i
HUBUNGAN MODAL SOSIAL KOMUNITAS DENGAN PERSEPSI DAN PARTISIPASI AKTIVITAS BUDAYA
ROHMAH KHAYATI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA 2016
ii
PERTANYAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Hubungan Modal Sosial Komunitas dengan Persepsi dan Partisipasi Aktivitas Budaya (Kasus Kampung Budaya Sindangbarang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” adalah benar saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Rohmah Khayati NIM. I34120033
iii
ABSTRAK ROHMAH KHAYATI, Hubungan Modal Sosial Komunitas dengan Persepsi dan Partisipasi Aktivitas Budaya. Dibawah bimbingan SAHARUDDIN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana modal sosial masyarakat berhubungan dalam persepsi dalam pengelolaan di wisata budaya dan partisipasi masyarakat pada aktivitas budaya yang dikelola oleh Kampung Budaya Sindang Barang di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Populasi penelitian ini adalah masyarakat Dukuh Menteng dengan sampel penelitian diambil secara sensus sejumlah 45 orang. Variabel dalam penelitian ini yaitu modal sosial masyarakat di Dukuh Menteng. Pengukuran modal sosial berdasarkan tiga komponen yaitu kepercayaan, nilai dan norma, dan jaringan. Metode dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu studi pustaka dan studi lapangan berupa kuesioner dan dokumentasi. Analisis data secara deskriptif kuantitatif menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukan bahwa modal sosial yang terdiri dari kepercayaan serta nilai dan norma yang tergolong tinggi, dan jaringan yang tergolong rendah, sedangkan komponen persepsi terhadap pengelolaan wisata budaya dan partisipasi dalam kegiatan budaya tergolong tinggi dan rendah. Variabel yang berhubungan nyata terdapat pada hubungan kepercayaan dengan persepsi terhadap pengelola wisata budaya dan hubungan antara nilai dan norma dengan partispasi dalam kegiatan budaya. Kata kunci : modal sosial, persepsi, partisipasi
iv
ABSTRACT ROHMAH KHAYATI Relation Social Capital of Community with the Perception and The Participation Of Culture Tourism Activities. Under Supervision of SAHARRUDIN The purpose of this research is to know the relationship between social capital in communities with perception in management of cultural tourism and community partipation in cultural activities by Kampung Budaya Sindang Barang in Pasir Eurih Village, Tamansari Sub-district, Bogor regency.Population of the research is a Dukuh Menteng people according to censes with 45 persons of the research. Variables in this research that social capital in Dukuh Menteng. Measurement of social capital is based on three components: beliefs, values and norms, and networks. The methods and techniques used in data collection, namely the literature study and field studies in the form of questionnaires and documentation. Descriptive analysis of quantitative data using correlation test is a Rank Spearman. The result from social capital according to beliefs, values and norms on high, and networks on low. Perception in management of cultural tourism and community participation in cultural acivities components on low-high. Variable redpon to belief with perception in management of cultural tourism and value and norm with community participation in cultural acivities.
Keywords : social capital, perception, participation
v
HUBUNGAN MODAL SOSIAL KOMUNITAS DENGAN PERSEPSI DAN PARTISIPASI AKTIVITAS BUDAYA
ROHMAH KHAYATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
vii
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Hubungan Modal Sosial Komunitas dengan Persepsi dan Partisipasi Aktivitas Budaya” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain itu penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan pustaka ini tidak lepas dari kontribusi dan dukungan semua pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr Ir Saharuddin MS yang telah membimbing, mendukung dan memberikan nasihat dan inspirasi dalam penyusunan skripsi. 2. Bapak Dwi Hartono dan Ibu Sulatin serta adik tercinta Dewi Suhandari sebagai sumber motivasi utama yang telah membantu sertamemberikan dukungan dan doa yang tak terbatas kepada penulis hingga mampu menjalani banyak hal sampai pada tahapan ini. 3. Haerani Aslesmana, Fithriyah Sholihah, Yulinda Devianty, Paramita Dwi Febriani, Nurainidan Ajeng Sriwahyuni yang selalu mengisi hari-hari dalam menempuh pendidikan di KPM yang telah memberi semangat dan dukungan dalam penyusunan Skripsi. 4. Elsa Destriapani sebagai teman satu bimbingan, serta rekan-rekan SKPM angkatan 49 yang telah memberikan rasa kebersamaan dan kesan mendalam selama menjalani pembelajaran di departemen SKPM. 5. Fenny Febri KD yang telah memberikan dorongan semangat sampai saya dapat menyelesaikan studi. 6. teman-teman di UKM Lises Gentra Kaheman yang telah memberikan pengalaman dan kebersamaan luar biasa kepada penulis. 7. Pak Ukat sebagai pengurus di Kampung Sindang Barang atas keramahan dan bantuan selama penulis melakukan penelitian. 8. Kepala Desa Pasir Eurih, Ketua RT 02 RW 08 dan seluruh masyarakat Desa Pasir Eurih yang telah memberikan kemudahan dalam perolehan data. 9. Keluarga besar Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (staf pengajar dan staf penunjang) atas ilmu, bimbingan dan kekeluargaan selama penulis menjadi mahasiswa. 10. Semua pihak yang telah memberikan kontribusi, dukungan, dan doa kepada penulis selama ini. Penulis berharap kajian mengenaiPengaruh Pembangunan Pariwisata Budaya Terhadap Modal Sosial Komunitas ini mampu memberikan manfaat dan sumbangsih kepada khazanah ilmu pengetahuan. Bogor, Juni 2016
Rohmah Khayati
viii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANGAN Lokasi dan Waktu Teknik Pengumpulan Data Teknik Pemilihan Responden dan Informan Teknik Pengolahan dan Analisis Data GAMBARAN UMUM Gambaran Umum Wilayah Desa Pasir Eurih Kondisi Georafis Kondisi Sosial Demografi Kondisi Ekonomi Kesejarahan Kawasan Pola Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat MODAL SOSIAL KOMUNITAS DESA PASIR EURIH Kepercayaan Norma dan Nilai Jaringan PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP AKTIVITAS BUDAYA Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan Wisata Budaya Partisipasi Masyarakat pada Aktivitas Budaya HUBUNGAN MODAL SOSIAL KOMUNITAS DENGAN PERSEPSI DAN PARTISIPASI AKTIVITAS BUDAYA Hubungan Modal Sosial Komunitas dengan Persepsi dalam Pengelolaan Wisata Budaya Hubungan Kepercayaan dengan Persepsi dalam Pengelolaan Wisata Budaya Hubungan Nilai dan Norma dengan Persepsi dalam Pengelolaan Wisata Budaya Hubungan Jaringan dengan Persepsi dalam Pengelolaan Wisata Budaya Hubungan Modal Sosial Komunitas dengan Partisipasi dalam Kegiatan Budaya Hubungan Kepercayaan dengan Partisipasi dalam Kegiatan Budaya Hubungan Nilai dan Norma dengan Partisipasi dalam Kegiatan Budaya Hubungan Jaringan dengan Partisipasi dalam Kegiatan Budaya
x xi 1 1 3 4 5 5 22 23 23 27 27 27 29 29 32 32 32 33 34 35 38 50 50 51 53 56 56 59 64 65 65 65 66 67 67 67 68
ix
Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
70 71 72 79 93
x
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13
14
15 16
17 18 19 20 21 22
Dimensi social capital dalam tipologi bounding dan bridging 8 Kategori Modal Sosial 12 Ragam Kegiatan Kampung Budaya Sindangbarang 20 Definisi Operasional Pembangunan Wisata Budaya 23 Definisi Operasional Modal Sosial 24 Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data 28 Uji staistik reliabilitas 30 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Pasir Eurih Tahun 2014 34 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat modal sosial Kampung Budaya Sindang Barang pada masyarakat di Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 50 Jumlah responden berdasarkan pernyataan tentang tingkat kepercayaan masyarakat di Dusun Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 50 Jumlah responden berdasarkan pernyataan tentang tingkat nilai dan norma masyarakat di Dusun Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 52 Jumlah responden berdasarkan pernyataan tentang jaringan di Dusun Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 54 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi dan partisipasi terhadap aktivitas Kampung Budaya Sindang Barang pada masyarakat di Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 56 Jumlah responden berdasarkan pernyataan tentang persepsi masyarakat terhadap pengelolaan wisata budaya di Dusun Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 57 Jumlah responden berdasarkan pernyataan tentang partisipasi terhadap aktivitas budaya di Dusun Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 60 Hasil nilai signifikansi kepercayaan, nilai dan norma, dan jaringan dengan persepsi dan partisipasi aktivitas pariwisata budaya Kampung Budaya Sindangbarang di Desa Pasir Eurih 2016 64 Persentase berdasarkan kepercayaan masyarakat dan persepsi pengelolaan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 65 Persentase berdasarkan nilai dan norma masyarakat dan persepsi pengelolaan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 66 Persentase berdasarkan jaringan masyarakat dan persepsi pengelolaan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 66 Persentase berdasarkan kepercayaan masyarakat dan partisipasi dalam kegiatan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 67 Persentase berdasarkan nilai dan norma masyarakat dan partisipasi dalam kegiatan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 68 Persentase berdasarkan nilai dan norma masyarakat dan partisipasi dalam kegiatan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 68
xi
DAFTAR GAMBAR Kerangka Pemikiran 22 Struktur Organisasi Pengelola Kampung Sindang Barang 38 Batu Ungkal Beuneur 40 Kesenian Parebut Seeng 41 Prosesi seren taun 44 Kesenian Angklung Gubrag 45 Kesenian Rengkong 46 Persentase responden berdasarkan tingkat kepercayaan di Dukuh Menteng RT 02/08 Desa Pasir Eurih 51 9 Persentase responden berdasarkan tingkat kepercayaan di Dukuh Menteng RT 02/08 Desa Pasir Eurih 53 10 Persentase Responden berdasarkan tingkat jaringan di Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 54 11 Persentase Responden berdasarkan Persepsi Masyarakat dalam pengelolaan wisata budaya di Dukuh Menteng RT 02/08, Desa Pasir Eurih 59 12 Persentase Responden berdasarkan Partisipasi Masyarakat dalam aktivitas budaya di Dukuh Menteng RT 02/08, Desa Pasir Eurih 62 1 2 3 4 5 6 7 8
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Peta Lokasi Penelitian Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2016 Kerangka Sampling Kuesioner Penelitian Panduan Pertanyaan Hasil Uji Statistik Dokumentasi Penelitian
79 80 81 83 87 90 92
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pariwisata di Indonesia merupakan salah satu sektor yang menjadi andalan dan prioritas pengembangan perekonomian. Potensi kekayaan dan keindahan alam yang ada di Indonesia merupakan daya tarik suatu wilayah untuk meningkatkan sumber pendapatan pemerintah melalui retribusi. Dengan diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan lebih luas pada Pemerintah Daerah untuk mengelola wilayahnya, membawa implikasi semakin besarnya tanggung jawab dan tuntutan untuk menggali dan mengembangkan potesi sumber daya yang dimiliki di daerah dalam rangka menopang perjalanan pembangunan daerah. Pembangunan di sektor pariwisata, merupakan salah satu bentuk dari pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan kepuasan batiniah karena semua manusia memiliki kesempatan untuk mencari hiburan. Dengan pemenuhan kebutuhan tersebut banyak keuntungan-keuntungan yang didapatkan dari pihak-pihak pemilik, pengelola dan pihak negara seperti keuntungan finansial atau membuat suatu daerah tersebut menjadi lebih dikenal. Namun, jika keuntungan tersebut tidak dipersiapkan dan dikelola dengan baik, justru akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang merugikan khususnya kepada masyarakat. Untuk menjamin supaya suatu daerah yang memiliki sektor pariwisata dapat berkembang dengan baik dan berkelanjutan serta mendatangkan manfaat bagi manusia meminimalisasi dampak negatif atau konflik yang mungkin akan timbul maka pengembangan masyarakat pariwisata perlu didahului dengan kajian mendalam, yakni dengan melakukan penelitian terhadap semua daya pendukungnya (Wardiyanta 2006:47 dalam Syahriar 2015). Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya dalam rangka bermasyarakat yang dijadikan miliki manusia dengan belajar. Kebudayaan memiliki tiga wujud (i) ide, gagasan, nilai atau norma; (ii) aktivitas atau pola tindakan dalam masyarakat; (iii) benda atau hasil karya. (Koentjaraningrat (1979: 186-187) dalam Oktinaldi (2012:21) Pariwisata budaya merupakan salah satu fungsi dalam menjaga identitas, nilai serta norma bangsa. Pengelolaan yang baik dalam pariwisata budaya dapat mengantisipasi dampak negatif globalisasi yakni masuknya budaya asing yang bertolak belakang dengan budaya lokal, perilaku konsumtif dan kapasitas yang dibawa warga Negara asing yang mulai ditiru oleh masyarakat lokal sehingga tergeruslah kearifan lokal dan menurunnya modal sosial (Ningrum 2014). Dalam aktivitas pembangunan pariwisata budaya terdapat beberapa strategi yang dibutuhkan seperti aspek regulasi, aspek manajemen pembangunan sarana dan prasarana Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) yang menunjang dan mencakup pengembangan infrastruktur kawasan wilayah pariwisata, aspek manajemen kelembagaan meliputi pemanfaatan dan peningkatan kapasitas institusi, mekanisme yang mengatur berbagai kepentingan secara operasional serta koordinasi agar memiliki efisiensi yang tinggi, aspek SDM, aspek manajemen permasaran dan promosi, aspek manajemen pengelolaan yang meliputi aspek fisik lingkungan dan sosial ekonomi dari ODTW dengan profesionalisme dan
2
pengelolaan ODTW yang siap mendukung kegiatan usaha pariwisata dan mampu memanfaatkan potensi ODTW secara lestari. Kemampuan pembangunan pariwisata dalam pemenuhan kebutuhan, berbanding lurus dengan perkembangan global yang semakin pesat, dampak yang terjadi pun tidak sedikit. Salah satu dampak yang dirasakan adalah klaim budaya Nusantara. Berawal dari akhir 2007 oleh Negara Malaysia mengklaim Reog Ponorogo, pada tahun 2008 klaim lagu Rasa Sayange dari Maluku dan pada Januari 2009 terjadi klaim Batik. Dampak negatif lainnya adalah masuknya budaya asing yang bertolak belakang dengan budaya lokal berpengaruh dengan perilaku konsmtif dan kapitalis yang dibawa warga negara asing yang mulai ditiru oleh masyarakat lokal sehingga tergeruslah kearifan lokal dan menurunnya modal sosial. Kampung Budaya Sindangbarang terletak Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berjarak hanya 5 km kota Bogor. Merupakan Kampung Tertua untuk Wilayah kota dan kab Bogor, berdasarkan sumber naskah Pantun Bogor dan Babad Pajajaran. Kalau menurut Pantun Bogor diperkirakan Sindangbarang sudah ada sejak jaman Kerajaan Sunda lebih kurang abad ke XII.Disinilah dahulu terdapat suatu Kerajaan Bawahan yang bernama Sindangbarang dengan Ibukotanya Kutabarang. Disinilah menurut cerita rakyat digemblengnya para satria-satria kerajaan. Disini pula kebudayaan Sunda Bogor bermula dan bertahan hingga kini dalam wujud Upacara Adat Seren Taun. Sekilas tentang lokasi, Kampung Budaya Sindangbarang secara geografis berbatasan dengan Desa Parakan di sebelah Utara, Desa Srigalih di sebelah Timur, Desa Taman Sari di sebelah selatan dan Desa Sukaresmi di sebelah Barat. Luas wilayah DesaPasir Eurih 285,394 Ha2. Sindangbarang yang terletak di kaki gunung Salak, mempunyai curah hujan 300 mm, sedang suhunya antara 25 oC sampai dengan 30 oC. Sindangbarang dilalui beberapa sungai, di sebelah Barat terletak sungai Ciapus, di bagian Timur sungai Cisadane dan Cipininggading, di bagian tengah sungai Cipamali, Ciomas dan beberapa sungai kecil lainnya. Pusat Budaya lokal Kampung Sindangbarang menyimpan potensi bagi generasi muda untuk mengenal berbagai peninggalan berupa seni dan budaya yang hingga saat ini tetap dilestarikan, salah satunya adalah pencak silat betawi. Seperti suku-suku lainnya di Tanah Air, seni dan budaya merupakan warisan leluhur mereka yang diturunkan bagi generasi selanjutnya untuk dilestarikan, begitu pula dengan Kampung budaya Sindangbarang tidak ketinggalan ikut serta dalam melestarikan budaya mereka, khususnya di tanah kelahirannya. Mawardi (2007) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakatnya (ekonominya) di banyak negara termasuk di Indonesia terlalu menekankan pentingnya peranan modal alam (natural capital) dan modal ekonomi (economi capital) modern seperti barang-barang modal buatan manusia, teknologi dan manajemen dan sering mengabaikan pentingnya modal sosial seperti kelembagaan lokal, kearifan lokal, norma-norma dan kebiasaan lokal. Dalam suatu pembangunan atau pemberdayaan masyarakat maupun komunitas di suatu organisasi ataupun non-organisasi, dibutuhkan suatu modal sosial untuk keberlanjutan suatu kegiatan atau program yang sedang dilaksanakan. Modal sosial merupakan modal sumberdaya berupa jaringan kerja yang memiliki pengetahuan tentang nilai, norma, struktur sosial atau kelembagaan yang memiliki semangat kerja sama, kejujuran atau kepercayaan, berbuat
3
kebaikan sebagai pengetahuan sikap bertindak atau berperilaku yang akan memberikan implikasi positif kepada produktivitas (output) dan hasil (outcome). Masyarakat yang memiliki sikap modal sosial yang tinggi mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan dengan lebih mudah. Saling percaya, toleransi antara beberapa pihak dan kerjasama mereka dapat membangun jaringan baik jaringan internal kelompok, maupun jaringan diluar masyarakat lain. Pengembangan pariwisata dengan modal sosial dianggap mampu mengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) serta meningkatkan ekonomi dan lapangan pekerjaan. Persepsi masyarakat lokal terhadap keberadaan Kampung Budaya Sindangbarang memberikan sedikit dampak negatif, contohnya seperti turunnya eksistensi kepemilikan lahan oleh masyarakat lokal terutama pada lahan yang berada di sepanjang jalan akibat adanya pembenahan jalur akses menuju kampung budaya. Selain itu, akibat lancarnya arus distribusi hasil industri yang berdampak pada lancarnya penerimaan pendapatan, maka banyak dari masyarakat usia kerja yang lebih memilih bekerja di bidang industri dibandingkan pertanian terlebih di bidang budaya. Ini lah yang menyebakan kesadaran masyarakat yang terbatas untuk terus melestarikan budaya lokal. Perkembangan wisata perlu adanya modal sosial yang kuat seperti dengan adanya aturan main seperti norma-norma atau aturan tertulis maupun tidak tertulis dan berlaku di masyarakat maupun penglola dalam pengembangan Pariwisata ataupun menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di masyarakat akibat pengembangan pariwisata. Maka dari itu, menarik untuk dilakukan pengajian mengenai Sejauhmana modal sosial masyarakat dapat meningkatkan persepsi dan partisipasi masyarakat dalam aktivitas budaya dalam pengelolaan wisata budaya. Masalah Penelitian Pembangunan pariwisata merupakan salah satu bentuk dari pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan kepuasan batiniah karena semua manusia memiliki kesempatan untuk mencari hiburan. Kemampuan pembangunan pariwisata dalam pemenuhan kebutuhan, berbanding lurus dengan perkembangan global yang demakin pesat, dampak yang terjadi pun tidak sedikit. Keterbatasan kesadaran masyarakat pun mempengaruhi terkikisnya kebudayaan yang dimiliki. Modal sosial masyarakat dapat menjadi faktor dalam Persepsi terhadap pengelolaan aktivitas pariwisata budaya. Aktivitas yang dilaksanakan oleh pengelola wisata mengikut sertakan warga masyarakat sekitar untuk keberlanjutan kegiatan wisata. Oleh karena itu terdapat faktor yang memengaruhi sejauh mana masyarakat terlibat dalam aktivitas pembangunan pariwisata budaya, maka pertanyaan spesifik pertama dalam penelitian adalah Bagaimana hubungan modal sosial masyarakat lokal dengan persepsi pengelolaan wisata budaya? Pengembangan potensi pariwisata memerlukan adanya pembenahan diri masyarakat lokal untuk terus menjaga kelestarian budaya yang dimiliki. Latar belakang penelitian ini mengemukakan bahwa pariwisata budaya merupakan salah satu wadah untuk menjaga identitas suatu komunitas. Dampak globalisasi mengikis kebudayaan dengan informasi dan teknologi secara meluas. Hal ini diduga membawa pengaruh pada aktivitas pembangunan pariwisata budaya, dari segi pemanfaatan dan pengelolaan serta pelestariaan budaya terhadap penguatan
4
modal sosial. Oleh karena itu, pertanyaan spesifik kedua dalam penelitian ini Bagaimana hubungan antara modal sosial dengan partisipasi masyarakat terhadap aktivitas budaya? Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah penelitian yang telah dipaparkan, disusunlah tujuan penelitian untuk menjawab rumusan masalah dan pertanyaan penelitian tersebut, yaitu: 1. Menganalisis hubungan antara modal sosial dengan persepsi masyarakat dalam pengelolaan wisata budaya. 2. Menganalisis hubungan modal sosial masyarakat dengan partisipasi masyarakat dalam aktivitas budaya. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Penelitian ini berguna untuk 1. Menambah wawasan serta ilmu pengetahuan bagi peneliti dalam mengkaji secara ilmiah mengenai peran masyarakat dalam melestarikan kebudayaan serta pengaruh pembagunan wisata budaya terhadap modal sosial lokal 2. Menambah literatur dari kalangan akademisi dalam mengakaji Pengaruh pembangunan pariwisata budaya terhadap modal sosial yang dimiliki masyarakat. 3. Acuan dalam pelaksanaan pengelola kawasan wisata budaya, dimana dilihatnya hubungan modal sosial dengan pengelola wisata budaya bagi kalangan non akademisi, seperti masyarakat, swasta, dan pemerintah.
