA HARUS DIKABARKAN •
D ir g a h a y u TNI
Strategi Pertahanan masih Warisan Lama
DEMONSTRASI atas bebasnya terdakwa pelanggaran HAM berat Kasus Tj. Priok 1984 di depan Gedung Mahkamah Agung, 2004
TNI masih Kebal Hukum SATU persatu petinggi militer yang dituntut pidana lolos dari jerat hukum. Atas kondisi ini, pemerintahan SBY-JK belum melakukan langkah serius untuk mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran berat HAM. Padahal penindakan pelanggaran HAM berat masuk dalam prioritas 100 hari pemerintahannya. Kini, dua tahun sudah berlalu. Paska 1998, keputusan Pemerintah dan DPR menerbitkan Undangundang (UU) No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ketentuan normatif ini tidak serta merta mendorong penegakkan HAM di Indonesia semakin membaik. Pengungkapan berbagai kasus pelanggaran HAM berat belum menemukan titik terang. Kendati kemudian pemerintah membentuk dua pengadilan HAM Ad Hoc dan satu pengadilan HAM permanen, kesemuanya gagal sebagai mekanisme penegakan keadilan. Dari monitoring kelompok organisasi HAM, kegagalan mekanisme Pengadilan HAM tersebut salah satunya adalah disebabkan oleh re-
sistensi dari institusi militer. Resistensi ini tidak hanya dapat dilihat saat Pengadilan HAM digelar, namun juga pada keseluruhan prosesnya, khususnya dari proses investigasi. Kasus Timor Timur Pengumuman hasil jajak pendapat yang memastikan pilihan pemisahan Timor Timur dari Indonesia pada 4 September menjadi titik awal serangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan aparat militer Indonesia bersama-sama dengan barisan milisi pro-integrasi. Tindak kekerasan tersebut telah memicu lahirnya Resolusi 1272 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada 25 Oktober 1999 yang mengutuk segala tindak kekerasan yang tekah terjadi dan menuntut agar pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam aksi kekerasan tersebut harus diadili. Menanggapi Resolusi DK PBB tersebut, Pemerintah Indonesia berbekal UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
menugaskan Komisi Nasional (Komnas) HAM melakukan penyidikan terhadap dugaan pelanggaran berat HAM paska jajak pendapat tersebut. Komnas HAM selanjutnya membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Timor Timur sebagai instrumen kerja untuk penyelidikan kasus tersebut. Dalam laporan yang disampaikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti proses hukumnya, KPP HAM menyebutkan sejumlah nama Jenderal yang diduga kuat terlibat. Kejaksaan Agung kemudian menidaklanjuti dengan ‘hanya’ membawa beberapa nama perwira menengah yang bertugas di lapangan dan sipil ke pengadilan, bukan pada level pimpinan yang bertanggungjawab langsung. Sebagaimana sudah diperkirakan sebelumnya, pengadilan HAM Ad Hoc kasus Timor Timur membebas seluruh terdakwa, kecuali dua orang sipil asal Timor Timur, yaitu Mantan Gubernur Timor Timur, Abilio Jose Soares dan panglima milisi pro-
Kredit Ekspor Alutsista Bermasalah JAKARTA, Penelitian International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Pacivis menemukan bahwa masalah klasik yang muncul untuk mengembangkan kekuatan pertahanan Indonesia adalah minimnya anggaran belanja pertahanan Indonesia. Di tahun 20002004, anggaran pertahanan Indonesia ratarata hanya menyerap 0.85% dari Produk
Domestik Bruto (PDB) atau rata-rata hanya 3.8% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pemerintah hanya dapat menyediakan rata-rata 74,12% kebutuhan pertahanan. Porsi terbesar alokasi anggaran pertahanan adalah anggaran rutin. Anggaran pembangunan yang terkait langsung dengan pemeliharaan dan pengembangan alutsista untuk tahun 2000-2004 hanya
Bersambung ke Hal 4
JAKARTA, Strategi pertahanan berbasis di darat adalah strategi warisan lama. Dephan sudah merencanakan strategi pertahanan berbasis pada kondisi geografi laut. Walaupun trimatra terpadu tapi heavy nya tetap harus ke aspek maritim. Pendapat itu disampaikan Dirjen Strategi Pertahanan Dephan, Mayjend (TNI) Dadi Susanto menjawab pertanyaan seorang perempuan aktivis Rahma dari Sulawesi Barat, propinsi terbaru Indonesia. Rahma mengatakan, arah strategi pertahanan Indonesia seharusnya berbasis laut sesuai kondisi geografis Indonesia. Sebab yang luas adalah wilayah laut, tapi kenapa strategi pertahanan yang ada di Indonesia justru Angkatan Darat yang lebih banyak. Dadi menjelaskan, tidak bisa satu batalyon misalnya bergerak sendiri kecuali dalam kasus tertentu untuk membantu pemerintah daerah atau polisi. Itupun ada pengaturannya. “Prinsip dasarnya, TNI tidak boleh bergerak tanpa ada otoritas politik, karena senjatanya tentara itu untuk mematikan. Kalau senjata polisi untuk melumpuhkan. Jadi kalau tentara diterjunkan, pikirannya tentara dilatih untuk membunuh” ujarnya. Namun demikian, menurut Dadi, ke depan AD konsepsinya adalah pertahanan pulau-pulau besar. Dari aspek laut seperti pak Habibie bilang bahwa Indonesia itu benua bahari. Jadi cara pandangnya, pulau terluar, benua bahari sama dirgantara yang satu harus kita padukan. Trimatra terpadu tapi heavy nya ke AL karena nasib kita, makanan kita, revenue kita itu banyak dari laut. Saya setuju dengan sebutan pulau terluar menjadi pulau terdepan, dan memang penanganannya gampang-gampang sulit. Sementara Edy Prasetyono menyatakan, setidaknya ada beberapa empat faktor mengapa strategi pertahanan masih didominasi Angkatan Darat. Pertama, sejarah yang selalu dilihat bahwa dulu saat pertempuran kemerdekaan banyak sekali sistem peperangan yang kita lakukan, yang kemudian membentuk daerah-daerah yang independen. Itu dianggap sebagai suatu sistem yang diwarisi sampai sekarang. Kedua, karena sejarah perpolitikan Indonesia begitu panjang, sebelum 1965 sampai 1980an, dimana AD begitu kuat baik dari segi militer dan politik, hampir di semua lapis birokrasi militer yang menjabat. Ketiga, karena sumber daya terbatas maka dianggap pengembangan kekuatan darat adalah yang paling murah. Dari segi ekonomi memang betul dalam artian membeli perlengkapan darat dibanding perlengkapan laut dan udara. Tapi kemudian kita lihat efek cost nya berapa besar, jadi keterlibatan AD dalam politik yang membuat ekonomi stagnan, tidak berdasar prinsip ekonomi, ini kan juga harus dihitung sebagai suatu biaya, kerugian yang diakibatkan oleh strategi seperti itu. Keempat, karena persepsi mengenai ancaman tidak hanya diukur dari militer yang begitu kental persepsi politiknya. Selalu menyatakan ancaman kita itu internal, sehingga yang dianggap paling pas adalah pengembangan kekuatan darat. Kalaupun ancaman internal itu betul maka itu sebetulnya tidak bisa dijadikan dasar pengembangan. Ini yang saya kira Departemen Pertahanan melakukan revisi Strategic Defense Review (Kajian Strategis Pertahanan).
mendapat alokasi rata-rata 35% dari total anggaran pertahanan. Kondisi ini menyebabkan Pemerintah Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan proses arms build-up dan hanya mampu memberikan prioritas kepada program arms maintainence yang diarahkan untuk memelihara alutsista yang sudah ada atau untuk mengganti alutsista yang sudah habis usia pakainya. Program arms maintaneince ini tampak dari penetapan sasaran program pengembangan pertahanan negara yang tertuang dalam RENSTRA 2000-2004 yang meliputi: (1) perpanjangan usia pakai alutsista; (2) pengadaan alutsista baru atau rehabilitasi alut-
sista ditujukan hanya untuk kepentingan pengadaan materiil operasi; serta (3) pengadaan sarana komunikasi untuk meningkatkan komando pengendalian (Kodal) di Mabes TNI dan satuan-satuan tempur TNI. Pelaksanaan program arms maintainence memberikan indikasi kuat bahwa implementasi RENSTRA 2000-2004 tidak akan secara signifikan meningkatkan kekuatan postur pertahanan Indonesia. Posisi alutsista Indonesia di tahun 2004 tidak secara signifikan berbeda dengan posisi alutsista di tahun 2000. Posisi postur pertahanan untuk matra darat, laut, dan udara juga tidak
Bersambung ke Hal 6 EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
02 Redaksi : Pemimpin Redaksi : Usman Hamid Wakil Pimpinan Redaksi : Poengky Indarti dan Rafendi Djamin Redaksi Pelaksana : Nawawi Bahrudin Anggota : Mufti Makarim, Moch Ridha saleh, Siti Maemunah, Al Araf, Edwin Partogi, Erwin Maulana, Papang Hidayat, Stanley, Roman N.Lendong, Antarini P.Arna, Donny Ardyanto, Beni Sukadis, Muradi Alamat Redaksi : Jl.Mampang Prapatan XI No.23 Jakarta Selatan 12790 Telp (62-21) 79196721-22 Fax (62-21) 7941577 email :
[email protected] Lembaga Pendukung : INFID Imparsial KontraS HRWG Propatria Lesspersi ICW The Ridep Institute ISAI Visi Anak Bangsa Yayasan Pemantau Hak Anak Walhi LBH Jakarta IDSPS YLBHI KASUM
Salam Redaksi SUDAH delapan tahun Indonesia berada dalam era reformasi. Sebuah era baru pasca Orde Baru yang lahir karena pergulatan politik. Pergulatan yang terjadi dalam dimensi nasional dan internasional. Di dalamnya, terdapat pergulatan kepentingan ekonomi politik global dan domestik, yang tak lepas dari basis konteks sejarah masa lalu. Sejarah berdirinya Republik Indonesia hingga saat ini. Jadilah ia kini, re-formasi. Mulai dari reformasi politik, ekonomi, hingga pertahanan dan keamanan. Termasuk di dalamnya reformasi tentara. Tak terasa, perjalanan itu telah memasuki waktu delapan tahun lebih. Sewindu. Lembar kabar yang kita pegang ini adalah sekilas catatan tentang perjalanan penghapusan Dwifungsi ABRI (kini TNI). Dwifungsi ini dulu akrab dalam setiap nafas gerakan mahasiswa dan kalangan rakyat lainnya. Akrab karena apa yang disebut dwifungsi ABRI telah membekas dalam ingatan rakyat. Ingatan akan praktek politik yang ekspansionis dan banal. Yang mengorbankan banyak nyawa dan harta rakyat kecil. Tak ada kebebasan rakyat. Yang ada adalah keharusan untuk tunduk pada penguasa. Lembar ini sengaja dibuat untuk menyiarkan kepada rakyat tentang apa yang perlu kita ketahui lebih jauh. Bukan sekadar untuk tahu. Tapi juga sebagai dasar untuk bertindak, memperjuangkan apa yang menjadi hak rakyat. Lembar ini ingin mencoba menggambarkan apa yang ada dalam perbincangan kita sehari-hari. Tentu tidak semua bisa tergambar. Tapi setidaknya kita bisa membahas soal penghapusan peran tentara dalam politik, bisnis dan pertahanan. Bidang terakhir ini seharusnya menjadi kompetensi utama militer. Tapi kenyataan berbicara lain. Keterlibatan tentara sebagai pelaku politik dan pelaku ekonomi di masa lalu tak mudah untuk dihapuskan begitu saja. Ada banyak sebab. Salah satunya, memang sejak dulu tentara ingin membangun otonomi dirinya sendiri. Otonomi dari kontrol dan kendali sipil. Sipil bukan berarti hanya berada dalam kekuasaan pemerintahan sipil. Tapi watak kekuasaan itulah yang seharusnya mencerminkan sekaligus melahirkan kebijakan-kebijakan negara yang berpihak pada kepentingan rakyat sipil. Kepentingan rakyat untuk keadilan, dan kemakmuran. Bukan kepentingan segelintir elite sipil, apalagi elite militer. Apakah perjalanan delapan reformasi membawa perubahan berarti bagi kehidupan rakyat yang lebih baik? Selamat membaca...
Tantangan Reformasi TNI PENANDATANGANAN Undang-undang Apropriasi HR 3067 oleh Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush pada 14 November 2005, menandai babak baru hubungan militer AS-RI. AS memutuskan mencabut embargo atas Indonesia. Pencabutan embargo ini tidak permanen dan akan dievaluasi setiap tahun. Meski begitu, ini tetap bisa dilihat sebagai peluang Indonesia untuk memperbaiki apa yang pada militer kita. Pendidikan, pelatihan, pengadaan suku cadang alat-alat dan sistem persenjataan. Pemberlakuan embargo selama ini telah membuat kekuatan perlengkapan dan persenjataan modern militer kita berkurang. Kemampuan teknis militer juga nyaris tak meningkat berarti. Melihat konteks hari ini, keputusan AS mencabut embargo ini tak terlepas dari konteks politik keamanan global yang berubah. Dulu, embargo dijatuhkan karena alasan peran militer dalam pelanggaran HAM, yang dipicu peristiwa Santa Cruz, di Timor Timur pada November 1991. Tujuh tahun pasca reformasi, tekanan ini menguat. Pemicunya, lagi-lagi kekerasan militer di Timor Timur. Tapi hari ini, AS melihat Indonesia bisa digunakan sebagai sekutu utama war on terror pemerintahan Bush. Sebentar lagi, pencabutan embargo memasuki tahap evaluasi tahun pertama. Banyak faktor tentu menjadi penentu. Termasuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dan reformasi sektor pertahanan. Banyak kalangan pesimis jika evaluasi ini akan memberi pengaruh besar bagi koreksi atas pelanggaran HAM masa lalu. Kepentingan AS dalam memerangi terorisme telah memicu pola resistensi baru terhadap upaya koreksi atas sepak terjangnya di masa lalu. Buat kita itu tidak penting. Soal koreksi peran militer di masa lalu tak perlu ada tekanan luar. Yang diperlukan adalah kesadaran politik kita untuk menyelesaikan berbagai agenda perubahan. Mengakhiri peran tentara dalam bidang politik, ekonomi dan bidang-bidang lain di luar sektor pertahanan. Termasuk kesadaran untuk merubah kultur militer sendiri. Tanpa itu, maka kita akan sulit untuk membangun TNI yang benar-benar profesional.
