HUBUNGAN ANTARA WORK FAMILY CONFLICT SELF-EFFICACY DAN MARITAL SATISFACTION PADA IBU DEWASA MUDA YANG BEKERJA Octharina Nur Rakhmawati Tri Iswardani A.
Fakultas Psikologi UNIVERSITAS INDONESIA
ABSTRAK Salah satu hal yang mempengaruhi marital satisfaction adalah work family conflict. Keberhasilan seseorang dalam mengatasi work family conflict bergantung pada work family conflict selfefficacy. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara work family conflict selfefficacy dan marital satisfaction dengan menggunakan metode kuantitatif dan korelasional. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah Work Family Conflict Self-Efficacy Scale (WFCSES) untuk mengukur work family conflict self-efficacy dan Couples Satisfaction Index (CSI) untuk mengukur marital satisfaction. Hasil analisis data yang diperoleh dari 60 responden menunjukkan koefisien korelasi 0,1 yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction. Kata kunci: marital satisfaction; pernikahan; work family conflict self-efficacy. One of the factors that influence marital satisfaction is work family conflict. People who success to solve their work family conflict is depended on work family conflict self-efficacy. The purpose of this research is to find correlation between work family conflict self-efficacy and marital satisfaction by using quantitative and correlational methods. Work family conflict selfefficacy are measured by Work Family Conflict Self-Efficacy Scale (WFC-SES) and marital satisfaction are measured by Couples Satisfaction Index (CSI). The result from 60 subjects show that there is no significant correlation between work family conflict self-efficacy and marital satisfaction with coefficient correlation 0,1. Key words: marital satisfaction; marriage; work family conflict self-efficacy.
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
LATAR BELAKANG Kehidupan keluarga dan pernikahan merupakan hal yang penting bagi setiap individu, karena individu belajar berinteraksi sosial melalui keluarganya dan untuk membentuk sebuah keluarga diperlukan sebuah pernikahan. Pernikahan biasanya terjadi pada saat seseorang berada pada tahap perkembangan dewasa muda. Individu yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda memiliki hasrat yang menggebu dalam menempuh pendidikannya di bangku perguruan tinggi, mengejar karir untuk masa depan mereka, dan menikah (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Bagi dewasa muda yang menikah akan mengalami transisi kepada kehidupan rumah tangga yang dapat membawa perubahan besar dalam fungsi seksual, rencana hidup, hak dan tanggung jawab, keterikatan, dan loyalitas (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Masalah yang dihadapi oleh wanita dewasa muda yang menikah menurut Papalia, Old, dan Feldman (2008) adalah bahwa sebagian wanita dewasa muda yang menikah mungkin putus asa oleh beban keuangan ketika menjadi orang tua dan kesulitan mengombinasikan pengasuhan dengan pekerjaan. Untuk mengatasi masalah keuangan, tidak sedikit wanita yang kemudian memilih untuk bekerja. Data dari beberapa tahun berturut-turut memberi sebuah indikasi bahwa jumlah wanita bekerja di Indonesia mengalami suatu peningkatan sejak tahun 1980-an (Tambunan, 2012). Perkembangan ini dikarenakan era pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang mendorong peningkatan pendapatan masyarakat perkapita yang pesat. Proporsi pekerja wanita dibandingkan laki-laki pada tahun 1990 tercatat sekitar 30,5 persen, dan pada tahun 2006 bertambah menjadi 34,3 persen (Tambunan, 2012). Sedangkan jumlah pekerja wanita di Indonesia mencapai sekitar 40,74 juta jiwa, dengan jumlah pekerja pada usia dewasa muda sekitar 25 juta jiwa (Tambunan, 2012). Para wanita memilih untuk bekerja karena mereka mendapatkan beberapa dampak positif dari pekerjaan mereka. Ferree (1976, dalam Edwards & Demo, 1991) menjelaskan bahwa gaji yang didapatkan oleh para wanita dari pekerjaannya dapat digunakan sebagai tambahan pendapatan, membuat mereka lebih mandiri dalam finansial, lebih bebas dalam mengambil keputusan yang menyangkut keuangan keluarga. Christine, Oktorina, dan Mula (2010) menyatakan bahwa alasan wanita yang memilih bekerja di jaman modern ini bukan karena tuntutan kebutuhan ekonomi rumah tangga semata, namun juga karena para wanita memiliki
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