5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Modal Sosial Modal sosial dalam pengertiannya memiliki unsur modal yang berarti memiliki kesamaan dengan modal fisik dan modal manusia. Seperti modal fisik, modal sosial memerlukan investasi awal dan perawatan berkala, dalam bentuk interaksi yang berulang atau membangun perilaku kepercayaan. Modal sosial juga memberikan gambaran yang berbeda dibandingkan modal fisik, modal sosial manusia (Bastelaer dan Grootaert 2002 dalam Syahyuti 2008). Perhatian terhadap konsep ini didorong oleh masalah yang sama, sebab banyak pengalaman di dunia yang menunjukkan bahwa inisiatif pembangunan yang tidak mempertimbangkan dimensi manusia termasuk faktor-faktor seperti nilai, norma, budaya, motivasi, solidaritas, akan cenderung kurang berhasil dibanding dengan yang mempertimbangkan dimensi manusia. Sehingga bukan hal yang aneh kalau model pembangunan yang mengabaikan semua itu akan berujung pada kegagalan. Saat ini, konsep modal sosial lebih menarik, karena jika berhasil memahaminya, maka dapat berinvestasi di dalamnya untuk menciptakan aliran manfaat yang lebih besar (Uphoff 2000). Coleman (1998) dalam Anen (2012) menjelaskan modal sosial adalah suatu keragaman entitas yang mempunyai dua karakter umum, yaitu keseumanya mengandung aspek-aspek struktur sosial, dan memfasilitasi aksi individu dalam struktur tersebu,…modal sosial dalam hal ini merupakan struktur hubungan antar individu diantara individu-individunya. Modal sosial tersebut didefinisikan berdasarkan fungsinya, bukanlah suatu entitas tunggal tetapi terdiri dari sejumlah entitas dengan dua elemen yang sama yaitu (1) semua terdiri dari aspek strukturstruktur sosial dan (2) memfasilitasi tindakan-tindakan antara orang perorang dalam struktur. Dalam hal ini, Coleman (1988) memandang modal sosial dari sudut pandang struktur sosial yang memiliki berbagai tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan bersama. Poli (2007) menjelaskan bahwa modal sosial adalah saling percaya yang mempersatukan masyarakat sebagai kesatuan hidup yang beradab. Muncul dari pengalaman bersama yang memuaskan, karena itu diulang-uangi sehingga membentuk pola prilaku, yang dipertahankan melalui aturan yang disepakati, sehingga menyatukan masyarakat dalam suatu struktur tertentu. Pengalaman bersama yang memuaskan dapat muncul secara spontan maupun melalui rekayasa manajemen. Poli pun menjelaskan mengenai ciri-ciri dari modal sosial seperti: a. Dimiliki bersama, b. Dapat digunakan untuk pencapaian tujuan bersama c. Dapat bertambah dan dapat pula berkurang d. Kian dibagi-bagi kian bertambah e. Kian tidak dibagi-bagi, kian berkurang. Putnam dalam Yularmi (2011) mengatakan bahwa, modal sosial mengacu kepada ciri organisasi sosial, seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kinerja agar saling menguntungkan. Dia melihat modal sosial sebagai bentuk barang publik berbeda dengan pengaruhnya terhadap kinerja ekonomi dan politik pada level kolektif. Dia menekankan bahwa
6
partisipasi orang-orang dalam kehidupan asosiasional menghasilkan institusi publik lebih efektif dan layanan lebih baik. Modal sosial adalah informasi, kepercayaan, dan norma dari timbal balik yang melekat dalam jaringan sosial (Woolcock 1998 dalam Yuliarmi 2011). Modal sosial mengacu kepada ciri-ciri organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama saling menguntungkan. Modal sosial juga menambahkan elemen-elemen subyektif, proses budaya seperti kepercayaan dan norma dari timbal balik yang memfasilitasi aksi sosial. Perbedaan ini menunjukkan hubungan timbal balik di antara modal sosial, organisasi sosial masyarakat, dan jaringan sosial. Jaringan sosial dan organisasi sosial masyarakat memberikan sumber daya yang dapat digunakan untuk memfasilitasi aksi. Modal sosial pada gilirannya menghasilkan sumber daya lebih lanjut yang memberikan kontribusi kepada organisasi sosial masyarakat dan sumber daya jaringan sosial (Voydanoff dalam Yuliarmi 2011). Menurut Uphoff (2000), modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama. Aset disini diartikan segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk membuat proses produktif di masa mendatang lebih efisien, efektif, inovatif dan dapat diperluas atau disebarkan dengan mudah. Sedangkan perilaku bermakna sama positifnya antara apa yang dilakukan untuk orang lain dengan perilaku untuk diri sendiri. Artinya, perilaku tersebut bermanfaat untuk orang lain dan tidak hanya diri sendiri. Dalam hal ini, Uphoff (2000) menghubungkan konsep modal sosial dengan proposisi bahwa hasil dari interaksi sosial haruslah dapat mendorong lahirnya “manfaat bersama” (Mutually Beneficial CollectiveAction/MBCA). Uphoff (2000) menjelaskan unsure-unsur modal sosial yang dirinci menjadi dua kategori yang saling berhubungan, yaitu struktural dan kognitif. Aset modal sosial struktural bersifat ekstrinsik dan dapat diamati, sementara aspek kognitif tidak dapat diamati, namun keduanya saling terkait di dalam praktik, asset struktural datang dari hasil proses kognitif. Lebih jauh Uphoff (2000), menegaskan bahwa kedua kategori modal sosial ini memiliki ketergantungan yang sangat kuat, bentuk yang satu mempengaruhi bentuk yang lain dan keduanya mempengaruhi perilaku individu hingga mekanisme terbentuknya harapan (ekspektasi). Keduanya terkondisikan oleh pengalaman dan diperkuat oleh budaya, semangat pada masa tertentu (zeitgeist), dan pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam kajian modal sosial yang dijelaskan oleh beberapa ahli, modal sosial yang secara garis besar menujukan bahwa modal sosial merupakan komponen penting dalam suatu organisasi atau pembangunan yang berkelanjutan. Komponen tersebut mencakup nilai-nilai, norma, aturan, sikap, kepercayaan masyarakat dalam mengatur hubungan-hubungan sosial dan perilaku secara individu maupun bersama dalam pemanfaatan sumberdaya secara lestari. Dimensi dan Tipologi Modal Sosial Dimensi modal sosial menurut Coleman (2010) mengklasifikasikan modal kedalam dua tipe yaitu modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital), dua tipe ini seringkali saling melengkapi.
7
Dimensi yang menarik perhatian adalah yang terkait dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk bonding/exclusive dan bridging/ inclusive. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda pada hasil-hasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam proses kehidupan dan pembangunan masyarakat. Modal sosial terikat adalah cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006). Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, adalah lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya homogenius (cenderung homogen). Di dalam bahasa lain bonding social capital ini dikenal pula sebagai ciri sacred society. Menurut Putman (1993) dalam Syahyuti (2008), pada masyarakat sacred society dogma tertentu mendominasi dan mempertahankan struktur masyarakat yang totalitarian, hierarchical, dan tertutup. Di dalam pola interaksi sosial sehari-hari selalu dituntun oleh nilai-nilai dan norma-norma yang menguntungkan level hierarki tertentu dan feodal. Hasbullah (2006) menyatakan, pada mayarakat yang bonded atau inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki variabel kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Kekuatan yang tumbuh sekedar dalam batas kelompok dalam keadaan tertentu, struktur hierarki feodal, kohesifitas yang bersifat bonding. Salah satu kehawatiran banyak pihak selama ini adalah terjadinya penurunan keanggotaan dalam perkumpulan atau asosiasi, menurunnya ikatan kohesifitas kelompok, terbatasnya jaringan-jaringan sosial yang dapat diciptakan, menurunnya saling mempercayai dan hancurnya nilai-nilai dan norma-norma sosial yang tumbuh dan berkembang pada suatu entitas sosial. Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani atau Bridging Social Capital ini biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, serta (c) nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri). Prinsip persamaan, bahwasanya setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan kelompok berdasarkan kesepakatan yang egaliter dari setiap anggota kelompok. Pimpinan kelompok masyarakat hanya menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang telah ditentukan oleh para anggota kelompok. Prinsip kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Iklim kebebasan yang tercipta memungkinkan ide-ide kreatif muncul dari dalam (kelompok), yaitu dari beragam pikiran anggotanya yang kelak akan memperkaya ide-ide kolektif yang tumbuh dalam kelompok tersebut. Prinsip kemajemukan dan humanitarian, bahwasanya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang merupakan prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok,
8
atau suatu masyarakat. Kehendak kuat untuk membantu orang lain, merasakan penderitaan orang lain, berimpati terhadap situasi yang dihadapi orang lain, adalah merupakan dasar-dasar ide humanitarian. Masyarakat yang menyandarkan pada bridging social capital biasanya heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan, dan kebebasan yang dimiliki. Bridging social capital akan membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dengan kemampuan menciptakan networking yang kuat, menggerakkan identitas yang lebih luas dan reciprocity yang lebih variatif, serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal. Tabel 1 Dimensi social capital dalam tipologi bounding dan bridging Tipologi Social Capital Bounding • Terikat/ketat, jaringan yang eksklusif • Pembedaan yang kuat antara “orang kami” dan “orang luar” • Hanya ada satu alternatif jawaban • Sulit menerima arus perubahan • Kurang akomodatif terhadap pihak luar • Mengutamakan kepentingan kelompok • Mengutamakan solidaritas kelompok
Bridging • Terbuka • Memiliki jaringan yang lebih fleksibel • Toleran • Memungkinkan untuk memiliki banyak alternatif jawaban dan penyelesaian masalah • Akomodatif untuk menerima perubahan • Cenderung memiliki sikap yang altruistik, humanitarianistik dan universal
Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial
Lubis (2002) dalam Badaruddin (2006) mengemukakan teori modal sosial lebih lanjut, dimana modal sosial beriintikan elemen-elemen pokok yang mencakup: a. Saling percaya (trust), yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi (tolerance), tanggung jawab (responsibility), kemurahan hati (generoity) kerjasama (collaboration/cooperation) dan keadilan (equity); b. Jaringan sosial (social networking), yang meliputi adanya partisipasi(participations), solidaritas (solidarity); c. Pranata (institution), yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama (shared valueI), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctionsI) dan aturanaturan (rules). Elemen-elemen modal sosial tersebut bukanlah sesuatu yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, melainkan harus direkreasikan dan ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme sosial budaya di dalam sebuah unit sosial seperti keluarga, komunitas, asosiasi sukarela, negara dan sebagainya. Merujuk pada Ridell (1997) dikutip Suharto (2006), terdapat tiga komponen atau parameter kapital sosial yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringanjaringan (networks). Kasih (2007) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu norma yang muncul secara informal melandasi kerjasama diatara dua atau lebih
9
individu. Selain pendefinisian tersebut, pada hal ini juga menjelaskan manfaat umum yang diperoleh dari modal sosial antara lain: a. Modal sosial memungkinkan masyarakat memecahkan masalah-masalah bersama dengan lebih mudah. b. Modal sosial menumbuhkan rasa saling percaya dalam hubungan sosial untuk mewujudkan kepentingan bersama. c. Modal sosial memungkinkan terciptanya jaringan kerja sehingga mudah mendapatkan informasi. Masyarakat yang memiliki modal sosial lebih mudah bekerjasama mencapai kepentingan bersama baik bidang sosial maupun ekonomi, dibanding dengan masyarakat sebaliknya. Flassy et al. (2009), menyatakan bahwa unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan (trust) sebagai syarat keharusan (necessary condition) terbangunnya modal sosial dari suatu masyarakat. Modal sosial mempunyai tiga pilar utama, yaitu: 1. Trust (Kepercayaan) Fukuyama (2002) berpendapat, unsur terpenting dalam modal sosial adalah kepercayaan (trust) yang merupakan perekat bagi langgengnya kerjasama dalam kelompok masyarakat. Dengan kepercayaan (trust) orang-orang akan bisa bekerja sama secara lebih efektif. Modal sosial di negara-negara yang kehidupan sosial dan ekonominya sudah modern dan kompleks. Elemen modal sosial adalah kepercayaan (trust) karena menurutnya sangat erat kaitannya antara modal sosial dengan kepercayaan. Fukuyama (2002: 36) menambahkan kepercayaan (trust) adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu. Ada tiga jenis perilaku dalam komunitas yang mendukung kepercayaan ini, yaitu perilaku normal, jujur dan kooperatif. Lawang (2004) kepercayaan adalah rasa percaya yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk saling berhubungan. Ada tiga hal yang saling terkait dalam kepercayaan, yaitu: 1) Hubungan antara dua orang atau lebih. Termasuk dalam hubungan tersebut adalah institusi, yang dalam hal ini diwakili oleh orang. Sesorang percaya pada institusi tertentu untuk kepentingannya, karena orang-orang dalam institusi itu bertindak. 2) Harapan yang akan terkandung dalam hubungan itu, yang kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak. 3) Interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan itu terwujud. Ketiga dasar tersebut kepercayaan dapat diartikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial. 2. Networking (Jaringan) Menurut Coleman (1998) jaringan sosial merupakan sebuah hubungan sosial yang terpola atau disebut juga pengorganisasian sosial. Jaringan sosial juga menggambarkan jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang saling terkait baik langsung maupun tidak langsung. Membahas jaringan sosial, tentu saja tidak bisa terlepas dari komunikasi yang terjalin antar individu (interpersonal communication) sebagai unit analisis dan perubahan prilaku yang disebabkannya.
10
Hal ini menunjukkan bahwa jaringan sosial terbangun dari komunikasi antar individu (interpersonal communication) yang memfokuskan pada pertukaran informasi sebagai sebuah proses untuk mencapai tindakan bersama, kesepakatan bersama dan pengertian bersama (Rogers & Kincaid 1980 dalam Azhari 2015). Coleman (1998) sebagai salah satu seorang penggagas konsep modal sosial, melihat bahwa jaringan (networks) dalam modal sosial merupakan konsekuensi yang telah ada ketika kepercayaan diterapkan secara meluas dan didalamnya terdapat hubungan timbale balik yang terjalin dalam masyarakat dengan adanya harapan-harapan dalam masyarakat. Granovetter dalam Mudiarta (2009) menjelaskan gagasan mengenai pengaruh struktur sosial terutama yang dibentuk berdasarkan jaringan terhadap manfaat ekonomis khususnya menyangkut kualitas informasi. Menurutnya terdapat empat prinsip utama yang melandasi pemikiran mengenai adanya hubungan pengaruh antara jaringan sosial dengan manfaat ekonomi, yakni: Pertama, norma dan kepadatan jaringan (network density). Kedua, lemah atau kuatnya ikatan (ties) yakni manfaat ekonomi yang ternyata cenderung didapat dari jalinan ikatan yang lemah. Dalam konteks ini ia menjelaskan bahwa pada tataran empiris, informasi baru misalnya, akan cenderung didapat dari kenalan baru dibandingkan dengan teman dekat yang umumnya memiliki wawasan yang hampir sama dengan individu, dan kenalan baru relatif membuka cakrawala dunia luar individu. Ketiga, peran lubang struktur (structural holes) yang berada di luar ikatan lemah ataupun ikatan kuat yang ternyata berkontribusi untuk menjembatani relasi individu dengan pihak luar. Keempat, interpretasi terhadap tindakan ekonomi dan non ekonomi, yaitu adanya kegiatan-kegiatan non ekonomis yang dilakukan dalam kehidupan sosial individu yang ternyata mempengaruhi tindakan ekonominya. Dalam hal ini Granovetter menyebutnya ketertambatan tindakan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi sebagai akibat adanya jaringan sosial. Norm (Norma) 3. Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapanharapan dan tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standarstandar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putnam 1993 dalam Suharto 2006). Norma-norma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial. Sementara Lawang (2004) mengatakan norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepentingan. Kalau struktur jaringan itu terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antara dua orang atau lebih, sifat norma kurang lebih sebagai berikut: a) Norma itu muncul dari pertukuran yang saling menguntungkan, artinya kalau pertukaran itu keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu, norma yang muncul disini, bukan sekali jadi melalui satu pertukaran saja. Norma muncul karena beberapa kali pertukaran yang saling menguntungkan dan ini dipegang terus-meneruas menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus dipelihara. b) Norma bersifat resiprokal, artinya isi norma menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak yang dapat menjamin keuntungan yang
11
diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Orang yang melanggar norma ini yang berdampak pada berkurangnya keuntungan di kedua belah pihak, akan diberi sanksi negativ yang sangat keras. c) Jaringan yang terbina lama dan menjamin keuntungan kedua belah pihak secara merata, akan memunculkan norma keadilan, dan akan melanggar prinsip keadilan akan dikenakan sanksi yang keras juga. Uphoff (2000) menjelaskan unsur-unsur modal sosial dirinci menjadi dua kategori yang saling berhubungan, yaitu struktural dan kognitif. Kategori struktural berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial. Peranan (roles) dan aturan (rules) mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan untuk tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan resolusi konflik. Hubunganhubungan sosial membangun pertukaran (exchange) dan kerjasama (cooperation) yang melibatkan barang material maupun non material. Hubungan-hubungan sosial membentuk jejaring (networks). Peranan, aturan, dan jejaring memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan (mutually beneficial collectiveaction/MBCA). Kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi. Norma, nilai, sikap, dan kepercayaan memunculkan dan menguatkan saling ketergantungan positif dari fungsi manfaat dan mendukung MBCA. Terdapat dua orientasi, yaitu orientasi ke arah pihak/orang lain dan orientasi mewujudkan tindakan. Orientasi pertama, yaitu norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang diorientasikan kepada pihak lain, bagaimana seseorang harus berfikir dan bertindak ke arah orang lain. Kepercayaan (trust) dan pembalasan (reciprocation) merupakan cara membangun hubungan dengan orang lain. Sedangkan tujuan membangun hubungan sosial adalah solidaritas. Kepercayaan (trust) dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan kepercayaan (belief) untuk membuat kerjasama dan kedermawanan efektif. Solidaritas juga dibangun berdasarkan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan untuk membuat kerjasama dan kedermawanan bergairah. Orientasi Kedua, yaitu norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang diorientasikan untuk mewujudkan tindakan (action), bagaimana seseorang harus berkemauan untuk bertindak. Kerjasama (cooperation) merupakan cara tindakan bersama dengan yang lain. Sedangkan tujuan dari tindakan adalah kedermawanan (generosity). Kerjasama dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan kepercayaan (belief) untuk memunculkan harapan bahwa pihak/orang lain akan bersedia kerjasama dan membuat tindakannya efektif. Kedermawanan juga dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan kepercayaan untuk memunculkan harapan bahwa “moralitas yang tinggi akan mendapat penghargaan (virtue will be rewarded)”. Unsur-unsur modal sosial berdasarkan kategori struktural dan kognitif disajikan pada Tabel 2.
12
Tabel 2 Kategori Modal Sosial Kategori Sumber dan perwujudannya/manifestasi
Domain/ranah Faktor-faktor dinamis Elemen umum
Struktural
Kognitif
Peran dan aturan Norma-norma Jaringan dan hubungan Nilai-nilai antar Sikap pribadi lainnya Keyakinan Prosedur-prosedur dan preseden-preseden Organisasi sosial Budaya sipil/kewargaan Hubungan horisontal Kepercayaan, solidaritas, Hubungan vertikal kerjasama, kemurahan Harapan yang mengarah pada perilaku kerjasama, yang akan menghasilkan manfaat bersama Harapan yang mengarah pada perilaku kerjasama, yang akan menghasilkan manfaat bersama
Sumber: Uphoff (2000) Dua kategori pembentuk unsur modal sosial tersebut secara intrinsik saling terkait. Walaupun peran, aturan, jaringan preseden dan prosedur dapat diamati di dalamnya, itu semua tetap datang dari hasil proses kognitif. Aset modal sosial struktural bersifat ekstrinsik dan dapat diamati, sementara aspek kognitif tidak dapat diamati, namun keduanya saling terkait di dalam praktik (Uphoff 2000). Persepsi Persepsi merupakan salah aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Sugihartono (2007: 8) mengemukakan bahwa persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata. Walgito (2004: 70) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam 10 bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain. Setiap orang mempunyai kecenderungan dalam melihat benda yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman dan sudut pandangnya.
