Hubungan Perbedaan Letak Geografis Tempat Tinggal Terhadap Parameter Respirasi FVC dan FEV1 Wednes Kartika Sari1, Aulia Anggun Dwi Kirana2, Ikhlas M. Jenie3 1 2
Mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Dosen Fisiologi fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Pendahuluan Seseorang yang hidup di dataran tinggi dan di dataran rendah akan mengadakan adaptasi fisiologis tubuh yang berbeda. Adaptasi-adaptasi yang mungkin terjadi adalah adaptasi pada sistem respirasi, sistem sirkulasi dan metabolisme dan jumlah sel darah merah1. Adaptasi fisiologis tubuh terhadap lingkungan akan menghasilkan aklimatisasi. Aklimatisasi yang dimulai dari sejak bayi akan membentuk perbedaan anatomi tubuh. Aklimatisasi penduduk asli di dataran tinggi memberikan perbandingan kapasitas ventilasi dengan massa tubuh yang tinggi karena ukuran dada sangat meningkat sedangkan ukuran tubuh agak berkurang. Penduduk di dataran tinggi memiliki ukuran jantung yang lebih besar dibandingkan penduduk di dataran rendah dikarenakan kerja jantung untuk memompa darah yang lebih besar2. Pada jantung terutama di jantung kanan, tekanan arteri pulmonalis akan meninggi agar pemompaan darah menjadi sempurna karena sistem kapiler paru pada penduduk di dataran tinggi sangat berkembang daripada penduduk di dataran rendah2. Penduduk asli di dataran tinggi memiliki kapasitas difusi paru 20 - 30% lebih tinggi dari penduduk asli di permukaan laut3. Pada penduduk asli dataran tinggi dimana tekanan parsial oksigen rendah akan memicu peningkatan eritrosit sebagai proses aklimatisasi yang menyebabkan peningkatan hemoglobin sekitar 15 gr/dl sampai 20 gr/dl4. Penelitian pada penduduk asli di dataran tinggi Tibet yang tinggal pada ketinggian kurang lebih 4.000 m di atas
permukaan laut menunjukkan bahwa, penduduk asli Tibet memiliki karakter fisiologi yang berbeda. Konsentrasi hemoglobin pada penduduk asli Tibet lebih rendah daripada penduduk di dataran tinggi lainnya, seperti Andeans atau Han Cina5. Fisiologi paru salah satunya dapat diteliti dengan tes fungsi paru. Tes tersebut dapat mengetahui evaluasi kualitatif dan kuantitatif dari fungsi paru pada pasien dengan penyakit paru obstruktif dan restriktif. Parameter yang digunakan untuk mendeskripsikannya adalah FVC dan FEV1. Hasil dari uji fungsi paru ditentukan oleh kekuatan otot pernapasan, pemenuhan dari rongga dada, hambatan dari saluran pernapasan dan elastisitas pergeseran (recoil) paru6. Tes fungsi paru merupakan pemeriksaan dan pemantauan pasien yang diduga terdapat patologi di sistem pernapasan. Tes Fungsi paru menghasilkan gambaran tentang besar dan kecilnya saluran udara pernapasan, parenkim paru dan ukuran dan integritas dari kapiler paru7. Terdapat empat hal mendasar dalam tes fungsi paru yaitu, spirometer, volume paru, kapasitas respirasi dan kapasitas respirasi8. Fisiologi paru dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik seperti usia, jenis kelamin,penyakit, aktivitas, dan status gizi9. Ketika berada di dataran tinggi dengan penurunan tekanan oksigen, oksigenasi jaringan akan berkurang yang disebut dengan hipoksia hipobarik10. Hipoksia akibat ketinggian akan mengakibatkan seseorang menjadi hiperventilasi, kesulitan dalam bicara,
