HUKUM ALAM: PERKEMBANGAN, SUMBANGAN DAN PROSPEKNYA Muh. Zumar IAIN Surakarta Email :
[email protected] Abstract Hukum alam merupakan bagian dari filosofi hukum. Seperti studi filosofis, hukum alam telah tumbuh sejak zaman Yunani. Secara umum terbagi menjadi tiga zaman, yaitu zaman Yunani dan Romawi kuno, usia pertengahan dan zaman modern. Di zaman pertama, sifat menjadi awal pemikiran. Di era ini, manusia menjadi bagian dari sifat. Dalam usia kedua, Allah adalah kekuasaan tertinggi. Kadang-kadang, Allah diwakili oleh agama-agama informal, seperti keyakinan daya alam, dan kadang-kadang diwakili oleh agama-agama formal dan ilahi, Yudaisme, Kekristianan dan Islam. Dan pada usia ketiga, pikiran menjadi sumber hukum. Tapi semua usia menunjukkan prinsip yang sama. Mereka adalah universalitas dan keabadian dari hukum alam. Selama sejarah hukum, hukum alam telah memberikan sejumlah besar kontribusi kepada hukum positif dan yurisprudensi. Misalnya, aturan hukum prinsip, persamaan hak di depan hukum prinsip, prinsip hak manusia, dan seterusnya. Itulah sebabnya kenapa ia akan ada di masa depan dan akan pernah mati. Studi ini menjelaskan perkembangan hukum alam dalam pandangan sejarah, sumbangannya, masa depan, dan kritik dari sekolah lain, terutama positivisme. Karya ini juga akan menunjukkan bagaimana dunia modern, sebenarnya kebutuhan hukum alam. Kata kunci : hukum alam, filsafat, kontribusi. Abstract Natural law is a part of philosophy of law. As the philosophical study, the natural law has grown since the Greek era. In general, it is divided into three ages, namely old Greek and Roman era, middle age and modern age. In the first age, the nature became the start of thought. In this era, human being became a part of the nature. In the second age, the God is the highest power. Sometimes, God is represented by informal religions, such as the belief of natural power, and sometime is represented by formal and divine religions, such as Judaism, Christianity, and Islam. And in the third age, the mind became the source of the law. But all of the ages show the same principles. They are universality and eternity of natural law. As long as the history of law, natural law has given a great number of contributions to the positive law and jurisprudence. For example, the rule of law principle, equality before the law principle, human right principle, and so on. That is why it will exist in the future and will never die. This study describes the progress of natural
1
law in historical view, its contributions, its future, and the criticism from other school, particularly the positivism. This paper also shows how the modern world, in fact needs the natural law. Keywords : Natural law, philosophy, contribution. Pendahuluan Hukum alam (natural law) merupakan salah satu aliran atau mazhab dalam filsafat hukum.1 Secara historis, hukum alam telah muncul sejak zaman Yunani kuno. Ia dapat dikatakan sebagai aliran dalam filsafat hukum yang paling tua di antara aliran-aliran lainnya. Walaupun sangat mungkin aliranaliran lain pun juga sudah ada bersamaan dengan lahirnya hukum alam. Namun sebagai mainstreem, aliran ini muncul terlebih dahulu daripada yang lainnya. Meskipun sudah sangat tua, aliran hukum alam tetap terus ada. Sebagai sebuah produk pemikiran, sudah barang tentu ia mengalami pasang surut sebagaimana dialami oleh aliran-aliran yang lain maupun pemikiran apapun. Menurut Soejono Koesoemo Sisworo, hukum alam pernah mengalami serangan yang luar biasa dari aliran hukum positif, mazhab sejarah, dan aliran-aliran sosiologis, sehingga tidak saja terpukul mundur, melainkan sudah dianggap mati. Namun ia mengalami kebangkitan kembali.2 Bahkan, menurut Satjipto Rahardjo, hukum alam sesungguhnya tidak pernah mati. Lebih dari sekedar hidup dan bangkit, ia juga mampu memberi sumbangan bagi perkembangan hukum hingga saat ini.3 Melihat sekilas dinamika hukum alam yang demikian, terasa amat menarik untuk menelaahnya lebih lanjut. Telaah itu tidak sekedar untuk mengapresiasi sebuah karya pemikiran, namun juga untuk pengembangan dunia hukum. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan sosok hukum alam dalam garis perkembangan, sumbangan, dan masa depannya. Telaah atas perkembangannya akan membantu upaya memahami dan sekaligus membedakannya dari aliranaliran yang lain. Untuk memperoleh pandangan yang relatif lebih obyektif, tulisan ini juga menyajikan kritik dari mazhab hukum yang lain. Tulisan ini merupakan hasil telaah atas data kepustakaan yang dianalisa dengan pendekatan yuridis. Pembahasan dilakukan dengan pola pikir deduktif, dimana data diinterpretasikan dengan penjabaran yang lebih detail denga memberikan contoh-contoh riil. Pembahasan dalam tulisan ini, penulis juga mencoba menampilkan perbandingan pemikiran hukum yang berkembang dan relevan dengan pembahasan dalam tulisan ini. Komparasi pemikiran yang 1 Aliran-aliran lainnya antara lain adalah aliran hukum positif, aliran utilitarianisme, mazhab sejarah, aliran sociological jurisprudence, dan aliran pragmatic legal realism. Lili dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, cetakan VIII (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h. 46. 2 Soejono Koesomo Sisworo, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya Dengan Pembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum (Filsafat Hukum) Universitas Diponegoro Semarang, tidak diterbitkan, h. 116. 3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, edisi Revisi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h. 254.
