ABNORMALITAS BUNGA DAN BUAH PADA KLON KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) BERDASARKAN ANALISIS MORFOLOGI, BIOKIMIA DAN DNA GENOM
HELEN HETHARIE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Abnormalitas Bunga dan Buah pada Klon Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) berdasarkan Analisis Morfologi, Biokimia dan DNA Genom adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun belum diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2008 Helen Hetharie NRP A361030091
3
ABSTRACT HETHARIE. Abnormality of Flowers and Fruits in Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq) Clones Based on of Morphology, Biochemistry and Genomic analysis. Supervised by GUSTAAF A. WATTIMENA, MAGGY THENAWIJAYA S., HAJRIAL ASWIDINNOOR, and NURITA TORUANMATHIUS. Phenomena of abnormal flowers found was around 0-17% among clones of oil palm, that reduce productivity. Previous research showed that abnormality of flower is related to DNA hipomethylation in calli and leaves tissues of the abnormality plant. The changes of DNA methylation correlates with gen expression in the specific tissue. In the case of oil palm abnormalities occur in flower and fruit tissues. The objectives of this research were to characterize the morphology of flower and fruit, to determine the oil content in relation to malonyl-CoA and asetyl-CoA, to study changes of DNA methylation status and genomic DNA changes related with flower and fruit abnormality. Eighty plants used in this research consisted of three clones, i.e MK152, MK 176, and MK 209. These were obtained from the collection of ”Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Ciampea”. Characterization of plant morphology was conducted visually, whereas the oil content of mesocarp was analyzed by extracting the oil with soxhlet system, determination of the malonylCoA and acetyl-CoA content by HPLC (High Performance Liquid Chromathography), the quantification of cytosine methylation by performance RP-HPLC, and detection of alteration of the DNA genome was analysed by RAPD technique (Random Amplified Polymorphic DNA). The results showed that abnormalities of female and male flowers as well as fruits were found in tissue culture-derived plants. The rudimentary stamen in the female flower, and stamen of the male flowers were transformed into carpel-like structure. Fruit abnormality was catagorized into five classes, i.e normal, light abnormal (AbR), heavy abnormal (AbB) and two types of severe abnormal, AbSB1 and AbSB2. The content of palm oil in immmature fruit from the three type of fruits (normal, AbR and AbB) were similar. The normal fruit contained around 74.66 -77.26%, AbR 77.47-80.85%, and AbB 73.89-78.62%. The high palm oil content in the normal (MK 152), AbR (MK 209), and AbB (MK 176) were related to higher malonyl-CoA (0.069 0.085, dan 0.068 mg/ml respectively) than the acetyl-CoA (0.036, 0.021 dan 0.023 mg/ml respectively). On the contrary in the severe abnormal fruits, the acetyl-CoA was higher (0.066-0.087 mg/ml) and the malonyl-CoA lower (0.022-0.037 mg/ml). Compared to the normal plant, hypomethylation in leaves tissue was 1.31-4.01% and hypermethylation was 0.69-2.66% in flowers tissue of the abnormal plants. However, changes of DNA methylation status was not found in fruits tissue. Changes of the sequence of DNA genome in the plants within the same clone were detected using five random primers, i.e.OPC-08,OPD-15, W-15, OPC-09 and SC10-19. A band DNA of the normal plant was detected by OPC-08. Changes of the methylation status in leaf and flower tissues was not directly related to the abnormality of the oil palm flowers. The difference of DNA bands were found among plants of the MK 152. Key words : oil palm, abnormal flower, oil mesocarp, malonyl-CoA, methylation cytosine, DNA sequence
4
RINGKASAN HETHARIE. Abnormalitas Bunga dan Buah pada Klon Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Berdasarkan Analisis Morfologi, Biokimia dan DNA genom. Dibimbing oleh GUSTAAF A. WATTIMENA, MAGGY THENAWIJAYA SUHARTONO, HAJRIAL ASWIDINNOOR, dan NURITA TORUAN-MATHIUS. Penyediaan bibit kelapa sawit melalui perbanyakan kultur jaringan merupakan solusi bijak untuk memenuhi kebutuhan bibit di dalam negeri. Namun 0-17% tanaman yang berasal dari kultur jaringan mengalami abnormalitas pada bunga yang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Penelitian-penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa bunga abnormal berhubungan dengan hipometilasi yang dideteksi pada jaringan kalus dan daun. Sedangkan metilasi DNA genom berhubungan dengan regulasi ekspresi gen spesifik pada jaringan. Pada kelapa sawit yang mengalami abnormal adalah jaringan bunga dan buah. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan mengkarakterisasi morfologi bunga dan buah, menetapkan tingkat abnormalitas pada buah, menetapkan kandungan minyak dan mempelajari hubungannya dengan kandungan malonil-KoA dan asetil-KoA pada beberapa tingkat abnormalitas buah, serta mempelajari hubungan perubahan pada status metilasi DNA dan DNA genom dengan tingkat abnormalitas pada bunga dan buah. Bahan tanaman yang digunakan merupakan koleksi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di kebun Ciampea-Bogor. Tujuh klon yang dikoleksi yaitu klon MK152, MK 176, MK 203, MK163, MK 104, MK 212 dan klon MK 209 dan dengan total 143 tanaman. Dari hasil pengamatan berdasarkan banyak tanaman yang berbunga abnormal dengan keragaman tingkat abnormal maka terpilih tiga klon untuk penelitian yaitu klon Mk152, Mk176 dan MK209. Karakterisasi morfologi tanaman dilakukan secara visual difokuskan pada bunga, buah dan tanaman. Ekstraksi minyak dilakukan dengan sistim soxhlet, sedangkan penentuan jumlah malonil-KoA dan asetil-KoA dilakukan dengan teknik HPLC. Penentuan jumlah sitosin termetilasi dalam DNA genom dilakukan berdasarkan performa RP-HPLC, serta deteksi perubahan DNA genom dengan teknik RAPD menggunakan 10 primer acak 10 mer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 0-17% dari tujuh klon mempunyai morfologi bunga dan buah yang abnormal (mantel), dengan penampilan tanaman lebih tinggi, batang lebih besar, dahan daun lebih lebar dan terlambat waktu berbunga. Bagian organ bunga kelapa sawit tersusun pada enam posisi lingkaran organ bunga berturut-turut dari luar ke dalam yaitu daun pelindung, stamen yang berada di sisi kiri dan kanan bunga, pelindung bunga, posisi keempat dan kelima adalah perhiasan bunga, dan posisi keenam adalah pistil tiga karpel. Ciri dari bunga betina abnormal yaitu terdapat karpel yang berada antara posisi lingkaran bunga kelima dan keenam atau mengelilingi karpel utama. Karpel tambahan tersebut adalah staminode jika diamati secara mikroskopis. Sedangkan ciri dari bunga jantan abnormal yaitu stamen berubah menjadi struktur seperti karpel atau feminisasi bunga jantan. Bunga-bunga tersebut setelah di fertilisasi berkembang menjadi buah. Berdasarkan kedudukan karpel, keadaan mesokarp dan keberadaan
5
biji maka diperoleh lima tingkat abnormal buah yaitu buah normal, abnormal ringan (AbR), abnormal berat (AbB), abnormal sangat berat 1 (AbSB1) dan AbSB2. Tanaman dengan tingkat abnormal berbeda tersebut mempunyai pola kandungan minyak cenderung sama pada tiga klon, kecuali AbSB. Kandungan minyak buah normal (74.66-77.26 %) cenderung sama dengan AbR (77.4780.85%) dan AbB (73.89-78.62%) namun lebih tinggi dibandingkan dengan buah AbSB (62-69.5%) pada fase buah agak matang. Kandungan minyak pada buah normal (klon MK 152), AbR (klon MK 209), AbB (klon MK 176) secara berurutan adalah 74.66%, 77.47%, dan 78.62% didukung oleh kandungan malonil-KoA yang tinggi (0.068, 0.069 dan 0.085 mg/ml) dibandingkan dengan asetil-KoA (0.023, 0.036 dan 0.021 mg/ml). Namun terjadi sebaliknya pada buah AbSB1 dan AbSB2 (klon MK 152) dengan kandungan minyak relatif rendah (69.5% dan 61.9%), dengan asetil-KoA (0.087 dan 0.066 mg/ml) lebih tinggi dibandingkan dengan malonil-KoA (0.037 dan 0.022 mg/ml). Metilasi sitosin meregulasi ekspresi gen pada jaringan spesifik melalui adanya penurunan jumlah sitosin termetilasi pada jaringan bunga dibandingkan dengan jaringan daun (49.20 vs 53.90%) pada tanaman normal. Kejadian ini diduga berhubungan dengan gen-gen yang meregulasi pembentukan jaringan bunga tersebut. Pada tanaman berbunga abnormal terjadi perubahan metilasi pada jaringan daun maupun bunga, dan bervariasi dengan tingkat abnormal. Hipometilasi terjadi pada jaringan daun 1.31-4.01% dan hipermetilasi pada jaringan bunga 0.69-2.66% dibandingkan dengan jaringan yang sama pada tanaman berbunga normal, dan tidak ada perubahan metilasi pada jaringan buah abnormal. Hipometilasi pada jaringan daun tidak menyebabkan abnormal pada jaringan tersebut, apabila hipometilasi dihubungan dengan ekspresinya gen-gen tertentu. Hipermetilasi pada jaringan bunga abnormal juga tidak memperlihatkan perubahan morfologi yang nyata dari bunga, apabila hipermetilasi dihubungkan dengan tidak terekpresi gen-gen khususnya pada jaringan bunga. Tingkat abnormal pada buah tidak berhubungan dengan bertambah atau berkurangnya metilasi sitosin DNA genom. Diduga perubahan metilasi tidak terjadi pada gengen yang meregulasi pembentukan organ bunga. Perubahan metilasi dapat menyebabkan perubahan dalam genom meliputi perubahan struktur kromosom, perubahan basa dan aktivasi transposon. Penelitian keragaman genetik dengan teknik RAPD untuk mengetahui perubahan dalam suatu genom. Sepuluh primer acak 10 mer dapat mengamplifikasi DNA genom kelapa sawit. Lima primer menunjukkan pola pita monomorfis antara tanaman (normal, AbB dan AbSB2) pada klon yang sama (MK 152), mengindikasikan tidak terjadi perubahan pada sekuens DNA genom yang komplemen dengan primer tersebut. Sedangkan lima primer (OPC-08, OPD-15, W-15, OPC-09 dan SC10-19) memperlihatkan pola pita polimorfis antara ketiga tanaman, mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan sekuens DNA sehingga primerprimer tersebut tidak dapat mengamplifikasi pita yang sama dengan tanaman yang lain. Pita-pita DNA yang berbeda menunjukkan terjadi perubahan sekuens DNA genom secara acak. Primer OPC-08 memperlihatkan satu pita pada tanaman berbunga normal berukuran 800-1000 bp yang tidak terdapat pada tanaman berbunga abnormal AbB dan AS2. Pita DNA tersebut perlu dikonfirmasi lebih
6
lanjut untuk mendapatkan pita yang dapat membedakan tanaman berbunga normal dan abnormal. Variasi somaklonal diperlihatkan pada tanaman kelapa sawit meliputi (1) variasi fenotipe melalui perubahan morfologi bunga, (2) epigenetik perubahan metilasi DNA yaitu hipometilasi pada jaringan daun dan hipermetilasi pada jaringan bunga, dan (3) variasi genetik melalui perubahan sekuens DNA antara tanaman dalam klon yang sama. Perubahan fenotipe tersebut kemungkinan tidak berhubungan dengan perubahan metilasi DNA yang dideteksi dalam penelitian ini. Perubahan pada sekuens DNA genom atau perubahan pada tingkat genom kemungkinan dapat terjadi pada daerah suatu gen yang berhubungan dengan abnormalitas bunga atau berhubungan dengan proses metabolisme yang lain.
7
© Hak cipta milik IPB tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber (1) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah (2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
8
ABNORMALITAS BUNGA DAN BUAH PADA KLON KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) BERDASARKAN ANALISIS MORFOLOGI, BIOKIMIA DAN DNA GENOM
HELEN HETHARIE
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
9
Judul Disertasi : Abnormalitas Bunga dan Buah pada Klon Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Berdasarkan Analisis Morfologi, Biokimia dan DNA Genom Nama NRP
: Helen Hetharie : A361030091
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr.Ir. Gustaaf A.Wattimena, M.Sc. Ketua
Dr.Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono Anggota
Dr. Nurita Toruan-Mathius, M.S. APU Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Agronomi
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi M.S.
Tanggal Ujian : 30 Januari 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus : 4 Pebruari 2008
10
Penguji pada Ujian Tertutup :
Dr. Ir. Sobir, M.Si (Staf Pengajar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAPERTA IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Djoko Santoso, M.Sc (Peneliti pada Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia-Bogor) 2. Dr. Ir. Darda Efendi, M.Si (Staf Pengajar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAPERTA IPB)
11
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2005 ini adalah abnormalitas bunga pada kelapa sawit dengan judul “Abnormalitas Bunga dan Buah pada Klon Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Berdasarkan Analisis Morfologi, Biokimia dan DNA Genom”. Disertasi ini memuat satu bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang telah diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 3 berjudul Karakterisasi Morfologi Bunga dan Buah Abnormal pada Beberapa Klon Kelapa Sawit telah diterbitkan pada Bul Agron (35) 1: 44-49). Sejak penentuan topik penelitian sampai penyelesaian studi, penulis didukung oleh bebagai pihak secara perorangan maupun institusi. Maka pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada bapak dan ibu pembimbing : Bapak Prof. Dr. Ir. Gustaaf A. Wattimena, M.Sc., Ibu Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawijaya S., Bapak Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. dan Ibu Dr. Nurita Toruan-Mathius, M.S. atas waktu, perhatian, arahan-arahan ilmiah selama berdiskusi, petuah-petuah bijak serta dukungan doa yang mendalam dimulai saat penulis menentukan topik penelitian sampai tahap akhir penyelesaian studi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan juga kepada : (1) Penguji diluar komisi pembimbing Dr. Ir. Sobir, M.Si, Dr. Djoko Santoso, M.Sc, Dr.Ir. Darda Efendi, M.Si. yang telah meluangkan waktu menguji penulis serta saran koreksi untuk perbaikan Disertasi, (2) Rektor Universitas Pattimura dan Dekan Fakultas Pertanian atas kepercayaannya memberi ijin studi kepada penulis selama hampir lima tahun, (3) Dekan Fakultas Pertanian dan Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa Pascasarjana Program Studi Agronomi tahun akademik 2003/2004, (4) Staf pengajar pada Program Studi Agronomi dan program studi terkait dalam Program Pascasarjana IPB yang telah memberi ilmu pengetahuan dibidang Seluler dan Biomolekuler, (5) Dirjen Pendidikan Tinggi atas pemberian BPPS selama tiga tahun, (6) Kepala Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia Bogor, Kepala Balai Penelitian Marihat serta Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan atas fasilitas laboratorium untuk penelitian, serta dana penelitian melalui proyek penelitian yang diketuai oleh ibu Dr. Nurita-Toruan Mathius, MS, (7) Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Ciampea atas izin menggunakan bahan tanaman kelapa sawit, (8) Direktur SEAMEO BIOTROP atas ijin penggunaan fasilitas laboratorium selama penelitian, (9) Pemerintah daerah Maluku, Yayasan Bantuan Dana Maluku (YDBM), Universitas Pattimura, serta Konsorsium Pendidikan BPIMIGAS-KKKS & Pertamina atas bantuan dana studi, (10) Bapak ibu Persatuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA), staf pegawai pada laboratorium Immunologi dan Biomolekuler Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia Bogor, staf pegawai pada laboratorium Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon BIOTROP SEAMEO, bapak Tolhas Hutabarat, ibu Dr. Nesti Sianipar, SP., M.Si., ibu Dr. Dra. Siti Chalimah M.S., serta teman-teman SPs IPB atas berbagai bantuan selama studi dan penelitian.
12
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada saudara-saudara terkasih yaitu keluarga Ir. Franky Hetharie, Syane Hetharie, SPd., keluarga Sherly Leiwakabessy S.Pd. / H, keluarga Rudy Hetharie, S.Pi., keluarga Ronald Hetharie, SE., keluarga Ir. John Siaila, keluarga Pdt D. Zacharias, M.Th., bapak Nus dan mama Na Hetharie, ibu Ice Wattimena /Alfons, keluarga besar Hetharie/Haurissa serta semua pihak yang telah mendukung penulis secara moril maupun doa selama ini. Terima kasih dan penghargaan yang paling dalam bagi kedua orang tua bapak John Hetharie dan ibu Coos Hetharie atas cinta kasih yang melimpah, dukungan doa yang tak berkesudahan serta pengorbanan yang tulus demi kesuksesan penulis. Penulis menyadari bahwa penyajian prosedur penelitian, pembahasan dan kajian-kajian ilmiah dalam disertasi ini masih memerlukan masukan pemikiran untuk pengembangan penyusunan penelitian selanjutnya sehingga dapat menyajikan informasi yang akurat dan bermanfaat bagi pembangunan pertanian di Indonesia.
Bogor,
Januari 2008
Helen Hetharie
13
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Geser Kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku pada tanggal 21 Agustus 1966 dari ayah Johannes Hetharie dan ibu Costantina Hetharie/Haurissa. Penulis adalah putri ketiga dari enam bersaudara. Pendidikan pada Perguruan Tinggi dimulai pada tahun 1985 diterima sebagai mahasiswa pada program studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, lulus tahun 1991. Pada tahun 1996, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Agronomi pada Program Pasca Sarjana IPB bidang ilmu Genetika dan Pemuliaan Tanaman, tamat pada tahun 2000. Kesempatan melanjutkan studi pada program studi dan pada pascasarjana yang sama pada tahun 2003 lebih difokuskan pada bidang ilmu Biomolekuler. Beasiswa pendidikan pasacasarjana diperoleh dari Dirjen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Penulis adalah tenaga pengajar pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura sejak tahun 1993. Bidang ilmu yang diajarkan adalah Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Selama mengikuti program S3, karya ilmiah yang telah diterbitkan dengan judul ”Karakterisasi Morfologi Bunga dan Buah Abnormal Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Hasil Kultur Jaringan” pada jurnal Buletin Agronomi ( Bul Agron (35) 1: 44-49). Karya ilmiah tersebut merupakan bagian Disertasi penulis.
14
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ……………………………………………............
xv
DAFTAR TABEL ....…………………………………………................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………….............
xviii
1
2
3
4
PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................... Tujuan ................................................................................... Manfaat ................................................................................. Strategi ..................................................................................
1 5 5 5
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kelapa Sawit ......................................................... Biosintesis Lemak Pada Tanaman ........................................ Keragaman Pada Tanaman Hasil Kultur Jaringan ................ Keragaman Somaklonal Pada Kelapa Sawit ......................... Fenomena Metilasi DNA Pada Tanaman ............................ Pemisahan Nukleosida dengan Teknik HPLC ....................... Identifikasi Variasi Genetik dengan Teknik RAPD ..............
7 11 18 23 25 33 35
KARAKTERISASI MORFOLOGI BUNGA DAN BUAH ABNORMAL PADA BEBERAPA KLON KELAPA SAWIT ABSTRAK .................................................................................... PENDAHULUAN ........................................................................ BAHAN DAN METODE ............................................................. Bahan Tanaman .................................................................... Metode Penelitian .................................................................. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. Karakteristik Morfologi Bunga Betina ................................. Karakteristik Morfologi Bunga Jantan ................................. Tinjauan Gen-Gen Homeotik pada bunga kelapa sawit Abnormal ............................................................................... Karakteristik Morfologi Buah Abnormal dan Tingkat Abnormalitas ........................................................................ SIMPULAN ............................................................................... KAJIAN KANDUNGAN MINYAK, MALONIL-KoA DAN ASETIL-KoA PADA BUAH ABNORMAL BEBERAPA KLON KELAPA SAWIT ABSTRAK .................................................................................... PENDAHULUAN ........................................................................ BAHAN DAN METODE ............................................................. Bahan Tanaman ...................................................................... Metode Penelitian ....... ............................................................
38 38 40 40 40 42 42 47 53 55 59
60 60 62 62 63
15
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... Mesokarp dan Karakteristik Minyak pada Buah Abnormal ...................................................................... Kandungan Minyak pada Beberapa Tingkat Abnormalitas Buah ................................................................. Bobot Bahan Kering Mesokarp dan Minyak pada Beberapa Tingkat Abnormalitas Buah .................................. Kandungan Asetil-KoA dan Malonil-KoA pada Buah Abnormal ................................................................................ SIMPULAN ................................................................................. 5
6
KUANTIFIKASI METILASI SITOSIN DNA GENOM PADA JARINGAN DAUN, BUNGA DAN BUAH KELAPA SAWIT ABNORMAL ABSTRAK ................................................................................... PENDAHULUAN ....................................................................... BAHAN DAN METODE ............................................................ Bahan Tanaman ..................................................................... Metode Penelitian .................................................................. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... Kualitas dan Kuantitas DNA ................................................. Status Metilasi Sitosin Pada Beberapa Jaringan Tanaman Berbunga Normal .................................................. Pola Metilasi Sitosin Pada Beberapa Jaringan Tanaman dengan Beberapa Tingkat Abnormalitas ............................... SIMPULAN ................................................................................ PENDETEKSIAN PERUBAHAN SEKUENS DNA PADA KELAPA SAWIT ABNORMAL DENGAN TEKNIK RAPD ABSTRAK ................................................................................... PENDAHULUAN ....................................................................... BAHAN DAN METODE ............................................................ Bahan Tanaman ................................................................... Metode Penelitian ................................................................ HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... Pola Pita DNA Monomorfis Beberapa Tanaman dari Klon yang Sama ........................................................... Pola Pita DNA Polimorfis Pada Beberapa Tanaman dari Klon yang sama ............................................................ SIMPULAN .................................................................................
66 66 68 70 73 76
77 77 80 80 81 85 85 87 89 96
97 97 99 99 100 102 102 104 111
7
PEMBAHASAN UMUM ..........................................................
112
8
SIMPULAN UMUM DAN SARAN .........................................
118
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
120
LAMPIRAN ..........................................................................................
139
16
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan alir penelitian ........................................................................
6
2
Penampang bunga betina kelapa sawit (E. guineensis Jacq) ........................................................................
9
3
Struktur kimia triasilgliserol dan asam lemak .................................
12
4
Penggunaan asetil-KoA pada organel sel berbeda dalam tanaman ................................................................................
13
5
Reaksi ensim asetil-KoA karboksilase ............................................
14
6
Sintesis triasilgliserol melalui lintasan Kennedy ...........................
16
7
Jalur penggunaan S-Adenosil-L-metionin (SAM) dan pengaruh etilen pada tanaman .........................................................
27
Metilasi DNA pada promotor penyebab tidak aktifnya gen .....................................................................................
30
9
Rangkaian bunga betina dan seludang bunga ..................................
42
10
Beberapa tahap perkembangan rangkaian bunga betina .................
43
11
Bagian organ bunga betina normal dan abnormal ..........................
44
12
Pelindung bunga dan perhiasan bunga pada fase buah ..................
47
13
Rangkaian bunga jantan dan betina ...............................................
48
14
Beberapa tahap perkembangan rangkaian bunga jantan ...............
48
15
Spikelet dan bagian organ bunga jantan normal dan abnormal ..................................................................................
49
Penampilan pelepah daun dan batang pada tanaman normal dan abnormal ......................................................................
52
17
Penampilan stigma pada buah normal dan abnormal .....................
55
18
Tingkat abnormalitas pada buah ....................................................
56
19
Dua tipe buah abnormal sangat berat dengan irisan membujur .......
57
8
16
17
20
Penampilan mesokarp pada dua fase buah matang ..........................
66
21
Beberapa tingkat abnormalitas buah dan mesokarpnya ..................
67
22
Kandungan minyak mesokarp pada dua fase buah panen dari tiga klon dengan tingkat abnormalitas berbeda ........................
68
Rataan kandungan minyak dan bobot bahan kering mesokarp fase buah agak matang .......................................................
71
24
Penampilan buah AbSB2 pada fase buah panen ............................
72
25
Penampilan DNA hasil elektroforesis dari jaringan daun, bunga dan buah ...............................................................................
85
Penampilan sampel DNA yang tidak dicacah dan dicacah dengan ensim EcoRI dari jaringan daun, bunga dan buah ..............
86
Pola kandungan metil sitosin (5-mC) pada tanaman berbunga normal pada jaringan daun, bunga dan buah .................................
87
Pola kandungan metil sitosin (5-mC) beberapa tingkat abnormalitas pada beberapa tipe jaringan tanaman .............................................
90
Pola pita DNA monomorfis pada beberapa tingkat abnormalitas dengan tipe jaringan tanaman berbeda ...........................................
102
30
Pita DNA polimorfis pada tingkat abnormal tertentu .....................
105
31
Pita DNA polimorfis pada beberapa tingkat abnormal ..................
107
23
26 27 28 29
18
DAFTAR TABEL Halaman 1
Komposisi asam lemak pada minyak sawit, minyak kedele dan minyak kelapa ..........................................................................
17
2
Klon-klon dengan beberapa tipe buah abnormal .............................
41
3
Persentase tingkat abnormalitas buah pada beberapa klon kelapa sawit ....................................................................................
58
Kandungan asetil-KoA, malonil-KoA dan minyak pada beberapa klon dengan beberapa tingkat abnormal buah .................................
73
5
Bahan-bahan untuk satu kali reaksi restriksi ensim EcoRI ............
83
6
Bahan-bahan untuk satu kali reaksi PCR .......................................
100
7
Primer-primer untuk teknik RAPD ...............................................
101
8
Jumlah pita monomorfis yang teramplifikasi oleh ......................... lima primer
103
9
Pita polimorfis hasil amplifikasi lima primer .................................
108
4
19
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Prosedur ekstrasi minyak dari mesokarp kelapa swait ...................
140
2
Kandungan minyak dan bobot bahan kering mesokarp .................
141
3
Prosedur ekstrasi protein dan reaksi ensim asetil-KoA karboksilase ....................................................................................
142
Pola kurva asetil-KoA dan malonil-KoA dengan teknik HPLC pada beberapa tingkat abnormalitas buah .........................................
143
Hubungan antara kandungan minyak, malonil-KoA dan asetil-KoA pada mesokarp beberapa tingkat abnormalitas .............
147
6
Prosedur isolasi DNA dari beberapa jaringan tanaman .................
148
7
Prosedur penyiapan nukleosida untuk kuantifikasi metilsitidin dengan teknik RP-HPLC ................................................................
149
Pola kurva metilsitidin dan sitidin dengan Teknik RP-HPLC pada jaringan daun, bunga dan buah ................................................
150
Kandungan metil sitosin (5mC) pada DNA genom jaringan daun, bunga dan buah dengan tingkat abnormalitas buah .........................
156
Pola pita DNA monomorfis hasil amplifikasi primer SC10-76 dan AE-11 .........................................................................
157
4 5
8 9 10
20
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) sebagai penghasil minyak nabati mempunyai kekhasan tersendiri dari tanaman kelapa umumnya. Minyak dapat dihasilkan dari dua bagian buah yaitu mesokarp yang disebut crude palm oil (CPO) atau minyak sawit, dan yang berasal kernel yang disebut kernel palm oil (KPO). Indonesia dan Malaysia sebagai penghasil terbesar minyak sawit pada tahun 2002 memasok 84% produksi minyak sawit dunia (Basiron 2004). Data minyak dunia menunjukkan volume produksi minyak sawit di Indonesia pada tahun 2005 diperkirakan 9.4 juta ton dan pada tahun 2020 mencapai 18 ton atau melampui kapasitas produksi CPO
dari
juta
Malaysia yang hanya 15.4
juta ton (Cheng Hai 2002). Sebagian besar pertambahan produksi minyak sawit tersebut dari Indonesia karena mempunyai tanah pertanian yang luas serta jumlah buruh lebih dari mencukupi dibandingkan dengan Malaysia. Saat ini permintaan minyak sawit meningkat lebih dari 2.8 – 3 juta ton per tahun (Bangun
2005) karena pemanfaatannya sebagai biodiesel.
Usaha
peningkatan produksi telah dilakukan salah satunya melalui perluasan areal penanaman. Menurut Asmono (2006) permintaan benih sawit secara langsung berhubungan dengan agenda perluasan dan penanaman kembali kebun kelapa sawit, jadi Indonesia memerlukan 70 juta benih setiap tahun. Namun sampai saat ini hanya seperdua dari kebutuhan benih tersebut terpenuhi. Umumnya penyediaan benih kelapa sawit dilakukan secara konvensional melalui biji. Perbanyakan dengan biji mempunyai beberapa kelemahan antara lain bibit yang dihasilkan tidak seragam akibat segregasi, memerlukan waktu relatif lama, serta tidak menjamin kemurnian atau keunggulan dari bibit tersebut. Namun tersedianya teknologi kultur jaringan dengan berbagai kelebihannya menjadi dasar untuk perbanyakan kelapa sawit melalui teknologi ini yang diharapkan dapat memenuhi permintaan bibit. Menurut Lubis (1992) tanaman hasil kultur jaringan menghasilkan jumlah tandan buah lebih banyak, berat tandan lebih tinggi dan
21
memerlukan waktu relatif cepat. Namun beberapa klon asal kultur jaringan menghasilkan bunga-bunga mantel dengan feminisasi bagian dari bunga jantan maupun betina 5-10% (Corley et al. 1986. Pada bunga jantan abnormal, stamen berkembang sebagai struktur karpeloid sedangkan bunga betina abnormal, staminodes (vestigial stamen) berkembang sebagai struktur pseudokarpel (Tregear et al. 2002). Fenotip bunga mantel pada klon-klon hasil perbanyakan kultur jaringan menjadi
permasalahan
di
negara-negara
produsen
selain
menurunkan
produktivitas tanaman melalui bunga abnormal, juga menghambat penggunaan teknologi ini untuk perbaikan sifat tanaman. Identifikasi fenotip abnormalitas sejak dini pada kultur jaringan tidak dapat dilakukan karena fenotip tanaman sama antara tanaman abnormal dan normal
pada tingkat planlet maupun tanaman
dewasa. Kejadian abnormalitas mulai nampak pada saat tanaman menghasilkan bunga atau pada fase reproduksi. Dengan demikian diperlukan informasi abnormal secara umum pada tanaman dan khususnya pada jaringan bunga dan buah sehingga dapat diketahui organ spesifik yang mengalami abnormal. Selain itu, tingkat keabnormalan pada suatu organ tanaman perlu diindentifikasi untuk mengkaji hubungannya dengan penyebab keabnormalan tersebut. Seberapa berat abnormalitas
pada
bunga
yang
kemudian
berkembang
menjadi
buah
mempengaruhi produksi minyak menjadi perhatian untuk dianalisis. Menurut Shah dan Ahmed-Parveez (1995) penelitian terhadap klon normal dan abnormal dengan menggunakan marka biokimia dan sitogenetik belum memperlihatkan
dasar
terjadinya
abnormalitas.
Beberapa
penelitian
mengungkapkan kejadian bunga mantel pada kelapa sawit tidak berhubungan dengan keragaman kandungan DNA (Rival et al. 1997), pengaturan transposon (Kubis et al. 2003), perubahan dalam sekuens DNA pada jaringan abnormal (Rival et al. 1998). Hasil-hasil tersebut menguatkan hipotesis adanya epigenetik sebagai penyebab bunga mantel,
dengan kenyataan bahwa fenotip ini dapat
kembali menjadi normal di lapangan (Treggear et al. 2002). Epigenetik adalah suatu fenomena yang berhubungan dengan perubahan ekspresi gen yang dapat kembali pulih tetapi bukan karena perubahan sekuens DNA (Kaeppler et al. 2000). Metilasi merupakan suatu modifikasi DNA yang berperan dalam regulasi
22
epigenetik (Bellucci et al. 2002). Menurut Bender (2002) epigenetik melibatkan metilasi DNA dan atau modifikasi histon yang berhubungan dengan ekspresi suatu gen. Beberapa peneliti membuktikan terjadi hipometilasi (penurunan metilasi DNA genom) pada tanaman berbuah mantel, yang dideteksi pada jaringan kalus dan jaringan daun tanaman dewasa (Jaligot et al. 2000 ; Jaligot et al. 2002; Kubis et al. 2003). Sedangkan Shah dan Ahmed-Parveez (1995) mendapatkan adanya hipermetilasi pada kasus bunga yang sama. Perbedaan hasil penelitian ini menjadi menarik untuk dibuktikan pada jaringan yang mengalami abnormal karena selama ini penelitian-penelitian untuk mengungkapkan abnormal pada bunga kelapa sawit dilakukan pada jaringan kalus dan daun. Selain itu tingkat abnormal pada organ tanaman apakah berhubungan dengan perubahan metilasi dan perubahan struktur pada genom belum diketahui. Perkembangan tanaman atau differensiasi organ diregulasi oleh metilasi sitosin yang berhubungan dengan ekspresi gen spesifik jaringan. Metilasi dan demetilasi sitosin pada daerah promotor merupakan mekanisme penting mengregulasi ekspresi gen pada sel dan jaringan spesifik ( Boyes & Bird 1991 ; Renckens et al. 1992). Pola metilasi terjadi spesifik dengan spesies, jaringan dan bervariasi selama tahap perkembangan. Metilasi differensial dideteksi pada jaringan tanaman
berbeda pada tanaman tomat (Messeguer et al. 1991) dan
jagung (Walker 1998). Metilasi DNA pada tanaman seperti halnya vertebrata diimplikasikan pada pengaturan ekspresi gen (Antequera & Bird 1988) yaitu berpengaruh langsung terhadap transkripsi DNA atau tidak langsung melalui perubahan struktur kromatin (Adams 1990 ; Lewis & Bird 1991 ; Razin & Cedar 1991). Metilasi DNA dapat mengontrol aktivitas gen dalam jangkauan kecil yaitu dengan mempengaruhi promotor dan enhancer, atau jangkauan luas melalui mekanisme global dengan mempengaruhi beberapa gen dalam seluruh kromosom atau genom. Sejumlah studi menunjukkan bahwa ada
korelasi antara level
ekspresi gen dan derajat metilasi yaitu apabila metilasi rendah maka ekspresi gen tinggi, metilasi tinggi maka ekspresi gen rendah (Gardner et al. 1991). Perubahan metilasi DNA genom khususnya pada daerah promotor memungkinkan
tidak
terekpresinya
gen-gen
sebagai
suatu
fenomena
hipermetilasi, dan ekspresi gen-gen yang tidak seharusnya terekpresi sebagai
23
suatu fenomena hipometilasi. Perubahan metilasi DNA genom tersebut dapat diregulasi oleh cekaman lingkungan, salah satunya melalui kultur jaringan. Kemungkinan perubahan metilasi seperti fenomena di atas
mempengaruhi
ekspresi gen untuk pembentukan organ bunga. Perubahan metilasi DNA genom mempengaruhi juga struktur kromatin yang secara global melibatkan banyak gen, atau perubahan struktur kromatin pada daerah heterokromatin yang tidak berhubungan dengan daerah suatu gen. Berdasarkan pertimbangan di atas maka perlu dilakukan penelitian terhadap status metilasi pada klon-klon kelapa sawit berbunga abnormal (mantel) dengan menggunakan jaringan tanaman yang abnormal. Menurut Bellucci et al. (2002) untuk mendeteksi terjadi metilasi yaitu dengan menganalisis DNA secara biokimia menggunakan Spektrofotometrik dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Perubahan metilasi DNA berdampak pada perubahan ekspresi gen, pematahan kromosom, aktivitas transposon, kekompakan struktur kromosom. Pematahan kromosom yang mengakibatkan perubahan struktur kromosom merupakan suatu fenomena mutasi dalam kultur jaringan. Kaeppler dan Phillips (1993b) mengatakan bahwa metilasi DNA berakibat dalam perubahan struktur kromatin karena terlambatnya replikasi heterokromatin dalam kultur jaringan sehingga terjadi pematahan kromosom, dan perubahan ekspresi gen. Aktivasi pergerakan transposon diinduksi juga oleh perubahan metilasi pada daerah heterokromatin, sebagai penyebab mutasi (Miura et al. 2001; Singer et al. 2001 ; Kato et al. 2003). Pematahan kromosom dan aktivasi transposon menyebabkan perubahan sekuens DNA genom, dan perubahan pada suatu gen menyebabkan perubahan ekspresi gen yang berakibat pada perubahan fenotipik. Kemungkinan bunga mantel berhubungan dengan perubahan sekuens pada gen-gen yang meregulasi pembentukan bunga pada kelapa sawit. Meskipun Rival et al. (1998) menemukan bahwa tidak terjadi kerusakan genom pada tanaman berbunga mantel, dan beberapa hasil penelitian mengarah pada fenomena epigenetik. Namun klon-klon kelapa sawit mempunyai sensitifitas berbeda dengan lingkungan tumbuh, dan kekacauan di dalam genom terjadi secara random meliputi perubahan metilasi DNA maupun sekuens DNA selama kultur menjadi hal yang menarik untuk
24
dianalisis pada klon lain. Menurut Miklas et al. (1996) teknik RAPD dapat digunakan untuk mencirikan gen atau kromosom, sidik jari genom dan membuat peta genom. Marka RAPD memperlihatkan sensitifitas untuk mendeteksi keragaman di antara individu, antara dan dalam spesies (Carlson et al. 1991; Roy et al. 1992). Tujuan Penelitian (1)
Mengkarakterisasi morfologi bunga dan buah abnormal, serta menetapkan tingkat abnormalitas pada fase buah.
(2)
Menganalisis kandungan minyak pada tingkat abnormalitas buah berbeda, serta hubungannya dengan kandungan malonil-KoA dan asetil-KoA pada mesokarp buah.
(3)
Menganalisis perubahan status metilasi DNA genom pada jaringan bunga dan buah yang abnormal, serta hubungannya dengan beberapa tingkat abnormalitas pada bunga dan buah.
(4)
Menganalisis perubahan sekuens DNA genom antara tanaman dengan beberapa tingkat abnormal pada klon MK 152. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sejumlah informasi
tentang (1) perubahan morfologi yang spesifik pada tanaman-tanaman yang berasal dari kultur jaringan, (2) kandungan minyak, malonil-KoA dan asetil-KoA pada beberapa tingkat abnormalitas buah, (3) perubahan status metilasi pada jaringan daun, bunga dan buah pada beberapa tingkat abnormalitas, serta (4) perubahan sekuens DNA pada beberapa tingkat abnormal pada klon MK 152. Strategi Penelitian Berdasarkan tujuan dan manfaat penelitian tersebut maka
strategi
penelitian dilakukan dalam empat tahap (Gambar 1) yaitu : (1)
Karakterisasi morfologi bunga dan buah abnormal pada beberapa klon kelapa sawit.
(2)
Kajian kandungan minyak, malonil-KoA dan asetil-KoA pada buah abnormal beberapa klon kelapa sawit.
25
(3)
Kuantifikasi metilasi sitosin DNA genom pada jaringan daun, bunga dan buah kelapa sawit abnormal.
(4)
Pendeteksian perubahan sekuens DNA pada kelapa sawit abnormal dengan teknik RAPD.
ABNORMALITAS BUNGA DAN BUAH PADA KLON KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) BERDASARKAN ANALISIS MORFOLOGI, BIOKIMIA DAN DNA GENOM (1) KARAKTERISASI MORFOLOGI BUNGA DAN BUAH ABNORMAL PADA BEBERAPA KLON KELAPA SAWIT Tujuan : Mengkarakterisasi morfologi bunga dan buah, serta menetapkan tingkat abnormalitas pada fase buah
(2)
KAJIAN KANDUNGAN MINYAK, MALONIL-KoA DAN ASETIL-KoA PADA BUAH ABNORMAL BEBERAPA KLON KELAPA SAWIT Tujuan : Menganalisis kandungan minyak pada tingkat abnormalitas buah berbeda serta hubungannya dengan kandungan malonil-KoA dan asetil-KoA pada mesokarp buah KUANTIFIKASI METIL SITOSIN DNA GENOM PADA JARINGAN DAUN, BUNGA DAN BUAH KELAPA SAWIT ABNORMAL
(3)
(4)
Tujuan : Menganalisis perubahan status metilasi DNA genom pada jaringan bunga dan buah yang abnormal, serta hubungannya dengan beberapa tingkat abnormalitas pada bunga dan buah PENDETEKSIAN PERUBAHAN SEKUENS DNA PADA KELAPA SAWIT ABNORMAL DENGAN TEKNIK RAPD Tujuan : Menganalisis perubahan sekuens DNA genom antara tanaman dengan beberapa tingkat abnormal pada klon MK 152 Gambar 1. Bagan alir penelitian
26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kelapa Sawit Klasifikasi Genus Elaeis terdiri atas tiga spesies yaitu Elaeis guineensis Afrika yang dikenal sebagai kelapa sawit, dan dua spesies asli dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah yaitu E. oleifera dan E. odora. Dari tiga spesies ini, kelapa sawit merupakan spesies ekonomi utama, lebih dikenal karena merupakan sumber minyak nabati dibandingkan dengan dua spesies lain. Elaeis oleifera mempunyai kandungan minyak lebih rendah serta penggunaanya sebatas daerah produksi, sedangkan informasi tentang E. odora sangat terbatas. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) bukanlah tanaman asli Indonesia tetapi berasal dari Afrika. Kelapa sawit diintroduksi ke Asia Tenggara pada tahun 1848 melalui Kebun Raya Bogor, Indonesia. Keturunan generasi kedua dan ketiga dari tanaman
asli ini digunakan sebagai bahan tanam dan terbentuklah
perkebunan pertama kelapa sawit di Sumatra sejak tahun 1911, dan di Malaysia sejak tahun 1917 kemudian berkembang menjadi populasi Deli Dura. Sampai saat ini banyak varietas telah dihasilkan dan dapat diklasifikasikan berdasarkan pada tipe buah, bentuk luar, tebal cangkang, warna buah, dan lainlain. Berdasarkan warna buah maka spesies Elaeis guineensis dikelompokkan atas (1) Nigrescens (buahnya berwarna violet sampai hitam waktu muda dan menjadi merah kuning (orange) setelah matang, (2) Virescens ( buahnya berwarna hijau waktu muda dan sesudah matang berwarna orange, (3) Albescens (buah berwarna kuning pucat, tembus cahaya karena mengandung sedikit karoten, dan (4) poissoni sering disebut mantel atau buah dengan karpel tambahan mempunyai lebih dari satu biji dalam buah (Hartley 1977; Price et al. 2007) . Dua tipe buah yang umum adalah nigrescen dan virescen yang dibagi oleh Janssens (1927) ke dalam tiga bentuk yaitu dura, tenera dan pisifera. Varietas Nigrescen dipakai sebagai tanaman komersial sedangkan dua varietas lain hanya dipakai dalam program pemuliaan dan sebagai koleksi (Lubis 1992).