pusing, mual atau bahkan muntah11. Hipoksia terjadi karena ada beberapa perubahan dari dalam tubuh misalnya peningkatan hemoglobin, ventilasi, vasokonstriksi paru12. Oleh karena itu, dirasakan perlu adanya penelitian lebih lanjut adanya perbedaan parameter respirasi Forced Volume Capacity (FVC), Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1), dan perhitungan rasio FEV1/FVC terhadap letak geografis tempat tinggal. VO2 max adalah nilai konsumsi oksigen maksimum yang dapat dikonsumsi oleh seseorang. VO2 max digunakan sebagai parameter kebugaran kardiorespirasi selama melakukan tes latihan pengukuran13. Nilai VO2 max dibagi menjadi 2 yaitu nilai VO2 absolut dan nilai VO2 relatif . Nilai VO2 absolut adalah jumlah oksigen maksimal yang digunakan oleh tubuh yang dinyatakan dalam l/menit. Sedangkan nilai VO2 relatif adalah jumlah oksigen maksimal yang digunakan oleh tubuh yang dinyatakan dalam ml/kg/menit14. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai VO2 max diantaranya, usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, latihan serta ketinggian tempat. Pengukuran nilai VO2 max dapat dilakukan dengan beberapa tes, diantaranya tes ergometer sepeda, treadmill, field test dan step test yang meliputi (1) Harvard Step Test, (2) Queen’s College Step Test, (3) Tuttle Step Test, (4) Ohio Step Test, (5) YMCA Step test, dan (6) Tecumseh Step Test. Bahan dan Cara Penelitian ini merupakan penelitian observasi analitik untuk mengetahui adanya perbedaan FVC dan FEV1 serta nilai VO2 max terhadap letak geografis tempat tinggal dengan pendekatan crosssectional. Pengambilan data dan penelitian dilaksanakan di SMAN 1 Kretek, SMK Muhammadiyah Kretek, Bantul dan SMK Hamong Putera, Sleman dari 22 September – 22 November 2014. Subyek penelitian dipilih dengan teknik consecutive sampling, yang terdiri
dari siswa SMK Hamong Putera kelas X, XI, dan XII sebagai subyek penelitian kelompok dataran tinggi sebanyak 30 siswa. subyek penelitian kelompok dataran rendah diambil dari siswa SMAN 1 Kretek kelas X, XI, dan XII sebanyak 21 siswa dan SMK Muhammadiyah Kretek, Bantul kelas X dan XI sebanyak 9 siswa. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah laki laki yang berusia 15 – 20 tahun penduduk dataran tinggi Kaliurang atau penduduk dataran rendah pesisir pantai, sehat jasmani dan rohani, dan bersedia menjadi sampel penelitian, adapun kriteria eksklusinya adalah merokok, menderita kelainan tulang belakang, respirasi, jantung, dan penyakit sistemik. Letak geografis tempat tinggal merupakan variabel bebas, variabel tergantung yang diteliti adalah parameter kardiorespirasi FVC, FEV1 dan nilai VO2 max. Variabel terkontrol merupakan laki – laki dan berusia produktif (15 – 20 tahun). Instrumen penelitian yang terdapat dalam penelitian ini adalah form kuesioner, inform concent, timbangan berat badan, pita meter, spirometer manual, alat Hb digital, metronom dan stopwatch. Pelaksanaan penitian diawali dengan penyebaran kuesioner ke siswa untuk memilih subyek penelitian berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya subyek diukur berat badan, tinggi badan, lingkar dada dan mengukur kadar hemoglobin. Spirometer manual dipersiapkan beserta mouth piecer, dilakukan pengukuran FVC dengan cara subyek diperintahkan inspirasi secara dalam, mouth piecer diletakkan di mulut lalu subyek ekspirasi sekuat – kuatnya dengan hidung dijepit dengan tangan. Pengambilan data FVC dilakukan sebanyak tiga kali, data diambil dari hasil pengukuran yang paling tinggi. Data FEV1 diambil dengan cara subyek inspirasi dalam dan mouth piecer diletakkan di mulut, hidung dijepit dengan tangan lalu subyek melakukan ekspirasi dalam dan cepat selama satu detik, dilakukan tiga kali dan hasil yang paling tinggi digunakan
