HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI BODY IMAGE, TINGKAT KECUKUPAN GIZI DENGAN KELENTUKAN DAN DAYA TAHAN ATLET SENAM DI SEKOLAH ATLET RAGUNAN JAKARTA
YUSVITA SARI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Persepsi Body Image, Tingkat Kecukupan Gizi dengan Kelentukan dan Daya Tahan Atlet Senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013 Yusvita Sari NIM I14090031
ABSTRAK YUSVITA SARI. Hubungan antara Persepsi Body Image, Tingkat Kecukupan Gizi dengan Kelentukan dan Daya Tahan Atlet Senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. Di bawah bimbingan HADI RIYADI. Body image adalah gambaran mental, persepsi, pikiran dan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap ukuran tubuh, bentuk tubuh, dan berat tubuh yang mengarah kepada penampilan fisik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi body image, tingkat kecukupan gizi dengan kelentukan dan daya tahan atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sesctional study. Contoh diambil secara purposive dengan kriteria atau persyaratan bahwa contoh merupakan siswa-siswi SMP/SMA yang merupakan atlet senam, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi body image contoh dengan tingkat kecukupan energi (p=0.440) dan tingkat kecukupan protein (p=0.622). Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dan kelentukan yang signifikan dengan (p=0.028) namun, tidak terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan energi dan daya tahan dengan (p=0.620). Hubungan tingkat kecukupan protein dengan kelentukan dan daya tahan tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan (p=0.220) dan (p=0.361). Kata kunci: Body Image, Tingkat Kecukupan Energi, Tingkat Kecukupan Protein, Kelentukan, Daya Tahan, Atlet Senam
ABSTRACT YUSVITA SARI. Relationship Between Body Image Perception, Level Intake with Flexibility and Endurance Athletes in Gymnastic School Athletes Ragunan Jakarta. Supervised by HADI RIYADI. Body image is the mental picture, perceptions, thoughts and feelings that one has to body size, body shape, and weight of the body leading to physical appearance. The purpose of this study was to determine the relationship between the perception of body image, nutrition level with flexibility and endurance athlete in school gymnastics athletes ragunan Jakarta. The design of this research study sesctional cross. Samples are taken purposively with the criteria or requirements that instance is students of Junior / Senior High School is a gymnastics athlete. There was no significant relationship between the perception of body image with energy adequacy level (p = 0.440) and protein adequacy level (p = 0.622). There is a relationship between the level of energy sufficiency and flexibility are significant (p=0.028) however, there is no significant relationship between the level of energy sufficiency and endurance (p=0.620). Relationship with the level of adequacy of protein with flexibility and endurance there is no significant relationship (p=0.220) and (p= 0.361). Keywords: Body Image, Energy Adequacy, Protein Adequacy, flexibility, Endurance, Gymnastics Athletes
RINGKASAN YUSVITA SARI. Hubungan antara Persepsi Body Image, Tingkat Kecukupan Gizi dengan Kelentukan dan Daya Tahan Atlet Senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. Di bawah bimbingan HADI RIYADI Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi body image, tingkat kecukupan gizi dengan kelentukan dan daya tahan atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. Tujuan khusus pada penelitian ini adalah 1) mengkaji karakteristik umum contoh dan sosial ekonomi keluarga (usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, tingkat pendidikan contoh, tingkat pendidikan orang tua, pendapatan keluarga dan besar keluarga) 2) mengkaji persepsi body image dan status gizi atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta 3) mengkaji konsumsi pangan dan gangguan makan para atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta 4) mengkaji tingkat kecukupan energi dan zat gizi para atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta 5) mengkaji nilai dari kelentukan dan daya tahan para atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. 6) mengkaji hubungan persepsi body image, tingkat kecukupan gizi dengan kelentukan dan daya tahan atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta dengan pemilihan tempat dan contoh dilakukan secara purposive. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengukuran langsung dengan contoh dan menggunakan kuesioner. Data primer ini meliputi data karaktristik umum contoh (usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, tingkat pendidikan contoh, dan keadaan sosial ekonomi keluarga), persepsi terhadap body image, konsumsi pangan contoh (kebiasaan makan, gangguan makan, makanan yang dikonsumsi dari luar), dan data kelentukan sedangkan data sekunder meliputi data daya tahan yang diperoleh dari data hasil tes yang telah dilakukan pihak sekolah dan pihak MENPORA untuk mengetahui nilai daya tahan serta gambaran umum sekolah yang dijadikan sebagai lokasi penelitian. Data-data tersebut diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 for Windows. Selain itu dilakukan analisis korelasi dan uji beda dengan menggunakan software SPSS versi 16.0 for windows untuk melihat hubungan antara persepsi body image, tingkat kecukupan gizi dengan kelentukan dan daya tahan atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. Pada penelitian ini menggunakan contoh yang terdiri dari 19 orang atlet senam dengan jenis kelamin perempuan (57.9%) dan laki-laki (42.1%), untuk tingkat pendidikan dalam kategori SMA (36.8%) dan SMP (63.2 %). Sebagian besar dari keseluruhan contoh berada pada kelompok usia 13-15 tahun (63.2%), sedangkan kelompok usia kurang dari 13 tahun (5.3% ) dan lebih dari 15 tahun (31.6%). Berat badan dan tinggi badan contoh juga dikategorikan, kelompok berat badan kurang dari 45 kg (36.8 %) , 45-60 kg (57.9 %) dan kelompok berat badan lebih dari 60 kg (5.3 %), sedangkan untuk kategori tinggi badan kurang dari 145 cm (5.3 %), 145-160 cm (84.2 %) dan kelompok tinggi badan lebih dari 160 cm (10.5 %). Sebagian besar contoh memilki besar keluarga 5-6 orang anggota keluarga dengan persentase sebesar 47.4%, dengan keadaan ekonomi dalam
kategori sedang dan pendidikan terendah orang tua yaitu SMP serta pendapatan terendah kurang dari Rp 1.000.000/ bulan. Sebagian besar contoh memiliki persepsi body image negatif lebih banyak dibandingkan contoh yang memiliki persepsi body image positif. Contoh yang memiliki persepsi body image negatif sebanyak 78.9 %, sedangkan contoh yang memiliki body image positif sebanyak 21.1% dari keseluruhan contoh yang memilki status gizi normal. Konsumsi pangan contoh secara keseluruhan belum baik karena masih banyak dari contoh yang tidak memiliki kebiasaan makan malam dan makan siang dengan alasan untuk menurunkan berat badan sehingga diketahui ada 9 orang contoh yang memiliki gangguan makan (anoreksia nervosa) yang dilakukan dengan penyebaran kuesioner dengan 40 pertanyaan yang terkait dengan kejadian anoreksia nervosa dan wawancara langsung. Tingkat kecukupan energi contoh sebagian besar berada dalam kategori defisit berat (89.5%) dan kategori defisit sedang (10.5%). Tingkat kecukupan protein contoh sebagian besar berada dalam kategori defisit berat (63.2%), kategori defisit sedang (21.1%) dan kategori normal (15.8%). Tingkat kecukupan lemak contoh sebagian besar berada dalam kategori defisit (89.5%) dan kategori normal (10.5%). Tingkat kecukupan karbohidrat semua contoh dalam kategori defisit. Tingkat kecukupan vitamin A contoh sebagian besar berada dalam kategori cukup, sedangkan tingkat kecukupan kalsium, zat besi, vitamin B1 vitamin C sebagian besar berada dalam kategori defisit. Nilai kelentukan dan daya tahan pada penelitian ini tersebar pada seluruh contoh untuk menentukan kelentukan contoh menggunakan flexibility test, ratarata nilai flexibility pada contoh laki-laki sebesar 20.9 cm sedangkan untuk contoh perempuan dengan rata-rata nilai flexibility sebesar 22.9 cm. Nilai daya tahan diperoleh dari nilai rata-rata VO2max. Contoh yang berjenis kelamin laki-laki memiliki nilai rata-rata VO2max sebesar 46.54 ml/kg/menit. dan rata-rata nilai VO2max perempuan sebesar 44.77 ml/kg/menit. Hubungan antar variabel didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi body image contoh dengan tingkat kecukupan energi (p=0.440) dan protein (p=0.622), hubungan usia dengan kelentukan dan daya tahan terdapat hubungan yang signifikan dengan (p=0.049) dan (p=0.046). Selain itu dilihat hubungan antara berat badan dengan kelentukan dan daya tahan dan tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan (p=0.081) dan (p=0.621), untuk hubungan antara tinggi badan dengan kelentukan dan daya tahan juga tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan (p=0.120) dan (p=0.518), sedangkan untuk hubungan antara tingkat kecukupan energi dan kelentukan terdapat hubungan yang signifikan dengan (p=0.028) namun, tidak terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan energi dan daya tahan dengan (p=0.620) dan hubungan tingkat kecukupan protein dengan kelentukan dan daya tahan tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan (p=0.220) dan (p=0.361). Berbeda untuk uji beda kelentukan dan daya tahan antar jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata berdasarkan nilai kelentukan (flexibility) maupun daya tahan (VO2max) antara contoh laki-laki dengan perempuan (p>0.05), dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata kelentukan dan daya tahan antara laki-laki dan perempuan.
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI BODY IMAGE, TINGKAT KECUKUPAN GIZI DENGAN KELENTUKAN DAN DAYA TAHAN ATLET SENAM DI SEKOLAH ATLET RAGUNAN JAKARTA
YUSVITA SARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Hubungan antara Persepsi Body Image, Tingkat Kecukupan Gizi dengan Kelentukan dan Daya Tahan Atlet Senam di sekolah Atlet Ragunan Jakarta Nama : Yusvita Sari NIM : I14090031
Disetujui oleh
Dr Ir Hadi Riyadi, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Budi Setiawan, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan judul Hubungan antara Persepsi Body Image, Tingkat Kecukupan Gizi dengan Kelentukan dan Daya Tahan Atlet Senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013. Skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan, do’a, semangat, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa sabar dalam memberikan bimbingan, motivasi, perhatian dan semangat kepada penulis. 2. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen pemandu dan dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis. Kedua orang tua penulis, Bapak Mohd. Yusup dan Ibu Siti Komala Sari 3. yang telah memberikan doa, semangat, nasihat, motivasi dan pengorbanan serta kasih sayang kepada penulis. 4. Drs. Pura Darmawan, M.Pd staf kemenpora dan seluruh pihak Sekolah SMP/SMA Ragunan Jakarta Selatan, khususnya pelatih dan atlet senam ragunan Jakarta yang telah membantu selama pengumpulan data. 5. Adik-adik penulis, Akbar Kurbana dan Akil Man Zikri beserta seluruh keluarga besar penulis. Singgih Giri Prasetyo atas motivasi, semangat, bantuan, saran dan kesabaran 6. yang diberikan selama ini sehingga selalu dapat memotivasi penulis. Terima kasih atas waktu yang diberikan untuk mendengarkan curahan hati dan keluh kesah penulis. 7. Sahabat-sahabatku, Ratia Yulizawaty, Qurratu Aini, Avliya Quratul Marjan, Rammona Jayana, Arnati Wulansari dan Novi rizqi Ramadhani atas semangat, saran, do’a, bantuan, dan motivasi untuk perjuangan yang luar biasa ini. 8. Keluarga besar Gizi Masyarakat 46 (COCONUT) atas segala do’a, bantuan, semangat dan kasih sayangnya selama ini kepada penulis. 9. Seluruh dosen dan staff Gizi Masyarakat, yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan berharga sebagai bekal menempuh masa depan. 10. Seluruh keluarga GM 45, GM 47, GM 48, Pak Abo dan Ibu Aisyah fotokopian GM atas do’a, semangat, dan bantuan kepada penulis. Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan hal-hal yang tidak berkenan selama penyusunan skripsi ini. Saran dan kritik yang membangun demi perbaikan skiripsi ini sangat penulis harapkan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Amin. Bogor, Mei 2013
Yusvita Sari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
PENDAHULUAN
xii
Latar Belakang
xii
Tujuan Penelitian
1
Kegunaan Penelitian
2
KERANGKA PEMIKIRAN
2
METODE PENELITIAN
4
Desain, Tempat, dan Waktu
4
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
4
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
4
Pengolahan dann Analisis Data
5
DEFINISI OPERASIONAL HASIL DAN PEMBAHASAN
8 10
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
10
Karakteristik Contoh
11
Sosial Ekonomi keluarga
13
Konsumsi Pangan
16
Tingkat Kecukupan Gizi
25
Status Gizi
33
Persepsi Body Image
34
Tingkat Kebugaran
38
Uji Antar Variabel
40
KESIMPULAN DAN SARAN
44
Kesimpulan
44
Saran
44
DAFTAR PUSTAKA
45
RIWAYAT HIDUP
49
DAFTAR TABEL 1. Jenis dan cara pengumpulan data penelitian 2. Kategori penilaian variabel-variabel 3. Kategori status gizi menurut IMT/U 4. Daftar cabang olahraga dan jumlah atlet setiap cabang olahraga 5. Sebaran contoh berdasarkan karakteristiknya 6. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan ibu 7. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orang tua 8. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga 9. Sebaran contoh menurut frekuensi makan 10. Sebaran contoh menurut kebiasaan makan 11. Sebaran contoh menurut kebiasaan minum
4 6 6 11 13 14 15 15 16 17 20
12. Sebaran contoh menurut kebiasaan makan dan minum
sebelum pertandingan 13. Sebaran contoh menurut kebiasaan makan dan minum selama pertandingan 14. Sebaran contoh menurut kebiasaan makan dan minum setelah pertandingan 15. Sebaran contoh klasifikasi EAT test berdasarkan status gizi normal 16. Sebaran contoh klasifikasi EAT test berdasarkan jenis kelamin 17. Sebaran contoh berdasarkan klasifikasi status gizi 18. Sebaran persepsi bentuk tubuh aktual dan ideal contoh 19. Persepsi bentuk tubuh aktual dan ideal menurut jenis kelamin 20. Persepsi bentuk tubuh aktual contoh atlet senam terhadap status gizi 21. Sebaran contoh berdasarkan klasifikasi persepsi body image 22. Sebaran contoh klasifikasi persepsi body image berdasarkan jenis kelamin 23. Nilai flexibility atlet senam berdasarkan jenis kelamin 24. Nilai flexibility atlet senam berdasarkan umur 25. Nilai vo2max atlet senam berdasarkan jenis kelamin 26. Nilai VO2 max atlet senam berdasarkan umur 27. Hasil uji korelasi antara persepsi body image dengan TKE dan TKP 28. Hasil uji korelasi antar variabel
21 22 23 24 24 33 34 35 36 37 37 38 38 39 40 41 41
DAFTAR GAMBAR 1 Bagan kerangka pemikiran hubungan antara persepsi body image dengan tingkat kecukupan gizi terhadap kelentukan dan daya tahan atlet senam di sekolah atlet ragunan Jakarta 2 Rata-rata tingkat kecukupan energi contoh 3 Rata-rata tingkat kecukupan protein contoh 4 Rata-rata tingkat kecukupan lemak contoh 5 Rata-rata tingkat kecukupan karbohidrat contoh 6 Rata-rata tingkat kecukupan kalsium contoh 7 Rata-rata tingkat kecukupan besi contoh 8 Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A contoh 9 Rata-rata tingkat kecukupan vitamin B1 contoh 10 Rata-rata tingkat kecukupan vitamin C contoh 11 Skala body image
3 25 27 28 29 30 30 31 32 32 35
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dari 189 negara anggota PBB yang turut menandatangani kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan oleh PBB. Kesepakatan yang dihasilkan yaitu dirumuskannya tujuan MDGs yang akan dicapai sampai dengan tahun 2015 untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan adanya sumberdaya manusia yang berkualitas serta didukung dengan program-program pemerintah diberbagai bidang yang dibutuhkan untuk memenuhi sasaran-sasaran Indonesia MDGs 2015 yang meliputi bidang kesehatan, gizi, pendidikan, dan olahraga. Gizi dan olahraga sangat berkaitan pada seorang atlet, kedua hal ini merupakan salah satu bidang yang dapat membantu untuk memenuhi sasaran dalam MDGs. Olahraga adalah kegiatan seseorang dengan sengaja meluangkan waktunya untuk melakukan satu atau lebih kegiatan fisik, dengan tujuan meningkatkan kesegaran jasmani secara teratur, atau meningkatkan prestasi dan hiburan. Kegiatan olahraga dapat berupa latihan atau pertandingan atau rekreasi/hiburan, selain itu kecukupan zat gizi seorang atlet juga perlu diperhatikan, karena kecukupan zat gizi merupakan suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh, dan kondisi fisiologis khusus untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Sandjaja et al. 2009). Atlet membutuhkan kecukupan zat gizi yang didapatkan dari makanan untuk menunjang prestasi yang akan dicapai, makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkann untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi tertentu (Almatsier 2001), namun pada kenyataannya atlet Indonesia masih banyak belum memenuhi kebutuhan yang
1 seharusnya, hal ini lah yang berdampak pada prestasi yang dicapainya terbukti dengan data hasil susenas 2009 menunjukkan penurunan prestasi yang dicapai atlet dari tahun ke tahun. Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, salah satunya persepsi mereka terhadap bentuk tubuhnya, hal itu dikenal juga dengan istilah body image. Body image (citra raga) adalah gambaran individu mengenai penampilan fisik dan perasaan yang menyertainya, baik terhadap bagian-bagian tubuhnnya maupun mengenai seluruh tubuhnya, berdasarkan penilaian sendiri (Suryanie 2005). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi body image yaitu aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang dilakukan harus sesuai dengan keadaan tubuh remaja itu sendiri. Asupan makanan yang biasa dikonsumsi oleh para remaja khususnya siswa biasanya akan mempengaruhi kegiatannya di sekolah, seperti kegiatan belajar ataupun kegiatan lainnya. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian, persepsi yang salah tentang body image akan mempengaruhi perilaku hidup seseorang. Perubahan perilaku makan akan dilakukan dengan harapan mereka memperoleh dan mempertahankan bentuk tubuh sesuai dengan yang mereka inginkan. Berdasarkan penelitian Rosen dan Gross di US dalam Dacey & Kenny (1997) yang meliputi 1.373 putra dan putri sekolah menengah atas dalam ras, daerah dan latar belakang ekonomi yang berbeda-beda menunjukkan bahwa remaja putri menghabiskan waktu mereka 4 kali lebih banyak dibandingkan pria untuk mencoba mengurangi berat badan mereka. Senam adalah aktivitas fisik yang dilakukan baik sebagai cabang olahraga tersendiri maupun sebagai latihan untuk cabang olahraga lainnya. Berlainan dengan cabang olahraga lain umumnya yang mengukur hasil aktivitasnya pada obyek tertentu, senam mengacu pada bentuk gerak yang dikerjakan dengan kombinasi terpadu dan menjelma dari setiap bagian anggota tubuh dari komponen-komponen kemampuan motorik seperti: kekuatan, kecepatan, keseimbangan, kelentukan, agilitas dan ketepatan (KONI 2011). Atlet senam juga membutuhkan daya tahan tubuh dan kelentukan yang optimal untuk melakukan gerakan. Dalam hal ini, persepsi body image berperan dalam meningkatkan aktivitas mereka untuk mencapai tubuh yang ideal sehingga memudahkan mereka untuk melakukan gerakan-gerakan senam yang dibutuhkan. Sekolah atlet Ragunan Jakarta Selatan merupakan sekolah yang bergerak di dalam bidang olahraga. Sekolah ini juga membina atlet-atlet yang masih berada di dalam usia pertumbuhan 13 tahun sampai 18 tahun, dimana usia tersebut memerlukan kecukupan zat gizi dan makanan yang cukup yang sesuai dengan aktivitas yang mereka lakukan. Perhatian mengenai masalah gizi sangat dibutuhkan, mengingat gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi prestasi dari atlet-atlet tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait persepsi body image, tingkat kecukupan gizi dengan kelentukan dan daya tahan atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi body image, tingkat kecukupan gizi dengan kelentukan dan daya tahan atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta.
