Hubungan antara Iklim Organisasi dan Komitmen Organisasi pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian X Afifah Qulbi Khairunisa dan Dianti Endang Kusumawardhani 1. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia 2. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara iklim organisasi dengan komitmen organisasi pada pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian X. Peneliti menggunakan Organizational Climate Measure (OCM) untuk mengukur iklim organisasi dan Organizational Commitment Scales (OCS) untuk mengukur keterikatan organisasi. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sejumlah 63 orang. Gambaran iklim organisasi dan komitmen organisasi di Kementerian X diketahui cukup positif dan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan (r=.496, p<0.01, 2-tailed) antara iklim organisasi dengan komitmen organisasi pada pegawai negeri sipil (PNS) dalam Kementerian X. Kata kunci: iklim organisasi; komitmen organisasi; Pegawai Negeri Sipil (PNS)
The Relationship between Organizational Climate and Organizational Commitment among Goverment Employees in the Ministry of X Abstract This research aimed to detect the relationship between organizational climate and organizational commitment among government employees in the Ministry of X. The researcher use Organizational Climate Measure (OCM) to quantify organizational climate and Organizational Commitment Scales (OCS) to measure organizational commitment. Sample that used in this research are 63 people. Description of organizational climate and organizational commitment in the Ministry of X are known quite positive and high. The result of this research indicate that there is positive and significant relationship (r=.496, p<0.01, 2-tailed) between organizational climate and organizational commitment in the Ministry of X. Keywords: organizational climate; organizational commitment; government employees.
Pendahuluan Saat ini, persaingan dalam dunia bisnis di Indonesia diketahui semakin mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut disertai dengan peningkatan pada tuntutan dalam organisasi dan persaingan dengan organisasi lainnya. Setiap organisasi saling berkompetisi untuk dapat bersaing dengan organisasi lainnya, yang mengharuskan pemimpin untuk bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas barang atau jasa, serta mengurangi
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
pengeluaran di waktu yang sama (Robbins & Judge, 2007). Usaha untuk dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas barang atau jasa tentu tidak bisa dilepaskan dari peran pekerja, karena peran pekerja saat ini bukan hanya menjadi kekuatan utama dalam melaksanakan perubahan, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam merencanakan perubahan tersebut (Robbins & Judge, 2007). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat terlihat bahwa peran serta pekerja dalam sebuah organisasi menjadi penting. Perilaku pekerja dilihat dapat menentukan dan mendorong kinerja suatu organisasi, sehingga organisasi perlu untuk memberi perhatian lebih terhadap upaya dalam melakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Ada penilaian yang beredar di masyarakat terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia yang masih cukup rendah, khususnya pada pekerja yang bekerja di pemerintahan, atau yang dikenal dengan sebutan pegawai negeri sipil (PNS). Penilaian tersebut berkaitan dengan perilaku pekerja dalam instansi pemerintahan yang terindikasi menunjukkan perilaku kontraproduktif, seperti absen, meninggalkan tempat kerja pada saat jam kerja, dan lain sebagainya. Menurut Jex dan Britt (2008) perilaku kontraproduktif yang ditampilkan pekerja dalam suatu organisasi dapat dilihat sebagai bentuk perilaku yang merupakan hasil respon dari emosi negatif, yang dapat berupa kemarahan, kekecewaan, frustasi, dan sebagainya, yang dirasakan pekerja terkait dengan pekerjaan atau situasi kerja. Selain itu, sejumlah penelitian juga menemukan bahwa emosi negatif tersebut, bukan hanya dapat membuat pekerja menampilkan perilaku tidak hadir, tetapi juga keluar dari organisasinya saat itu (Hackett & Guion, 1985; Hulin, Roznowski, & Hachiya, 1985; Kohler & Mathieu, 1993, dalam Saari & Judge, 2004). Menurut Jeswani dan Dave (2012) keluarnya pekerja dari organisasi, merupakan masalah krusial yang dialami oleh organisasi pada saat berkembangnya kompetisi organisasi seperti sekarang ini, karena pekerja sudah dinilai sebagai aset yang paling berharga dan sumber daya yang dapat membantu organisasi dalam mempertahankan lingkungan yang dinamis. Meskipun begitu, keputusan pekerja untuk keluar dari organisasi menjadi suatu perilaku yang tidak dapat dihindari dan menjadi tantangan utama yang harus dihadapi oleh organisasi (Suliman & Obaidli, 2011), termasuk di Indonesia. Beberapa industri di Indonesia menunjukkan angka keluar pekerja yang cukup tinggi, seperti manufacturing dan retail (Alvian, 2008). Begitu pula dengan bank yang ditemukan menjadi menjadi sektor dengan persentase rata-rata tingkat keluar pekerja paling tinggi (24,9%) bila dibandingkan dengan asuransi (22,1%), manufacturing (6,0%), serta securities/asset (15,8%)
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
berdasarkan survei yang dilakukan oleh Watson Wyatt pada tahun 2011. Meskipun beberapa sektor industri di Indonesia tersebut menujukkan tingginya tingkat keluar pekerja, namun berita yang sama sangat jarang ditemukan pada instansi pemerintahan. Berdasarkan penelusuran pada sumber informasi yang dilakukan, justru ditemukan tingkat keluarnya PNS dari organisasi yang sangat sedikit, bahkan setiap tahun cenderung terjadi peningkatan banyaknya orang yang ingin melamar menjadi PNS. Setiap tahunnya, pelamar PNS mencapai hingga puluhan ribu orang, apalagi di tahun 2013 ini pemerintah akan membuka kuota sebanyak 60.000 untuk calon PNS di bulan Juli (Simatupang, 2013). Menurut Meyer dan Allen (1997) keputusan pekerja untuk keluar dari organisasi, biasanya terkait dengan komitmen pekerja dalam organisasi, yaitu suatu bentuk pandangan yang dimiliki pekerja dan mengarah pada kelekatan emosi dalam organisasi, pertimbangan akan hasil yang diterima dengan keputusan untuk meninggalkan organisasi, serta rasa kewajiban yang ada dalam diri pekerja untuk tetap berada dalam organisasi. Mayer dan Allen (1997) berpendapat bahwa ada persepsi sempit ketika komitmen hanya dikaitkan dengan keluarnya pekerja dari organisasi, karena masih terdapat dampak-dampak lain dari komitmen organisasi, seperti ketidakhadiran, performa kerja, serta perilaku kerja. Perilaku demikian, seperti tingkat ketidakhadiran yang tinggi, performa kerja yang rendah, serta perilaku yang tidak maksimal selama bekerja dan melakukan pekerjaanya, terlihat telah ditunjukkan oleh PNS melalui pemberitaan media massa. Berdasarkan perilaku yang ditampilkan PNS tersebut, bukan tidak mungkin jika PNS kemudian diduga memiliki komitmen yang rendah terhadap organisasi. Kesimpulan tersebut terdukung oleh pendapat Saari dan Judge (2004) yang menjelaskan bahwa perilaku kontraproduktif menjadi indikator rendahnya komitmen yang dimiliki pekerja, di mana komitmen yang rendah umumnya akan mendorong pekerja membuat keputusan untuk keluar dari organisasinya saat itu. Pernyataan Saari dan Judge (2004) berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh PNS di Indonesia yang justru menunjukkan hubungan berlawanan antara perilaku kerja PNS yang kontraproduktif dengan tingkat keluarnya PNS dari organisasi. Keputusan pekerja, dalam hal ini PNS di Indonesia, untuk tetap bertahan dalam organisasinya, kemudian memunculkan pertanyaan akan gambaran komitmen PNS dalam organisasi. Allen dan Meyer (1990) menjelaskan mengenai tiga bentuk komponen komitmen organisasi, yaitu komitmen afektif, komitmen berkesinambungan, dan komitmen normatif. Ketiga komponen yang diberikan tersebut diketahui dapat menjadi dasar dari keputusan pekerja untuk bertahan dalam