2
ditampilkan dalam tulisan ini adalah sebagai bahan pengayaan pemikiran sekaligus untuk memberikan gambaran yang utuh bagi pembaca. Pembahasan A. Problem Definisi Pemahaman terhadap sesuatu biasanya diabstraksikan dalam bentuk definisi yang bersifat jâmi’ dan mâni’. Meskipun definisi tidak selalu menjamin orang lain akan mendapatkan pemahaman yang sama dengan orang yang merumuskannya, namun setidaknya akan memperoleh gambaran lebih komprehensif mengenai obyek yang didefinisikan itu. Dengan demikian, definisi yang tepat menjadi sangat penting dalam mengkaji sesuatu. Namun justru di sinilah kesulitan awal penulis. Banyak literatur yang ketika membahas hukum alam tidak menyinggung soal definisi hukum alam secara komprehensif, melainkan dengan menyebut sifat, ciri, atau karakter.4 Ada dua kemungkinan langkanya definisi sebuah term. Pertama, ia sudah dianggap sebagai pengetahuan umum, sehingga tidak perlu didefinisikan. Masyarakat umum sudah dianggap tahu. Kedua, ada kesulitan untuk merumuskannya dalam ungkapan kata-kata, dan jika dipaksakan, justru akan mereduksi bahkan mengaburkan substansinya. Hal ini bisa terjadi karena begitu luas dan beragamnya substansi sebuah term. Penulis menduga kemungkinan kedua lah yang melatarbelakangi langkanya definisi hukum alam yang komprehensif. Pembahasan aliran hukum alam meliputi cakupan yang amat luas. Garis sejarahnya membentang dari zaman Yunani Kuno sampai zaman modern dan melibatkan sejumlah besar tokoh dan beragam pemikiran. Mengingat sedemikian luas dan beragamnya cakupan hukum alam, maka ia akan ditangkap secara berbeda oleh orang dan zaman yang berbeda.5 Sehingga definisinya pun selalu berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakat dan keadaan sosial politik. Namun demikian, ada ciri yang hampir selalu muncul pada setiap tokoh, yaitu absolut (mutlak) dan universal sebagaimana telah disebutkan di atas. Dengan ciri ini, hukum alam kiranya akan lebih mudah dikenali. Meskipun uraian di atas menggambarkan sulitnya mencari definisi hukum alam dan resikonya jika dipaksakan, namun tidak berarti tidak ada upaya sama sekali dari para pakar untuk mencoba mendefinisikannya. Bahkan cukup banyak definisi yang telah dikemukakan oleh para pakar, dalam rumusan yang lebih ketat.6 Di antaranya adalah :
4 Misalnya dalam karya tiga pakar yang dikutip pada sub bab Pendahuluan. Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi menyatakan bahwa hukum bersifat abadi dan universal. Sisworo juga menyatakan hal yang sama. W. Friedmann menyebut bahwa hukum alam mencari keadilan absolut. Senada dengan Friedmann, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum alam merupakan usaha manusia untuk mencari keadilan yang ideal. 5 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum., h. 261. 6 Sebagai catatan perlu dikemukakan bahwa definisi yang dikutip dalam tulisan ini tetap tidak memenuhi syarat jâmi’ māni`. Maka untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh perlu diikuti uraian mengenai perkembangannya.