27
Hartley (1977) menyatakan bahwa berdasarkan bentuk buah internal (bagian dalam dari buah) ditemukan ada tiga varietas berbeda yaitu (1) Dura ; tebal cangkang 2-8 mm, kandungan mesokarp rendah sampai medium (kadang 35% -55%, dan pada Deli Dura lebih dari 65%), tidak mempunyai cincin sabut, (2) Tenera: tebal cangkang 0.5-4 mm, kandungan mesokarp medium sampai tinggi (60% -96% tetapi jarang lebih rendah dari 55 %), mempunyai cincin sabut, (3) Pisifera; sedikit cangkang (tipis). Menurut Paranjothy (1984) ketebalan cangkang dikendalikan oleh gen tunggal. Tiga tipe buah tersebut dibawah kontrol monogenik dan menjadi dasar untuk klasifikasi minyak sawit yaitu (1) Dura; homosigous (ShSh) cangkang tebal (2-8 mm), (2) Tenera ; heterosigot (Shsh) dengan cangkang tipis (0.5-4 mm), dan (3) Pisifera ; homosigot (shsh) tidak ada cangkang. Pisifera umumnya mempunyai organ betina yang steril tetapi penyebab steril tersebut belum diketahui. Embrio yang dihasilkan oleh Pisifera tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak adanya cangkang berlignin. Dalam pemuliaan kelapa sawit, Pisifera biasanya digunakan sebagai sumber serbuk sari. Sedangkan Tenera adalah hibrida dari hasil persilangan varietas Dura dan varietas Pisifera. Tenera merupakan varietas komersial dengan karakteristik yang diharapkan yaitu mesokarp atau
sabutnya menghasilkan minyak yang tinggi
yaitu 60-90% per berat buah
dibandingkan dengan Dura yang hanya
20-65% per berat buah, serta bercangkang tipis yang memungkinkan embrio
berkembang
dengan
baik
(http://www.hort.purdue.edu/newcrop/tropical/lecture_24/palm_R.html). Morfologi Tanaman Kelapa sawit tumbuh tegak lurus dapat mencapai ketinggian 15 – 20 m. Batangnya dibungkusi oleh pangkal pelepah daun. Batang ini berbentuk silinder berdiameter 0.5 m pada tanaman dewasa. Bagian bawah umumnya lebih besar disebut bongkol batang. Sampai umur tiga tahun batang belum terlihat karena masih terbungkus pelepah daun. Pangkal pelepah daun atau tangkai daun adalah bagian daun yang mendukung atau tempat duduknya helaian daun dan terdiri atas rachis, tangkai daun atau tangkai daun dan duri, helaian anak daun, ujung daun, lidi, tepi daun dan daging daun. Pada tiap pelepah diisi oleh anak daun dikiri
28
kanan rachis. Produksi pelepah daun pada tanaman selama setahun dapat mencapai 20 -30 kemudian akan berkurang sesuai umur yaitu 18 -25 atau kurang. Panjang cabang daun dari pangkal dapat mencapai 9 m pada tanaman dewasa. Kelapa sawit berakar serabut yang sangat dangkal (15 cm – 30 cm) dengan permukaan tanah. Akar primer muncul dari pangkal batang bertumbuh ke bawah dan tumbuh juga akar sekunder yang tumbuh horisontal dan dari akar ini muncul juga akar-akar tertier dan kwartier yang berada dipermukaan tanah. Tanaman kelapa sawit di lapangan mulai berbunga pada umur 12 -14 bulan tetapi baru ekonomis untuk dipanen pada umur 2.5 tahun (Lubis 1992). Morfologi Biologi Bunga dan Buah Kelapa sawit merupakan tanaman monoesious karena mempunyai bunga jantan dan betina terpisah tetapi berada pada tanaman yang sama. Tanaman ini dapat menyerbuk sendiri dan dapat menyerbuk silang. Penyerbukan terjadi oleh angin dan kumbang. Dari setiap ketiak daun keluar satu tandan bunga jantan atau bunga betina tetapi beberapa gugur sebelum muncul. Pada tanaman muda sering dijumpai bunga abnormal yaitu tandan bunga memiliki dua jenis kelamin atau bunga hermaprodit (Lubis 1992). Masing-masing bunga betina kelapa sawit diapit oleh dua bunga jantan (Gambar 2) namun bunga jantan ini tidak berkembang secara normal dan sangat jarang mencapai tahap perkembangan hingga serbuk sari dihasilkan (Hartley 1977). Secara visual tandan bunga jantan atau betina dapat diketahui setelah
Gambar 2. Penampang Bunga Betina Kelapa Sawit (Hartley 1977)
29
muncul dari ketiak pelepah daun yaitu 7 - 8 bulan sebelum matang atau 1 –2 bulan sebelum antesis. Ttandan bunga jantan dan bunga betina yang masih dalam seludang dapat dibedakan
yaitu tandan bunga jantan
bentuknya lonjong
memanjang, ujung kelopak bunga agak runcing dan garis tengah bunga lebih kecil dibandingkan dengan tandan bunga betina. Tandan bunga betina bentuknya agak bulat dengan ujung kelopak bunga agak rata dan garis tengah bunga lebih besar. Tiap pembungaan merupakan suatu bulir atau gabungan tongkol (spadix) pada tangkai bunga yang kuat dengan panjang 30-45 cm. Spikelet disusun secara spiral mengelilingi sumbu bunga yang bervariasi dengan umur dan posisi pada sumbu bunga. Seludang bunga bagian dalam dan bagian terluar menutupi pembungaan secara kuat hingga kira-kira enam minggu sebelum anthesis. Dua atau tiga minggu selanjutnya seludang bagian dalam pecah, kemudian kedua seludang menjumbai dan hancur, serta bunga terdorong keluar (Hartley 1977). Satu tandan bunga betina memiliki 100 – 200 spikelet dan tiap spikelet memiliki 15 -20 bunga (Lubis 1992). Bunga betina tidak serentak anthesis, pada satu tandan umumnya membutuhkan waktu 3-5 hari atau lebih. Tandan bunga jantan terpisah tempatnya dengan tandan bunga betina dan
tidak bersamaan anthesis maka
tanaman ini dikatakan menyerbuk silang. Tandan bunga jantan juga dibungkus oleh selundang bunga, yang pecah jika akan anthesis. Bunga jantan tidak bertangkai tersusun pada rachis dari suatu spikelet. Spikelet berbentuk silinder seperti tongkol. Ukuran spikelet antara panjang 10 -20 cm. Spikelet terdiri atas 700 -1200 bunga jantan. Satu tandan bunga jantan menghasilkan 25-50 g serbuk sari. Sebelum mekar, bunga secara sempurna terbungkus dalam bract triangular yang terdiri atas enam segmen perhiasan kecil, suatu tabula androesium dengan enam atau tujuh kepala sari, serta gimnoesium rudimenter yang berhubungan dengan stigma tiga cuping (trilobe stigma). Bunga-bunga mulai mekar dari dasar spikelet (Hartley 1977). Bunga betina setelah pembuahan akan berkembang menjadi buah. Buah mencapai kematangan dalam 24 minggu setelah penyerbukan dan minyak mulai diakumulasi dalam mesokarp 20 minggu setelah penyerbukan (Tandon et al. 2001). Menurut Hartley (1977) buah bervariasi dalam bentuk dari bentuk bola sampai panjang dan agak menonjol di bagian atas. Panjangnya bervariasi dari
30
kira-kira 2 cm sampai lebih dari 5 cm dengan berat dari 3 g sampai lebih dari 30 g. Buah Deli dari Far East biasanya lebih besar dibandingkan dengan buah Afrika, meskipun berbeda dengan buah yang umum. Pericarp buah terdiri atas (1) eksokarp terluar atau kulit buah, (2) mesokarp atau daging buah (sabut), dan (3) endokarp atau cangkang. Sedangkan biji terdiri dari kernel dan cangkang. Sering dijumpai buah mantel yaitu stamen yang rudimenter berkembang menjadi karpel tambahan pada bunga betina. Tipe buah abnormal mantel ini dikenal dengan berbagai istilah seperti Poissoni, Mantled dan Diwakkawakka. Pertumbuhan karpel tambahan ini mengelilingi bagian utama buah. Namun buah mantel jarang ditemui, contoh di suatu daerah di Nigeria dari 20.291 tandan yang dipanen ditemukan 33 tandan buah mantel, sedangkan di Angola ditemukan sembilan pohon menghasilkan buah mantel dari 10.000 pohon (Hartley 1977). Ditemukan berbagai penampilan eksternal buah khususnya pada waktu matang. Eksokarp dari buah-buah eksternal cenderung lebih berpigmen dibandingkan dengan buah internal. Tipe yang paling umum yaitu buah berwarna lebih ungu sampai hitam pada apeks dan tidak berwarna pada bagian dasar sebelum matang. Tipe yang tidak umum adalah hijau sebelum matang, dan ini disebut buah hijau (virescen) yang kemudian berubah pada saat matang menjadi orange kemerahan. Sedangkan untuk struktur internal, yang berbeda adalah pada ketebalan cangkang. Ketebalan cangkang dari yang paling kecil 1 mm sampai yang paling tebal 8 mm. Tiap cangkang mempunyai tiga pori yang berhubungan dengan tiga bagian ovari tiga karpel. Namun hanya satu karpel yang biasanya berkembang menjadi biji (Price et al. 2007). Bagian dalam dari cangkang terdapat kernel. Cangkang terdiri atas lapisan endosperm yang keras yang berwarna putih keabu-abuan yang dikelilingi oleh testa coklat tua yang dibungkus dengan sabut serta mempunyai satu pori yang terdapat embrio (Hartley 1977). Biosintesis Lemak Pada Tanaman Lipid adalah kelompok senyawa organik berminyak atau berlemak yang tidak larut dalam air, dapat diekstrak dari sel dan jaringan oleh pelarut non polar seperti kloroform atau eter (Lehninger et al.1982). Terdapat tiga kelas lipid pada tanaman yaitu (1) trigliserida atau lemak, merupakan lipid paling sederhana yang
31
a
b Gambar 3. Struktur kimia triasilgliserol dan asam lemak. (a) Triasilgliserol, (b) Asam lemak jenuh dan tak jenuh (Alberts et al. 2002) tersusun dari tiga asam lemak dan terikat dengan satu molekul gliserol melalui ikatan ester (Gambar 3a), (2) membran lipid, mirip dengan trigliserida namun satu asam lemak diganti oleh satu kelompok polar seperti gula pada senyawa glikolipid atau posfat pada posfolipid, dan (3) lipid kutikula,
campuran hidrokarbon
kompleks dan ester dari asam alifatik rantai panjang dan alkohol, tersimpan dalam suatu polimer lipid yang disebut kutin. Kutin dan wax menyusun kutikula sebagai barier penahan air. Menurut Ohlrogge dan Browse (1995) lipid kutikula membungkus permukaan tanaman sebagai barier hidropobik untuk mencegah kehilangan air dan membentuk suatu pertahanan terhadap patogen dan stress lingkungan lainnya. Jenis lipida yang paling banyak adalah lemak atau triasilgliserol (TAG) (Lehninger et al.1982). Triasilgliserol merupakan bentuk lipid yang kaya energi sebagai makanan cadangan yang digunakan untuk tanaman dan manusia. Terdapat lima asam lemak utama pada lipid tanaman yaitu yang berada dalam bentuk cair (oleat, linoleat dan linolenat) merupakan asam lemak tidak jenuh dan sebagai nutrisi, sedangkan asam lemak jenuh meliputi palmitat (Gambar 3b) dan stereat. Seperti dikemukakan oleh Stumpf (1976) bahwa triasilgliserol dalam bentuk cair pada suhu kamar disebut minyak, disusun terutama oleh asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat (Gambar 3b), asam linoleat dan asam linolenat.
32
Sedangkan berupa padat dalam suhu kamar disebut lemak, disusun oleh asam lemak jenuh seperti asam palmitat. Asam lemak tidak jenuh mengandung satu atau lebih ikatan rangkap. Sintesis asam lemak dibutuhkan pada tahap awal pertumbuhan sel dan perkembangan (Sasaki & Nagano
2004). Asam lemak
merupakan suatu kelompok asam karboksil alifatik yang dapat mengandung dua sampai dua puluh empat lebih atom karbon yang terdapat pada sebagian besar jaringan tanaman dan hewan. Menurut Ohlrogge dan Browse (1995) tanaman dan sebagian besar organisme mempunyai asam lemak utama berantai panjang C16 atau C18 dengan satu sampai tiga ikatan ganda cis.
Gambar 4. Penggunaan asetil-KoA pada organel sel berbeda dalam tanaman (disederhanakan). Pada mitokondria asetil-KoA dihasilkan melalui piruvat, dalam plastid dihasilkan dari piruvat dan asetat, dan dalam sitosol asetil berasal dari sitrat yang dikeluarkan dari mitokondria.. ht ACCase (heteromerik asetil Ko-A) mengkatalisis asetil menjadi malonil-KoA dalam plastid. FAS (asam lemak sintase) mengkatalisis malonil-KoA menjadi asam lemak. hm ACCase (homomerik asetil-KoA) mengkatalisis asetil menjadi malonil-KoA dalam sitosol (Fatland et al. 2005).
33
Asetil-KoA merupakan suatu biomolekul penting dalam beberapa organel dan suatu prekursor dari biosintesis asam lemak (Ke et al. 2000), dan hampir semua asetil-KoA yang digunakan dalam metabolisme dibentuk pada mitokondria berasal dari oksidasi piruvat, oksidasi asam lemak dan degradasi kerangka karbon asam aminol (Lehninger et al.1982), namun Ke et al. (2000) mengatakan asetilKoA untuk biosintesis asam lemak pada tanaman dihasilkan dari asam piruvat. Biosintesis asam lemak pada tanaman ditempatkan dalam plastid dan dikatalisis oleh dua ensim yaitu asetil-CoA karboksilase (ACCase) dan asam lemak sintase (Gambar 4).
ACCase mengkatalisis tahap pertama karboksilasi asetil-CoA
menjadi malonil-CoA, membutuhkan ATP, asetil-CoA dan bikarbonat. ACCase dipertimbangkan sebagai tahap yang membatasi kecepatan biosintesis asam lemak (Töpfer et al. 1995).
Gambar 5. Reaksi ensim asetil-KoA karboksilase. (1) Reaksi dengan membutuhkan ATP, BC mengaktivasi HCO3menempel ke cincin biotin BCCP. (2) tangan biotin BCCP membawa CO2 yang diaktivasi dari situs aktif BC ke situs karboksiltransferase (CT), (3) CT mentransfer CO2 dari biotin ke asetil-KoA menghasilkan malonil-KoA (Ohlrogge & Browse 1995).
34
Ohlrogge dan Browse (1995) mengatakan ACCase tersusun dari tiga daerah fungsional yaitu biotin carboxyl carrier protein (BCCP), biotin karboksilase (BC) dan karboksil transferase (CT) (Gambar 5). Menurut Sasaki dan Nagano (2004) ensim ACCase mengkatalisis dua half-reaction berbeda sebagai berikut : BCCP-CO2 + Mg2+ -ADP + Pi : :(1) BCCP + HCO3¯ + Mg2+-ATP biotin karboksilase BCCP + malonil-KoA : (2) BCCP-CO2¯ + asetil-KoA karboksil transferase Sedangkan ensim asam lemak sintase mengkatalisis tahapan reaksi pembentukan asam palmitat (C16:0) pada tanaman, dan selanjutnya membentuk asam lemak rantai C18:0 yang bervariasi ikatan rangkapnya. Rantai asil C16 dan C18 merupakan produk utama biosintesis asam lemak de novo (Tőpfer et al. 1995). Menurut Sasaki dan Nagano (2004) di alam ditemukan bentuk ACCase heteromerik
dan homomerik yang berbeda secara fisik. Bentuk heteromerik
ACCase tersusun dari empat subunit yaitu BCCP, BC, dan α dan ß subunit CT, dan biasanya terdapat pada prokariot. Sedangkan bentuk homomerik tersusun dari polipeptida besar tunggal dengan empat domain subunit dan ditemukan pada eukariot. Bentuk ACCase prokariot ini merupakan bentuk multisubunit, sedangkan bentuk ACCase eukariot dikatakan sebagai bentuk multifungsi. Sebagian besar tanaman mempunyai kedua bentuk ACCase yaitu bentuk heteromerik dalam plastid dan homomerik dalam sitosol, kecuali famili graminae seperti gandum dan padi mempunyai hanya bentuk homomerik pada plastid maupun sitosol (Konishi & Sasaki 1994 ; Konishi et al. 1996). Aktivitas ACCase dari plastid kacang kapri (ACCase prokariot) tidak dihambat
oleh herbisida
fenoxaprop atau sethoxydim, namun herbisida tersebut menghambat ACCase pada plastid gandum (ACCase eukariot) (Konishi & Sasaki 1994). Pada sel tanaman, sejumlah besar malonil-KoA dibentuk dalam plastid untuk sintesis asam lemak, tetapi malonil-KoA juga dihasilkan dalam sitosol untuk pemanjangan asam lemak yang dikeluarkan dari plastid (Sasaki et al. 1995 ; Nikolau et al. 2003). Menurut Sasaki
et al. (1995) asam lemak tersebut diekspor
ke sitosol untuk pemanjangan asam lemak, sintesis flavonoid dan fitoaleksin (Sasaki et al. 1995 ). Kumpulan malonil-CoA di sitosol dibutuhkan untuk reaksi lintasan dengan selang yang luas meliputi flavanoid dan pemanjangan rantai
35
Gambar 6. Sintesis triasilgliserol melalui lintasan Kennedy asam lemak (VLCFA ≥ C20), kutikula, wax dan sphingolipid (Roesier et al. 1994). Malonilasi D-asam amino, glikosida dan prekursor 1-aminocyclopropane1-carboxylic acid (ACC) juga tergantung pada kumpulan malonil-CoA dalam sitosol (Baud et al. 2003). Menurut Sasaki dan Nagano (2004) asam lemak yang telah disintesis akan melewati pembungkus (envelope) plastid, kemudian dimodifikasi dalam sitosol dalam respons terhadap kebutuhkan tanaman. Prekursor malonil-CoA tidak dapat melewati envelope tersebut sehingga malonil disintesis dalam plastid maupun sitosol oleh ACCase sesuai kebutuhan sel. Biosintesis triasilgliserol terdiri atas tiga tahapan reaksi yaitu (1) biosintesis malonil-CoA dari asetil-CoA, (2) biosintesis asam lemak menggunakan malonilCoA sebagai prekursor, (3) biosintesis triasilgliserol melalui lintasan kennedy. Tahap pertama dan kedua berlangsung dalam plastid sedangkan tahap ketiga berlangsung dalam retikulum endoplasma (sitosol). Asetil-CoA karboksilase merupakan ensim yang berperan langsung dalam biosintesis TAG. Ensim ini berkontribusi untuk
sintesis asam lemak de novo dalam plastid dan juga
pemanjangan asam lemak dalam retikulum endoplasma (ER) untuk membentuk C20:0, C20:1 dan C22:1 yang mewakili 25% dari asam lemak TAG pada Arabidopsis (Baud et al. 2002).
Triasilgliserol disintesis melalui lintasan
36
Kennedy (Gambar 6) yang secara garis besar terdiri atas dua tahap asilasi untuk mengubah gliserol-3 fosfat menjadi fosfatidat, dilanjutkan dengan pembentukan diasilgliserol oleh ensim fosfatidat fosfohidrolase dan terakhir ensim diasilgliserol asiltransferase mengubah diasilgliserol menjadi triasilgliserol. Tabel 1. Komposisi asam lemak pada minyak sawit, minyak kedele dan minyak kelapa
Kelapa sawit menghasilkan minyak dari dua bagian buah yaitu mesokarp dan kernel dengan kualitas asam lemak yang berbeda. Menurut Hartley (1970) kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh terbentuk sesuai dengan perkembangan endosperm untuk kernel dan perkembangan buah untuk mesokarp. Sepuluh minggu dari penyerbukan jumlah lemak sangat sedikit pada kernel dan komposisinya berbeda dibandingkan dengan kernel matang. Asam lemak tidak jenuh lebih besar jumlahnya seperti oleat (C18:1) yang mencapai 67% dan linoleat (C18:2) 14% dibanding asam lemak jenuh pada tahap tersebut. Pada minggu ke-14 sampai ke-16 pembentukan asam lemak jenuh lebih besar meliputi laurat (C12) 46-50%, miristat (C14) 18-20% dan asam oleat (C18:1) beberapa persen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembentukan asam lemak sesuai dengan perkembangan fisiologi endosperm. Sedangkan pembentukan lemak pada mesokarp sangat lambat dengan perkembangan buah. Pada minggu ke-8 sampai ke-16 setelah penyerbukan kandungan asam lemak kurang dari 2% dari berat kering. Sangat sedikit penambahan lemak dan berat kering mesokarp dari minggu
37
ke-8-ke-19, tetapi beberapa saat sebelum kematangan buah bobot kering mesokarp meningkat 300-500% dan asam lemak 70-75% dari berat kering. Pada minggu terakhir fase kematangan buah, semua asam lemak meningkat kuantitasnya. Asam oleat meningkat menjadi urutan kedua kuantitasnya setelah palmitat. Minggu ke-20 minyak pada mesokarp didominasi asam palmitat (C16) 45.5%, 34% oleat dan 11.8% linoleat. Minyak sawit didominasi oleh asam lemak palmitat dan oleat. Sedangkan minyak kernel didominansi oleh asam lemak tak jenuh laurat dan miristat, seperti halnya minyak kelapa (Tabel 1). Keragaman Pada Tanaman Hasil Kultur Jaringan Teknik kultur jaringan berkembang tahun 1900-an yang dimulai dengan kultur akar oleh Kotte dan Robbins. Kultur jaringan atau in vitro dapat menyediakan banyak tanaman dalam waktu singkat serta bebas cendawan dan bakteri. Tahun 2000-an penggunaan kultur jaringan tidak sebatas untuk memperbanyak tanaman tetapi lebih luas digunakan untuk memfasilitasi kegiatan transformasi gen, hibridisasi somatik, metabolik sekunder, tanaman haploid dan lain-lain. Namun dalam perkembangan kultur jaringan ditemukan banyak keragaman dari tanaman-tanaman yang diregenerasi dari kultur sel maupun kultur akar. Kemudian Larkin dan Scowcroft (1981) menyebutkan keragaman pada tanaman yang diregenerasi pada in vitro tersebut sebagai keragaman somaklonal. Secara umum ditemukan konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam media berpengaruh terhadap keragaman somaklonal. Skirvin et al. (1994) mengatakan faktor-faktor penunjang terjadinya keragaman selama kultur jaringan adalah macam eksplan, pemilihan kultivar dan umur kultivar, level ploidi, metode dan kondisi spesifik dari kultur termasuk zat pengatur tumbuh, tekanan seleksi, lamanya waktu in vitro dan kecepatan proliferasi. Sedangkan menurut Karp (1995) terdapat empat faktor yang menyebabkan keragaman yaitu (1) derajat awal dari pertumbuhan merismatik, (2) konstitusi genetik dari material awal, (3) zat pengatur tumbuh pada media serta, (4) sumber jaringan. Keragaman somaklonal secara luas dibagi ke dalam perubahan genetik dan epigenetik. Tipe keragaman berbeda-beda dari spesies ke spesies dan sering sulit menentukan salah satu keragaman genetik alami dari banyak tipe keragaman
38
yang terjadi. Keragaman somaklonal meliputi perubahan dalam struktur dan atau jumlah kromosom, mutasi titik, perubahan dalam ekspresi gen sebagai akibat perubahan struktural pada kromosom (heterokromatin dan position effect) atau aktivasi elemen transposon, kehilangan kromatin, amplifikasi DNA, pindah silang kromatin ( Rao et al. 1992 ; Kaeppler et al. 2000). Menurut Peschke dan Phillips (1992) beberapa tipe utama keragaman genetik dalam kultur jaringan adalah (1) aberasi kromosom, (2) aktivasi elemen transposon, dan (3) perubahan metilasi. Perubahan Struktur dan Jumlah Kromosom Keragaman genetik pada tanaman hasil kultur jaringan melibatkan perubahan pada struktur kromosom dan jumlah kromosom yang berhubungan dengan ritme pembelahan mitosis dalam siklus sel. Menurut van Harten (1998) ketidakaturan mitotik berperan terjadinya ketidakstabilan kromosom, amplifikasi gen, delesi dan inaktif gen atau aktif kembali gen-gen inaktif. Kejadian ini banyak ditemukan pada kultur kalus, protoplas dan kultur sel. Seperti yang dikemukakan oleh Leroy et al. (2000) perubahan kromosom terjadi dengan frekuensi yang tinggi pada tahap awal kalus atau kultur sel cair sebagai penyebab abnormalitas. Menurut Madlung & Comai (2004) mutasi gen spontan atau penyimpangan pembelahan sel menyebabkan pengaruh yang merugikan
terhadap regulasi
metabolik dan genetik. Kontrol siklus sel normal mencegah pembelahan sel
sebelum terjadi
replikasi DNA secara sempurna, dan diduga terganggu melalui kultur jaringan yang mengakibatkan pematahan kromosom (Phillips & Kaepller 1994). Menurut Kaeppler et al. (2000) replikasi sekuens heterokromatin yang tidak lengkap pada pembelahan sel berperan untuk adanya jembatan anafase dan selanjutnya terjadi pematahan kromosom. Pematahan kromosom (chromosome breakage) dan konsekuensinya meliputi translokasi, inversi, delesi dan duplikasi Peshke dan Philips (1992). Menurut Suryo (1995) translokasi adalah pemindahan suatu bagian dari sebuah kromosom ke bagian kromosom yang bukan homolognya. Diduga tipe translokasi ini dapat terjadi pada sel-sel yang membelah secara mitosis karena pertukaran bagian kromosom diantara kromosom nonhomolog. Translokasi terjadi apabila patahan-patahan tunggal pada dua kromosom nonhomolog saling tertukar. Seperti yang dikemukakan oleh Griffiths et al. (1993)
39
translokasi yaitu pertukaran suatu bagian antara dua kromosom nonhomolog yang mengakibatkan pengaturan kembali (rearrangement) kromosom. Translokasi merupakan fenomena kromosom abnormal yang lebih sering terjadi namun diamati juga inversi, insersi dan delesi (Kaeppler et al. 2000). Perubahan struktur kromosom
dikenal juga sebagai mutasi kromosom
meliputi (1) delesi yaitu kehilangan suatu segmen kromosom baik dibagian ujung maupun tengah kromosom, (2) duplikasi yaitu suatu segmen kromosom berada lebih dari satu dalam satu kromosom. (3) inversi yaitu segmen suatu kromosom membalik, dan (4) translokasi yaitu perubahan lokasi suatu segmen kromosom dimana bagian kromosom patah dan tersambung dengan kromosom berbeda atau pada posisi baru dari kromosom yang sama. Translokasi menghasilkan position effect. Perubahan-perubahan struktur kromosom tersebut menyebabkan perubahan dalam jumlah DNA tetapi tidak berubah jumlah kromosomnya. Fenomena euploidi (penambahan jumlah genom dalam satu sel) dan aneuploidi (penambahan satu atau lebih kromosom dalam sel) sering terjadi pada tanaman. Menurut Suryo (1995) polipolidi dapat terjadi pada tanaman diploid meliputi (1) kelipatan somatis yaitu pemisahan yang tidak teratur selama mitosis menyebabkan kelipatan jumlah kromosom, dan (2) sel-sel reproduktif mengalami pembelahan yang tidak teratur sehingga jumlah kromosom dalam gamet dua kali lipat. Aneuploidi terjadi pada pembelahan miosis maupun mitosis. Pembelahan mitosis menghasilkan dua sel yang konstitusi kromosomnya sama, tetapi dapat menghasilkan sel atau organisme dengan kekurangan atau kelebihan kromosom tertentu. Hilangnya kromosom dalam sel-sel hasil mitosis ataupun miosis karena terlambatnya pemisahan kromosom pada anafase, dan nondisjunction yaitu gagal berpisah kromosom atau kromatid selama miosis dan mitosis. Akibat hilangnya kromosom atau kromatid maka distribusi ke kutub-kutub sel berlawanan tidak sama. Hang dan Bregitzer (1993) menemukan perubahan ploidi yang lebih umum terjadi sebagai perubahan sitogenetik di antara regeneran barley walaupun kejadian pematahan kromosom juga terjadi. Namun hasil analisis pada gandum dan jagung in vitro menunjukkan lebih sering terjadi pematahan kromosom dibandingkan dengan perubahan ploidi (Benzion et al 1986).
40
Perubahan Metilasi DNA Metilasi pada daerah genom dan peranannya meliputi (1) metilasi pada elemen regulator seperti promotor, enhancer, insulator dan represor menekan fungsi elemen tersebut, (2) metilasi dalam daerah gen seperti perisentromik dan heterokromatin berfungsi mempertahankan konformasi dan integritas kromosom, (3) dan metilasi merupakan mekanisme perlindungan genom terhadap elemen trasnposon (Bestor 1998 ; O’Neil et al. 1998). Daerah-daerah genom yang termetilasi merupakan suatu ciri dalam struktur kromatin yang kompak. Namun banyak penelitian membuktikan sering terjadi perubahan metilasi DNA pada kromatin yang kompak tersebut. Perubahan metilasi meliputi penurunan jumlah sitosin
termetilasi
(hipometilasi)
atau
bertambahnya
sitosin
termetilasi
(hipermetilasi). Metilasi DNA pada sistim tanaman dan mamalia dihubungkan dengan perubahan pada ekspresi gen, perubahan struktur kromatin, aktivasi elemen transposon, genom imprinting dan carcinogenesis (Stam et al. 1997; Wolffe & Matzke 1999; Ferguson-Smith & Surani 2001; Finnegan 2001). Epigenetik didefenisikan sebagai perubahan pewarisan pada fungsi suatu gen yang tidak dapat dijelaskan melalui perubahan pada sekuens DNA, sedangkan metilasi didefenisikan sebagai suatu modifikasi DNA yang berperan sentral dalam regulasi
epigenetik (Bellucci et al. 2002). Perubahan metilasi pada tanaman
mempengaruhi keragaman dalam beberapa cara. Metilasi DNA (penambahan sitosin trmetilasi) menghambat transkripsi secara langsung dengan menghalangi faktor transkripsi melalui modifikasi situs targetnya.
Beberapa aktivitas gen
tanaman muncul berhubungan dengan metilasi sedangkan gen-gen lain tidak mengalaminya sehingga dikatakan ada regulasi perubahan gen melalui perubahan metilasi di in vitro (Hershkovitz et al. 1990). Frekuensi metilasi pada daerah heterokromatin lebih besar dibandingkan dengan daerah eukromatin (Bird 1986). Heterokromatin daerah yang sangat kompak (kondens) dan tidak ditranslasi, sedangkan eukromatin adalah daerah DNA yang kurang kompak dan terdapat sebagian besar gen aktif. Pematahan kromosom tidak terjadi secara random tetapi pada bagian kromosom yang bereplikasi lambat yaitu heterokromatin. Frekuensi tinggi pematahan kromosom dekat dan/atau dalam sentromer heterokromatin ditemukan pada tanaman gandum
41
(McCoy et al. 1982 ; Johnson et al. 1987) dan barley (Hang & Bregitzer 1993). Keterlibatan heterokromatin dalam kejadian pematahan tersebut maka muncul hipotesis bahwa heterokromatin bereplikasi terlambat selama kultur dibandingkan dengan siklus sel normal. Menurut Suryo (1995) heterokromatin ditemukan pada daerah sentromer dan telomer yang mengandung banyak DNA berulang. Sentromer berfungsi sebagai tempat berpegangnya benang-benang gelendong (spindel)
untuk menarik kromatid atau kromosom ke kutub pada anafase.
Telomer berfungsi menghalangi kromosom bersambungan pada ujung kromosom sehingga tidak terjadi rantai kromosom yang panjang. Apabila terjadi pematahan kromosom maka patahan kromosom akan tersambung pada tempat-tempat pematahan tetapi tidak pada ujung kromosom. Pada tanaman, kehilangan metilasi menyebabkan aktivasi pergerakkan transposon dengan konsekuensi sering terjadi mutasi (Miura et al. 2001; Singer et al. 2001 ; Kato et al. 2003). Menurut Madlung dan Comai (2004) kehilangan metilasi berkorelasi dengan transkripsi dan transposisi aktivasi transposon yang menyebabkan mutasi gen dan perubahan fenotip, sehingga metilasi pada genom menjaga kestabilan genom tersebut. Adanya hipotesis bahwa elemen transposon berpindah dalam dan antara kromosom sebagai penyebab keragaman somaklonal (Larkin & Scowcroft 1981 ; Burr & Burr 1981). Pada genom tanaman, lebih dari 85% DNA inti terdiri atas elemen bergerak (Kumar & Bennetzen 1999) bergantung pada ukuran genom, contoh Arabidopsis mengandung kira-kira 14% elemen bergerak (transposon). Pada jagung, sebagian besar elemen transposon berada dalam jumlah kopi tinggi pada daerah heterokromatin (SanMiguel et al. 1996; Rabinowicx et al. 1999). Menurut Belanger dan Hepburn (1990) kandungan sitosin termetilasi lebih tinggi pada beberapa tanaman ditandai dengan genom yang besar karena disusun oleh sekuens DNA berulang, dan sekuens berulang pada genom adalah transposon (Arnholdt-Schmitt (2004). Transposon berperan penting untuk pengaturan kembali (rearrangement) genom. Frekuensi pemulihan (penghilangan elemen transposon) lebih dari 20 kali terbesar pada in vitro dibandingkan dengan secara alami pada tanaman. Menurut Kaeppler dan Phillips (1993b) kecenderungan penurunan metilasi menyebabkan elemen transposon dikembalikan atau diaktifkan dalam proses kultur jaringan.
42
Pembuktian lain
menunjukkan bahwa metilasi sitosin pada DNA sering
menyebabkan transisi sitosin (5mC) menjadi timin (T) dan deaminasi pada 5-mC sebagai penyebab mutasi titik. Menurut Zingg dan Jones (1997) peningkatan frekuensi mutasi seperti ini memperlihatkan bahwa deaminasi hidrolitik spontan dari 5-mC menjadi T terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan C menjadi U. Keragaman Somaklonal Pada Kelapa Sawit Perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan telah dimulai tahun 1970. Tahun 1974, Unilever berhasil menumbuhkan dari kalus kemudian tahun 1976 Robechault dan Martin berhasil menumbuhkan dari daun. Pusat Penelitian Marihat sejak tahun 1980 telah merintis perbanyakan tanaman kelapa sawit melalui kultur jaringan. Keberhasilan ini membuka peluang mendapatkan tanaman haploid dari serbuk sari dan menghasilkan hibrida somatik melalui fusi sel atau pengembangan kearah perbaikan sifat melalui bioteknologi. Secara umum perbanyakan tanaman kelapa sawit dengan kultur jaringan meliputi beberapa tahap yaitu inisiasi kalus embriogenik, proliferasi dari kalus embrio, pembentukan embrio, germination embrioid, dan pembentukan tunas dan akar. Inisiasi kalus embriogenik dilakukan dengan suspensi sel, kemudian subkultur supaya terjadi proliferasi kalus embriogenik, selanjutnya pembentukan embrioid selama dua bulan dan subkultur pada media pada untuk pembentukan tunas dan akar (Wong et al. 1999). Keberhasilan perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan ini tidak seperti yang diharapkan. Corley et al. (1986) melaporkan proporsi kelapa sawit yang berasal dari embrio somatik memperlihatkan fenotip varian somaklon yang mempengaruhi struktur bunga pada kedua seks. Fenomena varian kelapa sawit hasil kultur jaringan menghasilkan buah-buah yang abnormal yang ditunjukkan
43
melalui adanya karpel tambahan. Karpel tersebut adalah perkembangan abnormal dari primodia staminodia (Matthes et al. 2001). Menurut Rival et al. (1997) plantlet kelapa sawit yang berasal dari nodular kalus kompak menunjukkan fenotip mantel rata-rata 5%, sebaliknya ditemukan mencapai 100% pada planletplanlet yang berasal dari kalus pertumbuhan cepat. Penggunaan skala besar kultur jaringan dihambat oleh kejadian fenotip buah mantel kira-kira 5-10% pada semua klon kelapa yang diregenerasi (Tregear et al. 2002). Beberapa penelitian mengungkapkan kejadian buah mantel dan abnormal bunga pada kelapa sawit tidak berhubungan dengan keragaman pada kandungan jumlah DNA dan hasil ini menguatkan hipotesis adanya epigenetik penyebab keragaman somaklonal pada kelapa sawit (Rival et al. 1997),
bukan karena
pengaturan transposon tetapi perubahan dalam pola metilasi yang berhubungan dengan komponen genomik lain (Kubis
et al. 2003). Tregear et al. (2002)
mengatakan bahwa perubahan epigenetik meliputi perubahan metilasi pada DNA genom yang menyebabkan buah mantel. Fitohormon mempengaruhi genom melalui modulasi status metilasi sehingga dikatakan bahwa modulasi metilasi DNA merupakan satu mekanisme dasar aksi hormon pada tanaman dan hewan (Vanyushin 2005). Dikatakan juga bahwa fitohormon menghambat metilasi pada rantai yang baru terbentuk tetapi tidak pada fragmen Okazaki karena fragmen ini resisten terhadap berbagai reaksi metilasi dan tidak dipengaruhi oleh hormon misalnya auksin pada tanaman. Metilasi secara luas pada kultur sel meningkat dengan konsentrasi auksin yang tinggi (Arnholdt-Schmitt et al. 1991). Konsentrasi zat pengatur tumbuh (PGR) seperti 2,4-diclorophenoxyacetic acid (2,4-D) I-naphthaleneacetic acid (NAA), indole-3-ecetic acid (IAA) meningkat dalam media maka didapati metilasi DNA juga meningkat pada sel wortel (LoShiavo et al. 1989). Sedangkan kinetin telah menunjukkan penyebab ekstensif hipometilasi DNA pada proliferasi kultur eksplan akar wortel dalam 2 minggu (Arnholdt-Schmitt et al. 1991), dan NAA (auksin) mempunyai pengaruh berlawanan dan sebagai penyebab hipermetilasi (LoSchiavo et al. 1989). Konsentrasi auksin (NAA) dan sitokinin dalam media kultur dapat mempunyai pengaruh dramatis terhadap timbulnya bunga mantel pada ramet kelapa sawit yang dihasilkan. Penambahan kinetin ke
44
media kultur
(tanpa NAA) meningkatkan secara nyata timbul bunga mantel
(Eeuwens et al. 2002). Menurut Armini et al. (1992) embriogenesis sangat memerlukan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin, dan auksin 2,4-D paling sering digunakan untuk mendorong pembentukan embrio somatik. Pada tanaman dikotil konsentrasi auksin 2,4-D digunakan berkisar 4.0-14.0 µM (0.9-3.1 mg/l), sedangkan pada tanaman monokotil konsentrasi berkisar 2.0-10 mg/l. Menurut Heldt (1997) 2,4-D merupakan herbisida yang dapat merusak tanaman dikotil, namun monokotil tidak sensitif terhadap hormon tersebut dan pada konsentrasi tinggi dapat mengacaukan morphogenesis. Fenomena Metilasi DNA Pada Tanaman S-Adenosil-L- Metionin (SAM) Sebagai Donor Metil Fenomena metilasi DNA yang terjadi pada tanaman berperan untuk regulasi ekspresi gen yang berhubungan dengan differensiasi dan perkembangan. Metilasi sitosin pada genom eukariot penting untuk mengontrol ekspresi gen dan stabilisasi genom (Martienssen & Colot 2001 ; Bird 2002). Metilasi DNA berperan untuk mempertahankan kestabilan genom melalui kestabilan kromatin. Perubahan metilasi DNA genom ditentukan oleh keberadaan S-adenosil-L-metionin (SAM) karena SAM merupakan satu donor metil universal untuk sejumlah besar reaksi transfer metil. Metilasi sitosin pada DNA dikatalisis oleh ensim DNA metiltransferase yang mentransfer kelompok metil dari S-adenosyl-L-methionine (SAM) ke posisi 5 dari basa sitosin (C).
