Hubungan antara Workplace Well-Being dan Chinese Value pada Karyawan Keturunan Chinese Kurona Moulisa, Bertina Sjabadhyni S1 Reguler Psikologi, Universitas Indonesia Email:
[email protected] Abstrak Penelitian ini untuk melihat hubungan antara workplace well-being dan Chinese value pada karyawan keturunan Chinese. Workplace well-being didefinisikan sebagai rasa sejahtera yang diperoleh karyawan dari pekerjaannya, yang terkait dengan perasaan karyawan secara umum (core affect) dan kepuasan yang didapatkan dari faktor intrinsik dan ekstrinsik dari pekerjaan (work values), yang diukur melalui Workplace Well-Being Index (WWBI) (Page, 2005). Nilai didefinisikan sebagai prinsip yang dianut untuk mengatur tingkah laku seseorang (Chinese Culture Connection, 1987 dalam Ongkowijoyo, 2011), yang diukur melalui Chinese Value Survey (Bond et al. dalam Mathews, 2000). Sampel penelitian ini adalah 104 karyawan keturunan Chinese yang diperoleh secara accidental sampling. Hasil analisis menunjukkan hubungan yang signifikan antara workplace well-being dan Chinese Value pada karyawan keturunan Chinese (r= 0.226, p<0.05,two-tailed). Implikasi dari hasil penelitian ini adalah Chinese value yang dianut oleh karyawan keturunan Chinese berhubungan dengan kesejahteraan yang dirasakan karyawan di tempat kerja. Kata kunci
: kesejahteraan karyawan di tempat kerja, Chinese value, karyawan keturunan
Chinese
The aim of this study is to identifying the relationship between workplace well-being and Chinese value among Chinese employee. The definition of workplace well-being is as sense of well-being that employees gain from their work, including core affect dan the satisfaction of intrinsic and/or extrinsic work values, that measured by using the Workplace Well-Being Index (WWBI) (Page, 2005). Value is defined as a set of principal which believed by a person to govern his attitude (Chinese Culture Connection, 1987 in Ongkowijoyo, 2011), that measured by using the Chinese Value Survey (Bond et al. in Mathews, 2000). The samples of this study were 104 Indonesian Chinese employees were gain using accidental sampling. The analysis showed significant correlation between workplace well-being and Chinese value among Chinese employee (r= 0.226, p<0.05, two-tailed). The implication of this research gives us conclusion that the Chinese value of Chinese employee have relation with well-being of those employee at workplace. Keyword
: workplace well-being, Chinese value, Chinese employee
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
1. PENDAHULUAN Nilai memiliki peranan yang penting bagi kehidupan individu. Nilai dianggap sebagai prinsip yang mempengaruhi keyakinan seseorang dalam menentukan tujuan, dan digunakan sebagai petunjuk dalam mengevaluasi tingkah laku, aturan, individu, serta berbagai kejadian dalam hidup (Schwartz, 2006). Nilai didefinisikan sebagai suatu kecenderungan yang luas yang lebih menyukai keadaan tertentu untuk sebuah urusan dibandingkan dengan keadaan yang lainnya (Hofstede, 1980). Chinese Culture Connection (1987 dalam Ongkowijoyo, 2011) juga mendefinisikan nilai sebagai sebuah prinsip yang mengatur tingkah laku seseorang. Oishi, Diener, Lucas, dan Suh (1999) juga menjelaskan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh individu dipengaruhi oleh kebudayaan individu tersebut. Seperti halnya dengan nilainilai pada masyarakat Chinese juga berhubungan erat dengan kebudayaan Chinese, dimana nilai-nilai tersebut telah membentuk sebuah sistem yang jelas dan konsisten dari generasi ke generasi (Kindle, 1982; Hsu, 1970 dalam Wong dan Chung, 2003). Fan (2000) mendefinisikan kebudayaan Chinese sebagai sekumpulan dari nilai inti yang mendasari interaksi sosial di antara masyarakat Chinese dan secara relatif tetap stabil dalam periode waktu yang lama. Selain itu, Fan (2000) juga mengemukakan bahwa kebudayaan Chinese memberikan mereka identitas dasar, dimana nilai inti tersebut unik dan konsisten, yang dibentuk oleh tradisi dari 4000 tahun yang lalu dan dipertahankan oleh bahasa yang sama. The Chinese Culture Connection (1987 dalam Matthews, 2000) yang merupakan sebuah jaringan internasional yang didirikan oleh Michael H. Bond dan koleganya, mengembangkan sebuah instrumen yang disebut Chinese Value Survey (CVS) untuk mengukur nilai-nilai ketimuran yang didasari pada nilai-nilai kebudayaan Chinese. CVS dikembangkan untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan Chinese yang terdiri dari 4 dimensi, yaitu: Integration (CVS-I), Confucian Work Dynamism (CVS-II), Human-Heartedness (CVS-III), serta Moral Discipline (CVS-IV) (Matthews, 2000). Seperti halnya nilai-nilai kehidupan secara umum, dalam ranah pekerjaan juga terdapat nilai-nilai kerja pada karyawan yang merupakan salah satu isu penting dalam organisasi. nilai-nilai kerja pada karyawan memiliki hubungan yang erat dengan well-being yang dirasakan oleh karyawan tersebut di tempat kerja. Lu et al. (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa nilai kerja Chinese berhubungan secara positif dengan work well-being. Workplace well-being didefinisikan sebagai rasa sejahtera yang diperoleh karyawan dari pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan karyawan secara umum (core affect) dan