3
1. Menurut para filosuf Yunani sebagaimana disimpulkan oleh Friedmann, hukum alam identik dengan kewajiban moral.7 Di sini nampaknya telah berkembang pemikiran untuk membedakan moral dengan hukum. Hukum alam sebagai kaidah yang adil secara mutlak, agaknya disadari sulit untuk diformulasikan dalam bentuk hukum yang konkrit. 2. Rudy T. Erwin merumuskan definisi dan membuat batasan yang cukup tegas, bahwa hukum alam adalah pandangan agama.8 Senada dengan Erwin, namun lebih komprehensif adalah pendapat Charles Stampford. Ia mengemukakan bahwa hukum alam bertumpu pada Tuhan dan rasio.9 Dari dua sumber tersebut hukum alam telah menyediakan seperangkat prinsip yang lengkap, sehingga seluruh persoalan hukum dapat dijawab dengan prinsip-prinsip itu. Kedua sumber tersebut dapat menampung seluruh pemikiran hukum alam dari Yunani kuno sampai sekarang. 3. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum alam dapat dilihat sebagai metode dan sebagai substansi. Sebagai metode ia merumuskan dirinya untuk menemukan metode yang bisa dipakai untuk menciptakan peraturan yang mampu menghadapi keadaan yang berlainan. Sedangkan sebagai substansi, hukum alam berisi norma-norma.10 Dalam anggapan ini orang dapat membuat sejumlah aturan yang diderivasi dari beberapa asas yang absolut yang biasa disebut hak asasi manusia. 4. Harri Chand menyebut hukum alam sebagai hukum yang didasarkan pada alam (nature). Chand mengemukakan dua pengertian alam. Pertama, alam adalah apa yang ada di alam ini. Kedua, adalah bagaimana manusia seharusnya bertingkah laku. Manusia berupaya untuk menyesuaikan bagaimana seharusnya ia bertingkah laku dengan apa yang ia observasi dari alam.11 Secara garis besar, karakteristik hukum alam dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Hukum alam bersifat kekal, abadi, berlaku untuk semua zaman dan bangsa-bangsa. 2. Hukum alam hanya dapat dikenali dengan akal budi. 3. Hukum alam tidak sekedar sebagai mata ukuran bagi hukum positif, tetapi juga sebagai batu penguji. Jika hukum positif nyata-nyata bertentangan dengan hukum alam, maka hukum positif itu dapat dikesampingkan atau dilanggar. Sebagai catatan akhir pada sub judul ini penulis perlu menegaskan bahwa pada dasarnya hukum alam sebagai substansi tidak bisa dilihat sebagai suatu norma absolut yang tidak berubah. Ia merupakan upaya mencari 7 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum, susunan I, Terj. Muhamad Arifin (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 53. 8 Rudy T Erwin, Tanya Jawab Filsafat Hukum, cetakan keenam (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 74. 9 Charles Stampford, The Disorder of Law, a Critique of Legal Theory (Basil Blackwell: Oxford, 1989), h. 77. 10 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum., h. 261-263. 11 Harri Chand, Modern Jurisprudence (Kuala Lumpur: International Law Book services, 1994), h. 33.
4
keadilan ideal, yang tidak mungkin ditemukan secara sempurna di alam dunia ini. Norma hukum alam berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita-cita keadilan yang wujudnya berubah dari masa ke masa. Dengan demikian sesungguhnya keadilan merupakan suatu ideal yang isi konkritnya ditentukan oleh keadaan dan pemikiran zamannya. B. Perkembangan Aliran Hukum Alam Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa isi hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Maka pada sub judul ini penulis akan mencoba menguraikan perkembangannya. Oleh karena jalan yang telah ditempuh oleh aliran hukum ini telah sedemikian panjang, maka penulis menggunakan periodesasi yang dikemukakan oleh Soejono Koesoemo Sisworo yang membagi perkembangan hukum alam menjadi tiga periode, yaitu masa Yunani dan Romawi, masa abad pertengahan, dan zaman baru. 1. Masa Yunani dan Romawi (6 SM - 5 Masehi) a) Zaman Yunani Ciri masa ini adalah bahwa alam semesta merupakan sentral pemikiran. Tokoh-tokohnya antara lain Anaximander, Heraclitos, Parminides, Phitagoras, Protogoras, Georgias, Socrates, Plato, Cicero, dan Seneca. Menurut Theo Huijbers, tiga tokoh pertama memandang bahwa manusia merupakan bagian dari alam, di mana segala sesuatu muncul dan lenyap menurut suatu keharusan alam.12 Keharusan alam itu disebut dengan hukum. Bagi Anaximender keadilan akan tercipta bila keteraturan hidup disesuaikan dengan keharusan alamiah itu. Jadi pada periode ini, alam tidak dilihat sebagai substansi, melainkan sebagai suatu hubungan tatanan benda-benda.13 Dalam hal ini manusia tidak menciptakan keharusan-keharusan itu. Sebagai contoh, misalnya perkawinan dipandang sebagai bagian dari keharusan alam untuk melestarikan keturunan. Keserasian akan muncul jika orang menikah. Pandangan hukum demikian juga berlaku untuk mengatur kehidupan polis. Namun, menurut Huijbers kemudian menimbulkan reaksi, di antaranya dari Protagoras yang kemudian didukung oleh lainnya. Menurut Protagoras, aturan polis ditentukan oleh seluruh anggota, bukan oleh aturan alam. Baik dan buruk, benar dan salah ditentukan manusia dan bersifat subyektif. Namun dalam prakteknya bukan semua anggota masyarakat, melainkan para penguasa.14 Pandangan Protagoras ditentang oleh Socrates yang berpandangan bahwa ada keadilan yang bersifat obyektif. Cara menangkap kebenaran itu adalah dengan meningkatkan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmuwan yang dapat menemukan kebenaran dan membuat aturan. Konsep ini tentu berbeda dengan 12
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 1982),
13
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum., h. 51. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam., h. 20.