Meningkatnya
konsentrasi
SAM
menstimulasi
reaksi
DNA
metiltransferase untuk hipermetilasi dan melindungi genom terhadap hipometilasi (Detich et al. 2003). Sebaliknya suplai SAM yang tidak cukup berperan dalam
45
defisiensi donor metil penyebab hipometilasi Kekacauan metilasi sitosin pada mutan
atau
karena
perlakuan
inhibitor
berperan
terhadap
kerusakan
perkembangan pada organisme mulai dari tanaman, fungi sampai mamalia (Li et al. 1992; Okano et al. 1999 ; Martienssen & Colot 2001). Pada manusia, defisiensi donor metil (SAM) berkorelasi dengan meningkatnya
resiko untuk
tumor pada hati dan usus besar (Giovannucci et al. 1993). Defisiensi donor metil pada hewan lebih rentan untuk sejumlah tumor dan menunjukkan gejala lain yang tidak langsung berhubungan dengan metilasi DNA (Rogers 1995). Ensim metiltransferase bertanggung jawab pada metilasi DNA genom tanaman, khusus pada Arabidopsis ada paling sedikit 10 gen yang mengkode metiltransferase,
yang dapat dibagi kedalam tiga famili (Finnegan & Kovac
2000). Kelas pertama adalah metiltransferase 1 (MET1), famili kedua adalah chromomethylase (CMT) dan methyltransferase (DRM) genom
ketiga
(Wada 2005).
adalah
domain
MET1 mempertahankan
global dan mutan met1 memperlihatkan
rearranged metilasi
penurunan metilasi DNA
secara drastis dan abnormalitas morfologi (Finnegan et al. 1996; Ronemus et al. 1996 ; Kankel et al. 2003). CMT mengontrol metilasi non-CpG (Cao & Jacobsen 2002a). Sedangkan ditemukan pada Arabidopsis, gen DRM1 dan DRM2 bertanggung jawab untuk metilasi sitosin pada transgene inverted-repeat pada situs CpNpG dan CpNpN (Cao & Jacobsen 2002b). Menurut Radchuk et al. (2005) terdapat empat ensim yang bertanggung jawab untuk reaksi siklus metilasi yaitu metionin sintase, AdoMet sintase, methyltransferase yang tergantung SAM, S-Adenosil-L-Homosistein (SAH) hidrolase. Pada tanaman, AdoMet sintase dengan adanya ATP merubah hampir 80% metionin menjadi SAM. SAM digunakan untuk menghasilkan kelompok metil dan ditransfer melalui adanya metiltransferase namun dapat juga dikonversi menjadi AdoHcy (Radchuk
et al. 2005). SAM dan SAH merupakan
pertimbangan krusial untuk reaksi transfer metil dalam sel (Kocsis et al. 2003). Rasio SAM: SAH (ratio metilasi) menentukan aktifitas ensim metiltransferase (Cantoni et al. 1977). Menurunnya rasio SAM : SAH sebagai prediksi menurunnya metilasi yang berarti terjadi peningkatan SAH (Caudill et al. 2001).
46
Gambar 7. Jalur penggunaan S-Adenosil-L-Metionin (SAM atau AdoMet) dan pengaruh etilen. ACC ((1-aminosiklopropan-1 - asam karboksilat. carboxylic). MACC (malonil-ACC) (van der Straeten & van Motagu 1990). Gambar 7. Jalur penggunaan S-Adenosil-L-Metionin (SAM atau AdoMet) dan pengaruh etilen pada tanaman. ACC (1-aminosiklopropan-1 - asam karboksilat.). MACC (malonil-ACC) (van der Straeten & van Montagu 1990). Sebagian besar SAM (90%) disiapkan sebagai donor kelompok metil untuk sebagian besar transmetilasi DNA (Ravanel et al. 1998). Menurut Zingg dan Jones (1997) aberasi metabolisme SAM tidak hanya mempengaruhi metilasi DNA karena sebagai donor metil, tetapi juga sebagai donor aminopropil yang ditambahkan ke putresin membentuk poliamin spermidin dan spermin (Chiang et al. 1996). Kira-kira 1% SAM disiapkan untuk sintesis spermidin dan spermin melalui reaksi SAM dekarboksilase (Chiang et al. 1996), sisa SAM dirubah menjadi etilen (Gambar 7). Menurut Ravanel et al. (1998) SAM merupakan suatu intermediet untuk biosintesis fitohormon poliamin dan etilen. Secara umum poliamin berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada sebagian besar organisme (Tabor & Tabor 1984), melalui interaksinya dengan berbagai makromolekul dan membran. Spermin dan spermidin terlibat dalam berbagai respons stress pada tanaman, khususnya pertahanan terhadap kekeringan seperti yang diperlihatkan melalui over ekspresi AdoMetDC pada padi (Capell et al. 2004). SAM dikonversi menjadi ACC (1-aminosiklopropan-1-asam
47
karboksilat) oleh ensim ACC sintase (ACS), selanjutnya ACC dikonversi menjadi etilen oleh ensim ACC oksidase (ACO) (Yang & Hoffman 1984 ; Kende 1993). Berdasarkan hasil penelitian pada embriogenesis somatik pada wortel maka Minocha et al. (1990) menyimpulkan bahwa (1) auksin menekan embriogenesis, (2) auksin memacu biosintesis etilen, (3) etilen menghambat embrogenesis somatik, (4) penghambatan biosintesis poliamin mengakibatkan penghambatan embriogenesis, (5) biosintesis poliamin dipacu dengan memanfaatkan SAM dan menekan sintesis etilen karena menggunakan prekursor yang sama (SAM). Metilasi DNA dan Penghambatan Ekspresi Gen Modifikasi DNA telah dipostulasikan berperan sentral dalam regulasi epigenetik melalui pengaturan akses informasi genetik (Riggs 1975). Ditinjau dari genetik molekuler, epigenetik didefenisi secara sempit sebagai modifikasi heritable pada ekspresi gen tanpa perubahan pada sekuens nukleotidanya, dimana modifikasi ditandai dengan pola metilasi DNA dan atau modifikasi histon yang berhubungan dengan gen (Bender 2002). Metilasi adalah penambahan kelompok metil ke nukleotida DNA dan asam amino pada protein. Menurut Kalisz dan Purugganan (2004) bahwa dua tipe utama metilasi yang dihubungkan dengan perubahan epigenetik adalah metilasi DNA dan metilasi Histon. Semua nukleotida DNA dapat termetilasi namun lebih umum bentuk metilasi DNA adalah metilasi pada basa sitosin (Martienssen & Colot 2001). Metilasi DNA terjadi pada tempat spesifik seperti yang dikatakan oleh Bird (1995) bahwa genom eukariot tidak termetilasi seragam tetapi hanya daerah spesifik yang sedangkan domain lain yang tersisa tidak termetilasi. Sebagian besar kelompok metil ditemukan pada CG. DNA eukariot tingkat tinggi, termetilasi pada atom karbon nomor 5 dari beberapa sitosin. Proporsi sitosin yang termodifikasi dengan metilsitosin (m5C) antara 3-8% pada vertebrata (Shapiro 1976), dan lebih dari 30% pada beberapa spesies tanaman (Shapiro 1976 ; Wagner & Capesius 1981 ; Matassi et al. 1992). Pada genom vertebrata, m5C lebih banyak pada dinukleotida CG sedangkan pada tanaman tingkat tinggi 5mC ditemukan pada beberapa sekuens genom nuklear terutama pada dinukleotida CG dan trinukleotida CNG. Metilasi sitosin pada nukelotida CG dan CNG ditemukan dalam frekuensi sepanjang kromosom dan bertindak untuk meregulasi ekspresi gen pada level gen
48
atau secara regional yang mempengaruhi daerah kromosom. Fungsi metilasi regional untuk menginaktif heterokromatin dan elemen pada atau yang dekat heterokromatin karena frekuensi metilasi pada daerah heterokromatin lebih besar dibandingkan dengan daerah eukromatin (Bird 1986), dan menurut Richards dan Elgin (2002) struktur heterokromatin memperlambat transkripsi sedangkan eukromatin mengaktivasi ekspresi gen. Berdasarkan derajat kekompakkan dan aktivitas transkripsi maka kromatin dapat dibagi atas eukromatin yang aktif (aktivasi transkripsi) dan heterokromatin menghambat transkripsi. Asetilasi dan metilasi pada ujung N-terminal lisin (K) dari histon H3 dan H4 berperan penting dalam pembentukan heterokromatin pada berbagai organisme secara luas (Richards & Elgin 2002). Pada mamalia dan tanaman, akumulasi histon H3 yang termetilasi pada lisin 9 (H3K9Me) dan hipermetilasi DNA berhubungan dengan heterokromatin, sebaliknya hipometilasi dan adanya H3K4Me dipertimbangkan sebagai karakteristik eukromatin (Richards & Elgin 2002 ; Jenuwein & Allis 2001). Modifikasi histon tersebut dapat merubah struktur kromatin dan menghasilkan suatu range konsekuensi epigenetik spesifik yang merubah fenotip. Fungsi metilasi sitosin pada sel eukariot kurang jelas. Namun banyak percobaan membuktikan adanya peranan metilasi DNA dalam mengatur ekspresi gen. Menurut Gardner et al. (1991) argumen-argumen untuk keterlibatan metilasi dalam kontrol ekspresi gen pada eukariot didasarkan terutama pada tiga macam bukti yang tidak langsung yaitu (1) sejumlah studi menunjukkan ada korelasi antara level ekspresi gen dan derajat metilasi yaitu metilasi rendah maka ekspresi gen tinggi, metilasi tinggi maka ekspresi gen rendah, (2) adanya pola metilasi jaringan spesifik pada beberapa kasus, dan (3) 5-azasitidin (basa analog dari sitosin) tidak dapat termetilasi setelah jenis obat ini bergabung dengan DNA sehingga gen dapat terekspresi pada jaringan yang secara normal tidak terekspresi. Muncul beberapa pendapat bahwa regulasi ekspresi gen oleh perubahan struktur kromatin lokal (Davey et al. 1997), pencegahan terikatnya protein binding DNA ke daerah promotor (Inamdar et al. 1991) atau sebagai suatu isyarat pengikatan represor transkripsi (Kass et al. 1997). Metilasi dan demetilasi sitosin pada daerah promotor merupakan mekanisme penting mengregulasi ekspresi gen
49
a
a
b
c
d
e
Gambar 8.
Metilasi DNA pada promotor penyebab tidak aktifnya gen. (a) dan (b) faktor transkripsi dan protein regulator pada promotor berperan untuk aktif dan tidak aktifnya gen, (c) Metilasi pada 5mC, (d) dan (e) pengikatan represor pada 5mC terjadi remodeling kromatin dan deasitilasi histon penyebab gen tidak aktif secara lengkap (Alberts et al. 2002)
pada sel dan jaringan spesifik (Boyes & Bird 1991 ; Renckens et al. 1992). Menurut Lewin (1997) bahwa CG island mengandung konsentrasi doublet CG yang sering berada disekitar promotor dari gen-gen yang terekspresi konstitutif dan pada promotor dari gen yang akan diregulasi. Metilasi CG island pada suatu promotor biasanya menekan ekspresi gen. Penekanan disebabkan oleh salah satu dari dua protein (MeCP-1 dan MeCP-2) terikat dengan sekuens CG yang termetilasi. Protein MeCP-1 membutuhkan beberapa kelompok metil pada sekuens CG untuk terikat ke DNA sedangkan MeCP-2 membutuhkan hanya pasangan basa tunggal.
50
MeCP2 apabila
terikat ke domain binding CG yang termetilasi
menyebabkan terikatnya ko-represor (mSin3A) diikuti dengan deasetilasi histon (HDAC1 dan HDAC2). Seperti dikemukakan oleh Razin (1998) bahwa CG termetilasi menginduksi deasetilasi, remodeling kromatin, dan gen silensing melalui suatu kompleks represor transkripsi yang melibatkan deasetilasi histon (HDAC1 dan HDAC2) dengan mengelilingi mSin3A. Asetilasi histon memacu trankripsi sedangkan deacetilasi menghambat transkripsi. Kelompok asam amino lisin histon bermuatan positif berinteraksi dengan DNA yang bermuatan negatif. Asetilasi lisin dapat menetralisasi muatan positif
tersebut
sehingga
struktur kromatin kurang padat/kompak yang
memberi ruang untuk terikatnya faktor transkripsi ke DNA. Sebaliknya apabila terjadi deasetilasi (penghilangan kelompok asetil) dapat menyebabkan kromatin lebih kompak dan terjadi silensing trasnkripsi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan metilasi menghambat transkripsi secara langsung melalui pencegahan pengikatan faktor transkripsi spesifik, atau secara tidak langsung melalui pembentukan represor kompleks melalui protein binding pada CG yang termetilasi (Gambar 8). Dikemukakan juga oleh Finnegan (2001) bahwa protein yang terikat pada 5mC seperti MeCP2, berinteraksi dengan ko-represor kompleks sehingga terjadi deasetilasi (asetil terlepas) mengakibatkan transkripsi terhambat. Pengepakan DNA dalam nukleosom dan struktur lebih kompak merupakan suatu hambatan untuk mengregulasi protein binding DNA (Niu et al. 1996), dan RNA polimerase (Williamson & Felsenfeld 1978) untuk proses transkripsi. Metilasi DNA dan Perkembangan Tanaman Sebagian besar hipotesis mengatakan bahwa pola metilasi yang terbentuk selama perkembangan mengalami demetilasi pada jaringan spesifik dimana kelompok metil dilepaskan dari tempat kritis dari suatu gen yang telah dijadwalkan terekspresi pada tipe sel tertentu. Pada perkembangan awal sel embrio, sebagian besar gen termetilasi kemudian diferensiasi sel membentuk jaringan spesifik terjadi penghilangan kelompok metil pada basa sitosin (demetilasi) menyebabkan gen-gen terkespresi pada jaringan tersebut (Gardner et al. 1991).
51
Pada proses replikasi, situs CG atau CNG yang termetilasi akan berpasangan dengan utas baru yang tidak termetilasi yang dikenal sebagai situs hemimetilasi yaitu utas lama termetilasi dan utas baru tidak termetilasi. Pada proses selanjutnya situs hemimetilasi dikenal oleh ensim dan merubahnya menjadi lengkap termetilasi. Ketika suatu DNA yang termetilasi lengkap (full metilasi) diintroduksi ke dalam suatu sel maka secara kontinyu DNA tersebut termetilasi melalui sejumlah siklus replikasi. Jika DNA nonmetilasi diintroduksi maka tidak termetilasi secara de novo. Ini menunjukkan bahwa ensim hanya mengenal situs yang hemimetilasi untuk menghasilkan metilasi lengkap (Lewin 1997). Dikatakan bahwa metilasi sekuens simetrik ini (model semi-konservatif) memberikan signal untuk transmisi metilasi melalui aksi ensim maintenaice metiltransferase untuk menempatkan metil ke sitosin pada utas yang baru disintesis, jika utas komplemennya membawa 5mC (Holiday & Pugh 1975 ; Riggs 1975). Ensim maintenance metilase bertindak
memetilasi
sekuens CG yang
berpasangan basa dengan GC (orientasi berlawanan). Maintenance metilase menunjuk pada pewarisan automatik 5-metil nukleotida pada keadaan hemimetilasi, namun secara normal tidak dapat memetilasi DNA yang tidak termetilasi penuh (Alberts et al. 1994). Menurut Lewin (1997) kondisi metilasi dapat hilang dengan dua cara yaitu (1) gugus metil secara efektif dihilangkan oleh ensim demetilase, dan atau (2) gagal terjadi metilasi pada situs hemimetilasi dan diturunkan melalui replikasi selanjutnya. Penghilangan kelompok metil dari sekuens DNA diistilahkan sebagai demetilasi, sedangkan hipometilasi adalah berkurang metilasi pada sekuens DNA yang secara alami termetilasi. Peran metilasi sitosin dalam perkembangan tanaman telah diperlihatkan melalui paling sedikit tiga macam pembuktian yang berbeda yaitu (1) ekspresi spesifik dari beberapa gen pada perkembangan benih, (2) kontrol waktu pembungaan dan morfogenesis bunga, (3) dan korelasi dengan silensing dari sekuens DNA (mobile elemen genetik dan transgen) (Zluvova et al. 2001). Mekanisme pada benih adalah tidak adanya transkripsi berkaitan dengan hipermetilasi DNA.
Metilasi DNA dipelajari pada benih gandum selama
perkecambahan yaitu terjadi reduksi kandungan 5mC yang diamati melalui penambahan aktivitas metabolik (Drozdenyuk et al. 1976). Zluvova et al. (2001)
52
menemukan bahwa metilasi relatif tinggi pada benih namun kemudian mengalami hipometilasi secara bertahap yaitu dimulai pada sel ekstraembrionik (endosperm), kemudian kontinyu pada hipokotil, dan akhirnya pada kotiledon. Pembungaan tanaman mempunyai level metilasi sitosin lebih tinggi dan pada perkembangan lanjut pembungaan terjadi penurunan substansial derajat metilasi DNA. Menurut Zluvova et al. (2001) bahwa derajat metilasi tinggi ditemukan pada zone sentral dari meristem shoot apical selama periode pertumbuhan vegetatif dan pada daerah ini aktivitas pembelahan sel rendah. Namun pada waktu transisi meristem apikal ke kuncup bunga, terjadi penurunan status metilasi dan pembelahan sel dimulai. Dikatakan juga bahwa demetilasi DNA diamati terutama untuk replikasi DNA pada semua kasus. Pembelahan sel terjadi sesaat setelah replikasi DNA, kemudian utas DNA yang baru terbentuk mengalami remodeling kromatin untuk menjaga kestabilan kromatin tersebut. Razin dan Cedar (1994) mengatakan bahwa metilasi sitosin (kecuali yeast) mempunyai peranan sangat penting dalam pengontrolan perkembangan pada hewan, dan terjadi gangguan pola metilasi sering berperan untuk perkembangan abnormal. Demikian juga Jacobsen dan Meyerowitz (1997) mengemukakan bahwa perubahan pada level metilasi yang menginduksi mutasi atau supresi gen metilase menyebabkan
perubahan morfologi dan fisiologi secara nyata pada
tanaman. Sejumlah aberasi perkembangan yang terjadi dihipotesiskan sebagai hasil dari hipometilasi genom global yang diinduksi secara genetik atau epigenetik dalam sekuens tunggal pada tanaman maupun hewan (Finnegan
et al. 1996 ;
Baylin & Herman 2000). Abnormalitas fenotipik disebabkan oleh akumulasi mutasi (Chen et al. 1988 ; Miura et al. 2001), mirip dengan perubahan epigenetik heritable pada metilasi DNA (Kakutani et al. 1996 ; Jacobsen et al. 2000 ; Soppe et al. 2000) yang berperan merubah ekspresi gen. Pemisahan Nukleosida Dengan Teknik HPLC Teknik kromatografi yang dapat digunakan untuk menganalisis komposisi basa utama dan basa minor dari total basa DNA meliputi gas-liquid chromatography, cation-exchange chromatography, reverse-phase HPLC, pairedion reverse-phase HPLC dan gas chromatography-massspectrometry. Metode
53
mass spectral dan immunologikal juga dapat dipakai untuk analisis DNA. Prinsip pemisahan kolum khromatografi digambarkan melalui suatu kolum yang dipadatkan dengan suatu fase stasioner granular padat dengan tinggi 5 cm, dikelilingi dengan fase gerak yang berada 1 cm3 per cm dari kolum. Suatu senyawa ditambahkan ke kolum pada 1 cm3 fase gerak akan bergerak pada kolum untuk menempati posisi teratas. Senyawa tersebut ditambahkan lagi ke kolum pada 1 cm3 fase gerak sehingga memperlihatkan pergerakan fase gerak, dan posisi teratas bergerak ke posisi dibawahnya (Wilson & Walker 2000). Tipe sistim kolum kromatografi menggunakan fase gerak cair terdiri atas kolum, suatu wadah fase gerak dengan sistim deliver, suatu pendeteksi (detector) untuk identifikasi senyawa (analytes) yang dipisahkan melalui eluent dari kolum, suatu pencatat (recorder) serta suatu fraksi kolektor. Pendeteksi dan pancatat (recorder) secara kontinyu mencatat adanya senyawa-senyawa pada eluent, diukur melalui parameter fisik seperti absorpsi ultraviolet. Kemudian masing-masing senyawa yang dipisahkan ditampilkan lagi melalui suatu puncak (peak) pada kertas pencatat (Wilson & Walker 2000). Terdapat dua partisi kromatografi yang biasanya digunakan yaitu normal phase liquid chromathography dan reverse phase liquid chromatography (RPHPLC). Perbedaan keduanya pada polaritas relatif dari fase gerak (mobile) dan diam (stasioner). Pada kromatografi fase normal cair, fase diam merupakan suatu senyawa polar seperti alkil nitril atau alkilamin, sedangkan fase gerak pelarutnya nonpolar seperti hexane. Untuk RP-HPLC, pelarut fase tetap adalah senyawa non polar seperti octasilan (OS) atau octadesilan (ODS), sedangkan fase gerak adalah pelarut polar seperti air/asetonitrile atau air/methanol (Wilson & Walker 2000). Level metilasi yang terjadi pada DNA genomik dapat diukur dengan teknik pemisahan high-performance melalui ensimatik/kemikal. Untuk mengetahui konsentrasi metilsitosin dalam DNA genomik dikuantifikasi dengan highperformance separation seperti High Performance Liquid Chromathography (HPLC) dan High Performance Capillary Electrophoresis (HPCE) atau pendekatan ensimatik/kemikal
(Fraga & Esteller
2002). Kuo et al. (1980)
mengatakan bahwa metode RP-HPLC merupakan alat penelitian yang bermanfaat dalam studi berbagai subfraksi DNA dan membantu untuk menguraikan metilasi
54
DNA.
Menurut Bellucci et al. (2002) metode untuk
mendeteksi terjadinya
metilasi secara biokimia yaitu Spektrofotometrik dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Kubis et al (2003) membuktikan bahwa RP-HPLC mampu mengidentifikasi tiap nukleotida termasuk metilsitosin dan sitosin dari DNA tanaman normal dan regeneran. Hasil analisis HPLC tersebut menunjukkan bahwa tingkat metilasi lebih rendah pada pohon-pohon yang barasal dari klon buah mantel dibandingkan dengan tanaman tetua. Perkiraan jumlah 5-metilsitosin genomik
memperlihatkan
adanya
hipometilasi
yang
nyata
pada
kalus
pertumbuhan cepat dan daun regeneran mantel dibandingkan dengan regeneran normalnya (Jaligot et al. 2000). Identifikasi Variabilitas Genetik dengan Teknik RAPD Tanaman-tanaman yang berasal dari kultur jaringan memperlihatkan keragaman somaklonal. Berbagai strategi dilakukan untuk mengevaluasi struktur genetik dari klonasal in vitro namun mempunyai keterbatasan. Strategi yang umum digunakan adalah melalui penanda morfologi karena mudah dilakukan, cepat dan relatif lebih mudah. Penanda morfologi ini mempunyai kelemahan karena karakter yang diamati kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan. Penanda sitologi tidak dapat memperlihatkan perubahan dalam gen tertentu atau dalam pengaturan kembali kromosom yang kecil (Isabel et al. 1993). Penanda molekuler didasari oleh adanya polimorfis pada tingkat protein atau DNA. Penanda molekuler protein (isoensim) merupakan metode yang sesuai untuk mendeteksi perubahan genetik namun terbatas dalam jumlah sampel, dan hanya daerah pengkode protein saja yang terdeteksi. Sedangkan penanda molekuler DNA untuk mendeteksi variabilitas genetik melalui variabilitas sekuens nukleotida meliputi teknik RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), RAPD (Random Amplified
Polimorphic
DNA),
AFLP
(Amplified
Fragment
Length
Polymorphism, dan SSR (Simple Sequences Repeast / microsatelite (Powell et al. 1996), namun tiap teknik tersebut juga mempunyai keterbatasan. RAPD merupakan suatu teknik untuk mengidentifikasi keragaman genetik (Welsh & McClelland 1990). Analisis RAPD dengan PCR menggunakan primer memperlihatkan sensitifitas dalam mendeteksi keragaman di antara individu
55
(de Enrech 2000). Keuntungan dari teknik ini adalah (1) dapat menggunakan sejumlah besar sampel dan relatif cepat, serta secara ekonomi menggunakan bahan dalam jumlah mikro, (2) amplikon tidak tergantung dari ekspresi ontogenetik, dan (3) banyak daerah genom dapat disampling dengan jumlah yang tak terbatas (Isabel et al. 1993). Namun teknik ini mempunyai keterbatasan yaitu tidak reproducible karena dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi isolasi DNA (Korbin et al. 2000), konsentrasi DNA cetakan dan primer, konsentrasi Taq DNA polimerase, suhu penempelan primer pada cetakan (annealing), jumlah siklus thermal dan konsentrasi MgCl2 (Bassam et al. 1992 ; Kernodle et al. 1993). Namun beberapa peneliti melaporkan bahwa mayoritas pita DNA reproducible jika digunakan protokol standar dalam tiap reaksi (Hedrick 1992 ; Gibbs et al. 1994), sehingga untuk mendapatkan hasil RAPD yang reproducible tinggi maka reaksinya perlu dioptimasi. Prinsip kerja teknik RAPD berdasarkan mesin PCR (Polymerase Chain Raction) dapat mengamplifikasi sekuens DNA tertentu secara in vitro Menurut Williams et al. (1990) teknik RAPD yang didasarkan pada PCR menggunakan sekuens primer arbitrary pendek untuk menghasilkan amplifikon secara acak dari suatu genom. Polimorfis terdeteksi diantara hasil yang diamplifikasi sebagai hasil perubahan pada sekuens nukleotida spesifik pada satu atau kedua situs primer. Prinsip kerja PCR dengan memanfaatkan urutan nuklotida tertentu sebagai cetakan dan primer, seperti halnya pada proses replikasi DNA (Mullis & Faloona 1987). Satu siklus PCR terdiri atas tiga tahap yaitu tahap pemisahan utas ganda DNA genom (denaturasi), tahap penempelan primer (annealing) dan tahap pemanjangan atau sintesis DNA (extension). Tahap denaturasi, dua utas DNA genom dipisahkan secara sempurna,
umumnya pada
suhu 94-95oC. Tahap
penempelan primer primer, primer menempel pada DNA cetakan dengan suhu bergantung pada komposisi, panjang dan konsentrasi primer, dan proses sintesis fragmen DNA namun sekitar 55oC Seperti yang dikemukakan oleh Pauls et al. (1993) bahwa suhu penempelan primer dipengaruhi oleh panjang primer dan persentase G/C dalam primer serta konsentrasi garam larutan penyangga. Tahap sintesis fragmen, terjadi polimerasi nukleotida yang dimulai dari ujung 3’ primer berdasarkan urutan DNA cetakan, suhu tahap ini bergantung pada panjang dan
56
susunan dari DNA cetakan, namun sekitar 72oC. Tiga tahapan diulang dalam beberapa siklus untuk mendapatkan kualitas fragmen yang nampak jelas. Analisis RAPD merupakan suatu alat yang efisien untuk karakterisasi diverisitas genetik secara tepat di antara genotip kerabat dekat (Rajasegar et al. 1997). Marker RAPD dimanfaatkan khususnya untuk menguji stabilitas genetik diantara embrio somatik pada spesies Picea glauca (Isabel et al. 1993; 1996), dan diantara tanaman mikropropagasi dari Populus deltoides (Rani et al. 1995). Pola RAPD yang dihasilkan oleh primer mendapatkan persentase fragmen polimorfik yang tinggi di antara lima genotip kentang, mengindikasikan
level tinggi
keragaman genetik antara kultivar kentang (Bordallo et al. 2004). *ebrowska dan Tyrka (2003) menggunakan marker RAPD untuk identifikasi strawberry dan studi diversiti genetik, demikian juga Gaafar dan Saker (2006) dapat mengidentifikasi kultivar strawberry yang berbeda dan mendeteksi keragaman genetik tanaman strawberry hasil perbanyakan mikro. Dikatakan juga bahwa teknik RAPD efektif dengan memperlihatkan pola pita yang spesifik genotip sehingga dapat digunakan untuk identifikasi kultivar. Hasil penelitian Rout et al. (1998) menunjukkan bahwa analisis RAPD dapat dipakai untuk akses kebenaran genetik dari tanaman yang berasal in vitro dalam skala industri sebagai bagian program perbaikan tanaman. Hasil penelitian pada strawberry in vitro menunjukkan adanya variabilitas genetik melalui pola pita RAPD namun morfologi daunnya mempunyai keragaman minor (Gaafar & Sekar 2006).
57
BAB III KARAKTERISASI MORFOLOGI BUNGA DAN BUAH ABNORMAL PADA BEBERAPA KLON KELAPA SAWIT ABSTRAK Kelapa sawit hasil perbanyakan kultur jaringan menghasilkan bunga betina dan bunga jantan abnormal, khususnya bunga betina berkembang menjadi buah mantel atau abnormal. Penelitian ini bertujuan mempelajari tahap terjadinya abnormal pada perkembangan bunga, mengkarakterisasi morfologi bunga dan buah, serta menetapkan tingkat abnormalitasnya. Bahan tanaman hasil kultur jaringan yang digunakan adalah koleksi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di desa Ciampea Kabupaten Bogor yaitu MK152, MK 176, MK 203, MK163, MK104, MK 212 dan MK 209. Karakterisasi abnormalitas dilakukan secara visual berdasarkan morfologi pada beberapa tahap perkembangan bunga. Sedangkan tingkat abnormalitas dilakukan pada tahap buah berdasarkan keadaan karpel, mesokarp dan biji. Sebagai pembanding digunakan bunga dan buah normal dari klon yang sama. Pada bunga betina abnormal ditemukan karpel tambahan mengelilingi ginoesium berjumlah tiga sampai tujuh yang menempati satu lingkaran bunga tersendiri. Pada bunga jantan tidak ada penambahan lingkaran organ bunga, namun stamen mengalami perubahan seperti struktur karpel. Struktur karpel berjumlah satu sampai enam bergantung pada tingkat abnormalitas. Bunga berkembang menjadi buah dan ditemukan lima tingkat abnormalitas yaitu normal, abnormal ringan (AbR), abnormal berat (AbB), abnormal sangat berat1 (AbSB1) dan AbSB2. AbSB dengan spesifikasi tidak mempunyai biji dengan mesokarp berdaging agak berserat (AbSB1) dan mesokarp berkayu (AbSB2). Kata kunci : kelapa sawit, buah mantel, karpel tambahan, lingkaran bunga, kultur jaringan PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan tanaman monoesious dengan tandan bunga jantan dan betina muncul bergantian tiap siklus pembungaan, disertai dengan waktu kematangan/anthesis yang berbeda menyebabkan
tanaman ini digolongkan
sebagai tanaman menyerbuk silang. Penyerbukan silang terjadi secara alami melalui angin dan kumbang. Mekanisme penyerbukan seperti ini menyebabkan benih yang dihasilkan beragam sifatnya atau sifat unggul tidak dapat dipertahankan. Pemulia tanaman mendapatkan varietas Tenera yang merupakan varietas hibrida. Varietas ini telah lama digunakan secara komersial di negara-
58
negara penghasil minyak sawit seperti Malaysia dan Indonesia, namun komersialisasi
hibrida ini dicemari dengan penjualan bibit palsu akibat dari
kebutuhan bibit meningkat tidak seimbang dengan ketersediaan bibit. Tenera adalah varietas hibrida hasil persilangan antara varietas Pisifera dan Dura. Varietas hibrida ini mempunyai beberapa sifat unggul dari kedua tetua yaitu kandungan mesokarp yang lebih tebal, kandungan minyak lebih banyak serta endokarp berukuran sedang. Untuk tujuan pemenuhan kebutuhan bibit unggul maka varietas ini diperbanyak secara in vitro atau melalui kultur jaringan. Perbanyakan klonal tanaman F1 (hibrida) berarti sifat induk tetap dipertahankan, termasuk mesokap yang adalah hasil dari perkembangan ovari setelah fertilisasi. Mesokarp menjadi perhatian produsen minyak sawit (CPO) karena menghasilkan minyak nabati lebih banyak dibandingkan dengan yang berasal dari kernel. Namun tanaman yang diperbanyak dari
kultur jaringan menghasilkan
bentuk bunga dan buah abnormal dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari biji. Kelapa sawit hasil perbanyakan kultur jaringan seringkali menghasilkan bunga dan buah yang abnormal, berbeda dengan tanaman dari benih. Tanaman yang berasal dari benih sering terjadi abnormalitas saat mulai berbunga, namun menjadi stabil berbunga dan berbuah normal pada umur 2.5 tahun (Lubis 1992). Penggunaan skala besar kultur jaringan dihambat oleh kejadian fenotip buah mantel kira-kira 5.69% pada klon PPKS (Fatmawati et al. 1997) atau 5-10% pada semua klon kelapa yang diregenerasi asal kultur jaringan (Corley et al. 1986 ; Tregear et al. 2002). Menurut Tandon et al. (2001) pistil kelapa sawit mempunyai stigma berbentuk tiga cuping (trilobe) yang membentuk tiga lokul pada dasar ovari. Pada tiap lokul terdapat satu ovul sehingga pistil kelapa sawit dikatakan sebagai ginoesium dengan tiga karpel. Sedangkan bunga jantan mempunyai enam atau tujuh stamen (Hartley 1977), tiap rangkaian bunga jantan menghasilkan serbuk sari 40-60 g (Lubis 1992). Namun beberapa laporan mengungkapkan abnormalitas pada klon-klon hasil kultur jaringan berupa feminisasi bunga jantan maupun betina (Corley et al.1986 ; Tregear et al. 2002). Buah kelapa sawit
yang
mempunyai karpel tambahan disebut sebagai buah mantel (Hartley 1977). Namun belum banyak informasi yang lengkap tentang morfologi bunga atau buah yang
59
abnormal dari regeneran kelapa sawit, khususnya tingkat abnormalitas pada buah dan perubahan-perubahan lain akibat abnormalitas tersebut. Informasi ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian penyebab abnormalitas dan dampaknya pada produksi minyak. Sebab akibat abnormalitas bunga ini
menghambat
perbanyakkan tanaman ini melalui kultur jaringan, bukan saja untuk penyediaan bibit tetapi juga dalam penyediaan induk jantan dan betina, serta tujuan pengembangan ke depan. Penelitian ini bertujuan (1) mempelajari perkembangan bunga dan tahap terbentuknya abnormalitas, (2) mengkarakterisasi morfologi bunga dan buah, serta (3) menetapkan tingkat abnormalitas buah. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi tentang morfologi abnormal pada klon-klon kelapa sawit hasil perbanyakan dari kultur jaringan. BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Penelitian dilaksanakan di perkebunan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Ciampea, Bogor, dari bulan April 2005 sampai Maret 2006. Bahan tanaman kelapa sawit merupakan koleksi BPPT berumur 11 tahun. Tujuh klon hasil perbanyakan kultur jaringan yang dikoleksi adalah MK152, MK 176, MK 203, MK163, MK104, MK 212 dan Klon 209 dengan jumlah 143 tanaman Metode Penelitian Pengamatan dan Penentuan Tanaman Objek Pengamatan pada semua klon pada fase bunga meliputi bunga betina dan jantan, serta fase buah. Berdasarkan pengamatan diperoleh klon yang mempunyai banyak tanaman berbunga abnormal dan tingkat abnormalitas yang beragam digunakan selanjutnya sebagai objek penelitian (Tabel 2). Berdasarkan kriteria tersebut maka klon yang terpilih adalah MK 152, MK 176 dan MK 209 mempunyai dua sampai enam tanaman abnormal.
60
Tabel 2. Klon-klon dengan beberapa tipe buah abnormal
Pengambilan Contoh Bunga/Buah dan Identifikasi Keabnormalan Sampel diambil dari setiap tanaman yang menghasilkan buah abnormal dimulai dari fase bunga sampai buah panen. Sebagai pembanding digunakan tanaman normal dari klon yang sama. Pengamatan pada tahap perkembangan bunga betina meliputi (1) rangkaian bunga berseludang dengan ukuran ±10 cm muncul dari ketiak pelepah daun, (2) rangkaian bunga berseludang dengan ukuran ± 20 cm muncul dari ketiak pelepah daun, (3) rangkaian bunga dibungkus seludang bagian dalam, (4) seludang bagian dalam mulai terbuka, dan (5) rangkaian bunga dengan kedua seludang telah terbuka dimana bunga betina telah mekar. Karakterisasi morfologi bunga jantan dilakukan pada tiga tahap perkembangan meliputi (1)
rangkaian bunga yang dibungkus oleh seludang
bagian dalam, (2) rangkaian bunga dengan kedua seludang telah terbuka, (3) rangkaian bunga dengan spikelet dan individu bunga telah mekar. Pengamatan pada fase buah meliputi (1) buah muda (sepertiga dari pangkal buah warna putihhijau dan ke arah ujung didominasi warna ungu gelap), (2) buah setengah tua (setengah dari pangkal buah warna kuning-orange dan kearah ujung warna ungu gelap), dan (3) buah panen (dua per tiga dari pangkal buah kearah ujung warna jingga). Contoh bunga dan buah yang diperoleh kemudian diidentifikasi tahap mulai terbentuk abnormal dan tingkat abnormalitas. Penentuan mulai munculnya abnormal dilakukan pada fase bunga dan tingkat abnormalitas pada fase buah.
61
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Bunga Betina Rangkaian bunga betina kelapa sawit
(Gambar 9a.1) disusun oleh
sejumlah spikelet secara spiral pada rakila atau sumbu pembungaan. Sedangkan tiap spikelet (Gambar 9a.2) disusun oleh 10-26 individu bunga (Gambar 9a.3). Rangkaian bunga tersebut dibungkus oleh dua lapis seludang, seludang bagian luar bertekstur kasar dan berwarna cokelat kusam (Gambar 9b) sedangkan bagian dalam mempunyai
ciri agak tebal dan kaku (Gambar 9c). Biasanya rangkaian
bunga muncul dari ketiak pelepah daun pada lingkaran keempat yaitu suatu kumpulan pelepah daun keempat dihitung dari lingkaran pelepah daun muda dari bagian atas tanaman.
1
a
2
3
b
c
Gambar 9. Rangkaian bunga betina dan seludang bunga. (a1) Rangkaian bunga betina, (a2) Spikelet, (a3) Individu bunga betina, (b) Seludang bagian luar, (c) Seludang bagian dalam Pada penelitian ini, tahap pertama perkembangan bunga ditentukan melalui munculnya rangkaian bunga berseludang dengan panjang ±10 cm (Gambar 10a.1) dari ketiak pelepah daun. Pada tahap ini, secara visual spikelet belum terbentuk sempurna sehingga yang terlihat hanya suatu primordia rangkaian bunga (Gambar 10a.2). Sedangkan pada rangkaian bunga berseludang dengan panjang ± 20 cm (Gambar 10b.1), rangkaian bunga (Gambar 10b.2) telah terbentuk dengan adanya sejumlah spikelet dan individu bunga (Gambar 10b.3) namun perhiasan bunga belum dapat dipisahkan karena sangat tipis dan tiga karpel masih menyatu. Tahap tiga ditandai dengan rangkaian bunga dibungkus hanya oleh seludang bagian dalam (Gambar 10c.1), spikelet
dan individu bunga
berukuran
62
1
2
1
2
1 2
3
a
b
1
d
c
2
e
Gambar 10. Beberapa tahap perkembangan rangkaian bunga betina (a1) Rangkaian bunga berseludang tahap pertama, (a2) Primordia rangkaian bunga, (b1) Rangkaian bunga berseludang tahap dua,(b2) Rangkaian bunga, (b3) Spikelet, (c1) Rangkaian bunga berseludang tahap tiga, (c2) Spikelet, (d1) Rangkaian bunga tahap empat, (d2) Spikelet, (e) rangkaian bunga mekar lebih besar (Gambar 10c.2), serta organ
bunga dapat dipisahkan. Tahap
selanjutnya adalah seludang bagian dalam mulai terbuka (Gambar 10d.1), spikelet telah terpisah satu dengan yang lain (Gambar 10d.2). Pada tahap ini, ujung dari tiap individu bunga telah nampak dari daun pelindung, dengan perhiasan bunga berwarna putih agak kaku. Tahap kelima dari perkembangan tandan bunga adalah kedua seludang telah hancur, individu bunga mekar (Gambar 10e lingkaran merah) dengan tepi bunga berwarna ungu kemerahan. Umumnya bunga tersusun pada spikelet dan setiap spikelet mempunyai satu sumbu spikelet dengan ujung yang tajam, keras dan kaku (Gambar 10e lingkaran biru). Individu bunga betina pada kelapa sawit
tersusun dari satu daun
pelindung bagian luar berbentuk setengah lingkaran dan sisi lainnya melekat pada spikelet, bentuknya bulat panjang dengan ujung sangat runcing (Gambar 11a.1 dan 11b.1). Posisi kedua ditempati oleh dua stamen di bagian kiri dan kanan (Gambar 11a.2 dan 11b.2) yang layu kemudian gugur perkembangan
sejalan
dengan
bunga. Selanjutnya posisi ketiga terdapat dua pelindung bunga
berwarna putih mengkilap agak transparan dan
agak kaku
(Gambar 11a.3
63
1
7
1 3
2
2
4
2
5
6
5
4
3
6
b
a
1
8
1 3
4
2 2
5
6
c
7
3
7 6
4
2
5
d
Gambar 11. Bagian organ bunga betina normal (a dan b) dan abnormal (c dan d). (a1) Daun pelindung, (a2) Stamen, (a3) Pelindung bunga, (a4) & (a5) Perhiasan bunga, (a6) Karpel utama, (a7) Irisan melintang karpel utama, (b) Posisi bagian organ bunga normal (a1-a6), (c1) Daun pelindung, (c2) Stamen, (c3) Pelindung bunga, (c4) & (c5) Perhiasan bunga, (c6) Karpel tambahan, (c7) Karpel utama, (c8) Irisan melintang karpel abnormal, (d) Posisi bagian organ bunga abnormal (c1-c7). dan
11b.3). Sedangkan posisi keempat dan kelima masing-masing ditempati
oleh
tiga perhiasan bunga dengan bentuk dan warna sama dengan pelindung
bunga namun tidak kaku (Gambar 11a.4, 11a.5, dan 11b.4, 11b.5). Pada posisi keenam, terdapat pistil tiga karpel berwarna putih yang merupakan karpel utama (Gambar 11a.6 dan 11b.6) dengan irisan melintang pistil (Gambar 11a.7). Bunga berwarna ungu kemerahan dan mekarnya bunga ditandai dengan mekarnya stigma tiga cuping. Bagian-bagian dari individu bunga betina kelapa sawit pada posisi bunga pertama sampai keempat berbeda jika dibandingkan dengan bunga pada umumnya yaitu (1) dibungkus oleh daun pelindung (bract) dengan tekstur kaku, keras dan berwarna sedikit putih kehijauan, (2) terdapat dua stamen kiri dan kanan, (3) dua pelindung bunga berwarna putih dan sedikit kaku, (4) tiga perhiasan bunga yang terdapat pada dua posisi bunga berikutnya. Hartley (1977) dan Tandon et al. (2001) menyebut perhiasan bunga tersebut sebagai sepaloid
64
karena mempunyai tekstur dan warna yang sama sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai kelopak (sepal) ataupun tajuk (petal). Menurut Tjitrosoepomo (2005) tidak semua bunga mempunyai perhiasan bunga yang dapat dibedakan secara jelas sebagai kelopak atau
tajuk, sehingga tumbuhan yang
mempunyai kelopak dan tajuk bunga yang sama dalam bentuk dan warna disebut tenda bunga (perigonium), seperti
kasus kelapa sawit dalam penelitian ini.
