Hubungan status Gizi dengan Gangguan Tidur
Vol. 2, No. 2, Agustus 2014
Hubungan Status Gizi, Asupan Besi, dan Magnesium dengan Gangguan Tidur Anak Usia 5-7 Tahun di Kampung Melayu, Jakarta Timur Tahun 2012 William Cheng,1 Rini Sekartini2 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
1 2
Abstrak Tidur adalah hal yang penting bagi anak karena terjadi peningkatan aktivitas susunan saraf pusat tertentu untuk memberikan efek fisiologis bagi tubuh. Banyak faktor yang menyebabkan gangguan tidur, salah satu yang dapat dimodifikasi adalah faktor nutrisi. Aspek nutrisi yang diperkirakan berkaitan adalah status gizi, asupan besi, dan asupan magnesium. Status gizi merupakan parameter secara umum keseimbangan antara derajat kebutuhan fisik anak terhadap nutrien. Besi dan magnesium berhubungan karena mempengaruhi substansi yang berperan dalam pengaturan fisiologi tidur. Penelitian ini merupakan studi observasi-analitik untuk mengetahui hubungan status gizi, asupan besi, dan asupan magnesium dengan gangguan tidur pada anak usia 5-7 tahun dengan metode cross-sectional dari data sekunder pada anak-anak di Posyandu Kampung Melayu, berupa status antopometri, asupan besi, asupan magnesium, dan skor gangguan tidur dengan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC). Gangguan tidur dinyatakan bila skor SDSC melewati angka 39. Prevalensi anak yang mengalami gangguan tidur pada penelitian ini adalah 23,1%. Pada uji chi square untuk hubungan indeks Berat Badan/Umur dan Tinggi Badan/Umur dengan gangguan tidur didapatkan p>0,05 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan secara statistik. Pada uji chi square untuk hubungan asupan besi dan magnesium dengan gangguan tidur, didapatkan p>0,05 yang menandakan tidak terdapat hubungan secara statistik. Kata kunci: asupan besi, asupan magnesium, gangguan tidur, dan status gizi.
The Association of Nutritional Status, Iron and Magnesium Intake to the Sleep Disturbance in age 5-7 Children in Kampung Melayu. East Jakarta 2012 Abstract Sleep is essential for children because there is enhancement of neural system activities that give physiologic effects for the body. There are several factors that relate with sleep disturbances, where one of the modifiable factors is nutrition. Nutritional status, iron intake, and magnesium intake are examples of nutrition that are believed to relate with sleep. Nutritional status represents the balance between nutritional intake and expenditure. Iron and magnesium are micronutrients that are related to the substance that regulate sleep mechanism. This study is an observational-analysis study to examine the association of nutritional status, iron intake, and magnesium intake to the sleep disturbance in age five to seven children using cross-sectional method on the secondary data of children in Posyandu Kampung Melayu. Data include nutritional status, iron intake, magnesium intake, and sleep disturbance diagnosed with the Sleep Disturbance Scale for Children. The cut-off point to identify the disturbance is 39. Prevalence of children that have sleep disturbance is 23,1%. There was no statistically significant difference found between Body Weight on Age, Height on Age and sleep disturbance, using the chi square analysis, with p value more than 0,05. The same nonsignificant result was found from the chi square analysis to determine the relation between iron intake and magnesium intake to sleep disturbance, with the p value more than 0,05. Keywords: Iron intake, magnesium intake, nutritional status, and sleep disturbance.
331
William Cheng, Rini Sekartini
eJKI
Pendahuluan Tidur adalah suatu hal yang penting walaupun belum ditemukan alasan pasti untuk menjelaskannya. Gangguan pada durasi dan kualitas tidur manusia dapat berpengaruh besar pada kesehatan. Pada suatu penelitian terhadap tikus, gangguan tidur menyebabkan kematian pada tikus setelah 2-4 minggu.1 Tidur bukan merupakan suatu deaktiviasi sistem saraf pusat, namun yang terjadi adalah peningkatan susunan saraf pusat di bagian tertentu untuk memberikan efek fisiologis pada tubuh manusia, seperti aktivasi hormon pertumbuhan. 