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
kepuasan terhadap nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari pekerjaan (work values) (Page, 2005). Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti hubungan antara Chinese value dan well-being di tempat kerja. Namun, berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menggunakan nilai-nilai kebudayaan Chinese secara umum pada instrumen CVS, yang dikaitkan dengan workplace well-being pada karyawan keturunan Chinese. Alasan peneliti menggunakan instrumen CVS disebabkan karena instrumen alat ukur Chinese work value yang digunakan oleh Lu et al. (2011) memiliki kelemahan, dimana alat ukur yang digunakan dalam penelitiannya memiliki masalah yang serius dalam skala reliabilitas. Selain itu, CVS juga telah diuji secara global pada 22 negara (Bond, 1988), sedangkan Chinese work value hanya berfokus pada pengukuran di antara karyawan Chinese pada sub bagian dari zona China, seperti: Beijing, Hong Kong, dan Taipei (Lu et al., 2011). Selanjutnya, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan antara Chinese value, terutama dalam ranah pekerjaan, dan kesejahteraan karyawan di tempat kerja, dimana pada penelitian sebelumnya, ditemukan hasil yang berbeda dalam meneliti nilai kerja pada masyarakat Chinese (Chinese work value) yang dihubungkan dengan work well-being di tempat kerja. Pada penelitian yang dilakukan oleh Siu, Lu, dan Cheng (2003 dalam Siu et al., 2005) dan Lu et al. (2011) menunjukkan bahwa Chinese work value berhubungan secara positif dengan work well-being. Namun, ditemukan hasil yang berbeda pada penelitian lain yang dilakukan oleh Siu et al. (2005) yang menunjukkan bahwa tidak ditemukannya hubungan antara Chinese work value dan work well-being di Hong Kong dan Beijing (Siu et al., 2005). Responden pada penelitian ini adalah karyawan keturunan Chinese peranakan di Indonesia. Lebih lanjut, tidak adanya data pasti yang secara lengkap menunjukkan jumlah populasi Chinese di Indonesia, tetapi diperkirakan jumlah populasi Chinese di Indonesia memiliki persentase 4-5% atau kira-kira sebesar 10.000.000 orang dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 237.641.326 (Soepardi et al., 2011). Berdasarkan jumlah populasi Chinese di Indonesia tersebut, menurut Suryadinata (1980 dalam Revida, 2006), Chinese di Indonesia memiliki peranan yang menonjol dalam kehidupan perekonomian Indonesia dan memonopoli sektor distribusi sehingga menguasai perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh hubungan antara workplace well-being dan Chinese value dengan menggunakan instrumen CVS pada karyawan keturunan Chinese. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara workplace well-being dan Chinese value pada karyawan keturunan Chinese?”. Tujuan
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara workplace well-being dan Chinese value pada karyawan keturunan Chinese. 2. TINJAUAN LITERATUR 2.1 Workplace Well-being Page (2005) mendefinisikan workplace well-being adalah:“... as sense of well-being that employees gain from their work. It is conceptualized as core affect plus the satisfaction of intrinsic and/or extrinsic work values”. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa workplace well-being adalah rasa sejahtera yang diperoleh karyawan dari pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan karyawan secara umum (core affect) dan kepuasan terhadap nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari pekerjaan (work values) (Page, 2005). Page (2005) menjelaskan bahwa terdapat 13 aspek dari workplace well-being yang dibagi ke dalam dua dimensi, yaitu, 5 faktor intrinsik yang terdiri dari: tanggung jawab dalam pekerjaan, makna kerja, kemandirian dalam bekerja, penggunaan kemampuan dan pengetahuan dalam pekerjaan, dan perasaan berprestasi dalam bekerja, serta 8 faktor ekstrinsik yang terdiri dari: penggunaan waktu yang sebaik-baiknya, kondisi kerja, supervisi, peluang promosi, pengakuan terhadap kinerja yang baik, penghargaan sebagai manusia di tempat kerja, gaji, dan keamanan pekerjaan. Page (2005) mengkonstruksi alat ukur workplace well-being yang merupakan cabang dari subjective well-being pada ranah pekerjaan, dimana workplace well-being merupakan gabungan afek dan kognisi yang menampilkan sense of well-being seseorang dalam hubungannya dengan tempat kerja. Page (2005) menyeleksi item-item untuk mengukur kepuasan dalam dimensi kerja yang dikembangkan oleh Knoop (1994 dalam Page, 2005) dan menghasilkan 14 item yang terdiri dari dimensi intrinsik, ekstrinsik, serta core affect dari konstruk workplace well-being. 2.2 Chinese Value Chinese Culture Connection (1987 dalam Ongkowijoyo, 2011) mendefinisikan nilai sebagai sebuah prinsip yang mengatur tingkah laku seseorang. Hofstede (1980) dalam sebuah studi lintas budaya yang dilakukan pada karyawan di perusahaan multinasional IBM, menemukan perbedaan yang signifikan dalam nilai-nilai nasional yang terkait dengan pekerjaan. Namun, studi ini hanya berdasarkan pada instrumen evaluasi yang dikembangkan di barat, sehingga mengarahkan pada pertanyaan: “Dapatkah nilai-nilai sistem ketimuran menggunakan instrumen yang didasari pada ideologi kebaratan?” (Hofstede dan Bond, 1984
