HUBUNGAN METILASI DNA DAN EKSPRESI GEN MADS BOX DENGAN BUAH MANTEL PADA TANAMAN KLONAL KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
MAHARANI ANISCHAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Hubungan Metilasi DNA dan Ekspresi Gen MADS-box dengan Buah Mantel pada Tanaman Klonal Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah karya saya bersama komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013
Maharani Anischan NRP P051100161
RINGKASAN
MAHARANI ANISCHAN. Hubungan Metilasi DNA dan Ekspresi Gen MADSbox dengan Buah Mantel pada Tanaman Klonal Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Dibimbing oleh SUHARSONO dan NURITA TORUAN-MATHIUS. Buah mantel pada tanaman klonal kelapa sawit skala besar sangat berpengaruh terhadap produktivitas minyak. Fenotip mantel disebabkan oleh perubahan epigenetik yang melibatkan metilasi DNA dan gen MADS-box yang menyandikan transformasi homeotik organ reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan teknik Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) untuk mengetahui tingkat metilasi yang menentukan abnormalitas buah dan Quantitative Real Time PCR (qPCR) untuk mengetahui hubungan abnormalitas buah dengan ekspresi gen MADS-box. Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu analisis metilasi DNA dan analisis ekspresi gen MADS-box. Bahan yang digunakan adalah buah muda normal dan buah muda mantel dengan abnormalitas sangat berat. Buah mantel dikelompokkan menjadi dua, yaitu buah mantel yang terdapat di dalam tandan (Abn m) dan buah mantel yang terdapat di luar tandan (Abn). Analisis ekspresi gen dilakukan dengan melakukan analisis mRNA dan analisis metilasi dilakukan terhadap DNA genom total. Untuk analisis ekspresi gen, mRNA digunakan sebagai cetakan untuk mensintesis cDNA. Masing-masing percobaan dilaksanakan dengan dua kali ulangan, untuk setiap gen dan cDNA. Ekspresi dari gen target dibandingkan dengan EF1-α1 sebagai gen pembanding. Berdasarkan efisiensi qPCR dengan membandingkan gen target dan gen pembanding, dari 11 gen yang diuji, yaitu: EgSQUA1, EgSQUA3, EgFUL, EgGLO1, EgGLO2, EgDEF1, EgAG2, EgAGA, EgAGL6, EgF-box dan EgRING, hanya tiga gen, yaitu EgAG2, EgAGA dan EgAGL6 yang memenuhi syarat untuk analisis qPCR. Ekspresi gen EgAG2 tidak berbeda antara buah mantel dan buah normal, sedangkan ekspresi gen EgAGA dan EgAGL6 antara buah mantel dan buah normal berbeda. Ekspresi gen EgAGA lebih tinggi di buah mantel daripada di buah normal, sedangkan ekspresi gen EgAGL6 lebih rendah di buah mantel tua daripada di buah mantel muda dan buah normal. Pemotongan DNA genom dengan enzim S1 Nuklease dan UPLC menunjukkan adanya hipermetilasi pada buah mantel sebesar 18.33-19.55% dibandingkan dengan buah normal sebesar 5.67%. Peningkatan level metilasi salah satunya ditunjukkan oleh penurunan yang nyata dari level ekspresi gen EgAGL6 pada buah mantel. Gen ini diduga terlibat dalam perkembangan buah mantel. Kata kunci: metilasi DNA, gen MADS-box, buah mantel, quantitative real-time PCR
SUMMARY
MAHARANI ANISCHAN. Correlation between DNA Methylation and Expression of the MADS-box Genes on Mantled Fruit of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Clonal Plants. Supervised by SUHARSONO and NURITA TORUAN-MATHIUS. The presence of abnormal mantled fruit on large scale clonal production of oil palm had trully affected the oil productivity. Mantled phenotype is likely to be that of an epigenetic change involving DNA methylation and the MADS-box transcription factor genes which encoded floral organ homeotic transformation. We developed an Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) to quantify the degree of methylation related to fruit abnormality and Quantitative Real-Time PCR (qPCR) to know the correlation between the expression of the MADS-box genes with mantled fruit abnormality. This study were consist of two experiments, the DNA methylation analysis and the MADS-box genes expression analysis. Materials used in this study were the young fruit of both normal and mantled with very heavy type of abnormality. Abnormal mantled fruit were grouped into two types, one is taken from inside (Abn m) and other is from outside the bunch (Abn). In gene expression analysis, cDNA used as the template for qPCR were obtained from the reverse transcription of the mRNA, while methylation analysis performed on total DNA genomic. The research for each gene and cDNA were conducted in two replications. The expression of the target genes were compared to EF1-α1 as the reference gene. Based on qPCR efficiency by comparing the target genes with the reference gene, from 11 genes that have been tested, i.e EgSQUA1, EgSQUA3, EgFUL, EgGLO1, EgGLO2, EgDEF1, EgAG2, EgAGA, EgAGL6, EgF-box and EgRING, only three genes are qualified for qPCR analysis, i.e EgAG2, EgAGA and EgAGL6. EgAG2 expression was not different in both mantled and normal fruit, while EgAGA expression was higher in mantled and EgAGL6 expression was significantly lower in outside-bunched mantled fruit (Abn). Nuclease S1 digestion and UPLC revealed the genome-wide increasing in DNA methylation on mantled fruit (18.33-19.55%) compared to its normal counterparts (5.67%). This increased in global DNA methylation showed by the significant decreased in EgAGL6 transcript level on mantled fruit. This gene is assumed to be involved in the development of mantled fruit. Key words: DNA methylation, MADS-box genes, mantled fruit, quantitative realtime PCR.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
HUBUNGAN METILASI DNA DAN EKSPRESI GEN MADS-BOX DENGAN BUAH MANTEL PADA TANAMAN KLONAL KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
MAHARANI ANISCHAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA
Judul Penelitian
Nama NIM
: Hubungan Metilasi DNA dan Ekspresi Gen MADS-box dengan Buah Mantel pada Tanaman Klonal Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) : Maharani Anischan : P051100161
Disetujui oleh, Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Suharsono, DEA Ketua
Dr Ir Nurita Toruan-Mathius, MS Anggota
Diketahui oleh,
Ketua Program Studi Bioteknologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian:23 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
Judul Penelitian
Nama NIM
Hubungan Metilasi DNA dan Ekspresi Oen MADS-box dengan Buah Mantel pada Tanaman Kional Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Maharani Anischan P051100161
Disetujui oIeh,
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Suharsono, DEA Ketua
rita Toruan-Mathius MS Anggota
Diketahui oIeh,
Ketua Program Studi Bioteknologi
Prof Dr Ir Suharsono, DEA Tanggal Ujian:23 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
2 2 NO J 1013
\
PRAKATA
Puji serta syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Hubungan Metilasi DNA dan Ekspresi Gen MADS-box dengan Buah Mantel pada Tanaman Klonal Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)”. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Prof Dr Ir Suharsono, DEA sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr Nurita Toruan-Mathius, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan ilmunya kepada penulis. 2. Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan tesis ini. 3. Bakrie Center Foundation yang telah memberikan beasiswa pendidikan, hingga penulis dapat menyelesaikan studi pada program Pascasarjana Bioteknologi di IPB. 4. PT. SMART, Tbk. yang telah memberikan dana dan fasilitas untuk pelaksanaan penelitian ini. 5. Andree Sunanjaya Kusnandar, S.Si yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan sebagian dari proyek penelitiannya. 6. Keluarga besar laboratorium Genomik dan Transkriptomik, PT. SMART, Tbk. di Bogor yang telah banyak memberikan bantuan atas kelancaran penelitian ini. 7. Kedua orangtua beserta kakak-kakak yang telah memberikan begitu banyak perhatian, dukungan dan do’anya kepada penulis. 8. Segenap sahabat mahasiswa S2 Bioteknologi IPB angkatan 2010 yang telah banyak memberikan motivasi dan bantuannya. 9. Segenap karyawan serta staff administrasi Program Studi Bioteknologi IPB, yang telah banyak membantu penulis dalam proses administrasi. Serta semua pihak yang telah banyak memberikan motivasi, dan dukungannya serta menjadi inspirasi bagi penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2013 Maharani Anischan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kelapa Sawit Faktor Transkripsi Gen MADS-box Metilasi DNA dan Ekspresi Gen 3 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Prosedur Kerja 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi RNA Total Sintesis cDNA Utas Tunggal Penentuan Ekspresi Gen dengan qPCR Isolasi DNA Genomik Pencacahan DNA Genomik dengan Enzim S1 Nuklease Kuantifikasi Metilasi dengan UPLC Hubungan Metilasi DNA dengan Ekspresi Gen 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Halaman ix x x 1 1 2 3 3 7 8 10 15 15 15 15 23 23 24 25 32 33 34 35 37 37 37 38 45 51
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5
Komposisi buah Dura, Tenera dan Pisifera Rasio absorbansi RNA total serta Rasio 28 S:18S rRNA Validasi qPCR Gen MADS-box Perhitungan BNT EgAGL6, EgAG2 dan EgAGA Hasil pembacaan sampel DNA genomik pada spektrofotometer
Halaman 4 24 25 29 33
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18 19 20
Buah kelapa sawit Potongan melintang pada buah kelapa sawit regeneran Domain faktor transkripsi Struktur domain MIKC pada gen MADS-box Model penentuan identitas struktur bunga berdasarkan ekspresi gen MADS-box yang saling tumpang-tindih Metilasi pada basa sitosin Proses qPCR yang diamatidari peningkatan sinyal fluoresen Alur Penelitian RNA Total buah kelapa sawit hasil elektroforesis Qiaxcel Hasil amplifikasi EgACT1 Posisi Primer ActF dan ActR yang didisain dari gen aktin kelapa sawit EgACT1 pada ekson 1 dan ekson 2 dari gen aktin kedelai pSAc3 (Shah et al. 1982) Deteksi sinyal EgSQUA1 pada buah kelapa sawit. Hasil elektroforesis EgGLO2 menghasilkan pita yang tidak spesifik Deteksi sinyal NTC pada EgFbox, EgRING dan EgDEF1 Ekspresi gen EgAG2, EgAGA dan EgAGL6 pada buah kelapa sawit Abn dan Abn m terhadap Normal Hasil elektroforesis DNA genomik buah kelapa sawit Hasil pencacahan DNA genomik oleh enzim Nuclease S1 Pola peak kandungan metilsitosin (5-mC) pada buah normal dan abnormal Perbandingan kandungan 5-metil-sitidin antara buah normal dan abnormal Hasil Pembacaan Metilasi DNA genom dengan UPLC
4 6 7 8 10 11 13 16 23 24
25 26 28 28 30 33 33 34 34 50
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4
Data kurva standar Plot ∆CT melawan log amount template kurva standar Kesamaan cDNA beberapa gen MADS-box (Sumber: Tranbarger et al. 2011) Hasil Pembacaan Metilasi DNA genom dengan UPLC
45 47 49 50
PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman utama perkebunan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan luasan areal perkebunan dan jumlah ekspor komoditas ini dari tahun ke tahun (BPS 2009). Indonesia juga merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar dunia saat ini karena hampir 9 Mha luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia menghasilkan lebih dari 80% total minyak sawit dunia (FAO Statistik 2013). Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan produksi adalah penyediaan bibit berkualitas dengan produktivitas tinggi. Hal tersebut dapat dilakukan melalui perbanyakan klonal dari varietas unggul kelapa sawit dengan teknik kultur jaringan. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan teknologi kultur jaringan adalah timbulnya abnormalitas pada organ reproduktif diantaranya buah mantel yang disebabkan oleh adanya variasi somaklonal (Corley et al. 1986). Pada bunga ditemukan suatu struktur menyerupai karpel yang menggantikan stamen dan berbentuk seperti “pembungkus” pada buah (Adam et al. 2005). Menurut Hetharie (2008) pengaruh buah mantel pada produksi minyak dapat sangat besar, yaitu menurun sekitar 20-30% dibandingkan dengan buah normal. Hal ini disebabkan oleh akumulasi minyak yang sangat sedikit pada mesokarp buah mantel. Bahkan pada kasus buah mantel berat, mesokarp buah berubah menjadi jaringan yang sangat keras. Variasi somaklonal diartikan sebagai variasi genetik dan fenotipik di antara tanaman-tanaman yang diperbanyak secara klonal dari satu klon donor tunggal. Variasi ini salah satunya melibatkan perubahan ploidi (Kaeppler et al. 2000), namun Rival et al. (1997) tidak menemukan adanya perubahan pada level ploidi antara regeneran tanaman kelapa sawit normal maupun abnormal. Variasi sekuens juga dapat muncul melalui proses kultur (Kaeppler et al. 2000). Pencarian penanda molekuler untuk fenotip mantel kelapa sawit telah dilakukan melalui analisis RAPD (Rival et al. 1998), AFLP (Matthes et al. 2001) dan RFLP (Jaligot et al. 2002), namun juga belum berhasil menemukan pita DNA spesifik yang dapat membedakan tanaman yang berbuah normal dengan abnormal secara universal. Rao & Donought (1990) mengamati adanya suatu derajat yang signifikan dari pembalikan fenotip abnormal menjadi normal. Hal ini mengindikasikan adanya epigenetik. Menurut Kaeppler et al. (2000) epigenetik melibatkan perubahan ekspresi gen yang dapat balik (reversible), namun bukan disebabkan oleh aberasi kromosom atau perubahan pada sekuens DNA. Bollati & Baccarelli (2010) menyatakan bahwa metilasi DNA merupakan salah satu mekanisme yang terlibat dalam epigenetik. Hal ini dibuktikan oleh terdeteksinya global dan sekuens-spesifik hipometilasi DNA melalui analisis HPLC pada kalus (Jaligot et al. 2000) dan MSAP (Methylation-Sensitive Amplified Polymorphism) pada daun (Matthes et al. 2001) regeneran kelapa sawit yang menunjukkan fenotip abnormal. Tregear et al. (2002) menduga bahwa terdapat sejumlah kecil gen tertentu yang sangat sensitif terhadap perubahan metilasi pada kelapa sawit mantel.
2
Rival et al. (2000) melaporkan bahwa penurunan dalam metilasi DNA ini tidak satupun dapat dijelaskan oleh perubahan dalam level trankripsi dari tiga gen utama Metiltransferase DNA, sehingga gen-gen ini dapat dikatakan tidak terlibat langsung dalam pembentukan fenotip abnormal. Kubis et al. (2003) juga menyatakan bahwa perubahan dalam status metilasi elemen transposable pada regeneran kelapa sawit juga tidak terdeteksi. Oleh sebab itu diperlukan metode lain untuk menerangkan status metilasi DNA. Fenotip mantel disebabkan oleh modifikasi epigenetik yang mengubah pola ekspresi dari sejumlah gen yang terlibat dalam pembungaan dan perkembangan buah (Shearman et al. 2012). Proses organogenesis bunga (Adam et al. 2007a) dan perkembangan buah (Tranbarger et al. 2011) kelapa sawit didasarkan pada peranan faktor transkripsi, yaitu gen MADS-box. Menurut Elliot & Elliot (2009) metilasi salah satunya dapat terjadi di level faktor transkripsi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas buah kelapa sawit akibat metilasi dengan ekspresi beberapa gen MADS-box. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kuantitas metilasi yang menentukan tingkat abnormalitas pada buah serta hubungannya dengan gen MADS-box yang terekspresi pada buah abnormal. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan pemecahan permasalahan abnormalitas pada kelapa sawit. Qualitative Real Time Polymerase Chain Reaction (qPCR) adalah suatu teknik yang paling sensitif untuk deteksi dan kuantifikasi ekspresi gen yang ada pada saat ini (Kubista et al. 2006). Yang et al. (2011) menggunakan metode Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) untuk menetapkan status metilasi DNA.
