HUBUNGAN PENGALAMAN DILAKUKAN TINDAKAN INVASIVE DENGAN RESPON PERILAKU KETAKUTAN ANAK USIA PRASEKOLAH YANG MENGALAMI HOSPITALISASI 1
Asni Hasnita, 2Riri Novayelinda, 3Siti Rahmalia HD Email:
[email protected] 085355990558 Abstract
The aim of this research is to identify the relationship between the experienced of getting invasive procedures with the responses of children’s fear. The design of this research is cross-sectional design. This sampling tachnique explored total sampling with 70 preschoolers. The instruments of this research used observational sheet contained 19 statements about the responses of children’s fear who have been hospitalized. Analysis of the research used spearman correlation test. The statistic result obtained p value
Interpretasi mereka terhadap kejadian, respon anak terhadap pengalaman dan signifikansi yang anak tempatkan pada pengalaman ini secara langsung berhubungan dengan tingkat perkembangan (Wong dkk, 2008). Pravitasari (2012) melaporkan pada studi yang dilakukan di RSUD Ungaran dari 20 responden anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi dengan tingkat kecemasan berat yaitu sebanyak 11 responden (55%), tingkat kecemasan sedang sebanyak 8 responden (40%), dan 1 responden (5%) mengalami panik. Selain kecemasan dan stress, hospitalisasi juga menyebabkan ketakutan pada anak. Ketakutan berbeda dengan kecemasan. Ketakutan merupakan perasaan yang timbul oleh adanya ancaman yang dapat diidentifikasi (objek yang spesifik). Sedangkan kecemasan merupakan perasaan yang timbul oleh adanya ancaman yang tidak dapat
2
diidentifikasi atau bersifat khayalan (Mansur, 2007). Samela, Salentera dan Aronen (2009), di dalam penelitiannya tentang Child-Reported Hospital Fears In 4 to 6Year-Old Children menjelaskan bahwa perawatan di rumah sakit menyebabkan takut dan kecemasan pada 91% anak. Menurut Bloch dan Toker (2008) dalam The “Teddy Bear Hospital” as a Method to Reduce Children’s Fear of Hospitalization ketakutan yang paling intens selama rawat inap pada anak adalah anak-anak takut bepisah dari keluarga, takut terhadap suntikan dan tes darah, tinggal di rumah sakit untuk waktu yang lama dan diberi tahu "berita buruk" tentang kondisi kesehatan mereka. Salmela, Salentera dan Aronen (2009) mengatakan perasaan takut yang dialami anak ketika dirawat dirumah sakit berasal dari kurangnya informasi yang adekuat, lingkungan yang asing dan tidak sesuai dengan perkembangan anak, tim pemberi pelayanan kesehatan (dokter, perawat dan petugas laboratorium) serta intervensi keperawatan. Ketakutan pada anak sangat bervariasi tergantung tingkat perkembangan kognitif. Anak usia prasekolah mengalami ketakutan terhadap kegelapan, kesendirian, binatang, serta objek atau orang yang berkaitan dengan nyeri (Murish, Merckelbach & Collaris, 1997 dalam Wong, dkk, 2008). Sedangkan menurut Coyne (2006) anak usia prasekolah mempunyai rasa takut dan kekhawatiran mengenai penyakit dan rawat inap. Intervensi medis atau tindakan invasive yang sering menimbulkan ketakutan pada anak menurut Salmela, Salentera dan Aronen (2009) adalah injeksi, pengambilan atau tes sampel darah, operasi, medikasi dan intervensi keperawatan lainnya. Reaksi anak terhadap tindakan invasive ini ditunjukkan dengan agresi fisik dan verbal (Hockenberry, Wilson & Winkelstein, 2003). Anak
