HUBUNGAN KEMANDIRIAN DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN TINGKAT STRES LANSIA
INDRI HERYANTI PUTRI
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Hubungan Kemandirian dan Dukungan Sosial dengan Tingkat Stres Lansia” adalah karya saya dengan arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun di suatu perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya orang lain diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian terakhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Indri Heryanti Putri Nim I24052113
ABSTRACT INDRI HERYANTI PUTRI. The Relationship between Independency and Social Support with Stress of Elderly. Under guidance of Diah Krisnatuti. The main purpose of this research was to observe the relation between independency and social support with stress level of elderly on married and widowed status. The method of this research was cross sectional study with 66 samples (33 from each married and widowed). Data was analyzed by sample independent T-test, Mann-Whitney, Spearman correlation, and regression. This research showed that sample married males is more than females and sample widowed females is more than males. Males have better emotional independent than females. Independency has significant correlation with stress level, in which sample with higher independent level has lower stress level. Social support has no significant correlation with stress. Independency and social support of elderly was classified as middle level. The emotion, instrumental and information support of elderly are mostly came from family. Mean while the self-esteem support came from friend. Stress level of elderly was classified as low level and was influenced by quantities of children and diseases, work status and emotion independent. There is no difference about characteristic, health and physical condition, social support, independency and stress level between married and widowed sample. But there is difference about gender, work status, pattern of residence and emotion independent between them. Keyword: independency, social support, elderly stress.
RINGKASAN INDRI HERYANTI PUTRI. Hubungan Kemandirian dan Dukungan Sosial dengan Tingkat Stres Lansia. Dibawah bimbingan ibu Diah Krisnatuti. Tujuan umum penelitan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat stres responden. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi karakteristik, kondisi fisik dan kesehatan responden berstatus menikah dan janda/duda, 2) Mengidentifikasi tingkat stres, tingkat kemandirian dan dukungan sosial responden berstatus menikah dan janda/duda, 3) Menganalisis hubungan karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik dengan tingkat stres dan tingkat kemandirian kedua kelompok responden, 4) Menganalisis hubungan dan pengaruh tingkat kemandirian dan dukungan sosial terhadap tingkat stres kedua kelompok responden. Desain penelitian cross sectional study, lokasi di Kota Bogor. Pemilihan lokasi secara purposive dengan pertimbangan kemudahan menjangkau responden dan jumlah penduduk lansia terbanyak di Kelurahan Cilendek Barat (RW 05 dan 12). Penelitian dilakukan selama bulan Juli sampai Desember 2010. Responden penelitian adalah seseorang berusia 60 tahun ke atas, bertempat tinggal di Kelurahan Cilendek Barat Kecamatan Bogor Barat baik pria maupun wanita yang dibedakan berdasarkan status pernikahan lansia saat ini (menikah atau janda/duda). Pemilihan responden dari masing-masing RW secara cluster random sampling. Jumlah responden dalam penelitian ini 66 orang (33 orang menikah dan 33 orang janda/duda). Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan kuisioner meliputi: karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik, tingkat kemandirian, dukungan sosial serta gejala stres responden. Data sekunder diperoleh dari studi literatur buku, internet dan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik penelitian. Analisis data yang dilakukan uji korelasi Spearman, uji T-test dan Mann-Whitney serta uji regresi linear berganda. Hasil penelitian memperlihatkan proporsi terbesar jenis kelamin responden berstatus menikah (60,6%) laki-laki dan status janda/duda (87,9%) perempuan. Lebih dari separuh responden pada kategori lansia awal (60-69 tahun). Sepertiga responden tidak tamat SD. Proporsi terbesar responden tidak bekerja. Jenis pekerjaan responden berstatus menikah (18,2%) sebagai pedagang/wiraswasta, sementara itu terdapat kesamaan persentase (12,1%) untuk pembantu dan berdagang pada status janda/duda. Lebih dari separuh responden berpendapatan kurang dari lima ratus ribu rupiah/bulan. Proporsi terbesar responden memiliki sumber pendapatan dari bekerja atau pensiunan. Responden berstatus menikah memiliki persentase yang sama untuk kategori keluarga sedang (36,4%) dan kecil (36,4%), sedangkan pada status janda/duda terkategori keluarga sedang (57,6%). Jumlah anak responden berstatus menikah terkategori sedang (39,4%) dan banyak (39,4%), sedangkan pada status janda/duda (39,4%) terkategori banyak. Pola tempat tinggal responden terbanyak tinggal bersama pasangan dan anak atau anak saja. Proporsi terbesar kondisi kesehatan yaitu memiliki 2 jenis penyakit dengan jenis penyakit terbanyak diderita adalah darah tinggi pada responden berstatus menikah (48,5%) serta darah tinggi dan asam urat pada status janda/duda (masing-masing 45,5%). Lebih dari separuh responden pada kategori tidak sakit secara fisik. Untuk jenis sakit fisik yang paling banyak dikeluhkan yaitu kaki agak susah jalan jauh. Persentase terbesar tingkat kemandirian total (menikah (69,7%) dan janda/duda (48,5%)), kemandirian aktivitas sehari-hari (menikah (54,6%) dan
janda/duda (39,4%)) dan kemandirian interaksi sosial (masing-masing 57,6%) pada kategori mandiri. Sementara itu responden berstatus menikah terkategori mandiri secara ekonomi (39,4%) dan sangat mandiri secara emosi (48,5%), sebaliknya pada status janda/duda yaitu terkategori sangat mandiri secara ekonomi (36,3%) dan mandiri secara emosi (39,4%). Dukungan sosial total dan dukungan emosi responden berstatus menikah (total (54,6%) dan emosi (51,5)) terkategori sedang, sementara pada status janda/duda (total (54,5%) dan emosi (63,6%)) terkategori baik. Dukungan instrumental pada kategori baik (menikah (87,9%) dan janda/duda (84,9%)), sedangkan dukungan informasi pada kategori sedang (menikah (48,5%) dan janda/duda (45,5%)). Dukungan penghargaan diri (self-esteem) responden berstatus menikah (48,5%) terkategori sedang, sementara pada status janda/duda memiliki persentase yang sama pada kategori sedang (42,5%) dan baik (42,5%). Sumber dukungan yang dimiliki untuk aspek emosi (menikah (42,5%) dan janda/duda (46,1%)), instrumental (menikah (81,2%) dan janda/duda (76,6%)) dan informasi (menikah (46,1%) dan janda/duda (42,6%)) terbanyak dari keluarga. Sementara sumber dukungan penghargaan diri, responden berstatus menikah (42,4%) terbanyak dari keluarga dan teman atau dengan kata lain dari semua pihak, sedangkan pada status janda/duda (48,5%) sumber dukungan terbanyak diperoleh dari teman. Tingkat stres responden berstatus menikah (100%) dan berstatus janda/duda (100%) pada kategori ringan. Tingkat kemandirian total dan ekonomi lebih baik pada responden berstatus bekerja. Sementara itu semakin tua responden maka tingkat kemandirian total, aktivitas sehari-hari dan emosi semakin rendah. Semakin banyak anak dan sumber pendapatannya dari anak maka tingkat kemandirian total dan ekonomi semakin rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kemandirian emosi semakin baik, responden laki-laki memiliki kemandrian emosi lebih baik. Semakin buruk kondisi kesehatan dan semakin tua usia responden maka semakin tinggi tingkat stresnya. Dari hasil uji hubungan diketahui pula bahwa kemandirian berhubungan nyata dan negatif dengan tingkat stres, sedangkan tidak terdapat hubungan nyata antara dukungan sosial dengan tingkat stres responden. Tingkat stres dalam penelitian ini dipengaruhi kemandirian emosi, jumlah anak, status pekerjaan dan jumlah penyakit. Jumlah anak dan kemandirian emosi berpengaruh nyata dan negatif dengan tingkat stres. Status pekerjaan dan jumlah penyakit berpengaruh nyata dan positif dengan tingkat stres responden. Hasil T-test dan Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara responden berstatus menikah dan janda/duda dari segi karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik, tingkat kemandirian, dukungan sosial dan tingkat stres, hanya terdapat perbedaan pada status pekerjaan, jenis kelamin, pola tempat tinggal dan kemandirian emosi responden. Berdasarkan hasil penelitian maka diharapkan untuk dilakukan pemberdayaan lansia dengan membentuk kelompok pelatihan usaha mandiri dan upaya preventif kesehatan (olah raga dan penyuluhan gizi lansia) oleh para kader POSBINDU dan instansi pemerintah terkait guna menjadikan lansia yang mandiri dan sejahtera.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
HUBUNGAN KEMANDIRIAN DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN TINGKAT STRES LANSIA
INDRI HERYANTI PUTRI
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sains pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: HUBUNGAN KEMANDIRIAN DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN TINGKAT STRES LANSIA
Nama Mahasiswa : Indri Heryanti Putri Nim
: I24052113
Menyetujui : Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS. NIP. 19601007 198503 2 001
Mengetahui : Ketua Departemen IKK,
Dr. Ir. Hartoyo, MSc NIP. 19630714 198703 1002
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT dalam kehidupan ini yang telah memberikan segala kenikmatan rahmat dan hidayahNya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “ Hubungan Kemandirian dan Dukungan Sosial dengan Tingkat Stres Lansia” dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun guna melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana S-1 Jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disadari dalam penulisan skripsi ini banyak kesulitan yang dihadapi, namun dengan adanya bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orangtua dan keluarga atas semua dorongan dan semangat yang telah diberikan. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ir. M.D. Djamaludin, M.Sc selaku Dosen pembimbing akademik yang selama tiga tahun di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan motivasi kepada saya. 2. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS selaku Dosen pembimbing skripsi yang bersedia
meluangkan
waktunya
selama
masa
perkuliahan
untuk
membimbing saya. 3. Dr.Ir. Herien Puspitawati MSc, MSc dan Alfiasari, SP, MSi selaku Dosen penguji atas saran dan masukan yang diberikan. 4. Tin Herawati, SP., M. Si selaku pembimbing seminar yang bersedia untuk meluangkan waktunya memandu seminar sehingga dapat berjalan dengan baik. 5. Seluruh staf pengajar IKK atas segala ilmu dan bantuannya selama perkuliahan dan seluruh staf pegawai Fakultas Ekologi Manusia IPB yang telah membantu penulis baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Mardiana Rusman dan Elfi Kusumaardiati yang telah membantu dan membimbing, juga memberi saran-saran serta kesabaran kepada saya dalam merampungkan penelitian ini hingga selesai.
7. Rekan-rekan IKK 42, Dini, Tika, Anne, Sri, Endah, Asroheni, Eka WL dll, yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu disini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan segala kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan skripsi penelitian ini menjadi lebih baik lagi. Atas perhatian serta kritik dan saran yang diberikan, penulis mengucapkan terima kasih.
Bogor, Maret 2011 Penulis
Indri Heryanti Putri
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat pada Tanggal 9 Agustus 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari keluarga bapak Boy Ahmad Biran dan Ibu Wahyu Handayani. Pendidikan dasar (SD) pada tahun 1993 hingga tahun 1996 di SD Angkasa 2 Bogor dan melanjutkan lagi di SDN Cideng 09 pagi Cilamaya Jakarta Pusat dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, tahun 1999 penulis melanjutkan lagi sekolahnya ke jenjang pendidikan tingkat menengah pertama di SLTP Negeri 94 Jakarta sampai tahun 2002. Setelah itu penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas di SMU Negeri 2 Bogor sampai dengan tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Kleuarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI. ................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
ix
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................ Perumusan Masalah ....................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................ Kegunaan Penelitian .......................................................................
1 3 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Kemandirian .................................................................................... Dukungan Sosial ............................................................................. Stres ............................................................................................... Lansia . ............................................................................................
7 10 15 21
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................
27
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu ............................................................ Cara Pemilihan Contoh.................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................. Pengolahan dan Analisis Data......................................................... Definisi Operasional.........................................................................
31 31 32 33 37
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................ Karakteristik Responden.................................................................. Kondisi Kesehatan dan Fisik .......................................................... Tingkat Kemandirian ........................................................................ Dukungan Sosial.............................................................................. Tingkat Stres.................................................................................... Hubungan Antar Variabel ................................................................
39 40 47 51 55 61 63
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
71
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
73
LAMPIRAN. .................................................................................................
77
DAFTAR TABEL Halaman 1 Data primer dan data sekunder serta cara pengumpulannya .................. 32 2 Data hasil uji reliabilitas ............................................................................. 33 3 Data dan cara pengolahannya................................................................... 33 4 Data sebaran responden berdasarkan jenis kelamin ................................ 40 5 Data sebaran responden berdasarkan usia............................................... 41 6 Data sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ........................ 42 7 Data sebaran responden berdasarkan status pekerjaan .......................... 43 8 Data sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan ............................. 43 9 Data sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan....................... 44 10 Data sebaran responden berdasarkan sumber pendapatan ..................... 45 11 Data sebaran responden berdasarkan besar keluarga ............................ 46 12 Data sebaran responden berdasarkan jumlah anak .................................. 46 13 Data sebaran responden berdasarkan pola tempat tinggal ....................... 47 14 Data sebaran responden berdasarkan jumlah keluhan penyakit............... 48 15 Data sebaran responden berdasarkan jenis penyakit ............................... 49 16 Data sebaran responden berdasarkan jumlah keluhan fisik ...................... 50 17 Data sebaran responden berdasarkan jenis keluhan fisik ......................... 51 18 Data sebaran responden berdasarkan kemandirian aktivitas sehari-hari .. 52 19 Data sebaran responden berdasarkan kemandirian ekonomi ................... 52 20 Data sebaran responden berdasarkan kemandirian emosi ....................... 53 21 Data sebaran responden berdasarkan kemandirian interaksi sosial ......... 54 22 Data sebaran responden berdasarkan kemandirian total .......................... 55 23 Data sebaran responden berdasarkan dukungan emosi ........................... 56 24 Data sebaran responden berdasarkan dukungan instrumental ................. 57 25 Data sebaran responden berdasarkan dukungan informasi ...................... 57 26 Data sebaran responden berdasarkan dukungan self-esteem .................. 58 27 Data sebaran responden berdasarkan dukungan sosial total ................... 59 28 Data sebaran responden berdasarkan sumber dukungan ........................ 60 29 Data sebaran responden berdasarkan gejala stres ................................... 62 30 Data sebaran responden berdasarkan tingkat stres .................................. 63 31 Data hubungan karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik dengan tingkat kemandirian responden ............................................................................. 64 32 Data hubungan karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik dengan tingkat
stres responden ......................................................................................... 65 33 Data hubungan tingkat kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat stres responden ......................................................................................... 66 34 Data pengaruh tingkat kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat stres responden ......................................................................................... 68
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Model stres ABC-X Hill .............................................................................. 19 2 Model stres resiliensi McCubbin ................................................................ 20 3 Kerangka pemikiran ................................................................................... 29 4 Kerangka pengambilan contoh .................................................................. 31
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data sebaran responden berdasarkan sumber dukungan sosial per item stres responden ........................................................................................... 79 2 Data uji hubungan ....................................................................................... 81
ix
PENDAHULUAN
Latar Belakang Lansia adalah orang berusia lanjut yang dalam beberapa referensi belum disepakati batasan umurnya. Menurut Connidis (2010), Lansia adalah seseorang yang berusia sekitar 60 sampai 65 tahun atau lebih. Sementara itu Burnside (1979) diacu dalam Anitasari (1993) mengatakan batasan lansia didasarkan pada usia kronologisnya yaitu : young-old (60-69 tahun), middle-age-old (70-79 tahun), old-old (80-89 tahun) dan very-old-old (lebih dari 90 tahun). Undang-Undang No. 13 tahun 1998 diacu dalam Widyantari (2003) mendefinisikan lanjut usia sebagai seseorang yang telah mencapai usia 60 (enampuluh) tahun keatas. Peningkatan pelayanan kesehatan dan membaiknya keadaan ekonomi pada akhir abad ini membawa dampak pada peningkatan harapan hidup, sehingga bertambah banyak orang yang akan mencapai usia lanjut (Oswari 1985). Menurut Menkokesra (tanpa tahun), jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 1980 berjumlah 7.998.543 jiwa atau 5,45 persen dari total penduduk dengan usia harapan hidup sekitar 52,2 tahun, pada tahun 1990 berjumlah 11.277.557 jiwa atau sekitar 6,29 persen dari total penduduk dengan usia harapan hidup 59,8 tahun, pada tahun 2000 berjumlah 14.439.967 jiwa atau sekitar 7,18 persen dari total penduduk dengan usia harapan hidup 64,5 tahun, pada tahun 2006 berjumlah kurang lebih 19 juta jiwa atau 8,9 persen dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta atau 9,77 persen dari total penduduk dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta atau 11,34 persen dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Sementara
itu
Sugiri
(2009)
peningkatan jumlah penduduk lanjut usia
berpendapat,
bersamaan
dengan
tersebut membawa implikasi pada
berbagai aspek kehidupan, baik berkeluarga maupun bermasyarakat. Salah satunya adalah masalah yang berkaitan dengan kehidupan penduduk lansia, yaitu
beban
ketergantungan
(dependency
ratio)
semakin
besar. Setiap
penduduk usia produktif akan menanggung semakin banyak penduduk usia lanjut. Wirakartakusuma dan Anwar (1994) diacu dalam Suhartini (2009a) memperkirakan angka ketergantungan usia lanjut pada tahun 1995 adalah 6,93% dan tahun 2015 menjadi 8,74% yang berarti bahwa pada tahun 1995 sebanyak 100 penduduk produktif harus menyokong tujuh orang usia lanjut yang berumur
2
65 tahun ke atas sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 100 penduduk produktif harus menyokong sembilan orang usia lanjut yang berumur 65 tahun ke atas. Menjadi tua merupakan suatu proses yang senantiasa mengiringi kehidupan setiap manusia. Proses menua merupakan proses alami yang pasti dialami oleh semua makhluk hidup tanpa terkecuali semenjak ia dilahirkan sampai ia meninggal. Lahir, tumbuh dan menjadi tua merupakan siklus kehidupan yang wajar dialami manusia, namun dalam proses tersebut terutama pada usia lanjut diiringi dengan terjadinya perubahan-perubahan kearah kemunduran. Kemunduran yang paling pertama dirasakan oleh lansia umumnya adalah dalam hal fisik. Oswari (1985) mengatakan bahwa pada umur empat puluhan, biasanya orang masih dapat membaca dengan mata biasa, tetapi setelah itu sebagian besar orang memerlukan kacamata untuk membaca. Pada umur kirakira 50 tahun alat pengecap mulai pula kehilangan rasa, sedangkan alat pencium berkurang pada umur kira-kira 60 tahun. Pada umur 60 tahun seseorang hanya mempunyai 50 persen dari kekuatan otot masa remajanya. Penurunan kondisi fisik lanjut usia berpengaruh pada kondisi psikis. Dengan berubahnya penampilan, menurunnya fungsi panca indra menyebabkan lanjut usia merasa rendah diri, mudah tersinggung dan merasa tidak berguna lagi. Kondisi kesehatan mental lanjut usia di Kecamatan Badung Bali menunjukkan bahwa pada umumnya lanjut usia di daerah tersebut tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Lansia merasa tidak senang dan bahagia dalam masa tuanya, karena berbagai kebutuhan hidup dasar tidak terpenuhi, dan merasa sangat sedih, sangat kawatir terhadap keadaan lingkungannya. Dalam sosialisasi terkait urusan di masyarakat kurang aktif (Suryani 1999 diacu dalam Suhartini 2009a). Berbagai kemunduran yang dialami lanjut usia dalam proses menuju tua menjadikan lansia menjadi terbatas dalam melakukan aktifitasnya dan cenderung tergantung
dengan
orang
lain.
Hurlock
(1980)
mengatakan
bahwa
ketergantungan lansia pada orang lain membuat lansia menjadi merasa tidak berguna dan terbatas segala aktivitasnya, sehingga akan dapat mendatangkan beban metal tersendiri bagi lansia. Untuk lansia yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi dalam proses menuanya ini, lambat laun akan menyebabkan stres. Stres itu sendiri merupakan gejala yang timbul akibat
3
kesenjangan (gap) antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi (Utomo 2009).
