93
HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN PEGAWAI DI HR DEVELOPMENT PT MULTI GARMENJAYA Oleh : Jelena Octavia
[email protected] Program Studi Ilmu Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan ABSTRACT One of effort which can be done by organization to adapt in environment is to build a strong organizational culture to bind the organization into one solid union.Organizational culture can foster a commitment to the members of the organization if it’s suitable and in turn can have a positive impact for the sustainability of the organization. In this study the author used descriptive research analysis to identify and explain the characteristics of the studied variables in a situation. The author conducted a survey, with questionnaire consisted of 61 statements and distributed to 12 employees HR Development PT MULTI GARMENJAYA. Quantitative data were analyzed using descriptive statistics, calculating the average value and percentage. Based on the calculations and the classification of each dimension’s mean for every variables, there is 66.67% of high Power Distance Index, 58.34% of high UAI (Uncertainty Avoidance Index), 58.34% of high MAS (Masculinity Index), 66.67% of high IDV (Individualism Index), and 58.34% of high LTO (Long Term Orientation Index) in HR Development PT MULTI GARMENJAYA. With organizational culture which tends to high index, there is 75% of continuance commitment, 50% of affective commitment, and 58.34% of normative commitment. The author provides suggestions for improving affective commitment by socialize actively and do informal activities outside of work to strengthen relationships with co-workers and employees also managers. In addition, company need to ensure that cultural values have been understood by all employees. Keywords: Research Descriptive Analysis, Organizational Culture, Employee Commitment
94
A. PENDAHULUAN Suatu organisasi memiliki interaksi secara langsung dan tidak langsung kepada lingkungan, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Namun kondisi lingkungan terhadap organisasi terus berubah dikarenakan faktor zaman. Karena itulah organisasi perlu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang tidak stabil tersebut agar dapat mempertahankan dan menjamin keberlangsungan organisasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan organisasi yaitu dengan membangun suatu budaya organisasi yang kuat untuk mengikat organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh dan tidak terpecahkan. Budaya organisasi adalah sesuatu yang harus dimiliki organisasi untuk dapat mempengaruhi keseluruhan kegiatan organisasi secara efektif dan efisien dan mengarahkan perilaku setiap anggota organisasi ke arah pencapaian tujuan (Hariandja, 2007:304). Budaya organisasi mempunyai peran sebagai pendorong untuk meningkatkan kinerja organisasi dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang.
Hal lain selain budaya organisasi adalah bagaimana caranya untuk sebuah organisasi menumbuhkan suatu komtimen pada diri anggota organisasi terhadap organisasi agar dapat berkonstribusi sebesar dan seefektif mungkin bagi kepentingan organisasi. Hal ini bertujuan agar suatu organisasi mendapatkan dorongan penuh dari manusia-manusia yang ada di dalamnya sekaligus untuk mempertahankannya sebagai asset utama dari produktivitas organisasi. Komtimen organisasi merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam peningkatan kinerja. Komitmen organsiasi diartika sebagai suatu ikatan psikologis pegawai pada organisasi untuk pencapaian kinerja yang diharapkan. Pegawai yang berkomitmen tinggi pada organisasi akan menimbulkan kinerja organisasi yang tinggi, tingkat observasi berkurang dan loyalitas karyawan (Sopiah, 2008:166). Dan upaya yang dapat membangun sebuah komtimen adalah dengan cara menggabungkan tujuan organisasi dengan tujuan pegawai agar pegawai dapat menjadikan tujuan organisasi sebagai tujuan pribadi.
95
Pegawai dengan kemauan yang tinggi mau rela berbagi dan berkorban bagi perusahaan agar dapat mempertahankan pelayanan yang terbaik untuk kepuasan konsumen. Pegawai yang sungguh menunjukkan komitmennya pada tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi, akan berpartisipasi lebih banyak demi kemajuan dan terwujudnya visi dan misi PT MULTI GARMENJAYA. Komitmen organsiasi akan membuat pegawai merasa mempunyai tanggung jawab serta bersedia memberikan segala kemampuannya sehingga timbulnya rasa untuk tetap dalam organisasi tempat dia bekerja. Dengan adanya rasa memiliki yang kuat ini akan membuat pegawai bekerja maksimal dan menghindari perilaku yang kurang produktif seperti tidak fokus terhadap pekerjaan yang diberikan oleh atasan dan tidak memberikan kontribusi yang baik terhadap pekerjaannya Tujuan dari penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui gambaran budaya organisasi yang ada. 2. Untuk mengetahui seberapa besar komitmen pegawai terhadap organisasi. 3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan dari budaya organisasi dengan komitmen pegawai. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang bersifat positif bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu: a. Bagi penulis Dengan dilakukannya penelitian ini penulis dapat meningkatkan ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia dan ilmu Perilaku Organisasi, terutama dalam topik budaya organisasi dan komitmen pegawai. Penulis juga berharap agar melalui penelitian ini, penulis dapat mengetahui sejauh mana hubungan dari budaya organisasi dengan komitmen pegawai. b. Bagi pihak luar Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi suatu organisasi untuk memetakan budaya organisasi yang ada, mengetahui masalah mengenai komitmen pegawai terhadap organisasi, dan hubungan antara keduanya.