Suara Pembaca Selamat atas terbitnya Koran Berita Rakyat yang diinisiasi sekelompok aktivis yang selama ini memiliki perhatian khusus pada reformasi sektor keamanan. Semoga ini dapat memperluas komunitas sipil yang memahami soal-soal keamanan yang menjadi salah satu prasyarat suksesnya reformasi keamanan (Don.K.Marut, Direktur Eksekutif INFID). Selamat atas terbitnya Koran Berita Rakyat, semoga koran ini dapat menjadi sumber alternative berita yang lebih jujur, lugas dan terpercaya untuk reformasi sektor keamanan. (Rusdi Marpaung, Managing Director Imparsial) Selamat atas terbitnya Koran Berita Rakyat, koran ini telah mempotret capaian reformasi sektor keamanan dan agenda ke depan yang mendesak dilaksanakan untuk mewujudkan tentara professional. (Sri Yunanto, Direktur Eksekutif IDSPS) Selamat atas terbitnya Koran Berita Rakyat, Semoga koran ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam mensukseskan reformasi sektor keamanan di Indonesia. (Danang Widoyoko, Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW) Selamat atas terbitnya Koran Berita Rakyat, koran ini telah berhasil menyajikan fakta dan analisis yang tajam dan akurat dalam membahas persoalan reformasi sektor keamanan. (Patra M.Zen, Ketua Dewan Pengurus YLBHI). EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
hukum & ham
03
Mimpi Buruk Anak-Anak Korban Konflik Bersenjata Oleh Antarini Arna Direktur Eksekutif Yayasan pemantau Hak Anak “….Ayah dibunuh, abang diambil, sampai hari ini aku tak tahu apa salah mereka…”. (Bima, 17, Aceh)
akhirnya harus bekerja sebagai penghibur, dan dilacurkan. “...kadang-kadang aku melihat mayat orang tergeletak di jalan, aku langsung lari ke rumah dan nggak jadi pergi sekolah. Kalau teringat mayat, aku nggak bisa tidur....” (Melati, 15 tahun, Aceh). Operasi militer yang dilakukan pada desa tertentu sering berakhir dengan terbunuhnya target operasi ataupun pelaku operasi. Sayangnya, hitungan korban selalu di dasarkan pada banyaknya orang yang mati. Sedangkan anak-anak seperti Melati dan entah berapa lagi banyaknya yang mengalami ganguan tidur sampai hari ini tidak pernah di hitung sebagai korban. Penelitian tentang dampak konflik bersenjata terhadap anak-anak Aceh belum pernah di lakukan serius. Yang jelas, trauma psikologis yang dialami anak-anak ini menghambat proses tumbuh kembang mereka. Rasa takut dan tertekan yang berkepanjangan setiap kali melihat figur militer masih dialami oleh anak-anak Aceh hingga hari ini. Seperti yang dinyatakan oleh Adi, 14 tahun. “...aku lebih takut pada TNI daripada tsunami...” Perlindungan anak masa konflik Hukum perang (International Humanitarian Law) menempatkan anak dalam kategori subyek khusus yang harus di lindungi dalam konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata internal. Protokol I Konvensi Geneva tahun 1977 menegaskan bahwa anak adalah kelompok yang harus di jaga kehormatannya dan dihindarkan dari serangan yang tidak pan-
tas. Kata kehormatan disini menunjuk pada martabat kemanusiaan anak. Ketentuan Pasal 77 (1) ini juga menjamin perlindungan bagi anak dari eksploitasi sexual, baik dengan cara coersive dan non-coersive yang memanfaatkan posisi rentannya. Sementara Protokol II Konvensi Geneva memberikan jaminan perlindungan khusus bagi anak berupa perawatan dan bantuan berupa pendidikan serta fasilitas yang memungkinkan mereka berkumpul kembali dengan orang tua dan keluarganya, jika mereka terpisah. Selain itu, Pasal 39 Konvensi Hak Anak (1989) mewajibkan Negara untuk melaksanakan jaminan pemulihan fisik dan psikologis serta reintegrasi sosial bagi anakanak korban konflik bersenjata. Dengan ketentuan ini, negara harus melakukan segala usaha untuk terpenuhinya hak pemulihan bagi anak-anak Aceh. Usaha pemulihan harus dimulai dengan pemetaan yang serius yang meliputi jumlah anak korban, tingkat traumatis yang dialami, dan kebutuhan spesifik tiap-tiap kelompok anak korban. Mobilisasi tenaga ahli dan pendamping anak diperlukan selama proses pemulihan yang panjang ini. Demikian pula alokasi anggaran memadai hingga tercapai derajad pemulihan yang di kehendaki. Kerusakan fisik dan non fisik yang terjadi pada anak akibat konflik bersenjata seharusnya menjadi peringatan bagi pembuat kebijakan termasuk pemimpin militer suatu negara untuk berpikir ulang dalam memutuskan kebijakan darurat militer, dan invasi militer. Lebih dari itu, negara harus mengatur dan membatasi peran militer di masa damai.***
•dok.imparsial
KONFLIK bersenjata selalu meninggalkan generasi yang terluka. Banyak pertanyaan yang tidak terjawab, karena kebenaran di sembunyikan, dan keadilan di kaburkan. Dalam konflik internal, tidak pernah ada batas yang jelas antara zona perang dan zona damai. Hal ini membuat anak-anak terperangkap dalam situasi konflik baik sebagai korban maupun sebagai partisipan (bagi anak-anak yang direkrut oleh pihak yang berperang). Namun, di mana pun posisi anak pada saat konflik berlangsung berpotensi mengancam hak hidup, tumbuh kembang, dan kebebasan pribadinya. Apa yang dialami sebagian anak-anak Aceh pada saat konflik bersenjata menunjukkan minimnya jaminan perlindungan khusus bagi anak, dan tidak jelasnya kebijakan Negara (baca: militer) menjamin hak-hak atas perlindungan anak. Hasil konsultasi dengan anak-anak Aceh di awal tahun ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak menyaksikan den-
gan mata kepala sendiri kontes kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap rakyat sipil. Surya, seorang anak laki-laki berumur 11 tahun menggambar dengan krayon peristiwa pembunuhan ayahnya. Dalam gambar terlihat seorang laki-laki di ikat pada sebuah pohon, dan di sebelahnya ada gambar tentara berseragam sedang menempelkan pistol di kepala laki-laki tersebut. Gambar itu, menceritakan mimpi buruk yang tidak mampu di ucapkan , karena anak laki-laki berumur 11 tahun itu sudah dua tahun tidak bicara kepada siapapun. Hidupnya terus berjalan, dengan diam dan wajah dingin tanpa ekspresi. Beberapa anak perempuan terpaksa memberikan pelayanan sexual untuk mendapatkan perlindungan dari kemungkinan tindakan lebih buruk dari individu militer lainnya. Penelitian UNICEF tentang Kekerasan Terhadap Anak Paska Tsunami menemukan anak-anak perempuan korban eksploitasi sexual militer yang
•dok.imparsial
EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
04
hukum & ham
Kekerasan terhadap Para Pembela HAM Oleh Poengky Indarti PEMBELA HAM di Indonesia masuk dalam kategori kelompok yang rentan terhadap serangan. Ironis. Ini disebabkan karena aktivitas para Pembela HAM dalam memperjuangkan HAM telah dianggap mengganggu kepentingan kelompok lain yang “anti” HAM. Human Rights Defender atau Pembela HAM adalah individu atau kelompok yang menjalankan tugasnya dalam mempromosikan Hak Asasi Manusia dengan cara damai. Pembela HAM dalam melaksanakan tugasnya dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28c ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu, Mejelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 53/ 144 telah mengesahkan Deklarasi Hak dan Tanggung Jawab Individu, Kelompok dan Organ Masyarakat untuk Memajukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia Universal dan Kebebasan Dasar, atau lebih dikenal sebagai Deklarasi Pembela HAM, pada tanggal 9 Desember 1998. Berdasarkan catatan Imparsial, kelompok-kelompok yang banyak melakukan serangan terhadap para Pembela HAM dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu berikut: 1. Aparat Negara atau State Actors, meliputi aparat kepolisian, aparat TNI, aparat intelejen dan aparat tramtib; 2. Kelompok Non-State Actors, yang
.... Kebal Hukum (dari Hal 1) integrasi Eurico Gutterres. Semua terdakwa menikmati putusan tidak bersalah dengan mengatasnamakan “melakukan tindakan demi membela kesatuan, persatuan dan integritas Indonesia, memelihara stabilisasi dan melaksanakan tugasnya sebagai aparatur negara” sebagai justifikasi bagi militer dan polisi untuk melakukan apapun, termasuk melakukan pelanggaran terhadap HAM. Putusan bersalah terhadap Mayor Jenderal Adam Damiri hanya memberikan hukuman ringan, dan itu pun diputus bebas oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Selama proses Pengadilan HAM ad hoc berlangsung, nampak ada upaya intervensi militer terhadap jalannya persidangan. Hal ini bisa dilihat dari banyak sekali gelar pasukan –lengkap dengan seragam dan atribut militer lainnya- di dalam ruang persidangan. Para perwira tinggi yang duduk di kursi pesakitan pun mengenakan seragam militer dengan tongkat komando, memberikan kesan seolah-olah Pengadilan HAM berhadapan dengan militer sebagai institusi. Problem yang muncul sangat jelas adalah praktek-praktek impunitas, dimana majelis hakim di tingkat pengadilan pertama, banding dan kasasi selalu membebaskan para terdakwa dari kalangan militer. Ada tiga fakta yang menguatkan dugaan praktek-praktek impunitas ini, yaitu: Pertama, mandat dari peradilan HAM Ad Hoc hanya terbatas pada beberapa kasus yang sengaja ditempatkan seolah-olah tidak saling berhubungan satu sama lain (pidana biasa). Kedua, dakwaan sengaja dibuat sangat sederhana: mendakwakan bahwa kejahatan terjadi karena pihak TNI EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
meliputi preman/gangster, kelompok bersenjata yang terorganisir, kelompok primordial, kelompok pemodal yang menggunakan aparat negara maupun non-negara untuk melakukan serangan, dan kelompok fundamentalis. Berdasarkan pengalaman para Pembela HAM dalam Pertemuan Nasional Para Pembela HAM di Jakarta bulan lalu, para peserta menceritakan pengalaman mereka dalam melakukan advokasi di lapangan, dan terungkap bahwa aparat TNI menduduki peringkat kedua sebagai pengganggu keamanan para Pembela HAM setelah polisi. Akan tetapi hal ini tidak dapat dijadikan tolok ukur bahwa kasus yang melibatkan aparat TNI lebih sedikit dibandingkan dengan yang melibatkan aparat kepolisian, melainkan hanya sedikit data atau kasus yang terekspos dari lapangan. Ini disebabkan karena beberapa alasan, antara lain: 1. Para Pembela HAM merasa sangat traumatis dan takut untuk melaporkan karena ancaman pelaku aparat TNI yang bersenjata; 2. Para Pembela HAM mencoba melaporkan kasus yang berkaitan dengan kejahatan aparat TNI, tetapi kasusnya tidak pernah ditindaklanjuti oleh penyidik dan POM TNI; 3. Pelaku “bersembunyi” di balik operasi intelejen, sehingga sangat menyulitkan para Pembela HAM untuk dapat mengidentifikasi bahwa pelaku adalah dan Polri mencoba menghindari perang saudara antara milisi pro-integrasi dan prokemerdekaan. Ketiga, vonis bebas bagi para terdakwa akan membuat mereka sulit dijerat dengan pasal yang sama meskipun jika akhirnya dapat ditemukan bukti-bukti keterlibatan mereka dalam operasi pembumi-hangusan Timor Timur. Peradilan HAM Ad-Hoc Timtim memunculkan kritik tidak hanya di kalangan masyarakat pemerhati HAM, melainkan juga dari komunitas internasional. Beberapa negara mendesak PBB untuk menggelar peradilan HAM internasional. Bahkan PBB telah menunjuk panel of special expert yang bertugas mengumpulkan fakta-fakta seputar persidangan. Menghadapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia dan Timor Leste sepakat mendirikan Komisi Kebenaran dan Persahabatan, yang dibuat untuk menghindari upaya internasional yang berniat menggelar peradilan HAM internasional. Kasus Tanjung Priok 1984 Korban pelanggaran HAM Tanjung Priok mulai bangkit memperjuangkan kembali kasus mereka dan melaporkannya ke pada Komnas HAM pada Tahun 1998. Komnas HAM kemudian menyusun laporan hasil penyelidikan kasus Tanjung Priok dan menyimpulkan bahwa aparat telah melakukan penembakan dengan peluru tajam kepada masyarakat yang berunjuk rasa, hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, hilang, luka-luka dan cacat. Komnas HAM kemudian membentuk Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T) pada 7 Maret 2000. KP3T kemudian memeriksa beberapa purnawirawan jendral yang diduga terlibat kasus ini, antara lain Jenderal L.B. Moerdani dan Jenderal Try Sutrisno. Pada Juni 2000 Komnas HAM menyer-
4.
5.
aparat TNI; Adanya tekanan dari pelaku/institusi pelaku kepada media massa untuk tidak mem-blow-up kasus-kasus yang melibatkan aparat TNI; Sejak menurunnya kredibilitas TNI di mata rakyat setelah lengsernya Soeharto pada tahun 1998, aparat TNI banyak menggunakan kelompok lain sebagai kepanjangan tangannya untuk menyerang para Pembela HAM, misalnya dengan menggunakan kelompok preman/gangster, maupun dengan menggunakan kelompok primordial dan fundamentalis.
Meskipun TNI sudah mencanangkan reformasi di segala bidang yang dimulai sejak 1998, termasuk diantaranya setia pada supremasi sipil dan akan menghormati HAM, tetapi berbagai peristiwa di lapangan menunjukkan reformasi tersebut hanya jargon yang sifatnya lip service. Di banyak wilayah di Indonesia, aparat TNI masih banyak yang melakukan pelanggaran HAM, sehingga harus berhadapan dengan para Pembela HAM. Pelanggaran HAM tersebut antara lain pelanggaran di bidang hak sipil dan politik warga negara maupun pelanggaran hak EKOSOB warganegara atau pelanggaran kedua hak tersebut sekaligus. Hal ini dapat dilihat di daerah-daerah konflik yang kaya akan sumber daya alam, misalnya di Aceh dalam kasus PT. Exxon dan di Papua dalam kasus PT. Freeport Indonesia (PTFI), dimana aparat TNI
mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari perusahaan-perusahaan multi nasional tersebut sebagai imbalan atas jasa-jasa pengamanan. Dalam melakukan jasa pengamanan, aparat tidak segan-segan melakukan praktek illegal seperti menjadi mata-mata, melakukan ancaman, menjadi penadah, pemeras dan bahkan menjadi penyuplai minuman keras serta barang-barang terlarang lainnya, membiarkan terjadinya perusakan lingkungan yang sangat parah oleh perusahaan-perusahaan multinasional tersebut, serta melakukan kejahatan-kejahatan lain seperti penyiksaan, pembunuhan dan perkosaan. Banyak kasus sudah terjadi dan banyak Pembela HAM sudah menjadi korban, dimana kasus-kasus tersebut sudah di-blowup media massa dan sudah dilaporkan kepada institusi yang berwenang menangani kejahatan tersebut. Tetapi kenyataannya para pelaku tidak pernah sungguh-sungguh diproses secara hukum. Sudah menjadi hal yang wajar jika pelakunya aparat TNI maka dia akan kebal hukum, sehingga melanggengkan impunity terhadap TNI. Oleh karena itu, dalam HUT TNI ke-61 ini, TNI harus secara sungguhsungguh melakukan perubahan total terhadap kebijakan TNI, termasuk melakukan koreksi terhadap attitude dan pola pikirnya untuk lebih menghormati hukum dan HAM, sehingga tidak akan terjadi lagi serangan-serangan aparat TNI kepada para Pembela HAM yang melakukan tugasnya mempromosikan dan menegakkan HAM.
•dok.tempointeraktif.com
ahkan hasil penyelidikan kepada Kejaksaan Agung. Tetapi Kejaksaan Agung juga sangat lambat menindaklanjuti penyidikan terhadap kasus ini, karena baru melimpahkan perkara ke pengadilan HAM Ad Hoc pada 15 November 2004 dengan hanya menyeret 14 orang terdakwa, yaitu mantan Komandan Polisi Militer Kodam Jaya Mayor Jenderal Pranowo, mantan Komandan Kodim 0502 Jakarta Utara Mayor Jenderal R.A. Butar-Butar, mantan Kepala Seksi Operasi Kodim 0502 Jakarta Utara Mayor Jenderal Sriyanto, dan mantan Komandan Regu III Arhanudse 06 Kapten Sutrisno Mascung beserta 10 anak buahnya. Dalam kasus Tanjung Priok ini, jalan menuju keadilan ternyata dihalang-halangi dengan upaya Islah (damai: arab) yang dilakukan oleh Jendral Try Sutrisno dan korban-korban asalkan bersedia menerima uang ganti rugi. Islah dilaksanakan di Masjid Agung Sunda Kelapa pada tanggal 7 Maret 2001 dengan disaksikan oleh Panglima
Kodam Jaya waktu itu Mayjen Bibit Waluyo dan cendekiawan muslim (alm) Nurcholis Madjid. Dari 88 korban, 14 orang di antaranya menolak Islah dan tetap berkeras agar kasus Tanjung Priok tetap diteruskan ke persidangan. Selama berlangsungnya persidangan terdapat hal-hal yang sangat mencurigakan yaitu hilangnya beberapa barang bukti dan terdapat saksi-saksi korban yang mencabut BAP mereka dengan alasan telah melakukan Islah dengan Jenderal Try Sutrisno dan para terdakwa. Beberapa saksi korban, meskipun tidak mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP), ternyata dalam kesaksiannya di persidangan justru memberikan keterangan yang meringankan para terdakwa. Putusan Majelis Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc kasus Tanjung Priok ini juga membebaskan seluruh terdakwa. Bahkan ironisnya, Mahkamah Agung juga menguatkan putusan ini. •Edwin/Papang, Aktivis Kontras
hukum & ham
05
Reformasi Peradilan Militer Oleh: Donny Ardyanto
Tugas khusus yang diemban oleh TNI adalah menjaga dari ancaman dan bahaya terhadap kedaulatan dan keutuhan NKRI. Maka prajurit perlu dibina secara khusus, termasuk hukumnya juga diperlakukan secara khusus yaitu Peradilan Militer. Peryataan itu dilontarkan seorang perwira TNI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus DPR-RI tentang Peradilan Militer. Setiap saat kita bisa menemukan kendaraan bermotor yang secara mencolok menempelkan di kaca mobilnya sticker bertuliskan “Keluarga Besar Kopassus” atau “Keluarga Besar Kostrad”, dan sejenisnya. Padahal belum tentu pengendara kendaraan bermotor tersebut anggota TNI. Di seluruh pelosok Indonesia, kita juga bisa temui warga sipil yang berlagak seperti TNI, dengan badan kekar, rambut cepak, celana loreng dan baju ketat warna gelap. Penggunaan simbol-simbol militer semacam itu masih efektif di negeri ini. Karena dengan simbol-simbol tersebut, mereka akan ditakuti oleh warga sipil lainnya, termasuk polisi. Fenomena di atas merupakan reproduksi kongkrit atas gagasan bahwa anggota TNI adalah warga negara khusus di Indonesia. Sesuatu yang sebenarnya ditolak bah-
kan oleh para pendiri TNI sendiri. Dari awal kelahirannya, TNI merupakan bagian dari rakyat. TNI lahir dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Banyak upaya dilakukan untuk memperkuat kemanunggalan TNI dengan rakyat, misalnya dengan program AMD (ABRI Masuk Desa). Namun nampaknya usaha tersebut sia-sia. Bagi sebagian besar masyarakat, anggota TNI tetap merupakan warga negara khusus. Bukan semata karena mereka punya wewenang menggunakan kekerasan dan memegang senjata. Mereka juga ditakuti karena secara hukum mereka memiliki posisi yang berbeda dengan warga negara lain. Salah satu contoh sederhananya adalah, mereka berada di luar jangkauan hukum polisi. Makanya sudah menjadi konsumsi publik sehari-hari pula bagaimana seorang prajurit TNI bisa mengendarai motor roda dua tanpa menggunakan helm di jalan raya. Masyarakat juga melihat di media massa, seorang perwira TNI yang melakukan pelanggaran hukum, tidak dibawa ke pengadilan, namun diselesaikan secara internal melalui sebuah Dewan Kehormatan Perwira. Atau seorang prajurit TNI yang diduga kuat terlibat korupsi, meski sudah pensiun (purnawirawan), tapi proses hukumnya tidak pernah berjalan karena harus menunggu terbentuknya tim koneksitas. Posisi hukum anggota TNI
yang berbeda dengan warga negara lainnya serta ketidakadilan sistem hukum yang disuguhkan terus menerus kepada publik ini melahirkan masyarakat yang lebih percaya penggunaan kekerasan daripada penggunaan instrumen hukum. Ketidakpercayaan masyarakat kepada hukum ini sangat berbahaya bagi kehidupan dan masa depan demokrasi Indonesia. Ancaman ini lebih dari cukup untuk menjadi alasan dasar kenapa UU no. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer harus diubah. UU ini telah mendasari sebuah sistem hukum di mana segala bentuk pelanggaran pidana yang dilakukan oleh anggota TNI harus diselesaikan di peradilan militer. Dengan UU ini seorang anggota TNI yang mencuri sandal di mesjid, atau terlibat illegal logging, atau melakukan penyiksaan maupun pelanggaran HAM lainnya, tidak bisa dipidana di peradilan umum. Saat ini, sudah satu tahun lebih Panitia Khusus (Pansus) DPRRI tentang Peradilan Militer membahas RUU Peradilan Militer. Namun dalam waktu sekian lama, belum ada tanda-tanda bahwa upaya untuk membawa prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum ke peradilan umum, dapat tercapai. Meskipun DPR sudah secara bulat setuju tentang hal itu, namun dari Pemerintah masih bertahan untuk tetap membawa prajurit TNI
yang melakukan tindak pidana umum ke peradilan militer. Tawaran jalan tengah yang diberikan oleh DPRberupa pemberian masa transisi selama 2-3 tahun agar ada waktu untuk berbenah, juga belum memperoleh sinyal hijau dari Pemerintah. Pada titik ini terlihat bahwa Pemerintah belum memiliki keinginan politik untuk secara konsisten menjalankan reformasi peradilan militer khususnya, dan reformasi sektor keamanan pada umumnya. Nampaknya problem hubungan sipil-militer masih jauh dari penyelesaian. Runtuhnya rejim otoriter yang ditopang oleh militer serta berjalannya proses demokratisasi di Indonesia ternyata tidak dengan serta merta mengubah hubungan sipil-militer di Indonesia. Kesediaan militer untuk “mundur” dari kancah politik dengan dihapuskannya Fraksi TNI/Polri di DPR, tidak diikuti dengan perubahan yang signifikan di dalam doktrin, struktur dan kultur militer, baik yang berkaitan dengan persoalan pertahanan, keamanan dan sosial-politik di Indonesia. Argumentasi-argumentasi yang disampaikan tentang Peradilan Militer juga menunjukkan keinginan untuk tetap ditempatkan sebagai warga negara “khusus”. Sementara supremasi sipil, sebagai sebuah konsep modern
