1
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN BERPIKIR KREATIF SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH ATAS KRISTEN I SALATIGA
OLEH SRIGANDI KURNIOMEGA TANDISAU 802008102
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program StudiPsikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
1
2
3
4
5
6
7
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN BERPIKIR KREATIF SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH ATAS KRISTEN I SALATIGA
Srigandi Kurniomega Tandisau Chr. Hari Soetjiningsih Ratriana Y. E. Kusumiati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
1
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif siswa kelas XI Sekolah Menengah Atas Kristen I Salatiga. Dalam penelitian ini menggunakan teknik random class dengan subjek penelitian berjumlah 112 subjek di kelas XI SMA Kristen I Salatiga. Alat yang digunakan untuk pengumpulan data adalah Tes Kreativitas Figural. Analisis data dengan menggunakan teknik analisis Spearman rho dan diperolehhasil r= -0,028 dengan signifikansi 0,771 (p<0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubung anantara tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif siswa. Kata Kunci: berpikir kreatif, tingkat pendidikan ibu, siswa, SMA
1
2
Abstract The main objective of the study was to find out the relationship between mother’s educational level and student’s creative thinking at class XI of Christian Senior High School Salatiga. A total number 112 students participated in the study. Participants were selected using random class. Figural Creativity Test was used to measure creative thinking potential of participants on four elements. Spearman rho was used to verify hypothesis. The correlation coefficient between mother’s educational level and student’s creative thinking at class XI of Christian Senior High SchoolSalatiga is r= -0,028 with a significance 0,771 (p<0,05) which means that there is no significant correlation between mother’s educational level and student’s creative thinking at class XI of Christian Senior High School Salatiga. Keywords: creative thinking, mother’s education level, students, high school
1
PENDAHULUAN Dalam perkembangannya, seorang anak harus berkembang baik dalam semua aspek, salah satunya adalah kreativitas.Setiap periode perkembangan manusia membawa persyaratan kompetensi yang baru, tantangan dan peluang untuk pertumbuhan pribadi.Periode yang berbeda dari kehidupan menghadirkan bentuk dasar dari tantangan dan tuntutan kompetensi tertentu yang berfungsi untuk kesuksesan. Ada banyak cara dalam menjalani kehidupan dan setiap periode tertentu, beragam orang meletakkan dasar pada bagaimana mereka berhasil mengelola hidup mereka dalam lingkungan di mana mereka dibesarkan (Bandura, dalam Trivedi & Bhargava, 2010). Pada awal abad ke 19 kata kerja “to create” jarang digunakan.Sekarang ini pentingnya kreativitas makin bertambah. Para ahli dari segala bidang menjadi sadar akan pentingnya kreativitas dan perkembangan dari berpikir kreatif. Dalam pendidikan, berpikir kreatif bermacam-macam mulai dari melengkapi ide-ide baru ke cara-cara baru dari pemikiran dan pemecahan masalah.Hal itu menjelaskan bahwa kreativitas bukanlah sebuah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang tidak ada artinya, melainkan kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru melalui penggabungan, perubahan atau mengggunakan kembali ide-ide yang telah ada (Anwar dkk, 2012).Kreativitas merupakan aspek penting dari kehidupan seseorang dimulai dari kehidupan embrio sampai dewasa. Kreativitas adalah kemampuan untuk melihat sesuatu dengan cara yang baru, untuk melihat dan memecahkan masalah dengan cara yang berbeda, yang belum dicoba dan tidak biasa, dan untuk terlibat dalam pengalaman mental dan fisik yang baru, unik atau berbeda (Trivedi & Bhargava, 2010).
1
2
Selain itu, Munandar (1999) juga menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi atau unsurunsur yang ada. Hasil yang diciptakan tidak selalu hal-hal baru, tetapi dapat juga merupakan gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Lebih lanjut Munandar (1999) menyatakan bahwa banyak orang menganggap kalau kreativitas hanya dapat diajarkan jika dikaitkan dengan bidang subjek (mata ajaran) tertentu, dan hal ini tidak benar. Kreativitas dapat diajarkan dalam konteks yang “content free”, lepas dari bidang materi tertentu, atau dapat dilekatkan dengan konten atau bidang subjek khusus. Pada dasarnya, setiap orang dilahirkan dengan memiliki potensi kreatif. Namun, kenyataannya seringkali orang tua mengabaikan akan pentingnya kreativitas bagi seorang anak ataupun remaja. Kreativitas pada remaja dapat tumbuh dan berkembang baik apabila lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah turut menunjang dalam mengekspresikan kreativitasnya. Tetapi pada kenyataannya dunia pendidikan lebih banyak menekankan pada aspek hafalan serta mencari satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan pada peserta didik. Selain itu, orang tua juga hanya menekankan pentingnya prestasi akademik saja, sehingga hal ini semakin menyebabkan terjadinya kasus tawuran, kekerasan antar remaja, dan penggunaan narkoba yang saat ini sudah semakin mengkhawatirkan (Sumarno, 2004). Salah