2 Gangguan tidur dapat didefinisikan sebagai keadaan tidur yang tidak memenuhi keinginan orang tua, anak, ataupun, tenaga medis, yang dapat didefinisikan dengan kuantitas, kualitas, atau waktu tidur seorang individu.3 Melihat pentingnya tidur, gangguan tidur pada anak dapat menyebabkan gangguan kesehatan fisik, kemampuan sosial, maturitas emosional, kemampuan bahasa dan penalaran, dan keinginan belajar.4 Gangguan tidur masih dianggap remeh saat ini dan seringkali tidak terdiagnosis di pelayanan kesehatan.5 Deteksi gangguan tidur dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu wawancara, pengisian kuesioner, dan penggunaan teknologi canggih seperti polisomnografi, serta actiwatch.6 Prevalensi gangguan tidur cukup tinggi di seluruh dunia. Diperkirakan 10-50% anak usia sekolah memiliki gangguan tidur.7 Pada studi 4000 anak di Australia usia 6-7 tahun, gangguan tidur terjadi pada 16-21% anak dan dikaitkan dengan perilaku, kualitas hidup, dan kemampuan belajar yang buruk.5 Prevalensi gangguan tidur di tiap negara berbeda-beda dan dihubungkan dengan kondisi pada tiap negara. Berdasarkan hasil penelitian di China, prevalensi anak-anak di China yang mengalami gangguan tidur lebih tinggi dibandingkan di negara barat.7 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktorfaktor yang mempengaruhi keadaan gangguan tidur.8-10 Salah satu faktor yang dikaitkan dengan tidur adalah faktor nutrisi. Nutrisi dan tidur memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Gangguan tidur dapat menyebabkan gangguan nutrisi karena berhubungan dengan fungsi endokrin, traktus gastrointestinal, dan fungsi sirkadian. Beberapa nutrisi yang dikaitkan mempengaruhi tidur adalah makronutrien berupa karbohidrat dan protein. Asupan karbohidrat dan protein dihubungkan dengan kondisi status gizi yang kemudian juga banyak diduga berhubungan dengan gangguan tidur. Mikronutrien dikatakan pula banyak berperan terhadap tidur karena efek pada sistem neurobiologik, seperti vitamin B, besi, kalsium,
dan magnesium. Zat-zat gizi tersebut dikaitkan dapat memberikan efek promotif pada tidur dan asupan yang tidak adekuat dapat menyebabkan gangguan tidur.11 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi anak usia 5-7 tahun yang mengalami gangguan tidur berdasarkan skor Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) di Jakarta Timur dan mengetahui sebaran status gizi, asupan besi, dan asupan magnesium dan kemudian melihat hubungannya dengan gangguan tidur. Metode Penelitian ini merupakan penelitian observasianalitik. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah cross-sectional. Data merupakan data sekunder yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia berjudul “The Effect of Growing up Milk With a Specific Night Composition on Sleep Efficiency, Onset, and Quality (REM and NREM), as Well as on Memory Consolidation and Alertness”. Populasi target dalam penelitian ini adalah anakanak usia 5-7 tahun di Jakarta Timur. Waktu pelaksanaan penelitian dengan data sekunder adalah pada Januari-Juni 2013 di Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia Diperoleh subjek sebanyak 128 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data mencakup antropometri, status sosiodemografi, tingkat kognitif dengan skala kecerdasan Wechsler, pemeriksaan kadar hemoglobin, status gizi menggunakan perangkat lunak WHOAnthropPlus,16 asupan mikronutrien menggunakan pemeriksaan food recall 24 jam, dan skrining gangguan tidur menggunakan SDSC. Data tersebut merupakan data primer penelitian. Total keseluruhan data sekunder yang lengkap sehingga dapat dianalisis adalah 121 subjek penelitian. Data kemudian dimasukkan ke dalam pangkalan data komputer menggunakan program SPSS versi 17.0. Analisis univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi dari data yang diteliti. Khusus untuk data numerik, yaitu usia, berat badan, tinggi badan, dan indeks masa tubuh, data yang terdistribusi normal akan dijelaskan dengan rata-rata (mean) dan standar deviasi sedangkan data yang tidak terdistribusi normal dijelaskan dengan median, minimum, dan maksimum. Uji normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov karena jumlah sampel melebihi 50 subjek penelitian. Uji hipotesis yang digunakan berupa chi square. 332
Hubungan status Gizi dengan Gangguan Tidur
Vol. 2, No. 2, Agustus 2014
Hasil dan Diskusi Tabel 1 menunjukkan bahwa subjek penelitian ini terdiri atas 59 anak laki-laki (48,8%) dan 62 anak perempuan (51,2%). Rata-rata usia subjek penelitian adalah 6,06 tahun. Usia subjek yang paling kecil adalah 5 tahun dan paling besar adalah 6 tahun 11 bulan. Berat badan rata-rata subjek adalah 17,83 kg dengan median 17,5 kg. Berat badan terkecil yang didapatkan adalah 13,9 kg dan berat badan terbesar adalah 26,4 kg. Tinggi badan rata-rata subjek adalah 110,2 cm. Tinggi badan terendah adalah 94 cm dan tertinggi adalah 126,6 cm.
