HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI POSITIF DALAM KELUARGA DENGAN ASERTIVITAS PADA SISWA SMP NEGERI 2 DEPOK YOGYAKARTA Astri Miasari Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Jl. Kapas No.9 Semaki, Yogyakarta email:
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas pada siswa SMP Negeri 2 Depok. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Depok yang tinggal bersama dengan anggota keluarga yang merupakan keluarga inti, yaitu kedua orangtua dan saudara kandung. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan skala komunikasi positif dalam keluarga dan skala asertivitas. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian yaitu cluster random sampling. Analisis menggunakan korelasi product moment. Komputasi data dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, hipotesis yang diajukan dalam penelitian bahwa terdapat hubungan positif antara komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas, dapat diterima dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,669 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p <0,01). Sumbangan efektif komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas sebesar 44,7% dan 55,3% lainnya disumbang oleh faktor lain. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas siswa SMP Negeri 2 Depok. Semakin tinggi komunikasi positif yang terjalin dalam keluarga maka semakin tinggi asertivitas yang dimiliki siswa, sebaliknya semakin rendah komunikasi positif yang terjalin dalam keluarga maka semakin rendah pula asertivitas yang dimiliki oleh siswa.
Kata kunci: asertivitas, komunikasi positif dalam keluarga
Abstract This study aimed to determine the relationship between positive communication in families with assertiveness in students of SMP Negeri 2 Depok. Subjects in this study were students of class VII SMP Negeri 2 Depok are living with a family member who is a nuclear family in which both parents and siblings.
Astri Miasari
33
Methods of data collection in this study using a scale of positive communication within the family and assertiveness scale. The sampling technique used in this study is cluster random sampling. Analysis using the product moment correlation. Computing data using SPSS 16.0 for windows. Based on the above analysis, the hypothesis proposed in this study is the positive relationship between positive communication in families with assertiveness can be received with a correlation coefficient of 0.669 with a significance level of 0.000 (p <0.01). Effective contribution of positive communication in families with assertiveness by 44.7% and 55.3% were contributed by other factors. The results of this study stated that there was a significant positive relationship between positive communication in families with assertiveness SMP Negeri 2 Depok. The higher the communication that exists within the family, the higher the student assertiveness, conversely the lower the positive communication that exists in the family will get low assertiveness owned by students. Keywords: assertiveness, positive communication in the family PENDAHULUAN Manusia mengalami perkembangan mulai dari bayi hingga dewasa yang terdiri dari beberapa tahapan yang merupakan suatu proses yang terjadi terus menerus dan tidak terpisah antara satu dengan yang lainnya. Tahapan perkembangan yang dilalui oleh seorang individu salah satunya adalah tahap perkembangan remaja. Santrock (2002) menyebutkan bahwa usia remaja berada pada rentang 12 - 23 tahun. Hurlock (Panuju dan Umami, 2005) menyatakan bahwa rentangan usia remaja antara 13 - 21 tahun. Tahap perkembangan remaja merupakan masa transisi yaitu masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan dalam aspek fisiologis, psikologis, kognitif, dan psikososial. Santrock (2002) menyatakan bahwa yang mengawali masa remaja adalah adanya masa pubertas, yaitu terjadi suatu periode kematangan kerangka dan seksual secara pesat dan berlangsung secara berangsur – angsur (gradual). Masa pubertas rata-rata terjadi pada usia 10 tahun 6 bulan pada perempuan yang ditandai dengan datangnya haid pertama (menarche) dan usia 12 tahun 6 bulan pada laki-laki yang ditandai dengan terjadinya mimpi basah (pollutio). Santrock (2002) menyatakan bahwa kehidupan awal remaja juga merupakan suatu periode meningkatnya konflik dengan orang tua melampaui masa anak-anak. Peningkatan konflik dapat disebabkan karena adanya perubahan-perubahan selama masa pubertas yang dialami remaja dan adanya pengendalian yang keras dari orangtua terhadap perilaku anak remajanya yang mengalami perubahan menjadi tidak menurut, suka membantah, dan adanya harapan dari orangtua agar remaja mampu bersikap seperti orang dewasa. Masa remaja adalah masa “stress and strain” (masa kegoncangan dan kebimbangan). Akibatnya para pemuda-pemudi melakukan penolakan-penolakan pada kebiasaan di rumah, sekolah dan mengasingkan diri dari kehidupan umum. Remaja bersifat sentimental, mudah tergoncang dan bingung (Panuju dan Umami, 2005). Hurlock (Setiono dan Pramadi, 2005) menyatakan remaja cenderung memperlihatkan perilaku mau menang sendiri, tidak mau diatur, ingin mandiri, dan terutama menjadi sensitif dan mudah tersinggung terhadap ucapan dan perilaku orang lain mengenai dirinya. Remaja cenderung akan
34
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