cenderung mendorong orang yang akan melakukan prosedur agar menjauh, menangis, menjerit, menyerang, melarikan diri dan berdiam diri. Sedangkan secara verbal anak biasanya mengatakan “pergi dari sini” atau “saya benci kamu” kepada pemberi prosedur (Hockenberry, Wilson & Winkelstein, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi respon ketakutan anak tersebut adalah tingkat perkembangan berupa kemampuan kognitif, kemampuan koping, kegawatan penyakit, ketersediaan sistem pendukung, reaksi emosional orang tua selama prosedur dan pengalaman nyeri dan dirawat sebelumnya (Hockenberry, Wilson & Winkelstein, 2003). Hart dan Bossert (1994) dalam Hockenberry, Wilson dan Winkelstein (2003) mengatakan pengalaman sebelumnya terhadap peristiwa-peristiwa medis yang berkaitan dengan hospitalisasi tidak mengurangi ketakutan dalam diri anak-anak. Pengalaman sebelumnya dapat dengan mudah menggantikan ketakutan terhadap sesuatu yang belum diketahui dengan ketakutan terhadap sesuatu yang sudah diketahui. Coyne (2006) mengatakan beberapa anak mengingat pengalaman sakit sebelumnya dan khawatir jika mengalami lagi. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru melalui teknik wawancara kepada 8 orang pasien anak yang dirawat di Ruangan Merak Infeksi memperlihatkan hasil bahwa 6 orang anak mangatakan takut sekali menginap di Rumah Sakit, dan 2 orang anak mengatakan sedikit takut. Hasil wawancara lainnya menunjukkan bahwa 6 orang anak takut sekali untuk disuntik dan 6 orang anak takut sekali berpisah dari orang tuanya. Respon ketakutan anak menurut laporan orang tua antara lain 6 orang anak menangis saat dilakukan tindakan medis, 4 orang anak menolak diperiksa, 1 orang anak menangis saat didekati dokter dan perawat, 1 orang anak menjerit saat dilakukan pemeriksaan,
3
dan 2 orang anak berdiam diri ketika ditanya oleh perawat atau dokter. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui “Hubungan Pengalaman dilakukan Tindakan Invasive dengan Respon Perilaku Ketakutan Anak Usia Prasekolah yang Mengalami Hospitalisasi di Ruang Rawat Anak RSUD Arifin Achmad Pekanbaru”. TUJUAN PENELITIAN Mengidentifikasi hubungan pengalaman dilakukan tindakan invasive dengan respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi di ruang rawat anak RSUD Arifin Achmad Pekanbaru METODE Desain Penelitian: menurut Nursalam (2003) desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian, yang memungkinkan kontrol beberapa faktor yang bisa mempengaruhi akurasi suatu hasil. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi dan pendekatan cross sectional. Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran/observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2003). Sampel: sampel yang digunakan sebanyak 70 orang responden anak usia prasekolah yang dirawat diruangan Merak I infeksi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dengan kriteria inklusi bersedia menjadi responden, berusia 3-5 tahun, kesadaran komposmentis, anak baru dirawat di rumah sakit maksimal 2 hari dan memiliki pengalaman dilakukan tindakan invasive. Instrumen: instrumen yang digunakan berupa lembar observasi yang di adaptasi dan dimodifikasi dari Ulfa (2000), Pelitawati (2009), Ramdaniati (2011) dan teori yang dijelaskan oleh Hockenberry, Wilson, dan Winkelstein (2003) tentang stressor dan respon anak
usia prasekolah dan sekolah yang mengalami hospitalisasi. Stressor dan respon anak usia prasekolah dan sekolah yang mengalami hospitalisasi. HASIL Analisa Univariat Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin anak usia prasekolah di RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru (n=70) Jenis Kelamin
Jumlah
(%)
Laki-Laki Perempuan Total
33 37 70
47.1 52.9 100
No 1. 2.
Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan jenis kelamin anak prasekolah, lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan daripada laki-laki. Anak prasekolah yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 37 orang (52.9%), sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 33 orang (47.1%). Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan usia anak prasekolah di RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru (n=70) Variabel Usia
Mean Median 3.8 3.8
Modus 3.0
Minimum Maksimum 3.0 5.0
Hasil analisis dapat disimpulkan rata-rata usia anak prasekolah adalah 3.8 tahun (3.0-5.0), dengan umur termuda 3.0 tahun dan umur tertua 5.0 tahun. Tabel 3. Distribusi frekuensi anak usia prasekolah mendapatkan pengalaman dilakukan tindakan invasive sebelumnya dan distribusi skor respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi di RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru (n=70)
4 Variabel Pengalaman dilakukan tindakan invasive Kejadian takut anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi
Mean Median 5.3 4.0
Modus 3
12 14
16
Minimum Maksimum 1 15
1 16
Hasil analisis didapatkan rata-rata frekuensi pengalaman anak usia prasekolah dilakukan tindakan invasive sebelumnya adalah 4 kali (1-15) dengan pengalaman paling sedikit adalah 1 kali dan pengalaman terbanyak adalah 15 kali. Hasil analisis untuk skor respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah didapatkan rata-ratanya adalah 14 (0-16), dengan skor terendah adalah 0 dan skor tertinggi adalah 16. Analisa Bivariat Tabel 4. Hubungan pengalaman dilakukan tindakan invasive dengan respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi di Ruangan rawat Anak RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru (n=70). Variabel Respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah
r 0.514
P value 0.000
Berdasarkan hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa korelasi antara pengalaman dilakukan tindakan invasive dengan respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi adalah bermakna dengan nilai pvalue (0.000) < α (0.05), dengan demikian Ho ditolak. Nilai korelasi Spearman sebesar 0.514 menunjukkan kekuatan korelasi yang sedang dengan arah korelasi positif (searah), yaitu semakin tinggi frekuensi pengalaman dilakukan tindakan invasive pada anak maka semakin tinggi
pula respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi. PEMBAHASAN 1. Karakteristik responden Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa rata-rata umur anak usia prasekolah (3-5 tahun) yang menjalani perawatan di ruang Merak 1 Infeksi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru adalah 3,8 tahun. Umur termuda adalah 3 tahun dan umur tertua adalah 5 tahun dengan umur yang paling banyak muncul adalah umur 3,0 tahun yaitu sebanyak 22 anak (53,7%). Data yang diperoleh dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru menyebutkan rata-rata umur anak usia prasekolah yang menjalani perawatan di ruang Merak 1 Infeksi pada bulan januari hingga februari tahun 2013 adalah 4,2 tahun dengan umur yang paling banyak muncul adalah 5 tahun yaitu sebanyak 8 anak (28,6%). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata umur responden anak usia prasekolah dalam penelitian ini dengan rata-rata umur anak usia prasekolah yang dirawat di ruang rawat anak merak 1 infeksi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada bulan-bulan sebelumnya adalah relatif sama. Mayoritas responden adalah berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 37 anak, sedangkan berjenis kelamin laki-laki sebanyak 33 anak. Hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan data yang diperoleh dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada bulan-bulan sebelumnya yaitu bulan januari hingga februari tahun 2013 yang menunjukkan mayoritas jenis kelamin anak usia prasekolah yang dirawat di ruang rawat anak merak 1 infeksi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru adalah perempuan yaitu sebanyak 11 anak (55%).