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia yang merupakan hasil dari Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004, asupan besi pada anak usia 4-6 tahun adalah sekurang-kurangnya 9 mg. Berdasarkan AKG yang telah ditetapkan, maka subjek penelitian yang memiliki asupan besi kurang dari yang dianjurkan adalah 56 anak (46,3%). Angka asupan besi pada subjek penelitian terdistribusi tidak normal dengan median 9,3 mg, terkecil dengan asupan besi 3,5 mg, dan terbesar 31,8 mg. Berdasarkan AKG yang telah ditetapkan, maka subjek penelitian yang memiliki asupan magnesium kurang dari yang dianjurkan adalah 99 anak (81,8%). Angka asupan magnesium pada subjek penelitian terdistribusi tidak normal dengan median 37 mg, terkecil dengan asupan besi 0 mg, dan 836,5 mg. Pada penelitian ini, mikronutrien yang ditetapkan untuk dilihat hubungannya dengan gangguan tidur adalah besi dan magnesium. Pada penelitian ini, 56 anak (46,3%) mengalami asupan besi kurang. Prevalensi yang cukup tinggi ini dapat disebabkan oleh banyak hal karena kurangnya kepekaan orang tua mengenai pentingnya asupan besi.20 Defisiensi besi yang berkepanjangan dapat menyebabkan kondisi anemia defisiensi besi yang dapat memiliki efek lebih berbahaya lagi bagi tubuh. Untuk memastikan diagnosis dan risiko hubungan besi dan gangguan tidur ini, mungkin penelitian selanjutnya yang akan mendalami hal ini dapat menggunakan pemeriksaan yang lebih akurat seperti pemeriksaan kadar ferritin. Prevalensi subjek penelitian yang mengalami kekurangan asupan magnesium adalah 81,8%. Angka yang sangat tinggi ini perlu ditanggapi serius dengan mencari penyebabnya. Kekurangan magnesium dapat menimbulkan banyak efek sistemik bagi tubuh karena menimbulkan inflamasi kronis, peningkatan stres oksidatif, dan juga gangguan tidur. Pengetahuan mengenai sumber magnesium yaitu sayuran hijau tua, buah-buahan (pisang, alpukat), kacang, produk kedelai, dan produk gandum, perlu diketahui agar anak dapat terhindar dari kekurangan magnesium terus menerus.22 Dari pihak peneliti, metode pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjukkan kurang asupan mirkonutrien besi dan magnesium memiliki keterbatasan karena adanya risiko recall bias, tergantung responden mampu atau mengingat jenis dan jumlah gizi yang dikonsumsi subjek satu hari sebelumnya. Karena metode ini merupakan gold standard pemeriksaan nutrisi epidemiologis,
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian (n = 121) Variabel Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Jumlah (%) 59 (48,8) 62 (51,2)
Karakteristik
Rata-rata
Usia (tahun) Berat badan (kg) Tinggi badan (cm) IMT (kg/m2)
6,06 tahun (SD 0,53 tahun) 17,83 kg (SD 2,38 kg) 110,2 cm (SD 5,2 cm ) 14,6 (SD 0,99)
Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan indeks BB/U menjadi normal dan underweight. Sebagian besar subyek tergolong dalam kategori normal dengan jumlah 102 anak (84,3%) dan sisanya termasuk dalam kategori underweight 19 anak (15,7%). Berdasarkan indeks TB/U, sebagian besar subjek tergolong dalam kategori normal dengan jumlah 106 anak (87,6%) dan sisanya termasuk dalam kategori stunted 15 anak (12,4%), sedangkan menurut indeks IMT/U, seluruh responden memiliki IMT/U yang normal (Tabel 2). Tabel 2. Status Antropometri Subyek Penelitian Variabel
Jumlah (%)
Berat Badan/Umur Normal Underweight
102 (84,3) 19 (15,7)
Tinggi Badan/Umur Normal Stunted
106 (87,6) 15 (12,4)
IMT/Umur Normal Underweight Overweight
121 (100) 0 (0) 0 (0)
333
William Cheng, Rini Sekartini
eJKI
hasil ini menunjukkan prevalensi kekurangan magnesium yang sebenarnya terjadi. Sebaran skor SDSC pada subjek penelitan digambarkan pada gambar 1. Distrubsi skor SDSC pada subjek penelitian tidak normal dengan median 33, skor minimum 24 dan skor maksimum 63. Nilai potong (cut off point) yang dikategorikan gangguan tidur adalah sebesar lebih besar dari 39.4 Dari subjek penelitian, didapatkan bahwa terdapat 28 anak (23,1%) mengalami gangguan tidur dan 93 anak (76,9%) tidak mengalami gangguan tidur. Pada penelitian ini didapatkan bahwa prevalensi gangguan tidur pada subjek penelitian adalah 23,1%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Natalita,6 dilakukan pada remaja
dengan rentang usia 12-15 dengan kuesioner dan cut off point yang sama, menunjukkan prevalensi gangguan tidur sebesar 62,5%. Selain itu, penelitian di Indonesia pada tahun 2006 mengenai prevalensi gangguan tidur pada anak usia di bawah 3 tahun oleh Sekartini et al,16 menunjukkan prevalensi 44,2%. Kuesioner yang dipakai berbeda yaitu dengan Brief Screening Infant Sleep Quesionnaire (BISQ) karena telah disesuaikan dengan usia anak yang dilakukan pemeriksaan, yakni di bawah 3 tahun.16 Data mengenai prevalensi gangguan tidur pada anak usia 5-7 tahun di Indonesia belum ada sehingga penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.
