PERBEDAAN KONSEP DIRI REMAJA AWAL DITINJAU DARI STATUS TEMPAT TINGGAL: ( TINGGAL DI PANTI ASUHAN DAN TINGGAL BERSAMA ORANGTUA )
OLEH ANGELITA PRIMA OKTAVIA 802007702
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
PERBEDAAN KONSEP DIRI REMAJA AWAL DITINJAU DARI STATUS TEMPAT TINGGAL: (TINGGAL DI PANTI ASUHAN DAN TINGGAL BERSAMA ORANGTUA)
Angelita Prima Oktavia Chr. Hari Soetjiningsih Ratriana Y. E. Kusumiati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konsep diri pada remaja yang tinggal di panti asuhan dan tinggal bersama orang tua. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja di Salatiga yang berusia 12-15 tahun. Sampel penelitian ini adalah 32 orang remaja yang tinggal di panti asuhan Salatiga dan 43 orang remaja yang tinggal bersama orang tua, jadi sampel yang digunakan berjumlah total 75 orang. Konsep diri dalam penelitian ini dilihat dari sudut pandang teori Fiits yang mengatakan bahwa konsep diri adalah diri yang dilihat, dipersepsikan, dan dialami oleh remaja. Alat ukur yang digunakan adalah Tennessee Self Concept Scale (TSCS). Peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan metode skala yang menggunakan daftar pertanyaan atau pernyataan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat konsep diri remaja awal yang tinggal dengan orang tua lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di Panti Asuhan. Seorang individu memiliki konsep diri yang positif bila setidaknya salah satu dari orang tua mereka menunjukkan sikap penerimaan dan kehangatan. Seperti melalui pujian maka akan semakin positif konsep diri seseorang. Kata kunci : Konsep diri, lingkungan tempat tinggal
i
Abstract The purpose of this study was to describe the self-concept of adolescents in term of the place are living : living in orphanage and living with parents. The population of this research is all adolescents in Salatiga ranging from 12-15 years old. Sample this research is 32 adolescents living in orphanage and 43 living with parents, toltal 75 adolescents. The term self-concept in this research was based on Fitts point of view that said self-concept is self that looked, perceived and experienced by adolescents. The instrument that used for measuring personality profile is Tennessee Self Concept Scale (TSCS). Researchers used to scale of data collection methods from the list of questions or statements. The results of the research showed is the level of self-concept from adolescents living with parents it higher than living in orphanage. Somebody has positive self-concept if one of their parents showing to accepat and warmness. For example from give to praise it more positive self-concept
Keywords : self-concept, pleace are living
ii
1
PENDAHULUAN Masa remaja merupakan salah satu periode penting dalam hidup. Hal ini ditandai dengan pengalaman yang unik dan tak terhitung jumlahnya. Filsuf besar India Swami Vivekananda mengatakan bahwa, “Youths are not useless but are used less”. Artinya bahwa orang muda bukanlah orang yang tidak berguna, akan tetapi kemampuan mereka jarang digunakan” (Khirade, 2012). Konsep diri menjadi penting karena akan memengaruhi remaja atau siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan. Melalui konsep diri yang positif akan membantu remaja dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dan sebaliknya remaja yang mempunyai konsep diri yang negatif akan kesulitan dalam menyelesaikan masalahnya (Montana, 2001). Konsep diri yang tepat merupakan alat kontrol positif bagi sikap dan perilaku seseorang (Harian SuaraMerdeka, 23 November 2002). Menurut Calhoun (1990), konsep diri dapat bersifat positif maupun negatif. Positif maupun negatifnya konsep diri ditentukan oleh penilaian individu sendiri berdasarkan persepsi tentang bagaimana