satu
Sekolah
Menengah
Atas
yang
mempunyai
misi
dalam
mengembangkan kreativitas yaitu SMA Kristen I Salatiga.Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh penulis dengan Kepala Sekolah SMA Kristen I Salatiga diketahui bahwa sekolah juga mendukung dalam mengembangkan kreativitas peserta
3
didik, mereka tidak hanya mendukung tetapi mereka juga memasukkan kreativitas sebagai salah satu misi sekolah. Kreativitas dapat diidentifikasi (ditemukenali) dan dipupuk melalui pendidikan yang tepat (Munandar, 1999). Pendidikan menjadi salah satu hal yang sangat penting, karena dalam pendidikan terkandung pembinaan, pengembangan, dan peningkatan. Aktivitas pendidikan dapat berlangsung di dalam keluarga (informal), dalam sekolah (formal), dan dalam masyarakat (non formal), dari ketiganya memberikan sumbangan tertentu terhadap perkembangan anak ataupun remaja. Menurut Santrock (2012), masa remaja adalah masa yang paling sederhana karena tidak berlakunya aturan. Remaja selalu mencoba banyak hal, berusaha mencari yang cocok dengan dirinya. Pada akhirnya, hanya dua hal yang dapat diwariskan orang tua kepada remajanya, yaitu akar (dasar yang kuat) dan sayap (kebebasan). Selain itu, Gunarsa dan Gunarsa (1983) mengungkapkan bahwa ciri utama remaja adalah berkeinginan besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui dan mempunyai keinginan menjelajah ke alam yang lebih luas yang berkaitan erat dengan ciri-ciri kreativitas. Orang tua dapat berperan penting sebagai manajer terhadap peluang-peluang yang dimiliki remaja, mengawasi relasi sosial remaja, dan sebagai inisiator dan pengatur kehidupan sosial (Parke & Buriel, dalam Santrock, 2007). Visi yang lebih akurat mengenai masa remaja adalah saat untuk mengevaluasi, mengambil keputusan, berkomitmen, dan mengukir tempat di dunia. Sebagian besar masalah remaja saat ini bukanlah pada remaja itu sendiri. Yang dibutuhkan oleh remaja adalah akses terhadap berbagai kesempatan serta dukungan jangka panjang dari orang dewasa yang sangat memerhatikan mereka (Balsano, Theokas, Bobek, Lerner dkk, Swanson, Edwards,
4
&Spencer, dalam Santrock, 2012). Selain itu, Youniss dan Ruth (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa untuk membantu remaja mencapai potensi seutuhnya, salah satu peran orang tua yang penting adalah menjadi manajer yang efektif, yang menemukan informasi, membuat kontak, membantu pilihan-pilihannya, dan memberikan bimbingan. Dalam kebanyakan kasus, orang tua yang bertanggung jawab untuk merangsang dan mengarahkan minat anak(Csikszentmihalyi, 1996).Salah satu contoh klasik yang sangat kreatif dan sangat berbakat yang tidak dilakukan dengan baik di lingkungan sekolah adalah Albert Einstein. Einstein mendapatkan nilai umumnya baik di SMA Munich yang sangat tradisional, tapi ia membencinya karena kesuksesan tergantung pada hafalan dan ketaatan pada otoritas yang sewenang-wenang. Einstein menimbulkan begitu banyak masalah dan guru menyarankan Einstein untuk keluar dari sekolah karena kehadirannya sangat menghancurkan dan membuat murid lain tidak hormat akan otoritas. Akhirnya pada usia 15 tahun, Einstein dipindahkan ke sekolah yang baru di Swiss di mana ide-idenya bisa dibebaskan (Kim, 2008). Menjadi individu yang kreatif bukanlah produk instan, melainkan sebuah proses pembelajaran yang terus menerus dan dimulai sejak dini. Menurut Zunlynadia (2010), dalam proses kreatif tersebut, seringkali pendidik terutama orang tua mendapati anak mereka berlaku aktif merugikan bagi orang dewasa, sehingga bagi orang dewasa menyebut perlakuan anak tersebut sebagai bentuk kenakalan. Seorang anak berperilaku kreatif biasanya selalu bersifat ingin tahu, eksploratif, tidak puas dengan satu jawaban dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru. Dalam menyikapi perilaku anak, orang tua ataupun individu dewasa perlu berhati-hati. Jangan sampai ada kekeliruan dalam memberikan penilaian terhadap perilaku mereka. Lebih lanjut Zunlynadia (2010) menjelaskan bahwa orang tua atau
5