h. 20. 14
5
konsep Protagoras yang memberi peluang kepada penguasa untuk menentukan aturan. Maka terjadilah pertentangan yang bersifat politis. Akhirnya, Socrates harus menjalani hukuman mati atas pandangannya ini. Tokoh selanjutnya adalah Plato, salah seorang murid Socrates. Plato membagi dunia menjadi dua, yaitu dunia rohani yang ideal dan dunia fenomen yang materiil. Keduanya merupakan dua dunia yang sama sekali berbeda, terpisah antara satu dengan lainnya. Hampir sama dengan konsep gurunya, menurut Plato dunia ideal dapat ditangkap melalui pengetahuan. Dalam hal ini Plato relatif lebih realistis dari pada gurunya, karena mengakui adanya dunia riil. Plato menyarankan agar peraturan-peraturan yang berlaku ditulis dalam sebuah perundangundangan. Jika tidak, penyelewengan dari hukum yang adil akan sulit dihindari. Saran ini agaknya bertolak dari pengalaman Plato bahwa jika aturan tidak tertulis sama sekali memudahkan orang untuk memperdebatkannya atau melupakannya. Filosuf Yunani berikutnya adalah Arsitoteles, murid Plato yang paling masyhur. Aristoteles mengembangkan gagasan gurunya tentang alam ideal dan alam riil. Jika dalam konsep Plato dunia ideal terpisah dari dunia riil, maka Aristoteles berpandangan yang sebaliknya. Menurut Huijbers, Aristoteles menolak pandangan gurunya, karena menurutnya hal itu tidak mungkin. Jika dunia rohani terpisah sama sekali dari dunia materi, maka dunia rohani tidak ada gunanya bagi dunia materi. Baginya dunia rohani harus memiliki kontribusi bagi dunia materi. Untuk mendapatkan manfaat dari dunia rohaninya, maka manusia harus dapat menangkapnya. Menurut Aristoteles, cara yang harus ditempuh adalah dengan mempergunakan akal.15 Dengan akal yang memiliki kemampuan sedemikian rupa, manusia dapat mengetahui jati diri dan hakekat ideal dirinya sendiri. Maka jika orang hidup menurut akalnya, berarti ia telah hidup secara alamiah. Mengenai keadilan, Aristoteles membaginya menjadi dua, yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif.16 Keadilan distributif berkaitan dengan pembagian barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Keadilan ini menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan yang sama dalam masyarakat memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum. Sedangkan keadilan korektif berkaitan dengan penetapan kriteria dalam pelaksanaan hukum sehari-hari, yakni harus ada standar umum untuk memulihkan akibat tindakan seseorang dalam hubungan antara satu dengan lainnya. Sanksi pidana misalnya, memulihkan penderitan seseorang akibat kejahatan. Tokoh lainnya, yakni Zeno mengemukakan pandangan yang juga rasional. Menurutnya, alam diperintah oleh pikiran rasional.17 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum., h. 53. L. B Curzon, Jurisprudence (ttp.: M & E Handbook, 1979), h. 51. 17 Muhamad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: Gunung Agung, 2002), h. 260. 15 16
6
Kerasionalan itu dicerminkan oleh seluruh manusia yang dengan kekuatan penalarannya memungkinkannya menciptakan suatu natural law yang didasarkan pada reasonable living. b) Masa Romawi Tokoh dari Romawi antara lain adalah Seneca dan Cicero. Mereka mendapat pengaruh dari para filosuf Yunani yang menganggap bahwa alam semesta ini merupakan satu kesatuan (kosmos).18 Kesatuan itu tercipta berkat adanya jiwa dunia (logos). Logos menjiwai seluruh kehidupan. Maka manusia harus menyesuaikan diri dengan logos dengan cara setia pada diri sendiri. Kehidupan bersama masyarakat juga harus diselaraskan dengan logos. Dalam hal ini ada tiga tingkatan hukum, yaitu: pertama, hukum universal dan abadi yang terdapat pada logos; kedua, hukum alam, yaitu hukum universal-abadi yang telah menjadi nyata di alam dunia; ketiga, adalah hukum positif, yakni hukum yang dibuat penguasa dan hukum alam menjadi dasarnya. Salah satu perkembangan penting di bidang hukum di masa Romawi ini adalah munculnya hukum bangsa-bangsa.19 Namun yang dimaksudkan bukanlah hukum yang mengatur hubungan antar bangsa sebagaimana pengertian sekarang. Hukum bangsa-bangsa menurut orang Romawi adalah hukum yang berlaku di mana-mana, dianut oleh berbagai bangsa. Logos menyatakan diri dalam hidup bersama dalam bentuk hukum alam. Maka hukum alam bersifat abadi dan universal.