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
organisasi, sehingga dapat dikaitkan dengan perilaku dan rendahnya tingkat keluar PNS dari organisasi. Dengan melihat bagaimana gambaran komitmen PNS dalam organisasinya, maka dapat diketahui apa yang mendasari PNS masih bertahan meskipun kerap kali masih menampilkan perilaku yang berlawanan dengan tujuan organisasi. Hal ini menjadi penting untuk diketahui mengingat peran PNS yang berkaitan secara langsung terhadap negara. Chovwen (2012) kemudian menyebutkan salah satu faktor yang dapat memengaruhi komitmen organisasi adalah persepsi pekerja yang terkait ke dalam iklim organisasi. Semakin baik persepsi pekerja mengenai iklim yang terdapat pada suatu organisasi, maka akan semakin tinggi komitmen pekerja terhadap organisasi tersebut (Clercq & Rius, 2007). Seperti yang telah dijelaskan di awal, pekerja dapat saja menghasilkan emosi negatif terkait dengan pekerjaan dan situasi kerja, di mana emosi negatif tersebut dapat berdampak pada komitmen organisasi yang rendah. Untuk itu, penting bagi organisasi mengetahui bagaimana persepsi pekerja mengenai pekerjaan dan situasi kerja, yang dapat diketahui melalui iklim organisasi. Patterson dkk. (2005) mendefinisikan iklim organisasi sebagai persepsi yang dimiliki pekerja mengenai peristiwa, praktek, dan prosedur yang dimiliki organisasi. Chovwen (2012) menjelaskan bahwa iklim organisasi merupakan prediktor penting dalam keberhasilan organisasi. Dengan mengetahui hubungan antara iklim organisasi dengan komitmen organisasi, maka memungkinkan organisasi untuk menemukan cara yang potensial untuk mengurangi pengunduran diri, ketidakhadiran, dan meminimalisasi aspek negatif lain dari pekerja (Noordin, Omar, Sehan, & Idrus, 2010). Selain itu, iklim organisasi juga berdampak pada efektivitas dan efisiensi pekerja yang dapat mempengaruhi komitmen mereka dalam organisasi (Chovwen, 2012), sehingga dapat terlihat adanya keterkaitan yang tinggi antara iklim organisasi dengan komitmen organisasi dalam memengaruhi performa organisasi, pemogokan kerja, hasil kerja, serta keluarnya pekerja dari organisasi. Berdasarkan hal itu, maka masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran iklim organisasi di Kementerian X? 2. Bagaimana gambaran komitmen pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian X? 3. Bagaimana hubungan antara iklim organisasi dan komitmen organisasi pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian X? Secara umum, penelitian ini dilakukan untuk menguji hubungan antara iklim organisasi
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
dengan komitmen organisasi pada PNS. Sementara itu, secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan iklim organisasi dengan komitmen organisasi, serta juga dapat menunjukkan gambaran iklim dan komitmen pada organisasi tertentu. Tinjauan Teoritis Iklim Organisasi Definisi Iklim Organisasi Karasick (1973; Steers, 1997, dalam El-Kassar, Chams, & Karkoulin, 2011) mengartikan iklim sebagai karakteristik internal dalam organisasi yang merupakan hasil dari kebijakan dan kegiatan dalam organisasi untuk mengarahkan serta mendorong sikap dan perilaku pekerja secara langsung. Litwin (1984) kemudian menjelaskan iklim organisasi sebagai suatu kualitas atau bagian dari lingkungan organisasi yang disadari dan dialami oleh seluruh anggota dalam organisasi yang kemudian dapat memengaruhi perilaku. Pendapat Yahyagail (2006) tentang iklim organisasi adalah atmosfer kerja yang memengaruhi cara dan metode yang digunakan pekerja dalam menjalankan fungsi organisasi. Sementara itu Patterson dkk. (2005) mendefinisikan iklim organisasi sebagai: “...employees’ perceptions of organizational policies, practices, and procedures, and subsequent patterns of interactions and behaviors that support creativity, innovation, safety, or service in the organization.” (hlm.381) Dari definisi tersebut diketahui bahwa iklim organisasi dapat diketahui melalui persepsi pekerja mengenai peraturan, praktek, prosedur, serta bentuk interaksi dan perilaku yang mendukung kreativitas, inovasi, dan pelayanan dalam organisasi. Sehingga, dari pernyataan-pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi merupakan persepsi pekerja mengenai aspekaspek dari lingkungan organisasi yang dirasakan dan diterima oleh pekerja dalam organisasi. Dimensi Iklim Organisasi
Dalam mengembangkan dimensi-dimensi iklim organisasi, Patterson dkk. (2005) mendasarkan pada model kuadran The Competing Values Model dari Quin dan colleagues, berdasarkan kriteria efektivitas dalam organisasi yang dapat dimengerti melalui dimensi fleksibilitas-kontrol dan orientasi internal-eksternal (Quinn & Rohrbaugh, 1981, 1983; Quinn & McGrath, 1985, dalam Patterson dkk., 2005). Terdapat empat kuadran di dalamnya dengan tujuh belas dimensi. Pada kuadran pertama adalah The Human Relations Model, yang merupakan fokus internal dengan orientasi fleksibilitas, dimana dalam kuadran ini norma dan
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