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah (i) mengkuantifikasi level ekspresi beberapa gen MADS-box, (ii) menghitung level metilasi DNA genom dan (iii) menerangkan hubungan antara tingkat abnormalitas akibat metilasi dengan ekspresi gen MADSbox yang ada pada buah mantel.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tanaman monokotil yang termasuk ke dalam famili Arecaceae, tribe Cocoseae, subtribe Elaeidinae dan genus Elaeis. Nama Elaeis diambil dari bahasa Yunani, elaia, untuk olive (buah zaitun), sedangkan nama spesifik guineensis untuk kelapa sawit merujuk kepada pohon yang ditemukan oleh Jacquin di Teluk Guinea (Jacquemard 1998). Saat ini ada tiga spesies Elaeis, yaitu Elaeis guineensis dari Afrika yang dikenal sebagai kelapa sawit, dan dua spesies asli dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah, yaitu E. oleifera dan E. odora. Dari ketiga spesies ini E. guineensis merupakan spesies ekonomi paling utama (Corley & Tinker 2003). Kelapa sawit merupakan penghasil minyak nabati. Minyak dihasilkan dari dua bagian buah, yaitu dari mesokarp disebut crude palm oil (CPO) atau minyak sawit, dan dari kernel disebut kernel palm oil (KPO) (Hartley 1988). Menurut Koh et al. (2009) kelapa sawit Afrika (E. guineensis Jacq.) adalah sumber utama minyak nabati dunia. Hal ini disebabkan oleh minyak yang dihasilkan mencapai lebih dari 6.5 ton per hektar (tertinggi dari semua tanaman oleaginous) serta luasnya areal yang diperuntukkan bagi perkebunannya. Buah kelapa sawit termasuk jenis buah sesil drupe atau buah berbiji satu yang dibungkus oleh daging buah dari berbagai bentuk mulai dari bulat hingga ovoid atau memanjang. Panjang buah berkisar dari 2 sampai 7 cm. Buah terdiri atas eksokarp (kulit) yang tipis, mesokarp (daging) yang berminyak, endokarp (cangkang) yang keras dan suatu endosperm berminyak (kernel). Endokarp dan kernel merupakan bagian dari biji (Ng et al. 2003). Selain mengandung minyak yang jumlahnya mencapai 80% berat kering buah (Murphy 2009), mesokarp juga mengandung 11-21% materi berserat (Ng et al.2003) serta kaya akan karotenoid. CPO adalah sumber provitamin A terbanyak (Sambanthamurthi et al. 2000). Secara anatomi, buah didefinisikan sebagai ovari yang telah matang dan terkadang membawa sebagian atau bahkan keseluruhan dari jaringan karpel yang ada pada bunganya (Giovannoni 2004). Perkembangan buah terjadi setelah pembuahan seiring dengan pematangan biji. Proses ini diawali dengan pembesaran buah melalui pembelahan dan penambahan volume sel. Embrio kemudian matang dan biji mengakumulasi cadangan makanan, mengalami desikasi dan kehilangan air, sampai akhirnya buah matang. Proses pematangan disertai dengan perubahan dalam hal rasa, tekstur, warna dan aroma (White 2002). Tranbarger et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat lima fase dalam perkembangan mesokarp buah kelapa sawit, yaitu: 1. Pembelahan sel antiklinal dan ekspansinya seiring dengan peningkatan awal dalam berat serta ukuran buah. Fase ini terjadi antara 30-60 DAP (Day After Pollination), 2. Periode transisi yang dikarakterisasi oleh suatu fase lag dalam pengakumulasian berat segar serta puncak akumulasi IAA dan konjugatnya. Fase ini terjadi antara 60-100 DAP, 3. Akhir periode transisi yang ditandai oleh penurunan dalam metabolit auksin, gibberelin dan sitokinin. Fase ini terjadi antara 100-120 DAP,
4
4. Peningkatan berat segar mesokarp dan awal pengakumulasian lipid yang terjadi seiring dengan permulaan pematangan pada 120 DAP, 5. Akumulasi lipid dan karotenoid serta sejumlah kecil metabolit hormon (auksin, gibberelin, sitokinin atau etilen) yang terjadi antara 120-140 DAP, 6. Merupakan fase pemasakan yang ditandai dengan peningkatan hormon ABA dan etilen serta berat segar dan berat kering buah, pelepasan dinding sel terkait proses pemasakan dalam mesokarp, serta akumulasi lipid dan karotenoid dalam mesokarp. Puncaknya adalah pada 160 DAP, yaitu ketika akumulasi lipid dalam organel subseluler mengisi volume sel dan sel mesokarp telah diisi oleh bagian-bagian yang jelas, seperti kromoplast yang kaya akan karotenoid. Struktur internal dari buah bervariasi terutama dalam hal ketebalan cangkang, seperti ditunjukkan pada Gambar 1 dan Tabel 1 (Hardon 1955). Menurut Paranjothy (1984) ketebalan cangkang dikendalikan oleh gen tunggal. Tiga tipe buah yang berada di bawah kontrol monogenik dan menjadi dasar untuk pengelompokan minyak sawit, yaitu (1) Dura yang bersifat homozigous (ShSh) dengan cangkang tebal (2-8 mm), (2) Tenera yang bersifat heterozigous (Shsh) dengan cangkang tipis (0.5-4.0 mm) dan (3) Pisifera yang bersifat homozigous (shsh) dengan tanpa cangkang. Lubang perkecambahan E Emb m b
Penampang melintang Kulit Cangkang Mesokarp E m
Kernel Pisifera
Dura
Tenera
Gambar 1 Buah kelapa sawit Tabel 1 Komposisi buah Dura, Tenera dan Pisifera Kandungan bagian buah (%) Ketebalan Cangkang Tipe Mesokarp Cangkang (mm) Pisifera Tidak Ada Dura 20 – 65* 25 – 45 2.0 – 8.0 Tenera** 60 – 90 4 – 20 0.5 – 4.0 *Pada Deli Dura dari Far East lebih dari 65% **Hibrid dari Pisifera yang tidak bercangkang dan Dura yang bercangkang tebal.
5
Berdasarkan warna buah maka spesies E. guineensis dikelompokkan atas (1) Nigrescens, yaitu buah berwarna ungu hingga hitam di bagian apex dan tidak berwarna di bagian dasar saat umur buah masih muda dan menjadi merah kekuningan (orange) saat matang, (2) Virescens, yaitu buah berwarna hijau saat muda dan menjadi orange saat matang, (3) Albescens, yaitu buah berwarna kuning pucat dan tembus cahaya, karena mengandung sedikit karoten pada mesokarp, dan (4) Poissoni, yaitu sering disebut buah mantel atau buah dengan karpel tambahan atau mempunyai lebih dari satu biji dalam buah (Hartley 1988). Karakteristik biologis dari kelapa sawit berupa (1) siklus hidup yang panjang (Lubis 1992), (2) tidak memiliki bentuk reproduksi vegetatif alami (Khoo et al. 1999) serta (3) tingginya tingkat heterogenitas di antara hibrid-hibrid kelapa sawit (Asmono et al. 2000). Hal ini menyebabkan strategi pembibitan konvensional akan memakan waktu lama dan membutuhkan perlakuan yang intensif. Propagasi klonal dari tanaman kelapa sawit unggul melalui kultur jaringan telah dikembangkan untuk bibit atau sumber bahan tanam (Khaw et al. 1999). Menurut Khoo et al. (1999) bibit yang berasal dari klon hasil kultur jaringan menunjukkan hasil lebih baik dari bibit yang berasal dari biji. Lubis (1992) menyatakan bahwa tanaman hasil kultur jaringan menghasilkan jumlah tandan buah lebih banyak, berat tandan lebih tinggi dan waktu produksi yang lebih cepat. Duran-Gasselin et al. (1993) melaporkan bahwa kelapa sawit hasil kultur jaringan meningkatkan produksi minyak sawit mentah (MSM) sebesar 12% sampai 30% dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari benih hibrida. Soh et al. (2001) juga menyatakan bahwa minyak yang dihasilkan mengalami peningkatan 20% sampai 30% dibandingkan dengan bahan tanam hasil perbanyakan secara generatif. Protokol kultur jaringan pada dasarnya menyebabkan penghentian aktivitas secara tiba-tiba saat jaringan eksplan diambil dari tanaman donor. Selain itu juga terjadi perubahan kondisi lingkungan eksplan. Penggunaan zat pengatur tumbuh pada level tinggi juga dapat memicu proses redifferensiasi atau bahkan dedifferensiasi dari jaringan eksplan (Rival 2000). Istilah variasi somaklonal diberikan pada fenotip baru yang muncul secara acak dalam suatu lini sel somatis, khususnya setelah propagasi klonal in-vitro (Jaligot et al. 2010). Corley et al. (1986) mengungkapkan bahwa 5 sampai 10% proporsi kelapa sawit yang berasal dari embrio somatik memperlihatkan fenotip varian somaklon bersayap (mantled). Beberapa klon asal kultur jaringan menghasilkan bunga abnormal dengan feminisasi bagian bunga jantan maupun bunga betina. Adam et al. (2005) melaporkan bahwa morfologi mantel terjadi karena transformasi stamen pada bunga jantan dan staminode (vestigial stamen) pada bunga betina menjadi struktur yang menyerupai karpel. Menurut Adam et al. (2007a) pada bunga mantel jantan, transformasi stamen menjadi pseudokarpel berakibat pada sterilitas karena tidak terbentuk pollen. Sedangkan pada bunga mantel betina, fertilisasi pada kasus abnormal yang lebih ringan akan menghasilkan buah yang fertil. Namun pada kasus abnormal yang lebih berat akan menghasilkan buah partenokarpi atau perkembangan yang tertahan. Hartley (1988) menyatakan bahwa buah kelapa sawit yang mempunyai karpel tambahan disebut buah mantel.
6
Menurut Hetharie (2008) karakterisasi tingkat abnormalitas pada buah mantel didasarkan atas batasan antara karpel tambahan dengan karpel utama, kondisi mesokarp serta keberadaan biji. Pada buah normal tidak ada karpel tambahan, mesokarp berdaging dan mempunyai biji. Pada buah abnormal ringan ada karpel tambahan namun batasannya dengan karpel utama hanya tampak di bagian apeks, mesokarp berdaging dan masih mempunyai biji. Pada buah abnormal berat batasan antar karpel tambahan dan utama terlihat sangat jelas dari bagian ujung hingga tengah buah, mesokarp masih berdaging dan mempunyai biji. Pada buah abnormal sangat berat karpel tambahan terpisah dari karpel utama dimulai dari ujung hingga ke sepertiga pangkal buah, mesokarp berserat bahkan berkayu serta tidak memiliki biji (Gambar 2).
Gambar 2 Potongan melintang pada buah kelapa sawit regeneran. N, buah normal; M-, buah mantel ringan; M, buah mantel berat; sc, supernumerary carpel (Sumber: Jaligot et al. 2000) Timbulnya varian fenotip mantel ini hanya sekitar 5% dari kelapa sawit yang berasal dari kultur jaringan. Namun variasi yang dihasilkan bersifat sangat luas dan tidak dapat diprediksi, tergantung pada tanaman induk dan kondisi kultur in-vitro (Euwens et al. 2002). Tingkat abnormalitas sangat beragam, antara kelapa sawit yang berasal dari progeni klonal yang sama, antara infloresens yang tumbuh pada pohon yang sama, atau antara bunga yang menyusun infloresens yang sama. Suatu pembalikan yang spontan dan bertahap teramati di lapangan dan durasinya bergantung pada tingkat keparahan abnormalitas semula (Rizal & Parveez 2005). Hal ini mengindikasikan epigenetik (Tregear et al. 2002). Epigenetik adalah suatu fenomena yang berhubungan dengan perubahan ekspresi gen yang dapat kembali pulih tetapi bukan karena perubahan sekuens DNA (Kaeppler et al. 2000). Pembalikan fenotip abnormal menuju normal memerlukan waktu bertahuntahun. Periode non-produktif ini ditambahkan pula dengan masa 2 sampai 3 tahun perkembangan embrio somatik in-vitro serta 5 tahun kemudian sampai tanaman matang secara reproduktif. Abnormalitas pada organ reproduktif hanya dapat diketahui setelah tanaman berbunga atau berbuah. Akibatnya, abnormalitas mantel tidak hanya mengakibatkan penurunan dalam hal produksi minyak namun juga membuang waktu, area tanam dan infrastuktur bioteknologi (Jaligot et al. 2010). Rival et al. (1997) mencoba menelusuri penyebab adanya varian somaklonal mantel ini melalui analisis aliran sitometri dan tidak menemukan adanya perubahan level ploidi pada fenotip abnormal kelapa sawit. Kubis et al. (2003)
7
menyatakan bahwa fenotip mantel tidak disebabkan oleh pengaturan kembali elemen transposon. Rival et al. (1998) juga tidak menemukan polimorfisme DNA yang dapat dihubungkan dengan fenotip mantel. Fenotip mantel melibatkan transformasi homeotik organ bunga (Adam et al. 2005). Homeosis adalah penggantian sebagian atau keseluruhan dari salah satu organ dengan organ yang lain (Lehmann & Sattler 1992). Menurut Bowman et al. (1991) berdasarkan analisis genetik dari homeotik floral mutan, ditemukan bahwa sedikit perubahan dalam pola ekspresi gen MADS-box akan menentukan perubahan struktur bunga secara keseluruhan.
Faktor Transkripsi Gen adalah unit hereditas, bagian kecil dari DNA yang membawa kode informasi untuk sekuens asam amino dari satu rantai polipeptida (pada umumnya) atau untuk menghasilkan molekul RNA non-coding. Suatu gen tidak berperan langsung dalam sintesis protein. Pada eukariot, DNA berada dalam nukleus sedangkan sintesis protein berlangsung di sitoplasma, sehingga keduanya tidak pernah bertemu. Suatu gen mengatur sintesis protein dengan cara mengirimkan kopi RNA yang mengandung kode informasi dari gen tersebut ke sitoplasma. Proses ini disebut transkripsi dan kopi RNA yang dihasilkan disebut messenger RNA (mRNA). Transkripsi adalah proses penting sebelum gen diekspresikan (Elliot & Elliot 2009). Gen diinisiasi untuk menjalani transkripsi pada sekuens promoter dan RNA polimerase akan menempel di sekuens tersebut. Pada eukariot, RNA polimerase tidak berinisiatif untuk hadir begitu ada sekuens yang dikenalinya, melainkan diperintah oleh protein-protein (faktor transkripsi) yang terpasang terlebih dahulu pada sekuens elemen kontrol yang ada di daerah promoter (Gambar 3, Elliot & Elliot 2009). Faktor transkripsi adalah protein yang menempel pada elemen kontrol dari gen eukariot dan bertanggung jawab untuk mengontrol tahap inisiasi transkripsi. Suatu faktor transkripsi didisain agar dapat menempel pada sekuens kontrol elemennya. Beberapa faktor transkripsi diaktifkan hanya apabila menerima sinyal yang tepat dari lingkungan, misalnya yang berasal dari hormon (Elliot & Elliot 2009). Domain Aktivasi
Faktor Transkripsi
Domain Pengikatan DNA
Elemen Kontrol DNA
Gambar 3 Domain faktor transkripsi (Sumber: Elliot & Elliot 2009)
8
Faktor transkripsi merupakan regulator penting dalam proses seluler dan kompleksitas organisme hidup memerlukan sejumlah besar faktor transkripsi. Faktor transkripsi memiliki peranan penting dalam gene networks, yaitu dengan berinteraksi dan mengatur gen lain (Riechmann & Ratcliffe 2000). Sebagian besar faktor transkripsi yang mengatur perkembangan pada tanaman mulai dari akar hingga bunga serta perkembangan buah, disandikan oleh gen MADS-box (Becker & Theissen 2003).
Gen MADS-box Gen MADS-box dinamai dari singkatan huruf awal empat anggota pertamanya, yaitu Minichromosome maintenance 1 (MCM1; dari ragi), AGAMOUS (AG; dari Arabidopsis thaliana), DEFICIENS (DEF; dari Antirrhinum majus) dan Serum response factor (SRF; dari manusia) (SchwarzSommer et al. 1990; Shore & Sharrocks 1995). Menurut Alvarez-Buylla et al. (2000b) famili gen MADS-box dapat dibagi ke dalam dua kelas utama, yaitu Tipe I dan Tipe II. Kedua tipe gen ini ditemukan pada hewan, jamur dan tanaman. Namun fungsi gen MADS-box tipe I pada tanaman belum diketahui karena seluruh gen MADS-box tanaman yang sejauh ini telah berhasil dikarakterisasi dan berperan dalam perkembangan tanaman adalah termasuk dalam tipe II. Faktor transkripsi dikelompokkan ke dalam suatu famili berdasarkan struktur dan interaksi faktor transkripsi tersebut dengan daerah spesifik DNA yang akan ditempelinya (Luscombe et al. 2000). Gen yang termasuk dalam MADS-box tipe II tanaman memperlihatkan kemiripan struktur domain yang disebut struktur domain MIKC, antara lain mencakup domain: MADS (M-), intervening (I-), keratin-like (K-) dan C-terminal (C-). Gen MADS-box tipe II tanaman selanjutnya dikenal dengan sebutan gen MIKC (Gambar 4) (Munster et al. 1997). Menurut Liu et al. (2001) faktor transkripsi tersusun atas empat daerah fungsional berdasarkan analisis struktur proteinnya, yaitu daerah pengikatan DNA, daerah regulasi transkripsi, daerah dimerisasi dan daerah lokalisasi inti. Dengan keempat daerah ini maka faktor transkripsi dapat melakukan fungsinya. penempelan pada DNA
mengandung karakteristik motif C-terminus interaksi antar protein
Gambar 4 Struktur domain MIKC pada gen MADS-box (Sumber: Munster et al. 1997) Domain MADS (M-) disandikan oleh sekuens motif yang terkonservasi (Schwarz-Sommer et al. 1990) dengan panjang yang bervariasi. Namun panjang khasnya ada pada kisaran 168 hingga 180 bp. Hal ini berarti domain MADS menyandikan 56 hingga 60 asam amino (Lamb & Irish 2003). Domain MADS merupakan daerah yang paling konservatif dalam protein MADS-box (Riechmann et al. 1996). Sekuens motif dari domain MADS yang konservatif, selain
9
merupakan faktor utama yang menentukan penempelan pada DNA elemen kontrol, juga berperan dalam dimerisasi dan pengikatan faktor aksesori (Shore & Sharrocks 1995). Domain MADS (M-) berikatan dengan sequens DNA yang memiliki kesamaan yang tinggi terhadap motif CC(A/T) 6 GG yang disebut CarGbox (West et al. 1997). Domain-I yang relatif tidak konservatif menjadi penentu untuk pembentukan dimer selektif yang terlibat dalam pengikatan DNA. Domain-I yang terdapat pada seluruh protein MADS-box bervariasi dalam sekuens dan panjang (27 hingga 42 residu amino) (Riechmann & Meyerowitz 1997). Domain-K (keratin-like) ditunjukkan oleh suatu jarak reguler yang konservatif dari residu hidrofobik (Shore & Sharrocks 1995). Fungsinya adalah memediasi interaksi antar protein dan memulai dimerisasi melalui interaksi antar K-box yang ada pada protein-protein yang akan berdimer (Fan et al. 1997). Menurut Liu et al. (2001) daerah dimerisasi didefinisikan sebagai tempat bersatunya semua faktor transkripsi yang terlibat dalam regulasi gen tertentu. Domain-C yang terletak pada daerah C-terminus protein MADS-box (yang kaya glutamin) merupakan daerah yang paling variabel baik dalam hal sekuens ataupun panjang. Domain ini terlibat dalam proses aktivasi transkripsi atau pembentukan kompleks multimerik faktor transkripsi (Cho et al. 1999). Perluasan pada daerah C-terminus ini mengandung ≈ 30 asam amino (Shore & Sharrocks 1995). Menurut Liu et al. (2001) daerah regulasi transkripsi dibagi menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat mengaktifkan dan yang menghambat transkripsi. Daerah yang mengaktifkan transkripsi biasanya tersusun oleh asam amino yang bersifat asam seperti prolin dan glutamin, sedangkan asam amino penyusun daerah penghambat transkripsi sampai sekarang belum jelas. Protein MADS-box menempel pada DNA sebagai dimer. Struktur ini dapat berupa interaksi antara monomer dari protein yang sama membentuk homodimer atau antara monomer protein yang berbeda membentuk heterodimer. Sebagai contoh, protein SRF membentuk homodimer saat menempel secara in vitro pada DNA (Pellegrini et al. 1995), sedangkan protein MADS-box APETALA3 (AP3) dan PISTILLATA (PI) pada Arabidopsis merupakan heterodimer (Riechmann et al. 1996), namun beberapa protein MADS-box juga dapat membentuk kompleks yang lebih besar dalam mengatur perkembangan. Pada ragi, protein SQUA yang homodimer bergabung dengan DEF dan GLO yang merupakan heterodimer untuk menjalankan fungsi yang sama. Kompleks ini memperlihatkan afinitas penempelan yang lebih tinggi dibandingkan dengan saat masing-masingnya berdiri sendiri sebagai homodimer atau heterodimer (Egea-Cortines et al. 1999). Anggota famili gen MADS-box terlibat dalam beberapa aspek perkembangan pada tanaman dan merupakan dasar untuk diversifikasi morfologi, terutama dalam organ reproduksi (Theissen et al. 2000). Gen MADS-box berperan penting dalam perkembangan bunga berdasarkan model kuartet atau model ABCDE (Theissen 2001). Model ini dijelaskan berdasarkan hipotesis bahwa pembentukan lingkaran konsentris (whorl) pada organ bunga diatur oleh kombinasi dari ekspresi satu set gen yang saling tumpang tindih (overlapping) (Zhao et al. 2010; Gambar 5). Gen penentu identitas pembungaan dibagi ke dalam lima kelas yang berbeda, antara lain gen kelas A, B, C, D dan E yang berperan dalam lima fungsi homeotik yang berbeda, yaitu A menentukan sepal (daun kelopak), A + B + E
10
menentukan petal (mahkota), B + C + E menentukan stamen (organ bunga jantan), C + E menentukan karpel (organ bunga betina), dan C + D + E menentukan ovul (bakal biji) dalam karpel (Theiβen 2001, Gambar 5).