keinginan untuk aktualisasi diri di masyarakat sejalan dengan ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh di bangku pendidikan. Namun ternyata tidak hanya dampak-dampak positif yang bisa didapatkan saat wanita memilih untuk bekerja, berbagai dampak negatif juga akan didapatkan. Salah satunya seperti yang dikemukakan oleh Christine, Oktorina, dan Mula (2010) yaitu keputusan para wanita yang telah menikah untuk bekerja mengakibatkan sulitnya pembagian waktu antara tuntutan pekerjaan dan keluarga. Sulitnya menyeimbangkan urusan pekerjaan dan keluarga tersebut dapat menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga atau yang dikenal dengan istilah work family conflict, dimana urusan pekerjaan mengganggu kehidupan keluarga dan atau urusan keluarga mengganggu kehidupan pekerjaan (Christine, Oktorina, & Mula, 2010). Work family conflict konflik harus diatasi karena jika tidak akan berdampak pada aspek lain dari kehidupan seseorang. Netemeyer, Boles, dan McMurrian (1996) menunjukkan hasil penelitian bahwa konflik peran antara keluarga dan pekerjaan yang terjadi dapat menyebabkan salah satunya penurunan kepuasan pernikahan (marital satisfaction). Padahal kepuasan pernikahan (marital satisfaction) adalah hal yang penting bagi individu yang telah menikah. Rini dan Retnaningsih (2007) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan (marital satisfaction) penting karena tidak adanya kepuasan pernikahan dapat menyebabkan perceraian, konflik dan hal-hal lain yang tidak diinginkan. Kepuasan pernikahan (marital satisfaction) dapat digunakan sebagai salah satu kriteria yang dapat mempengaruhi kesuksesan dalam pernikahan yang diinginkan oleh pasangan yang telah menikah (Rini & Retnaningsih, 2007). Nagaraja, Rajamma, dan Reddy (2012) juga mengemukakan bahwa selama beberapa dekade terakhir, sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa ketiadaan kepuasan pernikahan (marital satisfaction) dapat mempengaruhi penyesuaian dan perkembangan kepribadian anak. Zainah, Nasir, Hashim, & Yusof (2012) juga menyatakan bahwa kepuasan pernikahan (marital satisfaction) adalah aspek yang penting untuk diteliti karena merupakan penilaian secara keseluruhan mengenai kondisi pernikahan seseorang dan merupakan gambaran dari fungsi dan kebahagiaan pernikahan seseorang. Levenson (1995) mengatakan bahwa hal yang paling penting dalam melihat kepuasan pernikahan (marital satisfaction) adalah kemampuan pasangan dalam mengatasi konflik. Kemampuan mengatasi konflik salah satunya dapat dilihat melalui self-efficacy yang dimiliki seseorang dalam hal ini adalah dewasa muda yang telah menikah. Bandura (1986)
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimilikinya dalam menyelesaikan suatu tugas atau melakukan sesuatu. Besar kecilnya selfefficacy individu terhadap work family conflict yang dialaminya dapat berpengaruh terhadap bagaimana dirinya nanti mengatasi dan mengelola konflik tersebut (Bandura, 1986). Baghban, Malekiha, dan Fatehizadeh (2010) juga berpendapat bahwa self-efficacy dapat digunakan untuk mengelola konflik seperti work family conflict yang terjadi pada ibu dewasa muda karena memenuhi tanggung jawab dalam keluarga dan pekerjaan. Self-efficacy juga dapat membantu mengurangi dampak negatif dari work family conflict seperti penurunan kepuasan hidup, kepuasan pernikahan, dan kepuasan pekerjaan (Baghban, Malekiha & Fatehizadeh, 2010). Dari penjelasan di atas, peneliti ingin meneliti hubungan antara work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction pada ibu dewasa muda yang bekerja. TINJAUAN TEORITIS Kepuasan Pernikahan (Marital Satisfaction) Kepuasan pernikahan (marital satisfaction) adalah suatu pengalaman subjektif, suatu perasaan yang berlaku dan suatu sikap, dimana semua itu didasarkan pada faktor dalam diri individu yang memengaruhi kualitas yang dirasakan dari interaksi dalam pernikahan (Pinsof & Jay, 2005). Menurut Hendrick dan Hendrick (1992) kepuasan pernikahan (marital satisfaction) merupakan evaluasi yang dilakukan oleh pasangan suami istri terhadap hubungan pernikahan mereka, apakah memuaskan atau tidak. Dari kedua pengertian sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa kepuasan pernikahan (marital satisfaction) adalah suatu pengalaman, perasaan, sikap, dan evaluasi seseorang terhadap interaksi yang terjadi dalam hubungan pernikahan. Menurut Fowers dan Olson (1989) terdapat beberapa aspek dalam pernikahan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan pernikahan (marital satisfaction). Aspek-aspek tersebut antara lain communication (komunikasi), leisure activity (kegiatan waktu luang), religious orientation (orientasi keagamaan), conflict resolution (resolusi konflik), financial management (manajemen keuangan), sexual orientation (orientasi seksual), family and friends (keluarga dan teman), children and parenting (anak dan gaya pengasuhan), personality issues (isu kepribadian), dan egalitarian role (pembagian peran). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan (marital satisfaction) antara lain tingkat pendidikan, banyaknya waktu yang dihabiskan bersama pasangan, lama
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