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
dalam Ralston et al., 1992). Oleh karena itu, The Chinese Culture Connection (1987 dalam Matthews, 2000) yang merupakan sebuah jaringan internasional yang didirikan oleh Michael H. Bond dan koleganya, mengembangkan sebuah instrumen yang disebut Chinese Value Survey (CVS). CVS dikembangkan untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan Chinese yang terdiri dari 40 item yang terbagi ke dalam 4 dimensi (Matthews, 2000), yaitu: Integration (CVS-I), Confucian Work Dynamism
(CVS-II), Human-
Heartedness (CVS-III), dan Moral Discipline (CVS-IV). 2.3 Karyawan Keturunan Chinese Menurut Mac Millan English Dictionary (2002), karyawan adalah orang yang dibayar secara teratur untuk bekerja pada seseorang atau perusahaan. Sementara itu, menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, karyawan atau tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Di Indonesia sendiri, seseorang yang berketurunan Chinese, biasa disebut dengan istilah Tionghoa yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa dan zhongwen dalam Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa (Dawis, 2010). Chinese di Indonesia juga dianggap memiliki kebudayaan yang berbeda dan keyakinan keagamaan yang berbeda pula dengan masyarakat Indonesia pada umumnya (Suparlan, 1978 dalam Revida, 2006). Lebih lanjut, responden dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di kantor, bukan seorang pekerja di toko ataupun wirausaha, dimana karyawan tersebut berketurunan Chinese yang merupakan Chinese peranakan. Menurut Suryadinata (1999), Chinese peranakan adalah orang Chinese yang secara kultural berbahasa Indonesia dan lahir di Indonesia. Selain itu, karakteristik responden dalam penelitian ini adalah karyawan keturunan Chinese yang memiliki kedua orang tua keturunan Chinese dan berdomisili di Indonesia. 2.4 Dinamika Hubungan antara Workplace Well-Being dan Chinese Value Page dan Vella-Brodrick (2009) menjelaskan bahwa workplace well being merupakan konstruk paralel dengan konstruk subjective well-being dan psychological wellbeing, dimana workplace well-being menekankan kepuasan pada aspek-aspek pekerjaan dan work-related affect. Lebih lanjut, kepuasan dalam aspek-aspek pekerjaan merupakan bentuk evaluasi kognitif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya, sedangkan workrelated affect merupakan bentuk evaluasi afektif (emosional) terhadap pekerjaannya (Page
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
dan Vella-Brodrick, 2009. Namun, kepuasan dalam aspek-aspek pekerjaan dan work-related affect tersebut telah melebur menjadi satu dalam konstruk workplace well-being, sehingga tidak dapat lagi memisahkan antara unsur kognitif dan afektif dalam mengukur tingkat workplace well-being pada karyawan (Page dan Vella-Brodrick, 2009). Selanjutnya, Suh, Diener, Oishi, dan Triandis (1998) menyatakan bahwa penilaian subjective well-being seseorang bervariasi antar budaya, dimana perbedaan penilaian tersebut dapat dilihat secara sistematis berkaitan dengan nilai-nilai pada budaya yang dianut oleh masing-masing individu tersebut. Lebih lanjut, Oishi, Diener, Suh, dan Lucas (1999) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh individu dipengaruhi oleh kebudayaan individu tersebut, dan seseorang individu akan cenderung untuk melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan nilai yang dianut untuk meningkatkan tingkat kepuasan hidupnya. Dalam ranah pekerjaan, Page (2005) menjelaskan bahwa dalam menentukan workplace well-being pada karyawan sangat menekankan pentingnya nilai-nilai dalam pekerjaan (work values), dimana nilai-nilai dalam pekerjaan tersebut dapat membuat karyawan menikmati pekerjaannya. Nilai-nilai dalam pekerjaan, baik intrinsik ataupun ekstrinsik merupakan derajat keberhargaan, kepentingan, dan hal-hal yang disukai oleh karyawan di tempat kerja (Knoop, 1994 dalam Page, 2005). Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa workplace well-being dan nilai memiliki hubungan yang erat, dimana nilai-nilai yang dianut oleh karyawan, khususnya nilai-nilai dalam pekerjaan, mengarahkan karyawan dalam bertingkah laku sesuai dengan hal-hal yang disukai oleh karyawan untuk mencapai well-being di tempat kerja. 3. METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang diperhitungkan, yaitu variabel workplace well-being dan variabel Chinese value. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai kedua variabel tersebut: 1. Variabel 1 : workplace well-being •
Definisi konseptual dari workplace well-being merupakan rasa sejahtera yang diperoleh karyawan dari pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan karyawan secara umum (core affect) dan kepuasan terhadap nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari pekerjaan (work values) (Page, 2005).