2 Tujuan Khusus 1. Mengkaji karakteristik umum contoh dan sosial ekonomi keluarga (usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, tingkat pendidikian contoh, tingkat pendidikan orang tua, pendapatan keluarga dan besar keluarga). 2. Mengkaji konsumsi pangan dan gangguan makan para atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. 3. Mengkaji tingkat kecukupan energi dan zat gizi para atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. 4. Mengkaji persepsi body image dan status gizi atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. 5. Mengkaji nilai dari kelentukan dan daya tahan para atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. 6. Mengkaji hubungan persepsi body image, tingkat kecukupan gizi dengan kelentukan dan daya tahan atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi bagi atlet, pelatih, dan pihak sekolah mengenai hubungan persepsi body image, tingkat kecukupan gizi dengan daya tahan kelentukan pada atlet senam di sekolah atlet Ragunan Jakarta. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan acuan untuk menyusun menu makanan yang disediakan untuk para atlet dalam rangka peningkatan kualitas gizi para atlet.
KERANGKA PEMIKIRAN Persepsi body image pada umumnya dipengaruhi oleh teman sebaya dan media. Seorang remaja yang menginginkan bentuk tubuh yang ideal dan indah sesuai dengan harapan teman sebaya. Selain itu, media juga berpengaruh dalam pembentukan persepsi remaja terhadap bentuk tubuh yang ideal oleh karena itu persepsi body image seorang atlet berhubungan dengan pemilihan konsumsi pangan mereka. Menurut Suryanie (2005) body image (citra raga) adalah gambaran individu mengenai penampilan fisik dan perasaan yang menyertainya, baik terhadap bagian-bagian tubuhnya maupun mengenai seluruh tubuhnya, berdasarkan penilaian sendiri. Konsumsi pangan atlet dipengaruhi oleh kebiasaan makan dan gangguan makan yang mereka miliki, dimana atlet mendapatkan makanan yang dikonsumsi tidak hanya mengkonsumsi makanan dari dalam asrama saja, namun juga makanan dari luar asrama yang nantinya berpengaruh pada tingkat kecukupan gizi para atlet khususnya energi, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, besi, vitamin A, vitamin B1 , vitamin C. Apabila konsumsi gizi terlalu rendah atau melebihi dari kebutuhan tubuh yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, dapat mempengaruhi status gizi mereka dan pada akhirnya berpengaruh terhadap prestasi olahraga yang ingin dicapainya. Pada atlet senam di perlukan memiliki kebugaran yang baik yaitu daya tahan dan kelentukan tubuh yang baik pada saat latihan maupun saat bertanding, atlet yang memiliki status gizi yang baik secara tidak langsung akan memiliki
3 daya tahan dan kelentukan tubuh yang baik pula. Oleh sebab itu dengan memiliki kebiasaan makanan yang baik maka atlet dapat memperoleh body image yang baik pula sehingga nantinya akan berpengaruh pada tingkat kecukupan gizi, hal ini untuk mempertahankan status gizi dan menjaga kebugaran tubuh atlet guna mencapai prestasi yang optimal dan akan berdampak pada kesuksesan atlet baik dalam latihan maupun dalam pertandingan.
Teman sebaya
Kebiasaan makan
Persepsi body image
Konsumsi pangan
Media
Gangguan makan
Makanan Luar
Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Status Gizi
Tingkat Kebugaran Dayatahan Kelentukan
garan Prestasi Day
antara persepsi body image Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran ahubungan tahan dengan tingkat kecukupan gizi terhadap kelentukan dan daya tahan atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. Keterangan : = variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang diteliti = hubungan yang tidak diteliti
4
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta Selatan pada bulan Februari 2013. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive karena sekolah atlet Ragunan merupakan sekolah pembinaan untuk para atlet, khususnya atlet senam dan memiliki fasilitas asrama sehingga terdapat penyelenggaraan makanan di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta Selatan. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh pada penelitian ini adalah siswa-siswi yang terdaftar di sekolah atlet Ragunan Jakarta Selatan. Contoh ditentukan secara purposive sampling dengan kriteria atau persyaratan bahwa contoh merupakan siswa-siswi SMP/SMA yang merupakan atlet senam karena atlet senam membutuhkan daya tahan dan kelentukan yang harus selalu stabil saat berlatih maupun bertanding. Berdasarkan jumlah total contoh yang berjumlah 20 atlet, terpilih 19 atlet senam yang dapat yang digunakan dalam penelitian ini. Contoh merupakan siswa-siswi yang menerima pembinaan dan pendidikan dari Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga (KEMENPORA) dan PUSDIKLAT DKI di cabang senam. Selain itu, contoh yang dipilih tidak mengalami cidera dan tidak mempunyai masalah dengan pihak-pihak tertentu terutama Institusi Sekolah. Contoh mengikuti latihan secara intensif, serta contoh adalah semua atlet yang ikut melaksanakan tes daya tahan yang dilakukan oleh pihak sekolah dan bersedia menjadi sampel penelitian. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengukuran langsung dengan contoh dan menggunakan kuesioner. Data primer ini meliputi data karaktristik umum contoh (usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, tingkat pendidikan contoh, keadaan sosial ekonomi keluarga dan status gizi), persepsi terhadap body image, konsumsi pangan contoh (kebiasaan makan, gangguan makan, makanan yang dikonsumsi dari luar), dan data kelentukan sedangkan data sekunder meliputi data daya tahan yang diperoleh dari data hasil tes yang telah dilakukan pihak sekolah dan pihak MENPORA untuk mengetahui daya tahan serta gambaran umum tempat sekolah yang dijadikan sebagai lokasi penelitian. Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data penelitian No Jenis data 1 Karakteristik contoh
Variabel Usia Jenis kelamin Tingkat pendidikan Keadaan sosial ekonomi keluarga
Cara pengumpulan data Wawancara langsung dengan contoh dan penyebaran kuesioner
5
Tabel 1 (lanjutan) No
Jenis data Antropometri contoh dan status gizi
2.
Persepsi body image
3.
Konsumsi pangan
Variabel Berat badan
Cara pengumpulan data Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan injak Tinggi badan Tinggi badan diukur dengan menggunakan microtouise dengan ketelitian 0.1 cm IMT/U IMT/U dihitung dengan menggunakan WHO anthroplus 2007 Persepsi body image Wawancara langsung dengan positif dan negatif contoh dan penyebaran kuesioner Jumlah konsumsi Jenis makanan Frekuensi makanan Recall 2 x 24 jam Kebiasaan makan Gangguan Makan Makanan dari luar
4
Daya tahan
Nilai VO2max
5
Kelentukan
Nilai kelentukan
Wawancara jenis dan frekuensi pangan yang dikonsumsi selama 2 hari (hari libur dan sekolah) Konversi URT ke dalam gram Wawancara langsung dengan contoh dan penyebaran kuesioner Wawancara langsung dengan contoh dan penyebaran kuesioner Wawancara langsung dengan contoh dan penyebaran kuesioner Mendapatkan data daya tahan dari bidang pengembangan sentra keolahragaan dari kementerian pemuda dan olahraga Pengukuran langsung dengan metode Standing Trunk Flexion
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh kemudian diolah secara statistik. Pengolahan data dimulai dari pengkodean (coding), pemasukan data (entry), pengecekan ulang (cleaning), dan analisis data. Tahapan pengkodean dimulai dengan cara menyusun kode-kode tertentu sebagai panduan dalam mengentri dan pengolahan data. Kemudian data dientri ke tabel yang sudah ada. Setelah itu dilakukan pengecekan ulang untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Tahapan terakhir adalah analisis data yang diolah dengan program Microsoft Excell 2007 for Windows dan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16 for windows untuk melihat hubungan antara persepsi body image dengan tingkat kecukupan energi dan protein menggunakan uji korelasi chi-square, hubungan antara karakteristik contoh dengan kelentukan dan daya tahan menggunakan uji korelasi pearson sedangkan melihat perbedaan kelentukan dan daya tahan berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan menggunakan uji beda independent t-test. Data karakteristik contoh meliputi usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan contoh diperoleh dengan cara wawancara langsung dan penyebaran kuesioner, kemudian data karakteristik ini pada akhirnya akan memberikan gambaran mengenai contoh. Selain itu, data antropometri contoh yang terdiri dari berat badan dan tinggi badan. Data tersebut digunakan untuk memperoleh data
6 Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai indikator dari status gizi contoh. Data berat badan diperoleh dari pengukuran langsung menggunakan timbangan injak, sedangkan data tinggi badan diperoleh dengan mengukur tinggi badan secara langsung dengan menggunakan microtouise berskala pengukuran 0.1 cm. Berikut kategori penilaian variabel-variabel yang diteliti.
Tabel 2 Kategori penilaian variabel-variabel No Karekteristik responden 1
Umur
2
Jenis kelamin
3
Berat badan
4
Tinggi badan
5
Tingkat pendidikan Contoh
Kategori <13 tahun 13-15 tahun > 15 tahun Laki-laki Perempuan < 45 45-60 >60 < 145 145-160 >160 SMP SMA
Data status gizi contoh ditentukan berdasarkan data yang diperoleh yaitu usia, berat badan, dan tinggi badan dengan parameter Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) dengan menggunakan software WHO anthroplus 2007. Nilai indeks massa tubuh menurut umur.
Tabel 3 Kategori status gizi menurut IMT/U Kategori Severe thinness Thinness Normal Overweight Obese Severe obese
Cut off poin ≤ -3 SD -2 SD ≤ z-score < -3 SD -2 SD < z-score < +1 SD +1 SD ≤ z-score < +2 SD +2 SD ≤ z-score < +3 SD ≥ +3 SD
Sumber: WHO 2007
Persepsi body image diukur menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai penilaian aktual contoh terhadap bentuk tubuhnya dan harapan contoh terhadap bentuk tubuhnya. Penilaian aktual dan bentuk tubuh harapan contoh dibagi kedalam tiga kategori yaitu kurus, ideal, dan gemuk. Penilaian bentuk tubuh aktual contoh kemudian dibandingkan dengan status gizi contoh melalui pengkategorian IMT/U. Apabila penilaian aktual contoh sesuai dengan status gizinya maka akan diberikan nilai 1 (persepsi positif) dan bila tidak sesuai diberikan nilai 0 (persepsi negatif).
7 Data konsumsi pangan berupa berat jenis pangan dan jenis pangan yang dikonsumsi kemudian dihitung kandungan energi, protein, lemak, dan karbohidrat, kalsium, besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin C. Data konsumsi pangan dihitung dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Konversi dihitung dengan menggunakan rumus (Hardinsyah dan Briawan 1994) sebagai berikut: KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan : Kgij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (g) Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan Rumus untuk menentukan AKG contoh adalah sebagai berikut : AKGI = (Ba/Bs) x AKG Keterangan: AKGI = Angka kecukupan gizi contoh = Berat badan aktual sehat (kg) Ba Bs = Berat badan standar (kg) AKG = Angka kecukupan energi dan protein yang dianjurkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG 2004). Selanjutnya tingkat kecukupan energi dan protein diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan menggunakan rumus: TKG = (K/AKGI) x 100 TKG = Tingkat kecukupan zat gizi K = Konsumsi zat gizi AKGI = Angka kecukupan gizi contoh Formula yang digunakan untuk menentukan kecukupan energi contoh digunakan formula WKNPG tahun 2004 (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Formula yang digunakan yaitu. Proses Estimasi AKE Remaja AKE = (88.5 – 61.9U) + 26.7B (Akf) + 903TB + 25 AKE U B Akf TB
= = = =
Angka kecukupan energi (kkal) Usia (tahun) Berat badan (kg) Angka Kegiatan Fisik (untuk remaja sangat aktif) laki laki 1.42 dan Wanita 1.31 = Tinggi badan (cm)
8 Kebiasaan makan diukur menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai frekuensi makan, kebiasaan makan dan minum sehari-hari, kebiasaan makan dan minum sebelum pertandingan, selama pertandingan, dan setelah pertandingan, sedangkan gangguan makan diukur menggunakan kuesioner EAT (Eating Attitudes Test) dengan 40 pertanyaan yang berkaitan dengan gejala anoreksia nervosa. Penilaian EAT ini dikategorikan sesuai cut off score, apabila jumlah penilaian EAT contoh ≤30 dikategorikan contoh tidak mengalami gangguan makan sedangkan apabila >30 dikategorikan contoh mengalami gangguan makan dikaitkan dengan gejala anoreksia nervosa (Garner and Garfinkel 1979). Data kelentukan diperoleh dengan mengukur langsung contoh dengan metode Standing Trunk Flexion, dimana contoh berdiri di atas balok kemudian membungkukkan badan sejauh mungkin dengan posisi kaki dan tangan lurus ke bawah. Tangan yang mencapai balok akan dihitung dengan nilai positif (+) sedangkan tangan yang tidak bisa mencapai balok akan terhitung negatif (-) dengan satuan sentimeter, sedangkan data nilai VO2max diperoleh merupakan data sekunder yaitu dengan menggunakan data hasil tes balke contoh. Tes balke dilakukan dengan cara mengukur denyut nadi contoh sebelum melakukan tes, kemudian contoh berlari terus menerus tanpa henti selama selang waktu 15 menit. Setelah selesai melakukan tes, denyut nadi contoh diukur kembali dan dihitung jarak yang telah ditempuh oleh contoh selama berlari 15 menit. Hasil perhitungan jarak tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan software perhitungan tes balke (balke VO2max calculator) (Mackenzie 2000). Hasil perhitungan jarak yang telah ditempuh contoh juga dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut. %VO2max = [((Jarak total yang ditempuh/15) – 133) x 0.172] + 33.3
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Uji Statistik yang digunakan pada penelitian ini antara lain Hubungan antara persepsi body image dengan tingkat kecukupan energi dan protein diuji dengan menggunakan analisis korelasi chi-square. Hubungan antara usia contoh dengan daya tahan dan kelentukan diuji dengan menggunakan analisis korelasi pearson. Hubungan antara tinggi badan contoh dengan daya tahan dan kelentukan diuji dengan menggunakan analisis korelasi pearson. Hubungan antara berat badan contoh dengan daya tahan dan kelentukan diuji dengan menggunakan analisis korelasi pearson. Hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein contoh dengan daya tahan dan kelentukan diuji dengan menggunakan analisis korelasi pearson. Uji beda untuk menganalisis keberadaan perbedaan kelentukan dan daya tahan antar jenis kelamin dengan menggunakan analisis Independent T-Test.