pernikahan, gaya komunikasi, hubungan seksual, jumlah dan usia anak, status dalam pekerjaan, dan pembagian peran dalam hubungan pernikahan (Zainah dkk., 2012). Guo dan Huang (2005, dalam Zainah dkk., 2012) menyatakan bahwa faktor demografi seperti usia, gender, pendidikan, jumlah anak, dan kondisi kesehatan juga dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan (marital satisfaction). Work Family Conflict Self-Efficacy Work family conflict self-efficacy merupakan sebuah konstruk yang terdiri dari konstruk work family conflict dan konstruk self-efficacy. Peneliti terlebih dahulu akan memaparkan konstruk yang pertama yaitu mengenai work family conflict. Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa adanya harapan untuk dapat memenuhi berbagai peran dalam pekerjaan dan keluarga dapat membuat seseorang mengalami konflik peran (role conflict). Konflik peran (role conflict) yang terjadi dalam pekerjaan dan keluarga tersebut dibagi menjadi dua yaitu workfamily conflict dan family-work conflict (Cinamon, 2003). Menurut Cinamon (2003) work-family conflict adalah konflik yang terjadi karena tanggung jawab pekerjaan mengganggu tanggung jawab keluarga, sedangkan family-work conflict adalah konflik yang terjadi karena tanggung jawab dalam keluarga mengganggu tanggung jawab dalam pekerjaan. Konflik yang mencakup work-family conflict dan family-work conflict dikenal dengan istilah work family conflict (Cinamon, 2003). Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan work family conflict sebagai sebuah bentuk pertentangan atau konflik peran dari pekerjaan dan keluarga yang dapat menekan seorang individu. Setelah pemaparan tentang work family conflic, peneliti akan memaparkan konstruk yang kedua yaitu self-efficacy. Bandura (1986) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimilikinya dalam menyelesaikan suatu tugas atau melakukan sesuatu. Besar kecilnya self-efficacy individu terhadap work family conflict yang dialaminya dapat berpengaruh terhadap bagaimana dirinya nanti mengatasi dan mengelola konflik tersebut (Bandura, 1986). Self-efficacy yang digunakan untuk mengatasi work family conflict yang dialami tersebut disebut work family conflict self-efficacy. Dengan kata lain, work family conflict self-efficacy adalah keyakinan seseorang dalam mengatasi konflik peran yang muncul dari pekerjaan dan keluarga yang dapat menekannya (Cinamon, 2006). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi work family conflict self-efficacy seseorang adalah besar kecilnya keluarga, usia anak, banyaknya waktu yang dihabiskan untuk bekerja di
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
luar rumah, kemampuan mengatur waktu, dan tingkat dukungan masyarakat atau sosial yang berdampak pada work family conflict (Bohen & Viveros-Long, 1981; Keith & Schafer, 1980; Pleck et al., 1980, dalam Hennessy, 2005). Faktor-faktor lain yang juga dapat mempengaruhi work family conflict self-efficacy seseorang adalah work family conflict self-efficacy, work-family conflict, family-work conflict, job satisfaction, marital satisfaction, work stress, dan family stress (Bohen & Viveros-Long, 1981; Keith & Schafer, 1980; Pleck et al., 1980, dalam Hennessy, 2005). Tahap Perkembangan Dewasa Muda Dewasa muda merupakan salah satu tahapan dalam perkembangan kehidupan manusia yang terjadi pada saat seorang individu berusia antara 20 sampai 40 tahun (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Perkembangan fisik pada masa dewasa muda merupakan puncak kesehatan, kekuatan, energi, dan daya tahan sehingga individu yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda memiliki hasrat yang menggebu dalam menempuh pendidikannya di bangku perguruan tinggi, mengejar karir untuk masa depan mereka, dan memiliki keinginan untuk hidup berumah tangga (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Perkembangan kognitif dewasa muda berbeda dengan perkembangan kognitifnya saat masih anak-anak dan remaja. Dewasa muda melakukan beberapa percakapan yang berbeda, memahami materi yang lebih rumit, dan menggunakan pengalaman mereka yang lebih luas untuk memecahkan masalah praktis
(Papalia, Old, & Feldman, 2008). Perkembangan
psikososial yang dialami oleh dewasa muda merupakan waktu perubahan yang dramatis dalam hubungan personal. Dewasa muda akan mulai mencari keintiman emosional dan fisik dalam hubungan dengan teman sebaya atau pasangan romantis. Mayoritas dewasa muda memiliki teman,namun mereka memiliki waktu yang semakin terbatas untuk dihabiskan bersama temanteman mereka daripada sebelumnya. Pertemanan pada wanita dewasa muda lebih intim daripada pria dewasa muda (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Papalia, Old, dan Feldman (2008) juga menyatakan bahwa dewasa muda adalah masa transisi dari remaja ke dewasa yang merupakan masa-masa seorang individu untuk lebih terbuka dan berorientasi pada pendidikan, pernikahan, dan dunia kerja atau pencapaian karir bagi masa depan mereka. Bagi dewasa muda yang menikah akan mengalami transisi kepada kehidupan rumah tangga yang dapat membawa perubahan besar dalam fungsi seksual, rencana hidup, hak dan tanggung jawab, keterikatan, dan loyalitas (Wallerstein & Blakeslee, 1995, dalam Papalia,
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
