Hubungan Antara Pola Asuh Permisif Dengan Intensi Bullying Pada SiswaSiswi Kelas Vlll SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta Imanda Arief Rahmawan Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying pada Siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas Vlll SMP 4 Muhammadiyah Yogyakarta sebanyak 125 orang terdiri dari empat kelas. Metode pengumpulan data yang digunakan metode skala, yaitu skala pola asuh permisif dan intensi bullying. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi (r) = -0,206, koefisien determinan (r2) = 0,042 dengan kesalahan p = 0,021 (p<0,05). Hasil ini menginformasikan bahwa tingginya intensi bullying diikuti oleh rendahnya pola asuh permisif. Sebaliknya semakin rendah pola asuh permisif akan diikuti dengan tingginya intensi bullying. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini ditolak. Kata Kunci :, Intensi Bullying, Pola Asuh Permisif
Abstract This study aimed to determine the relationship between permissive parenting with the intention of bullying on students SMP Muhammadiyah Yogyakarta 4. The subjects were all students in grade 4 Vlll SMP Muhammadiyah Yogyakarta as many as 125 people, consisting of four classes. Data collection methods used method of scale, ie the scale of permissive parenting and bullying intentions. The data obtained were then analyzed using the techniques of the Pearson product moment correlation. The relationship is shown by the correlation coefficient (r) = -0.206, determinant coefficient (r2) = 0.042 p = 0.021 with errors (p <0.05). These results inform that the high intensity followed by low bullying permissive parenting. Conversely the lower permissive parenting will be followed by a high intensity of bullying. Based on these results the hypothesis is rejected. Keywords: intention of bullying and permissive parenting
Pendahuluan Sekolah seharusnya menjadi lingkungan aman, nyaman dan dapat mendukung siswa-siswi untuk berkembang secara mental, fisik, emosional, dan sosial (Woolfolk, 2009). Sekolah juga diartikan sebagai sarana untuk menimbah ilmu, wawasan serta menciptakan lingkungan pembelajaran bagi siswa-siswinya didukung oleh guru sebagai mediator untuk menyiapkan siswa-siswinya menjadi penerus bangsa dengan harapan siswa mampu bersaing serta menghasilkan karyakarya otentik dan berguna bagi bangsa Indonesia. Sekolah harus memiliki peraturan dan pengawasan yang konsisten agar tercipta kondisi yang kondusif bagi siswa untuk beraktivitas dan bermain di lingkungan sekolah. Kelalaian dalam menegakkan aturan dan pengawasan yang kurang konsisten akan menimbulkan masalah yang beragam. Berbagai macam permasalahan yang terjadi di sekolah diantaranya adalah tawuran, bolos sekolah, bermain di dalam kelas sampai dengan bullying. Brook (2011) menjelaskan bahwa anak melakukan lebih banyak pelanggaran aturan ketika anak berada di lingkungan yang penuh aturan atau tidak ada peraturan, tercermin dari beberapa kasus seperti anak-anak bolos sekolah, tawuran dan tindak kekerasan bullying. Hal itu diperkuat oleh Rigby (2002), menyatakan bahwa sekolah menjadi titik awal terjadinya bullying dan tidak diragukan lagi bahwa intimidasi terjadi di sekolah dan menyebabkan beberapa anak menderita, minimnya pengawasan dari sekolah, ketidakpedulian teman-teman dan kurangnya perhatian orang tua menjadi dugaan alasan meluasnya kecenderungan bullying . Bullying bukanlah fenomena yang baru dan masalah ini telah lama didiskusikan. Secara umum bullying adalah aktivitas sadar, disengaja dan keji yang bertujuan untuk melukai atau menanamkan ketakutan melalui ancaman agresi lebih lanjut dan menciptakan teror (Coloroso, 2003). Bowers, Smith, & Binney (Lee, 1994) menyatakan bullying tersistematis, terjadi berulang-ulang, dan mencakup berbagai tindakan yang menyakitkan. Kekuatan dan dominasi oleh pelaku bullying membuat korban dalam kondisi tertekan dan selalu dibayangbayangi rasa takut. Olweus (Krahe, 2005) menambahkan bullying adalah tindakan negatif yang diarahkan kepada seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu, bullying dianggap sebagai perilaku berkelanjutan yang berusaha mendapatkan kekuasaan dan dominasi atas yang lain. Kondisi ini akan terus terjadi di sekolah salah satunya karena keengganan dan pembiaran dari kelompok sebaya untuk memberikan informasi serta ketidakberanian korban untuk melaporkan kejadian bullying (Routledge, 2003). Beberapa penelitian tentang bullying telah dilakukan di berbagai negara, seperti penelitian Ross (Carter & Spencer 2006) pada tahun 1985 dimana perkiraan 15% pelajar sekolah di Norwegia terlibat dalam kasus bullying. Penelitian selanjutnya di Amerika dengan sampel sebanyak 609 pelajar sekolah hasilnya ada kenaikan yang signifikan dalam melakukan tindakan bullying. Sebanyak 50% pelajar melakukan tindakan bullying secara verbal (Carter & Spencer, 2006). Penelitian di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Siswati (2009) berkaitan dengan prosentase siswa yang mengalami bullying dan bertujuan untuk mengetahui gambaran dari bullying yang terjadi di SD Negeri