DEFINISI OPERASIONAL Contoh adalah siswa-siswi sekolah atlet Ragunan Negeri Jakarta khususnya cabang olahraga senam.
9 Atlet adalah siswa yang memiliki keahlian di bidang olahraga senam dan memiliki prestasi di bidang olahraga senam. Body image adalah gambaran yang dimiliki dalam pikiran (persepsi) tentang bentuk tubuh yang dinilai dari harapan akan bentuk tubuh dan penilaian terhadap bentuk tubuh aktual. Bentuk tubuh harapan adalah jenis bentuk tubuh yang diinginkan oleh contoh dan dikategorikan menjadi ingin lebih kurus, ideal, maupun lebih gemuk yang digunakan adalah kuesioner body image. Penilaian tubuh aktual adalah mengenai bagaimana contoh menilai bentuk tubuhnya saat ini dan dikategorikan menjadi kurus, ideal, gemuk. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner body image. Persepsi body image negatif adalah suatu persepsi dimana penilaian terhadap bentuk tubuh aktual tidak sesuai dengan status gizinya. Persepsi body image positif adalah suatu persepsi dimana penilaian terhadap bentuk tubuh aktual sesuai dengan status gizinya. Makanan dari luar adalah makanan yang diperoleh oleh contoh dari luar asrama, baik dari kantin asrama maupun dari luar asrama. Antropometri adalah metode yang digunakan dalam melakukan penilaian status gizi secara langsung yaitu tinggi badan, berat badan. Status Gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan diukur dari berat badan dan tinggi badan dengan parameter IMT (WHO 2007) dan IMT/U (WHO Anthroplus 2007) Kebiasaan makan contoh adalah sikap contoh terhadap makanan dan tingkat kepuasan konsumen terhadap penyelenggaraan makanan di asrama. Baik yang didapatkannya dari asrama maupun dari luar asrama Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan konsumsi dari rata-rata zat gizi makro maupun zat gizi mikro terhadap angka kecukupan yang dianjurkan menurut umur berdasarkan WKNPG (2004) yang dinyatakan dalam persen. Konsumsi gizi adalah jumlah zat gizi yang dikonsumsi tubuh baik individu maupun kelompok setelah mengkonsumsi pangan. Kecukupan gizi adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi atlet agar hampir semua atlet hidup sehat. Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan seorang atau sekelompok atlet untuk memenuhi kebutuhan hidup dan melakukan aktivitas fisik berupa energi dan zat gizi (protein, lemak dan karbohidrat). Food Recall 24 Jam adalah salah satu metode dalam melakukan survei konsumsi pangan dengan tujuan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan.
10 Olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur, yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani atau kebugaran fisik. VO2max adalah kemampuan tubuh dalam mengkonsumsi oksigen yang merupakan suatu indikator untuk menentukan daya tahan dalam melakukan aktivitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian SMP/SMA Negeri Ragunan Jakarta merupakan sekolah khusus yang didirikan sebagai tempat pembinaan dan pelatihan atlet remaja dari berbagai cabang olahraga. SMP/SMA Negeri Ragunan didirikan pada tanggal 15 Januari 1977 yang berlokasi di Jalan HR Harsono Komplek Gelora Ragunan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sekolah ini mempunyai visi yaitu “Menghasilkan anak bangsa yang unggul dalam prestasi olahraga dan akademik berdasarkan iman dan takwa melalui bimbingan dan layanan yang prima”. Semua siswa-siswi di Sekolah Atlet Negeri Ragunan Jakarta adalah seorang atlet yang mewakili daerah asal masing-masing, mereka merupakan atlet remaja yang berbakat dalam bidang olahraga tertentu serta mempunyai prestasi olahraga di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Pembinaan atlet ini ditujukan agar nantinya atlet-atlet tersebut dapat memberikan prestasi yang membanggakan baik di tingkat nasional maupun internasional. SMP/SMA Negeri Ragunan Jakarta Selatan mempunyai asrama dimana para siswa yang tercatat sebagai siswa SMP/SMA Ragunan diwajibkan untuk tinggal di asrama, baik asrama putra maupun asrama putri. Fasilitas yang ada di SMP/SMA Negeri Ragunan ini selain asrama antara lain ruang makan atlet atau biasa disebut menza, ruang fitness, dan sarana penunjang olahraga lainnya seperti kolam renang, lapangan volli, bola basket, senam, tenis lapang, panahan, bulu tangkis, lapangan sepak bola dan lapangan olahraga lainnya. Fasilitas lain yang berada di komplek SMP/SMA Ragunan antara lain gedung serbaguna, rumah guru, rumah pelatih dan pembina olahraga, poliklinik, mesjid, gedung sekolah, aula, kantin, wisma tamu, asrama atlet dari institusi lain, serta perkantoran dan Graha Wisata Pemuda. Siswa-siswi Sekolah Atlet Ragunan Jakarta terbagi menjadi dua kelompok, yaitu siswa Menpora dan Diklat DKI. Kelompok tersebut dibedakan menurut sumber pembiayaan sekolah dan pelatihan para siswa tiap cabang olahraga. Siswa Menpora dibiayai oleh pemerintah Negara Republik Indonesia, sedangkan siswa Diklat DKI dibiayai oleh pemerintahan DKI Jakarta. Biaya yang ditanggung oleh pemerintah maupun institusi meliputi biaya sekolah, biaya asrama, biaya makan dan minum, serta biaya kehidupan sehari-hari atau yang disebut juga uang saku yang diterima oleh siswa setiap bulannya. Persyaratan untuk masuk SMP/SMA Negeri Ragunan Jakarta tidak jauh berbeda dari persyaratan masuk SMP/SMA lainnya, namun di SMP/SMA Negeri Ragunan Jakarta ada persyaratan khusus untuk berbagai cabang olahraga.
11 Serangkaian tes seperti: tes psikologi, tes kesehatan, tes kemampuan fisik, dan tes keterampilan cabang olahraga. Selain itu terdapat persyaratan khusus untuk tiap cabang olahraga seperti usia, tinggi badan (untuk beberapa cabang olahraga), dan sudah pernah mengikuti kejuaraan junior/tingkat provinsi/nasional. Calon siswa yang mempunyai prestasi dalam bidang olahraga tertentu baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional akan menjadi pertimbangan dan mempunyai nilai lebih untuk masuk ke SMP/SMA Negeri Ragunan Jakarta. SMP/SMA Ragunan memiliki berbagai cabang olahraga dengan jumlah atlet yang berbeda-beda setiap cabangnya baik dari institusi KEMENPORA maupun dari PUSDIKLAT DKI. Daftar cabang olahraga dan jumlah atlet setiap cabang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Daftar cabang olahraga dan jumlah atlet setiap cabang olahraga Cabang olahraga Sepak bola Sepak takraw Bola voli Senam Angkat besi Pencak silat Bola basket Judo Bulu tangkis Tae kwon do Renang Gulat Tenis meja Atletik Loncat indah Panahan Tenis lapangan
Jumlah atlet 45 9 43 20 10 19 25 10 30 26 20 17 23 31 6 19 10
Karakteristik Contoh Penelitian ini menggunakan contoh atlet senam di Sekolah Atlet SMP/SMA Negeri Ragunan Jakarta. Karakteristik contoh merupakan gambaran umum atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta yang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan tingkat pendidikan. Usia Usia atlet senam yang menjadi contoh penelitian ini berkisar antara 12-16 tahun, ini didapatkan dari hasil wawancara dengan contoh. Berdasarkan usia tersebut dapat diketahui bahwa contoh tergolong ke dalam usia remaja (Hardinsyah & Tambunan 2004). Berdasarkan Tabel 5 karakteristik usia dibagi 3 kategori diantaranya kurang dari 13 tahun, 13-15 tahun, dan lebih dari 15 tahun, dan diketahui bahwa sebagian besar contoh berada pada kelompok usia 13-15
12 tahun yaitu dengan persentase sebesar 63.2% sedangkan kategori kurang dari 13 tahun dan lebih dari 15 tahun dengan persentase sebesar 5.3% dan 31.6%. Jenis Kelamin Contoh adalah atlet senam di SMP/SMA Ragunan Jakarta yang berjumlah sebanyak 19 orang. Berdasarkan Tabel 5 menunjukan sebagian besar contoh yang mengikuti pelatihan khusus atlet senam di SMP/SMA Ragunan Jakarta Selatan berjenis kelamin perempuan dengan persentase sebesar 57.9% dan yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 42.1%. Tingginya persentase atlet yang berjenis kelamin perempuan dibandingkan dengan atlet yang berjenis kelamin laki-laki sebenarnya tidak memiliki pengaruh dalam program latihan. Hal ini dikarenakan atlet-atlet yang dipilih untuk masuk ke SMP/SMA Ragunan adalah atlet-atlet yang berprestasi dan direkomendasikan untuk mengikuti program latihan khusus di sekolah ini sesuai dengan bidang olahraga yang ditekuninya. Berat Badan Karakteristik lain yang menjadi penelitian yaitu berat badan yang diperoleh dengan cara pengukuran langsung menggunakan timbangan injak. Kemudian untuk karakteristik berat badan pada penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kurang dari 45 kg, 45-60 kg, dan lebih dari 60 kg. Pengkategorian berat badan dipilih karena beragamnya hasil data yang diperoleh dan juga untuk memudahkan analisis terhadap data tersebut. Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa pada kelompok berat badan 45-60 kg itu memiliki jumlah yang paling besar yaitu 57.9 % dibandingkan dengan kelompok berat badan lainnya. Sebesar 36.8 % berada pada kelompok berat badan kurang dari 45 kg dan hanya 5.3 % saja yang berada pada kelompok berat badan lebih dari 60 kg. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada penelitian ini diketahui bahwa para atlet senam yang menjadi contoh sangat memperhatikan berat badan mengingat berat badan menurut mereka sangat berpengaruh pada saat latihan dilakukan. Sejalan dengan pernyataan menurut Steen (2000) bahwa berat badan berhubungan dengan kekuatan, kecepatan, ketahanan, ketangkasan, dan penampilan, untuk itu berat badan pada contoh dalam penelitian ini sebaiknya harus terus diperhatikan. Tinggi Badan Tinggi badan merupakan suatu ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan usia (Riyadi 2003). Pengukuran tinggi badan ini dilakukan dengan menggunakan microtoise. Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat hasil pengukuran terhadap tinggi badan contoh penelitian ini juga dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kurang dari 145 cm, 145-160 cm, dan lebih dari 160 cm. Sebagian besar contoh berada pada kategori tinggi badan 145-160 cm dengan persentase sebesar 84.2 % dibandingkan dengan kelompok berat badan lainnya. Sebesar 5.3 % berada pada kelompok tinggi badan kurang dari 145 cm dan sebesar 10.5 % yang berada pada kelompok tinggi badan lebih dari 160 cm.
13 Tingkat Pendidikan Contoh Karakteristik usia, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan yang menjadi penelitian pada contoh atlet senam di sekolah atlet Ragunan Jakarta. Tingkat pendidikan juga merupakan bagian penelitian ini, tingkat pendidikan contoh hanya dikategorikan menjadi dua yaitu SMP dan SMA. Berdasarkan Tabel 5 sebagian besar contoh dalam penelitian ini memilki tingkat pendidikan SMP dengan persentase sebesar 63.2 % sedangkan yang memilki tingkat pendidikan SMA sebesar 36.8%. Namun, contoh tidak dibeda-bedakan saat melakukan latihan menurut tingkat pendidikan semua disetarakan baik tingkat pendidikan SMP maupun SMA. Sebaran contoh berdasarkan karakteristiknya bisa dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristiknya Karekteristik responden Umur
Kategori <13 tahun 13-15 tahun > 15 tahun
Total Laki-laki Perempuan
Jenis kelamin Total
< 45 45-60 >60 19 < 145 145-160 >160
Berat badan Total Tinggi badan Total Tingkat pendidikan Contoh
SMP SMA
Total
n 1 12 6 19 8 11 19 7 11 1 100 1 16 2 19 12 7 19
% 5.3 63.2 31.6 100 42.1 57.9 100 36.8 57.9 5.3 5.3 84.2 10.5 100 63.2 36.8 100
Sosial Ekonomi Keluarga Penelitian ini selain mengkaji karakteristik contoh, peneliti juga ingin mengkaji mengenai karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh. Karakteristik sosial ekonomi keluarga yang diteliti adalah tingkat pendidikan ayah dan ibu, pendapatan orangtua, dan besar anggota keluarga. Tingkat pendidikan ayah dan ibu dibagi dalam tiga kategori yaitu SMP, SMA, dan S1. Pendapatan orangtua dibagi dalam empat kategori yaitu < Rp 1.000.000, Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000, Rp 3.000.000 – Rp 5.000.000, dan > Rp 5.000.000, untuk besar anggota keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu kurang dari 5 orang, 5-6 orang, lebih dari 6 orang.