Bagian-bagian yang menyusun tenda bunga disebut tepala. Dikemukakan juga oleh Adam et al. (2005) bahwa kelopak dan tajuk kelapa sawit mempunyai penampilan yang mirip dengan petaloid dan sering disebut tepala. Kedudukan organ bunga yang diperoleh agak berbeda dengan yang diuraikan oleh Hartley (1977) bahwa susunan organ bunga betina kelapa sawit meliputi daun pelindung, bunga jantan dan pelindung bunga secara berurutan menempati posisi pertama, kedua dan ketiga, kemudian perhiasan bunga sepaloid pada posisi empat dan lima, androsium rudimenter posisi keenam, dan posisi ketujuh adalah adalah ovari dengan tiga karpel. Nampak bahwa ada tujuh bagian dari organ individu bunga betina dengan androsium rudimenter pada posisi keenam sedangkan pistil tiga karpel pada posisi ketujuh. Selain itu, pada posisi kedua dari bunga betina dalam penelitian ini terdapat stamen bukan bunga jantan seperti yang dikemukakan oleh Hartley (1977), diduga telah terjadi perubahan organ tersebut. Abnormalitas pada bunga betina kelapa sawit dapat diamati pada saat rangkaian bunga hanya dibungkus seludang bagian dalam atau pada tahap tiga (Gambar 10c.1). Pada tahap ini, nampak jelas batasan antar karpel tambahan bahkan karpel-karpel tersebut mudah dipisahkan (Gambar 11c.6). Pada rangkaian bunga tahap dua telah
nampak batasan antar karpel namun masih menyatu.
Diduga pada tahap pertama bahkan pada saat terbentuk primordia karpel utama, primordia karpel tambahan juga terbentuk namun tidak dapat diidentifikasi secara visual dalam penelitian ini. Hasil penelitian Murai et al. (2002) pada bunga tanaman gandum menunjukkan bahwa stamen mengalami perubahan menjadi pistil pada fase awal perkembangan stamen.
65
Rangkaian bunga betina abnormal mempunyai morfologi seludang dan spikelet sama seperti tanaman normal, demikian juga dengan bagian-bagian organ bunga. Perbedaan dengan tanaman berbunga normal adalah adanya karpel lain yang disebut karpel tambahan (Gambar 11c.6 dan 11c.8). Jumlah
karpel
tambahan berkisar antara tiga sampai tujuh tetapi umumnya ditemukan enam buah pada posisi lingkaran bunga keenam mengelilingi karpel utama (Gambar 11d.6). Bentuk dan warna karpel tambahan sama dengan karpel utama yaitu mempunyai stigma dan berwarna putih. Dengan demikian bagian bagian organ bunga betina abnormal menempati tujuh posisi dengan adanya karpel tambahan (Gambar 11d). Androsium rudimenter yang berada pada posisi lingkaran bunga keenam (Hartley 1977), diduga telah terinduksi menjadi bentuk seperti karpel. Abnormalitas pada bunga betina hanya ditunjukkan melalui
adanya karpel tambahan, tidak ada
abnormal pada organ-organ bunga yang lain. Secara fisik rangkaian bunga betina abnormal lebih besar dibandingkan bunga betina normal. Pembesaran nampak dari rangkaian bunga, spikelet dan individu bunga. Spikelet yang lebih besar atau berukuran lebih lebar karena didukung oleh individu bunga yang besar akibat adanya karpel tambahan. Bagian organ bunga seperti daun pelindung dan perhiasan bungapun relatif lebih lebar (Gambar 11c.1, 11c.3, 11c.4 & 11c.5). Organ bunga Arabidopsis seperti halnya tanaman dikotil lain terdiri atas kelopak, tajuk, stamen dan karpel. Pada semua kasus, struktur perhiasan bunga (kelopak dan tajuk) tersusun pada batas luar bunga, sedangkan organ reproduksi (stamen dan karpel) berada di posisi tengah (Purugganan et al. 1995). Sistim model pada Arabidopsis digunakan untuk mempelajari perkembangan bunga yang tersusun dalam empat lingkaran berturut-turut kelopak, tajuk, stamen dan karpel. Pada kasus ini, identitas lingkaran organ bunga ditentukan oleh aktivitas sejumlah gen homeotik. Kelapa sawit sebagai tanaman monokotil, secara visual bagianbagian dari organ bunga betina menempati enam posisi lingkaran bunga, dan secara mikroskopis terdiri dari tujuh posisi lingkaran bunga dimana posisi keenam adalah androsium rudimenter yang berubah menjadi karpel. Alwee et al. (2006) menyatakan bahwa beberapa studi telah dilakukan untuk mempelajari gen-gen yang berperan dalam pembentukan organ bunga pada jagung dan gandum namun belum ada pada tanaman pohon monokotil.
66
1
1
3 2
2
a
3
b
Gambar 12. Pelindung bunga dan perhiasan bunga pada fase buah. (a1) Fase buah muda, (a2) Pelindung bunga, (a3) Perhiasan bunga, (b1) Fase buah agak matang, (b2) Pelindung bunga, (b3) Perhiasan bunga Umumnya bunga mempunyai perhiasan bunga berupa kelopak berwarna hijau dan tajuk berwarna-warni, sedangkan organ reproduksinya berupa stamen dan atau pistil. Apabila bunga telah mengalami penyerbukan dan pembuahan maka kelopak akan layu dan gugur. Perhiasan bunga pada kelapa sawit tidak menunjukkan karakteristik seperti diuraikan tersebut. Perhiasan bunga yang terdapat pada lingkaran bunga keempat dan kelima berwarna putih transparan dan saat bunga mekar berwarna putih kusam agak kaku, keadaan inipun terjadi pada pelindung bunga. Daun pelindung, pelindung bunga dan perhiasan bunga tetap ada sampai buah panen. Pada fase buah muda, perhiasan bunga bagian dalam berubah warna menjadi ungu seperti warna buah tetapi hanya pada bagian tengah sebelah dalam (Gambar 12a) kemudian menjadi cokelat pada buah setengah tua (Gambar 12b). Karakteristik Morfologi Bunga Jantan Rangkaian bunga jantan terbungkus oleh dua lapis seludang bunga seperti halnya bunga betina. Bunga mulai mekar satu minggu setelah seludang kedua (bagian dalam) terbuka. Individu bunga jantan tersusun secara spiral pada spikelet. Spikelet
bunga jantan
berbentuk seperti
tongkol (Gambar 13a.2)
tersusun pada rakila (sumbu pembungaan). Mekarnya bunga jantan dari pangkal spikelet dan
disertai
dimulai
aroma khas serta pelepasan serbuk sari.
Menurut Tandon et al. (2001) aroma ini dikeluarkan juga oleh bunga betina
67
2
1
a
b
Gambar 13. Rangkaian bunga jantan dan betina. (a1) Rangkaian bunga jantan, (a2) spikelet bunga jantan, dan (b) rangkaian bunga betina
1
2
a
1
2
c
b
Gambar 14. Beberapa tahap perkembangan rangkaian bunga jantan Seludang bagian dalam masih membungkus rangkaian bunga pada tahap pertama (a1), tahap kedua semua spikelet berwarna putih (a2), rangkaian bunga yang telah terlepas dari seludang bagian dalam (b), dan tahap ketiga rangkaian bunga dengan semua spikelet telah mekar (c1), spikelet dengan individu bunga yang telah mekar (c2) yang
merupakan
salah
satu
strategi
alami untuk
menarik kumbang
mendatanginya untuk penyerbukan. Rangkaian bunga jantan (Gambar 13a.1 ) mempunyai tangkai lebih panjang (Gambar 13a panah) dibandingkan dengan rangkaian bunga betina (Gambar 13b panah). Terdapat tiga tahap perkembangan tandan bunga jantan yang diamati dalam penelitian ini. Tahap pertama ditandai dengan rangkaian bunga masih dibungkus seludang bunga bagian dalam karena seludang pertama telah hancur (Gambar 14a.1), dengan ciri spikelet berwarna putih dan masih menyatu dengan rakila (Gambar 14a.2), organ-organ bunga telah terbentuk sempurna meliputi daun
68
4
4
1
3
5
2
1
a
3 2
b
c
4
1 2
3
1
g
2
e
d
3 1
f
2
i h
Gambar 15. Spikelet dan bagian organ bunga jantan normal (a,b&c) dan abnormal (d,e&f). (a) Spikelet normal, (b1) Daun pelindung, (b2) Perhiasan bunga, (b3) Stamen, (b4) individu bunga tanpa daun pelindung, (b5) individu bunga yang dibungkus daun pelindung, (c) Posisi organ bunga jantan normal, (d) Spikelet abnormal, (e1) Daun pelindung, (e2) Perhiasan bunga, (e3) Struktur karpel, (e4) Individu bunga tanpa daun pelindung, (f) Posisi organ bunga abnormal, (g1) Bunga jantan abnormal, (g2) Bunga betina abnormal, (h) Spikelet abnormal kering, (i) Struktur karpel. pelindung, perhiasan bunga, stamen serta serbuk sari. Daun pelindung dan perhiasan bunga berwarna putih transparan, serta serbuk sari masih lengket. Tahap berikut yaitu seludang bagian dalam telah hancur namun semua spikelet masih rapat dengan rakila, spikelet berwarna kuning kehijauan (Gambar 14b). Perhiasan bunga berwarna putih kekuningan dan agak kaku serta serbuk sari telah terpisah satu dengan yang lain. Tahap perkembangan ketiga adalah spikelet telah terpisah satu dengan yang lain namun bagian pangkalnya melekat
pada sumbu
pembungaan (Gambar 14c.1), individu bunga telah mekar, stamen menggelantung keluar dan serbuk sari telah terlepas (Gambar 14c.2). Pada tahap ini tercium bau wangi yang khas dan menyengat dibandingkan dengan bunga betina. Mekarnya individu bunga mulai dari pangkal menuju ujung spikelet.
69
Pada spikelet jantan (Gambar 15a) tersusun sejumlah individu
bunga
(Gambar 15b.4). Bagian-bagian organ bunga jantan normal menempati tiga posisi yaitu satu daun pelindung (bract) yang membungkusi bunga, bertekstur kusam dan berwarna hijau cokelat berada padai lingkaran bunga pertama (Gambar 15b.1 dan 15c.1), enam perhiasan bunga pada posisi kedua (Gambar 15b.2 dan 15c.2), dan posisi ketiga terdapat enam stamen dalam bentuk tabular (Gambar 15b.3 dan 15c.3). Hartley (1977) dan Durand-Gasselin et al. (1993) mengatakan bahwa pada bunga jantan setelah anter terdapat lagi gimnosium rudimenter, berbeda dengan hasil dalam penelitian ini karena dilakukan secara visual. Bagian dari organ bunga jantan kelapa sawit berbeda dengan bunga jantan umumnya karena tidak terdapat lingkaran untuk membedakan kelopak dan tajuk, hanya terdapat perhiasan bunga berwarna putih kekuningan yang berada pada satu lingkaran bunga. Adam et al. (2005) menempatkan identitas lingkaran organ bunga pada kelapa sawit secara mikroskopis sebagai berikut, organ bunga betina (pistilat) tersusun dari empat lingkaran bunga yaitu lingkaran pertama dan kedua adalah perhiasan bunga atau petaloid, lingkaran ketiga adalah enam stamen rudimenter (staminodes) dan pistil tiga karpel pada lingkaran keempat. Sedangkan bagian-bagian bunga jantan (staminate) tersusun dari perhiasan bunga pada lingkaran pertama, stamen pada lingkaran kedua dan gimnosium rudimenter pada lingkaran ketiga. Uraian ini menunjukkan bahwa penempatan identitas lingkaran organ bunga tidak mengikutsertakan bagian organ bunga (khusus bunga betina) yang berada pada posisi pertama, kedua dan ketiga meliputi daun pelindung, stamen dan pelindung bunga seperti hasil dalam penelitian ini. Selain itu tidak ditemukan adanya androsium rudimenter pada bunga betina dan ginosium rudimenter pada bunga jantan karena pengamatan tidak dilakukan secara mikroskopis tetapi secara visual. Abnormalitas pada bunga jantan dapat diamati pada saat seludang bagian dalam masih membungkus rangkaian bunga seperti halnya pada bunga betina, namun diduga abnormalitas dimulai pada saat pembentukan primordia bunga. Bunga jantan abnormal (Gambar 15e.4) mempunyai rangkaian bunga (Gambar tidak ditampilkan), spikelet (Gambar 15d dan 14h), daun pelindung (Gambar 15e.1) dan perhiasan bunga (Gambar 15e.2) lebih besar dibandingkan dengan
70
bunga jantan dari tanaman normal meskipun secara morfologi sama. Bagian organ bunga yang membesar disebabkan oleh stamen pada lingkaran bunga ketiga mengalami perubahan bentuk menjadi struktur seperti karpel (Gambar 15e.3 dan 15f.3). Jumlah karpel dan stamen bervariasi sesuai dengan tingkat abnormalitas serta letaknya pada spikelet. Struktur karpel pada bunga jantan mempunyai ciri sama dengan bunga betina, dilengkapi dengan stigma meskipun karpelnya berukuran lebih kecil (Gambar 15i panah). Karakteristik bunga jantan diamati pada semua tingkat abnormalitas. Hasil pengamatan pada tingkat abnormal berat (AbB) menunjukkan bahwa spikelet mempunyai ukuran dan penampilan hampir sama dengan spikelet dari tanaman normal, akan tetapi bunga jantan dibagian pangkal spikelet berukuran lebih besar dari pada dibagian tengah dan ujung spikelet. Individu bunga tersebut dapat mempunyai
tiga karpel dan tiga stamen atau empat karpel dan dua stamen.
Sedangkan pada bagian tengah ke arah ujung spikelet, sebagian besar individu bunga mempunyai hanya satu atau dua karpel dengan lima atau empat stamen, bahkan ada bunga dengan enam stamen seperti halnya bunga dari tanaman normal. Tanaman yang menghasilkan buah abnormal sangat berat (AbSB) mempunyai rangkaian bunga jantan lebih besar dibandingkan dengan bunga jantan dari AbB karena tersusun dari sejumlah spikelet yang berukuran lebih besar (Gambar 15d dan 15h). Individu bunga jantan AbSB mempunyai daun pelindung dan perhiasan bunga berbentuk normal, namun sebagian besar bunga tidak mempunyai stamen karena telah berubah menjadi karpel sehingga ditemukan enam karpel per individu bunga atau adakalanya lima karpel dan satu stamen. Bunga jantan AbSB (Gambar 15g.1) mempunyai penampilan sama dengan bunga betina abnormal (Gambar 15g.2), namun berukuran lebih kecil. Individu bunga dari AbSB (Gambar 15d) dapat mekar, kemudian menjadi tua dan gugur seperti halnya bunga jantan normal. Tiap anter yang terdapat pada semua tingkat abnormal mempunyai polen.
71
b
a
c
d
Gambar 16. Penampilan pelepah daun dan batang pada tanaman normal dan abnormal. (a) Dahan daun dari tanaman berbuah normal dan (b) berbuah abnormal, (c) Batang dari tanaman berbuah normal, dan (d) berbuah abnormal Tanaman yang menghasilkan bunga betina abnormal menghasilkan juga bunga jantan abnormal meskipun bunga jantan jarang ditemukan, sebaliknya tanaman berbunga betina normal mempunyai bunga jantan normal. Tanaman yang menghasilkan bunga abnormal lebih lambat berbunga dengan penampilan pelepah daun lebih rapat ke batang, pelepah daun (Gambar 16 c) dan batang (Gambar 16d) lebih lebar/besar serta tanaman lebih tinggi. Sedangkan pohon dengan bunga normal mempunyai penampilan sebaliknya (Gambar 16a dan b). Pada beberapa pohon abnormal, buah terbentuk namun sebelum sampai pada fase buah panen, buah menjadi busuk namun tetap berada pada tandan buah.
72
Tinjauan Gen-Gen Homeotik pada Bunga Kelapa Sawit Abnormal Bunga abnormal (mantel) pada kelapa sawit menunjukkan perubahan staminode pada bunga betina, dan stamen pada bunga jantan menjadi struktur seperti karpel. Kejadian ini diduga karena perubahan ekspresi gen yang menentukan seks pada tanaman ini. Banyak penelitian telah dilakukan terhadap gen-gen homeotik untuk identitas organ bunga pada tanaman tingkat tinggi khususnya pada tanaman dikotil
seperti Arabidopsis thaliana dan Athirrhinum majus. Peranan gen
homeotik bunga terhadap perkembangan bunga pada Arabidopsis dan spesies dikotil yang lain dikenal dalam bentuk model ABC (Coen & Meyerowitz 1991; Bowman et al. 1991). Homeotik didefenisikan sebagai pertukaran parsial atau secara lengkap bagian dari suatu organisme dengan yang lain (Lehmann & Sattler 1992). Menurut Risseeuw (2004) model klasik ABC terdiri atas tiga kelas gen homeotik (A, B dan C), yang berfungsi tumpang tindih (overlapping) (Irish 2000). Mutasi tunggal seperti mutasi pada gen kelompok B (AP3 dan PI) menyebabkan kehilangan aktivitas kelompok gen B yang berakibat pada perubahan tajuk menjadi kelopak, dan stamen menjadi karpel (Irish 2000). Seperti yang ditemukan pada Arabidopsis dan Antirrhinum yaitu kehilangan fungsi gen kelas B terjadi perubahan homeotik pada stamen maupun tajuk (Bowman et al. 1991 ; Sommer et al. 1990). Whipple et al. (2004) membuktikan fungsi gen kelas B conserved antara monokotil dan dikotil. Kelopak dan tajuk kelapa sawit tidak dapat dibedakan karena mempunyai struktur dan warna yang sama. Tanaman monokotil seperti kelapa sawit mempunyai staminode/stamen berubah menjadi karpel namun tidak diikuti dengan perubahan tajuk menjadi kelopak, apabila terjadi mutasi pada gen kelas B seperti pada Arabidopsis. PI dan AP3 merupakan kelompok gen kelas B pada Arabidopsis, apabila terjadi perubahan hanya pada salah gen kemungkinan perubahan stamen menjadi karpel tidak diikuti oleh perubahan tajuk. Menurut Adam et al. (2005) bunga abnormal pada kelapa sawit meskipun tidak melibatkan perubahan utama lingkaran bunga kedua (tajuk) pada level morfologi namun kemungkinan ada perubahan pada level molekuler.
73
Alwee et al. (2006) mendapatkan gen EgMADS16 pada kelapa sawit homolog dengan gen PI pada gen kelas B Arabidopsis. Transformasi gen tersebut ke Arabidospsi memperlihatkan aberasi fenotip pada lingkaran bunga pertama dengan menunjukkan kimera kelopak-tajuk. Hasil ini menunjukkan bahwa EgMADS16 berfungsi untuk menentukan tajuk sehingga diyakini bahwa gen ini ortolog PI. Dikatakan juga bahwa ekspresi sebagian besar gen tidak berbeda antara rangkaian bunga normal dan abnormal (mantel). Adam et al. (2007) mendapatkan adanya gen-gen yang terkespresi spesifik pada lingkaran bunga kelapa sawit. Gen EgDEF1 terekspresi di staminode dan tajuk pada bunga betina, dan terekspresi di stamen dan tajuk pada bunga jantan. Gen EgGLO2 pada bunga betina terekspresi pada kelopak dan tajuk, dan pada bunga jantan gen ini terekspresi pada kelopak, tajuk dan stamen. Pada bunga mantel, kedua gen ini terekspresi namun berkurang ekspresinya. Dikatakan juga bahwa gen EgDEF1 dan EgGLO2 kemungkinan berperan sebagai gen kelas B. Apabila gen EgDEF1 dan EgGLO2 berperan sebagai gen kelas B mengalami perubahan ekspresi maka kelopak, tajuk dan stamen pun mengalami perubahan morfologi pada bunga betina maupun jantan. Berdasarkan pada uraian di atas maka kemungkinan gen-gen kelas B yang terlibat dalam penentuan tajuk dan stamen tidak mengalami perubahan atau mutasi pada kasus bunga kelapa sawit. Dellaporta dan Calderon-Urrea (1993) mengatakan bahwa terdapat gen-gen pembungaan yang sensitif dengan hormon tertentu dalam meregulasi seksualitas tanaman. Perlakuan auksin eksogenous menyebabkan bunga betina berubah menjadi jantan (Hamdi et al. 1987). Hormon etilen dapat menginduksi bunga jantan menjadi betina. Seperti yang dikemukakan oleh Byers et al. (1972) bahwa etilen merupakan regulator penentuan seks pada Cucumis sativus dan C. melo. Menurut Yin dan Quinn (1995) etilen selain memacu pembentukan bunga betina tetapi juga menghambat bunga jantan, sedangkan gibberelin (GA) memacu pembentukan bunga jantan dan menghambat bunga betina. Dengan demikian terinduksi stamen menjadi struktur karpel pada bunga kelapa sawit kemungkinan diregulasi oleh hormon tertentu.
74
Karakteristik Morfologi Buah Abnormal dan Tingkat Abnormalitas Setelah bunga diserbuk dan mengalami pembuahan selanjutnya terbentuk buah, yang diawali dengan perkembangan ovari sehingga terbentuk eksokarp dan mesokarp. Pada fase buah dengan warna buah putih kehijauan diduga zigot sementara mengalami perkembangan membentuk embrio sejalan dengan terbentuk cangkang dan endosperm sehingga pada fase ini belum ditemukan biji. Biji terbentuk pada fase buah dengan warna kuning pucat pada bagian pangkal dengan ujung ungu gelap yaitu cangkang telah terbentuk sedangkan endosperm berbentuk cairan. Menurut Lubis (1992) sebulan sesudah penyerbukan cangkang telah terbentuk dan mengalami pengerasan pada umur tiga bulan. Sedangkan endosperm berada dalam bentuk cairan pada umur dua bulan kemudian berubah menjadi seperti agar-agar dan pada umur tiga bulan mengeras berbentuk padat. Pada umur tiga bulan embrio belum terlihat dan akan berkembang terus dan mencapai ukuran 3 mm pada tiga bulan berikutnya. Pada buah abnormal, karpel tambahan dan karpel utama berkembang sejalan dengan perkembangan buah. Suatu spesifikasi pada buah kelapa sawit adalah stigma pada fase bunga berkembang sampai pada fase buah panen. Pada ujung buah normal nampak jelas stigma tiga cuping yang telah mengering berwarna hitam (Gambar 17a), sedangkan pada buah abnormal stigma tiga cuping bersama dengan stigma dari karpel tambahan sehingga menjadi multistigma (Gambar 17b).
a
b
Gambar 17. Penampilan stigma pada buah normal dan abnormal. (a) Stigma tiga cuping pada buah normal, (b) Multistigma pada buah abnormal
75
a
b
c
d
Gambar 18. Tingkat abnormalitas pada buah. (a) Buah normal, (b) Buah abnormal ringan, (c) Buah abnormal berat, (d) Buah abnormal sangat berat Karakteristik buah abnormal bervariasi dalam klon meliputi jumlah, ukuran dan bentuk karpel tambahan. Jumlah karpel tambahan bervariasi tiga sampai tujuh mengelilingi karpel utama, berukuran sama dengan karpel utama namun ada yang lebih pendek. Karpel tambahan pada bunga berkembang sampai fase buah panen,
sehingga
mencerminkan
klasifikasi
tingkat
tingkat
abnormalitas
pada
abnormalitas bunga.
pada
Karakterisasi
buah tingkat
abnormalitas didasarkan pada batasan antar karpel tambahan dan karpel utama, kondisi mesokarp, serta keberadaan biji. Tiga kriteria ini tidak dapat dilakukan pada fase bunga karena tingkat abnormalitas hanya dapat dibedakan pada fase buah panen dengan biji telah terbentuk sempurna. Berdasarkan kriteria tersebut maka buah kelapa sawit hasil perbanyakan kultur jaringan digolongkan atas empat yaitu (1) normal (Nml) dengan ciri tidak ada karpel tambahan, mesokarp berdaging dan mempunyai biji (Gambar 18a), (2) abnormal ringan (AbR) dengan ciri ada karpel tambahan namun antara
batasan
karpel tambahan nampak hanya pada bagian ujung buah, mesokarp
berdaging dan mempunyai biji (Gambar 18b), (3) abnormal berat (AbB) dengan ciri karpel tambahan dari bagian ujung ke bagian tengah buah terpisah dengan karpel utama, batasan antar karpel tambahan sangat jelas dari ujung ke arah
76
a
c
1
1
2
b
2
d
Gambar 19. Dua tipe buah abnormal sangat berat dengan irisan membujur. (a) Buah abnormal sangat berat 1 (AbS1), (b1) Irisan membujur karpel utama AbSB1, (b2) Irisan membujur karpel tambahan AbSB1, (c) Buah abnormal sangat berat 2 (AbS2), (d1) Irisan membujur karpel utama AbSB2, (d2) Irisan membujur karpel tambahan AbSB2 bagian tengah buah dan selanjutnya menyatu dengan karpel utama, mesokarp berdaging dan mempunyai biji (Gambar 18c), (4) abnormal sangat berat (AbSB) dengan ciri karpel tambahan terpisah dari karpel utama dimulai dari ujung sampai sepertiga dari pangkal buah demikian juga antar karpel tambahan, serta tidak mempunyai biji (Gambar 18d). Buah abnormal sangat berat (AbSB) dengan spesifikasi tidak mempunyai biji digolongkan lagi berdasarkan keadaan karpel dan tekstur mesokarp yaitu (1) abnormal sangat berat 1 (AbSB1) ditandai dengan karpel tambahan terpisah dari karpel utama dari ujung sampai sepertiga pangkal buah demikian juga antara karpel tambahan (Gambar 19a), mesokarp berdaging mulai dari pangkal buah sampai sepertiga ujung buah pada karpel utama dan tambahan (Gambar19b.1 dan b.2), dan (2) abnomal sangat berat 2 (AbSB2) ditandai dengan batasan antar karpel tambahan sangat jelas dari ujung sampai pangkal buah namun karpel tersebut menyatu dengan karpel utama (Gambar 19c) demikian juga antara karpel
77
Tabel 3. Persentase tingkat abnormalitas buah pada beberapa klon Kelapa Sawit
Keterangan : * Pada tanaman yang sama terdapat AbR dan AbB
tambahan, mesokarp sebagian besar berkayu pada karpel utama dan tambahan (Gambar 19d.1 dan 19d.2). Hasil irisan membujur dari karpel utama pada AbSB 1 tidak ditemukan biji namun nampak suatu lapisan kernel tipis. Pada setiap karpel tambahan pada semua tingkat abnormalitas buah tidak ditemukan biji atau dapat dikatakan karpel tambahan tersebut steril. Sedangkan Durand-Gasselin et al. (1993) mengemukakan bahwa ovari tiga karpel (karpel utama) pada bunga betina abnormal adalah steril sedangkan androsiumnya menjadi pseudokarpel, dan tidak ditemukan ovul pada pseudokarpel (Adam et al. 2005). Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua bunga abnormal mempunyai ovari tiga karpel (karpel utama) steril seperti pada AbR dan AbB, bahkan AbSB1 masih nampak adanya kernel meskipun tidak sempurna. Tanaman yang menghasilkan buah abnormal atau buah mantel pada semua klon yang diamati yaitu 0 – 17.1%, dengan tingkat AbB dan AbSB2 berurutan 3.5%
dan 4.2 % (5 dan 6 dari 143 tanaman) lebih banyak dari tingkat
abnormalitas yang lain (Tabel 3). Buah AbB hampir ditemukan pada semua klon kecuali klon MK 163 dan MK 212. Pada tanaman berbuah AbR didapatkan buah AbB pada tandan buah yang sama. Selain itu didapatkan juga bahwa tidak semua klon dari kultur jaringan menghasilkan tanaman abnormal, nampak semua tanaman berbunga normal pada klon MK 163.
78
SIMPULAN (1)
Abnormalitas pada bunga (bunga mantel) kelapa sawit dapat diamati secara visual pada saat bagian-bagian dari organ bunga telah terbentuk sempurna dan mudah dipisahkan (tandan bunga terbungkus seludang bagian dalam).
(2)
Abnormalitas
pada
bunga betina
diperlihatkan oleh adanya
karpel
tambahan berjumlah tiga sampai tujuh mengelilingi karpel utama, sedangkan abnormalitas pada bunga jantan teramati pada
stamen pada
posisi bunga ketiga berubah menjadi struktur seperti karpel berjumlah tiga sampai tujuh. (3)
Abnormalitas pada buah merupakan perkembangan lanjut dari abnormalitas pada bunga. Terdapat lima tingkat abnormalitas
buah yaitu normal,
abormal ringan (AbR), abnormal berat (AbB), abnormal sangat berat 1 (AbSB1), dan abnormal sangat berat 2 (AbSB2). (4)
Semua tanaman berbunga abnormal berpenampilan lebih tinggi, batang lebih besar, pelepah daun lebih lebar, tandan bunga lebih besar dan lambat berbunga.
79
BAB IV KAJIAN KANDUNGAN MINYAK, MALONIL-KoA DAN ASETILKoA PADA BUAH ABNORMAL BEBERAPA KLON KELAPA SAWIT ABSTRAK Kelapa sawit hasil kultur jaringan memperlihatkan abnormalitas pada bunga dan buah. Abnormalitas pada jaringan bunga berkembang menjadi buah, diduga mempengaruhi kandungan minyak dari buah tersebut. Penelitian bertujuan menetapkan kandungan minyak pada beberapa tipe buah abnormal dan menganalisis kandungan malonil-KoA dan asetil-KoA pada buah-buah tersebut. Bahan tanaman terdiri atas tiga klon yaitu klon MK 152, MK 176 dan MK 209 dengan tingkat abnormal normal, abnormal ringan (AbR), abnormal berat (AbB), abnormal sangat berat 1 (AbSB1) dan abnormal sangat berat 2 (AbSB2). Estraksi minyak secara soxhlet dan pengukuran malonil-KoA dan asetil-KoA dengan HPLC (High Performance Liquid Chromathography). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan minyak bervariasi dengan abnormalitas buah. Klon MK 152 dengan buah normal dan AbB mempunyai kandungan minyak pada fase agak matang 73.9-74.7% sedangkan buah AbSB2 lebih rendah (62%). Klon MK 176 dengan buah normal, AbR dan AbB mempunyai kandungan minyak cenderung sama yaitu berkisar 77-81%. Klon MK 209 dengan buah normal, AbR dan AbB mempunyai kandungan minyak 76-77.5%, sedangkan buah AbSB2 63.2%. Kandungan minyak yang tinggi pada buah normal (klon MK 152), AbR (klon MK 209) dan AbB (klon MK 176) mempunyai kandungan malonil-KoA yang lebih tinggi (0.068, 0.069 dan 0.085 mg/ml) dibandingkan dengan asetilKoA (0.023, 0.036 dan 0.021 mg/ml). Terjadi sebaliknya pada buah AbSB1 dan AbSB2 (klon MK 152) dengan kandungan asetil-KoA (0.087 dan 0.066 mg/ml) lebih tinggi dibandingkan malonil-KoA (0.037 dan 0.022 mg/ml). Terdapat kecenderungan minyak yang tinggi pada buah normal, AbR dan AbB didukung oleh kandungan malonil-KoA yang tinggi dengan asetil-KoA yang rendah. Kata kunci: kelapa sawit, kultur jaringan, buah abnormal, minyak mesokarp, malonil-KoA, asetil-KoA
PENDAHULUAN Di Indonesia, kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan unggulan
yang
menjadi
perhatian
pemerintah
maupun
swasta
untuk
dikembangkan. Sebagai penghasil minyak nabati, tanaman ini mempunyai kekhasan tersendiri dari tanaman kelapa umumnya. Minyak dapat dihasilkan dari dua bagian buah yaitu dari mesokarp yang disebut crude palm oil (CPO) dan dari kernel yang disebut kernel palm oil (KPO), dan minyak sawit berasal dari CPO.
80
Rasio asam lemak jenuh dan tak jenuh seimbang pada minyak sawit, sedangkan minyak kernel didominasi (85%) oleh asam lemak jenuh yang mirip dengan minyak kelapa (coconut oil). Dibandingkan dengan minyak kedele, minyak sawit mempunyai asam lemak jenuh (khususnya palmitat) lebih banyak yang menyebabkan minyak sawit lebih stabil dan tidak mudah teroksidasi pada suhu tinggi (Cheng Hai 2002). Pemanfaatan
minyak
sawit
sangat
beragam
menyebabkan
terjadi
peningkatan permintaan. Permintaan minyak sawit dunia pada masa datang akan meningkat 2.8–3 juta ton/tahun (Bangun 2005) sehingga memacu negara produsen kelapa sawit seperti Malaysia dan Indonesia untuk meningkatkan produksi. Di tahun 2006, kurang lebih dari 5.6 juta hektar ditanami kelapa sawit dan menghasilkan lebih dari 13 juta ton CPO/tahun (Asmono 2006). Namun salah satu keterbatasan peningkatan produksi di Indonesia adalah kurang tersedianya bibit unggul dibandingkan dengan luas lahan yang meningkat tiap tahun. Usaha penyediaan bibit kelapa sawit dilakukan dengan teknologi kultur jaringan namun mengalami masalah krusial yaitu buah abnormal/mantel. Adanya fenotip buah mantel kira-kira 5.69% pada klon PPKS (Fatmawati et al. 1997) atau 5-10% pada semua klon yang diregenerasi (Corley et al. 1986 ; Tregear et al. 2002). Menurut Toruan-Mathius et al. (2001) terjadi abnormalitas pada organ reproduktif
berkisar
10-40%.
Kejadian
ini
menyebabkan
menurunnya
produktivitas karena buah yang terbentuk biasanya gugur selama dalam perkembangan (Eeuwens et al. 2002). Keabnormalan buah ini diduga dapat menurunkan produksi minyak namun berapa besar penurunan tersebut belum diketahui. Abnormal pada buah kelapa sawit ini menjadi faktor pembatas untuk penyediaan bibit unggul melalui teknologi kultur jaringan. Menurut Lubis (1983) buah sawit mulai aktif mensintesis minyak pada umur tiga bulan dan kandungan minyak terus meningkat mencapai maksimum pada umur 167 hari. Hasil penelitian Budiani (2005 ) menunjukkan bahwa ensim asetil-KoA karboksilase (ACCase) dan aktivitas ACP (acyl carrier protein) reduktase meningkat bertepatan saat buah memasuki periode aktif sintesis minyak. Minggu ke-16 setelah penyerbukan, minyak yang dihasilkan pada mesokarp kurang dari 2% dari berat kering. Namun kandungan minyak mencapai
81
maksimum pada umur
20 minggu (Hartley 1970). Menurut Lubis (1992)
mesokarp berwarna hijau kekuningan menunjukkan bahwa minyak telah terbentuk. ACCase mengkatalisis tahap pertama biosintesis asam lemak dengan merubah asetil-KoA menjadi malonil-KoA (Töpfer et al. 1995). Menurut Nikolau et al. (2003) secara in vivo ACCase mengregulasi biosintesis asam lemak pada tanaman, dengan mengukur kumpulan asetil-KoA, malonil-KoA, asetil-ACP, malonil-ACP dan acyl-ACP. Tingkat abnormal buah yang beragam ditemukan pada tanaman kelapa sawit hasil perbanyakan dari kultur jaringan dengan kondisi mesokarp yang berserat sampai berkayu. Karakteristik mesokarp demikian diduga mempengaruhi kandungan minyak, demikian juga malonil-KoA dan asetil-KoA yang merupakan metabolik pertama pada lintasan pembentukan asam lemak. Penelitian ini bertujuan (1) menetapkan kandungan minyak pada dua fase buah panen, (2) menganalisis
kandungan minyak mesokarp pada tingkat
abnormalitas buah berbeda, (3) menganalisis keberadaan minyak, malonil-KoA dan asetil-KoA mesokarp pada tingkat abnormalitas buah berbeda. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kandungan minyak dan hubungannya dengan keberadaan malonil-KoA dan asetil-KoA yang dihasilkan oleh buah abnormal sehingga diperoleh kepastian untuk menggunakan bibit kelapa sawit dari kultur jaringan. BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Perkebunan Indonesia, SEAMEO BIOTROP-Bogor dan Laboratorium Analisis Balai Besar Pasca Panen -Cimanggu dari bulan September 2005 sampai Desember 2006. Bahan tanaman kelapa sawit merupakan koleksi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Ciampea-Bogor. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diperoleh tiga klon (MK 152, MK 176 dan MK 209) mempunyai banyak tanaman yang berbuah abnormal dengan tingkat abnormalitas beragam. Klon MK 152 mempunyai tiga karakteristik buah yaitu tanaman berbuah normal, abnormal berat
82
(AbB) dan abnormal sangat berat 2 (AbSB2). Buah AbSB1 merupakan tanaman pinggiran dan tidak dijumpai pada tujuh klon yang dikoleksi. Klon MK 176 mempunyai tanaman berbuah normal, AbR dan AbB. Sedangkan klon MK 209 mempunyai empat karakteritik buah yaitu tanaman berbuah normal, AbR, AbB dan AbSB2. Sebelas tanaman dari tiga klon tersebut digunakan sebagai bahan tanaman untuk estraksi minyak. Sedangkan untuk pengukuran kandungan asetilKoA dan malonil-KoA dilakukan pada fase buah agak matang. Tujuh tanaman dengan tingkat abnormalitas normal, AbR, AbB, AbSB1 dan AbSB2 digunakan untuk analisis kandungan asetil-KoA dan malonil-KoA dari mesokarp buah. Tanaman berbuah normal dan AbSB2 berasal dari klon MK 152, buah AbB dari klon MK 176, buah normal, AbR dan AbSB2 berasal dari klon MK 209, serta satu tanaman berbuah AbSB1 merupakan tanaman pinggiran. Metode Penelitian Penentuan Fase Buah Panen untuk Estraksi Minyak Penelitian ini menggunakan buah panen dari tandan buah segar. Kriteria panen tandan buah segar yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan adalah buah mentah, buah agak matang, buah matang dan buah lewat matang. Dengan demikian dua fase kematangan buah untuk estraksi minyak didasarkan pada kriteria di atas dengan mengacu pada warna buah yaitu (1) buah agak matang dengan ciri yaitu seperdua dari pangkal buah berwarna kuning orange dan ujung warna ungu gelap, dan (2) buah matang dengan ciri dua per tiga dari pangkal buah berwarna jingga, ujung buah warna orange kecoklatan serta belum lepas dari tandan buah segar. Sampel buah dari lapangan dibungkus dengan koran dan dimasukan ke plastik, selanjutnya disimpan dalam lemari es untuk dipakai hari berikutnya. Mesokarp untuk estraksi minyak dengan pengulangan dua kali. Sampel diambil dari dua tandan buah berbeda yang berasal dari tanaman yang sama. Setiap ulangan dibuat duplo untuk pengukuran bobot kering maupun kandungan minyak.