nilai diasosiasikan dengan belonging, kepercayaan, dan keterikatan yang dapat dicapai melalui pelatihan dan pengembangan sumber daya, koordinasi dan kontrol yang dilakukan melalui pemberdayaan dan keikutsertaan, serta hubungan interpersonal yang suportif, kooperatif, dan saling percaya (Patterson dkk., 2005). Terdapat tujuh dimensi yang ada dalam kuadran pertama, yaitu employee welfare, yang merupakan sejauh mana organisasi memperhatikan dan peduli terhadap para pekerjanya (Robbinson & Rousseau, 1994; Guest, 1998, dalam Patterson dkk., 2005); autonomy, yaitu rancangan pekerjaan yang dapat memberikan pekerja ruang lingkup yang luas untuk melakukan pekerjaannya (Cherns, 1976; Klein, 1991, dalam Patterson dkk., 2005); participation, dimana pekerja memiliki pengaruh dalam membuat keputusan (Miller & Monge, 1986; Hollander & Offerman, 1990; Heller, Pusi, Strauss & Wilpert, 1998, dalam Patterson dkk., 2005); communication, berupa saling berbagi informasi yang ada dalam organisasi (Callan, 1993; Hargie & Tourish, 2000, dalam Patterson dkk., 2005); training, dimana fokus pada pengembangan kemampuan pekerja (Gattiker, 1995; Morrow, Jarrett, & Rupinski, 1997, dalam Patterson dkk., 2005); integration, terkait dengan tingkat kepercayaan dan kerjasama antar departemen (Lawrence & Lorsch, 1967; Nauta & Sanders, 2000, dalam Patterson dkk., 2005); dan, supervisory support, yang merupakan sejauh mana pekerja merasa didukung dan dimengerti oleh atasannya secara langsung (Cummins, 1990; Eisenberg dkk., 2002, dalam Patterson dkk., 2005). Kuadran kedua merupakan Internal Process Model, fokus internal yang berorientasi pada kontrol, yang menekankan pada stabilitas dimana pengaruh dari lingkungan diabaikan atau diminimalkan (Patterson dkk., 2005). Dalam kuadran ini, Patterson dkk. (2005) juga menjelaskan bahwa koordinasi dan kontrol dapat dicapai melalui kepatuhan terhadap aturan dan prosedur yang ada dalam organisasi. Dimensi yang termasuk di dalam kuadran dua ini antara lain formalization, yang berfokus pada aturan dan prosedur formal (Pugh, Hickson, Hinings & Turner, 1968; Hall, 1991, dalam Patterson dkk., 2005), dan tradition, sejauh mana suatu perilaku yang dilakukan dihargai dalam organisasi (Coch & French, 1948, dalam Patterson dkk., 2005). Kuadran ketiga adalah Open System Model (fokus eksternal, orientasi fleksibilitas) yang merupakan kesiapan dalam perubahan dan inovasi, dimana nilai dan norma diasosiakan dengan pertumbuhan organisasi, kreativitas, dan adaptasi (Patterson dkk., 2005). Terdapat empat dimensi yang termasuk ke dalam kuadran Open System Model, yaitu flexibililty, orientasi yang mengarah pada perubahan (Garrahan & Stewart, 1992; King & Anderson,
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
1995, dalam Patterson dkk., 2005); inovation, yang merupakan tingkat dukungan dan dorongan terhadap ide dan inovasi baru (West & Farr, 1990, dalam Patterson dkk., 2005); outward focus, yang merupakan sejauh mana organisasi tanggap terhadap kebutuhan pelanggan dan pasar (Kiester & Sproull, 1982; West & Farr, 1990, dalam Patterson dkk., 2005); dan reflexivity, yang memberi fokus pada peninjauan dan pemikiran terhadap tujuan, strategi, dan proses kerja, untuk beradaptasi dengan lingkungan yang lebih luas (West, 1996, 2000, dalam Patterson dkk., 2005). Pada kuadran terakhir yaitu Rational Goal Model (fokus eksternal dan orientasi kontrol), dimana dalam model ini nilai dan norma yang berlaku dalam suatu organisasi dikaitkan dengan produktivitas, efisiensi, goal fulfillment, dan umpan balik terhadap performa yang ditampilkan pekerja (Patterson et al., 2005). Dimensi-dimensi yang termasuk di dalamnya antara lain clarity of organizational goals, dimana dalam dimensi ini fokus kepada pengertian terhadap tujuan organisasi yang dipahami secara jelas (Locke, 1991, dalam Patterson dkk., 2005); effort, yaitu seberapa keras usaha pekerja dalam mencapai tujuan yang ada dalam suatu organisasi (McCaol, Hinsz, & McCaol, 1987, dalam Patterson dkk., 2005); efficiency, derajat kepentingan yang ditempatkan terhadap efisiensi pekerja dan produktivitas kerja (Ostroff & Schmitt, 1993, dalam Patterson dkk., 2005); quality, yakni penekanan pada kualitas prosedur yang ada dalam organisasi (Deming, 1986; Hackman & Wageman, 1995, dalam Patterson dkk., 2005); pressure to produce, yang merupakan tingkat tekanan bagi pekerja untuk memenuhi target (Taira, 1996 dalam Patterson dkk., 2005); serta yang terakhir adalah performance feedback, yang merupakan pengukuran dan umpan balik dari kinerja (Annet, 1969; Kopelmann, 1986, dalam Patterson dkk., 2005). Setelah dilakukan uji coba dan pengukuran pada setiap item, maka kemudian ditemukan fokus kuadran dan item yang sesuai pada setiap subscale. Dalam penelitian menggunakan model ini, Patterson dkk. (2005) menyarankan untuk tidak menggunakan seluruh kuadran dalam satu penelitian, melainkan fokus pada satu kuadran dalam Competing Values Model yang paling sesuai dengan teori yang ingin diteliti, karena penggunaan seluruh kuadran dalam satu penelitian akan membuat kurangnya fokus secara teoritis. Berdasarkan pernyataan tersebut maka kuadran Human Relations dinilai yang paling sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti, karena melihat iklim organisasi yang ditinjau melalui aktivitas manajemen. Pemilihan kuadran ini juga terdukung oleh Patterson dkk. (2005) yang menjelaskan bahwa bila ingin melihat iklim dalam praktek manajerial yang
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
paling sesuai adalah dimensi yang terdapat dalam kuadran Human Relations. Sementara pada kuadran lainnya, fokus yang ditujukan terkait dengan iklim dalam membangun inovasi, produksi, dan perubahan dalam organisasi. Komitmen Organisasi Definisi Komitmen Organisasi Komitmen organisasi menurut Jex dan Britt (2008) merupakan sejauh mana seorang pekerja mendedikasikan diri pada organisasi tempatnya bekerja, serta memiliki keinginan dari dalam diri dan kecenderungan untuk mempertahankan keanggotaannya. Porter dkk. (1974, dalam Meyer, Bobocel, & Allen, 1991) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu kekuatan yang berhubungan dalam bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya dengan dan terkait pada suatu organisasi tertentu. Dalam hal ini, para ahli memang memiliki pandangan yang berbeda dalam menjelaskan konsep komitmen organisasi. Hal tersebut lebih lanjut dijelaskan oleh Becker (1960) yang berpendapat bahwa komitmen disertai dengan kesadaran akan adanya hasil untuk tidak melanjutkan suatu perilaku tertentu; para ahli lain justru lebih cenderung melihat komitmen sebagai ikatan emosional terhadap organisasi (Mowday, Porter, dan Steers, 1982); dan Wiener (1982) menjelaskan konsep komitmen sebagai suatu rasa kewajiban untuk mematuhi norma perilaku yang ada (Powell & Meyer, 2004). Berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka kemudian Meyer dan Allen (1997) menggunakan ketiga definisi tersebut untuk menjelaskan komitmen organisasi yaitu: “...an affective orientation toward the organizations, a recognition of costs associated with leaving the organization, and a moral obligation to remain with the organization.” (hlm.11) Dari definisi tersebut dapat terlihat bahwa komitmen organisasi dapat merefleksikan dasar pekerja untuk bertahan dalam organisasi karena adanya orientasi afektif, pertimbangan akan hasil yang diterima dengan keinginan untuk meninggalkan organisasi, serta rasa kewajiban yang ada di dalam diri pekerja untuk tetap berada dalam organisasi, di mana kemudian Meyer dan Allen (1997) menggunakan istilah afektif, berkesinambungan, dan normatif untuk membedakan antara ketiganya, atau disebut sebagai komponen komitmen organisasi. Dari penjelasan-penjelasan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah suatu rasa keinginan yang ada dalam diri pekerja untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi, yang didasari oleh perasaan yang begitu kuat terhadap organisasi, pertimbangan akan hasil yang diperoleh dari organisasi, serta rasa kewajiban untuk tetap bertahan.
