HUBUNGAN KEKUASAAN ELIT PEMERINTAHAN DESA Siti Nuraini Abstrak Desa selalu menjadi tema penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berbagai kebijakan pemerintah terutama berkaitan dengan pemerintahan di daerah selalu membawa dampak terhadap jalannya pemerintahan desa yang berakibat pada munculnya konflik antar elit yang tidak sedikit berujung pada konflik antar warga desa. Tulisan ini berusaha mengidentifikasi hubungan kekuasaan antar elit pemerintahan desa pasca reformasi dan faktor-faktor penyebab munculnya konflik elit pemerintahan desa. Kata Kunci: Relasi Kekuasaan, Konflik Elit, Pemerintahan Desa
Desa atau sebutan lainnya seperti negeri, marga, kampong, dusun, dati dan sebagainya merupakan sebuah komunitas adat dan sebagai unit pemerintahan terendah dalam struktur pemerintahan Indonesia. Desa selalu menarik untuk dijadikan bahan kajian karena memiliki karakteristik tersendiri baik dari segi sosial, budaya, politik dan ekonomi. Peran desa dan masyarakat desa juga begitu besar mulai dimasa feodal, kolonial, perang kemerdekaan dan pasca kemerdekaan hingga era reformasi saat ini. Perkembangan dan perubahan pun mewarnai kehidupan desa dan masyarakatnya yang disebabkan karena faktor penguasa yang silih berganti dengan berbagai kebijakannya serta masuknya arus modernisasi. Di dalam sejarah pemerintahan Indonesia, tercatat bahwa desa telah ada sejak zaman dahulu kala jauh sebelum kolonial datang dan negara Indonesia terbentuk. Sebagai suatu bentuk organisasi pemerintahan, desa memiliki otonomi asli. Otonomi asli yaitu hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus atau menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, yang diperoleh dari dalam masyarakat desa itu sendiri berdasarkan hukum adat. Seperti yang dikemukakan oleh Ndraha sebagai berikut:
2 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 1 Maret 2010 “Desa-desa asli yang telah ada sejak zaman dahulu kala memiliki hak dan wewenang untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri yang disebut dengan hak otonomi. Desa yang memiliki hak otonomi disebut desa otonom. Otonomi Desa berdasarkan hukum adat (asli Indonesia) dan pada hakekatnya bertumbuh di dalam masyarakat ”. 1 Penyelenggaraan pemerintahan desa yang semula diatur berdasarkan hukum adat secara demokratis untuk kepentingan masyarakat desa itu sendiri, kemudian mulai mengalami perubahan dengan munculnya campur tangan penguasa atau pemerintah yang lebih tinggi. Desa oleh penguasa hanya dijadikan sebagai obyek kekuasaan ketimbang sebagai subyek. Demikian pula pasca kemerdekaan Indonesia khususnya dimasa kekuasaan rezim Orde Baru, desa dijadikan obyek kekuasaan melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang menyebutkan bahwa desa merupakan: “Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”2 Definisi desa tersebut memberikan kerancuan bagi penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis, karena di satu sisi memberikan kewenangan kepada desa untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri dan di sisi lain pemerintahan desa disebutkan sebagai organisasi pemerintahan terendah di bawah Camat. Posisi desa yang berada di bawah Camat memberikan gambaran bahwa desa merupakan sub ordinasi dan bawahan Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II. Artinya disini bahwa desa merupakan representasi (kepanjangan) tangan dari Pemerintah Pusat. Oleh sebab itu kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan di desa tergantung pada keputusan Pemerintah di atasnya dan desa dikondisikan menjadi alat pemerintah untuk kepentingan pemerintah (Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) dari pada kepentingan masyarakat desa itu sendiri. Kebijakan rezim Orde Baru juga menetapkan Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Kepala Desa yang dipilih oleh masyarakat desa bertanggung jawab kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II atau Walikotamadya Tingkat II, melalui Camat sebagai pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Kepala Desa. Padahal semestinya kepala desa bertanggung jawab kepada masyarakat desa yang telah 1
Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1981), hal. 16 2 Suhartono, et.al, Parlemen Desa Dinamika Kelurahan dan DPRK Gotong Royong, (Yogyakarta: Lapera, 2000), hal 12.