mengenai hubungan sipil-militer, seringkali dipahami secara salah sebagai kontrol kaum sipil (yang non-militer) terhadap kaum militer. Dalam konsep supremasi sipil, yang dimaksud dengan “sipil” di sini adalah rejim yang terpilih/dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. Artinya, semua warga negara, baik yang berprofesi sebagai mahasiswa, aktivis LSM, anggota TNI, pedagang kaki lima, petani, dan lain-lain, semuanya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Termasuk di dalamnya kewajiban bela negara bila negara Republik Indonesia terancam bahaya. Di situlah sebenarnya esensi dari cita-cita pejuang kemerdekaan negeri ini ketika melahirkan Tentara Nasional Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1945. Tidak ada yang pernah berharap bahwa cita-cita luhur dan mulia tersebut dicederai oleh kepentingan kekuasaan dan pragmatisme. Dan dalam ulang tahunnya yang ke 61 ini, sudah selayaknya kita memperkuat kembali reformasi di tubuh TNI, khususnya dengan melakukan perubahan terhadap sistem peradilan militer dan mengembalikan anggota TNI sejajar dengan warga negara yang lain di muka hukum. Dirgahayu TNI! Semoga dapat segera mencapai cita-cita untuk menjadi tentara rakyat yang profesional, modern dan demokratis!***
Bagaimana dengan Keamanan Manusia? Oleh: Rafendi Djamin
TNI adalah alat Negara yang wewenang pengunaannya berada di tangan pemerintah dan di kontrol oleh parlemen dan masyarakat sipil. UU mengatakan tugas pokok TNI adalah membela, mempertahankan keutuhan terotorial dan institusi Negara (state security). Apakah ini berarti TNI tidak bertugas utk melidungi kemanan manusia? Apakah reformasi TNI selama sewindu ini telah menjamin kemanan manusia? Disinilah konsep keamanan manusia (human security) menjadi sangat relevan. Prinsip universal HAM dengan tegas menyatakan bahwa tugas negara , sebagai pengemban tugas (duty bearer) adalah memenuhi, melindungi dan memajukan HAM setiap manusia yang berada di wilayah negara, maka tugas TNI profesional secara tidak langsung adalah membela dan mempertahankan keamanan manusia (human security). Mempertahankan keutuhan negara agar negara mampu menjalan
tugas pokoknya bagi warganegara dan manusia yang berada dalam wilayah tertorialnya. Konsep Keamanan Manusia dikembangkan oleh Komisi PBB untuk Keamanan manusia pada tahun 2003. Konsep ini mengandung 2 elemen pokok yaitu bebas dari ketakutan “ Freedom from fear bebas dari kekurangan “Freedom from want”. Satu keterkaitan antara hak2 sipol dan ekosob. Perlindungan pada aspek2 kehidupan manusia yang penting sebagai bekal untuk mengembangkan upaya pembebasan dan pemenuhan diri . Keamanan manusia berarti perlindungan terhadap kebebasan mendasar/fundamental . Berarti melindungi rakyat dari berbagai ancaman dan situasi dengan cara menguatkan aspirasi dan kekuatan rakyat . Berarti pula menciptakan sitem politik, sosial, lingkungan, ekonomi, dan militer. Bila semua faktor ini dikombinasikan , akan memberikan benteng yang kukuh bagi tiap manusia untuk survive dengan kehidupan yang layak dan bermartabat. Lebih jauh lagi Keamanan manusia lebih luas dari pada sekedar ketidakberadaan konflik yang penuh kekerasan, hal ini berarti pula menembus lapisan2 HAM, tata pengelolaan dan ak-
ses pada peluang ekonomi , pendidikan dan kesehatan . Konsep Keamanan manusia ini menyediakan kerangka analisis utk menganalisa situasi secara komprehensif yang lebih luas dari pemahaman tradisional ttg keamanan negara, memperhatikan kebijakan yang terpadu tidak hanya memberikan proteksi pada rakyat terhadap ancaman , tapi juga memberdayakan rakyat Arti ancaman kemanan modern: Pada masa lalu “Ancaman keamanan” dirumuskan berasal dari faktor eksternal yang mengancam batas teritorial negara, sehinga fokus diberikan pada pada alat2 dan solusi militer. Akan tetapi selama dekade terahir ancaman keamanan berwujud: kekerasan sipil, kejahatan terorganisir, transnasional teror, senjata perusak massal, pemiskinan, migrasi massal, perusakan lingkungan, penyakit menular. Dan yang paling penting semakin besarnya pengakuan akan pentingnya peran individu dan komunitas utk menjamin kemanan mereka. Memelintir konsep keamanan manusia untuk pertahankan multi peran TNI? Dengan definisi ancaman seperti ini sangat disesalkan pemahaman tentang keamanan manusia (individu) yang
dikembangkan oleh Dephan dalam proses reformasi TNI adalah perumusan lingkup operasi militer yang juga merambah berbagai macam aspek kehidupan manusia. Pendek kata Tugas TNI merambah ke persoalan kebijakan politik dan sosial. Di bidang kesehatan misalnya, dalam kasus penangkalan flu burung sebagai bentuk ancaman external, Dephan mempunyai penafsiran sendiri dalam upaya penangkalannya. Padahal lingkup tugas dan operasi TNI profesional adalah menjamin keutuhan negara agar mampu menjalankan fungsinya di bidang HAM. Yaitu memenuhi , melindungi dan memajukan HAM. Kenyataan yang kita alami sewindu proses reformasi TNI utk merubah TNI pejuang menjadi TNI profesional justru menimbulkan berbagai masalah kemanusiaan. Bahkan dalam beberapa hal TNI telah menjadi ancaman nyata bagi keamanan manusia misalnya pada proses penerapan pemdekatan keamanan di daerah konflik . Pengalaman di Aceh selama penerapan DOM dan berbagai operasi militer lain adalah pengalaman nyata dimana operasi militer mejadi sumber ancaman keamanan manusia.*** EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
06
pertahanan
Strategi Pertahanan Belum Efisien •Daerah aman tak perlu gelar pasukan Jakarta, Strategi pertahanan ideal harus selalu didasarkan pada perkembangan aktual, cocok dengan situasi dan ancaman. Selain itu juga harus efisien agar jelas apakah gelar pasukan itu sudah efisien. •dok.tripod.com
PENDAPAT itu dilontarkan peneliti CSIS Edy Prasetyono dalam sebuah pelatihan tentang Reformasi Sektor Keamanan, di Wisma Hijau Cimanggis, 11-14 September lalu. Menurut Edy, kita harus beranjak dari pemahaman dasar bahwa strategi itu pada dasarnya seni mencapai tujuan karena sumbernya terbatas. Jika sumber tidak terbatas, tidak perlu strategi. Tidak ada strategi yang permanen. “Daerah aman kok ada gelar pasukan. Kenapa tidak hanya fokus pada daerah yang rawan baik itu rawan konflik, intervensi, infiltrasi, rawan lepas dari NKRI” ujarnya. Edy mencontohkan, jika ancaman datang dari Cina, maka gelar pasukan kita tidak armada Timur Barat, tapi Utara Selatan, karena ancamannya dari Utara. Ada tiga faktor penting dalam pertahanan. Pertama, tujuan dari kebijakan. Misalnya, AS ingin membendung komunisme global maka AS menerapkan strategi pembendungan. Komponennya, ada pembendungan secara militer dengan menempatkan semua militer di daerah konflik yang potensial masuk komunisme. Bisa juga melalui bantuan ekonomi ke negeri-negeri yang sedang bergolak supaya mereka tidak disusupi. Sedangkan tujuan kemanan nasional kita sekarang ini mencegah disintegrasi mengamankan wilayah. Karena sebagian besar pulau, maka berarti perairan. Sesuai hukum internasional sangat rawan. Ada yang disebut perairan dalam, perairan nusantara, landas kontingen, dan lain-lain. Sehingga harus jelas tujuan dari keamanan nasional. Faktor kedua, tidak ada satupun strategi
pertahanan yang tidak didasarkan atas geografi. Misalnya, Jerman yang tidak mungkin mengembangkan strategi pertahanan yang bertumpu pada kapal karena wilayahnya di sebelah utara adalah selatselat sempit, ini akan mudah sekali strategi pertahanan laut Jerman dihajar oleh musuh. Satu-satunya jalan bagi negara yang continental itu adalah pertahanan darat. Lalu Indonesia dengan jumlah pulaunya 16.000 lebih apakah masih akan mengembangkan strategi pertahanan yang bertumpu pada pertahanan continental, ini harus dipikirkan kembali soal efisiensi dan relevansinya dengan ancaman. Geografi menjadi sangat penting dan menentukan strategi pertahanan yang mau dikembangkan. Misalnya, kalau beli tank 2000 tidak ada yang teriak, negara tetangga juga tidak kuatir. Tapi kalau beli 60 kapal pasti akan ada yang teriak karena matra kita laut. Jadi kalau dibalik Arab Saudi beli 100 kapal orang cuek saja, tapi kalau beli 2000 tank, maknanya beda. Faktor ketiga adalah ancaman. Mengapa ancaman banyak berkisar dilaut? Ancaman dilaut itu sangat luar biasa. Misalnya, illegal fishing saja bisa 4 sampai 5 miliar US Dollar kapal yang lewat selat Malaka 60 ribu, selat Lombok 15 ribu, selat Sunda yang paling kecil 4 sampai 5 ribu. Nilai perdagangan yang lewat selat Malaka hampir 300 miliar Dollar, selat Lombok 40 miliar US dollar, selat Sunda 5 milar dolar. Jadi itu mewakili sepertiga perdagangan dunia. Mau tidak mau kepentingan negara lain pasti masuk ke Indonesia. Suka tidak suka mereka punya kepentingan. Sedang kita
•dok.valkyriearms.com
tiap hari diacak-acak wilayah lautnya. Ada orang bilang tidak perlu mengembangkan kekuatan pertahanan seperti itu karena ancaman kita sebagian besar adalah internal separatis. Disini ada kesalahan memahami hubungan antara gerakan separatis dan upaya pengembangan kekuatan pertahanan kredibel yang bisa menangkal. Memang benar secara fisik ancaman kita masih internal. Tetapi harus digarisbawahi betul, ancaman internal tidak bisa menjadi dasar untuk mengembangkan kekuatan pertahanan yang kredibel. Inggris sejak tahun
Pengamanan Pasukan Elite di Papua tak Relevan JAKARTA, Strategi pertahanan TNI di Papua ada di Jakarta, Kodam tidak berhak. Menurut aturan objek kita itu keamanannya adalah tanggungjawab manajemen, yang berhubungan dengan supervisi baru polisi. Dulu memang ada kemungkinan untuk di daerah konflik seperti di Aceh, masih boleh untuk militer. Tapi kalau bukan daerah darurat militer maka tidak perlu lagi ada tentara. Pendapat itu dilontarkan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Mayjen TNI Dadi Susanto ketika ditanya soal strategi pertahanan di Papua dalam acara diskusi Reformasi Sektor Keamanan di Wisma Hijau, 12 September lalu. “Kalau ada data tentang oknum tentara yang melanggar serahkan ke kami” urai Dadi yang pernah menjabat Asintel Kasum TNI, dan bertugas sebagai atase pertahanan di Washington DC. Dadi menjelaskan, TNI yang ditugasEDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
kan di Freeport itu pasukan elite Batalyon Linud. “Saat saya riset, para prajurit disana marah sebagai pasukan elite ditugaskan disana. Jadi kalau diserahkan kepada polisi sebetulnya prajurit itu senang. Kalau dikatakan ada rekayasa agar TNI masuk lagi, itu tidak benar” ujar Dadi. Sebelumnya, seorang perempuan aktivis Papua Frederika mengkritik kebijakan pemerintah dalam pembangunan Papua. “Daerah ini tidak pernah mendapat prioritas. Kepemimpinan ada di tingkat lokal, tapi Gubernur dan Bupati akan selalu dipaksa untuk menaruh uang sekian persen untuk kebutuhan tentara yang tidak jelas programnya, dan ini selalu masuk ke dalam dana non budgeter” ujarnya. Frederika menjelaskan, tentara kerap menjadi bagian dari masalah dalam sejarah Papua. Contoh terakhir di Timika, sejak tugas menjaga Freeport dikasih ke Polisi ada persoalan besar sampai sekarang.
Seolah itu dianggap sebagai konflik antar suku. Padahal konflik sengaja diciptakan untuk menunjukan polisi tidak mampu jaga daerah ini. Lalu Pangdam bisa dengan mudahnya bicara “tentara dibutuhkan di daerah ini”. Frederika menyarankan, agar ada proses pembelajaran di pihak TNI untuk mengubah pola pendekatan di Papua. Ini penting agar rakyat Papua tidak terus merasa yang membuat separatisme itu orang Jakarta. Apalagi rakyat Papua merasa tentara banyak terlibat dalam segala kegiatan illegal, prostitusi, mencuri kayu, mencuri ikan, dan bisnis gelap lainnya untuk dijual ke Jakarta. “Kalau tadi pak Dadi katakan bahwa tugas besar tentara menjaga keutuhan NKRI, kalau pendekatannya macam ini jangan pernah bermimpi bahwa ada sesuatu berubah di Papua karena orang akan merasa terus bendera merah putih sebagai
1920an menghadapi pemberontakan IRA tapi tidak pernah pemberontakan itu menjadi dasar kekuatan pertahanan Inggris. Spanyol juga menghadapi soal separatisme, tapi tidak menjadi dasar untuk mengembangkan kekuatan pertahanan Spanyol. Jadi kalau Indonesia ingin punya kekuatan pertahanan kredibel, dan kemampuan tangkal, mau tidak mau disesuaikan dengan kondisi geografis dan harus in the end berorientasi pada external defence. Kalau tidak kita ditipu terus dan jangan sampai kita terjebak pada diskursus. suatu momok yang menakutkan, kalau terus tentara yang dikedepankan dalam mengurus daerah ini” urainya lebih lanjut. Merespon kritik tersebut, Dadi menyatakan “Kalau ada yang tidak benar kayak begitu masukkan saja ke berita koran, sekarang kan zamannya demokrasi, nanti paling pejabatnya yang tidak enak hati”. Pemerintah pusat tidak konsisten Sementara itu, Edy Prasetyono yang juga menjadi pembicara diskusi menyatakan bahwa aspek ekonomi sosial di Papua sangat diabaikan. Juga ada kebijakan yang sangat tidak konsisten dari pemerintah pusat. “Secara de jure dilarang pemecahan dua propinsi, tapi de facto dilakukan. Kekhawatiran amat besar, Papua sudah menjadi isu internasional dan kalau membuka sebenarnya mudah untuk dibuka” urai Edy. Pertama, Vanuatu sudah tidak hanya sekedar isu tapi sudah menjadi platform politik dari parpol disana yang ikut pemilu, dan itu harus masuk dalam konstitusi perjuangan untuk memerdekakan Papua. Kedua, melalui Ghana, Africa. Pintu ketiga, bahwa Pepera itu meskipun PBB sudah mengatakan itu sah menjadi wilayah Indonesia tapi pintu itu akan tetap bisa dibuka kalau masyarakat disana selalu menyuarakan ada ketidakadilan.
pertahanan
07
Pembelian Peralatan Militer Catatan Munir PEMBELIAN peralatan militer bagi Pemerintah Indonesia memang cukup mendesak. Mengingat semakin menuanya peralatan militer yang dimiliki TNI. Padahal realitas menjaga kesiagaan TNI dalam konteks pertahanan dibutuhkan suatu pembangunan kekuatan baru yang memenuhi kebutuhan. Kasus upaya pengamanan wilayah laut, satu misal, dirasa sebagai hal yang sulit, khusus untuk menghadapi pencurian ikan wilayah lautan, perampokan laut, penyelundupan, dst. tidak dapat dihadapi dengan kapasitas yang ada. Dalam konteks ini memang pembelian peralatan militer nerupakan suatu kebutuhan yang penting. Rencana pembelian Corvet ke Belanda adalah upaya untuk menjawab kebutuhan diatas. Tanpa upaya penguatan alat pertahanan semacam ini, jelas terdapat persoalan yng serius tidak saja bagi Indonesia, tetapi juga bagi keamanan kawasan. Bagi kalangan civil society tidak ada keberatan atas pembelian peralatan semacam itu. Pada sisi lain, kecenderungan militer yang masih terlibat dalam politik praktis, dan tidak adanya kontrol sipil atas militer yang efektif, banyak langkah-langkah menghadapi berbagai persoalan domestik dengan menggunakan kekuatan militer. Ini berakibat banyak angka pelanggaran HAM yang serius. Kasus Aceh jelas membuktikan bahwa pendekatan militer telah berakibat hancurnya gerakan masyarakat sipil dan tragedi kemanusiaan. Lebih jauh, banyak peralatan perang digunakan mengancam keselamatan masyarakat, seperti kapalkapal perang, pesawat, tank dst. Tindakan ini juga tidak ada pertangungjawaban, baik dari aspek
hukum maupun politik. Problem Anggaran Anggaran pertahanan untuk tahun anggaran 2004 sebesar 11 Trilyun rupiah atau 1000 juta US ni adalah anggaran resmi yang disediakan bagi pembinaan kesatuan maupun pembangunan kekuatan. Komposisi pembagian anggaran itu 72 % digunakan untuk kebutuhan rutin, sementara 38 % untuk operasional, pembelian barang dan pemeliharaan. Anggaran pertahanan tersebut 14 % dari total anggaran negara tahun 2004. Dalam pengelolaan anggaran pertahanan terdapat beberapa permasalahan belum adanya kontrol anggaran yang efektif, baik itu penggunaan, sumber, maupun pertanggung jawaban. Hal ini berakibat muncul beberapa sumber tambahan anggaran seperti dari Pemerintah Daerah, binis militer (Legal dan Ilegal), dana kontijensi. Permasalahan politik yang muncul kemudian adalah tidak adanya mekanisme yang transparan baik dilevel pelaksana, maupun perencana. Hal ini berakibat muncul beberapa persoalan dalam menjaga kontrol atas militer. Dalam persoalan pembelian peralatan terdapat beberapa kasus yang lahir dari kelemahan diatas, seperti Sukhoi gate Pemerintah Indonesia tahun 2003 membeli empat pesawat Sukhoi SU 27 dari rusia. Pembelian tersebut dilakukan Pemerintah yang diwakili langsung oleh Presiden dan Panglima TNI. Pembelian dengan imbal dagang dari alokasi kredit eksport ini akan dicicil selama 10 tahun. Pembelian ini sendiri tanpa mekanisme persetujuan Parlemen.
Menteri Pertahanan juga menyatakan tidak mengatahui rencana pembelian pesawat itu. Pembelian pesawat ini memang diluar rencana pembelian peralatan militer pada tahun anggaran tersebut. Pembelian pesawat ini segera menimbulkan isu dugaan korupsi dan mark up. Lebih jauh, sampai saat ini tidak pernah ada kejelasan bagaimana pembelian pesawat itu bisa dilunasi dari imbal dagang komuditas pangan. Uang muka diambil dana cadangan umum Pemerintah, yang ini berarti ekstra budget. Sekali lagi kasus ini akhirnya hilang dari permukaan, dan tidak ada agenda untuk menjelaskan mengapa persoalan ini musti terjadi dan dipertanggungjawabkan. Kasus kapal patroli laut. Sejak dilakukannya otonomi daerah, muncul beberapa inisitif pemerintah daerah bersama TNI untuk membeli kapal patroli laut atas pendanaan pemerintah daerah. Persoalan ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pihak Pemerintah, parlemen, dan TNI taat pada pelaksanaan undang-undang pertahanan negara. Dimana undang-undang tersebut menyebutkan dengan jelas anggaran pertahanan hanya dari pemerintah pusat, sementara tidak ada kewenangan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk itu. Dalam kasus ini, meskipun pihak Departemen pertahanan telah menyatakan hal itu tidak boleh dilakukan, tetapi pihak TNI AL dan Pemda tetap melaksanaan pembelian tersebut. Kapal patroli laut yang dibeli tersebut diproduksi oleh sebuah perubahaan yang dimiliki oleh yayasan bisnis TNI AL. Dalam kasus ini telah terjadi 7 buah MOU antara TNI dan Pemda
untuk pembelian kapal tersebut. Pertarungan dalam kasus ini berakhir dengan tidak ada koreksi apapun atas transaksi antara pemda dan kalangan militer itu. Semua pembelian ini diluar defend Planing yang dibuat oleh Departemen pertahanan. Pembelian Helicopter M1-17 Pada pertengahan tahun 2003 angkatan darat membeli empat buah pesawat helikopter Mi-17 dengan harga 21,6 juta US $ dari rusia dengan model imbal dagang Pembelian ini sebenarnya dilakukan oleh Angkatan Darat atas nama Pemerintah. Pembelian itu dilakukan melalui pihak ketiga, yaitu sebuah perusahaan yang memiliki hubungan langsung dengan bisnis Anggatan Darat tanpa memalui tender. Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah membayar uang muka 3,2 Juta US $ melalui perusahaan tersebut, ternyata uang muka tersebut tidak pernah sampai pada pihak rusia. Sehingga perusahaan rusia tersebut menghentikan pembuatan pesawat. Sementara dari pihak parlemen dan Pemerintah tidak pernah mempersoalkan hilangnya uang tersebut, baik kepada pihak AD maupun pada perusahaan rekanannya. Perusahaan pihak ketiga yang dipilih tanpa tender pihak AD diduga melakukan praktek penyuapan kepada para pejabat militer, sehingga dana uang muka itu hilang. Belakangan para perwira AD yang berangkat ke Rusia untuk berlatih hampir dipulangkan, karena pemerintah Indonesia belum membayar kewajibannya. Akan tetapi pelatihan tetap dilakukan meskipun pembayaran belum jelas.
Pembelian Corvet. Rencana pembelian Coorvet dari Belanda juga merupakan inisiatif AL tanpa melalui essesment kebutuhan yang dibuat Departemen pertahanan. Akan tetapi kemudian Pemerintah menyetujuinya dengan pola imbal dagang dari alokasi dana kredir ekport. Semua transaksi dilakukan langsung oleh AL.yang mewakili Pemerintah. Pemerintah hanya mampu menyadiakan anggaran untuk pembelian satu buah korvet senilai 270,3 juta euro. sementara pihak AL mengajukan untuk pembelian empat buah. Sehingga masih tidak jelas dari mana dana lain yang akan dibayarkan, apabila pembelian lebih dari satu. Pembelian korvet ini sangat memungkinkan terjadinya skandal seperti pembelian peralatan perang yang digambarkan diatas. Ke depan Terhadap rencana pembelian korvet terdapat beberapa pertanyaan yg penting diajukan : Mengapa transaksi dilakukan oleh TNI AL dengan pihak produsen langsung ? Apakah tidak seharusnya dengan pihak otoritas politik sipil, yaitu kabinet Megawati ? Bagaimana tangungjawab produsen apabila ada penyalahgunaan peralatan militer yang dijual, terutama penggunaaan yang melanggar HAM ? Bagaimana syarat-syarat transaksi dilakukan, termasuk menjamin prinsip transparansi dan akuntabilitas bagi warga kedua negara ? Bagaimana tanggungjawab negara produsen terhadap masa depan upaya mempertahankan kontrol sipil atas militer dalam kaitannya syarat-syarat pembelian peralatan ?