96
B. KERANGKA TEORI Mengacu pada teori Hofstede yang dimuat dalam bukunya yang berjudul Cultures and Consequences (2000:79-360) terdapat 5 dimensi budaya kerja, yaitu: 1. Power distance Menurut Hofstede, power distance adalah suatu tingkat kepercayaan atau penerimaan dari suatu power yang tidak seimbang diantara orang. Budaya dengan power distance yang tinggi, dianggap oleh sebagian orang lebih superior dibandingkan dengan yang lainnya, dengan beberapa faktor seperti status sosial, gender, ras, umur, pendidikan, latar belakang dan beberapa faktor lainnya. Pada organisasi yang memiliki power distance yang tinggi, individu menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik. Sementara itu budaya dengan yang rendah cenderung untuk melihat persamaan di antara orang dan lebih fokus kepada status yang dicapai daripada yang disandang oleh seseorang. 2.
Individualism and Collectivism Individualisme adalah tingkatan dimana individu lebih suka bertindak sebagai individu daripada sebagai anggota suatu kelompok dan menjunjung tinggi hak-hak individual. Kolektivisme menekankan kerangka sosial yang kuat dimana individu mengharap individu lain dalam kelompok mereka untuk menjaga dan melindungi mereka.
3.
Masculinity and Feminity Kebudayaan maskulin menekankan keaktifan, ambisi, dan kompetisi. Beberapa hal yang perlu diketahui dalam kebudayaan maskulin:
Terdapat nilai-nilai persaingan, ambisi, dan obsesi pada kekayaan dan kekuasaan.
Adanya perbedaan dan diskriminasi antar gender yang mencolok (pria diharapkan lebih asertif, dan berkonsentrasi pada kesuksesan material, sedangkan wanita diharapkan lebih rendah hati, dan memperhatikan mutu kehidupan).
97
Kebudayaan Feminin menekankan kompromi dan negoisasi. Beberapa hal yang perlu diketahui dalam kebudayaan feminin:
Menekankan pada nilai kebersamaan dan kekeluargaan
Peran kedua gender harus disamakan (baik pria maupun wanita seharusnya rendah hati, penuh kasih, dan peduli akan mutu kehidupan).
4. Uncertainty avoidance Pada individu-individu dari organisasi yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar, cenderung menjunjung tinggi kenyamanan dan keamanan, menghindari risiko dan mengandalkan peraturan formal. Pada individu-individu di organisasi dengan uncertainty avoidance yang rendah, atau memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk ketidakpastian, cenderung dapat menerima risiko, memecahkan masalah, memiliki struktur organisasi yang flat dan mempunyai toleransi terhadap ambiguitas. 5. Long Term – Short Orientation Dalam long term orientation, dijelaskan bahwa individu membangun sifat-sifat pada saat sekarang dengan berorientasi pada masa depan. Apa yang ia lakukan pada saat ini berdasarkan pada tujuan yang bersifat jangka panjang. Pada long term orientation, hasil yang didapat dari usaha individu bersifat perlahan dan merata. Sebaliknya untuk short term orientation, individu hanya berorientasi pada saat ini saja. Individu pada short term orientation lebih mengprioritaskan hasil yang cepat dari suatu usaha. Porter dan Smith dalam Steers (1985:142-145) mendefinisikan komitmen sebagai sifat hubungan individu dengan organisasi yang memungkinkan seseorang mempunyai komitmen tinggi memperlihatkan: 1. Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan 2. Kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi tersebut 3. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi
98
Menurut Allen dan Meyer seperti yang dikutip oleh Luthans (1998:149) membedakan komitmen organisasi atas tiga komponen, yaitu : 1. Affective commitment adalah keterlibatan emosional individu pada organisasi yang memicu kemauan untuk bertahan dan membina hubungan sosial serta menghargai nilai hubungan dengan organisasi sebagai anggota organisasi. 2. Continuance commitment adalah persepsi seseorang atas resiko untuk meninggalkan organisasi karena kebutuhan untuk bertahan dengan pertimbangan biaya apabila meninggalkan organisasi dan penghargaan yang berkenaan dengan partisipasi di dalam organisasi. 3. Normative commitment adalah dimensi moral yang ada di dalam individu yang mengharuskan untuk bertahan dalam organisasi dikarenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap organisasi yang didasari atas pertimbangan norma, nilai dan keyakinan karyawan. Setiap komitmen yang ada di dalam diri karyawan berbeda-beda karena didasari oleh pola dasar dan tingkah laku. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar affective memiliki tingkah laku berbeda dengan karyawan yang berdasarkan continuance. Karyawan yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan maksimal untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi.
C. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analisis. Penelitian deskriptif digunakan untukmengetahui dan menjelaskan karakteristik variabel yang diteliti dalam suatu situasi (Uma Sekaran, 2006:158). Dalam penelitian ini, variabel - variabel yang diteliti oleh penulis adalah budaya organisasi, komitmen pegawai, dan bagaimana hubungan antara kedua variabel tersebut. Dalam penelitian ini, penulis melakukan survey ke HR Development PT Multi Garmenjaya unit Mohammad Toha kota Bandung agar mendapatkan
99
gambaran tentang budaya organisasi yang ada di HR Development, jenis komitmen pegawai, dan hubungan kedua variabel tersebut. Pengumpulan data yang telah dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui wawancara, kuesioner, dan studi dokumentasi. Kuesioner tersebut terdiri dari 61 pernyataan, di mana pernyataan tersebut dibagi ke dalam 6 bagian yaitu bagian 1 terdiri dari 10 pernyataan untuk variabel budaya organisasi power distance, bagian kedua terdiri dari 10 pernyataan untuk variabel budaya organisasi uncertainty avoidance, bagian ketiga terdiri dari 18 pernyataan untuk variabel budaya organisasi individualism vs collectivism, bagian keempat terdiri dari 11 pernyataan untuk variabel budaya organisasi masculinity versus feminity, bagian kelima terdiri dari 3 pernyataan untuk variabel budaya organisasi long-short term orientation. Bagian keenam terdiri dari 3 pernyataan untuk variabel komitmen pegawai affective commitment, 3 pernyataan untuk variabel komitmen pegawai normative commitment, dan3 pernyataan untuk variabel komitmen pegawai continuance commitment. Pada masing-masing pertanyaan terdapat lima alternatif jawaban yang mengacu pada teknik skala Likert, yaitu:
Sangat Setuju
(SS) = 5
Setuju
(S)
Kurang Setuju
(KS) = 3
Tidak Setuju
(TS)
Sangat Tidak Setuju
=4
=2 (STS) = 1
Dalam penelitian ini, populasi yang digunakan adalah populasi umum, yaitu keseluruhan dari objek penelitian di bagian HR DevelopmentPT. MULTI GARMEN JAYA unit Mohammad Toha Kota Bandung. Karena karyawan yang ada di bagian tersebut berjumlah 12 orang, maka peneliti mengambil keseluruhan karyawan menjadi populasi dan juga sampel untuk penelitian. Keseluruhan populasi dan sampel akan mengisi kuesioner yang berisi indikator-indikator dari dimensi-dimensi yang ada dari setiap variabel.