13
Persepsi juga bertautan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu objek tertentu dengan cara yang berbeda-beda dengan menggunakan alat indera yang dimiliki, kemudian berusaha untuk menafsirkannya. Persepsi baik positif maupun negatif ibarat file yang sudah tersimpan rapi di dalam alam pikiran bawah sadar kita. File itu akan segera muncul ketika ada stimulus yang memicunya, ada kejadian yang membukanya. Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi 2006: 118). Jalaludin Rakhmat (2007: 51) menyatakan persepsi adalah pengamatan tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sedangkan, Suharman (2005: 23) menyatakan: “persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia”. Menurutnya ada tiga aspek di dalam persepsi yang 11 dianggap relevan dengan kognisi manusia, yaitu pencatatan indera, pengenalan pola, dan perhatian. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Wisata Masyarakat Nasdian (2006) memandang partisipasi adalah proses aktif inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut pada subjek yang sadar. Berbeda dengan pendapat Slamet dan Nasdian, Mardikanto (2010) berpendapat bahwa partisipasi jika dilihat dalam kamus sosiologi merupakan keikutsertaan seseorang di dalam kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri. Dalam kegiatan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup mereka. Artinya, melalui partisipasi yang diberikan, berarti benar-benar menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah sendiri, tetapi juga menuntut keterlibatan masyarakat yang akan diperbaiki hidupnya. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Wisata Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan wisata (DTW) mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang keberhasilan pemngembangan ekowisata. Peran dari masyarakat dalam memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama ekowisata tidak dapat diabaikan. Hal yang terpenting adalah upaya memberdayakan masyarakat setempat dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan wisata (Hartono 2003 dikutip oleh Nugroho 2013). Untuk itu pengelola harus dapat menghimbau masyarakat agar bersedia berpartisipasi aktif secara positif di dalam pembangunan pariwisata dengan memelihara lingkungan di sekitar mereka. Agar pembangunan pariwisata dapat berkelanjutan dan efektif, serta pandangan dan harapan masyarakat setempat perlu dipertimbangkan. Partisipasi masyarakat lokal sangat dibutuhkan dalam pengembangan kawasan wisata/ekowisata karena masyarakat lokal sebagai
14
pemilik sumber daya pariwisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Secara umum partisipasi dapat dimaknai sebagai hak warga masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelestarian. Masyarakat bukanlah sekadar penerima manfaat atau objek belaka, melainkan sebagai subjek pembangunan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan disebutkan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan azas, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, asli dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri. Sehingga dalam melaksanakan program atau proyek pembangunan, diperlukan adanya peran serta atau partisipasi masyarakat, sehingga proyek ataupun program pembangunan tersebut tepat sasaran yang mencapai target sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya. Peran masyarakat yang tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1990 adalah 1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluasluasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. 2) Dalam rangka proses pengambilan keputusan, Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam poin 1 melalui penyampaian saran, 11 pendapat, dan pertimbangan. Partisipasi masyarakat dapat diartikan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan atau pengelolaan, pengawasan dan evaluasi dalam usaha pengembangan industri pariwisata, sehingga rasa memiliki dan tanggung jawab tumbuh pada masyarakat terhadap objek wisata yang ada di daerahnya. Peran masyarakat dibutuhkan dalam memberikan layanan yang berkualitas bagi wisatawan dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar agar wisata dapat terus berjalan, oleh karena itu penting untuk menjadikan masyarakat sebagai masyarakat yang sadar wisata. Menurut Surwantoro (1997) seperti dikutip oleh Untari (2009), masyarakat sadar wisata adalah masyarakat yang mengetahui dan menyadari apa yang dikerjakan dan juga masalah-masalah yang dihadapi untuk membengun dunia pariwisata nasional. Dengan adanya kesadaran ini maka akan berkembang pemahaman dan pengertian yang proporsional di antara berbagai pihak yang pada gilirannya akan mendorong masyarakat untuk mau berperan serta dalam pembangunan. Parisipasi masyarakat dapat berupa peran serta aktif maupun peran serta pasif. Peran serta aktif dilaksanakan secara lansung, secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan kreasi mau melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam atau melalui pembinaan rasa ikut memiliki di kalangan masyarakat. Peran pasif adalah timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu atau merusak lingkungan alam. Dalam peran serta pasif tersebut mayarakat cenderung sekedar melaksanakan perintah dan mendukung terpeliharanya konservasi sumberdaya alam. Upaya peningkatan peran serta pasif dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun dialog dengan aparat pemerintah, penyebaran informasi mengenai pentingnya upaya pelestarian sumberdaya alam di sekitar kawasan obyek wisata alam yang juga mempunyai dampak positif terhadap perekonomian (Suwantoro 1997 dan dikutip oleh Untari 2009). Pariwisata Pariwisata menurut UU no. 9/1990 merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan secara sukarela dan bersifat sementara, serta perjalanan itu sebagian
15
atau seluruhnya bertujuan untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Menurut Yoeti ( 1996:12) seringkali pariwisata dianggap sebagai bingkai ekonomi, padahal ia merupakan rangkaian dari kekuatan ekonomi, lingkungan, sosial budaya yang bersifat global. Manfaat daripada pelestarian sektor pariwisata antara lain: (i) pelestarian budaya dan adat istiadat; (ii) peningkatan kecerdasan masyarakat; (iii) peningkatan kesehatan dan kesegaran; (iv) terjaganya sumber daya alam dan lingkungan lestari; (v) terpeliharanya peninggalan kuno dan warisan leluhur; dsb. Dasar hukum pengembangan pariwisata yang sesuai dengan prinsip pengembangan adalah Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan tentang Pembangunan Kepariwisataan (Pasal 6: Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata, Pasal 8: 1) Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota. 2) Pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian integral dari rencana pembangunan jangka panjang nasional. Pasal 11: Pemerintah bersama lembaga yang terkait dengan kepariwisataan menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kepariwisataan untuk mendukung pembangunan kepariwisataan.) serta UU No 10 tahun 2009 tentang Kawasan Strategis (Pasal 12: 1) Aspek-aspek penetapan kawasan strategis pariwisata). Wisata adalah salah satu kegiatan yang dibutuhkan setiap manusia. Dalam Undang-undang No. 10 tahun 2009, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara. Goeldner (2003) melihat pariwisata dari empat perspektif yang berbeda yaitu dari wisatawan, pebisnis yang menyediakan pelayanan bagi wisatawan, pemerintah setempat dan masyarakat setempat. Dengan melihat keempat persperktif tersebut, Goeldner (2003) mendefinisikan pariwisata sebaga proses, kegiatan dan hasil yang didapat dari hubungan dan interaksi antara wisatawan, tourism-suppliers, pemerintah setempat, masyarakat setempat dan lingkungan sekitar yang dilibatkan ketertarikan dan tuan rumah dari pengunjung, “Tourism may be defined as processes, activities, and outcomes rising from the relationships and the interactions among tourist, tourism-suppliers, host governments, host communities, and surrounding enironments that are involved in the attracting and hosting of visitor” (Goeldner 2003). Pengembangan Pariwisata Budaya
Pariwisata Budaya adalah salah satu jenis pariwisata yang menjadikan budaya sebagai daya tarik utama. International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) (2012) menyatakan pariwisata budaya meliputi semua pengalaman yang didapat oleh pengunjung dari sebuah tempat yang berbeda dari lingkungan tempat tinggalnya. Dalam pariwisata budaya pengunjung diajak untuk mengenali budaya dan komunitas lokal, pemandangan, nilai dan gaya hidup lokal, museum
16
dan tempat bersejarah, seni pertunjukan, tradisi dan kuliner dari populasi lokal atau komunitas asli. Pariwisata budaya mencakup semua aspek dalam perjalanan untuk saling mempelajari gaya hidup maupun pemikiran (Goeldner 2003 dalam Nafila 2013). Timothy dan Nyaupane (2009) menyebutkan bahwa pariwisata budaya yang disebut sebagai heritage tourism biasanya bergantung kepada elemen hidup atau terbangun dari budaya dan mengarah kepada penggunaan masa lalu yang tangible dan intangible sebagai riset pariwisata. Hal tersebut meliputi budaya yang ada sekarang, yang diturunkan dari masa lalu, pusaka non-material seperti musik, tari, bahasa, agama, kuliner tradisi artistik dan festival dan pusaka material seperti lingkungan budaya terbangun termasuk monumen, katredal, museum, bangunan bersejarah, kastil, reruntuhan arkeologi dan relik. Ahimsa-Putra (2004) mendefinisikan wisata budaya yang lestari (sustainable) adalah wisata budaya yang dapat dipertahankan keberadaannya. Tumbuhnya model pariwisata budaya yang berkelanjutan atau sustainable cultural tourism tampak sebagai reaksi terhadap dampak negatif dari pariwisata yang terlalu menekankan tujuan ekonomi (Suranti 2005dalam Nafila 2013), yang pada dasarnya bertujuan agar eksistensi kebudayaan yang ada selalu diupayakan untuk tetap lestari. Untuk mempertahankan keberadaan suatu wisata budaya maka harus mempertahankan pula budaya menjadi daya tarik utama dari wisata ini. Dengan kata lain harus ada pengelolaan pusaka budaya yang baik. Menurut McKercher dan du Cros (2002) dalam Baskoro B & Rukendi C (2008), pertumbuhan pariwisata budaya bertepatan dengan timbulnya apresiasi massa dalam kebutuhan untuk menjaga dan mengkonservasi aset budaya dan pusaka budaya yang mulai berkurang. McKercher dan du Cros menyatakan bahwa pariwisata bisa dilihat sebagai pisau bermata dua bagi komunitas pengelolaan pusaka budaya. Di satu sisi, kebutuhan wisata memberikan justifikasi politik dan ekonomi yang kuat untuk memperluas kegiatan konservasi. Akan tetapi di sisi lain, peningkatan kunjungan, pemakaian yang berlebihan, pemakaian yang tidak pantas dan komodifikasi aset yang sama tanpa menghargai nilai budaya yang memberikan ancaman bagi integritas aset. Pengkomodifikasian tersebut seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip pengelolaan pusaka budaya. MacCannel (1992) dan Greenwood (1989) dalam Soeriaatmaja, (2005) mempermasalahkan “pengkomoditasan” (commodification) budaya dimana budaya menjadi pelayan dari konsumerisme sehingga nilai-nilai mendalam, fungsi-fungsi sosial dan authenticity (keaslian) hilang menjadi sesuatu yang dangkal. Soeriaatmaja menjelaskan bahwa istilah authenticity bisa mencerminkan suatu benda, budaya atau lingkungan secara sebenar-benarnya. Pengelolaan Wisata Budaya Strategi pengembangan Kawasan Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) meliputi: 1) Aspek Regulasi. Penguatan Instrumen kebijakan dan penguatan sistem regulasi pariwisata dalam pemanfaatan dan pengembangan fungsi kawasan untuk mendukung potensi pariwisata. Kelemahan yang mendasar pada birokrasi tidak lain adalah kelemahan dalam sistem koordinasi. Pada pemerintahan sekarang ini, banyak kebijakan lintas sektoral yang terbengkalai karena masalah birokrasi.Jika hendak mengatasi masalah itu,
17
kita perlu membangun sistem koordinasi yang diwajibkan UU agar sektor terkait memberikan dukungan kuat terhadap kebijakan dan program untuk pencapaian tujuan dan sasaran pariwisata serta efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. 2) Aspek Manajemen Pembangunan Sarana Prasarana ODTW yang menunjang dan mencakup pengembangan infrastruktur kawasan wilayah pariwisata. Peningkatan dukungan sarana prasarana serta infrastruktur pendukungnya guna menunjang aksesibilitas objek dan atau kawasan yang telah ada. Adanya sarana dan prasarana yang representatif pada kawasan site wisata merupakan daya tarik tertentu untuk dikunjungi wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara. Namun, kondisi sarana dan prasarana tersebut belum memadai. Pemerintah daerah berkewajiban melaksanakan koordinasi, perencanaan, pelaksanaan serta monitoring pengembangan obyek dan daya tarik wisata serta meningkatkan keterpaduan perencanaan pengembangan wilayah yang mampu menjadi penggerak perekonomian lokal daerah secara berkesinambungan. Dalam hal ini peran Infrastruktur merupakan salah satu komponen utama dalam pengembangan kawasan pariwisata. Pengembangan komponen ini tergantung pada variabel pelayanan pendukungnya, seperti jumlah penduduk, variabel dan skala pelayanan, sumberdaya alam/fisik yang tersedia, sistem jaringan transportasi dan distribusi.Adapun pembangunan prasarana dan prasana infra-struktur yang non-fisik materil dalam tulisan ini ditujukan pada pembangunan atau rekonstruksi kepariwisataan oleh masyarakat. Konsep pengembangan infrastruktur kawasan pariwisata merupakan salah satu komponen utama dalam pengembangan kawasan pariwisata.Pengembangan sistem transportasi di kawasanperencanaan merupakan bagian integral terhadap pengembangan sistem transportasi daerah secara keseluruhan. Maka diperlukan pengemasan ulang (repackaging) secara menyeluruh serta strategi yang lebih pas mengenai pengembangan potensi wisata dengan manajemen dan konsep yang baik dan internalisasi nilai-nilai yang mendukung kepariwisataan itu sendiri, sehingga yang menjadi perhatian dalam pengembangan kawasan pariwisata adalah aspek pendukung dalam dunia pariwisata tentunya perlu sarana dan prasarana pendukung seperti membangun infrastruktur penunjang seperti fasilitas umum, tourist information, art trade, fasilitas jalan, transportasi, akomodasi, dan pos pengamanan serta akses penerangan. 3) Aspek Manajemen Kelembagaan meliputi pemanfaatan dan peningkatan kapasitas institusi, mekanisme yang dapat mengatur berbagai kepentingan secara operasional serta koordinasi agar memiliki efisiensi tinggi. Meningkatkan kapabilitas dan efektifitas institusi kelembagaan terhadap fungsi dan peran dalam pembangunan pariwisata ditinjau dari aspek keterpaduan koordinasi dan interaksi yang sinergis antar stakeholder terkait. Koordinasi dan peran serta keterlibatan dan keterpaduan program antar stakeholder maupun sektor terkait dalam pengembangankebudayaan dan pariwisata masih sangat kurang. Pengembangan kawasan wisata merupakan salah satu konsep pengembangan jaringan. Pola
18
pengembangan jaringan pariwisata memerlukan kerjasama antar pemerintah daerah maupun sektor swasta secara sinergis. 4) Aspek SDM. Menggalang kapabilitas dan kemampuan SDM profesional serta mempunyai etos kerja yang tinggi dan senantiasa mengikuti dan meningkatkan penguasaan IPTEK dalam pengelolaan kawasan pariwisata. Kurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pariwisata yangprofesional dan berkemampuan tinggi dirasakan sampai saat ini, yang mana humanresources ini belum sesuai dengan apa yang diharapkan yakni the right man and the right place. Pelaku pariwisata sangat kurang jumlahnya dan kualitasnya tidak sesuai dengan sumber daya yang ada di dinas maupun di lapangan. Oleh karena itu diperlukan pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. 5) Aspek Manajemen Pemasaran dan promosi. Promosi adalah strategi pokok dalam pemasaran suatu industri wisata. Peran serta organisasi – organisasi kepariwisataan mutlak diperlukan melalui program promosi wisata. Tindakan promosi harus berdasarkan pada analisis terhadap situasi dan permintaan pasar terkini. Ini berarti bahwa promosi yang dilakukan harus berdasarkan hasil analisis data penelitian tentang segmentasi pasar pariwisata, bukan merupakan pendapat dan perasaan penguasa atau pemegang yang memandang perlu atau tidaknya diadakan promosi. Belum optimalnya program promosi dan pemasaran dalam rangka peningkatan misi yang merupakan sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan agar memberikan konstribusi positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).Pelaksanaan promosi wisata daerah yang belum digarap secara optimal, dapat dilihat dari data kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan lokal yang berkunjung. Unsur promosi pariwisata diharapkan menjadi alat utama untuk melakukan destinasi pariwisata. Oleh karena itu pengembangan dan peningkatan usaha-usaha promosi terus divariabelkan dari tahun ke tahun sehingga konstribusi Pendapatan dari sektor kebudayaan dan pariwisata dapat lebih meningkat. 6) Aspek Manajemen pengelolaan yang meliputi aspek fisik lingkungan, dan sosial ekonomi dari ODTW dengan profesionalisme dan pola pengelolaan ODTW yang siap mendukung kegiatan usaha pariwisata dan mampu memanfaatkan potensi ODTW secara lestari. Pembangunan, pemeliharaan dan peningkatan produktifitas pengelolaan potensi kawasan wisata (ODTW) yang potensial serta alternatif usaha pariwisata yang kreatif dan inovatif. Fokus Prioritas Kebijakkan
Konsep kebijakan yang diambil di dalam buku II RPJMN tahun 20102014, khususnya Bab II: Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama, pembangunan bidang kebudayaan diprioritaskan pada penguatan jati diri bangsa dan pelestarian budaya yang dilakukan melalui empat focus prioritas: 1. Penguatan jati diri dan karakter bangsa yang berbasis pada keragaman budaya, dengan meningkatkan: (a) pembangunan karakter dan pekerti bangsa yang dilandasi oleh nilai-nilai kearifan lokal; (b) pemahaman tentang kesejarahan dan kewawasan kebangsaan; (c) pelestarian,
19
pengembangan dan aktualisasi nilai dan tradisi dalan rangka memperkaya dan memperkokoh khasanah budaya bangsa; (d) pemberdayaan masyarakat adat; dan (e) pengembangan promosi kebudayaan dengan pengiriman misi kesenian, pameran dan pertukaran budaya. 2. Peningakatan apresiasi terhadap keragaman serta kreativitas seni dan budaya, melalui (a) peningkatan perhatian dan kesetaraan pemerintah dalam program-program seni budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan mendorong berkembangnya apresiasi terhadap kemajemukan budaya; (b) penyediaan sarana yang memadai bagi pengembangan, pendalaman dan pagelaran seni budaya di kota besar dan ibu kota kabupaten; (c) pengembangan kesenian seperti seni rupa, seni pertunjukan, seni media, dan berbagai industri kreatif yang berbasis budaya; (d) pemberian insentif kepada para pelaku seni dalam pengembangan kualitas seni dan budaya dalam bentuk fasilitasi, pendukung dan penghargaan. 3. Peningkatan kualitas perlindungan, penyelamatan, pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya, melalui: (a) penetapan dan pembentukan pengelolaan terpadu untuk pengelolaan cagar budaya, revitalisasi museum dan perpustakan di seluruh Indonesia; (b) perlindungan, pengembangan,dan pemanfaatan peninggalan purbakala, termasuk peninggalan bawah air; (c) pengembangan permuseuman nasional sebagai sarana edukasi, rekreasi, serta pengembangan kesejarahan dan kebudayaan; dan (d) penelitian dan pengembangan arkeologi nasional. 4. Pengembangan sumber budaya kebudayaan, melalui (a) pengembangan kapasitas nasional untuk pelaksanaan penelitian, penciptaan dan inovasi dan memudahkan akses dan penggunaan oleh masyarakat luas dibidang kebudayaan, (b) peningkatan jumlah, pendayagunaan, serta kompetensi dan profesionalisme SDM kebudayaan; (c) peningkatan pendukung sarana dan prasarana dan pengembangan seni dan budaya masyarakat; (d) peningkatan penelitian dan pengembangan kebudayaan; (e) peningkatan kualitas informasi dan basis data kebudayaan; dan (f) pengembangan kemitraan antara pemerintahan pusat dan daerah, sektor terkait, masyarakat dan swasta. Aktivitas Budaya Sebagai Objek Wisata 1. Serentaun Tradisional Pada Masyarakat Agraris Penelitian Adimihardja (1992) masyarakat Sindangbarang masih sekerabat dengan masyarakat kasepuhan d sekitar komplek konservasi hutan Gunung Halimun, Sukabumi. Kondisi masyarakat Sindangbarang yang masih transisional dan sebagian besar penduduknya sudah beralih menjadi pengrajin industry sepatu membuat peneliti tidak mengambil sistem upacara Sedekah Bumi yang masih dilakukan masyarakat setiap tahun. Kebanyakan upacara Sedekah Bumi yang dilakukan masyarakat Sindangbarang tidak menggunakan ritus-ritus seperti dalam serentaun. 2. Sistem Upacara Upacara Serentaun trasisional mempunyai ritus-ritus yang tidak dapat dipisahkan dengan upacara-upacara lain. Adimihardja (1992) menulis konsep
20
masyarakat kesepuhan di daerah Sukabumi perbatasan dengan Bogor Selatan dan Banten Selatan yang masih menjalani adat tali karuhun dari masa kerajaan Pakwan Pajajaran, meskipun agama masyarakat setempat menurut Adimihardja adalah Islam. Temin tradisional tidak dilihat dari asal upacara tersebut dalam agama Sunda Wiwitan, tetapi lebih pada upacara yang masih menjadi bagian kehidupan masyarakat sehari-hari tanpa unsure komodifikasi. Rangkaian upacara-upacara dari membuka lading hingga memanen padi berangkat dari cara pandang tentang keseimbangan terhadap mikro dan makro kosmos. Cara pandang ini menghasilkan pedoman hidup yang tertuang dalam norma sehari-hari yang tak boleh dilanggar atau tabu. Keseimbangan selalu dijaga dengan berusaha mengontrol diri untuk tetap berada posisi tengah. Dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang dijelaskan oleh Suwarsih Warnaen (1986: 12), terdapat kata-kata “makan sekedar menghilang rasa lapar, minum sekedar menghilangkan rasa haus”. Segala sesuatu dilaksanakan dengan wajar , tidak berlebihan atau berat sebelah. 3. Sistem Mata Pencaharian Sistem mata pencaharian warga kasepuhan adalah lading berpindah.Kegiatan bertani dengan sistem kepercayaan pada nilai-nilai yang diturunkan oleh nenek moyang yaitu menghormati alam agar terhindar dari bencana. Tahun pertama setelah panen bekas lading yang disebut jami diolah dan ditanami berbagai buah-buahan. Lahan tersebut menyerupai hutan buatan yang disebut talun. Jami juga ditanami sayuran. Jami ada yang dibiarkan ditumbuhi semak belukar dan jika bertahun-tahun ditinggalkan maka akan kembali menjadi hutan. Kegiatan berladang dimulai lagi ditempat lain dengan menghitung hari baik dan buruk berdasarkan rasi bintang yang muncul. Menurut Dahlan (2009) ada beberapa ragam kegian di Kampung Budaya Sindang Barang. Tabel 3 Ragam Kegiatan Kampung Budaya Sindangbarang Jenis Kegiatan Aktivitas Seni Reog
Tari Jaipong atau Merak
Pengenalan Musik
Aktivitas Tani Nandur Pare Ngahuma Nutu Pare
Deskripsi Kesenian yang terdiri dari empat orang dengan satu pemimpin. Menggunakan alat musik dog-dog dan menampilkan tarian, nyanyian Kaesenian berupa tarian yang ditampilkan secara solo maupung grup (rampak) dan diiringi musi Degung. Beberapa alat musik tradisional Sunda seperti Angklungm Calungm Dog-Dog, Saron, Goong, Kendang dan sebagainya. Aktivitas menanam padi di sawah Aktivitas menanam padi di lading Aktivitas menanam padi di lisung
21
Pawon
Aktivitas Air Marak Lauk
Mapay Walungan
Aktivitas Sejarah: Napak Tilas
Outbond dan Flying Fox
Aktivitas di dalam dapur, mengenal peralatan dan cara memasak tradisional Sunda Aktivitas di dalam kolam untuk menangkap ikan dan hasilnya menjadi milik wisatawan Aktivitas menyusuri dan bermain di sungai dengan daya tarik sungai yang dipenuhi oleh bebatuan dan air yang jernih Aktivitas mengunjungi beberapa situs bersejarah yang ada di kawasan Sindangbarang Aktivitas menguji ketangkasan, kreativitas, dan game building
22
Kerangka Pemikiran Penelitian ini mengacu kepada konsep modal sosial Uphoff (2000) yang mendefinisikan modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan asset-asset yang terkait yang dapat meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama. Uphoff (2000) membagi modal sosial menjadi dua kategori yaitu kategori structural dan kognitif, Uphoff (2000) menjelaskan modal sosial pada kategori struktural, unsur yang akan dikaji ditekankan pada jaringan (networks). Sedangkan pada kategori kognitif, unsur yang akan dikaji ditekankan pada kepercayaan (trust) dan norma (norms), nilai (value), sikap (attitudes), kepercayaan (belief) yang menciptakan dan memperkuat kesalingtergantungan positif dan mendorongmeningkatnya harapan akan aliran manfaat yang dapat dirasakan oleh komunitas pemilik/pengelola. Penelitian ini akan membahas modal sosial terfokus pada kepercayaan, nilai dan norma, dan jaringan. Persepsi masyarakat terhadap pengelola kampung sindang barang dan partisipasi terhadap aktivitas budaya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada pada komunitas dan pengelola Kampung Budaya Sindangbarang di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dalam penelitian ini, unsur aktivitas pembangunan pariwisata budaya dengan empat fokus prioritas dan terfokus pada, pertama penguatan jari diri dan karakter bangsa yang berbasis pada keragaman budaya. Kedua, peningkatan apresiasi terhadap keragaman serta kreativitas seni dan budaya. Ketiga, peningkatan kualitas perlindungan, penyelamatan, pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya. Keempat, pengembangan sumber daya kebudayaan, melalui peningkatan kompetensi sumber daya manusia kebudayaan dan pengembangan kemitraan antara pemerintah pusat dan daerah, sektor terkait, masyarakat dan swasta. Berdasarkan uraian diaras, maka hubungan variabel-variabel tersebut digambarkan secara terperinci seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini: Kerangka pemikiran yang diuraikan tersebut dapat digambarkan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
Modal Sosial
Tingkat Persepsi Pengelolaan dalam wisata budaya
1. Kepercayaan 2. Nilai dan Norma 3. Jaringan Tingkat Partisipasi Aktivitas Budaya : Berhubungan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
23
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka analisis diatas, maka dapat disimpulkan hipotesis statistic penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara kepercayaan dengan persepsi pengelolaan dalam wisata budaya 2. Terdapat hubungan antara nilai dan norma dengan persepsi pengelolaan dalam wisata budaya 3. Terdapat hubungan antara jaringan dengan persepsi pengelolaan dalam wisata budaya 4. Terdapat hubungan antara kepercayaan dengan partisipasi pada aktivitas budaya 5. Terdapat hubungan antara nilai dan norma dengan partisipasi pada aktivitas budaya 6. Terdapat hubungan antara jaringan dengan partisipasi pada aktivitas budaya Definisi Operasional Definisi operasional pada variable-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Variabel Persepsi Pengelolaan dalam Wisata Budaya Tabel 4 Definisi Operasional Pembangunan Wisata Budaya No Variabel
Definisi Indikator Operasional 1. Persepsi Persepsi dalam Ketertarikan atau pengalaman ketidak tertarikan tentang objek, masyarakat peristiwa atau terhadap kegiatan hubunganyang hubungan yang diselenggarakan diperoleh di Kampung Budaya Kampung Budaya Sindang Barang Sindang Barang Skor Jawaban Responden Ya = Setuju Tidak = tidak setuju Diukur dengan skala ordinal dengan menggunakan skor: Rendah = masyarakat memiliki persepsi yang rendah (11-16) Tinggi = masyarakat memiliki persepsi yang tinggi (17-22) 2. Partisipasi Keterlibatan 1. Keikutsertaan individu terhadap masyarakat kegiatan dalam pelatihan aktivitas seni
Jenis Data Ordinal
Skor
Skor :1 Skor :2 Skor:1 Skor : 2 Ordinal
24
2. Keikutsertaan masyarakat dalam pelatihan aktivitas tani 3. Keikutsertaan masyarakat dalam pelatihan aktivitas sejarah Skor Jawaban Responden Ya Tidak Diukur dengan skala ordinal dengan menggunakan skor Rendah = Masyarakat tidak terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan (12-18) Tinggi = Masyarakat terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan (1924)
Skor :1 Skor :2 Skor:1 Skor : 2
Variabel Modal Sosial Modal sosial (Y) adalah variabel yang memberikan reaksi atau respon jika dihubungkan dengan variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel dependen modal sosial. Modal sosial dapat dilihat dari persepsi dari masyarakat lokal: 1. Kepercayaan yaitu perasaan percaya dalam berhubungan dengan orang lain yang dimiliki masyarakat dalam mempersepsikan seseorang. Kepercayaan diukur dari pengetahuan masyarakat tentang tahapan pembangunan dengan pengelola wisata. 2. Nilai dan norma yaitu segala ketentuan yang ada dalam kelompok masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis, yaitu berfungsi sebagai pengontrol dan pengatur perilaku masyarakat. Aturan diukur dari variabel pengetahuan, pemahaman, kepatuhan, pelanggaran, sangsi responden, dan pandangan responden terhadap pengetahuan, pemahaman, kepatuhan, pelanggaran, sangsi yang dilakukan oleh masyarakat lain dalam aktivitas pembagunan pariwisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang. 3. Jaringan sosial yaitu pola interaksi sosial yang menggambarkan hubungan antar masyarakat dengan pengelola wisata Kampung Budaya Sindangbarang dalam mendukung aktivitas pembangunan wisata. Jaringan diukur dari ada atau tidak jalinan hubungan baik internal maupun eksternal. Tabel 5 Definisi Operasional Modal Sosial No
Variabel
1.