orang mempersepsikannya. Anak-anak cenderung memiliki konsep diri yang positif bila setidaknya salah satu dari orang tua mereka menunjukkan sikap penerimaan dan kehangatan. Segala sanjungan, senyuman, pujian, penerimaan dan penghargaan yang didapat dari mereka akan menyebabkan penilaian positif terhadap diri anak tersebut yang pada akhirnya membuat ia menjadi individu yang bisa menerima pujian dengan tanpa rasa malu. Konsep diri bukanlah bawaan lahir, melainkan hasil belajar. Semenjak manusia mengenal lingkungan hidupnya, sejak itu pula ia belajar banyak hal tentang kehidupan. Menurut E.B. Hurlock (1999), faktor-faktor tersebut salah satunya adalah status sosial. Menurut Gage dan Berliner (1984), status sosial dapat diukur dari satu atau lebih indikator, yang salah satunya ialah tempat tinggal. Pada remaja yang tinggal di panti
2
asuhan tentu saja kurang atau bahkan tidak mendapatkan pengajaran dari orang tua tentang bagaimana individu menilai dirinya sendiri, sedangkan ibu atau bapak pengasuh panti asuhan yang dianggap sebagai pengganti orang tua tidak bisa diharapkan untuk dapat memberikan pengajaran secara mendalam mengenai bagaimana menilai diri sendiri. Hasil wawancara dan pengamatan yang telah dilakukan Rola (2006) terhadap beberapa pengasuh panti asuhan mengakui bahwa anak asuh panti asuhan kurang mendapatkan perhatian karena perbandingan jumlah antara pengasuh dengan anak asuh yang tidak seimbang sehingga pengasuh kurang bisa memberikan perhatian yang mendalam terhadap anak asuhnya. Beberapa hasil penelitian telah mendukung adanya hubungan antara kedua variabel, di antaranya adalah penelitian Ļevina dan Ivanova (2012) yang menemukan adanya perbedaan konsep diri antar remaja yang berbeda status sosial dan Narulita (2010) yang menemukan adanya perbedaan konsep diri antara remaja yang tinggal dengan orangtua dan remaja yang tinggal dengan wali. Pattimahu dkk. (2003) dan Febriana (2009) yang menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri antara remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dalam keluarga. Remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan memiliki konsep diri yang sama baiknya dengan remaja yang pada masa akhir kanakkanaknya dibesarkan di rumah bersama keluarga. Adanya hasil penelitian yang berbeda tersebut menjadikan fenomena ini menarik untuk diteliti, penulis akan melakukan penelitian yang berjudul “Perbedaan Konsep Diri Remaja Awal Ditinjau Dari Status Tempat Tinggal: Tinggal di Panti Asuhan dan Tinggal Bersama Orangtua”.
3
Rumusan Masalah Berdasarkan fenomena dan karena masih ada pro-kontra seperti yang telah dijabarkan dalam latar belakang masalah dibuat perumusan masalah sebagai berikut: “Apakah ada perbedaan konsep diri remaja awal ditinjau dari status tempat tinggal (tinggal di panti asuhan dan tinggal bersama orangtua)”?. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk menentukan perbedaan konsep diri remaja awal ditinjau dari status tempat tinggal (tinggal di panti asuhan dan tinggal bersama orangtua). Tinjauan Pustaka Konsep Diri Remaja Menurut Fitts, 1971 (Rebeka, 2013) konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Secara fenomenologis Fitts menjelaskan bahwa ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberi arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukan suatu kesadaran diri (self awerness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya. Diri secara keseluruhan (total self) seperti yang dialami individu disebut juga diri fenomenal (Agustiani, 2006, dalam Rebeka, 2013). Diri fenomenal ini adalah diri yang diamati, dialami dan dinilai oleh individu sendiri, yaitu diri yang ia sadari. Keseluruhan kesadaran atau persepsi ini merupakan gambaran tentang diri atau konsep diri individu.