•
Definisi operasional dari workplace well-being merupakan mean dari skor total yang diperoleh responden pada alat ukur Workplace Well-Being Index.
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
2. Variabel 2: Chinese value •
Definisi konseptual dari nilai merupakan sebuah prinsip yang mengatur tingkah laku seseorang (Chinese Culture Connection, 1987 dalam Ongkowijoyo, 2011).
•
Definisi operasional dari nilai adalah mean dari skor total yang diperoleh responden pada alat ukur Chinese Value Survey.
3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Tipe penelitian Menurut Kumar (2005), tipe penelitian dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu aplikasi, tujuan, dan tipe pencarian informasi. Berdasarkan kategori pertama, aplikasi, penelitian ini termasuk pada penelitian aplikatif (applied research) karena informasi yang didapat dari penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memahami hubungan antara workplace well-being dan Chinese value pada karyawan keturunan Chinese. Berdasarkan kategori kedua, tujuan, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian korelasional karena penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan antara variabel workplace well-being dan variabel Chinese value pada karyawan keturunan Chinese. Terakhir, berdasarkan kategori ketiga, tipe pencarian informasi, penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif karena penelitian ini dilakukan berdasarkan pengukuran terhadap responden individual untuk mendapatkan skor yang akan digunakan dalam analisis statistik untuk mendapatkan hasil keseluruhan dan juga melakukan interpretasi. 3.2.2 Desain Penelitian Kumar (2005) membedakan jenis-jenis desain penelitian menjadi 3 kategori, yaitu jumlah kontak peneliti dengan responden (numbers of contacts), periode referensi (reference periode), dan sifat penelitian (nature of investigation). Berdasarkan kategori jumlah kontak peneliti dengan responden (number of contacts), penelitian ini termasuk dalam penelitian cross-sectional study karena digunakan dalam meneliti fenomena, situasi, dan masalah dengan melakukan satu kali pengambilan data pada responden. Berdasarkan kategori periode referensi (reference of periode), penelitian ini termasuk dalam penelitian restropektif (restropective study) karena penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara workplace wellbeing dan Chinese value yang merupakan fenomena yang telah ada pada diri responden. Terakhir, berdasarkan kategori sifat penelitian (nature of investigation), penelitian ini termasuk dalam penelitian non-eksperimental karena peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap variabel penelitian.
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
3.3 Responden Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan keturunan Chinese yang bekerja di kantor. Lebih lanjut, karakteristik responden yang dipilih untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Responden penelitian berasal dari keluarga yang kedua orang tuanya merupakan keturunan Chinese. 2. Responden adalah karyawan yang bekerja di kantor, bukan seorang pekerja di toko ataupun wirausaha. Hal ini dimaksudkan untuk menghomogenkan karakteristik responden penelitian. 3. Responden adalah karyawan tetap, bukan karyawan magang. Karakteristik ini dipilih berdasakan asumsi peneliti bahwa karyawan tetap akan memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai organisasi tempat ia bekerja. Selain itu, karyawan tetap akan mendapatkan seluruh fasilitas dan juga kebijakan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. 4. Responden dengan posisi atau jabatan sebagai staf, supervisor, dan manajer. Hal tersebut dilakukan untuk menspesifikasi dan mengklasifikasi posisi atau jabatan dari responden, sehingga mempermudah peneliti dalam melakukan pengolahan data. 3.4 Teknik dan Metode Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan metode non-random/non-probability sampling sebagai metode pengambilan sampel, dimana tidak semua anggota populasi mendapatkan peluang yang sama untuk menjadi sampel penelitian (Kumar, 2005). Selanjutnya, penelitian ini menggunakan teknik incidental sample atau accidental sampling, dimana pemilihan responden hanya didasarkan pada ketersediaan atau kemudahan dalam mengakses responden (Kumar, 2005). 3.5 Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data adalah instrumen alat ukur yang disusun dalam skala Likert. Instrumen alat ukur ini terdiri atas dua bagian, yaitu instrumen alat ukur yang mengukur variabel workplace well-being (Workplace Well-Being Index) dan instrumen alat ukur yang mengukur variabel Chinese value (Chinese Value Survey)
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