14 Tingkat Pendidikan Orangtu Tingkat pendidikan orangtua contoh meliputi pendidikan ayah dan pendidikan ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka dapat dikatakan semakin baik pula kemampuannya untuk dapat mengakses dan menyerap informasi demi memenuhi kebutuhan gizinya. Tingkat pendidikan orangtua contoh dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu SMP, SMA, dan S1. Berikut sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan ibu.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan ibu. Karekteristik Tingkat pendidikan ayah
Kategori SMP SMA S1
Total Tingkat pendidikan ibu Total
SMP SMA S1
n 1 9 9 19 5 10 4 19
% 5.3 47.4 47.4 100 26.3 52.6 21.1 100
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan ayah contoh yang paling banyak pada kategori SMA dan S1 dengan persentase sebesar 47.4%. Namun hanya 5.3% saja tingkat pendidikan akhir ayah contoh yang tamatan SMP. Menurut Suhardjo et al. (1988), tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh. Ayah yang merupakan kepala keluarga bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga perlu pendidikan yang tinggi, sedangkan tingkat pendidikan ibu contoh sebagian besar adalah tamatan SMA sebanyak 52.6 %. Selain itu sebanyak 26.3 % tingkat pendidikan ibu contoh yang tamatan SMP dan 21.1 % tamatan S1. Menurut Rahmawati (2006) tingkat pendidikan terakhir ibu contoh merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk status gizi, karena pendidikan ibu sangat penting dalam mendidik anak-anak dalam keluarganya. Soekirman (2000) juga mengatakan bahwa peningkatan pendidikan diharapkan dapat menjadi sarana perbaikan pengetahuan masyarakat tentang gizi dan kesehatan, sehingga dapat menimbulkan perilaku dan sikap positif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ekonomi. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga contoh yang diteliti dibagi menjadi empat kategori diantaranya kategori < Rp 1.000.000, Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000, Rp 3.000.000 – Rp 5.000.000, dan > Rp 5.000.000. Berdasarkan Tabel 7 pendapatan orangtua contoh dibagi dalam empat kategori. Secara keseluruhan pendapatan orangtua terbesar yaitu berada pada rentang kategori Rp 1.000.000-Rp 3.000.000 sedangkan pendapatan orangtua contoh pada kategori lainnya sebesar 15.8%. Apabila pendapatan didalam keluarga meningkat biasanya akan mempengaruhi pengeluaran terhadap bahan
15 pangan dalam keluarga sehingga nantinya akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan gizi setiap individu dalam keluarga, namun pada contoh yang menjadi sampel penelitian ini tidak mendapatkan kebutuhan gizi dari pendapatan orangtua mereka karena contoh mendapatkan bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka dari penyelenggaraan makanan yang disediakan oleh pihak sekolah. Menurut little et al. (2002) menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi keluarga khusunya pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang akan dikonsumsi. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan oeang tua dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orangtua Karekteristik Pendapatan Orangtua
Kategori < Rp 1000000 Rp 1000000 - Rp 3000000 Rp 3000000 - Rp 5000000 > Rp 5000000
Total
n 3 10 3 3 19
% 15.8 52.6 15.8 15.8 100
Besar Keluarga Menurut Kertamuda (2009) bahwa keluarga merupakan bagian dari masyarakat kecil yang penting dalam membentuk kepribadian serta karakter bagi para anggota keluarganya. Keluarga juga merupakan tempat seseorang untuk bergantung, baik secara ekonomi maupun dalam kehidupan sosial lainnya, serta berperan secara dominan dalam menentukan dan mengambil keputusan. Pada penelitian ini karakteristik besar keluarga menjadi bagian dari penelitian ini. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Karekteristik Besar keluarga Total
Kategori <5 5 s/d 6 >6
n 7 9 3 19
% 36.8 47.4 15.8 100
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa besar keluarga contoh tersebar dalam 3 kategori. Contoh yang memilki besar keluarga yang terdiri dari kurang dari 5 orang yaitu dengan presentase 36.8%, contoh yang berada pada kategori besar keluarga dengan anggota 5-6 orang memiliki persentase sebesar 47.4% dan sebesar 15.8% contoh yang termasuk kedalam kategori besar keluarga > 6 orang. Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Semakin besar keluarga maka semakin kecil peluang terpenuhinya kebutuhan individu. Hal ini disebabkan karena besarnya anggota
16 keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan individu. Namun, lain halnya dengan contoh yang menjadi sampel penelitian ini. Pernyataan Sanjur (1982) diatas tidak ada hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan contoh karena contoh memenuhi kebutuhan mereka bukan dari keluarganya masing-masing. Namun, mereka mendapatkannya dari dana pemerintah yang diberikan kepada setiap contoh setiap bulannya, sehingga besar keluarga contoh tidak berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan contoh. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu, dalam aspek gizi tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto 1992). Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan, serta tingkat pengetahuan gizi (Harper, Deaton & driskel 1986). Konsumsi pangan diperlukan untuk mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh akan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya. Kelebihan konsumsi pangan yang tidak diimbangi dengan pengeluaran energi yang mencukupi dapat mengakibatkan timbulnya gizi lebih. Oleh karena itu, setiap orang harus mengkonsumsi sejumlah makanan yang sesuai dengan kecukupannya berdasarkan usia, ukuran tubuh, serta aktivitasnya (Hardinsyah & Martianto 1992). Survei konsumsi pangan terdapat tiga metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, metode kuantitatif dan metode semi kuantitatif. Pada penelitian ini metode kualitatif yang digunakan diantaranya dengan mengetahui frekuensi makan dan menggali kebiasaan makan dan gangguan makan contoh yang menjadi sampel penelitian, sedangkan metode kuantitatif yaitu mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi contoh dengan metode recall 2x 24 jam. Frekuensi Makan Frekuensi makan dan kebiasaan makan contoh digunakan untuk mengetahui konsumsi pangan secara kualitatif. Frekuensi makan contoh diukur dalam satuan kali per hari, kali perminggu, dan kali per bulan. Frekuensi makan yang diukur pada penelitian ini adalah dalam satuan kali per hari. Frekuensi makan contoh dapat dilihat dari Tabel 9 berikut.
Tabel 9 Sebaran contoh menurut frekuensi makan Frekuensi makan (kali/hari) 1 2 3 Total
Sebaran n 1 6 12 19
% 5.3 31.6 63.2 100
17 Berdasarkan tabel 9 terlihat bahwa contoh dalam penelitian ini memiliki frekuensi makan dengan 1 kali/hari, 2 kali/hari dan 3 kali/harisebagian besar contoh memilki frekuensi makan 3 kali/hari dengan persentase sebesar 63.2%, sebesar 31.6% contoh dengan frekuensi makan 2 kali/hari, sedangkan hanya 5.3% contoh dengan frekuensi makan 1 kali/hari. Tabel 9 menunjukan bahwa frekuensi makan contoh pada umumnya sudah cukup baik karena contoh memiliki frekuensi makan 3 kali/hari.
Kebiasaan Makan Kebiasaan makan (food habit) merupakan cara individu atau kelompok individu dalam memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, sosial, dan budaya (Suhardjo 1989). Menurut Khumaidi (1989) kebiasaan makan didefinisikan sebagai tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Kebiasaan makan contoh dapat dilihat pada tabel sebaran contoh menurut kebiasaan makan berikut.
Tabel 10 Sebaran contoh menurut kebiasaan makan Kebiasaan makan
Sebaran n %
Kebiasaan sarapan Selalu Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
8 5 6 0
42.1 26.3 31.6 0
Menu sarapan Mie Roti Nasi+lauk pauk Lainnya
0 5 12 2
0 26.3 63.2 10.5
17 2
89.5 10.5
7
36.8
6 2 4
31.6 10.5 21.1
14 5
73.7 26.3
Kebiasaan makan siang Ya Tidak Susunan menu makan siang Nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah Nasi, lauk hewani atau nabati, sayur Nasi, lauk hewani Lainnya Kebiasaan makan malam Ya Tidak
18
Tabel 10 (lanjutan) Kebiasaan makan
Sebaran n %
Susunan menu makan malam Nasi, lauk hewani, lauk nabati, Sayur, buah Nasi, lauk hewani atau nabati, sayur Nasi, lauk hewani Lainnya Kebiasaan mengkonsumsi lauk hewani Ya Tidak Kebiasaan mengkonsumsi lauk nabati Ya Tidak Kebiasaan mengkonsumsi sayuran Ya Tidak Kebiasaan mengkonsumsi buah-buahan Ya Tidak Kebiasaan mengkonsumsi suplemen Ya Tidak Kebiasaan mengkonsumsi fastfood Ya Tidak Kebiasaan mengkonsumsi cemilan/ selingan Ya Tidak
4
21.1
2 1 12
10.5 5.3 63.2
19 0
100 0
18 1
94.7 5.3
17 2
89.5 10.5
18 1
94.7 5.3
11 8
57.9 42.1
7 12
36.8 64.2
18 1
94.7 5.3
Berdasarkan Tabel 10 menunjukan bahwa untuk kebiasaan sarapan contoh yang menjadi sampel penelitian ini pada umumnya sudah cukup baik terlihat dengan sebagian besar contoh sebesar 42.1% contoh dari hasil wawancara dan penyebaran kuesioner yang memilki kebiasaan selalu sarapan setiap paginya dengan menu sarapan yang tediri dari nasi dan lauk-pauk dengan persentase contoh sebesar 63.2% dari total keseluruhan contoh, sedangkan sebesar 0% contoh yang tidak pernah sarapan pagi. Selain itu untuk kebiasaan makan siang contoh umumnya juga sudah cukup baik dimana sebagian besar contoh dengan persentase sebesar 89.5% memiliki kebiasaan makan siang dan hanya sebesar 10.5% contoh yang tidak memiliki kebiasaan makan siang. Berdasarkan hasil wawancara, contoh mengaku bahwa contoh tidak membiasakan makan siang untuk mengurangi berat badan. Secara umum contoh diberikan menu makan siang dengan susunan menu lengkap, namun hanya sebesar 36.8% contoh yang
19 memiliki kebiasaan makan siang dengan menu lengkap yang terdiri dari nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah. Berdasarkan Tabel 10 juga menunjukan kebiasaan makan malam contoh dengan persentase sebesar 73.7% contoh yang memiliki kebiasaan makan malam dan hanya sebesar 26.3% contoh yang tidak membiasakan dirinya makan malam. Berdasarkan hasil wawancara dan penyebaran kuesioner dari sebagian besar contoh yang memiliki kebiasaan makan malam tersebut, hanya sebesar 21.1% contoh yang memiliki kebiasaan makan malam dengan menu lengkap sedangkan yang lainnya memperoleh asupan makanan dari luar sekolah dengan alasan contoh mengaku bosen dengan menu yang disediakan, selain itu contoh juga mengaku untuk menghindari kenaikan berat badan apabila mengkonsumsi makan malam dengan menu lengkap seperti yang disediakan oleh pihak sekolah. Berdasarkan Tabel 10 juga dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh sudah memiliki kebiasaan mengkonsumsi lauk hewani, lauk nabati, sayuran, dan buah-buahan yang cukup baik hanya beberapa contoh saja yang tidak memiliki kebiasaan makan lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan buah-buahan. Selain itu kebiasaan makan contoh juga dilihat dari kebiasaan contoh mengkonsumsi suplemen, fastfood, dan cemilan, dari tabel diatas terlihat bahwa sebesar 57.9% contoh mengkonsumsi suplemen dengan merk CDR, enervonce, dan supradin. Kebiasaan untuk mengkonsumsi fastfood hanya sebesar 36.8% contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi fastfood dan untuk kebiasaan mengkonsumsi cemilan, hampir seluruh contoh memiliki kebiasaan mengkonsumsi cemilan setiap harinya dengan persentase sebesar 94.7% dari total seluruh contoh pada penelitian ini. Menurut Wong et al. (1999); Parmenter & Wardle (1999) remaja yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan lebih memilih makanan sesuai dengan kebutuhannya. Kebiasaan Minum Konsumsi cairan bagi seorang atlet sangat diperlukan untuk menjaga status hidrasi tubuh. Berdasarkan hasil wawancara dan penyebaran kuesioner mengenai kebiasaan minum contoh menunjukkan bahwa contoh sebagian besar mengkonsumsi air putih 7 gelas setiap harinya dengan persentase sebesar 47.4%, sebanyak 26.3% contoh mengkonsumsi air putih sebanyak ≥ 8 gelas setiap harinya, dan sisanya mengkonsumsi air putih ≤ 5 gelas setiap harinya. Konsumsi minuman isotonik, diketahui bahwa sebagian besar contoh mengkonsumsi minuman isotonik dengan persentase sebesar 63.2% contoh dengan merk pocari sweat dengan jumlah 1-2 botol/harinya. Minuman isotonik merupakan salah satu produk pangan yang ditujukan bagi atlet yang mengandung gula dan elektrolit dan berguna untuk mencegah dehidrasi, mengganti cairan tubuh yang hilang, hidrasi sebelum berolahraga, dan rehidrasi setelah berolahraga. Kebiasaan untuk mengkonsumsi minuman beralkhol diketahui tidak ada satupun dari seluruh contoh yang mengkonsumsi minuman beralkohol. Kebiasaan minum contoh dapat dilihat pada Tabel 11 berikut.
20 Tabel 11 Sebaran contoh menurut kebiasaan minum Kebiasaan minum Frekuensi minum air putih per hari < 5 gelas 5 gelas 7 gelas ≥ 8 gelas Total Konsumsi minuman isotonik Ya, pocari sweat Tidak Total Jumlah konsumsi minuman isotonik / hari 1 botol 2 botol Tidak pernah Total Konsumsi alcohol Ya Tidak Total
n
%
3 2 9 5 19
15.8 10.5 47.4 26.3 100
12 7 19
63.2 36.8 100
10 3 6 19
52.6 15.8 31.6 100
0 19 19
0 100 100
Kebiasaan Makan dan Minum Sebelum Pertandingan Kebiasaan makan dan minum sebelum pertandingan merupakan kebiasaan yang dimiliki oleh masing-masing atlet dengan rentang waktu yang berbeda setiap individunya. Berdasarkan hasil wawancara dan penyebaran kuesioner menunjukkan bahwa contoh memiliki rentang waktu yang berbeda-beda untuk kebiasaan makan dan minum sebelum pertandingan dan sebagian besar contoh sebesar 42.1% yang memiliki kebiasaan makan dan minum pada rentang waktu 23 jam konsumsi makanan lengkap sebelum pertandingan. Selain itu sebagian besar contoh memiliki kebiasaan menghindari makanan dan minuman tertentu sebelum pertandingan seperti: nasi, jajanan, minuman soda dan es, sayuran bersantan, cabai, makanan yang berminyak, dan susu. Menurut Brouns (1993) sebelum pertandingan, atlet disarankan untuk mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat 2-4 jam sebelum bertanding untuk meningkatkan cadangan glikogen atlet. Mengkonsumsi cairan secara cukup untuk menjaga agar status hidrasi atlet tetap dalam kondisi baik, menghindari diet yang tinggi serat untuk menghindari terjadinya masalah pencernaan selama pada saat pertandingan. Sebaran contoh menurut kebiasaan makan dan minum sebelum pertandingan dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.
21 Tabel 12 Sebaran contoh menurut kebiasaan makan dan minum sebelum pertandingan Kebiasaan makan dan minum sebelum pertandingan Retang waktu konsumsi makanan lengkap 1-2jam 2-3jam 3-4jam 4-5jam Total Makanan dan minuman yang dihindari sebelum pertandingan Ada Nasi Jajanan Minuman soda dan es Sayuran yang bersantan, cabai, makanan berminyak Susu Tidak ada Total
n
%
6 8 3 2 19
31.6 42.1 15.8 10.5 100
18 2 4 5
94.7 10.5 21.1 26.3
5 2 1 19
26.3 10.5 5.3 100
Kebiasaan Makan dan Minum Selama Pertandingan Kebiasaan mengkonsumsi makanan dan minuman selama bertanding penting dilakukan oleh atlet. Hal ini bertujuan untuk memperoleh makanan dan cairan yang cukup untuk memenuhi energi dan zat gizi agar cadangan glikogen dan status hidrasi tetap terpelihara. Selama pertandingan contoh memiliki makanan dan minuman yang sering dikonsumsi. Kebiasaan makan dan minum selama pertandingan merupakan kebiasaan yang dimiliki oleh masing-masing contoh dan hal ini berbeda setiap individunya. Berdasarkan hasil dari wawancara langsung dengan contoh dan penyebaran kuesioner menunjukkan bahwa contoh memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan dan minuman selama pertandingan dengan persentase sebesar 78.9% dari total keseluruhan contoh. Makanan dan minuman tersebut diantaranya pocari, air putih, roti, telur ayam, susu, buah, dan hanya 21.1% contoh yang tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan dan minuman selama pertandingan, sedangkan untuk kebiasaan makanan dan minuman yang dihindari hampir seluruh contoh memiliki kebiasaan menghindari makanan dan minuman tertentu selama pertandingan seperti: makanan berat, soft drink, cemilan, makanan pedas. Menurut Brouns (1993) konsumsi makanan atlet pada saat bertanding sebaiknya mengandung karbohidrat yang mencukupi untuk menjaga kadar gula darah dan oksidasi karbohidrat, mengandung cukup cairan dan elektrolit guna menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh, tidak menyebabkan gangguan pencernaan dan memiliki citarasa yang menarik. Selain itu konsumsi buah pisang juga sangat disarankan pada saat pertandingan, hal ini dikarenakan pisang merupakan buah yang mengandung kadar pati yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai makanan sumber karbohidrat pada saat pertandingan.
22 Menurut Irawan (2007) jika durasi pertandingan semakin lama maka atlet disarankan mengkonsumsi karbohidrat sebanyak 30-60 gram setiap jam nya dan mengkonsumsi cairan sebanyak 600-1500 ml untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang pada saat bertanding. Berikut tabel sebaran contoh menurut kebiasaan makan dan minum selama pertandingan.