4
Dari penjelasan di atas peneliti menyimpulkan definisi konsep diri menurut Fitts yaitu persepsi individu, reaksi individu, pemberian arti dan penilaian individu terhadap dirinya. Centi (1993) mengemukakan konsep diri (self-concept) adalah gagasan tentang diri sendiri, konsep diri terdiri dari bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana kita harapkan. Konsep diri menurut Lowe dan paderson (dalam Khirade, 2012) adalah konsep diri sebagai konfigurasi terorganisir, persepsi, keyakinan, perasaan, sikap dan nilai-nilai yang dilihat individu sebagai bagian dari karakteristik diri sendiri. Selain itu Sara Swat & Gaur (dalam Khirade, 2012) menyatakan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya sendiri meliputi fisik, Moral, Personal, Keluarga, dimensi situasi sosial. Peneliti menggunakan definisi konsep diri menurut Fitts (Agustiani, 2006) yaitu situasi dan kondisi ketika seorang individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberi arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukan suatu kesadaran diri dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya. Dimensi Konsep Diri Menurut Fitts (Agustiani, 2006) melihat bahwa pengamatan seseorang rehadap dirinya dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. 1. Dimensi internal Berdasarkan dimensi internal, Fitts (Agustiani, 2006) melihat ada 3 bagian dari diri yaitu identitas diri, diri pelaku dan diri penerima/penilai. a)
Diri Identitas (identify self)
5
Bagian ini merupakan aspek yang mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan “siapakah saya”. Dalam pertanyaan tersebut tercangkup label-label atau simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dan mengembangkan dirinya. b) Diri pelaku (behavioral self) Diri sebagai pelaku merupakan persepsi seseorang tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. c)
Diri penerima/penilai (judging self) Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dan diri pelaku. Dimensi eksternal Pada dimensi ekternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal di luar dirinya. Dimensi yang dikemukakan oleh Fitts adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas 5 bentuk, yaitu: Ada 5 bagian diri yang tercangkup dalam dimensi eksternal, yaitu:
a) Diri fisik (phisycal self) Diri fisik menyangkut persepsi dan perasaan seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. b) Diri etika moral (mora ethical self) Merupakan persepsi seseorang tentang dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. c) Diri personal (personal self) Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. d) Diri keluarga (family self)
6
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. e) Diri sosial (social self) Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan disekitarnya. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konsep Diri Menurut Fitts (Agustiani, 2006) konsep diri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut : a.
Pengalaman yang diperoleh dalam kehidupan, karena konsep diri adalah hasil dari sebuah interaksi individu dengan lingkungannya, maka pengalaman interpersonal merupakan faktor yang paling penting bagi perkembangan konsep diri seseorang.
b.
Kompetensi dalam bidang tertentu, mengenai kemampuan individu yang ditampilkan sehingga mendapatkan penghargaan atau pengakuan dari orang lain.
c.
Aktualisasi diri, realisasi dari potensi-potensi fisik maupun psikologis yang ada pada diri individu untuk mencapai tujuannya. Citra fisik biasanya berkaitan dengan penampilan fisik, daya tarik, kesesuaian
dengan jenis kelamin. Sedangkan citra diri psikologis terbentuk atas dasar pikiran, perasaan, emosi. Beranjak dari beberapa faktor yang memengaruhi konsep diri, maka diketahui bahwa faktor hubungan dengan teman-teman serta keluarga yang merupakan lingkungan atau tempat tinggal seorang individu memiliki peran penting bagi terbentuknya konsep diri seseorang. Efek Status Tempat Tinggal Panti asuhan dan rumah tinggal adalah dua contoh bentuk tempat tinggal yang berbeda baik dari segi struktur maupun peran. Struktur disini dapat dilihat dari bentuk