diam atau memberontak jika keinginan atau pendapatnya tidak diterima atau diabaikan. Remaja selama masa perkembangannya harus memiliki sikap asertif, yaitu kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi tanpa merugikan hak-hak orang lain, mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, dan mampu mengekspresikan perasaan, baik perasaan positif maupun perasaan negatif. Sikap asertif perlu dikembangkan agar remaja mempunyai kontrol diri dan mempunyai kemampuan untuk berkata “tidak” tanpa merasa bersalah ketika menolak ajakan teman untuk melakukan hal-hal yang negatif. Remaja harus berani menolak dan dapat menilai secara kritis hal-hal yang dapat merugikan dan membahayakannya. Menolak pengaruh atau ajakan teman tidak harus dilakukan dengan kasar atau marah, tetapi dapat dilakukan dengan perkataan yang halus, sopan, tegas, dan dengan alasan yang masuk akal tanpa menyakiti perasaan orang lain (Alberti dan Emmons, 2002). Untuk mengatasi berbagai pengaruh dan tekanan dari teman sebaya ataupun lingkungan yang bersifat negatif selama masa pubertas, remaja harus memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan secara jujur kepada orang lain dengan cara mengembangkan dan membiasakan untuk berperilaku asertif. Permasalahan yang terjadi saat ini banyak remaja yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilaku asertif, baik dalam hubungan sosial, keluarga dan sekolahnya. Penelitian yang dilakukan oleh Setiono dan Pramadi (2005), mengemukakan bahwa permasalahan yang sering menjadi keluhan tenaga pengajar adalah kurangnya keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat di dalam kelas, kurangnya keaktifan dan inisiatif dalam kegiatan ekstra kurikuler di sekolah. Orang yang tidak asertif baik secara umum maupun dalam keadaan tertentu mungkin mengalami stress yang meningkat melalui perasaan marah, frustasi, merasa dibebani secara tidak adil, dan merasa tidak mampu melakukan apa yang diinginkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan 8 siswa SMP Negeri 2 Depok (30 April 2012), diperoleh informasi bahwa 7 dari 8 siswa memiliki asertif yang cenderung rendah. Hal ini ditunjukkan pada saat dilakukan wawancara siswa terlihat kurang percaya diri, tidak mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuan atas pendapat orang lain, dan tidak dapat berkomunikasi secara aktif. Contoh lain ketika di sekolah sebagian siswa kurang percaya diri pada saat bertanya maupun menjawab pertanyaan dari guru. Siswa lebih berani bertanya kepada teman sendiri atau guru les daripada pada guru mata pelajaran. Ketika di rumah, sebagian siswa jarang berdiskusi atau menceritakan masalahnya dengan orangtuanya. Siswa lebih sering menceritakan masalahnya kepada teman sebayanya. Berdasarkan hasil observasi di SMP Negeri 2 depok (21 Mei 2012), sebagian besar siswa lebih memilih diam dan setuju atas apa yang telah diputuskan. Ada siswa yang tidak berani bertanya langsung dan menyuruh temannya untuk bertanya kepada guru. Peneliti berpendapat bahwa komunikasi positif terhadap orangtua dapat mendorong siswa untuk asertivitas, namun berdasarkan fakta di atas, tampak ada indikasi bahwa kebanyakan siswa di SMP Negeri 2 Depok, memiliki asertivitas yang rendah. Remaja bisa saja bersikap mandiri dan bebas serta dapat mengambil keputusan sesuai dengan keinginan tanpa harus membatasi diri dari kelompok sebayanya, dengan kata lain remaja dapat mengekspresikan yang terbaik untuk dirinya sendiri tanpa harus merasa cemas atau khawatir terhadap situasi-situasi yang kadang dirasakan sebagai suatu tekanan. Remaja yang memiliki kemampuan asertivitas lebih mampu mengatakan “tidak” untuk hal-hal yang bersifat negatif dan tidak diinginkan. Proses pengembangan dan pembiasaan berperilaku asertif dapat dilakukan melalui lingkungan keluarga, masyarakat, lembaga sosial, dan lembaga formal seperti sekolah. Namun, saat ini masih banyak remaja yang belum dapat bersikap asertif karena dalam keluarganya tidak dibiasakan sikap berbicara mengenai pendapat maupun keinginannya. Banyak anggota keluarga
Astri Miasari
35
yang memberikan larangan pada saat anak ingin mengutarakan pendapatnya dan menekankan bahwa orangtua adalah yang paling benar. Hal tersebut menyebabkan perkembangan asertivitas pada remaja menjadi terhambat. Remaja menjadi individu yang tidak mampu dan tidak berani untuk mengkomunikasikan segala kebutuhan, pendapat, dan keinginannya mengenai suatu hal (Alberti dan Emmons, 2002). Asertivitas remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pola komunikasi orangtua terhadap anaknya. Cara orangtua berkomunikasi dengan anaknya menentukan cara anak berkomunikasi dengan lingkungannya. Jika pola komunikasi orangtua buruk, maka dampak negatif akan dirasakan oleh anaknya. Di antaranya mendorong munculnya kepribadian antisosial, dependen, dan minder pada anak. Ramadhani (2008) menjelaskan bahwa anak yang diberi kesempatan untuk mengutarakan keluh kesahnya, keinginannya yang terdalam, menemukan pemecahan masalahnya sendiri, dan merasa didengar dalam sebuah pembicaraan akan membuat remaja menunjukkan sikap yang sama kepada lingkungan. Orangtua yang mendengarkan setiap keluhan remaja dan ikut aktif dalam setiap penyelesaian masalah yang dihadapi oleh anak remajanya juga akan membuat remaja mempercayai orangtuanya dan menjadikan remaja lebih mudah untuk bersikap jujur dalam membicarakan setiap permasalahan yang dihadapinya. Terjalinnya komunikasi positif yang dilandasi dengan sikap empati, keterbukaan, saling mendengarkan, dan tersampaikannya pesan dengan baik akan membuat remaja menunjukkan sikap yang sama kepada lingkungan dan mendorong asertivitas remaja. Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada hubungan antara komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas pada siswa SMP Negeri 2 Depok? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas pada remaja. 1. Pengertian Asertivitas Asertif atau asertivitas berasal dari bahasa inggris “to assert”, yang diartikan sebagai ungkapan sikap positif, yang dinyatakan dengan tegas dan terus terang. Asertivitas berarti kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas, spesifik, dan tidak taksa (multi-taksir), sekaligus tetap peka terhadap kebutuhan orang lain dan reaksi mereka dalam setiap peristiwa. Sikap asertif juga berarti kemampuan untuk tidak sependapat dengan orang lain tanpa menggunakan manipulasi dan alasan yang emosional, dan mampu bertahan di jalur yang benar, yaitu mempertahankan pendapat dengan tetap menghormati pendapat orang lain (Stein dan Howard, 2002). Alberti dan Emmons (2002) mendefinisikan asertivitas sebagai pernyataan diri yang positif yang menunjukan sikap menghargai orang lain. Asertivitas diartikan sebagai perilaku yang mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia yang memungkinkan setiap individu untuk bertindak menurut kepentingannya sendiri, membela diri tanpa kecemasan, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, dan menerapkan hak-hak pribadi tanpa mengabaikan hak-hak orang lain. Sikap asertif salah satunya dapat ditunjukkan dengan kemampuan untuk berkata “tidak” dengan tegas. Menurut Lange dan Jakubowski (Ninggalih, 2011) asertif merupakan tingkah laku dalam hubungan interpersonal yang ditandai dengan kemampuan seseorang mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan yang diungkapkan secara langsung, jujur, tepat, dan tidak melanggar hak asasi orang lain. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa asertivitas
36
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
sebagai pernyataan diri yang positif yang menunjukan sikap menghargai orang lain. Asertivitas menunjukkan kemampuan untuk dapat mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman. Mampu berkata “tidak” apabila diperlukan. 2. Aspek-aspek Asertivitas Aspek-aspek asertivitas menurut Alberti & Emmons (2002) antara lain: a. Bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri. Meliputi kemampuan untuk membuat keputusan, mengambil inisiatif, percaya pada yang dikemukan sendiri, dapat menentukan suatu tujuan dan berusaha mencapainya, dan mampu berpartisipasi dalam pergaulan b. Mampu mengekspresikan perasaan jujur dan nyaman. Meliputi kemampuan untuk menyatakan rasa tidak setuju, rasa marah, menunjukkan afeksi dan persahabatan terhadap orang lain serta mengakui perasaan takut atau cemas, mengekspresikan persetujuan, menunjukkan dukungan, dan bersikap spontan. c. Mampu mempertahankan diri. Meliputi kemampuan untuk berkata “tidak” apabila diperlukan, mampu menanggapi kritik, celaan, dan kemarahan dari orang lain, secara terbuka serta mampu mngekspresikan dan mempertahan pendapat. d. Mampu menyatakan pendapat. Meliputi kemampuan menyatakan pendapat atau gagasan, mengadakan suatu perubahan, dan menanggapi pelanggaran terhadap dirinya dan orang lain. e. Tidak mengabaikan hak-hak orang lain. Meliputi kemampuan untuk menyatakan kritik secara adil tanpa mengancam, memanipulasi, mengintimidasi, mengendalikan, dan melukai orang lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek asertivitas yaitu kemandirian, ekspresi, pertahanan diri, inisiatif, dan perhatian terhadap hak-hak orang lain. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertivitas Faktor-faktor yang mempengaruhi asertivitas pada remaja menurut Alberti dan Emmons (2002), antara lain: a. Keluarga Anak yang memutuskan untuk berbicara mengenai hak-haknya sering mendapatkan sensor dari anggota keluarga, seperti dilarang untuk berbicara, anak dianggap sebagai individu yang mengetahui apapun, atau anak dianggap kurang ajar terhadap orangtuanya. Tanggapan yang diberikan oleh orangtua tersebut menjadi tidak kondusif bagi perkembangan asertivitas anak. b. Sekolah Di sekolah guru-guru juga sering melarang anak untuk bersikap asertif. Anakanak yang pendiam dan berperilaku baik serta tidak banyak bertanya justru diberi imbalan, berupa pujian karena dianggap bersikap baik. Sehingga sikap asertif tidak dapat dimiliki oleh anak. Oleh karena itu, saat ini para pengajar dituntut untuk dapat mendorong setiap individu agar dapat bersikap asertif kepada diri sendiri dan juga orang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi asertivitas dapat juga dilihat dari faktor internal dan faktor eksternal, yaitu :
Astri Miasari
37