Semarang. Total sampel pada penelitian ini sebanyak 78 siswa dari kelas 3 sampai kelas 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 37,55% siswa menjadi korban bullying, di antaranya siswa yang mengalami intimidasi fisik sebanyak 42,5% dan yang mengalami intimidasi non fisik sebanyak 34,06%. Ada empat bentuk dari bullying yaitu fisik seperti menendang, memukul dan menganiyaya, bullying secara verbal seperti menghina, menggosip dan memberi nama ejekan pada korbannya, secera isyarat tubuh seperti mengancam, dengan gerakan-gerakan dan secara berkelompok seperti membentuk kolisi serta menghasut orang lain untuk mengucilkan seseorang (Rigby, 2002). Salah satu penyebab bullying adalah pola asuh keluarga. Keluarga seharusnya menjadi agen sosial bagi anak-anak muda. Orang tua, saudara dan pengasuh memberikan contoh pada anak bagaimana mengontrol emosi, berhadapan dengan konflik, mengatasi masalah dan mengembangkan keterampilan hidup lainnya (Susan dkk, 2009). Kesibukan bekerja membuat orang tua tidak memiliki cukup waktu untuk membina dan mengawasi anak. Minimnya pengawasan orang tua serta kurang pahamnya keluarga dalam mendidik, membuat anak kurang terkontrol atau tidak patuh sehingga anak sangat sulit diatur. Jika kondisi ini terus terjadi maka akan menimbulkan dampak yang negatif pada anak. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi munculnya bullying di sekolah diduga salah satunya adalah pola asuh permisif. Pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya dapat memberi makna yang ambigu (Hurlock, 1990). Orang tua permisif adalah orang tua yang menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri, hanya membuat sedikit batasan dan membiarkan anak memonitor aktivitas sendiri, namun orang tua tetap bersikap hangat, tidak mengontrol, dan tidak menuntut anak (Papalia dkk, 2009). Pola asuh permisif ini memberikan keluasaan kepada anak untuk mengekspresikan pendapat dan aktivitas yang diminati sementara orang tua tidak menuntut banyak kepada anak dan seolah-olah tidak terlibat didalamnya. Salah satu alasan adalah kesibukan orang tua, dampaknya anak yang dididik dengan pola asuh permisif cenderung kurang matang dan kurang memiliki kontrol diri sehingga anak sering melanggar norma serta kurang memiliki etika, dampaknya adalah anak akan membentuk perilaku dan karakter diri yang tidak stabil. Krahe (2005) menyatakan bahwa hubungan antara orang tua-anak yang renggang akan menghasilkan pola perilaku anti sosial. Kondisi anak yang tidak stabil akan sangat mudah dipengaruhi dan memunculkan beragam reaksi emosi (Susan dkk, 2009). Santrock (Siddiqah dan Helmi, 2005) menambahkan remaja yang kurang mampu menyesuaikan diri akan mengalami banyak masalah dan muncul frustasi dimana kondisi tersebut akan menyebabkan munculnya perilaku menyimpang pada siswa salah satunya adalah bullying. Intervensi orang tua dan sekolah sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim pembelajaran yang produktif. Orangtua bertanggung jawab dan memberikan dukungan positif agar anak tumbuh menjadi pribadi yang baik, sedangkan sekolah mempersiapkan program, metode dan aturan-aturan untuk perkembangan anak. Berdasarkan uraian permasalahan diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying pada siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta.
Sekolah ini memiliki tujuan melaksanakan kegiatan yang bersifat fardhu kifaya maupun fardhu‘ain, melaksanakan ajaran islam yang bersifat teori maupun praktek serta melaksanakan tata tertib secara konsiten. Sekolah ini memiliki visi mencetak siswa-siswinya bekepribadian muslim, cerdas, berprestasi dan berwawasan teknologi. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 21 September 2012 dan 22 September 2012 dengan dua guru BK didapatkan data adanya indikasi bullying pada siswa kelas Vlll seperti berkata kasar seperti “asu koe” dan mengejek temantemannya. Kemudian hasil wawancara dengan dengan mahasiswa BK yang sedang praktik di SMP Muhammadiyah 4 didapati data indikasi intensi bullying dalam bentuk verbal yaitu mengejek salah satu murid dengan panggilan-panggilan yang tidak menyenangkan seperti “gendut”. Selanjutnya hasil wawancara dengan tiga siswa SMP Muhammadiyah 4 didapati indikasi intensi bullying dalam bentuk fisik yaitu mencekik teman perempuannya, memukul dan mempermainkan sepatu salah satu temannya. Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 21 September 2012 dan 22 Sepetember 2012 dilokasi sekolah seperti kelas, kantin, taman dan tangga sekolah SMP Muhammadiyah 4 diperoleh data bahwa seorang siswa menunjukkan perilaku menyerang dengan cara mencekik dan menarik jilbab pada salah satu siswi, beberapa siswa terlihat merebut dan mempermainkan sepatu salah satu temannya dan mengganggu siswa lain didalam kelas. Dari penjelasan yang telah dipaparkan peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying pada siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara Pola Asuh Permisif dengan Intensi bullying.” 1.