83
Estraksi Minyak dari Mesokarp Buah Sawit Mesokarp disayat menjadi bagian-bagian yang tipis dipisahkan untuk bobot bahan kering (BBK) sebanyak 1.5 g dan untuk estraksi minyak 7 g. Sampel mesokarp ± 1.5 gr (bobot basah) diletakkan pada alumunium foil dan dikeringkan pada suhu 110oC selama 24 jam kemudian ditimbang sebagai bobot bahan kering (BBK) dengan formula : Bobot Kering (g) % BBK
=
x 100% Bobot Basah (g)
Sampel ± 7 g diletakkan pada alumunium foil dikeringkan pada suhu
70oC
selama 3 hari. Sampel mesokarp yang telah kering, ditumbuk dalam lumpung porselin sampai halus dan berminyak. Sampel yang telah halus ditimbang sebagai bobot kering mesokarp yang siap diekstrak (M) kemudian diletakkan di kertas saring dan digulung, kedua ujungnya dilapisi dengan kapas kemudian diikat dengan tali kasur. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan bersama batu didih pada suhu 100oC selama 1 jam kemudian didinginkan (Y) dalam desikator. Gulungan sampel dimasukan dalam tabung soxhlet kemudian dipasang ke labu lemak dan diisi dengan petroleum benzen (titik didih 40o-60oC ). Bentukan ini kemudian segera dipasang pada kondensor untuk memulai estraksi minyak, sebelumnya pengangas air (water bath) telah dipanaskan pada suhu 70oC. Proses estraksi minyak ( Lampiran 1) melalui pemanasan suhu 70oC sampai petroleum benzena dalam tabung menjadi jernih (± 5-8 jam). Labu lemak didestilasi untuk menyuling petroleum benzen terpisah dari minyak. Labu lemak dilepaskan dari kondensor, kemudian dikeringkan dalam oven suhu 70oC selama 5-6 jam selanjutnya didinginkan semalam dalam desikator. Labu lemak yang berisi minyak ditimbang beberapa kali sampai bobotnya tidak berubah (X). Kandungan minyak yang diperoleh dihitung berdasarkan formula sebagai berikut : KL = KL X Y M
= = = =
X–Y
100% M Kandungan lemak (%) bobot labu lemak dengan lemak (g) bobot labu lemak kosong (g) bobot kering mesokarp siap diekstrak (g)
84
Pengukuran kandungan Malonil-KoA dan Asetil-KoA Menyiapkan estraktan protein (Santoso 1997 ; Budiani 2005) Sampel dari fase buah agak matang berasal dari tandan dan tanaman yang sama untuk minyak. Mesokarp buah sawit disayat tipis-tipis kemudian dipotong kecil-kecil. Mesokarp dihaluskan dengan cara merendamnya dengan nitrogen cair selama 30 detik kemudian digerus sampai menjadi tepung pada lumpung porselin. Tepung mesokarp 0.9 g dimasukan ke tabung volume 2 ml dan dihomogen dengan 1 ml bufer estraksi dingin es (0.1M Tris-HCl pH 8.2, 0.5M NaCl, 1mM EDTA, 2% β-merkaptoetanol), kemudian divorteks dan disentrifus dengan kecepatan 14.000 rpm pada suhu 4oC selama 30 menit (Lampiran 3). Supernatan sebagai estraktan protein (crude protein) diambil hati-hati untuk menghindari terikutnya debris mesokarp kemudian dipindahkan ke tabung baru. Mengukur kandungan malonil-KoA dan Asetil-KoA (Levert et al. 2002 ; Budiani 2005) Pengukuran keberadaan asetil KoA dan malonil KoA dalam mesokarp buah agak matang dalam suatu reaksi untuk kerja ensim asetil-KoA karboksilase (ACCase). Estraktan protein sebanyak 80 µl
dipreinkubasi pada suhu 25oC
selama 30 menit dengan 2 mg/ml bovin serum albumin (BSA) dan 10 mM potassium sitrat. Reaksi dimulai dengan mentransfer 200 µl hasil preinkubasi ke dalam campuran reaksi (50 mM Tris pH 7.5; 6 µM asetil-KoA; 2 mM ATP, 7 mM KHCO3; 8 mM MgCl2; 1 mM ditiotreitol dan 1 mg/ml bovin serum albumin) hingga volume total 800 µl, selanjutnya diinkubasi pada suhu 25oC selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 200 µl 10% asam perklorat. Sampel disentrifus pada 14.000 rpm suhu 4oC selama 3 menit dan supernatan dipindahkan ke Eppendorf baru dan disimpan pada suhu -20oC untuk analisis HPLC (Lampiran 3). Analisis menggunakan kolum C-18 dengan sistim Water HPLC dilengkapi dengan detector UV-visible dengan panjang gelombang 254 nm. Fase gerak berupa 10 mM KH2PO4 pH 6.7 dan metanol, kecepatan alir 1.0 ml/menit, waktu retensi untuk malonil KoA 1.04 menit dan asetil-KoA adalah 1.23 menit. Konsentrasi standar asetil-KoA (SIGMA) maupun malonil-KoA (SIGMA) yang
85
digunakan 100 ppm. Pengukuran kandungan asetil-KoA dan malonil-KoA dengan formula sebagai berikut : luas areal sampel Konst.Sampel =
x konsentrasi Standar luas areal standar
Hubungan antara kandungan minyak dengan keberadaan malonil-KoA dan AsetilKoA dalam mesokarp buah sawit pada beberapa tingkat abnormalitas dilakukan dengan uji korelasi :
r =
∑ (XY )
t hit =
(∑ X2 ) ( ∑Y2 )
r
(n -2) (1-r2 )
db = n - 2
HASIL DAN PEMBAHASAN Mesokarp dan Karakteristik Minyak pada Buah Abnormal Minyak diekstrak dari mesokarp buah kelapa sawit pada beberapa tipe buah abnormal, berasal dari klon MK152, MK176 dan MK 209 dan satu tanaman pinggiran AbSB1. Pada penelitian sebelumnya diperoleh lima karakteristik buah hasil kultur jaringan yaitu normal, AbR, AbB, AbSB1 dan AbSB2 yang diklasifikasi berdasarkan kedudukan karpel tambahan terhadap karpel utama, tekstur mesokarp dan ada tidaknya biji. Buah kelapa sawit yang dicirikan dengan adanya karpel tambahan disebut buah mantel (Hartley 1977).
a
b
Gambar 20. Penampilan mesokarp pada dua fase buah matang. (a) Mesokarp buah fase agak matang, (b) Mesokarp buah fase matang
86
a
c
b
d
e
Gambar 21. Beberapa tingkat abnormalitas buah dan mesokarpnya. (a) Buah normal, (b) Buah AbR, (c) Buah AbB, (d) Buah AbSB1, (e) Buah AbSB2 Dua fase buah panen yaitu fase buah agak matang dan buah matang yang digunakan untuk estraksi minyak mempunyai tekstur dan warna mesokarp yang berbeda. Tekstur mesokarp pada buah agak matang adalah agak padat dan berwarna kuning (Gambar 21a) sedangkan mesokarp buah matang
berwarna
jingga, agak berminyak dan sedikit berserat (Gambar 21b). Tekstur dan warna mesokarp pada buah normal, AbR, AbB dan AbSB1 hampir mirip (Gambar 21a-d) namun mesokarp AbSB1 lebih
berserat
dibandingkan dengan
yang
lain. Dua fase matang pada buah AbSB2 mempunyai mesokarp cenderung berkayu dan berwarna kuning pucat, berbeda dengan tipe abnormal yang lain. Didapatkan juga bahwa warna mesokarp menunjuk pada warna minyak yang dihasilkan. Tekstur minyak pada fase buah setengah matang dan buah matang adalah jernih pada semua tingkat abnormalitas buah, kecuali buah AbSB. Buah AbSB2 mempunyai minyak sangat keruh pada kedua fase tersebut, diduga dengan adanya hasil ikutan karena mesokarp yang berkayu.
87
Kandungan Minyak Pada Beberapa Tingkat Abnormalitas Buah Hasil estraksi minyak dari mesokarp buah klon MK 152 menunjukkan bahwa kandungan minyak pada buah normal dan AbB berkisar 74-75 % pada buah agak matang dan meningkat mencapai 78-81% pada buah matang 100
Minyak (%)
80
74.66
81.18
73.89 77.62 61.99 61.33
60 40 20 0 Normal
a 100
Minyak (%)
80
82.16
80.85 81.42
AbSB2
78.62 78.51
60 40 20 0
b 100
Minyak (%)
77.26
AbB
Tingkat Abnormalitas Buah
80
Normal AbR AbB Tingkat Abnormalitas Buah 75.97 79.91
77.47 79.30
76.27
80.32 63.22 65.56
60 40 20 0
b
Normal
AbR AbB Tingkat Abnormalitas Buah Buah agak matang
AbSB2
Buah matang
Gambar 22. Kandungan minyak mesokarp pada dua fase buah panen dari tiga klon dengan tingkat abnormalitas berbeda. (a) Klon MK 152 , (b) Klon MK 176, (c) Klon MK 209. AbR (abnormal ringan), AbB (abnormal berat), AbSB1 (abnormal sangat berat 1), AbSB2 ( abnormal sangat berat 2)
88
(Gambar
22a
& Tabel 1 pada Lampiran 2). Sedangkan
buah
AbSB2
mempunyai minyak lebih rendah (62% dan 61.3%) dari tipe buah abnormal yang lain
pada kedua
fase buah
panen
tersebut
karena
mesokarpnya
cenderung berkayu (Gambar 21e.) dan tekstur minyak yang keruh. Kandungan minyak pada buah
matang
relatif
lebih tinggi dibandingkan buah agak
matang. Buah AbSB1 (Tabel 1 pada Lampiran 2) meskipun mempunyai mesokarp berdaging namun mesokarp yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan buah normal dan AbB karena tiap karpel tambahan dari AbSB1 terpisah satu dengan lain, terpisah juga dari karpel utama (Gambar 21d). Klon MK 176 dengan tanaman berbuah normal, AbR dan AbB menunjukkan kandungan minyak buah agak matang 77-81% tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Demikian juga pada buah matang yang meningkat menjadi 79-82% (Gambar 22b & Tabel 1 pada Lampiran 2). Hasil ini menunjukkan bahwa abnormalitas pada buah dengan adanya karpel tambahan pada kasus ini tidak mengurangi kandungan minyak. Selain itu ukuran buah dari AbR dan AbB relatif lebih besar (Gambar 21b dan 21c) sehingga mesokarp yang dihasilkan lebih banyak merupakan suatu keunggulan dari dua tingkat abnormal buah ini. Besarnya ukuran buah AbR dan AbB karena batasan karpel tambahan hanya nampak pada bagian ujung buah sedangkan keseluruhan buah menyatu seperti halnya buah normal. Kandungan minyak pada tanaman berbuah normal, AbR dan AbB dari klon MK 209 cenderung sama yaitu berkisar 76-77.5% pada buah agak matang, dan meningkat mencapai 79-80% pada buah matang (Gambar 22c & Tabel 1 pada Lampiran 2). Sedangkan kandungan minyak pada buah rendah yaitu 63% pada buah agak matang
AbSB2 lebih
dan 65.5 % pada buah matang.
Kandungan minyak dari beberapa tingkat abnormal buah cenderung sama antara klon MK 152, klon MK 176 dan klon MK 209, kecuali buah AbSB. Nampak bahwa kandungan minyak dari buah normal, AbR dan AbB dari dari ketiga klon lebih dari 70%. Didapatkan bahwa kandungan minyak pada fase buah matang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan buah agak matang. Seperti yang dikemukakan oleh Budiani (2005) bahwa semakin tua umur buah sawit maka semakin besar ukuran
89
buah, semakin merah warnanya dan semakin tinggi kandungan minyaknya. Hasil penelitian Budiani (2005) menunjukkan bahwa kandungan minyak maksimum dari tanaman hasil kultur jaringan mendekati 60% sedangkan beberapa individu tanaman lain hanya 40%. Namun dalam penelitian ini kandungan minyak relatif tinggi pada semua tingkat abnormalitas buah diduga adanya perbedaan pada fase buah matang yang digunakan. Menurut Price et al. (2007) kandungan minyak dari mesokarp kelapa sawit dapat mencapai 40-70%, sedangkan minyak dari kernel/biji lebih rendah (43-51%). Berdasarkan pola kandungan minyak pada beberapa tingkat abnormalitas dari ketiga klon tersebut di atas maka ditemukan suatu fenomena bahwa tanaman hasil kultur jaringan dengan karakteristik buah normal, AbR dan AbB mempunyai kandungan minyak yang cenderung sama. Ketiga karakteristik buah ini juga menghasilkan biji yang normal sehingga selain diperoleh CPO dari mesokarp dihasilkan juga KPO dari kernel. Ukuran buah lebih besar ditemukan pada buah AbR dan AbB dibandingkan dengan buah normal, AbSB1 dan AbSB2. Ukuran buah yang besar pada dua tipe buah abnormal tersebut karena mempunyai mesokarp yang tebal. Hasil yang diperoleh ini merupakan suatu informasi awal yang menggembirakan untuk menggunakan teknologi kultur jaringan dalam penyediaan bibit unggul meskipun buah yang dihasilkan abnormal, khususnya AbR dan AbB. Sebaliknya buah dari AbSB1 dan AbSB2 mempunyai kandungan minyak relatif sedikit karena karpel tambahan terpisah satu dengan lain dan mesokarp agak berserat (AbSB1), serta keadaan mesokarp yang
cenderung
berkayu (AbSB2). Selain itu, kedua tipe buah abnormal ini tidak mempunyai biji sehingga tidak dapat dihasilkan KPO. Bobot Bahan Kering Mesokarp dan Minyak pada Beberapa Tingkat Abnormalitas Buah Kandungan minyak yang dihasilkan oleh mesokarp didukung oleh bobot bahan kering (BBK) mesokarp. Bobot bahan kering yang tinggi kemungkinan karena mesokarpnya berserat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan kandungan minyak relatif lebih tinggi dan cenderung sama pada buah normal, AbR dan AbB secara berurutan 75.96%, 79.2% dan
76.3% (Gambar 23)
90
Minyak & Bobot Kering
100 80
75.96 74.31
79.16 69.77
76.26 65.57
69.53
63.67
60
62.61 51.3
40 20 0 Normal
AbR AbB AbSB1 Tingkat Abnormalitas Buah
Minyak (BAM) (%)
AbSB2
Bobot Kering (%)
Gambar 23. Rataan kandungan minyak dan bobot bahan kering mesokarp fase buah agak matang (BAM) pada beberapa tingkat abnormalitas dibandingkan dengan AbSB1 (69.5%) dan AbSB2 (62.6%). Sedangkan rataan BBK mesokarp pada buah normal cenderung lebih tinggi ( 74.3%) dibandingkan dengan buah AbR, AbB dan AbSB1 yang berkisar 66 - 69.7%. Hasil BBK yang rendah ditemukan pada mesokarp AbSB2 (51.3%) (Gambar 23 & Tabel 2 pada Lampiran 2). Bobot kering yang tinggi pada buah normal kemungkinan karena mesokarpnya berserat, namun karena mesokarpnya juga berdaging sehingga secara visual tidak nampak. Sedangkan mesokarp AbSB1 yang secara visual berserat mempunyai kandungan minyak cenderung rendah. Bobot bahan kering mesokarp yang tinggi pada buah normal ternyata mempunyai selisih dengan minyak hanya 1.65%, lebih rendah dari semua tingkat abnormalitas buah. Sebaliknya buah AbSB2 mempunyai selisih antara kandungan minyak dan BBK lebih tinggi (11.3%) diikuti oleh AbB (10.7%), AbR (9.39%) (Gambar 23 & Tabel 2 pada Lampiran 2) dan AbSB1 (5.86%). Buah AbSB2 mempunyai selisih kandungan minyak dan bobot bahan kering tinggi disebabkan oleh adanya komponen ikutan dalam minyak akibat dari mesokarp yang berkayu. Buah AbR dan AbB mempunyai bobot bahan kering mesokarp rendah dengan kandungan minyak yang tinggi karena mesokarpnya tebal berdaging. Tanaman berbuah AbB dan AbR berpotensi untuk menghasilkan minyak lebih banyak dibandingkan dengan tanaman berbuah normal. Namun keadaan fenotipik buah abnormal tidak ideal dan tidak diharapkan oleh perusahaan kelapa sawit.
91
a
b
Gambar 24. Penampilan buah AbSB2 pada fase buah panen. (a) Buah AbSB2 yang mulai membusuk sebelum fase buah agak matang, (b) Buah AbSB2 telah membusuk pada tandan buah segar Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tandan buah segar panen jarang ditemukan pada tanaman berbuah AbSB karena sebagian besar buahnya busuk sebelum masuk pada fase buah agak matang ataupun buah matang (Gambar 24.) terutama pada buah AbSB2. Kematangan buah atau tidak matangnya buah sangat didukung oleh kerja hormon dalam tanaman. Banyak penelitian membuktikan bahwa matangnya buah sejalan dengan peningkatan produksi etilen. Beberapa faktor yang memacu produksi etilen adalah kelayuan bunga, kematangan buah, IAA, pelukaan secara fisik, chiling injury, cekaman kekeringan dan genangan (Taiz & Zeiger 1991). Namun penelitian ini menunjukkan suatu fenomena berbeda khususnya pada
tanaman AbSB1 dan
AbSB2 yaitu saat tanaman memasuki fase buah agak matang atau sebelum fase tersebut telah terjadi penghambatan kematangan pada sebagian besar buah dalam suatu tandan buah segar dan kemudian mulai membusuk. Tidak matangnya buah pada kedua tipe buah tersebut diduga karena penghambatan produksi etilen. Pengamatan di lapangan didapatkan juga bahwa tandan buah abnormal berukuran lebih besar karena terdiri atas buah-buah berukuran besar dengan bentuk yang tidak sempurna, serta pelepah daun yang cenderung tertutup ke arah batang terutama pada tanaman berbuah AbSB2. Karakteritik tandan buah dan pelepah daun seperti demikian menyebabkan tidak adanya sirkulasi udara dan ruang yang cukup untuk perkembangan tandan buah dan buah. Akibatnya kelembaban lebih tinggi disekitar tandan buah yang diduga sebagai penyebab busuknya buah bahkan seringkali ditemukan banyak cendawan pada buah-buah
92
tersebut. Fenomena-fenomena tersebut menjadi pembatas untuk mendapatkan buah dengan minyak yang tinggi jika semua tanaman hasil kultur jaringan di lapangan didominasi oleh tanaman berbuah AbSB1 dan AbSB2. Kandungan Asetil-KoA dan Malonil-KoA pada Buah Abnormal Kandungan minyak, asetil-KoA dan malonil-KoA yang diukur berasal dari fase buah agak matang dengan tingkat abnormal buah yang berbeda. Hasil HPLC memperlihatkan pola kurva yang berbeda antara asetil-KoA dan malonil-KoA sesuai tingkat abnormalitas buah (Lampiran 4). Kandungan minyak yang terkandung dalam mesokarp buah merupakan hasil dari aktivitas ensim asetil-KoA karboksilase (ACCase) yang dianalisis berdasarkan kandungan asetil-KoA dan malonil-KoA. Sasaki dan Nagano (2004) mengatakan bahwa biosintesis asam lemak pada tanaman berlangsung dalam plastid dan ACCase bekerja pada tahap pertama dengan mengkarbosilasi asetil-KoA menjadi malonil-KoA. Dua tanaman normal dari klon MK 152 dan MK 209 (Tabel 4) memperlihatkan kandungan minyak yang tinggi kandungan malonil-KoA (0.068
dan
0.052
(74.7% dan 78.6%) dengan mg/ml) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan asetil-KoA (0.023 dan 0.041 mg/ml). Terdapat
suatu
kemiripan kandungan minyak buah AbR dan buah normal pada klon MK 209 dengan malonil-KoA yang tinggi (0.069 dan 0.052) dan asetil-KoA yang rendah Tabel 4. Kandungan asetil-KoA, malonil-KoA dan minyak pada beberapa klon dengan beberapa tingkat abnormal buah
Keterangan :
* Tanaman untuk uji korelasi. NML (normal), AbR (abnormal ringan), AbB (abnormal berat), AbSB1 (abnormal sangat berat1), AbSB2 (abnormal sangat berat 2)
93
(0.036 dan 0.041). Pola minyak dengan malonil-KoA yang tinggi diperlihatkan juga pada buah AbB (Tabel 4) yang berasal dari klon yang berbeda (MK 176). Buah AbSB2 yang berasal dari klon berbeda (MK 152 dan MK 209) menunjukkan pola yang sama yaitu kandungan minyak 62 % dan 63.2% dengan malonil-KoA yang rendah (0.022 dan 0.003 mg/ml) dan asetil-KoA yang tinggi ( 0.067 dan 0.084 mg/ml). Hasil ini mengindikasikan bahwa buah normal, AbR dan AbB meskipun berasal dari klon berbeda namun menunjukkan kandungan minyak cenderung sama didukung oleh kandungan malonil-koA dan asetil-KoA, demikian juga pada buah AbSB1 dan AbSB2. Rasio produk dan substrat yakni malonil-KoA dan asetil-KoA mencapai 3-4 kali pada buah AbB dan normal (MK 152) diikuti oleh buah AbR 1.9 kali dan pada buah normal (MK 209) 1.3 kali (Tabel 4). Rasio yang tinggi menunjukkan bahwa malonil-KoA (produk) hasil dari aktivitas ensim asetil-KoA karboksilase berkontribusi menghasilkan minyak lebih banyak dibandingkan dengan rasio yang rendah. Rasio terendah diperoleh pada buah AbSB1 dan AbSB2. Kandungan minyak yang dihasilkan dari buah normal, AbR dan AbB berkisar 74.6-78.6 % sedangkan AbSB1 dan AbSB2 relatif lebih rendah (Tabel 4). Pada buah normal, AbR dan AbB terdapat kecenderungan minyak yang tinggi (74-78%) didukung oleh kandungan malonil-KoA (0.05-0.085 mg/ml) yang lebih tinggi dibandingkan dengan asetil-KoA (0.023-0.410 mg/ml). Namun terjadi sebaliknya pada buah AbSB1 terutama AbSB2 (Tabel 4) dengan minyak yang relatif rendah (61.9-69.5%), dan malonil-KoA (0.003 – 0.037 mg/ml) yang lebih rendah dibandingkan dengan asetil-KoA (0.066-0.087 mg/ml). Hasil ini mengindikasikan bahwa buah normal, AbR dan AbB akan mengalami penambahan minyak sejalan dengan kematangan buah. Tingginya asetil-KoA dan rendah malonil-KoA pada buah AbSB1 dan AbSB2 menunjukkan kurang atau tidak aktifnya ensim ACCase untuk mengkatalisis asetil-KoA menjadi malonilKoA dibandingkan dengan buah normal, AbR dan AbB. Hasil uji korelasi memperlihatkan adanya hubungan positif (r = 0.97*) antara malonil-KoA dan minyak yaitu bertambahnya minyak searah dengan meningkat kandungan malonil-KoA. Sedangkan terdapat hubungan negatif (r = -0.78tn) antara kandungan asetil-KoA dan minyak namun hubungannya tidak
94
nyata. Demikian juga hubungan negatif tidak nyata antara asetil-KoA dan malonil-KoA r = - 0.87tn yaitu berkurangnya asetil-KoA menyebabkan bertambah malonil-KoA (Lampiran 5). Fenomena lain dari dua tipe buah ini adalah sebagian besar buah dalam satu tandan tidak mencapai fase buah agak matang dan kemudian mulai membusuk namun buah tersebut tidak gugur atau jatuh. Diduga etilen yang berfungsi untuk memacu kematangan buah mengalami penghambatan dalam produksinya. Menurut Lubis (1992) minyak sudah mulai terbentuk pada buah muda (umur tiga bulan) dengan mesokarp berwarna kuning kehijauan. Budiani (2005) mendapatkan bahwa buah berumur 14 minggu telah menghasilkan minyak 0.23% nampak melalui peningkatan malonil-KoA dan penurunan asetil-KoA, dan mencapai 56.6% pada umur 24 minggu. Sedangkan Hartley (1970) menyatakan bahwa pada umur 20 minggu asam lemak mencapai maksimum yang didominasi asam palmitat 45.5%, asam oleat 34% dan asam linoleat 11.8%. Buah-buah AbSB dalam penelitian ini telah membentuk minyak sebelum masuk fase setengah matang namun kemudian terhambat diduga karena tidak aktifnya asetil-KoA karboksilase (ACCase) selaku ensim kunci pembentukan asam lemak. Pendugaan tersebut didukung oleh kandungan asetil-KoA yang tinggi dan malonil-KoA yang rendah pada tipe abnormal tersebut (Tabel 4). Buah AbSB tidak berkembang dan selanjutnya membusuk kemungkinan aktivitas ensim ACCase terhambat pada kondisi tersebut. Penghambatan
kematangan
buah
diikuti
dengan
penghambatan
pembentukan minyak pada buah AbSB diduga distimuli oleh poliamin dan tidak tersedianya etilen. Kedua hormon ini mempunyai peranan antagonis dalam tanaman (Kaur-Sawhney et al. 2003). Poliamin menghambat kematangan buah (Kakkar & Rai 1993) sedangkan etilen memacu proses tersebut. Beberapa peneliti mengatakan poliamin dapat menghambat biosintesis etilen, kemungkinan dengan menghalangi
konversi
SAM
menjadi
ACC
(1-aminosiklopropan-1-asam
karboksilat), dan ACC menjadi etilen (Apelbaum et al. 1981 ; Suttle 1981 ; EvenChen 1982 ; Fuhrer 1982). Sebaliknya etilen merupakan inhibitor efektif ensim SAMDC (S-adenosilmetionin dekarboksilase) dan ADC (arginin dekarboksilase) yang adalah ensim kunci dalam lintasan biosintesis poliamin (Apelbaum et al. 1985 ; Icekson et al. 1985).
95
SIMPULAN (1)
Kandungan minyak pada fase buah matang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan buah agak matang. Pola kandungan minyak pada fase buah agak matang pada tiga klon (MK 152, MK 176 dan MK 209) cenderung sama pada buah normal (74.66-77.26%), AbR (77.47-80.85%) dan AbB (73.89-78.62%), dan pada fase buah matang berturut turut 79,9182.16%, 79.30-81.42%, dan 77.62-80.32%.
(2)
Bobot bahan kering mesokarp lebih sedikit pada buah AbR dan AbB (rataan 69.77 % dan 65.57%) dengan kandungan minyak yang tinggi dibandingkan dengan buah normal dengan bobot bahan kering mencapai 74.31%.
(3)
Kandungan minyak yang tinggi pada buah normal (klon MK 152), AbR (klon MK 209) dan AbB (klon MK 176) didukung oleh malonil-KoA yang tinggi (berturut-turut 0.068,
0.069, 0.085 mg/ml) dibandingkan dengan
asetil-KoA (berturut-turut 0.023, 0.036, dan 0.021 mg/ml) pada fase buah agak matang. Namun terjadi sebaliknya pada buah AbSB1 dan AbSB2 (Klon MK 152) dengan kandungan minyak relatif rendah (69.5% dan 61.9%) didukung oleh malonil-KoA yang lebih rendah (0.037 dan 0.022 mg/ml) dibandingkan dengan asetil-KoA (0.087 dan 0.066 mg/ml).
96
BAB V KUANTIFIKASI METILASI SITOSIN DNA GENOM PADA JARINGAN DAUN, BUNGA, DAN BUAH KELAPA SAWIT ABNORMAL
ABSTRAK Abnormalitas pada bunga kelapa sawit hasil kultur jaringan dibuktikan oleh beberapa peneliti berhubungan dengan hipometilasi, suatu fenomena epigenetik. Hipometilasi ini dideteksi pada jaringan kalus dan daun tanaman kelapa sawit sedangkan abnormalitas terjadi pada jaringan bunga. Metilasi sitosin berperan dalam meregulasi ekspresi gen spesifik jaringan. Penelitian bertujuan membuktikan status metilasi sitosin pada jaringan bunga, buah dan daun tanaman normal, menetapkan status metilasi pada tanaman abnormal dari ketiga jaringan, serta mempelajari kecenderungan metilasi DNA dengan tingkat abnormalitas buah. Bahan tanaman berasal dari klon MK 152 dengan tanaman berbuah normal, abnormal ringan (AbR) dan abnormal berat (AbB), serta abnormal sangat berat 1 (AbSB1) tidak berasal dari klon MK 152. Kuantifikasi DNA dengan teknik RP-HPLC (Reverse Phase High Performance Liquid Chromathography). Hasil penelitian pada tanaman normal menunjukkan status metilasi sitosin jaringan bunga lebih rendah dibandingkan jaringan daun dan buah (49.20 vs 53.90 vs 52.27%). Status metilasi sitosin tersebut berubah pada tanaman abnormal yaitu metilasi sitosin pada jaringan bunga cenderung sama dengan jaringan daun dan buah. Umumnya jaringan daun tanaman abnormal mengalami hipometilasi 1.31-4.7%, dan jaringan bunga mengalami hipermetilasi 0.69-2.66% dibandingkan dengan jaringan daun dan bunga tanaman normal. Namun tidak ada perubahan metilasi pada jaringan buah. Tingkat abnormalitas pada buah tidak berhubungan dengan bertambah atau berkurangnya metilasi sitosin. Perubahan status metilasi DNA genom pada jaringan daun dan bunga tidak berhubungan dengan abnormalitas bunga. Kata kunci : kelapa sawit, kultur jaringan, bunga abnormal, tingkat abnormalitas, metilasi sitosin
PENDAHULUAN Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan merupakan alternatif perbanyakan yang lebih menjanjikan karena diperoleh tanaman yang seragam, membutuhkan waktu relatif singkat, bebas patogen dan kelebihan lainnya. Perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan untuk tujuan perbanyakan dimulai tahun 1970, diharapkan melalui teknologi ini dapat memenuhi permintaan bibit. Menurut Lubis (1992) tanaman kelapa sawit hasil perbanyakan dari kultur
97
jaringan menghasilkan jumlah tandan buah lebih banyak,
berat tandan lebih
tinggi dan memerlukan waktu relatif cepat. Namun keberhasilan perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan ini tidak seperti yang diharapkan. Corley et al. (1986) melaporkan proporsi kelapa sawit yang berasal dari embrio somatik memperlihatkan fenotip varian somaklonal yang mempengaruhi struktur bunga pada kedua seks, oleh Hartley (1977) disebut sebagai bunga mantel. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kejadian buah mantel pada kelapa sawit tidak berhubungan dengan variasi pada jumlah DNA nukleus (Rival et al. 1997), bukan karena pengaturan transposon tetapi berhubungan dengan perubahan dalam pola metilasi dari komponen genomik (Kubis et al. 2003), tidak ada perubahan dalam sekuens DNA pada jaringan abnormal yang dideteksi dengan teknik RAPD (Rival et al. 1998). Hasil-hasil tersebut menguatkan hipotesis adanya epigenetik penyebab variasi somaklonal pada kelapa sawit. Perubahan epigenetik adalah
perubahan pada metilasi DNA genom, suatu
fenomena yang berhubungan dengan variasi somaklonal (Kaeppler & Phillips 1993a), tidak melibatkan perubahan dalam sekuens DNA (Bellucci et al. 2002). Perubahan status metilasi DNA merupakan suatu respon terhadap stimuli lingkungan. Contoh perlakuan dingin pada kecambah jagung berakibat pada demetilasi global dari DNA genom akar (Steward et al. 2002), tembakau yang diserang patogen menginduksi demetilasi dari gen tertentu (Wada et al. 2004), konsentrasi auksin (NAA) dan sitokinin dalam media kultur
mempunyai
pengaruh dramatis terhadap timbulnya bunga mantel pada tanaman kelapa sawit (Eeuwens et al. 2002), berhubungan dengan hipometilasi (Jaligot et al. 2000). Hasil-hasil tersebut mengidikasikan bahwa tidak stabil status metilasi DNA pada tanaman, yang secara rutin akan berubah pada keadaan tertentu seperti stress lingkungan (Wada 2005). Perubahan metilasi sitosin pada sekuens CG maupun CNG pada tanaman kemungkinan berhubungan dengan perubahan transkripsi gen yang berperan terhadap perubahan morfologi. Kemungkinan keadaan cekaman selama kultur jaringan dengan konsentrasi auksin yang tinggi diduga mempengaruhi kestabilan status metilasi sitosin di dalam genom kelapa sawit. Perubahan metilasi sitosin berdampak terhadap tidak terekspresi gen-gen tertentu karena hipermetilasi, atau terskpresinya gen-gen yang tidak diinginkan pada
98
jaringan tertentu karena hipometilasi. Hipometilasi dan hipermetilasi juga mempengaruhi kestabilan genom melalui perubahan struktur kromatin. Beberapa peneliti mendapatkan bahwa bunga mantel pada kelapa sawit berhubungan dengan hipometilasi (Jaligot et al. 2000 ; Mathes et al. 2001; Kubis et al. 2003), peneliti yang lain mengatakan karena hipermetilasi (Shah & Ahmed-Parveez 1995). Pada tanaman tingkat tinggi, metilasi DNA umumnya pada sekuens dinukleotida CG maupun trinukleotida CNG (Gruenbaum et al. 1981), berada sepanjang kromosom (Kass et al. 1997). Metilasi DNA dapat mengontrol aktivitas gen dalam jangkauan kecil dengan mempengaruhi promotor dan enhancer, atau jangkauan luas melalui mekanisme global dengan mempengaruhi beberapa gen dalam seluruh kromosom atau genom (Antequera & Bird 1988). Finnegan
et al.
(2001) melaporkan bahwa demetilasi genom (penghilangan kelompok metil DNA genom) secara luas berhubungan dengan proses regulasi perkembangan yang ditempatkan pada jaringan spesifik. Perbedaan nyata tingkat metilasi sitosin diperlihatkan antara tipe jaringan yang berbeda pada tanaman tomat (Messeguer et al. 1991), padi (Xiong et al. 1999) dan mawar (Xu et al. 2004). Menurut Boyes dan Bird (1991) dan Renckens et al. (1992) metilasi dan demetilasi sitosin pada daerah promotor merupakan mekanisme penting mengregulasi ekspresi gen pada sel dan jaringan spesifik. Umumnya penelitianpenelitian tentang metilasi sitosin pada tanaman kelapa sawit berbuah mantel menggunakan DNA yang berasal dari jaringan kalus (Jaligot et al. 2000 ; Jaligot et al. 2002 ; Kubis et al. 2003) dan jaringan daun tanaman dewasa (Jaligot et al. 2000 ; Matthes et al. 2001; Jaligot et al. 2002 ; Jaligot et al. 2004). Jaringan-jaringan tanaman yang digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut tidak berhubungan dengan perubahan morfologi atau jaringan abnormal dari tanaman kelapa sawit. Abnormalitas pada tanaman kelapa sawit terjadi pada organ bunga. Namun seberapa berat keabnormalan pada bunga dan bagaimana status metilasi pada jaringan tersebut menjadi hal yang penting untuk diteliti. Dengan demikian penelitian diarahkan untuk mengetahui status metilasi pada jaringan bunga maupun buah yang berhubungan dengan abnormalitas sebagai suatu fenomena epigenetik.
99
Menurut Bellucci
et al. (2002) metode untuk mengetahui persentase
nukleotida yang termetilasi pada sekuens DNA adalah HPLC. Jaligot et al. (2000) dan Kubis et al. (2003) menggunakan teknik ini membuktikan bahwa metilasi global pada tanaman abnormal lebih rendah dari tanaman normalnya. Shah dan Ahmed-Parveez (1995) menggunakan teknik High Pressure Liquid Chromatography mendapatkan bahwa tingkat 5-metilsitosin lebih tinggi pada klon tanaman yang abnormal dibandingkan dengan tanaman normal. Perbedaan hasil ini menjadi menarik untuk diteliti pada tanaman kelapa sawit dalam penelitian ini. Penelitian bertujuan (1) menetapkan status metilasi DNA pada jaringan daun, bunga dan buah, (2) menganalisis status metilasi pada ketiga jaringan dari tanaman berbunga abnormal, serta hubungannya dengan tingkat abnormalitas pada buah. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan informasi tentang status metilasi DNA pada jaringan tanaman abnormal dan pengaruhnya pada tingkat abnormalitas. BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Penelitian dilaksanakan di SEAMEO BIOTROP Bogor, Tajur dan di Laboratorium Analisis Balai Besar Pasca Panen-Cimanggu Bogor dari bulan Maret 2005 sampai Juni 2007. Bahan tanaman kelapa sawit merupakan koleksi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berumur 11 tahun di Ciampea-Bogor. Dari tujuh klon tanaman koleksi (Klon MK152, MK 176, MK 203, MK163, MK104, MK 212 dan Klon 209) hanya satu klon yang digunakan dalam penelitian ini yaitu klon MK 152 karena mempunyai beberapa tanaman dengan tipe buah berbeda yaitu tanaman berbuah normal (Nml), abnormal berat (AbB) dan abnormal sangat berat 2 (AbSB2). Satu tanaman pinggiran dari klon MK 152 berbuah abnormal sangat berat 1 (AbSB1) digunakan karena mempunyai tipe abnormal yang spesifik, tidak ditemukan pada tujuh klon koleksi. Bahan tanaman yang digunakan adalah bunga, buah dan daun. Bunga diambil dari tandan buah yang masih terbungkus dalam dua lapis seludang (fase 2 penelitian
100
sebelumnya). Buah muda dengan ciri pangkal buah
ke arah bagian tengah
berwarna putih kehijauan sedangkan bagian ujung berwarna ungu gelap. Sedangkan daun diambil dari ubud yang masih muda, berwarna putih dengan tulang daun lunak. Metode Penelitian Persiapan Bahan Tanaman Bahan tanaman diambil dari lapangan meliputi bunga dan buah yang masih tersusun pada spikelet sedangkan daun dalam bentuk ubud, kemudian bahanbahan tersebut dibungkus dengan koran diberi label dan dimasukan dalam plastik secara terpisah. Bahan tanaman langsung dibawa ke laboratorium dan dimasukan ke dalam lemari pendingin. Besok harinya persiapan bunga, buah dan daun untuk kemudian digunakan sebagai bahan untuk isolasi DNA. Bunga dilepaskan dari sipkelet dan daun pelindung terluar kemudian dimasukan ke dalam tabung volume 30 ml yang berisi bufer ekstrasi DNA dengan 1% merkaptoetanol dan disimpan di suhu 4oC. Buah dilepaskan dari daun pelindung terluar, daun pelindung dan perhiasan bunga, kemudian buah dibersihkan dengan tissue. Buah muda tersebut dipotong tipis-tipis dari bagian mesokarp yang berwarna putih kehijauan tanpa bagian tengah buah atau embrio, kemudian dimasukan ke dalam bufer ekstrasi DNA seperti halnya sampel bunga. Sedangkan daun dibersihkan dengan tissue dan digunting memanjang 3 cm dengan diameter 0.5 cm tanpa tulang daun kemudian dimasukan juga dalam bufer. Semua tabung yang berisi sampel diberi label sesuai bahan tanaman dan tingkat abnormal. Bahan tanaman disimpan dalam bufer ekstrasi DNA supaya awet dan siap digunakan. Isolasi DNA Khusus untuk bunga dan buah, sebelum digerus disayat tipis memanjang sesuai bentuk bunga atau buah untuk memudahkan penggerusan. Isolasi DNA berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle 1990) yang dimodifikasi. Sampel bunga atau buah atau daun ditimbang 0.4 g kemudian dimasukan dalam lumpung porselin dengan menambahkan nitrogen cair secukupnya sampai sampel terendam. Pengerusan dilakukan beberapa detik setelah pemberiaan nitrogen cair.