a. Faktor internal terdiri dari : 1. Usia Perilaku asertif berkembang sepanjang hidup manusia. Semakin bertambah usia individu maka perkembangannya mencapai tingkat integrasi yang lebih tinggi, di dalamnya termasuk kemampuan pemecahan masalah. Artinya semakin bertambahnya usia individu maka semakin banyak pula pengalaman yang diperoleh, sehingga kemampuan pemecahan masalah pada individu juga bertambah matang. 2. Jenis kelamin Pria cenderung memiliki perilaku asertif yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal tersebut disebabkan oleh tuntutan masyarakat yang menjadikan pria lebih aktif, mandiri dan kooperatif, sedangkan wanita cenderung lebih pasif, tergantung kompromis. 3. Konsep Diri Konsep diri dan perilaku asertif mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu yang mempunyai konsep diri yang kuat akan mampu berperilaku asertif. Sebaliknya individu yang mempunyai konsep diri yang lemah, maka perilaku asertifnya juga rendah. b. Faktor Eksternal yang terdiri dari : 1. Pola asuh orang tua Kualitas perilaku asertif individu sangat dipengaruhi oleh interaksi individu tersebut dengan orang tua maupun anggota keluarga lainnya. Hal tersebut akan menentukan pola respon individu dalam merespon masalah. 2. Kondisi sosial budaya Perilaku yang dikatakan asertif pada lingkungan budaya tertentu belum tentu sama pada budaya lain. Karena setiap budaya mempunyai etika dan aturan sosial tersendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi asertivitas adalah keluarga dan sekolah. Ada pula faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor usia, jenis kelamin, dan konsep diri. Faktor eksternal yaitu pola asuh orang tua dan kondisi sosial budaya. 1. Pengertian Komunikasi Positif dalam Keluarga Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin “communication” yang bersumber dari kata “cominus” yang berarti sama makna dalam satu hal. Menurut Sopiah (2008), komunikasi didefinisikan sebagai penyampaian atau pertukaran informasi dari pengirim atau penerima, baik secara lisan, tertulis, maupun menggunakan alat komunikasi. Wiryanto (2004) menyatakan bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi. Komunikasi menurut Boland dan Follingstad (DeGenova dan Rice, 2005) diartikan sebagai sebuah pesan yang disampaikan oleh satu orang dan diterima oleh orang lain. Pesan yang disampaikan seseorang terhadap orang lain tersebut terdiri atas 2 hal, yaitu isi dan proses. Isi merupakan apa yang terkandung dari pesan yang disampaikan, sedangkan proses merupakan penyaluran perasaan-perasaan, tingkah laku, keyakinan-keyakinan, fakta-fakta, dan ide-ide antara dua orang. Komunikasi dimaksudkan agar setiap pesan yang disampaikan dan diterima dapat dipahami dan mempengaruhi perasaan satu sama lain.
38
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
Komunikasi positif dalam keluarga menurut Ramadhani (2008) adalah komunikasi yang dilakukan untuk mendorong setiap anggota keluarga agar dapat berkembang secara optimal, baik secara fisik maupun psikis, melalui komunikasi yang empati, responsif, mengandung pesan positif, terbuka dan terpercaya, mendengarkan secara aktif, mendorong optimisme yang proporsional dan tidak menghakimi. Komunikasi positif mengandung arti bahwa sebuah pesan dapat dipahami dengan baik dan tidak mengandung dua arti yang ambigu. Berdasarkan uraian beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi positif dalam keluarga merupakan komunikasi yang dilakukan untuk mendorong setiap angota keluarga agar dapat berkembang secara optimal, baik secara fisik maupun psikis, melalui komunikasi yang empati, responsif, mengandung pesan positif, terbuka dan terpercaya, mendengarkan secara aktif, mendorong optimisme yang proporsional dan tidak menghakimi. 2. Aspek-aspek Komunikasi Positif dalam Keluarga Aspek-aspek komunikasi positif dalam keluarga menurut Ramadhani (2008), antara lain: a. Empati Berkomunikasi secara empati, artinya memahami sudut pandang, perasaanperasaan, kebutuhan-kebutuhan, pengalaman-pengalaman, emosi, dan persepsi orang lain mengenai dunianya tanpa kehilangan identifikasi diri. b. Responsif Berkomunikasi secara responsif, artinya berkomunikasi dengan pertimbangan yang matang, dilakukan dengan ketenangan pikiran, bertujuan, tepat sasaran, member manfaat terbanyak, dan menghindari sikap emosional serta impulsive. c. Adanya pesan positif Berkomunikasi melalui pesan positif, artinya komunikasi yang terjadi lebih banyak menyampaikan pesan-pesan yang membangkitkan motivasi, semangat, menguatkan konsep diri, membangkitkan potensi positif, dan mengarahkan pada pencapaian aktualisasi diri yang semaki n tinggi. d. Terbuka dan saling percaya Berkomunikasi secara terbuka dan saling percaya melibatkan dialog timbale balik, kejujuran, dan keprcayaan atas dasar saling menghormati. Komunikasi yang terbuka mengisyaratkan adanya rasa saling percaya, menuntut pemahaman bersama, dan melibatkan sikap yang tidak menghakimi. e. Mendengarkan secara aktif Mendengarkan secara aktif berarti bersedia untuk mendengarkan sudut pandang orang lain, menghargai apa yang akan dibicarakan, dan bersikap sungguh-sungguh dalam usaha untuk memahami. Mendengarkan aktif melibatkan sikap empati sehingga bisa secara tepat memberikan umpan balik dengan kesimpulan yag sesuai dengan inti pembicaraan. f. Adanya pesan optimistik Berkomunikasi melalui pesan yang optimistik adalah komunikasi yang mendorong seseorang untuk berpikir penuh harapan dan positif. Komunikasi yang optimistik mampu membentuk kepribadian yang optimistik sehingga mampu memotivasi diri ketika menghadapi keadaan yang sulit. Komunikasi yang optimis selalu mengandung kata-kata yang penuh energy positif dan mengandung semangat yang tinggi.