Gambar 1. Kurva Skor SDSC Subjek Penelitian
Tabel 3 menunjukkan hubungan antara status gizi berat badan/ umur dengan gangguan tidur di uji statistik chi square. Hasil yang didapatkan adalah
tidak terdapat hubungan antara BB/U dengan gangguan tidur pada anak (p>0,05)
334
Hubungan status Gizi dengan Gangguan Tidur
Vol. 2, No. 2, Agustus 2014
Tabel 3. Hubungan Indeks BB/U, TB/U dan Asupan Magnesium dengan Gangguan Tidur Variabel
Kategori
Indeks BB/U
Indeks TB/U
Gangguan Tidur Tidak
Ya
Normal – overweight
79
23
Severely underweightunderweight
14
5
Normal – tall
81
25
12
3
50
15
43
13
Normal
16
6
Kurang
77
22
Stunted Asupan Besi
Normal Kurang
Asupan Magnesium
Hubungan antara indeks dengan gangguan tidur diuji statistik chi square. Hasil yang didapatkan adalah bahwa tidak terdapat hubungan antara TB/U dengan gangguan tidur pada anak dikarenakan p>0,05. Untuk mendapatkan hubungan antara asupan besi dengan gangguan tidur, maka dilakukan uji statistik chi-square. Hasil yang didapatkan adalah bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara asupan besi dengan gangguan tidur pada anak (p>0,05.) Hubungan antara asupan magnesium dengan gangguan tidur juga dianalisis dengan uji statistik chi square. Hasil yang didapatkan adalah bahwa tidak terdapat hubungan antara asupan magnesium dengan gangguan tidur pada anak dikarenakan (p>0,05.) Hubungan status gizi yang berlebih memengaruhi gangguan tidur, peneliti belum dapat menemukan penelitian yang menghubungkannya secara pasti. Pada penelitian ini, hasil yang didapatkan adalah bahwa tidak terdapat hubungan. Untuk kelompok subjek penelitian normal, masih ada kemungkinan untuk digali lagi karena belum dibedakan antara overweight dengan berat badan ideal. Hubungan overweight dengan gangguan tidur belum banyak diketahui namun beberapa hubungan yang dapat terjadi adalah berhubungan dengan pola makan dan asupan makronutrien. Asupan karbohidrat yang tinggi dan memiliki indeks glikemik tinggi akan menyebabkan kondisi mengantuk.11 Hubungan besi dengan tidur telah cukup banyak dilakukan dalam studi mengenai anemia defisiensi besi. Mekanisme yang dikemukakan hubungan besi
Nilai p 0,721
0,758
0,986
0,611
dengan pembentukan enzim tirosin hidroksilase yang dibutuhkan untuk sintesis dopamin. Dopamin merupakan salah satu neurotransmiter yang berhubungan dengan tidur yaitu sebagai salah satu promotor tidur. Pada analisis mengenai hubungan ini, ditemukan tidak ada hubungan antara kedua variabel ini secara statistik. Beberapa hal yang dapat menjelaskan hasil ini adalah bahwa pada beberapa penelitian yang dilakukan menghasilkan pengaruh pada tidur adalah pada anak dengan anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi tidak ditegakkan hanya dari perbandingan asupan besi pasien dengan AKG yang disesuaikan pada usia, akan tetapi melihat penghitungan hemoglobin, serum besi, dan level feritin. Penelitian Cortese et al,17 menggunakan SDSC sebagai prediktor gangguan tidur namun dibandingkan dengan diagnosis anemia defisiensi besi. Perbedaan parameter asupan besi yang digunakan antara penelitian ini dengan sumber-sumber yang telah ada dapat disimpulkan menyebabkan perbedaan hasil penelitian. Melatonin merupakan hormon yang berperan sebagai transducer dari aktivitas neuroendokrin yang mengatur siklus terang-gelap manusia. Efek melatonin memiliki peran penting mengatur irama sirkadian manusia dan juga mempengaruhi proses tidur. Keseimbangan melatonin di dalam tubuh manusia salah satunya ditentukan berhubungan dengan asupan mikronutrien magnesium. Magnesium berhubungan dengan kesetimbangan melatonin karena mempengaruhi sintesis endogen melatonin.19 Analisis data yang dilakukan pada 81,8% 335
William Cheng, Rini Sekartini
eJKI
subjek penelitian yang memiliki asupan magnesium kurang dihubungkan dengan terdapat atau tidaknya gangguan tidur pada anak. Hasil yang didapatkan adalah tidak terdapat hubungan. Perbedaan yang tidak bermakna antara kedua variabel ini berbeda dengan studi yang telah dilakukan sebelumnya. Studi yang banyak menunjukkan bahwa terdapat hubungan asupan magnesium dengan gangguan tidur adalah studi intervensional. Studi observasional mengenai hal ini belum ditemukan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa administrasi melatonin, magnesium, dan zink sebelum tidur dapat mengatasi insomnia primer.19 Pada penelitian lain di Jerman, mengenai suplementasi magnesium secara tunggal pada pasien geriatri dengan perubahan gelombang pada EEG Polisomnogragi, 12 lansia memberikan respons perubahan pada gelombang tidur dengan bertambah panjangnya periode Short Wave Sleep. Hasil penelitian ini sesuai dengan suatu studi intervensional suplementasi magnesium tunggal untuk mengatasi gangguan tidur oleh Nielsen et al pada tahun 2010. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbaikan pada pasien dengan asupan magnesium tunggal.15 Kesimpulan Prevalensi gangguan tidur pada anak usia 5-7 tahun di Jakarta Timur 23,1% berdasarkan skor SDSC. Prevalensi severely underweight dan underweight adalah 15,7% dan stunting 12,4%. Prevalensi anak usia 5-7 tahun yang memiliki asupan besi kurang dari AKG adalah 46,3% dan asupan magnesium kurang dari AKG adalah 81,8%. Tidak terdapat hubungan antara indeks berat badan terhadap umur, indeks tinggi badan terhadap umur, asupan besi, dan asupan magnesium terhadap gangguan tidur.