Pengertian Intensi Bullying Intensi adalah suatu bentuk perilaku hingga pada saat ada kesempatan dan waktu yang memungkinkan untuk terciptanya aksi dari niat tersebut (Ajzen, 2005). Chaplin (2005) menambahkan intensi sebagai suatu perilaku yang disadari, sengaja dan atas kemauan sendiri, dengan kata lain intensi merupakan dorongan dalam diri atau niat sebelum terjadinya perilaku. Olweus (Flynt & Marton, 2006) mengartikan bullying sebagai suatu perilaku agresif yang diniatkan untuk menjahati atau membuat individu merasa kesusahan, terjadi berulang kali dari waktu ke waktu dan berlangsung dalam hubungan yang tidak terdapat keseimbangan kekuasaan atau kekuatan di dalamnya. Bullying adalah cara mengerikan dan kejam kepada individu atau kelompok yang membuat korbannya terjebak dalam kondisi memalukan dan menyakitkan sehingga korban merasa terancam sedangkan pelaku tidak menyadarinya (Tattum & Lee, 2004). Yayasan sejiwa (2008) menyatakan bullying merupakan suatu dimensi dimana terjadi penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan oleh seseorang atau sekelompok orang. Bullying merupakan tindakan yang menyalahi kekuatan dan kekuasaan yang bersifat merugikan orang lain baik secara fisik maupun psikis sehingga korban merasa di bawah tekanan dan cenderung tidak berdaya. Menurut Rigby (Astusti, 2008) bullying merupakan suatu hasrat untuk menyakiti yang diperlihatkan dalam aksi yang dapat menyebabkan penderitaan pada korbannya. Aksi ini dapat dilakukan oleh individu ataupun kelompok yang
lebih berkuasa, tidak bertanggung jawab dan dilakukan berulang kali dengan sengaja untuk menyakiti korban. Craig, Palper dan Atlas (2000), menambahkan bullying merupakan interaksi antara pelaku bullying (individu yang dominan) terhadap korban bullying (individu kurang dominan) dengan cara menunjukan perilaku agresif. Sullivan, dkk. (2005) mengartikan bullying sebagai serangkaian tindakan negatif dan agresif yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang terhadap orang lain dalam beberapa periode waktu tertentu. Murphy (2009) memandang bullying sebagai keinginan untuk menyakiti dan sebagian besar harus melibatkan ketidakseimbangan kekuatan serta orang atau kelompok yang menjadi korban adalah yang tidak memiliki kekuatan dan perlakuan ini terjadi berulang-ulang dan diserang secara tidak adil. Lee (2004) menyebutkan bullying adalah perilaku berkelanjutan yang berusaha mendapatkan kekuasaan dan dominasi atas yang lain. Selain itu Bowers, Smith, dan Binney (Lee, 2004) menyebutkan bullying terjadi secara tersistematis dan mencakup berbagai tindakan yang menyakitkan. Kekuatan dan dominasi oleh pelaku bullying membuat korban dalam kondisi tertekan dan selalu dibayang-bayangi rasa takut. Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa intensi bullying merupakan niat yang dimiliki individu atau sekelompok orang untuk menyakiti, membuat individu lain merasa kesusahan, tindakan yang akan berupaya untuk mendapatkan kekuasaan dan dominasi atas orang lain yang akan terjadi secara berulang-ulang serta dapat diprediksi mengakibatkan kerugian pada korbannya baik secara fisik maupun psikis sehingga korban merasa tidak berdaya, berada dalam kondisi tertekan dan selalu dibayang-bayangi rasa takut sehingga korban yang tidak memiliki kekuatan akan menimbulkan efek trauma dalam kurun waktu yang cukup lama. 2. a. b. c. d.
a. b. c. d. e.
Aspek-Aspek Bullying Rigby (2002) mengemukakan empat aspek bullying antara lain yaitu : Bentuk fisik yaitu menedang, memukul, dan menganiaya orang yang dirasa mudah dikalahkan dan lemah secara fisik. Bentuk verbal yaitu menghina, menggosip, dan memberi nama ejekan pada korbannya. Bentuk isyarat tubuh yaitu mengancam dengan gerakan dan gertakkan Bentuk berkelompok yaitu membentuk koalisi dan membujuk orang untuk mengucilkan seseorang. Craig (2006) menambahkan bahwa aspek-aspek dari bullying adalah: Panggilan tertentu yaitu pelaku memberikan nama panggilan yang tidak menyenangkan kepada korbannya. Menggoda yaitu pelaku menganggu korban (biasanya perempuan) menggunakan kata-kata rayuan. Menyerang, mendorong dan memukul yaitu pelaku melakukan tindakan fisik yang cenderung ingin melukai korbannya. Pemalakan harta dan benda pelaku memaksa korbannya untuk menyerahkan uang dan barangnya Surat kaleng pelaku memberi pesan ancaman kepada korbannya.
f. g. h.
Gossip individu atau kelompok menyebarkan rumor/keburukan pada korbannya Diabaikan atau ditinggalkan korban tidak diikutsertakan pada kegiatankegiatan tertentu atau sengaja dijauhi. Serangan fisik, ras, agama, dan suku menggunakan kata-kata kasar bernada menghina kepada korbannya tentang agama, ras, suku dan agama.
Dari aspek-aspek yang diungkapkan Craig (2006) hanya melengkapi dari aspek-aspek bullying yang dikemukakan oleh Rigby (2002), sehingga peneliti akan membuat skala intensi bullying Berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Rigby (2002) tersebut diatas, maka peneliti akan membuat Skala intensi bullying dengan aspek-aspek yang sesuai yaitu bullying fisik, verbal, isyarat tubuh dan berkelompok.