Astri Miasari
39
g. Komunikasi proporsional Berkomunikasi secara proporsional adalah komunikasi yang tidak melibatkan emosi, tetapi lebih melibatkan kebijaksanaan. Komunikasi yang proporsional berarti tidak melebih-lebihkan hal yang kecil dan tidak menganggap kecil atau remeh hal yang besar dan penting. h. Tidak adanya sikap menghakimi Berkomunikasi tanpa sikap saling menghakimi adalah komunikasi yang tidak mudah menyalahkan dan memojokkan orang lain pada saat menghadapi suatu permasalahan. Komunikasi yang tidak menghakimi menghindari pemberian label negatif, cemoohan, dan hukuman verbal. Berdasarkan penjelasan mengenai aspek-aspek dari komunikasi positif dalam keluarga yang dikemukakan oleh Ramadhani (2008), peneliti dapat menyimpulkan bahwa aspekaspek dari komunikasi keluarga meliputi empati, sikap yang responsive, mengandung pesan positif, adanya sikap saling terbuka dan saling percaya, adanya kemampuan untuk saling mendengarkan secara aktif, mendorong optimisme, pembicaraan yang proporsional, dan tidak menghakimi. 3. Bentuk-bentuk Komunikasi dalam Keluarga Bentuk-bentuk komunikasi dalam keluarga menurut Pratikto (Indriyati, 2007), antara lain: a. Komunikasi Orangtua (Suami-Istri) Komunikasi orangtua (suami-istri) lebih menekankan pada peran penting suami istri sebagai penentu suasana dalam keluarga, dengan anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. b. Komunikasi orangtua dan anak Hubungan komunikasi yang terjalin antara orangtua dan anak bersifat dua arah yang disertai dengan pemahaman bersama terhadap sesuatu hal. Orangtua dan anak berhak menyampaikan pendapat, pikiran, infomasi atau nasehat. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin dapat menimbulkan kesenangan yang berpengaruh pada hubungan yang lebih baik. Hubungan komunikasi yang efektif terjalin karena adanya rasa keterbukaan, empati, dukungan, perasaan positif, serta kesamaan antara orangtua dan anak c. Komunikasi ayah dan anak Komunikasi ayah dan anak mengarah pada perlindungan ayah terhadap anak. Peran ayah adalah memberi informasi dan mengarahkan anak pada pengambilan keputusan. d. Komunikasi ibu dan anak Komunikasi ibu dan anak lebih bersifat pengasuhan. Kecendrungan anak untuk berhubungan dengan ibu adalah pada saat anak merasa kurang sehat atau sedih, maka pada saat peran ibu lebih menonjol. e. Komunikasi anak dan anak yang lainnya. Komunikasi ini terjadi antara satu anak dengan anak yang lain. Anak yang lebih tua lebih berperan sebagai pembimbing daripada anak yang masih muda, dan biasanya karena dipengaruhi oleh tingkatan usia atau faktor kelahiran. Berdasarkan penjelasan mengenai bentuk-bentuk komunikasi dalam keluarga terdiri dari komunikasi yang terjalin antara ayah dan ibu sebagai suami-istri, komunikasi antara orangtua dan
40
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
anak, komunikasi antara ayah dan anak, komunikasi antara ibu dan anak, dan komunikasi antara anak dengan anak yang lainnya. Metode Pengumpulan Data 1. Skala Asertivitas Skala Asertivitas menurut Alberti & Emmons (2002) disusun berdasarkan aspekaspek asertivitas yang terdiri dari sejumlah aitem yang mengukur kemandirian, ekspresi, pertahanan diri, inisiatif, dan perhatian terhadap hak-hak orang lain. Responden diminta untuk memberikan responnya dalam empat kategori jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Aitem favorable mengandung nilai-nilai positif dan memihak pada objek yang akan diukur, sedangkan aitem unfavorable mengandung nilai-nilai yang negatif dan tidak mendukung objek yang akan diukur. Skor aitem favorable untuk alternatif jawaban Sangat Sesuai (SS) adalah 4, Sesuai (S) adalah 3, Tidak Sesuai (TS) adalah 2, Sangat Tidak Sesuai (STS) adalah 1. Nilai aitem unfavorable untuk alternatif jawaban Sangat Sesuai (SS) adalah 1, Sesuai (S) adalah 2, Tidak Sesuai (TS) adalah 3, Sangat Tidak Sesuai (STS) adalah 4. Koefisien reliabilitas yang diharapkan (rtt) adalah sebesar 0,70. Hal ini didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Suryabrata (2005) bahwa untuk kepentingan diagnosis individu hendaknya tes yang digunakan memiliki koefisien reliabilitas 0,90 sedangkan untuk keperluan diagnosis kelompok koefisien reliabilitas 0,70 sudah dianggap memuaskan. Perhitungan penentuan jumlah aitem dilakukan dengan menggunakan formula Spearman-Brown (Suryabrata, 2005), yaitu : Keterangan : rtt = Koefisien reliabilitas skala yang diharapkan rtt = k (rit)²
1 + (k-1) rit² 0,7
=
k (0,3)² 1 + (k-1) (0,3)²
0,7
=
0,09k 1 + (k - 1) 0,09
0,7
=
0,09k 1 + 0,09k – 0,09
0,7 = (1+0,09k– 0,09)
= 0,09k
0,7 + 0,063k – 0,063
= 0,09k
0,7 – 0,063
= 0,09k – 0,063k
0,637
= 0,027k
k
= 0,637 0,027
k
= 23,59 ~ 24
41
Astri Miasari
rit = Kualitas aitem (indeks daya beda aitem rata-rata) k = Kuantitas aitem Tabel 1 Blue Print awal Skala Asertivitas No 1. 2. 3. 4. 5.