7
secara fisik (dari panti asuhan maupun rumah tinggal) serta juga dapat dilihat dari isi, yang dalam hal ini adalah anggota atau orang-orang yang tinggal dalam panti asuhan maupun rumah tinggal. Sedangkan peran disini lebih mengacu pada fungsi atau peran panti asuhan maupun rumah tinggal (Pattimahu & Taganing, 2003). Rumah tinggal secara fisik umumnya sama dengan rumah tinggal-rumah tinggal yang ada. Ada ruang keluarga, ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, kamar mandi, dan dapur. Justru yang berbeda hanyalah ukuran, bentuk dan variasi (Pattimahu & Taganing, 2003). Dapat dikatakan bahwa anak yang dibesarkan di rumah tinggal, maka lingkungan pertama yang mula-mula memberikan pengaruh yang mendalam adalah lingkungan keluarganya sendiri. Dari anggota keluarga tersebut yaitu ayah, ibu dan saudara-saudaranya, anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual maupun sosial. Bahkan penyaluran emosi banyak ditiru dan dipelajarinya dari anggotaanggota keluarganya. Keberadaan figur dan peran orang tua yang jelas membuat anak merasa adanya penerimaan yang hangat dari orang tua berupa pemberian rasa aman dengan menerima anak, menghargai kegiatannya dan memberikan patokan yang jelas sehingga anak dengan sendirinya akan merasa yakin dengan kemampuannya dan akan lebih percaya diri (Pattimahu & Taganing, 2003). Perbedaan Konsep Diri Remaja Awal Ditinjau Dari Status Tempat Tinggal: Tinggal di Panti Asuhan dan Tinggal Bersama Orangtua Konsep diri yang tepat merupakan alat kontrol positif bagi sikap dan perilaku seseorang (Harian SuaraMerdeka, 23 November 2002). Konsep diri terjadi karena berbagai faktor, menurut E.B. Hurlock (1973) faktor-faktor tersebut salah satunya adalah status sosial. Menurut Gage dan Berliner (1984), status sosial dapat diukur dari satu atau lebih indikator, yang salah satunya ialah kondisi tempat tinggal. Penelitian yang dilakukan Musen (dalam Burns, 1993) yang mengatakan bahwa kehangatan dan
8
penerimaan orang tua memiliki korelasi dengan konsep diri. Dikatakan pula, anak-anak cenderung memiliki konsep diri yang positif bila setidaknya salah satu dari orang tua mereka menunjukkan sikap penerimaan dan kehangatan. Segala sanjungan, senyuman, pujian, penerimaan dan penghargaan yang didapat dari mereka akan menyebabkan penilaian positif terhadap diri anak tersebut yang pada akhirnya membuat ia menjadi individu yang bisa menerima pujian dengan tanpa rasa malu. Panti asuhan secara fisik umunya berbentuk asrama. Di dalam asrama ini terdapat satu atau lebih petugas yang bertindak sebagai bapak atau ibu pengasuh. Struktur seperti ini membuat kurang meratanya pengawasan dan bimbingan yang diberikan kepada anak sehingga dapat menghambat perkembangan konsep diri anak. Anak yang dibesarkan di panti asuhan biasanya sulit mendapatkan perhatian yang sama dari bapak atau ibu pengasuh mereka, karena mereka harus berbagi perhatian dengan begitu banyak anak asuh lainnya. Kondisi seperti ini tentunya akan menghambat perkembangan konsep diri yang positif. Namun tidak begitu saja kita mengartikan bahwa anak yang tinggal di rumah lebih baik daripada di panti asuhan. Jusman (dalam pattimahu, dkk, 2003), meneliti di enam panti asuhan yang berbeda, dan hasilnya menunjukkan bahwa kelompok anak yang dibesarkan di panti asuhan memiliki harga diri dan keyakinan diri yang lebih baik. Hal ini dikarenakan, attachment yang terbentuk antara pengasuh dan anak pada tahuntahun awal kehidupan anak lebih baik dibanding dengan kelompok anak yang dibesarkan di rumah bersama keluarga. Anak yang tinggal di rumah, tidak menjamin mereka bisa begitu saja mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ada juga anak yang tidak sempat atau bahkan tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya karena frekuensi kehadiran orang tua yang sangat sedikit yang disebabkan kesibukan orang tuanya.
9