Tabel 13 Sebaran contoh menurut kebiasaan makan dan minum selama pertandingan Kebiasaan makan dan minum selama pertandingan Makanan dan minuman yang dikonsumsi selama pertandingan Ada Pocari dan air putih Roti, telur ayam, susu, buah Tidak ada Total
n
%
15 7 8 4 19
78.9 36.8 42.1 21.1 100
Makanan dan minuman yang dihindari selama pertandingan Ada Makanan berat , soft drink Cemilan, makanan pedes Tidak ada Total
17 9 8 2 19
89.5 47.4 42.1 10.5 100
Kebiasaan Makan dan Minum Setelah Pertandingan Setelah pertandingan, energi di dalam tubuh berkurang dengan cepat. Selain itu, tubuh juga mengalami kehilangan cairan dan elektrolit melalui keringat karena aktivitas yang dilakukan selama pertandingan. Oleh sebab itu, makanan dan minuman setelah pertandingan sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk memulihkan keadaan tubuh seperti mengembalikan glikogen, mengganti cairan dan elektrolit yang terbuang untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh. Berdasarkan hasil wawancara dan penyebaran kuesioner menunjukan bahwa sebagian besar contoh mengkonsumsi makanan/minuman segera setelah bertanding berupa air dingin (5.3%), sari buah (31.6%) dan lainya seperti pocari dan air putih (63.2%). Tujuan dari pemberian air dingin setelah bertanding adalah karena pada saat pertandingan terjadi peningkatan pengeluaran energi yang besar, sehingga terjadi pengosongan lambung. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan air dingin yang bersuhu 5-100 C untuk mengatasi kekosongan lambung, karena air dingin lebih cepat diserap oleh usus. Selain itu, pemberian sari buah ditujukan untuk mengembalikan kadar glikogen atlet segera setelah bertanding. Hal ini karena sari buah mengandung karbohidrat yang tinggi yang mampu mengembalikan kadar gula darah tubuh. Pemberian cairan setelah bertanding bertujuan untuk mengembalikan air dan elektrolit yang hilang dari tubuh selama pertandingan. Setelah bertanding, sebagian besar contoh menyatakan bahwa tidak ada pantangan terhadap makanan atau minuman tertentu, sisanya menyatakan
23 memiliki pantangan terhadap makanan yaitu berupa makanan cepat saji (fast food). Sedangkan untuk konsumsi makanan lengkap setelah bertanding, sebagian besar contoh sebesar 57.9% contoh menyatakan mengkonsumsi makanan lengkap 1-2 jam setelah bertanding, 21.1% contoh mengkonsumsi makanan lengkap 2-3 jam setelah bertanding dan sisanya mengkonsumsi makanan lengkap 3-4 jam setelah bertanding. Atlet setelah bertanding sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan sesegera mungkin untuk mengembalikan glikogen tubuh. Berikut tabel sebaran contoh menurut kebiasaan makan dan minum setelah pertandingan.
Tabel 14 Sebaran contoh menurut kebiasaan makan dan minum setelah
pertandingan Kebiasaan makan dan minum setelah pertandingan Konsumsi segera seteleh pertandingan Air dingin Sari buah Tidak ada Lainnya Pocari Air putih Total Retang waktu konsumsi makanan lengkap 1-2jam 2-3jam 3-4jam 4-5jam Total Makanan dan minuman yang dihindari sebelum pertandingan Ada Minuman dingin Gorengan Coklat Tidak ada Total
n
%
1 6 0 12 6 6 19
5.3 31.6 0 63.2 31.6 31.6 100
11 4 4 0 19
57.9 21.1 21.1 0 100
7 3 1 3 12 19
36.8 15.8 5.3 15.8 63.2 100
Menurut Brouns (1993) setelah bertanding atlet disarankan untuk mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat dua jam setelah bertanding. Makanan sumber karbohidrat yang disarankan adalah makanan yang mempunyai indeks glikemik sedang hingga tinggi. Menambahkan konsumsi protein pada saat mengkonsumsi karbohidrat untuk meningkatkan stimulasi pengembalian glikogen, serta mengkonsumsi elektrolit untuk mengganti elektrolit yang hilang selama bertanding.
24 Gangguan Makan (kejadian anoreksia nervosa) Gangguan makan pada contoh yang menjadi bagian dari penelitian ini salah satunya gangguan makan yang dikaitkan dengan gejala anoreksia nervosa pada contoh dengan menggunakan EAT (Eating Attitudes Test). Contoh diberikan 40 pertanyaan mengenai kebiasaan makan yang dikaitkan dengan kejadian anoreksia nervosa, kemudian dari jumlah total nilai yang didapatkan contoh, dikategorikan menurut cut off score yang telah ditentukan berdasarkan status gizi normal contoh, dimana score ≤30 dikategorikan contoh yang tidak memiliki gangguan makan sedangkan score >30 dikategorikan contoh memiliki gangguan makan yang dikaitkan dengan gejala anoreksia nervos (Garner and Garfinkel 1979). Sebaran contoh berdasarkan klasifikasi EAT test berdasarkan status gizi normal dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 15 Sebaran contoh klasifikasi EAT test berdasarkan status gizi normal Cut off score Score ≤ 30 Score > 30 Total
Status gizi normal n % 10 52.6 9 47.4 19 100
Berdasarkan tabel diatas contoh yang tidak memiliki gangguan makan yang dikaitkan dengan kejadian gejala anoreksia nervosa memiliki score ≤ 30 dengan persentase sebesar 52.6% sedangkan contoh yang memiliki gangguan makan yang dikaitkan dengan kejadian gejala anoreksia nervosa dengan score >30 sebesar 47.4%. hampir sebagian besar contoh mengalami gangguan makan, dari hasil wawancara langsung dengan contoh, mereka mengaku bahwa mereka sangat menghindari makanan untuk menurunkan berat badan karena apabila contoh memiliki badan yang kurus, contoh tidak akan kesulitan dalam melakukan semua gerakan, selain itu agar tubuh contoh terlihat lebih indah saat latihan atau saat pertandingan. Gangguan makan yang dikaitkan dengan gejala kejadian anoreksia nervosa juga dibedakan menurut jenis kelaminnya, yang disajikan pada Tabel 16 berikut.
Tabel 16 Sebaran contoh klasifikasi EAT test berdasarkan jenis kelamin cut off score Score ≤ 30 Score > 30 Total
Status gizi normal Perempuan Laki-laki n % n % 3 27.3 7 87.5 8 72.7 1 12.5 11 100 8 100
Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa gangguan makan ini lebih banyak dimiliki oleh contoh yang berjenis kelamin perempuan dibandingkan laki-
25 laki, terlihat dari tabel diatas sebanyak 72.7% contoh perempuan yang memiliki gangguan makan sedangkan hanya sebanyak 12.5% contoh laki-laki yang memilki gangguan makan yang dikaitkan dengan kejadian anoreksia nervosa. Hasil penelitian ini sejalan menurut jacobson (2001) yang menyatakan bahwa masalah gizi yang dialami oleh atlet tidak hanya dari individu mereka masing-masing, tetapi ada pula yang menerima informasi dari sumber yang kurang terpercaya, seperti majalah dan sebagian lainnya dari pelatih mereka yang tidak mempunyai latar belakang untuk menyediakan saran gizi yang tepat.
Tingkat Kecukupan Gizi Energi Energi sangat dibutuhkan oleh manusia untuk melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Energi didapatkan dari berbagai bahan pangan yang kita makan setiap harinya. Besarnya kebutuhan energi tergantung dari energi yang digunakan setiap hari. Kebutuhan energi dapat dihitung dengan memperhatikan metabolisme basal yaitu banyaknya energi yang dipakai aktifitas jaringan tubuh sewaktu istirahat jasmani dan rohani (Burke 1992). Dari hasil recall kemudian diperoleh data konsumsi contoh yang kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi dan zat gizi lainnya. Angka kecukupan energi contoh diperoleh dari WKNPG 2004, dimana hal ini sudah disesuaikan dengan kondisi tubuh orang Indonesia. Faktor aktivitas yang digunakan adalah faktor aktivitas sangat aktif, dimana aktivitas yang dilakukan oleh contoh sangat aktif dari pagi hingga malam hari terutama pada saat latihan intensif. Menurut Depkes (1996), tingkat kecukupan energi dibagi kedalam lima kategori, yaitu defisit tingkat berat (< 70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal (90-119%), dan kelebihan (≥120%). Berikut ini rata-rata tingkat kecukupan energi contoh secara keseluruhan.
Gambar 2 Rata-rata tingkat kecukupan energi contoh Berdasarkan Gambar 2 diatas terlihat bahwa contoh hanya berada pada dua kategori yaitu kategori defisit tingkat berat dan defisit tingkat sedang. Sebagian besar contoh memiliki tingkat kecukupan energi pada kategori defisit tingkat berat
26 karena tingkat kecukupannya <70% dengan persentase sebesar 89.5%, sedangkan contoh yang termasuk pada kategori defisit tingkat sedang sebesar 10.5%. Konsumsi energi contoh diperoleh dengan menggunakan metode recall 2 x 24 jam yaitu satu hari recall hari libur dan satu hari recall hari sekolah. Tujuan dari metode recall 2x24 jam ini adalah untuk dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi yang lebih optimal pada saat berada di asrama dan diluar asrama. Hal ini dikarenakan pada saat di hari libur, konsumsi contoh sebagian besar tidak ditentukan oleh penyelenggara makanan di asrama. Berdasarkan hasil recall kemudian diperoleh data konsumsi contoh yang kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi dan zat gizi lainnya. Angka kecukupan energi contoh diperoleh dari WKNPG 2004, dimana hal ini sudah disesuaikan dengan kondisi tubuh orang Indonesia. Faktor aktivitas yang digunakan adalah faktor aktivitas sangat aktif, dimana aktivitas yang dilakukan oleh contoh sangat aktif dari pagi hingga malam hari terutama pada saat latihan intensif, sehingga didapatkan ratarata konsumsi energi keseluruhan contoh sebesar 1015 kkal, konsumsi energi terendah contoh sebesar 545 kkal sedangkan konsumsi tertinggi contoh sebesar 1564 kkal. Menurut Angka Kecukupan Gizi yang tercantum dalam Widyakarya Pangan dan Gizi (1998) rata-rata tingkat kecukupan energi yang harus di penuhi oleh seorang laki-laki yang berumur 16-19 tahun yang berprofesi bukan sebagai atlet adalah 2500 kkal, sedangkan kebutuhan energi orang yang berprofesi sebagai atlet akan lebih besar dari pada non atlet. Pernyataan ini tidak sejalan dengan kondisi tingkat kecukupan atlet senam di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta. Permasalahan ini juga sering terjadi ditingkat profesional bahwa ketidakcukupan asupan gizi berhubungan dengan asupan kalori yang rendah, bahkan atlet-atlet yang masih dalam usia pertumbuhan berisiko terhadap keterlambatan pertumbuhan dan penundaan kematangan saat latihan atau kompetisi jika atlet tersebut terus menerus mengalami kekurangan asupan energi dalam jangka waktu yang lama (Daly 2002). Protein Protein dari makanan yang kita konsumsi sehari-hari dapat berasal dari hewani maupun nabati. Protein yang berasal dari hewani seperti daging, ikan, ayam, telur, susu, dan lain-lain disebut protein hewani, sedangkan protein yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti kacang-kacangan, tempe, dan tahu disebut protein nabati. Protein dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan, pembentukan otot, pembentukan sel-sel darah merah, pertahanan tubuh terhadap penyakit, enzim dan hormon, dan sintesa jaringan-jaringan tubuh lainnya. Protein dapat berfungsi sebagai sumber energi apabila karbohidrat yang dikonsumsi tidak mencukupi seperti pada waktu berdiit ketat atau pada waktu latihan fisik intensif. Sebaiknya kurang lebih 10-15% dari total kalori yang dikonsumsi berasal dari protein (Depkes 1993). Menurut Depkes (1996), tingkat kecukupan energi dibagi kedalam lima yaitu: defisit tingkat berat (< 70%), defisit tingkat sedang (7079%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal (90-119%), dan kelebihan (≥120%). Berikut ini rata-rata tingkat kecukupan protein contoh secara keseluruhan. Berdasarkan Gambar 3 menunjukan bahwa lebih dari sebagian besar contoh memiliki tingkat kecukupan protein masih dalam kategori defisit berat
27 dengan persentase sebesar 63.2%, kategori defisit sedang sebesar 21.1% sedangkan contoh yang memiliki tingkat kecukupan protein dalam kategori normal hanya sebesar 15.8% dan tidak ada contoh yang berada pada kategori defisit ringan dan lebih. Berdasarkan hasil recall rata-rata konsumsi protein contoh yaitu 39 gram, dengan konsumsi terendah yaitu 16 gram dan konsumsi tertinggi yaitu sebesar 65 gram, dengan jenis pangan sumber protein yang sering dikonsumsi oleh contoh adalah daging ayam, telur, ikan, dan daging sapi.
Gambar 3 Rata-rata tingkat kecukupan protein contoh Menurut Irawan (2007) kebutuhan protein atlet disebutkan berada pada rentang 1.2-1.6 gr/kg berat badan per-harinya dan nilai ini berada diatas kebutuhan protein bagi non-atlet yaitu sebesar 0.6-0.8 gr/kg berat badan. Peningkatkan kebutuhan protein bagi atlet ini disebabkan oleh karena atlet lebih beresiko untuk mengalami kerusakan jaringan otot terutama saat menjalani latihan atau pertandingan olahraga yang berat (Primana 2000). Walaupun protein merupakan zat pembangun jaringan tubuh namun tidak berarti makin tinggi konsumsi protein makin besar pembentukan otot. Pembentukan massa otot dan kekuatanya ditentukan oleh latihan yang terprogram dengan baik yang harus di tunjang oleh makanan yang cukup. Pada prakteknya atlet harus mengutamakan makanan lebih banyak karbohidrat dari pada lebih banyak protein (Primana 2000). Peranan protein sendiri bagi atlet sangatlah penting, protein diperlukan untuk membesarkan otot, mengatur keseimbangan asam basa tubuh, selain itu untuk olahraga yang berdurasi lama, protein otot mudah dikonversi pada saat dibutuhkan. (Gibala et al. 2000). Lemak Lemak merupakan zat gizi penghasil energi terbesar, besarnya lebih dari dua kali energi yang dihasilkan karbohidrat dan protein. Olahraga endurance merupakan olahraga yang dilakukan dengan intensitas rendah sampai sedang (submaksimal) dan berlangsung dalam waktu lama. Lemak merupakan sumber energi yang penting untuk kontraksi otot selama olahraga endurance (Primana 2000). Berikut ini rata-rata tingkat kecukupan lemak contoh secara keseluruhan. Berdasarkan Gambar 4 diatas menunjukan bahwa sebagian besar tingkat kecukupan lemak contoh dalam kategori defisit dengan persentase sebesar 89.5% sedangkan hanya sebesar 10.5% contoh yang berada pada kategori normal. Ratarata konsumsi lemak contoh yaitu sebesar 38.5 gram dengan konsumsi terendah
28 yaitu sebesar 20 gram dan konsumsi tertinggi yaitu sebesar 64 gram. Berdasarkan hasil recall contoh sangat menghindari makanan yang mengandung lemak tinggi. Angka kecukupan lemak atlet adalah sebanyak 20-25% menurut WKNPG 2004. Hal ini dikarenakan konsumsi makanan contoh yang cukup banyak mengandung lemak seperti telur, daging sapi, daging unggas, minyak, ataupun santan dalam pengolahan menu.
Gambar 4 Rata-rata tingkat kecukupan lemak contoh Walaupun atlet olahraga endurance pembentukan energi sebagian besar berasal dari lemak, namun atlet tidak boleh mengkonsumsi lemak secara berlebihan. Anjuran untuk seorang atlet dalam konsumsi lemak yaitu kurangi konsumsi lemak secara berlebihan dan tidak lebih dari 30% total energi (Primana 2000). Konsumsi tinggi lemak pada atlet akan berdampak kurang baik karena tidak dapat menghasilkan VO2max lebih dari 60% (coggan et al. 1996). Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama dan memegang peranan sangat penting untuk seorang atlet dalam melakukan olahraga, untuk berolahraga energi berupa ATP dapat diambil dari karbohidrat yang terdapat dalam tubuh berupa glukosa dan glikogen yang disimpan dalam otot dan hati. Selama beberapa menit, permulaan kerja glukosa darah merupakan sumber energi utama, selanjutnya tubuh menggunakan glikogen otot dan glikogen hati. Glikogen otot dipergunakan secara langsung oleh otot untuk pembentukan energi, sedangkan glikogen hati mengalami perubahan menjadi glukosa yang akan masuk ke peredaran darah untuk selanjutnya dipergunakan oleh otot (Depkes 1993). Berikut ini rata-rata tingkat kecukupan karbohidrat contoh secara keseluruhan. Berikut ini rata-rata tingkat kecukupan kaarbohidrat contoh secara keseluruhan.