Kepercayaan
Definisi Operasional Kepercayaan
Indikator 1. Transparansi
Jenis Data Ordinal
Skor
25
masyarakat pengelolaan dalam Kampung penguatan Budaya karakter nilaiSindang nilai kearifan Barang lokal, Kejujuran kepada pengelolaan masyarakat kawasan budaya 2. Jumlah serta masyarakat pengembangan yang bersedia SDM. ikut dalam kegiatan yang diselenggarakan 3. Jumlah masyarakat yang bersedia untuk menjalin kerjasama Skor Jawaban Responden Ya Tidak Diukur dengan skala ordinal dengan menggunakan skor Rendah = Masyarakat tidak percaya dengan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang (5-7) Tinggi = Masyarakat percaya dengan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang (8-10) 2. Jaringan sosial Masyarakat 1. Jumlah Ordinal yang memiliki masyarakat partisipasi dan yang masih solidaritas yang memiliki kuat dalam dalam tahapan bergotong pembangunan royong wisata serta dalam kerjasama pembangudengan berbagai nan wisata pihak. 2. Jumlah masyarakat yang bersedia membantu permasalahan di KBSB 3. Jumlah masyarakat yang terlibat
Skor :1 Skor :2 Skor:1 Skor : 2
26
dalam pemeliharaan KBSB 4. Jumlah masyarakat yang terlibat dalam mengatur keamanan KBSB Skor Jawaban Responden Ya Tidak Diukur dengan skala ordinal dengan menggunakan skor Rendah = Masyarakat tidak memiliki ikatan kerjasama dengan pengelola (6-9) Tinggi = Masyarakat memiliki ikatan kerjasama dengan pengelola (1012) 3. Nilai dan Nilai-nilai 1. Pengetahuan Ordinal norma agama dan masyarakat budaya serta terhadap norma-norma aturan yang yang berlaku dibentuk untuk 2. Norma yang memotivasi masih dalam berlaku pembangunan 3. Nilai yang wisata masih berlaku Skor Jawaban Responden Ya Tidak Diukur dengan skala ordinal dengan menggunakan skor Rendah = Masyarakat tidak paham dengan aturan serta nilai dan norma (5-7) Tinggi = Masyarakat paham dengan aturan serta nilai dan norma (8-10)
Skor :1 Skor :2 Skor:1 Skor : 2
Skor :1 Skor :2 Skor:1 Skor : 2
27
PENDEKATAN LAPANGAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di salah satu obyek wisata Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. (Lampiran 1). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan beberapa alasan, yakni: Kawasan Kampung budaya Sindangbarang ini memiliki potensi besar untuk menjadi pusat kebudayaan yang berbasiskan masyarakat Sunda, dan berpeluang untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan menjaga kelestarian budaya dan lingkungan. Penelitian dilaksanakan dalam waktu enam bulan. Waktu penelitian telah dilaksanakan seperti (Lampiran 2). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, siding skripsi dan perbaikan laporan penelitian. Teknik Pengumpulan Data Pendekatan ini menggunakan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif, karena bertujuan untuk memperkaya data dan lebih memahami situasi yang sedang diteliti. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah metode survey kepada responden menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun dan Effendi 2008). Untuk memperoleh responden, maka ditentukan kerangka sampling (sampling frame) ialah rumah tangga di Kampung Budaya Sindangbarang, Desa Pasir eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat(Lampiran 3). Responden diambil dengan menggunakan teknik pengambilan sample yaitu menggunakan sensus sebanyak 45 responden. Metode pengumpulan sampel di tentukan setelah melakukan observasi lapang. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi, kuesioner (Lampiran 4), serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada responden maupun informan dengan menggunakan panduan pertanyaan (Lampiran 5). Data sekunder sebagai data pendukung diperoleh melalui studi literatur berupa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian serta pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini, seperti kantor kelurahan, kantor kecamatan, pengelola obyek wisata, Dinas Pariwisata, Pemerintah Daerah dan sebagainya. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui dan menganalisis peluang bekerja dan berusaha responden, jenis-jenis pekerjaan yang ada di sektor wisata dan non-wisata, serta variabel pendapatan responden. Informan adalah pihak yang dapat mendukung kelancaran dalam penelitian ini dengan memberikan berbagai informasi ataupun data yang mendukung serta berhubungan dengan penelitian ini. Unit analisis dari penelitian ini adalah individu yakni masyarakat pelaku usaha yang berada di sekitar obyek wisata kampung budaya Sindangbarang baik masyarakat lokal maupun pendatang sebagai responden.
28
Tabel6 Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data Teknik Pengumpulan Data Kuesioner
Wawancara mendalam
Observasi lapang dan dokumnetasi
Data Yang Dikumpulkan Karakteristik responden Peranan sosial masyarakat Peran norma sosial Peran jaringan sosial Peran kepercayaan Variabel pengembangan aktualisasi nilai dan tradisi Variabel pemberdayaan masyarakat Variabel pengembangan promosi Variabel perhatian dan kesetaraan pemerintah Variabel pengembangan kesenian Variabelpendukung sarana prasarana Peranan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata Nilai dan norma masyarakat dalam pengelolaan Variabel kepercayaan Luasan Jaringan Variabel pengembangan aktualisasi nilai dan tradisi Variabel pemberdayaan masyarakat Variabel pengembangan promosi Variabel perhatiaan dan kesetaraan pemerintah Variabel pengembangan kesenian Variabel pendukung sarana prasarana Gambaran umum lokasi wisata Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor (gambaran lokasi/ letak geografis)
29
Teknik Pemilihan Responden dan Informan Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari responden dan informan yang berada dalam suatu populasi. Populasi adalah keseluruhan objek atau subyek yang telah ditetapkan oleh peneliti secara umum berdasarkan karakteristik tertentu yang telah sitentukan sebelumnya oleh peneliti dan sesuai dengan penelitian yang diteliti. Oleh karena itu, maka populasi dalam penelitian ini adalah unit rumah tangga yang berada di wilayah Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Sampel adalah bagian yang mewakili populasi dalam penelitian dan mewakili karakteristik yang diteliti. Dalam penyusunan sampel terlebih dahulu ditentukan dengan menggunakan kerangka sampel(lampiran 2) untuk mempermudah peneliti dalam pemilihan responden yang sesuai dengan kriteria untuk penelitian ini. Metode dalam pengambilan sampel menggunakan teknik yang digunakan dalam metode ini adalah teknik pengambilan sensus, metode ini merupakan pengambilan sampel yang mana setiap unit penelitian memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel penelitian yaitu 45 responden yaitu terdiri dari individu masyarakat di dusun Dukuh Menteng, wisata Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Informan dalam penelitian ini tidak dibatasi dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai permasalahn yang diteliti. Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball), yaitu penentuan informan berdasarkan informasi dari informan sebelumnya. Pencaharian data dan informasi menggunakan teknik ini akan berhenti apabila informasi yang didapatkan sudah bersifat jenuh, artinya tidak ada informasi atau pengetahuan baru lagi yang didapat dari kegiatan wawancara. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengelola wisata budaya Kampung Budaya Sindangbarang, pihak masyarakat Dusun Dukuh Menteng RT 02/08, dan tokoh masyarakat. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu masyarakat Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Adapun individu masyarakat dalam penelitian ini berada di sekitar Kampung Budaya Sindang Barang. Setelah seluruh data yang telah terkumpul dilakukan pengolahan data secara kuantitatif, yaitu menggunakan tabel frekuensi, tabulasi silang, dan teknik uji korelasi. Tabel frekuensi digunakan untuk mendapatkan deskripsi mengenai persepsi dan penilaian masyarakat terhadap aktivitas atau kegiatan yang ada di Kampung Budaya Sindangbarang, maka akan dilakukan pengkodean yang akah berlanjut pada tahap perhitungan presentase jawaban dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Program for Social Science) versi 21.0 for Windows dan Microsoft Excel 2007 untuk mempermudah dalam proses pengolahan data. Hubungan antara persepsi dan partisipasi masyarakat dalam aktivitas kegiatan Kampung Budaya Sindang Barang terhadap modal sosial diolah menggunakan uji korelasi Rank Spearman untuk mengukur hubungan antar dua variabel berskala ordinal. Data kualitatif akan diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeleminasi
30
data-data yang tidak diperlukan sehingga dapat langsung menjawab perumusan masalah. Penyajian data yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Penyajian data berupa narasi, diagram, dan matriks. Penarikan kesimpulan merupakan hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. Instumen penelitian (kuesioner) yang baik harus memenuhi persyaratan yaitu valid dan reliabel. Untuk mengetahui validitas dan reliabilitas kuesioner perlu dilakukan pengujian atas kuesioner dengan menggunakan uji validitas dan uji reliabilitas. a.
Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakn indicator dari variabel. Reliablitas dukur dengan uji statistic cronbach’s alpha (α). Suatu variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai cronch’s alpha >0,06 (Imam Ghozali, 2007: 41) Tabel 7 Uji staistik reliabilitas Cronbach's Alpha .817
N of Items 40
Aturan dalam penentuan nilai alpha yaitu jika nilai alpha > 0.90 maka reliabilitas sempurna, jika nilai alpha 0.70> alpha >0.90, maka reliabelitas tinggi, jika nilai alpha 0.70
31
32
GAMBARAN UMUM Pada bab ini dipaparkan mengenai gambaran umum Desa Pasir Eurih, Kecamatan Pasir Eurih, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang akan dibagi menjadi beberapa sub sub. Sub bab tersebut adalah kondisi geografis, kondisi sosial demografi, dan kondisi ekonomi. Gambaran Umum Wilayah Desa Pasir Eurih Kondisi Georafis Penelitian ini dilakukan di kawasan Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Desa pasir Eurih terletak pada posisi geografis 06o37’10” – 06o38’40” LS dan 106 o 42’45” - 106 o47’25” BT dengan luas kawasan 316 ha. Berada pada ketinggian 350-500meter dpl. dan berjarak lima km dari kota Bogor atau 60 km dari kota Jakarta.Secara administratif Desa Pasir Eurih berbatasan dengan Kecamatan Ciomas disebelah utara, Desa Tamansari di sebelah selatan, Desa Sirnagalih di sebelahtimur, dan Desa Sukaresmi disebelah barat. Kampung Budaya Sindang Barang termasuk ke dalam wilayah administratif Desa Pasir Eurih dengan luas total kawasan tiga hektar dan saat inibaru dikembangkan seluas 8.600 m2. Batas kawasan dari Kampung Budaya Sindang Barang adalah area persawahan di sebelah utara, timur dan barat sertapermukiman penduduk dibagian selatan. Jalur sirkulasi menuju kawasan Kampung Budaya Sindang Barang dapatdicapai dengan berbagai bentuk alat transportasi darat (mobil kecil, sedang, busmini dan motor) dengan kondisi jalan beraspal mulai dari pintu masuk kecamatanhingga pintu masuk utama kawasan. Adapun kondisi jalan dari pintu masuk utamahingga memasuki kawasan berupa jalan berbatu, hal ini didasari konsep elemendari sebuah kawasan kampung budaya yang lebih berorientasi pada alam. Aksesibilas menuju kawasan dapat ditempuh melalui dua jalur aksesutama, yaitu jalur utara dan selatan. Jalur utara merupakan akses utama dari pintumasuk kecamatan dengan kondisi jalan yang sempit dan kawasan sekitar yangdipadati permukiman. Adapun jalur selatan dari arah Ciapus menjadi jaluralternatif dengan kondisi fisik jalan yang relatif sama namun memiliki kondisisekitar jalan yang lebih lenggang. Pada Gambar 7 dapat dilihat ilustrasi akses dansirkulasi menuju tapak. Berdasarkan gambar akses dan sirkulasi, bagi wisatawan luar Bogor sebelum menuju kawasan dapat mengakses melalui dua moda transportasi yaitutransportasi kereta api (stasiun) dan kendaraan bermotor (terminal). Kemudiandilanjutkan dengan mengikuti rute menuju kawasan utama. Untuk wisatawan yangmenggunakan jasa transportasi kereta api maka dapat dilanjutkan denganmengikuti angkutan umum trayek 02 (Sukasari-Bubulak) hingga berhenti di depanBogor Trade Mall (BTM) dan dilanjutkan dengan trayek 03/04 (Ramayan-SBR) berhenti di depan welcome gate Kampung Budaya Sindang Barang. Dari tuguselamat datang dapat dilanjutkan dengan berjalan kaki atau menggunakan jasatransportasi motor (ojek) hingga mencapai kawasan utama KBSB.
33
Kondisi Sosial Demografi Keadaan Penduduk Kampung Budaya Sindang Barang termasuk ke dalam wilayah administratif Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dan segi pemerintahan wilayah Desa Pasir Eurih pada tahun 2012 berjumlah 11.223 orang atau 2.667 KK dan terus akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan Tingkat Pendidikan Dari segi pendidikan, Desa Pasir Eurih memiliki tingkat pendidikan yang tergolong rendah. Jumlah penduduk yang belum bersekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi masih tergolong tinggi. Laju pertumbuhan pendidikan sebesar 12.3% atau 274 jiwa per tahun. Laju tersebut masih berada di bawah laju pertumbuhan penduduk yang rata-rata meningkat 313 jiwa per tahun, sehingga masih ada masyarakat yang tidak mengikuti pendidikan formal. Bila kondisi aktual saat ini terus dibiarkan maka kualitas pendidikan masyarakat di Desa Pasir Eurih akan semakin menurun. Berdasarkan prediksi jumlah masyarakat yang tidak bersekolah akan mengalami peningkatan hingga 7.288 jiwa (tahun 2010) dan 13.026 jiwa (tahun 2015). Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa tokoh masyarakat mengenai tingkat pendidikan di Desa Pasir Eurih, sebagian besar narasumber menyatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Hal ini terkait dengan faktor ekonomi dimana banyak masyarakat usia kerja yang lebih tertarik untuk bekerja di industri sandal dan sepatu dibandingkan melanjutkan sekolah. Paradigma masyarakat yang menganggap uang adalah yang utama berdampak pada pola kehidupan sosial yang tidak berkembang. Banyak dari masyarakat yang tidak berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Sangat sedikit dari masyarakat yang menerusakan sekolah ke tingkat SMP, SMA bahkan Universitas. Mayoritas dari mereka hanya selesai pada tingkat SD dan itu pun dalam jumlah yang sedikit. Hal ini dipengaruhi pula oleh pandangan mereka bahwa sekolah adalah untuk memperoleh uang, sehingga daripada menghabiskan waktu untuk melanjutkan sekolah lebih baik langsung memperoleh uang dengan bekerja. Kondisi demikian merupakan kendala bagi perkembangan kepariwisataan di kawasan tersebut, karena peran serta dari masyarakat sangat berpengaruh bagi terciptanya kondisi pariwisata yang ideal. Dengan kondisi masyarakat yang berpendidikan rendah dikhawatirkan tidak akan mampu menyesuaikan dengan kondisi wisatawan yang berpendidikan rata-rata lebih tinggi. Sehingga efektivitas dan efisiensi komunikasi antara wisatawan dan penduduk setempat sulit tercapai. Dengan demikian upaya pihak pengelola untuk memberdayakan masyarakat setempat dengan melakukan pendidikan dan pelatihan sangat dibutuhkan untuk memberikan pelayanan yang prima bagi pengunjung. Agama dan Kebudayaan Mayoritas penduduk Desa Pasir Eurih beragama Islam (90%) dan merupakan etnis Sunda. Masyarakat masih memegang sistem kekeluargaan yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat masih berlangsung tradisi-tradisi yang dapat mempererat hubungan
34
antar penduduk, seperti tradisi Tahlilan, Nadran, Nyaba, Akekahan, Rajaban, Maulidan, Tujuh Bulanan dan sebagainya. Dengan Mayoritas masyarakat berasal dari etnis Sunda akan memperkuat karakter Kampung Budaya Sindang Barang sebagai revitalisasi, replikasi, imitasi dan periode setting kawasan kampung budaya Sunda tempo dulu. Begitu juga dengan ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat setempat berdampak pada pila kehidupan sosial yang lebih agamis, ditambah dengan nilai budaya Sunda luhur yang masih dijalankan oleh sebagian besar sebagian besar masyarakat. Kondisi Ekonomi Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Desa Pasir Eurih adalahpetani dan pengrajin sandal-sepatu (home industry). Dalam hal ini telah terjadi perubahan aktivitas penduduk yang pada awalnya banyak berprofesi sebagaipetani, saat ini berpindah profesi menjadi pedagang dan pengrajin. Berdasarkandata profil desa diketahui bahwa terjadi perubahan profesi yang sangat signifikanpada profesi di bidang pertanian menjadi perdagangan dan industri dengan tingkat perubahan 23% atau sekitar 134 jiwa per tahun yang beralih profesi. Hal ini akan terus meningkat seiring menurunnya laju pertumbuhan pendidikan, dimanabanyak masyarakat yang tidak melanjutkan pendidikannya. Tabel 8 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Pasir Eurih Tahun 2014 Jenis Pekerjaan Jumlah 340 orang Wiraswasta/ Pengrajin Sepatu 279 orang Petani Pemilik Lahan 120 orang Buruh Tani 102 orang Bidang Jasa 95 orang Pegawai Swasta lainnya 61 orang Pegawai Pemerintahan 7 orang TNI / Polri 40 orang Pertukangan 10 orang Pensiunan Sumber: Data Monografi Desa Pasir Eurih Tahun 2014
Secara ekonomi penghasilan yang diperoleh dari bidang perdagangan danindustri dapat dikatakan jauh lebih menguntungkan dibandingkan bidangpertanian. Namun demikian bila melihat dari potensi alam yang dimiliki DesaPasir Eurih dengan sumber daya alam yang sangat melimpah, sangat disayangkanbila hal ini tetap berlangsung dan tidak dilakukan upaya pengendalian. Dengankondisi tersebut maka pengembangan usaha kepariwisataan di wilayah Desa PasirEurih menjadi salah satu solusi terbaik untuk menunjang ekonomi penduduk. Di samping itu dengan multiplier effect dari usaha kepariwisataan akan memacupertumbuhan sektor lainnya, khususnya industri kerajinan dan produk lokal masyarakat setempat (something to buy).
35
Gambaran Umum Kampung Budaya Sindang Barang (KBSB) Kesejarahan Kawasan Sejarah Kawasan Sindang Barang Sumber utama sejarah Sunda umumnya dan khususnya kawasan SindangBarang1 adalah sumber lisan atau lebih dikenal dengan nama Pantun2yangdibawakan oleh juru pantun dengan diiringi kecapi. Sang juru pantun akan menjelaskan alur sejarah dengan jelas dan mampu menceritakan dalam waktuyang cukup lama, tergantung cerita yang dibawakannya. Pada saat sang juru pantun akan menceritakan sebuah sejarah makasebelumnya dilakukan ritual dengan sesajian yang dipersembahkan bagi leluhur,hal tersebut dipercaya akan memberikan kekuatan ingatan dari sang juru pantundalam menceritakannya. Kepercayaan tersebut dapat terbukti dengan kondisi jurupantun yang sebagian besar tidak dapat melihat (buta) sehingga penglihatan secarabatin dan kekuatan ingatan yang digunakan ketika bercerita. Saat ini kampungadat yang masih memiliki juru pantun adalah kampung adat Sunda di LebakBanten (Badui) dan di Sukabumi (Pancer Pangawin). Adapun untuk Bogorsendiri sudah tidak memiliki juru pantun dan tidak ada yang menjadi penerusnya. Mengenai sejarah dari Sindang Barang terdapat dua sumber yangmenerangkan tentang sejarah kawasan Sindang Barang, yaitu menurut BabatPakuan3dan menurut Pantun Bogor. Nama Sindang Barang telah dikenal dantercatat dalam Babad Pakuan sebagai salah satu daerah penting kerajaan Sundadan Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan di kawasan Sindang Barang terdapatsalah satu keraton kerajaan yang merupakan tempat tinggal salah satu istri dariPrabu Siliwangi/Pamanah Rasa/Sri Baduga yang bernama Dewi Kentring ManikMayang Sunda. Adapun penguasa Sindang Barang saat itu adalah SurabimaPanjiwirajaya atau Amuk Murugul. Bahkan Putra Prabu Siliwangi dan KentringManik Mayang Sunda yang bernama Guru Gantangan lahir dan dibesarkan diSindang Barang. Adapun pusat dari kerajaan Pajajaran sendiri berada di wilayahCipaku, Batu Tulis dan Lawang Gintung. Menurut Pantun Bogor sejarah Sindang Barang dikenal dengan namaLembur Taman yang dibangun pada tahun 1611 oleh Mbah Camplang dan hinggasaat ini masih ada bukti keberadaannya. Pada jaman Prabu Wisnu Barata, LemburTaman dijadikan sebagai pusat perkembangan agama Sunda dan di kawasantersebut dibangun punden (bukit berundak) untuk sarana beribadah menurutagama Sunda. Oleh karena itu tidak mengherankan saat ini di Sindang 1
Hasil wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat Sindang Barang Pantun adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan (prolog), dialog dan seringkali dinyanyikan. Seni Pantun itu dilakukan oleh seorang juru pantun (tukang pantun) sambil diiringi alat musik kecapi yang dimainkannya sendiri.Pantun terdapat pula pada naskah kuno yang dituturkan oleh Ki Buyut Rambeng, yakni Pantun Bogor.(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pantun_Sunda) 3 Babad adalah cerita yang bertalian dengan sesuatu tempat atau kerajaan yang dipercaya sebagai sejarah. Sebagai pengaruh dari jawa, kebanyakan Babad ditulis dalam bentuk Wawacan, misalnya Babad Godog, Babad Panjalu, Babad Cirebon, Babad Banten, Babad Sumedang dan BabadPakuan. Ditinjau dari ilmu sejarah, Babad bukanlan bukti yang dapat dijadikan sumber sejarah, paling bisa hanya hanya sebagai perbandingan (Ensiklopedi Sunda, 2000). 2
36
Barangterdapat 94 titik sebaran situs purbakala dan baru 54 situs yang telahteridentifikasi dengan 33 buah situs berupa punden berundak4. Nama Sindang Barang memiliki dua arti, salah satu sumber menyatakansebagai tempat menyimpan barang. Hal ini terlihat dari arti dari masing-masingkata yaitu sindang berarti berdiam dan barang yang berarti benda. Adapunmenurut Pantun Bogor arti dari Sindang Barang yaitu meninggalkan kebisingandunia (menyepi). Pernyataan ini lebih mendekati karena pada kawasan SindangBarang banyak ditemukan situs-situs yang berupa punden berundak yang befungsisebagai tempat bersemedi (menyepi). Sejarah Terbentuknya Kawasan KBSB Kampung Budaya Sindang Barang (KBSB) terbentuk oleh inisiatif daribeberapa sesepuh (kokolot) di Sindang Barang yang memiliki kepedulian dankekhawatiran terhadap degradasi nilai budaya dari etnis Sunda (Kasundaan).5Atas dasar inilah maka pada tahun 2004 didirikan Padepokan Seni Sunda Giri Sundapura yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kampung Budaya SindangBarang. Keberadaan sanggar tersebut menjadikan seni Sunda yang terancam punah kembali terangkat dan kembali mendapat kepercayaan dari masyarakat. Banyak anak-anak dan remaja dari masyarakat setempat yang mengikuti program sanggar,dan puncaknya pada saat peringatan HUT RI ke-59 dimana masyarakat mulai mengenali dan mencintai kembali kesenian warisan leluhur yang hampir punah. Hal ini berdampak pada keinginan dari para Sesepuh untuk mencari dan menggali kembali nilai dan budaya lain yang pernah dilaksanakan di kawasan Sindang Barang. Hingga akhirnya beberapa sesepuh merekomendasikan Upacara Sedekah Guru Bumi (Seren Taun) dan berbagai tradisi, seni, dan kebudayaan lainnya untuk direvitalisasi. Dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan tidak selamanya berjalan dengan baik. Pro dan kontra mengenai revitalisasi Upacara Seren Taun berdampak pada kondisi masyarakat menjadi tidak kondusif. Upacara Seren Taun dipandang oleh beberapa tokoh masyarakat sebagai tradisi yang bukanberasal dari ajaran Islam, sehingga tidak sesuai untuk dilaksanakan di kawasanSindang Barang yang mayoritas beragama Islam. Namun akhirnya hal tersebut dapat dipahami oleh sebagian masyarakatdan Upacara Seren Taun dapat dilaksanakan secara akbar pada tahun 2006.Pelaksanaan Seren Taun tersebut menjadi berkah bagi para sesepuh SindangBarang, dimana Achmad Mikami Sumawijaya (ketua adat) diundang olehGubernur Jawa Barat Danny Setiawan untuk koordinasi mengenai kegiatan budaya di Sindang Barang. Pertemuan tersebut berakhir dengan penawaran danaoleh pihak Provinsi Jawa Barat kepada sesepuh Sindang Barang untukmengembangkan kawasan Sindang Barang sebagai kawasan wisata budaya. Penawaran tersebut ditindaklanjuti dengan dibangunnya Kampung BudayaSindang Barang yang dibangun di atas tanah seluas 8.600 m2 dengan fasilitasberupa 1 unit Imah Gede (rumah ketua adat), 1 unit Girang Seurat (sekretariat), 2unit Imah Kokolot (rumah sesepuh adat), 6 unit Imah Warga 4
Hasil penelitian DR. Agus Arismunandar dari Fakultas Ilmu dan Bahasa Universitas Indonesia (Sumber: http://kp-sindangbarang.com). 5
Hasil wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat Sindang Barang.