untuk pengolahan data penelitian. Rasio FEV1/FVC dengan satuan persen, didapat dari hasil tertinggi data FEV1 dan FVC. Pengukuran VO2 max dilakukan menggunakan Harvard Step test dengan cara subyek melakukan naik turun tangga setinggi 50cm selama 5 menit kemudian, subyek diminta untuk beristirahat selama 30 detik dilanjutkan perhitungan denyut nadi sebanyak tiga kali dengan jeda 30 detik setiap perhitungan, setiap pemeriksaan denyut nadi dilakukan selama 30 detik. Uji normalitas data menggukan Kolmogorov – Smirnov. Analisis data menggunakan independent sample t-test untuk data FEV1 dan VO2 max dikarenakan distribusi data pada variabel ini normal dan Mann – Whitney test untuk data FVC dan rasio FEV1/FVC dikarenakan data terdistribusi tidak normal. Hasil Hasil penelitian dapat diamati pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Analisis data perbedaan tempat tinggal terhadap FVC, FEV1, dan rasio FEV1/FVC Variabel Nilai p FVC 0,219 FEV1 0,095 Rasio FEV1/FVC 0,001 VO2 max 0,828 Pada Tabel 1 menunjukkan hasil analisis data perbedaan tempat tinggal terhadap empat variabel penelitian yaitu FVC, FEV1, rasio FEV1/FVC, dan VO2 max. Analisis data menggunakan MannWhitney test pada variabel FVC dan rasio FEV1/FVC karena data terdistribusi tidak normal (p<0,05) dengan nilai p berturutturut 0,005 dan 0,009. Variabel FEV1 dan VO2 max menggunakan uji independen t test dikarenakan distribusi data normal. Dari keempat variabel tersebut, yang menunjukkan adanya perbedaan hasil pemeriksaan tes fungsi paru terhadap
perbedaan tempat tinggal adalah variabel rasio FEV1/FVC karena nilai p<0,05. Tabel 2. Median FVC dataran tinggi dan dataran rendah Statistik
Dataran tinggi Median (mL) 2900 nilai min – (1000 – max (mL) 4000)
Dataran rendah 2800 (1800 – 3400)
Pengujian distribusi data FVC dengan uji Kolmogorov – Smirnov menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi secara normal maka hasil analisis data FVC disajikan dengan nilai median dan rentang nilai (nilai minimum – nilai maksimum). Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil rasio FEV1/FVC subyek kelompok dataran tinggi lebih tinggi dari kelompok subyek dataran rendah. Tabel 3. Rerata FEV1 dataran tinggi dan dataran rendah Statistik Rerata (mL) Standar deviasi (mL)
Dataran tinggi 2533,33
Dataran rendah 2296,67
±685,64
±325,88
Pengujian distribusi data FEV1 dengan uji Kolmogorov – Smirnovmenunjukkan bahwa data terdistribusi secara normal maka hasil analisis data FEV1 disajikan dengan nilai rerata dan standar deviasi. Sesuai pada Tabel 3, subyek kelompok dataran tinggi memiliki hasil FEV1 yang lebih tinggi daripada subyek kelompok dataran rendah. Tabel 4. Median rasio FEV1/FVC dataran tinggi dan dataran rendah Statistik
Dataran tinggi Median (mL) 91% nilai min – (79% -
Dataran rendah 86% (72% -
max (mL)
87%)
96%)
Pengujian distribusi data FVC dengan uji Kolmogorov – Smirnovmenunjukkan bahwa data tidak terdistribusi secara normal maka hasil analisis data rasio FEV1/FVC disajikan dengan nilai median dan rentang nilai (nilai minimum – nilai maksimum). Tabel 4 menunjukkan bahwa rasio FEV1/FVC subyek kelompok dataran tinggi hasilnya lebih tinggi dibanding dengan subyek kelompok dataran rendah. Tabel 5. Rerata VO2 max dataran tinggi dan dataran rendah
Karakteri stik VO2 max (ml/kg/m enit)
Dataran Dataran tinggi rendah Simpa Simpa Rera Rera ng ng ta ta Baku Baku 92,4 3