Aspek Kemandirian Ekspresi Pertahanan diri Inisiatif Perhatian terhadap hak-hak orang lain Jumlah
Bobot % 20 20 20 20 20 100
Jumlah 5 5 5 5 5 25
2. Skala Komunikasi Positif dalam Keluarga Aspek-aspek komunikasi positif dalam keluarga menurut Ramadhani (2008) yaitu empati, responsif, adanya pesan positif, terbuka dan saling percaya, mendengar secara aktif, adanya pesan optimistik, komunikasi proporsional, tidak adanya sikap menghakimi. Responden diminta untuk memberikan responnya dalam empat kategori jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Aitem favorable mengandung nilai-nilai positif dan memihak pada objek yang akan diukur, sedangkan aitem unfavorable mengandung nilai-nilai yang negatif dan tidak mendukung objek yang akan diukur. Skor aitem favorable untuk alternatif jawaban Sangat Sesuai (SS) adalah 4, Sesuai (S) adalah 3, Tidak Sesuai (TS) adalah 2, Sangat Tidak Sesuai (STS) adalah 1. Nilai aitem unfavorable untuk alternatif jawaban Sangat Sesuai (SS) adalah 1, Sesuai (S) adalah 2, Tidak Sesuai (TS) adalah 3, Sangat Tidak Sesuai (STS) adalah 4. Tabel 2 Blue Print awal Skala Komunikasi Positif dalam Keluarga No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Aspek-aspek Komunikasi Positif Empati Responsif Adanya pesan positif Terbuka dan saling percaya Mendengarkan secara aktif Adanya pesan optimistic Komunikasi proporsional Tidak adanya sikap menghakimi Jumlah
Bobot % 12,5 12,5 12,5 12,5 12,5 12,5 12,5 12,5 100%
Jumlah 4 4 4 4 4 4 4 4 32
42
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis (Azwar, 2009). Hasil deskripsi data penelitian dapat diuraikan mengenai nilai mean, nilai minimum, nilai maksimum, dan standar deviasi. Tabel 3 Deskripsi Variabel Penelitian Empirik No 1. 2.
Variabel Asertivitas Komunikasi Positif dalam keluarga
Hipotetik
Mean
Std
Min
Max
µ
σ
Min
Max
77,68
5,951
66
90
57,5
10,83
25
90
103,23
8,575
84
124
78
15,33
32
124
Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa dari sejumlah 66 data penelitian, maka diketahui deskripsi masing-masing variabel sebagai berikut: a. Variabel asertivitas untuk skor empirik, nilai rata-rata 77,68 dengan simpangan baku 5,951, skor terendah 66 dan skor tertinggi 90. Hipotetik untuk asertivitas rata-rata 57,5 dengan simpangan baku 10,83, skor terendah 25 dan skor tertinggi 90. b. Variabel komunikasi positif dalam keluarga untuk skor empirik, nilai rata-rata 103,23 dengan simpangan baku 8,575, skor terendah 84 dan skor tertinggi 124. Hipotetik untuk komunikasi positif dalam keluarga rata-rata 78 dengan simpangan baku 15,33, skor terendah 32 dan skor tertinggi 124. 2. Kategorisasi Berdasarkan data deskriptif, maka dapat dilakukan pengkategorisasikan pada kedua variabel penelitian. Kategorisasi yang akan digunakan adalah kategorisasi jenjang berdasarkan distribusi normal. Tabel 4 Norma Kategori Kategorisasi
Deviasi Standar
Rendah Sedang Tinggi
x<µ -1σ µ -1σ≤x<µ +1σ x≥µ +1σ
Norma kategorisasi tersebut berdasarkan pada skor hipotetik yang dilihat dari nilai mean dan deviasi standar masing-masing variabel.