29
Gambar 5 Rata-rata tingkat kecukupan karbohidrat contoh Berdasarkan Gambar 5 diatas dapat diketahui tingkat kecukupan karbohidrat contoh secara keseluruhan berada pada kategori defisit berat dengan persentase sebesar 100% hal ini perlu mendapat perhatian lebih serius mengingat contoh lebih banyak melakukan aktivitas setiap harinya. Rata-rata konsumsi karbohidrat contoh yaitu sebesar 131.6 gram dengan konsumsi terendah yaitu sebesar 67 gram dan konsumsi tertinggi yaitu sebesar 208 gram. Berdasarkan hasil recall konsumsi karbohidrat yang kurang dikarenakan contoh kurang mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat seperti nasi, umbi, kentang dan lain-lainnya. Menurut Almatsier (2004) kebutuhan karbohidrat untuk orang yang bukan berprofesi sebagai atlet adalah 55-75% berasal dari karbohidrat kompleks dan 10% berasal dari gula sederhana. Pemberian karbohidrat bagi seorang atlet bertujuan untuk mengisi kembali simpanan glikogen otot dan glikogen hati yang telah dipakai pada kontraksi otot. Sebaiknya karbohidrat diberikan 60-70% dari total energi yang dibutuhkan atau sama dengan 6-10 gram/kg BB/hari. Karbohidrat dalam makanan sebagian besar harus dalam bentuk karbohidrat kompleks, sedangkan karbohidrat sederhana hanya sebagian kecil saja (Depkes 1993). Di negara maju kebutuhan karbohidrat orang aktif atau atlet yang melakukan latihan berat dan intensif adalah 60% dari kebutuhan energi total (400600 gram) sehari yang diberikan dalam bentuk karbohidrat kompleks. Kalsium Vitamin dan mineral memainkan peranan penting dalam mengatur dan membantu reaksi kimia zat gizi penghasil energi, sebagai koenzim dan kofaktor. Pada keadaan defisiensi satu atau lebih dapat mengganggu kapasitas latihan. Kecukupan vitamin dan mineral bagi atlet yang melakukan olahraga berat akan meningkat seperti hal nya zat-zat gizi sumber energi dan protein. Pemenuhan kecukupan vitamin dan mineral dari bahan makanan sering sulit dipenuhi oleh karena tidak mudah mengkonsumsi sayur dan buah-buahan dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhannya (Clark 1996 dalam Minhardja 2000). Menurut Gibson (2005) bahwa tingkat kecukupan vitamin dan mineral dibedakan menjadi dua kategori, yaitu kurang (<77%) dan cukup (≥77%). Berikut rata-rata tingkat kecukupan vitamin dan mineral. Berikut ini rata-rata tingkat kecukupan kalsium contoh secara keseluruhan.
30
Gambar 6 Rata-rata tingkat kecukupan kalsium contoh Berdasarkan Gambar 6 diatas terlihat bahwa tingkat kecukupan kalsium pada contoh masih dalam kategori defisit sebesar 52.6% karena tingkat kecukupan (<77%) sedangkan yang berada pada kategori normal sebesar 47.4%. Rata-rata konsumsi kalsium contoh yaitu sebesar 551.2 mg, dengan konsumsi terendah yaitu sebesar 74 mg dan konsumsi tertinggi yaitu sebesar 2311 mg. Menurut WKNPG 2004 kecukupan kalsium remaja yang berumur 16-18 tahun adalah sebanyak 1000 mg setiap harinya. Zat Besi Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Zat besi mempunyai beberapa fungsi essensial di dalam tubuh, yaitu sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bahan terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2004). Berikut ini rata-rata tingkat kecukupan zat besi contoh secara keseluruhan.
Gambar 7 Rata-rata tingkat kecukupan besi contoh Berdasarkan tingkat kecukupan zat besi dari Gambar 7 diatas terlihat bahwa hampir seluruh contoh yang menjadi sampel penelitian ini berada pada kategori defisit dengan persentase sebesar 94.7% sedangkan hanya 5.3% contoh yang berada pada kategori normal. Rata-rata konsumsi zat besi contoh yaitu sebesar 7.8 mg, dengan konsumsi terendah yaitu sebesar 3 mg dan konsumsi tertinggi yaitu
31 sebesar 15 mg. Kecukupan zat besi yang dianjurkan oleh WKNPG tahun 2004 untuk remaja pria berumur 13-15 tahun adalah sebanyak 19 mg, sedangkan untuk remaja pria berumur 16 tahun sebanyak 15 mg. Kecukupan besi untuk remaja wanita berumur 15 dan 16 tahun sebanyak 26 mg. Vitamin A Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang pertama ditemukan dan merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekursor/provitamin, A/karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik seperti retinol. Fungsi utama dari vitamin A adalah sebagai bagian yang vital pada sistem penglihatan (Wolinsky & Driskell 2006). Selain berperan dalam proses penglihatan, vitamin A juga berperan dalam kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan reproduksi, dan pencegahan penyakit kanker dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung (Almatsier 2004).
Gambar 8 Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A contoh Vitamin A bagi atlet sangat berperan penting dalam differensiasi sel, oleh sebab itu asupan vitamin A yang cukup sangat diperlukan dalam peningkatan performa atlet dan pemulihan latihan. Berdasarkan dari Gambar 8 terlihat bahwa hampir seluruh contoh yang menjadi sampel penelitian ini berada pada kategori normal dengan persentase sebesar 94.7% sedangkan hanya 5.3% contoh yang berada pada kategori defisit. Rata-rata konsumsi vitamin A contoh yaitu sebesar 1218 μgRE, dengan konsumsi terendah yaitu sebesar 280 μgRE dan konsumsi tertinggi yaitu sebesar 2049 μgRE. Menurut Wolinsky dan Driskell (2006) intake vitamin A yang dianjurkan bagi atlet yang berumur diantara 14-18 tahun sebaiknya lebih dari 900 μgRE dan tidak melebihi 2800 μgRE. Kelebihan konsumsi vitamin A menurut Sulaeman dan Muhilal (2004) dapat memberikan efek teratogenik, kelainan jantung, kelainan saluran kemih, mengganggu sistem saraf pusat dan tulang otot. Vitamin B1 Vitamin B1 atau yang lebih biasa dikenal dengan nama tiamin merupakan vitamin yang berfungsi sebagai koenzim yang penting dalam metabolisme energi dari karbohidrat, sehingga asupan sehari-hari sangat penting untuk mencukupi kebutuhan tubuh. Jumlah tiamin yang dianjurkan dalam kebutuhan harus
32 berdasarkan pada jumlah karbohidrat dalam makanan (Setiawan & Rahayuningsih 2004).
Gambar 9 Rata-rata tingkat kecukupan vitamin B1 contoh Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa hampir seluruh contoh yang menjadi sampel penelitian ini berada pada kategori defisit dengan persentase sebesar 94.7% sedangkan hanya 5.3% contoh yang berada pada kategori normal. Rata-rata konsumsi vitamin B1 contoh yaitu sebesar 0.4 mg, dengan konsumsi terendah yaitu sebesar 0 mg dan konsumsi tertinggi yaitu sebesar 1 mg. Kebutuhan tiamin dipengaruhi oleh umur, asupan energi, asupan karbohidrat, dan berat badan. Angka kecukupan tiamin sehari-hari pada remaja yang berumur 13-16 tahun adalah 1 mg per hari menurut WKNPG tahun 2004. Sumber utama tiamin di dalam makanan adalah serealia, kacang-kacangan, semua daging organ, daging tanpa lemak, dan kuning telur (Almatsier 2004). Vitamin C Vitamin C atau yang biasa dikenal dengan nama asam askorbat merupakan salah satu vitamin larut air yang berfungsi dalam sintesis kolagen, katekolamin, serotonin dan karnitin di dalam tubuh. Vitamin C merupakan antioksidan yang sangat kuat dalam menangkal radikal bebas. Vitamin C juga berguna dalam absorbsi zat besi, peredaran, dan juga cadangannya, dalam aktivitas, vitamin C berguna dalam stimulasi sistem imun, mengurangi kelelahan dan kelemahan otot, meningkatkan performa, dan melindungi sel dari ancaman radikal bebas (Chen 2000). Berikut ini rata-rata tingkat kecukupan vitamin C contoh secara keseluruhan.
Gambar 10 Rata-rata tingkat kecukupan vitamin C contoh
33 Berdasarkan Gambar 10 terlihat bahwa seluruh contoh yang menjadi sampel penelitian ini berada pada kategori defisit dengan persentase sebesar 100% sedangkan tidak ada contoh yang berada pada kategori normal. Rata-rata konsumsi vitamin C contoh yaitu sebesar 16.6 mg, dengan konsumsi terendah yaitu sebesar 0 mg dan konsumsi tertinggi yaitu sebesar 45 mg. Kecukupan vitamin C yang dianjurkan untuk individu adalah sebanyak 60 mg per hari (Setiawan & Rahayuingsih 2004). Namun jumlah tersebut dapat melebihi anjuran, hal ini dikarenakan terdapat beberapa aktivitas fisik yang terkadang menurunkan kadar vitamin C di dalam tubuh. Menurut Wolinsky dan Driskell (2006) asupan vitamin C bagi atlet dapat bervariasi dari 100 mg hingga 1000 mg per hari bergantung kepada aktivitas yang dilakukan. Status Gizi Status gizi merupakan masukan zat gizi dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Untuk mencapai status gizi baik diperlukan pangan yang mengandung cukup zat gizi, aman untuk dikonsumsi dan dapat memenuhi yang ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: umur, jenis kelamin, aktivitas fisik, berat badan dan tinggi badan, keadaan fisiologis dan kedaan kesehatan. Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilisasi (Utilization) zat gizi makanan. Penilaian terhadap status gizi seseorang atau sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau sekelompok orang tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Riyadi 2001). Penilaian status gizi contoh berdasarkan pada indeks massa tubuh (IMT) menurut umur (IMT/U) yang mengacu kepada referensi WHO 2007. Status gizi tersebut dikategorikan menjadi enam kelompok, yaitu severe thinness (≤ -3 SD), thinness (-2 SD ≤ z-score < -3 SD), normal (-2 SD < z-score < +1 SD), overweight (+1 SD ≤ z-score < +2 SD), obese (+2 SD ≤ z-score < +3 SD), dan severe obese (≥ +3 SD) (WHO 2007). Penentuan nilai status gizi ditentukan berdasarkan WHO Anthroplus 2007 yang mengacu kepada WHO 2007. Berikut sebaran contoh berdasarkan klasifikasi status gizi.
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan klasifikasi status gizi. Status Gizi Severe thinness Thinness Normal Overweight Obese Severe obese
Atlet senam n % 0 0 0 0 19 100 0 0 0 0 0 0
Berdasarkan Tabel 17 di atas dapat dilihat bahwa status gizi contoh secara keseluruhan berstatus gizi normal. Pada contoh perempuan maupun laki-laki seluruhnya 100% berstatus gizi normal. Menurut Hapsah et al. (2012) keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam jangka waktu
34 yang cukup lama dan tercermin dari nilai status gizinya. Status gizi secara langsung dipengaruhi oleh faktor konsumsi pangan dan status kesehatan. Konsumsi pangan, salah satunya dipengaruhi oleh akses terhadap pangan ditentukan oleh tingkat pendapatan seseorang (Riyadi 2003). Pada periode remaja terjadi perubahan bentuk tubuh dan terjadi perkembangan secara psikologinya. Pada usia remaja tersebut cenderung memperhatikan bentuk tubuhnya. Persepsi Body Image Body image adalah gambaran mengenai tubuh seseorang yang terbentuk dalam pikiran individu itu sendiri, atau dengan kata lain gambaran tubuh individu menurut individu itu sendiri. Menurut Thompson et all. (1999) menyatakan bahwa body image adalah evaluasi terhadap ukuran tubuh seseorang, berat ataupun aspek tubuh lainnya yang mengarah kepada penampilan fisik. Body image pada umumnya dialami oleh mereka yang menganggap bahwa penampilan adalah faktor yang paling penting dalam kehidupan. Hal ini terutama terjadi pada usia remaja, mereka beranggapan bahwa tubuh yang kurus dan langsing adalah yang ideal bagi wanita, sedangkan tubuh yang kekar dan berotot adalah yang ideal bagi pria (Germov & Williams 2004). Berikut data hasil persepsi terhadap bentuk tubuh aktual dan ideal contoh dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran persepsi bentuk tubuh aktual dan ideal contoh Persepsi Tubuh
Ideal
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5
Total
Aktual
Total
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5
n 0 3 10 4 2 19 1 2 9 6 1 19
Jumlah Atlet % 0 15.8 52.6 21.1 10.5 100 5.3 10.5 47.4 31.6 5.3 100
35 Dibawah ini merupakan gambar dari body image yang disajikan dalam kuesioner menurut (Stunkard 1983).
Gambar 11 Skala body image Berdasarkan tabel sebaran persepsi bentuk tubuh aktual dan ideal contoh. Seluruh contoh hanya memilih gambar 2,3,4, dan 5 sebagai persepsi tubuh ideal mereka, dengan proporsi lebih dari setengah contoh memilih gambar 3 sebagai persepsi tubuh ideal mereka, sebanyak 15.8% contoh yang memilih gambar 2, sebanyak 21.1% contoh yang memilih gambar 4 dan sebanyak 10.5% yang memilih gambar 5 sebagai persepsi tubuh ideal mereka. Berbeda pada persepsi tubuh aktual mereka, seluruh contoh memilih gambar 1, 2, 3, 4 dan 5 sebagai persepsi tubuh aktual mereka, dengan masing-masing proporsi sebanyak 10.3% dari contoh memilih gambar 2 sebagai persepsi tubuh aktual mereka, sebanyak 47.4% contoh yang memilih gambar 3, sebanyak 31.6% contoh yang memilih gambar 4 dan hanya sebanyak 5.3% yang memilih gambar 1 dan gambar 5 sebagai persepsi tubuh aktual mereka. Proporsi ini sangat tersebar pada contoh yang menjadi sampel penelitian ini, dan dapat disimpulkan secara umum gambar 3 dipilih contoh sebagai bentuk tubuh ideal dan aktual mereka karena menurut mereka atlet senam membutuhkan body image seperti gambar 3 agar tidak kesulitan dalam melakukan setiap gerakan yang mereka lakukan. Persepsi bentuk tubuh juga dibedakan menurut jenis kelaminnya, disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Persepsi bentuk tubuh aktual dan ideal menurut jenis kelamin Laki-laki
Persepsi tubuh
Ideal
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5
Total
Aktual
Total
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5
n 0 0 4 3 1 8 1 1 2 3 1 8
% 0 0 50 37.5 12.5 100 12.5 12.5 25 37.5 12.5 100
Perempuan n % 0 0 3 27.3 6 54.5 1 9.1 1 9.1 11 100 0 0 1 9.1 7 63.6 3 27.3 0 0 11 100
36 Berdasarkan Tabel 19, sebagian besar contoh perempuan dengan persentase sebesar 54.5% dan contoh laki-laki dengan persentase sebesar 50 % memilih gambar 3 sebagai persepsi tubuh ideal mereka, sedangkan untuk persepsi bentuk tubuh aktual pada contoh perempuan dengan persentase sebesar 63.6% memilih gambar 3 dan sebagian besar contoh laki-laki dengan persentase 37.5% memillih gambar 4 sebagai gambaran bentuk tubuh yang aktual mereka. Secara keseluruhan gambar 3 dipilih oleh contoh perempuan dan laki-laki sebagai persepsi tubuh ideal mereka. Namun, terdapat perbedaan pada persepsi tubuh aktual gambar 4 dipilih oleh contoh laki-laki sebagai persepsi tubuh aktual sedangkan gambar 3 dipilih contoh perempuan sebagai persepsi tubuh aktual mereka. Selain itu juga bentuk tubuh aktual contoh dibandingkan dengan status gizi mereka saat ini. Berikut Tabel 20 sebaran bentuk tubuh aktual terhadap status gizi contoh. Tabel 20 Persepsi bentuk tubuh aktual contoh atlet senam terhadap status gizi Persepsi tubuh
Aktual Total
Kurus Ideal Gemuk
Status gizi normal n % 5 26.3 4 21.1 10 52.6 19 100
Berdasarkan Tabel 20 diatas status gizi seluruh contoh atlet senam adalah normal, sehingga data yang disajikan hanya yang berstatus gizi normal saja. Persepsi tubuh aktual yang kurus tetapi berstatus gizi normal berjumlah 26.3%. Persepsi tubuh aktual ideal dengan status gizi normal juga berjumlah 21.1%, sedangkan persepsi tubuh aktual gemuk dengan status gizi normal berjumlah 52.6%, dapat disimpulkan bahwa lebih dari setengah contoh memilki persepsi tubuh yang gemuk namun status gizinya masih pada kategori normal. Persepsi body image dinyatakan dengan dua kategori, yaitu persepsi negatif dan persepsi positif. Persepsi body image negatif merupakan suatu persepsi dimana penilaian terhadap bentuk tubuh aktualnya tidak sesuai dengan status gizinya, sedangkan persepsi body image positif merupakan suatu persepsi dimana penilaian terhadap bentuk tubuh aktualnya sesuai dengan status gizinya. Berdasarkan Tabel 20 diatas contoh yang mempersepsikan tubuh aktualnya kurus dan gemuk tetapi status gizinya normal, maka dapat disimpulkan memiliki persepsi body image yang negatif, sedangkan contoh yang mempersepsikan tubuh aktualnya ideal dan status gizinya pun normal, dapat disimpulkan contoh tersebut memiliki persepsi body image yang positif. Contoh yang memiliki persepsi body image aktual kurus dan gemuk, maka contoh akan merasa kurang percaya diri terhadap bentuk tubuhnya. Hal tersebut dapat mempengaruhi hubungan sosial dengan teman sebayanya, karena contoh merasa bentuk tubuhnya tidak indah dan tidak sesuai dengan harapan, tetapi ada juga contoh yang merasa tubuhnya kurus itu akan terlihat lebih cantik. Hal tersebut dapat mempengaruhi kebiasaan makan contoh dan dapat menyebabkan gangguan makan yang akan berdampak pada kecukupan gizi.