Kredit.... (dari Hal 1) dapat menimbulkan efek penangkalan yang berarti. Hal ini disebabkan karena dari sisi perimbangan kekuatan, elemen kekuatan Indonesia tidak dapat menandingi elemen kekuatan yang dimiliki negara-negara utama di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Usaha untuk meningkatkan anggaran pembangunan sebenarnya telah berusaha dilakukan oleh pemerintah di tahun 2000-2004. Anggaran pembangunan di tahun 2000-2004 digunakan untuk 3 program utama arms maintainence, yaitu (1) perpanjangan usia pakai alutsista; (2) pengadaan alutsista baru atau rehabilitasi alutsista ditujukan hanya untuk kepentingan pengadaan materiil operasi; serta (3) pengadaan sarana komunikasi untuk meningkatkan komando pengendalian (Kodal) di Mabes TNI dan satuan-satuan tempur TNI. Khusus untuk pengadaan alutsista baru, Departemen Pertahanan mengalokasikan hampir 40% dari anggaran pembangunan tahun 2000-2004.
Pengadaan alutsista merupakan strategi transisi yang harus dijalankan pemerintah terutama karena industri strategis domestik belum dapat diandalkan untuk dijadikan industri subtitusi bagi sumber alutsista Indonesia. Kecenderungan ini hanya memberikan satu alternatif strategi untuk proses pengadaan alutsista pertahanan, yaitu pasar senjata internasional. Untuk periode 2000-2004, sumber pendanaan utama bagi Indonesia untuk melakukan proses pengadaan alutsista pertahanan yang bersumber dari pasar senjata internasional adalah Fasilitas Kredit Ekspor. Departemen Pertahanan tampaknya akan tetap menggunakan fasilitas Kredit Ekspor sebagai alternatif utama. Hal ini tampak dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Pertahanan No: KEP/01/M// I/2005 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa Militer Dengan Fasilitas Kredit Ekspor di Lingkungan Departemen Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia. Keputusan menteri ini sejalan dengan adanya kecenderungan bahwa
alokasi kredit ekspor untuk pertahanan cenderung meningkat. Rekapitulasi alokasi kredit ekspor yang disediakan pemerintah untuk tahun 2000-2004 memperlihatkan peningkatan tajam penggunaan Kredit Ekspor terutama untuk sub-sektor pertahanan di tahun 2002, 2003 dan 2004. Peningkatan alokasi ini semakin memperkuat dominasi sub-sektor pertahanan dalam alokasi kredit ekspor. Untuk tahun 2000-2004, alokasi kredit ekspor untuk subsektor pertahanan selalu melebihi 50% total alokasi kredit ekspor. Bahkan, untuk tahun anggaran 2001 dan 2002, seluruh alokasi kredit ekspor diberikan untuk sektor pertahanan dan keamanan. Peningkatan alokasi kredit ekspor untuk sub-sektor pertahanan memperbesar stok utang luar negeri pemerintah. Di tahun 2004, 18,43% stok utang pemerintah dari skema kredit ekspor yang sebagian besar digunakan untuk pengadaan alutsista. Stok utang luar negeri yang menggunakan Fasilitas Kredit Ek-
spor harus melibatkan Lembagalembaga Kredit Ekspor (Export credit agencies/ECAs). Khusus untuk alokasi Kredit Ekspor untuk pengadaan alutsista, saat ini terdapat 54 lembaga kredit ekspor dari 18 negara yang memiliki skema pendanaan untuk pengadaan alat militer. Dari 54 lembaga pemberi Kredit Ekspor yang ada hanya empat lembaga pemberi Kredit Ekspor yang memenuhi syarat Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.571/KMK.06/ 2004 yaitu ING Bank dan Rabo Bank dari Belanda, Credit Suisse First Boston Zurich dari Swiss, dan Thirty Investment Ltd dari British Virgin Island. Ada 26 regulasi politik di berbagai tingkatan yang saling mengait mengatur penggunaan kredit ekspor. Hal itu memperlihatkan adanya usaha serius dan sistematis dari pemerintah untuk mengatur penggunaan alokasi kredit ekspor di sub-sektor pertahanan. Usaha ini mencapai kulminasinya dengan keluarnya Keputusan Menteri Pertahanan No: KEP/01/M//I/2005 tentang Tata Cara Pengadaan
Barang/Jasa Militer Dengan Fasilitas Kredit Ekspor di Lingkungan Departemen Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia. Keputusan Menteri ini secara rinci menjabarkan keseluruhan proses yang harus dilakukan Departemen Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia mulai dari proses perencanaan pengadaan hingga penyerahan alutsista yang dibiayai melalui skema Kredit Ekspor. Keputusan Menteri Pertahanan No: KEP/01/M//I/2005 juga mengatur Pakta Integritas (Integrity Pact) yang dilakukan untuk memastikan bahwa semua kegiatan pengadaan barang/jasa dilakukan secara transparan. Transparansi sistem integritas itu dilakukan antara lain pengambilan sumpah atau janji dari pejabat dan karyawan institusi/lembaga publik serta perusahaan pemasok yang ditandatangani dalam suatu Pakta Integritas. Transparansi sistem integritas tersebut diharapkan dapat menghilangkan kasus suap dan koruspi yang selama ini terjadi dalam pengadaan barang/ jasa militer.*** EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
08
pertahanan
Komando Teritorial Dipertanyakan
•dok.hengky.fotografer.net
PASCA reformasi 1998, sepak terjang Kodam, Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa terus dipertanyakan. Penetrasi aparat teritorial ke dalam urusan sipil dinilai bisa memicu komplikasi masalah yang merugikan warga masyarakat. Demikian salah satu masalah yang mengemuka pada pertemuan-pertemuan Lesperssi di sejumlah wilayah. Pertemuan ini dilakukan guna menghimpun masukan dari kalangan LSM, Polda, Pemda ormas, dan akademisi, mengenai Fungsi Teritorial TNI. Masalah-masalah itu antara lain saat diskusi di Bandung, 6 April 2006. Pada pemilu 2004 terdapat aparat babinsa yang ‘memaksa’ warga agar memilih calon presiden tertentu. Kebetulan calon tersebut menang dalam pemilihan di desa tersebut. Ada pula contoh masalah pedagang kaki lima di Jogjakarta pada 2004, dimana aparat teritorial terlibat mengawasi penyelesaian soal itu. Masalah juga terjadi di wilayah perkebunan PTPN VIII Bunisari Lendara, Garut pada akhir Mei 2006. Yakni terjadi aksi penyerangan pada lahan dan rumah petani di Cisompet oleh sejumlah preman bayaran. Dalam hal ini Kodim 0611 terlibat dalam mendukung pengusiran petani tersebut. Saat berlangsung acara penutupan latihan perang oleh Kodim 0611 di wilayah perkebunan itu, pihak Dandim 0611 menyatakan bahwa petani tidak boleh menggarap lahan perkebunan. Contoh-contoh faktual semacam diatas seharusnya tidak terjadi lagi pada masa reformasi ini. Walaupun TNI sering beralasan itu hanya sikap dan tindakan oknum atau perorangan yang sebenarnya tidak relevan dikemukakan. Sebab yang utama adalah tugas pokok TNI dan aparat Kodam dan lainnya hanya untuk tugas pertahanan dan kedua adalah tugas perbantuan atau dikenal sebagai operasi militer selain perang, bukan untuk masalah sipil yang meruEDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
pakan wewenang pihak lain. Selama pemerintah Orde Baru, komando teritorial melakukan fungsi teritorial dan fungsi sosial politik. Ketika fungsi politiknya sudah ditinggalkan, tapi struktur Koternya tidak serta merta dihapus. Sehingga kalangan masyarakat sipil terus mempertanyakan fungsi dan peran komando teritorial dalam konteks kekinian (red; masa damai). Yang juga menjadi soal apakah koter ini sanggup melakukan fungsi pertahanan TNI. Gelar kekuatan dan pengembangan organisasi TNI tentu harus melihat aspek ancaman dan kondisi geografis yang ada. Dengan alasan itu rekomendasi ini dibuat agar dapat menjadi bahan masukan pihak pemerintah maupun parlemen. Sehingga selanjutnya kita dapat menyusun suatu postur TNI yang lebih efektif dan efisien. Dan tentunya kita harapkan institusi TNI, dapat menjadi alat negara yang handal dalam menghadapi ancaman kekuatan bersenjata dari lingkup domestik maupun luar negeri. Kondisi Sekarang Fungsi teritorial dapat diartikan suatu fungsi pembinaan sumberdaya nasional untuk mendukung upaya pencapaian kepentingan nasional (ekonomi,dll.) termasuk untuk kepentingan pertahanan (Muhammad Asfar, 2004). Fungsi ini adalah fungsi pemerintah sipil dalam pengembangan dan pembangunan berbagai infrastruktur ataupun alat produksi yang nanti bisa digunakan untuk kepentingan pertahanan. Dengan kata lain otoritas politiklah yang berwenang mengelola sumber daya nasional, termasuk sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Namun dilain pihak, aparat koter masih melakukan fungsi pembinaan teritorial. Salah satunya pembinaan masyarakat oleh aparat koramil dan babinsa. Mengacu UU No. 3 dan UU No. 34/
2004 tentang TNI, Fungsi TNI seharusnya hanya pertahanan. Maka aparat teritorial seharusnya tidak lagi melakukan fungsi pembinaan teritorial. Dengan konsep koter yang terstruktur dari atas hingga bawah tersebut, menurut Andi Widjajanto, tidak memungkinkan otoritas sipil melakukan kontrol atas koter. Justru Koter melakukan penetrasi yang dalam terhadap kewenangan sipil. Dalam beberapa kali diskusi mengemuka bahwa Kodam adalah kompartemen strategis untuk tugas pertahanan. Kodam sebagai struktur komando kewilayahan merupakan pelaksana tugas dan fungsi (PTF) dari Departemen Pertahanan di daerah. Sehingga sampai saat ini tugas PTF dititipkan pada Kodam. Tahap ini mungkin masih bisa dimengerti, tapi jika mengacu tugas utama TNI, maka hanya dua tingkat komando teritorial yang memiliki perangkat tempur yakni Kodam dan Korem, sedangkan kodim kebawah tidak memiliki aparat tempur. Seperti Markas Kodim paling banyak memiliki staf 60 personel, justru kebanyakan staf intelijen, Makodim tak punya pasukan tempur. Yang juga mengemuka, kita harus beranjak dari penjelasan pasal 11 (ayat 2) UU TNI. Dalam penjelasan pasal itu dikatakan: “yang dimaksud dengan postur TNI adalah wujud keterpaduan kekuatan, kemampuan, dan gelar kekuatan TNI. Pembangunan dan penggelaran kekuatan TNI tersebut harus memperhatikan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik dan pulau terpencil sesuai dengan kondisi geografis dan strategi pertahanan….” Jika kita mau membangun TNI yang profesional dan berkemampuan untuk menghadapi ancaman faktual, maka kita perlu TNI yang memiliki minimum essential forces seperti keinginan Departemen Pertahanan. Untuk itu, paling tidak kita harus mengacu pada prinsip-prinsip penyusunan Kebijakan Pertahanan Negara atau sistem pertahanan nasional sebagai berikut : 1. Memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. 2. Memadukan strategi penangkalan, perdamaian dan pertahanan aktif. 3. Mengandalkan konsep integrated armed forces. 4. Mengedepankan prinsip humaniter. Rekomendasi Dari rangkaian acara di sejumlah kota, ada beberapa masukan penting yang perlu diperhatikan: Umum 1. Perlunya pihak legislatif untuk memahami fungsi teritorial sebagai tugas dan wewenang pemerintah pusat (termasuk pemerintah daerah). Juga perlu peningkatan kemampuan aparat pemerintah sipil. 2. Perlunya penguatan pihak legislatif agar dapat mendorong amandemen penjelasan pasal 11 menjadi batang tubuh UU TNI. Ini dilakukan agar postur TNI yang ideal dapat terwujud lebih konkret, terukur dan terarah. 3. Perlu dilakukan segera upaya untuk menyusun suatu UU atau PP tentang perbantuan TNI. Sehingga tercipta suatu koordinasi efektif antar aparat keamanan dalam menghadapi keadaan mendesak atau darurat (bencana). Se-
lain itu dengan adanya UU ini segala hal berkaitan dengan tugas-tugas nontempur (OMSP) dapat dijamin dalam koridor hukum dan mekanisme akuntabilitas yang lebih jelas. 4. Perlu adanya dorongan bagi peningkatan kemampuan atau kinerja Polri untuk menangani masalah kamtibmas atau ketertiban umum. 5. Perlu keterlibatan masyarakat sipil sebagai stakeholder bidang pertahanan dalam merumuskan kebijakan publik, khususnya yang berkaitan dengan pertahanan. 6. Perlu didorong pembahasan segera RUU Komponen Cadangan atau suatu peraturan pemerintah, agar situasi kekosongan hukum sekarang ini dapat diakhiri, juga menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh aparat teritorial dalam memakai warga sipil dengan alasan mobilisasi masyarakat. Khusus 1. Fungsi pembinaan teritorial seharusnya dilakukan pemerintah pusat sesuai kewenangan masing-masing departemen. Artinya penyiapan potensi nasional seperti logistik, infrastruktur jalan dan jembatan dilakukan oleh masingmasing departemen teknis. Sehingga potensi nasional ini pada saat tertentu (darurat militer/perang) dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan maupun kebutuhan darurat lainnya. 2. Perlu disusun Strategic Defense review (SDR) komprehensif yang menggambarkan gelar kekuatan sesuai sifat dan bentuk ancaman aktual. Penyusunan suatu kebijakan pertahanan Indonesia hingga 10 atau 15 tahun kedepan diperlukan agar kemampuan pertahanan Indonesia bisa antisipatif. 3. Perlu segera disusun suatu doktrin pertahanan baru untuk mengganti doktrin yang lama. Sekarang doktrin sishankamrata tidak dipakai lagi sehingga terjadi kekosongan doktrin. 4. Perlunya Dephan untuk mengkaji ulang soal gelar kekuatan dalam bentuk komando teritorial (Kodam hingga babinsa) untuk melihat keefektifan dalam fungsi pertahanan. Pengurangan terhadap komando teritorial (khususnya Kodim, Koramil dan babinsa) yang tidak memiliki kemampuan operasional dalam fungsi pertahanan merupakan langkah untuk menghindarkan aparat TNI dari keterlibatannya dalam wilayah kewenangan sipil. 5. Perlu sinkronisasi kebijakan antara Dephan, Mabes TNI dan Angkatan maupun antar Angkatan dalam masalah-masalah pertahanan. Jalan keluarnya adalah mempercepat restrukturisasi institusi TNI menjadi bagian di dalam Dephan, sesuai penjelasan pasal 3 ayat (2) UU No. 34 tahun 2004. Hal ini perlu diwujudkan agar ada mekanisme akuntabilitas TNI terhadap otoritas politik. Semua uraian diatas adalah cermin keinginan banyak kalangan untuk melihat soal transisi fungsi teritorial dan keberadaan struktur komando teritorial. Ide refungsionalisasi koter semacam ini sudah digagas oleh pihak Mabes TNI pada tahun 2001 di bawah Panglima TNI Widodo AS.***
politik
09
Peran Politik Militer Tidak Diperlukan PENGAKHIRAN peran politik TNI merupakan syarat mutlah bagi terbentuk negara demokratis dengan supremasi sipil sebagai fondasinya. Demikian kesimpulan para peserta Pelatihan “Advokasi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan Indonesia” yang diselenggarakan Infid, Imparsial, dan KontraS Di Wisma Hijau, Cimanggis, 11-14 September 2006. Tuntutan reformasi TNI sebenarnya telah menjadi semangat dari gerakan reformasi 98, dan sedikit banyak mampu memberikan tekanan perubahan terhadap TNI. Di awal-awal reformasi, TNI mulai melakukan perubahan paradigma, sementara pemerintah berhasil mendorong pemisahan TNI dan Polri, menggelar pengadilan HAM, mengeluarkan TNI aktif dari legislatif dan yudikatif. Namun peserta pelatihan menyimpulkan, keberhasilan-keberhasilan tersebut tidak otomatis
mengakhiri peran politik TNI dalam ranah politik praktis. Sementara itu legislasi yang telah dilakukan pun belum sepenuhnya dapat mengontrol militer lantaran lemahnya fungsi kontrol DPR dan kesungguhan pemerintah melaksanakannya. Beberapa kasus yang muncul dalam 8 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa TNI tidak pernah mengakhiri peran politik secara sungguh-sungguh. Ranah politik praktis masih dianggap penting dalam rangka mempertahankan eksistensi, politik, ekonomi, dan impunitas atas segala bentuk pelanggaran hukum masa lalu mereka. Hambatan dan Tantangan Kedepan Hingga saat ini upaya mengakhiri peran politik TNI sebagai aktor keamanan atau alat kekerasan negara belum menuai hasil yang maksimal. Menurut pandan-
gan peserta pelatihan, TNI masuk dalam ranah politik dengan baik dengan munculnya nama-nama perwira aktif maupun purnawirawan dalam Pemilu nasional maupun lokal, maupun keterlibatan TNI dalam memenangkan salah satu calon dari kalangan sipil yang mereka usung. Termasuk juga dengan masuk pada struktur pemerintahan daerah lewat mekanisme Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida). TNI masih terlibat mempengaruhi kebijakan yang notabene bukan merupakan persoalan pertahanan, misalnya dengan masuk pada persoalan keamanan internal. Pelibatan ini dengan menunggangi isu-isu konflik dan sparatisme (Aceh, Papua, Poso dll) dan isuisu kelompok esktrim (ekstrim kiri, ekstrim kanan) sebagai bagian dari ancaman terhadap integitas nasional dan keutuhan NKRI, sehingga TNI penting untuk men-
gambil peran di garis depan. Masuknya TNI pada wilayah persoalan keamanan internal ditengarai masih merupakan bagian dari upaya TNI mempertahankan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik dan bagian dari strategi bargaining politik untuk mempertahankan impunitas atas kejahatan yang mereka lakukan di masa lalu. Mayoritas peserta pelatihan juga menyimpulkan bahwa eksistensi peran politik TNI yang terus berlanjut sampai dengan hari ini tidak terlepas dari dilemahkannya fungsi kontrol masyarakat sipil sejak masa Orde Baru. Pelemahan ini membuat kalangan masyarakat sipil alergi untuk bersentuhan dengan isu-isu TNI. Hegemoni militer juga telah membentuk sesat pikir kalangan pemerintahan sipil yang menempatkan militer sebagai aktor paling penting dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan, termasuk pemulihan ekonomi.
Kedepan, para peserta pelatihan menyimpulkan bahwa peranperan politik praktis TNI hanya bisa dilakukan dengan langkahlangkah berikut: Pertama, mengubah struktur TNI sehingga tidak yang tidak lagi mengikuti struktur pemerintahan sipil, termasuk dengan mengevaluasi Koter. Kedua, menghilangkan pelibatan militer dalam keputusan-keputusan politik pemerintahan sipil. Ketiga, perlunya kalangan organisasi masyarakat sipil masuk dan terlibat dalam mempengaruhi kebijakan terkait dengan reformasi TNI, antara lain melalui pemilu. Dan keempat, perlunya media pendidikan publik untuk menggalang dukungan dan menyebarkan informasi untuk mempengaruhi perubahan kebijakan semacam NGO harus masuk dalam parpol dalam rangka mempengaruhi secara langsung kebijakan sektor pertahanan.