37
(rumah penduduk), 1unit Bale Pangriungan (aula), 1 unit Imah Talu (tempat kesenian), 6 unit SaungLeuit (lumbung padi), 1 unit Saung Lisung (tempat menumbuk padi), 1 unit Pawon (dapur), 2 Tampian unit (kamar mandi), dan fasilitas penunjang lainnya seperti jalan beraspal. Dalam penentuan letak Kawasan Kampung Budaya Sindang Barang dan pembangunan fisik bangunan-bangunan adat didasarkan pada tuntunan dari Anis Djatisunda6yang bersumber dari Pantun Bogor. Dalam tata letak kawasandiharuskan tempat yang akan dijadikan sebagai kawasan Kampung BudayaSindang Barang adalah tempat yang berada di daerah tinggi sebagai penghormatan bagi ketua adat. Selain itu tempat yang akan dijadikan sebagai kawasan kampung adat harus berada diantara dua aliran sungai dan tentunya memiliki keterkaitan yangkuat dengan sejarah Sunda tempo dulu. Dengan ketentuan demikian, makaditetapkan desa Pasir Eurih sebagai kawasan Kampung Budaya Sindang Barangkarena berada di daerah yang tinggi dan diapit oleh dua aliran sungai, yaituSungai Ciapus dan Sungai Ciomas selain memang sebagian besar tanah milik keluarga Sumawijaya berada di daerah Sindang Barang terutama desa Pasir Eurih. Keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang tidak terlepas darikeberadaan dua kampung adat yang hingga saat ini masih terjaga kelestariannya,yaitu Kampung Adat Lebak Banten dan Kampung Adat Cipta Gelar Sukabumi.Kedua kampung tersebut merupakan kampung adat Sunda yang hingga saat inimasih menggunakan adat istiadat dan kebudayaan Sunda dalam kehidupan masyarakatnya. Berdasarkan sejarah7, Kampung Adat Cipta Gelar dan Kampung AdatLebak Banten dibentuk akibat penyerangan kerajaan Banten, Demak dan Cirebon terhadap kerajaan Pakuan Pajajaran yang menyebabkan larinya raja dan parapanglimanya ke beberapa kawasan di Jawa. Diantara pasukan Raja Pajajaran yangmelarikan diri, terdapat pasukan pengawal raja (Pancer Pangawin) yangmelarikan diri ke kawasan Pakidulan dan diantara meraka empat pasukan kembalike Bogor dan sisanya tetap tinggal di Pakidulan (Sukabumi) hingga berkembangmenjadi Kampung Adat Sunda Cipta Gelar. Keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang saat ini merupakan upaya revitalisasi dan pembangunan fisik berupa replikasi dan imitasi untuk menampilkan periode setting dari perkampungan tradisional Sunda tempo duluyang pernah ada di Sindang Barang Kabupaten Bogor. Adapun untuk upayarevitalisasi, dilakukan terhadap pelestarian dan pengembangan nilai-nilai sejarahdan budaya yang tinggi dari kawasan Sindang Barang. Nilai-nilai tersebuttercermin secara tangible berupa pola permukiman (termasuk didalamnya aspekkosmologi), kesenian dan elemen fisik sejarah serta budaya lainnya, maupunintangible dalam pola kehidupan sosial masyarakat.
6
Anis Dajtisunda atau lengkapnya Anis Johanis Djatisunda (Sukabumi, 7 Mei 1939) merupakan seorang seniman, pengarang lagu dan tokoh budaya Jawa Barat. Beliau aktif di dalam sandiwara, karawitan, musik, pencak dan kesenian rakyat tradisional (Ensiklopedi Sunda, 2000). 7
Hasil wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat Sindang Barang .
38
Pola Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Struktur Kelembagaan Kampung Budaya Sindang Barang merupakan sebuah kawasan hasil rekontruksi dari perkampungan etnis Sunda yang dulu pernah tinggal di kawasan Sindang Barang. Dengan demikian struktur kelembagaan yang ada saat ini masih mengikuti kelembagaan yang telah melembaga dan merupakan hasil musyawarah para sesepuh dan tokoh masyarakat Sindang Barang. Dalam penentuan struktur kelembagaan sebuah kampung adat diperlukan syarat-syarat bagi yang akan dicalonkan8 , seperti untuk seorang Kokolot (sesepuh adat) disyaratkan harus merupakan orang asli Sindang Barang dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai sejarah dari Sindang Barang. Khusus untuk penentuan Pupuhu (ketua adat) yang akan menjadi pemimpin dari sebuah kampung adat haruslah memiliki jiwa kepemimpinan yang baik sebagai tauladan bagi masyarakat. Dalam hal ini untuk menentukan seorang Pupuhu maupun penerusnya, terdapat syarat dan ketentuan yang harus dijalankan. Diantaranya adalah penerus kedudukan kepala adat ditetapkan secara adat dimana penerus harus memiliki keturunan darah dengan ketua adat sebelumnya, yang berkedudukan sebagai penerus ketua adat lebih diutamakan anak kandung lakilaki dari ketua adat, dan bila tidak memiliki anak laki-laki, maka dapat diwariskan kepada saudara laki-laki sedarah. Penetapan pewaris tidak selalu diberikan kepada anak laki-laki paling tua, namun tergantung dari ciri yang secara budaya menentukan orang tersebut sebagai pewaris ketua adat. Dalam sejarahnya, bila ketua adat akan mewariskan kedudukannya kepada pewarisnya, maka sebelum hari penentuan akan terlihat cahaya putih yang dipercaya sebagai simbol karuhun yang menuju salah satu rumah dari anak lakilaki ketua adat. Dari petunjuk itu dapat ditetapkan anak laki-laki tersebut yang akan menjadi pewaris sebagai ketua adat selanjutnya. Disamping itu kesiapan daricalon pewaris menjadi salah satu penentu ditetapkannya sebagai pewaris ketua adat.
Gambar 2 Struktur Organisasi Pengelola Kampung Sindang Barang
8
Hasil wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat Sindang Barang .
39
Secara struktur adat Kampung Budaya Sindang Barang dipimpin oleh seorang ketua adat (Sang Rama) dengan didukung seperangkat pengurus adat yang terdiri dari Serat, Sang Ambu, Ambu Sukla, Pre Ambu, Panengeun, Pangiwa,Panengkes, Kukuh, Jaba, Pamatang, Pangawin, Bareusan dan Panglarap. Sang Rama merupakan pemimpin dari sebuah kampung adat, di Kampung Budaya Sindang Barang ketua adat dipegang oleh Achmad Mikami Sumawijaya yang merupakan cucu dari Etong Sumawijaya (Sesepuh Sindang Barang). Adapun dalam menjalankan kebijakan, disosialisasikan oleh Panengkes yang terdiri dari para sesepuh adat. Kebijakan tersebut dijalankan untuk disosialisasikan lebih lanjut ke masyarakat oleh Kukuh dan Jaba untuk masalah pertanian, Pamatang untuk peternakan, Pangawin untuk masalah keamanan keluarga Pupuhu, Bareusan untuk keamanan luar dan Panglarap untuk masalah umum. Saat ini Kampung Budaya Sindang Barang belum menjadi sebuah kampung adat secara utuh, karena syarat untuk menjadi sebuah kampung adat sangatlah berat. Diantaranya dalam sebuah kawasan kampung adat harus dihuni oleh masyarakat adat yang hidup sesuai dengan aturan adat, dan ini belum tercermin dalam kehidupan keseharian di Kampung Budaya Sindang Barang. Elemen Lanskap Budaya Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Ukat selaku pengelola Kampung Budaya Sindangbarang, banyak terdapat budaya lokal yang menjadi ciri khas Sindang Barang, diantaranya Seren Taun (Sedekah Guru Bumi Singang Barang) dan Parebut Seeng (berebut seeng). Kedua upacara tersebut memiliki nilai budaya yang sangat tinggi dan perlu dilestarikan keberadaannya, sehingga karakteristik budaya Sindang Barang akan tetap ada dan lestari. Selain itu, beberapa ritual yang dari dulu hingga saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Sindang Barang diantaranya Runjakeun, Majikeun Pare, Serbet Kasep, Rengkong dan Angklung Gubrak. Beberapa elemen lanskap budaya yang menjadi ciri khas dari kawasan Sindang Barang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu ritual, adat (tradisi) dan kesenian. Berikut merupakan penjelasan dari beberapa elemen lanskap budaya di kawasan Sindang Barang: a. Ritual 1. Rengkong, merupakan ritual yang dilakukan ketika mengambil padi hasil panen menuju lumbung padi (leuit). 2. Majikeun Pare, merupakan ritual yang dilakuakan ketika menyimpan padi hasil panen ke dalam leuit (lumbung). 3. Runjakan, merupakan ritual melak menyan (menyimpan menyan) di dalam tempat beras (padaringan atau goah). Ritual tersebut dilakukan sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi untuk Sanghyang Dewi Sri. 4. Serber Kasep, merupakan ritual yang diadakan sebelum dilaksanakan khitanan masal bagi anak-anak masyarakat Sindang Barang.
40
b. Adat 1. Ungkal Biang (Batu Induk) Upacara Ungkal Biang merupakan upacara peletakan batu pertama atau tugu peringatan yang biasa dilakukan sebelum berdirinya kampung adat Sunda ditataran adat Sunda. Tujuan dari upacara adalah sebagai batu peringatan dan lambang persatuan kampung budaya dan dilakukan satu kali untuk selamanya. Untuk menentukan batu induk yang akan dijadikan tugu peringatan kampung budaya ada tidak dapat ditentukan dengan mudah. Ada beberapa kriteria yang harud dipenuhi sebagai Batu Induk. Diantaranya adalah batu Ungakal Beuneur atau padat berisi dengan panjang minimal 1,5 meter dan brbentuk agak pipih (Gambar 3).
Gambar 3 Batu Ungkal Beuneur Dalam proses menempatkan Ungkal Biang, sebelumnya dilakukan beberapa upacara ritual. Diantaranya batu yang didapat dari Sungai Cipakali diiringi oleh warga setempat dengan iringan angklung dan tumprng sebanyak tujuh buah. Pengangkutan dengan perjalanan yang cukup jauh dari tempat ditemukannya batu menuju kampung budaya harus dilakukan secara bergotong royong, sehingga akhirnya batu diletakkan di samping Imah Gede. Sebelum diletakkan, beberapa sesaji telah disimpan oleh pemuka adat yang terdiri dari tujuh macara rujakeun (buah aren, pisang emas, kelapa muda, asem, gula merah dan jambu klutuk), kemenyan, daun sirih, kapur sirih, bubur merah putihda ditambah air tujuh rupa. Dalam upacara tersebut, suasana mistis cukup terasa, terutama ketika proses mengelilingi Ungkal Biang dengan memegang ayam putih sebanyak tiga kali. Adapun filosof dari pemilihan ayam putih yang dijadikan mediator upacara adalah jika masih ada energi negatif dalam batu diharapkam jangan mengganggu manusia, tetapi mengganggu ayam. Setelah dibacakan doa kemudian air di dalam kendi dibasuhkan kepada Unggal Biang untuk mengusir energi negatif
41
yang ada di dalam batu dan dipindahkan ke mediator berupa ayam putih. 2. Parebut Seeng Parebut Seeng merupakan adat yang khas dari kawasan Sindang Barang yang dilakukan ketika acara pernikahan sebelum ijab kabul. Seeng merupakan alat masak khas Sindang Barang yang menjadi alat utama upacara Parebu Seeng. Upacara ini dilakukan ketika calon pengantin laki-laki akan meminang calon perempuan, dalam pelaksanaannya kedua belah pihak mengirim jawara (jagoan) yang akan saling bertarung. Ketika pertarungan berlangsung, setiap jawaradari pihak calon pengantin perem[uan mempertanyakan kesiapan dan kepantasan calon laki-laki untuk meminang. Jagoan dari pihak laki-laki yabg akan mempertahankan seeng, sedangkan jagoan pihak perempuan harus merebut seeng. Dalam adat tataran Sunda seseungguhnya, pihak laki-laki yang diperebutkan wanita. Jika seorang wanita ingin dinikahi oleh seorang laki-laki, dia harus memiliki jawara yang handal untuk merebut seeng dari pendekar laki-lak. Menurut ketua adat, dalam tataran Sunda laki-laki sangat berharga. Walaupun jelek, laki-laki akan menjadi kepala rumah tangga. Begitu dengan seeng,sejelekjeleknya seeng pasti banyak manfaatnya. Adapun kepastian dilaksanakannya pernikahan akan ditentukan bila jawara dari calon perempuan dapat menepuk seeng milik jawara dari calon laki-laki, dan bila gagal aka pernikahan akan ditangguhkan untuk sementara waktu. Upacara ini telah menjadi adar bagi masyarakat Sindang Barang yang akan melaksanakan pernikahan, namun saat ini upacara Parebut Seeng sudah jarang dilakukan karena pengaruh budaya luar yang semakin kuat dan pandangan negatif dari masyarakat terhadap budaya tersebut karena sulitnya syarat-syarat yang harus dipenuhi. Sehingga untuk saaat ini, upacara Parebut Seeng hanya dilakukan sebagai upacara hiburan dengan tanpa melaksanakan ritual-ritual namun tetap mencirikan sebagai warisan budaya leluhur Sindang Barang (Gambar 4).
Gambar 4 Kesenian Parebut Seeng
42
3. Seren Taun Sindang Barang Seren Taun Sindang Barang merupakan adat dari masyarakat Sindang Barang yang telah dilakukan secara turun temurun dan menjadi warisan dari leluhur Sindang Barang. Seren Taun dilakukan sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi yang telah diberikan Tuhan. Dalam sejarahnya Seren Taun telah melalui dua masa pengaruh ajaran agama, yaitu agama Sunda dan agama Islam. Hal ini dapat telihat dalam beberapa proses pelaksanaanya, seperti penentuan bulan pelaksanaan yang awalnya dilakukan sesuai penanggalan Pajajaran yang dirubah menjadi bulan Muharran sesuai dengan penanggalan Islam (Hujriyah). Selain itu dapat terlihat juga dari doa dan bacaan yang dibacakan ketika upacara ritual telah menggunakan doa dan bacaan sesuai dengan syariat Islam, begitu juga dengan proses Ngarak Munding ( menuntun kerbau) yang telah menghilangkan tradisi mengubur kepala kerbau dan melemparinya dengan uang dan diganti menjadi lebih bermanfaat membagikan seluruh bagian kerbau untuk pihak yang lebih berhak menerimanya. Seren Taun dilakukan selama enam hari dimulai pada hari Senin dan berakhir pada hari Minggu di bulan Muharram, dan dilakukan berbagai kegiatan yang mencakup ritual, adat serta kesenian. Berikut merupakan rangkaian upacara Seren Taun yang dilakukan di Sindang Barang umumnya dan khususnya di Kampung Budaya Sindang Barang: a) Hari Pertama (Senin) Dilakukan kegiatan Netepkeun Iman (teguhkan iman) yang dilakukan oleh seluruh kokolot (sesepuh) dipimpin oleh pemuka agama islam (ustadz) dilingkungan Sindang Barang. Kegiatan tersebut dilakukan untuk memberikan pesan bagi para kokolot akan makna dari Seren Taun agar terlepas dari perbuatan yang tidak biak seperti iri, dengki, takabur, dsb. b) Hari kedua (Selasa) Dilakukan kegiatan ziarah ke makam leluhur dan tempat-tempat yang dikeramatkan seperti makam Mbah Jamaka, Mama Haji Ali, dsb. c) Hari ketiga dan Keempat (Rabu dan Kamis) Dilakukan kegiatan khitanan masal yang diawali dengan pawai pengantin sunat (ngarak penganten) dan ritual Serbet Kasep bagi anak-anak masyarakat Sindang Barang. d) Hari kelima (Jumat) Dilakukan upacara pengambilan air dari tujuh mata air yang dikeramatkan untuk dikumpulkan menjadi satu tampayan (dalam tampayan) yang melambangkan persatuan (siloka) dan dipercaya menjadi air suci yang memberikan banyak manfaat bagi yang menggunakannya. Ketujuh mata air tersebut adalah mata air Cipali, Cimaeja, Cikubang, Cimalipah, Jalatunda, Ciputri dan Cieming.
43
e)
f)
Setelah dilakukan upacara pengambilan tujuh mata air, kemudian pada malam harinya dilakukan kegiatan ceramah keagamaan (tausyah) yang dibawakan melalui kesenian bafi seluruh masyarakat Sindang Barang. Hari keenam (Sabtu) Diadakan upacara Sedekah Kue dimana dalam pelaksanaanya dilakukan ijab kabul (ngijabkeun), Sedekah Kue dan Pecah kue. Dalam upacara ini masyarakat berbondong-bondong menyedekahkan bermacam-macam kue yang nantinya akan disedekahkan untuk masyarakat lainnya. Makanan tradisional yang biasa disajikan dalam upacara Sedekah Kue berjumlah 40 tampan/nyiru yang terdiri dari ranginang, jipang, dodol, bubur suro (40 jenis bahan dibuat satu), dan sebagainya. Dalam upacara Pecah Kue Sang Ambu mengiris dodol sebagai simbol pemecahan masalah dan nantinya dibagikan kepada masyarakat. Selain upacara Sedekah Kue, dilakukan juga riungan para sesepuh adat untuk merapatkan helaran yang akan dilaksanakan keesokkan harinya. Setelah riungan selesai selanjutnya dilakukan upacara Ngarak Munding (mengarak kerbau) yang dijadikkan simbol makhluk besar dan bodo diselimuti lawon bodas (kain putih) yang berart suci dan dirunitui kembang (dikalungi kembang) yang berarti harum. Setelah kerbau diarak mengelilingi kampung kemudian disembelih di lapangan dan dagingnya sebagian disedekahkan kepada masyarakat setempat dan sisanya disajikan dalam resepsi. Hari keenam ditutup oleh pagelaran berbagai macam kesenian tradisional dan biasanya dilakukan hingga larut malam. Hari ketujuh (Minggu) Merupakan puncak upacara Seren Taun yang diawsli HelaranNgarak Dondang (pawai hasil bumi), ritual Majikeun Pare (ritual menyimpan padai ke dalam lumbung) yang diawali dengan menyimpan pare rama (padi ayah) dan pare ambu (padi ibu) yang dilanjutkan padi rakyat. Upacara seren taun ditutup oleh pembacaan doa keselamatan oleh pemuka agama yang dilanjutkan oleh prosesi Parebut Dongdang (berebut isi dongdang). Dalam prosesi, masyarakat yang telah berkumpul dilapangan dipersilahkan untuk mengambil berbagai macam makanan yang tersedia di dalam dongdang. Setelah prosesi selaesai dilanjutkan dengan pagelaran seni tradisional seperti Rengkong, Angklung Gubrag, Calung, Gendang Penca, Reog dan penampilan dari paea tamu undangan. Setelah semua rangkaian acara selesai maka selesai pula upacara Seren Taun yang diadakan selama sepekan.
44
Gambar 5 Prosesi seren taun
c. Kesenian 1. Angklung Gubrag Angklung Gubrag merupakan perangkat angklung yang ditabuh terutama sehubungan dengan ritual penanaman padi. Dipercaya oleh masyarakat adat Sunda dapat memepersubur pertumbuhan padi. Angklung Gubrag terdiri dari sembilan buah angklung yang besarnya berurutan dan dua buah Dogdog Lojor, yaitu 3 buah angklung kecil (Roel) salah satu dipegang oleh dalang; 2 buah angklung Kurulung, 2 buah angklung Engklok, 2 buah angklung Gangling, 2 buah angklung Dogdog Lojor yang berfungsi sebagai gendang.
45
Gambar 6 Kesenian Angklung Gubrag
Permainan Angklung Gubrag terdir dari tiga adegan, yaitu: (1) Iring-iringan dimana rombngan menabuh Angklung Gubrag sambil berjalan. Lagu yang dinyanyikan yaitu Goyong-goyong yang memberi kesan kegagahan. (2) Nyanyian yang tidak selamanya diiringi angklung. Dalang menyanyi sambil berjongkoj dan angklung ditabuh sambil berdiri, lagu yang pertama Adulilang Sri Lama (ditujukan kepada Dewi Sri), lagu kedua Kidung Sulanjana yang liriknya mengenai pendidikan budi pekerti bernafaskan dan (3) Ngadu (bertanding) dimana semua pemain berdiri sambil menabuh tapi tidak menari. Dalam pertandingan ini yang bergerak hanyalah penabuh Dogdog Lojor. Penabuh diharuskan menyentuk kulit Dogdog lawannya sambil menabuh Dogdog masing-masing. Angklung Gubrag dimainkan pada upacara Seren taun, ritual sebelum menanam padi (nandur) atau pada acara hajatan keluarga, perhelatan hari raya, dll. 2. Pencak Silat Cimande Nama Cimande merupaka nama tempat diperbatasan Bogor dengan Sukabumi. Karena lahir ditempat itu maka gaya Penca ciptaan Abah Kohir yang tinggal di Cimande sehingga akhirnya disebut Gaya Cimande. Keistimewaan dari Cimande ialah pada kekuatan memukul dan menahan, jarang menghindar. Setiap serangan dibalas dengan serangan pula. Jurus dasar Cimande sangat sederhana dimana banyak mempergunakan gerak tangan daripada gerak kaki, dan lebih banyak bergerak di atas dengan sikap tangan terbuka. Pada dasarnya gaya Cimande lebih banyak mempergunakan gerak tangan Baplang (posisi tangan terbuka). Diantara para pendekar Cimande Bah Ace (alm), Bah Surma, Bah Soleha, Eyang haji Somad, dan Uyuh Suwanda. 3. Rengkong
46
Rengkong merupakan kesenian khas Sindang Barang yang dilakukan setiap upacara Seren Taun. Dalam kesenian ini para pemain memikul padi yang telah dipanen dan menggoyanggoyangkan pikulannya sehingga menghasilkan bunyi yang indah (gambar 7).
Gambar 7 Kesenian Rengkong
47
48
INTERVENSI AKTIVITAS PEMBANGUNAN PARIWISATA BUDAYA Menurut Oppenheim Lauterpacth (1996) intervensi adalah campur tangan ditaktor oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara dan mengubah keadaan, situas, atau barang di negeri tersebut. Sir William Harcout (dalam Putra 2015) mengemukakan bahwa intervensi merupakan suatu masalah yang lebih dekat kaitannya dengan kebijakan dibandingkan dengan hukum. Intervensi berada jauh di atas dan di luar jangkauan hukum (bila dilaksanakan oleh pihak yang memiliki kekuasaan dimaksudkan untuk mendapat pengaruh daripadanya) dan merupakan kebijakan tingkat tinggi yang berkaitan dengan keadilan dan kemanusiaan. Pembangunan Kampung Budaya Sindang Barang berdiri pada Tahun 2007. Kampung Budaya Sindang Barang termasuk ke dalam wilayah administratif Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Keberadaaan Kampung Budaya Sindang Barang menajadi kebanggan tersendiri bagi masyarakat Bogor pada umumnya dan khususnya bagi masyarakat Desa Pasir Eurih. Masyarakat yang berada di Kampung Budaya Sindang Barang merasa biasa bahkan tidak merasakan dampak positif dari keberadaan Kampung Budaya tersebut. Namun demikian sebagianbesar penduduk setempat mempunyai akseptabilitas dan apresiasi yang tinggi terhadap keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang. Kurangnya informasi dan pemahaman masyarakat terhadap kekayaan obyek dan daya tarik wisata serta manfaat dari usaha kepariwisataan menjadi faktor penghambat penerimaan KBSB sebagai daerah tujuan wisata. Adapun dampak negatif dari keberadaan kampung budaya diantaranya adalah turunnya eksistensi kepemilikan lahan oleh masyarakat lokal terutama pada lahan yang berada di sepanjang jalan akibat adanya pembenahan jalur akses menuju kampung budaya. Selain itu, akibat lancarnya arus distribusi hasil industri yang berdampak pada lancarnya penerimaan pendapatan, maka banyak dari masyarakat usia kerja yang lebih memilih bekerja di bidang industri dibandingkan pertanian terlebih di bidang budaya, ini disebabkan karena bekerja dibidang industri paling menjanjikan (instan), sehingga belum banyak masyarakat yang mendapatkan penghasilan langsung dari pariwisata. Di samping itu semua, karena peran Kampung Budaya Sindang Barang yang dirasa begitu vital dalam melestarikan nilai budaya Sunda, maka peran aktif dari masyarakat setempat perlu dibina untuk bersama membangun dan menjaga keletarian dari budaya mereka. Dengan demikian persepsi yang positif dari masyarakat akan semakin meningkat dan tentunya menunjang terhadap keberlanjutan dari usaha kepariwisataan di kawasan Kampung Budaya Sindang Barang yang optimal. Pemerintah Daerah telah membuat kebijakan untuk mengembangkan potensi pariwisata dikhususkan untuk Desa Pasir Eurih yang cukup menjanjikan. Tujuan dari pengembangan sektor pariwisata adalah peningkatan kehidupan sosial, ekonomi, budaya juga kelestarian lingkungan. Namun demikian dalam pengembangan sebuah kawasan wisata perlu direncanakan dan dirancang sebaik mungkin sehingga dapat memberikan dampak positif yang optimal dan pengurangan dari dampak negatif. Oleh karena itu dalam pengembangannya tetap
49
mengacu pada asas penyelenggaraan kepariwisataan yang telah diatur dalam UU No.10 tahun 2009, yaitu: manfaat, kekeluargaan, adil merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan dan kesatuan. Jelaslah dalam hal ini bahwa dalam setiap pengembangan kawasan wisata, partisipasi masyarakat terutama masyarakat lokal pelu diikutsertakan secara aktif dalam setiap proses pengembangan, sehingga output yang dihasilkan tidak hanya bemanfaat bagi pihak pengembang namun juga bagi kesejahteraan masyarakat. Dan inilah yang perlu dilakukan dalam pengembangan kawasan wisata di Kampung Budaya Sindang Barang sebagai salah satu obyek wisata budaya andalan di Kabupaten Bogor seperti di tuliskan pada PNPM Mandiri Pariwisata Tahun 2014 Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang merencanakan kegiatan sosialisai tentang potensi desa wisata yang akan memberikan manfaat pada masyarakat secara berkelanjutan, Membentuk kelompok-kelompok sadar wisata atau warga desa yang tertarik dengan program desa wisata, sesuai dengan potensi wisata yang ada di daerah tersebut, serta mengembangkan unsur-unsur pendukung wisata, yakni berupa pelatihan ketrampilan tertentu yang dibutuhkan bagi masyarakat, misalnya keterampilan pemandu wisata, kerajinan tangan, kuliner untuk oleh-oleh, serta mempertahankan keaslian sumber daya desa wisata mengenai keadaan alam, persawahan, lingkungan hidup, sosial budaya, seni budaya, sosial ekonomi maupun arsitektur bangunan asli.