27,64 5
94,0 1
28,65 7
Tabel di atas menunjukkan bahwa rerata nilai VO2 max pada dataran tinggi dan dataran rendah adalah sebanding. Pembahasan Hasil uji statistik tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh M.Faramoushi (2012) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan FVC yang signifikan antara penduduk di dataran rendah (pesisir pantai) dengan penduduk yang tinggal di ketinggian 1400 m diatas permukaan laut. Pemeriksaan dilakukan di lingkungan masing – masing subyek dan parameter lokal seperti kelembapan, angin, suhu, dan tingkat hidrasi setiap subyek tidak diperhitungkan. Waktu dilakukan pemeriksaan saat musim penghujan, lingkungan basah yang dapat membuat kelembapan udara tinggi dan suhu yang berubah. Hal tersebut dapat saja
mempengaruhi hasil dari pemeriksaan spirometer. Hasil median FVC digunakan sebagai acuan dikarenakan distribusi data tidak normal, menunjukkan kelompok dataran tinggi memiliki nilai FVC lebih tinggi daripada nilai FVC pada kelompok dataran rendah (tabel 2). Sesuai dengan penelitian oleh Roh Hyulyun dan Lee Daehee (2014), seseorang yang tinggal di dataran tinggi, tubuhnya akan beradaptasi dengan cara meningkatkan perfusi pulmoner dan kapasitas paru, kapasitas pengikatan oksigen di darah dan jaringan perifer akan meningkat serta peningkatan total sel darah merah untuk mengimbangi tekanan atmosfer dan tekanan parsial oksigen yang rendah sehingga pada penduduk dataran tinggi mempunyai kapasitas paru yang lebih besar dan kapasitas residual 21-28% yang lebih rendah dibanding penduduk yang tinggal di dataran rendah. Hasil uji hipotesis menggunakan independent sample t-test untuk melihat adanya perbedaan antara tempat tinggal dengan FEV1, hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan statistik (p>0,05) antara tempat tinggal dengan FEV1 dengan nilai signifikansi adalah 0,095 (tabel 4). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Angel Moreno dan Omae Espinoza-Navarro (2013) bahwa hasil dari FEV1 pada penduduk yang tinggal di dataran tinggi dan di pesisir pantai tidak berbeda signifikan, faktor yang dapat mempengaruhi karena homogenitas di karakteristik antropometrik seperti berat badan – tinggi badan. Obesitas yang disebabkan karena ketebalan dari dinding dada dan lemak di perut mempengaruhi hasil dari fungsi ventilasi paru, dikarenakan akumulasi pada lemak mempengaruhi aktivitas trakhea silial sehingga ketika dilakukan pemeriksaan menggunakan spirometer hasilnya akan terpengaruh. Data homogenitas berat dan tinggi badan terdistribusi tidak normal sehingga memungkinkan berpengaruh pada hasil pemeriksaan FEV1, selain itu
jumlah subyek pada penelitian ini mencakup dalam skala kecil yaitu 60 subyek. Rerata FEV1 menunjukkan bahwa FEV1 pada kelompok dataran tinggi memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil FEV1 pada kelompok dataran rendah (tabel 3). Faktor penyebab diantaranya respon adaptif dari tinggal di dataran tinggi yang menyesuikan dengan keadaan tempat tinggal ataupun terpengaruh dari genetik18. Median rasio FEV1/FVC pada kelompok dataran tinggi lebih besar daripada hasil rasio FEV1/FVC pada kelompok dataran rendah. Nilai median rasio FEV1/FVC pada kelompok dataran tinggi adalah 91% dan nilai median rasio FEV1/FVC pada kelompok dataran rendah 86% (tabel 4). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa tinggal pada dataran yang lebih tinggi akan meningkatkan fungsi pulmoner. Ketinggian dapat mempengaruhi pertumbuhan dari pernapasan dibandingkan dengan ukuran paru, yang merupakan faktor penentu dari terjadinya hipoksemia. Penduduk dataran tinggi biasanya memiliki hasil rasio FEV1/FVC yang lebih tinggi dibanding dengan penduduk lainnya karena telah terjadi modifikasi genetik dan perkembangan psikologikal diantaranya peningkatan perfusi pulmoner dan kapasitas paru yang merupakan cara adaptasi diri sebagai respon terhadap hipoksia kronik sebagaimana pada dataran tinggi tekanan atmosfir, tekanan parsial oksigen, dan saturasi oksigen yang ada lebih rendah19. Rasio FEV1/FVC biasanya dinyatakan dalam bentuk persentase, sebagai gambaran dari seberapa banyak udara dapat dikeluarkan selama satu detik pertama sebagai proporsi dalam total ekspirasi paksa. Rasio FEV1/FVC dikenal sebagai Tiffeneau Index20. Hasil uji hipotesis menggunakan Independent sample T-test untuk mengetahui adanya perbedaan nilai VO2 max di dataran tinggi dan dataran rendah
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Ketinggian tempat berbanding terbalik dengan tekanan parsial oksigen. Tekanan parsial oksigen udara inspirasi yang rendah maka akan terjadi peningkatan jumlah sel darah merah sebagai proses aklimatisasi. Peningkatan jumlah eritrosit ini dipicu oleh peningkatan eritropoetin ( zat humoral yang dibentuk oleh ginjal yang merangsang pembentukan eritrosit)21. Jumlah eritosit yang meningkat mengakibatkan peningkatan kadar hemoglobin yakni sekitar 15g/dl sampai 20 g/dl. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Huldani tahun 2010 diketahui bahwa pada siswa dengan kadar hemoglobin yang normal memiliki nilai VO2 max yang lebih baik dibandingkan dengan siswa dengan kadar hemoglobin yang rendah. Nilai VO2 max akan mengalami penurunan sekitar 8 hingga 11% pada setiap ketinggian 1000 m di atas permukaan air laut. Nilai VO2 max akan menurun secara signifikan ketika berada seseorang di ketinggian 1600 m di atas permukaan23. Pada penelitian daerah yang menjadi subyek penelitian memiliki ketinggia 500 -999 m di atas permukaan laut sehingga belum terlihat penurunan nilai VO2 max pada penelitian ini. Kesimpulan Hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan parameter respirasi rasio FEV1/FVC pada penduduk dataran tinggi dan dataran rendah, hasil rasio FEV1/FVC dataran tinggi nilainya lebih tinggi daripada hasil rasio penduduk dataran rendah. Tidak terdapat perbedaan pada FVC dan FEV1 antara penduduk dataran tinggi dan dataran rendah. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai VO2 max di dataran tinggi dan dataran rendah.
Saran Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti dengan desain penelitian yang berbeda dan dengan subyek yang lebih banyak lagi. Pengumpulan data penelitian disarankan lebih ketat untuk mengendalikan variabel perancu seperti kelelahan dan merokok. Pengumpulan data dapat menyertakan klinisi yang berkompeten untuk menegakkan penyakit pernapasan, penyakit jantung, kelainan dinding dada dan tulang belakang atau kelainan lain yang dapat mempengaruhi volume dan kapasitas paru. Pengumpulan data penelitian pada penelitian selanjutnya disarankan lebih ketat supaya dapat mengendalikan faktor perancu yang ada, seperti aktivitas fisik sebelum melakukan uji kebugaran jasmani dan kelelahan Daftar Pustaka 1. Himayanti, T. (2010). Variasi Mutasi Gen ATPase 6 Manusia pada Populasi Dataran Rendah. Jurnal Sains dan Teknologi Kimia ISSN 2087-7412 Vol 1 No 1, 80-87.