Polemik Hak Pilih TNI Oleh : Mouvty Makaarim
Jakarta, - Gagasan untuk memberikan hak pilih bagi TNI memicu pro-kontra berbagai kalangan. SEBAGIAN besar yang tidak setuju beralasan koreksi atas peran TNI pada masa Orde Baru belum berjalan baik. Sementara yang setuju memandang gagasan itu sebagai media ‘kanalisasi’ hak politik TNI yang tersisa, setelah resmi keluar dari parlemen (TAP MPR No. VII/ MPR/2000). Kontroversi ini dapat dilihat positif dan negatif. Positif karena keberlangsungan reformasi TNI, ketaatan pada otoritas politik yang bersifat sipil serta pandangan tentang peran strategis TNI dalam pembangunan negara kembali diperdebatkan. Perdebatan yang menyimpulkan progress dan regress di tubuh TNI lah yang kemudian mendukung atau tidak mendukung gagasan adanya hak pilih anggota TNI tersebut. Sejauh ini, Paradigma Baru TNI dan upaya reformasi TNI oleh pemerintah memang masih tarik menarik dengan sejumlah problem dan kepentingan, antara lain keterbatasan budget dan sarana militer dan praktek bisnis militer yang masih berjalan serta kebutuhan untuk menangani hot spot area dan praktek impunitas dan penegakan hukum yang belum maksimal. Sementara dari sisi negatif, bahwa fenomena ini menunjukkan suatu upaya memunculkan kembali peran politik praktis TNI, sehingga institusi ini kembali menjauh dari profesionalismenya sebagai diatur dalam Undang-Undang No
34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia. Pandangan ini mengandaikan bahwa ancaman tersebut bukan muncul dari institusi TNI, namun justru dari ketidakdewasaan kalangan politisi sipil. Secara faktual, selama ini pelibatan purnawirawan TNI dan Polri dalam partai politik tidak didasarkan pada akomodasi hak politik anggota TNI dan Polri, namun sekadar sebagai kekuatan pendukung keseimbangan politik antar parpol. Apalagi yang selalu dilibatkan baik di level nasional maupun daerah adalah kalangan mantan perwira tinggi, perwira menengah atau perwira yang pernah memegang jabatan politik strategis dan populer di mata publik. Sementara hak-hak politik mantan perwira menengah dan prajurit bawah (bintara dan tamtama) juga tidak terakomodir sebagaimana hak-hak politik masyarakat sipil menengah ke bawah. Bermula dari permintaan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto beberapa hari menjelang pelantikan penggantinya Marsekal Djoko Suyanto oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar pemberian hak pilih TNI tidak ditunda-tunda lagi, perdebatan tentang hak pilih ini bergulir. Bagi Endriartono, hak pilih TNI adalah hak asasi prajurit sebagai warga negara untuk ikut terlibat dalam penentuan nasib bangsa. Dari sisi gagasan, tidak ada yang
•dok.AP Foto
aneh. Sebagai warga negara prajurit TNI secara individual juga memiliki hak dan kewajiban sama dengan kalangan sipil lainnya. Jika dilihat dari kekhawatiran pengaruh suara politik prajurit TNI yang bisa mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, rasanya terlalu berlebihan, mengingat jumlah prajurit secara keseluruhan hanya sekitar 400.000 atau tidak sampai 2 kursi di parlemen. Artinya sangat tidak signifikan. Kalau pun ada kekhawatiran penyalahgunaan wewenang, tentu menjadi tugas kalangan politisi di parlemen untuk membuat aturan main soal ini. Namun jika kita kembali pada konsepsi dasar tentang warga negara, maka pertanyaannya adalah, bagaimana kita memaknai kewarganegaraan prajurit TNI ? Prajurit TNI memiliki kewenangan yang tidak dimiliki warga negara biasa seperti memiliki senjata api, memiliki keterampilan dan keahlian penggunaan senjata dan alat-alat perang, serta kewenangan koersif dalam menjalankan tugasnya. Sungguh jauh dengan warga negara biasa, kecuali jika yang bersangkutan telah keluar dari dinas kemiliteran. Bagaimana menjamin kematangan politik TNI saat ini, mengingat rancangan reformasi TNI belum berjalan sepenuhnya dan konsep paradigma baru TNI masih mengandung polemik? Bagaimana pemilu dimaknai sebagai ajang pen-
yaluran suara warga negara? Bahkan kalau pun dibenarkan, apakah pemilu tahun 2009 merupakan saat yang tepat untuk mewujudkan itu? Tentu tidak mudah memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Tetapi penting untuk menjelaskan basis atau dasar dari sebuah pemilu demokratis untuk kemudian sampai pada kesimpulan perlu-tidaknya hak pilih TNI atau kapan hak pilih itu akan dapat diberlakukan. Pertama, Pemilu adalah tindakan yang tanpa makna jika tidak disertai adanya pilihan-pilihan dan kebebasan memilih. Kondisi ini mengandaikan suatu kedewasaan pemilih untuk mempublikasikan pandangan-pandangan mereka, mengkritik salah satu konstestan, serta mengorganisir dan menarik pendukung. Pada tingkat tertentu, perbedaan pandangan antar pemilih dan tarik menarik kepentingan terhadap suara pemilih tidak lagi pada hal-hal yang ringan seperti media, tempat atau waktu kampanye yang melanggar aturan, tetapi juga pada hal-hal yang berat seperti ideologi, bahkan menjurus kriminal seperti money politic. Kedua, dengan jatuhnya Rezim Soeharto, TNI mendapat kritik dan sorotan tajam dari publik nasional berkaitan dengan peningkatan eskalasi kekerasan negara di Aceh, Papua dan Timor Timur, penculikan aktifis politik, serta represi terhadap aksi-aksi mahasiswa dan
rakyat. TNI disamping secara resmi meminta maaf kepada publik (seperti yang dilakukan Jenderal Wiranto dalam kasus DOM di Aceh) juga memunculkan Paradigma Baru TNI yang mereposisi, redefenisi dan reaktualisasi peran TNI. Paradigma baru ini belum diikuti dengan menyerahkan pelaku pelanggaran HAM ke muka peradilan HAM. Dalam kondisi yang demikian, sulit rasanya mendapatkan dukungan untuk pemberian hak pilih. Karenanya, masih perlu perubahan sikap dari TNI soal pelanggaran HAM. Ketiga, kalaupun kedua masalah di atas dapat diatasi, maka perlu evaluasi format dan postur militer yang akan dikembangkan ke depan dan dipastikan aman dari penyalahgunaan melalui hak pilih. Perlu dipastikan preferensi politik para prajurit TNI –seperti dikatakan peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Edy Prasetyono. Menurut Edy, preferensi dimaksud bukan pada parpol yang akan mereka pilih, tetapi apakah mereka sudah relatif bebas dari hasrat atau ambisi atasan mereka (Kompas, 10 Februari 2006). Termasuk juga memastikan kedewasaan dan preferensi partai politik untuk tidak lagi menggoda TNI berpolitik praktis, cukup dengan hak pilih saja. Seandainya masih sulit dirumuskan, maka tidak perlu tergesa-gesa membuka hak pilih bagi TNI. EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
10
politik
Tentara dan Peristiwa G30S: Sejarah Tak Berpihak Pada Korban MESKI telah memasuki usia ke-40 tahun, teka-teki Peristiwa G30S masih saja mengundang pesona misteri sekaligus tanda tanya. Telah banyak versi tentang peristiwa tersebut bermunculan. Baik versi sejarah resmi Orde Baru, versi Cornell Paper maupun berbagai versi yang muncul melalui kesaksian para pelaku sejarah. Tahun 2005 ini giliran seorang akedemisi asal Cekoslowakia, Victor M Fic, dan akademisi asal Belanda, Antonie C.A. Dake, mengungkap versi baru yang tentu saja mengundang kontroversi. Keduanya menuduh bahwa Peristiwa G30S tak lain merupakan rekayaya Sukarno sendiri. Menurut Victor Fic, peristiwa tersebut adalah sebuah benang merah hasil konspirasi antara Sukarno-Aidit-Mao Tsetung untuk membersihkan pucuk pimpinan Angkatan Darat. Namun pada akhirnya konspirasi ini justru menjungkalkan Sukarno sendiri dan menghancurkan PKI. Victor yang lebih suka menyebut G30S sebagai GESTAPU menyatakan bahwa asalusul GESTAPU berawal di Zhongnanhai, Peking, Cina, antara Mao dan Aidit pada 5 Agustus 1965. Sedangkan Dake menyatakanbahwa peristiwa tersebut terjadi dengan sepengetahuan Sukarno. Yang jadi pertanyaan, betulkah temuan Victor Fic dan Antonie Dake itu sebuah fakta? Apa bukan sekadar fiksi “ajaib” dari sebuah imajinasi yang hebat? Kalau kita telusuri kembali sumber-sumber primer yang digunakan para penulis yang menuding Sukarno dan PKI sebagai pelakunya, tak lain adalah dokumen yang bersumber pada hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu). Semua orang tahu bahwa dokumen Teperpu dibuat berdasar pengakuan para korban yang tak tahan atas penyiksaan hebat yang mendera diri mereka. *** Bila kita memeriksa kembali sejarah G30S versi Orde Baru maka kita akan menemukan benang merah bagaimana Rezim Orde Baru menguasai mediamassa dan menggunakannya untuk melakukan kampanye hitam (black campaign). Media yang digunakan dalam hal ini adalah harian Angkatan Bersendjata, Berita Judha, dan Api Pancasila (Api). Petunjuk pertama tentang cara-cara pemanipulasian dengan baik dan tajam diungkap Saskia (1999). akan dimanipulasikannya pedalaman iman keislaman orang Jawa, muncul pada 11 Oktober melalui sebuah artikel pendek dalam AB yang diawali dengan kata-kata “hantu-hantu di siang bolong”. Kata yang dipakai untuk menyebut hantu itu ialah kuntilanak, roh perempuan yang mati pada saat persalinan, dan menjelma sebagai perempuan cantik yang berlubang pada punggungnya. Ruh yang sangat menakutkan ini bergentayangan pada malam hari. Artikel Angkatan Bersenjata itu menuliskan, “seperti diberitakan, bahwa orangorang kalap (yaitu kerasukan roh jahat) dari Pemuda Rakyat dan Gerwani, organisasi-organisasi payung PKI-Aidit, dengan giat melakukan perbuatan-perbuatan teror. Perempuan-perempuan tak dikenal mendatangi rumah-rumah para Pahlawan kita, dengan memakai mukena seakanakan mereka orang-orang Muslim. Gerak-gerik mereka menimbulkan kecurigaan, karena jelas mereka itu orangEDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
orang Gerwani. Untungnya rencana jahat mereka itu telah terbongkar, sebelum sempat melakukan perbuatan jahat terhadap keluarga para Pahlawan Revolusi. Kita harus waspada.” (Angkatan Bersenjata, 11 Oktober 1965). Tak kalah sadisnya, “cerita” tentang Letnan Tendean diungkap Angkatan Bersenjata dengan lebih gila lagi. “… cerita ini membuktikan tentang kebinatangan Gestapu ... Sesudah tertangkap ia disiksa dengan sangat kejam, karena para penculik itu mengira ia Jendral Nasution. Ia kemudian diserahkan kepada sukarelawan-sukarelawan Gerwani. lalu dengan tangan dan kaki terikat, Tendean menjadi permainan cabul setan-setan perempuan Gerwani, yang perbuatan mereka merendahkan martabat wanita Indonesia.” Koran yang tak kalah “hebatnya” yang perlu disebut adalah Api Pancasila (kerap disebut Api saja). Koran ini mengobarkan api kebencian ke masyarakat dengan cara melemparkan kebingungan. “Bagaimana kita harus menceritakan pada anak-anak perempuan kita?” tanya Api, khususnya sesudah memberitakan “cerita” yang sama tersebut di atas (Api, 12 Oktober 1965). Sehari sebelumnya, Api juga menyiarkan tuntutan Aisyah tentang pelarangan Gerwani, karena keterlibatannya dalam Gestapu yang mengakibatkan “ternodainya martabat wanita Indonesia”. Angkatan Bersenjata menambah bobot fiksi menyeramkan tentang Gerwani dengan menyatakan bahwa “sukarelawansukarelawan Gerwani telah bermain-main dengan para jendral, dengan menggosokgosokkan kemaluan mereka ke kemaluan sendiri”(Angkatan Bersenjata, 10 Oktober 1965) Berita Yudha Minggu tanggal yang sama memberitakan bahwa tubuh para jendral itu telah dirusak: “mata dicungkil, dan sementara itu ada yang dipotong kemaluan mereka (Berita Yudha, 11 Oktober 1965). Koran lain juga membuat kampanye yang sama. Dikabarkan bahwa Dewan Gereja Indonesia (DGI) menyatakan perasaan kesedihannya yang mendalam, karena “sungguh hampir tidak bisa dipercaya, bahwa orang-orang tertentu di negara kita yang ber-Pancasila bisa melakukan perbuatan-perbuatan, seperti perkosaan, yang di luar batas-batas kemanusiaan” (Sinar Harapan, 9 Oktober 1965). Harian Duta Masyarakat milik NU lain lagi. Harian ini memuat sebuah karangan pendek berjudul “Gerwani Bermoral Bejat”, yang mengulangi tuduhan AB, yaitu bahwa orang-orang Gerwani bermainmain kemaluan para jendral, sambil memperlihatkan kemaluan mereka sendiri. “ ... Bahkan, menurut sumber yang dapat dipercaya, orang-orang Gerwani menarinari telanjang di depan korban-korban mereka, tingkah laku mereka mengingatkan kita pada upacara kanibalisme yang dilakukan suku-suku primitif berabadabad yang lalu. Marilah kita serahkan pada kaum wanita untuk mengadili moral kewanitaan orang-orang Gerwani, yang bermoral bejat lebih buruk dari binatang,” tulis Duta Masyarakat (Duta Masyarakat, 12 Oktober 1965). Semua pemberitaan itu sepertinya memang dibuat untuk menyiapkan sebuah aksi balas dendam yang masif. Pada 12 Oktober semua kantor Gerwani dibakar
•REPRO. Tempo.co.id
para demonstran sambil meneriakkan “bubarkan PKI!” dan “hidup Bung Karno!” Belakangan Angkatan Bersenjata memberitakan, bahwa dari penggeledahan di semua kantor Gerwani diperoleh sejumlah dokumen Gerwani, yang “membuktikan” bahwa Gerwani telah merencanakan untuk “melakukan tindakan teror menyabot perekonomian, perdagangan dan produksi” (Angkata Bersenjata, 14 Oktober 1965). Sebagai hasil pencarian “bukti” tentang kekejaman dan kebejatan moral, serta perbuatan-perbuatan tak kenal peri kemanusiaan yang mereka nyatakan itu, Angkatan Darat memperlihatkan sebuah peti berisi enam puluh clurit, yang dikatakannya sebagai kepunyaan Pemuda Rakyat. Dikatakan, berdasar pengakuan seorang tersangka (yang tentunya didapat dari hasil penyiksaan), bahwa clurit tersebut akan digunakan untuk mencungkili mata “mereka yang harus dibunuh”. Foto dan berita seperti itu dikuatkannya lagi berbagai bentuk jurnalisme, misalnya sebuah kartun politik dalam Angkatan Bersenjata yang menyampaikan “suara rakyat” dengan menuliskan antara lain, “Siapa akan mengira bahwa latihan-latihan di Lubang Buaya itu akan menghasilkan buaya-buaya dan bukan Srikandi-Srikandi sejati, yang akan berjuang bahu membahu dengan kaum laki-laki untuk Revolusi kita? ... Pemudi-pemudi kita dewasa ini harus diajar agar menjadi revolusioner yang cakap, berani, beradab dan rendah hati dan selalu menjaga sopan-santun istimewa kewanitaan mereka.” (An-
gkatan Bersenjata, 16 Oktober 1965) Nada kampanye menjadi semakin garang. Gerwani harus dibubarkan, dan “penjahat-penjahatnya” digantung di depan umum! “Mereka itu pelacur!” Tercatat ada empat semboyan pokok dipakai dalam kampanye saat itu: “Ganyang PKI!”, “Gantung Aidit!”, “Aidit Setan Dajal!”, dan “Gerwani Lonte!” Hujatan atas “pri-kebinatangan” Gerwani kian lengkap ketika janda salah seorang jendral yang terbunuh mengatakan, “Tidakkah Gerwani telah mengkhianati keluarga, bangsa, rakyat Indonesia dan Revolusi Indonesia?” (Angkata Bersenjata, 28 Oktober 1965). Yang lebih hebat lagi adalah berita fiksi yang dijadikan fakta. Misalnya, di Karang Asem di Jawa Tengah, sumbersumber ABRI melaporkan 97 orang telah dibunuh orang Komunis. “Menurut sebuah keterangan yang disebarkan kepada Rakyat Karang Asem, dengan bantuan Pemuda Rakyat dan Gerwani para pengacau PKI menyerukan kata-kata suci “Allahu Akbar”, lalu melempar debu ke mata penduduk desa. Tapi cara-cara licik dan primitif ini akhirnya terbuka kedoknya, karena gerombolan PKI itu menggunakan cara-cara yang sangat mudah dikenali: mereka tidak berpakaian selembar pun” (2 November 1965). Tak ayal, akibat semua fiksi yang difaktakan itu kemudian terjadilah aksi balas dendam. Aksi pembersihan dalam arti sebenarnya yang disertai “upacara pencucian” kemudian dilakukan masyarakat dengan dukungan penuh pasukan pimpi-
politik nan Sarwo Edhie. Kebanyakan dari mereka di ambil oleh barisan pemuda pada malam hari. Mereka dibawa dengan kedua jempol mereka terikat ke belakang. Dengan iringan obor, mereka digiring ke pinggir sungai dan dieksekusi secara bergantian oleh angggota sejumlah ormas pemuda yang telah menunggu di tempat itu. Banyak di antara mayat mereka ditemukan penduduk dalam keadaan mengambang pada keesokan harinya. Celakanya lagi, foto-foto para korban yang kemudian diedarkan pihak Angkatan Darat itu sengaja disebut sebagai foto “para korban” keganasan PKI. Kesatuan Aksi semakin meningkatkan kegiatannya. Sebuah rapat umum diadakan di Lapangan Banteng Jakarta, yang dikabarkan dihadiri 1,5 juta pengunjung. Tema rapat umum ini kesetiaan pada Presiden Sukarno dan kebijakan-kebijakannya, menuntut pelarangan PKI dan ormasormasnya, dan menuntut agar mereka yang terlibat dalam Gestapu dibawa ke pengadilan (BY 10 November 1965). Potret demonstrasi yang disiarkan memperlihatkan sebuah spanduk dengan kata-kata “Gerwani haram di Indonesia”. Kata “haram” yang digunakan berarti terlarang menurut agama Islam. Gencarnya pemberitaan cerita-cerita tentang perbuatan “durjana”, yang konon telah diperbuat oleh orang-orang Komunis “kafir” itu, telah menimbulkan psikosis ketakutan. Menurut pers tabloid, masyarakat secara psikologis dibikin siap untuk membunuh atau orang lain siapa saja, yang dianggap tergolong orang PKI atau salah satu ormasnya. Para pemimpin agama kemudian mulai memicu aksi pembunuhan massal. Seruan perang sabil ini selanjutnya didengung-dengungkan banyak pemimpin Muslim, yang memberikan pembenaran mereka bahwa pembunuhan terhadap kaum Komunis merupakan “kehendak Allah”. ABRI sendiri terus berusaha mengorek “pengakuan” dari orang-orang Gerwani tentang dosa-dosa mereka yang mengerikan itu. Untuk mengetahui lebih jauh tentang “kebejatan moral” para pemberontak, beberapa wartawan diajak masuk ke penjara. Anggota militer yang mengantar menjelaskan, “Di sini, anggota-anggota ormas yang dahulu militan, “yang bersuara lebih garang dari suara harimau, sekarang tinggal ratap tangis saja.” Para wartawan pun sekali lagi melukiskan anggota Gerwani dilukiskan dengan secara khusus. “Melihat mereka kita kadang-kadang merasa jijik, tapi kadangkadang juga merasa kasihan. Karena banyak di antara mereka yang hanya mengerang-erang saja, sedang sementara yang lain lagi berpakaian dan berperilaku begitu rupa, yang tidak enak bagi orangorang yang sopan. Ini bukannya karena mereka disiksa. Sama sekali tidak! Perwira Humas menjelaskan kepada kita, bahwa mereka diperlakukan menurut norma-norma yang berdasarkan atas Pancasila. Tidak karena itu. Tapi karena mereka diliputi ketakutan oleh perbuatan-perbuatan hina yang pernah mereka lakukan, dan karena jiwa mereka kosong, baik dari norma-norma agama maupun dari moralnya yang cabul (Berita Yudha Minggu, 21 November 1965). Sementara itu Presiden Sukarno berusaha menahan arus pasang gontok-gontokan. Ia memutuskan untuk menerbitkan hasil otopsi mayat para jendral yang menunjukkan bahwa semua berita tentang pemotongan kemaluan dan pencukilan mata, semuanya itu bohong. Ia mengundang para wartawan untuk setia kepada kenyataan dan menghindari penyebaran berita-berita bohong. Hanya satu suratkabar menerbitkan pernyataan ini, yaitu Sinar Harapan edisi 13 Desember 1965.Tapi itu pun tak ada faedahnya. Dari sisi dan etika jurnalistik, berita