Perumusan Masalah Lansia merupakan tahap terakhir kehidupan manusia. Pada tahap ini pertumbuhan yang terjadi mengarah pada kemunduran. Sesuai Hurlock (1980) yang mengatakan bahwa perkembangan pada lansia berbeda dengan perkembangan pada tahap usia lainnya yaitu pada lansia perkembangan yang terjadi lebih mengarah pada kemunduran. Disisi lain terjadi perubahan struktur supportif dari lansia dengan mulai banyaknya perempuan yang umumnya menjadi pengasuh bagi lansia mulai turun ke dunia kerja sehingga lansia menjadi terabaikan. Oswari (1985) juga mengatakan perkembangan lansia paling pesat terjadi di negara-negara berkembang yang umumnya lansia memiliki ekonomi kurang. Suhartini (2009a) mengatakan bahwa sebagian besar lanjut usia di Kecamatan Jambangan Surabaya memiliki penghasilan yang rendah. Sementara itu masih banyak lansia terlantar di Indonesia yang umumnya tidak memiliki rumah dan pekerjaan. Sementara kebijakan negara berupa ramah lansia masih kurang dapat menyentuh semua lansia yang ada khususnya bagi lansia yang masih memiliki keluarga. Karena kebijakan yang ada lebih berfokus pada lansia-lansia terlantar dan tidak punya sanak saudara. Mundiharno (1994) diacu dalam Latifah (2000) mengatakan bahwa selama ini perhatian pemerintah terhadap lanjut usia masih kurang. Hal ini terlihat dari kebijakan pembangunan yang lebih tertuju pada lanjut usia bermasalah. Karena itu penting kiranya unuk melihat bagaimana lansia dalam melalui hari-harinya terutama bagi lansia yang masih memiliki keluarga. Selain itu permasalahan terbesar yang menimpa lansia adalah masalah kesehatan, penurunan kondisi fisik dan kesepian. Sehingga penting kiranya melihat kepemilikan dukungan sosial lansia guna membantu lansia dalam menyesuaikan diri dengan kondisi tuanya. Menurut Kuntjoro (2002) dukungan sosial merupakan bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orangorang tertentu dalam kehidupannya dan berada pada lingkungan sosial tertentu yang membuat si penerima merasa diperhatikan, dihargai dan dicintai. Sementara berdasarkan kepada berbagai kemunduran yang dialami lansia maka penting juga untuk mengetahui tingkat kemandirian lansia merujuk
4
pada kemunduran dan keterbatasan yang dimiliki lansia. Kemandirian sendiri menurut Mu’tadin (2002) merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Berdasarkan uraian diatas, maka penting kiranya bagi peneliti untuk melakukan penelitian terkait dengan : 1. Bagaimana karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik lansia? 2. Bagaimana tingkat kemandirian, kepemilikan dukungan sosial dan tingkat stres lansia seiring dengan terjadinya berbagai kemunduran yang menyertai proses penuaannya? 3. Apakah hubungan karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik lansia terhadap kemandirian dan tingkat stresnya pada lansia? 4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat stres lansia?
Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Adapun tujuan umum dari penelitan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kemandirian dan kepemilikkan dukungan sosial dengan tingkat stres pada lanjut usia.
Tujuan Khusus : 1. Mengidentifikasi karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik responden yang berstatus menikah dan berstatus janda/duda. 2. Mengidentifikasi
kemandirian,
dukungan
sosial
dan
tingkat
stres
responden yang berstatus menikah dan berstatus janda/duda. 3. Menganalisis hubungan karakteristik dan kondisi kesehatan serta fisik terhadap kemandirian dan tingkat stres kedua kelompok responden. 4. Menganalisis hubungan dan pengaruh kemandirian dan dukungan sosial terhadap tingkat stres kedua kelompok responden.
Kegunaan Penelitian 1. Bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai tingkat kemandirian lansia, dukungan sosial yang diterima lansia dan tingkat stres pada lansia. Selain itu juga hubungan
5
dari tingkat kemandirian, dukungan sosial yang diterima dengan tingkat stres lansia. Sehingga diharapkan bagi para keluarga yang memiliki anggota lansia dapat menjadi sumber informasi untuk melakukan upaya preventif dan promotif kesejahteraan dan kebahagian lansia. 2. Bagi institusi pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan lansia khususnya terkait kemandirian, dukungan sosial dan tingkat stres lansia. Ataupun sebagai rujukkan bagi penelitian lanjutan dengan mengembangkan variabel-variabel yang sudah diteliti. 3. Bagi pemerintah dan instansi terkait Diharapkan juga penelitian ini akan dapat memberikan informasi kepada pemerintah sebagai referensi dalam penentuan kebijakan selanjutnya dalam permasalahan lansia mengingat Indonesia saat ini sedang memasuki negara berstrukstur lanjut usia.
TINJAUAN PUSTAKA
Kemandirian Asosiasi Psikologi Amerika (American Psychological Assocciation) menemukan bahwa salah satu dari empat kebutuhan psikologis tergantung yang membuat manusia bahagia adalah autonomy atau kemandirian, yaitu rasa bahwa apa yang dikerjakan adalah pilihan dan diperjuangkan oleh diri sendiri (Agussabti 2002, diacu dalam Priana 2004). Budi (2008) mendefinisikan kemandirian sebagai kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Mandiri menurut Mu’tadin (2002) merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Dari pendapat beberapa ahli, Ruhidawati (2005) mengartikan kemandirian merupakan suatu keadaan dimana seorang individu memiliki kemauan dan kemampuan berupaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya secara sah, wajar dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukannya, namun demikian tidak berarti bahwa orang yang mandiri bebas lepas tidak memiliki kaitan dengan orang lain. Mu’tadin (2002) juga mengatakan bahwa untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri Kemandirian pada lansia menurut Snowdon et al. (1989) dapat dipengaruhi oleh pendidikan lansia, dipengaruhi juga oleh gangguan sensori khususnya penglihatan dan pendengaran (Raina et al. 2004), dipengaruhi oleh penurunan dalam kemampuan fungsional (Verbrugge et al. 1997, diacu dalam Mathieson et al. 2002), dan dipengaruhi pula oleh kemampuan fungsi kognitif lansia yang juga menurun (Greiner et al. 1996). Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan mampu mempertahankan hidupnya lebih lama dan bersamaan dengan itu dapat mempertahankan kemampuan fungsional/kemandiriannya juga lebih lama karena cenderung melakukan pemeliharaan dan upaya pencegahan pada kesehatannya (Snowdon et al. 1989; (Pinsky et al. 1987; Haug et al. 1987; Willey et al. 1987; National Center for Health Statistics 1981, 1988), diacu dalam Snowdon et al. 1989).
8
Raina et al. (2004) dalam penelitiannya mendefinisikan kemandirian fungsional pada lansia dengan mengukur keterbatasan aktivitas instrumental sehari-hari (IADL: instrumental activity daily living), kesejahteraan emosi lansia dan persepsi terhadap kontrol pengambilan keputusan sehari-hari. Sementara itu Verbrugge et al. (1997) diacu dalam Mathieson et al. (2002) mengatakan bahwa lansia sering mengalami penurunan dalam kemampuan fungsional dan mengalami kesulitan yang lebih besar dalam melakukan tugas sehari-hari. Mathieson et al. (2002) dalam penelitiannya mengukur kemandirian lansia dengan melihat kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari berupa aktivitas dasar (BADLs/ basic activities of daily living), aktivitas dalam berpindah/bergerak (MADLs/ mobility activities of daily Living) dan dalam hal penggunaan alat-alat (IADLs/ instrumental activities of daily Living). Setiati (2000) diacu dalam Suhartini (2009b) juga mengatakan bahwa kualitas hidup orang lanjut usia dapat dinilai dari kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) menurut Setiati (2000) ada 2 yaitu AKS standar dan AKS instrumental. AKS standard meliputi kemampuan merawat diri seperti makan, berpakaian, buang air besar/kecil,dan mandi. AKS instrumental meliputi aktivitas yang komplek seperti memasak, mencuci, menggunakan telepon, dan menggunakan uang. Salah satu kriteria orang mandiri adalah dapat mengaktualisasikan dirinya (self actualized) tidak menggantungkan kepuasan-kepuasan utama pada lingkungan dan kepada orang lain. Mereka lebih tergantung pada potensi-potensi mereka sendiri bagi perkembangan dan kelangsungan pertumbuhannya. Selain itu Greiner et al. (1996) dalam penelitiannya mengatakan bahwa terjadi peningkatan resiko kehilangan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) pada lansia dengan fungsi kognitif yang menurun. Lebih lanjut dikatakan bahwa kehilangan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari dapat diantisipasi dan dicegah dengan mekanisme dukungan sosial dan pelatihan secara fisik (Greiner et al. 1996). Adapun kriteria orang yang mandiri menurut Koswara (1991) diacu dalam Suhartini (2009) adalah mempunyai (1) kemantapan relatif terhadap pukulanpukulan, goncangan-goncangan atau frustasi, (2) kemampuan mempertahankan ketenangan jiwa, (3) kadar arah yang tinggi, (4) agen yang merdeka, (5) aktif dan, (6) bertanggung jawab. Lanjut usia yang mandiri dapat menghindari diri dari
9
penghormatan, status, prestise dan popularitas kepuasan yang berasal dari luar diri mereka anggap kurang penting dibandingkan dengan pertumbuhan diri. Havighurst (1972) diacu dalam Mu’tadin (2002) menjelaskan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu: •
Emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang lain.
•
Ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain.
•
Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
•
Sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Aktivitas sehari-hari dalam penelitian Greiner et al. (1996) meliputi
aktivitas kekamar mandi (bathing), mengenakan pakaian (dressing), berjalan (walking), berdiri (standing), kekamar kecil (toileting) dan pemberian makanan (feeding). Sementara itu Hurlock (1980) mengatakan bahwa ketergantungan orangtua dalam hal ekonomi khususnya bagi lansia pria merupakan pil pahit yang harus diterima lansia dan akan membuat gerak lansia menjadi terbatas baik secara fisik maupun ekonomi. Suhartini (2009c) dalam penelitiannya mengukur kemandirian lansia dengan melihat kemampuan lansia dalam beraktivitas sehari-hari, kemampuan lansia secara ekonomi dan kemampuan lansia dalam berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Sementara itu dalam penelitian ini berdasarkan beberapa sumber diatas mengukur kemandirian lansia dari empat aspek yaitu kemandirian aktivitas sehari-hari, kemandirian secara emosi, kemandirian secara ekonomi dan kemandirian dalam interaksi sosial lansia. Steinberg (1993) diacu dalam Aspin (2007) mengemukakan pendapat yang didasari oleh toeri Ann Freud (1958), bahwa kemandirian adalah permasalahan sepanjang rentang kehidupan, tetapi perkembangan kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan fisik yang dapat memacu perubahan emosional, perubahan kognitif yang memberikan pemikiran logis tentang cara berpikir yang mendasari tingkah laku dan juga perubahan nilai dalam peran sosial serta aktivitas.
10
Dukungan Sosial Hubungan dengan orang lain merupakan kunci yang mendasari dukungan sosial sebagai pemenuhan semua kebutuhan sosial ((Bowlby 1969; Weiss 1974), diacu dalam Cutrona 1996). Dukungan sosial didefinisikan sebagai jalan masuk untuk hubungan yang mempertemukan bebagai macam kebutuhan dasar interpersonal ((Kaplan et al. 1977; Lin 1986), diacu dalam Cutrona 1996). Sementara Kaplan et al. (1977) diacu dalam Cutrona (1996) mengatakan definisi dari dukungan sosial menunjukan kepuasan seseorang terhadap persetujuan, penghargaan dan pertolongan oleh seseorang yang berarti. Lebih lanjut Cobb (1979) diacu dalam Cutrona (1996) menjelaskan mengenai konsep dukungan sosial sebagai petunjuk seseorang untuk percaya bahwa dirinya diperhatikan dan dicintai, dihargai dan memiliki jaringan yang saling memenuhi kewajibannya. Cobb (1979) diacu dalam Cutrona (1996) juga mempercayai bahwa relationship dapat menimbulkan kepercayaan positif masyarakat untuk memulai langkah yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah mereka atau menerima keadaan yang tidak dapat berubah dengan dapat meminimalisasi kehilangan terhadap penghargaan dirinya. Seberapa banyak dukungan sosial anggota keluarga diterima ketika krisis tergantung pada seberapa banyak dukungan yang mereka berikan dari satu orang ke orang lain terutama ketika krisis. Pasangan yang memberikan lebih banyak
dukungan
kepada
anak
mereka
selama
proses
pengasuhan
mendapatkan lebih banyak bantuan ketika mereka tua (Lee et al. 1994, diacu dalam Galvin et al. 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa komunikasi merupakan jalan penting untuk berbagi dan menerima kesenangan/kenyamanan hidup (Galvin et al. 2003), serta merupakan cara untuk mendapatkan dukungan dari anggota kelompok (Cawyer et al. 1995, diacu dalam Galvin et al. 2003).
Komponen dukungan sosial Weiss (1974) diacu dalam Cutrona (1996) mengajukan enam fungsi berbeda dari hubungan dengan sesama manusia yang disebut “the social provision scale” , yaitu: 1. Attachment Hubungan dekat/karib yang menyediakan perlindungan dan keamanan.
11
2. Social integration Perasaan saling memiliki dalam kelompok atau masyarakat dengan kesamaan ketertarikan dan perhatian. 3. Reassurance of worth Pengenalan terhadap keahlian dan kecakapan seseorang. 4. Guidance Penyediaan nasehat dan informasi. 5. Reliable alliance Pengetahuan bahwa orang lain akan menawarkan bantuan tanpa syarat ketika dibutuhkan. 6. Opportunity to provide nurturing Perasaan dibutuhkan untuk kesejahteraan orang lain.
Peran dukungan sosial Bee (1996) diacu dalam Chandra (2003) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi pengaruh negatif dari pengalaman yang menyebabkan stres diantara para lansia. Murrell et al. (1992) diacu dalam Hertamina (1996) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan sumber penting bagi lanjut usia tidak hanya untuk mencegah melawan stres, tetapi juga untuk meningkatkan kehidupan lansia. Dukungan sosial juga dapat mengatasi rasa kesepian yang umumnya dirasakan lansia (Hertamina 1996). Antonnucci (2001) menambahkan bahwa seseorang yang merasa banyak memiliki dukungan lebih baik dalam penanggulangan terhadap sakit, stres dan pengalaman yang menyulitkan lainnya. Peran dukungan sosial dalam kehidupan seseorang dapat dijelaskan melalui 2 model (Cutrona 1996; Cohen & Syme 1985), yaitu Main effect model dan Stress buffering effect model. 1. Main Effect Model Dukungan sosial dalam model ini tidak berhubungan secara khusus dengan situasi krisis tetapi merupakan konsep mengenai peningkatan kualitas hidup untuk terlepas dari tingkat kesulitan. Perspektif ini menekankan dengan tingginya kualitas dukungan sosial seseorang maka ia akan lebih santai secara fisik dan mental dalam menghadapi tingkat kesulitan baik rendah maupun tinggi (Cutrona 1996). Cohen dan Syme (1985) menambahkan bahwa model ini melihat fungsi dukungan sosial terhadap kesejahteraan dan
12
kesehatan dengan mengabaikan tingkat stres. Dukungan dinilai dari derajat yang menghubungkan seseorang dengan jaringan sosial. 2. Stres-Buffering Model Dukungan sosial dalam model ini menekankan pemenuhan kebutuhan yang muncul sebagai akibat pengalaman hidup (life event) yang penuh stres atau kejadian yang merugikan. Manfaat utama dari pendekatan ini melindungi penerima dukungan sosial dari terjadinya kemunduran kesehatan dan kesejahteraan yang disebabkan oleh tekanan (baru terjadi maupun secara terus menerus terjadi) atas kejadian yang penuh stres (Cutrona 1996). Dalam model ini Cohen dan Syme (1985); Cohen dan McKay (1988) mengatakan dukungan sosial melindungi seseorang dari efek pathogenic untuk kejadian penuh stres, dengan melibatkan dua point utama yaitu mencegah seseorang untuk
menginterpretasikan
bahwa
suatu
kejadian
penuh
stres
dan
menanggulangi dampak dari stres yang sudah terjadi dengan mengurangi atau menghilangkan stres. Manfaat dukungan menggunakan kehadiran dari stres. Dukungan dinilai dari tersedianya sumber daya sebagai bantuan kepada seseorang dalam merespon kejadian penuh stres.
Bentuk dukungan sosial Terdapat empat bentuk dukungan sosial antara lain yaitu emotional support, esteem support, tangible/instrumental support dan informational support (Cutrona 1996). Dibawah ini akan dijelaskan setiap dukungan tersebut: 1. Emotional Support (Dukungan Emosi) Dukungan emosi meliputi ekspresi dari cinta, empati dan perhatian terhadap individu (Cutrona 1996). Cobb (tanpa tahun) diacu dalam Cohen dan McKay (1988) mengatakan bahwa dukungan emosi mengurangi stres melalui perasaan seseorang terhadap kepemilikan cinta dan atau perasaan dicintai. 2. Esteem Support (Dukungan Penghargaan) Dukungan penghargaan terbentuk melalui pengakuan terhadap kualitas seseorang, kepercayaan terhadap kemampuan seseorang, pengakuan terhadap gagasan seseorang berupa perasaan atau tindakan (Cutrona 1996). Cohen dan McKay (1988) menekankan dukungan ini pada evaluasi dan perasaan seseorang tentang diri mereka sendiri 3. Informational Support (Dukungan Informasi)
13
Dukungan informasi meliputi memberikan masukan mengenai beritaberita faktual, nasehat, informasi atau perkiraan-perkiraan terhadap situasi yang terjadi (Cutrona 1996). 4. Instrumental Support (Dukungan Instrumental) Dukungan instrumental diwujudkan dalam bentuk bantuan atau arahan dalam mengerjakan tugas atau juga berupa sumber-sumber fisik seperti uang, barang-barang atau tempat tinggal (Cutrona 1996) atau disebut juga sumberdaya materi (Cohen dan McKay 1988).
Sumber-sumber dukungan sosial Hampir setiap orang tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri, tetapi mereka memerlukan bantuan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian bahwa dukungan sosial merupakan mediator yang penting dalam menyelesaikan masalah seseorang. Hal ini karena individu merupakan bagian dari keluarga, teman sekolah atau kerja, kegiatan agama ataupun bagian dari kelompok lainnya (Nursalam 2009). Sumber-sumber dukungan sosial, antara lain: 1. Keluarga Keluarga memegang peranan besar dalam pemberian dukungan bagi individu. Hal ini juga didukung oleh Smolak (1993) diacu dalam Jauhari (2003) mengatakan bahwa jaringan sosial lansia memiliki porsi yang besar pada anggota keluarga dan lebih lanjut dikemukakan Antonucci (1985) diacu dalam Hertamina (1996) bahwa sumber dukungan utama bagi lansia adalah anak-anak mereka, terutama anak perempuan. Selain itu pasangan seringkali menjadi orang pertama yang memberikan dukungan ketika keadaan krisis (( Beach et al. 1993; Blood & Wolfe 1960; Burke & Weir 1977), diacu dalam Cutrona 1996). Lebih lanjut Antonucci (2001) mengatakan bahwa pasangan merupakan penyedia dukungan yang istimewa. Laki-laki maupun perempuan, keduanya merasa lebih nyaman dengan dukungan dari pasangan mereka. Dukungan dari pasangan lebih disukai untuk dukungan emosi dan insrumental ((Cantor 1979; Cantor et al. 1994), diacu dalam Antonucci 2001). Saudara (kakak atau adik) menjadi penyedia penting untuk dukungan sosial, dan sering kali mereka didorong untuk menjadi penyedia dukungan instrumental, khususnya bagi lansia yang tidak menikah (Antonucci 2001).