Gambar 5 Model penentuan identitas struktur bunga berdasarkan ekspresi gen MADS-box yang saling tumpang tindih. CAL, daun kelopak; COR, mahkota bunga; AN, organ bunga jantan; GY, organ bunga betina; OV, bakal biji (Sumber: Adam et al. 2007b) Sebagai konsekuensi dari fungsi tumpang-tindihnya, inaktivasi dari salah satu gen yang berperan dalam fungsi A, B atau C akan berakibat pada “overflowing” dari organ tetangganya (Zhao et al. 2010). Contoh tanaman yang paling sesuai untuk menggambarkan fenotip bunga mantel kelapa sawit adalah tanaman yang memiliki fungsi-B yang tidak sempurna, yaitu untuk fungsi petal dan stamen yang digantikan oleh sepal (fungsi A) dan karpel (fungsi C) (Coen & Meyerowitz 1991). Pada regeneran bunga mantel tanaman kelapa sawit, stamen atau staminode residual bunga jantan dan stamen pada bunga betina ditransformasi menjadi karpeloid dan karpel (Adam et al. 2005). Menurut Becker & Theissen (2003) gen-gen class A, B, C, D dan E yang telah diketahui terbagi ke dalam clade masing-masing berdasarkan kemiripan sekuens, antara lain SQUAMOSA (kelas A), DEFICIENS (kelas B), GLOBOSA (kelas B), AGAMOUS (kelas C dan D) dan AGL2-like (kelas E). Pada infloresens bunga mantel kelapa sawit, level ekspresi seluruh gen MADS-box menunjukkan penurunan. Penurunan pada seluruh gen MADS-box ini disebabkan oleh regulasi yang terjadi antar gen MADS-box. Didasarkan pada fakta bahwa mereka menempeli situs yang sama, yaitu CarG-box (Adam et al.2007a).
Metilasi DNA dan Ekspresi Gen Metilasi adalah penambahan gugus metil ke posisi karbon kelima pada basa sitosin yang dikatalisis oleh enzim Metiltranferase (Lewin 2008, Gambar 6). Metilasi terjadi pada situs gen yang spesifik. Umumnya gugus metil ditemukan pada situs CG. Apabila residu Sitosin (C) pada sekuens pendek palindromik di kedua utas DNA mengalami metilasi, situs itu disebut fully methylated. Namun apabila hanya salah satu dari kedua utas DNA yang termetilasi, situs itu disebut hemimethylated (Lewin 2008).
11
CH3
(a)
(b)
Gambar 6 Metilasi pada basa sitosin. (a) Struktur Sitosin; (b) Struktur Metilsitosin (Sumber: Elliot & Elliot 2009) Ada dua jenis enzim metiltransferase. Keduanya menggunakan Sadenosilmetionin (SAM) sebagai donor metil, yaitu de novo methyltrasferase dan maintenance methyltransferase. Saat replikasi DNA, enzim maintenance methyltransferase bekerja mengkopi pola metilasi utas DNA induk ke utas DNA anak yang mengandung pasangan GC komplementer. Dengan demikian dalam pembelahan sel, pola metilasi diturunkan. Namun pola metilasi ini tidak selalu diturunkan pada generasi selanjutnya, karena adanya proses demetilasi setelah fertilisasi. Enzim de novo methyltransferase bekerja menghadirkan pola metilasi yang baru selama perkembangan organisme. Pola tersebut juga dapat berubah sewaktuwaktu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus pola metilasi “terkunci” dan terkadang diturunkan dengan “tidak stabil” oleh keturunannya. Kejadian ini disebut genetic imprinting, yang merupakan salah satu kasus pada kontrol epigenetik (Elliot & Elliot 2009). Phillips et al. (1990) menyatakan bahwa keragaman somaklonal diduga berhubungan erat dengan perubahan pola metilasi DNA selama dalam kultur. Salah satu metode untuk memperkirakan status metilasi DNA adalah dengan menggunakan prinsip kromatografi untuk memfraksinasi nukleotida-nukleotida yang termetilasi dan pengukuran spektrofotometri untuk kuantifikasi. Metode ini memungkinkan untuk menentukan persentase nukleotida yang termetilasi (Mohan-Jain et al. 2002). Metilasi DNA dapat ditentukan dengan cara analitis setelah sebelumnya DNA dihidrolisis terlebih dahulu secara enzimatik atau dengan asam. Nuklease adalah enzim yang memotong, memendekkan atau mendegradasi molekul asam nukleat. Nuklease mendegradasi molekul DNA dengan memecah ikatan fosfodiester yang menghubungkan satu nukleotida dengan nukleotida berikutnya pada utas DNA (Brown 1991). Berdasarkan aktivitasnya terdapat dua kelas utama nuklease yaitu eksonuklease yang aktif pada bagian ujung molekul asam nukleat dan endonuklease yang memotong rantai asam nukleat dari dalam. Deoksiribonuklease memotong rantai DNA sedangkan ribonuklease memotong rantai RNA. Pemotongan tersebut menghasilkan torehan (titik) dalam sebuah molekul DNA berutas ganda serta menyebabkan hilangnya ikatan fosfodiester antara dua nukleotida yang berdekatan dalam satu utas (Rittie & Perbal 2008). Status metilasi DNA dapat diperkirakan dengan menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC), namun jalannya proses analisis sering memakan waktu lama sehingga membatasi keluaran hasil dari sampel.
12
Perbaikan dalam waktu analisis diperoleh dengan Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) (Swartz 2005). UPLC adalah metode pemisahan analitik yang merupakan perluasan dari metode HPLC dalam hal kecepatan, sensitivitas dan resolusi. Teknologi ini memberi keuntungan maksimal dari prinsip kromatografi, karena proses pemisahan terjadi menggunakan kolom yang berisi partikel yang lebih kecil dan laju alir yang lebih tinggi untuk meningkatkan kecepatan dan mengurangi waktu running, serta menghasilkan resolusi dan sensitifitas yang lebih besar (Swartz 2005; Alexander 2008). Metilasi DNA diimplikasikan pada pengaturan ekspresi gen (Elliot & Elliot 2009). Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa ada korelasi antara level ekspresi gen dengan derajat metilasi, yaitu apabila metilasi rendah maka ekspresi gen tinggi atau sebaliknya. Metilasi memiliki target, diantaranya promoter gen adalah target yang paling umum. Gen tidak aktif ketika promoter termetilasi, tetapi aktif apabila promoter tidak termetilasi (Lewin 2008). Metilasi pada promoter suatu gen juga dapat memblokir pengikatan faktor transkripsi pada daerah promoter tersebut (Elliot & Elliot 2009). Metilasi dan demetilasi sitosin pada daerah promoter merupakan mekanisme yang penting dalam meregulasi ekspresi gen pada sel dan jaringan spesifik (Renkens et al. 1992). Ehrlich & Ehrlich (1993) mengemukakan bahwa metilasi juga dapat menyebabkan terjadinya penarikan metil-DNA binding protein dan histon deasetilase yang akan mengubah struktur kromatin (chromatin remodelling) di sekitar daerah awal transkripsi pada gen sehingga menjadikan kromatin menutup kembali. Kedua mekanisme tersebut akan menghambat transkripsi dan menyebabkan gen inaktif. Tingkat transkripsi dari gen dapat digunakan untuk mengetahui fungsi gen. Salah satu metode untuk mengidentifikasi perbedaan ekspresi gen adalah dengan membandingkan level transkrip mRNA (Mohan-Jain et al. 2002). Qualitative Real Time Polymerase Chain Reaction (qPCR) adalah suatu teknik yang paling sensitif untuk deteksi dan kuantifikasi mRNA yang ada pada saat ini (Kubista et al. 2006). Dibandingkan dengan dua teknik kuantifikasi level mRNA lainnya, Northern blot analysis dan RNase protection assay, qPCR dapat digunakan untuk mengkuantifikasi sampel dalam jumlah yang lebih kecil. Teknik ini juga cukup sensitif untuk mengkuantifikasi RNA dari sel tunggal (Biederman et al. 2004). Real Time PCR adalah teknik paling sensitif dalam memonitor ekspresi gen, namun hanya memungkinkan untuk mendeteksi kopi tunggal transkrip mRNA. Tahap awal meliputi isolasi RNA total atau mRNA diikuti dengan sintesis cDNA sedangkan tahap kedua adalah amplifikasi cDNA menggunakan primer PCR khusus (Mohan-Jain et al. 2002). Qualitative Real Time PCR (qPCR) berbeda dari PCR konvensional karena didasarkan atas deteksi dan kuantifikasi pancaran fluoresens oleh produk PCR selama proses amplifikasi (Kubista et al. 2006). Salah satu reporter fluoresens yang biasa digunakan dalam RT PCR, yaitu SYBR Green. SYBR Green akan berfluoresens hanya apabila menempel pada DNA utas ganda. Penggunaan SYBR Green relatif lebih mudah karena tidak membutuhkan desain probe (Dorak 2006). Reporter fluoresens akan meningkat sampai pada jumlah yang dapat terdeteksi oleh qPCR dan digambarkan dalam bentuk kurva amplifikasi. Kurva
13
amplifikasi mengandung beberapa informasi penting, yaitu (1) Threshold, adalah daerah deteksi pada saat jumlah reporter fluoresens pertama kali dapat dideteksi oleh mesin qPCR. Agar hasil perhitungan lebih akurat, threshold berada pada fase eksponensial, (2) Cycle Threshold (C T ), yaitu siklus pada proses PCR saat jumlah reporter fluoresens berpotongan dengan garis threshold yang ditetapkan untuk perhitungan pada qPCR, (3) Rn, yaitu jumlah reporter fluoresens yang terdeteksi, dan (4) Cycle, yaitu jumlah siklus yang digunakan dalam proses PCR (Applied Biosystem 2007) (Gambar 7).
Gambar 7 Proses qPCR yang diamati dari peningkatan sinyal fluoresens (Sumber: Dorak 2006) Kesalahan yang spesifik mudah sekali terjadi dalam reaksi qPCR dan mempengaruhi jumlah material awal di antara sampel. Hal ini khususnya berkaitan dengan sampel yang diperoleh dari individu yang berbeda dan akan menyebabkan mis-interpretasi dari profil ekspresi gen target yang dimaksud. Cara yang umum untuk meminimalisasi kesalahan ini serta untuk mengkoreksi variasi antar sampel adalah dengan mengamplifikasi suatu RNA seluler lain yang berperan sebagai pembanding internal, bersamaan dengan amplifikasi gen target yang diinginkan. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa level ekspresi dari gen normalisator tersebut tidak berubah pada setiap sampel (Dean et al.2002). Suatu standar internal yang ideal haruslah terekspresi dalam level yang konstan di antara jaringan yang berbeda, bagian siklus sel ataupun pada tiap tahap perkembangan, serta tidak terpengaruh oleh perlakuan eksperimental apapun. Jenis gen seperti ini disebut housekeeping genes. Housekeeping genes mengkode protein yang umumnya berfungsi dalam metabolisme sel dasar (Blake et al. 2003). Aktin bersama-sama dengan gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase (GADPH), tubulin, siklofilin, elongation factor 1-α (ef-1α), ubikuitin, dan 18 Svedberg Units (S) rRNA (18S rRNA), terekspresi secara konstitutif dan terlibat dalam fungsi housekeeping dasar yang dibutuhkan dalam pemeliharaan sel. Oleh sebab itu, mereka umumnya digunakan sebagai kontrol endogenous internal untuk menormalisasi studi ekspresi gen (Sturzenbaum et al. 2001). Elongation factor-1α (EF-1α) adalah sebuah protein yang mengikat aminoasil-transfer RNA ke ribosom selama proses sintesis protein. Protein ini telah ditetapkan sebagai kontrol invariant yang baik untuk menyesuaikan perbedaan akibat kesalahan pemipetan (tube-to-tube loading) atau degradasi (Dostal et al. 1994). Adam et al. (2007a) menggunakan gen EF1-α1 (nomor
14
aksesi AY550990) sebagai standar internal dari reaksi semikuantitatif RT-PCR pada penelitiannya terhadap abnormalitas kelapa sawit. Terdapat dua macam perhitungan yang dapat dilakukan dengan Real Time PCR, yaitu (1) kuantitasi absolut yang digunakan untuk mengetahui jumlah molekul DNA yang ingin diketahui dengan menggunakan kurva standar yang sudah diketahui jumlah molekul DNA-nya, (2) kuantitasi relatif yang digunakan untuk mengetahui jumlah molekul DNA yang tidak diketahui dengan membandingkannya dengan sampel DNA yang lain yang digunakan sebagai pembanding (Applied Biosystem 2007). Metode ΔΔC T Relative Quantification (Livak & Schmittgen 2001) melibatkan pembandingan nilai C T dari gen target dengan gen pembanding, sehingga hasil akhir yang diperoleh hanya berupa rasio ekspresi gen target pada jaringan yang abnormal terhadap jaringan normal (kalibrator) serta relatif terhadap normalisator, yaitu gen pembanding. Hal ini disebabkan oleh ekspresi gen pembanding sebagai standar internal yang berada pada level konstan pada setiap sampel yang berbeda dan tidak terpengaruh oleh perlakuan eksperimental apapun. Dengan demikian rasio gen target terhadap gen referensi hanya akan bervariasi tergantung pada ekspresi gen target (Blake et al. 2003).
15
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2012 sampai April 2013 di Laboratorium Genomik dan Transkriptomik, Departemen Bioteknologi, PT. SMART Tbk., Bogor. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah muda normal dan buah muda mantel dengan tipe abnormalitas sangat berat. Buah abnormal dikelompokkan menjadi dua, yaitu buah abnormal yang diambil dari dalam tandan (Abn m) dan buah abnormal yang diambil dari luar tandan (Abn). Umur buah di bagian luar tandan lebih tua dibandingkan dengan umur buah di bagian dalam tandan. Buah berasal dari regeneran kelapa sawit Tenera berumur 15 tahun yang diambil dari perkebunan Socfindo. Primer gen MADS-box dan EF1-α1 diperoleh dari Kusnandar et al.(belum dipublikasikan). Prosedur Kerja Penelitian ini terdiri dari dua eksperimen, yaitu (1) Analisis Ekspresi Gen MADS-box dan (2) Analisis Metilasi DNA. Alur penelitian disajikan pada Gambar 8. 1) Persiapan Sampel Beberapa potongan tandan buah mantel dan buah normal yang masih muda diambil langsung dari kebun kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label. Khusus buah untuk sampel RNA, diambil dari potongan tandan buah, dibersihkan, kemudian dipotong menjadi bagian kecil dan dimasukkan ke dalam Eppendorf yang telah diisi dengan larutan RNA later sebanyak ½ volume sampai sampel terendam. Sampel kemudian dibawa ke laboratorium di Bogor dan disimpan segera di dalam freezer bersuhu -20 0C sebelum diperlakukan lebih lanjut. Sampel dapat bertahan selama 7 hari dalam suhu ruang (selama pengiriman). 2)
Analisis Ekspresi Gen MADS-box
Ekspresi gen MADS-box pada buah abnormal dan buah normal dihitung dengan menggunakan metode Quantitative Real-Time PCR (qPCR). DNA yang digunakan sebagai cetakan diperoleh dari proses transkripsi balik mRNA yang ada dalam RNA total menjadi cDNA. qPCR dilakukan dengan menggunakan EF1-α1 sebagai gen pembanding dan hasil qPCR divalidasi dengan kurva standar. Analisis hasil dilakukan dengan metode ΔΔ C T Relative Quantification (Livak & Schmittgen 2001).