37 Persepsi body image dinilai dari kesesuaian antara persepsi bentuk tubuh aktual contoh terhadap status gizi. Apabila terjadi kesesuaian antara persepsi tubuh aktual contoh dengan status gizi maka disebut sebagai persepsi body image positif, begitu pula sebaliknya. Hasil penelitian body image dapat dilihat pada Tabel 21 berikut.
Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan klasifikasi persepsi body image Jumlah atlet n % 15 78.9 4 21.1 19 100
Persepsi tubuh Negatif Positif Total
Berdasarkan Tabel 21 sebagian besar contoh memiliki persepsi body image negatif lebih banyak dibandingkan contoh yang memiliki persepsi body image positif. Contoh yang memiliki persepsi body image negatif, merasa dirinya kurus dan gemuk padahal berstatus gizi normal sebanyak 78.9 % dari jumlah keseluruhan contoh sedangkan contoh yang merasa dirinya ideal dan berstatus gizi normal hanya sebesar 21.1% dari keseluruhan contoh. Hal ini dikarenakan contoh atlet senam sangat lebih memperhatikan bentuk tubuhnya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, mereka mengaku bahwa mereka harus selalu mempertahankan bentuk tubuh yang ideal agar pada saat bertanding tubuhnya terlihat indah dan tidak mengalami kesulitan saat melakukan gerakan saat latihan maupun saat bertanding. Selain itu, hal ini juga menjadi faktor penentu contoh diikut sertakan atau tidak didalam pertandingan cabang olahraga senam ini. Banyak faktor yang mempengaruhi body image negatif yaitu pengalaman saat ini dan masa lampau, perkembangan tingkat kognitif, dan pembentukan jati diri. Faktor lainnya adalah tingkat ketertarikan terhadap lawan jenis, besar ukuran tubuh dan penampakan fisik, hubungan dengan saudara dan teman sebaya, dan tingkat pencapaian individu yang ideal. Waktu dan laju kematangan juga menjadi faktor penting dalam pembentukan jati diri (Mandleco 2004). Selain itu untuk persepsi body image berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 22 berikut.
Tabel 22 Sebaran contoh klasifikasi persepsi body image berdasarkan jenis kelamin Persepsi tubuh Negatif Positif Total
Laki-laki n 6 2 8
% 75 25 100
Perempuan n % 9 81.8 2 18.2 11 100
Berdasarkan tabel di atas, pada laki-laki sebesar 25% dan perempuan sebasar 18.2% memiliki persepsi persepsi body image positif, sedangkan sebagian
38 besar dari keseluruhan contoh yang diteliti yaitu laki-laki sebesar 75% dan pada perempuan sebesar 81.8% memilki persepsi body image negatif. Sejalan dengan Cavadini (2000) perhatian terhadap bentuk tubuh merupakan perkembangan normal remaja, namun pengaruh budaya dan iklan dari berbagai media massa yang menekan bentuk tubuh remaja putri adalah kurus mendorong remaja untuk melakukan diet. Tingkat Kebugaran Kelentukan (flexibility) Menurut Harsono (1988) kelentukan adalah kemampuan untuk melakukan gerakan dalam ruang gerak sendi dan ditentukan oleh elastisitas otot-otot tendon dan ligamen. Kelentukan adalah luas bidang gerak tubuh pada persendian, yang selain dipengaruhi oleh jenis sendi itu sendiri juga dipengaruhi oleh jaringanjaringan disekitar sendi, seperti oleh otot, tendon, dan ligamen. Kelentukan tubuh yang baik dapat mengurangi terjadinya cedera olahraga (Depkes, 1996). Faktor fisiologis yang mempengaruhi kelentukan antara lain: usia dan aktivitas. Pada usia lanjut kelentukan berkurang sebagai akibat menurunnya elastisitas otot sebagai akibat kurang latihan. Sebaran contoh berdasarkan nilai flexibility dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 23 berikut.
Tabel 23 Nilai flexibility atlet senam berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Jumlah atlet 8 11
Nilai flexibility(cm) 20.9 ± 6.20 22.9 ± 3.90
Berdasarkan tabel di atas nilai rata-rata flexibility pada contoh laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan contoh perempuan. Rata-rata nilai flexibility pada contoh laki-laki sebesar 20.9 cm sedangkan untuk contoh perempuan dengan ratarata nilai flexibility sebesar 22.9 cm. Namun, nilai rata-rata ini termasuk kategori sangat baik. Kelentukan memiliki banyak keuntungan dalam hal kesehatan, diantaranya pergerakan yang baik, meningkatkan resistensi cedera dan rasa sakit pada otot, mengurangi resiko sakit pinggang dan kolumna spinal lainnya, meningkatkan postur tubuh, tubuh bergerak lebih gemulai, meningkatkan penampilan pribadi, perkembangan keterampilan berolahraga dan mengurangi tekanan darah dan stres (Fatmah 2011). Selain itu, nilai flexibility dilihat berdasarkan umur seperti pada tabel bawah ini.
Tabel 24 Nilai flexibility atlet senam berdasarkan umur Usia <13 tahun 13-15 tahun > 15 tahun
Jumlah atlet 1 12 6
Nilai flexibility(cm) 20.8 21.1 24.3
39 Berdasarkan Tabel 24 dapat lihat bahwa contoh dengan usia <13 tahun memiliki rata-rata nilai flexibility sebesar 20.8 cm, untuk contoh yang berusia 1315 tahun memiliki nilai flexibility sebesar 21.1 cm sedangkan contoh dengan usia >15 memiliki rata-rata nilai flexibility sebesar 24.3 cm, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi usia contoh, rata-rata nilai flexibility juga semakin tinggi. Berbeda pada penelitian sebelumnya bahwa hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada contoh laki-laki lebih baik tingkat flexibility dibandingkan perempuan (Fatmah 2011). Daya Tahan Daya tahan atau endurance dalam hal ini dikenal dua macam daya tahan, yakni: daya tahan umum atau general endurance kemampuan seseorang dalam mempergunakan sistem jantung, paru-paru, dan peredaran darahnya secara efektif dan efisien untuk menjalankan kerja secara terus menerus yang melibatkan kontraksi sejumlah otot dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama. Daya tahan otot atau local endurance yaitu kemampuan seseorang dalam mempergunakan ototnya untuk berkontraksi secara terus menerus dalam waktu yang relatif lama dengan beban tertentu (Suwandi 1995). Dalam penelitian ini untuk mengukur daya tahan contoh menggunakan hasil nilai VO2max yang didapatkan dari hasil tes balke yang dilakukan contoh. VO2max adalah jumlah maksimum oksigen dalam milliliter yang dapat digunakan dalam satu menit per kilogram berat badan. Individu yang berada dalam kondisi sehat memiliki nilai VO2max yang lebih tinggi dan dapat melaksanakan aktivitas lebih baik dari pada individu yang berada dalam kondisi tidak sehat (Mackenzie 1997). Sebaran nilai VO2max contoh berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 25 Nilai VO2max atlet senam berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Jumlah atlet 8 11
Nilai vo2 max (ml/kg/menit) 46.54 ± 2.1 44.77 ± 4.6
Jenis kelamin atlet dapat mempengaruhi nilai VO2max atlet senam. Selain jenis kelamin nilai VO2max juga dipengaruhi oleh kemampuan kimia dari sistem jaringan otot selular untuk menggunakan oksigen dalam mengurai bahan bakar dan kemampuan gabungan sistem jantung dan paru untuk mengangkut oksigen ke sistem jaringan otot (Mackenzie 1997). Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa rata-rata nilai VO2max contoh yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 46.54 ml/kg/menit, sedangkan rata-rata nilai VO2max perempuan sebesar 44.77 ml/kg/menit. Selain jenis kelamin, nilai VO2max juga dapat berbeda-beda antara setiap individu karena dipengaruhi oleh faktor umur. Sebaran nilai VO2max atlet senam berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 26 berikut.
40 Tabel 26 Nilai VO2 max atlet senam berdasarkan umur Usia <13 tahun 13-15 tahun > 15 tahun
Jumlah atlet 1 12 6
Nilai vo2 max (ml/kg/menit) 46.80 46.55 43.23
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa contoh yang berusia <13 tahun memilki nilai rata-rata VO2max sebesar 46.80 ml/kg/menit, contoh yang berusia 13-15 tahun memilki nilai rata-rata VO2max sebesar 46.55 ml/kg/menit, sedangkan contoh yang berusia >15 tahun memilki nilai rata-rata VO2max sebesar 43.23 ml/kg/menit, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi usia umur contoh semakin rendah rata-rata nilai VO2maxnya. Banyak hal yang dapat mempengaruhi hasil tes balke diantaranya suhu, tingkat kebisingan dan kelembaban, waktu tidur atlet sebelum melaksanakan tes, emosi atlet, obat-obatan yang sedang dikonsumsi oleh atlet, waktu pelaksanaan tes, asupan kafein atlet, waktu makan terakhir atlet, lingkungan pelaksanaan tes (rumput, track, jalanan, gym), pengetahuan atlet, akurasi pengukuran apakah atlet benar benar menggunakan usaha maksimal untuk melakukan tes, kepribadian, pengetahuan dan kemampuan penguji (Mackenzie 1997). Selain itu menurut Wilmore dan Costill (1994) bahwa kapasitas VO2max sebagai indikator stamina atlet dalam ilmu olahraga juga sering digunakan sebagai istilah kapasitas aerobik yaitu penggunaan oksigen maksimal dalam tempo tercepat karena seorang atlet dapat menggunakan oksigen selama olahraga dan latihan yang terprogram dan terukur dapat memberikan peningkatan kapasitas VO2max antara 10%-20%. Uji Antar Variabel Uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel yang diuji yaitu hubungan antar persepsi body image contoh dengan tingkat kecukupan energi dan protein, hubungan karakteristik contoh dengan tingkat kelentukan dan daya tahan, selain itu, juga diuji hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan tingkat kelentukan dan daya tahan contoh menggunakan uji korelasi chi-square dan pearson serta menganalisis keberadaan perbedaan tingkat kelentukan dan daya tahan antar jenis kelamin dengan menggunakan analisis Independent T-Test. Hubungan Persepsi Body Image dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Pada penelitian ini untuk melihat hubungkan antar variabel. Sebelumnya variabel-variabel tersebut dikategorikan terlebih dahulu. Adapun kategori pada persepsi body image dibagi menjadi dua yaitu persepsi body image negatif dan persepsi body image positif, sedangkan untuk tingkat kecukupan energi dan protein juga dikategorikan menjadi tiga yaitu, kategori defisit berat, defisit ringan dan normal. Kemudian dilakukan uji menggunakan uji korelasi chi-square.
41 Adapun hasil uji korelasi antara persepsi body image contoh dengan tingkat kecukupan energi dan protein dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 27 Hasil uji korelasi antara persepsi body image dengan TKE dan TKP Variabel Persepsi Body image
Tingkat kecukupan zat gizi TKE TKP signifikansi Signifikansi 0.440 0.622
Berdasarkan tabel diatas, dengan menggunakan uji korelasi chi-square. terlihat bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi body image contoh dengan tingkat kecukupan energi (p=0.440) dan tingkat kecukupan protein (p=0.622). Hasil ini menunjukkan bahwa seseorang yang memilki persepsi body image positif maka belum tentu memilki tingkat kecukupan energi dan protein yang baik pula, begitu juga sebaliknya seseorang yang memilki persepsi body image negatif maka belum tentu memilki tingkat kecukupan energi dan protein yang tidak baik. Sejalan dengan Sediaoetama (1991) bahwa pada usia remaja tersebut sudah mulai memperhatikan bentuk tubuhnya sehingga muncul adanya persepsi body image. Hal ini disebabkan oleh lingkungan contoh memberikan pengaruh lebih kuat dibandingkan dengan faktor-faktor yang diteliti, tidak adanya hubungan faktor-faktor yang diteliti dengan persepsi body image ini disebabkan karena persepsi body image lebih dipengaruhi oleh pandangan seseorang terhadap body image itu sendiri. Selain itu pada penelitian ini juga akan melihat hubungan antara karakteristik contoh dengan tingkat kelentukan dan daya tahan serta hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan tingkat kelentukan dan daya tahan contoh, sehingga didapatkan hasil uji seperti pada tabel berikut.
Tabel 28 Hasil uji korelasi antar variabel Variabel Karakteristik Contoh Usia Berat Badan Tinggi Badan Tingkat Kecukupan Zat Gizi TKE TKP
Kelentukan Koefisien Signifikansi korelasi
Dayatahan Koefisien Signifikansi korelasi
0.049 0.081 0.120
0.458 0.410 0.369
0.046 0.621 0.518
-0.046 -0.121 -0.158
0.028 0.220
-0.504 -0.295
0.620 0.361
0.122 0.222
42 Hubungan Karakteristik Contoh dengan Tingkat Kelentukan dan Daya Tahan Usia dengan Kelentukan dan Daya Tahan Setelah didapatkan hasil dari korelasi Pearson antara usia contoh dengan kelentukan (flexibility test) dan daya tahan (VO2max), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kelentukan (p=0.049) dan daya tahan (p=0.046). Hal ini menunjukan bahwa dengan semakin tingginya usia contoh maka ada hubungannya dengan peningkatan nilai kelentukan (flexibility test) dan daya tahan (VO2max) begitupun sebaliknya. Hasil ini sesuai menurut (Riyadi 2007) bahwa kebugaran tubuh tidak hanya dipengaruhi oleh faktor gizi, namun juga dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor intensitas latihan individu, umur, jenis kelamin, dan kebiasaan merokok individu. Berat Badan dengan Kelentukan dan Daya Tahan Berdasarkan hasil uji korelasi antara berat badan contoh dengan kelentukan (flexibility test) dan daya tahan (VO2max) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan dengan kelentukan (p=0.081) dan daya tahan (p=0.621). Hal ini menunjukan bahwa berat badan tidak mempengaruhi nilai kelentukan (flexibility test) dan daya tahan (VO2max) yang dimilikinya. Hasil ini sesuai menurut Macmurray dan Ondrak (2008) tingkat kebugaran tidak hanya dipengaruhi oleh berat badan, namun juga dipengaruhi oleh massa otot, dan massa lemak. Tinggi Badan dengan Kelentukan dan Daya Tahan Berdasarkan hasil uji korelasi antara tinggi badan contoh dengan kelentukan (flexibility test) dan daya tahan (VO2max) contoh seperti tabel diatas, menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tinggi badan dengan kelentukan (p=0.120) dan daya tahan (p=0.518). Hal ini menunjukan bahwa dengan semakin tingginya badan contoh maka tidak ada hubungannya dengan nilai kelentukan (flexibility test) dan daya tahan (VO2max) yang dimilikinya, begitupun sebaliknya. Hasil ini sesuai menurut Karim ( 2002) bahwa tinggi badan tidak berpengaruh terhadap tingkat kebugaran, yang berpengaruh terhadap kebugaran adalah usia, jenis kelamin, keturunan, dan komposisi tubuh. Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Tingkat Kelentukan dan Daya Tahan Tingkat Kecukupan Energi dengan Kelentukan dan Daya Tahan Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan energi dengan tingkat kelentukan (flexibility test) dan daya tahan (VO2max) berdasarkan tabel hasil uji korelasi variabel diatas, untuk hasil uji korelasi antara tingkat kecukupan energi dengan kelentukan (flexibility test) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p=0.028) dan dapat disimpulkan bahwa tingkat kecukupan energi seseorang akan mempengaruhi kelentukan yang dimilikinya. Hasil ini sesuai menurut Fatmah (2011) keseimbangan asupan makanan dan penggunaannya oleh tubuh akan berpengaruh pada kemampuan otot berkontraksi dan daya tahan kardioveskuler, untuk mendapatkan kebugaran yang baik, seseorang haruslah
43 melakukan latihan-latihan olahraga yang cukup dan mendapatkan gizi yang memadai untuk kegiatan fisiknya dan tidur. Berdasarkan pengolahan hasil uji korelasi antara tingkat kecukupan energi dengan daya tahan (VO2max) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan (p=0.620). Hal ini menunjukan bahwa dengan semakin tingginya tingkat kecukupan energi contoh maka belum tentu contoh memiliki nilai VO2max yang baik, begitupun sebaliknya. Sejalan dengan pernyataan Riyadi (2007) bahwa kebugaran tubuh tidak hanya dipengaruhi oleh faktor gizi, namun juga dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor intensitas latihan individu, umur, jenis kelamin, dan kebiasaan merokok individu. Pemberian zat gizi optimal dapat membantu prestasi olahraga dengan cara memaksimalkan simpanan energi melalui mengaturan asupan kalori makanan atlet (killpatrick 1993). Selain itu menurut Lewis (1973) intensitas VO2max diatas65% berasal dari karbohidrat yang merupakan sumber energi utama. Tingkat Kecukupan Protein dengan Kelentukan dan Daya Tahan Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan protein dengan tingkat kelentukan (flexibility test) dan daya tahan (VO2max) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan kelentukan (p=0.220) dan daya tahan (p=0.361). Hal ini menunjukan bahwa dengan semakin tingginya tingkat kecukupan protein contoh maka belum tentu memiliki nilai kelentukan dan daya tahan yang baik pula. Sejalan dengan Kartika (2006) tingkat kecukupan energi dan zat gizi yang dikumpulkan dengan cara recall 2x24 jam belum dapat menentukan tingkat kebugaran baik flexibility mau pun VO2max. Salah satu upaya untuk mendapatkan kebugaran jasmani yang baik diperlukan tingkat konsumsi yang cukup. Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Christine Rosenbloom (2002) mengindikasikan bahwa sebagian atlet yang memiliki konsep yang salah tentang zat gizi tertentu yang bermanfaat dalam performa olahraga dan memilih makanan berdasarkan konsep yang salah tersebut maka akan menyebabkan terjadinya penurunan terhadap performa yang mereka miliki. Uji Beda Tingkat Kebugaran (Flexibility dan VO2 Max) antar Jenis Kelamin Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata baik kelentukan maupun daya tahan berdasarkan nilai flexibility maupun VO2max antara contoh laki-laki dengan perempuan (p>0.05), dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata kelentukan dan daya tahan antara laki-laki dan perempuan pada penelitian ini. Hasil ini berbeda dengan pernyataan menurut Andhini (2011) bahwa massa otot laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan sehingga dapat melakukan tes kebugaran dengan lebih baik dibandingkan dengan perempuan yang lebih banyak memiliki massa lemak dalam tubuhnya yang dapat menghambat kekuatan untuk melakukan tes flexibility, sehingga didapatkan hasil atlet laki-laki memiliki nilai VO2max lebih tinggi dibandingkan dengan atlet perempuan.