14
Hubungan persaudaraan pada usia tua sangatlah penting karena saudara merupakan perawat yang potensial (Chappell & Badger 1987, diacu dalam Connidis 2010), terutama dalam ketiadaan pasangan atau anak sebagai penyedia bantuan (Cicirelli 1992, diacu dalam Connidis 2010). Lebih lanjut Connidis (2010) mengatakan saudara perempuan terutama yang tinggal berdekatan dipandang mempertinggi anggapan bahwa saudara merupakan sumber bantuan yang potensial. Saudara secara umum lebih disukai untuk dukungan emosi dan instrumental pada lansia perempuan dibandingkan pada lansia laki-laki ((Campbell et al. 1999; Minner & Uhlenberg 1997), diacu dalam Connidis 2010). Minner dan Uhlenberg (1997) diacu dalam Connidis (2010) juga mengatakan bahwa saudara lebih aktif dalam menyediakan dukungan emosi dibandingkan dukungan instrumental. Berbagai faktor membuat keluarga merupakan tempat yang terbaik untuk peran dukungan, yaitu: keluarga menghargai kelanjutan hidup dari anggota keluarga yang berusia lanjut. Anggota keluarga yang tua memiliki sejarah biopsikososial dari fungsi, kepribadian dan kesehatan. Diatas semua itu, keluarga lebih dapat menghargai kelanjutan dari kebiasaan, tingkah laku khas, kesukaan dan rutinitas sehari-hari yang dilakukan lansia dari pada orang lain yang bukan keluarga. Disamping itu keluarga juga mengetahui latar belakang cara berpikir, ketertarikan intelektual dan kemampuan dari anggota keluarga yang berusia lanjut (Eyde dan Reich 1983, diacu dalam Hertamina 1996). 2. Teman atau sahabat Teman secara umum menunjukkan peran unik dan penting dalam kehidupan lansia (Adams & Blieszner 1994, diacu dalam Antonucci 2001). Hubungan
dengan
teman
sebaya
bersifat
tidak
mengikat
dan
teman
menyediakan dukungan pada semua usia, tetapi terutama sekali lansia dalam bentuk umpan balik positif dan saling menghargai ((O’Connor 1995; Lansford 2000), diacu dalam Antonucci 2001). Wortman dan Lottus (1992) diacu dalam Hertamina (1996) mengatakan bahwa the sense of support yang kita peroleh lebih penting dibandingkan dari siapa kita memperoleh dukungan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Antonucci dan Kahana (tanpa tahun) diacu dalam Smolak (1993) diacu dalam Jauhari (2003) menunjukkan bahwa lansia yang tinggal dengan kelompok umur
15
yang sama (lansia) cenderung untuk memiliki interaksi sosial yang lebih luas dibandingkan bila ia tinggal dengan kelompok umur yang lain. Hal ini dapat disebabkan karena lansia lebih menyukai bila ia ditemani oleh orang-orang yang seumur dengan mereka dan lansia cenderung berpikir bahwa orang muda tidak ingin berhubungan dengan mereka.
Stres Menurut Atkinson et al. (2000) stres terjadi jika orang dihadapkan pada peristiwa yang mereka rasakan dapat mengancam kesehatan fisik atau psikologinya.
Dengan
kata
lain
stres
merupakan
hasil
dari
hubungan
(relationship) antara individu dengan lingkungannya. Salah satu ciri yang paling jelas tentang pengalaman stres adalah kuatnya pengaruh psikologis. Orang menunjukkan perbedaan individual yang besar dalam reaksi mereka terhadap stresor. Bahkan respon fisiologis terhadap peristiwa yang sulit dapat dipengaruhi oleh proses psikologis (Atkinson et al. 2000). Lebih lanjut stres didefinisikan sebagai respon atau keadaan tegang yang dihasilkan oleh stressors atau tuntutan (nyata ataupun persepsi) dan tidak dapat dikendalikan ((Antonovsky 1979; Burr 1973), diacu dalam Friedman et al. 2003). Burgess (1978) diacu dalam Friedman et al. (2003) mengartikan stres sebagai ketegangan pada diri seseorang atau sistem sosial (seperti keluarga) dan merupakan reaksi terhadap situasi yang menghasilkan tekanan. Menurut Selye (1956) stres dibatasi sebagai respon non spesifik pada tubuh terhadap berbagai jenis tuntutan. Sindrom Adaptasi Umum (General Adaption Syndromel /GAS) adalah konsep yang dikemukakan oleh Selye yang menggambarkan efek umum pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan pada tubuh tersebut. GAS terdiri dari tiga tahap, yaitu : 1.
Peringatan (alarm reaction), tahap pengenalan terhadap stres dimana terjadi shock bersifat sementara (pertahanan terhadap stres di bawah normal) dan mencoba dihilangkan. Tahap ini berlangsung singkat, jika stres berlanjut maka individu akan ke tahap selanjutnya.
2.
Perlawanan (resistance), pertahanan terhadap stres menjadi semakin intensif, dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada tahap ini, tubuh dipenuhi hormon stres; tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernafasan meningkat. Bila upaya yang dilakukan gagal dan stres tetap ada, akan masuk ke tahap selanjutnya.
16
3.
Kelelahan (exhausted), kerusakan pada tubuh semakin meningkat dan kerentanan terhadap penyakit pun meningkat. Secara spesifik stres merupakan gejala psikologis yang menurut Lazarus
(tanpa tahun) diacu dalam Utomo (2009), sebagai sebuah hubungan khusus antara seseorang dengan lingkungannya yang dianggap melampaui kemampuan dan membahayakan kebahagiaan dan kepuasannya, singkatnya merupakan gejala yang timbul akibat kesenjangan (gap) antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi. Lazarus (1966) diacu dalam Greenberg (2002) juga mendefinisikan stres meliputi keseluruhan faktor (stimulus, respon, penilaian kognitif terhadap ancaman, coping style, pertahanan psikologis dan lingkungan pergaulan sosial). Mason (1975) diacu dalam Greenberg (2002) dengan tepat menggambarkan masalah ini menyebutkan beberapa jalan yang berbeda, istilah stres digunakan : 1. Sebagai stimulus, merujuk kepada definisi stresor 2. Sebagai respon, merujuk kepada definisi stres reactivity 3. Interaksi dari beberapa faktor merujuk kepada definisi Lazarus 4. Interaksi antara stimulus dan respon.
Respon stres Taylor (1991) diacu dalam Wangsadjaja (2009) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu: 1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. 2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar. 3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.
17
4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.
Sumber stres Sumber stres berada didalam individu dalam bentuk motif atau keinginan yang bertentangan. Peristiwa stres menurut Atkinson et al. (2000) dapat dikategorikan sebagai peristiwa traumatik diluar rentang pengalaman manusia yang lazim, peristiwa yang tidak dapat dikendalikan, peristiwa yang tidak dapat diperkirakan dan peristiwa yang menantang batas kemampuan manusia. Riset yang dilakukan oleh Holmes dan Rahe (1967) diacu dalam Atkinson et al. (2000) berpendapat bahwa setiap perubahan dalam kehidupan yang mengharuskan banyak penyesuaian ulang dapat dirasakan sebagai peristiwa yang menimbulkan stres. Stressor atau sumber stres menurut Selye (1956) merupakan keadaan alamiah yang dapat menimbulkan stres. Stressor merupakan pencetus atau agen aktif yang menjadi pemicu dalam proses stres ((Burr et al. 1993; Crismon & Fowler 1980), diacu dalam Friedman et al. 2003). Agent aktif pemicu stres dalam keluarga yaitu “life events” atau peristiwa dengan besaran yang cukup yang membawa perubahan dalam sistem keluarga (Hill 1949, diacu dalam Friedman et al. 2003). Stressor keluarga dapat berasal dari interpersonal (dari dalam dan luar keluarga), lingkungan, ekonomi atau pengalaman sosialbudaya (Friedman et al. 2003).
Gejala stres Stres yang terjadi pada setiap orang pasti berbeda-beda, hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala yang dialaminya. Menurut Badran (2005) diacu dalam Aprilianti (2007) menyatakan bahwa gejala stres dapat dilihat dari ciri-ciri segi fisik maupun mental. Berdasarkan segi fisik dapat dilihat bahwa dalam keadaan stres terjadi berbagai perubahan pada fisik seseorang. Para ahli mengatakan bahwa perubahan itu diakibatkan karena adanya aktifitas besar pada alat terpenting yang berfungsi untuk menggerakkan tubuh ketika menghadapi sesuatu bahaya/reaksi refleks. Akibat adanya aktifitas itu dapat mempengaruhi anggota tubuh lainnya yang berhubungan. Misalnya tangan berkeringat lebih banyak, perut terasa mual, pencernaan terasa sakit, denyut jantung naik, suara serak, sering buang air kecil. Berdasarkan segi mental, stres dapat mengganggu mental dan perasaan seseorang serta menyebabkan berbagai kelainan pada
18
dirinya sendiri seperti gampang tersinggung, tidak percaya diri, ragu-ragu mengambil keputusan, susah tidur, merasa lemah dan gagal (Aprilianti 2007).
Tingkat stres Selye (1956) mengemukakan bahwa berat ringannya stress tergantung kepada tiga hal, yaitu : 1. Stressor atau sumber stress itu sendiri, dalam hal ini rangsangan yang dirasakan sebagai ancaman atau yang dapat menimbulkan perasaan negatif. 2. Frekuensi atau lama terpapar terhadap stressor, 3. Intensitas reaksi fisik dan emosi yang disebabkan oleh stressor. Tingkat stres dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu rendah, sedang
dan
tinggi.
Tingkat
stres
seseorang
dapat
diketahui
dengan
memperhatikan gejala-gejala stres yang ditujukan, baik gejala fisik maupun gejala emosional (Wilkinson 1989, diacu dalam Furi 2006) Mc
Elroy
dan
Townsend
(1985)
diacu
dalam
Astuti
(2007)
mengungkapkan bahwa tingkat stres dibutuhkan untuk membentuk stimulasi dan tantangan dari lingkungan. Pada beberapa tingkat stres dapat diatasi dengan mudah, tetapi ada pula tingkat stres yang sangat sulit diatasi sehingga menciptakan situasi krisis. Adanya stres pada tingkat tertentu dianggap mampu meningkatkan kemampuan, sehingga sering kali diasumsikan sebagai “tekanan yang menyehatkan” (Turner & Helms 1986, diacu dalam Astuti 2007). Tingkat stres seseorang terhadap suatu kondisi dipengaruhi oleh sumber stres, sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi stres, dan persepsi terhadap stres. Tingkat stres yang berbeda-beda tiap individu merupakan salah satu faktor pembeda dalam melakukan coping terhadap stres ( Ifada 2004). Teori Stres Model Stres ABC-X (Hill 1949) Model stres ABC-X pertama kali diperkenalkan oleh Hill (1949) sebagai model stres dalam keluarga sebagai dampak dari “life event” yang terjadi dalam keluarga sepanjang rentang kehidupan. Dalam kerangka kerja model stres Hill diperkenalkan tiga variabel yaitu: faktor A merupakan kejadian yang menjadi pencetus timbulnya stres (stressor); faktor B merupakan sumberdaya atau
19
kekuatan yang dimiliki keluarga pada saat kejadian stres dan faktor C merupakan pemahaman atau pemakanaan keluarga terhadap kejadian yang dialami, yang pada akhirnya ketiga variabel tersebut saling berinteraksi dan menimbulkan X (sebagai krisis atau stres) (Boss 1987).
A
B
+
Krisis
-
Koping
C = X Derajat Stres
Gambar 1 Model ABC-X Hill yang telah direvisi untuk menujukkan derajat stres dan alternatif pemecahan masalah. Double ABC-X Model (McCubbin dan Patterson 1982) Model ini merupakan modifikasi dari model stres Hill. Dalam model ini faktor A diperluas meliputi stressor alami dan juga stressor yang telah menumpuk. Konsep koping juga ditambahkan dan merupakan variabel kunci yang menjelaskan perbedaan tingkatan pada adaptasi dari keluarga. Dalam model Hill digambarkan adaptasi setelah krisis dalam keluarga terjadi missing dalam peran suami/ayah (Faux 1998, diacu dalam Friedman et al. 2003).
Family Adjusment and Adaptation Response (FAAR) (Paterrson 1988) Model ini dibangun berdasarkan pada Double ABC-X Model, yang menekankan pada kemungkinan-kemungkinan dari keluaran yang positif. Model ini konsisten dengan banyak studi yang telah dilakukan yaitu berfokus pada relationship dan resiliency (kelentingan) dari keluarga dan individu (Antonovsky 1979, diacu dalam Friedman et al. 2003). Berdasarkan situasi dan pengertian umum (seperti hubungan keluarga) dipandang mempengaruhi keduanya yaitu tuntutan atau stressor (ketegangan dan pertengkaran) dan kemampuan (sumberdaya dan perilaku koping). Tuntutan versus kemampuan berperan penting
untuk membedakan tingkatan dari penyesuaian keluarga (sebelum
krisis) dan adaptasi keluarga (setelah krisis) (Friedman et al. 2003). Resiliency Model (Mc Cubbin & Mc Cubbin 1993) Model ini dibangun berdasarkan pada ketiga model sebelumnya (Model ABC-X Hill, Model Double ABC-X Mc Cubbin dan Paterrson dan model FAAR
20
Paterrson). Menekankan pada penyesuaian dan adaptasi keluarga ketika keluarga sedang mengalami “life situation” yang penuh stres (Mc Cubbin et al. 1998, diacu dalam Friedman et al. 2003). Penekanan utama model ini pada kelentingan keluarga atau kemampuan mereka untuk sembuh dari kejadian yang merugikan. Kekuatan dasar model ini secara singkat meliputi pengaruh dari kekuatan dan kemampuan pada proses resiliensi (Friedman et al. 2003). Empat asumsi penting yang mendasari model kelentingan tentang kehidupan keluarga (Friedman et al. 2003) : a. Keluarga menghadapi kesulitan dan perubahan secara alami dan juga yang sudah dapat diramalkan sebagai konsekuensi siklus hidup keluarga. b. Keluarga
mengembangkan
dasar
kekuatan
dan
kemampuan
perencanaan untuk membantu tumbuh dan berkembang anggota keluarga dan unit keluarga serta melindungi dari gangguan yang dijumpai dalam transisi dan perubahan keluarga. c. Keluarga
mengembangkan
dasar
kekuatan
serta
kemampuan
perencanaan untuk melindungi keluarga dari stressor yang tidak terduga atau bersifat normatif dan juga ketegangan serta untuk membantu adaptasi keluarga pada saat krisis atau transisi dan perubahan keluarga. d. Fungsi keluarga berkontribusi untuk hubungan yang membentuk jaringan dan sumber daya dalam masyarakat, terutama sekali selama periode dari stres keluarga dan krisis (Mc Cubbin & Mc Cubbin 1991, diacu dalam Friedman et al. 2003). bonadjusment
C A
V
T
CCC
Pile -up
PSC
Bonadjsment
Keluarga
CC B X
A2
R
PSC
Kel
BB X2 BBB
Gambar 2 Model Resilensi dari stres keluarga, penyesuaian dan adaptasi (Mc Cubbin & Mc Cubbin 1993, diacu dalam Friedman et al. 2003).
21
A
: stressor.
V
: kerentanan keluarga disebabkan perubahan dalam kehidupan ataupun penumpukkan stressor.
T
: tipe keluarga dan penetapan pola baru dari keberfungsian keluarga.
C
: penilaian individu atau keluarga terhadap stressor dan kepelikan dari stressor.
B
: sumberdaya berupa kelentingan keluarga.
PSC : (Problem Solving dan Coping) merupakan proses penyelesaian masalah dan kemampuan koping dari individu atau keluarga. X/X2 : merupakan keluaran (outcomes) berupa kegagalan penyesuaian dari proses pengelolaan stres yang dilakukan ataupun situasi krisis lainnya. AA
: sumber stres baru (kegagalan pengelolaan stres pada proses pertama dan juga dari berbagai stres lain yang sudah menumpuk (pile up)).
R CCC
: merupakan pembaruan dari faktor T pada tahap kedua pengelolaan stres. : penilaian keluarga berupa skema dan pemahaman dari keluarga terhadap stres yang terjadi.
CC
: kemampuan dari keluarga dalam melakukan penilaian terhadap situasi.
BB
: merupakan sumberdaya keluarga.
BBB : merupakan dukungan sosial yang dimiliki keluarga dalam membantu meringankan stres keluarga dan saling berinteraksi dengan sumberdaya yang dimiliki keluarga. Gambar diatas menjelaskan proses pengelolaan stres keluarga yang meliputi lebih dari satu tahapan proses yang melibatkan sumber stres, kemampuan dari keluarga dan persepsi keluarga terhadap peristiwa/perubahan yang dialami, kepemilikan sumberdaya dan dukungan sosial serta proses penyelesaian masalah dan koping keluarga terhadap stres (bonadjusment atau maladjusment (X)) yang kesemuanya saling berinteraksi satu dengan lainnya guna menghilangkan ataupun mengurangi stres.
Lansia Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998, definisi lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enampuluh) tahun keatas (Widyantari 2003). Menurut Connidis (2010), Lansia adalah seseorang yang berusia sekitar 60 sampai 65 tahun atau lebih. WHO menggolongkan lansia terdiri dari golongan
22
usia pertengahan (45-59), usia lanjut (60-74), tua (75-90 tahun) dan sangat tua (90 tahun keatas) (Setiabudhi 1995). Berdasarkan hasil munas Perhimpunan gerontologi Indonesia (PERGERI) 1992 telah ditetapkan bahwa batasan usia lansia adalah diatas 60 tahun (Basudin 1995, diacu dalam Desnelli 2005). Burnside (1979) diacu dalam Anitasari (1993) menentukan batasan lanjut usia berdasarkan usia kronologisnya sebagai berikut : a. Young-old (60-69 tahun) Dianggap sebagai masa transisi utama dari masa dewasa akhir ke masa tua. Biasanya ditandai dengan penurunan pendapatan dan keadaan fisik yang menurun. Sehubungan dengan berkurangnya peran, individu sering merasa kurang memperoleh penghargaan dari lingkungan. b.
Middle-age-old (70-79 tahun) Identik dengan periode kehilangan karena banyak pasangan hidup dan teman yang meninggal. Selain itu ditandai dengan kesehatan yang semakin menurun, partisipasi dalam organisasi formal menurun, muncul rasa gelisah dan mudah marah serta aktifitas seks menurun.
c. Old-old (80-89 tahun) Pada masa ini lanjut usia telah mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu ketergantungannya terhadap orang lain dalam melakukan kegiatan sehari-hari semakin besar. d. Very old-old (lebih dari 90 tahun) Lebih parah dari masa sebelumnya dimana individu benar-benar tergantung pada orang lain dengan kesehatan yang semakin buruk.
Tugas Perkembangan Lanjut Usia Tugas perkembangan lanjut usia menurut Havighurst (tanpa tahun) diacu dalam Hurlock (1980) antara lain yaitu : a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan f.
Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
23
Miller (1985) diacu dalam Anitasari (1993) mengatakan
bahwa ketika
seseorang mencapai tahap perkembangan usia lanjut, mereka memiliki tugastugas perkembangan tertentu, yaitu : 1. Menghadapi kenyataan kehilangan pasangan hidup dan menemukan kepuasan bentuk hubungan dengan teman seusia. 2. Menyesuaikan diri dengan peran hubungan sosial yang baru antara anak dan orang tua, kakek/nenek dan cucu. 3. Memilih dan membentuk kegiatan sosial tertentu serta menyesuaikan diri dengan keadaan kesehatan, kekuatan dan minat yang ada. 4. Menyesuaikan diri dengan pendapatan pensiun. 5. Menghadapi kematian diri sendiri atau persiapan diri untuk hidup tanpa pasangan. 6. Memelihara hubungan dengan lingkungan sekitar. 7. Menyiapkan diri menghadapi kematian dengan membentuk kepercayaan pada diri sendiri bahwa seseorang dapat hidup dan meninggal dalam keadaan tenang. 8. Menemukan makna hidup
Permasalahan-Permasalahan Lanjut Usia Menurut Suciati (2005) permasalahan lanjut usia dapat digolongkan menjadi permasalahan fisik, psikologis, sosial dan ekonomi, agar lebih jelasnya dapat dilihat uraian berikut : a. Permasalahan fisik Masalah yang dihadapi lanjut usia sebagai akibat proses penuaan manusia merupakan suatu proses yang normal dan alamiah. Proses penuaan ditandai dengan berbagai perubahan fisik, mental, sosial dan spiritual. Kemunduran
progresif
yang
disebabkan
oleh
bertambahnya
usia
seseorang, terutama lansia erat kaitannya dengan permasalahan fisik antara lain terjadinya kemunduran/penurunan metabolisme fungsi-fungsi sel, elastisitas, degeneratif dan lain sebagainya. b. Permasalahan psikologis Permasalahan psikologis lansia pada umumnya terjadi akibat adanya anggapan dan tanggapan masyarakat yang negatif terhadap kemampuan lansia, sehingga kurang memberi kesempatan kepada lansia untuk
24
melaksanakan peranannya dengan wajar. Permasalahan ini dapat menimbulkan gangguan jiwa, penyakit kronis dan kematian. c. Permasalahan sosial ekonomi Permasalahan
ini
berkaitan
dengan
hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaan peran dan tidak memadainya sumber-sumber sosial ekonomi bagi pemenuhan kebutuhan lansia yang ditujukan untuk menghadapi permasalahan sosial ekonomi dalam hal-hal: lanjut usia masih potential untuk mencari nafkah baik untuk diri, pasangan dan anggota keluarga lainnya. Masalah yang sering menjadi isu pada lansia adalah kehilangan kemampuan untuk hidup secara mandiri yang disebabkan oleh penyakit dan menurunnnya kemampuan fungsional lansia (Harris et al. 1975, diacu dalam Snowdon et al. 1989). Raina et al. (2004) menemukan dalam penelitiannya bahwa lansia perempuan memiliki lebih banyak ketidakmampuan pendengaran dan penglihatan serta lebih terbatas dalam aktivitas instrumental sehari-hari (IADL), didukung pula oleh penelitian Campbell et al. (1999) dan Wallhagen (2001) bahwa wanita memiliki gangguan penglihatan dengan prevalensi yang lebih tinggi dari pada lansia pria (Raina et al. 2004). Shadden (1988) diacu dalam Anitasari (1993) mengemukakan teori yang membahas mengenai lansia yang terkait dengan perilaku lansia itu sendiri, yaitu : a. Disengagement theory Suatu proses menjadi tua yang melibatkan pelepasan peran-peran sosial yang tampak dalam penurunan interaksi dalam hubungan sosial lansia. Teori ini melihat penarikan diri sebagai suatu kejadian yang selektif dimana individu dapat memilih untuk menarik diri dari peran-peran yang dimilikinya dan terjadi dalam proses yang panjang (bukan terjadi secara tiba-tiba). Sehubungan dengan penarikan diri yang dilakukan dari peran-peran dalam pekerjaan dan persaingan dengan kaum muda karena penurunan kekuatan fisik dan lainnya, individu menyesuaikan diri dengan keberadaannya. Dari segi masyarakat,
penarikan
diri
berarti
mengijinkan
kaum
muda
untuk
menggantikan kaum tua sehingga proses transisi kekuatan dapat berjalan dengan lancar dari satu generasi ke generasi berikutnya (Shadden 1988, diacu dalam Anitasari 1993).
25
b. Activity theory Teori ini berpendapat bahwa individu cenderung tetap bertahan melakukan aktivitas selama mungkin. Tiap peran yang berhenti pada usia dewasa akan digantikan oleh peran lain diusia tua. Dikatakan bahwa upaya untuk menjadi lansia yang sukses adalah tetap terus beraktifitas. Teori ini menekankan pada stabilitas dari orientasi kepribadian seseorang dan mengindahkan pendapat masyarakat yang menganggap kemunduran-kemunduran pada lansia harus dikompensasi dengan penarikan diri. Namun kesulitannya adalah apabila individu merasa bahwa ia harus tetap seproduktif ketika masih menginjak usia dewasa padahal ia mengalami kemunduran-kemunduran karena usianya, maka ia mengalami frustasi, kecemasan dan perasaan bersalah karena tidak dapat memenuhi harapannya (Shadden 1988, diacu dalam Anitasari 1993). Dikatakan pula bahwa lansia yang masih melakukan aktivitas fisik dapat mengurangi hal-hal yang menjadi penyebab kematian dan juga memiliki fungsi fisik yang lebih baik ((Kaplan et al. 1987; Rikh 1986), diacu dalam Snowdon et al. 1989).
KERANGKA PEMIKIRAN Seiring proses menuanya seseorang ciri yang paling pertama muncul yaitu kemunduran dalam hal fisik dan kesehatan. Kemunduran fisik dan kesehatan pada lansia ini digambarkan dengan jumlah penyakit yang diderita lansia dan jumlah keluhan fisik yang dirasakannya. Kondisi fisik dan kesehatan lansia itu sendiri dipengaruhi oleh karakteristik lansia seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, besar keluarga jumlah anak dan pola tempat tinggal lansia, yang mana itu semua mempengaruhi bagaimana lansia menjalani hidupnya selama ini. Sementara itu karakteristik lansia, kondisi fisik serta kondisi kesehatan lansia juga berpengaruh pada kemandirian dan tingkat stres yang dimiliki lansia. Lansia yang selama usia muda sudah terbiasa mandiri akan terus berusaha mempertahankan kemandiriannya terutama dalam beraktivitas sehari-hari selama mungkin. Disamping itu berbagai perubahan yang dialami lansia terutama yang mengarah pada kemunduran dan keterbatas-keterbatasan fisik serta timbulnya berbagai penyakit yang juga menyertai proses menuannya diduga menjadi pemicu stres bagi lansia. Stres secara spesifik merupakan gejala psikologis yang menurut Lazarus (tanpa tahun) diacu dalam Utomo (2009), sebagai sebuah hubungan khusus antara seseorang dengan lingkungannya yang dianggap melampaui kemampuan dan membahayakan kebahagiaan dan kepuasannya, singkatnya merupakan gejala yang timbul akibat kesenjangan antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi. Disisi mempengaruhi
lain
dukungan
tingkat
stres
sosial
dan
kemandirian
lansia.
Kemandirian
lansia
juga
menggambarkan
ikut pada
kebebasan dan kemampuan lansia untuk dapat menjalankan aktivitasnya seharihari tanpa harus tergantung kepada anak, keluarga ataupun orang lain. Hurlock (1980) mengatakan bahwa ketergantungan lansia terhadap orang lain lambat laun akan menimbulkan stres. Sementara itu dukungan sosial menggambarkan kepemilikan hubungan sosial dengan lingkungan sekitar khususnya keluarga yang diharapkan dapat membantu lansia menyesuaikan diri dengan tuanya dan dengan ketergantungan yang dimungkinkan dialami lansia. Bee (1996) diacu dalam Chandra (2003) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi
28
pengaruh negatif dari pengalaman yang menyebabkan stres diantara para lansia. Murrell et al. (1992) diacu dalam Anitasari (1993) juga menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan sumber penting bagi lanjut usia tidak hanya untuk mencegah mereka melawan stres, tetapi juga untuk meningkatkan kehidupan mereka.
Karakteristik lansia • • • • • • • •
Usia Jenis kelamin Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Besar keluarga Jumlah anak Pola tempat tinggal
Stresor lain
Kemandirian Lansia • Kemandirian aktivitas sehari-hari • Kemandirian ekonomi • Kemandirian emosi • Kemandirian interaksi sosial
Dukungan Sosial
Tingkat stres Lansia
• Dukungan emosi • Dukungan instrumental • Dukungan informasi • Dukungan pengahargaan diri
Kondisi fisik dan kesehatan lansia • Jumlah penyakit • Jumlah fisik
keluhan keluhan
Coping strategi contoh
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Mengenai Hubungan Kemandirian, Dukungan Sosial dengan Tingkat Stres pada Lansia Keterangan :
= variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti
= hubungan yang diteliti = hubungan yang tidak diteliti
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Lokasi penelitian di Kota Bogor. Pemilihan lokasi penelitian secara purposive dengan pertimbangan merupakan salah satu kecamatan dengan jumlah lansia terbanyak di Kota Bogor. Penelitian dilakukan selama bulan Juli sampai Desember 2010.
Cara Pengambilan Contoh Responden pada penelitian ini adalah seseorang berusia 60 tahun keatas (UU No 13 tahun 1998) yang bertempat tinggal di Kelurahan Cilendek Barat Kecamatan Bogor Barat baik pria maupun wanita yang dibedakan berdasarkan status pernikahan lansia saat ini (menikah atau janda/duda). Pemilihan kelurahan dan RW (RW 05 dan RW 12) dilakukan secara purposive dengan pertimbangan kemudahan menjangkau responden dan jumlah lansia terbanyak di Kelurahan Cilendek Barat. Selanjutnya dilakukan pemilihan responden dari masing-masing RW secara cluster random sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini 66 orang yaitu 33 orang lansia berstatus menikah dan 33 orang lansia berstatus janda/duda. Kota Bogor
Purposive Kecamatan Bogor Barat
Purposive Kelurahan Cilendek Barat
Purposive RW 12 N2 = 118
RW 05 N1= 113 Janda/Duda n = 33
Menikah n = 33
Total n= 66
RW 05 n = 30
RW 12 n = 36
Gambar 4 Kerangka pengambilan responden.
Cluster random sampling
32
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner meliputi: (1) karakteristik responden, (2) kondisi kesehatan dan fisik responden, (3) tingkat kemandirian responden, (4) dukungan sosial responden dan, (5) gejala stres responden. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dari buku, internet dan penelitian-penelitian sebelumnya yang sejenis
yang
berhubungan dengan topik penelitian. Tabel 1 Jenis data dan cara pengumpulannya No
Variabel
A
Data Primer
1
Karakteristik responden:
Cara pengumpulan data
Alat ukur
Wawancara
Kuisioner
-Nama -Umur -Pendidikan -Jenis kelamin -Besar Keluarga dan jumlah anak -Jumlah dan sumber pendapatan 2
Kondisi kesehatan dan fisik responden
Wawancara
Kuisioner
3
Tingkat kemandirian responden
Wawancara
Kuisioner
4
Dukungan sosial responden
Wawancara
Kuisioner
5
Gejala stres responden
Wawancara
Kuisioner
B
Data Sekunder
1
Jumlah Lansia
Literatur
2
Acuan pustaka
Literatur
Sementara itu sebelum penelitian dilakukan kuisioner diuji terlebih dahulu untuk mengukur reliabilitas dari kuisioner yang akan digunakan. Pengujian kuesioner dilakukan pada 10 orang responden. Skala pengukuran yang digunakan dalam ordinal sehingga perhitungan reliabilitasnya menggunakan koefisien reliabilitas alpha cronbach.
33
Tabel 2 Hasil uji reliabilitas (α-cronbach) Variabel
Item pertanyaan sebelum
Item pertanyaan sesudah
Reliabilitas (α-cronbach)
25
21
0.876
40
25
0.898
35
25
0.920
Gejala Stres (Desneli 2005; Astuti 2007) Dukungan Sosial lansia (modifikasi dari Hertamina 1996) Kemandirian lansia
Pengolahan dan analisis Data Data dianalisis secara deskriptif menggunakan rata-rata dan tabulasi silang, serta analisis inferensia statistik. Pengolahan data meliputi beberapa tahap yaitu pengeditan, pemberian kode, pemberian skor, pengentrian, pengcleaning-an, dan analisis. Analisis data yang dilakukan yaitu uji beda means, uji Mann-Whitney, uji korelasi Spearman’s dan uji regresi linear berganda. Tabel 3 Data dan cara pengolahannya Variabel
Kategori
Dasar pengukuran
Karakteristik lansia Jenis kelamin Usia (Burnside 1979)
Tingkat pendidikan (tahun)
Status pekerjaan Jenis pekerjaan
0. 1. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 0. 1.
Laki-laki Perempuan Lansia awal (60-69) Lansia tengah (70-79) Lansia tua (80-89) Lansia sangat tua (≥90) Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tidak tamat SMP Tamat SMP Tidak tamat SMA Tamat SMA Universitas Tidak bekerja Bekerja
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tukang becak Dagang/wiraswasta Swasta Sawah/buruh tani Buruh/kuli Tukang urut Pengurus makam Pembantu
Sebaran responden Sebaran responden Sebaran responden
Sebaran responden Sebaran responden
34
Tabel 3 lanjutan Variabel
Kategori
Dasar pengukuran Sebaran responden
Tingkat pendapatan (Rupiah)
1. 2. 3. 4. 5.
Sumber pendapatan
0. kerja/pensiunan 1. anak
Sebaran responden
Besar keluarga (Hurlock 1980)
1. Kecil (≤ 4 orang) 2. Sedang (5-7 orang) 3. Besar (≥ 8 orang)
Sebaran responden
Jumlah anak
1. Sedikit (0-3 orang) 2. Sedang (4-6 orang) 3. Banyak (> 6 orang)
Sebaran responden
Pola tempat tinggal responden
1. Sendiri/pasangan 2. Anak dan pasangan atau anak saja 3. Orangtua dan saudara
Sebaran responden
Jumlah keluhan penyakit yang diderita
0. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sebaran responden
Jumlah keluhan fisik yang dirasakan
0. tidak ada keluhan 1. Keluhan 1 2. Keluhan 2
Sebaran responden
Kemandirian aktivitas sehari-hari
Kurang mandiri (0-10) Cukup mandiri (11-20) Mandiri (21-30) Sangat mandiri (31-40)
Kelas interval
Kemandirian ekonomi
Kurang mandiri (0-6) Cukup mandiri (7-12) Mandiri (13-18) Sangat mandiri (19-24)
Kelas interval
Kemandirian emosi
Kurang mandiri (0-6) Cukup mandiri (7-12) Mandiri (13-18) Sangat mandiri (19-24)
Kelas interval
Kemandirian interaksi sosial
Kurang mandiri (0-3) Cukup mandiri (4-6) Mandiri (7-9) Sangat mandiri (10-12)
Kelas interval
< 500.000 500.000-999.999 1.000.000-1.499.999 1.500.000-1.999.999 ≥ 2.000.000
tidak sakit Sakit 1 Sakit 2 Sakit 3 Sakit 4 Sakit 5 Sakit 6
Tingkat kemandirian
35
Tabel 3 lanjutan Variabel
Kategori
Dasar pengukuran
Kurang mandiri (0-25) Cukup mandiri (26-50) Mandiri (51-75) Sangat mandiri (76-100)
Kelas interval
Dukungan emosi
Sangat kurang (0-6) Kurang (7-12) Sedang (13-18) Baik (19-24)
Kelas interval
Dukungan instrumental
Sangat kurang (0-8) Kurang (9-16) Sedang (17-24) Baik (25-32)
Kelas interval
Dukungan informasi
Sangat kurang (0-7) Kurang (8-14) Sedang (15-21) Baik (22-28)
Kelas interval
Dukungan self-esteem
Sangat kurang (0-4) Kurang (5-8) Sedang (9-12) Baik (13-16)
Kelas interval
Dukungan sosial total
Sangat kurang (0-25) Kurang (26-50) Sedang (51-75) Baik (76-100)
Kelas interval
Tingkat stres
Tidak stres (0-27) Ringan (28-54) Sedang (55-81) Berat (82-108)
Kelas interval
Kemandirian total
Dukungan sosial
Rata-rata skor
Gejala stres
Uji korelasi Spearman digunakan untuk menguji hubungan antara berbagai variabel yang akan diteliti. Adapun model yang digunakan sebagai berikut:
r =
n ⎡ n ⎤⎡ n ⎤ n ∑ xi y i − ⎢∑ xi ⎥ ⎢∑ yi ⎥ i =1 ⎣ i =1 ⎦ ⎣ i −1 ⎦ 2 2 ⎡ n ⎡ n ⎤ ⎤⎡ n ⎡ n ⎤ ⎤ 2 2 ⎢∑ xi − ⎢∑ xi ⎥ ⎥ ⎢n ∑ y i − ⎢∑ y i ⎥ ⎥ ⎣ i =1 ⎦ ⎥⎦ ⎣⎢ i = 1 ⎣ i =1 ⎦ ⎥⎦ ⎣⎢ i = 1
36
Keterangan : r = koefisien korelasi
n = jumlah responden
i = responden ke-i (1, 2, 3,..., n)
x, y = peubah acak yang akan dilihat hubungannya
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan jumlah skor antara responden berstatus menikah dengan responden berstatus janda/duda akan dilakukan uji Mann-Whitnney dan uji beda t :
t =
X
1
− X
2
2 1
s s 22 + n1 n2
Keterangan :
x1 = rata-rata sampel 1
s 1 = simpangan baku sampel 1
x2 = rata-rata sampel 2
s 2 = simpangan baku sampel 2
n1 = jumlah sampel 1
n1 = jumlah sampel 2
Sementara itu untuk mengetahui pengaruh kemandirian dan dukungan sosial terhadap tingkat stres responden, uji analisis regresi dilakukan dengan model sebagai berikut :
yˆ = b 0 + b1 x 1 + b 2 x 2 + ....... + b n x n keterangan :
yˆ = peubah tak bebas
b1 , b2 , ....., bn = koefisien peubah bebas
b0 = konstanta
x1 , x 2 ,......, x n = peubah-peubah bebas
Sementara untuk mengkategorikan skor pada tingkat kemandirian, dukungan sosial dan tingkat stres responden dengan menggunakan interval kelas. Interval kelas dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : Skor Maksimum (NT) – Skor Minimum (NR) Interval Kelas (I) = Σ Kategori
37
Definisi Operasional Lansia adalah seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih. Status perkawinan lansia dibagi menjadi status menikah dan janda/duda. Usia adalah fase usia lansia yang dikategorikan dalam empat fase yaitu youngold/lansia awal (60-69 tahun), middle-age-old/lansia tengah (70-79 tahun), old-old/lansia tua (80-89 tahun) dan very old-old/lansia sangat tua (lebih dari 90 tahun) (Burnside 1979). Tingkat pendapatan lansia adalah besarnya uang yang diterima lansia setiap bulannya yang dibagi atas < Rp 500.000, Rp 500.000 - Rp. 999.999, Rp 1.000.000 - Rp 1.499.999,
Rp 1.500.000 - Rp 1.999.999 dan ≥ Rp
2.000.000. Sumber pendapatan lansia adalah asal dari pendapatan lansia yang dibagi atas pensiunan/pekerjaan/tabungan dan anak. Status pekerjaan lansia adalah status bekerja lansia saat ini yang dikategorikan atas bekerja dan tidak bekerja. Jenis pekerjaan lansia adalah pekerjaan lansia yang masih dilakukan saat ini. Tingkat pendidikan lansia adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh lansia, dibedakan menjadi tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak tamat SMU, tamat SMU dan Perguruan tinggi. Besar keluarga lansia adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, dikategorikan menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5 - 7 orang), dan keluarga besar (≥ 8 orang) (Hurlock 1980). Jumlah anak lansia adalah banyaknya anak lansia yang dikategorikan menjadi keluarga kecil (≤ 3 orang), keluarga sedang (4 - 6 orang), dan keluarga besar (> 6 orang). Pola tempat tinggal lansia adalah pola yang menggambarkan dengan siapa lansia tinggal saat ini yang dikategorikan menjadi tinggal sendiri/bersama pasangan, tinggal bersama pasangan dan anak atau hanya dengan anak serta tinggal bersama saudara atau orangtua. Kondisi kesehatan lansia adalah kesehatan lansia yang dijelaskan dari jumlah penyakit yang dideritanya terbagi atas tidak sakit, sakit 1, sakit 2, sakit 3, sakit 4, sakit 5 dan sakit 6.