16
Tingkat Metilasi dan Ekspresi Gen MADS-box
Intensitas Metilasi
Ekspresi Gen MADS-box
Isolasi DNA Genom
Isolasi RNA Total
Pencacahan DNA dengan Nuklease S1
Sintesis cDNA Total
UPLC
Kuantifikasi Basa Sitosin Termetilasi
qPCR
Kuantifikasi Ekspresi Gen MADS-box
Hubungan Metilasi dan Ekspresi Gen
Gambar 8 Alur Penelitian
17
Ekstraksi RNA Total RNA dari sampel buah untuk analisis ekspresi, diekstraksi menggunakan RNeasy® Plant Mini Kit (Cat. no 74904, Qiagen) sesuai dengan prosedur dari Qiagen. Sebanyak ± 450 µl bufer lisis (bufer RLC) yang telah terlebih dahulu diencerkan dengan β-Merkaptoetanol (10 µl β-ME per 1 ml bufer RLC) dipersiapkan dalam tabung Eppendorf 2 ml. Sampel digerus dalam Nitogen cair. Sebanyak ± 50 mg bubuk sampel yang telah halus dimasukkan segera ke dalam tabung Eppendorf yang telah dipersiapkan, kemudian divorteks. Suspensi sel yang terbentuk dipindahkan ke dalam QIA shredder spin collumn (kolom insert ungu dalam tabung 2 ml) lalu disentifus pada 14000 rpm selama 2 menit. Supernatan dipipet dengan hati-hati kemudian ditransfer ke dalam tabung Eppendorf baru. Sebanyak 0.5 x volume etanol (96-100%) ditambahkan ke dalam supernatan kemudian diresuspensi secara perlahan-lahan. Sebanyak ± 650 µl sampel tersebut kemudian dipindahkan ke dalam RNeasy spin column (kolom insert pink dalam tabung 2 ml) lalu disentrifus selama 15 detik pada kecepatan 10000 rpm dan cairan yang keluar dari kolom (flow trough) dibuang. Ke dalam kolom ditambahkan ± 750 µl bufer RW1 lalu disentrifus kembali selama 15 detik pada kecepatan 10000 rpm dan cairan yang keluar dari kolom dibuang. Selanjutnya ke dalam kolom ditambahkan ± 500 µl bufer RPE (yang telah diencerkan sebelumnya dengan etanol) lalu disentrifus selama 15 detik pada 10000 rpm untuk mencuci membran kolom, lalu cairan yang keluar dari kolom dibuang. Proses terakhir ini diulangi sekali lagi, namun sentrifugasi selanjutnya dilakukan selama 2 menit pada 10000 rpm untuk memastikan sisa etanol tidak terbawa di dalam kolom spin. RNeasy spin column dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf 2 ml baru kemudian disentrifus pada 16000 rpm selama 1 menit. RNeasy spin column dipindahkan lagi ke dalam tabung Eppendorf 1.5 ml baru, ditambahkan 30 µl Rnase free-water kemudian disentrifus pada 10000 rpm selama 1 menit untuk mengelusi RNA. RNeasy spin column lalu dibuang dan cairan yang merupakan hasil elusi RNA segera disimpan pada suhu -20 0C. Keutuhan RNA total diuji menggunakan QIAxcel RNA Quality Control Kit (Qiagen) dan dijalankan pada alat QIAxcel analyzer system (Qiagen). Konsentrasi dan kemurnian RNA dihitung dengan mengukur absorbansinya menggunakan NanoDrop™ 2000c Specthrophotometer (Thermo Scientific) pada panjang gelombang 260, 280 dan 230 nm. Konsentrasi RNA dihitung berdasarkan asumsi bahwa satu satuan absorbansi pada panjang gelombang 260 nm setara dengan 40 μg/ml (Sambrook et al. 1989) sehingga konsentrasi RNA dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Konsentrasi RNA = A 260 x 40 μg/ml x fp Keterangan : A 260 : absorban yang terbaca pada λ 260 nm fp : faktor pengenceran Kemurnian RNA terhadap protein dihitung berdasarkan rasio absorbansi pada panjang gelombang 260 dengan 280 nm, dan kemurnian RNA terhadap polisakarida dihitung dari rasio absorbansi pada panjang gelombang 260 dengan 230 nm. RNA yang murni mempunyai nilai ≥ 1,8 baik pada rasio absorbansi panjang gelombang 260/280 maupun 260/230 (Sambrook et al. 1989).
18
Sintesis cDNA Utas Tunggal cDNA utas tunggal disintesis dari RNA total menggunakan QuantiTect® Reverse Transcription Kit (Cat. no. 205313, Qiagen) sesuai dengan prosedur dari Qiagen. Sebanyak 900 ng template RNA total dicampurkan dengan 2 μl gDNAwipeout buffer 7x dan dicukupkan dengan RNAse free water hingga total volume menjadi 14 μl. Campuran dihomogenkan kemudian diinkubasi pada 42 °C selama 2 menit untuk mengoptimalkan penghilangan DNA genomik pengkontaminan, setelah itu segera diletakkan di dalam es. Sebanyak 1 μl Quantiscript reverse transcriptase, 4 μl RT buffer 5x dan 1 μl RT primer mix ditambahkan ke dalam campuran hingga total volume seluruhnya menjadi 20 μl. Campuran dihomogenkan kemudian diinkubasi pada 42 °C selama 30 menit dan dilanjutkan pada 95 °C selama 3 menit untuk menginaktivasi Quantiscript reverse transcriptase. Keberhasilan sintesis cDNA dan kemurnian cDNA dari DNA genom diverifikasi dengan PCR menggunakan primer forward ActF dan primer reverse ActR yang didisain spesifik untuk ekson 2 – ekson 3 dari gen Actin (EgACT1). Primer didisain menggunakan software Primer3Plus. Komposisi PCR yang digunakan adalah 1 µl cDNA, 1.5 µl Taq buffer 1x, 1.5 µl dNTP mix 4 mM, 1.5 µl Primer ActF 1 mM dan 1.5 µl Primer ActR 1 mM, 0.16 MgCl 2 40 mM, 0.12 µl enzim Taq DNA polimerase 0.5 U dan dicukupkan dengan Rnase-free water hingga volume akhir menjadi 15 µl. PCR dilakukan menggunakan alat Esco® PCR Cabinet dengan kondisi praPCR pada 95 0C selama 5 menit, diikuti oleh denaturasi pada 95 0C selama 30 detik, annealing pada 60 0C selama 20 detik dan ekstensi pada 72 0C selama 30 detik yang dilakukan sebanyak 25 kali siklus, dan terakhir pasca PCR pada 72 0C selama 7 menit dilanjutkan dengan pendinginan pada 25 0C selama 1 menit. Amplifikasi dengan primer ActF dan ActR yang didisain mengapit ekson 2 – ekson 3 gen EgACT1, juga dilakukan terhadap DNA genom kelapa sawit sebagai sebagai kontrol terjadinya kontaminasi terhadap sintesis cDNA sekaligus kontrol keberhasilan sintesis cDNA. Keberhasilan sintesis cDNA diketahui dari terbentuknya satu pita berukuran ±162 bp. Apabila terjadi kontaminasi pada cDNA, maka akan diperoleh dua pita yang masing-masing berukuran ±162 bp (cDNA) dan ±242 bp (DNA genom) yang ±80 bp lebih panjang dari cDNA karena mengandung intron yang ada di antara ekson 2 – ekson 3 gen Actin (Shah et al. 1982). Keutuhan DNA hasil amplifikasi dilihat pada gel agarose 1% (Invitrogen) dalam bufer TAE 1x (0.04 M Tris, 0.001 M EDTA-Na 2 .2H 2 O, 0.02 M Asam asetat pH 8.5). Untuk elektroforesis, 1 µl DNA dicampurkan dengan 1/6 volume loading dye (0.25% bromofenol blue, 0.25% silen sianol FF, 30% gliserol) dan dijalankan selama 30 menit pada tegangan 100 Volt. Visualisasi cDNA dilakukan di atas UV transluminator Gel-DocTM XR (BIORAD) setelah diwarnai dengan EtBr (0.5 µg/ml) selama 10 menit dan dibilas dengan dH 2 O. Kuantifikasi Ekspresi Gen dengan qPCR Level ekspresi gen MADS-box pada buah normal dan buah mantel dikuantifikasi menggunakan qPCR. Sebanyak 11 gen target MADS-box diamplifikasi menggunakan primer spesifik (Kusnandar et al. belum
19
dipublikasikan). Gen EgEF1-α1 juga diamplifikasi menggunakan primer spesifik sebagai gen referensi untuk kontrol ekspresi. Level transkripsi gen target dan gen referensi untuk qPCR ditentukan dengan mesin qPCR Rotor-Gene®Q (Qiagen) menggunakan Quantifast SYBR Green PCR Kit (Cat. no. 204054, Qiagen) sesuai prosedur dari Qiagen. qPCR dilakukan dalam 384-well blocks dan dua ulangan per gen, per sampel cDNA. Komposisi reaksi adalah 1 µl cDNA (900ng), 5 μLQuantifast SYBR Green RT-PCR Master Mix 2x, 2 μl primer mix gen MADS-box (50:50 campuran primer forward dan reverse, masing-masing 1 µM/ml)dan RNase-free water dalam total reaksi 10 μl. Kondisi reaksi adalah pra-PCR pada suhu 95 0C selama 10 menit, diikuti dengan 40 kali siklus dari denaturasi pada suhu 95 0C selama 30 detik, annealing pada suhu 60 0C selama 20 detik dan ekstensi pada suhu 72 0C selama 30 detik. Amplikon hasil dari RT-PCR dicek pada gel agarose untuk mendapatkan ekspresi secara semikuantitatif dan kualitas pita DNA. Pembuatan Kurva Standar Hasil amplifikasi masing-masing primer MADS-box terhadap utas pertama (first strand) cDNA digunakan untuk membuat kurva standar qPCR. Reaksi PCR yang digunakan adalah 1 µl cDNA utas tunggal, 1.5 µl Taq bufer 1x, 1.5 µl dNTP mix 4 mM, 3 µl Primer MADS-box 1 mM (Lampiran 1), 0.16 MgCl 2 , 0.12 µl enzim Taq DNA Polimerase 0.5 U dan dicukupkan dengan RNase-free water hingga volume akhir menjadi 15 µl. PCR dilakukan menggunakan alat Esco® PCR Cabinet dengan kondisi pra-PCR pada 950C selama 5 menit, diikuti dengan 25 kali siklus denaturasi pada 950C selama 30 detik, annealing pada 600C selama 20 detik dan ekstensi pada 720C selama 30 detik, dan terakhir pasca PCR pada 720C selama 7 menit diteruskan dengan pendinginan pada 250C selama 1 menit. Hasil PCR yang diperoleh selanjutnya dimurnikan menggunakan QIAquick PCR Purification Kit (Cat. no 28106, Qiagen) sesuai dengan prosedur dari Qiagen. Ke dalam sampel ditambahkan 5x volume bufer PB (yang sudah ditambahkan larutan pH indikator I) sambil dihomogenkan. Warna kuning menandakan campuran larutan berada pada pH optimal. Apabila larutan berwarna jingga atau ungu, ke dalam larutan ditambahkan 10 µl Sodium Asetat 3 M pH 5.0 sampai larutan berubah warna menjadi kuning. QIAquick spin column disiapkan dalam tabung Eppendorf 2 ml yang sudah disediakan. Campuran larutan dipipet ke dalam kolom lalu disentrifus pada kecepatan 17900 x g (13000 rpm) selama 1 menit. Cairan yang keluar dari kolom dibuang dan kolom diletakkan kembali ke dalam tabung. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan 0.75 ml bufer PE yang telah mengandung etanol kemudian disentrifus pada kecepatan 17900 x g (13000 rpm) selama 1 menit. Cairan yang keluar dari kolom dibuang dan kolom diletakkan kembali ke dalam tabung. Kolom disentrifus kembali pada kecepatan 17900 x g (13000 rpm) selama 1 menit untuk menghilangkan sisa etanol. Kolom dipindahkan ke dalam tabung 1.5 ml yang baru. DNA kemudian di elusi dengan menambahkan 50 µl bufer EB (10 mM Tris-HCl, pH 8.5) ke bagian tengah kolom, diamkan selama 1 menit kemudian disentrifus pada kecepatan 17900 x g (13000 rpm) selama 1 menit.