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengajukan hipotesis bahwa ada perbedaan konsep diri remaja awal ditinjau dari status tempat tinggal tinggal di panti asuhan dan tinggal bersama orangtua. METODE Populasi dalam penelitian ini adalah remaja usia 12-15 tahun di Salatiga. Selanjutnya sampel penelitian ini adalah 32 orang remaja yang tinggal di panti asuhan Salatiga dan 43 orang remaja yang tinggal bersama orang tua jadi sampel yang digunakan berjumlah total 75 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik Sampling Jenuh, adalah teknik menentukan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Pada teknik ini sampel yang digunakan adalah mereka yang memenuhi karakteristik subjek dan tersedia di saat penelitian berlangsung pada tanggal 29 januari 2015. Peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan metode skala yang menggunakan daftar pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur, melainkan mengungkap atribut yang bersangkutan. Dalam penelitian ini, jenis skala yang digunakan adalah skala Likert. Pada Skala Konsep Diri, item skala dibagi menjadi dua berdasarkan favorable dan unfavorable, di mana responden memilih kemungkinan jawaban dengan memberikan nilai yang sesuai dengan jenis pertanyaan ataupun pernyataannya. Skala Konsep Diri yang digunakan untuk mengukur tingkat konsep diri remaja menggunakan Skala Konsep Diri yang bernama Tennessee Self Concept Scale (TSCS) yang dikembangkan berdasarkan dimensi konsep diri menurut Fitts (dalam Amaliah, 2012). Semakin tinggi skor pada skala ini, maka semakin tinggi pula tingkat konsep diri remaja. Skala tersebut berisi 90 pernyataan yang diturunkan berdasarkan dimensi
10
konsep diri yang dikemukakan oleh Fitts (dalam Amaliah, 2012), yaitu: identitas diri, perilaku, penilaian, fisik, moral-etis, diri personal, diri keluarga, diri sosial. Dalam Skala Konsep Diri digunakan skala Likert. Bentuk item dari masingmasing skala terdiri dari lima kategori pilihan jawaban, yaitu Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak Sesuai (TS), Netral (N), Sesuai (S) dan Sangat Sesuai (SS). Skor tiap item berkisar dari 1 sampai 5. Skor untuk lima alternatif jawaban tersebut ditunjukkan dalam tabel 1 berikut: Skor Untuk Item Skala Konsep Diri Skor
Respon
F 1
Sangat Tidak Sesuai
U 5
Tidak Sesuai 2 4 Netral 3 3 Sesuai 4 2 Sangat Sesuai 5 1 Catatan: F= Item favorable, U= Item unfavorable Alat ukur Skala Konsep Diri telah diuji reliabilitasnya pada penelitian Amaliah (2012), dengan Cronbach Alpha sebesar 0,903. Reliabilitas Alat Ukur dan Uji Daya Beda Item Reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya (Azwar, 2000). Perhitungan reliabilitas menggunakan perhitungan koefisien alpha cronbach. =
− ∑ −1
Keterangan: α = koefisien alpha cronbach N = jumlah item tes S2 = varian dari seluruh skortes Si2 = varian dari setiap item Sementara, uji daya beda item dilakukan untuk mengetahui apakah item dalam skala memiliki daya beda yang baik. Menurut Azwar (2012), sebagai kriteria pemilihan
11
item berdasarkan korelasi item total, biasanya digunakan batasan rix≥ 0,30. Semua item yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 daya bedanya dianggap memuaskan. Namun, apabila jumlah item yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, dapat dipertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria, misalnya 0,25 sehingga jumlah item yang diinginkan dapat tercapai. Untuk pengujian daya beda instrumen penelitian yang berupa skor yang memiliki tingkatan, rumus yang digunakan adalah koefisien koefisien korelasi itemtotal, yaitu (Azwar, 2000): =
∑ {( ∑
− ∑ ∑
− (∑ ) ( ∑
− (∑ ) )}
Keterangan: rix
= Korelasi antara instrumen pertanyaan secara keseluruhan.
n
= jumlah sampel.
Σx
= Jumlah jawaban responden untuk keseluruhan instrumen.
Σi
= Jumlah jawaban responden untuk instrumen ke – i.
Σx2
= Jumlah jawaban responden untuk keseluruhan instrumen yang dikuadratkan.
Σi2
= Jumlah jawaban responden untuk instrumen ke–i yang dikuadratkan.