38
Kondisi fisik lansia adalah keadaan fisik lansia yang dijelaskan dari jumlah keluhan yang dirasakannya terbagi atas tidak ada keluhan, keluhan 1 dan keluhan 2. Kemandirian lanjut usia adalah perilaku yang dilihat dari perlakuan lanjut usia terhadap diri sendiri dan lingkungan yang berkaitan dengan pemenuhan hayat hidupnya sehari-hari yaitu kemampuan melakukan aktifitas seharihari, aktifitas ekonomi dan aktifitas sosial dan emosi lansia. Dukungan Sosial merupakan setiap dukungan moril (perhatian), materi dan informasi yang didapat lansia dari orang-orang disekitar lansia baik itu dari anak, cucu dan keluarga besar juga dari tetangga ataupun teman dekat lansia yang dilihat dari aspek emosi, instrumental, informasi dan penghargaan diri (self-esteem). Sumber dukungan lansia adalah asal dukungan sosial yang dimiliki lansia, dikategorikan menjadi dari keuarga saja, dari teman saja serta dari keluarga dan teman. Stres adalah tekanan yang dialami oleh contoh, sebagai akibat adanya sumber stres
dengan
asumsi
proses
penuaan
dan
keterbatasan-
keterbatasan/masalah-masalah yang menyertai penuaan. Gejala stres lansia merupakan hal-hal yang dirasakan lansia selama enam bulan terakhir yang diindikasikan sebagai gejala stres lansia. Tingkat Stres merupakan berat ringannya stres yang dialami oleh lansia yang dilihat dari gejala stres yang dialami lansia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Cilendek Barat termasuk wilayah Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor, dibentuk pertama kali pada tahun 1979 dan merupakan pecahan dari Kelurahan Cilendek (terbagi atas Kelurahan Cilendek Barat dan Cilendek Timur). Pemilihan kepala desa pertama dilaksanakan pada tahun 1980. Sementara itu Kelurahan Cilendek Barat pertama kali masuk menjadi wilayah Kota Bogor pada tahun 1996. Wilayah Kelurahan Cilendek Barat memiliki luas 174,8 Hektoare dan berada pada ketinggian 14 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 26 mm/tahun, merupakan dataran rendah dengan suhu rata-rata 25 derajat Celcius. Jarak Kelurahan dari pusat pemerintahan kecamatan sekitar 2,5 Kilometer, jarak dari pemerintahan Kota Bogor sekitar 4 Kilometer, jarak dari ibukota propinsi sekitar 120 Kilometer dan jarak dengan Ibukota Negara sekitar 60 Kilometer. Batas administratif Kelurahan Cilendek Barat yaitu, sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Semplak/Kelurahan Curug, sebelah Selatan berbatasan dengan
Kelurahan
Menteng,
sebelah
Barat
berbatasan
dengan
kali
Cisadane/Kelurahan Sindang Barang, dan sebelah Timur berbatasan dengan kali Ciangke/Kelurahan Cilendek Timur. Secara administratif, Kelurahan Cilendek Barat terbagi dalam enam puluh tujuh Rukun Tetangga dan delapan belas Rukun Warga dengan total penduduk sebesar 16.452 jiwa dan 3.221 Kepala Keluarga. Selain itu berdasarkan pada agama yang dianut sebanyak 13.375 orang beragama Islam, 473 orang beragama Kristen, 689 orang beragama Katholik, 18 orang beragama Hindu, 23 orang beragama Budha dan 17 beragama Konghuchu. Dari delapan belas rukun warga yang berada di Kelurahan Cilendek Barat, dua RW dengan jumlah penduduk lansia terbanyak adalah RW 05 dan RW 12. Tingkat pendidikan penduduk Cilendek Barat paling banyak berstatus lulus SMP/SLTP/MTS (5.022 orang). Sementara itu keadaan penduduk Kelurahan Cilendek Barat berdasarkan mata pencaharian terbanyak berturutturut
yaitu
pada
sektor
swasta/BUMN/BUMD
(430
orang),
pengusaha/
wiraswasta/pedagang (298 orang), pegawai negeri sipil (286 orang) dan buruh tani (217 orang). Sarana dan prasarana yang ada di Kelurahan Cilendek Barat
40
terdiri dari sekolah, tempat ibadah, organisasi sosial dan kemasyarakatan, sarana kesehatan, olah raga, jalan dan jembatan. Karakteristik Responden
Jenis kelamin responden Rata-rata pria meninggal lebih cepat dari wanita, sehingga menjanda dihari tua lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Hingga saat ini belum ada statistik mengenai jumlah dan usia pria yang menjadi duda, hal ini terkait karena lebih banyak duda di setiap tahap usia yang menikah lagi daripada janda, disamping itu persentase duda juga jauh lebih sedikit. Dengan demikian masa menjanda merupakan masalah yang lebih besar bagi wanita dibanding pria, selama masa usia lanjut (Hurlock 1980). Berdasarkan jenis kelaminnya (Tabel 4), responden berstatus menikah lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan (60,6%). Sementara itu sebaliknya pada responden berstatus janda/duda. Jenis kelamin perempuan atau berstatus janda lebih banyak dibandingkan responden laki-laki atau berstatus duda (87,9%). Hasil uji Mann-Whitney juga memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan nyata dari segi jenis kelamin antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p<0,01). Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dan status perkawinan
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Nilai p-value
n 20 13 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 60,6 4 12,1 39,4 29 87,9 100,0 33 100,0 0,0
Usia responden Usia responden pada penelitian ini berkisar antara 60 sampai 80 tahun. Burnside (1979) diacu dalam Anitasari (1993) membagi lansia didasarkan pada usia kronologisnya yaitu: young-old (60-69 tahun), middle-age-old (70-79 tahun), old-old (80-89 tahun) dan very-old-old (lebih dari 90 tahun). Tabel 5 memperlihatkan sebaran responden berdasarkan usia dan status responden.
41
Tabel 5 Sebaran responden berdasarkan usia dan status perkawinan
Usia Lansia awal (60-69 tahun) Lansia tengah (70-79 tahun) Lansia tua (80-89 tahun) Lansia sangat tua (≥90 tahun) Total Rata-rata (tahun) Sd Nilai p-value
n 22 11 0 0 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 66,7 20 60,6 33,3 11 33,3 0,0 2 6,1 0,0 0 0,0 100,0 33 100,0 67,2 68,4 5,9 5,6 0,405
Pada Tabel 5 diketahui bahwa proporsi terbesar usia responden baik berstatus menikah (66,7%) maupun berstatus janda/duda (60,6%) termasuk kategori lansia awal (60-69 tahun). Selain itu 33,3 persen responden berstatus menikah termasuk kategori lansia tengah (70-79 tahun) dan terdapat 6,1 persen kategori lansia tua (80-89 tahun) pada responden berstatus janda/duda. Ratarata usia responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda tidak jauh berbeda. Hal ini juga terlihat dari hasil T-test yang memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada usia responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1).
Tingkat pendidikan responden
Wongkaren (1993) diacu dalam Suhartini (2009c) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa semakin tinggi usia, semakin kecil persentase mereka pernah sekolah dan atau menamatkan pendidikan tertentu untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu data yang dikumpulkan Departemen Sosial Republik Indonesia (1996) diacu dalam Hardywinoto dan Setiabudhi (2005), juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan lanjut usia di Indonesia masih belum cukup baik. Sejalan dengan itu proporsi terbesar tingkat pendidikan responden pada penelitian ini yaitu tidak lulus SD baik pada responden berstatus menikah (33,3%) maupun berstatus janda/duda (33,3) (Tabel 6). Hal ini diduga karena responden saat masa usia sekolah berada pada zaman perang dan sangat sulit untuk bersekolah. Disisi lain dunia pendidikan pada zaman itu masih belum terlalu dianggap penting sehingga tidak banyak responden yang melanjutkan pendidikannya hingga jenjang lebih tinggi.
42
Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan dan status perkawinan
Tingkat pendidikan Tidak sekolah Tidak lulus SD Lulus SD Tidak lulus SMP Lulus SMP Tidak lulus SMA Lulus SMA Lulus Perguruan Tinggi Total Nilai p-value
n 3 11 7 5 2 1 2 2 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 9,1 4 12,1 33,3 11 33,3 21,2 5 15,2 15,2 5 15,2 6,1 5 15,2 3,0 0 0,0 6,1 2 6,1 6,1 1 3,0 100,0 33 100,0 0,864
Namun demikian terdapat tiga orang responden yang melanjutkan sekolah hingga jenjang perguruan tinggi dan dua diantaranya (lulusan D2) bekerja sebagai guru sehingga dimungkinkan hal tersebut dikarenakan tuntutan pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Suhartini (2009c) bahwa
responden dengan pendidikan tertinggi yaitu dengan profesi
sebelumnya berstatus seorang guru dan pada periode tertentu di masa jabatannya diadakan penyesuaian jenjang pendidikan. Satu orang lagi yaitu lulusan sekolah tinggi tehnik memiliki status tidak bekerja, dikarenakan harus berhenti kerja untuk mengurus anaknya yang sakit keras dan kemudian setelah itu hanya membantu istrinya berjualan. Sementara itu persentase terkecil pada responden berstatus menikah yaitu tidak lulus SMA (3%) dan pada status janda/duda yaitu perguruan tinggi (3%). Berdasarkan uji Mann-Whitney yang dilakukan tidak terdapat perbedaan nyata dari segi tingkat pendidikan antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1).
Status pekerjaan responden Sebaran berdasarkan status pekerjaan (Tabel 7) diketahui bahwa persentase terbesar responden berstatus menikah (51,5%) dan berstatus janda/duda (72,7%) yaitu tidak bekerja. Status tidak bekerja lebih banyak pada responden berstatus janda/duda. Hal ini diduga karena berdasarkan dari jenis kelamin responden yang berstatus janda/duda lebih banyak perempuan sehingga kemungkinan untuk bergantung pada anak jauh lebih besar dibandingkan responden laki-laki yang berstatus duda. Sejalan dengan itu, Hurlock (1980)
43
mengatakan bahwa perempuan usia lanjut tidak terlalu mempersoalkan permasalahan ketergantungan ekonomi kepada anak dibandingkan laki-laki yang berusia lanjut. Hasil uji Mann-Whitney juga memperlihatkan terdapat perbedaan nyata pada status pekerjaan responden antara berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p<0,1). Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan status pekerjaan dan status perkawinan
Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Total Nilai p-value
n 16 17 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 48,5 9 27,3 51,5 24 72,7 100,0 33 100,0 0,078
Jenis pekerjaan responden Orang berusia lanjut memerlukan waktu relatif lama untuk memulihkan tenaganya dari keletihan fisik dan mental, disebabkan oleh ketegangan syaraf dan beban mental yang terus terjadi dalam tempo relatif lama. Akibatnya orang berusia lanjut pada umumnya belajar untuk mengurangi berbagai jenis pekerjaan yang memerlukan kecepatan atau kekuatan fisik (Hurlock 1980). Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan dan status perkawinan
Jenis pekerjaan Tukang becak Dagang/wiraswasta Swasta Sawah/buruh tani Buruh/kuli Tukang urut Pengurus makam Pembantu Tidak bekerja Total
n 1 6 1 3 1 2 2 0 17 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 3,0 0 0,0 18,2 4 12,1 3,0 0 0,0 9,1 0 0,0 3,0 1 3,0 6,1 0 0,0 6,1 0 0,0 0,0 4 12,1 51,5 24 72,7 100,0 33 100,0
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa baik responden berstatus menikah (18,2%) maupun janda/duda (12,1%) persentase terbesar mempunyai pekerjaan berdagang/berwiraswasta. Hal ini dimungkinkan karena usia responden yang sudah memasuki masa pensiun dan tidak produktif sehingga akan sulit
44
melakukan pekerjaan lain dan memilih berdagang. Selain itu dengan tingkat pendidikan tidak lulus SD akan sulit jika bekerja pada orang lain. Pada responden berstatus janda/duda, pembantu juga merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak (12,1%) dikerjakan lansia di Kelurahan Cilendek Barat. Suhartini (2009c) mengatakan bahwa pada sektor perdagangan lansia tetap dapat bekerja, karena pekerjaan di sektor perdagangan tidak memerlukan fisik yang kuat dan keterampilan tinggi. Pekerjaan di sektor perdagangan dapat menghasilkan uang atau jasa yang bisa semakin meningkat jika pengalaman, relasi dan kematangan pribadi dimiliki oleh pedagang. Disisi lain rendahnya pendidikan lansia berpengaruh pada jenis pekerjaan yang dapat dipilih. Selain itu jenis pekerjaan yang masih dapat dikerjakan oleh lansia di Kelurahan Cilendek Barat yaitu swasta, buruh/kuli, tukang becak, pengurus makam, sawah/buruh tani, dan tukang urut.
Tingkat pendapatan responden Pendapatan seseorang tergantung pada mutu sumber daya manusia (SDM),
sehingga
orang
yang
berpendidikan
tinggi
umumnya
memiliki
pendapatan yang relatif tinggi pula (Guhardja et al. 1992, diacu dalam Astuti 2007). Sementara itu diketahui pula pada penelitian ini bahwa sebagian besar lansia memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan pendapatan/bulan dan status perkawinan Status perkawinan Pendapatan (Rp/Bulan) < 500.000 500.000- 999.999 1.000.000-1.499.999 1.500.000-1.999.999 ≥ 2.000.000 Total Nilai p-value
n 17 5 3 5 3 33
Menikah % 51,5 15,2 9,1 15,2 9,1 100,0
n 17 9 4 2 1 33
Janda/Duda % 51,5 27,3 12,1 6,1 3,0 100,0
0,541
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa proporsi terbesar tingkat pendapatan responden berstatus menikah dan janda/duda (masing-masing 51,5 %) yaitu sebesar kurang dari lima ratus ribu rupiah perbulan. Sementara itu persentase terkecil tingkat pendapatan responden berstatus menikah pada kategori satu juta sampai satu juta lima ratus ribu rupiah dan lebih dari sama
45
dengan dua juta rupiah (masing-masing 9,1%), sedangkan untuk status janda/duda pada kategori lebih dari sama dengan dua juta rupiah (3%). Hasil uji Mann-Whitney memperlihatkan tidak terdapat perbedaan nyata pada tingkat pendapatan antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1).
Sumber pendapatan responden Sumber pendapatan lansia dapat berupa uang pensiun, tabungan, asuransi hari tua, bantuan dari keluarga atau bagi lansia yang masih produktif diperoleh dari penghasilannya bekerja (Hurlock 1980). Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa sebagian besar responden berstatus menikah (84,8%) dan lebih dari separuh (63,6%) responden berstatus janda/duda memiliki sumber pendapatan sendiri baik dari bekerja maupun dari pensiunan ataupun dari suami selain diberi juga oleh anak. Namun pendapatan dari anak bukanlah sebagai sumber utama sehingga orang tua tidak bergantung sepenuhnya kepada anak dan khusus untuk para lansia pria hal ini dapat mengurangi perasaan tidak berguna dan tergantung pada orang lain. Berdasarkan uji Mann-Whitney yang dilakukan diketahui pula tidak terdapat perbedaan nyata pada sumber pendapatan antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan sumber pendapatan dan status perkawinan
Sumber pendapatan Anak Kerja/pensiunan Total Nilai p-value
n 5 28 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 15,2 12 36,4 84,8 21 63,6 100,0 33 100,0 0,288
Besar keluarga responden Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa proporsi terbesar untuk besar keluarga responden berstatus menikah pada kategori kecil dan sedang (masingmasing 36,4%), sedangkan untuk status janda/duda lebih dari separuhnya (57,6%) termasuk kategori sedang. Sementara itu hanya sebagian kecil saja responden berstatus menikah (27,2%) dan berstatus janda/duda (15,1%) yang termasuk keluarga besar. Hasil T-test memperlihatkan bahwa tidak terdapat
46
perbedaan nyata pada besar keluarga antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga dan status perkawinan Status perkawinan Besar keluarga Kecil (≤ 4) Sedang (5-7) Besar (≥ 8) Total Rata-rata (orang) Nilai p-value
n 12 12 9 33
Menikah % 36,4 36,4 27,2 100,0 6,1
n 9 19 5 33
Janda/Duda % 27,2 57,6 15,2 100,0 5,5
0,387
Jumlah anak responden Jumlah anak menggambarkan banyaknya orang yang dapat diandalkan lansia dan juga membantu secara ekonomi. Berdasarkan jumlah anak yang dimiliki (Tabel 12) diketahui bahwa proporsi terbesar responden berstatus menikah pada kategori sedang dan banyak (masing-masing 39,4%), sedangkan status janda/duda proporsi terbesar pada kategori jumlah anak banyak (39,4%). Sementara itu hanya sebagian kecil responden berstatus menikah tergolong jumlah anak sedikit (21,2%) dan pada status janda/duda memilki persentase yang sama untuk kategori sedikit dan sedang yaitu sebesar 30,3 persen. Hasil Ttest memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada jumlah anak antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan jumlah anak dan status perkawinan Status perkawinan Jumlah anak Sedikit (0-3) Sedang (4-6) Banyak (.>6) Total Rata-rata (orang) Nilai p-value
n 7 13 13 33
Menikah % 21,2 39,4 39,4 100,0 5,7
n 10 10 13 33
Janda/Duda % 30,3 30,3 39,4 100,0 5,4
0,649
Pola tempat tinggal responden Pola tempat tinggal menggambarkan dengan siapa lansia tinggal. Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa sebagian besar responden berstatus
47
menikah (90,9%) dan berstatus janda/duda (87,9%) tinggal bersama pasangan dan anak atau anak saja. Hal ini dikarenakan faktor budaya di Indonesia yaitu lansia umumnya tinggal dalam keluarga besar baik itu anak yang menemani orangtua untuk tinggal dirumahnya sehingga setelah menikah anak tidak pergi keluar dari rumah maupun orangtua tinggal atau menumpang dirumah anak. Sejalan dengan itu Yulmardi (1995) diacu dalam Suhartini (2009b) mengatakan bahwa masyarakat lanjut usia di Sumatera, khususnya di pinggiran kota Jambi sebagian besar tinggal dalam keluarga luas. Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan pola tempat tinggal dan status perkawinan
Pola tempat tinggal Sendiri/pasangan Anak&pasangan atau anak saja Orangtua dan saudara Total Nilai p-value
n 3 30 0 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 9,1 1 3,0 90,9 29 87,9 0,0 3 9,1 100,0 33 100,0 0,061
Sementara itu terdapat sebesar 9,1 persen responden berstatus menikah yang hanya tinggal bersama pasangan, sedangkan terdapat pula 9,1 persen responden tinggal bersama orangtua dan saudara pada status janda/duda. Berdasarkan uji Mann-Whitney yang dilakukan diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata pada pola tempat tinggal antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p<0,1). Hal ini terlihat dari pola tempat tinggal pada status menikah lebih banyak yang tinggal bersama pasangan saja jika tidak tinggal bersama anak, sedangkan responden berstatus janda/duda lebih banyak memilih tinggal dengan saudara/orangtua. Connidis (2010) mengatakan bahwa lansia yang single atau berstatus janda/duda lebih menyukai tinggal bersama saudara mereka dibanding lansia berstatus menikah.
Status Kesehatan Responden Status kesehatan lansia bermacam-macam, meskipun masih terdapat lansia dalam keadaan kesehatan baik, namun golongan ini tetap merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit, karena terjadinya perubahan struktur dan fungsi tubuh akibat proses degeneratif alamiah. Perubahan pada sistem pencernaan dapat mengurangi efektifitas utilisasi zat-zat gizi, sehingga semakin
48
bertambahnya usia maka akan lebih mudah untuk terserang penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes melitus, jantung, kanker dan osteoporosis. Penyakit pada lansia mempunyai ciri yang khas yaitu datang dan seringkali bersifat multi kausal/lebih dari satu penyakit timbul bersama-sama (Jauhari 2003). Berdasarkan Tabel 14 terlihat jelas bahwa baik responden berstatus menikah (39,4%) maupun berstatus janda/duda (33,3%) terbanyak pada kategori memiliki dua jenis penyakit. Hal ini sesuai dengan Oswari (1985) bahwa penyakit usia lanjut berbeda dengan penyakit orang dewasa muda. Pada dewasa muda penyakit yang diderita merupakan penyakit tunggal sedangkan usia lanjut terdapat
berbagai
penyakit
sekaligus,
yang
menyulitkan
lansia
untuk
mengabaikan penderitaannya. Sementara itu pada responden berstatus menikah terdapat tiga persen termasuk kategori memiliki empat jenis penyakit, sedangkan untuk status janda/duda terdapat tiga persen yang berstatus tidak sakit. Hasil Ttest menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada jumlah penyakit antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan jumlah keluhan penyakit dan status perkawinan Jumlah keluhan penyakit Tidak sakit Sakit 1 Sakit 2 Sakit 3 Sakit 4 Sakit 5 Sakit 6 Total Nilai p-value
Menikah n 3 10 13 4 1 0 2 33
Ket : sakit 1 (mengidap 1 jenis penyakit) sakit 3 (mengidap 3 jenis penyakit) sakit 5 (mengidap 5 jenis penyakit)
Status perkawinan Janda/Duda % n % 9,1 1 3,0 30,3 8 24,2 39,4 11 33,3 12,1 8 24,2 3,0 3 9,1 0,0 2 6,1 6,1 0 0,0 100,0 33 100,0 0,262
sakit 2 (mengidap 2 jenis penyakit) sakit 4 (mengidap 4 jenis penyakit) sakit 6 (mengidap 6 jenis penyakit)
Jenis penyakit responden Perubahan-perubahan pada segi fisik dan kesehatan, sering dianggap sebagai tanda yang paling awal dirasakan seseorang ketika ia sadar bahwa telah sampai pada usia lanjut. Berbagai deretan jenis penyakit seperti jantung, darah tinggi, kanker, gangguan pernafasan, stroke maupun parkinson merupakan yang banyak diderita oleh kaum lansia (Troll 1982, diacu dalam Anitasari 1993).