Old, & Feldman, 2008). Kepuasan dalam pernikahan sangat berkaitan dengan bagaimana cara pasangan tersebut berkomunikasi, membuat keputusan, dan mengatasi konflik (Brubaker, 1993, dalam Papalia, Old, & Feldman, 2008). Pasangan dewasa muda yang telah menikah juga memiliki beberapa tugas perkembangan yang meliputi tiga hal yaitu kematangan fisiologi yang akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan seksual, kemampuan mengelola tekanan dan konflik yang terjadi dalam hubungan keluarga, dan melaksanakan peran mereka masing-masing dengan baik agar harapan-harapan mereka dalam hubungan pernikahan dapat tercapai (Duval & Miller, 1985). METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini tergolong ke dalam applied research, karena hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur dan masukan bagi penelitian-penelitian lainnya. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian korelasional, karena ingin mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu antara variabel work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction. Berdasarkan jenis pengumpulan informasi, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kuantitatif, karena ingin mengetahui gambaran umum hubungan antara dua variabel yaitu antara variabel work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction yang kemudian hasilnya dapat digeneralisasi ke dalam populasi. Penelitian ini termasuk ke dalam desain penelitian non-experimental, karena tidak terdapat manipulasi terhadap responden, tidak melakukan randomisasi, dan tidak ada kontrol yang ketat terhadap variabel bebas yang diteliti. Sampel Penelitian Sampel pada penelitian ini berjumlah 60 orang yang merupakan ibu dewasa muda, memiliki minimal seorang anak, dan memiliki pekerjaan lain selain menjadi ibu rumah tangga. Peneliti memilih sampel dewasa muda karena pada masa ini individu mulai memilih dan mempersiapkan karir, membangun hubungan dekat seperti persahabatan, pernikahan, dan memiliki keluarga sendiri. Karakteristik lain dari sampel pada penelitian ini adalah memiliki tingkat pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dan berdomisili di wilayah Jabodetabek. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah non-probability sampling, dimana tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi responden
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
penelitian (Kumar, 2005). Penelitian ini menggunakan non-probability sampling jenis accidental sampling, karena pengambilan sampel didasari atas kemudahan menemukan sampel namun tetap disesuaikan dengan kriteria sampel penelitian. Alat Ukur Penelitian Work family conflict self-efficacy. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur work family conflict self-efficacy pada penelitian ini adalah Work Family Conflict Self-Efficacy Scale (WFC-SES). WFC-SES dibuat oleh Cinamon pada tahun 2003 untuk melihat hubungan antara self-efficacy dan work family conflict. WFC-SES pertama kali dibuat dan dikembangkan dengan bahasa Yahudi dan telah diuji di Israel. Alat ukur WFC-SES kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris. WFC-SES mengukur seberapa besar self-efficacy seseorang dalam mengatasi work-family conflict dan family-work conflict yang dia alami. Untuk mengukur self-efficacy, alat ukur WFC-SES memfokuskan pada tingkah laku yang berhubungan dengan work family conflict (Hennessy, 2005). Alat ukur WFC-SES berbentuk kuesioner yang terdiri dari 10 item. Ke 10 item tersebut terdiri dari dua subskala yaitu work-family conflict self-efficacy dan family-work conflict selfefficacy, dan masing-masing subskala diwakili oleh 5 item. Item nomor 1, 3, 6, 9, dan 10 mengukur work-family conflict self-efficacy (WFC-SE), sedangkan untuk item nomor 2, 4, 5, 7, dan 8 mengukur family-work conflict self-efficacy (FWC-SE). Salah satu contoh item dalam WFC-SES adalah “How confident are you that you could fulfill your job responsibilities without letting them interfere with your family responsibilities?”. Responden diminta menjawab itemitem tersebut dengan memilih salah satu skala yang ada (Hennessy, 2005). Skala yang digunakan terdiri dari 10 skala likert yaitu 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9 dimana skala 0 mewakili “sangat tidak percaya diri” dan semakin besar nilainya semakin percaya diri, hingga skala 9 yang mewakili “sangat percaya diri” dalam mengatasi konflik yang terjadi di pekerjaan dan keluarga (Hennessy, 2005). Work Family Conflict Self-Efficacy Scale (WFC-SES) kemudian diadaptasi dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia melalui beberapa proses antara lain melakukan expert judgement dan back translate. Contoh salah satu item dalam WFC-SES yang telah diadaptasi adalah “Seberapa besar kepercayaan diri Anda dalam memenuhi tanggung jawab pekerjaan tanpa membiarkan hal tersebut mengganggu tanggung jawab Anda dalam keluarga?”. Adaptasi yang dilakukan tanpa mengurangi atau menambah jumlah item dari alat ukur asli, namun peneliti mengubah skala likert yang digunakan dalam pemilihan jawaban. Awalnya, alat ukur WFC-SES
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