Metode Analisis Data Untuk analisis perbedaankemandirian remaja ditinjau dari pola asuh digunakan analisis deskritif dan Independent Samples t atau uji beda dua rata-rata pada dua kelompok data yang independent. Untuk analisis deskriptif, terlebih dahulu ditentukan tinggi rendahnya pengukuran variabel menggunakan interval dengan ukuran: I =
Skor Tertinggi – Skor Terendah Banyaknya Kategori
Untuk analisis Independent Samplest (uji t), menggunakan rumus sebagai berikut (Sugiyono, 2008):
12
√ t = √ Keterangan: t = t hitung r = korelasi parsial yang ditemukan n = jumlah sampel
HASIL Analisa deskriptif Analisa deskriptif dilakukan untuk melihat hasil penelitian berdasarkan rata-rata (mean), standart deviasi, nilai maksimal dan minimal. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka didapat rata-rata dari masing-masing variabel, sebagai berikut: Uji validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Uji Validitas Dari hasil angket konsep diri remaja awal yang mencakup aspek: identitas diri, perilaku, penilaian, fisik, moral-etis, diri personal, diri keluarga dan diri sosial yang terdiri dari 90 item. Uji diskriminasi item dilakukan sebanyak 4 putaran sampai semua item memenuhi kriteria, yaitu nilai koefisien > 0,2. Hasil terdapat 42 item gugur, sehingga tersisa 48 item yang bisa digunakan. Item dinyatakan gugur bila nilai r hitung < 0,2 dengan taraf signifikan pada 0,05 (Guilford, 1956). Daya diskriminasi item bergerak antara 0,207 sampai dengan 0,677. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini :
Tabel 4.1: Sebaran item valid angket Konsep Diri Remaja Awal No 1 2 3
Aspek Identitas diri Perilaku Penilaian
Favorable
Unfavorable
2*, 3*, 14* 9, 12*, 13*, 15
5, 17* 11*, 16 -
Total item valid 1 2 1
13
4 5
6
7
8
Fisik Moral-etis
1*, 7*, 8*, 19*, 20, 21, 25*, 26*, 27*, 28*, 29*, 31, 32, 33 Diri Personal 37, 38, 39, 41*, 42*, 43*, 44*, 45, 46*, 49, 50*, 51* Diri Keluarga 55, 56, 57, 61, 62, 63, 67, 68*, 69, 71* Diri Sosial 73, 74*, 75*, 79, 80*, 81, 85*, 86, 87 Total item valid 25 Keterangan * : item gugur
4, 6, 10, 18* 22, 23, 24, 30*, 34, 35*, 36
3 10
40, 47, 48*, 52*, 53*, 54
8
58, 59, 60, 64*, 65*, 66*, 70, 72
13
76, 77*, 78, 82*, 83, 84*, 88, 89, 90* 23
10
48
Total Item valid : 48 2. Uji Reliabilitas Dari item-item yang valid dilakukan pengujian reliabilitas dengan menggunakan program SPSS versi 17.0 dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach. Hasil pengujian diperoleh reliabilitas angket sebesar 0,906. Hal ini dapat dikatakan bahwa angket konsepdiri remaja awal tersebut reliabel dengan kategori sangat bagus (Azwar, 2000). Hasil uji reliabilitas selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. Uji Asumsi Sebelum melakukan uji hipotesis dengan menggunakan teknik IndependetSampel t-tes, penulis terlebih dahulu melakukan uji asumsi yang terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Tujuan dilakukannya uji normalitas dan uji homogenitas adalah sebagai salah satu syarat dilakukannya uji t-tes. Melalui uji normalitas, akan diketahui apakah distribusi variabel tersebut normal atau tidak. Uji asumsi dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 17.0. 1. Uji Normalitas
14
Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji one sample-Kolmogrov Smirnov. Berdasarkan uji normalitas terhadap sampel, didapat nilai Kolmogrov Smirnov pada sampel yang tinggal di panti asuhan adalah 0,590 dan signifikansi pada p = 0,878 (p > 0,05) dan nilai Kolmogrov Smirnov pada sampel yang tinggal dengan orang tua adalah 0,489 dan signifikansi pada p = 0,971 (p > 0,05) Hal ini berarti data variabel tersebut berdistribusi normal. Hasil uji normalitas dan grafik uji normalitas dapat dilihat pada lampiran. 2. Uji Homogenitas Berdasarkan hasil uji homogenitas diperoleh nilai f pada Levene’s Test for Equality of Variances adalah sebesar 10,304 dengan probabilitas 0,002. Dapat disimpulkan bahwa data memiliki varians yang heterogen sebab probabilitas < 0,05, sehingga uji t dilakukan dengan menggunakan asumsi equal variance not assumed (Ghozali, 2006). Hasil Penelitian 1. Analisa Deskriptif Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan uji t, maka didapat ratarata dari masing-masing variabel, yaitu remaja awal yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal bersama dengan orang tua. Rumus untuk pengkategorian tinggi rendahnya atau interval konsep diri remaja awal adalah sebagai berikut:
interval interval
jumlah skor tertinggi jumlah skor terendah jumlah kategori
240 48 38,4 5
Kategorisasi
48 ≤ x < 86,4 tingkat konsep diri sangat rendah 86,4 < x ≤ 124,8 tingkat konsep diri rendah 124,8 < x ≤ 163,2 tingkat konsep diri sedang
15