yayatan penis para jendral yang sama sekali tersebut sulit untuk dipertanggungjawabtak terbukti. Mereka mengaku menemui kan. Sejumlah kalangan menyatakan cerkesulitan dengan penyusunan laporan ita tersebut lebih merupakan sebuah fiksi akhir otopsi, sebab berita yang dilansir yang sengaja dihadirkan untuk memberi media massa dan kemudian berkembang nuansa teror, sekaligus melegalisasi terror di masyarakat sudah terlanjur misleading yang lebih kejam terhadap mereka yang (menyesatkan-red). dituduh bertanggungjawab atas pembunuSementara itu, pihak Angkatan Darat han para “Pahlawan Revolusi”. Dalam hal dengan bersusah payah akhirnya berhasil ini, sejumlah kalangan mensinyalir, agen menyusun seluruh mozaik fiksi yang intelijen Amerika (CIA) terlibat. hendak dibangun. Saksi-saksi “dikutip”, Kampanye atas kekejaman itu bukan dan foto-foto dicetak di koran-koran. Sisaja dibuat atas dasar kebohongan dan aran tv dan radio sengaja disusun guna cerita rekaan semata, tapi memang senmengungkapkan kengerian yang konon gaja dirancang untuk menyulut kemarahterjadi di Lubang Buaya. Namun, para an umum terhadap kaum komunis dan saksi mata menyatakan semuanya itu adsekaligus menyiapkan panggung pembunualah hasil rekayasa. han besar-besaran dengan alasan “dendam Beberapa orang yang juga mempunyai rakyat”. kesaksian tentang para gadis tahanan yang Gelombang pembunuhan massal yang ditelanjangi, diambil potret mereka, dan ‘konon” merupakan aksi balas dendam kemudian disiarkan seakan-akan diambil “rakyat” terhadap kelompok komunis yang di Lubang Buaya. Tapi bukan begitu saja terjadi pada 1965-1967 sendiri sebetulncara mereka menyusun dan menyiarkan ya lebih merupakan sebuah hasil manipukabar bohong. Berbagai cerita lain disiarlasi kebenaran. Sebab, faktanya operasi ini kan, sejumlah kesaksian lain pun dipalsudilakukan oleh pasukan elit Angkatan Darkan. Hanya sesudah tahanan-tahanan Gerat yang melakukan gelombang “pergerawani itu dibebaskan, mereka yang masih kan” dari arah Jawa Barat ke Bali. Pasuhidup bisa mengumpulkan berbagai cerikan yang dipimpin langsung oleh Sarwo ta yang didengar dari sesama perempuan Edhi ini dalam melakukan operasinya dentahanan. Dari semuanya itu bisa diketgan mengerahkan para pemuda setempat. ahui, bagaimana pihak Ada banyak kesaksian militer menyusun “keyang menceritakan saksian” yang mereka bagaimana operasi gunakan untuk menpembersihan ini didukung kampanye terlakukan secara brutal, Dari hasil visum tim or mereka. tanpa mengindahkan Cerita fiksi kekejahukum dan penghordokter yang diketuai man Gerwani kian matan hak asasi, dan Brigjen TNI dr Roebiono lengkap ketika pihak lebih merupakan aksi Kertapati didapati militer mendengar ada balas dendam yang tak 3 perempuan dewasa jelas juntrungannya. bahwa cerita soal ikut di Lubang Buaya, Fiksi soal kekejapenyayatan kelamin yaitu Saina, Emmy man yang dijadikan oleh anggota Gerwani dan Atikah. Agen infakta itu bertahan putelijen dan militer segluhan tahun lamanya merupakan isapan era melakukan pengedan dikutip berulangjempol belaka. Kelamin jaran. Kebetulan di kaulang oleh para warsemua jenasah utuh. wasan Halim, sebatawan dan kalangan gaimana umumnya sejarawan. Hanya harMalah ada sebuah pangkalan militer, ada ian Sinar Harapan pada jenasah yang banyak tempat pelacu13 Desember 1965 ran. Di tempat terseyang menyangkal hal kelaminnya belum ini dan memuat hasil disunat. Diduga karena but, ada dua orang yang bernama Saina dan visum tim dokter sealmarhum memang Emmy. Dua peremcara lengkap, tapi tampuan ini ditangkap dan paknya terjadi tekanan beragama Kristen. disiksa hebat. Para pelhingga setelah itu harTentang bola mata acur ini tidak segera ian ini kembali memyang copot, hal itu dibebaskan. Sementara beritakan versi yang itu Atikah pun tidak “baik dan benar”. dikarenakan saat pernah tertangkap, ia Fakta dan fiksi jelas dicemplungkan ke mengganti namanya dua hal yang berbeda. Fakta asli sebetulnya sumur posisinya adalah dengan Jamilah. Tapi Angkatan Darat tahu, bisa diungkap melalui kepala terlebih dulu. Atikah alias Jamilah ini publikasi hasil otopsi berasal dari daerah tim medis terhadap Senen. Pengejaran injenasah 6 jendral dan tensif mulai dilakukan seorang perwira yang di sana, sampai mereka berhasil medikubur di Lubang Buaya di kawasan Ponnangkap dua perempuan, seorang Atikah dok Gede, bukan kawasan Halim (Tim dan seorang Jamilah. Keduanya disiksa AURI, 1999). Namun fakta ini sepertinhebat. “Jamilah”, “Saina”, dan “Emmy” ya secara sengaja disembunyikan rapatternyata menjadi sangat berjasa buat tenrapat. Baru pada 1987, seorang indolog tara dalam membangun plot fiksi kekejadari Universitas Cornell, Ben Anderson, man anggota Gerwani. mengungkapnya dan menimbulkan kehePelacur Emmy dibebaskan dari blok bohan (Ben Anderson, “How Did the tahanan kriminil Bukit Duri pada AgusGeneral Die” dalam Indonesia No 43, tus 1965. Hukuman itu sendiri dijalaninApril 1987). ya atas dasar tuduhan melacur. Sesudah Dari hasil visum tim dokter yang dibebaskan ia segera kembali ke pekerdiketuai Brigjen TNI dr Roebiono Kertajaannya di Halim. Pada Oktober 1965 ia pati didapati bahwa cerita soal penyayakembali lagi dimasukkan ke Bukit Duri, tan kelamin oleh anggota Gerwani merutetapi kali ini di blok tahanan politik. Ia pakan isapan jempol belaka. Kelamin sebuta huruf dan belum pernah mendengar mua jenasah utuh. Malah ada sebuah jeapa pun tentang Gerwani. Ia disiksa henasah yang kelaminnya belum disunat. bat. Tapi akhirnya kepadanya dijanjikan Diduga karena almarhum memang beragakan dibebaskan dan diberi uang sebanyama Kristen. Tentang bola mata yang coak satu juta dua ratus ribu rupiah, yang pot, hal itu dikarenakan saat dicemplungbaginya terdengar mustahil, jika ia mau kan ke sumur posisinya adalah kepala termenandatangani sebuah surat pernyataan. lebih dulu. Ia tidak tahu tentang apa pernyataaan itu, Tim dokter yang memeriksa keadaan tetapi ia merasa lega karena penyiksaan jenasah merasa ketakutan dfengan adanya tekanan lewat pemberitaan tentang penberhenti, dan surat itu pun ditandatanga-
11 ninya. Fakta penyiksaan dalam rangka mengangun “fiksi” kekejaman itu, menurut sejumlah kalangan, dilakukan dengan cara yang tak kalah kejamnya. Gagang pecut ditusuk-tusukkan ke dalam lubang vagina perempuan yang dipaksa mengaku dirinya sebagai anggota Gerwani yang kejam. Bahkan tali pengikat kerbau diikatkan di lehernya. Ia kemudian ditarik berjalan telanjang di depan para tahanan laki-laki. Sorang narasumber menceritakan tentang tahanan muda-mudi yang dipaksa bersetubuh, sementara itu arus listrik disengatkan ke alat kelamin mereka. Membangun Orde Ketertiban Bagaimana akhir dari fiksi yang berubah jadi fakta tersebut? Kita semua tahu, bukan hanya Gerwani dan sejumlah ormas dan partai yang dilarang, tapi juga Soekarno didongkel dan dikenai tahanan rumah hingga akhir hayatnya. Bagian dari masa lalu yang berhubungan dengan Soekarno dimaknai sebagai “Orde Lama” dengan cara memroklamirkan rejim baru, “Orde Baru”. Seluruh fakta dan fiksi yang tumpangtindih itu dimaknai sebagai sebuah orde yang penuh dengan kekacauan, gontokgontokan, anti-ketertiban, penuh dengan revolusi, pengkianatan, pembunuhan dan seterusnya. Sementara “Orde Baru” mengidentikkan diri sebagai sebuah tatanan baru yang penuh dengan kedamaian, ketertiban, setia dan konsekuen pada UUD 45 dan Pancasila secara konsekuen dan seterusnya. Orde Baru juga mengganti revolusi dengan pembangunan, sebuah hal yang lebih berkonotasi memiliki efek manfaat, praktis dan efisien. Sejarah panjang organisasi Gerakan Wanita Indonesia ditutup dengan cara menjadikannya sebagai bagian epilog dari Pengkianatan G-30-S/PKI yang juga sering disebut sebagai Gestapu. Sebuah julukan yang sengaja dibuat Jendral Sugandhi untuk mengingatkan orang akan kekejaman Nazi Hitler, meski sebetulnya tak cocok dengan struktur bahasa Indonesia. Tentang sebutan Gestapu, Soekarno lebih suka menyebutnya sebagai Gestok (Gerakan Satu Oktober) yang lebih sesuai dengan fakta bahwa Gerakan Untung dkk dilakukan pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965. Sejarah Gerwani yang pernah jadi pembela kaum perempuan dan anak-anak itu kini hanya jadi gambaran kaum sundal di dinding relief Museum Pengkhianatan G30-S/PKI dan film “Pengkhianatan G30S/ PKI” karya Arifin C. Noer serta sejumlah buku sejarah. Sesekali, minimal setahun sekali, penguasa mengingatkan kembali masyarakat akan gambaran kekejaman para perempuan sundal di masa lalu. Melalui cerita kekejian Gerwani, rezim Soeharto berhasil membangun Rejim Orde Baru. Dimulai dari pemenangan wacana melalui penguasaan mediamassa, Soeharto dan kawan-kawan berhasil membubarkan PKI, menangkapi lawan-lawan politiknya, menjebloskan orangt-orang pro-Sukarno ke penjara, membubarkan semua partai dan organisasi nasionalis pro-Sukarno. Dan bukan hanya itu, dengan alasan melancarkan perang terhadap semua elemen kiri dan Komunis, Soeharto berhasil membungkam dunia internasional untuk tidak bereaksi apapun terhadap pembunuhan massal, penghilangan paksa dan penangkapan sewenang-wenang terhadap jutaan orang tanpa melalui pengadilan. Hal ini terjadi hingga bertahun-tahun Soeharto berkuasa dan berhasil membangun sebuah rezim otoritarian. Dalam pemutarbalikan antara fakta dan fiksi yang terjadi, pers pada awal Orde Baru memiliki peran yang tak sedikit. Barangkali, karena itulah, akses untuk menelusuri kembali pemberitaan mediamassa, yang secara jurnalistik berkualitas rendah itu, hingga kini tak bisa dilakukan secara terbuka.•Stanley EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
12
ekonomi & bisnis
Problematika Anggaran Pertahanan SELAMA ini pembicaraan tentang anggaran Pertahanan di Indonesia senantiasa dikaitkan dengan besaran anggaran. Hal ini setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, masih dominannya anggapan bahwa besaran anggaran pertahanan merupakan satusatunya hal terpenting dalam kaitannya pembangunan sistem pertahanan kita menyebabkan pembicaraan tentangnya hanya mempersoalkan minimnya anggaran pertahanan sebagai justifikasi ketidakmampuan dan buruknya kinerja pertahanan kita. Kedua, dengan mengabaikan persoalan lain, seperti mekanisme penganggaran, kita tidak pernah menyentuh dasar persoalan yang mungkin lebih penting yaitu rumitnya politik birokrasi dan mekanisme penganggaran itu sendiri. Persoalan ini juga mengemuka dalam berbagai kajian tentang reformasi sektor keaman (security sector reform) yang menunjukkan bahwa persoalan-persoalan yang berkaitan dengan sistem pembiayaan pada umumnya jauh lebih penting dari persoalan besarnya anggaran (Hendricson and Ball, Off Budget Military Expenditure and Revenue, 2002 hal. I). Kontrol atas sistem pertahanan jauh lebih kompleks dan acapkali melibatkan pertarungan politik birokrasi yang lebih luas. Sistem pembiayaan itu menyangkut berbagai pihak yang memiliki tanggungjawab sesuai dengan kewenangannya Departemen Pertahanan, misalnya, merupakan institusi yang berwenang untuk menyelenggarakan kebijakan pertahanan negara. Markas Besar TNI dalam melaksanakan kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah. Selain itu masih terdapat beberapa institusi yang, menurut tatanan demokratik, dapat memainkan peranan penting. Parlemen, sebagai perwujudan perwakilan rakyat, mempunyai kewenangan untuk melakukan kontrol atas kebijakan yang disusun pemerintah, hingga tingkat tertentu, kebijakan operasional TNI. Lembaga judikatif tentu memainkan peran sesuai dengan kewenangannya dalam menegakkan akuntabilitas operasional TNI. Departemen Keuangan, yang menurut ketentuan perundangan yang berlaku merupakan institusi yang memegang uang negara, tentu memainkan peran melalui kewenangannya itu. Tulisan ini hanya menyoroti persoalan sistem penganggaran di Dephan yang ada selama ini. Persoalan pembiayaan dan sistem penganggaran Selama kurun waktu 5 lima tahun terakhir kemampuan negara untuk mengalokasikan anggaran pertahanan rata-rata pertahun dibawah 1% dari PDB (khusus untuk 2004 mencapai 1,07 dari PDB, sumber : Dirjen Rensishan Dephan). Sebagai ilustrasi pembanding, negara-negara di kawaasan Asia Tenggara pada umumnya memiliki anggaran pertahanan diatas 2% dari PDB. Bagi negara yang tingkat ancamannya memiliki resiko lebih tinggi, anggaran pertahanannya bahkan berkisar 4-5% dari PDB. Dengan alokasi anggaran dibawah 1% dari PDB tentu sangat sulit untuk membangun kekuatan minimal sekalipunpun. Beberapa temuan menarik didapatkan pada pemeriksaan terhadap Anggaran 2002 semester I, khususnya penyimpangan pada belanja Departemen Pertahanan, TNI dan Polri Dalam pengelolaan pos belanja pemEDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
•dok.serambinews.com
bangunan dengan pembiayaan luar negeri misalnya, ditemukan penyimpangan 22,05 persen pada penggunaan pinjaman luar negeri berupa fasilitas kredit ekspor pada Departemen Pertahanan, TNI dan Polri dengan penyimpangan sebesar 35,52 persen atau Rp. 4,266 triliun. Hasil kajian INFID selama satu tahun terhadap Struktur Program dan Anggaran Pertahanan (SPA HANNEG) yang melibatkan para akademisi, praktisi, Dephan, Mabes TNI dan BPK menawarkan konsep alternatif terhadap sistem penganggaran yang ada. Seperti diketahui bahwa Struktur Program dan Anggaran Pertahanan Negara (SPA HANNEG) yang ada sekarang ini (berdasarkan SKEP Menhan Nomor 1698/M/2002) merupakan SPA Hanneg yang ke 7 (tujuh) sejak Pemilu 1971 dengan Nama Petunjuk Pembinaan Keuangan Hankam (Jukbinku Hankam). Alasan perubahan tersebut diantaranya didasarkan pada pemikiran reorganisasi Departemen, anggaran yang terbatas sehingga dana yang ada harus dioptimalkan seefektif dan seefisien mungkin, tugas Dephan/TNI dalam penyelenggaraan fungsi Pertahanan Negara memiliki kekhususan tersendiri yaitu kerahasiaan, mobilitas tinggi, kesatuan komando dan rantai komando sehingga diperlukan Badan Keuangan (Baku) tersendiri. Dalam pelaksanaannya menganut prinsip-prinsip : a. Pembinaan Tunggal Keuangan (Single Financial Management) untuk menjamin ketertiban, keseragaman, efisiensi dan efektifitas serta kesinambungan dilingkungan Dephan/Mabes TNI. b. Saluran tunggal berjenjang melalui badan-badan keuangan Dephan dan Mabes TNI
c. Pemisahan wewenang/kekuasaan dan tanggungjawab antara Otorisator, Ordonatur dan Bendaharawan dalam Pengurusan Keuangan Negara. Namun dalam prosesnya ternyata SPA Hanneg 2002, masih memiliki kelemahan, kendatipun Menhan tidak memiliki otoritas yang besar dalam mekanisme aliran uang karena telah dilimpahkan pada Kapusku Dephan namun rantai komando dengan jenjang birokrasi yang masih panjang masih merupakan kendala bagi mekanisme penganggaran. Diantaranya adalah perencanaan anggaran yang disusun belum berdasarkan potensi dan kemampuan satuan yang menggambarkan anggaran pertahanan Negara. Praktek anggaran (budgetary process) yang ada saat ini, menunjukkan adanya dualisme kewenangan antara Departemen Pertahanan (Menteri Pertahanan) dan Markas Besar TNI (Panglima). Padahal, menurut ketentuan perundangan yang berlaku, misalnya UU No. 3/2002, seharusnya Panglima [hanya] berwenang untuk menggunakan kekuatan militer (pasal 18 ayat 2). Sebaliknya, Menteri Pertahanan merupakan representasi pemegang otoritas politik. Menteri Pertahanan mempunyai kewenangan untuk “menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan oleh TNI…” (pasal 16 ayat 6). Dan itu ditegaskan pula dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara bahwa Menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut “menyusun rancangan anggaran kementrian negara/lembaga yang dipimpinnya, menyusun
dokumen pelaksanaan anggaran, melaksanakan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya (pasal 19 ayat 1,2,3) Selain itu, beberapa kelemahan yang menghambat pelaksanaan tugas TNI diantaranya: Sistem otorisasi dan anggaran yang mengacu kepada sistem Komando, merupakan sistem pengelolaan keuangan yang panjang (terdapat lima tingkat) dari tingkat satker (melalui pekas) sampai dengan tingkat Departemen (Dirjen Rensishan). Sistem otorisasi dan anggaran tersebut tidak menunjang penyediaan dana bagi program dan kegiatan dan dari sudut efisiensi waktu maupun ringkasnya arus birokrasi. Akibatnya menjadi kendala tersendiri dalam penyediaan dana untuk pelaksanaan program kerja di lingkungan TNI. Hal ini justru bertentangan dengan tujuan dibentuknya Badan-Badan Keuangan tersendiri di lingkungan TNI yang tujuannya dapat memberikan pelayanan keuangan yang cepat, tepat dan dapat menjamin kerahasiaan pelaksanaan tugas tersebut. Merujuk UU Keuangan Negara ps 3/ 2003 dan pasal 56 Keppres 42/2002, yang menekankan bahwa seluruh anggaran baik rutin maupun pembangunan diwajibkan melakukan pembayaran melalui KPKN, yang artinya Dephan maupun Mabes TNI juga diwajibkan untuk mengikuti ketentuan tersebut. Perlu dipikirkan kembali sistem penganggaran yang dapat merespons kebutuhan TNI dengan mempertimbangkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, dimana kerahasiaan harus dipahami dalam kerangka operasi maupun strategi militer bukan menyangkut tentang sistem penganggaran. Sehingga minimnya anggaran pertahanan yang ada selama ini dapat dikelola secara optimal dengan adanya sistem penganggaran yang lebih memadai.***
ekonomi & bisnis
13
Perpres Bisnis Militer Macet Jakarta, - Pengambil-alihan bisnis TNI yang dijanjikan akan dibacakan pada tanggal 16 Agustus 2006 oleh Presiden SBY sampai hari ini Perpres itu tidak pernah terbit. Padahal itu diperlukan sekali untuk memperjelas mekanisme pengambilalihan bisnis TNI.