orang dewasa perlu lebih teliti dalam melihat apakah perilaku yang muncul merupakan bentuk kenakalan ataukah wujud dari pemikiran kreatif anak. Perilaku kreatif pada dasarnya muncul sebagai cerminan dari rasa ingin tahu yang besar dan didorong oleh adanya keberanian untuk mencoba. Berbeda dengan perilaku kreatif, perilaku nakal pada dasarnya muncul ketika memang ada kesengajaan untuk tujuan yang kurang baik. Namun, seringkali orang tua atau orang dewasa hanya memfokuskan diri pada perilaku yang muncul tanpa menelusuri sebab-sebab dari perilaku yang muncul tanpa menelusuri sebab-sebab dari perilaku yang ditampakkan. Ketika ada perilaku yang tidak diharapkan muncul, orang tua atau orang dewasa kerap secara langsung memfokuskan pada perilakunya dalam memberikan label “nakal” dengan cepat. Di Indonesia ada begitu banyak karya-karya kreatif yang telah dihasilkan oleh anak-anak Indonesia, salah satunya adalah mobil Esemka Digdaya. Esemka Digdaya adalah proyek mobil nasioal siswa SMK 1 Singosari Malang. Mobil double kabin ini menggunakan kerangka Isuzu Panther dengan suspensi dari Mitsubishi L300. Sayangnya, mobil karya anak bangsa ini tidak mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Mereka bahkan tidak dapat tempat atau stand khusus dalam ajang pameran otomotif terbesar di tanah air yaitu Indonesia Internasional Motor Show (Efendi, 2012). Selain itu, sebuah karya kreatif juga dihasilkan oleh Hibar Syahrul Gafur, banyaknya kasus pemerkosaan yang terjadi membuat siswa SMPN 1 Bogor ini membuat sebuah inovasi baru, yaitu sepatu yang dapat melindungi pemakainya dari kekerasan seksual atau pemerkosaan.Sungguh membanggakan, karya anak bangsa ini mendapat penghargaan di Malaysia. Seperti yang diberitakan melalui Merdeka.com, pemuda cerdas ini menciptakan sebuah sepatu antikekerasan seksual. Sepatu ini tidak berbeda dengan sepatu wanita tipe wedges. Di dalam hak sepatu yang tebal, ada
6
rangkaian listrik yang dirancang khusus. Jika wanita merasa dalam bahaya, wanita tersebut hanya perlu menginjak tombol yang ada dibelakan sepatu. Listrik yang ada pada sepatu tersebut bertenaga 450 watt. Inovasi baru yang dikerjakan bersama sang guru ini mendapatkan penghargaan di Malaysia. Sepatu antikekerasan seksual yang diciptakan Hibar mendapat tiga medali emas dan dua perak dalam ajang International Exhibition of Young Inventors (IEYI) 2013 di Kuala Lumpur. Inovasi baru ini tentu bisa dikembangkan untuk melindungi para wanita. Sebuah prestasi yang membanggakan, karena diciptakan oleh anak bangsa (Vemale.com). Dari beberapa penjelasan atas hasil-hasil kreatif yang telah dihasilkan dapat dijelaskan bahwa remaja membutuhkan wadah untuk menyalurkan bakat non akademik yang terpendam akibat tekanan kurikulum sekolah yang terlalu berat dan tuntutan yang terlalu tinggi dari orang tua dan lingkungannya. Saat ini kurangnya sarana yang memadai untuk menyalurkan kreativitas remaja, sehingga yang memiliki potensi non akademik tidak memiliki wadah (Mulyadi, dalam Anggadha, 2007). Kreativitas merupakan suatu konstruk yang multidimensi, terdiri dari berbagai dimensi, yaitu dimensi kognitif (berpikir kreatif), dimensi afektif (sikap dan kepribadian), dan dimensi psikomotor (keterampilan kreatif). Masing-masing dimensi meliputi berbagai kategori,
misalnya dimensi kognitif dari kreativitas – berpikir
divergen – mencakup antara lain kelancaran, kelenturan, orisinalitas dalam berpikir dan kemampuan untuk memerinci (elaboration), dan lain-lain (Munandar, 1999).Oleh karena itu, kreativitas tidak terjadi di dalam kepala orang, tetapi dalam interaksi antara pikiran seseorang dan konteks sosial budaya (Csikszentmihalyi, 1996). Menurut Olson (1996), berpikir kreatif terdiri dari 2 unsur, yaitu kefasihan dan keluwesan. Kefasihan ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan sejumlah besar
7
gagasan pemecahan masalah secara lancar dan cepat. Untuk mengetahui kefasihannya, seseorang dapat diminta menyebutkan seluruh kemungkinan kegunaan dari gantungan jas, batu bata, atau penjepit kertas selama jangka waktu tertentu. Sedangkan, keluwesan pada umumnya mengacu pada kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbedabeda dan luar biasa untuk memecahkan suatu masalah. Misalnya, gagasan pemecahan masalah yang berlainan untuk memperbaiki metode membuka pintu dapat dilakukan dengan cara menempatkan pegangan pintu pada dinding yang berdekatan dengan pintu dan bukan menempatkan pegangan tersebut di pintu itu sendiri. Berpikir luwes juga ditunjukkan oleh kemampuan untuk menemukan kegunaan produk yang ada. Misalnya, seorang pemikir yang luwes mungkin mengenal bahwa kegunaan sebuah penjepit kertas akan lebih banyak apabila dapat dipergunakan untuk menjepit benda-benda lain, atau apabila dapat dipergunakan menggaruk, memetik, dan mengaduk. Ada banyak faktor yang memengaruhi perkembangan kreativitas individu yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal yang memengaruhi perkembangan kreativitas yaitu jenis kelamin, status sosial ekonomi, urutan dalam keluarga, besar kecilnya keluarga, dan inteligensi. Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi perkembangan kreativitas yaitu waktu, kesempatan menyendiri, dorongan, sarana, lingkungan yang merangsang, hubungan anak-orang tua yang tidak posesif, cara mendidik anak, kesempatan memeroleh pengetahuan (Munandar, 1999). Sebuah penelitian mengenai kreativitas telah dilakukan oleh Trivedi dan Bhargava (2010) yang menyatakan bahwa prestasi akademik mempunyai hubungan yang positif dengan kreativitas pada remaja. Selain itu, berdasarkan penelitiannya terhadap remaja dan keluarganya, Larson (dalam Brooks, 2011) meyakini bahwa, untuk perkembangan positif di tahun-tahun ini, remaja harus mengembangkan inisiatif,