101
Sebelum penambahan kedua kali nitrogen cair diberikan dahulu PVP (PolyvinylPyrrolidone, SIGMA) sebanyak 20 mg. Selama penggerusan sampel tidak boleh kena udara tanpa ada nitrogen cair karena dapat menyebabkan pencokelatan yang akan merusak DNA. Penggerusan dilakukan sampai sampel menjadi tepung berwarna putih dan segera dimasukan ke dalam Eppendorf volume 2 ml yang berisi 1 ml bufer ekstrasi (20 mM EDTA pH 8.0, 100mM HCl pH 8.0, 1.26 % NaCl dan 2% CTAB) dengan 1 % merkaptoetanol. Kemudian divorteks sampai terbentuk suspensi dan dipanaskan di dalam pengangas air (waterbath) suhu 65oC selama 30 menit dengan catatan setiap 10 menit sampel dikeluarkan dan dikocok manual. Setelah proses ekstrasi, sampel dibiarkan dingin pada suhu ruang dan dilanjutkan dengan proses pemurniaan dengan kloroform : isoamilalkohol yang dilakukan sebanyak dua kali. Satu kali volume kloroform : isoamil alkohol (24:1) ditambahkan ke sampel dan divorteks sampai terbentuk suspensi, kemudian disentrifus pada mikrosentrifus dengan kecepatan 11.000 rpm selama 10 menit, supernatan (fase bagian atas) di ambil dengan pipet dan dipindahkan ke Eppendorf baru yang steril. Supernatan dimurnikan lagi dengan kloroform : isoamil alkohol dengan cara yang sama. Supernatan dari hasil pemurniaan kedua ini dipresipitasi dengan menambahkan 1 x volume iospropanol dingin dan dikocok dengan hatihati sampai terbentuk benang-benang DNA, kemudian disimpan pada suhu -20oC satu jam. DNA yang diperoleh dari hasil pemurniaan masih terbungkus dengan lendir atau kontaminan sehingga dilanjutkan dengan pemurniaan tahap kedua menggunakan fenol. Sampel DNA disentrifus pada mikrosentrifus dengan kecepatan 11.000 rpm selama 10 menit kemudian supernatan dibuang sedangkan pelet dilarutkan dengan bufer TE (Tris-EDTA). Larutan DNA dimurnikan lagi dengan 1 x volume fenol : kloroform : isoamil alkohol (25:24:1) divorteks sampai terbentuk suspensi dan disentrifus11.000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dengan pipet dan dipindahkan ke Eppendorf baru volume 2 ml, selanjutnya dimurnikan lagi dengan kloroform : isoamil alkohol (24 :1) dengan cara divorteks kemudian disentrifus 11.000 rpm selama 30 menit. Supernatan dipanen dengan memindahkannya ke Eppendorf baru volume 2 ml dan ditambahkan 1/10 5 M Natrium asetat dan 2.5 volume alkohol absolut (etanol) digoyang dengan hati-hati sampai terbentuk
102
gumpalan transparan putih (DNA), kemudian disimpan pada suhu -20oC selama 1 jam. Sampel DNA tersebut disentrifus 11.000 rpm selama 10 menit, kemudian supernatan dibuang sedangkan pelet (DNA) dibilas dengan 500 µl 70% alkohol. Tahap selanjutnya DNA dikering-anginkan atau divakum selama ±1 jam. DNA yang telah kering dilarutkan dengan 100 µl bufer TE (Tris-EDTA) dan disimpan pada -20oC (Lampiran 6). Tahap pemurniaan ketiga yaitu menghilangkan kontaminan RNA dari DNA. Enzim Ribonuklease A (AppliChem) dipersiapkan dengan konsentrasi 10 mg/ml dan untuk menghilangkan RNA ditambahkan 1µg/µl ke sampel DNA (atau 100 ul DNA dengan 10 ul RNase A) dibiarkan pada suhu 37oC selama 2 jam. DNA yang telah murni disimpan pada suhu -20oC untuk digunakan selanjutnya. Pengujian Kuantitas dan Kualitas DNA DNA hasil purifikasi RNAse A diuji kualitas dan kuantitasnya dengan dua cara yaitu melalui elektroforesis dan pencacahan dengan enzim EcoRI. Pada teknik elektroforesis, 1µl DNA ditambah 4 µl ddH20 dan 1 µl loading dye kemudian dirunning pada 1% gel agarose (AppliChem) pada tegangan 65 volt, arus 100 ampere selama 50 menit, dan sebagai marker digunakan 100 ng/ µl DNA unmethylated lambda (PROMEGA). Selanjutnya gel
direndam dalam
1%
etiumbromida ± 1 jam dan divisualkan pada Gel logic 2000 Imaging System UV dengan software kodak ID 2.6. Kualitas sampel
DNA
menggunakan ensim EcoRI.
dapat
diketahui
dengan mencacahnya
Sampel DNA 500 ng (100 ng/ul) ditambahkan
dengan 1 U EcoRI (FERMENTAS) dalam satu kali kuat bufer restriksi (Tabel 5). Tabel 5. Bahan-bahan untuk satu kali reaksi restriksi ensim EcoRI
103
Umumnya untuk mempermudah pekerjaan dengan jumlah sampel DNA yang banyak maka dibuat master miks sesuai dengan jumlah sampel. Contoh jika 10 sampel maka dibuat master miks untuk 11 reaksi (master miks sebelum ditambahkan ke sampel DNA dispin lebih dahulu), kemudian diambil 20 µl dari master miks dimasukan ke tabung volume 500 µl yang telah berisi 5 ul DNA, kemudian diinkubasi 37oC selama 2 jam. Sepuluh mikroliter sampel DNA yang telah dicacah dengan ensim EcoRI ditambahkan dengan 2 µl loading dye dan dirunning pada 1.4% gel agarosa (AppliChem) pada tegangan listrik 70 volt, arus 100 ampere selama 1 jam 30 menit, kemudian gel agarosa direndam dalam 1% etiumbromida selama 1 jam dan divisualisasi pada gel logic 2000 imaging system UV dengan software kodak ID 2.6. Kuantifikasi Metil-Sitosin DNA Genom dengan Teknik RP-HPLC DNA yang telah murni dipreparasi
untuk mendapatkan nukleosida
menggunakan metode Kubis et al. (2003). Sampel DNA dilarutkan dengan ddH2O steril (50 ng/µl) volume 100 µl dipanaskan dalam air mendidih selama 2 menit kemudian didinginkan segera pada es. Sampel DNA yang telah didenaturasi ditambahkan dengan 5 µl 10 mM ZnSO4 dan 2 µl Nuklease S1 (1U/ul) (SIGMA), dicampur secara manual dan dispin 30 detik kecepatan 5000 rpm, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC nukloetida ditambahkan
dalam pengangas air selama 16 jam. Sampel
dengan 10 µl 0.5M Tris-HCl pH 8.3 dan 1.5 µl ensim
alkaline fosfatase (1U/ µl ), dicampur secara manual kemudian diinkubasi 37oC dalam pengangas air selama 2 jam (Lampiran 7). Sampel nukleosida disentrifus 11.000 rpm pada suhu ruang selama 10 menit kemudian supernatan diambil dengan hati-hati untuk menghindari terikutnya kontaminan yang mengendap. Tahap selanjutnya sampel nukleosida diukur dengan teknik RP-HPLC. Dua puluh mikroliter sampel nukleosida disuntik ke kolum superkosil C-18 pada Waters automatic HPLC yang dilengkapi dengan detektor UV panjang gelombang 254 nm. Elusi dilakukan dalam fase gerak 0.05 M NH4H2PO4, 8% metanol pH 4.2 dengan kecepatan aliran 1 ml/ menit pada suhu ruang. Nukleosida tunggal
standar yang digunakan adalah 5’metil-sitidin (SIGMA) dan sitidin
(SIGMA) dengan konsentrasi masing-masing 100 ppm. Puncak nukleosida
104
tunggal standar dipakai selanjutnya untuk kuantifikasi kandungan sitidin dan metilsitidin dengan rumus : Luas Area Sampel Luas Area Standar Persentase
X Konsentrasi Standar
kandungan 5’metil-sitidin dari DNA genom kelapa sawit (5mC)
dihitung dengan rumus : ( 5’mC/ [5’mC + 5’C] ) x 100 % ( Bochardt et al. 1992 ; Kubis et al. (2003). HASIL DAN PEMBAHASAN Kuantitas dan Kualitas DNA Kualitas dan kuantitas DNA sangat penting dalam melakukan suatu penelitian molekuler sehingga diperlukan metode isolasi dan pemurniaan DNA yang tepat. DNA yang murni menunjukkan bahwa semua kontaminan dari sel telah bersih melalui serangkaian perlakuan dengan metode CTAB. Bahan-bahan yang digunakan dalam metode tersebut meliputi CTAB, NaCl, EDTA dan TrisHCl, kemudian pemurniaan dengan kloroform-isoamilalkohol dan fenolkloroform-isoamilalkohol
serta melalui tahap perlakuan fisik
diharapkan
diperoleh asam nukleat yang murni karena telah bersih dari debris sel dan kontaminan sel yang lain. Selain itu, digunakan PVP dan merkaptoetanol sebagai antioksidan supaya asam nukleat tidak teroksidasi selama proses ekstrasi.
Gambar 25. Penampilan DNA hasil elektroforesis dari jaringan daun, bunga dan buah. M (marker DNA), N (normal), AB (abnormal berat), SB1 (abnormal sangat berat 1), SB2 (abnormal sangat berat 2)
105
Gambar 26. Penampilan sampel DNA yang tidak dicacah dan dicacah dengan ensim EcoRI dari jaringan daun, bunga dan buah. Kolom pertama menunjukkan DNA yang belum dicacah sedangkan kolom kedua menunjuk DNA telah dicacah pada tiap tingkat abnormalitas berbeda. N (normal), AB (abnormal berat), SB1 (abnormal sangat berat 1), SB2 (abnormal sangat berat 2) Penelitian untuk mengkuantifikasi nukleosida memerlukan DNA yang murni sehingga dapat dicacah oleh ensim eksonuklease (Nuklease S1) menjadi nukleotida tunggal. Pemurniaan dengan RNAse untuk mendegradasi RNA supaya diperoleh molekul DNA yang tidak terkontaminasi oleh RNA. Pendeteksian kuantitas dan kemurniaan DNA yang telah diisolasi dilakukan melalui elektroforesis yang divisualisasi dengan sinar UV. Sedangkan Kuantitas DNA diperkirakan berdasarkan konsentrasi marker DNA. Nampak konsentrasi DNA sampel daun, bunga dan buah berada pada konsentrasi 100 ng/ul seperti halnya marker DNA (Gambar 25). Ciri DNA yang murni atau tidak terdapat kontaminan adalah DNA dapat bermigrasi melalui pori-pori agarosa dalam bufer dengan arus listrik tertentu, tidak tertinggal pada sumur dan berada pada posisi sama dengan marker DNA (M), serta dapat dicacah oleh ensim nuklease. Pengujian kemurniaan (kualitas) DNA juga dapat dideteksi dengan mencacah DNA dengan ensim restriksi EcoRI. Nampak bahwa sampel DNA dari jaringan daun, bunga dan buah dapat dicacah oleh ensim EcoRI (Gambar 26) melalui penampilan smer DNA atau fragmen
DNA
menyebar
kontinyu
dari
ukuran
besar
sampai
kecil,
mengindikasikan bahwa tidak ada kontaminan yang menghalangi aktivitas ensim EcoRI.
106
Status Metilasi Sitosin Pada Beberapa Jaringan Tanaman Berbunga Normal Kelapa sawit hasil perbanyakan kultur jaringan pada tingkat plantlet sampai umur reproduktif tidak memperlihatkan abnormalitas pada semua jaringan tanaman. Abnormalitas dapat diamati pada fase reproduktif yaitu saat tanaman menghasilkan bunga. Hasil penelitian sebelumnya didapatkan bahwa terdapat lima karakteristik buah dari tanaman hasil kultur jaringan yaitu normal, abnormal ringan (AbR), abnormal berat (AbB), abnormal sangat berat 1 (AbSB1)
dan
abnormal sangat berat 2 (AbSB2). Selain itu diperoleh bahwa abnormalitas pada tingkat buah adalah perkembangan lanjut dari abnormal pada tingkat bunga. Bunga mantel merupakan istilah untuk bunga yang mengalami penambahan karpel tambahan. Dalam penelitian ini bunga mantel disebut sebagai bunga abnormal. Banyak penelitian membuktikan bahwa bunga abnormal tersebut sebagai akibat penurunan metilasi DNA genom pada basa sitosin (C). Hasil penelitian dengan teknik HPLC memperlihatkan pola kurva yang tidak signifikan antara kandungan 5-metilsitidin (5-mC) dengan sitidin (C) pada DNA genom tiap tanaman (Lampiran 8), demikian juga antara jaringan daun, bunga dan buah. Berbagai penelitian mengungkapkan ekspresi gen pada jaringan spesifik diregulasi oleh kejadian metilasi DNA. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada perbedaan pola metilasi antara jaringan daun, bunga dan buah pada tanaman berbuah normal. DNA dari jaringan daun mempunyai tingkat metilasi sitosin (53.90 %) lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan bunga dan buah (Gambar 60
5-mC (%)
50
53.90
49.20
52.27
40 30 20 10 0
Daun Bunga Buah Tipe Jaringan Tanaman Normal
Gambar 27. Pola kandungan metil sitosin (5-mC) pada tanaman berbunga normal pada jaringan daun, bunga dan buah
107
27 & Lampiran 9). Hasil penelitian Jaligot et al. (2000) memperlihatkan tingkat metilasi pada daun tanaman normal kelapa sawit 22%. Tingkat metilasi sitosin yang tinggi dalam penelitian
ini
kemungkinan
karena
perbedaan ensim
eksonuklease dan kolum HPLC yang digunakan. Kemungkinan lain adalah penggunaan zat pengatur tumbuh pada saat kultur jaringan. Hasil penelitian Lo Shiavo et al. (1989) pada wortel menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara auksin yang ditambahkan dengan meningkatnya metilasi sitosin lebih dari 70%. Pada tanaman normal, status metilasi sitosin jaringan bunga (49.20%) lebih rendah dibandingkan jaringan daun (53.90%) yaitu terjadi penurunan persentase metilasi sekitar 4.7% (Gambar 27) atau adanya hipometilasi pada jaringan bunga betina. Hal ini mengindikasikan pelepasan kelompok metil dari sitosin berhubungan dengan ekpresi gen-gen yang meregulasi perkembangan bunga tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Finnegan et al. (2001) bahwa demetilasi genom secara luas mempunyai efek pleiotropik terhadap regulasi proses perkembangan yang ditempatkan pada jaringan spesifik atau tahap perkembangan pada tanaman. Sebagian besar hipotesis mengatakan bahwa pola metilasi yang terbentuk selama perkembangan akan mengalami demetilasi pada jaringan spesifik dimana kelompok metil dilepaskan dari tempat kritis dari suatu gen yang telah dijadwalkan terekspresi pada tipe sel tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Gardner et al. (1991) bahwa pada perkembangan awal sel embrio, sebagian besar gen termetilasi kemudian diferensiasi sel membentuk jaringan spesifik terjadi penghilangan kelompok metil pada basa sitosin (demetilasi) menyebabkan gen-gen terkespresi pada jaringan tersebut. Metilasi sitosin pada nukleotida CG dan CNG ditemukan dalam frekuensi sepanjang kromosom dan bertindak untuk meregulasi ekspresi gen yang terjadi pada level gen atau secara regional yang mempengaruhi daerah kromosom (Bird 1986). Tingkat metilasi pada jaringan buah (52.27%) signifikan meningkat 3.07% dibandingkan dengan jaringan bunga atau terjadi penurunan 1.63 % dibandingkan dengan jaringan daun (Gambar 27 & Lampiran 9). Kemungkinan yang terjadi adalah ekspresi gen yang berhubungan dengan perkembangan bunga telah mengalami switch off sedangkan regulasi perkembangan ovari tidak melibatkan banyak gen. Hal ini karena DNA diambil dari mesokarp buah fase muda yang
108
merupakan ovari tanpa terikut embrio atau sitoplasma. Jaringan mesokarp buah adalah perkembangan lanjut dari karpel bunga sebagai akibat penyerbukan dan pembuahan seksual. Seperti yang dikemukakan oleh Bouman (1984) bahwa pada sebagian besar bunga, ovari matang selama perkembangan bunga dan ovul terbentuk sempurna terutama dengan penyerbukan dan siap untuk difertilisasi. Sebaliknya kematangan ovari pada beberapa bunga dan diferensiasi ovul distimuli oleh penyerbukan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa perubahan metilasi berhubungan dengan tipe jaringan tertentu. Xiong et al. (1999) pada tanaman padi hibrida dengan
teknik
MSAP
(Methylation
Sensitive
Amplified
Polymorphic)
memperlihatkan sitosin termetilasi lebih tinggi pada DNA jaringan kecambah dibandingkan dengan daun. Dibuktikan oleh Xu et al. (2004) pada tanaman mawar hibrida bahwa sitosin dari DNA jaringan pucuk (shoot) lebih banyak termetilasi melalui sedikitnya pita MSAP yang dihasilkan dibandingkan dengan jaringan daun. Hasil dalam penelitian ini membuktikan juga bahwa status metilasi pada
jaringan
daun
berbeda
dengan
jaringan
bunga.
Hasil-hasil
ini
mengindikasikan bahwa perkembangan atau pembentukan jaringan tertentu diregulasi oleh metilasi DNA. Seperti yang dikemukakan oleh Finnegan et al. (1998) bahwa terjadi perubahan pola metilasi terutama selama differensiasi organ dan sepanjang proses penuaan suatu jaringan. Pola Metilasi Sitosin pada Beberapa Jaringan Tanaman Abnormal dengan Beberapa Tingkat Abnormalitas Buah Status Metilasi Pada Jaringan Daun Kelapa sawit hasil perbanyakan dari kultur jaringan memperlihatkan keragaman dalam tingkat keabnormalan buah. Banyak penelitian mengungkapkan bahwa buah abnormal pada kelapa sawit merupakan akibat proses kultur jaringan (Corley 1986; Fatmawati et al. 1997; Tregear et al. 2002). Kaeppler dan Phillips (1993b) mengatakan bahwa perubahan metilasi terjadi dalam frekuensi yang cukup tinggi merupakan sumber penting variasi yang diinduksi kultur jaringan. Dikatakan juga bahwa variasi metilasi muncul lebih sering dibandingkan dengan variasi pada sekuens DNA.
109
70 60
53.9
49.89
51.34
52.59
5-mC (%)
50 40 30 20 10 0
a
Normal
AbB AbSB2 AbSB1 Tingkat Abnormalitas
70
5-mC (%)
60
49.20
51.86
51.41
49.89
50 40 30 20 10 0
b
Normal
AbB AbSB2 Tingkat Abnormalitas
AbSB1
70
5-mC (%)
60
52.27
52.86
52.70
AbB AbSB2 Tingkat Abnormalitas
AbSB1
51.78
50 40 30 20 10 0
c
Normal
Gambar 28.Pola kandungan metil sitosin (5-mC) beberapa tingkat abnormalitas pada beberapa tipe jaringan tanaman. (a) jaringan daun, (b) jaringan bunga, (c) jaringan buah.. AbB (Abnormal berat), AbSB2 (Abnormal sangat berat 2) dan AbSB1 (Abnormal sangat berat 1)
110
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sedikit keragaman tingkat metilasi sitosin DNA genom dengan tingkat abnormalitas dan tipe jaringan tanaman. Metilasi sitosin pada jaringan daun dari semua tanaman abnormal lebih rendah 1.31-4.01% dibandingkan dengan tanaman normal (Gambar 28a & Lampiran 9). Ini menunjukkan bahwa terjadi hipometilasi ( penurunan metilasi sitosin) pada tanaman abnormal meskipun dengan persentase yang relatif kecil. Jaligot et al. (2000) juga mendapatkan bahwa metilasi sitosin
menurun
4.5 % pada kalus pertumbuhan cepat (FGC) yang menghasilkan 100% tanaman berbunga mantel dibandingkan dengan kalus nodular kompak (NCC) yang menghasilkan 5% mantel, sedangkan metilasi sitosin dari jaringan daun tanaman dewasa yang abnormal mengalami penurunan 0.5-2.5% dibandingkan dengan tanaman normalnya. Didapatkan adanya hipometilasi pada
DNA
daun
dari
tanaman
1.6% (20.6% vs 22.2%) berbunga
mantel
berat
(http://www.actahort.org/books/530l/530_52.html), demikian juga jaringan kalus memperlihatkan hipometilasi 4.6% pada kalus FGC dibandingkan dengan NCC. Kubis et al. (2003) dengan menggunakan DNA dari jaringan daun mendapatkan bahwa kandungan metilasi sitosin pada tanaman abnormal sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tetua. Matthes et al. (2001) menggunakan DNA dari jaringan daun dengan teknik methylation-sensitive AFLP membuktikan bahwa sedikit penurunan kejadian metilasi pada situs CCGG yang terjadi selama kultur jaringan kelapa sawit. Hasil-hasil penelitian yang diuraikan tersebut membuktikan bahwa adanya hipometilasi pada tanaman abnormal yang diidentifikasi pada jaringan kalus dan daun. Namun Shah dan Ahmed-Parveez (1995) mendapatkan hasil yang berbeda yaitu adanya fenomena hipermetilasi pada tanaman kelapa sawit berbunga mantel dibandingkan dengan tanaman berbunga normal. Penelitian-penelitian untuk mengungkapkan adanya perubahan status metilasi DNA pada tanaman berbunga mantel memberikan hasil yang berbeda, dengan pembuktiaan adanya fenomena hipermetilasi dan hipometilasi meskipun menggunakan DNA dari jaringan kalus dan daun dari tanaman berbunga mantel (abnormal). Hasil-hasil ini mengindikasikan bahwa fenomena metilasi sebagai penyebab tanaman mantel tidak stabil, diduga bergantung pada zat pengatur tumbuh yang digunakan khususnya konsentrasi auksin dan sitokinin (Eeuwens et
111
al. 2002), lamanya waktu kultur (Corley et al. 1986; Paranjothy et al. 1993), serta tahap spesifik dari perkembangan awal plantlet (Zluvova et al. 2001). Kinetin telah menunjukkan penyebab ekstensif hipometilasi DNA pada proliferasi kultur eksplan akar wortel (Arnholdt-Schmitt et al. 1991), dan auksin (NAA) mempunyai pengaruh berlawanan yaitu sebagai penyebab hipermetilasi (LoSchiavo et al. 1989). Seperti yang dikemukakan oleh Phillips et al. (1994) bahwa pada kultur jaringan tanaman dapat terjadi hipermetilasi atau hipometilasi bergantung pada lingkungan tumbuhnya. Status Metilasi Pada Jaringan Bunga Status metilasi sitosin jaringan bunga mengalami perubahan pada tanaman yang abnormal dibandingkan dengan normalnya, terutama pada AbB dan AbSB2 meskipun ketiga tanaman ini berasal dari klon yang sama. Terjadi peningkatan metilasi sitosin 0.69-2.66% atau adanya fenomena hipermetilasi pada jaringan tanaman berbunga abnormal (Gambar 28b & Lampiran 9) dibandingkan dengan normal. Sitosin termetilasi berhubungan dengan penekanan ekspresi gen pada jaringan spesifik. Metilasi (hipermetilasi) dan demetilasi (hipometilasi) sitosin pada daerah promotor merupakan mekanisme penting meregulasi ekspresi gen pada sel dan jaringan spesifik (Boyes & Bird 1991 ; Renckens et al. 1992). Perubahan metilasi di dalam DNA genom secara tidak alami menyebabkan ketidakstabilan genom. Hipometilasi memberi pengertiaan terlepasnya metil dari basa sitosin dan apabila terjadi pada daerah promotor maka gen-gen
akan
terekspresi, yang secara alami tidak seharusnya terekspresi. Hipermetilasi memberi pengertian terikatnya metil pada basa sitosin dan apabila terjadi pada daerah promotor maka gen tersebut tidak terekspresi. Perubahan metilasi pada DNA genom juga berdampak global pada perubahan struktur kromosom yang melibatkan banyak gen. Penelitian ini mendapat suatu fenomena yang menarik bahwa hipometilasi pada jaringan daun tidak menunjukkan keabnormalan pada jaringan tersebut. Demikian juga hipermetilasi pada jaringan bunga tidak berdampak pada perubahan organ lain dari bunga atau perubahan morfologi tanaman lainnya. Kenyataan hanya staminodes/stamen pada bunga betina dan bunga jantan dari tanaman yang sama terinduksi menjadi karpel. Bahkan hipermetilasi yang hanya
112
0.69% pada AbSB2 menunjuk pada morfologi bunga abnormal yang sama dengan hipermetilasi 2.66% pada AbB. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan status metilasi sitosin tidak berhubungan dengan abnormalitas pada bunga atau pada gen-gen yang meregulasi pembentukan organ bunga. Razin dan Cedar (1994) mengatakan bahwa metilasi sitosin berperan krusial dalam mengontrol perkembangan pada tanaman, dan kekacuan pola metilasi sering berperan terhadap perkembangan abnormal. Ditemukan kelapa sawit berbunga abnormal mempunyai penampilan batang lebih besar, tanaman lebih tinggi, pelepah daun lebih lebar serta lambat berbunga dibandingkan dengan tanaman normal. Diduga perubahan metilasi pada tanaman kelapa sawit berbuah mantel mempengaruhi proses fisiologi tanaman tersebut. Kakutani et al. (1995) mendapatkan reduksi metilasi sitosin 30 % pada mutan ddm1 Arabidopsis thaliana memperlihatkan perubahan pada bentuk daun, meningkatnya jumlah daun dan terlambatnya waktu pembungaan. Tanaman Arabidopsis yang ditransformasi dengan antisense cDNA metiltransferase mengalami reduksi metilasi sitosin diatas 90% memperlihatkan sejumlah fenotip dan perkembangan abnormal meliputi menurunnya dominansi apikal, ukuran tanaman lebih kecil, ukuran dan bentuk daun berubah, fertilitas menurun dan berubah waktu pembungaan (Finnegan et al. 1996). Perubahan metilasi sitosin pada tanaman kelapa sawit sangat rendah dibandingkan dengan kedua kasus Arabidopsis di atas namun perkembangan abnormal yang sama antara kedua tanaman ini adalah lambat berbunga. Nampak bahwa kelapa sawit yang mengalami hipometilasi pada daun (1-4%) dan hipermetilasi pada bunga (0.69-2.66%) dari tanaman berbunga abnormal memperlihatkan perkembangan abnormal, diduga terjadi perubahan fisiologi yang berhubungan dengan metabolik-metabolik tertentu pada lintasan biokimia yang diregulasi oleh S-adenosilmetionine (SAM). SAM berperan sebagai donor metil pada DNA, sebagai donor aminopropil untuk biosintesis poliamin dan sebagai prekursor untuk biosintesis etilen. Status metilasi jaringan bunga lebih rendah 4.7% dibandingkan dengan jaringan daun pada tanaman normal, dihubungkan dengan gen-gen yang terekspresi spesifik untuk jaringan tersebut melalui terlepasnya kelompok metil
113
dari sitosin. Namun terjadi peningkatan metilasi 0.07-1.97% pada jaringan bunga tanaman abnormal terutama AbB dan AbSB2 (berasal dari klon MK 152) dibandingkan dengan jaringan daun (Lampiran 9). Sedangkan pada AbSB1 (bukan dari klon MK 152) menunjukkan penurunan 2.7%. Hasil ini juga memperlihatkan adanya perbedaan pola metilasi dari klon berbeda namun menunjukkan karakteristik abnormal bunga yang sama. Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa setiap perubahan metilasi sitosin pada suatu jaringan yang distimulasi oleh lingkungan
tidak selalu
berhubungan dengan aktif atau inaktif ekspresi gen-gen pada jaringan tersebut. Metilasi pada sitosin dapat terjadi pada daerah yang berhubungan dengan daerah promotor suatu gen tetapi juga pada daerah heterokromatin yang tidak ditranskripsi. Seperti yang dikemukakan oleh Bird (1986) bahwa metilasi sitosin pada nukelotida CG dan CNG meregulasi ekspresi gen pada tingkat gen atau secara regional mempengaruhi daerah kromosom. Fungsi metilasi regional tersebut berfungsi menginaktif heterokromatin dan elemen pada atau dekat heterokromatin, sehingga frekuensi metilasi pada daerah heterokromatin lebih besar dibandingkan dengan daerah eukromatin. Kemungkinan perubahan metilasi terjadi pada daerah heterokromatin atau pada daerah suatu gen yang tidak berhubungan dengan organ bunga kelapa sawit. Jaligot et al. (2004) membuktikan bahwa situs CG kurang dipengaruhi dengan menurunnya metilasi DNA global yang sebelumnya dihubungkan dengan fenomena bunga mantel. Hal yang sama dibuktikan juga oleh Jaligot et al. (2002) dengan teknik methylation-sensitive RFLP menggunakan DNA jaringan daun dan rangkaian bunga dari tanaman abnormal yang sama, dan Matthes et al. (2001) menggunakan jaringan daun dengan teknik MSAP (Methylation-Sensitive Amplyfied Polymorphic). Menurut Jaligot et al. (2004) penentuan metilasi DNA genom tidak cukup untuk membedakan antara jaringan normal dan abnormal sehingga perlu sekuens target spesifik yang pola metilasinya berhubungan dengan abnormalitas bunga (bunga mantel). Namun Phillips et al. (1994) mengatakan bahwa perubahan pola metilasi pada tanaman kultur jaringan tidak terbatas pada macam sekuens DNA spesifik. Seperti dikemukakan oleh Matthes et al. (2001) bahwa status metilasi dapat dideteksi pada sekuens spesifik namun tidak diperoleh
114
polimorfis tunggal yang konsisten berbeda antara klon normal dan abnormal pada tanaman kelapa sawit. Menurut Ng dan Bird (1999) metilasi sendiri sering tidak cukup untuk menghalangi transkripsi, tetapi perubahan bentuk kromatin pada sekuens termetilasi sebagai penyebab inaktif transkripsi. Hipometilasi DNA menginduksi aktivasi transposon dalam genom yang dapat menyebabkan perubahan struktur kromosom dan perubahan ekspresi gen. Selain itu dalam pembelahan sel, daerah heterokromatin yang sangat kompak pengepakannya terlambat memisah pada anafase dalam siklus sel yang dipercepat selama kultur jaringan sebagai penyebab patahnya kromosom, diikuti dengan pengaturan kembali. Status Metilasi Pada Jaringan Buah Ada suatu kecenderungan kemiripan kandungan metilasi sitosin DNA dari jaringan buah (mesokarp) pada buah normal maupun abnormal (51.78-52.86 %) (Gambar 28c & Lampiran 9). Hasil ini menunjukkan bahwa keabnormalan pada tingkat buah adalah perkembangan lanjut dari keabnormalan pada tingkat bunga. Penyerbukan menstimuli pembesaran ovari dan ovari berkembang sejalan dengan perkembangan embrio. Hasil penelitian pada morfologi buah, didapatkan morfologi buah AbSB1 dan AbSB2 sangat berbeda dengan buah normal dan AbB. Karakteristik buah AbB yaitu karpel tambahan terpisah satu dengan yang lain dan juga terpisah dari karpel utama sampai seperdua dari bagian buah kemudian bersatu dengan karpel utama. Ciri buah AbSB1 yaitu karpel tambahan saling terpisah dan juga terpisah dari karpel utama sampai pangkal buah, sedangkan AbSB2 karpel tambahan sangat jelas terpisah tetapi menyatu dengan karpel utama dengan mesokarp berkayu. Hasil penelitian kandungan metilasi sitosin pada buah nampak tidak berhubungan dengan tingkat keabnormalan tersebut atau semakin abnormalnya buah tidak sejalan dengan semakin menurun atau meningkatnya metilasi DNA. Demikian juga karakteristik keadaan mesokarp pada buah AbSB tidak berhubungan dengan perubahan metilasi DNA pada jaringan tanaman tersebut.
115
SIMPULAN (1)
Pada tanaman normal, status metilasi sitosin DNA genom spesifik dengan jaringan. Sitosin termetilasi pada jaringan bunga lebih rendah (49.20%) dibandingkan dengan jaringan daun dan buah (53.90% dan 52.27%).
(2)
Pada tanaman berbunga abnormal, terjadi hipometilasi pada jaringan daun (1.31-4.01%) dan hipermetilasi pada jaringan bunga (0.69-2.66% ) jika dibandingkan dengan jaringan pada tanaman normal. Namun tidak ada perubahan metilasi pada jaringan buah.
(3)
Perubahan status metilasi yang terjadi pada jaringan daun dan bunga tidak berhubungan dengan abnormalitas pada jaringan bunga.
(4)
Tingkat abnormal pada bunga dan
buah tidak berhubungan dengan
bertambah atau berkurangnya metilasi DNA genom.
116
BAB VI PENDETEKSIAN PERUBAHAN SEKUENS DNA PADA KELAPA SAWIT ABNORMAL DENGAN TEKNIK RAPD
ABSTRAK Jaringan daun kelapa sawit hasil kultur jaringan dibuktikan mengalami hipometilasi, sedangkan jaringan bunga megalami hipermetilasi. Perubahan sekuens DNA genom dapat berdampak pada ketidakstabilan genom melalui aktivitas elemen transposon dan perubahan struktur kromosom. Penelitian bertujuan menguraikan keragaman genetik antara tanaman dengan tingkat abnormalitas berbeda dalam klon yang sama, serta mendapatkan pita berbeda pada masing-masing tanaman. Bahan tanaman berasal dari klon MK 152 dengan tanaman berbuah normal, abnormal berat (AbB) dan abnormal sangat berat 2 (AbSB2 atau AS2). Deteksi perubahan DNA genom dengan teknik Random Amplified polymorphic DNA (RAPD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima primer (OPC-08, OPD15, W-15, OPC-09 dan SC10-19) dapat mengamplifikasi pola pita polimorfis. Primer OPC-08 dapat membedakan tanaman berbunga normal dan abnormal melalui satu pita berbeda pada tanaman normal berukuran 800-1000 bp. Beberapa pita DNA berbeda terdeteksi oleh empat primer lain pada tanaman berbunga normal, AbB dan SB2 namun pita-pita tersebut tidak konsisten untuk menunjuk pada keabnormalan bunga. Perubahan genetik terjadi diantara tanaman yang berasal dari klon yang sama. Kata kunci : kelapa sawit, kultur jaringan, bunga abnormal, sekuens DNA, metilasi DNA, RAPD
PENDAHULUAN Penyediaan bibit dalam jumlah banyak dengan waktu relatif cepat, seragam serta bebas patogen merupakan ciri dari perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Kelebihan tersebut menjadi dasar untuk penyediaan bibit unggul kelapa sawit melalui kultur jaringan. Menurut Rival et al. (1996) perbanyakan mikro in vitro yang didasarkan pada embriogenesis somatik telah menghasilkan genotipgenotip kelapa sawit elit selama beberapa tahun. Namun Corley et al. (1986) mengungkapkan proporsi kelapa sawit yang berasal dari embrio somatik memperlihatkan fenotip varian somaklon mantel.
117
Lingkungan kultur jaringan menyebabkan gangguan kontrol seluler yang berperan terhadap sejumlah perubahan genomik yang ada pada tanaman kultur jaringan (Phillips et al. 1994). Konsentrasi auksin (NAA) dan sitokinin dalam media kultur mempunyai pengaruh dramatis terhadap timbulnya bunga mantel pada tanaman kelapa sawit (Eeuwens et al. 2002). Induksi embriogenesis somatik pada kelapa sawit menggunakan auksin 2,4-D (2,4-diclorophenoxyacetic acid) dengan konsentrasi sangat tinggi dapat menyebabkan perubahan metilasi. Kinetin telah menunjukkan penyebab ekstensif hipometilasi DNA pada proliferasi kultur eksplan akar wortel (Arnholdt-Schmitt et al. 1991), dan NAA (I-naphthaleneacetic acid) mempunyai pengaruh berlawanan sebagai penyebab hipermetilasi (LoSchiavo et al. 1989). Leroy dan Branchard (2000) mengatakan
bahwa perubahan kromosom
terjadi dengan frekuensi yang tinggi pada tahap awal kalus atau kultur sel cair sebagai penyebab abnormalitas. Beberapa
penelitian yang mengungkapkan
bahwa terjadi hipometilasi DNA pada tanaman kelapa sawit berhubungan dengan bunga mantel (Jaligot et al. 2000; Matthes et al. 2001; Kubis et al. 2003). Menurut Costello et al. (2001) hipometilasi domain kromosom spesifik berhubungan dengan ketidakstabilan kromosom yang berkontribusi pada kekacauan domain kromosom dan atau efek dosis gen abnormal akibat kehilangan atau pertambahan fragmen kromosom. Replikasi sekuens heterokromatin tidak lengkap pada pembelahan, berperan untuk jembatan anafase dan selanjutnya pematahan kromosom (Kaeppler et al. 2000). Pematahan kromosom tanpa penyatuan dari fragmen yang patah berperan untuk delesi segmen kromosom, pematahan kromosom diikuti dengan penyatuan ujung yang patah berperan untuk translokasi, inversi, duplikasi dan delesi (Phillips et al. 1994). Tanaman-tanaman kelapa sawit hasil perbanyakan dari kultur jaringan kemungkinan mengalami perubahan sekuens DNA akibat proses kultur. Berdasarkan pada uraian di atas maka diduga perubahan metilasi DNA genom dapat berakibat pada perubahan sekuens DNA dari tanaman kelapa sawit. Hasil penelitian sebelumnya dengan teknik RP-HPLC diperoleh bahwa perubahan metilasi pada jaringan daun dan jaringan bunga tidak berdampak langsung terhadap
abnormalitas
bunga.
Kemungkinan
perubahan
metilasi
dapat
118
menyebabkan perubahan sekuens DNA atau mutasi pada tanaman kelapa sawit abnormal. Perubahan status metilasi selain berpengaruh pada tingkat gen, juga secara global pada tingkat kromosom yang akan menghasilkan pola pita DNA yang berbeda. Salah satu teknik molekuler yang dapat mendeteksi perbedaan pada struktur gen maupun kromosom adalah RAPD. Teknik ini meskipun memiliki keterbatasan namun dapat digunakan untuk menunjukkan polimorfis pada pola pita DNA dengan menggunakan primer acak maupun spesifik. Analisis RAPD digunakan secara luas untuk pemetaan genetik, studi taksonomi dan filogenetik beberapa organisme. Gaafar dan Saker ( 2006) mengatakan bahwa teknik RAPD efektif dengan memperlihatkan pola pita yang spesifik pada genotip strawberry hasil perbanyakan mikro sehingga dapat digunakan untuk identifikasi kultivar. Penelitian ini bertujuan (1) menguraikan keragaman genetik antara tanaman dengan tingkat abnormal berbeda dalam klon yang sama, dan (2) mendapatkan pita berbeda antara tanaman berbuah normal dan abnormal. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan informasi tentang perubahan sekuens DNA genom kelapa sawit hasil kultur jaringan dalam hubungan dengan morfologi bunga abnormal. BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Penelitian dilaksanakan di SEAMEO BIOTROP Bogor dari bulan Maret 2005 sampai Juni 2007. Bahan tanaman kelapa sawit merupakan koleksi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berumur 11 tahun di CiampeaBogor. Tanaman yang digunakan berasal dari klon MK 152 karena mempunyai beberapa tanaman dengan tipe buah berbeda yaitu tanaman berbuah normal (Nml), abnormal berat (AbB) dan abnormal sangat berat 2 (AbSB2). Bahan tanaman yang digunakan adalah bunga, buah dan daun. Bunga diambil dari tandan buah yang masih terbungkus dalam dua lapis seludang (fase 2 penelitian sebelumnya). Buah muda dengan ciri pangkal buah
ke arah bagian tengah
berwarna putih kehijauan sedangkan bagian ujung buah berwarna ungu gelap.
119
Sedangkan daun diambil dari ubud yang masih muda, berwarna putih dengan tulang daun lunak. Metode Penelitian Persiapan Bahan Tanaman dan Isolasi DNA Bahan tanaman diambil dari lapangan meliputi bunga dan buah yang masih tersusun pada spikelet sedangkan daun dalam bentuk ubud, kemudian bahanbahan tersebut dibungkus dengan koran diberi label dan dimasukan dalam plastik secara terpisah. Persiapan bahan tanaman selanjutnya untuk keperluan isolasi DNA seperti pada BAB V (halaman 81), demikian juga metode isolasi DNA dari jaringan daun, bunga dan buah (halaman 81). Amplifikasi DNA dengan Teknik RAPD Berdasarkan PCR Konsentrasi
sampel
DNA
yang
akan
digunakan
diukur
melalui
elektroforesis yaitu 1µl DNA ditambah 4 µl ddH20 dan 1 µl loadying dye, dirunning pada 1% gel agarose (BIORON) pada tegangan 65 volt, arus 100 ampere selama 50 menit, dan sebagai marker digunakan 100 ng/µl 1 kb marker DNA (RBC). Selanjutnya gel agarose direndam dalam 1% etiumbromide ± 1 jam dan divisualkan pada Gel logic 2000 Imaging System UV dengan software kodak ID 2.6. Sampel DNA dengan konsentrasi 5 ng/ul (DNA dilarutkan dengan ddH2O steril) digunakan dalam reaksi Polymerase Chain Reaction (PCR). Berdasarkan optimasi diperoleh 15 ng DNA lebih baik dari 25 ng dengan reaksi PCR volume akhir 25 µl (Tabel 6). Umumnya untuk mempermudah pekerjaan Tabel 6. Bahan-bahan untuk satu kali reaksi PCR
120
Tabel 7. Primer-primer untuk Teknik RAPD
dengan jumlah sampel DNA yang banyak maka dibuat master miks sesuai dengan jumlah sampel. Contoh jika 10 sampel maka dibuat master miks untuk 11 reaksi, kemudian diambil 22 ul dari master miks dimasukan ke tabung PCR yang telah berisi 3 ul DNA. Tabung yang berisi sampel PCR divorteks
dan disentrifus
sebentar kemudian dimasukan ke mesin thermal cycler atau PCR (GeneAmp PCR System 9700 versi 3.08). Amplifikasi sebanyak 45 siklus dengan tahapan PCR sebagai berikut 94oC 1 menit kondisi awal, denaturasi 94oC 1 menit, penempelan primer 36oC 1 menit, sintesis DNA tambahan 72oC 4
menit
dan
akhir
dari
72oC 2 menit, sintesis
seluruh siklus dikondisikan pada
suhu tetap 4oC. Sampel DNA hasil PCR sebanyak 15 µl ditambahkan dengan 3 µl loadying dye dan dirunning pada 1.2% gel agarose (AppliChem) pada tegangan listrik 70 volt, arus 100 amper selama 90 menit, kemudian gel agarose direndam dalam 1% etiumbromide selama 1 jam dan divisualisasikan pada gel logic 2000 Imaging System UV dengan software kodak ID 2.6. Amplifikasi DNA dengan teknik RAPD menggunakan 10 primer acak (Tabel 7) yang sebagian besar diacu dari Yuniastuti ( 2004) dapat mengamplifikasi DNA kelapa sawit.