50
MODAL SOSIAL KOMUNITAS DESA PASIR EURIH Pembahasan modal sosial ini difokuskan pada kepercayaan, norma dan nilai, jaringan, serta peranan yang menciptakan dan memperkuat kesaling ketergantungan positif dan mendorong meningkatnya harapan akan aliran manfaat yang dapat dirasakan oleh komunitas masyarakat maupun pengelola Kampung Budaya Sindang Barang di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Modal Sosial digunakan untuk menjelaskan pengaruh tingkat aktivitas pembangunan pariwisata budaya terhadap kepercayaan, norma serta nilai, dan jaringan. Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat modal sosial Kampung Budaya Sindang Barang pada masyarakat di Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 Modal Sosial Kategori Jumlah Persentase (n) (%) Kepercayaan Rendah 9 20.0 Tinggi 36 80.0 Norma dan Nilai Rendah 20 44.4 Tinggi 25 55.6 Jaringan Rendah 24 53.3 Tinggi 21 46.7 45 100.0 Total (n)
Kepercayaan Kepercayaan dari individu atau kelompok, secara potensial dapat mempengaruhi anggota untuk terlibat dalam tindakan kolektif karena kepercayaan itu mengurangi ketidakpastian tentang kemungkinan perilaku orang lain atau terhadap imbalan dari sebuah kolaborasi kepercayaan memastikan individu akan mendapatkan sesuatu dari orang lain. Tabel 15 berikut menjadi indikator masyarakat lokal dalam pengelolaan aktivitas Kampung Budaya Sindang Barang. Table 10 Jumlah responden berdasarkan pernyataan tentang tingkat kepercayaan masyarakat di Dusun Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 Indikator Tingkat Kepercayaan Masyarakat
Pernyataan Kepercayaan terhadap pengelola dalam pemeliharan lingkungan Kepercayaan dalam berkomunikasi tentang pembangunan kampung budaya Kesediaan dalam kerja sama Kesediaan dalam bergotong royong memelihara lingkungan Kesediaan untuk bekerja sama dengan pengelola
Jumlah Responden Pada Setiap Pernyataan Ya Tidak 32 13 14 31 31 39 34
14 6 11
Komponen indikator tingkat kepercayaan merupakan gambaran hubungan masyarakat dengan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang dengan
51
pengharapan yang muncul dalam perilaku jujur dan kooperatif. Berdasarkan penjelasan di Tabel 15, terdapat pernyataan yang membuat responden tidak memiliki rasa kepercayaan. Pernyataan tersebut antara lain kepercayaan dalam berkomunikasi tentang pembangunan kampung budaya, dari pernyataan tersebut terdapat 31 responden. Masyarakat merasa pembangunan di dalam Kampung Budaya Sindang Barang tidak adanya informasi atau tidak ada pertemuan khusus oleh masyarakat. Seperti hasil data kualitif yang diungkapkan oleh beberapa responden sebagai berikut: “…rencana pembangunan seperti vila di dalam Kampung Budaya mah kita gak pernah dikasih tau, kita mah taunya udah ada. Takutnya sih neng kalo ada vila gitu takut ada apa-apa.” (IYA, 34 Tahun).
20% Rendah Tinggi 80%
Gambar 8 Persentase responden berdasarkan tingkat kepercayaan di Dukuh Menteng RT 02/08 Desa Pasir Eurih Berdasarkan pernyataan yang telah dipaparkan pada Tabel 14, jika dilihat dari penilaian kepercayaan pada responden, masyarakat memiliki rasa percaya jika menjalin kerjasama, bergotong royong memelihara lingkungan di sekitar Kampung Budaya dan bekerja sama mengelola memelihara kelestarian Kampung Budaya. Ketersediaan ini ditunjukan pada tingkat kepersayaan masyarakat lokal yang masing-masing tergolong tinggi sebesar 80 %. Pihak masyarakat bersedia berkoordinasi dalam melestarikan budaya di Desa Pasir Eurih jika pihak pengola melakukan komunikasi dan kerjasama. “…Kerjasama untuk melestarikan budaya, sebetulnya ada dan masyarakat bersedia, namun jika dalam pembangunan bangunan didalam kami belum pernah tau ada musyawarah seperti itu.” (YYH, 46 Tahun). Norma dan Nilai Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapanharapan dan tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standarstandar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan diterapkan untuk
52
mendukung iklim kerjasama (Putnam 1993 dalam Suharto 2006). Norma-norma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial. Norma dan nilai diukur melalui akumulasi indikator dari pernyataan aspek kesepakatan aturan yang dibentuk antar warga dan pengelola kampung budaya, norma sunda yang berlaku di wilayah masyarakat Desa Pasir Eurih diterapkan dengan baik, norma yang berlaku dimasyarakat diterapkan oleh pengelola Kampung Budaya Sindang Barang, nilai yang berlaku diwarga sekitar diterapkan oleh pengelola Kampung Budaya Sindang Barang dan sanksi yang berlaku apabila menlakukan penyimpangan nilai dan norma. Tabel 11 Jumlah responden berdasarkan pernyataan tentang tingkat nilai dan norma masyarakat di Dusun Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 Indikator Tingkat Nilai dan Norma Masyarakat Jumlah Responden Pada Setiap Pernyataan Pernyataan Ya Tidak Kesepakatan aturan yang dibentuk antar warga dan pengelola 10 35 kampung budaya Norma sunda di wilayah ini diterapkan dengan baik 32 13 Norma yang berlaku di warga sekitar diterapkan oleh pengelola 29 16 kampung budaya sindang barang Nilai yang berlaku di warga sekitar diterapkan oleh pengelola 27 18 kampung budaya sindang barang Sanksi bila melakukan penyimpangan nilai maupun norma sunda 9 36 Berdasarkan Tabel 16 menunjukan bahwa pernyataan mengenai pengetahuan dan pemahaman pada awal dibentuk kesepakatan aturan yang diketahui memiliki nilai rendah 35 responden tidak mengetahui dan paham terhadap aturan, baik tertulis berupa peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah terkait pengelolaan Kampung Budaya. Selain itu, terdapat 36 responden yang tidak lagi memerhatikan sanksi terhadap penyimpangan yang terjadi, ini menunjukan bahwa warga masyarakat tidak memilik aturan tertentu bagi masyarakat . Kepatuhan masyarakat terhadap aturan nilai dan norma yang menyimpang sudah mulai luntur karena adanya budaya asing yang masuk serta teknologi yang semakin maju menggeser kebudayaan lokal yang ada di Desa Pasir Eurih.
53
44% 56%
Rendah Tinggi
Gambar 9 Persentase responden berdasarkan tingkat kepercayaan di Dukuh Menteng RT 02/08 Desa Pasir Eurih Gambar 9 menggambaran pemaparan Tabel 11, sebagian besar masyarakat (56%) masih menjungjung tinggi nilai dan norma. Adanya pedoman lisan yang terkait norma dan nilai, masyarakat masih berpedoman dengan berlakunya nilai dan norma yang berlaku terkait dengan budaya sunda, seperti bahasa dan tradisi yang masih berlaku dan dipegang terguh oleh masyarakat. Tidak hanya aturan tertulis yang berlaku di pengelolaan Kampung Budaya Sindang Barang, tetapi aturan nilai dan norma yang berlaku di patuhi dengan baik terkait dengan melestarikan kebudyaan sunda. Jaringan Menurut Coleman (1998) jaringan sosial merupakan sebuah hubungan sosial yang terpola atau disebut juga pengorganisasian sosial. Jaringan sosial juga menggambarkan jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang saling terkait baik langsung maupun tidak langsung. Membahas jaringan sosial, tentu saja tidak bisa terlepas dari komunikasi yang terjalin antar individu (interpersonal communication) sebagai unit analisis dan perubahan prilaku yang disebabkannya. Hal ini menunjukkan bahwa jaringan sosial terbangun dari komunikasi antar individu (interpersonal communication) yang memfokuskan pada pertukaran informasi sebagai sebuah proses untuk mencapai tindakan bersama, kesepakatan bersama dan pengertian bersama (Rogers & Kincaid 1980).
54
Table 12 Jumlah responden berdasarkan pernyataan tentang jaringan di Dusun Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 Indikator Tingkat Jaringan Masyarakat
Pernyataan Masyarakat memiliki rasa untuk bergotong royong dalam pembangunan wisata Masyarakat ikut bekerjasama dalam pengelolaan pembangunan wisata Mayarakat ikut bekerjasama dalam keamanan pembangunan wisata Masyarakat membantu mengatasi permasalahan di Kampung Budaya Sindang Barang Masyarakat bersedia bekerja sama dalam menjaga keamanan pengelolaan kampung budaya sindang barang
Jumlah Responden Pada Setiap Pernyataan Ya Tidak 33 12 11
34
18
27
29
16
31
14
Berdasarkan Tabel 12, Tingkat masyarakat tidak ikut bekerjasama dalam pengelolaan pembangunan wisata sebanyak 34 responden dan tidak ikut keamanan dalam Kampung Budaya Sindang Barang 27 responden. Selain itu, terdapat 30 responden yang tidak terlibat dalam pemeliharaan wilayah di sekitar Kampung Budaya Sindang Barang (seperti akses jalan masuk). Ini menunjukan bahwa keeratan hubungan untuk berinteraksi atau bekerja sama tidak terjalin dengan baik oleh masyarakat dengan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang.
47%
Rendah 53%
Tinggi
Gambar 10 Persentase Responden berdasarkan tingkat jaringan di Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih Berdasarkan hasil pernyataan yang sudah dipaparkan pada Tabel 12, jika dilihat keterlibatan masyarakat dalam keeratan hubungan dengan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang hasilnya 53% responden. Tingkat intesitas masyarakat cukup rendah dalam membantu mengatasi permasalahan di Kampung
55
Budaya Sindang Barang. Antusias dan kepedulian masyarakat sangat baik, contohnya seperti ketika Kampung Sindang Barang mengadakan acara besar, masyarakat menyediakan lahan untuk parkir kendaraan pengunjung kemudian dijaga oleh remaja Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih.
56
PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP AKTIVITAS BUDAYA Bab ini menjelaskan mengenai aktivitas pariwisata di Kampung Budaya Sindang Barang yang dilakukan oleh pengelola yang berpengaruh untuk masyarakat melalui persepsi dan partisipasi masyarakat. Aktivitas wisata budaya dapat dilakukan oleh masyarakat lokal, melihat kebijakan yang tercantum dalam buku II RPJMN tahun 2010-2014, khususnya Bab II: Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama, pembangunan bidang kebudayaan diprioritaskan pada penguatan jati diri bangsa dan pelestarian budaya yang dilakukan melalui empat fokus prioritas: penguatan jati diri dan karakter bangsa, peningkatan apresiasi seni dan budaya, peningakatan kualitas warisan budaya dan pengembangan sumberdaya kebudayaan. Oleh karena itu, aktivitas yang dilakukan dapat melestarikan budaya lokal. Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi dan partisipasi terhadap aktivitas Kampung Budaya Sindang Barang pada masyarakat di Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 Kategori Jumlah Persentase Aktivitas budaya (n) (%) Persepsi masyarakat Rendah 6 13 terhadap pengelolaan Tinggi 39 87 wisata budaya Partisipasi masyarakat Rendah 38 84 pada aktivitas budaya Tinggi 7 16 45 100.0 Total (n) Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan Wisata Budaya Kegiatan yang diselenggarakan pengelola Kampung Sindang Barang untuk penguatan jati diri dan karakter bangsa adalah kegiatan yang bertujuan untuk pembangunan wisata dari karakter dan pekerti bangsa yang dilandasi oleh nilainilai kearifan lokal dan pelestarian, pengembangan dan aktualisasi nilai dan tradisi dalam rangka memperkaya dan memperkokoh khasanah budaya bangsa. Kegiatan yang diadakan seperti Serentaun memiliki pesan adat sebagai pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. “…Kegiatan Serentaun sudah dilaksanakan dari kakek saya dahulu. Dahulu ada upacara Ngarak Munding (menuntun kerbau) kemudian dilanjutkan dengan ritual lain seperti pemotongan kepala kerbau kemudian dikubur, namun karena perkembangan zaman ritual itu sudah tidak dilaksanakan karena menyimpang dengan agama islam dan lebih digantikan menjadi lebih bermanfaat dengan membagikan seluruh bagian kerbau untuk pihak yang berhak menerimanya.” (APO, 33 tahun). Pihak pengelola Kampung Sindang Barang perlu memerhatikan cara untuk menyadarkan masyarakat agar memiliki sikap pengendalian untuk mengembangkan sikap penguatan jati diri budaya Sunda di masyarakat. Terdapat
57
12 responden yang menyatakan bahwa tidak setuju pengelola Kampung Sindang Barang mengembangkan sikap penguatan jati diri pada nilai-nilai kebudayaan Sunda. Selain itu, terdapat 10 reponden tidak setuju bahwa pengelola telah melakukan pengendalian dalam mengembangkan perilaku. Mengembangkan perilaku masyarakat masih kurang ikut serta dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh pengelola, ini ditunjukan dari bahwa masyarakat Dukuh Menteng RT 02/08, Desa Pasir Eurih hanya sekedar menonton. Perlu adanya perhatian khusus untuk membangun antusias warga untuk mendukung adanya Kampung Budaya Sindang Barang sesuai dengan visi dan misi yang telah disusun oleh pihak pengelola wisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang. “…kebanyakan warga kami jika ada acara Serentaun atau kegiatan lainnya yang di adakan di Kampung Budaya Sindang Barang, warga masih mau menonton untuk memeriahkan acara tersebut. Walaupun hanya menonton saja kami sudah membantu melesatarikan budaya kami, budaya sunda. (SOM, 50 Tahun). Tabel 14 Jumlah responden berdasarkan pernyataan tentang persepsi masyarakat terhadap pengelolaan wisata budaya di Dusun Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 Indikator Komponen Persepsi Masyarakat terhadap Jumlah Pengelolaan Wisata Budaya Responden Pada Setiap Pernyataan Pernyataan Kegiatan Serentaun mencerminkan penghayatan secara umum dari masyarakat terhadap nilai budaya sunda Kegiatan Serentaun mencerminkan penghayatan secara umum dari masyarakat terhadap norma budaya sunda Kegiatan yang dilakukan oleh pengelola menciptakan pengendalian untuk mengembangkan sikap penguatan jati diri budaya sunda di masyarakat Kegiatan yang dilakukan oleh pengelola dapat melakukan pengendalian dalam mengembangkan perilaku Keterlibatan masyarakat dalam pemeliharaan daerah wisata budaya Masyarakat terlibat dalam pengelolaan kampung budaya Masyarakat ikut dalam pertemuan sosialisasi mengenai rencana pengembangan wisata Masyarakat menghadiri undangan untuk persetujuan diawal pembangunan wisata budaya Masyarakat mendukung pembangunan wisata Masyarakat memberikan dukungan dalam pelaksanaan wisata sampai saat ini
Ya 44
Tidak 1
40
5
33
12
35
10
15
30
5 15
40 30
29
16
41 40
4 5
Keterangan : Ya = Setuju, Tidak = Tidak Setuju
Tabel 14 menunjukan bahwa masyarakat memiliki persepsi mengenai kegiatan yang dilaksanakan oleh kebudayaan sunda pada umumnya seperti
58
Serentaun, namun di Desa Pasir Eurih sudah difasilitasi oleh Kampung Budaya Sindang Barang untuk melaksanakan kegiatan Serentaun maupun kegiatan lain untuk tetap menjaga kelestarian kebudayaan. Rangkaian upacara Serentaun umunya dilaksanakan dengan adat sunda baik tarian maupun pakaian. Serentaun dilakukan selama enam hari dimulai pada hari Senin dan berakhir pada hari Minggu di bulan Muharram, dilakukan sebagai kegiatan yang mencakup ritual, adat serta kesenian. Dari hari pertama, dilakukan kegiatan Netepkeun Iman (teguhkan iman) yang dilakukan oleh kokolot, kemudaian dihari kedua dilakukan ziarah ke makam leluhur. Dilakukan kegiatan khitanan masal yang diawali dengan pawai pengantin sunat (ngarak penganten) dan ritual Serbet Kasep untuk anak-anak di hari berikutnya. Hari terakhir Serentaun, merupakan puncak upacara Seren Taun yang diawali Helaran Ngarak Dondang (pawai hasil bumi), ritual Majikeun Pare (ritual menyimpan padi ke dalam lumbung) yang diawali dengan menyimpan pare rama (padi ayah) dan pare ambu (padi ibu) yang dilanjutkan padi rakyat. Upacara Seren taun ditutup oleh pembacaan doa keselamatan oleh pemuka agama yang dilanjutkan oleh prosesi Parebut Dongdang (berebut isi dongdang). Beragam potensi obyek dan daya tarik wisata yang ada perlu adanya pengembangan kapasitas nasional untuk pelaksanaan penelitian, penciptaan dan inovasi dan memudahkan akses dan penggunaan oleh masyarakat luas dibidang kebudayaan. Dalam upaya menghasilkan produk pengembangan wisata yang optimal, maka pemberdayaan berbagai potensi sumber daya lokal dapat memberikan nilai tambah bagi kawasan wisata. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat setempat dan obyek serta daya tarik wisata perlu dilakukan secara terpadi. Sehingga selain bermanfaat dalam peningkatan pemasukan bagi pengelola juga dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Komponen persepsi untuk pengembangan sumber kebudayaan menggambarkan tentang dukungan masyarakat terhadap pengelola dan sosialisasi mengenai rencana pengembangan wisata. Berdasarkan penjelasan di Tabel 10, terdapat pernyataan yang membuat responden tidak mau ikut serta. Pernyataan tersebut antara lain masyarakat terlibat dalam pengelolaan kampung budaya, dari pernyataan tersebut terdapat 40 responden tidak ingin terlibat karena telah terjadi turunnya identitas daerah lokal karena jalur akses menuju Kampung Budaya merupakan salah satu dampak negatif yang dirasakan oleh masyaraka lokal. Selain itu, masyarakat yang lebih memilih bekerja di bidang industri sandal dan sepatu menyebabkan masyarakat masih pasif dalam membangun dan menjaga kelestarian dari budaya mereka. Pengelola Kampung Sindang Barang telah merencanakan pengembangan kawasan yang tercantum dalam rencana pengembangan jangka panjang dan pendek. Dalam pengembangan jangka pendek akan dilakukan pembenahan dan penambahan fasilitas Kampung Sindang Barang. Sementara untuk program jangka panjang, akan dilakukan sosialisasi dan pembangunan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai sejarah budaya dan aspek penunjang wisata di wilayah kampung sindang Barang serta perlibatan unsur pemerintah desa untuk terjun bersamasama mendata infrastruktur sebagai pendukung kawasan wisata di Kampung Budaya Sindang Barang. Namun, tingkat informasi atau pengetahuan mengenai perencanaan yang telah dibuat, mengenai sosialisasi tersebut sebanyak 30% responden tidak mengikuti pertemuan sosialisasi mengenai rencana
59
pengembangan wisata, ini disebabkankan Kampung Budaya Sindang Barang tidak melibatkan masyarakat sekitar dalam kegiatan perencanaan yang telah dibuat. “…Kalau ada apa-apa di Kampung Sindang Barang, warga mah jarang tau neng, paling kalau pertemuan-pertemuan ngundannya ketua RT atau RW aja.” (KHO, 25 Tahun).
13% Tinggi Rendah 87%
Gambar 11 Persentase Responden berdasarkan Persepsi Masyarakat dalam pengelolaan wisata budaya di Dukuh Menteng RT 02/08, Desa Pasir Eurih Dari pernyataan yang sudah dijelaskan dalam Tabel 13, jika dilihat dari persepsi masyarakat dalam pengelolaan wisata budaya Gambar 11 secara keseluruhan didapatkan hasil sebesar 87% responden yang menilai kegiatan yang dilakukan pengelola dan menciptakan pengendalian untuk pengembangan sikap penguatan jati diri budaya, tidak hanya Serentaun, namun kegiatan lain yang dilakukan oleh pengelola. Hal ini juga menunjukan bahwa masyarakat sekitar pada mula didirikan Kampung Budaya sangat mendukung. Persetujuan yang diwakili oleh Ketua RT, RW sampai pemerintah desa berharap keberadaan Kampung Sindang Barang menjadi kebanggan tersendiri bagi masyarakat Desa Pasir Eurih. Sebagian besar penduduk setempat mempunyai akseptabilitas dan apresiasi yang tinggi terhadap keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang. Partisipasi Masyarakat pada Aktivitas Budaya Penyediaan fasilitas yang memadai bagi pengembangan, pendalaman dan pagelaran seni budaya. Apresiasi dilakukan dengan pengembangan kesenian serta pemberian insentif kepada para pelaku seni dalam pengembangan kualitas seni dan budaya dalam bentuk fasilitasi, pendukung dan penghargaan. Untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam mengembangkan kemampuan apresiasi seni dalam mengenalkan budaya seni dalam bentuk tarian, pencak silat, ritual menanam padi serta ritual menumbuk padi, dan belajar sejarah budaya lokal. Perlindungan, penyelamatan, pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya sebagai penetapan dan pembentukan pengelolaan terpadu untuk pengelolaan cagar budaya, revitalisasi sarana di tempat wisata. Vaiabel ini menekankan partisipasi masyarakat yang ada di sekitar terhadap Kampung Budaya Sindang Barang. Partisipasi masyarakat seperti keterlibatan masyarakat dalam pemeliharaan kampung budaya, tanggung jawab dalam perlindungan kampung budaya, tanggung jawab dalam pemanfaatan peninggalan budaya lokal, mempromosikan Kampung Budaya kepada kerabat, dan merahabilitas sarana dan prasarana dalam bentuk tenaga maupun uang. Hasil dari variabel tersebut ditunjukkan pada Tabel 15.