8
“kemampuan memotivasi diri sendiri untuk mengarahkan perhatian dan usaha meraih tujuan yang menantang.” Selain menjadi kualitas yang penting, inisiatif juga berperan sebagai landasan bagi kualitas penting lain seperti kreativitas dan kepemimpinan. Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Kisti dan Fardana (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan kreativitas pada siswa SMK, semakin tinggi self efficacy yang dimiliki siswa SMK maka semakin tinggi juga kreativitas pada siswa SMK. Self efficacy sendiri merupakan keyakinan individu akan kemampuan mereka untuk melewati tantangan yang mereka hadapi. Kreativitas tidak dapat dipaksa tetapi harus dipelihara dan didorong untuk kemunculannya secara penuh dan nyata. Oleh karena itu, untuk memelihara dan mendorong potensi internal, upaya dalam mengembangkan lingkungan eksternal sangat diperlukan dan sangat penting. Dengan menyiapkan kondisi keamanan psikologis serta kebebasan, keluarga dapat menciptakan lingkungan yang paling bertahan bagi munculnya kreativitas yang membangun. Faktor lingkungan memiliki dampak besar pada potensi kreatif (Trivedi & Bhargava, 2010). Basri(dalam Tarnoto & Purnamasari, 2012) mengemukakan salah satu faktor yang memengaruhi kreativitas adalah kondisi dan situasi rumah tangga. Adapun yang termasuk dalam faktor kondisi dan situasi rumah tangga antara lain: hubungan ayah dan ibu, hubungan orang tua dan anak-anaknya, taraf kesibukan ayah dan ibu di luar rumah, kehangatan dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, serta tingkat pendidikan orang tua, baik ibu maupun ayah. Sikap orang tua tidak hanya memberi pengaruh kuat pada hubungan di dalam keluarga tetapi juga pada sikap dan perilaku anak.
9
Hurlock (1993) berpendapat bahwa kebanyakan anak berhasil, setelah menjadi dewasa, berasal dari keluarga dengan orang tua yang bersifat positif dalam hubungan mereka. Oleh karena itu, pola asuh yang digunakan orang tua sebagai metode pendidikan anak sebagian tergantung pada cara mereka sendiri dibesarkan dan sebagian lagi pada apa yang didapat dari pengalaman pribadi atau pengalaman bersama teman mereka. Selain itu, Munandar (1999) juga mengemukakan bahwa kreativitas anak akan berkembang apabila orang dewasa maupun anak mempunyai kebiasaan-kebiasaan kreatif, misalnya kebiasaan memertanyakan apa yang dilihat, mempunyai pandangan baru, menemukan cara lain untuk melakukan sesuatu, dan bersibuk diri secara kreatif sebanyak mungkin. Orang tua dapat membantu anak menemukan minat-minat mereka paling mendalam dengan mendorong anak melakukan kegiatan yang beragam dan menunjukkan kesempatan pada anak.Minat anak berkembang dan dapat berubah dengan berselangnya waktu. Sebuah penelitian yang telah dilakukan di India (Sidhu, Malhi & Jerath, dalam Shahzada, 2011) menyatakan bahwa anak-anak yang memiliki ibu yang hanya mengenyam pendidikan lebih dari 8 tahun secara signifikan memiliki IQ lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang mempunyai ibu yang hanya mengenyam pendidikan kurang dari 8 tahun. Orang tua yang telah menyelesaikan pendidikan yang tinggi ditemukan lebih mempunyai kedekatan hubungan secara pribadi dengan bayi ataupun anak-anak mereka dibandingkan dengan orang tua yang tidak menyelesaikan pendidikan yang tinggi (Sclafani, dalam Gratz, 2006).Yang dimaksud dengan tingkat pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan dan kesesuaian yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan siswa/mahasiswa, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan
10
yang dikembangkan, terdiri dari pendidikan dasar (jenjang pendidikan awal 9 tahun pertama masa sekolah anak-anak), pendidikan menengah (jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar), dan pendidikan tinggi (jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program sarjana, magister, doktor dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (UU SISDIKNAS No. 20, 2003). Penelitian terdahulu lainnya menunjukkan bahwa keunikan dari pendidikan ibu secara signifikan mempunyai pengaruh yang kuat pada proses belajar anak-anak mereka. Ann (dalam Gratz, 2006) mengatakan bahwa kapanpun itu pendidikan ibu adalah salah satu faktor yang paling penting untuk memengaruhi kemampuan membaca anak dan penghargaan/prestasi akademik lainnya. Anak-anak yang mempunyai ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi tinggal di sekolah lebih lama dibandingkan dengan anak-anak yang mempunyai ibu dengan pendidikan rendah. Orang tua yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan yang lebih tinggi itu lebih mempunyai pengaruh dalam pendidikan anak-anak mereka. Hasil penelitian lainnya juga telah dilakukan oleh Karimi (dalam Naderi dkk, 2009) tentang hubungan kreativitas, jenis kelamin dan prestasi akademik pada siswa kelas 2 Sekolah Dasar yang menunjukkan bahwa perbandingan antara laki-laki dan perempuan dalam kreativitas merupakan indikasi dari perbedaan yang signifikan antara kedua jenis kelamin, disamping itu, tingkat pendidikan orang tua mempunyai hubungan yang signifikan pada kreativitas. Hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Nori (dalam Naderi dkk, 2009), hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kreativitas dengan prestasi akademik. Behroozi (dalam Naderi dkk, 2009) juga telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara fitur pribadi dan