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bullying Susan, dkk. (2009) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying yaitu : a. Faktor individu. Individu yang bersifat pencemas, berfisik lemah, cacat fisik, memiliki harga diri rendah, kurang memiliki konsep diri yang kuat atau mudah dipengaruhi akan mudah menjadi korban bullying. b. Faktor teman sebaya. Tindakan bullying yang diterima dan adanya pembiaran dari teman-teman atas kejadian bullying dapat menyebabkan perilaku bullying meningkat. c. Faktor sekolah. Adanya senioritas, hukuman yang tidak tegas dan tidak konsisten pada pelaku dapat menyebabkan bullying meningkat. d. Faktor komunitas. Adanya tokoh yang menjadi acuan pelaku untuk menduplikasikan kemiripannya, biasanya individu mencontoh perilaku negatif tokoh idolanya. Astuti, (2008) menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying yaitu : a. Perbedaan kelas ekonomi, agama, gender, etnisitas atau rasisme Pada dasarnya, perbedaan (terlebih jika perbedaan tersebut bersifat ekstrim) individu dengan suatu kelompok, jika tidak toleransi oleh anggota kelompok tersebut, maka dapat menjadi penyebab bullying. b. Senioritas. Perilaku bullying seringkali juga justru diperluas oleh siswa sendiri sebagai kejadian yang bersifat lazim. Pelajar yang akan menjadi senior
menginginkan suatu tradisi untuk melanjutkan atau menunjukkan kekuasaan, penyaluran dendam, iri hati atau mencari popularitas. c. Tradisi senioritas. Senioritas yang salah diartikan dan dijadikan kesempatan atau alasan untuk melakukan bullying terhadap junior tidak berhenti dalam suatu periode saja. Hal ini tak jarang menjadi peraturan tak tertulis yang diwariskan secara turun menurun kepada tingkatan berikutnya. d. Keluarga yang tidak rukun. Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran ayah, ibu menderita depresi, kurangnya komunikasi, antara orang tua dan anak, perceraian atau ketidakharmonisan orang tua dan ketidakmampuan sosial ekonomi merupakan penyebab tindakan agresi yang signifikan. e. Situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif Bullying juga dapat terjadi jika pengawasan dan bimbingan etika dari para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten. f. Karakter individu atau kelompok seperti 1) Dendam atau iri hati, karena pelaku merasa pernah diperlakukan kasar dan dipermalukan sehingga pelaku menyimpan dendam dan kejengkelan yang akan dilampiaskan kepada orang yang lebih lemah atau junior pada saat menjadi senior. 2) Adanya semangat ingin menguasai korban dengan kekuasaan fisik dan daya tarik seksual, yaitu keinginan untuk memperlihatkan kekuatan yang dimiliki sehingga korban tidak berani melawannya. 3) Untuk meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sepermainan (peers), yaitu keinginan untuk menunjukkan eksistensi diri, mencari perhatian dan ingin terkenal. g. Persepsi nilai yang salah atas perilaku korban. Korban seringkali merasa dirinya memang pantas untuk diperlakukan demikian (bully), sehingga korban hanya mendiamkan hal tersebut terjadi berulang kali padanya. Coloroso (2006) menambahkan salah satu faktor yang mempengaruhi bullying yaitu faktor keluarga. Pola asuh keluarga dan orang tua yang diterapkan seperti pola asuh permisif dan otoriter yang dapat memicu anak untuk memberontak. Faktor-faktor yang telah dijelaskan diatas hanya sebagai pelengkap dari faktor-faktor penyebab terjadinya bullying yaitu individu yang terlihat lemah, hubungan teman sebaya yang jelek, perbedaan kelas ekonomi, tradisi senioritas, keluarga yang tidak rukun serta situasi sekolah yang tidak harmonis. Dari pemamparan faktor-faktor tersebut diatas, Penelitian ini mengacu pada faktorfaktor yang dikemukakan oleh Coloroso(2006) yaitu pola asuh permisif yang diduga memicu anak untuk memberontak. 1.
Pengertian Pola Asuh.
Brooks (2011) mendefiniskan bahwa pola asuh adalah sebuah proses dimana orang tua sebagai individu yang melindungi dan membimbing dari bayi sampai dewasa serta orang tua juga menjaga dengan perkembangan anak pada seluruh periode perkembangan yang panjang dalam kehidupan anak untuk memberikan tanggung jawab dan perhatian yang mencakup : a. Kasih sayang dan hubungan dengan anak yang terus berlangsung b. Kebutuhan material seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal c. Displin yang bertanggung jawab, menghindarkan diri dari kecelakaan dan kritikan pedas serta hukuman fisik yang berbahaya d. Pendidikan intelektual dan moral e. Persiapan untuk bertanggung jawab sebagai orang dewasa f. Mempertanggungjawabkan tindakan anak pada masayarakat luas. Berdasarkan pemaparan definisi pengasuhan di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh merupakan suatu proses perlakuan yang diaplikasikan oleh orang tua kepada anak yang terbentuk oleh budaya dan lingkungan sekitar yang berlangsung seumur hidup, terikat, berproses, setulus hati dan penuh kasih sayang. 2.