6. Natalita C, Sekartini R, Poesponegoro H. Skala Gangguan Tidur untuk Anak (SDSC) sebagai Instrumen Skrining Gangguan Tidur pada Anak Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sari Pediatri. 2011;12:365-72. 7. Liu J, Zhou G, Wang Y, Ai Y, Pinto-Martin J. Sleep problems, fatigue, and cognitive performance in Chinese Kindergarten Children. The Journal of Pediatrics 2012;161:520-4. 8. Garcia-Jimenez MA, Salcedo-Aguilar F, RodriguezAlmonacid FM, Redondo-Martinez MP, MonterdeAznar ML, Marcos-Navarro AL, et al. The prevalence of sleep disorders among adolescents in Cuenca, Spain. Rev Neurology 2004;39:18-24. 9. Ohida T, Osaki Y, Doi Y, Tanihata T, Minowa M, Suzuki K, et al. An Epidemiologic Study of Self-Reported Sleep Problems among Japanese Adolescents .Sleep 2004; 27 : 978-85 10. Tanjung MFC, Sekartini R. Masalah Tidur pada Anak. Sari Pediatri 2004; 6:138-42. 11. Sarrafi-Zadeh S, Dhawadkar S, Singh RB, Meester FD,Wilczynska A, Wilson DW, et al. Nutritional Modulators of Sleep Disorders. The Open Nutraceuticals Journal 2012; 5 : 1-14. 12. Subal D, Kaushik B. Assessment of nutritional status by anthropometric indices in Santal tribal children. Journal of Life science. 2011;3(2):81–5. 13. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta : Sagung Seto; 2007. 14. Pynaert I, Matthys C, Bellemans M, De Maeyer M, De Henauw S, De Backer G. Iron intake and dietary sources of iron in Flemish adolescents. European Journal of Clinical Nutrition 2005; 59: 826-34. 15. Nielsen FH, Johnson LK, Zeng H. Magnesium supplementation improves indicators of low magnesium status and inflamatory steress in adults older than 51 years with poor quality sleep. Magnesium Research 2010; 23: 158-68. 16. Sekartini R, Adi NP. Gangguan Tidur pada Anak Usia Bawah Tiga Tahun di Lima Kota di Indonesia. Sari Pediatri 2006; 7: 188-93. 17. Cortese S, Konofal E, Bernardina BD, Mouren MC, Lecendreux M. European Children Adolescent Psychiatry 2009; 18:393-9. 18. Peirano PD, Alagarin CR Chamoro RA, Reyes SC, Duran SA, Garrido MI, et al. Sleep Alterations and Iron Deficiency Anemia in Infancy. Sleep Medicine 2010; 11: 637-42. 19. Rondanelli M, Opizzi A, Monteferrario F, Antoniello N, Manni R, Klersy C. The effect of melatonin, magnesium, and zinc on primary insomnia in long term care facility residents in Italy: A double-blind, placebocontrolled clinical trial. Journal of American Geriatric Society 2011; 59: 82-90.
Daftar Pustaka 1. Taheri S, Mignot E. The genetics of sleep disorders. Lancet Neurology 2002; l1: 242-50. 2. Widodo DP, Soetomenggolo TS. Perkembangan normal tidur anak dan kelainannya. Sari Pediatri 2000;2:139-45. 3. Sadeh A, Raviv A, Gruber R. Sleep patterns and sleep disruptions in school-age children. Developmental Psychology 2000;36:291-301. 4. Quach J, Hiscock H, Ukoumunne OC, Wake M. A Brief Sleep Interventioon Outcomes in the Second Entry Year: A Randomized Controlled Trial. Pediatrics 2011;128;692 5. Faruqui F, Khubchandani J, Price JH, Bolyard D, Reddy R. Sleep Disorders in Children: A National Assesment of Primary Care Pediatrician Practices and Perceptions. Pediatrics 2011;128;539.
336
Hubungan status Gizi dengan Gangguan Tidur
Vol. 2, No. 2, Agustus 2014
The Relationship between Hygienic Practices and Scabies Infestation in a Boarding School in East Jakarta Indra Sianturi,1 Saleha Sungkar2 Medical Science Program, Faculty of Medicine Universitas Indonesia Department of Parasitology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia 1
2
Abstract Scabies is a skin disease that is most common in Indonesia, especially in dense environments such as boarding occupants. This research aims to study the relationship of scabies with personal hygienic practices (PHB) in the male students in the boarding school X in East Jakarta. This crosssectional study was conducted on March 8, 2014, and all students are the subjects of study (total sampling). Diagnosis of scabies was done with history taking and dermatological examination. PHB data was taken with a questionnaire containing 10 questions regarding the personal hygienic practices. The question was given a score of 0 to 1 for bad behavior and good behavior. Data were analyzed by chi square test. The results showed the prevalence of scabies was 36%, with 3.4% of good personal hygienic practices and 32.8% had poor personal hygienic practices. There are significant differences between the PHB and scabies (p = 0.008). In conclusion, personal hygiene associated with scabies. Keywords: scabies, personal hygiene, prevalence, pesantren
Hubungan antara Perilaku Hidup Bersih dengan Infestasi Scabies di Pesantren di Jakarta Timur Abstrak Skabies merupakan salah satu penyakit kulit yang paling umum di Indonesia, terutama di lingkungan padat penghuni seperti pesantren. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan skabies dengan perilaku hidup bersih(PHB) pada siswa laki-laki di Pesantren X di Jakarta Timur. Penelitian cross-sectional ini dilakukan pada tanggal 8 Maret 2014 dan semua siswa dijadikan subyek penelitian (total sampling). Diagnosis skabies dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis. Data PHB diambil dengan kuesioner yang berisi 10 pertanyaan mengenai PHB. Pertanyaan diberi skor 0 untuk perilaku buruk dan 1 untuk perilaku baik. Analisis data dilakukan dengan ujichi square. Hasilnya menunjukkan prevalensi skabies adalah 36% dan PHB yang baik 3.4% dan buruk adalah 32.8%. Terdapat perbedaan signifikan antara PHB dan scabies dengan (p=0.008). Disimpulkan, kebersihan pribadi berhubungan dengan skabies. Kata Kunci: scabies, perilaku hidup bersih, prevalensi, pesantren.