11
kreativitas dan juga antara kreativitas dan prestasi akademik pada 187 mahasiswa melalui kuesioner kreativitas Cattel, hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kreativitas dan variabel-variabel lainnya. Sebuah penelitian telah dilakukan oleh Munandar (1999) pada tahun 1977 terhadap siswa kelas 6 SD dan siswa SMP, yang menyimpulkan bahwa pendidikan ibu lebih mempunyai hubungan positif dengan prestasi sekolah, kreativitas, dan inteligensi daripada pendidikan ayah. Selain itu, Munandar (1999) juga mengemukakan bahwa tingkat pendidikan ibu lebih berkaitan dengan prestasi sekolah dan kreativitas anak daripada tingkat pendidikan ayah. Berdasarkan hasil penelitian Dacey (Munandar, 1999) pada tahun 1989, remaja yang kreatif lebih banyak melakukan identifikasi terhadap figur ibu daripada ayah. Ikeda (dalam Munandar, 1999) juga berpendapat, bahwa ibu mempunyai peranan utama dalam pengembangan kreativitas keluarganya dan kehidupan kreatif ibu secara alamiah akan tertanam dalam pikiran anak-anaknya menjadi bagian yang hidup dari pemikiran anak-anaknya. Hasil penelitian berbeda ditunjukkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayati (2011), hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan orang tua dengan kreativitas remaja. Berpikir kreatif kadang-kadang digambarkan sebagai suatu kemampuan untuk membentuk ulang kenyataan untuk menemukan keperluan-keperluan dan aspirasiaspirasi manusia (Brofenbrenner, dalam Meintjes & Grosser, 2010). Berpikir kreatif adalah sebuah proses pemikiran yang kompleks yang mengerahkan berbagai perbedaan fungsi-fungsi kognitif dan melibatkan berbagai perbedaan wilayah distribusi pada seluruh otak. Berpikir secara kreatif mungkin tergantung pada kemampuan kita menggunakan suatu jarak dari proses kognitif dalam cara-cara yang berbeda dan hal
12
yang penting adalah untuk berpindah diantara cara-cara ini dengan tepat (Howard & Jones, 2008). Di sisi lain menurut Anwar dkk (2012), berpikir kreatif juga didefinisikan sebagai sebuah cara yang menghasilkan ide-ide yang dapat diaplikasikan dalam beberapa cara di seluruh dunia. Hal ini biasanya melibatkan penyelesaian masalah dan memanfaatkan aspek-aspek dari kecerdasan, contohnya seperti linguistik, matematika, dan hubungan antar pribadi.Berpikir kreatif juga melibatkan penciptaan sesuatu yang baru atau asli.Hal itu melibatkan keahlian dari kelenturan, keaslian, penggambaran, berpikir asosiatif, daftar sifat-sifat, berpikir metafora dan hubungan yang kuat. Torrance (dalam Anwar, 2012) menyatakan bahwa berpikir kreatif adalah sebuah cara pandang yang baru dan melakukan hal-hal yang dikarakteristikkan melalui 4 komponen yaitu: (a) kelancaran (mengembangkan kelancaran jawaban untuk menghasilkan
banyak
gagasan
dan
kemungkinan
jawaban
terhadap
suatu
permasalahan), (b) kelenturan (kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan masalah), (c) keaslian (kemampuan untuk mencetuskan gagasan-gagasan yang asli, jadi tidak hanya menciptakan gagasan dalam jumlah yang banyak saja tetapi juga gagasan baru), (b) elaborasi (kemampuan untuk menguraikan ide-ide secara terperinci). Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil-hasil penelitian sebelumnya baik itu penelitian yang pro dan penelitian yang kontra yang telah dilakukan mengenai hubungan antara kreativitas dengan prestasi akademik dan juga penelitian mengenai pengaruh tingkat pendidikan ibu dengan inteligensi anak, serta penelitian mengenai hubungan antara tingkat pendidikan orang tua terlebih khusus tingkat pendidikan ibu dengan kreativitas remaja, maka perumusan masalahdalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kreativitas pada remaja dalam hal
13
ini yaitu terutama kemampuan berpikir kreatif, karena salah satu hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Munandar (1999) pada tahun 1977 menunjukkan bahwa pendidikan ibu mempunyai hubungan yang positif dengan kreativitas, akan tetapi pada penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayati (2011) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan orang tua dengan kreativitas remaja. Oleh karena itu, berdasarkan paparan yang telah diuraikan, penulis menyimpulkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen I Salatiga namun belum bisa menentukan apakah hubungannya positif atau negatif.