3.5.1 Alat Ukur Workplace Well-Being Alat ukur workplace well-being dalam penelitian ini menggunakan alat ukur yang dibuat oleh Page (2005) dan telah diadaptasi oleh Sawitri (2013). Alat ukur workplace wellbeing yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 14 item yang mengukur dimensi intrinsik dan ekstrinsik, serta core affect dari konstruk workplace well-being. Dimensi intrinsik dan ekstrinsik memiliki 13 item dan ditambah aspek core affect yang diwakili oleh 1 item. Skala yang digunakan adalah skala Likert yang terdiri dari 6 pilihan. Penilaian dari skala yang digunakan adalah 1 untuk sangat tidak setuju, 2 untuk tidak setuju, 3 untuk agak tidak setuju, 4 untuk agak setuju, 5 untuk setuju, dan 6 untuk sangat setuju. Pada item yang unfavourable, penilaian skala merupakan kebalikan dari aturan penilaian tersebut. Mean dari skor total akhir dari setiap responden diperoleh dengan cara mencari rata-rata jawaban responden dari semua item, tanpa menghitung satu item yang mewakili core affect. Item yang mengukur tentang core affect tidak diikutsertakan dalam perhitungan karena dimasukkan sebagai variabel kontrol dalam mengukur workplace well-being. 3.5.2 Alat Ukur Chinese Value Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel Chinese value adalah alat ukur yang dikembangkan oleh Bond dan koleganya yang disebut Chinese Value Survey (CVS) (Matthews, 2000). Instrumen alat ukur CVS terdiri dari 40 item dengan menggunakan skala Likert 1-9, dengan rentang nilai dari satu untuk sangat tidak penting sampai 9 untuk sangat penting. Namun, peneliti melakukan modifikasi pada skala alat ukur Chinese value (Chinese Value Survey), dimana skala Likert yang digunakan dalam penelitian ini hanya terdiri dari 6 pilihan. Modifikasi dilakukan untuk menyederhanakan skala penilaian pada alat ukur. Penilaian dari skala yang digunakan adalah 1 untuk sangat tidak penting, 2 untuk tidak cukup penting, 3 untuk agak tidak penting, 4 untuk agak penting, 5 untuk cukup penting, dan 6 untuk sangat penting. Mean dari skor total akhir dari setiap responden diperoleh dengan cara mencari rata-rata jawaban responden dari semua item. 3.6 Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data dalam penelitian ini, peneliti melakukan penghitungan statistika dengan menggunakan IBM SPSS (Statistical Package for Social Science) versi 20. Teknik statistika yang digunakan antara lain: 1. Analisis Statistika Deskriptif
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
Analisis statistika deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai karakteristik dari responden penelitian berdasarkan frekuensi dan persentase dari data yang diperoleh. 2. Independent Sample T-Test dan One-Way Anova Analisis Independent Sampel T-Test dan One-Way Anova digunakan untuk melihat perbedaan mean workplace well-being dan Chinese value berdasarkan data demografis. 3. Korelasi Pearson Analisis korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara variabel workplace well-being dan variabel Chinese value. 4. Regresi Linear Berganda Analisis regresi linear berganda digunakan sebagai analisis tambahan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pada dimensi-dimensi dari Chinese value terhadap workplace well-being. 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Analisis Deskriptif 4.1.1 Data Persebaran Responden Peneliti menyebarkan instrumen alat ukur kepada 150 karyawan keturunan Chinese dari 3 organisasi atau perusahaan, dimana mayoritas karyawan yang bekerja di organisasi atau perusahaan tersebut adalah karyawan keturunan Chinese, yaitu: PT. A, PT. B, dan organisasi C. Terdapat 111 responden yang mengembalikan instrumen alat ukur kepada peneliti, tetapi dari 111 responden tersebut, hanya 104 instrumen alat ukur yang dapat diolah datanya, sedangkan 7 instrumen alat ukur lainnya tidak dapat diolah datanya dikarenakan tidak lengkapnya data identitas diri responden, tidak lengkap dalam mengisi pernyataan item, dan adanya responden yang tidak sesuai dengan karakteristik penelitian. Oleh karena itu, instrumen alat ukur yang dapat digunakan untuk pengolahan data dalam penelitian ini seluruhnya berjumlah 104 instrumen alat ukur. 4.1.2 Gambaran Karakteristik Responden Berdasarkan 104 instrumen alat ukur yang diperoleh, peneliti memperoleh gambaran karakteristik responden, yaitu mengenai jenis kelamin, rentang usia, posisi atau jabatan (staf, supervisor, manajer), status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lama bekerja. Berikut adalah
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
tabel yang menunjukkan distribusi frekuensi dan presentase responden berdasarkan data demografis yang diperoleh: Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Responden Karakteristik
N
Persentase
Laki-laki
54
51.9%
Perempuan
50
48.1%
>21 tahun
14
13.5%
21-40 tahun
85
81.7%
>40 tahun
5
4.8%
Staf
58
55.8%
Supervisor
25
24%
Manajer
21
20.2%
Belum
81
77.9%
Menikah
23
22.1%
SMA
27
26%
D3
2
1.9%
S1
65
62.5%
S2
10
9.6%
<2 tahun
32
30.8%
2-10 tahun
67
64.4%
>10 tahun
5
4.8%
Jenis Kelamin
Umur
Posisi/Jabatan
Status Pernikahan
Tingkat Pendidikan
Lama Bekerja
4.2 Hasil Analisis Utama Penelitian Berdasarkan data yang diperoleh dari 104 responden penelitian, dengan menggunakan teknik pengolahan data korelasi Pearson, didapatkan nilai koefisien korelasi r antara workplace well-being dan Chinese value adalah sebesar .226 dengan level signifikansi sebesar .05. Artinya, nilai korelasi tersebut signifikan pada LoS .05 two-tailed. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara workplace well-being dan Chinese value.