43
Astri Miasari
a. Asertivitas Tabel 5 Kategorisasi Skor Asertivitas Asertivitas
Interval
Frekuensi
x < 47,67 47,67 ≤ x < 68,33 x ≥ 68,33
Proporsi (%)
5 61
0% 7,57% 92,42%
Kategori Rendah Sedang Tinggi
Berdasarkan hasil kategorisasi variabel asertivitas dapat diketahui sebagian besar subjek memiliki tingkat asertivitas dalam kategori tinggi yaitu sejumlah 61 siswa atau 92,42% dari 66 subjek penelitian. b. Komunikasi Positif dalam Keluarga Tabel 6 Kategorisasi Skor Komunikasi Positif dalam Keluarga Komunikasi Positif dalam Keluarga
Interval
Frekuensi
Proporsi (%)
9 57
0% 13,63% 86,36%
x < 62,67 62,67 ≤ x < 93,33 x ≥ 93,33
Kategori Rendah Sedang Tinggi
Berdasarkan hasil kategorisasi variabel komunikasi positif dalam keluarga dapat diketahui sebagian besar subjek memiliki komunikasi positif dalam keluarga kategori tinggi yaitu sejumlah 57 siswa atau 86,36% dari 66 subjek penelitian. 3. Uji Asumsi a. Uji Normalitas Uji normalitas data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan KolmogorovSmimov Test (KS-Test) dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 7 Hasil Uji Normalitas Data No 1. 2.
Variabel Asertivitas Komunikasi positif dalam keluarga
K-S
Sig.p
Keterangan
0,617
0,841
Sig.p > 0,05; Normal
0,958
0,318
Sig.p > 0,05; Normal
44
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa sebaran data pada variabel asertivitas berdistribusi normal, demikian pula dengan variabel komunikasi positif dalam keluarga. Hal tersebut dapat dilihat dari uji normalitas yang dilakukan masing-masing variabel dengan melihat nilai sig.p yang dihasilkan oleh setiap variabel lebih besar dari 0,05. 4. Uji Linearitas Uji linearitas bertujuan untuk memastikan bahwa nilai dari setiap variabel penelitian dapat ditarik lurus yang menunjukkan adanya sebuah hubungan linier antara variabel tersebut. Berdasarkan hasil analisis penelitian dapat diketahui bahwa nilai F pada linearity variabel asertivitas dengan komunikasi positif dalam keluarga 44,142 dan sig.p 0,000 (p<0,05) dan nilai F pada deviation from linearity 0,636 dan sig.p 0,886 (p>0,05) dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara dua variabel adalah linier. 5. Uji Hipotesis Hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas pada siswa SMP Negeri 2 Depok diuji dengan menggunakan koefisien korelasi product moment dengan bantuan program SPSS for Windows Release 12,0. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa besarnya koefisien korelasi antara kedua variabel tersebut 0,669 dan p = 0,000 (p < 0,01), maka terdapat korelasi positif yang sangat signifikan antara variabel komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas pada siswa SMP Negeri 2 Depok dengan peluang kesalahan kurang dari 1% sehingga hipotesis diterima. Peneliti juga melakukan analisis untuk mengetahui berapa sumbangan efektif variabel bebas dalam mempengaruhi variabel tergantung. Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien determinan = 0,447, hal ini menunjukkan bahwa variabel komunikasi positif dalam keluarga memberi sumbangan 44,7 % terhadap variabel asertivitas.
PEMBAHASAN Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel bebas yaitu komunikasi positif dalam keluarga dengan variabel tergantung yaitu asertivitas, semakin tinggi komunikasi positif dalam keluarga pada siswa SMP Negeri 2 Depok maka semakin tinggi asertivitasnya, sebaliknya semakin rendah komunikasi positif dalam keluarga pada siswa SMP Negeri 2 Depok semakin rendah pula asertivitasnya. Berdasarkan hasil analisis diketahui pula bahwa besarnya koefisien korelasi antara kedua variabel tersebut 0,669 dan p = 0,000 (p < 0,01). Individu dengan komunikasi positif dalam keluarga yang tinggi dapat diprediksi memiliki asertivitas yang tingi, sedangkan individu dengan komunikasi positif dalam keluarga yang rendah dapat diprediksi memiliki motivasi belajar yang rendah pula. Asertivitas yang tinggi pada siswa disebabkan oleh komunikasi positif dalam keluarga. Alberti dan Emmons (2002) menyatakan orang yang asertif adalah orang yang mudah dipahami oleh orang lain dalam melakukan komunikasi interpersonal, merasa percaya diri, spontan, dan mampu tanpa rasa permusuhan dalam mengungkapkan perasaannya, serta hangat dalam berbicara.