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
Komponen Komitmen Organisasi Komitmen Afektif (Affective Commitment) Komitmen afektif terkait dengan kelekatan emosi, identifikasi, serta keterlibatan pekerja dengan organisasi, di mana pekerja yang memiliki komitmen ini umumnya akan bertahan pada organisasi karena mereka memang menginginkannya (Allen & Meyer, 1990). Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan cenderung menikmati keanggotannya dan terlibat dalam organisasi. Pekerja akan rela untuk melepaskan nilai-nilai pribadinya dan menyesuaikan dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi. Dalam hal ini, pekerja dengan komitmen afektif yang tinggi bekerja karena memiliki keinginan dalam dirinya. Allen dan Meyer (1990) kemudian menjelaskan anteseden dari komitmen afektif ini terdiri dari jabatan, pengalaman, serta karakteristik struktural yang berupa besarnya organisasi, keberadaan rekan kerja, kontrol akan pekerjaan, serta dukungan otoritas. Komitmen Berkesinambungan (Continuance Commitment) Komitmen berkesinambungan mengarah pada pertimbangan pekerja mengenai keuntungan maupun kerugian bila mereka meninggalkan organisasi, sehingga pekerja yang tinggi dalam komponen ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh untuk melakukan hal tersebut (Allen & Meyer, 1990). Dalam hal ini, pekerja memiliki kesadaran akan adanya kerugian bila mereka meninggalkan organisasi. Pekerja dengan komitmen berkesinambungan yang tinggi bekerja
karena
membutuhkan
pekerjaan
tersebut.
Anteseden
dalam
komitmen
berkesinambungan adalah pertimbangan mengenai jumlah keuntungan maupun kerugian, serta persepsi atas kurangnya alternatif pekerjaan. Komitmen Normatif (Normative Commitment) Komponen terakhir adalah komitmen normatif yang mendasari pekerja untuk tetap bertahan dalam organisasi karena adanya rasa kewajiban (Allen & Meyer, 1990). Dalam hal ini, pekerja dengan komitmen normatif yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena merasa adanya rasa tanggung jawab moral terhadap organisasi tersebut. Pekerja dengan komitmen normatif yang tinggi bekerja karena merasa adanya kewajiban. Pada komitmen normatif antesedennya adalah pengalaman individu yang diperolehnya sebelum masuk ke dalam organisasi serta sosialisasinya selama ada dalam organisasi.
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
Iklim Organisasi dan Komitmen Organisasi Persepsi pekerja yang terkait ke dalam iklim organisasi ditemukan dapat memengaruhi komitmen organisasi. Clercq dan Rius (2007) menemukan bahwa semakin baik persepsi pekerja mengenai iklim organisasi yang terdapat pada suatu organisasi, maka semakin tinggi komitmen pekerja terhadap organisasi tersebut. Iklim organisasi yang dipersepsikan positif oleh pekerja dalam organisasi cenderung meningkatkan komitmen kerja. Sebaliknya, iklim organisasi yang dipersepsikan negatif cenderung menurunkan komitmen kerja. Pernyataan tersebut juga terdukung penelitian sebelumnya oleh Steve dan Brian (1987) yang menyebutkan bahwa pekerja yang mempersepsikan iklim organisasi positif, cenderung memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi, kinerja, dan kepuasan kerja. Iklim dalam organisasi dikatakan memiliki hubungan yang positif dengan komitmen organisasi bila pekerja di dalamnya menunjukkan kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi, keinginan dalam mengerahkan usaha yang cukup besar untuk organisasi, serta memiliki kemauan untuk bertahan dalam organisasi (Mowday et al., 1979; Guzley, 1992, dalam Mahal, 2009; Mojtahedzadeh, Suzan, & Mastaneh, 2011). Komitmen yang dimiliki pekerja serta identifikasi pada organisasi dapat menentukan tingkat persepsi mereka mengenai iklim organisasi (Barth, 1974). Penelitian yang dilakukan Noordin dkk. (2010) telah menemukan hasil yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan komitmen organisasi. Dengan mengetahui hubungan antara iklim organisasi dengan komitmen organiasasi, maka memungkinkan manajemen untuk menemukan cara yang potensial dalam mengurangi ketidakhadiran, pengunduran diri, dan aspek negatif lainnya, karena manajemen dapat mengidentifikasi faktor yang ada pada iklim organisasi dan komitmen organisasi untuk selanjutnya dilakukan perbaikan atau peningkatan pada faktor tersebut (Noordin dkk., 2010). Metode Penelitian Responden dan Teknik Pengumpulan Data Responden dalam penelitian ini berjumlah 63 pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian X, dengan metode sampling yang digunakan peneliti adalah convenience sampling, berdasarkan kemudahan dan kesediaan untuk berpartisipasi dalam penelitian, sesuai dengan pendapat yang diberikan Gravetter dan Forzano (2009). Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah pekerja tetap dalam organisasi, karena diasumsikan pekerja tetap umumnya memiliki
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
kecenderungan untuk bertahan dalam organisasi bila dibandingkan dengan pekerja kontrak, dan sudah bekerja minimal dua tahun, di mana lama kerja ini dipilih karena diharapkan pada lama kerja tersebut pekerja sudah membangun persepsi tentang lingkungan organisasinya. Pemilihan ini didasari oleh Maret (dalam Iqbal, 2011) yang menyebutkan bahwa umumnya pekerja yang belum lama menjadi pekerja dalam organisasi belum membangun pemahaman sepenuhnya terhadap organisasi. Sementara itu, teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner yang disebarkan pada Kementerian X sebanyak 110, dengan kuesioner yang kembali sejumlah 63, yang dapat terpakai seluruhnya. Instrumen Penelitian Pada penelitian ini digunakan dua kuesioner untuk mengukur dua variabel penelitian, yaitu iklim organisasi dan komitmen organisasi. Kuesioner iklim organisasi yang digunakan adalah Organizational