163,2 < x ≤ 201,6 tingkat konsep diri tinggi 201,6 < x ≤ 240 tingkat konsep diri sangat tinggi a. Pengkategorian tinggi rendahnya atau interval konsep diri remaja awal yang tinggal di Panti Asuhan dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut: Tabel 4.2: Interval Konsep Diri Remaja Awal yang Tinggal di Panti Asuhan Skor Kriteria 48 ≤ x ≤ 86,4 Sangat rendah 86,4 < x ≤ 124,8 Rendah 124,8 < x ≤ 163,2 Sedang 163,2 < x ≤ 201,6 Tinggi 201,6 < x ≤ 240 Sangat tinggi Jumlah
F 0 0 7 18 7 32
Prosentase Min Max Mean 0% 0% 21,875% 141 180,56 52,25% 227 21,875% 100% SD = 21,405
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa konsep diri remaja awal yang tinggal di Panti Asuhan memiliki mean sebesar 180,56 dengan standar deviasi sebesar 21,405. Mean termasuk dalam kategori tingkat konsep diri remaja awal tinggi. b. Pengkategorian tinggi rendahnya atau interval konsep diri remaja awal yang tinggal dengan orang tua dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini: Tabel 4.3: Interval Konsep Diri Remaja Awal yang Tinggal dengan Orang Tua Skor
Kriteria
48 ≤ x ≤ 86,4
Sangat rendah
0
0%
86,4 < x ≤ 124,8
Rendah
0
0%
1 36 6 43
2,3 % 83,7 % 14 % 100%
124,8 < x ≤ 163,2 Sedang 163,2 < x ≤ 201,6 Tinggi 201,6 < x ≤ 240 Sangat tinggi Jumlah
F
Prosentase
Min
Max
Mean
163 190,58 223 SD = 12,713
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat konsep diri remaja awal yang tinggal dengan orang tua memiliki mean sebesar 190,58 dengan standar deviasi sebesar 12,713. Mean konsep diri remaja awal yang tinggal dengan orang tua termasuk dalam kategori tingkat konsep diri remaja awal tinggi.
16
2. Uji Analisa Melihat hasil dari uji homogenitas dapat disimpulkan bahwa data memiliki varians yang heterogen, maka analisis uji beda t-tes menggunakan equal variance not assumed (Ghozali, 2006). Dari output SPSS terlihat bahwa nilai t pada equal variance not assumed adalah -2,356 dengan probabilitas signifikansi = 0,023 (p < 0,05). Melihat hasil perhitungan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terima H1 dan tolak Ho. Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat konsep diri remaja awal yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan orang tua adalah berbeda secara signifikan. Dari hasil uji t, didapat hasil bahwa tingkat tingkat konsep diri remaja awal yang tinggal di panti asuhan berbeda dengan yang tinggal dengan orang tua. Berikut pada tabel 4.4 adalah tabel hasil perhitungan uji t: Tabel 4.4: Tabel Hasil perhitungan Uji t Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference
F
Konsep Diri Remaja Awal
Equal variances assumed
Equal variances not assumed
Sig.
10.304 .002
t 2.53 1
df
Std. Sig. Mean Error (2- Differen Differen tailed) ce ce Lower
Upper
73
.014
- 3.95904 10.0189 17.9092 2.12853 0 6
- 47.02 2.35 1 6
.023
- 4.25174 10.0189 18.5721 1.46560 0 9
17
PEMBAHASAN Dengan menggunakan teknik uji beda teknik Independet Sampel t-test yang dianalisa melalui SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 17.0 windows yang merupakan program (software) khusus pengolahan data statistik untuk ilmu sosial, diperoleh uji beda t-tes sebesar -2,356 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara tingkat tingkat konsep diri remaja awal yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan orang tua. Adapun, dari kedua kelompok siswa diperoleh data bahwa konsep diri remaja awal yang tinggal dengan orang tua lebih tinggi daripada konsep diri remaja yang tinggal di Panti Asuhan dengan nilai rata-rata 190,58 dan standar deviasi sebesar 12,713 yang termasuk pada kategori konsep diri remaja awal tinggi. Sedangkan pada konsep diri remaja awal yang tinggal di Panti Asuhan, rata-ratanya adalah 180,56 dengan standar deviasi sebesar 21,405 yang termasuk pada kategori konsep diri remaja awal tinggi. Ļevina dan Ivanova (2012) yang menemukan adanya perbedaan konsep diri antar remaja yang berbeda status sosial. Temuan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan remaja memiliki tingkat status sosial yang lebih tinggi dalam kelompok sebaya dirasakan dan dijelaskan oleh teman-teman mereka dan akan terlihat dari keterampilan dan perilaku sosial mereka (Lansford, dkk, 2009 dalam Ļevina dan Ivanova, 2012). Hasil penelitian menunjukan bahwa ada perbedaan konsep diri remaja awal ditinjau dari status tinggal (remaja yang tinggal bersama orang tua memiliki konsep diri yang lebih tinggi ). Di mana seorang individu memiliki konsep diri yang positif bila setidaknya salah satu dari orang tua mereka menunjukkan sikap
18
penerimaan dan kehangatan. Adapun melalui pujian maka seorang akan semakin positif konsep dirinya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa data penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1.