Astri Miasari
45
Siswa dapat lebih mudah untuk belajar menjadi individu yang asertif dengan adanya keterbukaan dan sikap saling percaya yang terjalin dalam keluarga. Siswa yang memiliki komunikasi positif dalam keluarga mampu mengambil suatu keputusan, inisiatif dan mampu berkomunikasi secara aktif. Dapat menyatakan rasa tidak setuju, rasa marah, dan mampu menanggapi kritikan, celaan dari orang lain. Siswa yang memiliki hubungan komunikasi positif dalam keluarga dapat mendorong siswa untuk belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain, dapat bekerja sama, saling membantu untuk menyelesaikan masalah. Pengalaman dalam berinteraksi dengan keluarga juga turut menentukan pola tingkah laku siswa terhadap orang lain dan juga lingkungan sosialnya. Kategorisasi subjek menunjukkan bahwa sebagian besar siswa kelas VII SMP Negeri 2 Depok memiliki tingkat asertivitas yang tinggi sebesar 92,42%, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa kelas VII SMP Negeri 2 Depok memiliki asertivitas yang baik. Siswa memiliki tingkat komunikasi positif dalam keluarga yang tinggi yaitu sebesar 86,36%, dengan demikian maka komunikasi positif siswa SMP Negeri 2 Depok terhadap keluarga terjalin hubungan yang baik sehingga mampu mengarahkan ke hal-hal yang positif atau baik pula. Peneliti juga melakukan analisis untuk mengetahui berapa sumbangan efektif variabel bebas dalam mempengaruhi variabel tergantung. Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien determinan = 0,447), hal ini menunjukkan bahwa variabel komunikasi positif dalam keluarga memberi sumbangan efektif sebesar 44,7% dalam mempengaruhi asertivitas siswa SMP Negeri 2 depok, sedangkan sisanya 55,3% dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi asertivitas pada siswa yaitu pengalaman pada masa kanak-kanak, jenis kelamin, latar belakang kebudayaan, usia, kepribadian, konsep diri positif, dan situasi sosial. KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas pada siswa SMP Negeri 2 Depok. Semakin tinggi komunikasi positif yang terjalin dalam keluarga maka semakin tinggi asertivitas yang dimiliki oleh remaja, sebaliknya semakin rendah komunikasi positif yang terjalin dalam keluarga maka semakin rendah asertivitas yang dimiliki oleh remaja. Komunikasi positif dalam keluarga memberi sumbangan efektif sebesar 44,7% dalam mempengaruhi asertivitas siswa SMP Negeri 2 Depok, sedangkan sisanya 55,3% faktor-faktor lain yang mempengaruhi asertivitas. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan telah diuraikan di atas, ada beberapa saran yang akan peneliti sampaikan yaitu: 1. Saran teoritis Hasil penelitian ini dapat diambil manfaatnya bagi ilmu Psikologi khususnya dan ilmuilmu lain pada umumnya. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk menyertakan variabel lain selain komunikasi positif dalam keluarga seperti latar belakang kebudayaan, konsep diri positif, jenis kelamin, usia, sehingga dapat diketahui seberapa besar sumbangan variabel tersebut terhadap asertivitas.
46
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
2. Saran Praktis a. Bagi Sekolah Hasil penelitian ini memberikan pendidikan dan pelatihan yang dapat meningkatkan asertivitas siswa sehingga siswa mampu menggali segala potensi yang dimiliki dan mampu berprestasi dan pada akhirnya memiliki asertivitas yang tinggi dengan cara memberikan pelatihan seperti mengadakan pelatihan peningkatan perilaku asertif pada siswa. b. Bagi Siswa Penelitian ini untuk memahami cara meningkatkan asertivitas, cara berkomunikasi yang baik dan positif, dan dapat memotivasi diri untuk selalu bersikap positif. c. Bagi Keluarga Orang tua dapat menyadari dan memahami peran anak sebagai generasi penerus, sehingga orang tua selalu menjaga komunikasi positif terhadap anak. DAFTAR PUSTAKA Alberti, R. dan Emmons, M. 2002. Your Perfect Right. Penerjemah Buditjahya. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. DeGenova, M.K. dan Rice, F. P. 2005. Inimate Relationship, Marriages, and Families, Sixth Edition. New York: Mc Graw-Hill. Indriyati. 2007. Hubungan antara Komunikasi Orang tua dan Anak dengan Rasa Percaya Diri Putri Awal. Skripsi (tidak diterbitkan). Universitas Muhammadiyah Surakarta .Ninggalih, R. 2011. Pengaruh Konsep Diri terhadap Perilaku Asertif. http://io.ppijepang.org/v2/ index.php?option=com_k2&view=item&id=400:pengaruh (19 juni 2012) Panuju, P. dan Umami, I. 2005. Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Ramadhani, S. 2008. The Art of Positive Communicating: Mengasah Potensi dan Kepribadian Positif Pada Anak Melalui Komunikasi Positif. Yogyakarta: Bookmarks. Santrock, J. W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi Kelima. Jilid II. Penerjemah Chusairi dan Damanik. Jakarta: Erlangga. Setiono, V dan Pramadi, A. 2005. Pelatihan Asertivitas dan Peningkatan Asertif pada SiswaSiswi SMP. Anima. Indonesian Psychology Journal. Vol. 20. No. 2, 149-168.. Sopiah. 2008. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi offset. Stein, S. J., dan Howard, E. 2002. Ledakan IQ 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa. Wiryanto. 2004. Ilmu Komunikasi. Gramedia Widiasarana Indonesia.