100
Analisa hasil data yang telah dikumpulkan dari wawancara informan dan kuesioner, dengan mencari nilai rata-rata dari setiap indikator dari dimensi yang ada di variabel budaya organisasi dan variabel komitmen karyawan. Setiap indikator yang akan dituang dalam kuesioner akan memiliki skala dan dari setiap skala indikator dari variabel-variabel akan disambungkan satu sama lain dan dengan hasil wawancara kepada informan.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. Hubungan Budaya Organisasi dengan Komitmen Pegawai
Penulis dapat mengatakan bahwa high PDI (Power Distance Index), yang berarti pegawai menilai bahwa terdapat suatu jarak yang membuat hubungan pegawai dengan rekan kerja dan juga pemimpin bersifat formal dan pegawai kurang merasakan rasa kekeluargaan atau rasa pertemanan di lingkungan kerja sehari-hari sehingga membuat pegawai sungkan untuk menciptakan suatu kondisi lingkungan kerja yang non-formal apabila masih terdapat jarak tersebut. Lingkungan kerja dengan jarak kuasa tinggi antara pegawai dengan rekan kerja termasuk manajer dapat didasari oleh ketatnya aturan formal yang berlaku dalam perusahaan, atau faktor lain seperti misalnya sifat alamiah dari sebagian pegawai yang memang menyukai suasana formal dalam lingkungan kerja, dan faktor lainnya adalah lamanya seorang pegawai bekerja sehingga tercipta kondisi senioritas.
101
Pegawai juga menilai manajer sebagai seorang individu yang tegas dalam mengambil keputusan sehingga ketika dalam diskusi atau untuk pengambilan keputusan, pegawai merasa segan untuk memberikan pendapatnya karena adanya intimidasi dari manajer. Manajer sangat mematuhi aturan formal yang ada dalam perusahaan, dan juga mengharapkan adanya sikap hormat dari bawahan kepada diri manajer sendiri.
Ikatan sosial dengan formalitas sangat terasa dapat memicu karyawan tidak memiliki komitmen afektif, yaitu keterlibatan pegawai secara emosi, keinginan mengenal dan terlibat dalam organisasi. Pegawai dengan affective commitment yang tinggi memiliki keterlibatan psikologis yang erat terhadap organisasi, yang berarti bahwa pegawai memiliki keinginan dan motivasi untuk berkontribusi bagi organisasi Apabila lingkungan kerja dengan ikatan formal sesama rekan kerja tidak mendukung, pegawai dapat merasakan tekanan dan tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk kelangsungan perusahaan. Komitmen afektif yang menunjukkan adanya keterlibatan emosi dapat mendorong adanya komitmen normatif. Normative commitment berkaitan dimensi moral yang ada di dalam individu yang memilih untuk bertahan dalam organisasi dikarenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap organisasi yang didasari atas pertimbangan norma, nilai dan keyakinan pegawai. Kondisi lingkungan dengan adanya suasana formal dan ikatan yang terjalin tidak bersifat erat dan personal, membuat budaya maskulintas menguat. Karena dalam budaya maskulin yang terdapat nilai-nilai persaingan, ambisi, dan obsesi pada kekuasaan, didasarkan oleh perbedaan status kekuasaan antar rekan kerja dan karena renggangnya ikatan sosial yang terjalin sesama rekan kerja mendorong pegawai-pegawai untuk berebut posisi karena hal tersebut dianggap dapat menguatkan posisi pegawai di antara rekan-rekan kerja. Budaya maskulin menganggap penting kompetisi dan ketegasan, tidak heran pegawai berambisi penuh untuk mencapai posisi yang berkualitas dan dianggap paling tinggi di antara rekan-rekan kerja pegawai. Hal ini untuk membuktikan
102
bahwa pegawai lebih hebat dari rekan kerjanya dan untuk menjelaskan dan menguatkan status kekuasaan pegawai dengan rekan-rekan kerjanya. Pegawai dengan budaya maskulin juga menganggap bahwa nilai-nilai persaingan merupakan sebuah tantangan yang pegawai harus raih. Nilai persaingan dan ambisi dalam budaya maskulin dapat menghasilkan continuance commitment, yaitu penilaian pegawai terhadap keuntungan dan kerugian apabila pegawai meninggalkan organisasi. Komitmen berkesinambungan membuat pegawai bertahan dalam perusahaan tersebut karena didasari adanya kebutuhan untuk terus bekerja dalam perusahaan. Budaya maskulin yang lebih mementingkan nilai-nilai persaingan dan adanya ketegasan tidak dapat