49
Dari Tabel 15 diketahui bahwa jenis penyakit yang banyak diderita oleh responden berstatus menikah adalah darah tinggi (48,5%), sedangkan pada status janda/duda darah tinggi dan asam urat memiliki proporsi yang sama besar (masing-masing 45,5%). Sementara itu jenis penyakit lainnya yang juga diderita responden berstatus menikah yaitu rematik, mag, asma, pusing, jantung, kolesterol, diabetes, gejala paru, prostat, darah rendah, gatal dan sesak. Untuk responden berstatus janda/duda tidak berbeda jauh hanya saja terdapat responden mengidap pembengkakkan hati, stroke, usus buntu dan gejala ginjal, namun tidak terdapat yang mengidap prostate dan gejala paru. Tabel 15 Sebaran responden berdasarkan jenis penyakit dan status perkawinan Status perkawinan Menikah Jenis penyakit Darah tinggi Asam urat Rematik Mag Asma Pusing Jantung Kolesterol Diabetes Vertigo Gejala ginjal Gejala paru Prostat Stroke Usus buntu Darah rendah Gatal Pembengkakkan hati Sesak napas
n 16 9 9 12 4 2 2 3 2 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1
Janda/Duda % 48,5 27,3 27,3 36,4 12,1 6,1 6,1 9,1 6,1 0,0 0,0 3,0 3,0 0,0 0,0 3,0 3,0 0,0 3,0
n 15 15 11 13 1 3 2 2 5 1 1 0 0 1 1 1 2 1 1
% 45,5 45,5 33,3 39,4 3,0 9,1 6,1 6,1 15,2 3,0 3,0 0,0 0,0 3,0 3,0 3,0 6,1 3,0 3,0
Kondisi Fisik Kemunduran progresif yang disebabkan bertambahnya usia seseorang, terutama lansia erat kaitannya dengan permasalahan fisik, antara lain terjadinya kemunduran/penurunan metabolisme fungsi-fungsi sel, elastisitas, degeneratif dan lain sebagainya (Suciati 2005). Alat-alat tubuh kita mencapai puncak perkembangannya ketika mencapai dewasa, namun setelah itu berangsurangsur mengalami kemunduran. Susunan tubuh, daya kerja otot, daya tahan tubuh makin lesu bila orang mulai menjadi tua (Oswari 1985).
50
Kondisi fisik pada penelitian ini maksudnya ingin melihat keluhan-keluhan atau ketidakmampuan fisik yang dialami lansia mengikuti semakin bertambahnya usia. Berdasarkan jumlah keluhan yang diderita diketahui (Tabel 16) bahwa persentase terbesar baik responden berstatus menikah (51,5%) maupun berstatus janda/duda (54,6%) pada kategori tidak memiliki keluhan fisik apapun. Sementara itu terdapat 9,1 persen responden berstatus menikah dan sebesar tiga persen pada status janda/duda terkategori memiliki dua jenis keluhan fisik. Hasil T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada jumlah keluhan fisik yang dirasakan antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan jumlah keluhan fisik dan status perkawinan Status perkawinan Menikah Janda/Duda Jumlah keluhan fisik n % n % Tidak ada keluhan 17 51,5 18 54,6 Keluhan 1 13 39,4 14 42,4 Keluhan 2 3 9,1 1 3,0 Total 33 100,0 33 100,0 Nilai p-value 0,551 Ket : keluhan 1 (memiliki 1 jenis keluhan) keluhan 2 (memiliki 2 jenis keluhan)
Jenis keluhan fisik responden Gallo (1998) diacu dalam Suhartini (2009b) mengatakan untuk mengkaji fisik pada orang lanjut usia harus dipertimbangkan keberadaannya seperti menurunnya pendengaran, penglihatan, gerakan yang terbatas dan waktu respon yang lamban. Mata dan telinga merupakan dua organ tubuh yang paling banyak digunakan setiap saat dibanding indera lainnya. Oleh karena itu keduanya merupakan organ paling banyak dipengaruhi oleh pertambahan usia, walaupun perubahan fungsi seluruh organ tubuh juga terjadi (Hurlock 1980). Pada Tabel 17 diketahui bahwa jenis keluhan fisik yang banyak dikeluhkan oleh responden baik berstatus menikah (18,2%) maupun berstatus janda/duda (21,2%) adalah kaki agak susah jalan terutama untuk jalan jauh. Keluhan fisik tersebut karena faktor usia seperti terjadinya pengapuran tulang dan adanya sakit rematik atau asam urat yang juga banyak diderita oleh responden. Keluhan fisik lain yang juga diderita oleh responden yaitu mata agak
51
buram, pegal-pegal, kaki kesemutan, sakit punggung, sakit pinggang, tidak bisa jalan, kurang pendengaran dan sakit tangan. Tabel 17 Sebaran responden berdasarkan jenis keluhan fisik dan status perkawinan Menikah Jenis keluhan Tidak bisa jalan Agak susah jalan Mata agak buram Kurang pendengaran Pegel Kaki kesemutan Sakit punggung Sakit pingang Sakit tangan
n 0 6 3 0 5 1 1 1 2
Status perkawinan Janda/Duda % n % 0,0 2 6,1 18,2 7 21,2 9,1 2 6,1 0,0 1 3,0 15,2 3 9,1 3,0 0 0,0 3,0 0 0,0 3,0 1 3,0 6,1 0 0,0
Tingkat Kemandirian Budi (2008) mendefinisikan kemandirian sebagai kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Mandiri menurut Mu’tadin (2002) merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Tingkat kemandirian responden dalam penelitian ini dinilai dari empat aspek yaitu aspek kemandirian aktivitas sehari-hari, aspek ekonomi, aspek emosi dan aspek interaksi sosial.
Kemandirian aktivitas sehari-hari Setiati (2000) diacu dalam Suhartini (2009b) mengatakan bahwa kualitas hidup orang lanjut usia dapat dinilai dari kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Tabel 18 menunjukkan bahwa persentase terbesar untuk kemandirian aktivitas sehari-hari baik responden berstatus menikah (54,6%) maupun berstatus janda/duda (39,4%) pada kategori mandiri. Sementara itu terdapat 21,2 persen responden berstatus menikah termasuk kategori sangat mandiri dan tiga persen responden berstatus janda/duda terkategori kurang mandiri. Hal ini sesuai dengan status keluhan fisik dan jenis sakit fisik responden bahwa persentase terbesarnya pada kategori tidak ada keluhan/tidak sakit. Untuk jenis keluhan fisik yang dirasakan, terdapat dua responden tidak bisa jalan dan satu diantaranya dikarenakan terkena stroke sehingga kesulitan dalam
52
melakukan aktivitas sehari-harinya. Berdasarkan pada rata-rata dan hasil T-test diketahui tidak terdapat perbedaan nyata pada kemandirian aktivitas sehari-hari antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan kemandirian aktivitas sehari-hari dan status perkawinan Tingkat kemandirian Kurang mandiri Cukup mandiri Mandiri Sangat mandiri Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value
Status perkawinan Janda/Duda % n % 0,0 1 3,0 24,2 10 30,3 54,6 13 39,4 21,2 9 27,3 100,0 33 100,0 25,6 25,3 6,3 8,0 0,865
Menikah n 0 8 18 7 33
Kemandirian ekonomi
Masalah ekonomi yang dialami orang lanjut usia adalah tentang pemenuhan
kebutuhan
hidup
sehari-hari
seperti
sandang,
pangan
perumahan, kesehatan, rekreasi dan sosial (Suhartini 2009). Kemandirian dari aspek ekonomi ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain (Havighurst 1972, diacu dalam Mu’tadin 2002). Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan kemandirian ekonomi dan status perkawinan Tingkat kemandirian Kurang mandiri Cukup mandiri Mandiri Sangat mandiri Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value
n 2 8 13 10 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 6,1 3 9,1 24,2 9 27,3 39,4 9 27,3 30,3 12 36,3 100,0 33 100,0 15,5 15,2 5,0 6,1 0,859
Kemandirian ekonomi responden berstatus menikah (Tabel 19) diketahui lebih dari sepertiganya (39,4%) termasuk kategori mandiri, dan pada status
53
janda/duda lebih dari sepertiganya (36,3%) termasuk kategori sangat mandiri. Sementara itu terdapat 6,1 persen respoden berstatus menikah dan 9,1 persen pada status janda/duda termasuk dalam kategori kurang mandiri. Berdasarkan rata-ratanya terlihat tidak jauh berbeda antara dua kelompok responden. Hasil Ttest juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada kemandirian ekonomi antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1).
Kemandirian emosi Kemandirian aspek emosi ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang lain (Havighurst 1972, diacu dalam Mu’tadin 2002). Pada Tabel 20 diketahui bahwa hampir separuh (48,5%) responden berstatus menikah terkategori sangat mandiri secara emosi, sedangkan lebih dari sepertiga (39,4%) responden berstatus janda/duda hanya terkategori mandiri secara emosi. Sementara itu persentase terkecil baik responden berstatus menikah (12,1%) maupun berstatus janda/duda (27,3%) termasuk kategori cukup mandiri. Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan kemandirian emosi dan status perkawinan Tingkat kemandirian Kurang mandiri Cukup mandiri Mandiri Sangat mandiri Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value
n 0 4 13 16 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 0,0 0 0,0 12,1 9 27,3 39,4 13 39,4 48,5 11 33,3 100,0 33 100,0 17,5 15,5 4,2 4,5 0,057
Berdasarkan dari rata-rata terlihat bahwa terdapat kecenderungan kemandirian emosi responden berstatus menikah lebih baik dibanding pada status janda/duda. Hal ini diduga karena responden berstatus menikah memiliki sebaran laki-laki lebih banyak dibanding perempuan sehinga dimungkinkan secara emosi lebih tegas dari wanita. Hal ini juga terlihat dari hasil uji hubungan bahwa responden laki-laki memiliki tingkat kemandirian emosi yang lebih baik. Hasil T-test juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada
54
kemandirian emosi antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p<0,1).
Kemandirian interaksi sosial Kemandirian
aspek
sosial
ditunjukan
dengan
kemampuan
untuk
mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain (Havighurst 1972, diacu dalam Mu’tadin 2002). Pada Tabel 21 diketahui bahwa pada kedua kelompok responden lebih dari separuhnya (masing-masing 57,6%) terkategori mandiri secara sosial. Sementara itu tidak terdapat responden berstatus menikah terkategori kurang mandiri. Namun masih terdapat satu orang (3%) responden terkategori kurang mandiri pada status janda/duda. Hal ini sama halnya seperti pada kemandirian aktivitas sehari-hari yaitu terkait dengan terdapatnya seorang responden yang pernah menderita stroke dan saat wawancara dilakukan sedang dalam proses penyembuhan sehingga untuk bersosialisasi agak mengalami kesulitan. Dilihat dari rata-ratanya kedua kelompok responden memiliki rata-rata yang tidak jauh berbeda. Hasil Ttest juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada kemandirian interaksi sosial untuk kedua kelompok responden (p>0,1). Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan kemandirian interaksi sosial dan status perkawinan Tingkat kemandirian Kurang mandiri Cukup mandiri Mandiri Sangat mandiri Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value
Status perkawinan Janda/Duda % n % 0,0 1 3,0 18,2 6 18,2 57,6 19 57,6 24,2 7 21,2 100,0 33 100,0 7,9 7,7 1,8 2,0 0,750
Menikah n 0 6 19 8 33
Kemandirian total Pada Tabel 22 diketahui bahwa lebih dari separuh responden (69,7%) berstatus menikah termasuk kategori mandiri secara total, sedangkan pada status janda/duda hampir separuhnya saja (48,5%) yang termasuk kategori mandiri secara total. Namun demikian untuk kategori sangat mandiri lebih banyak pada responden berstatus janda/duda yaitu sebesar 30,3 persen. Sementara itu
55
tidak terdapat responden baik berstatus menikah maupun berstatus janda/duda yang termasuk kategori kurang mandiri. Hasil T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada tingkat kemandirian total antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 22 Sebaran responden berdasarkan tingkat kemandirian dan status perkawinan Tingkat kemandirian Kurang mandiri Cukup mandiri Mandiri Sangat mandiri Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value
Status perkawinan Janda/Duda % n % 0,0 0 0,0 12,1 7 21,2 69,7 16 48,5 18,2 10 30,3 100,0 33 100,0 66,5 63,8 10,6 15,1 0,393
Menikah n 0 4 23 6 33
Dukungan Sosial Kaplan et al. (1977) diacu dalam Cutrona (1996) mengatakan bahwa dukungan sosial menunjukan kepuasan seseorang terhadap persetujuan, penghargaan dan pertolongan oleh seseorang yang berarti. Lebih lanjut Cobb (1979) diacu dalam Cutrona (1996) menjelaskan mengenai konsep dukungan sosial sebagai petunjuk seseorang untuk percaya bahwa dirinya diperhatikan dan dicintai, dihargai dan memiliki jaringan yang saling memenuhi kewajibannya. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang, papan, pangan) dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiusitas, tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain, terlebih saat sedang menghadapi masalah, ringan maupun berat (Kuntjoro 2002). Dalam penelitian ini dukungan sosial responden dilihat dari empat aspek, yaitu emosi, instrumental, penghargaan diri (self-esteem) dan informasi.
Dukungan emosi Turner (1993) diacu dalam Jauhari (2003) mengemukakan bahwa dukungan emosi itu sangat penting dan memberi perhatian mendalam terhadap individu sehingga individu dapat mencurahkan perasaannya, yang sangat membantu kesehatan mental serta kesejahteraan individu. Dukungan ini
56
biasanya diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu, seperti keluarga atau teman dekat. Pada Tabel 23 terlihat bahwa lebih dari separuh (51,5%) responden berstatus menikah memiliki dukungan emosi kategori sedang dan pada status janda/duda lebih dari separuhnya (63,6%) memiliki dukungan emosi kategori baik. Sementara itu hanya tiga persen responden berstatus menikah dan 6,1 persen pada status janda/duda yang memiliki dukungan emosi kategori kurang. Berdasarkan rata-rata dari kedua kelompok responden terlihat bahwa sebaran responden tidak jauh berbeda antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda. Hasil T-test juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada dukungan emosi untuk kedua kelompok responden (p>0,1). Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan dukungan emosi dan status perkawinan Status perkawinan Janda/Duda % n % 0,0 0 0,0 3,0 2 6,1 51,5 10 30,3 45,5 21 63,6 100,0 33 100,0 18,0 18,9 3,0 3,6 0,283
Menikah Dukungan emosi Sangat kurang Kurang Sedang Baik Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value
n 0 1 17 15 33
Dukungan instrumental Hubungan yang terjalin baik akan menghasilkan dukungan berbentuk materi atau jasa dari orang lain kepada individu sebagai penerima. Bantuan yang diberikan dapat berupa uang, barang kebutuhan sehari-hari atau bantuan praktis seperti memberikan fasilitas transportasi, membantu membersihkan rumah atau juga menyediakan waktu ketika seseorang sakit atau terluka. Bantuan ini penting bagi lansia yang mempunyai kondisi fisik lemah dan membutuhkan bantuan tenaga dari orang di sekitarnya (Felton & Bery 1992, diacu dalam Jauhari 2003). Pada Tabel 24 diketahui bahwa responden berstatus menikah (87,9%) dan berstatus janda/duda (84,9%) sebagian besarnya memiliki dukungan instrumental kategori baik. Sementara itu pada responden berstatus menikah 12,1 persen sisanya memiliki dukungan instrumental kategori sedang, sedangkan
57
pada status janda/duda masih terdapat tiga persen responden yang memiliki dukungan instrumental kategori kurang. Rata-rata untuk kedua kelompok responden memperlihatkan sebaran nilai yang tidak jauh berbeda. Hal tersebut diperkuat oleh hasil T-test bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada dukungan instrumental antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 24 Sebaran responden berdasarkan dukungan instrumental dan status perkawinan
Dukungan instrumental Sangat kurang Kurang Sedang Baik Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value
n 0 0 4 29 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 0,0 0 0,0 0,0 1 3,0 12,1 4 12,1 87,9 28 84,9 100,0 33 100,0 27,5 27,1 3,3 4,5 0,706
Dukungan informasi Dukungan
informasi
memungkinkan
individu
untuk
memperoleh
pengetahuan dari orang lain (Felton dan Berry 1992, diacu dalam Hertamina 1996). Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan/arahan, diskusi masalah, maupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi tersebut, maka individu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi atau memperoleh pengetahuan baru (Weiss tanpa tahun, diacu dalam Cutrona 1996). Tabel 25 Sebaran responden berdasarkan dukungan informasi dan status perkawinan Status perkawinan Menikah Dukungan informasi Sangat kurang Kurang Sedang Baik Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value
n 0 11 16 6 33
% 0,0 33,3 48,5 18,2 100
n 0 8 15 10 33
17,3 4,4 0,424
Janda/Duda % 0,0 24,2 45,5 30,3 100 18,2 4,5
58
Berdasarkan Tabel 25 terlihat bahwa baik responden berstatus menikah (48,5%) maupun berstatus janda/duda (45,5%) hampir separuhnya memiliki dukungan informasi kategori sedang. Sementara hanya 18,2 persen responden berstatus menikah yang termasuk kategori baik, sebaliknya pada status janda/duda, persentase terkecil (24,2%) dukungan informasi pada kategori kurang. Sebaran responden berdasarkan rata-ratanya tidak berbeda jauh. Begitu juga dari hasil T-test yaitu tidak terdapat perbedaan nyata pada dukungan informasi antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1).
Dukungan penghargaan diri (self-esteem) Pikunas (1976) diacu dalam Anitasari (1993) mengatakan bahwa pada lansia terdapat kebutuhan akan penghargaan, yaitu perasaan bahwa dirinya tetap berguna dan diperlukan. Dukungan penghargaan terbentuk melalui pengakuan terhadap kualitas seseorang, kepercayaan terhadap kemampuan seseorang, pengakuan terhadap gagasan seseorang berupa perasaan atau tindakan (Cutrona 1996). Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan dukungan penghargaan diri dan status perkawinan
Dukungan penghargaan diri Sangat kurang Kurang Sedang Baik Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value
n 0 9 16 8 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 0,0 1 3,0 27,3 4 12,0 48,5 14 42,5 24,2 14 42,5 100,0 33 100,0 10,6 11,7 2,7 2,9 0,129
Pada dukungan penghargaan diri hampir separuh (48,5%) responden berstatus menikah memiliki dukungan kategori sedang (Tabel 26), sedangkan pada status janda/duda untuk kategori sedang dan baik memiliki persentase yang sama yaitu sebesar 42,5 persen. Sementara itu hanya terdapat 24,2 persen responden berstatus menikah memiliki dukungan penghargaan kategori baik. Untuk responden berstatus janda/duda masih terdapat tiga persen responden terkategori sangat kurang. Dari hasil T-test yang dilakukan diketahui bahwa tidak
59
terdapat perbedaan yang nyata pada dukungan penghargaan antara responden berstatus menikah dengan responden berstatus janda/duda (p>0,1).