menggunakan 10-skala likert yang kemudian diubah oleh peneliti menjadi 6-skala likert, dengan alasan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa 6-skala likert memiliki diskriminasi dan reliabilitas yang tinggi. Teknik skoring untuk alat ukur WFC-SES ini adalah dari skor 1 hingga 6, dimana skor 1 mewakili sangat tidak percaya diri dengan pernyataan hingga skor 6 yang mewakili sangat percaya diri dengan pernyataan. Skor total dari work family conflict self-efficacy diperoleh dengan menjumlahkan skor dari ke-10 item soal. Semua item dalam WFC-SES diinterpretasikan berdasarkan teknik skoring di atas tanpa ada item yang skornya dibalik (reverse), karena dari 10 item tersebut tidak ada item yang unfavorable. Setelah melakukan adaptasi alat ukur WFC-SES, peneliti kemudian melakukan uji reliabilitas. Hasil uji reliabilitas yang telah dilakukan menunjukkan bahwa WFC-SES memiliki reliabilitas yang tinggi dengan nilai koefisien alpha sebesar 0,895 yang artinya item-item dalam WFC-SES konsisten dalam mengukur konstruk work family conflict self-efficacy. Marital satisfaction. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur marital satisfaction dalam penelitian ini adalah Couples Satisfaction Index (CSI) yang dibuat oleh Funk dan Rogge pada tahun 2007. Alat ukur CSI merupakan skala untuk mengukur kepuasan dalam hubungan yang sedang dijalani oleh seseorang. Alat ukur CSI mengukur aspek-aspek kepuasan hubungan seperti komunikasi, kegiatan waktu luang, konflik, dan kepribadian. Alat ukur CSI merupakan hasil adaptasi dari berbagai skala yang mengukur kepuasan pernikahan yaitu DAS (Dyadic Adjustment Scale), MAT (Marital Adjustment Test), QMI (Quality of Marriage Index), RAS (Relationship Assessment Scale), KMS (Kansas Marital Satisfaction Scale), SMD (Semantic Differential), CPQ (Communication Pattems Questionnaire), LAS (Love Attitudes Scale), dan EPQ (Eysenck's Personality Questionnaire). Alat ukur CSI terdiri dari 32 item yang mengukur kepuasan dalam hubungan. Salah satu item dalam CSI adalah “Please indicate the degree of happiness, all things considered, of your relationship”. Dari analisis IRT yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa ke 32 item dari CSI sangat efektif untuk mengukur kepuasan hubungan dalam pernikahan. Sedangkan untuk skala, alat ukur CSI mempunyai variasi skala dan format pilihan jawaban (Funk & Rogge, 2007). Couples Satisfaction Index (CSI) juga diadaptasi dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia melalui beberapa proses yaitu dengan melakukan expert judgement dan back translate
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
terlebih dahulu. Adaptasi yang dilakukan terhadap CSI dilakukan tanpa mengurangi atau menambah jumlah item dari alat ukur asli yang berjumlah 32 item. Salah satu contoh item pada CSI adalah “Manakah dari derajat kebahagiaan yang paling mewakili keadaan hubungan Anda dengan pasangan?”. Selain mempertahankan jumlah item, peneliti juga mempertahankan skala likert yang digunakan dalam pemilihan jawaban pada CSI yaitu 6-skala likert. Teknik skoring untuk alat ukur CSI ini adalah dari skor 1 hingga 6, dimana skor 1 mewakili sangat tidak bahagia hingga skor 6 yang mewakili sangat bahagia. Skor total dari marital satisfaction diperoleh dengan menjumlahkan skor dari ke-32 item soal. Dalam alat ukur CSI, tidak semua item diinterpretasikan berdasarkan teknik skoring di atas, namun terdapat beberapa item yang teknik skoringnya harus dibalik (reverse), karena item-item tersebut merupakan item yang unfavorable. Item-item CSI yang termasuk ke dalam item unfavorable adalah item nomor 2, 3, 4, 5, 10, 15, 26, 28, 30, dan 32. Hasil uji reliabilitas yang telah dilakukan menunjukkan bahwa CSI memiliki nilai koefisien alpha sebesar 0,959 yang artinya item-item dalam CSI konsisten dalam mengukur konstruk marital satisfaction. Dari hasil uji reliabilitas diketahui bahwa terdapat satu item yang memiliki internal consistency yang rendah yaitu item nomor 13. Oleh sebab itu, peneliti memutuskan untuk menghapus satu item tersebut untuk menaikkan nilai reliabilitas alat ukur. Sehingga jumlah item dari CSI yang awalnya 32 item menjadi berjumlah 31 item. Nilai reliabilitas CSI setelah satu item tersebut dihapus naik menjadi 0,963. Metode Pengolahan Data Metode-metode pengolahan data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Distribusi Frekuensi: pada penelitian ini, statistik deskriptif yang digunakan adalah distribusi frekuensi dan perhitungan persentase yang bertujuan untuk melihat secara umum gambaran dari sampel penelitian atau untuk mengolah data kontrol dan mengolah skor total dari masing-masing data kuesioner. b. Korelasi: menurut Gravetter dan Wallnau (2007), korelasi adalah teknik statistik untuk mengukur dan menggambarkan besar dan arah hubungan antara dua variabel. Korelasi yang digunakan pada penelitian ini adalah korelasi Pearson, karena ingin menentukan hubungan antara dua variabel yang berskala interval.