60
Tabel 15 Jumlah responden berdasarkan pernyataan tentang partisipasi terhadap aktivitas budaya di Dusun Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih 2016 Indikator Komponen Partisipasi Masyarakat pada Aktivitas Jumlah Budaya Responden Pada Setiap Pernyataan Pernyataan Ya Tidak Keikutsertaan masyarakat dalam upacara Serentauan 39 6 Keikutsertaan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi seni 13 32 dalam mengenalkan budaya seni tari daerah Keikutsertaan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi seni 8 37 dalam mengenalkan budaya seni pencak silat Keikutsertaan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi seni 15 30 dalam mengenalkan budaya ritual menanam padi Keikutsertaan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi seni 14 31 dalam mengenalkan budaya ritual menumbuk padi Keikutsertaan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi seni 3 42 dalam mengenalkan budaya melalui belajar sejarah budaya lokal Keterlibatan masyarakat dalam pemeliharaan daerah wisata 15 30 budaya Masyarakat diberikan tanggung jawab dalam perlindungan 11 34 wisata budaya Masyarakat diberikan tanggung jawab dalam pemanfaatan 12 33 peninggalan budaya lokal Mempromosikan kampung budaya kepada kerabat-kerabat anda 32 13 Merehabilitas sarana dan prasarana dalam bentuk tenaga 10 35 Merehabilitas sarana dan prasarana dalam bentuk uang 4 41 Keterlibatan masyarakat dalam pemeliharaan wilayah disekitar 15 30 kampung budaya sindang barang (seperti akses jalan masuk) Keterlibatan masyarakat dalam keamanan di sekitar KBSB 24 21 Tabel 15 menunjukan partisipasi masyarakat terhadap aktivitas budaya yang mencakup seni tari, seni pencak silat, ritual menanam padi, ritual menumbuk padi dan belajar sejarah budaya lokal, serta kegiatan dalam perlindungan dan pemanfaatan sarana prasarana di Kampung Budaya Sindang Barang. Hasil yang diperoleh dengan cara memberikan skor pada setiap indikator pernyataan yang disesuaikan dengan jumlah responden. Penilaian hanya diberikan dua pilihan ya atau tidak. Hasil data yang diperoleh dari pernyataan yang ditunjukkan pada Tabel 11, semua pernyataan memiliki nilai yang rendah. Diperoleh hasil 32 responden yang tidak ikutserta dalam mengembangkan seni tari daerah dan 37 reponden juga partisipasi masyarakat rendah dalam mengembangkan seni pencak silat. Ini menunjukan karena faktor pengajar tari dan pencak silat untuk anak-anak di sekitar Kampung Budaya Sindang Barang, Dusun Dukuh Menteng tidak disediakan untuk mengembangkan seni tari dan pencak silat oleh pengelola Kampung Budaya Sindang Barang.
61
Hasil pernyataan pada keikutsertaan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi ritual menanam padi dan menumbuk padi diperoleh 30 responden dan 31 reponden yang tidak ikut serta, dari analisa lapang warga masyarakat yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai pengrajin sepatu tidak tertarik untuk ikut dalam ritual ini. “…duh neng, kami mah lebih baik mencari duit neng, kalo ikut-ikut seperti itu kan udah ada karyawan yang didalam buat ikut ritual-ritual, warga disini kalau menanam padi itu karena buat makan sendiri sama dijual, terus duitnya buat memenuhi kebutuhan.” (KHO, 25 Tahun) Pernyataan untuk partisipasi apresiasi masyarakat dalam kreativitas seni dalam belajar sejarah memiliki nilai rendah, sebanyak 42 responden. Pengelola Kampung Budaya Sindang Barang sudah memfasilitasi untuk pelatihan kegiatankegiatan tersebut untuk dapat dipelajari oleh anak-anak asli dusun Sindang Barang, sedangkan anak-anak di sekitar Kampung Budaya hanya sedikit yang mengikuti kegiatan pelatihan seni, ini dikarena Kampung Budaya merupakan usaha komersil dan tanpa ikut campur warga masyarakat sekitarnya. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam pemeliharaan kampung budaya di Desa Pasir Eurih memiliki nilai rendah sebesar 30 reponden tidak ingin berpartisipasi. Untuk pengembangan wisata Kampung Budaya masyarakat tidak dilibatkan dalam pemeliharaan baik infrastruktur atau sarana dan prasarana yang ada. Lingkungan Kampung Sindang Barang sudah di rawat oleh pegawai asli orang Sindang Barang. Dengan potensi wisata yang dimiliki untuk pengembangan wisata dikawasan yang bersangkutan, diharapkan mampu memberikan pengaruh positif kepada masyarakat. Namun sesuai analisa lapang, masyakat lebih tidak peduli dengan keadaan kawasan wisata. Berdasarkan hasil wawancara masyarakat yang berada di sekitar wilayah wisata, keterlibatan masyarakat sangat rendah dalam pemeliharaan bahkan tidak terlalu ikutcampur dikarenakan pengelola sudah menyediakan pegawai untuk perawatan lingkungan tempat baik dalam bangunan maupun persawahan yang ada. Tingkat tanggung jawab dalam perlindungan kampung budaya memiliki nilai rendah sebanyak 34 responden dan hasil nilai rendah pada tingkat tanggung jawab dalam pemanfaatan peninggalan budaya lokal sebesar 33 responden. Penyebab keterlibatan dalam perlindungan dan pemanfaatan yang rendah diakibatkan keberadaan kampung budaya menurunkan eksistensi kepemilikan lahan oleh masyarakat lokal terutama pada lahan yang berada disepanjang jalan akibat adanya pembenahan jalur akses menuju kampung budaya. Selain itu, akibat lancarnya arus distribusu hasil industri yang berdampak pada lancarnya penerimaan pendapatan, maka banyak dari masyarakat usia kerja yang lebih memilih bekerja dibidang industri dibandingkan pertanian terlebih di bidang budaya. Pernyataan lain yang mendapatkan nilai rendah adalah mengenai tingkat merahabilitas sarana dan prasarana oleh masyarakat dalam bentuk tenaga maupun uang masing-masing 35 responden dan 41 responden. Penyediaan fasilitas wisata yang berupa sarana dan prasarana pelayanan wisata berfungsi untuk mengakomodasikan segala kebutuhan wisatawan selama dia berada dalam kawasan wisata. Secara fisik fasilitas yang ada saat ini masih cukup baik dan memadai, namun untuk memberikan kepuasan bagi wisatawan yang lebih baik maka diperlukan pengembangan beberapa fasilitas penunjang.
62
16% Tinggi Rendah 84%
Gambar 12 Persentase Responden berdasarkan Partisipasi Masyarakat dalam aktivitas budaya di Dukuh Menteng RT 02/08, Desa Pasir Eurih Berdasarkan hasil pernyataan yang sudah dipaparkan sebelumnya pada Tabel 9, jika dilihat dari partisipasi masyarakat dalam aktivitas budaya pada Gambar 9 sebesar 84% yang berada pada kategori rendah dan 16 % pada kategori tinggi. Hal tersebut menggambarkan bahwa pengelola Kampung Sindang Barang belum memaksimalkan pelatihan seni untuk masyarakat sekitar, masyarakat Dukuh Menteng khusunya RT 02/08. Adapun hasil data kualitatif yang dilakukan untuk memperkuat hasil sebagai berikut: ”…Anak-anak disini sudah pernah ikut buat belajar nari dan pencak silat tapi setiap dateng ke Kampung Budaya Sindang Barang pasti ga ada yang mengajar, jadi ga ada lagi anak-anak buat niat belajar disitu. Pengajarnya itu dari Sindang Barang jadi jarang kesini buat mengajar anak-anak disini.” ( IYA, 34 Tahun). Peran masyarakat dalam merehabilitas tidak diikut sertakan oleh pengelola dikarenakan pengelola lebih mempercayakan kepada jasa kontruksi, sedangkan untuk dana, pengelola menggunakan uang dari penjualan paket kunjungan dari wisatawan. “…Warga sini mah neng, ga ikut-ikut buat memperbaiki bangunan di dalam, kan disana mah udah ada dana tinggal panggil tukang aja buat dibangunnya neng.” (ASP, 57 Tahun).
63
64
HUBUNGAN MODAL SOSIAL KOMUNITAS DENGAN PERSEPSI DAN PARTISIPASI AKTIVITAS BUDAYA Masyarakat Desa Pasir Eurih, khususnya Dusun Dukuh Menteng memiliki tingkat modal sosial yang berbeda-beda terhadap aktivitas pembangunan pariwisata budaya di Kampung Budaya Sindang Barang. Tingkat tersebut dapat berhubungan signifikan atau tidak signifikan dengan tingkat persepsi dalam pengelolaan wisata dan tingkat partisipasi dalam kegiatan budaya. Tingkat modal sosial terdiri kepercayaan, nilai dan norma, dan jaringan. Melalui uji korelasi Rank Spearman akan dilihat bagaimana hubungan antara modal sosial dengan persepsi dan partisipasi aktivitas budaya pada setiap variabel dan komponen yang ada di dalamnya. Untuk uji korelasi Rank Spearman, pengujian hubungan antar variabel didukung oleh program SPSS 21.00. Adapun ketentuan hipotesis diterima apabila nilai signifikansi (sig-2 tailed) lebih kecil dari α (0.05), sebaliknya jika nilai yang didapatkan lebih besar dari α (0.05), maka hubungan antara dua variabel tersebut tidak signifikan. Apabila nilai signifikasi (sig-2 tailed) yang didapatkan lebih besar dari α (0.05), dilanjutkan dengan melihat aturan nilai correlation coefficient sebagai berikut: 0.000 (tidak ada hubungan), 0.01-0.09 (hubungan kurang berarti), 0.10-0.29 (hubungan lemah), 0.30-0.49 (hubungan moderat), 0.5-0.69 (hubungan kuat) 0.70-0.89 (hubungan sangat kuat, >0.9 (hubungan mendekati sempurna). Hasil nilai signifikansi pada setiap variabel dapat dilihat Tabel 18. Tabel 16 Hasil nilai signifikansi kepercayaan, nilai dan norma, dan jaringan dengan persepsi dan partisipasi aktivitas pariwisata budaya Kampung Budaya Sindangbarang di Desa Pasir Eurih 2016 Persepsi dalam Partisipasi dalam aktivitas pengelolaan wisata budaya budaya Kepercayaan 0.387** 0.198 Nilai dan Norma 0.186 0.337* Jaringan 0.235 0.232 Keterangan : **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
65
Hubungan Modal Sosial Komunitas dengan Persepsi dalam Pengelolaan Wisata Budaya Hubungan Kepercayaan dengan Persepsi dalam Pengelolaan Wisata Budaya Individu masyarakat yang menjadi responden memiliki penilaian kepercayaan terhadap pengelolaan Kampung Budaya Sindang Barang berada di nilai yang tinggi. Selanjutnya, sebagian besar masyarakat memiliki tingkat persepsi dalam pengelolaan wisata budaya yang tergolong tinggi (Tabel 17). Tabel 17 Persentase berdasarkan kepercayaan masyarakat dan persepsi pengelolaan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 Kepercayaan Persepsi (%) Rendah Tinggi Total Rendah 33.3 66.7 100.0 Tinggi 8.3 91.7 100.0 Tabel 17 menunjukan tidak terdapat kecendrungan bahwa makin tinggi kepercayaan masyarakat, semakin tinggi persepsi dalam pengelolaan wisata budaya. Namun, telah diuji menggunakan uji korelasi rank spearman, didapatkan α untuk hubungan antara kepercayaan dengan persepsi dalam pengelolaan wisata budaya 0.009. Hasil tersebut menunjukan hubungan antar dua variabel tersebut signifikan, karena nilai α lebih kecil dari 0.05. Selain itu, pada masyarakat didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0.387. Nilai tersebut menunjukan hubungan kedua variabel itu merupakan hubungan yang moderat. Hasil yang bernilai positif memiliki arti hipotesis diterima. Artinya, semakin tinggi kepercayaan masyarakat, semakin tinggi persepsi terhadap pengelola wisata budaya. Hasil uji korelasi tersebut didukung dengan pernyataan responden sebagai berikut: “…iya neng, kalo pas awal-awal Kampung Budaya dibangun mah kita setuju dan percaya sama yang punya, kan nanti jadinya rame, siapa tau wisatawan mah bisa liat produksi kerajinan sepatu disini..” (IDA, 46 Tahun). Pernyataan responden tersebut membuktikan bahwa ada kepercayaan masyarakat sejak awal berdirinya Kampung Budaya Sindang Barang tahun 2007 masih tetap berdiri kokoh dan pelaksanaan kegiatan masih didukung oleh masyarakat sampai saat ini. Hubungan Nilai dan Norma dengan Persepsi dalam Pengelolaan Wisata Budaya Hubungan variabel nilai dan normadengan persepsi dalam pengelolaan wisata budaya berdasarkan tabulasi silang (Tabel 18) dan diuji dengan menggunakan uji korelasi rank spearman.
66
Tabel 18 Persentase berdasarkan nilai dan norma masyarakat dan persepsi pengelolaan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 Nilai dan Norma Persepsi (%) Rendah Tinggi Total Rendah 20.0 80.0 100.0 Tinggi 8.0 92.0 100.0 Tabel 18 menunjukan tidak terdapat kecendrungan antara nilai dan norma masyarakat Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih yang menjadi responden dengan persepsi pengelolaan wisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang. Setelah diuji menggunakan uji korelasi rank spearman, dengan nilai sig. untuk hubungan sebesar 0.221 pada masyarakat tidak didapatkan nilai α yaitu 0.05 untuk hubungan antara persepsi terhadap penguatan jati diri dan karakter bangsa dengan nilai dan norma mereka. Selain itu, pada masyarakat didapat nilai koefisien sebesar 0.186. Nilai tersebut menunjukan hubungan kedua variabel itu merupakan hubungan yang lemah. Hal ini menggambarkan bahwa nilai dan norma masyarakat tidak ditentukan oleh persepsi pengelolaan wisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang. Kegiatan Serentaun merupakan salah satu kegiatan budaya Sunda yang dilaksanakan oleh Nenek Moyang terdahulu. Semakin majunya jaman generasi muda jarang sekali untuk meneruskan ritual tersebut, kampung Sindang Barang memfasilitasi agar ritual-ritual tersebut bisa dijalankan sampai saat ini. Hubungan Jaringan dengan Persepsi dalam Pengelolaan Wisata Budaya Komponen jaringan memfokuskan pada pertukaran informasi sebagai sebuah proses untuk mencapai tindakan bersama, kesepakatan bersama dan pengertian bersama (Roger &Kincaid 1980). Komponen jaringan dihubungkan dengan persepsi dalam pengelolaan wisata budaya. Berikut hubungan kedua variabel berdasarkan data tabulasi silang (Tabel 19) dan di uji dengan menggunakan uji korelasi rank spearman. Tabel 19 Persentase berdasarkan jaringan masyarakat dan persepsi pengelolaan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 Jaringan Persepsi (%) Rendah Tinggi Total Rendah 11.8 88.2 100.0 Tinggi 14.3 85.7 100.0 Hasil dari Tabel 21 tersebut menggambarkan bahwa tidak terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi jaringan masyarakat, semakin tinggi persepsi dalam pengelolaan wisata budaya. Setelah diuji menggunakan uji korelasi rank spearman, dengan nilai sig. untuk hubungan sebesar 0.119. Hasil tersebut menunjukan hubungan antara dua variabel tersebut tidak signifikan, karena nilai α lebih besar dari 0.05. Selain itu, pada masyarakat didapat nilai koefisien sebesar 0.235. Nilai tersebut menunjukan hubungan kedua variabel itu merupakan hubungan lemah. Hasil uji korelasi tersebut didukung dengan pernyataan responden sebagai berikut: ”…gak terlalu kenal sih neng sama pengelolanya, tapi kalau pelaksanaan kegiatan masih baik yah saya dukung.” (HDR, 35 Tahun).
67
”…Orang yang punya kampung budaya masih ada hubungan sodara sama saya mba, saya mah dukung aja kalo ada kegiatan tahunan atau acara dari luar di Kampung Budaya, kan jadinya rame di sini.” (NDH, 36 Tahun). Hasil pendekatan lapang penulis menunjukan setiap responden yang jaringan tinggi atau rendah sama-sama memiliki dukungan terhadap pengelolaan wisata budaya di Kampung Budaya Sindang Barang. Sehingga benar tidak terjadi kecendrungan dalam jaringan masyarakat berdasarkan persepsi terhadap pengelola wisata budaya. Hubungan Modal Sosial Komunitas dengan Partisipasi dalam Kegiatan Budaya Hubungan Kepercayaan dengan Partisipasi dalam Kegiatan Budaya Partisipasi dalam kegiatan budaya merupakan keikutsertaan masyarakat pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Kampung Budaya Sindang Barang yang berada pada kategori rendah. Selanjutnya tingkat kepercayaan terdapat pada kategori tinggi. Hubungan variabel kedua variabel dilihat berdasarkan data tabulasi silang (Tabel 20) dan diuji menggunakan uji korelasi rank spearman. Tabel 20 Persentase berdasarkan kepercayaan masyarakat dan partisipasi dalam kegiatan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 Kepercayaan Partisipasi (%) Rendah Tinggi Total Rendah 88.9 11.1 100.0 Tinggi 83.3 16.7 100.0 Tabel 20 menunjukan tidak terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi kepercayaan masyarakat, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam kegiatan budaya. Setelah diuji menggunakan uji korelasi rank sperman, didapatkan α untuk hubungan antara kepercayaan dengan partisipasi 0.192. Hasil tersebut menunjukkan hubungan antar dua variabel tersebut tidak signifikan, karena nilai α lebih besar dari 0.05. Selain itu, pada masyarakat di dapat nilai koefisien korelasi sebesar 0.198. Nilai tersebut menunjukan hubungan kedua variabel itu merupakan hubungan yang lemah. Hal ini karena kepercayaan masyarakat tidak ditentukan oleh partisipasi dalam kegiatan budaya. Berdasarkan hasil di lapang, masyarakat lebih mementingkan pekerjaannya di bidang industri yaitu pengrajin sepatu karena lebih menghasilkan pendapatan dari pada ikut pelatihan seni tari, pencak silat maupun ritual menanam dan menumbuk padi. Hubungan Nilai dan Norma dengan Partisipasi dalam Kegiatan Budaya Tingkat pada komponen nilai dan norma termasuk kategori tinggi, sedangkan tingkat partisipasi dalam kegiatan budaya berada pada kategori rendah, yaitu masyarakat tidak ikut Kampung Budaya Sindang Barang. Hubungan variabel nilai dan norma dengan partisipasi dalam kegiatan budaya berdasarkan data tabulasi silang (Tabel 21) dan diuji dengan menggunakan uji korelasi rank spearman.
68
Tabel 21 Persentase berdasarkan nilai dan norma masyarakat dan partisipasi dalam kegiatan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 Nilai dan Norma Partisipasi (%) Rendah Tinggi Total Rendah 90.0 10.0 100.0 Tinggi 80.0 20.0 100.0 Tabel 21 menunjukan tidak terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi nilai dan norma, semakin tinggi partisipasi dalam kegiatan budaya. Namun, setelah diuji menggunakan uji korelasi rank spearman, dengan nilai sig. untuk hubungan sebesar 0.023. Hasil tersebut menunjukan hubungan antara dua variabel tersebut signifikan, karena nilai α lebih kecil dari 0.05. Selain itu, pada masyarakat didapat nilai koefisien sebesar 0.337. Nilai tersebut menunjukan hubungan kedua variabel itu merupakan hubungan moderat. Hal ini karena nilai dan norma masyarakat ditentukan berdasarkan partisipasi dalam kegiatan budaya. Berdasarkan hasil di lapang, penulis menduga bahwa hal tersebut disebabkan kesadaran masyarakat cukup tinggi untuk melestarikan kebudayaan. Hubungan Jaringan dengan Partisipasi dalam Kegiatan Budaya Hubungan jaringan dengan partisipasi dalam kegiatan budaya dilihat berdasarkan data tabulasi silang (Tabel 22) dan diuji menggunakan uji korelasi rank spearman. Tabel 22 Persentase berdasarkan nilai dan norma masyarakat dan partisipasi dalam kegiatan wisata budaya di Desa Pasir Eurih 2016 Jaringan Partisipasi (%) Rendah Tinggi Total Rendah 94.1 5.9 100.0 Tinggi 78.6 21.6 100.0 Data tersebut juga diukur dengan menggunakan uji korelasi rank spearman yang menunjukan bahwa angka sig. untuk hubungan antara jaringan dengan partisipasi dalam kegiatan budaya sebesar 0.125. Hasil tersebut menunjukan hubungan antara dua variabel tersebut tidak signifikan, karena nilai α lebih besar dari 0.05. Selain itu, pada masyarakat didapat nilai koefisien sebesar 0.232. Nilai tersebut menunjukan hubungan kedua variabel itu merupakan hubungan lemah. Hasil uji korelasi tersebut didukung dengan pernyataan responden sebagai berikut: “…kalau pelatihan nari anak saya mah pernah mba, paling disekolah latihannya, kalo ada acara besar aja.” ( IYA, 34 Tahun) “…kalau ikut kegiatan tari didalem (Kampung Budaya Sindang Barang) pernah neng, tapi sekarang udah ga soalnya pengajarnya cuma mau ngelatih masyarakat Sindang barang sendiri.” (SEN, 26 Tahun) Hal ini menggambarkan setiap responden yang memiliki jaringan tidak ditentukan oleh kegiatan budaya yang diselenggarakan. Sehingga benar apabila
69
tidak terjadi kecendrungan antara jaringan pada individu dengan partisipasi dalam kegiatan budaya.
70
PENUTUP Simpulan Modal sosial dalam penelitian ini difokuskan pada kepercayaan, norma dan nilai, dan jaringan yang menciptakan dan memperkuat kesaling ketergantungan positif dan mendorong meningkatnya harapan akan aliran manfaat yang dapat dirasakan oleh komunitas masyarakat maupun pengelola Kampung Budaya Sindang Barang di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Modal Sosial digunakan untuk menjelaskan hubungan tingkat aktivitas pembangunan pariwisata budaya terhadap kepercayaan, norma serta nilai, dan jaringan. Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat lokal tergolong tinggi dalam komponen kepercayaan dan nilai serta norma, sedangkan komponen jaringan termasuk kedalam golongan rendah. Modal sosial merupkan komponen penting untuk keberlangsungan pengelolaan di Kampung Budaya Sindang Barang yang dicirikan sifat tolong menolong warga masyarakat dan kesediaan masyarakat dalam membantu pihak pengelola, ini menandakan sumberdaya manusia pada masyarakat sangat kuat. Modal sosial dapat mendorong kegiatan Kampung Sindang Barang yang lebih baik. Persepsi terhadap pengelola wisata budaya dan partisipasi dalam kegiatan budaya mengacu pada konsep kebijakan yang dalam buku II RPJMN tahun 20102014, khususnya Bab II: Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama, pembangunan bidang kebudayaan diprioritaskan pada penguatan jati diri bangsa dan pelestarian budaya yang dilakukan melalui empat fokus, yaitu penguatan jati diri dan pengembangan sumber kebudayaan, apresiasi terhadap keragaman serta kreativitas seni dan budaya, serta perlindungan, penyelamatan dan pemanfaatan warisan budaya. Persepsi terhadap pengelolaan wisata budaya tergolong tinggi, sedangkan partisipasi dalam kegiatan budaya tergolong rendah. Hal ini ditunjukan pada masyarakat yang berada di sekitar wilayah wisata, keterlibatan masyarakat sangat rendah dalam pemeliharaan bahkan tidak terlalu ikutcampur dikarenakan pengelola sudah menyediakan pegawai untuk perawatan lingkungan tempat baik dalam bangunan maupun persawahan yang ada. Apresiasi masyarakat disekitar Kampung Budaya Sindang Barang untuk kreativitas seni tidak difasilitasi oleh pengelola. Pengelola Kampung Budaya Sindang Barang memfasilitasi pelatihan kegiatan-kegiatan untuk dapat dipelajari oleh anak-anak asli dusun Sindang Barang, sedangkan anak-anak di sekitar Kampung Budaya hanya sedikit yang mengikuti kegiatan pelatihan seni, namun karena Kampung Budaya merupakan usaha komersil dan tanpa ikut campur warga masyarakat sekitarnya. Untuk pengembangan wisata Kampung Budaya masyarakat tidak dilibatkan dalam pemeliharaan baik infrastruktur atau sarana dan prasarana yang ada. Lingkungan Kampung Sindang Barang sudah di rawat oleh pegawai asli orang Sindang Barang. Dengan potensi wisata yang dimiliki untuk pengembangan wisata dikawasan yang bersangkutan, diharapkan mampu memberikan pengaruh positif kepada masyarakat. Namun sesuai analisa lapang, masyakat lebih tidak peduli dengan keadaan kawasan wisata. Turunnya identitas daerah lokal karena jalur akses menuju Kampung Budaya merupakan salah satu dampak negatif yang dirasakan oleh masyaraka lokal. Selain itu, masyarakat yang lebih memilih bekerja di bidang industri sandal dan sepatu menyebabkan
71
masyarakat masih pasif dalam membangun dan menjaga kelestarian dari budaya mereka. Hasil analisis menunjukan bahwa hanya terdapat dua variabel yang berhubungan. Variabel yang memiliki hubungan yang nyata yaitu komponen tingkat kepercayaan masyarakat dengan persepsi terhadap pengelolaan wisata budaya dan variabel nilai dan norma dengan partisipasi dalam kegiatan budaya. Intervensi dari Pemerintah Daerah memang penting untuk keberlanjutan pengembangan potensi pariwisata yang ada. Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan masukan atau saran diantranya sebagai berikut: 1.