2. Abad Pertengahan (Abad V – XV M) Abad pertengahan adalah abad agama, yaitu Kristen dan Islam. Garis pemikirannya dapat dikatakan sama, yaitu bahwa alam semesta ini diciptakan sekaligus diatur oleh zat Allah. Maka hukum Allah-lah yang tertinggi yang bersifat abadi dan universal. Seluruh manusia harus mentaatinya. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang mengandalkan naluri dan akal untuk menangkap hukum yang abadi itu, pada abad agama ini hukum diketahui lewat wahyu yang diturunkan kepada nabi dan rasul. Perbedaan antara Kristen dan Islam menurut Huijbers adalah bahwa hukum Islam berhubungan langsung dengan wahyu, sedangkan dalam kristen hukum tidak secara langsung berhubungan dengan wahyu.20 Dalam Kristen, hukum dibuat manusia di bawah inspirasi agama dan wahyu. Menurut penulis, pendapat Huijbers bahwa hukum Islam berhubungan secara langsung dengan wahyu tidak salah. Namun harus pula dicatat bahwa rumusan hukum Islam tidak selalu disediakan secara instan oleh wahyu, melainkan harus melalui ijtihad oleh para fuqaha dengan inspirasi wahyu. 3. Zaman Baru (Mulai Abad XV M)
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam., h. 32. Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 34. 20 Ibid., h. 27. 18 19
7
Masa ini berbeda dari masa sebelumnya, baik masa Yunani-Romawi maupun abad pertengahan. Jika pada abad pertengahan dunia dikuasai oleh hukum Tuhan, maka pada abad moderen akal yang menjadi kekuatan hukum tertinggi.21 Inilah sisi perbedaan pokok dengan abad pertengahan. Sedangkan perbedaannya dengan konsep Aristoteles dari Yunani adalah bahwa jika pada konsep Aristoteles akal sepenuhya mengatur sifat sosial manusia, sedangkan masa moderen meletakkan sifat sosial sebagai batu penguji sifat rasional manusia. Masa ini dipelopori oleh cukup banyak tokoh. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibahas beberapa saja. a) Hugo Grotius (1583–1645) Titik tolak pemikiran Grotius adalah konsep tentang alam manusia.22 Menurutnya semua manusia mempunyai alam yang sama dan kecenderungan-kecenderungan alamiah yang sama. Salah satunya adalah kecenderungan untuk hidup bersama. Dan ketika telah terbentuk kehidupan bersama itu, masing-masing memiliki hak yang sama pula. Menurut Grotius, kehidupan bersama itu diatur dengan akal secara terbatas. Letak keterbatasan itu adalah dua tahap ujian yang harus dilewati oleh hasil karya akal, yaitu a-priori dan a-posteriori. Aapriori adalah menguji segala sesuatu dalam hubungannya dengan sifat rasional dan sosial manusia. Sedangkan a-posteriori adalah menguji penerimaan prinsip-prinsip itu di antara bangsa-bangsa. Bertolak dari pemikiran demikian, maka selain sebagai kecenderungan alamiah, kehidupan bersama sesungguhnya juga merupakan kontrak sosial. Selanjutnya, Grotius mengemukakan empat prinsip hidup bersama. Pertama, prinsip kupunya kau punya, yang berarti harus saling menjaga kepemilikan. Kedua, prinsip kesetiaan pada janji. Ketiga, prinsip ganti rugi yang harus dibayarkan oleh orang yang berbuat kesalahan sehingga merugikan orang lain. Keempat, prinsip perlunya hukuman ketika ada pelanggaran hukum. b) Thomas Hobbes (1588-1679) Hobbes memiliki pandangan yang berbeda dari para filosuf lainnya tentang hukum alam. Secara umum, tokoh-tokoh lain memberi penekanan pada obyektifitas hukum alam. Hobbes mengubah tekanan dari hukum alam sebagai tatanan obyektif menjadi hak alami sebagai suatu tuntutan subyektif.23 Pandangan ini jelas revolusioner, karena memberi kekuatan kepada orang yang kehilangan hak-hak alaminya untuk merebutnya kembali. Di sisi yang lain, untuk melindungi hak alami, Hobbes melegitimasi kekuasaan yang absolut. Menurutnya tanpa adanya kekuasaan hak-hak alami tidak mungkin dapat dilindungi. Individu-individu menyerahkan kekusaannya pada raja, dan raja berhak melakukan apa saja untuk melindungi rakyatnya.