14
METODE A. Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa/i kelas XI SMA Kristen I Salatiga dengan jumlah 112 sampel . Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cararandom classdan sesudah diundi didapatkan 5 kelas, yaitu kelas XI MIA 2, XI IIS 1, XI IIS 2, XI IIS 3, XI IBBUD. B. Instrumen Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Tes Kreativitas Figural (TKF) dari Munandar (1999), di mana tes ini merupakan tes kreativitas yang merupakan adaptasi dari circle test dari Torrance (dalam Munandar, 1999), pertama digunakan di Indonesia pada tahun 1977, kemudian tahun 1988 dilakukan penelitian Standardisasi Tes Figural (untuk umur 10-18 tahun) oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, bagian Psikologi Pendidikan (dalam Munandar, 1999).Penelitian standarisasi Tes Kreativitas Figural dilaksanakan pengambilan datanya yaitu antara bulan Oktober 1985 sampai dengan Januari 1986, dan telah menghasilkan norma-norma baku untuk usia 10 sampai dengan 18 tahun. Makna dan manfaat dari Tes Kreativitas Figural ialah bahwa tes ini dapat digunakan dengan baik untuk anak-anak, remaja dan orang dewasa. Tes Kreativitas Figural mengukur aspek kelancaran, kelenturan, orisinalitas, dan elaborasi dari kemampuan berpikir kreatif. Karena alat ukur TKF sudah terstandarisasi maka penulis tidak melakukan uji coba ulang. Nilai tambah dari TKF adalah bahwa di samping aspek-aspek tersebut di atas, TKF juga memungkinkan mendapat ukuran kreativitas sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi antar unsur-unsur yang
15
diberikan, yaitu dengan memberikan skor untuk “bonus orisinalitas” jika subyek mampu menggabung dua lingkaran atau lebih menjadi satu objek. Makin banyak lingkaran yang dapat digabung, makin tinggi nilai (skor) yang diperoleh. D. Analisis Data Teknik statistik yang digunakan adalah korelasi Product Moment dari Pearson apabila data berdistribusi normal, namun apabila data tidak berdistribusi normal maka teknik statistik yang digunakan adalah Spearman rho dengan bantuan program komputer SPSS version 16.0. Secara empirik, tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00 (Azwar, 2012).
16
HASIL Uji Normalitas Penelitian ini menggunakan uji normalitas dilihat melalui Kolmogorov-Smirnov untuk melihat apakah residual berdistribusi normal atau tidak. Residual berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari 0,05 (Priyatno, 2010). Berdasarkan hasil pengujian normalitas, kedua variabel memiliki hasil yang berbeda. Variabelberpikir kreatif memiliki nilai koefisien Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,602 dengan nilai signifikansi sebesar 0,861 (p>0,05) sedangkan variabel tingkat pendidikan ibu memiliki nilai koefisien Kolmogorov-Smirnov sebesar 3,553dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Karena salah satu variabel memiliki signifikansi kurang dari 0,05 jadi data tingkat pendidikan ibu dan kreativitas dinyatakan tidak berdistribusi normal. Uji Linieritas Hasil uji linieritas dilakukan untuk mengetahui linieritas hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan untuk mengetahui signifikansi penyimpangan dari linieritas hubungan tersebut.Dalam penelitian ini hubungan tingkat pendidikan ibu dan berpikir kreatif adalah linier karena memiliki nilai signifikansi untuk deviation from linearity sebesar 0,197 (p>0,05) (Widiarso, 2010)
17
Analisis Deskriptif
Tabel 1 Pendidikan Terakhir Ibu Cumulative Frequency Valid
SD
Percent
Valid Percent
Percent
4
3.6
3.6
3.6
SMP
10
8.9
8.9
12.5
SMA
65
58.0
58.0
70.5
Diploma
11
9.8
9.8
80.4
S1
20
17.9
17.9
98.2
S2
1
.9
.9
99.1
S3
1
.9
.9
100.0
112
100.0
100.0
Total
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa rata-rata siswa memiliki ibu yang mempunyai pendidikan akhir yaitu SMA, hal itu dapat dilihat dari jumlah siswa pada kategori SMA yang berjumlah 65 siswa yang memiliki ibu dengan pendidikan akhir SMA dengan persentase tertinggi yaitu 58% dan disusul kategori pendidikan S1 yang berjumlah 20 siswa yang memiliki ibu dengan pendidikan akhir S1 dengan persentase 17,9%. Setelah itu disusul oleh jumlah siswa yang memiliki ibu dengan pendidikan akhir Diploma yang berjumlah sebanyak 11 siswa dengan persentase yaitu 9,8%, lalu sebanyak 10 siswa dengan persentase sebesar 8,9 memiliki ibu dengan pendidikan akhir SMP. Selain itu, sebanyak 4 siswa dengan persentase 3,6% memiliki ibu dengan pendidikan akhir SD. Hanya 1 siswa dengan persentase 0,9% memiliki ibu dengan pendidikan akhir S2 dan hanya 1 siswa dengan persentase 0,9% memiliki ibu dengan pendidikan akhir S3.
18
Tabel 2 Kategori TKF Frequency Valid
Sangat Rendah (<79)
Percent
Valid Percent
4
3.6
3.6
Rendah (80-89)
24
21.4
21.4
Agak Rendah (90-99)
32
28.6
28.6
Cukup (100-110)
33
29.5
29.5
Agak Tinggi (111-120)
16
14.3
14.3
3
2.7
2.7
112
100.0
100.0
Tinggi (121-130) Total
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa rata-rata siswa berada pada kategori cukup dan agak rendah dalam berpikir kreatif, hal itu dapat dilihat dari jumlah siswa pada kategori cukup pada tabel 2 yang berjumlah 33 siswa dengan persentase tertinggi yaitu 29,5% dan disusul pada kategori agak rendah dengan jumlah siswa yaitu 32 siswa dengan persentase 28,6%. Setelah itu disusul oleh jumlah siswa pada kategori rendah yang berjumlah sebanyak 24 siswa dengan persentase yaitu 21,4%, lalu sebanyak 16 siswa dengan persentase sebesar 14,3% berada pada kategori agak tinggi. Hanya 4 siswa dengan persentase 3,6% berada pada kategori sangat rendah dan hanya 3 siswa dengan persentase 2,7% berada pada kategori tinggi.