337
William Cheng, Rini Sekartini
eJKI
Introduction
Method
Scabies is a profoundly itchy parasitic skin infection, which is caused by a mite; Sarcoptesscabeivarhominis that digs out tunnels descends mostly until the first layer of the epidermis.1 Currently, there are about 300 million cases of scabies around the globe each year, where it could cause a major public-health problem vastly in less-developed country.2 Around 6-27% of the general population are affected in developed country, with the highest incidence in the school-aged and adolescent groups.3 In Indonesia, this parasitic infection is still a problem not only in remote areas, but also in metropolitan city such as Jakarta, with the prevalence of 4.6-13% and ranked the third out of twelve most prevalent skin diseases.4 The contributing factors to the spreading of this disease in the community are poor level of hygiene, lack of knowledge towards the disease, and low level of socioeconomic status. Scabies is highly widespread in clustered living group condition such as, boarding school, dormitories, military barracks, and orphanage with poor level of sanitation. The quality of life in infected individuals will degrade because of intensive itchiness at night, which will disturb the quality of sleep. Prolonged scratching from infected individuals may lead to skin rash or secondary infection, which depict the acute skin condition such as papule and mild erythema. In addition, the secondary infection will present as the polymorphic skin morphology of pustule, crust, excoriation, and etc.5 Scabies affected performance in school of students in DI Aceh as reported in 2006, this may due to loss of concentration caused by chronic scratching.6 There is a boarding school (pesantren) in the area of East Jakarta, with a crowded living condition and high number of its student occupants (santri) is suffering from scabies. The need to eradicate scabies to stop the chain of infection is important and necessary. Scabies can be treated with scabicide agents such as Gameksan, Sulfur, and Permethrin. The treatment of scabies with scabicide agents usually gives a high cure rate. However, if the treatment is solely given without accompanied by a clean and healthy living behaviors, then the recurrence of scabies infection may occur in a short time. Thus to eradicate scabies, santri need to be treated accompanied by behavioral changes. Based on the description above, we intend to make the eradication program of scabies in pesantren with topical Permethrin agent followed by health education. In order for the health education to work successfully, survey is needed to determine the prevalence of scabies and hygienic behavior.
This cross-sectional study was conducted in a pesantren in East Jakarta, on March 8th, 2014.Informed consent was obtained from all the students, then they were given questioner to get the information of personal hygiene behavior of the subjects during the stay in the pesantren, which are: 1. Bathing habits 1 = good (a minimal of two times a day using soap) 0 = bad (less than two times a day) 2. Cleaning the genital area and drying with towel 1 = good (a minimal of two times a day) 0 = bad (less than two times a day) 3. Towel exchange 1 = good (never exchanging towels with other santris) 0 = bad (have at least one time exchanging towels with other santris) 4. Drying the towel under the sun light 1 = good (drying the towel after been used twice) 0 = bad (drying the towel after been used three times or more) 5. Changing clothes 1 = good (a minimal of two times a day) 0 = bad (less than two times a day) 6. Clothing exchange 1 = good (never exchange clothes with santris) 0 = bad (exchange clothes with santris) 7. Washing the clothes 1 = good (washed after being worn once) 0 = bad (more than once) 8. Ironing the clothes 1 = good (ironed after being used once) 0 = bad (ironed after being used more than once) 9. Drying the mattresses under the sun light 1 = good (mattress is dried at least once a week) 0 = bad (less than once a week) 10. Multiple santris in one mattress for sleeping 1 = good (never) 0 = bad (have, at least once) The result of the questionnaire was considered good if the subject answers equal to or more than the score of 7 and poor if answers below 7. Subjects wereexamined for skin lesions diagnostic of S. scabiei infestation. The presence of skin condition such as papules, pustules, 338
Hubungan status Gizi dengan Gangguan Tidur
Vol. 2, No. 2, Agustus 2014
excoriations, hyperpigmentations and other lesions are documented. History of current complaint of nocturnal pruritus is required to be obtained as part of the diagnosis. Dermatologist made the diagnosis of scabies and subjects with positive results will be treated with permethrine cream.Data was recorded and entered using SPSS for Windows version 20 and analyzed using chi square test.
one mattress were the most common bad behavior practices to be done among the santris (85.7%). On the other hand, 88.1% of the male santris have a good behavior of taking bath twice daily with soap. Good behavior generally found in bathing habits, buttocks drying with towel after wiping, drying towel under the sunshine, clothing exchange and ironing clothes. On the other hand, bad behavior practices are found in the habit of exchanging towels, drying carpet/mattress/mat under the sunshine, and sleeping together in one mattress.