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
Lebih lanjut, koefisien korelasi yang bernilai positif (.226) menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai dari workplace well-being, maka semakin tinggi juga nilai dari Chinese value, dan begitu sebaliknya, semakin rendah nilai dari workplace well-being, maka semakin rendah juga nilai dari Chinese value. Selanjutnya, hasil korelasi sebesar .226, dapat diketahui juga bahwa nilai effect size r2 sebesar 0.05. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebesar 5% dari total varians Chinese value dapat diasosiasikan terhadap varians workplace well-being, sedangkan 95% varians lainnya dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain. Lebih lanjut, dilihat dari nilai koefisien korelasi dan nilai effect size yang diperoleh, hubungan antara workplace well-being dan Chinese value, termasuk dalam tingkat korelasi yang medium (sedang) berdasarkan kriteria yang dikemukakan oleh Cohen et al. (2003). Oleh karena itu, Ho dalam penelitian ini ditolak dan Ha diterima. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara workplace well-being dan Chinese value pada karyawan keturunan Chinese. 4.4 Hasil Analisis Tambahan Dalam penelitian ini, peneliti juga akan melihat seberapa besar pengaruh dari masingmasing dimensi Chinese value terhadap workplace well-being. Pengolahan data yang digunakan peneliti untuk mengetahui besaran pengaruh tersebut menggunakan regresi linear berganda. Berdasarkan hasil pengolahan data, maka ditemukan hasil sebagai berikut: Tabel 4.6 Pengaruh dari Dimensi Chinese Value terhadap Workplace Well-Being Dimensi
Standardized Coefficients Beta
Sig (.05)
Integration (CVS-I)
.140
.158
Confucian Work Dynamism (CVS-II)
.227
.021
Human-Heartedness (CVS-III)
.252
.010
Moral Discipline (CVS-IV)
.172
.081
Berdasarkan data yang diperoleh, dari keempat dimensi CVS, hanya terdapat dua dimensi yang memiliki nilai signifikan <.05, yaitu pada dimensi Confucian Work Dynamism dan Human-Heartedness, dengan nilai signifikan .021 dan .010, maka dapat disimpulkan bahwa dimensi Confucian Work Dynamism dan Human-Heartedness secara signifikan berpengaruh terhadap workplace well-being. Lebih lanjut, dari kedua dimensi tersebut,
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
apabila dilihat dari nilai Standardized Coefficients Beta yang diperoleh, maka dimensi Human-Heartedness memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap workplace well-being, dengan nilai Standardized Coefficients Beta sebesar .252, bila dibandingkan dengan dimensi Confucian Work Dynamism, dengan nilai Standardized Coefficients Beta sebesar .227. Sementara itu, pada dimensi Integration dan Moral Discipline menunjukkan nilai signifikan sebesar .158 dan .081, dimana p > .05, maka dapat diketahui bahwa dimensi Integration dan Moral Discipline tidak signifikan, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh pada dimensi Integration dan Moral Discipline terhadap workplace well-being. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara workplace well-being dan Chinese value pada karyawan keturunan Chinese. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara workplace well-being dan Chinese value. Selain itu, berdasarkan hasil koefisien korelasi yang bernilai positif, maka hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai dari workplace well-being, maka semakin tinggi juga nilai dari Chinese value, dan begitu sebaliknya, semakin rendah nilai dari workplace well-being, maka semakin rendah juga nilai dari Chinese value. Adapun berdasarkan analisis tambahan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa apabila melihat seberapa besar pengaruh dari masing-masing dimensi Chinese value terhadap workplace well-being, dapat disimpulkan bahwa hanya terdapat dua dimensi, yaitu dimensi Confucian Work Dynamism (CVS-II) dan Human-Heartedness (CVS-III), yang secara signifikan berpengaruh terhadap workplace well-being. Lebih lanjut, dari kedua dimensi tersebut, disimpulkan juga bahwa dimensi Human-Heartedness (CVS-III) memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap workplace well-being, dibandingkan dengan dimensi Confucian Work Dynamism (CVS-II). 5.2 Diskusi 5.2.1 Diskusi Hubungan Antara Workplace Well-Being dan Chinese Value pada Karyawan Keturunan Chinese Hasil analisis utama dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara workplace well-being dan Chinese value pada karyawan keturunan Chinese. Hasil pada penelitian ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siu, Lu, dan