Climate Measure (OCM) milik Patterson dkk. (2005), dengan dimensi yang digunakan dalam penyusunan skala iklim organisasi terdiri dari autonomy, integration, involvement, supervisory support, training, dan welfare. Terdapat empat skala pilihan jawaban dalam kuesioner iklim organisasi, yaitu Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju. Sementara itu, untuk komitmen organisasi digunakan Organizational Commitment Scales (OCS) yang dikembangkan oleh Meyer dan Allen (1997), berdasarkan dari tiga komponen penyusunnya yaitu komponen keterikatan afektif, keterikatan berkesinambungan, dan keterikatan normatif. Terdiri dari enam skala pilihan jawaban yang terdiri dari Sabat Setuju, Setuju, Agak Setuju, Agak Tidak Setuju, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju. Dalam mengolah data yang didapat dari kuesioner, peneliti akan menggunakan program SPSS versi 16.0, dimana terdapat empat teknik yang digunakan dalam proses pengolahannya, yaitu statistik deskriptif, untuk melihat gambaran iklim organisasi dan komitmen organisasi. Pearson Correlation, untuk mengetahui hubungan antara iklim organisasi dengan komitmen organisasi; sertra independent sample t-test dan one-way ANNOVA untuk melihat nilai perbedaan skor total rata-rata pada dua kelompok atau lebih. Hasil Penelitian Gambaran Umum Iklim Organisasi Berdasarkan data yang diperoleh dari alat ukur iklim organisasi kepada sejumlah partisipan,
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
maka berikut didapatkan hasil data mengenai gambaran iklim organisasi pada Kementerian X: Tabel 1. Gambaran Umum Iklim Organisasi Variabel
N
Iklim Organisasi
63
RataRata 74,57
Modu s 76
Skor Minimum
Skor Maksimum
Standard Deviasi
50
91
9,92
Iklim organisasi dapat diketahui dengan melihat total skor dari alat ukur iklim organisasi, yaitu Organizational Climate Measure (OCM). Skor yang 44 mungkin muncul pada OCM berkisar antara 29-116. Dalam tabel dapat terlihat skor minimum dan skor maksimum yang diperoleh, yaitu 50 dan 91. Maka, dapat disimpulkan bahwa total skor OCM partisipan ada pada kisaran antara 50 sampai dengan 91, dengan nilai rata-rata skor yang diperolah sebesar 74,57 serta modus 76 sebanyak 5 orang. Pada tabel 1. terlihat bahwa tidak ada partisipan yang mendekati total skor maksimum yang seharusnya. Namun, bila melihat persebaran skor total yang diperoleh hampir seluruh partisipan umumnya mengarah ke total skor maksimum, sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi pekerja mengenai iklim dalam organisasi dipersepsikan cukup positif oleh PNS dalam Kementerian X. Gambaran Umum Dimensi-Dimensi Iklim Organisasi Terdapat enam dimensi iklim organisasi, yaitu autonomy, integration, involvement, suppervisory support, training, dan welfare. Berikut merupakan hasil gambaran enam dimensi tersebut dalam Kementerian X: Tabel 2. Gambaran Dimensi-Dimensi Iklim Organisasi Variabel
N
Autonomy Integration Involvement Suppervisory Support Training Welfare
63 63 63 63 63 63
RataRata 11,59 13,57 15,76 12,75 10,33 10,57
Modus 13 15 16 15 12 12
Skor Minimum 7 7 10 5 7 5
Skor Maksimum 15 18 20 18 13 15
Standard Deviasi 1,71 2,43 2,17 3,06 1,60 2,03
Pada dimensi autonomy dan integration, rentang skor yang mungkin adalah 5 sampai dengan 20. Sementara skor yang diperoleh untuk dimensi autonomy ada pada rentang 7 hingga 15, dan dimensi integration memiliki rentang skor 7 sampai dengan 18. Untuk dimensi
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
involvement, rentang skor yang mungkin adalah 6 sampai dengan 24, dengan skor yang diperoleh 10 sampai dengan 20. Sama halnya dengan dimensi autonomy maupun ntegration, dimensi suppervisory support juga memiliki rentang nilai yang mungkin 5 sampai dengan 20. Skor yang didapatkan partisipan pada dimensi ini ada pada rentang skor 5 sampai dengan 18. Dimensi training dan welfare, memiliki rentang skor 4 sampai dengan 16, dengan rentang skor yang diperoleh untuk dimensi training 7 sampai dengan 13, dan dimensi welfare 5 sampai dengan 15. Berdasarkan tabel 2. tersebut diketahui bahwa seluruh dimensi dalam iklim organisasi menunjukkan nilai rata-rata dan persebaran skor yang mendekati nilai maksimum, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi PNS mengenai setiap dimensi dalam Kementerian X dinilai positif. Terdapat perbedaan nilai rata-rata pada setiap dimensi, dimana training dan welfare menunjukkan nilai rata-rata terendah bila dibandingkan dengan ke empat dimensi lainya, sementara nilai rata-rata tertinggi terdapat pada dimensi involvement. Gambaran Umum Komitmen Organisasi Selanjutnya, akan dijabarkan hasil gambaran komitmen organisasi yang telah didapatkan dari data penelitian: Tabel 3. Gambaran Umum Komitmen Organisasi Variabel
N
Komitmen Organisasi
63
RataRata 77,03
Modus 76
Skor Minimum 47
Skor Maksimum 102
Standard Deviasi 13,10
Dari sejumlah partisipan sebanyak 63 orang, ditemukan hasil bahwa rata-rata skor yang diperoleh dari partisipan adalah sebesar 77,03 dengan modus nilai 76 sebanyak 5 orang. Sementara itu, kisaran skor yang mungkin diperoleh dari Organizational Commitment Scales (OCS) ada pada rentang antara 18 sampai dengan 108. Berdasarkan tabel, diketahui bahwa kisaran total skor yang diperoleh partisipan adalah antara 47 sampai dengan 102. Bila dilihat melalui skor rata-rata dan persebaran skor, maka dapat dilihat bahwa skor total yang diperoleh partisipan lebih cenderung mendekati skor maksimum. Sehingga, menggambarkan adanya skor komitmen organisasi yang tinggi pada PNS dalam Kementerian X. Gambaran Umum Komponen Komitmen Organisasi Setelah melihat gambaran dari komitmen organisasi, maka selanjutnya juga akan dilihat bagaimana gambaran skor total rata-rata dari setiap komponen 46 pada komitmen organisasi.