2. 3.
Perlunya mendorong masyarakat untuk ikut serta dalam membangun pengembangan pariwisata khususnya aktivitas pembangunan pariwisata budaya dalam pengelolaan Kampung Budaya Sindang Barang Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang potensi desa wisata yang akan memberikan manfaat pada masyarakat secara keberlanjutan Perlu adanya kerjasama antar warga masyarakat dengan pengelola untuk mengembangkan unsur-unsur wisata pendukung wisata, berupa pelatihan keterampilan tertentu yang dibutuhkan warga desa, misalnya keterampilan kerajinan tangan, kuliner untuk oleh-oleh, serta mempertahankan keaslian sumber daya Desa wisata, baik keadaan alam, kesejahteraan, dan budaya.
72
DAFTAR PUSTAKA Adimihardja K. 1992. Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh. Bandung: Tarsito Ahimsa-Putra H.S. 2004. Mengembangkan wisata budaya dan Budaya Wisata. Puspar. Yogyakarta Anen N. 2012. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah [thesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh dari : http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/63118 Azhari Y. 2015. Modal Sosial Masyarakat dalam Mengembangkan Ekowisata Bahari di Pulau Pramuka DKI Jakarta [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh dari : http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/66322 Badaruddin. “Modal Sosial (Social Capital) dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan”, dalam M. Arief Nasution, Badaruddin, Subhilhar, (Editor). 2005. Isu-isu Kelautan : Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Baskoro B & Rukendi C. 2008. Membangun Kota Pariwisata Berbasis Komunitas: Suatu Kajian Teoritis. Jurnal Kepariwisataan Indonesia. Vol 3 No. 1, Maret 2008 ISSN 1907-9419. Dapat diunduh dari http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/DHS/1%23.pdf. Coleman JS. 2010. Dasar-dasar Teori Sosial. Muttaqien I, Widowatie DS dan Purwandari S, penerjemah; Dariyatno, penyunting. Cetakan ketiga. Bandung: Penerbit Nusa Media. Terjemahan dari: Foundations of Social Theory. Dahlan MZ. 2009. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Di Kampung Budaya Sindangbarang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor (Pendekatan Community Based Planning) [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Dapat di unduh di http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/44815/A09mzd.p df?sequence=1&isAllowed=y Dewi D. R. & Hapsari, H. 2012. Kajian Aspek Sosiologi Wisatawan di Objek Agrowisata (Kasus di Kampung Wisata Cinangneng, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat). Jurnal Ilmiah Pariwisata. Vol 17, No. 2, Juli 2012, Hal 121- 138. Dapat diunduh di http://www.stptrisakti.ac.id/puslit/jurnal/JI-PariwisataVol%2017%20No%202-Juli2012.pdf, Flassy DJ, Rais S, Supriono A. 2009. Modal sosial: Unsur-unsur Pembentuk. Jakarta: Bappenas. http://images.dancesorsel.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/S3J -AooCGsAABXRR6k1/Sosial%20Capital,%20 Unsur-Unsur%20 Pembentuknya.pdf?nmid=316741032. [24 November 2015] Fukuyama F. 2002. Trust:Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemaksmuran. Yogykarta: Penerbit Qalam. Hasbullah J. 2006. Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MR-United Press Jakarta. Jakarta.
73
Hiborang, M. 2013. Strategi Pengelolaan Oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Kepulauan Sitaro. Dapat diunduh dari http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnaleksekutif/article/viewFile/483 3/4358 Jalaludin R.2007. Persepsi Dalam Proses Belajar Mengejar. Jakarta: Rajawali Pers
Kasih Y. 2007. Peranan Modal Sosial (social capital) terhadap efektivitas lembaga keuangan di pedesaan (studi kasus di Provinsi, Sumatera Barat).[internet].[dikutip tanggal 29 September 2015]. Dapat diunduh dari: isjd.pdii.lipi.go.ig/admin/jurnal/12106118125pdf. Lawang R. 2004. Capital Sosial: Dalam Perspektif Sosiologis Suatu Pengantar. Jakarta: Fisip UI Press. Mardikanto T. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta [ID]: UNS Press. Mawardi, M.J. 2007. Peranan Social Capital Dalam Pemberdayaan Masyarakat.Komunitas 2, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. Nafila, O. 2013. Peran Komunitas Kreatif dalam Pengembangan Pariwisata Budaya di Situs Megalitikum Gunung Padang. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota.Vol 24 : (65-80). Bandung. Dapat diunduh dari http://sappk.itb.ac.id/jpwk1/wp-content/uploads/2014/04/173-181.pdf Nasdian FT. 2006. Modul pengembangan masyarakat: Bagian Sosiologi Pedesaan dan Pengembangan Masyarakat. Bogor [ID]: (tidak diterbitkan) [IPB] Institut Pertanian Bogor. Ningrum, I.R. 2014. Analisis Peran Modal Sosial Terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam Melestarikan Kebudayaan dan Pengembangan Sektor Pariwisata (Di Desa Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Kabpaten Gianyar, Bali)[pdf].[internet].[dikutip tanggal 3 September 2015]. Dapat diunduh dari: http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/1360/1255 Nugroho PS. 2013. Pengelolaan Kawasan Wisata Berbasis Masyarakat sebagai upaya Penguatan Ekonomi Lokal dan Pelestarian Sumber Daya Alam di Kabupaten Karanganyar. Jurnal [Cakra Wisata]. Vol. 13 Jilid 1. [Internet]. Karangayar [ID]. Dapat diunduh di: lppm.uns.ac.id/journal/index.php/cakrawisata/article/download/6/5 Oktinaldi. 2012. Pola Pengolahan Hutan Lindung Sebagai Lahan Pertanian Masyarakat. [Skripsi]. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Andalas Padang. Oktaviyanti, S.S. 2013. Dampak Sosial Budaya Interaksi Wisatawan dengan Masyarakat Lokal di Kawasan Sosrowijayan. Jurnal Nasional Pariwisata. Volume 5, nomer 3, Desember 2013 (201-208) ISSN 14119862. Dapat diunduh dari http://jurnal.ugm.ac.id/tourism_pariwisata/article/download/6693/5256. Oppenheim-Lauterpacht. 1996. International Law: A Treaties vol 1: Peace, edisi ke-8, Longmans, 1967, hlm. 305 dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. hlm. 30. PNPM MANDIRI PARIWISATA Tahun 2012 Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Poli W.I.M. 2007. Modal Sosial Pembangunan: gambaran dan dua distrik di Kabupaten Jayapura. Makasar [ID]: Hasanuddin University Press.
74
Putra A. 2015. Intervensi Terhadap Kedaulatan Suatu Negara Menurut Hukum Internasional.[internet]. [Dikutip tanggal 19 Juni 2016]. Dapat diunduh di http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/ANDREW%20FIRDA US%20SUNARSO%20PUTRA%20E1A010140.pdf Rachmawati, E. et. al. Interaksi Sosial Masyarakat Dalam Pengembangan Wisata Alam Di Kawasan Gunung Salak Endah. Dapat diunduh dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=86372&val=245. Singarimbun M. dan S. Effendy. 2006. Metode Penelitian Survei. Jakarta [ID]: Pustaka LP3ES. Soeriaatmaja AR. 2005. Peran Penataan Ruang Tapak pada Pengembangan Pariwisata Budaya Tradisional. Dalam M. P. Gunawan, Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Sugihartono dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Suharto E.2006. Modal Sosial dan Kebijakan Publik [pdf]. [internet]. [dikutip tanggal 29 September 2015]. Dapat diunduh dari: http://www.policy.hu/suharto/NAska%20_SOSIA. PdfSumarto H Sj. 2009. Inovasi, Patisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Susamto A. 2008. Hibrida Lokal-Global Pada Politik Komodifikasi Budaya Serentaun Rekontruktif, Upacara Tahunan Masyarakat Sunda, Di Sindangbarang, Kabupaten Bogor [thesis]. Universitas Indonesia. [Dikutip tanggal 16 Februari 2016]. Dapat di unduh dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20251262-RB00S439hHibrida%20lokal.pdf Syahriar G.2015. Modal Sosial dalam Pengelolaan dan Pengembangan Pariwisata di Obyek Wisata Colo Kabupaten Kudus [skripsi]. Universitas Diponegoro. Semarang Syahyuti. 2008. Peran Modal Sosial (Social Capital) Dalam Perdagangan Hasil Pertanian. Jurnal Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Vol. 25 No.1. Dapat diunduh dari http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/FAE26-1c.pdf. Timothy and Nyaupane. 2009. Cultural Heritage and Tourism in the Developing World: A regional perspective. New York: Routledge – edition published in the Taylor and Francis e-Library. Untari R. 2009. Strategi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di zona wisata bogor barat, kabipaten bogor [Tesis]. [Internet]. Bogor [ID] : Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Dapat dilihat di: http://repository.ipb.ac.id Waidi. 2006. The Art of Re-engineering Your Mind for Success. Jakarta: Gramedia. Walgito B. 2004. Pengantar Psikologi Umum, Andi, Yogyakarta.
Widodo S. 2012. Penguatan Modal Sosial Untuk Pengembangan Nafkah Berkelanjutan dan Berkeadilan. Strategi Nafkah keberlanjutan Bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir. Dapat diunduh dari http://agribisnis.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/PenguatanModal-Sosial-Untuk-Pengembangan-Nafkah-Berkelanjutan-danBerkeadilan.pdf.
75
Yuliarmi N. 2011. Peran Pemerintah, Lembaga Adat Dan Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Industri Kecil Dan Menengah (Studi Pada Industri Kerajinan Di Provinsi Bali). Disertasi. Program Doktor Ilmu Ekonomi Pascasarjana, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang Yoeti, O.A. 2010. Dasar-dasar Pengertian Hospitaliti dan Pariwisata. PT Alumni, Bandung ------------. 2008. Ekonomi Pariwisata. Kompas, Jakarta ------------. 1980. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung [ID]: Angkasa. 372 halaman. http://www.kemenpar.go.id/userfiles/file/RENSTRAKEMENBUDPAR2010.pdf http://www.kp-sindangbarang.com
76
77
78
79
LAMPIRAN Lampiran 1Peta Lokasi Penelitian Peta Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Gambar 2. Lokasi Penelitian di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
80
Lampiran 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2016 Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Skripsi Pengambila n Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi
81
Lampiran 3Kerangka Sampling DAFTAR PENDUDUK DUSUN DUKUH MENTENG, DESA PASIR EURIH, KECAMATAN TAMANSARI, KABUPATEN BOGOR No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Nama IHA APO HSN HDR ADL ASP MSM IDS WWN USM RON MAL IJK SLH NJH IKY TBI SMJ KHO NDH OIM DID AJI UNG ANG KPH SEN EMP USA YYH IYA BRJ SBK JAY AND PMN RNI
Jenis Kelamin L L L L L L L L L L L P L L P L L L P L L L L P L L P L L P P L L L L L P
Usia 40 33 43 35 55 57 50 23 49 31 41 50 50 31 29 36 26 62 25 36 43 46 59 28 55 43 26 57 45 46 34 45 77 80 40 48 34
Pekerjaan Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Mengajar Mengaji Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu
82
38 39 40 41 42 43 44 45
YYR IRP SHL KRY ECP IDA PRT SOM
P L L L L P L L
60 24 70 31 62 46 69 50
Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Pengrajin Sepatu Buruh Pedagang Pengrajin Sepatu Pedagang Pengrajin Sepatu
83
Lampiran 4. Kuesioner Penelitian PENGARUH PEMBANGUNAN PARIWISATA BUDAYA TERHADAP MODAL SOSIAL KOMUNITAS (Kasus Kampung Budaya Sindangbarang, Desa Pasir eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Oleh : Rohmah Khayati Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor No. Kuesioner : Tanggal Wawancara : Nama Responden : Alamat Responden : I. Karakteristik Responden a. Jenis Kelamin b. Umur c. Pendidikan terakhir d. Jumlah tanggungan dalam keluarga e. Lama tinggal di lokasi (tahun) f. Pekerjaan
: 1. Laki-Laki 2. Perempuan : ...................................... : ...................................... : ...................................... : ...................................... : ......................................
Variabel Aktivita Budaya Persepsi dalam Pengelolaan Wisata Budaya No Pernyataan Ya 1 Apakah kegiatan Serentaun mencerminkan penghayatan secara umum dari masyarakat terhadap nilai budaya sunda 2 Apakah kegiatan Serentaun mencerminkan penghayatan secara umum dari masyarakat terhadap norma budaya sunda 3 Apakah kegiatan yang dilakukan oleh pengelola menciptakan pengendalian untuk mengembangkan sikap penguatan jati diri budaya sunda di masyarakat 4 Apakah kegiatan yang dilakukan oleh pengelola dapan melakukan pengendalian dalam mengembangkan perilaku mewariskan budaya sunda 5 Apakah pengelola melibatkan masyarakat
Tidak
Keterangan
84
dalam pemeliharaan daerah wisata budaya Apakah masyarakat pernah diberikan sosialisasi mengenai rencana pengembangan wisata 7 Apakah masyarakat pernah diundang untuk persetujuan diawal pembangunan wisata budaya 8 Apakah pembangunan wisata didukung masyarakat setempat 9 Apakah pelaksanaan wisata saat ini mendapatkan dukungan dari masyarakat setempat Partisipasi dalam Kegiatan Budaya 10 Apakah anda ikut serta dalam upacara Serentaun 11 Apakah anda ikut mengembangkan kemampuan apresiasi seni dalam mengenalkan budaya seni tari daerah 12 Apakah anda ikut mengembangkan kemampuan apresiasi seni dalam mengenalkan budaya seperti pencak silat 13 Apakah anda ikut mengembangkan kemampuan apresiasi seni dalam mengenalkan budaya seperti menanam padi 14 Apakah anda ikut mengembangkan kemampuan apresiasi seni dalam mengenalkan budaya seperti menumbuk padi 15 Apakah anda ikut mengembangkan kemampuan apresiasi seni dalam mengenalkan budaya seperti belajar sejarah budaya lokal 16 Apakah anda diberikan tanggung jawab dalam perlindungan wisata budaya 17 Apakah anda diberikan tanggung jawab dalam pemanfaatan peninggalan budaya lokal 18 Apakah anda ikut mempromosikan kampung budaya kepada kerabat-kerabat anda 19 Apakah anda ikut dalam merehabilitas sarana dan prasarana dalam bentuk tenaga 20 Apakah anda ikut dalam merehabilitas sarana dan prasarana dalam bentuk uang 21 Apakah anda terlibat dalam pengelolaan kampung budaya ini 6
85
22
23
Apakah anda terlibat dalam pemeliharaan wilayah di sekitar kampung budaya sindang barang (seperti akses jalan masuk) Apakah anda terlibat dalam keamanan di sekitar kampung budaya sindang barang Variabel Modal Sosial
I. Kepercayaan 24 Apakah anda percaya kepada pengelola kampung budaya dalam pemeliharaan lingkungan 25 Apakah pengelola kampung budaya mengkomunikasikan kepada anda tentang pembangunan kampung budaya 26 Apakah anda bersedia untuk saling menguatkan hubungan kerjasama dengan pengelola pariwisata budaya 27 Apakah anda bersedia untuk gotong royong dengan pengelola pariwisata budaya 28 Apakah anda bersedia untuk bekerja sama dengan pengelola pariwisata budaya II. Nilai dan Norma 29 Apakah ada kesepakatan aturan yang dibentuk antar warga dan pengelola kampung budaya 30 Apakah norma sunda di wilayah ini diterapkan dengan baik 31 Apakah norma yang berlaku di warga sekitar diterapkan oleh pengelola kampung budaya sindang barang 32 Apakah nilai yang berlaku di warga sekitar diterapkan oleh pengelola kampung budaya sindang barang 33 Apakah ada sanksi bila melakukan penyimpangan nilai maupun norma sunda III. Jaringan 34 Apakah anda memiliki rasa untuk bergotong royong dalam pembangunan wisata 35 Apakah anda ikut bekerjasama dalam pengelolaan pembangunan wisata 36 Apakah anda ikut bekerjasama dalam keamanan pembangunan wisata 37 Apakah anda membantu mengatasi permasalahan di Kampung Budaya Sindang Barang
86
38
Apakah anda bersedia bekerja sama dalam menjaga keamanan pengelolaan kampung budaya sindang barang
87
Lampiran 5. Panduan Pertanyaan PANDUAN PERTANYAAN MENDALAM PENGARUH PEMBANGUNAN PARIWISATA BUDAYA TERHADAP MODAL SOSIAL KOMUNITAS (Kasus Kampung Budaya Sindangbarang, Desa Pasir eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Tujuan: Menggali informasi terkait Pengaruh pembangunan pariwisata budaya terhadap modal sosial komunitas di Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Informan : Pihak Kampung Budaya Sindang Barang Hari/ tanggal wawancara Lokasi wawancara Nama dan Umur Informan Pekerjaan
: : : :
Pertanyaan Penelitian 1. Riwayat singkat kampung Sindangbarang yang ditetapkan sebagai Perkampungan Budaya 2. Pemanfaatan yang telah dilakukan pengelola terhadap kawasan wisata 3. Permasalahan atau kendala yang terjadi dalam pengelolaan kawasan wisata 4. Solusi atau tindakan dalam menghadapi permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan kawasan 5. Kerja sama yang sudah dilakukan untuk pengembangan pengelolaan wisata 6. Pengelola setuju atau tidak jika melibatkan masyarakat dalam mengelola kawasan wisata? Dalam bentuk apa? 7. Anggaran / biaya yang dikeluarkan / dibutuhkan untuk pengelolaan wisata 8. Pendapatan yang diperoleh 9. Berapa jumlah karyawan/pegawai? Berasal darimana? 10. Jumlah wisatawan dalam satu tahun akhir 11. Apakah pelaku usaha sekitar kawasan merupakan masyarakat lokal atau masyarakat pendatang? 12. Berapa banyak masyarakat lokal dan masyarakat pendatang yang menjadi pelaku usaha? 13. Apa kelemahan dari pengembangan wisata budaya di daerah ini? 14. Peran pihak pengelola dalam mempertahankan keberadaan kampung Sindangbarang? 15. Bentuk kegiatan apa saja yang dilakukan pihak pengelola dalam mempertahankan dan melestarikan budaya lokal? 16. Bagaimana pengelola menjadwalkan wisata budaya dalam pertunjukan dan pergelaran seni? 17. Bagaimana pengelola mempromosikan wisata budaya ke wisatawan? 18. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk tetap menjaga eksistensi atraksi budaya agar tetap menarik wisatawan?
88
Informan :Tokoh Masyarakat Hari/ tanggal wawancara Lokasi wawancara Nama dan Umur Informan Pekerjaan
: : : :
Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana sejarah singkat mengenai penetapan Perkampungan Budaya Sindangbarang di Wilayah Desa Pasir Eurit? 2. Apakah ada perundingan dengan masyarakat mengenai penetapan kawasan? 3. Apa mata pencaharian utama masyarakat wilayah ini? 4. Bagaimana sistem norma, nilai dan budaya yang berlaku di masyarakat? 5. Apakah kawasan wisata Perkampungan Budaya Sindangbarang memberikan kontribusi peningkatan pendapatan pada masyarakat sekitar? 6. Apakah kawasan ini berperan dalam menopang kehidupan ekonomi masyarakat sekitar? 7. Apa kelemahan dari pengembangan wisata budaya di daerah ini? 8. Apakah kawasan ini berpengaruh positif dalam pemeliharaan dan pelestarian budaya lokal? 9. Bagaimana peran anda dalam memperkenalkan budaya lokal terhadap masyarakat pendatang? 10. Apakah anda terlibat di dalam pergelaran maupun pelatihan atraksi budaya di Perkampungan Budaya lokal? 11. Apakah masyarakat sekitar kawasan berpartisipasi mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan budaya lokal? 12. Kegiatan apa saja yang dilakukan masyarakat yang berkaitan dengan budaya lokal? 13. Apakah pihak pengelola PBB melindungi dan membina secara terus menerus tata kehidupan, seni budaya tradisional lokal? 14. Apa harapan anda untuk kawasan wisata PBB di masa yang akan datang khususnya dalam pemeliharaan dan pelestari budaya? Informan :Wawancara mendalam responden Hari/ tanggal wawancara Lokasi wawancara Nama dan Umur Informan Pekerjaan
: : : :
Pertanyaan Penelitian 1. Apakah anda masyarakat lokal atau masyarakat pendatang? 2. Sudah berapa lama anda bekerja di kawasan ini? 3. Apa saja yang anda ketahui mengenai wisata budaya di kawasan ini?
89
4. Apa kelemahan dari pengembangan wisata budaya di daerah ini? 5. Setiap hari apa pergelaran seni musik, tari dan lainnya diadakan? Berapa kali? 6. Menurut anda bagaimana keadaan perkampungan Sindangbarang saat ini? 7. Menurut anda bagaimana hubungan pihak pengelola PBB dengan masyarakat? 8. Apakah masyarakat dilibatkan dalam pengembangan kawasan wisata ini? 9. Apakah ekowisata memberikan kontribusi yang besar pada peningkatan pendapatan rumahtangga? Berapa besar kontribusinya? 10. Apakah lahan yang anda tempati untuk usaha merupakan lahan sendiri? Berapa luasnya? 11. Upaya – upaya apa saja yang anda lakukan untuk tetap menjaga budaya sunda? 12. Apakah masyarakat merasa diuntungkan/dirugikan dengan pembangunan di kawasan ini sebagai Perkampungan Budaya lokal? Jelaskan! 13. Apa harapan anda pada kawasan ini untuk keberlanjutan hidup masyarakat sekitar?
90
Lampiran 6 Hasil Uji Statistik Uji Realibilitas Cronbach's Alpha .817
N of Items 40 Correlations Persepsi
Correlation Coefficient Persepsi
1.000
Sig. (2-tailed)
45
45
**
1.000
.009
.
45
45
.387
Sig. (2-tailed)
**
.009
N
Kepercayaan
.387
.
Spearman's rho Correlation Coefficient
Kepercayaan
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations Persepsi Correlation Coefficient Persepsi
Nilai_Norma
1.000
.186
.
.221
45
45
Correlation Coefficient
.186
1.000
Sig. (2-tailed)
.221
.
45
45
Sig. (2-tailed) N
Spearman's rho Nilai_Norma
N
Correlations Persepsi Correlation Coefficient Persepsi
Jaringan
1.000
.235
.
.119
45
45
Correlation Coefficient
.235
1.000
Sig. (2-tailed)
.119
.
45
45
Sig. (2-tailed) N
Spearman's rho Jaringan
N
91
Correlations Partisipasi Correlation Coefficient Partisipasi
Kepercayaan
1.000
.198
.
.192
45
45
Correlation Coefficient
.198
1.000
Sig. (2-tailed)
.192
.
45
45
Sig. (2-tailed) N
Spearman's rho Kepercayaan
N
Correlations Partisipasi Correlation Coefficient Partisipasi
Nilai_Norma .337
.
.023
45
45
Sig. (2-tailed) N
Spearman's rho Nilai_Norma
Correlation Coefficient
.337
*
1.000
Sig. (2-tailed)
.023
.
45
45
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations Partisipasi Correlation Coefficient Partisipasi
Jaringan
1.000
.232
.
.125
45
45
Correlation Coefficient
.232
1.000
Sig. (2-tailed)
.125
.
45
45
Sig. (2-tailed) N
Spearman's rho Jaringan
N
*
1.000
92
Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian
93
RIWAYAT HIDUP Peneliti dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Maret 1994 dari Bapak Dwi Hartono dan Ibu Sulatin.Peneliti merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Peneliti menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Depok, yaitu SD Negeri Gandul 01 lulus tahun 2006, SMP Negeri 13 Depok lulus tahun 2009, dan SMA Negeri 6 Depok lulus tahun 2012. Pada tahun 2012 penulis di terima sebagai salah satu mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) undangan dan diterima sebagai mahasiswa Departement Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Peneliti juga aktif sebagai anggota UKM Lises Gentra Kaheman 20132014, kemudian menjadi anggota Divisi Kominfo UKM Lises Gentra Kaheman 2015-2016. Serta sebagai anggota Redaksi Online di Majalah Komunitas FEMA Februari-Desember 2014. Pengalaman kerja penulis adalah sebagai asisten praktikum Mata Kuliah Komunikasi Massa pada tahun 2016.