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
Cheng (2003 dalam Siu et al., 2005) yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara nilai kerja pada Chinese dan work well-being di tempat kerja. Selain itu, hasil penelitian ini juga serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lu et al. (2011) yang juga menunjukkan bahwa nilai kerja pada Chinese berhubungan secara positif dengan work well-being di tempat kerja. Berdasarkan hasil analisis tambahan, yang melihat pengaruh dari masing-masing dimensi Chinese value terhadap workplace well-being, didapatkan hasil bahwa dari keempat dimensi Chinese value, hanya terdapat dua dimensi yang memiliki nilai signifikan <.05, yaitu pada dimensi Confucian Work Dynamism (CVS-II) dan Human-Heartedness (CVS-III), maka dapat disimpulkan bahwa dimensi Confucian Work Dynamism (CVS-II) dan HumanHeartedness (CVS-III) secara signifikan berpengaruh terhadap workplace well-being. Lebih lanjut, dari kedua dimensi tersebut, apabila dilihat dari nilai Standardized Coefficients Beta yang diperoleh, maka dimensi Human-Heartedness (CVS-III) memiliki pengaruh yang paling besar terhadap workplace well-being, bila dibandingkan dengan dimensi Confucian Work Dynamism (CVS-II). Lebih lanjut, dimensi Confucian Work Dynamism (CVS-II) dalam penelitian ini dikatakan menjadi salah satu dari dua dimensi Chinese Value Survey yang dapat mempengaruhi workplace well-being, sehingga dapat disimpulkan bahwa karyawan keturunan Chinese yang dapat merefleksikan etika kerja berdasarkan ajaran-ajaran Confucian di tempat kerja dapat mempengaruhi workplace well-being dari karyawan tersebut. 5.2.2 Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari masih terdapat beberapa keterbatasan dan kekurangan dalam penelitian ini, diantaranya adalah peneliti menggunakan metode non-random/non-probability sampling sebagai metode pengambilan sampel, sehingga tidak semua anggota populasi mendapatkan peluang yang sama untuk menjadi sampel penelitian, serta peneliti juga menggunakan teknik incidental sampling atau accidental sampling, dimana pemilihan responden hanya didasarkan pada ketersediaan atau kemudahan dalam mengakses responden, sehingga teknik ini memiliki kelemahan, yaitu hasil yang diperoleh tidak dapat digeneralisir pada populasi secara keseluruhan, dan kemungkinan responden yang terpilih tidak benarbenar merepresentasikan populasi. Selanjutnya, saat peneliti menyebarkan instrumen alat ukur, peneliti tidak mendapatkan izin dari organisasi atau perusahaan untuk menyebarkan instrumen alat ukur secara langsung kepada responden, sehingga peneliti hanya dapat menitipkan sejumlah instrumen alat ukur kepada salah satu karyawan dari organisasi atau perusahaan tersebut,
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
maka peneliti tidak benar-benar bisa mengontrol pengisian instrumen alat ukur tersebut. Hal tersebut mengakibatkan terdapat beberapa data yang tidak dapat diolah karena tidak lengkapnya data identitas diri responden, tidak lengkap dalam mengisi pernyataan item, dan adanya responden yang tidak sesuai dengan karakteristik penelitian. Selain itu, peneliti menyebarkan instrumen alat ukur kepada karyawan keturunan Chinese yang bekerja pada organisasi yang memiliki karakteristik berbeda-beda, sehingga memiliki kebijakan dan kondisi kerja yang berbeda pula, yang pada akhirnya akan mempengaruhi variabel workplace well-being yang diteliti, dimana kondisi kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi workplace well-being pada karyawan (Page, 2005). 5.3 Saran Berdasarkan diskusi yang telah dijelaskan, peneliti mengajukan saran-saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya, dan juga untuk organisasi atau perusahaan yang akan menggunakan hasil penelitian ini. 5.3.1 Saran Metodologis 1.
Berbeda dengan penelitian ini, pada penelitian selanjutnya dilakukan dapat pada satu organisasi atau perusahaan atau berbagai organisasi atau perusahaan dengan karakteriktik yang sama, dimana organisasi atau perusahaan tersebut memiliki banyak karyawan keturunan Chinese, sehingga memiliki kebijakan dan kondisi kerja yang sama.
2.
Berbeda dengan penelitian ini, pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan perbandingan antara karyawan keturunan Chinese dan karyawan yang bukan keturunan Chinese dalam satu organisasi atau perusahaan. Hal tersebut dapat dilakukan untuk memperkaya hasil penelitian.
3.
Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya menggunakan alat ukur yang telah memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang sudah baik.