5
2. Pengalaman dilakukan tindakan invasive Rata-rata frekuensi anak pernah dilakukan tindakan invasive sebelumnya adalah 4 kali, dengan frekuensi terendah adalah 1 kali, frekuensi tertinggi adalah 15 kali dan frekuensi yang paling banyak muncul adalah 3 kali. Pada dasarnya sebagian besar frekuensi pengalaman anak dilakukan tindakan invasive pada penelitian ini berhubungan dengan pengalaman anak dirawat sebelumnya, dimana selama anak dirawat anak mendapatkan tindakan invasive seperti pemasangan infus, pengambilan sampel darah dan lain-lain. Penelitian Ramdaniati (2011) tentang Analisis determinan kejadian takut anak usia prasekolah dan sekolah yang mengalami hospitalisasi menunjukkan dari 100 responden anak usia prasekolah dan sekolah didapatkan 97 orang anak memilki pengalaman dilakukan tindakan invasive. Jika anak menganggap pengalaman dilakukan tindakan invasive bukanlah suatu pengalaman yang mengancam tetapi pengalaman yang menyenangkan, anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter. Jika pengalaman tersebut merupakan pengalamann yang tidak menyenangkan akan menyebabkan anak trauma dan mengembangkan koping yang tidak adaptif (Supartini, 2004). 3. Respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi Cara berpikir magis anak usia prasekolah menyebabkan anak memandang penyakit sebagai suatu hukuman. Hal ini menyebabkan anak merasa malu, bersalah, atau takut. Sehingga menimbulkan reaksi agresif, marah, berontak, dan tidak mau bekerja sama dengan perawat (Supartini, 2004). Respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi pada penelitian ini dinilai melalui lembar observasi yang diadaptasi dan
dimodifikasi dari Ulfa (2000), Pelitawati (2009), Ramdaniati (2011) dan teori yang dijelaskan oleh Hockenberry, Wilson dan Winkelstein (2003) tentang stressor dan respon anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi. Lembar observasi ini terdiri dari respon perilaku ketakutan anak sebelum dilakukan tindakan invasive (pada saat petugas kesehatan memasuki ruangan anak dirawat, ketika petugas kesehatan mendekati anak dan ketika petugas kesehatan membawa alat-alat untuk melakukan tindakan) dan respon perilaku ketakutan anak ketika dilakukan tindakan invasive. Respon perilaku ketakutan meliputi perilaku anak seperti memegangi orang tua, menjauhkan diri, berontak, menangis, menangis kuat, menjerit, menjerit keras, menendang-nendang kaki, dan bertanya untuk mengendalikan perasaan takut yang mereka alami. Respon perilaku ketakutan ini memiliki skor dengan rentang 0 sampai 19, nilai 0 merupakan nilai terendah yang menunjukkan tidak adanya respon perilaku ketakutan anak dan nilai 19 merupakan nilai tertinggi yang menunjukkan skor dari respon perilaku ketakutan anak yang besar. Nilai median dari skor respon perilaku ketakutan anak adalah 14, dengan skor terendah adalah 0, skor tertinggi adalah 16 dan skor yang paling banyak muncul adalah 16. Rata-rata skor respon perilaku ketakutan anak yaitu 14 dan skor yang paling banyak muncul yaitu 16 menunjukkan respon perilaku ketakutan anak yang cukup tinggi yang diamati atau dinilai pada saat anak mendapatkan tindakan invasive berupa injeksi lewat infus. Bloch dan Toker (2008) dalam The “Teddy Bear Hospital” as a Method to Reduce Children’s Fear of Hospitalization menjelaskan bahwa ketakutan yang paling intens selama rawat inap pada anak usia prasekolah adalah anak-anak takut terhadap suntikan dan tes darah. Penelitian
6