Dukungan sosial total Pada Tabel 27 diketahui bahwa lebih dari separuh (54,6%) responden berstatus menikah memiliki dukungan sosial total kategori sedang, sedangkan pada status janda/duda lebih dari separuhnya (54,5%) memiliki dukungan sosial total kategori baik. Sementara itu tidak ada responden yang memiliki dukungan sosial kategori kurang dan sangat kurang pada lansia berstatus menikah, namun terdapat 6,1 persen responden berstatus janda/duda memiliki dukungan sosial kategori kurang. Berdasarkan dari rata-rata terlihat bahwa dukungan sosial responden berstatus janda/duda memiliki kecenderungan lebih baik dibandingkan pada status menikah. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan jenis kelaminnya, pada responden berstatus menikah lebih banyak laki-laki yang menurut Cutrona (1996) agak kurang memiliki variasi sumber dukungan dihari tuanya. Pria juga cenderung menutupi masalah mereka dibanding wanita (Cutrona 1996), sehingga kurang mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Lebih lanjut Sheely (1998) diacu dalam Galvin et al. (2003) mengatakan bahwa pria lebih kesulitan pada masa transisi dari usia paruh baya menuju usia tua dan pria jarang mencari teman baru di masa paruh baya tersebut. Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan dukungan sosial dan status perkawinan
Dukungan sosial total Sangat kurang Kurang Sedang Baik Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value
n 0 0 18 15 33
Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 0,0 0 0,0 0,0 2 6,1 54,6 13 39,4 45,4 18 54,5 100,0 33 100,0 73,4 75,9 11,3 13,7 0,430
Berbeda pada responden berstatus janda/duda yang lebih banyak merupakan perempuan. Cutrona (1996) mengatakan bahwa wanita cenderung lebih memiliki banyak variasi sumber dukungan sosial, wanita juga menggunakan
60
komunikasi untuk menggandakan persahabatan mereka (Sheely 1998, diacu dalam Galvin et al. 2003) sehingga kepemilikan dukungan sosial pada wanita cenderung lebih banyak. Selain itu berbeda dengan kaum pria yang lebih terbatas dalam mempercayakan untuk membagi masalahnya bersama orang lain, wanita terutama memasuki usia tua senang membagi masalahnya kepada keluarga dan anak ataupun orang tua jika masih ada. Namun demikian dari hasil T-test tidak terdapat perbedaan nyata pada kepemilikan dukungan sosial total antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1).
Sumber Dukungan Sosial Keluarga yang terdiri dari pasangan, anak-anak, cucu-cucu, saudara yang memiliki hubungan darah, memegang peranan besar dalam pemberian dukungan bagi individu. Hal ini juga didukung oleh Smolak (1993) diacu dalam Jauhari (2003) yang mengatakan bahwa jaringan sosial lansia memiliki porsi yang besar pada anggota keluarga dan lebih lanjut dikemukakan Antonucci (1985) diacu dalam Hertamina (1996) bahwa sumber dukungan utama bagi lansia adalah anak-anak mereka, terutama anak perempuan. Tabel 28 Sebaran responden berdasarkan sumber dukungan dan status perkawinan ES Sumber dukungan Keluarga Teman Keluarga dan teman Tidak ada Total
M % 42,4 15,8 34,5 7,3 100,0
Ket : ES (dukungan emosi) IFS (dukungan informasi)
TS
J/D % 46,1 13,3 32,1 8,5 100,0
M % 81,1 3,0 8,3 7,6 100,0
J/D % 76,5 1,5 12,1 9,9 100,0
IFS M % 46,0 14,7 15,1 24,2 100,0
J/D % 42,4 10,6 20,7 26,3 100,0
SES M % 6,1 36,4 42,4 15,1 100,0
J/D % 3,0 48,5 45,5 3,0 100,0
TS (dukungan instrumental) SES (dukungan penghargaan diri)
Tabel 28 menunjukkan bahwa baik responden berstatus menikah maupun responden berstatus janda/duda memilih keluarga sebagai sumber dukungan untuk dukungan emosi (ES), instrumental (TS) dan informasi (IFS) yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan Antonucci (2001) yang mengatakan bahwa pasangan merupakan penyedia dukungan yang istimewa. Selain itu Connidis (2010) juga mengatakan bahwa untuk dukungan instrumental dan emosi lansia lebih nyaman untuk mencarinya pada saudara mereka terutama saudara perempuan.
61
Sementara itu untuk sumber dukungan penghargaan (SES) diketahui hampir separuh (42,4%) responden berstatus menikah memilih keluarga dan teman sebagai sumber dukungan yang dimiliki, sedangkan pada status janda/duda hampir separuhnya (48,5%) memilih teman sebagai sumber dukungan yang dimiliki. Namun demikian pada responden berstatus janda/duda untuk sumber dukungan dari keluarga dan teman memiliki perbedaan persentase yang tidak terlalu jauh dengan sumber dukungan dari teman. Oleh karena itu baik pada responden berstatus menikah maupun berstatus janda/duda memiliki sumber dukungan penghargaan dari berbagai pihak. Teman secara umum menunjukkan peran unik dan penting dalam kehidupan lansia (Adams & Blieszner 1994, diacu dalam Antonucci 2001). Hubungan
dengan
teman
sebaya
bersifat
tidak
mengikat
dan
teman
menyediakan dukungan pada semua usia, tetapi terutama sekali lansia dalam bentuk umpan balik positif dan saling menghargai ((O’Connor 1995; Lansford 2000), diacu dalam Antonucci 2001).
Tingkat Stres Stres merupakan respon atau keadaan tegang yang dihasilkan oleh stressors atau oleh tuntutan (nyata ataupun persepsi) dan tidak dapat dikendalikan ((Antonovsky 1979; Burr 1973), diacu dalam Friedman et al. 2003). Burgess (1978) diacu dalam Friedman et al. (2003) mengartikan stres sebagai ketegangan pada diri seseorang atau sistem sosial (seperti keluarga) dan merupakan reaksi terhadap situasi yang menghasilkan tekanan. Tingkat stres seseorang dapat diketahui dengan memperhatikan gejalagejala stres yang ditujukan, baik gejala fisik maupun gejala emosional (Wilkinson 1989, diacu dalam Furi 2006). Berdasarkan rata-rata skor jawaban untuk gejala stres diketahui (Tabel 29) bahwa gejala-gejala stres yang banyak dialami oleh responden berstatus menikah antara lain, merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas (2,33), merasa letih dan lesu yang luar biasa (1,94), merasa tidak tenang, tegang dan cemas (1,91), serta merasa tidak sabaran dan ingin cepat marah (1,76). Sementara itu pada status janda/duda gejala stres yang banyak dialami tidak jauh berbeda antara lain, merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas (2,06), mudah menangis atau merasa sedih tanpa sebab (1,97), merasa tidak sabaran dan ingin cepat marah (1,88), serta merasa letih dan lesu yang luar biasa (1,73).
62
Tabel 29 Sebaran responden berdasarkan gejala stres dan status perkawinan
No. 1 2 3 4 5 6
Gejala Stres Merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas Merasa tidak tenang, tegang, dan cemas Membayangkan hal-hal buruk Mengalami perubahan buang air kecil Merasa letih dan lesu yang luar biasa Minum kopi lebih dari tiga gelas sehari/melebihi kebiasaan sehari-hari 7 Sering melamun Khawatir yang berlebihan pada diri sendiri 8 Tidak suka berinteraksi dengan orang lain/menutup diri 9 10 Tubuh berguncang hebat Mudah menangis atau Merasa sedih tanpa sebab 11 12 Merasa tidak sabaran dan ingin cepat marah 13 Merasa tidak pernah istirahat Mudah menyesali diri 14 Berteriak dan melempar-lempar barang 15 Merasa putus asa/tidak punya harapan hidup 16 Mudah tersinggung 17 Mudah menyalahkan orang lain 18 Mudah membatalkan janji atau tidak memenuhinya 19 20 Mendiamkan atau memusuhi orang lain 21 Mudah melakukan kecelakaan atau kesalahan dalam bekerja seperti memecahkan piring, gelas, tertusuk jarum dll) Ket: skor 1-4, pertanyaan no 10, 15 &16 skor dikalikan 3
Rata-rata skor M J/D 2,33 2,06 1,67 1,91 1,30 1,24 1,15 1,00 1,94 1,73 1,06
1,00
1,52 1,45 1,06 3,45 1,67 1,76 1,42 1,39 3,00 3,00 1,33 1,21 1,03 1,24
1,42 1,61 1,00 3,73 1,97 1,88 1,30 1,36 3,09 3,09 1,42 1,24 1,18 1,12
1,39
1,55
Sementara itu tingkat stres seseorang terhadap suatu kondisi dipengaruhi oleh sumber stres, sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi stres, dan persepsi terhadap stres (Ifada 2004). Dalam penelitian ini tingkat stres dibagi menjadi empat kategori yaitu tidak stres, ringan, sedang dan tinggi. Berdasarkan pada Tabel 30 diketahui bahwa seluruh responden baik berstatus menikah (100%) maupun berstatus janda/duda (100%) memiliki tingkat stres kategori ringan yang artinya gejala-gejala yang dirasakan masih normal dan jarang-jarang dirasakannya. Rata-rata skor dari kedua kelompok responden tidak jauh berbeda. Hasil T-test juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada tingkat stres antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1).
63
Tabel 30 Sebaran responden berdasarkan tingkat stres dan status perkawinan Status Perkawinan Tingkat stres
Menikah n 0 33 0 0 33
Tidak stres Ringan Sedang Berat Total Rata-rata (skor) SD Nilai p-value
% 0,0 100 0,0 0,0 100,0
n 0 33 0 0 33
35,6 6,0
Janda/Duda % 0,0 100 0,0 0,0 100,0 35,7 4,7
0,982
Hubungan Antar Variabel Karakteristik, kondisi kesehatan dan kondisi fisik dengan kemandirian responden Untuk
hubungan
antara
karakteristik
responden
dengan
tingkat
kemandirian dari hasil uji korelasi Spearman’s diketahui bahwa terdapat hubungan sangat nyata dan negatif pada jenis kelamin (r; -0,389; p<0,01) dengan kemandirian emosi, artinya responden laki-laki memiliki tingkat kemandirian emosi yang lebih baik. Hal ini diduga karena laki-laki jauh lebih tegas secara emosi dibandingkan perempuan. Terdapat hubungan sangat nyata dan negatif pada tingkat kemandirian total (r; -0,315; p<0,01), kemandirian aktivitas sehari-hari (r; -0,316; p<0,01), dan hubungan nyata dan negatif pada kemandirian emosi (r; -0,258; p<0,05) dengan usia responden, artinya semakin tua usia maka akan mengurangi tingkat kemandirian total, aktivitas sehari-hari dan emosi responden. Sesuai dengan yang dikatakan Departemen Sosial (1997) diacu dalam Rahmi (1998) bahwa semakin lanjut usia seseorang maka semakin banyak kemundurannya, terutama kemampuan fisik yang dapat berakibat berkurangnya kemampuan sosial, selain itu dapat mengganggu kemampuannya memenuhi kebutuhannya, sehingga cenderung tergantung pada pihak lain. Sementara itu terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara kemandirian total (r; 0,404; p<0,01) dan ekonomi (r; 0,656; p<0,01) dengan status pekerjaan, artinya pada responden yang bekerja memiliki tingkat kemandirian total dan ekonomi semakin baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cici (2001) diacu dalam Suhartini (2009c) tentang faktor penentu lansia bekerja. Dikatakan bahwa lansia yang masih aktif bekerja karena berbagai alasan, diantaranya karena desakan ekonomi, dengan masih bekerja berarti lansia masih dapat menghidupi dirinya sendiri. Kondisi seperti ini membuat lansia
64
memusatkan perhatian pada usaha untuk menghasilkan uang sehingga minat untuk mencari uang tidak lagi berorientasi pada apa yang ingin dibeli akan tetapi untuk sekedar menjaga agar lansia tetap mandiri. Tabel 31 Hasil uji korelasi Spearman’s karakteristik responden, kondisi kesehatan dan fisik dengan tingkat kemandirian responden Variabel Status responden Jenis kelamin Usia Lama pendidikan Status pekerjaan Tingkat pendapatan Sumber pendapatan Besar keluarga Jumlah anak Jumlah keluhan penyakit Jumlah keluhan fisik
Tingkat kemandirian ,088 -,178 -,315** ,216 ,404** ,216 -,508** -,179 -,331**
-,113 -,046 Ket : KAS (kemandirian aktivitas sehari-hari) KE (kemandirian emosi)
KAS ,014 -,026 -,316** ,171 ,172 ,047 -,238 -,189 -,218 -,220 -,099
KEK ,013 -,043 -,042 -,098 ,656** ,136 -,779** -,084 -,370** ,105 ,085
KE ,233 -,389** -,258* ,339** ,113 ,215 -,031 -,077 -,210 -,092 -,006
K SOS ,003 -,163 -,212 ,128 ,047 ,168 -,196 -,017 -,095 ,028 -,078
KEK (kemandirian ekonomi) K SOS (kemandirian sosial)
Terdapat juga hubungan sangat nyata dan positif pada lama pendidikan (r; 0,339 ; p<0,01), dengan kemandirian emosi, artinya semakin lama jenjang pendidikan yang ditempuh maka semakin tinggi tingkat kemandirian emosi responden. Lama pendidikan diduga terkait dengan tingkat pengetahuan sehingga berpengaruh pada cara responden bersikap dan mengambil keputusan, jadi dimungkinkan lansia sesedikit mungkin akan bergantung secara emosi kepada orang lain ataupun keluarga dan anak. Sumber pendapatan berhubungan sangat nyata dan negatif dengan kemandirian total (r; -0,508; p<0,01) dan kemandirian ekonomi (r; -0,779; p<0,01), artinya pada responden yang memiliki sumber pendapatan dari anak maka akan mengurangi tingkat kemandirian total dan kemandirian ekonominya. Jumlah anak juga berhubungan sangat nyata dan negatif dengan kemandirian total (r; -0,331; p<0,01) dan kemandirian ekonomi (r; -0,370; p<0,01), artinya semakin banyak jumlah anak responden maka akan semakin rendah tingkat kemandirian total dan kemandirian ekonomi responden. Hal ini diduga karena dengan semakin banyak anak maka semakin banyak pula orang-orang yang dapat diandalkan yang artinya semakin memperbesar derajat ketergantungan lansia. Selain itu kebudayaan di Indonesia yang umumnya anak akan membalas budi orang tua dengan merawat ataupun sekedar membantu sebisanya orangtua
65
dimasa tuanya, maka dengan semakin banyaknya anak akan semakin banyak pula bantuan yang diberikan kepada lansia. Hasil uji korelasi juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara kondisi kesehatan dan fisik dengan tingkat kemandirian responden.
Karakteristik, kondisi kesehatan dan kondisi fisik dengan tingkat stres responden Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman diketahui bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat stres dengan karakteristik responden seperti jenis kelamin, sumber pendapatan, status pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, besar keluarga dan jumlah anak. Hasil uji korelasi memperlihatkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif pada usia (r; 0,259; p<0,05), dan hubungan sangat nyata dan positif kondisi kesehatan/jumlah keluhan penyakit (r; 0,329; p<0,01) dengan tingkat stres, artinya semakin tua usia responden dan semakin banyak keluhan penyakit yang dirasakan maka akan semakin tinggi tingkat stresnya. Hawari (1996) diacu dalam Jauhari (2003) menyatakan penyakit kronis seperti jantung, kanker dan lain-lain serta kehidupan sosial yang tidak baik dapat mengguncangkan keseimbangan suasana hati yang pada akhirnya dapat mengakibatkan ketegangan jiwa atau stres. Sementara itu tidak terdapat hubungan nyata pada karakteristik responden lainnya dan kondisi fisik dengan tingkat stres responden. Tabel 32 Hasil uji korelasi Spearman’s karakteristik, kondisi kesehatan, dan fisik dengan tingkat stres responden Variabel Status responden Jenis kelamin Usia Lama pendidikan Status pekerjaan Tingkat pendapatan Sumber pendapatan Besar keluarga Jumlah anak Jumlah keluhan penyakit Jumlah keluhan fisik
Tk stres
-,061 -,011 ,259* -,210 ,212 -,108 ,095 -,085 -,180 ,329** ,021
66
Kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat stres responden Hurlock (1980) berpendapat bahwa pada usia lanjut perubahan fisik dan psikologis
yang
cenderung
negatif
akan
terjadi.
Perubahan
tersebut
menyebabkan gaya hidup penduduk lanjut usia terpaksa berubah, sehingga mereka mempunyai ketergantungan yang besar pada keluarga, orang lain termasuk negara (Hardywinoto & Setiabudhi 2005). Jika lansia tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi maka akan menyebabkan ketergantungan kepada orang lain. Ketergantungan
pada orang lain ini jika
dibiarkan lambat laun dapat menyebabkan stres pada lansia (Hurlock 1980). Tabel 33 Hasil uji korelasi Spearman’s tingkat kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat stres responden Variabel Tingkat kemandirian Kemandirian Aktivitas Sehari-hari Kemandirian ekonomi Kemandirian emosi Kemandirian sosial Dukungan sosial Dukungan emosi Dukungan intrumental Dukungan informasi Dukungan self-esteem
Tingkat stres -,248*
-,130 -,074 -,310* -,192 -,174
-,168 -,134 -,102 -,154
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan negatif antara tingkat stres dengan kemandirian total (r; -0,248; p<0,05) dan kemandirian emosi responden (r; -0,310; p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat kemandirian total dan emosi responden maka akan semakin tinggi tingkat stresnya. Selain itu tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat stres dengan dukungan sosial yang dimiliki responden. Namun terdapat kecenderungan negatif antara dukungan sosial dengan tingkat stres, yang berarti semakin baik dukungan sosial responden maka terdapat kecenderungan mengurangi tingkat stres responden dan tidak tedapatnya hubungan nyata pada kedua variabel ini juga menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat stres serta bukan faktor penentu tingkat stres seseorang pada penelitian ini. Artinya dengan baiknya dukungan sosial yang dimiliki seseorang tidak serta merta akan menurunkan tingkat stres orang tersebut. Namun dengan adanya dukungan
67
sosial dari orang-orang disekitar diharapkan akan dapat mengurangi beban dan efek negatif yang ditimbulkan oleh stres. Bee (1996) diacu dalam Chandra (2003) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi pengaruh negatif dari pengalaman yang menyebabkan stres diantara para lansia. Disamping itu diduga pula karena responden yang diteliti dalam penelitian ini homogen dan tingkat stres dipengaruhi oleh faktor lain yaitu status kesehatan responden. Hal ini juga sesuai dengan hasil uji regresi dan uji korelasi bahwa terdapat hubungan antara tingkat stres dengan status kesehatan dan status kesehatan berpengaruh nyata terhadap tingkat stres responden.