Jenis-jenis Pola Asuh. Menurut Baumrind (Borntstein, 2002) ada tiga tipe pola asuh yaitu : a. Authoritian. Orang tua yang menerapkan pola asuh authoritian berlaku sangat ketat dan mengontrol anak dengan mengajarkan standar dan tingkah laku. Pola asuh authoritian mengakibatkan kurangnya komunikasi dua arah, kurang harmonis atau kaku dan anak merasa terkekang sehingga menjadi cemas dan kurang aman dalam bergaul dengan lingkungan atau sebaliknya tumbuh menjadi anak yang agresif. b. Authoritative Orang tua yang menerapkan pola asuh authoriative memiliki aturan dan harapan yang jelas kepada anak, orang tua memadukan antara hadiah dan hukuman yang berhubungan dengan tingkah laku anak dengan jelas. Orang tua sangat menyadari tanggung jawab mereka sebagai figur otoritas, tetapi tanggap terhadap kebutuhan, keinginan dan kemampuan anak. Pola asuh ini memiliki aturan yang jelas, adil, fleksibel, harmonis dan penuh tanggung jawab sehingga terjalin komunikasi yang baik. c. Pola asuh permisif. Orang tua yang menerapkan pola asuh permisif melindungi anak-anak dengan tidak mengajarkan kepada anak untuk menghadapi konsekuensi dari tindakannya sendiri dengan tidak melakukan pembatasan dan pengawasan, selain itu juga orang tua memberi dukungan dan mendorong anak untuk sepenuhnya menentukan nasibnya sendiri. Berdasarkan pemaparan jenis pola asuh menurut Baumrind (Bornstein, 2002) tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa jenis pola asuh yaitu Authortian, Authoritative dan Permisif yang dapat diterapkan oleh orang tua kepada anak. Dari jenis-jenis pola asuh tersebut diatas maka peneliti akan mengungkap komponen pola asuh yang dikemukakan oleh Baumrind (Bornstein, 2002) sebagai variabel yang diduga mempengaruhi intensi bullying.
3.
Pengertian Pola Asuh Permisif Bee & Boyd (2007) mengartikan pola asuh permisif yaitu pola asuh yang di dalamnya ada kehangatan dan toleran terhadap anak, orang tua tidak memberikan batasan, tidak menuntut, tidak terlalu mengontrol dan cenderung kurang komunikasi. Hurlock (1980) menambahkan bahwa pola asuh permisif tidak memiliki konsekuensi, peraturan dan hukuman bagi anak atas perbuatannya serta pola komunikasi yang terjadi hanya satu arah saja yaitu dari anak karena orang tua hanya mengikuti saja. Coloroso (2006) menyatakan pola asuh permisif adalah sebuah keluarga yang tidak memiliki aturan yang kuat dan tidak konsisten, seperti ada ketegasan, namun beberapa waktu memperlihatkan perasaan dan emosi yang sehat padahal tidak konsisten diterapkan. Berndt, (1992). menyatakan pola asuh permisif terdiri dari dua jenis, yakni : a) Gaya pengasuhan permisif-tidak peduli adalah suatu pola dimana orang tua tidak terlibat dan cenderung membiarkan apapun yang diinginkan oleh anak. Hal ini nantinya akan mempengaruhi kecakapan perilaku sosial dan kurangnya pengendalian diri pada anak. Orang tua yang bersifat permisiftidak peduli cenderung kurang memperhatikan kegiatan yang dilakukan oleh anak. Seorang anak yang dididik dengan pola asuh permisif-tidak peduli ini akan cenderung tidak mandiri dan selalu ingin diperhatikan.. b) Orang tua yang bersifat permisif-memanjakan adalah suatu pola dimana orang tua terlalu khawatir dan ingin selalu terlibat namun tidak banyak menuntut atau mengendalikan serta tidak melarang anak untuk melakukan apa saja yang diinginkan, sehingga akibatnya kondisi diri anak tidak stabil terutama bila mengharapkan sesuatu yang diinginkan namun tidak tecapai. Seorang anak yang dididik dengan pola asuh permisif-memanjakan sangat tidak terkontrol ketika menginginkan sesuatu, cenderung akan membangkang bahkan bertindak agresi apabila keinginannya tidak tercapai. Hal ini akan terus terjadi pada saat anak menginginkan sesuatu dan menggunakan berbagai macam cara agar keinginannya terpenuhi. Coloroso (2006) menyatakan pola asuh permisif adalah sebuah keluarga yang tidak memiliki aturan yang kuat dan konsisten, seperti ada ketegasan, namun beberapa waktu memperlihatkan perasaan dan emosi yang sehat padahal tidak konsisten diterapkan. Pola asuh ini terbagi menjadi dua jenis yaitu : a. Struktur tidak konsisten : orang tua tidak tahu cara menciptakan sebuah struktur yang sehat, konsisten dan ada batas-batas, atau mungkin dalam sebuah keluarga yang otoriter dan permisif yang tidak konsisten sehingga anak takut dimarahi oleh orang tuanya, tetapi tidak tahu tindakan yang pas untuk mengatasinya dan anak merasa perannya ambigu. Orang tua dengan pola asuh ini cenderung terlibat dalam kehidupan anak-anaknya dan selalu berada di dekat anak untuk meringankan masalah dan menolong anak dari setiap kesulitan. Penelitian menunjukkan bahwa anak dengan pola asuh ini akan lebih rentan menghadapi penindasan dan cepat putus asa. b. Struktur menyingkirkan anak serta memaksa anak untuk mengatasi masalahnya sendiri : orang tua memiliki permasalahan pribadi dan terlalu sibuk dengan kehidupannya sendiri. Materi yang cukup namun tidak mendapat kasih sayang, perhatian, dan cuek. Anak dengan pola asuh ini
mengalami kesepian, kehilangan dan kesedihan. Hal ini tidak nampak secara fisik tetapi dalam hatinya rusak, putus asa dan sedih. Anak merasa tidak dicintai dan tersingkir serta merasa anak harus menyelesaikan permasalahannya sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun semua itu karena anak terabaikan oleh orang tuanya sehingga anak memunculkan pertahanan diri dengan cara berbohong dan memanipulasi guna memenuhi kebutuhannya. Coloroso (2006) menyatakan bahwa pola asuh permisif terbagi menjadi dua yaitu struktur yang tidak konsisten dan struktur yang menyingkirkan anak untuk mengatasi masalahnya sendiri. Berdasarkan pemaparan beberapa toko tersebut di atas mengenai pengertian pola asuh permisif, dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif menurut Bee & Boyd adalah pola asuh yang bersifat toleran, penuh kehangatan dan cenderung memberi kebebasan. Menurut Hurlock (1980) pola asuh permisif adalah inkonsistensi antara hukuman, hadiah yang diberikan kepada anak serta tuntutan yang dominan oleh anak kepada orang tua. Coloroso (2006) menyimpulkan pola asuh permisif adalah inkonistensi peraturan, ketegasan dan emosi. 4.