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
c. Z-Score dan Standard Deviasi: Z-score adalah skor standard yang menggunakan mean sampel sebagai titik nol dan menggunakan standard deviasi sebagai unit pengukuran. Dengan menggunakan standard deviasi maka hasil pengukuran terhadap satu orang responden dapat diperbandingkan dengan responden lain. Dengan kata lain, z-score dapat digunakan untuk mengetahui posisi seseorang di dalam kelompoknya. HASIL PENELITIAN Distribusi Frekuensi Sampel Peneliti akan memaparkan distribusi frekuensi sampel sebelum membahas analisis data dari variabel work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction. Distribusi frekuensi sampel terdiri dari usia, tingkat pendidikan, usia pernikahan, jumlah anak, pekerjaan, lama bekerja, pendapatan perbulan, dan jam bekerja perminggu. Berikut adalah tabel distribusi frekuensi sampel pada penelitian ini: Tabel 1. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Gambaran Umum Usia Tingkat Pendidikan Usia Pernikahan Jumlah Anak Pekerjaan Lama Bekerja Pendapatan (Perbulan) Jam Bekerja (Perminggu)
Frekuensi (%) 20-30 th 43,3 %, 21-40 th 56,7 %. SMA 35 %, diploma 23,3 %, sarjana 41,7 %. <5 th 30 %, 5-10 th 50 %, >10 th 20 %. 1 anak 48,3 %, 2 anak 38,3 %, 3 anak 13,4 %. PNS 31,7 %, Non PNS 68,3 %. <5 th 43,3 %, 5-10 th 36,7 %, >10 th 20 %. <1 jt 5 %, 1-2,5 jt 55 %, 2,6-5 jt 35 %, >5 jt 5 %. 10-30 jam 20 %, 31-40 jam 60 %, 41-50 jam 20 %.
Analisis Data Work family conflict Self-Efficacy. Setelah peneliti melakukan penghitungan skor total dari masing-masing responden, peneliti memperoleh nilai z-score yaitu -3,57 hingga 1,69. Zscore yang diperoleh kemudian digunakan untuk mengelompokkan tingkat work family conflict self-efficacy menjadi tiga, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Berikut tabel tingkat dari work family conflict self-efficacy yang diperoleh: Tabel 2. Tingkat Work family conflict Self-Efficacy (N=60)
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
Tingkat Work family Frekuensi Persentase (%) conflict Self-Efficacy Tinggi 41 orang 68,3 % Sedang 14 orang 23,3 % Rendah 5 orang 8,4 % Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat work family conflict self-efficacy yang tinggi. Marital Satisfaction. Dari hasil pengolahan data, peneliti memperoleh nilai z-score variabel marital satisfaction yaitu -3,56 hingga 1,14. Z-score yang diperoleh kemudian digunakan untuk mengelompokkan tingkat marital satisfaction menjadi tiga, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Berikut tabel tingkat dari marital satisfaction yang diperoleh: Tabel 3. Tingkat Marital Satisfaction (N=60) Tingkat Frekuensi Persentase (%) Marital Satisfaction Tinggi 43 orang 71,7 % Sedang 15 orang 25 % Rendah 2 orang 3,3 % Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat marital satisfaction yang tinggi. Korelasi antar variabel. Untuk mengetahui hubungan antara variabel work family conflict self-efficacy dan variabel marital satisfaction, peneliti melakukan penghitungan korelasi menggunakan korelasi Pearson (Pearson Product Moment Correlation) karena kedua variabel dalam penelitian ini berskala interval. Hasil penghitungan korelasi antara variabel work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan. Nilai korelasi antara variabel work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction adalah 0,1. Berikut adalah tabel korelasi antar variabel: Tabel 4. Korelasi Antar Variabel (N=60) Variabel Work family conflict selfefficacy
Marital satisfaction
Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-
Work family conflict self-efficacy 1
Marital satisfaction 0,1 0,445
60 0,1
60 1
0,445
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
tailed) N 60 60 Dari tabel diatas diperoleh koefisien determinasi sebesar 0,12 yaitu 0,01 yang berarti sebesar 1 % variabel work family conflict self-efficacy dapat diprediksi oleh variabel marital satisfaction. Selain tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel, hasil pengolahan data di atas juga menunjukkan derajat hubungan antara kedua variabel yaitu work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction yang sangat kecil sehingga tidak terdapat hubungan yang signifikan antara work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction pada ibu dewasa muda yang bekerja. PEMBAHASAN Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction pada ibu dewasa muda yang bekerja. Hasil ini ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi 0,1 yang mengindikasikan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Penelitian-penelitian sebelumnya, salah satunya yang dilakukan oleh Cinamon pada tahun 2003 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction, namun pada penelitian ini hal tersebut tidak dapat dibuktikan. Ada beberapa hal yang kemungkinan mempengaruhi perbedaan hasil tersebut. Alasan pertama adalah jumlah responden dari penelitian ini yang hanya berjumlah 60 orang. Padahal pada penelitian sebelumnya, jumlah responden mencapai lebih dari 100 orang. Sampel yang diperoleh oleh peneliti hanya berjumlah 60 orang dikarenakan kesalahan peneliti dalam menentukan tempat pengambilan sampel. Peneliti memilih lokasi yang kurang representatif untuk karakteristik sampel penelitian, yaitu memilih kebun binatang sebagai lokasi pengambilan sampel ibu dewasa muda yang bekerja. Sehingga peneliti mengalami kesulitan dalam mencari responden. Kesulitan lain dikarenakan peneliti menyebar kuesioner pada saat jam bekerja yang membuat responden dalam penelitian ini yang merupakan seorang ibu dewasa muda yang bekerja menjadi sulit ditemukan. Sedikitnya jumlah responden ibu dewasa muda yang bekerja pada penelitian ini kemungkinan dapat mempengaruhi hasil penelitian. Sampel dari penelitian yang dilakukan oleh Cinamon adalah wanita yang berusia antara 20 hingga 50 tahun. Sedangkan pada penelitian ini, sampel yang digunakan berusia 20 sampai 40 tahun. Perbedaan rentang usia tersebut, kemungkinan juga dapat menyebabkan perbedaan hasil
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
pada kedua penelitian. Perbedaan usia dapat menyebabkan perbedaan dalam perkembangan fisik, psikologis, kognitif, dan psikososial. Menurut Papalia, Old, dan Feldman (2008) seorang individu yang berusia 50 tahun tidak lagi berada pada masa dewasa muda, sehingga memiliki tugas-tugas perkembangan yang berbeda dengan individu yang berada pada masa dewasa muda. Kemungkinan lain yang membuat hasil penelitian ini tidak signifikan adalah karena peneliti melakukan kesalahan dalam adaptasi alat ukur, khususnya untuk alat ukur Work Family Conflict Self-Efficacy Scale (WFC-SES). Pada alat ukur WFC-SES yang asli, skala yang digunakan adalah 10-skala likert. Tapi pada penelitian ini, peneliti mengubah 10-skala likert tersebut menjadi 6-skala likert dengan alasan 6-skala likert lebih akurat dalam mendiskriminasi dan memiliki reliabilitas yang lebih tinggi. Namun, karena konstruk
work family conflict self-efficacy ingin mengukur tingkat
keyakinan seseorang, sehingga akan lebih tepat jika menggunakan 10-skala likert karena pilihan tingkat skala lebih banyak. Selain itu, pembuat alat ukur WFC-SES yaitu Cinamon juga memiliki alasan mengapa menggunakan 10-skala likert. Alasan Cinamon menggunakan 10-skala likert dalam alat ukur WFC-SES adalah agar responden dapat memilih seberapa yakin atau percaya diri ia mampu mengatasi konflik peran yang dialaminya dalam 10 pilihan skala. Kesalahan dalam adaptasi alat ukur yang lain adalah peneliti kurang memperhatikan dimensi-dimensi dari alat ukur Couples Satisfaction Index (CSI). Peneliti tidak menganalisis lebih dalam mengenai dimensi-dimensi dari marital satisfaction yang digunakan dalam alat ukur. Kesalahan tersebut menyebabkan peneliti tidak bisa melihat seberapa besar pengaruh dari tiap-tiap dimensi marital satisfaction pada alat ukur CSI terhadap work family conflict selfefficacy. Selain itu, peneliti juga membuang salah satu item yaitu item no. 13 dari CSI karena memiliki validitas yang rendah. Seharusnya peneliti tidak perlu membuang item tersebut, tetapi cukup merevisi kalimat dari item tersebut. Pada penelitian sebelumnya tersebut, Cinamon melakukan kontrol terhadap usia anak dari sampel penelitian yakni harus berusia di bawah 18 tahun. Kontrol terhadap usia anak dari sampel penelitian tidak dilakukan oleh peneliti pada penelitian ini, padahal usia anak dari sampel merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi marital satisfaction. Zainah dkk. (2012) menyatakan bahwa jumlah dan usia anak dapat mempengaruhi marital satisfaction. Dalam penelitian ini, peneliti hanya melakukan kontrol terhadap jumlah anak tanpa melakukan kontrol terhadap usia anak, hal tersebut kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian.