Salmela, Salentera dan Aronen (2009) juga menunjukkan dari 90 responden anak, 45 orang anak (50%) takut untuk disuntik dan 29 orang anak (32%) takut terhadap pengambilan sampel darah. Teori yang dikemukakan oleh Jean Piaget (1969) menjelaskan anak usia prasekolah berada pada tahap pemikiran praoperasional. Tahap praoperasional ini dibagi menjadi dua sub tahapan yaitu sub tahapan simbolik (2-4 tahun) dan sub tahapan pemikiran intutif (4-7). Tahap pemikiran praoperasional ini memiliki keterbatasan-keterbatasan pemikiran, salah satu keterbatasan pemikiran praoperasional adalah cara berpikir magis anak. Anak usia prasekolah takut terhadap cedera tubuh dan nyeri yang mengarah kepada rasa takut terhadap mutilasi dan prosedur yang menyakitkan. Keterbatasan pengetahuan mengenai tubuh meningkatkan rasa takut yang khas; sebagai contoh takut bahwa kerusakan kulit (misalnya, jalur intravena dan prosedur pengambilan darah) akan menyebabkan bagian dalam tubuhnya bocor (Hockenberry, Wilson & Winkelstein 2003). Respon perilaku ketakutan anak sebelum dilakukan tindakan invasive dan pada saat dilakukan tindakan invasive pada penelitian ini adalah anak menunjukkan perilaku seperti segera memegang tangan orang tuanya, menangis, menagis kuat, menjerit, menjauhkan diri dari perawat dan menendang-nendang kakinya. Penelitian yang dilakukan oleh Mansy, Mahmoud, dkk (2007) tentang Fears of School-Age Children During Hospitalization and Their Coping Strategies menunjukkan respon perilaku ketakutan anak ketika dihadapkan dengan tindakan medis adalah menyerang perawat, menjerit dan menangis. 4. Hubungan pengalaman dilakukan invasive dengan respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi. Hubungan pengalaman dilakukan tindakan invasive dengan respon perilku
ketakutan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan arah korelasi positif dan kekuatan korelasi yang sedang. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Hockenberry, Wilson dan Winkelstein (2003) yang menjelaskan bahwa pengalaman nyeri (cedera tubuh) sebelumnya mempengaruhi kejadian takut seorang anak. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Ollendick et al (2001) dalam Ramdaniati (2011) menyatakan pengalaman buruk yang dialami oleh seorang anak dapat merupakan stressor yang bila terjadi secara berulang akan membuat seorang anak menjadi lebih rentan untuk mengalami takut ketika berhadapan dengan pengalaman lainnya maupun pengalaman yang sama. Anak yang memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan selama dirawat sebelumnya (misalnya, cedera tubuh/nyeri akibat tindakan invasive) akan menyebabkan anak takut dan trauma terhadap perawatan saat ini. Hal ini terjadi karena pengalaman adalah suatu aspek yang membentuk pola koping seseorang terhadap segala stimulus yang mengancam kehidupan (Potter dan Perry, 2006). Seringkali anak yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya, makin takut anak tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan. Cara seorang anak berespon (takut) terhadap stimulus yang mengancam adalah akibat dari banyaknya kejadian nyeri (cedera tubuh akibat tindakan invasive) selama rentang kehidupannya. Anak usia prasekolah dengan pemikiran transduktif dan egosentrisnya menganggap pengalaman nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu
7
pasien dengan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002). Penelitian terdahulu yang telah mencoba mengangkat variabel pengalaman dirawat sebelumnya dengan kejadian takut adalah Mansy, Mahmoud, dkk (2007) yang menjelaskan adanya hubungan yang signifikan antara pengalaman dirawat sebelumnya dengan kejadian takut pada anak usia sekolah. Penelitian tersebut juga mengidentifikasi hubungan antara lama rawat, jenis penyakit dan koping strategi dengan kejadian takut anak usia sekolah yang mengalami hospitalisasi, dimana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi respon perilaku ketakutan anak. Namun pada penelitian ini, peneliti tidak mengidentifikasi faktor-faktor tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan, sebagian besar anak mendapatkan pengalaman dilakukan tindakan invasive adalah dari pengalaman dirawat sebelumnya. Saat anak dirawat anak mendapatkan tindakan seperti pengambilan sampel darah, pemasangan