Karakteristik Pola Asuh Permisif Lima karateristik utama dari keluarga permisif menurut Coloroso (2006) yaitu : a) Hadiah dan hukuman diberikan tidak konsisten b) Tanggung jawab yang tidak konsisten : penerapan hukuman yang inkonsisten diberikan pada anak c) Ancaman dan penyuapan : bentuk tindakan orang tua digunakan untuk mengontrol perilaku anak. d) Perilaku didominasi oleh emosi : orang tua dan anak bertindak tanpa memikirkan konsekuensi yang akan muncul. e) Cinta memiliki banyak syarat : guna mendapatkan kasih sayang oleh orang tua, anak harus menyenangkan orang tua. Hurlock (Walgito, 2000) mengungkapkan karakterisik dari pola asuh permisif yaitu : a) b) c)
Peraturan yang tidak jelas dari orang tua kepada anaknya Hukuman tidak konsisten dijalankan Persepsi orang tua bahwa anak akan belajar dari kesalahan yang telah dilakukan. d) Tidak ada pemberian hadiah, karena social approval sudah cukup memuaskan. Berdasarkan penjelasan beberapa tokoh di atas mengenai karakteristik pola asuh permisif, dapat disimpulkan bahwa karakteristik pola asuh permisif menurut Coloroso (2006) adalah pemberian tanggung jawab, hadiah, penyuapan, ancaman, perilaku didominasi emosi, kasih sayang yang bersyarat dan hukuman yang tidak konsisten dijalankan. Hurlock (Walgito, 2000) menyimpulkan bahwa karakteristik pola asuh permisif adalah adanya ketidakjelasan peraturan, hukuman
yang tidak konsisten dijalankan, persepsi orang tua bahwa anak akan belajar dari kesalahan yang telah dilakukuan dan tidak ada pemberian hadiah.
Hipotesis Ada hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying
Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah siswa kelas Vlll SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta mahasiswa dengan jumlah subyek 125 orang Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode skala yaitu dengan skala intensi bullying akademik dan pola asuh permisif Analisis Data Metode analisis data dengan menggunakan teknik analisis product moment. Hasil Sebelum dilakukan uji hipotesis maka perlu dilakukan asumi terlebih dahulu. Uji asumsi yang digunakan adalah uji normalitas dan uji linieritas dengan hasil sebagai berikut:
variabel Intensi Bullying Pola Asuh Permisif
Tabel 1 Hasil Uji Normalitas Empirik M SD Min Maks 55,15 6,104 68,50 6,678
38 50
66 84
Hipotetik σ
µ
Min
Maks
12 12,5
60 62,5
24 25
96 100
Uji normalitas sebaran bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada perbedaan sebaran skor variabel yang dianalisis antara sampel dan populasi, dengan kata lain sebaran skor suatu variabel sama atau tidaknya sebaran “jika nilai p > 0,05 maka sebarannya normal, dan jika p < 0,05 maka sebarannya tidak normal”. Uji normalitas menggunakan teknik One Sample Kolmogorov – Smirnov. Uji normalitas sebaran ini dilakukan terhadap dua variabel penelitian, adapun hasil uji normalitas tersebut adalah sebagai berikut : a) Hasil uji normalitas sebaran variabel intensi bullying adalah normal, diproleh skor K-S Z = 1,096 dengan nilai p = 0,181 (p>0,05).
b) Hasil uji normalitas sebaran variabel pola asuh permisif adalah normal, di peroleh skor K-S Z = 0,698 dengan nilai p = 0,715 (p>0,05). Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa skor kedua skala tersebut mempunyai sebaran normal. Berdasarkan hasil kategorisasi variabel intensi bullying dapat diketahui sebagian besar subjek memiliki tingkat intensi bullying dalam kategori sedang yaitu sejumlah 108 siswa atau 86,4% dari 125 subjek penelitian. Berdasarkan norma kategorisasi dengan distribusi normal dapat disimpulkan bahwa kategorisasi skor subyek adalah sebagai berikut: Tabel 2 Kategorisasi Variabel Intensi Bullying Interval F % Kategori X < 428 17 13,6 Rendah 48 ≤ X < 72 108 86,4 Sedang X ≥ 72 0 0 Tinggi
Tabel 3 Kategorisasi Variabel Pola Asuh Permisif Interval F % Kategori X < 50 1 0,8 Rendah 50 ≤ X < 75 109 87.2 Sedang X ≥ 75 15 12 Tinggi 1.