19
Analisis Korelasi Perhitungan analisis data dilakukan setelah uji normalitas.Perhitungan dalam analisis ini dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 16.0. Hasil korelasi antara tingkat pendidikan ibu dengan kreativitas siswa dapat dilihat dari tabel 3 Tabel 3 Hasil Uji Korelasi antara Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kreativitas siswa
Correlations Pendidikan Terakhir Spearman's rho
Pendidikan ibu
Correlation Coefficient
Kreativitas_TKF
1.000
-.028
.
.771
112
112
-.028
1.000
Sig. (2-tailed)
.771
.
N
112
112
Sig. (2-tailed) N Kreativitas_TKF
Correlation Coefficient
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi dapat diketahui hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kreativitas siswa menunjukkan korelasi sebesar -0,028 dengan signifikansi 0,771 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif siswa. PEMBAHASAN Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan antara variabel tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif siswa didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif siswa.
20
Banyak faktor yang memengaruhi siswa dalam mengembangkan kemampuan mereka dalam berpikir kreatif. Berpikir kreatif dipengaruhi oleh banyak hal dan tidak terlepas dari proses interaksi antara faktor psikologis (internal) seperti motivasi, kepribadian dan faktor lingkungan. Suharnan (2002) mengemukakan bahwa kecenderungan kreatif akan muncul dari seseorang dengan motivasi intrinsik yang tinggi, karena dalam aktivitas kreatif tersebut sangat dibutuhkan keleluasaan untuk bertindak, sehingga kehendak orang lain (kondisi eksternal) justru dapat menimbulkan hambatan dan penuangan ide kreatif, artinya tugas-tugas kreatif justru akan berhasil diwujudkan tanpa mengharapkan penilaian atau penghargaan dari orang lain. Pekerjaan yang bersifat eksplorasi seperti pada kreativitas, bermula dari adanya kemauan dari diri sendiri, dan tidak dapat dipaksakan oleh orang lain serta lebih membutuhkan motivasi dalam diri seseorang daripada lingkungan. Hasil penelitian ini menolak hasil penelitian yang dilakukan oleh Munandar (1999) pada tahun 1977 yang menyatakan bahwa di SD maupun SMP kelompok anak yang pendidikan ibunya SMA ke atas skornya nyata lebih tinggi pada kreativitas, inteligensi, dan prestasi sekolah, daripada kelompok anak yang pendidikan ibunya lebih rendah dari SMA. Selain itu juga, hasil penelitian ini menolak hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Karimi (dalam Naderi dkk, 2009) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua mempunyai hubungan yang signifikan pada kreativitas.Sebaliknya hasil penelitian ini menambahkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2011) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan kreativitas remaja.Penelitian ini juga mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tarnoto dan Purnamasari (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada
21
perbedaan kreativitas antara siswa yang memiliki ibu berpendidikan tinggi dengan siswa yang memiliki ibu berpendidikan rendah. Hasil dan pembahasan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu bukan merupakan faktor yang dapat memengaruhi berpikir kreatif siswa. Banyak faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi remaja seperti: lingkungan pergaulan, sikap orang tua, jumlah anggota keluarga, urutan kelahiran, pola asuh orang tua, lingkungan sekolah dan lain sebagainya. Dari hasil yang telah didapatkan dapat dijelaskan bahwa kemungkinan salah satu faktor yang menyebabkan tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif pada siswa salah satunya yaitu karena adanya visi mengenai pengembangan kreativitas pada siswa yang dimiliki oleh sekolah di mana tempat penulis mengambil data, selain itu subjektivitas penulis dalam memberi skor pada alat ukur juga kemungkinan menjadi penyebabnya. Di sisi lain, Widhiarso (dalam Wahyu, 2011) menyatakan bahwa ada beberapa penyebab yang menyebabkan hasil uji statistik tidak menunjukkan ada hubungan yaitu adanya outliers yang artinya terdapat data yang ‘aneh’, bisa jadi ke’aneh’an ini karena salah dalam mengentri data, bisa jadi karena individu yang memang unik, berbeda dengan orang kebanyakan, selain itu juga penyebab lainnya yaitu ukuran sampel kecil, masalah data, juga masih menyisahkan banyak hal jika dieksplorasi lebih lanjut.
22
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif remaja, diperoleh kesimpulan yaitu tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif remaja. Saran Berdasarkan hasil dari penelitian dan kesimpulan di atas maka peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut: a. Bagi Orang Tua Orang tua hendaknya membimbing, mengarahkan dan memberi fasilitas yang memadai bagi anak-anaknya dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif mereka.Hal ini diharapkan meningkatkan berpikir kreatif remaja. b. Bagi peneliti selanjutnya Bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan dan mengembangkan disarankan untuk meneliti mengenai faktor-faktor lain yang memengaruhi.yaitu faktor internal yang terdiri dari faktor pribadi, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan urutan kelahiran, sedangkan faktor eksternal terdiri dari sarana, dorongan, lingkungan yang merangsang, dan cara mendidik anak.