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum., h. 90. Theo Huijbers, Filsafat Hukum., h. 59 23 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum., h. 76. 21 22
8
c) John Locke ((1632-1704) Locke merupakan penentang Hobbes paling terkemuka. Hal itu dapat dilihat dari ilustrasi Locke sebagaimana dijelaskan oleh Huijbers berikut: Ketika hak-hak alami orang-orang primitif terganggu karena adanya kekurang-pahaman dan sikap yang tidak adil, mereka berusaha mengatasinya dengan menyusun undang-undang bersama yang berlaku untuk semua orang dan sekaligus membentuk pemerintahan untuk menjaga pelaksanaan undang-undang itu. Oleh sebab itu, tugas negara adalah menjamin pelaksanaan undang-undang. Pemerintahan atau negara tidak punya wewenang untuk mencabut hak-hak alami warganya, dan sebaliknya warga negara juga tidak mungkin menyerahkan hak-haknya kepada negara sebagaimana dikatakan Hobbes.24 Setelah mengalami krisis karena mendapat serangan dari aliran hukum positif dan lainnya pada abad delapan belas, aliran hukum alam mengalami apa yang disebut sebagai the revival of natural law (kebangkitan kembali hukum alam). Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena hukum alam tidak pernah mati. Di samping itu, hukum alam sebelum abad delapan belas dan hukum alam setelahnya tidak sama. Satu-satunya mata rantai yang mempersamakan keduanya adalah keinginan untuk menyatakan suatu idealisme moral. Tokoh penting hukum alam abad sembilan belas adalah Rudolf Stamler. Pokok-pokok pikiran Stamler adalah sebagai berikut : 1. Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil. 2. Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan untuk menentukan kebenaran dari hukum. 3. Metode itu menjadi pemandu ketika hukum gagal untuk mencapai tujuannya. 4. Hukum merupakan struktur yang sedemikian rupa. Kita harus mengabstraksikan tujuan-tujuannya dari kehidupan sosial yang nyata. 5. Dengan bantuan analisis yang logis, asas-asas penyusunan hukum dapat ditemukan yang akan menjadi panduan dalam memberikan penilaian tentang tujuan manakah yang layak untuk dicapai.25 Demikian perkembangan hukum alam dari masa ke masa yang ternyata mengalami perubahan ontologis maupun epistimologis serta aksiologisnya. Secara garis besar dapat dilihat bahwa perubahan itu semakin mengerucut kepada teori yang lebih konkrit dan rasional. C. Sumbangan dan Masa Depan Hukum Alam
24 25
Theo Huijbers, Filsafat Hukum., h. 81. Muhamad Ali, Menguak Tabir., h. 262.
9
Bagaimanapun juga, hukum alam telah memainkan peran yang cukup besar. Peran dan sumbangan hukum alam tersebut adalah: 1) telah berfungsi sebagai instrumen utama pada saat hukum perdata Romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem hukum internasional yang luas; 2) telah menjadi senjata yang dipakai oleh pihak gereja dan kerajaan dalam pergaulan mereka; 3) atas nama hukum alamlah keabsahan hukum internasional ditegakkan; 4) menjadi inspirasi perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan absolutisme; dan 5) prinsip-prinsip hukum alam telah dijadikan senjata oleh para hakim Amerika ketika menafsirkan konstitusi.26 Hukum alam juga telah digunakan untuk bermacam-macam kebutuhan oleh orang yang berbeda dan waktu yang berbeda pula. Di antaranya adalah: 1) hukum alam sebagai ide dasar yang menjadi pemandu dalam hal administrasi dan pengembangan hukum; 2) sebagai suatu kualitas moral dasar dalam hukum yang mencegah pemisahan yang total antara law as it is dan law as ought to be; 3) sebagai metode dalam menemukan hukum yang sempurna; 4) sebagai isi dari hukum yang sempurna; dan 5) suatu kondisi yang harus ada bagi eksistesi hukum.27 Teori hukum alam telah mencoba menemukan kebutuhan manusia yang paling tinggi dari berbagai zaman dalam sejarah, dan suatu tanggung jawab telah diberikan untuk mendukung atau menentang penguasa sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya secara tidak langsung hukum alam menawarkan bantuan untuk permasalahan kontemporer, yakni penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan kebebasan. Menurut penulis, peran hukum alam justru semakin dibutuhkan di era modern ini, minimal prinsip-prinsipnya. Istilah back to nature, dalam hal-hal tertentu dapat ditafsirkan sebagai ajakan untuk kembali ke hukum alam. Ada tiga persoalan besar yang membutuhkan kehadiran dan sumbangan hukum alam, yaitu: 1. Krisis kemanusian yang menimbulkan ketidakadilan, seperti pembunuhan, monopoli, korupsi, dan sebagainya. Di Indonesia, pemberantasan korupsi misalnya, sulit diharapkan keberhasilannya jika hanya mengandalkan hukum positif. Pengalaman Indonesia selama sekian puluh tahun guna pemberantasan korupsi belum menunjukkan hasil memuaskan, terlebih ketika masa Orde Baru. Akhirnya kondisi yang demikian menjadi kekuatan moral bagi para mahasiswa untuk mengadakan gerakan menjatuhkan rezim. Hal ini berarti para mahasiswa menggunakan hukum alam sebagai legitimasi gerakannya. Ketika sistem politik tidak mengikuti standar tertentu, sehingga kebebasan individu terganggu, kaum liberal pun melirik hukum alam. Berbagai upaya dilakukan untuk mengelaborasi hukum alam guna mencari landasan bagi nilai-nilai liberalisme. Contoh paling jelas dalam
26 27
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, h. 260. Ibid., h. 261.