20
Hasil purifikasi ini dianalisis dengan elektroforesis gel agarose 1% (Invitrogen) dalam bufer TAE 1x (0.04 M Tris, 0.001 M EDTA-Na 2 .2H 2 O, 0.02 M Asam asetat pH 8.5). Untuk elektroforesis, 1 µl DNA dicampurkan dengan 1/6 volume loading dye (0.25% bromofenol blue, 0.25% silen sianol FF, 30% gliserol) dan dijalankan selama 30 menit pada tegangan 100 Volt. Visualisasi DNA dilakukan di atas UV transluminator Gel-DocTM XR (BIORAD), setelah diwarnai dengan EtBr (0.5 µg/ml) selama 10 menit dan dibilas dengan dH 2 O. Konsentrasi DNA ditetapkan dengan NanoDrop™2000c Specthrophotometer (Thermo Scientific) pada panjang gelombang 230, 260 dan 280 nm. Hasil purifikasi selanjutnya diencerkan ke dalam konsentrasi 0.1 ; 0.01 ; 0.001 dan 0.0001 ng/µl. Dari hasil pengenceran tersebut dibuat kurva standar dalam 2 ulangan menggunakan mesin Real-Time PCR Rotor-Gene®Q (Qiagen). Reaksi yang digunakan adalah 7 µl Rotor-Gene SYBR Green PCR Master Mix 2x, 2 µl primer MADS-box (50:50 campuran primer forward dan reverse masingmasingnya 1 µM/ml) dan 1 µl template hasil pengenceran. Kondisi reaksi adalah pra-PCR pada suhu 95 0C selama 10 menit, diikuti dengan 40 kali siklus dari denaturasi pada suhu 95 0C selama 30 detik, anealing pada suhu 60 0C selama 20 detik dan ekstensi pada suhu 72 0C selama 30 detik. Data kurva standar disimpan untuk analisis efisiensi amplifikasi. Kuantifikasi Relatif Hasil dari qPCR berupa kurva amplifikasi dari masing-masing reaksi dianalisis menggunakan program Relative Quantification dengan metode ΔΔ C T berdasarkan metode Livak & Schmittgen (2001). Dari kurva amplifikasi diperoleh nilai C T dari masing-masing reaksi. Nilai Δ C T dari masing-masing perlakuan diperoleh dari normalisasi gen target dengan gen pembanding, yaitu dengan cara mengurangi nilai C T gen target dengan nilai C T gen pembanding, sehingga rumus untuk mendapatkan Δ C T adalah : Δ C T = C T MADS-box - C T EF1-α1 . Sedangkan nilai ΔΔ C T diperoleh dengan cara mengurangi nilai Δ C T perlakuan (buah abnormal) dengan nilai Δ C T kalibrator (buah normal). Selanjutnya nilai ΔΔ C T tersebut akan digunakan untuk mengetahui ekspresi (RQ) gen MADS-box pada perlakuan relatif terhadap kalibrator dengan memasukkannya ke dalam rumus aritmatika 2 -ΔΔ CT. Analisis ekspresi gen dengan menggunakan qPCR ini diulang dua kali. 3)
Analisis Metilasi DNA
Dalam tahapan ini dilakukan penghitungan persentase basa Sitosin termetilasi pada DNA buah normal dan buah abnormal hasil pencacahan enzim S1 Nuklease dan pemisahan dengan Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC). Isolasi DNA Genomik DNA genom dari sampel buah untuk analisis metilasi DNA diisolasi menggunakan Gen Elute™ Plant Genomic DNA Miniprep Kit (Cat. no. G2N350, Sigma-Aldrich) sesuai dengan prosedur dari Sigma Aldrich. Sampel dihaluskan dengan bantuan Nitrogen cair. Sebanyak ± 100 mg serbuk sampel dimasukkan ke
21
dalam tabung Eppendorf yang telah berisi 350 µl larutan lisis A dan 50 µl larutan lisis B kemudian divorteks untuk menghomogenkan. Campuran diinkubasi selama 30 menit pada suhu 65 °C sambil sesekali divorteks untuk membantu proses lisis. Sebanyak 130 µl larutan presipitasi ditambahkan ke dalam sampel, lalu dibolak-balik sebentar untuk membantu menghomogenkan. Tabung Eppendorf kemudian disimpan di dalam es selama 5 menit untuk membantu proses presipitasi. Tabung Eppendorf disentrifus pada kecepatan 16000 rpm selama 5 menit untuk mengendapkan debris seluler, protein dan polisakarida. Supernatan yang terbentuk disaring kembali melalui proses sentrifus pada kecepatan 16000 rpm selama 1 menit di dalam Gen Elute Filtration Column (kolom insert biru dalam tabung 2 ml). Kolom insert biru dibuang, kemudian ke dalam cairan yang keluar dari kolom (flow-trough) yang ada di dalam tabung ditambahi dengan 700 µl Binding Solution. Tabung lalu dibolak-balik sebentar untuk membantu menghomogenkan. Sebanyak 500 µl larutan Column Preparation ditambahkan ke dalam Gen Elute Miniprep Binding Column (kolom insert merah dalam tabung 2 ml). Tabung kolom tersebut kemudian disentrifus pada 12000 rpm selama 1 menit dan cairan yang keluar dari kolom dibuang. Sebanyak 700 µl campuran larutan sampel dan Binding Solution dari proses sebelumnya dimasukkan ke dalam Gen Elute Miniprep Binding Column (kolom insert merah dalam tabung 2 ml) yang telah disiapkan. Tabung disentrifus pada 16000 rpm selama 1 menit, kemudian cairan yang keluar dari kolom dibuang. Proses ini diulang hingga sampel habis. Setelah selesai, binding column (kolom insert merah) dipindahkan ke dalam tabung 2 ml yang baru. Ke dalam binding column yang ada pada tabung baru, ditambahkan ± 500 µl Wash Solution yang telah diencerkan terlebih dahulu dengan etanol. Tabung lalu disentrifus pada 16000 rpm selama 1 menit dan cairan yang keluar dari kolom dibuang. Proses ini diulangi sekali lagi, namun sentrifugasi selanjutnya dilakukan pada 16000 rpm selama 3 menit untuk mengeringkan kolom. Binding column lalu dipindahkan ke dalam tabung 2 ml yang baru, setelah itu ditambahkan ± 50 µl pre-warmed (65 °C) nuclease free water kemudian disentrifus pada 16000 rpm selama 1 menit. Konsentrasi dan kemurnian DNA yang diperoleh, dihitung dengan mengukur absorbansinya menggunakan alat NanoDrop™ 2000c Specthrophotometer (Thermo Scientific) pada panjang gelombang 260, 280 dan 230 nm. Konsentrasi DNA dihitung berdasarkan asumsi bahwa satu satuan absorbansi pada panjang gelombang 260 nm setara dengan 50 μg/ml (Sambrook et al. 1989) sehingga konsentrasi DNA dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Konsentrasi DNA = A 260 x 50 μg/ml x fp Keterangan : A 260 : absorban yang terbaca pada λ 260 nm fp : faktor pengenceran Kemurnian DNA terhadap protein dihitung berdasarkan rasio absorbansi pada panjang gelombang 260 dengan 280 nm, dan kemurnian DNA terhadap polisakarida dihitung dari rasio absorbansi pada panjang gelombang 260 dengan
22
230 nm. DNA yang murni mempunyai nilai≥ 1. 8 baik pada rasio absorbansi panjanggelombang 260/280 maupun 260/230 (Sambrook et al. 1989). Keutuhan DNA dilihat pada gel agarose 1% (Invitrogen) dalam bufer TAE 1x (0.04 M Tris, 0.001 M EDTA-Na 2 .2H 2 O, 0.02 M Asam asetat pH 8.5). Untuk elektroforesis, 1 µl DNA dicampurkan dengan 1/6 volume loading dye (0.25% bromofenol blue, 0.25% silen sianol FF, 30% gliserol) dan dijalankan selama 30 menit pada tegangan 100 Volt. Visualisasi DNA dilakukan di atas UV transluminator Gel-DocTM XR (BIORAD) setelah diwarnai dengan 0.5 µg/ml Etidium Bromida (EtBr) selama 10 menit dan dibilas dengan dH 2 O. Sampel DNA yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk analisis metilasi. Pencacahan DNA Genomik dengan Enzim S1 Nuklease Sebanyak 3.5 µg sampel DNA, 50 ng/µl un-methylated λ, 50 ppm larutan standar 5-Metil-2-Deoksisitidin (MDC) dan 2-Deoksisitidin (DC), dH 2 O serta blanko (no template control) ditambahkan dengan 10% S1 bufer nuklease10x (300 mM Na-asetat pH 4.6, 10 mM ZnSO 4 , 50% Gliserol). Seluruh sampel lalu didenaturasi pada suhu 95 °C selama 10 menit dan segera didinginkan di dalam es. Sebanyak 3 U/µl (~ 1 µg DNA) enzim S1 nuklease (Thermo Scientific) yang sebelumnya telah diencerkan dengan S1 nuclease dillution buffer (20 mM Tris-HCl pH 7.5, 0.1 mM ZnSO 4 , 50 mM NaCl, 50% gliserol) kemudian ditambahkan ke dalam setiap sampel dengan volume akhir 70 µl. Sampel lalu diinkubasi pada suhu 37 °C selama 20 jam kemudian disentrifus pada 15000 g selama 5 menit. Keutuhan DNA sampel hasil digest kemudian dilihat dengan elektroforesis. Kuantifikasi Metilasi DNA dengan UPLC Sampel selanjutnya disuntikkan ke dalam suatu kolom berukuran 100 mm x 2.1 mm yang berisi partikel ACQUITY UPLC BEH C-18 berukuran 1.7 µm dan dipisahkan dengan alat Waters® ACQUITY UPLC™ System (Waters Corporation). Elusi dilakukan dalam fase gerak pada 97% buffer KH 2 PO 4 dan 3% metanol pH 4.2 dengan kecepatan alir 1 ml/menit pada suhu ruang dan dideteksi pada panjang gelombang 254 nm. Efisiensi ditentukan berdasarkan retention time dan luas area puncak. Puncak nukleotida tunggal dari standar DC dan MDC selanjutnya digunakan untuk mengkuantifikasi kandungan sitidin (5’C) dan metilsitidin (5’mC) pada sampel, dengan rumus : Luas Area Sampel x Konsentrasi Standar Luas Area Standar Persentase kandungan metilsitidin (5mC) dari DNA genom kelapa sawit dihitung dengan rumus : (5’mC/ [5’mC + 5’C]) x 100% (Kubis et al. 2003).
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Ekspresi Gen 1)
Isolasi RNA Total
Hasil yang diperoleh dari isolasi RNA total terhadap sampel buah normal dan abnormal kelapa sawit, menunjukkan bahwa RNA total dari semua sampel mengandung 28 S rRNA dan 18 S rRNA yang terlihat cukup jelas dan murni (Gambar 9, Tabel 2). 18S 28S
DNA Genomik (n1)
(abn1)
(n2)
(abn2)
(n3)
(abn m1)
(abn m2)
Gambar 9 RNA Total buah kelapa sawit hasil elektroforesis Qiaxcel. Buah normal sebanyak tiga ulangan (n1, n2, n3); buah abnormal dari luar tandan sebanyak dua ulangan (Abn1, Abn2); buah abnormal dari dalam tandan sebanyak dua ulangan (abn1m, abn2m) Keberadaan dua pita RNA ribosomal tersebut menunjukkan bahwa kedua rRNA tersebut dalam keadaan utuh dan karena kedua rRNA tersebut adalah bagian dari RNA total maka RNA total hasil isolasi ini memiliki integritas yang baik. RNA eukariot yang utuh akan menghasilkan pita 28S dan 18S rRNA yang jelas apabila dielektroforesis pada gel agarose. RNA yang rusak akan menghasilkan smear dan pita rRNA yang kurang jelas. Isolasi RNA yang utuh penting untuk analisis ekpresi gen seperti sintesis cDNA dan analisis Northern. RNA yang rusak atau tidak murni akan membatasi reaksi transkripsi balik (reverse transkripsi) dan menurunkan hasil. Pada qPCR, RNA yang telah terdegradasi parsial akan menyebabkan hasil ekspresi gen yang tidak akurat (Wang 2005). Sambrook et al. (1989) menyatakan bahwa kemurnian RNA total dari kontaminan merupakan syarat penting untuk sintesis cDNA. Rasio absorbansi pada λ260 dengan λ280 menunjukkan kemurniannya terhadap kontaminan protein, sedangkan rasio λ260 dengan λ230 menunjukkan kemurniannya terhadap
24
kontaminan polisakarida. Nilai rasio yang baik berkisar pada 1.8-2.0. Meskipun pada percobaan ini tidak semua sampel mempunyai λ260/280 dan λ260/230 mencapai 1.8 (Tabel 2), namun hasil percobaan menggunakan qPCR menunjukkan bahwa RNA yang diperoleh memiliki kualitas yang cukup memadai untuk digunakan sebagai cetakan. Tabel 2 Rasio absorbansi RNA total serta Rasio 28 S:18S rRNA No. Sampel A 260 /A 280 A 260 /A 230 Size Size Rasio 28S 18S 1 2 3 4 5 6 7
N1 N2 N3 Abn1 Abn2 Abn1m Abn2m
2.08 1.96 2.02 1.98 2.09 1.87 2.11
1.75 1.49 1.99 1.77 1.80 1.53 1.96
5333.1 5383.9 5593.4 5578.0 5404.7 5085.8 5261.5
3165.8 3250.7 3349.7 3339.6 3233.3 3046.1 1094.4
1.25 0.65 0.87 1.22 1.07 1.03 1.08
Total RNA (ng/µl) 1097.7 915.3 443.7 625.1 507.9 966.1 1094.4
RNA total yang dihasilkan masih terkontaminasi oleh DNA genomik (Gambar 9). Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perlakuan DNAse saat isolasi. Pada proses selanjutnya, yaitu sintesis cDNA utas tunggal menggunakan QuantiTect® Reverse Transcription Kit (Qiagen), cetakan RNA total diberi perlakuan dengan gDNA wipeout buffer (mengandung DNase) yang berfungsi untuk menghilangkan kontaminan DNA genomik. 2)
Sintesis cDNA Utas Tunggal
cDNA murni telah berhasil disintesis dari RNA total sebagai cetakan pada proses transkripsi balik (Gambar 10). Dengan primer oligo (dT) hanya mRNA yang dapat dijadikan cetakan untuk sintesis cDNA karena mengandung ujung poli-A. Ujung poli-A ini membentuk pasangan komplementer dengan primer oligo (dT) tersebut. bp
1
2
3
4
5
6
7
8
9
500 241 160 Gambar 10 Hasil amplifikasi EgACT1. 1: marker 1 kb, 2: hasil amplifikasi dengan DNA genom sebagai cetakan (kontrol), 3-9: hasil amplifikasi dengan cDNA sampel sebagai cetakan (3: N1; 4: N2; 5: N3; 6: Abn1m; 7: Abn2m; 8: Abn1; 9: Abn2) PCR menggunakan cDNA sebagai cetakan dan primer spesifik ActF 5’CCAAGGCAAACAGAGAGAAGAT-3’ dan ActR 5’AAATTGGGACAGTGTGGGTAAC-3’ yang diperkirakan mengapit daerah ekson 2 - ekson 3 gen EgACT1 menghasilkan satu pita berukuran ±160 bp. Pada
25
kontrol DNA genom, PCR dengan kondisi yang sama menghasilkan pita berukuran ±241 bp yang lebih panjang dari cDNA karena mengandung intron yang ada di antara ekson 2 – ekson 3 gen EgACT1. Menurut Shah et al. (1982) pada gen aktin kedelai, intron kedua memisahkan kodon threonin dan glisin pada posisi asam amino ke 151 dan terdiri atas 81 bp (Gambar 11). Shah et al. (1983) melaporkan bahwa posisi intron di dalam gen Actin adalah konservatif sedangkan daerah penyandinya bervariasi. Hasil ini menunjukkan bahwa cDNA yang diperoleh telah murni tanpa kontaminasi DNA genom.
Gambar 11 Posisi Primer ActF dan ActR yang didisain dari gen aktin kelapa sawit EgACT1 pada ekson 1 dan ekson 2 dari gen aktin kedelai pSAc3 (Shah et al. 1982) 3)
Penentuan Ekspresi Gen dengan qPCR
Hasil penghitungan validasi efisiensi qPCR antara kurva standar gen target dengan gen pembanding menunjukkan bahwa hanya tiga dari total 11 gen yang diuji telah memenuhi syarat minimum untuk publikasi qPCR sesuai acuan Bustin & Nolan (2004) dan Bustin et al. (2009), yaitu EgAG2, EgAGA dan EgAGL6 (Tabel 3, Lampiran 1 & 2).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tabel 3 Validasi qPCR Gen MADS-box Kemiringan NTC Spesifisitas Nama Gen Plot <5 siklus Amplikon EgSQUA1 -1.32 EgSQUA3 -0.655 EgFUL -0.366 EgGLO1 -0.454 EgGLO2 -0.207 EgDEF1 0.008 EgAG2 0.033 EgAGA 0.097 EgAGL6 0.029 EgF-box -0.086 EgRING -0.02
Validasi Lolos Tidak Lolos
26
Gen EgFUL, EgSQUA1 dan EgSQUA3 Gen FRUITFUL kelapa sawit (EgFUL) termasuk ke dalam kelompok subfamili APETALA 1 dalam gen kelas-A bersama dengan kelompok subfamili SQUAMOSA. Gen EgFUL tidak terdeteksi pada penelitian ini karena jarak antara sinyal NTC (no template control) dengan sinyal amplifikasi EgFUL pada sampel <5 siklus. Menurut Bustin & Nolan (2004) sinyal positif pada NTC berasal dari primer yang self-dimer. Jarak NTC yang dapat ditolerir adalah lima siklus dari target. Tranbarger et al. (2011) melaporkan bahwa transkrip dari gen kelas-A yang ditemukan pada buah normal kelapa sawit hanya dari subfamili SQUAMOSA, yaitu EgSQUA1. Transkrip EgSQUA1 terdeteksi pada penelitian ini di siklus ke 22-23 dengan kontrol NTC dan kontrol tanpa primer yang negatif (Gambar 12), namun efisiensi amplifikasi yang dihasilkan > 0.1, yaitu 1.32 (Lampiran 1 & 2). Hal ini menyebabkan rasio ekspresi gen target relatif terhadap gen pembanding, baik pada jaringan buah yang abnormal maupun normal, tidak dapat dikuantifikasi. Buah yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah muda. Menurut Tranbarger et al. (2011) buah muda didominasi oleh aktivitas pembelahan sel dan pengakumulasian berat segar yang sarat dengan aktivitas meristematik. Adam et al. (2007b) menyatakan bahwa ekspresi EgSQUA1 terkonsentrasi di zona meristematik. C T EgSQUA1 pada buah abnormal terbaca lebih dulu pada 20.08 (Abn m) dan 22.46 (Abn), menandakan bahwa ekspresinya pada buah Abn m lebih tinggi dibandingkan dengan buah Abn. Buah Abn m memiliki umur lebih muda dibanding buah Abn. Menurut Tranbarger et al. (2011) puncak ekspresi EgSQUA1 ada pada 100 DAP dan menurun seiring pematangan dan pemasakan. C T buah normal adalah 22.73. Apabila dibandingkan dengan C T buah abnormal, maka akumulasi transkrip EgSQUA1 pada buah normal lebih rendah. Afdal (2007) melaporkan bahwa abnormalitas buah mantel terkait dengan akumulasi transkrip gen AP1. Pada tanaman kelapa sawit abnormal mengakumulasi transkrip AP1 lebih tinggi dari pada tanaman normal, namun tidak terdapat perbedaan sekuen nukleotida antara gen AP1 tanaman kelapa sawit abnormal dan normal. Menurut Taiz & Zeiger (2002), gen AP1 termasuk ke dalam gen tipe-A.
Standar 10-2
target
Tanpa NTC
Gambar 12 Deteksi sinyal EgSQUA1 pada buah kelapa sawit
27
Transkrip gen EgSQUA3 sebelumnya dilaporkan oleh Adam et al. (2006) pada infloresens. Amplifikasi qPCR gen EgSQUA3 pada buah menghasilkan sinyal NTC (kontrol tanpa sampel) yang berjarak kurang dari 5 siklus terhadap target, sedangkan sinyal pada kontrol tanpa primer adalah negatif (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa EgSQUA3 tidak terekspresi pada buah. Menurut Tranbarger et al. (2011) EgSQUA3 dan EgSQUA2 merupakan young paralogue (Lampiran 3) dan memiliki urutan nukleotida yang hampir sama. Diduga hal ini yang menjadi penyebab tidak ditemukannya transkrip EgSQUA3 pada buah. Pada kelapa sawit, famili gen SQUAMOSA termasuk ke dalam gen tipe A yang mengontrol perkembangan sepal dan petal pada bunga (Adam et al. 2007b). Adam et al. (2005) menyatakan bahwa sepal dan petal kelapa sawit mempunyai penampilan yang mirip dengan petaloid dan sering disebut tepala, sehingga ekspresinya pada organ reproduktif kelapa sawit bisa dipengaruhi oleh gen MADS-box tipe A, B dan E (Theissen 2001). Menurut Yao et al. (2001) struktur buah bervariasi tergantung pada jaringan mana yang berkontribusi terhadap perkembangan buah setelah penyerbukan dan pembuahan. Ditemukannya transkrip gen EgSQUA1 pada mesokarp buah kelapa sawit, menandakan bahwa gen ini ikut berperan dalam perkembangan mesokarp buah. Menurut Hetharie (2008) perhiasan bunga pada kelapa sawit tetap ada sampai fase buah panen, tidak seperti perhiasan bunga pada umumnya yang akan layu dan gugur apabila bunga telah mengalami penyerbukan dan pembuahan. Pada fase muda, perhiasan bunga bagian dalam berubah warna menjadi ungu seperti warna buah tetapi hanya pada bagian buah sebelah dalam kemudian menjadi coklat pada buah setengah tua. Gen EgGLO1dan EgGLO2 Transkrip gen EgGLO1 dilaporkan Tranbarger et al. (2011) ditemukan di mesokarp pada umur buah 140 dan 160 DAP. Hal ini menandakan bahwa ekspresinya juga berhubungan dengan tingginya konsentrasi etilen karena muncul seiring proses pematangan dan pemasakan (Lampiran 3). Gen EgGLO1 merupakan yang pertama kali di kelasnya yang teramati berhubungan dengan pemasakan buah. Anggota GLO dari spesies buah berdaging lainnya seperti peach, apel dan pisang, tidak satupun yang berhubungan dengan pemasakan. Tidak terdeteksinya trankrip EgGLO1 kemungkinan disebabkan oleh penggunaan buah muda yang berumur kurang dari 100 DAP sebagai sampel, yang secara morfologi lebih muda dibandingkan dengan buah 100 DAP yang digunakan oleh Tranbarger et al. (2011). Adam et al. (2006) menemukan dua transkrip gen yang termasuk ke dalam subfamili faktor transkripsi MADS-box GLOBOSA/PISTILATA, yaitu EgGLO1 dan EgGLO2. Kedua gen ini terekspresi selama perkembangan infloresens, namun elektroforesis qPCR EgGLO2 menghasilkan pita yang tidak spesifik. Hal ini berarti gen ini tidak terekspresi kembali pada buah (Gambar 13). Tranbargar et al. (2011) melaporkan hanya EgGLO1 yang teramati pada buah normal. Untuk memahami ketiadaan ekspresi gen EgGLO2 pada mesokarp buah, diduga gen yang sama yang berfungsi selama perkembangan bunga juga aktif dan berperan dalam pematangan buah atau duplikasi telah terjadi dan gen lain yang serupa telah menyimpang untuk mendapatkan fungsi baru yang berhubungan dengan buah. Analisis blast terhadap Gene Bank menunjukkan bahwa urutan
28
nukleotida kedua gen ini memiliki kesamaan 89%. Namun, kemungkinan urutan nukleotidanya telah berubah seperti yang diperoleh oleh Riyadi (2008) terhadap gen AG kelapa sawit. Untuk itu perlu diteliti lebih lanjut. bp
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
20.000 5.000 1.500 500
Gambar 13 Hasil elektroforesis EgGLO2 menghasilkan pita yang tidak spesifik. 1: Marker 1 kb DNA, 2-13: cDNA EgGLO1, 14-25: cDNA EgGLO2 Gen EgFbox, EgRING dan EgDEF1 Amplifikasi qPCR gen EgFbox, EgRING dan EgDEF1 menghasilkan sinyal NTC (kontrol tanpa sampel) yang berjarak kurang dari 5 siklus terhadap target, sedangkan sinyal pada kontrol tanpa primer adalah negatif (Gambar 14).