PENDAPAT itu dikemukakan peneliti LIPI Jaleswari Pramodhawardani dalam sebuah acara diskusi Reformasi Sektor Keamanan di Wisma Hijau, 12 September. Dani mengaku heran mengapa pada 16 Agustus itu Presiden juga batal untuk membicarakan tentang pengambilalihan bisnis TNI ini. Padahal, waktu itu menurut Sekjen Dephan Perpres itu sudah digodok di Setneg. “Kita tahu Menkeu sendiri telah menolak adanya pelimpahan tempat bisnis militer ini kepada PPA (Perusahaan Pengelola Aset). Alasannya adalah PPA didirikan dengan alasan yang jelas yaitu mengambil alih aset eks BPN yang tidak bermasalah, yang tidak menyebabkan unsur yang berkaitan dengan hukum, artinya sudah melalui audit. Sedangkan bisnis TNI belum melalui proses itu” ujar Dani menjelaskan. Selanjutnya Dani mengatakan, hal ini bisa dibaca sebagai ketidaksiapan Dephan untuk provoke pengambil-alihan, karena
memang ketidakjelasan bisnis TNI. Kita hanya tahu angka tanpa tahu kegiatan perusahaan. Ada memang aturan Pasal 76 UU TNI. Tapi pengaturan bisnis TNI di pasal itu bukan satu-satunya peraturan yang ada. Jauh sebelum itu saat rejim Orde baru pernah diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No.6 tahun 1974 tertera dengan jelas bahwa ABRI dilarang berbisnis. Tapi PP itu tidak bisa berlaku efektif. Juga berlaku doktrin-doktrin yang memposisikan kedudukan ABRI itu sendiri bahwa semua bidang kehidupan terbuka bagi ABRI. Apalagi UU 2/1988 tentang prajurit ABRI, Pasal 6 dikatakan bahwa ABRI dengan dwifungsinya seputar bidang sosial politik. Jadi kalau bicara tentang pengaturan bisnis TNI sudah ada, tapi implementasinya terhambat. “Memang betul Presiden SBY mengatakan perlu pengambil-alihan bisnis TNI. Tapi itu berhenti pada wacana, tidak diikuti dengan operasionalisasi ditingkat lapangan”, ujarnya. Dani mengatakan,
dalam waktu 5 tahun pemerintah sudah kehilangan waktu 2 tahun soal Perpres bisnis TNI. UU TNI mensyaratkan adanya pengambilalihan bisnis TNI. Tapi setiap kita bicara tentang pengambilalihan bisnis militer kita selalu dihadapkan pada dua isu penting yaitu anggaran pertahanan yang kecil dan kesejahteraan prajurit yang rendah. Dua alasan ini seolah ikut melegitimasi bahwa bisnis militer itu perlu karena negara tidak mampu menutupi kebutuhan anggaran pertahanan tentara. Ini juga alasan yang timbul ketika adanya laskar pada zaman pergerakan tahun 1945. Dulu, tentara dan laskar rakyat itu punya otonomi untuk membiayai diri sendiri, saat itu dengan penyelundupan candu, pengadaan candu dan sebagainya untuk membiayai peralatan persenjataan. Itu bergulir terus, akhirnya tahun 1952 kemudian ada cikal bakal koter yang membiayai diri sendiri di daerah. Dan ini yang eksis sampai sekarang sebagai koter. Jadi ketika kita bicara bisnis militer, kita harus paham untuk selalu mengkaitkan dengan organisasi TNI. Kita tahu budget tentara atau polri berpusat pada APBN. Tapi nyatanya kita juga tahu hampir seluruh propinsi mendapat pembiayaan dari daerahnya masing-masing. Sebenarnya harus ada pengaturan yang jelas bahwa pembiayaan tentara harus berasal dari APBN saja. Karena berkaitan dengan pentingnya strategi pertahanan,
yang harus dilakukan terpusat. Kita juga tahu anggaran operasi militer menyelip di anggaran untuk bencana alam. Karena tentara telah terbiasa membiayai dirinya sendiri dengan berbisnis jadi tidak mudah untuk mengubah mindset ini. Apalagi selama 32 tahun era Soeharto ada semacam hegemoni militerisme terhadap kesadaran sipil. Jadi tidak mengherankan kalau DPR dan masyarakat sipil kadang mengamini sesuatu yang bersifat military style. Anggota DPR sendiri bilang pengambilalihan bisnis TNI bukan prioritas. Mindset inilah yang kemudian bukan sekedar harus dieliminir tapi juga harus dikawal untuk melihat proses ini. “Working group kami menawarkan bahwa pengambilalihan bisnis ini bila bisa dilakukan secara tertib dan dengan desain yang sudah kita rancang relatif bisa dilakukan dalam jangka dua tahun, tapi sekarang sudah dua tahun lewat kita belum melakukan apa-apa” ujarnya sedikit kesal. Kasus yang paling hangat adalah Freeport. Freeport sendiri mempersoalkan besarnya dana yang harus dibayarkan pada TNI. Walau TNI sendiri mengatakan hanya 20% dari uang yang berjumlah triliunan itu. Masalah ini harus lebih diatur karena pertahanan lebih ke public good, bukan private good. Dengan adanya penyewaan jasa pengamanan itu memposisikan baik tentara atau polri tidak lebih seperti satpam swasta ketimbang harus menjaga kedaulatan negara.***
Bisnis Keamanan di Pertambangan DENGAN alasan minimnya dana pemerintah untuk membiayai personil, PT FI menyediakan fasilitas kepada aparat negara untuk melindungi operasi, fasilitas, dan personil PT FI. Militer Indonesia betulbetul ditempatkan dan menempatkan diri sebagai centeng yang dibayar mengamankan operasi PT FI. Seperti halnya centeng dan preman yang disewa pemilik toko, “tali uang” antara pelaku industri dengan institusi pertahanan dan keamanan begitu nyata. Sehingga tak usah heran akan kuatnya kecenderungan pelanggaran HAM di wilayah-wilayah operasi pertambangan adalah benar adanya. Pada tahun 1995, Uskup Muninghoff melaporkan terjadinya pelanggaran HAM disekitar pertambangan PT FI Kucuran dana tersebut selain melanggar hukum Indonesia, juga menimbulkan pertanyaan besar atas independensi TNI dan kepolisian dalam penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara. Alasan korporasi bahwa operasi pertambangan merupakan obyek vital yang perlu dilindungi tidak dapat dijadikan dasar untuk membenarkan praktik bayar-membayar ini. TNI dan kepolisian merupakan alat negara dimana seluruh biaya bagi penyelenggaraan kemanan negara bukan keamanan operasi korporasi seharusnya dibiayai oleh APBN, bukan korporasi. Kisah serupa Freeport berlangsung pula pada operasi Newcrest. Alasan pengamanan operasi pertambangan dijadikan dalih oleh Brigade Mobil (Brimob) POLRI dan pihak perusahaan untuk menangkap 250 orang masyarakat adat Kao dan Malifut yang sedang melakukan unjuk rasa damai, serta pembunuhan dengan penembakan dalam jarak dekat pada bulan Januari 2004 di lokasi tambang PT Nusa Halmahera Mineral. Juru Bicara Newcrest, Peter Reeve, membenarkan bahwa Newcrest secara langsung membayar pejabat-pejabat senior militer untuk perlindungan. Petinggi-petinggi tersebut sebagai gantinya, mengerahkan pasukan dibawah komando mereka. Dari laporan dan pengakuan di atas, pendekatan kekerasan tampaknya merupakan satu-satunya pilihan ampuh untuk mengamankan operasi pertambangan di mata penyelenggara negara yang lebih sibuk menguru-
si keamanan dan kenyamanan pemilik modal dan pelaku industri tambang ketimbang rakyat yang hidup di lingkar operasinya. Bahkan pihak penyelenggara negara mengamini alasan pihak perusahaan, karena operasi pertambangan merupakan obyek vital yang perlu dilindungi. Potret yang terang benderang tentang betapa patuhnya penyelenggara negara, termasuk aparat pertahanan dan keamanannya‘ kepada pemilik modal dan pelaku industri tak perlu disangkal lagi. Alasan klasik tentang rendahnya anggaran rutin TNI dan POLRI dari APBN tentu saja tidak dapat diterima akal sehat, karena keberadaan kedua institusi itu adalah untuk melindungi rakyat Indonesia yang hidup turun temurun sebelum perusahaan tambang beroperasi di wilayah tersebut. Belum pernah ada pengalaman dimana rakyat Indonesia di lingkar wilayah operasi pertambangan memperoleh perlindungan oleh aparat negara karena mereka tidak dianggap sevital dan sepenting industri tersebut. Pada setiap konflik yang pecah antara pihak perusahaan dengan masyarakat setempat akibat tidak kuatnya mereka mengemban kesusahan berkepanjangan akibat dampak negatif operasi pertambangan, sudah dapat diduga aparat TNI dan POLRI akan maju menjadi benteng pelindung perusahaan. Di berbagai wilayah operasi pertambangan di Indonesia, keterlibatan TNI dan Kepolisian RI dalam mengamankan korporasi dirasakan sangat kental. Konflik yang sering muncul antara pihak perusahaan/korporasi dengan masyarakat dan komunitas setempat selalu menempatkan masyarakat pada posisi dirugikan. Berbagai kasus menunjukkan bagaimana TNI telah ‘dipakai’ oleh koporasi dalam meniadakan ‘gangguan’ terhadap operasi pertambangan serta memuluskan laju operasi pengerukan kekayaan alam yang sangat eksploitatif dan merusak. Menurut George Junus Aditjondro (2003), keterlibatan militer dalam kerusuhan dan konflik-konflik pada wilayah-wilayah kaya sumber alam memberikan keuntungan bagi pihak perusahaan, antara lain (1) kerusuhan akan menurunkan nilai tanah (karena kondisi tidak aman); dan, (2) menggusur penduduk setempat (asli/
bukan) sehingga mempermudah pembebasan tanah ataupun kawasan perairan. Masih menurut Aditjondro (2003), selain imbal atas “jasa keamanan,” penanganan konflik ternyata menjadi ajang “latihan dan prestasi” bagi aparat militer. Arianto Sangadji (2006) dalam tulisannya berjudul “Kekerasan Poso dan Ekspansi modal, menggambarkan fakta keterkaitan konflik dengan ekspansi modal yang berkedok kekerasan. Bagi korporasi-korporasi raksasa, kekerasan Poso seperti blessing in disguise. Pasukan-pasukan tempur organik yang ditempatkan di Poso dan sekitarnya, dengan dalih meredam kekerasan, justru “berdwifungsi” sebagai pelindung modal dari oposisi para petani. Dua kompi pasukan dari TNI dan Brimob ditempatkan di Morowali, dekat wilayah konsesi PT Inco, Rio Tinto, Pertamina dan Medco, dan perkebunan sawit milik Guthrie, Malaysia. Lokasi proyek PLTA Poso terletak persis di antara Markas Yonif 714/Sintuwu Maroso dan markas kompi senapan C Yonif tersebut, dalam jarak antarmarkas sekitar 70 kilometer. Dengan demikian, korporasi-korporasi itu menarik keuntungan dari “militerisasi” di bawah ketidaknyamanan Poso. Di berbagai wilayah operasi pertambangan di Indonesia, keterlibatan TNI dan Kepolisian RI dalam mengamankan korporasi dirasakan sangat kental. Konflik yang sering muncul antara pihak perusahaan/korporasi dengan masyarakat dan komunitas setempat selalu menempatkan masyarakat yang telah menjadi korban akibat dampak negatif operasi pertambangan pada posisi dirugikan. (lihat tabel) Hubungan mesra industri pertambangan dan militer terjadi karena dua hal. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu: (1) usaha pertambangan selalu berhubungan dengan pengerukan kekayaan alam yang sangat besar dan senantiasa bertumbukan dengan hak-hak rakyat atas sumber kekayaan di wilayah yang dikeruk berikut kekayaan yang terkandung di dalamnya, sehingga dibutuhkan (2) pengamanan modal yang telah diinvestasikan. Apa pun dilakukan negara demi terjaminnya keamanan dan kenyamanan iklim berinvestasi di wilayah operasi pertambangan. •Siti Maemunah EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
14
ekonomi & bisnis
Pengambilalihan dan Penataan Bisnis TNI
•dok.scramble.nl
SEJAK inventarisasi bisnis militer diselesaikan Mabes TNI dan diserahkan kepada Departemen Pertahanan RI, proses pengambilalihan bisnis militer telah menginjak babak baru. Perkembangan ini dapat dikatakan signifikan melihat inventarisasi ini merupakan langkah pertama yang dapat dilihat oleh publik sejak komitmen pengambilalihan ini dimaktubkan dalam pasal 39 dan pasal 76 UU No. 34/2004 tentang TNI pada bulan Oktober tahun 2004. Artinya selama hampir satu tahun pemerintah, dalam hal ini Presiden, Departemen Pertahanan RI, maupun Mabes TNI tidak menunjukkan langkah konkret dalam mewujudkan mandat kedua pasal UU TNI tersebut. Diselesaikannya inventarisasi ini segera dilanjutkan dengan verifikasi terhadap badan-badan usaha milik TNI oleh sebuah desk di Kementrian Negara BUMN untuk menentukan mana badan usaha yang akan menjadi BUMN (holding company), perum, dan PT. Meski akhirnya diputuskan untuk sementara waktu berbagai unit bisnis tersebut akan dikelola oleh satu badan yang berada di bawah kontrol Departemen Keuangan bernama Perusahaan Pengelola Aset (PPA), sebelum ditentukan bentuk badan usaha pasca pengambilalihan, terlebih dulu berbagai aktivitas bisnis TNI yang tertera dalam inventarisasi ini melewati penilaian (asesment) yang memperlihatkan kepemilikan aset. Dengan menggarisbawahi bahwa hanya bisnis militer yang memiliki aset di atas 20 miliar rupiah dan merupakan aset negara yang akan diambilalih. Meskipun merupakan sebuah langkah maju, inventarisasi, hingga pada pembentukan PPA yang akan mengelola aset bisnis TNI merupakan sesuatu yang perlu dipertanyakan legalitas maupun legitimasinya. Pertanyaan legalistiknya adalah apa posisi inventarisasi bisnis TNI vis a vis Peraturan Presiden (atau Keputusan Presiden) yang merupakan aturan pelaksana mandat pasal 39 dan 76 UU No. 34/2004? Kedua pasal tersebut, termaktub dengan jelas pada ayat 2 pasal 76, dilaksanakan melalui Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden. Artinya, langkah apa pun yang dilakukan dalam rangka pengambilalihan bisnis TNI, termasuk inventarisasi, harus didasari pada aturan pelaksana tersebut. Kriteria bentuk aktivitas bisnis TNI yang diinventarisasi harus ditentukan terlebih dahulu melalui Peraturan Presiden yang dapat diakses oleh publik. Begitu pula dengan tahap-tahap EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
pengambilalihan dan kerangka waktu yang digunakan, harus menjadi bagian dari pengaturan Peraturan Presiden. Pembuatan inventarisasi bisnis TNI yang mendahului dikeluarkannya Peraturan Presiden tentang Pengambilalihan Bisnis TNI bukan hanya merupakan tindakan ekstra-legal tetapi mengaburkan langkah-langkah pengambilalihan selanjutnya. Kondisi ini dapat mengakibatkan kontrol dan penilaian masyarakat maupun pemerintah terhadap pengambilalihan bisnis militer tidak dapat dilakukan. Ketiadaan mekanisme pengawasan juga tidak dimungkinkan karena inventarisasi bisnis TNI tidak dipublikasikan dan hal ini membuat legitimasi inventarisasi yang dibuat Mabes TNI dan Dephan RI ini patut dipertanyakan. Masyarakat tidak pernah tahu perusahaanperusahaan apa saja yang sebenarnya terdaftar dalam inventarisasi tersebut. Terlepas dari pertanyaan legalitas dan legitimasi inventarisasi bisnis TNI, proses yang terjadi hingga sekarang juga menunjukkan adanya penyimpangan dari tujuan ideal dari pengambilalihan bisnis militer, yaitu menarik mundur TNI sepenuhnya dari kehidupan politik dan ekonomi untuk membangun profesionalisme TNI (ditunjukkan oleh spesialisasi fungsi pada pertahanan) dan tata kelola sektor pertahanan yang demokratis (ditunjukkan dengan pengawasan sipil terhadap anggaran pertahanan dan ketiadaan otonomi TNI dalam hal anggaran). Ketaatan terhadap dua tujuan ini semestinya diindikasikan dengan proses pengambilhan bisnis militer yang lebih demokratis yang dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden tentang pengambilalihan bisnis militer yang memuat definisi kerja aktivitas bisnis militer, tata cara pengambilalihan, batas waktu pengambilalihan, tahapan pengambilalihan, dan langkah koordinatif dengan departemen yang terkait. Setidaknya ada empat alasan, diluar masalah legalitas dan legitimasi mengapa pengambilalihan bisnis TNI secara prinsip telah keluar dari tujuannya. Pertama, dinamika pengambilalihan aktivitas bisnis TNI yang terjadi saat ini menunjukkan ketiadaan kepemimpinan politisi sipil. Hampir tidak ada political will dari pemerintah, maupun parlemen untuk sesegera mungkin melakukan pengambilalihan bisnis TNI. Setelah lebih dari satu tahun berjalan, sebagaimana yang diurai di atas hampir tidak ada langkah-langkah konkret dari proses tersebut. Bahkan in-
ventarisasi diserahkan kepada institusi yang seharusnya bersifat pasif dalam proses pengambilaihan tersebut. Dengan mendominasi proses pembuatan inventarisasi, Mabes TNI dapat menentukan aktivitas bisnis apa saja yang harus diambilalih. Kedua, sejak kali pertama, Mabes TNI sudah membangun garis demarkasi: hanya bisnis TNI yang diatas 20 milyar rupiah saja yang dapat diambil alih, sementara yang lain tertutup untuk diambil alih. Ditutupnya kemungkinan mengambilalih bisnis TNI dengan aset kurang dari 20 miliar rupiah dan tidak menggunakan aset negara memungkinkan TNI untuk tetap memiliki bisnis di masa yang akan datang. Ketiga, perdebatan tentang posisi yayasan, dan khususnya koperasi dengan mengedepankan tentang kesejahteraan prajurit. Hal ini membangun dilema bagi banyak pihak, karena faktanya koperasi dan juga yayasan justru menjadi bagian dari proses ekonomi yang harus dihilangkan dari tugas-tugas TNI. Terlepas dari bagaimana tetap menjaga agar kesejahteraan prajurit, namun hal tersebut harus ditegaskan bahwa cepat atau lambat semua aktivitas bisnis TNI harus diambil alih, dan tanggung jawab negaralah yang memenuhi semua anggaran pertahanan, di mana kesejahteraan prajurit menjadi salah satu bagiannya.