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, komitmen organisasi memiliki tiga komponen yaitu komponen komitmen afektif, komponen komitmen berkesinambungan, dan komponen komitmen normatif. Berikut hasil data yang diperoleh: Tabel 4. Gambaran Umum Komponen Komitmen Organisasi Variabel
N
Modus
63 63
RataRata 26,19 24,48
Komitmen Afektif Komitmen Berkesinambungan Komitmen Normatif
26 21
Skor Minimum 14 11
Skor Maksimum 36 36
Standard Deviasi 5,35 4,85
63
26,37
30
11
35
5,39
Berdasarkan tabel 4., peneliti memperoleh gambaran komponen dari komitmen pekerja pada PNS dalam Kementerian X. Untuk komitmen afektif, diketahui bahwa skor yang diperoleh partisipan antara 14 sampai dengan 36, dengan kemungkinan skor yang didapat pada komponen ini adalah 6 sampai dengan 36. Rata-rata skor pada komponen komitmen afektif adalah 26,19 dengan modus skor 26 sebanyak 8 orang. Berdasarkan persebaran skor dan nilai rata-rata yang diperoleh tersebut, terlihat bahwa keduanya mendekati skor maksimal. Sehingga, dari gambaran tersebut terlihat bahwa komponen afektif pada PNS dalam Kementerian X tinggi. Komponen komitmen berkesinambungan memiliki skor total yang mungkin antara 6 sampai dengan 36. Berdasarkan hasil yang ditampilkan di tabel, skor total yang diperoleh partisipan pada komponen ini berkisar antara 11 hingga 36, dengan modus skor 21 sebanyak 6 orang, serta nilai rata-rata sebesar 24,48. Terlihat bahwa persebaran skor dan nilai rata-rata yang mendekati skor maksimum, maka disimpulkan bahwa komitmen berkesinambungan pada PNS dalam Kementerian X tinggi. Komponen terakhir adalah komitmen normatif. Pada komponen ini, ditunjukkan kisaran nilai partisipan berada antara 11 sampai dengan 35, di mana skor total yang mungkin antara 6 sampai dengan 36. Rata-rata nilai adalah 26,37, sementara modus ada pada skor 30 dengan banyaknya partisipan dengan total skor tersebut sejumlah 11 orang. Melihat hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa komponen komitmen normatif pada PNS dalam Kementerian X tinggi, karena persebaran dan rata-rata skor mendekati skor maksimal. Dari gambaran ketiga komponen dalam komitmen organisasi yang telah disajikan dalam tabel 4.2.3. kemudian juga terlihat bahwa komitmen normatif memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi bila dibandingkan
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
dengan dua komitmen lainnya. Meskipun begitu, hasil yang ditunjukkan oleh skor komitmen afektif tidak jauh berbeda, di mana normatif memiliki skor rata-rata 26,33 sementara afektif memiliki skor rata-rata 26,19. Sehingga dapat disimpulkan komponen komitmen afektif dengan komponen komitmen normatif pada PNS dalam Kementerian X memiliki skor ratarata yang lebih tinggi daripada komponen komitmen berkesinambungan (24,46). Hubungan antara Iklim Organisasi dan Komitmen Organisasi Setelah dilakukan korelasi antara variabel iklim organisasi dengan komitmen organisasi, maka ditemukan hasil sebagai berikut: Tabel 5. Hubungan antara Iklim Organisasi dengan Komitmen Organisasi Variabel Iklim Organisasi dan Komitmen Organisasi **Signifikan pada LoS 0.01 (2-tailed)
N 63
R .496
P .000**
Tabel 5. merupakan hasil perhitungan Pearson Correlation, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan komitmen organisasi (r =.496, p<0.01, 2-tailed). Sehingga, semakin positif iklim organisasi yang dipersepsikan pekerja, maka semakin tinggi pula komitmen organisasi. Hubungan tersebut kemudian juga menjelaskan bahwa hipotesis null (Ho) dalam penelitian ini ditolak, dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Pembahasan
Berdasarkan analisis utama, ditemukan bahwa iklim organisasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan komitmen organisasi (r=0,496, p<0,01, 2-tailed). Hasil tersebut kemudian sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chovwen (2012) yang juga menemukan adanya hubungan positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan komitmen organisasi. Semakin positif persepsi pekerja mengenai iklim organisasi, maka akan semakin tinggi komitmennya dalam organisasi (Chovwen, 2012). komitmen organisasi terlihat tinggi dimiliki oleh PNS dalam Kementerian X, di mana total skor rata-rata komponen komitmen afektif dan normatif terlihat lebih tinggi bila dibandingkan dengan komitmen berkesinambungan. Pekerja dengan komitmen afektif umumnya memiliki kelekatan emosi serta komitmen dengan organisasi, sementara itu pekerja yang tinggi dalam
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
komitmen normatif, bertahan dalam organisasi karena merasa ada kewajiban untuk melakukannya (Meyer & Allen, 1997). Dua komitmen ini umumnya berkaitan satu sama lain, dan mendasari keputusan pekerja untuk bertahan dalam organisasinya. Dilihat dari persepsi pekerja mengenai iklim organisasi, diketahui adanya penilaian yang cukup positif. Hasil ini kemudian dapat menjawab pertanyaan penelitian, yang ingin mengetahui hubungan antara komitmen organisasi dengan iklim organisasi pada PNS dalam Kementerian X. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PNS dalam Kementerian X memiliki tingkat komitmen afektif dan normatif yang tinggi. Penelitian yang dilakukan Benjamin (2012) menemukan bahwa komitmen afektif memiliki hubungan yang kuat dengan intensi pekerja untuk meninggalkan organisasinya dan organizational citizenship behavior (OCB), di mana pekerja yang memiliki komitmen yang tinggi dalam komponen ini akan menampilkan kinerja yang baik serta bertahan dalam organisasinya. Konsekuesi serupa kemudian juga didapatkan dari komitmen normatif, di mana keduanya memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan intensi untuk keluar dari pekerjaannya, ketidakhadiran, dan perilaku konterproduktif (Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002). Hasil ini kemudian diketahui dapat menjadi alasan yang mendasari PNS untuk bertahan dalam organisasinya. Meskipun begitu, hasil penelitian ini dinilai peneliti masih belum dapat menjawab fenomena mengenai PNS di Indonesia perihal hubungan tingkat keluar dengan perilaku kontraproduktif yang
ditampilkan.