Uji Asumsi Sebelum dilakukan analisis product moment dari Pearson, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang mencakup uji normalitas sebaran dan uji linieritas hubungan antar kedua variabel. a.
Uji Normalitas Uji normalitas sebaran bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada perbedaan sebaran skor variabel yang dianalisis antara sampel dan populasi, dengan kata lain sebaran skor suatu variabel sama atau tidaknya sebaran “jika nilai p > 0,05 maka sebarannya normal, dan jika p < 0,05 maka sebarannya tidak normal”. Uji normalitas menggunakan teknik One Sample Kolmogorov – Smirnov. Uji normalitas sebaran ini dilakukan terhadap dua variabel penelitian, adapun hasil uji normalitas tersebut adalah sebagai berikut : c) Hasil uji normalitas sebaran variabel intensi bullying adalah normal, diproleh skor K-S Z = 1,096 dengan nilai p = 0,181 (p>0,05). d) Hasil uji normalitas sebaran variabel pola asuh permisif adalah normal, di peroleh skor K-S Z = 0,698 dengan nilai p = 0,715 (p>0,05). Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa skor kedua skala tersebut mempunyai sebaran normal.
b.
Uji Linieritas Uji linieritas merupakan pengujian garis regresi antara variabel bebas dan variabel tergantung. Uji linieritas ini bertujuan untuk memastikan bahwa sebaran nilai variabel-variabel penelitian ini dapat ditarik lurus (linier) yang menunjukkan adanya hubungan yang linier antara variabel-variabel penelitian. Dalam penelitian ini pengujian linieritas hubungan dilakukan dengan menggunakan teknik analisis varian. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui linier atau tidaknya suatu hubungan adalah “jika p linearity lebih besar daripada 0,05 (p>0,05), maka hubungan antara kedua variabel tersebut adalah tidak linier, sebaliknya jika p linierity lebih kecil daripada 0,05 (p<0,05), maka hubungan antara kedua varaibel tersebut linier”. Hasil uji linieritas, pada tabel anova menunjukkan nilai F= 5,561 dengan p = 0,020 (p<0,05) maka hubungan kedua variabel dinyatakan linier. 2.
Uji Hipotesis Analisis data untuk mengetahui teknik korelasi antara variabel pola asuh permisif dengan intensi bullying menggunakan product moment dari Pearson. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa besarnya koefisien korelasi antara kedua variabel adalah r = -0,206 dengan nilai (p) = 0,021 (p<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying. Hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis yang telah diajukan sebelumnya, Berdasarkan hasil analisis diketahui pula bahwa besarnya koefesien korelasi antara kedua variabel tersebut adalah r = -0,206 dengan nilai (p) = 0,021 (p<0,05). Hal tersebut diatas terjadi karena teori yang digunakan dari hipotesis kurang mendukung, Subjek uji coba yang tidak serupa walaupun usia dan kelas subjek serupa namun lingkungan subjek uji coba tidak representatif dan alat ukur intensi bullying yang kurang handal yang berarti alat ukur tidak reliabilitas sehingga hipotesis yang diajukan oleh peneliti di tolak. Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif tidak terbukti mempengaruhi Intensi Bullying walaupun mayoritas subjek penelitian berada pada kategori sedang (86,4%), hal ini menunjukkan bahwa intensi bullying pada siswa kelas Vlll SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta dalam kategori sedang. Mayoritas pola asuh permisif pada subjek penelitian berada pada kategori sedang (87,2%), hal ini mengindikasikan bahwa ada dugaan faktor-faktor diluar pola asuh permisif yang mempengaruhi intensi bullying.
1. 2.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada hubungan antara intensi bullying dengan pola asuh permisif. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa variabel pola asuh permisif memberikan sumbangan efektif sebesar 4,2% terhadap variabel intensi
3.
bullying pada siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta sedangkan sisanya 95,8% faktor-faktor lain yang mempengaruhi intensi bullying. Berdasarkan kategorisasi kedua variabel penelitian dapat disimpulkan bahwa Intensi Bullying mayoritas subjek penelitian berada pada kategori sedang (86,4%), sedangkan pada variabel Pola Asuh Permisif, mayoritas subjek penelitian berada pada kategori sedang (87,2%).
Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan serta kesimpulan di atas dapat diajukan beberapa saran. 1.