10
hal ini adalah hak-hak asasi manusia.28 Meskipun langkah ini tidak komprehensif dan hanya sepotong saja, di sini nampak semakin jelas fungsi hukum alam sebagai landasan untuk menggapai kebebasan individu. Walaupun seharusnya tidak hanya untuk mencapai interest individu, melainkan juga kemaslahatan bersama. Sangat sulit untuk mencari legitimasi bagi hak asasi manusia pada hukum positif. Hal itu karena hak asasi manusia merupakan nilai-nilai besar yang justru menjadi dasar dari hukum positif. Misalnya atas dasar apa UUD 1945 menetapkan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Atas dasar apa pula setiap orang bebas berkumpul dan berserikat serta menyampaikan pendapat. Dasarnya tidak bisa ditemukan dalam hukum positif. Dasar dari semua itu tidak lain adalah hak-hak alamiah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Hak-hak itu pada dasarnya tidak bisa dicabut atau dialihkan kepada orang lain. Berbeda dengan hak yang diberikan oleh hukum positif yang bisa dicabut atau dialihkan kepada orang lain. 2. Krisis lingkungan yang telah mengakibatkan runtuhnya keserasian alam. Kerusakan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini telah mengakibatkan ketidakseimbangan alam. Alam tidak lagi berjalan sesuai dengan hukum yang biasa terjadi. Contoh paling konkrit adalah pergantian musim yang tidak teratur, bencana alam banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Kejadian-kejadian ini bersumber pada antara lain tidak berjalannya hukum alam yang paling kuno, yakni keteraturan alamiah. Gerakan untuk mengadakan konservasi, reboisasi, dan sebagainya sesungguhnya merupakan upaya untuk mengembalikan hukum alam yang paling kuno itu. 3. Krisis intelektual telah melahirkan teori-teori yang tidak mampu menjawab kebutuhan manusia. Pemikiran positivistik yang dulunya menghantam hukum alam mendapat banyak kritik. Salah satunya dari gagasan hukum progresif yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo. Menurutnya hukum mengabdi kepada manusia.29 Hal ini berarti bahwa hukum harus sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Jika hukum bertentangan dengan nilainilai kemanusiaan, maka logikanya hukum harus ditundukkan. Penundukan hukum itu dapat berupa pengesampingan hukum atau penafsiran yang mengarah kepada penghargaan nilai-nilai kemanusiaan. Logika ini jelas berbeda dengan logika hukum positif yang meletakkan hukum di atas segalanya. Gagasan bahwa hukum untuk mengabdi kepada manusia merupakan gagasan yang diilhami oleh hukum alam. Hak asasi manusia yang dilegitimasi oleh hukum alam ditempatkan sebagai filter bagi hukum positif. Di sini hukum alam berfungsi sebagai inspirasi. 28 Judith N. Shklar, Legalism, Law, Moral and Political Trial (Harvard: Harvard University, 1986), h. 65. 29 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), h. 9.
11
Berdasarkan uraian di atas, dapat diprediksikan bahwa hukum alam akan tetap hidup, bahkan semakin dibutuhkan ketika manusia semakin dijauhkan dari hakekat kemanusiaannya oleh kemajuan zaman. Misi hukum alam sejak semula adalah mengabdikan diri untuk menjaga alam dan manusia agar tetap berada dalam hakekatnya masing-masing. Sebab, standar yang paling nyata untuk mengukur tingkah laku manusia adalah standar moral. Moral merupakan cita-cita dan sekaligus daya paksa yang selalu menjadi acuan para pakar hukum. D. Kritik Terhadap Hukum Alam Tidak ada karya manusia yang sempurna. Demikian juga hukum alam. Tokoh-tokoh positivisme hukum seperti Bentham, Austin, dan Kelsen menolak penggunaan hukum sebagai suatu instrumen untuk pemberlakuan segala standar moral.30 Moral dianggap sebagai standar yang tidak jelas dan tidak pasti. Sementara hukum harus jelas dan pasti serta bersifat memaksa. Bagi kaum positivis, hukum tidak lain perintah penguasa yang bersanksi. Hukum hanyalah apa yang diproduk oleh negara, yaitu hukum positif. Di luar hukum positif, tidak ada hukum. Gagasan untuk memisahkan hukum dan moral juga dikemukakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, dalam menghadapi norma-norma moral timbul sikap moralitat, yakni penyesuaian diri dengan tuntutan moral. Di sini hati nurani menjadi motivasi yang sebenarnya dari kelakuan dan tindakan. Sedangkan dalam menghadapi norma-norma hukum muncul sikap legalitat, yakni penyesuaian diri dengan undang-undang.31 Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir juga terjadi perdebatan yang cukup hangat antara kelompok yang mendukung positivisasi nilai-nilai moral dengan pihak yang menolaknya. Perdebatan itu sangat nampak dalam proses pengesahan UU Pornografi yang akhirnya disahkan oleh DPR pada tahun 2008. Perdebatan itu tidak berarti bahwa ada kelompok yang setuju dengan pornografi, melainkan tidak setuju dengan dimasukkannya materi pornografi dalam sebuah undang-undang. Ketika materi pornografi telah menjadi hukum positif maka harus jelas definisinya. Padahal kriteria yang dianut oleh masyarakat berbeda-beda. Perdebatan lain adalah mengenai beberapa Peraturan Daerah yang dianggap berbau agama, yang dikenal sebagai Perda Syari’ah. Misalnya Perda tentang wajib berpakaian tertentu yang sesuai dengan ajaran Islam. Orang-orang yang menolaknya menghendaki agar masalah-masalah yang sangat kental dengan agama diletakkan pada wilayah agama dan tidak memaksakannya menjadi peraturan perundang-undangan. Sebab dampaknya sangat berbeda. Jika materi moral tetap sebagai norma moral, maka penegakannya melalui cara-cara non-yuridis yang tentu saja tidak melibatkan kekuatan negara yang memaksa. Sedangkan jika materi moral itu menjadi peraturan perundang-undangan maka penegakannya harus melibatkan kekuatan negara. 30 31