infus dan intervensi keparawatan lain. Menurut Supartini (2004) jika hal tersebut dirasakan sebagai pengalaman yang menyenangkan anak akan lebih kooperatif terhadap pelaksanaan asuhan kesehatan yang akan diterima anak. Sebaliknya jika pengalaman tersebut tidak menyenangkan, sebuah ancaman, menakutkan dan mengancam keselamatannya, maka perasaan takut yang dimilikinya akan lebih besar dan akan berdampak pada pelaksanaan asuhan kesehatan yang akan diterima anak. Namun pada penelitian ini peneliti tidak mempertimbangkan dan melihat kualitas pengalaman anak dilakukan tindakan invasive sebelumnya. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya peneliti melihat pengaruh kualitas pengalaman anak dilakukan tindakan invasive sebelumnya terhadap respon perilaku ketakutan anak yang mengalami hospitalisasi.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata frekuensi anak yang mempunyai pengalaman dilakukan tindakan invasive sebelumnya adalah 4 kali dan nilai median dari skor respon perilaku ketakutan anak adalah 14 dengan nilai modus 16. Hasil analisa bivariat menggunakan uji korelasi Spearman diperoleh nilai pvalue (0.000) < α (0.05) yang menunjukkan bahwa korelasi antara pengalaman dilakukan tindakan invasive dengan respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi adalah bermakna, dengan demikian Ho ditolak. Nilai korelasi (r) Spearman sebesar 0.514 menunjukkan kekuatan korelasi yang sedang dengan arah korelasi positif (searah), yaitu semakin tinggi frekuensi pengalaman dilakukan tindakan invasive pada anak maka semakin tinggi pula respon perilaku ketakutan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi. Hasil penelitian ini dapat berguna bagi peneliti lainnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh tindakan-tindakan yang dapat mengurangi rasa takut pada anak yang mengalami hospitalisasi, atau penelitian kualitatif tentang takut pada anak prasekolah yang mengalami hospitalisasi. Dari keterbatasan penelitian perlu diteliti bagaimana pengaruh kualitas pengalaman dilakukan tindakan invasive sebelumnya dengan respon perilaku ketakutan anak yang mengalami hospitalisasi. 1. Asni Hasnita S. Kep. Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau. 2. Riri Novayelinda, MNg Dosen Departemen Keperawatan Anak Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau 3. Siti Rahmalia HD, MNS Dosen Departemen Keperawatan Medikal Bedah Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau.
8
Indonesia. Diperoleh tanggal 27 oktober 2012darihttp://www.depkes.go.id/do wnloads/publikasi/Profil%20Keseha tan%20Indonesia%202007.pdf.
DAFTAR PUSTAKA Bloch, Y., & Toker, A. (2008). Doctor, is my teddy bear okay? The “teddy bear hospital”As a method to reduce children’s fear of hospitalization. IMJ, 2008;10: 597-599. Diperoleh tanggal 29 Oktober 2012 dari http://www.ima.org.il/FilesUpload/I MAJ/0/45/22561.pdf.
Dorland, W. A., & Newman. (2005). Kamus kedokteran Dorland (29th edition). Jakarta: EGC
Chapman, H. R.., & Turner, N. K. (2002). Visual analogue scale for fear and pain in adults and children. British Dental Jurnal, 193, 447-450. Diperoleh tanggal 30 Oktober 2012 darihttp://www.nature.com/bdj/jour na/lv193/n8/full/4801593a.html.
Health in Ireland Key Trends. (2011). Vital and healt statistic. DHHS Publication No. (PHS)-2013-1582 Diperoleh tanggal 27 oktober 2012 dari Http://www.dohc.ie/publications/pd f/key_trends_2011.pdf?Direct=1.
Carpenito, L. J. (2009). Diagnosis keperawatan:aplikasi pada praktik klinis. Jakarta: EGC.
Hidayat, A. A. (2007). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.
Costello, A. M. (2008). Hospitalization. Diperoleh tanggal 30 oktober 2012 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme d/18414273.
Hockenberry, M., Wilson, D., & Winkeilstein, M. L. (2003). Wong’s nursing care of infants and children (7th edition). St. Louis: Mosby.