Keempat, minimnya sosialisasi dan keterlibatan publik, baik organisasi sektoral, maupun masyarakat secara umum. Bisa jadi alasannya karena isu ini masih menjadi konsumsi elit dan akademisi saja, belum sampai dikonsumsi masyarakat. Atau juga karena secara prinsipil isu tersebut berada di wilayah abu-abu, di mana tidak sedikit pula dari masyarakat sipil lainnya menerima atau bahkan hidup dari bisnis yang dikelola TNI. Bisa dikatakan bahwa partisipasi publik, baik pasif sebagai penerima informasi, juga aktif dalam pengawasan, maupun monitoring dari proses pengambilalihan bisnis TNI tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses pengambilalihan bisnis militer saat ini tidak hanya menunjukkan absennya kepemimpinan politisi sipil terhadap TNI, tetapi juga tidak tuntas dalam mewujudkan mundur TNI dari kehidupan ekonomi. Selain itu minimnya partisipasi publik dalam mengawasi, maupun memonitor proses pengambilalihan bisnis TNI oleh pemerintah. Sehingga hasil dan bentuk apapun yang didapat dari proses pengambilalihan dan penataan Bisnis TNI tidak akan membuka pintu bagi militer yang profesional, karena berbagai proses tersebut makin menegaskan bahwa sejatinya proses pengambilalihan dan penataan Bisnis TNI jauh panggang dari api! •Muradi
•dok.scramble.nl
ekonomi & bisnis
15
Alasan Bisnis Militer Tak Masuk Akal Human Rights Watch (HRW), organisasi pemantau HAM berbasis di New York, mengungkapkan, alasan TNI untuk berbisnis adalah mitos yang sulit untuk dipertanggungjawabkan. DEMIKIAN kesimpulan utama penelitian HRW berjudul “Too High a Price: Human Rights Costs of the Indonesian Military’s Economic Activities” yang diluncurkan di Hotel Aryaduta, 21 Juni lalu. Mitos yang dimaksud HRW adalah pertama, bisnis dilakukan karena dana pemerintah hanya cukup untuk sebagian kecil kebutuhan militer. Kedua, bisnis militer menciptakan pendapatan yang besar untuk mengisi kesenjangan anggaran. Ketiga, keuntungan bisnis militer digunakan untuk kesejahteraan prajurit. Dalam pandangan aktivis Indonesia selama ini, tiga alasan itu memang sulit dibuktikan kebenarannya. Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI kerap menggambarkan betapa seluruh pembiayaan TNI tidak dapat dipenuhi negara. Angka yang dikemukakan selalu berkisar 25-30 % dari total budget yang bisa dipenuhi negara, dan dari nilai tersebut sekitar 70 % terserap untuk pembiayaan prajurit dan overhead kantor. Selebihnya habis untuk pembiayaan perawatan peralatan dan fasilitas militer. Dengan begitu TNI berinisiatif memenuhinya dengan mencari sumber pemasukan lain melalui bisnis. Faktanya, dengan minimnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan TNI, maka statistik yang disampaikan bisa jadi bukanlah angka yang sebenarnya. Pun juga tidak pernah diungkap sumber pembiayaan pemerintah lainnya di luar anggaran pertahanan. Misalnya danadana non-budgeter untuk keamanan (pemilu, even internasional, dll), dana-dana operasi militer dan dana-dana penanganan bencana alam, dll. Pembiayaan militer dari sumber-sumber alternatif seperti barter dan kredit eksport atau danadana subsidi pemerintah. Sebagai contoh, kredit ekspor yang digunakan untuk pengadaan peralatan militer bernilai total US$ 160 juta pada tahun 2002, US$ 448 juta pada tahun 2003 dan US$ 449 juta pada tahun 2004. Statistik yang disampaikan pejabat militer juga tidak menyebutkan sumbersumber pembiayaan dari perusahaan-perusahaan yang memakai jasa keamanan TNI. Bantuan-bantuan militer luar negeri, meskipun berupa grants, subsidi atau dukungan peralatan juga patut dianggap sebagai sumber pembiayaan TNI diluar budget pertahanan atau income tambahan.1 Kedua, mitos bahwa bisnis militer sangat signifikan mengatasi kesenjangan pembiayaan militer, mengasumsikan seluruh bisnis militer berjalan menguntungkan. Namun TNI ternyata menjalankan berbagai cara bisnis, legal maupun ilegal. Dalam mencari pembiayaan, keinginan mencari keun-
tungan sendiri juga muncul, sehingga dalam beberapa tahun terakhir kontribusi yang diberikan sangat tidak signifikan mengatasi kebutuhan di luar budget. Seringkali tidak diketahui dengan pasti, berapa besar keuntungan yang diperoleh. Dalam bisnis keamanan, biasanya kalangan militer menerima bayaran yang cukup besar, bisa memberikan tambahan pembiayaan kantor, tetapi juga dikorupsi. Bisnis-bisnis ilegal biasanya menghasilkan keuntungan lebih besar, tapi tidak pernah ada perkiraan keuntungan yang dinyatakan terbuka. Dalam beberapa kasus, prajurit atau perwira militer yang berbisnis juga memberikan setoran kepada rangkaian ‘posisi penting’ di atasnya atau mereka yang ‘mendukung’ kegiatan bisnis itu. Ketiga, prajurit militer sejauh ini memang tidak mendapatkan penghasilan memadai untuk kebutuhan dasar dan keluarganya. Gaji bulanan yang diterima prajurit dimulai dari Rp. 650.000,- (sekitar US$ 70) untuk level terendah dan Rp. 2 juta (sekitar US$ 220) untuk level senior. Prajurit-prajurit dapat saja menerima tambahan penghasilan, tapi harus berjuang memperoleh itu dengan mendukung pelibatan atasannya dalam bisnis. Tidak aneh jika ada pandangan bahwa atasan yang sukses adalah yang mampu mensejahterakan unit-unit dan prajurit di bawahnya. Ini juga sulit untuk dibenarkan alasan sosial, mengingat program semacam ini adalah tindakan korupsi. Dalam kasuskasus yayasan yang ditujukan memberi kesejahteraan berupa rupiah, asuransi kesehatan, pendidikan, dan pensiun untuk janda dan anak-anak yatim TNI, umumnya tidak berjalan. Yang mendapat keuntungan justru para pensiunan militer yang terlibat, itu pun tidak mengikuti sistem formal institusi. Dalam kasus lain, para komandan justru leluasa, memakai keputusannya dalam penggunaan keuntungan, tanpa pencatatan. Penelitian-penelitian tentang bisnis-bisnis militer menunjukan bahwa bisnis kalangan bersenjata justru mengakibatkan ongkos ekonomi-politik dan Hak Asasi Manusia yang sangat mahal. Terkait dengan pelanggaran HAM, bisnis militer tidak dapat dilepaskan dari kejahatan politik, kejahatan ekonomi, dan pembiaran terhadap kriminalitas oleh aparat TNI. Pada tingkat tertentu, kejahatan politik dan kejahatan ekonomi tersebut dapat langsung dijelaskan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran HAM. Sementara untuk pembiaran atas kriminalitas, maka pemunculan pelanggaran HAM bisa dilihat dari seberapa serius pemerintah berani mengambil tindakan pada kejahatan-
kejahatan tersebut. Bisnis sebagai kejahatan politik dan menimbulkan pelanggaran HAM biasanya berbasis pada lemahnya kontrol terhadap institusi militer dalam operasi-operasinya, minimnya pemberian fasilitas maksimal dalam penugasanpenugasan militer, dan tidak adanya mekanisme untuk mempersalahkan dan menjatuhkan hukuman. Keseluruhan kondisi tersebut telah menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest), antara menjalankan tugas dan mencari penghasilan tambahan bagi institusi dan individu. Operasi militer yang digelar bisa ’meluas’ dengan mempertimbangkan kemungkinan memperoleh keuntungan ekonomi didalamnya. Sebagai kejahatan ekonomi, bisnis militer mendompleng bisnis perusahaan-perusahaan lokal, nasional, multinasional. Kegiatankegiatan pengamanan, debt collector, dan beking telah menjadi ’pekerjaan sampingan yang diprioritaskan’ baik oleh negara dalam pengamanan objek dan proyek vital, maupun oleh institusi militer sendiri ketika menjadi centeng perusahaan. Dari sisi akuntabilitas dan netralitas juga dapat dipersalahkan, karena militer menerima pemasukan lain selain APBN. TNI tidak akan bisa berdiri netral ketika perusahaan menghadapi masalah dengan pekerjanya, masyarakat setempat, atau pemerintah daerah setempat. Untuk pelanggaran HAM yang merupakan kelanjutan dari tindak kriminalitas anggota militer, biasanya berkaitan dengan politik impunitas (impunity) oleh negara. Dalam kasus ini negara gagal untuk menuntut tanggungjawab atau mengadili kasus-kasus kriminal yang mengandung unsur bisnis oleh kalangan militer seperti perampokan, pemerasan, perdagangan manusia (human trafficking), perdagangan kayu ilegal (illegal logging), pembajakan, prostitusi, perjudian, perdagangan narkotika, minuman keras, dan senjata. Praktek-praktek bisnis militer itu telah berkontribusi terhadap lunturnya profesionalisme, meningkatnya kekerasan militer, dan sulitnya TNI tunduk pada otoritas politik sipil. Penelitian HRW mempertegas betapa seriusnya masalah bisnis militer di Indonesia sampai hari ini. Penelitian ini juga mengidenfikasi soal-soal kunci dalam reformasi TNI terutama berkaitan dengan penghapusan bisnis-bisnis militer. Keuangan yang tidak akuntabel Meski konstitusi menyatakan pengelolaan keuangan pemerintah dilakukan secara transparan dan akuntabel, tampaknya ini belum berlaku bagi kalangan militer. Minimnya kontrol keuangan dan politik juga menjadi faktor yang terkait dengan tidak adanya akuntabilitas. Tidak ada assesment Permintaan biaya negara tak disertai assessment kebutuhan.
Mulai sejak perencanaan hingga pelaksanaan, proses penyediaan budget memiliki banyak soal. Pemerintah selalu melakukan penyesuaian anggaran terhadap pelbagai kebutuhan, namun untuk pembiayaan militer masih belum menjadi prioritas. Pada saat yang sama Menteri Keuangan dan Anggota DPR komplain atas budget yang diajukan Menteri Pertahanan dan mempertanyakan penjelasan atas besarnya dana yang diajukan. Tidak seimbang Tidak berimbangnya pemenuhan anggaran dengan total pembiayaan yang dibutuhkan. Secara umum publik dan beberapa kalangan setuju dengan pemenuhan budget militer hanya bersumber dari anggaran negara. Di sisi negara, fokus pada perbaikan alokasi budget TNI dan keseriusan mendukung pengembangan postur pertahanan yang layak juga dipertanyakan. Tidak heran jika kemudian muncul mitos bahwa negara tidak pernah mampu membiayai kebutuhan anggaran militer secara penuh. Ketidakjelasan statistik biaya Seringkali angka yang dilaporkan sangat tidak konsisten. Sebagai contoh, menurut Menteri Pertahanan total budget militer pada 2003 adalah 17.2 trilyun, namun versi pemerintah justru beragam, mulai dari 9.7 trilyun, 15 trilyun, 18.3 trilyun, dan 27.4 trilyun. Adanya dana-dana off-budget. Tidak ada yang yang bisa memastikan berapa besarnya, sebagai mana tidak bisa dipastikan total penerimaan militer dari berbagai sumber keuangan negara dari level pusat dan daerah. Kolusi dan mark up Masalah ini kerap terjadi dalam pengadaan peralatan militer. Hampir selalu ditemukan skandal dalam pengadaan peralatan militer, mulai dari kolusi dan mark up hingga ke soal kualitas alat yang dibeli. Apalagi dengan diperbolehkannya militer juga menggunakan fasilitas kredit ekspor, maka ruang untuk menjalankan praktek-praktek semacam ini selalu tersedia. Fungsi audit tidak maksimal Auditor pemerintah yang memeriksa laporan keuangan TNI membatasi pemeriksaannya pada pembiayaan non-operasi, seperti pada pembiayaan gaji prajurit. TNI biasanya menghindar dengan berbagai taktik, misalnya dengan menanyakan kembali informasi yang ingin diminta, menyatakan bahwa informasi yang diiinginkan belum tersedia, atau membatasi akses pada dokumen-dokumen dengan alasan kerahasiaan. Penyalahgunaan aset Praktik ini juga merugikan negara. Temuan BPK pada tahun 2004 menunjukkan bahwa koperasi-koperasi di lingkungan TNI telah mendapat keuntungan yang begitu besar dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas negara dan
tidak membayar retribusi dan pajak-pajak. Sayangnya, tindakan yang telah merugikan negara ini tidak dikenakan pinalti apapun. Upaya pemerintah untuk mengambilalih bisnis-bisnis di lingkungan TNI lambat dan berteletele. Pengajuan rancangan keppres tentang pembentukan tim inventarisasi bisnis, pembentukan kelompok kerja, surat menyurat resmi Menteri Pertahanan kepada Panglima TNI dan tiga kepala staf Angkatan, hingga verifikasi telah menghabiskan waktu 2 tahun. Sementara waktu terus bergulir. Undang-undang TNI menyatakan pada pasal 76 bahwa, “Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang-undang ini, Pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung; dan Tata cara dan ketentuan lebih lanjut diatur dengan keputusan Presiden.” Seputar kerja pengambilalihan aset ini, informasi sampai ke publik pun sangat simpang siur, mulai dari angka verifikasi sekitar 219 unit bisnis militer, 12 diantaranya akan diambilalih dimana ratarata aset tersebut bernilai di atas 50 miliar, hingga angka 900 sampai 1000 unit bisnis TNI, dari yang kecil hingga yang besar pada Februari 2006. Angka yang dikeluarkan DEPHAN pada pertengahan Maret melejit hingga 1.520 unit bisnis. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono pernah menyatakan bahwa Keputusan Presiden mengenai penetapan auditor independen dalam verifikasi pengalihan bisnis militer akan terbit April 2006, menunggu hasil supervisi yang dilakukan oleh Menteri Negara BUMN. Pada kesempatan lain keppres itu akan diumumkan bersamaan dengan pidato tahunan Presiden pada 16 Agustus 2006. Faktanya, hampir dua tahun setelah undangundang ini disahkan, keputusan presiden yang mengatur tentang pengalihan bisnis tersebut belum teralisasi. Apa yang dibicarakan di atas baru sebatas bisnis yang dipandang ’legal’, diakui atau tercatat, baik di dan oleh institusi TNI di masing-masing angkatan atau di pemerintah. Sementara disinyalir, militer juga masuk wilayah bisnis ’abu-abu’ atau bahkan ilegal dan kriminal. Contoh, terungkapnya kasus uang keamanan perusahaan pertambangan Amerika Serikat yang berbasis di New Orleans, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.kepada Kodam Trikora, kasus illegal logging di Papua yang dilakukan bersama oleh perwira tinggi TNI, pejabat pemerintah dan penegak hukum setempat antara 2002-2004, serta kasus temuan 185 pucuk senjata api berbagai jenis di kediaman Wakil Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), almarhum Brigadir Jenderal Koesmayadi adalah sedikit dari fakta-fakta praktek-praktek bisnis ’abu-abu’ atau ilegal/kriminal tersebut.*** EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
16
ekonomi & bisnis
Tentara, Emas, Minyak, Kayu dan Tambang Jakarta- Bisnis militer di Indonesia di era kemerdekaan merupakan upaya memenuhi kesiapan operasional untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun kemudian, bisnis justru dipakai untuk memperkaya sekelompok jenderal.
•dok.poengky
•dok.poengky
•dok.poengky
EDISI 001/ TH KE-1 | OKTOBER 2006
KEPENTINGAN tentara atas bisnis, kian menguat setelah para elite tentara diberi kesempatan memimpin dan mengendalikan perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi atas alasan keamanan. Setelah itu tentara tak hanya bermimpi memimpin perusahaan hasil nasionalisasi. Elite tentara saat itu juga mulai memanfaatkan peluang untuk melakukan berbagai klaim atas tanah-tanah perkebunan yang masih dikuasai oleh kolonial sebagai milik perseorangan. Keasyikan menguasai sejumlah perusahaan dan tanah-tanah bekas koloni tersebut, membuat elite tentara bahkan institusi militer kian ekpansionis. Ini mempengaruhi bercokol-nya bisnis militer yang kian luas di zaman Orde Baru. Alasannya, mengembangkan dan menopang stabilitas pembangunan, percepatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Peluang pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru digunakan untuk membangun mitos-mitos ketangguhan militer. Ini terjadi juga lantaran lemahnya kekuatan pembaharu kalangan sipil akibat format politik represif kekuasaan militer Soeharto. Pembangunan Orde Baru Akibat lanjutannya, tercatat sejak tahun 1967 saja, bisnis militer sudah menjelajar kebanyak bidang usaha. Apalagi setelah dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan, Pertambangan dan Penanaman Modal Asing (PMA). Termasuk bisnis sumber daya alam HPH, perkayuan, agrobisnis, perkebunan termasuk industri berskala besar dalam pertambangan. Pertengahan tahun 1970-an Orde Baru memberi peluang lebih besar bagi perkembangan usahawan nasional yang melibatkan militer sebagai pelaku ekonomi. Kehadiran tentara dalam skenario pembangunan dinilai mampu menciptakan dan mengamankan iklim yang kondusif bagi perkembanagn investasi di Indonesia. Di era orde baru saat itu, trend fungsi tentara tidak hanya dua fungsi (dwifungsi), tapi menjadi tiga fungsi; Keamanan, Politik dan Bisnis. Merebaknya bisnis militer hingga saat ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Namun berawal dari kesalahan membangun konstruksi pembangunan, yang memberikan privilege luar biasa kepada militer dalam berbagai bisnis. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional dibawah rezim otoriter Soeharto memang menempatkan posisi pemerintah terlalu kuat. Tidak hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, tapi juga bertindak sebagai pelaku. Sebab itu pemerintah kerap memerlukan dukungan militer dalam mencegah masalah-masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat. Terutama membangun infrastruktur, antara lain menyangkut pembebasan tanah dalam suatu wilayah kelola masyarakat. Demikian pula untuk mengamankan infrastruktur modal pemerintah dan investor, diperlukan pengamanan militer. Inilah yang juga mendorong kian signifikannya bisnis-bisnis militer. Isu keamanan teritorial lewat pembentukan dan pemekaran jumlah Kodam, Korem, Kodim bahkan Koramil punya peran besar bagi ekspansi bisnis tentara. Komando teritorial daerah merupakan tulang punggung
bisnis militer. Mitologi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seperti ini membawa bisnis militer kian menggurita. Sejak itu hampir semua sektor bisnis sumberdaya alam melibatkan elite militer dan memakai prajuritnya untuk pengamanan perusahaan. Alhasil, eskalasi kekerasan dalam wilayahwilayah bisnis sumberdaya alam seperti pertambangan, perkayuan, perkebunan terus meningkat. Dari emas hingga tanah Laporan resmi tahunan Freeport Mc Moran yang beroperasi di tanah adat Papua, menuliskan Freeport telah memberi sejumlah uang kepada tentara di luar pajak. Antara lain pemberian uang sejumlah 5,6 juta US Dollar pada tahun 2002, 5,9 juta US Dollar pada tahun 2003, dan 6,5 juta US Dollar pada tahun 2004. Bahkan Freeport Mc Moran memberi uang keamanan setiap tahun untuk melindungi keamanan wilayah ekploitasi pertambangan. Demikian pula untuk pengamanan sekaliber Exxon Mobile di Aceh. Ada sekitar 100-150 pos militer di sekitar lokasi perusahaan masing-masing 25-50 personil. Dana yang dikeluarkan Exxon perhari diperkirakan 33,75 sampai 127,5 juta. Artinya militer mendapat setoran sekitar Rp 12,15 M sampai dengan Rp 45,9 M setiap tahun, itupun hanya dari Exxonmobil (Tempo, 2002). Di bidang perkayuan, banyak sekali perusahaan kayu yang terlibat pencurian kayu mendapat beking militer. Aparat kepolisian, kehutanan sendiri mendapatkan uang suap. Menurut data yang dikeluarkan Telapak, militer di Papua terlibat dalam setiap aspek penebangan liar, termasuk beberapa pemegang HPH setempat yang berhubungan dengan yayasan milik militer, terutama perusahaan Hanurata yang menguasai 5 HPH. Dalam bisnis, personil militer kerap direkrut perusahaan untuk pengamanan demi kelancaran kegiatan penebangan dalam konsesi illegal. Pihak militer juga dimanfaatkan untuk intimidasi masyarakat yang menentang kegiatan penebangan di atas tanah mereka. Data WALHI dari berbagai kejadian yang melibatkan militer dalam bisnis sumberdaya alam, sering memperlihatkan keterlibatan tentara untuk pengusiran paksa masyarakat atas hak kelolanya, penghilangan orang secara paksa, pembunuhan, penganiayaan, intimidasi, dan perkosaan. Termasuk memicu konflik horizontal dengan caracara provokatif. Keterlibatan militer dalam bisnis sumberdaya alam tidak hanya mengakibatkan pelanggaran hak sipil-politik seperti disebutkan diatas. Tapi juga mengakibatkan pelanggaran dan hilangnya hak ekonomi sosial budaya dalam masyarakat. Bahkan keterlibatan tentara dalam berbagai tindak pengamanan investasi sumberdaya alam juga mendapat sejumlah konsesi lahan yang dirampas dari masyarakat. Hingga kini, ini merupakan masalah serius. Tentara memang dibutuhkan untuk mengamankan wilayah Indonesia. Tapi mengapa banyak fakta memperlihatkan kebutuhan itu sebagai ladang bisnis yang merampas kehidupan rakyatnya sendiri?***