menghasilkan affective commitment, yaitu keterlibatan pegawai secara emosi, keinginan mengenal dan terlibat dalam organisasi, karena ikatan yang terjalin cenderung tidak non-formal atau layaknya seperti keluarga atau teman, pegawai tidak dapat menanamkan komitmen afektif apabila hubungan sosial yang terjalin tidak mendukung. Karena adanya ambisi dalam pekerjaan yang didorong oleh adanya ikatan formal sesama rekan kerja, pegawai lebih memilih untuk individualis dibanding kolektivis. Sikap individualisme berkembang dalam lingkungan kerja apabila ikatan antar individunya tidak terlalu akrab atau yang tadi disebutkan adalah high PDI (Power Distance Index). Pegawai dengan budaya individualistic menganggap dirinya sebagai seorang individu yang istimewa karenanya pegawai mengutamakan kesuksesan untuk diri pegawai sendiri, dan pegawai tak sungkan bersaing dengan rekan kerja dalam memperebutkan posisi bergengsi dalam perusahaan. Pegawai individualis menyenangi kebebasan, dalam artian pegawai tidak terlalu menyenangi adanya aturan formal yang mengikat dan lebih memilih mengikuti aturan yang telah dibuatnya sendiri. Budaya individiualis sama dengan budaya maskulin, di mana pegawai menyukai adanya tantangan dalam pekerjaan. Pegawai kurang menyukai apabila pegawai diperintah untuk bekerja sama dalam group dengan rekan kerja pegawai , karena adanya rasa tidak nyaman sesama rekan kerja, dan pegawai tidak memiliki kepercayaan untuk bergantung
103
pada rekan kerja apabila dalam group , karena dalam lingkungan kerja yang high PDI (Power Distance Index) dan high MAS (Masculinity Index), semua mempunyai ambisi yang dapat membantu pegawai menguatkan kedudukan dan khawatir orang lain menjatuhkan pegawai. Budaya kolektivis dapat membangun normative commitment, yaitu komitmen yang didasari oleh nilai dan norma pegawai, yang mencipatakan rasa tanggung jawab kepada organisasi untuk mencapai tujuan. Asalkan, terdapat affective commitment yang cukup besar dalam diri pegawai dengan menciptakan jarak kuasa yang renggang atau menciptakan hubungan sosial yang non formal. Affective commitment adalah bagaimana suatu perasaan individu terhadap organisasi yang membinanya. Pegawai menilai bahwa pegawai memiliki rasa kekeluargaan terhadap organisasi dan perasaannya untuk bertahan karena pegawai memang menyukai dan menganggap organisasi yang menaungi pegawai adalah tempat untuk hidup, membina dan menghargai hubungan sosial yang ada. Namun dalam kondisi budaya individualis dengan adanya high UAI (Uncertainty Avoidance Index) dalam HR Development PT MULTI GARMENJAYA, pegawai cenderung tidak mentolerir adanya perubahan dalam bentuk dan dalam kondisi apapun. Menurut pegawai dengan high UAI, adanya perubahan dapat memicu gagalnya ambisi untuk menguatkan posisi pegawai di antara rekan-rekan kerja. Apabila terdapat perubahan, pegawai cenderung takut untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut, dan cenderung berpikir bahwa apa yang pegawai telah kerjakan akan terbuang percuma apabila suatu perubahan datang tiba-tiba. Suatu kepastian sangat diincar oleh pegawai individualis, karena kondisi yang cenderung dalam posisi ‘aman’ tersebut, dapat membantu mereka untuk mewujudkan keinginan pegawai untuk menekankan status dan posisi mereka dalam lingkungan kerja. Suatu kepastian akan selalu diincar dengan cara mempertahankan pendapat pegawai akan suatu hal dan apabila terjadi perubahan pegawai akan jatuh dan merasa apa yang telah pegawai selesaikan terbuang percuma karena pegawai harus beradaptasi dari awal kembali. Untuk pegawai di HR Development PT MULTI GARMENJAYA, dengan adanya budaya indvidualis dan didorong oleh adanya high PDI (Power Distance
104