Siti Nuraini – Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa
|3
memilihnya. Hal tersebut merupakan suatu bentuk kesalahan dalam melaksanakan pemerintahan yang demokratis yang menjadi ciri kehidupan masyarakat desa dan bentuk penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Kebijakan pemerintahan dan politik rezim Orde Baru yang sentralisasi tersebut, pada dasarnya karena ingin memperkuat dan melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itu Kepala Desa dijadikan alat kekuasaannya untuk memobilisasi masyarakat desa agar pada setiap pemilu memilih Golkar sebagai partai milik rezim Orde Baru. Kekalahan atau rendahnya suara yang diperoleh Golkar akan berdampak pada karier Kepala Desa ke depan dan tidak menutup kemungkinan berupa pencopotan dari jabatannya. Selain Kepala Desa sebagai lembaga eksekutif, di Desa dibentuk pula Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagai lembaga legislatif yang pembentukannya bertujuan s ebagai sarana demokratisasi di desa dan difungsikan sebagai pengontrol dari kinerja Kepala Desa dan perangkatnya dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan desa. Hanya saja keanggotaan dari LMD sebagian besar diduduki sendiri oleh aparat pemerintah desa dan baru sisanya diberikan kepada elit politik desa. Dalam kepengurusan LMD, jabatan ketua LMD dijabat langsung oleh Kepala Desa sendiri secara ex officio, demikian pula dengan sekretaris LMD dipegang oleh Sekretaris Desa. Keanggotaan LMD pemilihannya dilakukan oleh Kepala Desa selaku Ketua LMD dan memiliki otoritas penuh dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 pasal Pasal 17, sehingga anggota LMD yang terpilih merupakan orang-orang atau kroni Kepala Desa untuk kepentingan politis Kepala Desa agar dapat menjaga, memperkuat serta melanggengkan kekuasaan Kepala Desa. Dampaknya LMD hanya sebagai “lembaga konspirasi”, bukan sebagai lembaga kontrol. Dengan jabatan rangkap yang dilakukan oleh aparat pemerintah desa sebagai anggota LMD berdampak pada kinerja LMD itu sendiri yang dapat mengabaikan kepentingan politik rakyat dan tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi dalam praktik pemerintahan yang dijalankan oleh Pemerintah Desa. LMD yang diharapkan dapat menjadi sebuah lembaga yang mampu menjadi media agregasi dan artikulasi kepentingan politik masyarakat desa tidak dapat diwujudkan. Oleh sebab itu posisi Kepala Desa sebagai kepala pemerintahan dan sebagai ketua LMD menjadikan Kepala Desa sebagai pusat kekuasaan di desa. Bentuk kebijakan politik dan pemerintahan yang sentralistis dari rezim Orde Baru yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 telah melakukan penyeragaman secara administratif terhadap struktur pemerintahan desa, baik nama, bentuk, susunan dan kedudukannya pada semua desa di Indonesia, sehingga telah merusak lembaga-lembaga tradisional/adat yang dimiliki dan dihormati oleh masyarakat desa. Hal tersebut juga telah melanggar ketentuan
4 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 1 Maret 2010 Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 (sebelum diamandemen) yang mengakui desa sebagai suatu wilayah yang memiliki karakteristik khusus sehingga negara harus menghormatinya. Apalagi secara obyektif kondisi desa dan masyarakat Indonesia sangat plural/majemuk. Kebijakan penyeragaman tersebut dapat dilihat dari uraian isi kebijakan pemerintahan desa yang menyebutkan sebagai berikut: “...bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan pemerintahan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar mampu menggerakan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelanggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif...”3 Berkaitan dengan penyeragaman struktur pemerintahan desa, maka selain membentuk LMD di desa dibentuk pula oleh rezim Orde Baru Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) melalui Instruksi Presiden No. 28 Tahun 1980 dan Instruksi Mendagri No. 4 Tahun 1981. Tujuan pembentukan LKMD sebagai sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengkoordinasikan dan mengatur pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di tingkat Desa. Permasalahannya kepengurusan LKMD hampir sama dengan LMD, Ketua LKMD dijabat oleh Kepala Desa (secara ex officio). Keanggotaan dalam kepengurusan LKMD harus melaui persetujuan Kepala Desa. Sehingga kroni-kroni Kepala Desa kembali menduduki keanggotaan LKMD. Kewenangan pengesahan LKMD berada pada Camat dan Bupati Kepala Daerah Tingkat II/Walikotamadya Daerah Tingkat II. Realitas yang terjadi dari penyeragaman tersebut berdampak pada rusaknya lembaga-lembaga adat/ tradisional yang dihormati warga desa 4. Uraian di atas memberikan gambaran bagaimana pemerintahan desa dilaksanakan secara sentralistis, struktur kekuasaan yang monolitik telah menghilangkan tatanan pemerintahan Desa yang demokratis karena tidak akan pernah terdengar pandangan-pandangan yang berbeda dengan Kepala Desa. Padahal logikanya perbedaan dan keragaman pendapat akan selalu ada dalam suatu komunitas. Berakhirnya kekuasaan Orde Baru sebagai hasil perjuangan kaum reformis khususnya mahasiswa Indonesia telah menghentikan kekuatan-kekuatan politik dan sosial yang selama ini berlangsung secara otoriter. Era reformasi merupakan awal kebangkitan demokratisasi. Perubahan politik yang terjadi di era Reformasi terasa sangat cepat, mulai dari pergantian kekuasaan dan berbagai kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dalam 3
Suhartono, et.al, ibid, hal 14 Heru Cahyono (Ed.) et.al, Konflik Elit Politik Pedesaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal 1. 4
Siti Nuraini – Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa
|5
upaya ke arah demokratisasi. Awal Reformasi kekuasaan beralih ke tangan Habibie yang kemudian membentuk kabinet Reformasi. Implikasi kebijakan kabinet reformasi memberikan dampak pada perubahan politik dan pola penyelenggaraan Pemerintahan mulai di tingkat pusat hingga di tingkat Desa. Salah satu bentuk kebijakan politik kabinet reformasi yaitu dengan munculnya Otonomi Daerah yang menawarkan gerakan demokrasi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini juga mengatur tentang Pemerintahan Desa. Latar belakang kelahiran maupun implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menurut Ryaas Rasyid antara lain adalah: “Pemerintahan Desa harus dikembalikan kepada bentuk aslinya yang disebut self governing community. Pemerintahan Desa sebaiknya bukan merupakan pemerintahan pada level administratif yang paling rendah tetapi sebagai lembaga tradisional Desa”. 5 Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Bab XI Pasal 93 sampai dengan Pasal 111 yang mengatur tentang Pemerintaha n Desa terdapat berbagai perubahan baru seperti misalnya status Desa yang tidak lagi sebagai organisasi pemerintahan yang berada langsung di bawah Camat tetapi dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999, yang dikutip oleh Suhartono, Desa disebutkan sebagai: “... Kesatuan wilayah masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat setempat diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten ...”6 Pemerintahan yang dimaksud adalah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dalam hal ini Kepala Desa dan perangkatnya yang terdiri atas Sekretaris Desa, Kepala-kepala Urusan dan Kepala-Kepala Dusun. Kepala Desa dipilih oleh masyarakat Desa dan perangkat Desa dicalonkan oleh Kepala Desa dengan calon yang harus memenuhi syarat administrasi yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah. Calon perangkat Desa tersebut kemudian diajukan oleh Kepala Desa kepada pimpinan Badan Perwakilan Desa (BPD) untuk dipertimbangkan setelah mendapat pertimbangan pimpinan BPD maka perangkat Desa yang terpilih akan ditetapkan melalui Keputusan Kepala Desa. Pada proses pemilihan perangkat Desa terlihat adanya kerjasama antara Kepala Desa selaku lembaga eksekutif dan BPD sebagai lembaga legislatif Desa sehingga aparat pemerintah Desa diisi oleh orang-orang yang representatif yang 5
Purwo Santoso, (Ed.), Pembaharuan Desa Secara Partisipatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003,) hal, 26. 6 Suhartono, Op.Cit, hal 13-14.