44
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Contoh terdiri dari laki-laki (42.1%) dan perempuan (57.9%) dengan tingkat pendidikan SMA (36.8%) dan SMP ( 63.2 %). Sebagian besar dari keseluruhan contoh berada pada kelompok usia 13-15 tahun (63.2%). Berat badan dan tinggi badan contoh juga dikategorikan, kelompok berat badan kurang dari 45 kg (36.8 %) , 45-60 kg (57.9 %) dan kelompok berat badan lebih dari 60 kg(5.3 %), sedangkan untuk kategori tinggi badan kurang dari 145 cm (5.3 %), 145-160 cm (84.2 %) dan kelompok tinggi badan lebih dari 160 cm (10.5 %). Secara keseluruhan contoh berasal dari besar keluarga minimal kurang dari 5 orang anggota keluarga dengan keadaan ekonomi sedang dengan pendidikan minimal orang tua yaitu SMP dengan pendapatan minimal kurang dari Rp 1.000.000/ bulan. Sebagian besar contoh memiliki persepsi body image negatif lebih banyak dibandingkan contoh yang memiliki persepsi body image positif. Konsumsi pangan contoh secara kesuluruhan belum baik karena masih banyak dari contoh yang tidak memilki kebiasaan makan malam dan makan siang dengan alasan untuk menurunkan berat badan sehingga diketahui ada 9 orang contoh yang memiliki gangguan makan seperti anoreksia nervosa yang dilakukan dengan penyebaran kuesioner dengan 40 pertanyaan yang terkait dengan kejadian anoreksia nervosa dan wawancara langsung. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh sebagian besar berada dalam kategori defisit hanya tingkat kecukupan vitamin A contoh sebagian besarberada dalam kategori normal. Nilai kelentukan dan daya tahan pada penelitian ini tersebar pada seluruh contoh, rata-rata nilai flexibility pada contoh laki-laki sebesar 20.9 cm sedangkan contoh perempuan dengan rata-rata nilai flexibility sebesar 22.9 cm, sedangkan untuk daya tahan, rata-rata nilai VO2max contoh yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 46.54 (ml/kg/menit) dan rata-rata nilai VO2max perempuan sebesar 44.77 (ml/kg/menit). Hubungan antar variabel didapatkan hasil bahwa hubungan usia dengan kelentukan dan daya tahan terdapat hubungan yang signifikan dengan (p=0.049) dan (p=0.046), sedangkan untuk hubungan antara tingkat kecukupan energi dan kelentukan terdapat hubungan yang signifikan dengan (p=0.028) namun, tidak terdapat hubungan signifikan pada variabel lainya, sedangkan untuk uji beda kelentukan dan daya tahan antar jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata berdasarkan nilai flexibility maupun VO2max antara contoh dengan (p=0.431). Saran Sebaiknya sekolah yang khusus membina atlet dari berbagai cabang olahraga seperti Sekolah Atlet Ragunan Jakarta yang menjadi tempat penelitian yang dipilih peneliti lebih memperhatikan tingkat kecukupan gizi para atlet. Selain itu diperlukan juga pengetahuan gizi yang baik bagi atlet khususnya yang memliki persepsi body image negatif agar tidak terjadi kesalahan persepsi pada atlet yang dapat mengakibatkan gangguan makan dan berdampak terjadinya masalah gizi sehingga atlet lebih disarankan untuk mulai mengatur pola makan yang baik guna
45 mengoptimalkan asupan energi dan zat gizi yang dibutuhkannya, karena gizi yang optimal akan sangat mempengaruhi performa dan kebugaran atlet dalam olahraga. Serta pentingnya ahli gizi khusus yang mengatur kebutuhan gizi atlet sesuai dengan cabang olahraganya masing-masing agar atlet dapat memenuhi gizinya ke arah yang lebih baik dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait pengetahuan gizi para atlet khususnya yang memliki persepsi body image negatif, agar tidak terjadi kesalahan persepsi pada atlet yang dapat mengakibatkan terjadinya masalah gizi.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Almatsier, S. 2004. Penuntun Diet. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Andhini RA. 2011. Hubungan Antara Asupan Makan Dan Komposisi Lemak Tubuh Terhadap Peningkatan Kapasitas Daya Tahan Tubuh Atlet Di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta [skrpsi]. Bogor. Fakultas Ekologi Manusia. IPB. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Brouns F. 1993. Essential of Sport Nutrition.England: John Wiley & Sons, Ltd. Bulik CM, Wade TD, Heath AC et al. 2001.Relating Body Mass Index to Figural stimuli: Population-based Normative Data for Caucasians. Interational Journal Obesity Relating Metabolisme Disorders. 10:1517-24. Burke, Louise 1992. The complete guide to food for sports performance. Allen and Unwin Australia: NSW. Cavadini C, Siega-Riz AM, Popkin BM 2000. US Adolescent Food Intake Trends From 1965 to 1996. Arch Dis Child 83: 18-24. Chen J. 2000. Vitamin: Effect of Exercise on Requirements. Oxford: Blackwell Science, Ltd. Clark N.1996. Petunjuk Gizi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Coggan, A., Coleman, E., Hopkins, W., Spriet, L. 1996. Dietary Fat and Physical Activity: Fueling the Controversy. Sports Science Exchange. 7:3. Dacey, Kenny. 1997. Adolescent Development. Second Edt. USA: Time Mirror Higher Education Group, Inc. Daly. R., dkk. 2002. Does Training Affect Growth? The Physician and Sports Medicine. 30 (10):21-29. David M Garner And Paul E Garfinkel. 1979. The Eating Attitudes Test: an index of the symptoms of anorexia nervosa. Psychological Medicine. 9:273-279. Depkes RI dan KONI Pusat. 1993. Pedoman Pengaturan Makan Atlit. Jakarta. [DEPKES] Departemen Kesehatan. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Depkes RI. Fatmah. 2011. Gizi Kebugaran Dan Olahraga. Bandung: Lubuk Agung. Gemove J, William L. 2004. A Sociology of food & Nutrition: The Social Appetite. New York: Oxford University Press. Gibala, M.J., Hargreaves, M., Tipton, K. 2000. Amino Acids, Proteins, and Exercise Performance. Sports Science Exchange Roundtable. 11: 4.
46 Gibson RS. 2005. Principles of Nutrition Assesment. Ed ke-2. New York: Oxford Univ Pr. Hapzah and RamlanY. 2012.Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Status Gizi Terhadap Kejadian Anemia Remaja Putri Pada Siswi Kelas Iii Di Sman 1 Tinambung Kabupaten Polewali Mandar. Media Gizi Pangan. 13: 2-4 Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Asupan Pangan. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah, Martianto D. 1992. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein Serta Penilaian Mutu Konsumsi Pangan. Jakarta: Wirasari. Hardinsyah, Tambunan V. 2004. Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Harper LJ, BJ Deaton, JA Driskel. 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Jakarta: UI Press. Harsono. 1988. Coaching dan Aspek-aspek Pendidikan dalam Coaching. CV Tambak Kusuma. Heywood, V. 1998 The Physical Fitness Specialist Certification Manual, TheCooper Institute for Aerobics Research, Dallas TX, revised 1997. In: Heywood, V. 1998 Advance Fitness Assessment & Exercise Prescription, 3rd Ed. Leeds: Human Kinetics. p. 48 Irawan A. 2007. Nutrisi, Energi dan Performa Olahraga. www.pssplab.com [13 Februari 2013] Jacobson B. 2001. Nutrition Practices and Knowledge Of College Varsity Athletes A Follow Up. Journal Of Strength and Conditioning Research. 15: p. 6368. Johanna Dwyew. et al. 2012. Journal Of The International Society Of Sports Nutrition 2012, 9:53. Karim F. 2002. Panduan Kesehatan Olahraga bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Program Studi Ilmu Kedokteran Olahraga FKUI. Kartika E. 2006. Hubungan Tingkat Konsumsi Gizi (Energi, Protein, Besi) dan Status Gizi (Indeks Massa Tubuh, Kadar Hemoglobin) dengan Ketahanan Fisik pada Atlet Sepak Bola di PSIS Semarang Tahun 2006 [skripsi]. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro. Kertamuda, E.F. 2009. Konseling Pernikahan Untuk Keluarga Indonesia. Jakarta: Salemba Humanika. Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Departemen Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. PAU, IPB. Killpatrick, J.T. 1993. Nutrition and Diet for High Performance Athletes. Paper presented at the National Sport Seminar. IKIP Yogyakarta. 9. KONI Komite Olahraga Nasional Indonesia. 2009. Senam. http://www.konidki.or.id/porsani/PD-PORSANI. [13 Februari 2013]. Lewis S, Gutin B. 1973. Nutrition and Endurance. The American Journal of Clinical Nutrition. 1011-4. Little JC, Perry DR, Volpe SL. 2002. Effect Of Nutrition Suplplement Education On Nutrition Supplement Knowledge Among High School Student From A Low –income Community . J. Comm. Health. 27; p.433-50. Mandleco BL. 2004. Growth and Development Handbook: newborn trough adolescent. Utah: Thomson.
47 Mackenzie, B. (2000) Balke VO2max Test [WWW] Available from: http://www.brianmac.co.uk/balke.htm [Accessed 11/4/2013] ________. 1997. VO2Max. www.brianmac.co.uk [13 April 2013] ________. 1997. Performance Evaluation Tes. www.brianmac.co.uk [13 April 2013 ________. 1997. The Balke VO2max Tes. www.brianmac.co.uk [13 April 2013] McMurray R, Ondrak K. 2008. Energy Expenditure of Athletes.Di dalam Wollinsky I, Driskell J, editor.Sport Nutrition Energy Metabolism and Exercise. Boca Raton: CRC Press. Parmenter K, Wardle J 1999. Development of a General Nutrition Knowledge Questionnaire for Adults. European Journal of Clinical Nutrition 53;298308. Primana DA. 2000. Penggunaan Lemak dalam Olahraga. Di dalam: Tanaya ZA et.al. editor. Pedoman Pelatihan Gizi Olahraga untuk Prestasi. Jakarta: Departemen Kesehatan Rahmawati D. 2006. Status Gizi dan Perkembangan Anak Usia Dini di Taman Pendidikan Karakter Sutera Alam, Desa Sukamantri Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Riyadi H. 2003. Diktat Penilaian Gizi Secara Antropometri. Bogor: Institut Pertanian Bogor. ________. 2007. Diktat Mata Kuliah Gizi Olahraga. Bogor: Institut Pertanian Bogor. ________. 2001. Diktat Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rosenbloom C. 2002. Nutrition Knowledge Of Collegiate Athletes In A Division 1 National Collegiate Athletic Association Institution . Journal Of American Dietetic Association. 102:p.418-20. Sanjur. 1982. Social Cultural Perspective in Nutrition. New Jersey: PrenticeHall, Englewood Cliffs. Sandjaja et al. 2009.Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta: Kompas Setiawan B, Rahayuningsih S. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Sediaoetama. 1991. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya: untuk keluarga dan masyarakat. Jakarta:Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Soehardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi.Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Steen, S.N. 2000. Nutritional Strategies for Improving Body Mass and Strength. Gatorade Sports Science Institute. Suhardjo, Hardinsyah, H Riyadi. 1988. Survei Konsumsi Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sulaeman A, Muhilal. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.
48 Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Suryanie K. 2005. Hubungan Antara Citra Raga Dengan Narsisme Pada Para Model [skripsi]. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas. Suwandi. 1995. Studi Konsumsi Pangan Dan Aktivitas Fisik Pada Murid Sekolahdasar (SD) Berstatus Gizi Lebih [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, IPB. Thompson J K et al. 1999. Exacting Beauty: Theory, Assesment, and Treatment of Body Image Disturbance. Washington DC: American Pshycological Association. [WHO] World Health Orgaization. 2007. Growth reference 5-19 years. http://www.who.int/growthref/who2007bmiforage/en/index.html. [22 Maret 2013]. Wilmore, J.H dan Costill, D.L. 1994. Physiology of Sport and Exercise. Human Kinetic. Windsor, Canada.90. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 1998. Pangan dan Gizi Masa Depan : Meningkatkan Produktifitas dan Daya Saing Bangsa. Prosiding. Jakarta: LIPI. WNPG.2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. Wolinsky I, Driskell J. 2006. Sports Nutritions Vitamins and Trace Minerals. New York: CRC Press. Wong Y, Huang Hc Ohen SL, Yamanoto. 1999. Is The College Environment Adequate for Accessing to Nutrition Education? A Study in Taiwan. Nutrition Research 19; 1327-1337.
49
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Yusvita Sari yang dilahirkan di Muara Bungo, Jambi pada tanggal 23 Januari 1991. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mohd. Yusuf dan Ibu Siti Komala Sari. Penulis mengawali pendidikan pada tahun 1995 di TK Pertiwi 1, Muara Bungo, Jambi. Kemudian melanjutkan pendidikan di SDN 81/II Muara Bungo pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2003. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Muara Bungo dan lulus pada tahun 2006. Penulis kemudian melanjutkan ke pendidikan menengah umum Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Muara Bungo dan lulus pada tahun 2009. Penulis mengawali pendidikan sebagai mahasiswa pada tahun 2009 di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI IPB). Penulis di IPB terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Departemen Gizi Masyarakat, dengan program studi Ilmu Gizi. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif ikut dalam berbagai organisasi, seperti Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) 2011-2013, Himpunan Mahasiswa Jambi ( HIMAJA) selain itu penulis terlibat dalam kepanitian lainnya, seperti Nutrition Fair (NF) 2011 dan 2012, International Seminar Education Expo 2011, Indonesian Ecology Expo (INDEX) 2011-2012, Seminar Kampaye Sarapan Sehat 2012, dan lain-lainnya. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah, seperti Gizi Olahraga dan Kulinari dan Gizi. Penulis telah melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) bidang Dietetik di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Pada bulan Februari tahun 2013 Penulis melakukan penelitian mengenai “Hubungan Antara Persepsi Body Image, Tingkat Kecukupan Gizi Dengan Kelentukan Dan Daya Tahan Atlet Senam Di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta” di bawah bimbingan Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.