Index), high MAS (Masculintiy Index) dan toleransi akan kepastian yang besar, pegawai mampu berpikir untuk jangka panjang. Hal ini berkebalikan dari adanya high UAI (Uncertainty Avoidance Index) yang menunjukkan bahwa pegawai cenderung tidak mampu beradaptasi dalam kondisi lingkungan yang berubah. Adanya pemikiran untuk jangka panjang, dapat didasari oleh dorongan akan tugas dan pekerjaan yang diberikan dari atasan atau perusahaan secara langsung terhadapnya. Karena PT MULTI GARMENJAYA menerapkan long term orientation kepada setiap pegawai untuk perkembangannya dalam mencapai visi dan misi yang sudah tersusun. Budaya organisasi yang memiliki kecenderungan jarak kuasa yang tinggi, budaya maskulinitas yang menunjukkan nilai-nilai persaingan dan ambisi kemudian mendorong pegawai untuk bersikap individualis dan tidak mentolerir ketidakpastian namun dapat berpikir untuk jangka panjang, ternyata mampu menanamkan komitmen afektif dalam diri pegawai namun komitmen afektif tersebut tidak kuat (50%). Berdasarkan nilai rata-rata yang sudah dihitung yaitu sebesar 50%, yang berarti mengindikasikan pegawai masih ragu apabila ia merasakan adanya affective commitment. Di satu sisi ia merasakan keterlibatan emosional individu pada organisasi yang memicu kemauan untuk bertahan dan membina hubungan sosial, namun di satu sisi ia tidak merasakan keterlibatan emosi tersebut. Pegawai yang cenderung memiliki komitmen afektif tidak kuat dapat didasari oleh faktorfaktor seperti misalnya pegawai tidak menyukai pekerjaan yang diberikan kepadanya dan mengharapkan pekerjaan yang lain, atau kurang adanya keinginan untuk memajukan organisasi. Kurangnya keinginan tersebut dapat didasari oleh adanya high PDI (Power Distance Index) dan high MAS (Masculinity Index). Normative
commitment
dalam
HR
Development
PT
MULTI
GARMENJAYA sebesar 58.34 %, yang berarti mengindikasikan bahwa budaya dengan high PDI (Power Distance Index), high MAS (Masculintity Index),high IDV (Individualism Index), high UAI (Uncertainty Avoidance Index), dan high LTO (Long Term Orientation Index) dapat menanamkan norma dan nilai dalam
105
diri pegawai untuk memiliki rasa tanggung jawab dan kewajiban untuk membantu organisasi dalam mencapai visi dan misinya. Peta budaya yang sudah tergambar dengan nila rata-rata cenderung tinggi (>50%) ternyata memicu continuance commitment yang tinggi dalam diri pegawai di HR Development PT MULTI GARMENJAYA. Anggota organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut (Allen & Meyer).
Kebutuhan tersebut muncul dalam diri pegawai karena pegawai memikirkan untuk jangka panjang keberlangsungan masa depannya, dengan membandingkan keuntungan yang didapat apabila pegawai bertahan dalam organisasi, kerugian yang pegawai dapat ketika memutuskan untuk meninggalkan organisasi, Begitu pula sebaliknya, keuntungan yang pegawai dapat ketika meninggalkan organisasi dan bergabung dengan organisasi baru, dan kerugian apabila pegawai terus memilih untuk bertahan dalam organisasi. Hal ini berpengaruh dari pola pikir pegawai individualis yang cenderung memikirkan untuk kepentingan diri pegawai sendiri dan cenderung berpikir rasional maupun dalam lingkungan kerja. Pegawai dengan sikap individualis berpikir keuntungan dan kerugian apabila pegawai bertahan dalam perusahaan dan apabila pegawai keluar dari perusahaan, dan membandingkan mana yang lebih menguntungkan untuk diri pegawai
E. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan mengenai hubungan budaya organisasi dengan komitmen pegawai di HR Development PT MULTI GARMENJAYA dapat ditarik kesimpulan Penulis menyimpulkan bahwa dengan adanya High PDI (Power Distance Index), High MAS (Masculinity Index), dan High IDV (Individualism and Collectivism Index) tidak dapat menghasilkan affective commitment yang signifikankarena adanya lingkungan kerja dengan formalitas tinggi. Penulis juga menyimpulkan bahwa High MAS (Masculinity Index) dan High LTO (Long - Short Term Orientation) dapat menghasilkan
106
continuance commitment, karena adanya keinginan untuk bertahan dalam organisasi untuk mendapatkan posisi yang dapat memperkuat status kekuasaan pegawai. Berdasarkan hasil dan pembahasan yang penulis telah lakukan, terdapat hubungan yang kuat antara budaya organisasi dengan komitmen pegawai, maka penulis ingin memberikan saran yang mungkin bermafaat bagi perkembangan HR Development PT MULTI GARMENJAYA, antara lain: 1. Untuk menjalani budaya organisasi yang ada sekarang, manajer dapat terus melakukan pembinaan dan pengarahan kepada pegawai secara teratur agar budaya organisasi yang ada sekarang dapat mendorong karyawan menciptakan sikap dan perilaku yang mengarah pada disiplin dan keberpihakan pada organisasi, serta berperan aktif dalam kegiatan dan bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan dari perusahaan. 2. Penulis