6 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 1 Maret 2010 diharapkan dapat menjalankan tugas dan fungsinya untuk kepentingan masyarakat Desa semata. Kebijakan politik ini merupakan langkah awal dari proses pemerintahan yang demokratis. Pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, dilakukan oleh Pemerintah Desa bersama-sama dengan BPD. BPD merupakan penyempurnaan dari LMD karena BPD lebih bersifat independen pemilihan anggotanya dilakukan sendiri oleh masyarakat desa dari elit-elit Desa yang mencalonkan diri untuk menjadi pengurus BPD. Aparat Desa tidak diperbolehkan untuk merangkap keanggotaan BPD. BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Desa dan berfungsi untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Desa selain mengayomi adat istiadat, membuat peraturan Desa dan menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di set-up untuk merubah sistem pemerintahan desa yang sentralistis menjadi demokratis. Hal ini terlihat dari isi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang memisahkan kewenangan antara Kepala Desa dan BPD serta membatasi kekuasaan Kepala Desa seperti pada masa Orde Baru dengan membentuk lembaga parlemen (BPD) yang independen perwakilan dari elit-elit Desa yang dipilih oleh masyarakat Desa untuk mengontrol kinerja Aparat Pemerintah Desa dan mewakili masyarakat Desa dalam proses penyelenggaraan pemerintahan Desa. Sehingga diharapkan penyelenggaraan pemerintahan Desa berlangsung lebih demokratis. Berbagai dampak ditimbulkan dari implementasi kebijakan pemerintahan Desa yang baru ini, hasil penelitian yang dilakukan oleh Iberamsyah di Desa Gede Pangrango memperoleh temuan-temuan antara lain bahwa: “Pembentukan BPD sebagai lembaga perwakilan yang lebih otonom dan representatif sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 telah memunculkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai elit formal baru mendampingi eksekutif dan birokrasi desa. Dominasi Kepala Desa terhadap lembaga perwakilan desa telah berakhir dan BPD menjadi penyeimbang kekuasaan elit formal desa. Pada proses pembuatan keputusan desa BPD kadang lebih dominan, pembuatan keputusan juga mengalami perubahan semula dilakukan secara musyawarah dan mufakat berubah menjadi pemungutan suara terbanyak. Pemerintah Desa terlihat cenderung lebih otonom dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan desa, karena pemerintah di tingkat atasnya tidak lagi melakukan intervensi terhadap pembuatan keputusan“.7 7
Iberamsyah, ”Elit Desa dalam Perubahan Politik: Suatu Penelitian Kasus Pengambilan Keputusan di Desa Gede Pangrango, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, Pada Masa Awal Penerapan Otonomi Daerah 2000-2001”, Abstrak Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, Jakarta , 2002, hal i-ii.
Siti Nuraini – Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa
|7
Kutipan di atas tersebut menunjukan implementasi kebijakan Undangundang No. 22 Tahun 1999 telah mempengaruhi pola penyelenggaraan pemerintahan desa yang sebelumnya di era Orde Baru berlangsung secara sentralistik kemudian berubah demokratis melalui pembentukan BPD. Undangundang No. 22 Tahun 1999 telah membagi kekuasaan pada elit pemerintahan desa, sehingga muncul hubungan kekuasaan antara Kepala Desa dan BPD dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan perumusan peraturan desa. Perubahan terhadap struktur organisasi pemerintahan desa melalui pembentukan BPD sangat mempengaruhi proses demokratisasi desa, BPD telah menjadi penyeimbang kekuasaan Kepala Desa, sehingga Kepala Desa tidak lagi menjadi pusat kekuasaan. Otonomi desa mulai terlihat dalam perumusan peraturan desa karena pemerintah di tingkat atasnya tidak melakukan intervensi. Berbeda dengan desa-desa lainnya, dampak yang ditimbulkan dari penerapan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 ternyata hanya menimbulkan konflik di berbagai Desa di wilayah Indonesia8 termasuk di wilayah Kabupaten Bekasi, misalnya di wilayah Desa Burangkeng, Kecamatan Setu pada tanggal 28 Agustus 2001 terjadi pengrusakan Aula Kantor Desa dan Rumah Ketua BPD yang dilakukan oleh massa pendukung calon Kepala Desa yang kalah karena merasa telah terjadi ketidaksesuaian pelaksanaan dengan ketentuan aturan yang telah ditetapkan dalam proses pemilihan Kepala Desa9. Sikap anarkis yang dilakukan tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat demokratisasi. Selain menimbulkan konflik, masalah lain yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintahan desa yang baru ini yaitu masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, karena hubungan antara Kepala Desa dan BPD bukan sebagai partner atau mitra tetapi menjadi pesaing karena merasa sama-sama memiliki kekuasaan dan sama-sama dipilih oleh masyarakat. Di lain pihak BPD juga dianggap arogan dengan fungsi yang dimilikinya dan ada juga BPD yang dianggap sebagai musuh Kepala Desa karena selalu mencari-cari kesalahan dan selalu mencoba untuk menghambat kebijakan yang akan diambil oleh Kepala Desa seperti kasus lainnya yang terjadi pada beberapa Desa di wilayah Kabupaten Bekasi. 10
8
Hasil penelitian tim peneliti dari Puslit Politik-LIPI di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Barat pada tahun 2004 yang dituangkan dalam buku berjudul Konflik Elit Politik di Pedesaan, Heru Cahyono, Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2005. 9 Surat Kepala Desa Burangkeng yang ditujukan kepada Camat Setu dan Surat Camat Setu yang ditujukan kepada Bupati Bekasi tertanggal 28 Agustus 2001 yang berisikan laporan pengrusakan kantor Kepala Desa dan Rumah Ketua Panitia Pilkades. 10 Hasil wawancara dengan Kaur Pemerintahan Kecamatan Tambun Selatan pada tanggal 3 Nopember 2006.