Ada perbedaan konsep diri
remaja awal ditinjau dari status tempat tinggal:
(Tinggal di Panti Asuhan dan Tinggal Bersama Orangtua ). 2.
Berdasarkan dari data skala konsep diri, didapat hasil bahwa sebanyak 32 remaja yang tinggal di panti asuhan dan 43 orang remaja tinggal dengan orang tua.
3.
Tingkat konsep diri remaja awal yang tinggal dengan orang tua lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di Panti Asuhan, hal ini dapat dilihat dari mean keduanya. Namun mean keduanya termasuk dalam tingkat konsep diri tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Agustiani. H. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Refika Aditama Amaliah. (2012). Gambaran Konsep Diri Pada Dewasa Muda Yang Bermain Erepublik. (skripsi). Universitas Indonesia, Jakarta Azwar, S. (2008). Reliabititas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Burns, R.B. (1993). dan perilaku. Jakarta: Arcan.
Konsep diri teori,
pengukuran,
perkembangan
Centi, P. J. (1993). Mengapa rendah diri. Yogyakarta: Kanisius. Calhoun, J.F., & Acocella, J.R. (1990). Psychology of adjustment and human relationship. New York: McGraw-Hill, Inc. Febriana, F. (2009). Perbedaan konsep diri remaja awal ditinjau dari status sosial ekonomi keluarga. (Skripsi). Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Gage, N.L, & Berliner, B. C. (1984). Educational psychology. Boston: Houghton Mifflin Company. Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan. Tokyo: McGraw-Hill, Kogakusha, Ltd.
19
Khirade, S. K. (2012). A study of self concepts of the adolescents. Indian Streams Research Journal, 2(8):1-7. Ļevina, J., & Ivanova, N. (2012). The Self-Concept of Adolescentswith Different Social Status in Peer Cliques. Baltic Journal of Psychology, 13 (1, 2), 98–112. Montana.(2001). Positive and negative self concept.Retrieved from http://www.4h/Self. Html-8k. Narulita, R. (2010). Perbedaan konsep diri siswa SMPN 2 Pabelan yang tinggal bersama orangtua dan bersama wali. (Skripsi). Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. Novena, O.M. (2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri lesbian butch. (Skripsi). Universitas Katolik Soegijpranata, Semarang. Pattimahu, I. K., & Taganing, N. M. (2003). Perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan remaja yang sejak masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di rumah bersama keluarga. (Skripsi). Universitas Gunadarma, Bekasi. Rakhmat, J. (2005). Metode penelitian komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rebeka (2013). Perbedaan konsep diri siswa kelas VIII F,G, H SMP Negeri 1 Salatiga yang mengikuti dan tidak mengikuti bimbingan belajar. (Skripsi). Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Respati, dkk, (2006). “Perbedaan konsep diri remaja akhir yang mempersepsi pola asuh orang tua authorian, permissive dan authoritative”. Jurnal Psikologi 4 (2): 119–138. Fakultas Psikologi Unuversitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta. Rola, F. (2006). Konsep diri remaja penghuni panti asuhan. (Skripsi). Universitas Sumatera Utara, Medan. Syaiful, B. D. (2008). Psikologi belajar. Jakarta: Rineka Cipta.