menyarankan
agar
manajemen
HR
Development
terus
mempertahankan kebiasaan untuk melakukan evaluasi terhadap pegawai dan juga mengadakan pertemuan antara pimpinan dan bawahan. Kebiasaan tersebut nantinya akan dapat mengetahui keinginan pegawai dari perusahaan dan begitu pula sebaliknya. 3. Penulis menyarankan agar manajemen puncak dari HR Department dapat melakukan kegiatan evaluasi dan pelatihan rutin terhadap pemimpin setiap unit dalam HR Department untuk memastikan bahwa nilai-nilai budaya yang diinginkan dalam organisasi yaitu IPOD (Innovation, People, Result Oriented, Detail) dipahami oleh setiap pemimpin unit sehingga nilai-nilai budaya tersebut dapat diturunkan kepada pegawai-pegawai. 4. Perusahaan perlu menerapkan suatu manajemen perubahan berdasarkan konteks budaya power distance, individualism and collectivism, masculinity and feminity, uncertainty avoidance, dan long - short term orientation. Perlu diperhatikan oleh perusahaan bahwa mungkin ada pegawai yang tidak dapat memahami perbedaan nilai budaya organisasi dalam situasi formal dan situasi non formal.
107
5. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan kepada senior HRD PT MULTI GARMENJAYA, beliau mengatakan bahwa rasa kekeluargaan sangat terasa dalam rasa kekeluargaan kental dan hal itu diturunkan dari owner PT MULTI GARMENJAYA yang rendah hati sehingga menciptakan lingkungan kerja dengan rasa kekeluargaan. Namun pada bagian HR Development power distance terbilang tinggi, yang berarti antara pegawai dengan rekan kerja dan manajer bersifat formal. Untuk mengurangi high power distance index yang dapat meningkatkan affective commitment, penulis memberikan saran untuk manajer dapat bersosialisasi secara aktif dengan pegawai, mendengarkan kritik dan saran dari pegawai dan melakukan suatu kegiatan informal di luar lingkup kerja untuk mempererat hubungan manajer dengan pegawai dan hubungan pegawai dengan rekan kerja pegawai. 6. Untuk meningkatkan komitmen pegawai, perusahaan perlu memastikan bahwa pegawai memiliki kepercayaan dan menerima tujuan dan nilai organisasi, berusaha untuk mencapai tujuan organisasi dan memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Untuk melakukan hal-hal tersebut, perlu menciptakan budaya organisasi yang nyaman dan menyenangkan bagi para anggota agar anggota secara tidak sadar memiliki komitmen yang kuat bagi organisasi. 7. Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan dengan menggunakan jumlah responden yang lebih besar, sehingga dapat dihitung berdasarkan statistik seberapat kuat hubungan antara variabel budaya organisasi dan komitmen pegawai. Selain itu, penulis juga menyarakan melakukan penelitian terlebih dahulu mengenai karakteristik dan sifat dari pegawai, sehingga hasil penelitian tersebut dapat mendorong dan memperkuat hasil analisis dalam penelitian.
108
DAFTAR PUSTAKA Allen, N. J. & Meyer, J. P. 1993. Organizational commitment: Evidence of career stage effects? Journal of Business Research, 26, 49-61. Hariandja, Marihot Tua Effendi. 2006. Perilaku Organisasi. Bandung: Unpar Press Allen, N. J. & Meyer, J. P. 1993. Organizational commitment: Evidence of career stage effects? Journal of Business Research, 26, 49-61. Hofstede, G. 1991. Cultures and Organizations : Intercultural Cooperation and Its Importance for Survival. London: Harper Collins Publishers. Hofstede, G. 2000. Culture’s Consequences: Comparing values, Behaviors, Institutions, and Organizations Across Nations: Second Edition. London: Sage Publications. Robbins, S.P. 2003. Perilaku Organisasi: jilid 2. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia. Sopiah. 2008. Perilaku Organisasional. Yogyakarta: Andi Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Steers, Richard M, 1984, Organization Effectiveness: A Behavior View, diterjemahkan: Magdalena Jamin, Efektivitas Organisasi: Kaidah Perilaku, Cetakan Kedua, Erlangga: Jakarta Steers, Richard M.Lyman W Porter. 1991. Motivation and Work Behavior, Fifth Edition: McGraw-Hill.