Awalnya,
peneliti
menduga
bahwa
PNS
memiliki
komitmen
berkesinambungan yang tinggi, sehingga yang mendasari untuk bertahan dalam organisasi adalah pertimbangan akan adanya kerugian atau keuntungan yang diperoleh. Tetapi, hasil dari pengolahan data menunjukkan sebaliknya, dimana skor total rata-rata komitmen berkesinambungan pada PNS justru menunjukkan hasil yang paling rendah di antara kedua komponen komitmen lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Misalnya, dari partisipan penelitian yang mungkin memang memiliki komitmen organisasi yang tinggi. Selain itu, bila dianalisa melalui iklim organisasi, terlihat bahwa kebanyakan PNS dalam Kementerian X mempersepsikan iklim organisasinya dengan cukup positif. Pengalaman positif yang dimiliki pekerja dalam organisasinya kemudian dapat berkontribusi terhadap komitmen afektif yang kuat, yang selanjutnya juga dapat berpengaruh pada rasa keharusan untuk membalasnya. Dalam teorinya, Wiener (1982, dalam Meyer & Allen, 1997) menjelaskan bahwa rasa kewajiban yang dimiliki pekerja untuk bertahan dalam organisasi
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
adalah hasil dari internalisasi nilai dan keyakinan kelompok. Dalam hal ini, nilai menjadi anteseden dari komitmen yang timbul pada organisasi (Meyer & Allen, 1997). Pernyataan ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nilai dalam diri dan nilai sosial yang membentuk komitmen dalam diri seseorang. Sehingga dapat saja kemudian disimpulkan bahwa iklim organisasi dalam Kementerian X yang dipersepsikan cukup positif oleh sebagian besar partisipan, memberi pengalaman positif dan kemudian mempengaruhi diri pekerja sebagai individu, melalui nilai dan keyakinan kelompok. Bisa saja, itu kemudian membuat pekerja merasa harus melakukan perilaku yang baik untuk membalasnya. Hal itulah yang kemudian membuat pekerja merasa harus untuk tetap bertahan dalam organisasinya saat ini. Meyer dkk (2002) menyebutkan bahwa suatu keuntungan yang diterima pekerja dalam organisasi, dapat memunculkan rasa keharusan untuk memberikan timbal balik terhadap apa yang telah diterimanya. Menurut Gavin (1975; Iqbal, 2011) persepsi mengenai iklim merupakan hasil dari karakteristik pekerja, karakteristik organisasi, dan interaksi antara keduanya. Sama halnya seperti komitmen, di mana pekerja yang memiliki nilai yang sama dengan nilai organisasi akan lebih bertahan dalam organisasinya. Hal tersebut mungkin juga terjadi pada PNS dalam Kementerian X, di mana pekerja merasakan bahwa ada kesesuaian karakteristik dirinya dengan organisasi, sehingga kemudian mempersepsikan iklim organisasi dengan positif. Karakteristik seseorang diketahui juga terkait dengan kepribadian yang dimilikinya, di mana kepribadian ini juga menjadi faktor personal yang mempengaruhi persepsi pekerja mengenai iklim organisasi (Gavin, 1975; Hershberger, Lichtenstein, & Knox, 1994). Selain itu, sikap juga diketahui memiliki pengaruh terhadap persepsi mengenai iklim organisasi. Menurut Ahmad, Ahmad, Ahmed, dan Nawaz (2010) pekerja yang yakin akan kemampuan dan kompetensinya secara individual, akan merasa lebih termotivasi untuk berkontribusi dan belajar dari lingkungan pekerjaan. Sikap seperti ini kemudian dapat mendorong interaksi pekerja dengan lingkungan kerjanya yang dapat menghasilkan persepsi mengenai iklim organisasi yang positif. Selanjutnya, variabel pengalaman kerja pada komitmen afektif diketahui memiliki korelasi yang positif dan sedikitnya kuat berhubungan dengan komitmen normatif, di mana berlawanan dengan komitmen berkesinambungan
(Meyer dkk., 2002). Hal ini yang
memungkinan baik komponen afektif maupun normatif memiliki nilai yang tinggi, sementara komponen berkesinambungan rendah. Bisa saja, kemudian ini terkait dengan adanya social
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
desirability. Social diserability menurut Salkind (2010) merupakan bias yang seringkali ditemui dalam penelitian, dan umumnya terjadi pada penelitian yang menggunakan kuesioner. Social desirability merupakan kecenderungan partisipan penelitian untuk memberikan jawaban yang baik atau benar sesuai dengan norma masyarakat, serta dapat terlihat baik oleh orang lain (Salkind, 2010). Perilaku ini dapat disadari dan disengaja, namun juga dapat menjadi sesuatu yang tidak disadari dan disengaja. Umumnya social desirability akan muncul ketika seseorang merasa perilakunya sedang diobservasi atau diukur dalam suatu penelitian (Salkind, 2010). Sehingga, bukan tidak mungkin hal ini juga dimunculkan oleh partisipan dalam penelitian ini. Mengingat penyebaran kuesioner dibantu oleh pihak organisasi, dapat saja kemudian pekerja merasa harus mengisi dengan baik. Kesimpulan Penelitian ini dilakukan untuk menemukan jawaban mengenai hubungan antara iklim organisasi dengan komitmen organisasi pada PNS dalam Kementerian X. Hasil yang diperoleh kemudian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi mengenai iklim organisasi dengan komitmen organisasi pada PNS dalam Kementerian X. Hasil ini kemudian juga menunjukkan bahwa semakin positif persepsi pekerja dalam organisasi, akan semakin tinggi pula komitmennya dalam organisasi. Selain itu, dilihat pula gambaran iklim organisasi dan komitmen organisasi beserta komponenkomponennya. Dari hasil yang diperoleh, diketahui bahwa persepsi pekerja mengenai iklim organisasi pada Kementerian X cukup positif. Sementara itu, komitmen organisasi terlihat tinggi pada PNS dalam Kementerian X, dengan komponen komitmen normatif dan afektif terlihat memiliki skor total rata-rata yang tinggi bila dibandingkan dengan komitmen berkesinambungan. Saran Terdapat beberapa saran-saran yang dapat diperhatikan dan diperbaiki untuk penelitianpenelitian selanjutnya. Saran metodologis yang dapat diberikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan antara lain menggunakan sejumlah sampel yang menggambarkan populasi dalam organisasi, sehingga hasil yang diperoleh dari sampel akan lebih representatif dalam menggambarkan populasi; melakukan penelitian mengenai budaya organisasi, hal ini dikarenakan budaya organisasi erat kaitannya dengan iklim organisasi sehingga diharapkan
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