Results This research has been conducted in a pesantren, located in East Jakarta. Samples were male Islamic boarding school students (santri) and is undergoing a junior secondary school education Madrasah Tsanawiyah (MTs) and a senior secondary school Madrasah Aliyah (MA) of various ages. The total number of male santris registered in this pesantren is 135 people. However, only 119 of males santris who has undertaken this research because 19 of them were not present on the day of the data collection due to the high school exit exam. Out of 119 of malessantris, 43 of them were infested with scabies, therefore the prevalence of scabies was 36%. Table 1 shows the location of the scabies lesion distribution on male santris. Interdigital space of the hand is the most common location of the lesion (61.9%), followed in the buttocks area (38.1%) and in the pubic (26.2%). On the other hand, the location of scrotum, armpit and lower arm are the least of the lesion location distribution among the santris (4.8%).
Table 2. The Distribution of the Score of Behavior Practices Questionnaire
Table 1. Distribution of Scabies Lesion Location on Male Students Lesion location
n=42
%
Interdigital space of the hand
26
61.9
Buttock
16
38.1
Pubic
22
26.2
Groins
10
23.8
Lower leg
9
21.4
Stomach
7
16.7
Peri-umbilical
7
16.7
Upper arm
5
11.9
Glans penis
4
9.5
Scrotum
2
4.8
Armpit
2
4.8
Lower arm
2
4.8
No
Questionnaire
Score
1
Bathing habits…
0 1
5 37
11.9 88.1
2
Cleaning the genital 0 and buttock areas and 1 drying with towel…
20 22
47.6 52.4
3
Towel exchange…
4
0 1
Total
36
%
6
85.7 14.3
Drying towel under the 0 sun light… 1
18 24
42.9 57.1
5
Changing clothes…
0 1
21 21
50 50
6
Clothing exchange
0 1
15 27
35.7 64.3
7
Washing the clothes
0 1
25 17
59.5 40.5
8
Ironing clothes…
0 1
8 34
19 81
9
Drying carpet/mattress/ 0 mat under the sun 1 light…
29 13
69 31
10
Sleeping together in one 0 mattress… 1
36 6
85.7 14.3
Based on table 3 it is found that santris with good behavioral practices have less scabies compared to santris with bad behavioral practices. Chi-square test shows significant difference (p=0.008) between the frequency of scabies and daily behavioral practices meaning there is a relationship between good and bad daily behavioral practices of living with the frequency of scabies in santris.
Table 2 shows the distribution of the behavioral practices questionnaire among the santris who have been diagnosed with scabies. Practices of both exchanging towels and sleeping together in 339
William Cheng, Rini Sekartini
eJKI
of 7 is considered to have good personal hygiene and it works the other way around. The higher the score, the better personal hygiene. Most of the questionnaires are composed to the context of sharing personal belongings and sanitary. The infestation of scabies is vulnerable in overcrowded condition, especially with those who have the practices to share their personal belongings between each other with infected garments. In 2009, a study was conducted in Iraq stated that the prevalence of scabies was high in crowded living condition, prisons (83.3% of cases), and among high-risk group, children (31.1% of cases).12 Based on the analytical descriptive of this study, it is found that 28 subjects (23.6%) have good hygienic practices, with only 4 of them infected with scabies. On the contrary, 91 subjects (76.4%) have poor hygienic practices, and 38 of them are infected with scabies. Using chi-square test, it is found that there is a relationship between hygienic practices towards scabies infestation among the male santris, with p-value < 0.5. This finding is consistent with a study in 2004 in the sub-district health centers Gemuh in Kendal, stating that there is a relationship between the incidences of scabies personal hygiene.13 In addition, a study was conducted in a boarding school in Lamongan stated that poor personal hygiene contributes to 73.70% of scabies prevalence.14 Improvement of healthy personal hygiene practices also gives an effect in reducing the prevalence of scabies in 4 Islamic religious schools in Bangladesh.15
Table 3. The Frequency of Scabies Based on Behavioral Practices Behavior
Scabies (-)
Scabies (+)
Good
24 (20.2%)
4 (3.4%)
Bad
53 (44.5%)
39 (32.8%)
Discussion Scabies is a skin disease that is closely related to the personal hygiene of each individual. This disease needs direct contact between each individual in order to spread the infection. However, it also can be transmitted through mattress, towels, clothing, and other personal items that are used interchangeably.7 In order to be able to define the prevalence of scabies transmission among the students, it is necessary to identify the personal hygiene in the boarding school. In this study, the prevalence of scabies was 36%, lower compare to the study conducted by Hilmy8in 2012 on the same boarding school (the prevalence of scabies was 93.8%) which then held a mass treatment and health education on prevention of scabies with the results of all students were recovered from scabies. Two years later, the same research is conducted again (this study) and scabies is still obtained but a lower prevalence. Scabies is a curable disease, however, if it is not followed with good personal hygiene practices and adequate treatment, reinfection is imminent. Adequately treated patients are sometimes swiftly to get reinfection in the communities; therefore the infestation continues to circulate. Study on repeated infestation in crusted scabies showed that recurrences are likely to emerge due to untreated contacts and inadequate treatment, even given three fortnightly doses of ivermectin, scabies presents again after 6-12 months.9,10 Thus, mass treatment should be followed by good hygiene practices in order to stop the recurrence of scabies.