23
DAFTAR PUSTAKA Anggadha, A. (2007). Bullying dipicu budaya feodal dan tekanan kurikulum sekolah. Diakses dari http://news.detik.com/read/2007/11/14/134129/852440/10/bullying-dipicubudaya-feodal-tekanan-kurikulum-sekolah tanggal 24 Mei 2013 Anwar, N.M., Aness, M., Khizar, A., Naseer, M., & Muhammad, G. (2012).Relationship of creative thinking with the academic achievements of secondary school students.International Interdisciplinary Journal of Education, 1(3), 44-47. Azwar, S. (2012).Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Brooks, J. (2011). The process of parenting. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Csikszentmihalyi, M. (1996).Creativity (1st Ed). New York: HarperCollins Publishers, Inc. Efendi, P. (2012). Mobil-mobil karya anak Indonesia yang terabaikan. Diakses dari http://efendybloger.blogspot.com/2012/01/mobil-mobil-karya-anakindonesia-yang.html tanggal 24 Mei 2013 Gratz, J. (2006). The impact of parent’s background on their children’s education.Educational Studies: Saving Our Nation, Saving Our Schools, 268, 1-11. Gunarsa, S.D., & Gunarsa, Y.S. D. (1983).Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Hidayati, S. (2011).Kreativitas remaja ditinjau dari pola asuh dan tingkat pendidikan orang tua pada SMU se-kota Palangkaraya.Skripsi (tidak diterbitkan). Palangkaraya: STAIN-PLK Howard, P., & Jones. (2008). Fostering creative thinking: co-constructed insights from neuroscience and education. UK: Higher Education Academy. Hurlock, E.B. (1993). Perkembangan anak jilid 1 (Edisi ke-6). Jakarta: Erlangga Kaufman, J.C., & Sternberg, R.J. (2010).The cambridge handbook of creativity. United States of America: Cambridge University Press. Kim, K.H. (2008). Underachievement and creativity: are gifted underachievers highly creative?.Creativity Research Journal, 20(2),234-242. _________. (2011). The creativity crisis: the decrease in creative thinking scores on the Torrance test of creative thinking. Creativity Research Journal, 23(4), 285-295.
24
Kisti, H.H., & Fardana, N.A.N. (2012).Hubungan antara self efficacy dengan kreativitas pada siswa SMK.Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1(02), 52-58. Meintjes,H., & Grosser, M. (2010). Creative thinking in prospective teachers: the status quo and the impact of contextual factors. South African Journal of Education, 30, 361-386 Munandar, U.(1999). Kreativitas dan keberbakatan strategi mewujudkan potensi kreatif dan bakat. Jakarta: Gramedia. Naderi, H., Abdullah, R., Aizan, H.T., Sharir, J., & Kumar, V. (2009).Creativity, age and gender as predictors of academic achievement among undergraduate students.Journal of American Science, 5(5), 101-112 Olson, R. W. (1996). Seni berfikir kreatif. Jakarta: Erlangga Priyatno, D. (2010). Teknik mudah dan cepat melakukan analisis data penelitian dengan spss. Yogyakarta: Gava Media Santrock, W.J. (2007). Remaja jilid 1 & 2 (Edisi 11). Jakarta: Erlangga ___________. (2012). Perkembangan masa hidup (Edisi 13). Jakarta: Erlangga. Shahzada, G. (2011). Mother’s education and student’s multiple intelligences. Mediterranean Journal of Social Sciences, 2(2), 373-377. Sugiyono.(2014). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Suharnan. (2002). Skala c.o.r.e. sebagai alternatif mengukur kreativitas: suatu pendekatan kepribadian. Anima Indonesian Psychology Journal, 18(1), 6981 Sumarno, L. (2004). Septinus dan ikon remaja Indonesia. Republika 8 Juni 2004 Tarnoto, N., Purnamasari, A. (2009). Perbedaan kreativitas siswa SMP N Moyudan ditinjau dari tingkat pendidikan ibu. Diakses dari http://eprints.uad.ac.id/96/1/Nissa_Tarnoto,_Alfi_Purnamasari_(PERBED AAN_KREATIVITAS_SISWA_SMP_N_2_MOYUDAN_DITINJAU_D ARI_TINGKAT_PENDIDIKAN_IBU).pdf tanggal 22 Maret 2012 Trivedi, K., & Bhargava, R. (2010).Relation of creativity and educational achievement in adolescence.J Psychology, 1(2):85-89. UU SISDIKNAS No. 20 2003 Vemale.com. (2013).Inilah sepatu anti pemerkosaan karya anak Indonesia.Diakses dari http://www.vemale.com/ragam/22065-inilah-sepatu-antipemerkosaan-karya-anakindonesia tanggal 24 Mei 2013. Wahyu.(2011). Beberapa penyebab mengapa hasil uji statistic tidak signifikan. Diakses dari http://belajar-psikometri.blogspot.com/2011/06/beberapapenyebab-mengapahasil-uji.html tanggal 2 Desember 2014 Widiarso, W. (2010).Uji linieritas hubungan.Manuskrip (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Diakses dari
25
http://www.widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/widhiarso_2010__uji_linieritas_hubungan.pdf tanggal 2 Desember 2014 Zunlynadia. (2010). Anak nakal = anak kreatif. Diakses http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/27/anak-nakal-anakkreatif/tanggal 2 Juni 2014.
dari