8 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 1 Maret 2010 Permasalahan lainnya Di Desa Setiadarma di wilayah Kecamatan Setu Kabupaten Bekasi yaitu BPD tidak mau menandatangani Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Desa yang akan dikirim ke Bupati11 sehingga menghambat penyerahan LPJ dan munculnya anggapan Kepala Desa bahwa BPD tidak bisa melaksanakan fungsinya dan tidak dapat bermitra dengan Kepala Desa. Sedangkan hasil wawancara di tempat yang terpisah dengan Ketua BPD, diperoleh keterangan bahwa penolakan penandatanganan dilakukan karena ada beberapa hal yang tercantum dalam LPJ yang tidak sesuai dengan kenyataan.12 Permasalahan-permasalahan di atas telah menghambat proses demokratisasi yang ingin dibangun dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan Desa dan hubungan antara BPD dan Kepala Desa yang ingin dibentuk sebagai mitra kerja, sebaliknya berubah menjadi pesaing dan berdampak pada suasana kerja yang tidak kondusif dan berdampak pada proses demokratisasi di Desa. Kasus lainnya di Desa Jatimulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi terjadi demo yang dilakukan oleh sebagian anggota BPD ke Kantor Camat dan Kantor Bupati pada tanggal 16 Nopember 2006 karena menolak perubahan status Desa menjadi Kelurahan, kemudian menuntut agar ditunjuk Masda Suganda salah seorang RW yang berasal dari pengurus partai (PPP) untuk menduduki jabatan Pjs. Kepala Desa Jatimulya. Pencalonan Penjabat Kepala Desa ini tidak sesuai karena melanggar ketentuan Perda Kabupaten Bekasi Nomor 5 Tahun 2006 Pasal 59 tentang Tatacara Pencalonan Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa yang menyebutkan bahwa Pengangkatan Penjabat Kepala Desa oleh Bupati didasarkan pada usulan calon yang diajukan oleh BPD yang diperoleh dari hasil musyawarah BPD dengan calon dari perangkat Desa yang bersangkutan, Pegawai Negeri Sipil dan tokoh Masyarakat. Tuntutan Pembatalan perubahan status Desa menjadi Kelurahan juga merupakan pelanggaran yang telah dilakukan oleh sebagian anggota BPD karena perubahan status desa tersebut merupakan hasil keputusan bersama antara BPD, Pemerintah Desa dan tokoh-tokoh masyarakat yang telah diajukan pada Bupati sejak tanggal 10 Juli 2006. Lain halnya di Desa Lambangsari Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi, dampak dari implementasi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tidak sesuai dengan harapan dari undang-undang tersebut. Hubungan kekuasaan antara Kepala Desa dan BPD tidak berlangsung harmonis sebagai mitra dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa tapi sebaliknya Kepala Desa menjaga jarak 11
Hasil wawancara dengan Kepala Desa Setiadarma pada tanggal 18 Oktober dan 8 Nopember 2006. 12 Hasil wawancara dengan Ketua BPD Desa Setiadarma pada tanggal 18 Oktober dan 8 Nopember 2006.