Secara teoritis Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Keterbatasan penelitian ini yaitu hanya mengkaji pola asuh permisif, padahal masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi atau berperan terhadap intensi bullying di sekolah. Untuk itu penelitian selanjutnya yang tertarik melakukan penelitian mengenai intensi bullying, disarankan menggunakan faktor-faktor lain diluar pola asuh permisif seperti, faktor lingkungan, faktor media, faktor budaya, faktor teman sebaya dan faktor senioritas. Daftar Pustaka Astuti, P.R. 2008. Meredam Bullying: 3 cara Efektif Menanggulangi Kekerasan pada Anak. Jakarta: Grasindo. Anonim. 2008. Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan lingkungan sekitar anak. Jakarta: PT. Grasindo. Azwar, S. 1996. Tes Prestasi, edisi kedua. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2009. Penyusun Skala Psikologis. Edisi 1 cetakan Xll. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Bee, H. & Boys, D. 2007. The Developving Child. Eleventh Edition. USA : Paramount Publishing. Berndt, T. J. 1992. Child Development. USA : Harcourt Brace Javanovich Publisher. Bornstein, M. H. (Ed.). (2002). Handbook of Parenting: Practical Issues in Parenting (2nd ed., Vol. 5). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Baumrind, D. (1991). The Influence of Parenting Style on Adolescent Competence and Substance use. Journal of Early Adolescence, 11(1), 5695. Brooks, J. 2011. The Process of Parenting. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
80
Chaplin, J.P. 2009. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Pustaka. Coloroso, B. 2006. Penindas, Tertindas, dan penonton. Jakarta : PT SERAMBI ILMU SEMESTA Craig, D.2006. Bullying. England : Indevendence. Craig, W. M., Pepler, D. And Atlas, R. 2000. Observation of Bullying in the playgroup and in the Classroom. Journal of School Psychology International, Volume 21, 22-36. Djuwita, R, 2006. Masalah Tersembunyi Dalam Dunia Pendidikan Di Indonesia. Workshop Bullying. 29 April. Jakarta : Universitas Indonesia http://www.google.com/bullying/WEBSITE--Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. Duana. 2010. Hubungan antara Kecerdasan Emosi pada Remaja Siswa SMP dengan Intensitas Melakukan Bullying di sekolah. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakrta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Elsevier’s Science & Technology Rights Department in Oxford,UK. 2004.Bullying : Implication Classroom. Cheryl E.S. & Gery D.P.(editor). London : Educational Psychology Series. Flynt, S.W. & Marton, R.C. 2006. Alabama Elementary Principals Perception of Bullying. Education, 2, 187-191. Gini, G. 2004. Bullying in Italain School An Overview of Intervention Programs. School Psychology International, 25, 1, 106-106. Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga. Hurlock, E.B 1990. Perkembangan Anak. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. J.P. Chaplin, 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah: Dr. Kartini Kartono. Jakarta : PT RajaGrafindo http//www.google.co.id/bullying10/04/2012.
Wikepedia,
the
free
encyclopedia.htm
Kathleen Conn. 2004. Bullying an Harassment. USA : Association For Supervision and Devlopment Press. Krahe, B. 2005. Perilaku Agresif. Buku Panduan Psikologi S. 2003. Aggressive Behavior. Prelevance Estimation of School Bullying With the Olweus Bully/Victim Questionnare,X,29,239-268.
81
Lamborn, S. D., Mounts, N. S., Steinberg, L., & Dornbusch, S. M. (1991). Patterns of competence and adjustment among adolescents from authoritative, authoritarian, indulgent, and neglectful families. Child Development, 62,1049-1065. Lee, C. 2004. Preventing Bullying in School. London : Paul Chapman Magfirah, U. 2009. Hubungan Antara Iklim Sekolah dengan Kecenderungan Bullying. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Murphy, M. M. & Bannas. 2009. Dealing with Bullying. New York : Chelsea House. Olweus, D., & Solberg, M.E. 2003. Prevalence Estimation of School Bullying With the Olweus Bully/Victim Questionnaire. Jurnal of Education Psychology, 29,239-268. Papalia, D.E, Olds, S.W., & Feldman, R.D. 2011. Human Development (9th Ed.). New york: McGraw-Hill, Inc. Ponny R.A. 2008. Meredam Bullying. Jakrta : PT Grasindo. Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soestio, S. R. 2005. “Gencet-Gencet” di Mata Siswa/Siswi kelas 1 SMA : Naskah Kognitif Tentang Arti Skenario dan http://www.google.co.id/bullying/”Bullying” dalam dunia pendidikan (bagian 1) <
82
Saptriana, S. 2012. Hubungan Antara Kelekatan Aman Terhadap Orang Tua Dengan Kecenderungan Bullying. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Sarwendah. 2009. Hubungan Antara Intensitas Bermain Playstation Jenis Permainan Action Dengan Perilaku Bullying pada siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Skripsi ( tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan. Sejiwa. 2008. bullying “Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan lingkungan Sekitar anak”. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Siswati & Widayanti, C.G. 2009. Fenomena Bullying di sekolah Dasar Negeri di Semarang: Sebuah Studi Deskriptif. Jurnal Psikologi Undip 5(2) Siddiqah, L., & Helmi, A.F. 2005. Peran Emosi Malu Dan Rasa Bersalah terhadap Perilaku Agresif Pada Remaja. Jurnal Psikologi Sosial, 12, 29-56. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sullivan, K, Cleary, M. & Sullivan, G. 2005. Bullying in Secondary Schools. London : A SAGA publication. Susan. M. Dkk. 2009. Bullying Prevention and Intervention. Canada : The Guilford press. Susan M.S, Dorothy L.E, & Scott A.N. 2009. Bullying Prevention and Intervention. Canada : The Guildford Press. Utami. 2009. Hubungan antara Pola Asuh Otoriter dengan perilaku Bullying pada Siswa Sekolah Menegah. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Walgito, B. 2000. Peran Psikologi Indonesia. Yogyakrta : penerbit Yayasan Pembina Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Widiharto, CA. Sandjaja, SS., Eriany, P. 2008. Perilku Bullying Ditinjau dari Harga Diri Dan Pemahaman Moral Anak. IKIP PGRI. Semarang. Woolfolk, A. 2009. Education Psychology Active Learning Edition. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Yayasan Sejiwa. 2008. Bullying “Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak”. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.