NTC Standar 10
-2
target Tanpa
Gambar 14
Deteksi sinyal NTC pada EgFbox, EgRING, EgDEF1 dan EgSQUA3
Tranbarger et al. (2011) melaporkan bahwa dari keseluruhan contig yang diperoleh melalui analisis pirosekuensing pada mesokarp buah normal kelapa sawit, tidak ditemukan ekspresi gen EgRING ataupun EgF-box, baik pada umur buah 100, 120, 140 ataupun 160 DAP. Beule et al. (2011) menemukan bahwa gen EgFB1 dan EgRING1, yang termasuk ke dalam famili gen F-box dan RING diregulasi selama perkembangan infloresens mantel pada bunga jantan dan betina. Kedua gen ini di down-regulasi pada infloresens mantel sehingga ada kemungkinan keduanya bertindak dalam jalur sinyal yang sama. Mazzucotelli et al. (2006) dan Ni et al. (2004) menyatakan bahwa protein RING dan F-box sama-
29
sama bertindak dalam jalur ubiquitin-proteosome dan keduanya merupakan bagian dalam kompleks protein SCF (Skp1-Cullin-F-box). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ekspresi kedua gen ini tampaknya hanya diregulasi selama perkembangan bunga dan infloresens dan keduanya diperlukan untuk membentuk infloresens yang normal. Tranbarger et al. (2011) menyatakan bahwa gen EgDEF1 termasuk subfamili APETALA 3 pada Arabidopsis. Gen ini hanya terdeteksi pada 120 DAP (Lampiran 3). Fase tersebut merupakan akhir periode transisi, yaitu saat terjadi penurunan hormon auksin, giberelin dan sitokinin serta awal terjadinya pengakumulasian lemak. Peran gen EgDEF1 pada fase ini diduga berhubungan dengan inaktivasi ketiga hormon tersebut dan aktivasi enzim-enzim yang berhubungan dengan sintesa lemak. Tidak terdeteksinya trankrip EgDEF1pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh penggunaan buah muda yang berumur kurang dari 100 DAP sebagai sampel. Gen EgAG2 dan EgAGA Gen AGAMOUS termasuk ke dalam gen kelas C/D (Becker & Theissen 2003). Pada penelitian ini, dua gen kelas C/D, yaitu EgAG2 dan EgAGA dianalisis ekspresinya. Level ekspresi gen EgAG2 antara buah mantel Abn m dan Abn dengan buah normal tidak berbeda nyata, namun ekspresi pada buah abnormal Abn sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan buah abnormal Abn m. Sedangkan level ekspresi gen EgAGA antara buah mantel Abn m dan Abn dengan buah normal berbeda nyata. Rasio ekspresi EgAGA pada buah abnormal Abn dan Abn m adalah sebesar 1.71 kali N dan 1.48 kali N (Gambar 15, Tabel 4). Riyadi (2008) melaporkan hasil yang sama dengan yang diperoleh pada penelitian ini, yaitu ekspresi gen AG pada organ reproduktif (bunga dan buah) abnormal kelapa sawit lebih tinggi daripada organ reproduktif normal. Namun tingkat peningkatan ekspresi gen EgAG2 pada penelitian ini tampak tidak begitu signifikan, karena buah yang digunakan pada penelitian ini diduga berumur lebih muda dibandingkan buah yang digunakan pada penelitian Riyadi (2008). Tabel 4 Perhitungan BNT EgAGL6, EgAG2 dan EgAGA Parameter Ekspresi Gen Abnormalitas EgAGL6 EgAG2 Normal 4.87 a 4.73 a ABN 6.17 b 4.58 a ABN m 4.13 a 4.90 a
EgAGA 7.13 b 6.35 a 6.56 a
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata pada uji BNT 5% (BNT 5% AGL6=0.75; BNT 5% AG2=0.91; BNT 5% AGA=0.32) Gen AGAMOUS terlibat dalam pembentukan karpel dan ovul bersama dengan gen AGAMOUS-like (AGL) yang termasuk dalam kelas E (Theissen 2001). Tadiello et al. (2009) melaporkan bahwa transkrip gen PpPLENA lebih berlimpah di karpel, menandakan bahwa gen tipe C adalah yang paling berperan dalam pembentukan karpel. Over ekspresi gen PpPLENA pada tomat menyebabkan sepal tomat berubah menjadi karpel.
30
Gambar 15 Ekspresi EgAG2, EgAGA dan EgAGL6 pada buah kelapa sawit Abn dan Abn m terhadap Normal. N, buah normal; Abn, buah abnormal di bagian luar tandan; Abn m, buah abnormal di bagian dalam tandan Hartley (1988) menyatakan bahwa buah kelapa sawit yang mempunyai karpel tambahan disebut buah mantel. Adanya karpel tambahan pada buah mantel diduga merupakan penyebab lebih tingginya level ekspresi gen EgAG2 dan EgAGA pada buah abnormal dibandingkan dengan buah normal. Peningkatan level ekspresi EgAG2 dan EgAGA dari buah abnormal Abn m menuju buah abnormal Abn, diduga disebabkan oleh buah Abn yang telah mengalami perkembangan lebih lanjut dibandingkan dengan buah Abn m. Menurut Seymour (2008) sebagian besar gen yang terlibat dalam perkembangan karpel terlihat juga memiliki fungsi dalam perkembangan dan pemasakan buah. Tadiello et al. (2009) melaporkan bahwa transkrip PpPLENA juga meningkat seiring fase pemasakan pada mesokarp buah. Gen EgAGL6 Level ekspresi gen EgAGL6 menurun dari 1.7N pada Abn m menjadi 0.4N pada Abn. Namun, ekspresi EgAGL6 antara buah Abn m dengan buah normal tidak berbeda nyata, sedangkan ekspresi EgAGL6 antara buah Abn dengan buah normal berbeda nyata, pada uji BNT 5% (Gambar 15, Tabel 4). Tranbarger et al. (2011) melaporkan bahwa berdasarkan analisis filogenetik gen MADS-box buah kelapa sawit normal ditemukan satu contig, yaitu CL1Contig 5666 yang berhubungan dekat dengan gen AtAGL6 (AGL6 pada Arabidopsis thaliana). Transkrip gen ini mencapai puncaknya pada 100 DAP (akhir fase II) dan menurun seiring proses pematangan dan pemasakan. Oleh karena itu, gen ini termasuk ke dalam subclade SEP4. Gen ini diduga adalah gen AGL6 kelapa sawit (EgAGL6). Vrebalov et al. (2002) menyatakan bahwa gen RIN (ripening inhibitor) pada buah tomat juga termasuk ke dalam subclade SEP4. Apabila gen ini termutasi maka akan menunjukkan fenotip yang abnormal pada buah. Ito et al. (2008)
31
menunjukkan bahwa protein rin (ripening inhibitor) pada buah tomat kemungkinan berperan dalam meregulasi ACS2 (salah satu gen ACC sintase yang berperan dalam jalur sintesa etilen) karena gen ini menempel pada promoter ACS2. Penempelan ini menyebabkan ACS2 tidak diekspresikan dengan demikian akan menghentikan proses pemasakan buah. Pengelompokan gen EgAGL6 dan gen rin pada tomat dalam satu subclade yang sama, memungkinkan kemiripan perkembangan buah mantel kelapa sawit dengan buah mutan rin pada tomat. Hetharie (2008) menyatakan bahwa pada sebagian besar buah mantel kelapa sawit dengan tipe abnormalitas sangat berat yang berada dalam satu tandan, terjadi penghambatan pematangan sebelum dan saat tanaman memasuki fase buah agak matang yang kemudian mulai membusuk. Hal ini diduga terjadi karena penghambatan produksi etilen. Selain itu, mesokarp yang dihasilkan lebih berserat bahkan berkayu. Hal ini diduga berkaitan dengan penurunan atau bahkan penghentian aktivitas transkripsi gen-gen yang terlibat dalam proses pelunakan dinding sel. Gen RIN mengkode suatu regulator transkripsi dan meregulasi ekspresi dari gen lain yang berperan dalam proses pemasakan (Vrebalov et al. 2002, Manning et al. 2006). RIN berinteraksi dengan promoter gen yang terlibat dalam jalur pemasakan utama diantaranya akumulasi karoten (Bramley 2002), metabolisme dinding sel (Marin-Rodriguez et al. 2002) dan sintesis etilen (Barry 2007). Oleh karena itu Martel et al. (2011) menyatakan RIN sebagai master regulator pada proses pemasakan yang secara langsung mempengaruhi proses-proses yang terkait pemasakan. Domain MADS berikatan dengan sekuens DNA yang memiliki kesamaan yang tinggi terhadap motif CC(A/T) 6 GG yang disebut CarG-box (West et al. 1997). Ito et al. (2008) menyatakan bahwa RIN dapat menempeli CarG-box dan Fujisawa et al. (2011) mengkonfirmasi penempelan RIN ke gen yang terlibat dalam sintesis etilen dan metabolisme dinding sel, karena promoter gen tersebut mengandung sekuens CarG-box. Gen EgAGL6 termasuk gen MADS-box tipe E yang berperan dalam pembentukan dan perkembangan ovul (Theissen 2001). Menurunnya ekspresi gen EgAGL6 pada buah mantel sangat berat ini diduga juga berhubungan dengan status partenokarpi. Menurut Hetharie (2008) buah mantel sangat berat tidak menghasilkan biji (seedless). Partenokarpi adalah suatu jalur alternatif dalam produksi buah yang akan menuntun kepada pembentukan buah tanpa biji. Partenokarpi dapat disebabkan oleh faktor genetis. Suatu homolog PI Arabidopsis yang ada pada buah apel (MdPI) merupakan kunci penentu bagi perkembangan partenokarpi buah tersebut (Yao et al. 2001). Suatu insersi transposon dalam sekuens MdPI mengakibatkan terbentuknya bunga apel mutan Rae Ime yang kehilangan fungsi gen kelas-B. Pada bunga Rae Ime tersebut terjadi knock-down gen MdPI sehingga tidak terbentuk petal dan stamen melainkan dua lingkar (whorl) sepal serta peningkatan jumlah stilus dan karpel (terbentuk karpel ektopik) menggantikan stamen. Bunga mutan ini selanjutnya disebut bunga mutan “apetalous”. Dengan ketiadaan polen maka nektar yang dihasilkan tidak ada sama sekali (atau dalam kasus yang lebih ringan, sedikit dihasilkan) menyebabkan sulit untuk menarik serangga polinator, sehingga tidak terjadi polinasi yang berujung pada buah partenokarpi. Pada kasus
32
yang lebih ringan, biji terbentuk namun dengan ukuran yang lebih kecil karena terdesak oleh pertumbuhan karpel ektopik. Kasus buah partenokarpi yang berkembang dari bunga mutan apetalous kultivar Rae Ime pada apel mirip dengan buah mantel kelapa sawit yang berkembang dari bunga mantel. Kedua buah mutan ini berkembang dari mutan bunga mereka yang termasuk ke dalam jenis bunga mutan tipe-B, yaitu MdPI (Yao et al. 2001) dan EgDEF1 (Adam et al. 2007a). Ketiadaan fungsi gen kelas B pada bunga yang berujung pada pembentukan buah partenokarpi seperti ini, kemungkinan tidak selalu ditemukan pada tanaman lain karena adanya perbedaan dalam tipe buah pada masing-masing tanaman. Buah apel bertipe buah pome, yaitu buah yang berkembang dari floral tube (ovari dan organ aksesori lainnya seperti jaringan sepal, petal dan stamen) (Yao et al. 2001), sedangkan buah kelapa sawit termasuk tipe buah drupa yang berkembang dari bunga dengan ovari tipe superior. Pada buah superior, kaliks (kelopak) dan korola (mahkota) tertancap pada bagian reseptakel (dasar bunga). Umumnya buah tipe ini berkembang dari jaringan ovari saja (Stern et al. 2003). Hipotesis partenokarpi buah mantel yang berkembang dari bunga mantel ini juga didukung oleh efek dari ketiadaan hormon. Menurut Nitsch (1970) pembuahan meningkatkan level hormon seperti auksin dan gibberelin. Kedua hormon ini diduga berperan penting dalam proses-proses yang diperlukan dalam perkembangan ovari. Ozga & Reineeke (1999) menyatakan bahwa peran hormon dalam buah terlihat dari efeknya dalam ovari, yang dapat menyebabkan pembentukan buah partenokarpi. Auksin dapat mempengaruhi perkembangan buah. Ovul yang telah dibuahi adalah sumber utama hormon auksin. Pemberian auksin endogen dapat merangsang pertumbuhan buah pada ketiadaan fertilisasi ataupun perkembangan biji (Ozga & Reineeke 1999). Peningkatan auksin di dalam buah partenokarpi telah diupayakan melalui rekayasa genetika. Gen pensintesa auksin (iaaM) yang berasal dari Pseudomonas syringae telah berhasil menginduksi perkembangan buah tomat partenokarpi (Ficcadenti et al. 1999). Analisis Metilasi 1)
Isolasi DNA Genomik
Penelitian untuk mengkuantifikasi basa sitosin termetilasi pada genom memerlukan DNA yang murni sehingga terpotong sempurna apabila dicacah dengan enzim Nuklease menjadi basa-basa tunggal. Hasil elektroforesis dan pembacaan di spektrofotometer menunjukkan bahwa DNA yang diisolasi telah murni (Gambar 16, Tabel 5). Tingkat kemurnian DNA terlihat dari perbandingan absorbansi panjang gelombang 260/280 nm yang menunjukkan tingkat kemurnian terhadap kontaminan protein dan 260/230 nm yang menunjukkan tingkat kemurnian akibat kontaminan polisakarida. Nilai rasio yang baik berkisar pada 1.8-2.0 (Sambrook et al. 1989).