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
Penelitian juga menunjukkan bahwa wanita yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi lebih merasa tidak bahagia dalam hubungan pernikahannya (Zainah dkk., 2012). Pada penelitian ini, karakteristik dari sampel yang diambil adalah minimal memiliki tingkat pendidikan SMA. Namun pada penelitian ini, sebagian besar sampel yaitu sebanyak 25 orang atau sebesar 41,7% memiliki tingkat pendidikan sarjana yang kemungkinan juga dapat membuat hasil penelitian menjadi tidak signifikan jika didasarkan pada teori sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Guo dan Huang (2005, dalam Zainah dkk., 2012) menemukan bahwa faktor demografi seperti usia, gender, pendidikan, jumlah anak, kehadiran anak laki-laki, dan kondisi kesehatan dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan (marital satisfaction). Pada penelitian ini, peneliti tidak dapat mengontrol semua faktor-faktor demografi tersebut. Faktor demografi yang menurut peneliti sulit untuk dilakukan kontrol adalah kondisi kesehatan dari sampel. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, peneliti memperoleh kesimpulan yang dapat menjawab masalah penelitian, yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction pada ibu dewasa muda yang bekerja. SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi yang telah dilakukan, saran-saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1. Dalam proses pengumpulan data hendaknya kuesioner di sebar ke beberapa tempat dan mencari lebih banyak sampel penelitian. Pemilihan tempat pengambilan data harus diperhatikan apakah tempat yang dipilih cukup representatif untuk karakteristik sampel penelitian. 2. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan non experimental sehingga memiliki keterbatasan dalam alat ukur atau kuisioner yang digunakan. Oleh karena itu penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan desain yang berbeda, misalnya pengambilan data tidak hanya dilakukan dengan menggunakan kuesioner, tetapi juga dapat menggunakan wawancara. 3. Memperdalam analisis terhadap dimensi dari masing-masing variabel penelitian yaitu dimensi dari work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction.
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
4. Perlu berhati-hati dalam melakukan adaptasi alat ukur, khususnya untuk skala dan itemitem dalam alat ukur. Karena kesalahan dalam proses adaptasi dapat mempengaruhi hasil penelitian. 5. Pada penelitian ini, peneliti hanya melihat korelasi atau hubungan antara dua variabel saja. Pada penelitian selanjutnya dapat menggunakan multiple regresion agar data yang didapatkan lebih lengkap mengenai hubungan antar variabel dan dapat mengetahui variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. KEPUSTAKAAN Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action. New Jersey: Prentice Hall. Christine, Oktorina, M., & Mula, I. (2010). Pengaruh konflik pekerjaan dan konflik keluarga terhadap kinerja dengan konflik pekerjaan keluarga sebagai intervening variabel (studi pada dual career couple di Jabodetabek). Jurnal manajemen dan kewirausahaan, vol.12, pp. 121-132 Cinamon, G.R. (2003). Work-family conflict self-efficacy and career plans of young adults. In press. Cinamon, G.R. (2006). Anticipated work-family conflict: Effects of gender, self-efficacy, and family background. The career development quarterly, vol. 54, pp. 202-215 Duvall, E.M., & Miller, B.C. (1985). Marriage and family development. New York: Harper and Row. Edwards, J.N., & Demo, D.H. (1991). Marriage and Family in Transition. Boston: Allyn and Bacon. Fowers, B.J., & Olson, D.H. (1989). Enrich marital inventory: A discriminant validity and cross validity assessment. Journal of marital and family therapy, vol. 15, pp. 65-79 Funk, J.L., & Rogge, R.D. (2007). Testing the ruler with item response theory: Increasing precision of measurement for relationship satisfaction with the Couples Satisfaction Index. Journal of family psychology, vol. 21, pp. 572-583 Gravetter F.J., & Wallnau L.B. (2009). Statistic for the Bihavioral Sciences. Belmont: Wadsworth. Greenhaus, J.H., & Beuteli, N.J. (1985). Souree of conflict between work and family roles. Academy Management Review, vol. 10, pp. 77-88 Hendrick, S. & Hendrick, C. (1992). Romantic love. Journal of community & applied social Psychology, vol. 5, pp. 68-69 Hennessy, D.K. (2005). Work-family conflict self-efficacy: A scale validation study. Thesis: Faculty of the Graduate School University of Maryland. Higgins C., & Duxbury L. (2000). Part-time work for women: Does it really help balance work and family?. Journal of human resource management, vol. 39, pp. 17–32 Kumar, R. (2005). Research methodology (2nd ed.). London: Sage Publisher.
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013
Levenson, H. (1995). Time-limited dynamic psychotherapy: A guide to clinical practice. New York: Basic Books. Netemeyer, R.G., Boles, J.S., & McMurrian, R. (1996). Development and validation of work– family conflict and family–work conflict scales. Journal of applied Psychology, vol. 81 (4), pp. 400-410 Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2008). Human Development (9th ed.). New York: The McGraw Hill Companies. Pinsof, W.M., & Jay, L.L. (2005). Family Psychology the art of the science. New York: Oxford University Press. Rini, Q.K., & Retnaningsih. (2007). Kontribusi self-disclosure pada kepuasan perkawinan pria dewasa awal. Jurnal penelitian Psikologi Universitas Gunadarma, vol. 2 (12), pp. 157163 Tambunan, T. (2012). Wanita pengusaha di UMKM di Indonesia: Motivasi dan kendala. Jakarta: LPFE Trisakti University. Zainah A.Z., Nasir, R., Hashim, R.S, & Yusof, N.M. (2012). Effects of demographic variables on marital satisfaction. Asian social science journal, vol. 8, pp. 46-49
Hubungan antara..., Octharina Nur Rakhmawati, FPSI UI, 2013