Siti Nuraini – Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa
|9
dengan BPD karena BPD dianggap sebagai “monster” yang setiap saat dapat mematikannya. 13 Hal ini diduga karena kewenangan yang dimiliki oleh BPD untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Desa dari jabatannya. Akibatnya suasana menjadi tidak kondusif dalam hubungan kekuasaan antara elit pemerintahan desa tersebut yang berimbas pula pada penyelenggaraan pemerintahan desa dan demokratisasi. Berbagai konflik yang ditimbulkan dari implementasi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menyebabkan pemerintahan Megawati dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dengan undang-undang penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baru yaitu Unda ng-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena dasar pertimbangannya antara lain bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah14. Peraturan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diatur dalam Bab XI Pasal 200 sampai dengan Pasal 216. Desa dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disebutkan sebagai: “Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.15 Pengertian Desa tersebut memberikan makna yang sama dengan UndangUndang No.22 Tahun 1999 sebelumnya. Desa sebagai suatu bentuk pemerintahan tetap diakui sebagai kesatuan wilayah masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, berdasarkan asal-usul dan adat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan keberadaannya tidak hanya di daerah kabupaten tapi juga di wilayah kota. Perubahan yang utama yang sangat mendasar pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004 ada dua hal yaitu, pertama, Badan Perwakilan Desa (BPD) diganti 13
Wawancara dengan salah satu mantan anggota Badan Perwakilan Desa, Desa Lambangsari tanggal 4 Januari 2008. 14 Robert Endi Jaweng (Ed.), Kompilasi Undang-Undang Otonomi Daerah & Sekilas Proses Kelahirannya 1903-2004, (Jakarta: Yayasan Tifa, 2004) hal. 743. 15 Ibid. hal. 891.
10 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 1 Maret 2010 menjadi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan penetapannya dilakukan berdasarkan musyawarah dan mufakat. Perubahan tersebut diharapkan dapat mencegah konflik dan mewujudkan demokratisasi di desa. Kedua, sekretaris Desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Perubahan kebijakan pada penyelenggaraan pemerintahan desa diharapkan dapat membuat elit pemerintahan desa dalam hal ini Kepala Desa dan BPD mampu melaksanakan kewenangannya dengan benar sesuai ketentuan atau aturan yang berlaku tanpa menimbulkan konflik, melalui hubungan kekuasaan yang memperlihatkan hubungan kemitraan, karena elit pemerintahan desa merupakan unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Selain perubahan tersebut, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga tidak lagi memiliki fungsi pengawasan dan fungsi budget, yaitu kewenangan untuk menetapkan tata cara dan pungutan obyek pendapatan dan belanja desa. Kondisi BPD telah berubah, walaupun kedudukannya bersama-sama dengan Kepala Desa tetap sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. BPD tidak lagi memiliki kewenangan yang kuat dalam posisi politik, walaupun BPD masih memiliki kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Desa kepada Bupati, jika Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tidak dapat bertindak secara adil, diskriminatif serta menyulitkan masyarakat dalam memperoleh pelayanan. BPD dalam perumusan peraturan desa hanya memiliki kewenangan untuk membahas dan menetapkan peraturan desa. Kedudukan Kepala Desa sebaliknya kembali memiliki posisi yang kuat dengan kewenangan membuat rancangan peraturan desa, dan hanya melaporkan saja pertanggungjawaban kinerjanya kepada BPD, sesuai dengan ketetapan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 72 Tahun 2005 tentang Desa pada Pasal 15 ayat 2,3,4 dan 5. Hasil penelitian penulis mengenai hubungan kekuasaan elit pemerintahan desa di Desa Lambangsari, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, dengan mengacu pada teori kekuasaan menurut pendapat Ramlan Surbakti dan Robert Dahl. Kekuasaan menurut Ramlan Surbakti diartikan sebagai berikut: “Kekuasaan secara umum diartikan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi. Dalam arti sempit kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan
Siti Nuraini – Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa
| 11
politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada umumnya”.16 Pendapat Ramlan Surbakti tersebut dapat disimpulkan bahwa, kekuasaan diperoleh karena adanya sumber-sumber yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok, yang dapat dijadikan sebagai alat atau sarana untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok lain sesuai yang diinginkan. Sedangkan Robert Dahl berpendapat bahwa membahas berbagai sumber-sumber kekuasaan tentu tidak boleh mencampuradukkannya dengan makna kekuasaan itu sendiri, karena menurut Dahl: “Bila merumuskan pengaruh atau kekuasaan secara sederhana sebagaimana dengan kekuasaan itu sendiri, maka tidak hanya akan kehilangan kekuasaan subyek persoalan, namun juga telah menyangkal suatu masalah empiris yang penting mengenai apa dan bagaimana hubungan pengaruh harus diterapkan dan bagaimana cara aktor untuk mempergunakan sumber kekuasaan yang dimilikinya”.17 Dahl, berpendapat mengenai lebih pentingnya untuk mengkaji kekuasaan dengan melihat bagaimana hubungan kekuasaan dan pengaruhnya, serta cara penggunaan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki seseorang. Berdasarkan kedua teori tersebut dapat diketahui para elit pemerintahan desa dalam mempergunakan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan tersebut, sehingga isi kebijakan sesuai dengan kepentingan elit pemerintahan desa dan masyarakat desa itu sendiri. Hal tersebut berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki elit pemerintahan desa yang diperoleh dari masyarakat desa. Kekuasaan elit pemerintahan desa untuk menyelenggarakan pemerintahan Desa sesuai dengan tugas dan fungsinya masingmasing, yang tercantum dalam perundang-undangan maupun peraturan pemerintah pusat dan daerah lainnya yang mengatur tentang wewenang elit pemerintahan desa. Hubungan kekuasaan elit pemerintahan desa yaitu Kepala Desa dengan BPD menunjukkan hanya sebatas pada penetapan peraturan desa. Penyelenggaraan pemerintahan desa menjadi otoritas Kepala Desa. Bentuk hubungan kekuasaan elit pemerintahan desa di era reformasi terjalin melalui hubungan kerjasama sebagai mitra dalam proses merumuskan Peraturan Desa. Akan tetapi hubungan kerjasama dalam merumuskan peraturan desa tidak berlangsung, karena Kepala desa mengambil alih sepenuhnya proses perumusan Peraturan Desa. Hubungan kekuasaan hanya terjalin pada saat 16
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), hal. 29. 17 Robert Dahl, Analisa Politik Modern, (Jakarta: Bina Aksara, 1985) hal. 47.
12 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 1 Maret 2010 penetapan rancangan Peraturan Desa, karena legalitas Peraturan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, harus mendapatkan persetujuan dari BPD. BPD sendiri tidak pernah mengajukan keberatan atas sikap Kepala Desa tersebut. Akibatnya fungsi legislasi BPD tidak pernah dilaksanakan. Peraturan Desa yang dihasilkan hanya tentang APBDes, yang membuktikan bahwa BPD tidak berperan, sebaliknya jika saja fungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dilaksanakan oleh BPD, maka tidak menutup kemungkinan akan lahir kebijakan-kebijakan politik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Dapat disimpulkan bahwa hubungan kekuasaan elit pemerintahan desa dalam upaya demokratisasi di desa belum terwujud. Kepala Desa masih mendominasi kewenangan yang seharusnya dilaksanakan bersama-sama dengan BPD. Sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki elit pemerintahan desa tidak lagi menjadi sumber kekuatan yang mempengaruhi kekuasaannya, karena adanya pembatasan kekuasaan terhadap elit pemerintahan desa yang ditetapkan dalam perundang-undangan yang diberlakukan di era Reformasi. Faktor lainnya dengan munculnya elit-elit baru di masyarakat desa dan kontrol masyarakat melalui gerakan massa. Daftar Pustaka Cahyono, Heru (Ed.), 2005, Konflik Elit Politik Pedesaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Dahl, Robert, 1985, Analisa Politik Modern, Bina Aksara, Jakarta Jaweng, Robert Endi, (Ed.), 2004, Kompilasi Undang-Undang Otonomi Daerah & Sekilas Proses Kelahirannya 1903-2004, Yayasan Tifa, Jakarta Ndraha,Taliziduhu, 1981, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, PT Bina Aksara, Jakarta Iberamsyah, 2002, Elit Desa dalam Perubahan Politik Suatu Penelitian Kasus Pengambilan Keputusan Di Desa Gede Pangrango, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, Pada Masa Awal Penerapan Otonomi Daerah 2000-2001, Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta Suhartono, et.al., 2000, Parlemen Desa Dinamika Kelurahan dan DPRK Gotong Royong, Lapera, Yogyakarta
Siti Nuraini – Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa
| 13
Santoso, Purwo (Ed.), 2003, Pembaharuan Desa Secara Partisipatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
*Dra. Siti Nuraini, M.Si. (Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP UNISMA Bekasi)