33
bp
1
2
3
4
5
6
7
20.000 5.000
Gambar 16 Hasil elektroforesis DNA genomik buah. 1: marker 1 kb; 2-3; dua ulangan buah normal (n2, n3); 4-5: dua ulangan buah abnormal dari luar tandan (Abn1, Abn2); 6-7: dua ulangan buah abnormal dari dalam tandan (abn1m, abn2m) Tabel 5 Hasil pembacaan sampel DNA genomik pada spektrofotometer Sampel A260 [DNA] OD 260/280 OD 260/230 (ng/µl) N2 2.054 101.7 1.84 1.39 N3 2.115 145.9 1.86 0.88 Abn1 2.529 145.4 1.88 1.86 Abn2 6.147 285.8 1.92 1.73 Abn1m 4.051 202.6 1.88 1.98 Abn2m 3.233 170.3 1.84 1.96 2)
Pencacahan DNA Genomik dengan Enzim S1 Nuklease
Pencacahan dengan enzim Nuklease S1 menunjukkan hasil yang baik karena DNA terdegradasi membentuk nukleotida tunggal sehingga tidak ada membentuk pola pada gel agarose (Gambar 17). bp
1
2
3
4
5
6
7
10.000 3.000 1.000 250
Gambar 17 Hasil pencacahan DNA genomik oleh enzim Nuclease S1. 1: marker 1 kb; 2-3: dua ulangan buah normal (n2, n3); 4-5: dua ulangan buah abnormal dari luar tandan (Abn1, Abn2); 6-7: dua ulangan buah abnormal dari dalam tandan (abn1m, abn2m)
34
Menurut Rittie & Perbal (2008) Nuklease S1 dimurnikan dari Aspergillus oryzae. Enzim ini bekerja mendegradasi RNA atau DNA utas tunggal menjadi 5’mononukleotida, tetapi tidak dapat mendegradasi DNA utas ganda atau hibrid RNA-DNA dalam konformasi aslinya. Selain itu, enzim ini juga dapat dipakai untuk menghilangkan DNA utas ganda yang terbentuk di tonjolan di ujung rantai hasil aktivitas enzim restriksi. Nuklease S1 merupakan suatu metalloprotein berukuran 32 kDa (Vogt 1973) yang dalam aktivitasnya membutuhkan Zn2+. Aktivitas optimumnya ada pada kisaran pH 4.0-4.3 (50% penurunan aktivitas teramati pada pH 4.9 dan inaktif pada pH > 6.0). Aktivitas enzim nuklease S1 sangat dihambat oleh agen pengkelat seperti EDTA dan sitrat, atau oleh sodium fosfat pada konsentrasi rendah (10mM). Nuklease S1 bersifat termostabil (Ando 1966) dan tahan terhadap denaturing agents diantaranya urea, SDS atau formamid (Vogt 1973; Hofstetter et al. 1976). 3)
Kuantifikasi Metilasi DNA dengan UPLC
Hasil UPLC memperlihatkan terjadinya hipermetilasi pada buah abnormal (Gambar 18, Lampiran 4). Abn N
Abn m
Gambar 18 Pola kandungan metilsitosin (5-mC) pada buah normal dan abnormal kelapa sawit. N, buah normal; Abn, buah abnormal diambil dari luar tandan; Abn m, buah abnormal diambil dari dalam tandan
Gambar 19
Perbandingan kandungan 5-metil-sitidin antara buah normal dan abnormal. N, buah normal; Abn, buah abnormal diambil dari luar tandan; Abn m, buah abnormal diambil dari dalam tandan
35
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buah abnormal mengalami hipermetilasi sebesar 19.55% pada buah Abn dan sebesar 18.33% pada buah Abnm dibandingkan dengan buah normal, yaitu 5.67% (Gambar 18, Gambar 19). Hipermetilasi yang terjadi pada buah mutan mantel kelapa sawit mengindikasikan adanya gen-gen yang seharusnya terekspresi tetapi menjadi tidak terekspresi. Menurunnya level ekspresi gen EgAGL6 pada buah normal kemungkinan disebabkan oleh hipermetilasi. Hubungan Metilasi DNA dan Ekspresi Gen Menurut Elliott & Elliott (2009) metilasi DNA berhubungan dengan penghambatan ekspresi gen. Hal ini dapat disebabkan oleh terjadinya metilasi pada situs CpG di dalam sekuens gen-gen normal yang merupakan situs penempelan faktor transkripsi (Baron 2012). Riyadi (2008) menemukan bahwa gen AG yang diisolasi dari organ reproduktif kelapa sawit normal memiliki sekuen AG sama persis dengan sekuen AG sawit dalam database pada GenBank. Sebaliknya, score fragmen AG pada kelapa sawit abnormal lebih rendah. Hal ini menunjukkan adanya nukleotida yang berbeda antara fragmen AG abnormal yang diperoleh dari hasil sekuensing pada penelitian ini dengan gen yang telah dilaporkan pada Gene Bank. Penghambatan ekspresi gen dapat pula disebabkan oleh metilasi pada protein pengikat (binding protein) yang menempel pada faktor transkripsi. Manning et al. (2006) menyatakan bahwa pada mutan CNR tomat, ekspresi gen TDR4 (famili gen MADS-box SQUAMOSA) akan ditekan melalui mekanisme silencing gen LeSPL-CNR (SQUAMOSA Promoter Binding Protein/gen SBPbox). Bagian promoter gen TDR4 merupakan target dari produk LeSPL-CNR, sehingga apabila produk LeSPL-CNR tidak terbentuk, maka TDR4 tidak akan terekspresi. Melalui analisis metilasi terhadap mutan CNR terlihat bahwa, pada bagian promoter gen LeSPL-CNR menunjukkan peningkatan level metilasi yang akan menekan ekspresi gennya. Sementara wild type (tipe liar) menunjukkan demetilasi sehingga gen tersebut terekspresi. Menurut Inamdar et al. (1991) ekspresi gen diregulasi oleh pencegahan melekatnya protein pengikat DNA ke daerah promoter. Menurut Zhang et al. (2006) setidaknya ada sepertiga dari gen-gen yang terekspresi di Arabidopsis mengalami metilasi pada coding region (daerah penyandinya), sedangkan hanya 5% dari keseluruhan gen yang terekspresi tersebut termetilasi pada bagian promoter. Namun, gen-gen yang termetilasi di promoter tersebut memiliki derajat ekspresi yang lebih tinggi di jaringan tertentu, menandakan bagian promoter merupakan situs pilihan untuk seleksi cis-regulation selama perkembangan buah. Fenomena ini dapat juga disebabkan oleh hadirnya insersi transposon seperti pada mutan bunga “apetalous” apel kultivar Rae Ime yang berkembang menjadi buah partenokarpi (seedless) (Yao et al. 2001). Menurut Bennetzen (2002) penghambatan ekspresi gen dapat terjadi melalui duplikasi kromosom, multiplikasi elemen retrotransposon dan DNA repeat sekuens. Metilasi DNA juga dapat merubah susunan atau ukuran genom serta kandungan DNA pada inti (ploidi 2C). Msogoya et al. (2011) melaporkan pengurangan dalam ukuran genom dan metilasi DNA akan merubah
36
perkembangan buah pada off-type pisang yang diinduksi melalui kultur jaringan. Suatu peningkatan dalam ukuran genom disebabkan oleh duplikasi keseluruhan kromosom, multiplikasi elemen retrotransposon dan DNA repeat sequence (Bennetzen 2002). Epigenetik juga dapat terjadi karena chromatin remodelling (Elliot & Elliot 2009). Tranbarger et al. (2011) menemukan beberapa contig yang menyandikan chromatin modifier protein, termasuk komponen yang dibutuhkan dalam proses pengompakan benang kromatin, sebuah DNA metiltransferase, sebuah grup protein polycomb dan dua contig mirip dengan yang dilaporkan Takeuchi et al. (2006) yang berfungsi sebagai penyandi domain faktor transkripsi yang terlibat dalam regulasi kromatin selama perkembangan. Hasil ini mengindikasikan adanya beberapa faktor yang terlibat dalam modifikasi kromatin yang dapat mempengaruhi ekspresi gen dan seluruh faktor ini ditemukan dalam Cluster A yang mewakili keberadaan dan fungsinya pada umur 100 DAP. Faktor lain yang dapat menyebabkan penghambatan ekspresi gen adalah hadirnya metilasi pada histon atau regulator lainnya. Jorgensen et al. (2013) menyatakan bahwa metilasi pada histon akan menginduksi histon deasetilasi yang akan menyebabkan silencing daerah heterokromatin. Betel et al. (2008) melaporkan metilasi pada micro-RNA juga dapat mengakibatkan gene silencing.
37
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Ekspresi gen MADS-box yang dapat dikuantifikasi pada buah kelapa sawit pada penelitian ini adalah EgAGL6, EgAGA dan EgAG2. Ekspresi gen EgAG2 tidak berbeda di buah mantel dan buah normal. Ekspresi gen EgAGA lebih tinggi di buah mantel daripada di buah normal. Ekspresi gen EgAGL6 lebih rendah di buah mantel Abn daripada di buah normal dan buah mantel Abn m. Level metilasi DNA genom buah normal adalah 5.67% lebih rendah daripada buah abnormal Abnm, yaitu 18.33% dan Abn, yaitu 19.55%. Hipermetilasi yang terjadi pada buah abnormal kemungkinan menyebabkan rendahnya level ekspresi gen EgAGL6 pada buah mantel Abn.
Saran Analisis metilasi pada gen faktor transkripsi EgAGL6 perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap ekspresinya. Analisis ekspresi gen EgSQUA1 perlu diulang karena berdasarkan data Tranbarger et al. (2011) gen tersebut juga mengalami over ekspresi pada umur 100 DAP, sehingga memungkinkan ada kesamaan peranan dengan EgAGL6 dalam mengatur perkembangan buah kelapa sawit.
38
DAFTAR PUSTAKA
[BPS]. 2009. Statistik Kelapa Sawit Indonesia. Katalog BPS : 5504003. Adam H, Jouannic S, Duval EY, Verdeil JL, Tregear W. 2005. Reproductive developmental complexity in the African oil palm (Elaeis guineensis, Arecaceae). Am J Bot 92(11):1836-1852. Adam H, Jouannic S, Morcillo F, Richaud F, Duval Y, Tregear JW. 2006. MADS box genes in oil palm (Elaeis guineensis): pattern in the evolution of the SQUAMOSA, DEFICIENS, GLOBOSA, AGAMOUS, and SEPALLATA subfamilies. J Mol Evol 62:15-31. Adam H, Jouannic S, Orieux Y, Morcillo M, Richaud F, Duval Y, Tregear JW. 2007a. Functional characterization of MADS box genes involved in the determination of oil palm flower structure. J Exp Bot 58(6):1245–1259. Adam H, Jouannic S, Orieux Y, Morcillo F, Richaud F, Duval Y, Tregear JW. 2007b. Determination of flower structure in Elaeis guineensis: do palms use the same homeotic genes as other species?. Ann Bot London 100:1-12. Afdal S. 2007. Isolasi dan ekspresi gen APETALA1 pada Bunga dan Buah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Normal dan Abnormal [Skripsi]. Yogyakarta. Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Alexander J. 2008. The Benefits of Using UPLC in the Analytical Laboratory. http://www.slideshare.net/JNAlexanderIV/The-Benefits-of-UPLC.[20 Feb 2012]. Alvarez-Buylla ER, Pelaz S, Liljegren S, Gold S, Burgeff C, Ditta G, Pouplana L, Martinez-Castilla L, Yanofsky M. 2000. An ancestral MADS-box gene duplication occurred before the divergence of plants and animals. P Natl Acad Sci USA 97:5328–5333. Ando T. 1966. A nuclease specific for heat-denatured DNA in isolated from a product of Aspergillus oryzae. Biochim Biophys Acta 114:158–168. Applied Biosystem. 2007. Real Time PCR VS Traditional PCR. Asmono D, Suprianto E, Setiyo IE, Wening S, Toruan-Mathius N. 2000. Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit III. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Baron B. 2012. Breaking the Silence: the Interplay between Transcription Factors and DNA Methylation. Di dalam Dricu A (Ed.) Methylation : from DNA, RNA and histones to diseases and treatment. http://dx.doi.org/10.5772/2932 [6 Juli 2013]. Barry CGJ. 2007. Ethylene and Fruit Ripening. J Plant Growth Regul 26:143-159. Becker A, Theissen G. 2003. The mayor clades of MADS-box genes nd their role in the development and evolution of flowering in plants. Mol Phylogenet Evol 29:464-489. Bennetzen JL. 2002. Mechanism and Rates of Genome Expansion and Contraction in Flowering Plants. Genetica 115:29-36. Betel D, Wilson M, Gabow A, Marks DS, Sander C. 2008. The microRNA.org resource: target and expression. Nucleic Acid Research 36:D149-D153. DOI:10.1093/nar/gkm995. Beule T, Camps C, Debiesse S, Tranchant C, Dussert S, Sabau X, Jaligot E, Alwee SSRS, Tregear JW. 2011. Transcriptome analysis reveals
39
differentially expressed genes associated with the mantled homeotic flowering abnormality in oil palm (Elaeis guineensis). Tree Genet Genomes 7:169-182. Biederman J, Yee J, Cortes P. 2004. Validation of internal control genes for gene expression analysis in dabetic glomerulosclerosis. Kidney Int 66:23082314. Blake JB, Kaern M, Cantor CR, Collins JJ. 2003. Noise in eukaryotic gene expression. Nature 422:633-637. Bollati V, Baccarelli A. 2010. Environmental Epigenetics. Heredity 105:105-112. Bowman JL, Smyth DR, Meyerowitz EM. 1991. Genetic interactions among floral homeotic genes ofArabidopsis.Development112:1-20. Bramley PM. 2002. Regulation of Carotenoid Formation During Tomato Fruit Ripening and Development. J Exp Bot 53:2107-2113. Brown TA. 1991. Pengantar Kloning Gena.Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica. Bustin SA, Nolan T. 2004. Pitfalls of Quantitative Real-Time ReverseTranscription Polymerase Chain Reaction. Journal of Biomolecular Techniques 15:155-166. Bustin SA., Benes V, Garson JA, Hellemans J, Huggett J, Kubista M, Mueller R, Nolan T, Pfaffl MW, Shipley GL, Vandesompele J, Wittwer CT. 2009. The MIQE Guidelines : Minimum Information for the Publication of Quantitative Real-Time PCR Experiments. Clin Chem 55(4):611-622. Cho S, Jang S, Chae S, Chung KM, Moon YH, An G, Jang SK. 1999. Analysis of the C-terminal region of Arabidopsis thaliana APETALA1 as a transcription activation domain. Plant Mol Biol 40:419-429. Coen ES, Meyerowitz EM. 1991. The war of whorls genetic interactions controlling flower development. Nature 353:31-37. Corley RHV, Lee CH, Law IH, Wong CY. 1986. Abnormal Flower Development in Oil Palm Clones. Planter, Kuala Lumpur 62:233–240. Corley RHV, Tinker PB. 2003. The Oil Palm. Ed ke-4. Oxford: Blackwell Science Ltd. Dean JD, Goodwin PH, Hsiang T. 2002. Comparison of relative RT-PCR and northern blot analyses t measure expression of b-1,3-glucanase in Nicotiana benthamiana infected with Colletotrichum destructivum. Plant Mol Biol Rep 20:347-356. Dorak MT. 2006. Real Time PCR. Taylor & Francis Group. Duran-Gasselin T, Baudouin L, Maheran AB, Konan K, Noiret JM. 1993. Description and degree of the mantled flowering abnormality in oil palm (Elaeis guineensis Jacq) clones produced using the orstom-CIRAD procedure. Di dalam: Rao V, Henson IE, Rajanaidu N, editor. Proceeding of the 1993 ISOPB International Symposyium on Recent Developments in Oil Palm Tissue Culture and Biotechnology. Kuala Lumpur, Malaysia 2425. hlm 48-63. Egea-Cortinez M, Saedler H, Sommer H. 1999. Ternary complex formation between the MADS-box proteins SQUAMOSA, DEFISIENS and GLOBOSA is involved in the control of floral architecture in Antirrhinum majus. EMBO J 18:5370-5379.
40
Ehrlich M, Ehrlich KC. 1993. Effect of DNA methylation on binding of vertebrae and plant protein to DNA. EXS 64:145-168. Elliot WH, Elliot DC. 2009. Biochemistry and Molecular Biology. Ed ke-4. New York: Oxford University Pess Inc. Euwens CJ, Lord S, Donough CR, Rao V, Vallejo G, Nelson S. 2002. Effects of tissue culture condition during embryoid multiplication on the incidence of “mantled” flowering in clonally propagated oil palm. Plant Cell Tiss Organ 70:311-323. Fan HY, Tudor M, Ma H. 1997. Spesific interaction between the K domains of AG and AGLs, members of the MADS domain family of DNA binding proteins. Plant J 12:999-1010. Fao Statistik. 2013. Top Production of Palm Oil 2011. http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx [20 Juni 2013]. Ficcadenti N, Sestili S, Pandolfini T, Cirillo C, Rotino G, Spena A. 1999. Genetic engineering of parthenocarpic fruit development in tomato. Mol Breeding 5:463-470. Fujisawa M, Nakano T, Ito Y. 2011. Identification of potential target genes for the tomato fruit-ripening regulator RIN by chromatin immunoprecipitation. BMC Plant Biol 11:26. Gardner EJ, Simmons MJ, Snustad DP. 1991. Principles of genetic. Ed ke-8. New York: Jhon Willey and Sons Inc. 648 hlm. Giovannoni JJ. 2004. Genetic regulation of fruit development and ripening. Plant Cell 16:S170-S180. DOI:10.1105/tpc.019158. Hardon JJ. 1995. Oil palm. Smartt J, Simmonds NW, editor. Evolution of Crop Plants. Longman Scientific & Technical, London. p 395–399. Hartley CWS. 1988. The Oil Palm. Ed ke-3. Longman Agriculture Series. London, UK: Longmans. Hetharie H. 2008. Abnormalitas bunga dan buah pada klon kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berdasarkan analisis morfologi, biokimia dan DNA genom [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hofstetter H, Schambock A, Van Den Berg J, Weissmann C. 1976. Specific excision of the inserted DNA segment from hybrid plasmids constructed by the poly(dA). poly (dT) method. Biochim Biophys Acta 454:587–591. Inamdar, N.M., K.C. Ehrlich, M. Ehrlich. 1991. CpG methylation inhibits binding of several sequence-spesific DNA-binding proteins from pea, wheat, soybean and Ccauliflower. Plant Mol Biol 17:111-123. Ito Y, Kitagawa M, Ihashi N, Yabe K, Kimbara J, Yasuda J, Ito H, Inakuma T, Hiroi S, Kasumi T. 2008. DNA-binding spesificity, transcriptional activator potential, and the rin mutation effect for the tomato fruit-ripening regulator RIN. Plant J 55:212-223. Jacquemard JC. 1998. Oil Palm: The Tropical Agriculturalist. London, UK: Macmillan Education Ltd, in cooperation with CTA. 144 hlm. Jaligot E, Rival A, Beule T, Dussert S, Verdeil JL. 2000. Somaclonal variation in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.): the DNA methylation hypothesis. Plant Cell Rep 19:684–690. Jorgensen S, Schotta G, Sorensen CS. 2013. Histone H4 lysine 20 methylation: key player in epigenetic regulation of genomic integrity. Nucleic Acid Research 41(5):2797-2806. DOI:10.1093/nar/gkt012.