The Location of Lesion Distribution The manifestation of scabies are pustules, papules, vesicles, and secondary lesions. On this study, the most common location of the lesion among the male santris ranging from the first until the third rank are in the interdigital space of the hand, buttocks, and pubic. This result is in accordance with the literature finding stated that the areas mainly affected are within thin stratum corneum layer, e.g. interdigital space.16 Another common location of lesion are mostly buttocks, pubic, flexor surface of the wrists, extensor surface of the elbows, and genitalia.10 This corresponds to a study conducted by Sungkar et al,17which showed that interdigital space and buttock are the most common location for the lesion to occur. Because in interdigital space of the fingers contain thin layer of stratum corneum, it gives the highest number of lesion distribution compared to other locations and the mites are easily to cause such a condition. Based on the location, the santris are suffering from classic type of scabies,
The Relationship between Scabies Frequency and Personal Hygiene This study shows that there is a relationship between personal hygiene practices towards scabies infestation among the santris. As described in WHO, scabies spreads principally by direct skin contact and/or contact with infested garments and bedclothes.11 Scabies is more prevalent in santris with bad personal hygiene and vice versa. Santris who have answered equal or more than the score 340
Hubungan status Gizi dengan Gangguan Tidur
Vol. 2, No. 2, Agustus 2014
where the main complaint of nocturnal itchiness that results of sleeping disturbance during the night.9 On the contrary, the least number of lesion distribution are in the axilla, lower arm, and scrotum. The longer the duration of acquiring scabies, the lesion will be more spread according to the severity, e.g. axilla.12
2. 3. 4. 5.
Distribution of Behavioral Practices Based on this study, practices of exchanging towels and sleeping together in one mattress are the most common practices to be done among the santris. Scabies is infected through direct skin-to-skin contact and not to forget through contact with infected objects. The parasite can be attached to the personal belongings of the infected subjects, such as towels, clothing, and mattress. Because there is a relationship between personal hygienic practices towards the scabies manifestation, it is can be concluded that the usage of personal belongings interchangeably between infected and non-infected subjects is a clear route of infection between individual. Although the santris have good personal hygiene of less sharing clothes between each other, the practices of sharing towel is still high, which results of scabies infestation. Drying the personal belongings under sunlight is also common among the santris and gives positive results of minimizing the transmission of the disease. A study in a pesantren in North Sumatra stated that improved in the practice of healthy hygiene, such as daily bathing, routine clothes changing, drying towels under the sunlight, changing bed sheets, minimizing clothes sharing, and avoiding sleeping in one bed minimize scabies infection.18At poor hygienic practices, the transmission of scabies is easier to occur. Habits such as hand washing, bathing with soap, changing clothes and underwear, not exchanging clothes and daily appliances may reduce the risk of scabies.
6.
7. 8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Conclusions The prevalence of scabies in Pesantren X among the male santri was 36%. Most of the santris have good behavior, but the percentage of sleeping in one mattress is still high among the santris. There is an association between personal hygiene and scabies infestation in Pesantren X.Clean and healthy lifestyle education should be repeated quarterly in each class to refresh the memory of the students regarding the urgency to prevent scabies.
15.
16. 17.
References 1. Strong M, Johnstone P. Interventions for treating scabies review. The Cochrane Library. 2010;10:1-73.
18.
341
Chosidow O. Scabies and pediculosis. Lancet. 2000;355:819-26. Tabri F. Skabies pada bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. Indonesian. Harahap M. Penyakitkulitdankelamin di Indonesia. MajKedoktIndon. 1987;(37):403-10. Indonesian. Handoko P. Skabies. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI; 2010. p.122-5. Indonesian Muzakir. Faktor yang berhubungan dengan penyakit skabies pada pesantren di Kabupaten Aceh Besar tahun 2007. Medan: Universitas Sumatera Utara;2008. Jackson A, Haukelbach J, Feldmeier H, Transmission of scabies in rural community. Braz J Infect Dis. 2007;4(11). Hilmy F. The prevalence of skabies and its asoociation with characteristics of students Boarding School X, East Jakarta [thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012. Indonesian Huffam SE, Currie BJ. Ivermectin for sarcoptesscabieihyperinfestation. Int J Infect Dis. 1998;2:152–4. Walton SF, McBroom J, Mathews J. Crusted scabies: a molecular analysis of sarcoptesscabieivarhominis populations in patients with repeated infestations. Clin Infect Dis. 1999;29:1226–30. World Health Organization [Internet]. Water related diseases. [Cited 2014 May 2].Available from: http://www. who.int/water_sanitation_health/diseases/scabies/en/ Alsamarai A. Frequency of scabies in Iraq: survey in dermatology clinic. J Infect DevCtries. 2009;3(10):789-3. Kurniawati D. Hubungan antara kebersihan pribadi dan kontak perseorangan dengan kejadian scabies padaanak SD yang berobat di puskesmas Gemuh 1 kecamatan Gemuh, kabupaten Kendal. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang; 2004 Indonesian. Ma’arufi I. Faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap prevalensi penyakit skabies: studi pada santri di pondok pesantren kabupaten Lamongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2005;2(1):11-8. Indonesian. Talukder K, Farooque M, Khairul M. Controlling scabies in madrasahs in Bangladesh. Public Health. 2013;127(1):83-91. Hall J. Skin Infections: diagnosis and treatment. Cambridge: Cambridge University Press; 2009. Sungkar S, Agustin T, Fuady A. Effectiveness of scabies treatment with permethrinusing standard and modified application methods. Jakarta: Faculty of Medicine Universitas Indonesia; 2011. Andayani L. Perilaku santri dalam upaya pencegahan penyakit skabies di pondok pesantren Ulumu Qur’an Stabat. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2001.