6. Petousi, N. (2013). Tibetans living at sea level have a hyporesponsive hypoxia-inducible factor system and blunted physiological responses to hypoxia. Journal of Applied Physiology, 875-884. 7. Vedala, S. (2013). Differences in Pulmonary Function Test among the Athletic and Sedentary Population. National Journal of Physiology, Pharmacy & Pharmacology, 118123. 8. Ranu, H. (2011). Pulmonary Function Test. Ulster Medical Journal, 84-90. 9. Decramer, M. (2013). Contribution of Four Common Pulmonary Function Tests to Diagnosis of Patients with Respiratory Symptoms: A Prospective Cohort Study. The Lancet Respiratory Medicine, 705-713. 10. Rifa'i, A. (2013). Aplikasi Sensor Tekanan Gas MPX5100 Dalam Alat Ukur Kapasitas Vital Paru-Paru. Unnes Physic Journal.
2. Guyton, A.C., & Hall J. E . (2008).Buku AjarFisiologi Kedokteran.(11th ed.). Diterjemahkan oleh Irawati. Jakarta: EGC
11. Dhar, P. (2014). Autonomic Cardiovascular Responses in Acclimatized Lowlanders on Prolonged Stay at High Altitude: A Longitudinal Follow Up Study.
3. Ganong, W. F. (2002). Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
12. Matthys, H. (2011). Fit for high altitude: are hypoxic challenge tests useful? Multidisciplinary Respiratory Medicine journal, 3846.
4. Green, J.H.(2009). Pengantar fisiologi tubuh manusia.(Dr.Hm D. Widjajakusumah, penerjemah). Yogyakarta: Binarupa Aksara Publisher 5. Venugopalan, P. (2014, Februari 4). Emedicine Medscape. Dipetik April 12, 2014, dari Medscape: http://emedicine.medscape.com
13. Nitin, Y.M., Sucharita, S., Madhura, Thomas, T., & Sandhya, T.A.(2013). VO2 max in an indian population: a study to understand the role of factors determiningVO2 max. Indian J Physical Pharmacol, 57(2). 14. Cheatham. (2013). Maximal Oxygen Consumption (VO2max)
testing. Western Michigan University Exercise Physiology. 15. Faramoushi. (2012). The Effect of Altitude on Lung Function of Male Athletes. Annals of Biological Research, 313-321. 16. Roh, H., & Lee, D. (2014). Respiratory Function of University Students Living at High Altitude. journal Physiology Therapy 26, 1489-1492. 17. Moreno, A., & Espinoza-Navarro, O. (2013). COPD in Non-Smoking Elderly Men at Sea Level and High Atitide : Comparing Anthropomatic Characteristic and Physiological Responses. Internasional Journal Morphology, 618-622. 18. Saleem, S. (2011). Normative Spirometric Values in Adult Kashimiri Population. Indian Journal Vol.54, 227-233. 19. Laniado, R. (2011). High Altitude and Chronic Obstructive Pulmonary Disease Prevalence: A Casual or Casual Correlation? Archivos de Bronconeumologia. 20. Nyback, L. (2014). Spirometry before high altitude exposure: a way to predict an individual risk of developing acute mountain sickness? 21. Green, J.H.(2009). Pengantar fisiologi tubuh manusia.(Dr.Hm D. Widjajakusumah, penerjemah). Yogyakarta: Binarupa Aksara Publisher. 22. Huldani.(2010). Pengaruhkadar hemoglobin dan jenis kelamin terhadap konsumsi oksigen maksimum siswa-siswi pesantren Darul Hijrah. KaryaTulisIlmiah strata satu, Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
23. Turhan, S., Senol, p., Cemal, C., Gorkem, E. (2013).Effets of High Altitude on Sleep and Respiratory System and Theirs Adaptations.The Scientific World Journal.