5.3.2 Saran Praktis Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti memberikan beberapa saran praktis untuk organisasi atau perusahaan yang memiliki karyawan keturunan Chinese, yaitu : 1. Berdasarkan hasil penelitian tambahan, bila melihat seberapa besar pengaruh dari masing-masing dimensi Chinese value terhadap workplace well-being, dapat disimpulkan bahwa hanya terdapat dua dimensi, yaitu dimensi Confucian Work Dynamism (CVS-II) dan Human-Heartedness (CVS-III), yang secara signifikan berpengaruh terhadap
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
workplace well-being. Selain itu, dari kedua dimensi tersebut, disimpulkan juga bahwa dimensi Human-Heartedness (CVS-III) memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap workplace well-being, dibandingkan dengan dimensi Confucian Work Dynamism (CVSII). Oleh karena itu, peneliti menyarankan kepada pihak organisasi atau perusahaan yang memiliki banyak karyawan keturunan Chinese, untuk tetap menjaga keharmonisan kerja dan kohesivitas diantara karyawan, sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sosial di tempat kerja. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyediakan ruangan khusus untuk karyawan, sehingga semua karyawan dapat melakukan hal bersama, seperti: ruangan untuk makan siang dan karaoke bersama. 2. Sebaiknya organisasi atau perusahaan lebih memperhatikan perihal toleransi antar budaya agar karyawan memiliki kesempatan yang sama terlepas dari budaya yang dianut oleh karyawan tersebut. 3. Menurut Conrad (dalam Danna dan Griffin, 1999) karyawan menghabiskan satu per tiga harinya untuk bekerja dan berada di tempat kerja dalam waktu yang lama. Selain itu, Ip (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang menghabiskan sebagian besar waktu produktif mereka di tempat kerja. Oleh karena itu, peneliti menyarankan kepada pihak organisasi atau perusahaan untuk lebih memperhatikan kondisi lingkungan kerja, hubungan antara karyawan dengan lingkungan di tempat kerja, baik hubungannya dengan atasan maupun dengan karyawan lainnya, maupun kebijakan-kebijakan yang diberikan, sehingga dapat meningkatkan rasa sejahtera yang dirasakan karyawan di tempat kerja. DAFTAR PUSTAKA Bond, Michael Harris. (1988). Finding Universal Dimensions of Individual Variation in Multicultural Studies of Values: The Rokeach and Chinese Value Surveys. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 55, No. 6, 1009-1015. Cohen, J., Cohen, P., West, S. G., & Aiken, L. S. (2003). Applied Multiple Regression/Correlation Analysis for the Behavioral Sciences (3rd Ed.). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Danna, Karen., & Griffin, Ricky W. (1999). Health and well-being in the workplace: A review and synthesis of the literature. Journal of Management, 25(3), 357–384. Dawis, A. (2010). Orang Indonesia Tionghoa: Mencari Identitas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
Fan, Ying. (2000). A Classification of Chinese Culture. Cross Cultural Management, 7:2, 310. Hofstede, Geert. (1980). Culture’s Consequences – International Differences in Work-Related Values. London: Sage Publications. Ip, Po-Keung. (2009). Developing a concept of workplace well-being for greater China. Springer Science+Business Media B.V, 91, 59-77. Kumar, R. (2005). Research Methodology: A Step-By-Step Guide For Beginners. London: Sage Publications. Lu, Luo., Kao, Shu-fang., Siu, Oi-Ling., & Lu, Chang-Qin. (2011). Work Stress, Chinese Work Values, and Work Well-Being In The Greater China. The Journal of Social Psychology, 151 (6), 767-783. Mac Millan English Dictionary for Advance Learners. (2002). International Student Edition. London: Mac Millan Publishing Co. Matthews, Barbara Marshall. (2000). The Chinese Value Survey: A Interpretation of Value Scales and Consideration of Some Preliminary Results. International Education Journal, Vol.1, No. 2. Oishi, S., Diener, E., Lucas, R. E., & Suh, E. (1999). Cross-Cultural Variations in Predictors of Life Satisfaction: Perspectives from Needs and Values. Personality and Social Psychology Bulletin, 25, 980-990. Ongkowijoyo, David. (2011). Hubungan antara Kebahagiaan dan Nilai-Nilai pada Masyarakat Tionghoa di Indonesia. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Page, K. (2005). Subjective Wellbeing in the Workplace. Unpublished Honours thesis, Deakin University, Melbourne, Australia. Page, Kathryn M ., & Vella-Brodrick, Dianne A. (2008). The ‘what’, ‘why’ and ‘How’ of employee well-being: A new model. Springer Science+Business Media B.V. Ralston, David A., Gustafson, David J., Elsass, Priscilla M., Cheung, Fanny., & Terpstra, Robert H. (1992). Eastern Values: A Comparison of Managers in the United Stated, Hong Kong, and People’s Republic of China. Journal of Applied Psychology, Vol. 77, No. 5, 664-671. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Revida, Erika. (2006). Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cina dengan Pribumi di Kota Medan Sumatera Utara. Jurnal Harmoni Sosial, Vol.1, No.1.
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013
Sawitri, Dewi Wening. (2013). Hubungan antara Perceived Organizational Support dan Workplace Well-Being pada Pekerja Pabrik. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Schwartz, Shalom H. (2006). Basic Human Values: Theory, Methods, and Applications. The Hebrew University of Jerusalem. Siu, Oi-Ling., Spector, Paul E., Cooper, Cary L., & Lu, Chang-qin. (2005). Work Stress, SelfEfficacy, Chinese Work Values, and Work Well-Being in Hong Kong and Beijing. International Journal of Stress Management, Vol. 12, No. 3, 274-288. Soepardi, Jane., et al. (2011). Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia-Pusat Data dan Informasi. Suh, E., Diener, E., Oishi, S., & Triandis, H.C. (1998). The Shifting Basis of Life Satisfaction Judgments Across Cultures: Emotions Versus Norms. Journal of Personality and Social Psychology, 74, 482-493. Suryadinata, Leo. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Wong, Chak-Keung Simon., & Chung, Kam-Ho Manson. (2003). Work Values of Chinese Food Service Managers. International Journal of Contemporary Hospitality Management.
Hubungan Antara ..., Kurona Moulisa, FPsi UI, 2013