121
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Pita DNA Monomorfis Beberapa Tanaman dari Klon yang Sama Tiga tanaman
yang digunakan
dari
klon
MK 152 menunjukkan
morfologi organ bunga abnormal dengan adanya struktur seperti karpel pada bunga jantan maupun bunga betina. Tiga tanaman tersebut adalah tanaman
a
b
c Gambar 29. Pola pita DNA monomorfis pada beberapa tingkat abnormalitas dengan tipe jaringan tanaman berbeda. (a) primer OPB-05, (b) OPC-01, (c) SC10-83. N (tanaman normal), AB (tanaman abnormal berat), AB2 (tanaman abnormal sangat berat 2)
122
berbuah normal (N), abnormal berat (AB) dan abnormal sangat berat 2 (AS2). Sampel DNA yang murni dengan kuantitas DNA seperti yang telah ditetapkan pada penelitian sebelumnya (lihat BAB V) digunakan juga untuk teknik RAPD. Hasil optimasi konsentrasi sampel DNA untuk satu kali reaksi PCR adalah 15 ng ditambah dengan komponen PCR yang lain. Hasil penelitian memperlihatkan adanya keragaman sekuens DNA pada genom yang terdeteksi dengan teknik RAPD. Sepuluh primer yang digunakan adalah primer random sepuluh mer yang sebagian besar di acuh dari Yuniastuti (2004), dapat mengamplifikasi DNA tanaman kelapa sawit. Lima primer memperlihatkan pola pita monomorfis (OPB-05, OPC-01, SC10-83, SC10-76, AE-11), dan lima primer yang lain menunjukkan pola pita polimorfis (OPC-08, OPD-15, W-15, OPC-09, SC10-19). Pita monomorfis diperlihatkan oleh primer OPB-05 dengan empat pita berukuran antara 750-1500bp (Gambar 29a),
OPC-01 dengan delapan pita
berukuran antara 750 – 4000 bp (Gambar 29b), primer SC10-83 menghasilkan hanya dua pita berukuran antara 750-1000 bp (Gambar 29c), SC10-76 menghasilkan sembilan pita dengan ukuran menyebar antara 600-6000 bp (Tabel 8 & Lampiran 10), dan AE-11 menghasilkan lima pita berukuran antara 10003000 bp (Tabel 8 & Lampiran 10). Total jumlah pita yang dihasilkan oleh lima primer untuk ketiga tanaman adalah 84 pita yang menyebar pada ukuran 6006000 bp. Tabel 8. Jumlah pita DNA monomorfis yang teramplifikasi oleh lima primer
123
Suatu primer dapat mengamplifikasi suatu sekuens DNA berarti sekuens primer tersebut komplemen dengan sekuens dari DNA cetakan, dan akan terjadi sebaliknya jika tidak terjadi komplementasi. Pita monomorfis yang diperlihatkan oleh enam primer menunjukkan bahwa sekuens DNA genom yang komplemen dengan primer tidak mengalami perubahan pada ketiga tanaman yang digunakan yakni berbuah normal, abnormal berat (AB) dan abnormal sangat berat 2 (AS2). Tiga puluh enam pita diamplifikasi oleh enam primer dengan ukuran berbeda menyebar antara 600-6000 bp, mengindikasikan primer menempel secara random pada DNA genom namun sekuens penempelan primer tidak berubah. Pola pita tersebut sama pada DNA dari jaringan daun, bunga maupun buah. Pola Pita DNA Polimorfis Beberapa Tanaman dari Klon yang Sama Lima primer dari sepuluh primer yang digunakan dalam penelitian ini dapat menunjukkan adanya keragaman antara tanaman dalam klon yang sama yaitu primer OPC-08, OPD-15, W-15, OPC-09 dan SC10-19. Dua primer yaitu OPC-08 dan OPD-15 menghasilkan sedikit jumlah pita dan pita berbeda hanya terdapat pada tanaman tertentu. Primer OPC-08 mampu menghasilkan masing- masing tujuh pita dari ketiga tanaman ditambah satu pita berbeda pada tanaman normal, yang tidak ditemukan pada tanaman abnormal (Gambar 30a dan Tabel 9) ukuran
pita
berbeda tersebut antara 800-1000 bp. Total jumlah pita dari ketiga tanaman dari primer ini adalah 22 pita, dengan ukuran menyebar 300-3000 bp.
Adanya satu
pita berbeda pada tanaman normal dengan primer OPC-08 kemungkinan terjadi perubahan sekuens pada tanaman berbuah abnormal berat (AB) dan abnormal sangat berat (AS2) sehingga primer tersebut tidak dapat mengamplifikasi ukuran pita yang sama dengan tanaman normal. Hasil penelitian Yuniastuti (2004) dengan menggunakan primer yang sama tidak dapat membedakan tanaman normal dan abnormal pada klon MK 152 dan MK 176 kecuali klon yang lain. Perbedaan hasil ini kemungkinan karena penggunaan tanaman yang berbeda meskipun dari klon yang sama. Pita berbeda pada tanaman normal dari primer OPC-08 berpotensi untuk digunakan menapis tanaman normal dan abnormal dari hasil kultur jaringan. Namun perlu dikonfirmasi pita tersebut pada beberapa
124
4000 bp 2000 bp 1000 bp 500 bp
a
4000 bp 2000 bp 1000 bp 500 bp
b Gambar 30. Pita DNA polimorfis pada tingkat abnormal tertentu. (a) primer OPC-08, (b) primer OPD-15. N (tanaman normal), AB (tanaman abnormal berat), AS2 (tanaman abnormal sangat berat 2) dari klon MK 152 tanaman normal dari klon yang sama serta tanaman naormal dan abnormal dari klon-klon yang lain. Primer OPD-15 menghasilkan dua sampai lima pita dengan tiga berbeda yang terdapat hanya pada tanaman
abnormal
pita
berat (AB), tidak
ditemukan pada tanaman normal (N) maupun abnormal sangat berat 2 (AS2) (Gambar 30b). Total jumlah pita yang dihasilkan oleh primer OPD-15 dari tiga tanaman adalah sembilan pita, dengan ukuran menyebar 300-3000 bp. Primer OPD-15 juga menunjukkan perubahan sekuens DNA pada tanaman
berbuah
125
abnormal berat (AB) yang nampak melalui adanya tiga pita berbeda dengan ukuran yang berbeda, tetapi tidak pada tanaman normal dan AS2. Jumlah pita berbeda yang sedikit dari kedua primer tersebut menandakan bahwa sangat terbatas komplementasi antara primer dengan sekuens DNA cetakan sehingga belum dapat mewakili suatu keragaman global dalam genom antara tanaman yang diuji. Pita DNA yang dihasilkan oleh primer OPC-08 maupun OPD-15 mempunyai pola yang sama pada DNA jaringan daun, bunga maupun buah. Hasil ini menunjukkan bahwa perubahan pada sekuens DNA merupakan perubahan pada tingkat genom. Hasil penelitian Danylchenko dan Sorochinsky (2005) dengan teknik RAPD memperlihatkan pita-pita baru sebagai akibat perbedaan perubahan struktur DNA (pematahan, transposisi, delesi, dll), diduga adanya mutasi dan perubahan struktur dalam DNA tanaman akibat pengaruh faktor cekaman yang diberikan. Pada kasus kelapa sawit, kemungkinan pemberiaan auksin khususnya 2,4-D dalam konsentrasi sangat tinggi 80-100 ppm menyebabkan aberasi kromosom karena 2,4-D dalam konsentrasi tinggi aktivitasnya seperti herbisida. Tiga primer lain dalam penelitian ini mampu menunjukkan pola pita polimorfis dengan jumlah pita yang banyak yaitu W-15, OPC-09 dan SC10-19. Primer W-15 mengamplifikasi delapan pita berukuran antara 900 - 6000 bp (Gambar 31a) dengan penampilan seperti pita monomorfis karena pola pita cenderung sama antar tanaman, namun jika ditinjau dari intensitas dan ketebalan pita nampak terbentuk pola yang polimorfis. Terdapat satu pita berukuran kurang dari 2000 bp pada tanaman normal dan AbB, satu pita berukuran lebih dari 2000 bp pada tanaman AbB, dan satu pita pada ukuran 1000 bp terdapat pada AS2. Ketebalan pita menunjukkan bahwa banyak fragmen DNA yang menumpuk pada ukuran tersebut kemungkinan mempunyai susunan basa dan ukuran pita yang berbeda dibandingkan dengan tanaman lainnya pada posisi pita yang sama. Primer OPC-09 mampu menghasilkan masing-masing
enam sampai
sembilan pita pada tanaman normal, AB dan AS2, dengan tiga pita berbeda masing-masing pada tanaman normal dan AS2 (Gambar 31b dan Tabel 9). Tiga pita berbeda pada tanaman normal berukuran secara berurutan ± 900 bp, ± 1100 bp dan ±3400 bp dan pita-pita tersebut tidak terdapat pada tanaman AB dan AS2.
126
4000 2000 1000 500 bp
a
4000 bp 2000 bp
1000 bp 500 bp
b
4000 bp 2000 bp 1000 bp 500 bp
c Gambar 31. Pita DNA polimorfis pada beberapa tingkat abnormal. (a) Primer W-15, (b) OPC-09, dan (c) SC-10-19. N (tanaman normal), AB (tanaman abnormal berat), AS2 (tanaman abnormal sangat berat 2) dari klon MK 152
127
Tabel 9. Pita polimorfis hasil amplifikasi lima primer
Keterangan : (1) = terdapat satu pita berbeda yang sama antar kedua abnormal
Tanaman AS2 mempunyai juga tiga pita berbeda yang ukurannya berbeda dengan tanaman normal secara berurutan ± 600 bp, ± 800 bp, ± 3300 bp. Total jumlah pita yang dihasilkan pada ketiga tanaman yang diuji adalah 24 pita menyebar dari ukuran 500 - 4000 bp. Diperlihatkan juga bahwa pola pita yang terdapat pada DNA jaringan daun sama dengan pita DNA dari jaringan bunga dan buah. Primer SC10-19 mampu menghasilkan sebelas sampai tiga belas pita pada masing-masing tanaman yang diuji (Gambar 31c dan Tabel 9). Terdapat satu pita berbeda pada tanaman normal, satu pita pada tanaman AB dan tiga pita berbeda pada AS2. Total jumlah pita DNA dari tanaman normal, AB dan AS2 yang dihasikan primer SC10-19 adalah 35 pita berada pada ukuran ± 500-6000 bp. Suatu pita DNA terdapat pada suatu tanaman tetapi tidak berada pada tanaman yang lain memberikan dua kemungkinan yaitu ada atau tidak ada perubahan sekuens DNA pada tanaman-tanaman tersebut untuk terjadi komplementasi dengan primer. Dengan demikian perubahan sekuens DNA dapat saja terjadi pada tanaman normal (Gambar 31a dan b) meskipun morfologi bunganya normal karena tanaman-tanaman ini berasal dari kultur jaringan. Banyaknya pita yang teramplifikasi mengindikasikan primer-primer tersebut berkomplementasi dengan banyak sekuens DNA cetakan. Selain itu ditemukan beberapa pita berbeda dengan ukuran yang beragam menandakan terjadi keragaman secara global DNA genom antara tanaman yang diuji. Hasil penelitian ini berbeda dari yang diperoleh Rival et al. (1998) bahwa teknik RAPD tidak dapat mendeteksi adanya kerusakan DNA pada jaringan abnormal tanaman kelapa sawit. Dikatakan juga bahwa 73 primer mampu
128
mendapatkan polimorfis antara klon namun tidak menunjukkan variabilitas di dalam klon. Kemungkinan penggunaan primer yang tepat menjadi penting untuk memperlihatkan polimorfis dalam klon kelapa sawit. Status metilasi DNA berubah dalam respon dengan stimuli lingkungan. Menurut LoSchiavo et al. (1989) tingkat metilasi global berubah dalam responsnya dengan konsentrasi hormon pada media dari kultur wortel yaitu tingkat metilasi menurun dengan meningkatnya konsentrasi kinetin, dan meningkat dengan bertambahnya jumlah 2,4-D. Menurut Kaeppler et al. (2000) kontrol siklus sel normal mencegah terjadinya pembelahan sel sebelum replikasi DNA secara sempurna. Namun akan terganggu melalui kultur jaringan melalui pematahan kromosom karena replikasi sekuens heterokromatin tidak lengkap pada waktu pembelahan sel dalam kultur jaringan. Demikian juga dikatakan oleh Johnson et al. (1987) bahwa replikasi heterokromatin terjadi terlambat dalam kultur jaringan berperan untuk jembatan kromosom dan kejadian pematahan. Phillips et al. (1994) mengatakan bahwa berbagai tipe mutasi dalam kultur jaringan dikarakterisasi bertanggungjawab untuk keragaman fenotipik meliputi perubahan kromosom pada tingkat ploidi, struktur kromosom, perubahan basa tunggal, perubahan dalam jumlah kopi sekuens berulang dan perubahan dalam pola metilasi DNA. Hasil penelitian sebelumnya (lihat BAB V) didapatkan adanya perubahan metilasi pada DNA genom. Penelitian ini memperlihatkan perubahan sekuens DNA genom atau mutasi sebagai penyebab keragaman genetik. Dua fenomena perubahan genom yang bersamaan terjadi pada tanaman hasil kultur jaringan. Fenomena yang sama ditemukan oleh Brown et al. (1991) yaitu adanya perubahan metilasi DNA dan sekuens DNA pada kalus jagung dan diantara tanaman jagung. Demikian juga Brown et al (1990) mendapatkan keragaman metilasi DNA dan sekuens DNA diantara tanaman padi. Perubahan-perubahan dalam genom merupakan keragaman somaklonal yang terjadi selama kultur jaringan. Keragaman somaklonal merupakan keragaman genetik dan fenotipik diantara klon tanaman yang berasal dari satu klon donor (Larkin & Scowcroft 1981; Lee & Phillips 1988; Kaeppler & Phillips 1993a). Menurut van Harten (1998) macam keragaman yang terjadi selama in vitro meliputi epigenetik dan genetik.
129
Primer-primer yang digunakan mampu menghasilkan banyak pita polimorfis dengan teknik RAPD menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan sekuens DNA secara acak dalam DNA genom. Keragaman pada tingkat DNA genom akan menunjuk pada keragaman fenotipik apabila gen-gen yang berhubungan dengan fenotipik tersebut berubah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya perubahan sekuens DNA atau perubahan genetik antara tanaman kelapa sawit dari klon yang sama, namun tidak diikuti dengan perubahan morfologi yang nyata. Hasil ini menggambarkan bahwa perubahan sekuens DNA dapat saja terjadi pada daerah heterokromatin tetapi dapat pula terjadi pada gen. Perubahan pada heterokromatin tidak berdampak pada perubahan ekspresi gen. Sedangkan perubahan pada gen kemungkinan
berhubungan dengan bunga
abnormal pada kelapa sawit atau berhubungan dengan proses metabolisme yang lain. Hal-hal tersebut perlu dideteksi lebih lanjut. Rani et al. (1995) menemukan bahwa terdapat keragaman pita RAPD diantara 23 tanaman Populus deltoides yang merupakan hasil mikropropagasi dari klon yang sama namun mempunyai morfologi yang mirip. Primer SC10-19 selain dapat mengamplifikasi banyak pita DNA, juga memperlihatkan adanya pita DNA berbeda antara ketiga tanaman yang digunakan dari klon MK 152. Pada tanaman berbuah normal terdapat satu pita berukuran ± 3000 bp, pada berbuah AB terdapat satu pita berukuran kurang dari 500 bp sedangkan tanaman berbuah AS2 mempunyai satu pita berukuran antara ± 650 bp (Gambar 31c). Namun pita-pita berbeda dari tiga tanaman ini tidak menunjuk pada keabnormalan bunga. Demikian juga pita-pita DNA yang dihasilkan oleh primer OPD15, W-15, OPC-09. Untuk membuktikan adanya perubahan ekspresi pada gen-gen pembungaan akibat perubahan sekuens DNA maka diperlukan primer-primer spesifik yang berhubungan dengan gen-gen tersebut. Penelitian sebelumnya dengan teknik RAPD dapat membedakan tanaman berbuah normal dan abnormal namun pita berbeda tersebut tidak sama untuk tiap klon yang digunakan (Toruan-Mathius et al. 2001 ; Yuniastuti 2004). Demikian juga Shah et al. (1994) mendapatkan teknik RAPD mampu mendeteksi polimorfis antara galur yang berbeda namun tidak mampu membedakan klon-klon yang morfologi bunganya berbeda. Menurut Price et al. (2007) penelitian marka molekuler yang
130
dilakukan beberapa peneliti belum dapat membedakan tanaman berbunga normal dan abnormal. Perubahan primordia organ bunga jantan menjadi struktur seperti karpel pada kasus kelapa sawit diduga akibat perubahan regulasi metabolik tertentu atau perubahan fisiologi akibat perlakuan selama kultur jaringan. Fenomena perubahan organ bunga jantan menjadi betina kemungkinan diregulasi oleh hormon etilen. Etilen dihasilkan lebih banyak pada tanaman ginoesious (mempunyai bunga betina) dibandingkan dengan tanaman monoesious (bunga betina dan jantan pada tanaman yang sama), menunjukkan bahwa etilen berhubungan dengan feminisasi bunga (Rudich et al. 1972). Etilen merupakan regulator penentuan seks pada Cucumis sativus dan C. melo (Byers et al. 1972).
SIMPULAN (1)
Adanya perubahan sekuens DNA yang diamplifikasi oleh lima primer (OPC -08, OPD-15, W-15, OPC-09 dan SC10-19) menunjuk bahwa adanya keragaman genetik antara tanaman dari klon yang sama (MK 152).
(2)
Primer OPC-08 memperlihatkan satu pita pada tanaman berbunga normal berukuran 800-1000 bp yang tidak terdapat pada tanaman berbunga abnormal AbB dan AS2.
(3)
Primer SC10-19 memperlihatkan pita-pita berbeda masing-masing untuk tanaman normal, AbB dan AbSB2 berukuran secara berurutan ± 3000 bp, 500 bp, ± 650 bp.
131
BAB VII PEMBAHASAN UMUM Perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan merupakan tindakan bijak untuk menanggulangi kekurangan bibit sawit di Indonesia. Namun tanamantanaman hasil kultur jaringan menghasilkan bunga abnormal atau bunga mantel 0-17% pada tujuh klon. Secara umum tanaman tidak memperlihatkan perubahan morfologi yang lain. Perubahan morfologi nampak pada bunga betina, bunga jantan dan buah. Staminode (stamen rudimenter) pada bunga betina terinduksi menjadi karpel pada bunga betina, sedangkan stamen pada bunga jantan berubah menjadi struktur seperti karpel atau terjadi feminisasi. Bunga betina abnormal berkembang menjadi buah abnormal. Hasil penelitian secara visual menunjukkan bahwa organ bunga kelapa sawit yang menyusun satu individu bunga berada pada enam posisi lingkaran bunga, dan secara mikroskopis menurut Hartley (1977) terdiri dari tujuh posisi lingkaran bunga dimana posisi keenam adalah stamen rudimenter yang berubah menjadi karpel. Sedangkan Adam et al. (2005) menempatkan identitas lingkaran organ bunga pada kelapa sawit secara mikroskopis, yaitu organ bunga betina tersusun atas empat lingkaran bunga meliputi lingkaran pertama dan kedua adalah perhiasan bunga atau tepala, lingkaran ketiga adalah enam staminode (stamen rudimenter) dan lingkaran keempat ditempati oleh tiga karpel. Sedangkan organ bunga jantan tersusun atas perhiasan bunga pada lingkaran pertama, stamen pada lingkaran kedua dan gimnosium rudimenter pada lingkaran ketiga. Kasus feminisasi kelapa sawit pada kedua seks tersebut menurut beberapa peneliti berhubungan dengan hipometilasi. Metilasi meregulasi ekspresi gen pada jaringan spesifik yang diduga terlibat dalam pembentukan bunga abnormal (mantel) pada kelapa sawit. Kasus perubahan staminode/stamen menjadi karpel kemungkinan melibatkan gen-gen kelas B dalam MAD Box. Apabila stamen berubah menjadi karpel berarti tidak berperannya gen-gen kelas B, maka akan berakibat pula pada perubahan kelopak menjadi tajuk. Fungsi gen kelas B conserve antara monokotil dan dikotil (Whipple et al. 2004). Stamen pada kelapa
132
sawit berubah menjadi karpel namun tidak diikuti dengan perubahan kelopak menjadi tajuk apabila tidak berperannya gen kelas B. Adam et al. (2007) menjelaskan gen-gen yang terlibat dalam pembentukan organ individu bunga kelapa sawit. Didapatkan dua gen yaitu
EgDEF1 dan
EgGLO2 berperan sebagai gen kelas B. Gen EgDEF1 terekspresi pada staminode dan tajuk pada bunga betina, dan terekspresi pada stamen dan tajuk pada bunga jantan. Gen EgGLO2 terekspresi pada kelopak dan tajuk pada bunga betina, sedangkan pada bunga jantan gen ini terekspresi pada kelopak, tajuk dan stamen. Pada kasus bunga abnormal, kedua
gen ini terekspresi namun berkurang
ekspresinya. Ditinjau dari gen-gen yang terlibat dalam pembentukan organ bunga maka terdapat banyak gen yang terekspresi tumpang-tindih dalam menentukan suatu organ bunga pada tanaman dikotil maupun monokotil. Contoh kasus pada Arabidopsis, diuraikan oleh Zahn et al. (2005) bahwa pembentukan petal melibatkan gen kelas A, B dan E meliputi AP1, PI/AP3 dan SEP, sedangkan stamen melibatkan gen kelas B, C, dan E meliputi PI/AP3, AG dan SEP. Pada kasus abnormal bunga kelapa sawit kemungkinan melibatkan gen-gen lain, selain gen EgDEF1 dan EgGLO2 yang dikelompokkan oleh Adam et al. (2007) sebagai gen kelas B. Alwee et al. (2006) mengatakan bahwa beberapa hormon ditemukan turut mempengaruhi ekspresi gen MAD box. Giberelin mengontrol identitas meristem pada mutan ap2 dan ap 1 Arabidopsis (Okamuro et al. 1997), perlakuan auksin eksogenous menyebabkan bunga betina berubah menjadi jantan (Hamdi et al. 1987), etilen merupakan regulator penentuan seks pada Cucumis sativus dan C. Melo (Byers et al. 1972). Perubahan morfologi bunga ini berkembang terus sampai pada tingkat buah dengan tingkat abnormalitas yang berbeda. Perbedaan didasarkan pada kedudukan karpel tambahan terhadap karpel utama, keadaan mesokarp dan keberadaan biji. Didapatkan lima tingkat abnormalitas buah dari tanaman hasil kultur jaringan yaitu normal, abnormal ringan (AbR), abnormal berat (AbB), abnormal sangat berat 1 (AbSB1) dan abnormal sangat berat 2 (AbSB2). Tanaman yang menghasilkan buah AbR dan AbB sekitar 5.6% sedangkan AbSB 4.9% dari 143
133
tanaman. Keabnormalan pada buah kelapa sawit ini menjadi masalah penting karena dapat menurunkan produktivitas. Eeuwens et al. (2002) bahwa produktivitas buah abnormal
mengatakan
menurun karena buah yang terbentuk
biasanya gugur selama dalam perkembangan. Seberapa menurunnya produksi minyak akibat abnormalitas buah tersebut serta apakah semua tanaman yang menghasilkan buah abnormal akan menghasilkan minyak yang rendah. Menjadi pertanyaan kritis untuk dijawab dalam rangka pengembangan selanjutnya kelapa sawit hasil kultur jaringan. Hasil penelitian kandungan minyak menunjukkan bahwa tidak semua buah yang abnormal mempunyai kandungan minyak rendah seperti pada buah AbR dan AbB dengan kandungan minyak cenderung sama dengan buah normal, serta mempunyai mesokarp tebal berdaging yang nampak melalui bobot bahan kering yang rendah. Kandungan minyak yang tinggi pada kedua tipe buah abnormal ini didukung oleh kandungan malonil-KoA yang tinggi dibandingkan dengan asetilKoA sebagai bukti bahwa ensim asetil-KoA karboksilase (ACCase) dalam buah aktif mengkatalisis asetil-KoA menjadi malonil-KoA. Namun terjadi sebaliknya pada buah abnormal sangat berat (AbSB), diduga tidak aktifnya ensim ACCase dalam buah AbSB berhubungan dengan mulai membusuknya buah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa buah AbR dan AbB menghasilkan
biji
sehingga dapat menghasilkan minyak kernel jika dibandingkan dengan buah sangat berat yang tidak berbiji. Namun minyak pada kedua tipe buah abnormal tersebut perlu dianalisis kualitas dan kuantitas minyak pertandan buah segar, serta bobot kering mesokarp perbuah. Selain itu fenotipik dari kedua buah abnormal tersebut bukan fenotipik yang ideal kemungkinan tidak dapat digunakan dalam prosesing minyak karena tidak sesuai dengan prototipe mesin. Fenotip buah abnormal biasanya ditemukan pada awal reproduksi kelapa sawit yang diperbanyak dengan benih, namun menjadi stabil berbunga dan berbuah normal pada umur 2.5 tahun (Lubis 1992). Tregear et al. (2002) mengatakan fenomena tersebut merupakan epigenetik, dengan kenyataan bahwa fenotip ini dapat kembali menjadi normal di lapangan. Perubahan epigenetik adalah perubahan pada metilasi DNA genom, suatu fenomena yang berhubungan dengan variasi somaklonal (Kaeppler & Phillips 1993b).
134
Hasil penelitian mendapatkan adanya fenomena hipometilasi pada jaringan daun, dan hipermetilasi pada jaringan bunga pada semua tanaman berbunga abnormal dibandingkan dengan jaringan yang sama pada tanaman normal. Dua fenomena yang berbeda namun menunjuk pada morfologi bunga abnormal yang sama yaitu organ bunga jantan terinduksi menjadi struktur seperti organ bunga betina (karpel). Selain itu, adanya peningkatan metilasi sitosin hanya 0.69% pada jaringan bunga AbSB1 dan 2.66% pada AbB sama-sama menunjuk pada bentuk morfologi abnormal yang sama. Diduga kejadian bunga/buah mantel tidak berhubungan langsung dengan perubahan metilasi pada gen-gen pembungaan. Sejumlah peneliti membuktikan terjadi hipometilasi
pada bunga abnormal
(Jaligot et al. 2000 ; Matthes et al. 2001; Jaligot et al. 2002 ; Kubis et al. 2003; http://www.actahort.org/books/530l/530_52.html;
Jaligot et al. 2004) yang
dideteksi pada jaringan kalus dan daun. Namun Shah dan Ahmed-Parveez (1995) mendapatkan fenomena berbeda yaitu hipermetilasi pada tanaman berbunga abnormal tersebut. Dua fenomena metilasi DNA yang berbeda menunjuk pada morfologi bunga abnormal. Perubahan metilasi DNA berdampak pada perubahan ekspresi gen dan secara global ditingkat kromosom.
Perubahan pada ekspresi gen melalui
terhalangnya faktor transkripsi dan ensim DNA polimerase terikat pada situs target. Perubahan sitosin (C) menjadi timin (T) merupakan fenomena mutasi titik akibat perubahan metilasi. Sedangkan perubahan pada tingkat kromosom terutama pada
daerah
heterokromatin,
yang
kuat
termetilasi
karena
struktur
kompak/kondens dari kromatin. Kaeppler dan Phillips (1993b) mengatakan bahwa perubahan metilasi DNA berakibat pada perubahan struktur kromatin melalui terlambatnya replikasi heterokromatin dalam kultur jaringan sehingga terjadi pematahan
kromosom.
Pada
tanaman,
kehilangan
metilasi
juga
dapat
menyebabkan aktivasi pergerakan transposon dengan konsekuensi sering terjadi mutasi (Miura et al. 2001; Singer et al. 2001 ; Kato et al. 2003). Pematahan kromosom maupun aktivasi elemen transposon dapat menyebabkan perubahan sekuens DNA akibat perubahan tempat atau kehilangan bagian kromosom. Perubahan sekuens DNA dapat terjadi pada daerah suatu gen ataupun daerah heterokromatin yang tidak berhubungan suatu gen.
135
Perubahan sekuens DNA terjadi pada kelapa sawit hasil perbanyakan dari kultur jaringan. Dibuktikan dalam penelitian ini dengan teknik RAPD yaitu lima primer (OPC-08, OPD15, W-15, OPC-09 dan SC10-19) dari sepuluh primer menunjukkan pita-pita berbeda antara tanaman normal dan abnormal pada klon MK 152. Primer OPC-08 memperlihatkan satu pita DNA pada tanaman normal tetapi tidak terdapat pada tanaman abnormal, menunjukkan bahwa pita tersebut berpotensi sebagai pita DNA yang unik pada tanaman normal. Namun penelitian Yuniastuti (2004) dengan kedua primer ini menunjukkan pita-pita-pita berbeda antara tanaman normal dan abnormal namun tidak konsisten antara klon, bahkan primer OPC-08 dapat membedakan tanaman normal dan abnormal pada klon yang lain namun tidak pada klon MK 152. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan sampel tanaman berbeda dari klon yang sama kemungkinan sebagai penyebab perbedaan hasil. Untuk konfirmasi pita unik tersebut maka diperlukan data dari beberapa tanaman normal pada klon MK 152 serta menggunakan tanaman normal dan abnormal dari klon-klon yang lain. Empat primer yang lain menunjukkan pita-pita berbeda antara tanaman normal, AbB dan AbSB2 namun tidak konsisten pada keabnormalan. Penelitian sebelumnya oleh Toruan-Mathius et al. (2001) dengan teknik RAPD dapat membedakan tanaman berbuah normal dan abnormal namun
pita-pita DNA
berbeda tersebut tidak sama untuk tiap klon yang digunakan. Perubahan sekuens DNA kemungkinan dapat terjadi pada daerah suatu gen yang meregulasi organ bunga atau juga berhubungan dengan proses metabolisme yang lain. Untuk konfirmasi adanya perubahan ekspresi gen pembungaan maka diperlukan primerprimer spesifik yang berhubungan dengan gen-gen pembungaan tersebut. Abnormalitas pada kelapa sawit melalui adanya struktur karpel pada bunga betina maupun bunga jantan namun tidak diikuti dengan perubahan organ bunga yang lain merupakan suatu fenomena menarik untuk dikaji dari sisi yang lain. Kemungkinan yang menginduksi feminisasi pada kedua seks pada kasus bunga kelapa sawit adalah hormon etilen. Menurut Yin dan Quinn (1995) etilen memacu pembentukan bunga betina sedangkan menghambat bunga jantan, sedangkan gibberelin (GA) memacu pembentukan bunga jantan dan menghambat bunga betina.
136
Etilen diketahui dihasilkan sebagai respons dengan pelukaan (Konze & Kwiatkowski 1981 ; Imaseki et al. 1990). Hal tersebut kemungkinan terjadi selama cutting up kultur yang melepaskan dan mengakumulasi etilen dalam wadah kultur dan hormon ini dapat juga mempengaruhi bunga mantel (Eeuwens et al. 2002). Biosintesis etilen juga dipacu oleh auksin (Minocha et al. 1990), dan auksin adalah salah satu hormon yang digunakan dalam kultur jaringan kelapa sawit (Eeuwens et al. 2002), sehingga dikatakan oleh Eeuwens et al. (2002) bahwa yang mengherankan adalah tidak ada data yang dipublikasi mengenai akumulasi etilen selama kultur jaringan atau pengaruh etilen terhadap bunga mantel. Buah abnormal sangat berat mengalami penghambatan kematangan buah kemungkinan berhubungan dengan keterbatasan hormon etilen. Kejadian-kejadian yang saling terkait antara cekaman selama kultur jaringan, perubahan organ bunga jantan menjadi betina (bunga mantel), dan penghambatan kematangan buah.
137
BAB VIII SIMPULAN UMUM DAN SARAN SIMPULAN Morfologi abnormal pada kelapa sawit ditemukan pada bunga betina, bunga jantan dan buah. Karpel tambahan mengelilingi karpel utama pada bunga betina abnormal, dan struktur seperti karpel pada bunga jantan abnormal. Bunga betina berkembang menjadi buah dan diperoleh lima tingkat abnormal buah yaitu normal, abnormal ringan (AbR), abnormal berat (AbB), abnormal sangat berat 1 (AbSB1) dan AbSB2. Kandungan minyak pada mesokarp buah AbR dan AbB sama dengan buah normal, didukung oleh kandungan malonil-KoA yang tinggi dibandingkan dengan asetil-KoA. Sedangkan kandungan minyak pada buah AbSB relatif rendah dengan asetil-KoA lebih tinggi dibandingkan dengan malonil-KoA. Perubahan metilasi terjadi pada jaringan daun yaitu hipometilasi, dan pada jaringan bunga yaitu hipermetilasi namun perubahan metilasi DNA tersebut tidak berhubungan dengan abnormalitas pada bunga serta tingkat abnormalitas. Perubahan genetik nampak melalui pita-pita DNA berbeda antara tanaman normal, AbB dan AbSB2 pada klon MK 152. Primer OPC-8 menghasilkan satu pita berbeda pada tanaman normal tidak terdapat pada tanaman AbB, AbSB2 (AS2), sedangkan empat primer memperlihatkan pita-pita DNA berbeda yang tidak konsisten antara tanaman berbunga normal dan abnomal. SARAN Berdasarkan hasil penelitian (1) Buah abnormal sangat berat dengan ciri mesokarp berserat sampai berkayu, kandungan minyak yang rendah serta asetilKoA yang tinggi maka disarankan mengkaji aktivitas ensim yang berperan meregulasi asam lemak serta hubungannya keadaan fisik pada buah, (2) Buah AbR dan AbB mempunyai kandungan minyak sama dengan atau lebih tinggi dibandingkan dengan buah normal maka disarankan menganalisis kualitas asam lemak yang dikandung buah-buah tersebut, (3) terdapat satu pita berbeda pada tanaman berbunga normal oleh primer OPC-08 namun perlu dikonfirmasi pada
138
beberapa tanaman normal pada klon MK 152 serta klon lain dengan tanaman normal dan abnormal, dan (4) Terdapat pita-pita DNA berbeda antara tanaman berbunga normal dan abnormal maka disarankan menggunakan primer spesifik untuk gen-gen pembungaan.
139
DAFTAR PUSTAKA Adam H et al. 2005. Reproductive developmental complexity in the African oil palm (Elaeis guineensis, Arecaceae). Am J Bot 92(11) :1836-1852. http://www.amjbot.org/cgi/reprint/92/11/1836, [15 Nopember 2006] Adam H et al. 2007. Determination of flower structure in Elaeis guineensis Jacq : Do palms use the same homeotic genes as other species?. Ann Bot 100 : 1-12. Adams RLP. 1990. DNA methylation. The effect of minor bases on DNA-protein interaction. Biochem J 265:309-320. Ahmad S. 2000. Non-food Uses of Palm Oil and Palm Kernel Oil. MPOPC Palm Oil Information Series, Kuala Lumpur. 24 hlm. Alberts B et al. 1994. Molecular Biology of The Cell. Third Edition. Garland Inc. New York. 1294 hlm. Alwee SS et al. 2006. Characterization of oil palm MADS box genes in relation to the mantled flower abnormality. Plant Cell Tissue Organ Cult. : DOI 10.10076/s11240-006-9084-4. Antequera F, Bird AP. 1988. Unmethylation CpG island association with gene in higher plant DNA. EMBO J 7 : 2295-2299. Apelbaum A et al. 1981. Polyamines inhibit synthesis of ethylene in higher plants. Plant Physiol 68 : 453-456. Apelbaum A, Goldlust A, Icekson I. 1985. Control by ethylene of arginine decarboxylase activity in pea seedling and its implication for hormonal regulation of plant growth. Plant Physiol 79 : 635-640. Armini NM, Wattimena GA, Gunawan LW. 1992. Perbanyakan tanaman. Di dalam : Wattimena GA, editor. Bioteknologi Tanaman 1. Depdikbud Dirjen PAU IPB. hlm 12-104. Arnholdt-Schmitt B. 2004. Stress-induced cell reprogramming. A role for global genom regulation?. Plant Physiol 136 : 2579 -2586. http://www.plantphysiol.org/cgi/reprint/136/1/2579 [6 Juni 2007] Arnholdt-Schmitt B, Hulzapfel B, Schillinger A, Neumann KH. 1991. Variable methylation and differential replication of genomic DNA in cultured carrot root explants during growth induction as influenced by hormonal treatments. TAG 82: 283-288.
140
Asmono D. 2006. Development of oil palm seeds industry by private sector in Indonesia Di dalam : International Oil Palm Conference 2006. Nusa DuaBali, Indonesia. Bangun D. 2005. Indonesian palm oil price outlook 2005/2006. Paper presented on “Seminar Nasional Kelapa Sawit”. Nusa Dua Bali. 2005. Basiron Y. 2004. Sawit penyumbang utama bekalan minyak dunia. Berita harian (berita sawit) 1 September. http://www.bharian.com.my/m/BHarian/Saturday/BeritaSawit/2004050312 4839/Article/. [20 September 2004]. Bassam BJ, Caetano-Anolles G, Gresshoff PM. 1992. DNA amplification fingerprinting of bacteria. Appl Microbiol Biotechnol 38 : 70-76. Baud S, Boutin JP, Miquel M, Lepiniec L, Rochat C. 2002. An integrated overview of seed development in Arabidopsis thaliana ecotype WS. Plant Physiol Biochem 40 : 151-160. Baud S et al. 2003. Multifuctional acetyl-CoA carboxylase 1 is esential for very long chain fatty acid elongation and embryo development in Arabidopsis. Plant J 33 : 75-86. Baylin SB, Herman JG. 2000. DNA hypermethylation in tumorigenesis. Epigenetics joins genetics. Trends Genet. 16 : 168-174. Belanger FC, Hepburn AG. 1990. The evolution of CpNpG methylation in plants. J Mol Evol 30 : 26-35. Bellucci M, Paolocci F, Damiani F, Arcioni S. 2002. Plant DNA methylation and gene expresion. In SM Jain, DS Brar, BS Ahloowalia (Eds.). Molecular Techniques in Crop Improvement. Kluwer Acad. hlm. 501-539. Bender J. 2002. Plant genetics. Curr Biol 12 : R412 – R414. Benzion G, Phillips RL, Rines HW. 1986. Case histories of genetic variabilitas in vitro : oats and maize. Di dalam : Vasil IL, editor. Cell Culture and Somatic Cell Genetic of Plants. Volume ke-3. New York : Acad Pr. hlm. 435-448. Bestor TH. 1998. The host defence function of genomic methylation patterns. Novartis Found Symp 214 : 187-195. Bird AP. 1986. CpG-rich islands and the function of DNA methylation. Nature 321 : 209 – 213. Bird AP. 1995. Gene number, noise reduction and biological complexity. Trends Genet. 11 : 94-100.
141
Bird A. 2002. DNA methylation patterns and epigenetic memory. Genes Dev 16: 6–21. Bochardt A, Hodal L, Palmgren G, Mattsson O, Okkels FT. 1992. DNA methylation is involved in maintenance of an unusual expressin pattern of an introduced gene. Plant Physiol 99: 409-414. http://www.plantphysiol.org/cgi/reprint/99/2/409.pdf, [20 Desember 2006]. Bordallo PN, Silva DH, Maria J, Cruz CD, Fontes EP. 2004. Somaclonal variation on in vitro callus culture potato cultivars. Hort Brasileira 22(2) :300-304. http://www.scielo.br/pdf/hb/v22n2/21035.pdf , 23 Agustus 2007. Bouman F. 1984. The Ovule. Di dalam : BM Johri, editor. Embryology of Angiosperms. Berlin : Springer-Verlag. hlm. 123-157. Bowman JL, Smyth DR, Meyerowitz FM. 1991. Genetic interactions among floral homeotic genes of Arabidopsis. Development 112 : 1-20. Boyes J, Bird A. 1991. DNA methylation inhibits transcription indirectly via a methyl-CpG binding protein. Cell 64 : 1123–1134. Brown PTH, Gobel E, Lorz H. 1991. RFLP analysis of Zea mays callus and their regenerated plants. Theor Appl Genet 81 : 227-232 Brown PTH et al. 1990. Molecular changes in protoplast-derived rice plants. Mol Gen Genet 223 : 324-328. Budiani A. 2005. Ekspresi protein spesifik dalam biosintesis minyak dan kloning gen penyandi h-ACCase subunit biotin karboksilase dan enoil-ACP reduktase dari mesokarp kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Burr B, Burr F. 1981. Transposable elements and genetic instabilities in crop plants. Stadler Symp. 13, 115-128. Byers RE, Baker RL, Sell HM, Herner RC, Dilley DR. 1972. Ethylene : A natural regulator of sex expression of Cucumis melo L. Proc Nat Acad Sci USA 69 (3) : 717-720. http://www.pubmedcentral.nih.gov/pagerender.fcgi?artid=426542&pageind ex=2#page. [29 Agustus 2007]. Cantoni GL. 1977. S-Adenosylmethionine present status and future perspectives. Di dalam : F Salvatore, E Borek, HG Williams-Ashman, F Schlenk, editor. The Biochemestry of Adenosylmethionine. New York : Columbia Univ Pr. hlm 557-577.