41
Kaeppler SM, Kaeppler HF, Rhee Y. 2000. Epigenetic aspects of somaclonal variation in plants. Plant Mol Biol 43:179-188. Khaw CH, Ng SK, Thong KC. 1999. Commercial production of clonal palms by tissue culture: prerequisites, constraints and issues. Di dalam: Emerging Technologies and Opportunities in the Next Millennium. Proceedings of the 1999 PORIM International Palm Oil Congress – Agriculture. Kuala Lumpur, 1-6 February 1999. Malaysia: Palm Oil Research Institute of Malaysia (PORIM). Khoo EM, Simon S, Philip LC. 1999. An Update of Yield Performances of Clonal Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Planting in BBP Oil Palm Bhd-Sabar. Di Dalam: Potential of the Oil Palm Industry and Clonal Tissue Cultured Oil Palm Development in Southern Thailand. Proceeding of Symposium at Hotel Meritime, Krabi, 6 November 1999. Thailand, p 1-10. Kubis SE, Castilho AMMF, Vershinin AV, Heslop-Harrison JS. 2003. Retroelements, transposons and methylation status in the genome of oil palm (Elaeis guineensis) and the relationship to somaclonal variation. Plant Mol Biol 52:69–79. Kubista M, Andrade JM, Bengtsson M, Forootan A, Jonak J, Lind K, Sindelka R, Sjoback R, Sjogreen B, Strombom L, Stahlberg A, Zoric N. 2006. The Real-Time Polymerase Chain Reaction. Mol Aspects Med 27:95-125. Lamb RS, Irish VF. 2003. Functional divergence within the APETALA3/PISTILLATA floral homeotic gene lineages. P Natl Acad Sci USA100:6558-6563. Lehmann N, Sattler R. 1992. Irregular floral deelopment in Calla palustris and the cncept of homeosis. Am J Bot 79:1145-1157. Lewin B. 2008. Genes IX.Sudbury, Massachusetts: Jones and Bartlett Publishers. p 830-831. Liu Q, Zhang G, Chen S. 2001. Structure and regulatory function of plant transcription factor. Chinese Sci Bull 46:271-278. Livak KJ, Schmittgen TD. 2001. Analysis of Relative Gene Expression Data Using Real-Time Quantitative PCR and the 2-∆∆C T Method. Methods 25:402-408. Lubis AU. 1992. Kelapa Sawit di Indonesia. Pusat Peneleitian Perkebunan Marihat, Bandar Kuala, Sumatera Utara. 435 hlm. Luscombe NM, Susan EA, Helen MB, Janet MT. 2000. An overview of the structures of protein-DNA complexes. Genome Biol 1:1-37. Manning, K.,M. Tor, M. Poole, Y. Hong, A.J. Thompson, G.J. King, J.J. Giovannoni, G.B. Seymour. 2006. A naturally occuring epigenetic mutation in a gene encoding an SBP-box transcription factor inhibits tomato fruit ripening. Nat Genet 38:948-952. Marin-Rodriguez MC, Orchard J, Seymour GB. 2002. Pectate lyases, cell wall degradation and fruit softening. J Exp Bot 53:2115-2119. Martel C, Vrebalov J, Tafelmeyer P, Giovannoni JJ. 2011. The Tomato MADSbox Transcription Factor Ripening Inhibitor Interacts with Promoters Involved in Numerous Ripening Processes in a Colorless Non Ripeningdependent Manner. Plant Physiol 157:1568-1579.
42
Matthes M, Singh R, Cheah S-C, Karp A. 2001. Variation in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) tissue culture-derived regenerants revealed by AFLPs with methylatin-sensitive enzymes. Theor App Genet102:971-979 Mohan-Jain SM, Brar DS, Ahloowalia BS. 2002. Molecular Techniques in Crop Improvement. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. p 373, 393-394, 508-510. Msogoya TJ, Grout BW, Roberts A. 2011. Reduction in genome size and DNA methylation alters plant and fruit development in tissue culture induced off-type banana (Musa spp.). J Anim Plant Sci 11(3): 1450-1456. Münster T et al. 1997. Floral homeotic genes were recruited from homologous MADS-box genes preexisting in the common ancestor of ferns and seed plants. P Natl Acad Sci USA 94:2415–2420. Murphy DJ. 2009. Oil palm: future prospect for yield and quality improvements. Lipid Technol 21:257-260. Ng SK, Von Uexskull H, Rolf H. 2003. Botanical aspect of oil palm relevant to crop management. Di dalam : Fairhurst T, Hardter R, editor. Oil Palm. Management for Large and Sustainable Yields. Potash and Phosphate Institute (PPI), Potash and Phosphate Institute of Canada (PPIC), and International Potash Institute. Basel, Switzerland. p 14-15. Ni W, Xie D, Hobbie L, Feng B, Zhao D, Akkara J, Ma H. 2004. Regulation of flower development in Arabidopsis by SCF complexes. Plant Physiol 134:1574-1585. Nitsch J. 1970. Hormonal factors in growth and development. Di dalam: Hulme A, editor. In The biochemistry of fruits and their products. London Academic Press. p 428-472. Ozga J, Reineeke D. 1999. Interaction of 4-chloroindole-3-acetic acid and gibberellins in early pea fruit development. Plant Growth Regul 27:33-38. Paranjothy K. 1984. Oil Palm. Di dalam: Ammirato PV, Evans DA, Sharp WR, Yamada Y, editor. Hand Book of Plant Cell Culture. Crop Species. Volume ke-3. New York: Macmillan. p 591-609. Pellegrini L, Tan S, Richmond T. 1995. Structure of serum response factor core bound to DNA. Nature 376:490-498. Phillips RL, Plunkett DJ, Kaeppler SM. 1990. Do we understand somaclonal varation? Di dalam: Nijkamp HJJ et al., editor. Progress in Plant Cellular and Molecular Biology. Proceeding 7th International Congress Plant Tissue Culture. hlm 131-14. Riechmann J, Krizek B, Meyerowitz E. 1996. Dimerization spesificity of Arabidopsis MADS domain homeotic proteins APETALA1, APETALA3, PISTILLATA and AGAMOUS. P Natl Acad Sci USA 93:4793-4798.. Riechmann JL, Meyerowitz EM. 1997. MADS domain proteins in plant development. Biol Chem 378:1079–1101. Riechmann JL, Ratcliffe OJ. 2000. A genomic perspective on plant transcription factors. Curr Opin Plant Biol 3:423-434. Rittie L, Perbal B. 2008. Enzymes used in molecular biology: a useful guide. J Cell CommunSignal 2:25–45. DOI 10.1007/s12079-008-0026-2. Rival A, Beule T, Barre P, Hamon S, Duval Y, Noirot M. 1997. Comparative flow cytometric estimation of nuclear DNA content in oil palm (Elaeis
43
guineensis Jacq) tissues cultures and seed-derived plants. Plant Cell Rep 16:884–887. Rival A, Bertrand L, Beule T Cmbes MC, Trouslot P, Lashermes P. 1998. Suitability of RAPD analysis for the detection of somaclonal variants in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) Plant Breed 117:73-76. Rival A. 2000. Somatic embryogenesis in oil palm. Di dalam: Mohan-Jain SM, Gupta PK, Newton RJ, editor. Somatic Embryogenesis in Woody Plants. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Rival A, Parveez GKA. 2005. Elaeis guineensis oil palm. Di dalam: Litz FH, editor. Biotechnology of Fruit and Nut Crops. Wallingford, UK: CABI Publishing. Riyadi I. 2008. Studi ekspresi gen penyandi agamous dan leafy tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq.) normal dan abnormal hasil kultur jaringan [thesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sambanthamurthi R, Sundram K, Tan YA. 2000. Chemistry and biochemistry of oil palm. Prog Lipid Res 39:507-558. Sambrook J, Fristsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular cloning: a laboratory manual. Cold Spring Harbour Laboratory Press. New York. Schwarz-Sommer Z, Huijser P, Nacken W, Saedler H, Sommer H. 1990. Genetic control of flower development by homeotic genes in Antirrhinum majus. Science 250:931-936. Seymour G, Poole M, Manning K, King GJ. 2008. Genetics and epigenetics of fruit development and ripening. Curr Opin Plant Biol 11:58-63. Shah DM, Hightower RC, Meagher RB. 1982. Complete nucleotid sequence of a soybean actin gene. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 79:1022-1026. Shearman, J.R., C. Jantasuriyarat, D. Sangsraku, T. Yoocha, A. Vannavichit, S. Tangphatsornruang, S. Tragoonrung. 2012. Transcriptome assembly and expression data from normal and mantled oil palm fruit. Dataset Paper in Biology. Hindawi Publishing Corporation. http://dx.doi.org/10.7167/2013/670926 [20 Juni 2013]. Shore P, Sharrocks AD. 1995. The MADS-box family of transcription factors. Eur J Biochem 229:1–13. Soh AC, Wong G, Tan CC, Chew PS, Hor TY, Chong SP, Gopal K. 2001. Recent Advances Towards Commercial Production of Elite Oil Palm Clones. Proceedings of The PIPOC 2001 International Palm Oil Congress. Agriculture Conference, Kuala Lumpur, Malaysia, 20-22 Agustus 2001. MPOB:33-44. Stern KR, Jansky S, Bidlack JE. 2003. Introductory Plant Biology Ed ke-9. Mc.Graw-Hill Companies Inc. New York. Strurzenbaum SR, Kille P. 2001. Control genes in quantitative molecular biological techniques: the variability of invariance. Comp Biochem Physiol B Biochem Mol Biol 130:281-289. Swartz ME. 2005. Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC): An Introduction.http://www.chromatographyonline.com/lcgc/data/articlestand ard/lcgc/242005/164646/article.pdf [20 Februari 2012]. Tadiello A, Pavanello A, Zanin D, Caporal E, Colombo L, Rotino GL, Trainotti L, Casadoro G. 2009. A PLENA-like gene of peach is involved in carpel
44
formation and subsequent transformation into a fleshy fruit. J Exp Bot 60(2):651-661. DOI:10.1093/jxb/ern313. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Sinauer Associate, Inc. p:559-589. Theissen G, Becker A, Di Rosa A, Kanno A, Kim JT, Munster T, Winter KU, Saedler H. 2000. A short history of MADS-box genes in plants. Plant Mol Biol 42:115–149. Theissen G. 2001. Development of floral organ identity: stories from the MADS house. Curr Opin Plant Biol 4:75-85. Takeuchi T, Watanabe Y, Takano-Shimizu T, Kondo S. 2006. Roles of jumonji and jumonji family genes in chromatin regulation and development. Dev Dyn 235:2449-2459. Tranbarger TJ, Dussert S, Joet T, Argout X, Summo M, Champion A, Cros D, Omore A, Nouy B, Morcillo F. 2011. Regulatory mechanism underlying oil palm fruit mesocarp maturation, ripening, and functional specialization in lipid and carotenoid metabolism. Plant Physiol 156:564-584. Tregear JW, Morcillo F, Rachaud F, Berger A, Singh R, Cheah SC, Hartmann C, Rival A, Duval Y. 2002. Characterization of a defensin gene expressed in oil palm inflorescence : induction during tissue culture and possible association with epigenetic somaclonal variation events. J Exp Bot 53(373):1378-1369. Vogt VM. 1973. Purification and further properties of single-strand specific nuclease from Aspergillus oryzae. Eur J Biochem 33:192–200 doi:10.1111/j.1432-1033.1973.tb02669.x Vrebalov J, Ruezinsky D, Padmanabhan V, White R, Medrano D, Drake R, Schuch W, Giovannoni JJ. 2002. A MADS-box gene necessary for fruit ripening at tomato ripening-inhibitor (rin) locus. Science 296:343-346. Wang E. 2005. RNA amplification for succesful gene profiling analysis. J Transl Med 3:28. West AG, Shore P and Sharrocks AD. 1997. DNA binding by MADS-box transcription factors: a molecular mechanism for differential DNA bending. Mol. Cell. Biol. 17:2876–2887. White PJ. 2002. Recent advances in fruit development and ripening: an overview. J Exp Bot 53(377):1995-2000. Yang I, Fortin MC, Richardson JR, Buckley B. 2011. Fused-core silica column ultra performance liquid chromatography-ion trap tendem mass spectrometry for determination of global DNA methylation status. Anal Biochem 409(1):138-143. Yao JL, Dong YH, Morris BAM. 2001. Parthenocarpic apple fruit production conferred by transposon insertion mutations in a MADS-box transcription factor. Proc Natl Acad Sci, 98:1306-1311. DOI:10.1073/pnas.031502498.
45
Lampiran 1 Data Kurva Standar
Template amount (ng) 0.1 0.01 0.001 0.0001
Log template amount -1 -2 -3 -4
CT DEF 6.04 9.68 13.32 16.97
C T EF
∆C T DEF - ∆C T EF
5.43 9 12.69 16.37
0.61 0.68 0.63 0.6
Template amount (ng) 0.1 0.01 0.001 0.0001
Log template amount -1 -2 -3 -4
CT AG2 5.31 8.75 12.44 16.14
C T EF
∆C T AG2 - ∆C T EF
5.43 9 12.69 16.37
-0.12 -0.25 -0.25 -0.23
Template amount (ng) 0.1 0.01 0.001 0.0001
Log template amount -1 -2 -3 -4
CT AGA
C T EF
∆C T AGA - ∆C T EF
5.43 9 12.69 16.37
-2.01 -2.19 -2.14 -2.35
Template amount (ng) 0.1 0.01 0.001 0.0001
Log template amount -1 -2 -3 -4
CT AGL6 4.83 8.42 12 15.71
C T EF 5.43 9 12.69 16.37
∆C T AGL6 - ∆C T EF -0.6 -0.58 -0.69 -0.66
Template amount (ng) 0.1 0.01 0.001 0.0001
Log template amount -1 -2 -3 -4
CT RING 4.08 7.7 11.62 15.01
C T EF
∆C T RING - ∆C T EF
5.43 9 12.69 16.37
-1.35 -1.3 -1.07 -1.36
Template amount (ng) 0.1 0.01 0.001 0.0001
Log template amount -1 -2 -3 -4
CT Fbox 8.48 12.24 15.98 19.69
C T EF
∆C T Fbox - ∆C T EF
5.43 9 12.69 16.37
3.05 3.24 3.29 3.32
3.42 6.81 10.55 14.02
46
Lanjutan Lampiran 1 Data Kurva Standar ∆C T GLO1 - ∆C T EF -1.44 -0.79 -0.69 0.04
Template amount (ng) 0.1 0.01 0.001 0.0001
Log template amount -1 -2 -3 -4
C T GLO 1 3.99 8.21 12 16.41
C T EF
Template amount (ng) 0.1 0.01 0.001 0.0001
Log template amount -1 -2 -3 -4
C T GLO 2
C T EF
∆C T GLO2 - ∆C T EF
6.51 10.42 14.23 18.1
5.43 9 12.69 16.37
1.08 1.42 1.54 1.73
Template amount (ng) 0.1 0.01 0.001 0.0001
Log template amount -1 -2 -3 -4
C T SQUA 1 8.73 13.26 18.57 23.53
CT EF 5.43 9 12.69 16.37
∆C T SQUA1 - ∆C T EF 3.3 4.26 5.88 7.16
Template amount (ng) 0.1 0.01 0.001 0.0001
Log template amount -1 -2 -3 -4
C T SQUA 3 7.74 12 16.39 20.63
CT EF 5.43 9 12.69 16.37
∆C T SQUA3 - ∆C T EF 2.31 3 3.7 4.26
C T EF
∆C T FUL - ∆C T EF
5.43 9 12.69 16.37
-0.18 0.32 0.74 0.9
Template amount (ng) 0.1 0.01 0.001 0.0001
Log template amount -1 -2 -3 -4
CT FUL 5.25 9.32 13.43 17.27
5.43 9 12.69 16.37
47
Lampiran 2 Plot ∆C T melawan log amount template kurva standar
48
Lanjutan Lampiran 2 Plot ∆C T melawan log amount template kurva standar
49
Lampiran 3 Kesamaan cDNA beberapa gen MADS-box (Sumber : Tranbarger et al. 2011).
50
Lampiran 4 Hasil Pembacaan Metilasi DNA genom dengan UPLC
Standar DC
Timin Standar mDC Guanin Adenin
Sitosin 5’mSitosin
Gambar 23 Hasil Pembacaan Metilasi DNA genom dengan UPLC. Sumbu x, waktu retensi; sumbu y, tinggi puncak; peak warna hijau, buah normal; peak warna biru tua, buah Abn m; peak warna hitam, buah Abn
51
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1985 di Padang, Sumatera Barat. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 30 Cengkeh pada tahun 1997, sekolah menengah pertama di SLTPN 11 Padang tahun 2000 dan sekolah menengah umum di SMUN 3 Padang tahun 2002. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studi pada program studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas. Pada tahun 2009 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana dengan tugas akhir bidang Fisiologi Tumbuhan dan Kultur Jaringan berjudul: multiplikasi tunas kayu manis (Cinnamomum burmaniiBl.) secara in vitro dengan pemberian kombinasi thidiazuron (TDZ), benzyl amino purin (BAP) dan naftalein acetic acid (NAA). Penulis mengawali karir dalam bidang penelitian sejak melaksanakan magang di Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Pengkajian dan Penerapan Bioteknologi Industri dan Pertanian (PPP-Biotek), BPP Teknologi Kawasan Puspiptek, Serpong pada pertengahan tahun 2008. Sejak awal tahun 2010 hingga saat ini, penulis aktif menjalankan usaha penerbitan pada CV. Eadore Books. Pada pertengahan tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan ke Mayor Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana Institur Pertanian Bogor dan mendapat beasiswa pendidikan dari Bakrie Center Foundation. Pada tahun 2012, penulis mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian mengenai analisis abnormalitas buah mantel kelapa sawit yang dilaporkan dalam bentuk Tesis, sebagai salah satu syarat menyelesaikan program Pascasarjana Bioteknologi IPB. Penelitian tersebut didanai dan merupakan bagian dari proyek riset PT.Sinarmas, Tbk.