akan lebih jelas dalam memberikan jawaban mengenai perilaku yang ditampilkan pekerja dengan budaya dan iklim organisasi tertentu; dan, melakukan observasi pada organisasi yang ingin diteliti untuk memperoleh gambaran mengenai iklim maupun kinerja dalam organisasi tersebut. Sementara itu, untuk saran praktis yang diperoleh dari penelitian ini untuk dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari, antara lain: 1. Organisasi yang ingin meminimalisasi perilaku kontraproduktif dan keluarnya pekerja, dapat melihat melakukan penelitian ini untuk melihat bagaimana iklim organisasi dan komitmen organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini dapat menjadi bahan intervensi bagi organisasi. 2. PNS di Kementerian X sudah menunjukkan komitmen yang tinggi, sehingga, saat ini, usaha yang harus dilakukan oleh organisasi adalah dalam mempertahankan komitmen pekerja. 3. Iklim organisasi di Kementerian X masih dipersepsikan cukup positif oleh pekerja. Berdasakan dimensi-dimensi yang terdapat dalam iklim organisasi, diketahui skor pekerja untuk setiap dimensi tinggi namun tidak ada yang mendekati nilai skor maksimum yang seharusnya. Oleh sebab itu, Kementerian X perlu meningkatkan atau memperbaiki iklim organisasi, khususnya pada dimensi training dan welfare. Daftar Referensi Ahmad, Z., Ahmad, Z., Ahmed, Z., & Nawaz, M. M. (2010). Organizational climate (oc) as employees’ satisfier: Empirical evidence from pharmaceutical sector. International J ournal of Business and Management, 5, 214-222. Allen, N. J., & Meyer, J. P. (1990). The measurement and antecedent of affective, continuance and normative commitment to the organization. Journal of Occupational Psychology, 63, 1-18. Alvian. (2008, September 1). Insurance has highest rate of staff turnover. The Jakarta Post. Retrieved from http://www.thejakartapost.com. Barth, R. T. (1974). Organizational commitment and identification of engineers as a functionof organizational climate. Industrial Relations, 29(1), 185-199. doi: 10.7202/028484ar Benjamin, A. (2012). The influence of affective commitment on citizenship behavior and
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
intention to quit among commercial banks employees in nigeria. Journal of Management and Sustainability, 2(2), 54-68. doi:10.5539/jms.v2n2p54 Chovwen, C. (2012). Predictors of organizational commitment of factory employees. Ife PsychologIA, 20(2), 184-191 Clercq, D. D., & Rius, I. B. (2007). Organizational commitment in mexican small and medium-sized firms: The role of work status, organizational climate, and entrepreunerial orientation. Journal of Small Business Management, 45(4), 467-490. Kassar, A. N., Chams, N., & Karkoulian, S. (2011). Organizational climate and its effects on the employees. The Bussiness Review, 19(1), 127-135. Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2009). Research methods for the behavioral science (3rd Ed.). California: Wadsworth. Indonesia (2010). Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Iqbal, A. (2011). The influence of personal factors on the perceived organizational climate: Evidence from pakistani industrial organization. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, 2(9), 511-527. Jeswani, S., & Dave, S. (2012). Impact of organizational climate on turnover intention: An empirical analysis on faculty members of technical education of india. International Journal of Business Management and Research, 2(3), 26-44. Jex, S. M., & Britt, T. W. (2008). Organizational psychology: A scientist- practitioner approach (2nd ed.). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Litwin, G. H. (1984). Climate and motivation: An experimental study. In D. A. Kolb., I. M. Rubin & J. M. McIntyre (Eds.), Organizational psychology: Readings on human behavior on organizations (pp.467-479). USA: Prentice-Hall, Inc. Mahal, P. K. (2009). Organizational culture and organizational climate as a determinant of motivation. The IUP Journal of Management Research, 8(10), 38-51. Meyer, J. P., & Allen N. J., (1997). Commitment in the workplace: Theory, research and application. New Delhi: Sage Publication, Inc. Meyer, J. P., Stanley, D. J., Herscovitch, L., & Topolnytsky, L. (2002). Affective, continuance, and normative commitment to the organization: A metaanalysis of antecedents, correlates, and consequences. Journal of Vocational Behavior, 61(1), 2052. Mojtahedzadeh., Suzan, H. D., & Mastaneh, G. (2011). Study of relationship organizational climate and commitment staff in sosangerd azad islamic university. Australian
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013
Journal of Basic and Applied Sciences, 5(12), 1265-1269. Noordin, F., Omar, S., Sehan, S., & Idrus, S. (2010). Organizational climate and its influence on organizational commitment. The International Bussiness and Economics Research, 9(2), 1-9. Patterson, M., Warr, P., & West, M. (2004). Organizational climate and company productivity: The role of employee affect and employee level. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 77, 193-216. Patterson, M. G., West, M. A., Shackleton, V. J., Dawson, J. A., Lawthom, R., Maitlis, S., Robinson, L.,..., & Wallaces, A., M. (2005). Validating the organizational climate measure: links to managerial practices, productivity, andn innovation. Journal of Organizational Behaviour, 26, 379-408. doi: 10.1002/job.312. Powell, D. M., & Meyer, J. P. (2004). Side-bet theory and the three-component model of organizational commitment. Journal of Vocational Behavior, 65, 157-177. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2007). Organizational behavior (12th ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall. Salkind, N. J. (2010). Research design. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc. Simatupang, S. (2013, March 19). Pemerintah buka 60 ribu formasi CPNS juli nanti. Tempo. Retrieved from http://www.tempo.co/. Steve, R. G. H., & Brian, S. J. (1987). Organizational behavior. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Schultz, D. P., & Schultz, S. E. (1982). Psychology and industry today: An introduction to industrial and organizational psychology. New York: Macmillan. Suliman, A. M., & Obaidli, H. A. (2011). Organizatiomal climate and turnover in islamic banking in the UAE. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, (4), 308-324. doi: 10.1108/17538391111186555. Watson Wyatt. (2012/2013). Global talent management and rewards study. Retrieved from http://www.worldatwork.org. Yahyagail, M. Y. (2006). The fit between the concepts of organizational culture and climate. Journal of Organzational Culture, Communication and Conflict, 10(2), 77-104.
Hubungan Antara..., Afifah Qulbi Khairunisa, FPsi UI, 2013