142
Cao X, SE Jacobsen. 2002a. Locus-specific control of asymmetric and CpNpG methylation by the DRM and CMT 3 methyltransferase genes. Proc Natl Acad Sci USA 99 : 16491-16498. Cao X, Jacobsen SE. 2002b. Role of the arabidopsis DRM methyltransferase in de novo DNA methylation and gene silencing. Curr Biol 12 : 1138-1144. Capell T, Bassie L, Christou P. 2004. Modulation of the polyamine bioshynthetic pathway in transgenic rice confers tolerance to drought stress. Proc Natl Acad Sci USA 101 : 9909-9914. Carlson JE et al. 1991. Segregation of random amplified DNA markers in F1 progeny of conifers. TAG 83: 194-200. Caudill MA et al. 2001. Intracellular S-adenosylhomocysteine concentrations predict global DNA hypomethylation in tissues of methyl-deficent cystathionine β-synthase heterozygous mice. J Nutr 131 : 2811-2818. Chen RZ, Pettersson U, Beard C, Jackson-Grusby L, Jaenisch R. 1988. DNA hypomethylation leads to elevated mutation rates. Nature 395 : 89-93. Cheng Hai T. The Palm Oil Industry in Malaysia : From seed to fraying pan. 2002. WWF Switzerland. 74 hal. http://www.senternovem.nl/mmfiles/WWF_palm_oil_industry_Malaysia_tc m24-195179.pdf. [04 Januari 2007]. Chiang PK et al. 1996. S-Adenosylmethionine and methylation. FASEB J 10 : 471-480. Coen ES, Meyerowitz EM. 1991. The war of the whorls genetic interactions controling flower development. Nature 353 : 31-37. Corley RHV, Lee CH, Law LH, Wong CY. 1986. Abnormal flower development in oil palm clones. Planter (Kuala Lumpur) 62:233-240. Coen ES, Meyerowitz EM. 1991. The war of the whorls genetic interactions controling flower development. Nature 353 : 31-37. Costello JF, Plass C. 2001. Methylation matters. J Med Genet. 38: 285-303. Danylchenko O, Sorochinsky B. 2005. Use of RAPD assay for the detection of mutation change in plant DNA induced by UV-ß and ã-rays. BMC Plant Biol 5(Suppl1):S9 doi: 10.1186/1471-2229-5-S1-S9. http://jhered.oxfordjournals.org/cgi/content/full/96/4/434, [12 juni 2007]. Davey C, Pennings S, Allen J. 1997. CpG methylation re-models chromatin structure in vitro. J Mol Biol 267 : 276 -288.
143
deEnrech XN. 2000. A decade of the RAPD method : possibilities and limitations for plant genetics relationship studies. Acta Cientifica Venezuelana. 51 (4) : 197-206. Dellaporta SL, Calderon-Urrea A. 1993. Sex determination in flowering plants. Plant Cell 5 : 1241-1251. Detich N, S Hamm, G Just, JD Knox, M Szyf. 2003 The Methyl Donor SAdenosylmethionine Inhibits Active Demethylation of DNA Biol. Chem. Volume 278, Issue 23 : 20812-20820. Dolan L. 1997. The role of ethylene in the development of plant form. J Exp Bot 48 (307) 201-210. http://jxb.oxfordjournals.org/cgi/reprint/48/2/201.pdf, [3 Agustus 2007]. Doyle JJ, Doyle JL. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus 12 : 13-15. Drozdenyuk AP, Sulimova GE, Vanyushin BI. 1976. Change in base composition and molecular population of wheat DNA on germination. Mol Biol (Moscow) 10:1378 -1386. Durand B, Durand R. 1991. Sex determination and reproductive organ differentiation in Mercurialis. Plant Sci 80 : 49-65. Durand-Gasselin T, Baudouin L, Maheran AB, Konan K, Noiret JM. 1993. Description and degree of the mantled flowering abnormality in oil palm (Elaeis guineensis Jacq) clones produced using the orstom-CIRAD procedure. Di dalam : V Rao, IE Henson, N Rajanaidu, editor. Proceeding of the 1993 ISOPB International Symposium on Recent Developments in Oil Palm Tissue Culture and Biothecnology. Kuala Lumpur, Malasyia 2425. hlm. 48-63. *ebrowska JI, Tyrka M. 2003. The use of RAPD markers for strawberry identification and genetic diversity studies. Food Agric Environ 1 : 115117. Eeuwens CJ et al. 2002. Effects of tissue culture condition during embryoid multiplication on the incidence of ”mantled” flowering in clonally propagated oil palm. Plant Cell Tissue Organ Cult 70:311-323. Even-Chen Z, Matoo AK, Goren R. 1982. Inhibition of ethylene bioshyntesis by aminoethoxyornylglycine and polyamines shunt label from C14-methionine into spermidine in aged orange peel discs. Plant Physiol 69 : 385-388. Fatland BL, Nikolau BJ, Wurtele ES. 2005. Reverse genetic characterization of cytosolic acetyl-CoA generation by ATP-citrate lyase in Arabidopsis. Plant Cell 17 : 182-203.
144
Fatmawati, Pamin K, Ginting G, Subronto, Muluk CH. 1997. Performance of oil palm clones in the field based on ten year observation. Proceedings of The Indonesian Biotechnology Conference, Jakarta. hlm. 367-378. Ferguson-Smith AC, Surani MA. 2001. Imprinting and the epigenetic asymmetry between parental genomes. Science 293 : 1086-1089. Finnegan EJ. 2001. Is plant gene expression regulated globally? Trends Genet 17 :361-365. Finnegan EJ, Genger RK, Peacock WJ, Dennis ES. 1998. DNA methylation in plants. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol 49 : 223-247. Finnegan EJ, Kovac KA. 2000. Plant DNA metiltransferase. Plant Mol Biol 43 : 89-201. Finnegan EJ, Peacock WJ, Dennis ES. 1996. Reduce DNA methylation in Arabidopsis thaliana results in abnormal plant development. Proc Natl Acad Sci USA 93 : 8449 – 8454. Fraga MF, Esteller M. 2002. DNA Methylation : a profile of methods and applications. Di dalam : The Journal of Laboratory Technology Bioresearch. Biotechniques Euro Edition. hlm. 70-87. Fuhrer J, Kaur-Sawhney R, Shih LM, Galston AW. 1982. Effects of exogenous 1,3-diaminopropane and spermidine on senescence of aot leaves. II. Effects of polyamines on ethylene bioshynthesis. Plant physiol 70 : 1597-1600. Gaafar RM, Saker MM. 2006. Monitoring of cultivars identity and genetic stability in strawberry varieties grown in Egypt. Worl J Agric Sci 2 (1) : 2936. http://www.idosi.org/wjas/wjas2(1)/6.pdf, [23 Agustus 2007]. Gardner EJ, Simmons MJ, Snustad DP. 1991. Principle of Genetics. Edisi ke-8. New York : J Wiley Inc. 649 hlm. Gibbs HL, Prior KA, Weatherhead PJ. 1994. Genetic analysis of populations of threatened snake spesies using RAPD markers. Mol Ecol 3 : 329-337. Giovannucci E et al. 1993. Folate, methionine and alcohol intake and risk of colorectal adenoma. J Natl Cancer Inst 85 : 875-884. Griffiths AJF, Miller JH, Suzuki DT, Lewontin RC, Gelbart WM. 1993. An Introduction to Genetic Analysis. Edisi ke-5. New York : WH Wreeman. 840 hal.
145
Groose RW, Bingham ET. 1986. An unstable anthocyanin mutation recovered from tissue culture of alfalfa (Medicago sativa). I. High frequency of eversion upon reculture. 2. Stable nonrevertants derived from reculture. Plant Cell Reports 5 :104-110. Gruenbaum Y, Naveh-Many T, Cedar H, Razin A. 1981. Sequence specificity of methylation in higher plant DNA. Nature 292 :860-862. Hamdi S, Teller G, Louis JP. 1987. Master regulatory genes, auxin levels and sexual organogenesis in dioecious plant Mercurialis Annu Plant Physiol 85 : 393-399. Hang A, Bregitzer P. 1993. Chromosomal variations in immature embryo-derived calli from six barley cultivars. J Hered 84:105-108. Hartley CWS. 1970. The Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq). Longmans London. 704 hlm. Hartley CWS. 1977. The Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq). Edisi ke-2. Longmans London. 706 hlm. Hedrick P. 1992. Shooting the RAPDs. Nature 335 : 679-680. Heldt HW. Plant Biochemestry and Molecular Biology. Oxford Univ Pre. 522 hlm. Hershkovits M, Gruenbaum Y, Renbaum P, Razin A, Loyer A. 1990. Effect of CpG methylation on gene expression in transfected plant protoplasts.Gene 94 : 189-193. Holiday R, Pugh JE. 1975. DNA modification mechanisms and gene activity during development. Science 187 : 226-232. http://www.hort.purdue.edu/newcrop/tropical/lecture_24/palm_R.html. Palmae (Elaeis quineensis, Jacq.). [10 Oktober 2004].
Reading
http://www.actahort.org/books/530l/530-52.html. Rival A, Jaligot E, Beulé T, Verdeil J-L, Tregear J. DNA methylation and Somaclonal variation in oil palm. Abstract. ISHS Acta Hortic. 530: International. [10 Oktober 2004]. Hyodo H, Murata T. 1972. Ethylene production by Satsurna mandarin fruit harvested at the various stages of development. J Jpn Soc Hortic Sci 41 : 405-410. Icekson I, Goldlust A, Apelbaum A. 1985. Influence of ethylene on S-adenosylmethionine activity in etiolated pea seedling. J Plant Physiol 119 : 335-345.
146
Imaseki H, Nakajima N, Nikagawa N, Mori H, Yamazaki K. 1990. Wound induction of 1-aminocyclopropane-1- carboxylate shynthase and its regulation. Di dalam : Flores HE, Arteca RN, Shannon, editor. Polyamines and Ethylene : Biochemistry, Physiology and Interactions. Proceeding 5th Annual Penn State Symposium in Plant Physiology Mei 17-19. An American Society of Plant Physiologists Series. Volume ke-5. hlm 180-189. Inamdar NM, Ehrlich KC, Ehrlich M. 1991. CpG methylation inhibits binding of several sequence-specific DNA-binding proteins from pea, wheat, soybean and cauliflower. Plant Mol Biol 17 : 111 – 123. Irish VF. 2000. Variation on a theme : flower development and evolution. Genome Biol. 1(2) : 1015.1-1015.4. Isabel N, Tremblay L, Michaud M, Tremblay FM, Bousquet J. 1993. RAPDs as an aid to evaluate the genetic integrity of somatic embryogenesis-derived populations of Picea mariana (Mill.) B.S.P. TAG 86: 81-87. Isabel N, Tremblay L, Michaud M, Tremblay FM, Bousquet J. 1996. Occurrence of somaclonal variation among somatic embryo-derived white spruces (Picea glauca, Pinaceae). Am J Bot 83: 1121-1130. Jacobsen SE, Meyerowitz EM. 1997. Hypermethylated SUPERMAN epigenetic alleles in Arabidopsis. Science 277: 1100 – 1103. Jacobsen SE, Sakai H, Finnegan EJ, Cao X, Meyerowitz EM. 2000. Ectopic hypermethylation of flower-specific genes in Arabidopsis. Genes Dev 12 : 1714 1725. Jaligot E, Rival A, Beule T, Verdeil DS. 2000. Somaclonal variation in oil palm (Elaeis guineensis Jacq): the DNA methylation hypothesis. Plant Cell Reports 7 : 684-690. http://www.springerlink.com/content/5a7y21q5j92k2hjp.2004. [24 Juni 2007]. Jaligot E, Beulé T, Rival A. 2002. Methylation-sensitive RFLP : characterization of two oil palm markers showing somaclonal variation-associated polymorphism. TAG 104 : 1263 -1269. Jaligot E, Beulé T, Baurens F-C, Billotte N, Rival A. 2004. Search for methylation-sensitive amplification polymorphisms association with the “mantled” variant phenotipe in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Genome 47 (1) :224-228. Janssens P. 1927. Le palmier á huile au Congo Portuguaise et dans l’enciave de Cabinda. Bull Agric Congo Belge 18 : 29. Jenuwein T, Allis CD. 2001. Translating the histon code. Science 293:1074-1080.
147
Johnson SS, Phillips RL, Raines HW. 1987. Possible role of heterochromatin in choromosome breakage induced by tissue culture in oats (Avena sativa L.). Genome 29 : 439-446. Kaeppler SM, Kaepller HF, Rhee Y. 2000. Epigenetic aspects of somaclonal variation in plants. Plant Mol Biol 43: 179-188. Kaeppler SM, Phillips RL. 1993a. DNA methylation and tissue culture-induced variation in plants. In vitro Cell Dev Biol 29 : 125 -130. Kaeppler SM, Phillips RL. 1993b. Tissue culture-induce DNA methylation variation in maize. Proc Natl Acad Sci USA 90 : 8773-8776. Kakkar RJ, Rai VK. 1993. Plant polyamine in flowering and fruit ripening. Phytochemistry 33 : 1281-1288. Kakutani T, Jeddeloh JA, Flowers SK, Minakota K, Richards EJ. 1996. Developmental abnormalities and epimutations association with DNA hypomethylation mutation. Proceeding of The National Academy of Science, USA 93 : 12406 – 12411. Kakutani T, Jeddeloh AJ, Richards EJ. 1995. Characterization of an Arabidopsis thaliana DNA hypomethylation mutant. Nucl Acids Res 23 (1) : 130-137. Kalisz S, Purugganan MD. 2004. Epiallelesvia DNA methylation : consequences for plant evolution. Trends Ecol Evol 19 (6) : 309 – 314. Kankel MW et al. 2003. Arabidopsis METI cytosine methyltransferase mutants. Genetics 163 : 1109-1122. Karp A. 1995. Somaclonal variation as a tool for crop improvement. Euphytica 185 : 295-302. Kass SU, Pruss D, Wolffe AP. 1997. How does DNA methylation repress transcription. Trends Genet. 13 (11) : 444 – 449. Kato M, Miura A, Bender J, Jacobsen SE, Kakutani T. 2003. Role of CG and non-CG methylation in immobilization of transposons in Arabidopsis. Curr Biol 13: 421–426. Kaur-Swahney R, Tiburcio AF, Altabella T, Galston AW. Polyamines in plants : An overview. Cell Mol Biol 2 : 1-12. Ke J et al. 2000. The role of pyruvate dehydrogenase and acetyl-CoA synthetase in fatty acid synthesis in developing Arabidopsis seeds. Plant Physiol 123 : 497-508).
148
Kende H. 1993. Ethylene biosynthesis. Annu. Rev. Plant Physiol. Plant Mol Biol 44 : 283-307. Kernodle SP, Cannon RE, Scandalios JG. 1993. Concentration of primer and template qualitatively affect product in ranbom-amplified polymorphic DNA PCR. Biotechnol. 14 : 362-364. Kocsis MG et al. 2003. Insertional inactivation of the methionine Smethyltransferase gene elimination the S-methylmethionine cycle and increases the methylation ratio. Plant Physiol 131(4) : 1808-1815. Konishi T, Sasaki Y. 1994. Compartmentalization of two forms of acetyl-CoA carboxylase in plants and the origin of their tolerance toward herbicides. Proc Natl Acad Sci USA 91 : 3598-3601. Konishi T, Shinohara K, Yamada K, Sasaki Y. 1996. Acetyl-CoA carboxylase in higher plants : most plants other than Gramineae have both the prokaryotic and the eukaryotic forms of this enzyme. Plant Cell Physiol 37 : 117-122. Konze JR, Kwiatkowski GMK. 1981. Rapidly induced ethylene formation after wounding is controlled by regulation of I-aminocyclopropane-1-carboxylic acid synthesis. Planta 151 : 327-330. Korbin M, Kuras A, Golis A, *urawicz E. 2000. Effect of DNA quality on randomly amplified polymorphic DNA-based identification of strawberry (Fragaris x ananassa) genotypes. J.Fruit OrnamentalPlant Res. 8 : 07-115. Kubis SE, Castilho AMMF, Vershinin AV, Heslop-Harrison SJ. 2003. Retroelements, transposons and methylation status in the genome of oil palm (Elaeis guineensis Jacq) and the relationship to somaclonal variation. Plant Mol Biol 52 : 69-79. Kumar A, Bennetzen JL. 1999. Plant retrotransposons. Annu. Rev. Genet. 33 : 479-532. Kuo KC, McCune RA, Gehrke CW. 1980. Quantitative reverse-phase high performance liquid chromatography determination of major and minor modified deoxyribonucleoside in DNA. Nucleic Acids Res. 20 (8) : 47634776. Larkin PJ, Scowcroft WR. 1981. Somaclonal variation-A novel source of variability from cell cultures for plant improvement. TAG 60 :167-214. Lee M, Phillips RL. 1988. The chromosomal basis of somaclonal variation. Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol Biol 39 : 413-437. Lehmann N, Sattler R. 1992. Irregular floral development in Calla palustris and the concept of homeosis. Ame J Bot 79 :1145-1157.
149
Lehninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Thenawidjaya M, penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari :Principles of Biochemistry. 369 hlm. Leroy XJ, Leon K, Branchard M. 2000. BIP-ISSR and Somaclonal variation: a new molecular technique for a important in vitro phenomenon. Plant Biotechnol Mol Genet. ISSN: 0717 – 3458. Universidad Catolica de Valparaiso-Chile. Levert KL, Grover LW, Jacqueline MS. 2002. A biotin analog inhibits acetylCoA carboxylase activity and adipogenesis. J Bio lChem 277:16347-16350. Lewin B. 1997. Genes VI. New York : Oxford Univ Pr. 1260 hlm. Lewis J, Bird AP. 1991. DNA methylation and Lett 285 : 155 -159.
chromatin structure. FEBS
Li E, Bestor TH, Jaenisch R. 1992. Targeted mutation of Dna methyltransferase gene result in embryonic lethality. Cell 69 : 915-926. Liu Y, Su L, Fa Yang S. 1985. Ethylene promotes the capability to malonylate 1Aminocyclopropane-1-carboxylic acid and D-asam amino pada buah tomat klimaterik. Plant Physiol 77 : 891-195. LoSchiavo F et al. 1989. DNA methylation of embryogenic carrot cell cultures and its variations as caused by mutation, differentiation, hormones and hypomethylating drug. TAG. 77 : 325-331. Louis JP. 1989. Genes for the regulation of sex differentiation and male fertility in Mercurialis annua L. J Hered 80 : 104-111. Lubis AU. 1983. Kadar minyak, serat dan air pada daging buah (mesokarp) kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Bull Puslit Marihat 3:5-15. Lubis AU. 1992. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat Bandar Kuala Pematang Siantar-Sumatera Utara. 435 hlm. Madlung A, Comai L. 2004. The effect of stress on genom regulation and structure. Ann Bot. 94 : 841- 495. Martienssen RA, Colot V. 2001. DNA methylation and epigenetic inheritance in plants and filamentous fungi. Science 293 : 1070-1074. Matassi G et al. 1992. Large-scale methylation patterns in the nuclear genomes of plant. Gene 122 : 239 – 245.
150
Matthes M, Singh R, Cheah S-C, Karp A. 2001. Variation in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) tissue culture-derived regenerants revealed by AFLPs with methylation-sensitive enzymes. TAG 102 : 971-979. McCoy TJ, Phillips RL, Rines HW. 1982. Cytogenetic analysis of plants regenerated from oat (Avena sativa) tissue culture: High frequency of partial chromosome loss. Can J Genet Cytol 24: 37-50. McKeon TA. JC Fernandez-Maculet, Shang-Fa Yang. 1995. Biosynthesis and Metabolism of Ethylene. Di dalam :Davies P.J. (Ed). Plant Hormones Physiology, Biochemistry and Molecular Biology. Kluwer Academic Publishers. hlm.118-139. Messeguer R, Ganal MW, Steffens JC, Tanksley SD. 1991. Characterization of level, target sites and inheritance of cytosine methylation in tomato nuclear DNA. Plant Mol Biol 16 : 753-770. Miklas PN, Afanador L, Kelly J. 1996. Recombination-facilitated RAPD markerassisted selection for disease resistance in common bean. Crop Sci 36 : 86-90. Minocha SC et al. 1990. Polyamine and ethylene biosynthesis in relation to somatic embryogenesis in carrot (Daucus carota L.) cell culture. Di dalam : Flores HE, Arteca RN, Shannon, editor. Polyamines and Ethylene : Biochemistry, Physiology and Interactions. Proceeding 5th Annual Penn State Symposium in Plant Physiology Mei 17-19. An American Society of Plant Physiologists Series. Volume ke-5. hlm 339-341. Miura A et al. 2001. Mobilization of transposons by a mutation abolishing full DNA methylation in Arabidopsis. Nature 411: 212–214. Mullis KF, Faloona. 1987. Specific enzymatic amplification DNA in vitro : the polymerase chain reaction. Cold Spring Harbor Symp. Quant Biol 51 : 263273. Murai K, Tahumi S, Koga H, Ogihara Y. 2002. Pistillody homeotic transformation of stamens into pistil-like stuctures, caused by nuclearcytoplasm interaction in wheat. Plant J 29 (2) 169-181. Ng HH, Bird AP. 1999. DNA methylation and chromatin modification. Cuur Opin Genet Dev 9 : 158-163. Nikolau BJ, Ohlrogge JB, Wurtele ES. 2003. Plant biotin-containing carboxylase. Arhives Biochem Biophy 414 : 211-22. http://www.public.iastate.edu/mash/publications/nikolau03.pdf. [8 Nopember 2006].
151
Niu X, Adams CC, Workman JL, Guiltinan MJ. 1996. Binding of the wheat basic leucine zipper protein EmBP-1 to nucleosomal binding sites is modulated by nucleosome positioning. Plant Cell 8 : 1569-1587. Ohlrogge J, Browse J. 1995. Lipid biosynthesis. Plant Cell 7 : 957-970. Okamuro JK, Szeto W, Lotys-Prass C, Jofuku KD. 1997. Photo and hormonal control of meristem identity in the Arabidopsis flower mutants apetala2 and apetala1. Plant Cell 9 : 37-47. Okano M, Bell DW, Haber DA, Li E.1999. DNA methyltransferase Dnmt3a dan Dnmt3b are essential forde novo methylation and mammalian development. Cell 99: 247-257. O’Neil RJW, O’Neil MJ, Graves JAM. 1998. Undermethylation associated with retroelemen activation and chromosome remodelling in an interspesific mammalian hybrid. Nature 393 : 68-72. Paranjothy K. 1984. Oil palm. Di dalam : Ammirato PV, Evans DA, Sharp WR, Yamada Y, editor. Hand Book of Plant Cel Culture. Crop Spesies. Volume ke-3. New York : Macmillan. hlm 591-609. Paranjothy K, Ong LM, Sharifah S. 1993. DNA and protein changes in relation to clonal abnormalities. Di dalam : Proceedings of the 1993 ISOPB International Symposium on Recent Development in Oil Palm Tissue Culture and Biotechnology. September 24-25. Kuala Lumpur. Malaysia. hlm 86-97. Pauls KP, Segal G, Sarfatti M, Welsh J. 1993. Random amplified polymorphic DNA (RAPD) analysis. Meth Plant Mol Biol Biotech CRC Pr. London. Peschke VM, Phillips RL. 1992. Genetic implication of somaclonal variation in plants. Advances in Genetic. Volume ke-29. Acad Pr. hlm 41-75. Phillips RL, Kaeppler SM, Olhoft P. 1994. Genetic instability of plant tissue cultures : Breakdown of normal controls. Proc Natl Acad Sci USA 91: 5222-5226. Powell W et al. 1996. The comparision of RFLP, RAPD, AFLP and SSR (microsatellite) markers for germpalsm analysis. Mol Breed 2 : 225 – 2238. Price Z et al. 2007. Oil palm. Di dalam : Kole C, editor. Genome Mapping and Molecular Breeding in Plants. Volume ke-6. Berlin : Springer-Verlag, hlm 93-108. Purugganan MD, Rounsley SD, Schmidt RJ, Yanofsky MF. 1995. Molecular evolution of flower development: diversification of the plant MADS-Box regulatory gene family. Genetics. 140 : 345-356.
152
Rabinowicx PD et al. 1999. Differential methylation of genes and retrotransposons facilitates shotgun sequencing of the maize genom. Nat Genet 23 : 305-308. Radchuk VR, Sreenivasulu N, Radchuk IR, Wobus U, Weschke W. 2005. The methylation cycle and its possible functions in barley endosperm development. Plant Mol Biol 59:289-307. Rajasegar G, Tan TWH, Turner IM, Kurnar PP. 1997. Analysis of genetic diversity among Ixora cultivar (Rubiaceae) using random amplified polymorphic DNA. Ann Bot 80 : 355-361. Rani V, Parida A, Raina SN. 1995. Random amplified polymorphic DNA (RAPD) markers for genetic analysis in micropropagated plants of Populus deltoides Marsh. Plant Cell Reports 14: 459-462. Rao
IM, Roca WM, Ayarza MA, Tabares E, Gracia R. 1992. Somaclonal variation in plant adaptation to acid soid in the tropical forage legume (Stylosanthes guianensis). Plant Soil 146 : 21-30.
Ravanel S, Gakiere B, Job D, Douce R. 1998. The specific features of methionine bioshythesis and metabolism in plants. Proc Natl Acad Sci USA 95 : 78057812. : http://www.pnas.org/cgi/content/full/95/13/7805, [20 agustus 2007] Razin A. 1998. CpG methylation, chromatin structure and gene silencing - a three way connection. Embo J. 17 : 4905-4908. Razin A, Cedar H. 1994. DNA methylation and genomic imprinting. Cell 77: 473- 476. Renckens S, deGreve H, van Montagu M, Hernalsteens JP. 1992. Petunia plants escape from negative selection against a transgene by silencing the foreign DNA via methylation. Mol General Genet 233 : 53–64. Richards EJ, Elgin SCR. 2002. Epigenetic codes for heterochromatin formation and silencing : rounding up the usual suspects. Cell 108 : 489-500. Riggs
AD. 1975. X-inactivation differentation and Cytogenet Cell Genet 14 : 9 – 25.
DNA methylation.
Risseeuw E. 2004. Flowering in plants: degrading proteins for flowering. PBI Buletin, Issue I. http://pbi-ibp.nrccnrc.gc.ca/en/bulletin/2004issue1/page5.htm. [29 Maret 2005]. Rival A et al. 1996. Scaling-up in vitro clonal propagation through somatic embryogenesis: the case of the oil palm (Elaeis quineensis, Jacq.). Plant Tissue Cult Biotechnol 3 : 74-83.
153
Rival A et al. 1997. Comparative flow cytometric estimation of nuclear DNA content in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) tissue cultures and seedderived plants. Plant Cell Reports 16 : 884-887. Rival A et al. 1998. Suitability of RAPD analysis for the detection of somaclonal variants in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Plant Breed 117 : 73-76. Roesier KR, Shorrosh BS, Ohlrogge JB. 1994. Structure and expression of an Arabidopsis acetyl-coenzyme A carboxylase gene. Plant Physiol 105 : 611617. Rogers AE. 1995. Methyl donors in the diet and responses to chemical carcinogens. Am J Clin Nutr 61 : 659S-665S. Ronemus MJ, Galbiati M, Ticknor C, Chen J, Dellaporta SL. 1996. Demethylation-induced developmental pleiotropy in Arabidopsis. Science 273 : 654-657. Rout GR, Das P, Goel S, Raina SN. 1998. Genetic stability of micropropagated plants of ginger using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) markers. Bot Bull Acad Sin 39 : 23-27. http://ejournal.sinica.edu.tw/bbas/content/1998/1/bot91-04.html. [23 Agustus 2007]. Roy A, Frascaria N, MacKay J, Bousquet J. 1992. Segregating random amplified polymorphic DNAs (RAPD) in Betula alleghaniensis. TAG. 85: 173-180. Rudich J, Havlevy AH, Kende H. 1972. Ethylene evolution from cucumber plants as related to sex expression. Plant Physiol 49 : 998-999. SanMiguel P et al. 1996. Nested retrotransposons in the intergenic regions of the maize genom. Science 274 : 765-768. Santoso D. 1997. Proteic marker for normal fruit setting of oil palms derived from tissue culture. Proceedings of the BTIG workshop on oil palm improvement through biotechnology. Bogor 16-17 April 1997. ISBN 979-8106-03-2. hlm 115-121 Sasaki Y, Konishi T, Nagano Y. 1995. The compartementation of acetylCoenzyme A carboxylase in plant. Plant Physiol 108 : 445-449. Sasaki Y, Nagano Y. 2004. Plant acetyl-CoA carboxylase : Structure, biosynthesis, regulation, and gene manipulation for plant breeding. Biosci Biotecmol Biochem 68 : (6) : 1175-1184. Shah FH, Rashid O, Simons AJ, Dunson A. 1994. The utility of RAPD markers for the determination of genetic variation in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). TAG 89 : 713-718.
154
Shah FH, Ahmed-Parveez GK. 1995. DNA variation in abnormal tissue culture regenerants of Oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) Asia Pac J Mol Biol Biotech 3 : 49-53. Shah FH, Ahmed-Parveez GK, Bakar MA. Levels of C-methylation as molecular markers in oil palm. Sci Oil Palm Breed. hlm 256-273. (tidak ada tahun publikasi) Shapiro HS. 1976. Distribution of purines and pyrimidines in deoxyribonucleic acids. Di dalam: Fasman GD, editor. CRC Handbook of Biochemestry and Molecular Biology. Volume ke-2. Edisi ke-3. CPC Pr, Cleveland. hlm 241281. Singer T, Yordan C, Martienssen RA. 2001. Robertson's Mutator transposons in A. thaliana are regulated by the chromatin-remodeling gene Decrease in DNA Methylation (DDM1). Genes Dev 15: 591–602. Skirvin RM, McPheeters KD, Norton M. 1994. Sources and frequency of somaclonal variation. Hort Sci 29: 1232-1237. Sommer H et al. 1990. Deficiens, a homoetic gene involved in the control flower morphogenesis in Antirrhinum majus : the protein shows homology to transcription factors. EMBO J. 9 : 605-613. Soppe WJ, Jacobsen SE, Alonso-Blanco C, Jackson JP, Kakutani T. 2000. The late flowering phenotype of fwa mutans is caused by gain-of-function epigenetic alleles of a homeodomain gene. Mol Cell 6 :791-802. Stam M, Mol JNM, Kooter JM. 1997. The silence of genes in transgenic plants. Ann Bot 79 : 3-12. Steward N, Ito M, Yamaguchi M, Koizumi N, Sano H. 2002. Periodic DNA methylation in maize nucleosome and demethylation by enviromental stress. J Biol Chem 277 : 37741-37746. Stumpf PK. 1976. Lipid metabolisme. Di dalam : Bonner J, Varner JE, editor. Plant Biochem. Edisi ke-3. New York : Acad Pr. hlm 428-460. Suryo H. 1995. Sitogenetika. Jogyakarta : Gadjah Mada Univ Pr. 446 hlm. Susilo BJ. 10 April 2003. Kelapa Sawit Indonesia Memang Tak Sekadar CPO. Kompas. Suttle JC. 1981. Effect of polyamines on ethylene production. Phytochemistry 20 : 1477-1480.
155
Tabor
CW, Tabor H. 1984. Methionine adenosyltransferase (Sadenosylmethionine synthetase) and S-adenosylmethionine decarboxylase. Adv Enzymol Relaion Areas Mol Biol 56 : 251-282.
Taiz L, Zeiger E. 1991. Plant Physiology. California : Benjamin/Cummings Inc. 559 hlm. Tandon R, Manohara TN, Nijalingappa BHM, Shivanna KR. 2001. Polination and pollen-pistil Interaction in oil palm, Elaeis guineensis. Ann Bot 87 : 831- 838. Tjitrosoepomo G. 2005. Morfologi Tumbuhan. Jogyakarta : Gadjah Mada Univ Pr. 266 hlm. Tőpfer R, Martini N, Schell J. 1995. Modification of plant lipid synthesis. Science 268 : 681-686. http://www.sciencemag.org/feature/data/plants 2001/PDFs/268-5211-681.pdf. [8 Nopember 2006]. Toruan-Mathius N, Bangun SII, Bintang M. 2001. Analisis abnormalitas tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) hasil kultur jaringan dengan teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Menara Perkebunan. 69(2) : 58-70. Tregear JW et al. 2002. Characterization of a defensin gene expressed in oil palm inflorescences:induction during tissue culture and possible association with epigenetic somaclonal variation events. J Exp Bot 53 (373) : 1387-1396. Van der Straeten D, van Montagu M. 1990. Biochemestry and molecular genetic of ethylene bioshyntesis and signal transduction. Di dalam : Flores HE, Arteca RN, Shannon, editor. Polyamines and Ethylene : Biochemistry, Physiology and Interactions. Proceeding 5th Annual Penn State Symposium in Plant Physiology Mei 17-19. An American Society of Plant Physiologists Series. Volume ke-5. hlm 36-49. van Harten AM. 1998. Mutation Breeding. Cambridge Univ Pr. hlm 163-246. Vanyushin BF. 2005. Enzymatic DNA methylation is an epigenetic control for genetic functions of the cell. Biochem (Moscow) 70 (5) : 488-499. Wada Y, Miyamoto K, Kusano T, Sano H. 2004. Association between upregulation of stress-responsive genes and hypomethylation of genomic DNA in tobacco plants. Mol Genet Genom 271: 658-666. Wada Y. 2005. Physiological functions of plant DNA metiltransferase. Plant Biotechnol 22(2) : 71-80.
156
Wagner I, Capesius I. 1981. Determination of 5-methylcytocine from plant DNA by high-performance liquid chromatography. Biochem Biophy Acta 654 : 52-56. Walker EL. 1998. Paramutation of the rl locus of maize is associated with increased cytosine methylation. Genetics 148 : 1973–1981. Welsh J, McClelland M. 1990. Fingerprinting genomes using PCR with arbitrary primers. Nucl Acids Res 18 : 7213-7219. Whipple CJ et al. 2004. Conservation of B-class floral homeotic gene function between mize and Arabidopsis. Development 131 : 6083-6091. Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalski JA, Tingey SV. 1990. DNA polymorphism amplified by arbitrary primers are usefull as genetic markers. Nucl Acids Res 18 : 6531-6535. Williamson P, Felsenfeld G. 1978 Transcription of histone-covered T7 DNA by Escherichia coli RNA polymerase. Biochemistry 17 : 5695-5705. Wilson K, Walker J. 2000. Principles and Techniques of Practical Biochemistry. Edisi ke-5. Cambridge Univ Pr. Wolffe AP, Matzke MA. 1999. Epigenetics : regulation through repression. Science 286 : 481- 486. Wong G, Chong SP, Tan CC, Soh AC. 1999. Liquid Suspension Culture –A Potential Tecnique for Mass Production of Oil Palm Clones. Palm Oil Research Institute of Malaysia. Xiong LZ, Xu CG, Saghai-Maroof MA, Zang Q. 1999. Patterns of cytosine methylation in an elite rice hybrid and its parental lines, detected by a methylation-sensitive amplification polymorphism technique. Mol Gen Genet 261 : 439-446. Xu M, Li X, Korban SS. 2004. DNA-methylation alterations and exchanges during in vitro cellular differentiation in rose (Rose hybrida L) TAG 109 : 899-910. Yang SF, NE Hoffman. 1984. Ethylene biosynthesis and its regulation in higher plant. Annu. Rev. Plant Physiol. 35 : 155-189. Yin T, Quinn JA. 1995. Test of a mechanistic model of one hormone regulating both sexes in Cucumis sativus (Cucurbitaceae). Am J Bot 82 : 1537-1546.
157
Yuniastuti E. 2004. Analisis Klon-Klon Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil Kultur Jaringan Yang Berbuah Normal dan Abnormal Dengan SDSPAGE Protein, RAPD dan AFLP. [disertasi]. Bandung : Program Pasca Sarjana, Universitas Padjadjaran. 158 hlm. Zahn LM, Leebens-Mack J, DePamphilis CW, Ma H, Theissen G. 2005. To B or not to B a Flower: The role of DEFICIENS and GLOBOSA orthologs in the evolution of the Angiosperms. J. Hered. 96 (3) :225-240. Zingg JM, Jones PA. 1997. Genetic and epigenetic aspects of DNA methylation on genom expression, evolution, mutation and carcinogenesis. Carcinogenesis 18 (5): 869-882. Zluvova J, Janousek B, Vyskot B. 2001. Immunohistochemical study of DNA methylation dynamics during plant development. J.Exp. Bot. : 52 (365) : 2265 -2273.
158
LAMPIRAN
159
Lampiran 1 Prosedur ekstrasi minyak dari mesokarp kelapa sawit
160
Lampiran 2
Kandungan minyak dan bobot bahan kering mesokarp
Tabel 1. Kandungan minyak pada dua fase buah panen dari beberapa klon kelapa sawit
P
Tabel 2. Rataan kandungan minyak dan bobot bahan kering pada beberapa tingkat abnormalitas buah
161
Lampiran 3 Prosedur ekstrasi protein dan reaksi ensim asetil-KoA karboksilase
(a)
Prosedur Ekstrasi Protein
(b)
Prosedur untuk pengukuran malonil-KoA dan asetil-KoA (kerja ensim ACCase)
162
Lampiran 4
Pola kurva asetil-KoA dan malonil-KoA teknik HPLC pada beberapa tingkat abnormalitas buah dengan Standar : Asetil-KoA
Standar : Malonil-KoA
Buah Normal (MK 152)
163
Lanjutan Buah abnormal sangat berat 2 (AbSB2 / MK 152)
Buah normal (MK 209)
Buah abnormal ringan (AbR / MK 209)
164
Lanjutan Buah abnormal sangat berat 2 (AbSB2 / MK 209)
Standar : asetil-KoA
Standar : malonil-KoA
165
Lanjutan Buah abnormal berat (AbB / MK176 )
Buah abnormal sangat berat 1 (AbSB1)
166
Lampiran 5 Hubungan antara kandungan minyak, malonil-KoA dan asetil-KoA pada mesokarp beberapa tingkat abnormalitas
100.0
0.10 0.08
70.0
0.06
40.0
0.04
Minyak (%)
Malonil-KoA (mg/ml
Hubungan antara malonil-KoA dan minyak (r = 0.97*)
0.02
10.0
0.00
-20.0 Normal
AbR AbB AbSB1 Tingkat Abnormalitas Malonil-KoA
AbSB2
Minyak
0.10
100.0
0.08
80.0
0.06
60.0
0.04
40.0
0.02
20.0
0.00
0.0 Normal
AbR AbB AbSB1 Tingkat Abnormalitas Asetil-KoA
Minyak (%)
Asetil-KoA (mg/ml
Hubungan antara kandungan asetil-KoA dan minyak (r = -0.78tn)
AbSB2
Minyak
0.10
0.10
0.08
0.08
0.06
0.06
0.04
0.04
0.02
0.02
0.00
0.00
Normal
AbR AbB AbSB1 Tingkat Abnormalitas Asetil-KoA
Malonil-KoA
AbSB2
Malonil-KoA (mg/ml
Asetil-KoA (mg/ml
Hubungan antara kandungan asetil-KoA dan malonil-KoA ( r = -0.87tn)
167
Lampiran 6 Prosedur isolasi DNA dari beberapa jaringan kelapa sawit
168
Lampiran 7 Prosedur penyiapan nukleosida untuk kuantifikasi metilsitidin
169
Lampiran 8
Pola kurva metilsitidin dan sitidin dengan teknik RP-HPLC pada jaringan daun, bunga dan buah
Standar Nukleosida RP-HPLC Standar : Metilsitidin (a)
Standar : Sitidin (a)
Standar : Metilsitidin (b)
170
Lanjutan Standar : Sitidin (b)
Tanaman Berbuah Normal Jaringan Daun (Standar metilsitidin dan sitidin b)
Jaringan Bunga (Standar metilsitidin dan sitidin a)
171
Lanjutan Jaringan Buah (Standar metilsitidin dan sitidin b)
Tanaman Berbuah Abnormal (AbB) Jaringan Daun (Standar metilsitidin dan sitidin b)
Jaringan Bunga (Standar metilsitidin dan sitidin b)
172
Lanjutan Jaringan Buah ((Standar metilsitidin dan sitidin b)
Tanaman Berbuah Abnormal Sangat Berat 1 (AbSB1) Jaringan Daun (Standar metilsitidin dan sitidin b)
Jaringan Bunga (Standar metilsitidin dan sitidin b)
173
Lanjutan Jaringan Buah (Standar metilsitidin dan sitidin b)
Tanaman Berbuah Sangat Berat 2 (AbSB2) Jaringan Daun (Standar metilsitidin dan sitidin b)
Jaringan Bunga (Standar metilsitidin dan sitidin a)
174
Lanjutan Jaringan Buah (Standar metilsitidin dan sitidin b)
175
Lampiran 9
Kandungan metil sitosin (5mC) pada DNA genom jaringan daun, bunga dan buah dengan tingkat abnormalitas buah
176
Lampiran 10
Pola pita DNA monomorfis hasil amplifikasi primer SC10-76 dan AE-11
Primer SC10-76
Primer AE-11