H. L. A. Hart, The Concept of Law (New York: Oxford University, 1997), h. 1. Theo Huijbers, Filsafat Hukum., h. 66.
12
Menurut penulis, harus ada perkawinan antara hukum positif dan hukum alam. Jika dibiarkan berjalan sendiri, hukum positif akan terjebak dalam logikanya sendiri. Positivisasi hukum akan berlangsung melalui proses legislasi yang sarat dengan benturan kepentingan yang mencerminkan keberpihakan politik. Akibatnya, hukum yang dihasilkan tidak akan terlalu peka terhadap nilai-nilai keadilan. Selanjutnya, hukum yang demikian harus diberlakukan bukan karena kandungan normatif etisnya, melainkan karena kebenaran prosedur formal pembuatan dan pembentukannya menurut ketentuan konstitusional yang diakui. Dalam logika hukum positif, keadilan tereduksi dalam makna yuridisnya. Keadilan dianggap telah terealisasi secara penuh apabila setiap orang telah memperoleh haknya sesuai dengan hukum.32 Padahal keadilan tidak mudah diwadahi oleh bahasa perundang-undangan. Di sinilah perlunya hukum alam hadir sebagai pemberi muatan, pengkritik, dan pemberi masukan. Sebaliknya, jika hukum alam berjalan sendiri maka akan terus berada dalam dunia ketidakpastian. Jika idealisme hukum alam dapat diterima dan bisa direalisasikan, tentu akan menghasilkan kondisi yang ideal. Namun mengingat perbedaan antara alam yang ideal dengan kehidupan riil, maka bisa jadi akan menimbulkan kekacauan akibat dari ketidakpastian itu. Sehingga hukum alam harus selalu diarahkan untuk memberi muatan, mengkritik, dan memberi masukan kepada hukum positif. Simpulan Hukum alam adalah upaya manusia untuk memperoleh keadilan yang absolut. Karenanya hukum alam mengandaikan suatu tatanan hukum yang universal dan abadi. Meskipun dalam kenyataan sejarahnya apa yang dimaksud sebagai abadi dan ideal lebih sebagai cita-cita, bahkan slogan. Sejarah perkembangannya menunjukkan bahwa isi dari hukum alam selalu berubah-ubah, dan dalam sejarah manusia hukum yang demikian hampir tidak pernah terwujud. Namun demikian, tidak berarti bahwa hukum alam harus dibuang, melainkan dijadikan ukuran ideal bagi hukum positif. Bahkan semakin mengalami krisis, sesungguhnya manusia semakin membutuhkan kehadiran hukum alam. Hukum positif tetap dibutuhkan, namun harus selalu dikontrol oleh hukum alam. Daftar Pustaka Charles Stampford, The Disorder of Law, a Critique of Legal Theory, Basil Blackwell: Oxford, 1989. Curzon, L. B., Jurisprudence, ttp.: M & E Handbook, 1979. 32 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: Huma, 2002), h. 252.
13
Friedmann, W., Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum, susunan I, Terj. Muhamad Arifin, Jakarta: Rajawali, 1990. Harri Chand, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur: International Law Book services, 1994. Hart, H. L. A., The Concept of Law, New York: Oxford University, 1997. Judith N. Shklar, Legalism, Law, Moral and Political Trial, Harvard: Harvard University, 1986 L. B Curzon, Jurisprudence, ttp.: M & E Handbook, 1979. Lili dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, cetakan VIII, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Muhamad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 2002. Rudy T. Erwin, Tanya Jawab Filsafat Hukum, cetakan VI, Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, edisi Revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. -----, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002. Shklar, Judith N., Legalism, Law, Moral and Political Trial, Harvard: Harvard University, 1986. Soejono Koesomo Sisworo, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya Dengan Pembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum (Filsafat Hukum) Universitas Diponegoro Semarang. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: Huma, 2002. Stampford, Charles, The Disorder of Law, a Critique of Legal Theory, Basil Blackwell: Oxford, 1989. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982. -----, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
14