Pengaruh Kemandirian dan Dukungan Sosial terhadap Tingkat Stres Berdasarkan uji regresi linear berganda yang dilakukan diketahui bahwa terdapat pengaruh nyata dan negatif antara kemandirian emosi dengan tingkat stres responden. Hal ini menunjukkan bahwa semakin mandiri responden secara emosi maka semakin rendah tingkat stresnya. Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa ketergantungan lanjut usia terhadap orang lain akan membuat gerak lansia menjadi terbatas baik secara fisik maupun ekonomi. Keterbatasanketerbatasan ini membuat lansia kurang dapat menentukan sendiri kehidupannya di hari tua. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap kondisi mental lansia yang mana dapat menimbulkan stres. Hasil uji regresi juga menunjukkan pengaruh nyata dan negatif antara jumlah anak dengan tingkat stres, artinya semakin banyak anak maka semakin rendah tingkat stres responden. Hal ini diduga karena dengan semakin banyak anak maka memungkinkan lansia untuk memperoleh dukungan sosial yang lebih besar dan memungkinkan lansia tidak menjadi kesepian. Sementara itu hasil uji regresi juga menunjukkan status kesehatan dan status pekerjaan responden berpengaruh nyata dan positif terhadap tingkat stres. Hal ini berarti semakin banyak penyakit yang diderita maka akan semakin tinggi tingkat stres responden. Hawari (1996) diacu dalam Jauhari (2003) menyatakan penyakit kronis seperti jantung, kanker, dan lain-lain serta kehidupan sosial yang tidak baik dapat menggoncangkan keseimbangan suasana hati yang pada akhirnya dapat mengakibatkan ketegangan jiwa atau stres. Untuk status pekerjaan hasil uji regresi menjelaskan bahwa pada responden yang tidak bekerja memiliki tingkat stres yang lebih rendah. Hal ini diduga karena responden
68
stres dengan pekerjaannya yang dimungkinkan responden merasa lelah dan ingin istirahat dihari tuanya. Selain itu tingkat pendapatan responden yang umumnya kecil juga menjadi beban pikiran tersendiri. Tabel 34 Hasil uji regresi pengaruh kemandirian dan dukungan sosial terhadap tingkat stres Model (Constant)
Unstandardized Coefficients B Std. Error 31,387 13,302
Standardized Coefficients Beta
t
Sig. 2,360
,023
-,480
,320
-,295
-1,503
,140
Dukungan intrumental
,177
,245
,127
,721
,475
Dukungan informasi
,146
,243
,120
,601
,551
Dukungan selfesteem
,247
,370
,130
,667
,508
Dukungan emosi
KAS
,125
,100
,165
1,240
,221
Kemandirian ekonomi
-,307
,252
-,312
-1,217
,230
Kemandirian emosi
-,394
,176
-,322
-2,232
,031
Kemandirian sosial
-,096
,349
-,034
-,275
,784
,051
1,524
,005
,033
,974
-2,003
1,678
-,180
-1,193
,239
,189
,129
,200
1,467
,149
Status responden Jenis kelamin Usia Lama pendidikan
-,158
,215
-,112
-,737
,465
Status pekerjaan
5,311
1,837
,482
2,892
,006
Tingkat pendapatan
,604
1,751
,049
,345
,732
Sumber pendapatan
-1,866
2,726
-,160
-,685
,497
-,163
,238
-,086
-,686
,496
Jumlah anak
-,530
,237
-,290
-2,240
,030
Jumlah keluhan penyakit
1,833
,490
,445
3,742
,001
,436
1,032
,050
,422
,675
Besar keluarga
Jumlah keluhan fisik
Adjusted R square F (P) df
29,9% 2,459 19
a Dependent Variable: Tingkat stress
Hasil uji regresi juga menunjukkan nilai R² sebesar 29,9 persen. Hal ini berarti bahwa variabel-variabel yang diuji menggambarkan 29,9 persen faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat stres responden. Sementara sisanya 70,1 persen dipengaruhi oleh variabel lain diluar model ini. Berdasarkan nilai beta terbesar yaitu pada status pekerjaan yang berarti status pekerjaan mempunyai pengaruh terbesar terhadap tingkat stres lansia. Sementara itu nilai B pada status pekerjaan sebesar 5,311 artinya setiap kenaikan kesempatan bekerja satu persen akan meningkatkan tingkat stres sebanyak 5,311 persen. Nilai B untuk kemandirian emosi yaitu -0,394 yang artinya setiap kenaikkan kemandirian emosi satu tingkat maka akan mengurangi stres pada lansia sebanyak 0,394 tingkat. Demikian juga dengan nilai B status kesehatan responden sebesar 1,833 artinya
69
pada kenaikan status kesehatan satu tingkat yang berarti bertambah satu jenis penyakit yang diderita maka akan meningkatkan stres sebanyak 1,833 tingkat. Jumlah anak memiliki nilai B sebesar -0,530, artinya pada lansia dengan jumlah anak semakin banyak dengan selisih sebesar satu persen akan dapat mengurangi stres responden sebanyak 0,530 persen.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kedua kelompok responden tidak berbeda nyata dari segi karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik, tingkat kemandirian, dukungan sosial serta tingkat stres responden. Namun terdapat perbedaan dari segi jenis kelamin, status pekerjaan, pola tempat tinggal dan kemandirian emosi responden. Dari segi jenis kelamin, pada status menikah lebih banyak laki-laki, sedangkan status janda/duda lebih banyak perempuan. Status pekerjaan lebih banyak yang bekerja pada status menikah, pola tempat tinggal lebih banyak terkategori tinggal sendiri atau bersama pasangan pada status menikah dan lebih banyak terkategori bersama orangtua atau saudara pada staus janda/duda. Untuk kemandirian emosi lebih baik pada responden berstatus menikah. Usia responden pada kategori lansia awal (60-69 tahun). Tingkat pendidikan tidak tamat SD dan status pekerjaan tidak bekerja. Jenis pekerjaan sebagai pedagang/wiraswasta pada status menikah, sementara itu terdapat kesamaan persentase untuk pembantu dan berdagang pada status janda/duda. Sumber pendapatan dari bekerja/pensiunan dengan pendapatan paling banyak pada tingkat
72
Responden laki-laki memiliki kemandrian emosi lebih baik, sedangkan semakin tua responden memiliki tingkat kemandirian total, aktivitas sehari-hari dan emosi semakin rendah. Tingkat kemandirian total dan ekonomi lebih baik pada responden berstatus bekerja. Sementara itu responden dengan jumlah anak semakin banyak dan sumber pendapatannya dari anak memiliki tingkat kemandirian total dan ekonomi semakin rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan memiliki kemandirian emosi semakin baik dan semakin buruk kondisi kesehatan serta semakin tua usia responden semakin tinggi tingkat stresnya. Sementara itu semakin mandiri responden maka akan semakin rendah tingkat stresnya, sedangkan untuk dukungan sosial pada penelitian ini tidak berhubungan nyata dengan tingkat stres. Akan tetapi terdapat kecenderungan negatif antara dukungan sosial dengan tingkat stres. Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres dalam penelitian ini yaitu jumlah anak, status pekerjaan, jumlah penyakit dan kemandirian emosi responden.
Saran 1. Lebih dari separuh responden berpendapatan kurang (
DAFTAR PUSTAKA Anitasari. 1993. Kesepian pada lanjut usia: studi perbandingan antara lansia yang tinggal di rumah dengan lansia yang tinggal di panti werdha [Skripsi]. Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Antonnucci. 2001. Social relations: an examination of social networks, social support and sense of control. Didalam: Birren J E & Schaie K W. Abeles R P, Gatz M & Salthouse, editor. Handbook of the Psychology of Aging. Ed ke-5. California: Elsevier Science USA Academic Press. hlm 430-538. Aprilianti E. 2007. Analisis tingkat stres dan strategi koping pada suami yang istrinya bekerja sebagai TKW di luar negeri: kasus di Desa Sukasari, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, [Faperta IPB] Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gejala stres Aspin. 2007. Hubungan gaya pengasuhan orangtua authoritarian dengan kemandirian emosional remaja: studi remaja madya dalam perspektif psikologi perkembangan pada siswa SMA Negeri I Punggaluku Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran. http://www.damandiri.or. id/file/aspinunpadbab2.pdf [16 Februari 2010]. Astuti DF. 2007. Tingkat stres dan coping strategy pada prajurit zeni di pusat pendidikan zeni Kodiklat TNI AD, Kota Bogor [Skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, [Faperta IPB] Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Budi AS. 2008. Pentingkah kemandirian bagi anak?. http://id.shvoong.com/socialsciences/1830707-pentingkah-kemandirian-bagi-anak/ [17 Maret 2010]. Boss P. 1987. Family stress. Didalam: Sussman & Steinmetz. Handbook of Marriage and the Family. New York: Plenum press. hlm 695-721. Chandra A. 2003. Gambaran penyesuaian diri dan dukungan sosial dalam mencapai kepuasan hidup pada masa lansia: studi deskriptif pada wanita usia lanjut yang tinggal sendiri [Skripsi]. Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Cohen dan McKay. 1984. Social support, stress and the buffering hypothesis: a theoritical analysis. Didalam: Saum, Taylor dan Singer (Eds). Handbook of Psychology and Health. New York: Hillsdale. http://www.psy.cmu.edu/ ~scohen/buffer84.pdf [2 Februari 2011]. hlm 253-267. Cohen dan Syme. 1985. Issues in the study and application of social support. Didalam: Cohen dan Syme (Eds). Social Support and Health. San Francisco: Academic Press. http://www.psy.cmu.edu:16080/~scohen /symechap85.pdf [2 Februari 2011]. hlm 3-22. Connidis. 2010. Family Ties and Aging. Ed ke-2. California: Pine Forge Press. Cutrona. 1996.Social Support in Couples. California: Sage Publications Inc. Desnelli. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres wanita lanjut usia yang tinggal di panti sasana tresna werdha (PSTW) swasta dan negeri [Skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, [Faperta IPB] Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
74
Friedman, Bowden dan Jones. 2003. Family Nursing: Research, Theory and Practice. Ed ke-5. New Jersey: Pearson Education Inc. Furi AE. 2006. Persepsi, tingkat stres dan strategi koping ibu pada keluarga miskin penerima bantuan langsung tunai (BLT) terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM): kasus di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, [Faperta IPB] Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Galvin, Bylund dan Brommel. Family Communication: Cohesion and Change. Ed ke-6. Boston: Pearson Education Inc. Greenberg JS. 2002. Comprehensive Stress Management. Ed ke-7. New York: McGraw-Hill Higher Education. Greiner, Snowdon dan Schmitt. 1996. The loss of independence in activities of daily living : the role of low normal cognitif function in elderly nuns. Am J Public Health, 86: 62-66. [terhubung berkala]. http://ajph.apha publications.org/cgi/reprint/86/1/62.pdf [2 Februari 2011]. Hardywinoto dan Setiabudhy T. 1999. Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek, Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup para Lanjut Usia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hertamina M R. 1996. Dukungan sosial pada lansia di panti werdha: studi deskriptif tentang harapan dan penerimaan dukungan sosial pada lansia dari staf dan pemberian dukungan sosial menurut staf pada suatu panti werdha di Jakarta [Skripsi]. Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Ed ke-5. Istiwidayanti & Soedjarwo, penerjemah; Sijabat RM, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Developmental Psycology: A Life Span-Approach. Ifada. 2004. Kajian ketahanan keluarga: manajemen stres keluarga pengungsi korban kerusuhan Aceh di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah [Skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, [Faperta IPB] Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jauhari M. 2003. Status gizi, kesehatan dan kondisi mental lansia di panti sosial tresna werdha Budi Mulia 4 Jakarta. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kuntjoro Z S. 2002. Dukungan sosial pada lansia. http://www.e-psikologi.com/ epsi/lanjutusia_detail.asp?id=183 [15 Februari 2010]. Latifah M. 1999. Kesehatan mental pada manusia lanjut usia: tinjauan psikologi perkembangan [Makalah]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Mathieson, Kronenfeld dan Keith. 2002. Maintaining functional independence in elerly adults: the roles of health status and financial resources in predicting home modifications and use of mobility equipment. The Gerontologist, 42, 1: 24-31. [terhubung berkala]. http://gerontologist. oxfordjournals.org/content/42/1/24.full.pdf+html [2 Februari 2011]. Menkokesra. Tanpa Tahun. Lansia masa kini dan mendatang. http://www.menkokesra.go.id/content/view/2933/333/ [16 Februari 2010].
75
Mu'tadin Z. 2002. Kemandirian sebagai kebutuhan psikologis pada remaja. http://daffodilmuslimah.multiply.com/journal/item/162/Kemandirian_Sebag ai_Kebutuhan_Psikologis_Pada_Remaja_ [17 Maret 2010]. Nursalam. 2009. Model holistik berdasar teori adaptasi (ROY dan PNI) sebagai upaya modulasi respons imun (aplikasi pada pasien HIV & AIDS). Seminar Nasional Keperawatan. http://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/ PNI-HOLISTIK-AIDS.pdf [15 Februari 2010]. Oswari. 1985. Menyongsong Hari Tua: Pegangan bagi Siapa Saja yang Ingin Menikmati Senja Kehidupan. Jakarta: Gunung Mulia. Priana M A. 2004. Identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kemandirian petani dalam memiliki usaha agroforestri: kasus usaha agroforestri pohpohan di hutan pinus & damar Desa Taman Sari Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rahmi E. 1998. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi ibu-ibu lansia dalam kegiatan bina keluarga lansia: kasus pada kelompok-kelompok bina keluarga lansia di Kotamadya Bogor Jawa Barat [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Raina, Wong dan Massfeller. 2004. The relationship between sensory impairment and functional independence among elderly. BMC Geriatrics, 4,3: 1-9. http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1471-2318-4-3.pdf [2 Februari 2011]. Ruhidawati C. 2005. Pengaruh pola pengasuhan, kelompok teman sebaya dan aktivitas remaja terhadap kemandirian [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selye. 1956. The Stres of Life. New York: Mc Graw – Hill Book Company. Setiabudhi. 1995. Manula (Manusia Lanjut Usia). Inti Idayu Press. Jakarta: Gunung Agung. Snowdon, Ostwald dan Kane. 1989. Education, survival, and independence in elderly catholic sisters, 1936-1988. American Journal of Epidemiology, 130, 5: 999-1012. [terhubung berkala]. http://aje.oxfordjournals.org/ content/130/5/999.full.pdf+html [2 Februari 2011]. Suciati. 2005. Pemberdayaan lanjut usia (Lansia) melalui organisasi pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK): studi kasus di RW 05 Kelurahan Pamoyanan Kec Cicendo Kota Bandung [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sugiri.
2010. Tahun 2050 jumlah lansia di Indonesia 50 juta. http://www.bkkbn.go.id/Webs/DetailBerita.php?MyID=1272 [16 Februari 2010].
Suhartini R. 2009a. Hubungan status kesehatan, ekonomi, dan sosial terhadap kemandirian lanjut usia [Skripsi]. Surabaya: Universitas Airlangga. http://www.damandiri.or.id/file/ratnasuhartiniunairbab1.pdf [15 Februari 2010]. . 2009b. Hubungan status kesehatan, ekonomi, dan sosial terhadap kemandirian lanjut usia [Skripsi]. Surabaya: Universitas Airlangga.
76
http://www.damandiri.or.id/file/ratnasuhartiniunairbab2.pdf 2010].
[15
Februari
. 2009c. Hubungan status kesehatan, ekonomi, dan sosial terhadap kemandirian lanjut usia [Skripsi]. Surabaya: Universitas Airlangga. http://www.damandiri.or.id/file/ratnasuhartiniunairbab6.pdf [15 Februari 2010]. Utomo
SB. 2009. Manajemen stres membangun karakter tangguh. http://www.dakwatuna.com/2009/manajemen-stres-membangun-karaktertangguh/ [16 Januari 2010].
Wangsadjaja R. 2010. Stres. http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/stres.html. [16 Januari 2010]. Widyantari R. 2003. Motivasi lansia tinggal di panti sasana tresna werdha serta harapannya di hari tua [Skripsi]. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, [Faperta IPB] Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
79
Lampiran 1 Sebaran responden berdasarkan sumber dukungan dan status perkawinan Item Sumber
Kel %
Menikah Kel & Teman teman %
%
Janda/Duda Kel & Tdk Teman teman ada
Tdk ada
Tot
Kel
%
%
%
%
%
%
%
Tot
Sumber dukungan emosi Ada yang dapat diajak berbagi cerita/curhat saat sedang sedih Ketika saya merasa kesepian ada beberapa orang yang dapat saya ajak bicara Ada yang menanyakan tentang keadaan dan kesehatan saya Saya merasa orang-orang disekitar saya selalu siap untuk diajak bertukar pikiran. Saya memiliki teman untuk berbagi suka dan duka. Rata-rata
73,0
3,0
12,0
12,0
100
84,9
0,0
12,1
3,0
100
36,4
9,1
51,5
3,0
100
42,4
15,2
42,4
0,0
100
30,3
0,0
69,7
0,0
100
36,4
0,0
60,6
3,0
100
54,6
3,0
39,4
3,0
100
48,5
3,0
39,4
9,1
100
18,2
63,6
0,0
18,2
100
18,0
49,0
6,0
27,0
100
42,4
15,8
34,5
7,3
46,1
13,3
32,1
8,5
Sumber dukungan instrumental Tidak sulit meminta tolong dibelikan obat, ketika sakit Saat jauh dari rumah, ada yang dapat di hubungi untuk datang dan menjemput. Saat darurat dengan mudah menemukan orang untuk menampung saya Tidak sulit menemukan seseorang untuk menemani bepergian Rata-rata
94,0
0,0
3,0
3,0
100
87,9
0,0
9,1
3,0
100
84,9
0,0
3,0
12,1
100
85,0
3,0
6,0
6,0
100
61,0
9,0
15,0
15,0
100
57,6
3,0
15,2
24,2
100
84,9
3,0
12,1
0,0
100
76
0,0
18,0
6,0
100
81,1
3,0
8,3
7,6
76,5
1,5
12,1
9,9
Sumber dukungan informasi Ada yang dipercaya membantu memecahkan masalah. Selalu ada yang dapat dipercaya memberikan nasehat keuangan.
Selalu ada yang memberikan saran ketika sedang bimbang. Ada tempat bercerita, ketika membutuhkan saran tentang masalah pribadi.
55,0
15,0
6,0
24,0
100
55,0
3,0
24,0
18,0
100
24,2
6,1
3,0
66,7
100
21,2
0,0
0,0
78,8
100
79,0
6,0
9,0
6,0
100
67,0
6,0
12,0
15,0
100
66,7
3,0
21,2
9,1
100
67,0
6,0
21,0
6,0
100
80
Lanjutan lampiran 1 Item Sumber
Kel %
Menikah Kel & Teman teman %
%
Janda/Duda Kel & Tdk Teman teman ada
Tdk ada
Tot
Kel
%
%
%
%
%
%
%
Tot
Sumber dukungan informasi Selalu ada yang menegur ketika berbuat kesalahan. Selalu ada yang mengingatkan jadwal pelayanan kesehatan untuk lansia Rata-rata
51,5
6,1
12,1
30,3
100
45,5
0,0
21,2
33,3
100
0,0
51,5
39,4
9,1
100
0,0
48,5
45,4
6,1
100
46,0
14,7
15,1
24,2
42,4
10,6
20,7
26,3
Sumber dukungan penghargaan diri (self-esteem) Selalu ada yang memberikan pujian atas hal yang saya lakukan Rata-rata
6,1 6,1
36,4 36,4
42,4 42,4
15,1 15,1
100
3,0 3,0
48,5 48,5
45,5 45,5
3,0 3,0
100
Lampiran 2 Matriks hasil uji korelasi Spearman’s Tk stres
DS
ES
TS
IFS
SES
Tk kmndrn
KAS
KEK
KE
K SOS
Usia
Stts rspndn
Stts pkrjn
Jns klmn
Tk pndptn
Smbr pndptn
Bsr kel
Jml anak
Jml klhn sakit
Jml klhn fisik
Tk stres DS
-,174
ES
-,168
,848**
TS
-,134
,807**
,544**
IFS
-,102
,905**
,683**
,674**
SES
-,154
,847**
,706**
,626**
,648**
TK
-,248*
,068
,188
,015
-,035
,151
KAS
-,130
,034
,131
-,037
-,005
,091
,801**
KEK
-,074
-,110
-,011
-,109
-,218
,008
,589**
,196
KE
-,310*
,079
,093
,097
,027
,087
,660**
,377**
,172
K SOS
-,192
,232
,319**
,188
,125
,218
,479**
,251*
,122
,373**
Usia
,259*
-,200
-,300*
-,148
-,113
-,190
-,315**
-,316**
-,042
-,258*
-,212
Stts rspndn
-,061
-,151
-,157
,001
-,113
-,219
,088
,014
,013
,233
,003
-,119
Stts pkrjn
,212
-,199
-,101
-,070
-,244*
-,193
,404**
,172
,656**
,113
,047
-,063
,219
Jns klmn
-,011
,108
,039
,027
,090
,182
-,178
-,026
-,043
-,389**
-,163
-,139
-,504**
-,189
Tk pndptn Smbr pndptn Bsr kel
-,108
,145
,070
,212
,103
,130
,216
,047
,136
,215
,168
,087
,104
-,103
-,131
-,095
,026
,082
,036
-,075
,075
,508**
,238
,779**
,031
,196
-,049
,132
,515**
-,019
,313*
-,085
-,089
-,033
-,001
-,231
,074
-,179
-,189
-,084
-,077
-,017
-,041
,079
-,041
-,017
-,036
-,029
Jml anak Jml klhn sakit Jml klhn fisik Lama pnddkn
-,180
,150
,035
,175
,162
,166
-,331**
-,218
-,370**
-,210
-,095
,153
,047
-,205
,142
-,112
-,259*
,318**
,329**
,063
,120
,022
-,036
,157
-,113
-,220
,105
-,092
,028
,006
-,187
-,056
,266*
,108
,054
,108
-,023
,021
-,199
-,156
-,212
-,178
-,192
-,046
-,099
,085
-,006
-,078
,000
,056
,029
,058
-,096
-,091
-,040
-,135
,027
-,210
,210
,076
,224
,199
,266*
,216
,171
-,098
,339**
,128
-,175
,074
-,320**
-,127
,488**
-,036
-,066
-,049
-,031
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
,059
Lm pnd dkn