Coyne, I. (2006). Children’s experiences of hospitalization. Journal of child healt care. Vol 10 (4) 326-336. Diperoleh tanggal 29 Oktober 2012 darihttp://www.tara.tcd.ie/bitstream/ 2262/49392/1/JCHC%20Children% 27s%20experinces%20of%20hospit alisation.pdf Dahlan, M. S. (2011). Statistic untuk kedokteran dan kesehatan edisi 5. Jakarta: Salemba Medika. Darma, K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Jakarta: Trans Infomedia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Profil kesehatan indonesia 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Mansy, G. E., Mahmoud, W., Rashad, O. A., & Gadbhan, R. S. (2010). Fears of school age children during hospitalization and their coping strategies. Journal of medical research institute, 2007; Vol. 28, 3: (271 -80). Diperoleh tanggal 01 November 2012 dari https://helda. helsinki.fi/bitstream /handle /10138/22646/hospital.pdf? sequence=1. Muris, P., Merckelbach, H., & Luijten, M. (2002). The connection cognitive development and specific fears and worries in normal children and children with below average intellectual abilities. A premilinary study. Behaviour reseach and therapy, for 40, 37-56.Diperoleh tanggal 28 oktober 2012 dari
9
http://arno.unimaas.nl/show.cgi?fid =2411. Notoatmodjo, S. (2005a). Metodelogi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keparawatan: pedoman skripsi, tesis, dan instrument penelitian keparawatan. Jakarta: Salemba Medika. Papalia, D. E., Olds, S. W., dan Feldman, R..D. (2009). Human development perkembangan manusia edisi 10. Jakarta: Salemba Humanika. Perry, A. G., & Potter, P. A. (2006). Bukuajar fundamental keperawatan. Jakarta: EGC. Pravita, A., & Edi, B. M. (2012). Perbedaan tingkat kecemasan pasien anak usia prasekolah sebelum dan sesudah program meawarnai. Jurnal nursing studies,Vol. 1, No. 1 tahun 2012, 16-21. Diperoleh tanggal 15 November 2012 dari http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jnursing. Ramdaniati, S. (2011). Analisis determinan kejadian takut anak usia prasekolah dan sekolah Yang mengalami hospitalisasi di ruangan anak RSU Blud dr. Slamet Garut. Fakultas Ilmu Keparwatan Universitas Indonesia. Diperoleh tanggal 30 Oktober 2012 dari http://www.digilib.ui.ac.id /opac/themes/libri2 /detail. jsp?id=20282590&lokasi=lokal. Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga. Salmela, M., Salentera, S., & Aronen, E.
(2009). Child- reported hospital fears in 4 to 6 Year old children. Pediatrics nursing, 35 (5), 269-276. Diperoleh tanggal 29 Oktober 2012 dari https://helda.helsinki.fi/bitstream/ha ndle/10138/22646/ hospital.pdf?sequence=1. Salmela, M. (2010). Hospital-related fears and coping strategies in 4-6year-old children. University of Helsinki. Diperoleh tanggal 29 Oktober 2012 dari https://helda.helsinki.fi/bitstream/ha ndle/10138/22646/hospital.pdf?sequ ence=1. Singgih, D. G. (2008). Dasar dan teori perkembangan anak. Jakarta: Gunung Mulya. Stuart, G. W., & Laraia, M. T. (2005). Principles and practice of psychiatric nursing, (8thedition). St. Louis: Elsevier Mosby. Supartini, Y. (2004). Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC. The National Centre for Health Statistic. (2005). Diperoleh pada tanggal 27 oktober 2012 dari Http://www.cdc.gov/nchs/. Turkington, T., & Tzeel, A. (2004). The encyclopedia of children’s healt and wellness. (Volum 1). New York: Facts on File Inc. Wong, D. L., Hockenberry, M., Wilson, D., & Winkeilstein, M. L. (2008). Buku ajar keperawatan pediatrik volume 1(A. Hartono, S. kurnianingsih & Setiawan, Terj.). Jakarta: EGC. (Naskah asli dipublikasikan tahun 2001).