HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS, KONSEP DIRI, DAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SMP MUHAMMADIYAH 3 DEPOK YOGYAKARTA
Musiatun Wahaningsih Magister Psikologi Sekolah Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas, konsep diri dan dukungan sosial keluarga dengan prestasi belajar.Populasi penelitian ini adalah siswa SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta. Pengumpulan data menggunakan skala religiusitas, skala konsep diri, skala dukungan sosial dan dokumentasi hasil prestasi belajar. Sampel diambil secara cluster random sampling. Data dianalisis menggunakan metode statistik dengan teknik regresi ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Ada hubungan positif antara religiusitas, konsep diri dan dukungan sosial dengan prestasi belajar secara bersama-sama pada siswa SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta. (2) Tidak ada hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan prestasi belajar pada siswa SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta. Artinya, secara parsial tinggi rendahnya religiusitas tidak memberi pengaruh signifikan terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar. (3) Ada hubungan positif antara konsep diri dengan prestasi belajar pada siswa SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta. Semakin tinggi konsep diri, maka semakin tinggi prestasi belajar. Semakin rendah konsep diri maka semakin rendah prestasi belajar. (4) Ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan prestasi belajar pada siswa SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta. Semakin tinggi dukungan sosial orang tua, maka semakin tinggi prestasi belajar. Semakin rendah dukungan sosial orang tua maka semakin rendah prestasi belajar. Kata kunci: Religiusitas, Konsep Diri, Dukungan Sosial, Prestasi Belajar
Pendahuluan Dua modal utama sebuah negara untuk bisa berkembang dan maju adalah sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimilikinya. Institusi pendidikan adalah institusi formal yang bertujuan untuk memajukan kualitas sumber daya manusia guna mengolah sumber daya alam yang tersedia. Pendidikan dalam pengertian yang luas diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang
memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Proses pendidikan yang berlangsung, mempunyai ukuran standarisasi dalam menilai sejauhmana pengetahuan dan keterampilan peserta didik tercapai (Tilaar, 2006). Secara umum perwujudannya berupa nilai-nilai yang diperoleh peserta didik melalui proses belajar mengajar (Muhari, 2002). Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur kualitas siswa atau peserta didik adalah prestasi belajar atau prestasi akademik yang diraihnya. Prestasi belajar merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu yang tidak disebabkan oleh proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar sehingga dipandang sebagai bukti usaha yang diperoleh siswa (peserta didik) (Sobur, 2006). Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Memahami pengertian prestasi belajar secara garis besar harus bertitik tolak kepada pengertian belajar itu sendiri. Untuk itu para ahli mengemukakan pendapatnya yang berbeda-beda sesuai dengan pandangan yang mereka anut (Sunarto, 2009). Ada keterlibatan berbagai faktor yang saling berinteraksi satu sama lain dalam proses belajar. Oleh karena itu, prestasi belajar yang diraih oleh seorang siswa adalah pengaruh dari interaksi dan keterlibatan berbagai faktor yang berbeda antara satu individu dengan individu yang lainnya (Baiquni, 2007). Berdasarkan hasil wawancara dengan guru wali kelas VIII SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta pada tanggal 19 Mei 2012, diperoleh informasi bahwa pihak sekolah masih menghadapi persoalan tentang prestasi belajar siswa yang rendah. Hal ini ditandai dengan siswa yang mendapat nilainya tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Untuk mengatasi hal tersebut, pihak sekolah kemudian melakukan upayaupaya untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, di antaranya dengan melakukan kerjasama dengan orang tua siswa, selanjutnya siswa diberikan tambahan jam pelajaran serta memberi kesempatan untuk melakukan ujian ulang (HER). Secara garis besar hal-hal yang mempengaruhi prestasi belajar dirangkum menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seseorang yang berasal dari dirinya sendiri, meliputi keseluruhan keadaan fisik maupun psikis. Adapun faktor-faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seseorang yang sifatnya berasal dari luar diri seseorang tersebut, meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat (Syah, 2008).
Salah satu faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor kesehatan mental (Sutrisno, 1997). Daradjat (Jalaluddin, 2002) menyatakan ada hubungan antara kesehatan mental dan agama. Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif seperti rasa bahagia, rasa senang, puas, sukses, merasa dicintai atau rasa aman (Jalaluddin, 2002). Religiusitas merupakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agama dan bertujuan sebagai pengembangan mental individu. Religiusitas dapat diketahui melalui beberapa aspek penting yaitu: aspek keyakinan terhadap ajaran agama (aqidah), aspek ketaatan terhadap ajaran agama (syari’ah atau ibadah), aspek penghayatan terhadap ajaran agama (ikhsan), aspek pengetahuan terhadap ajaran agama (ilmu) dan aspek pelaksanaan ajaran agama (amal atau ahlak) (Syahridlo, 2004). Arti penting religiusitas dalam pendidikan adalah sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Berdasarkan pengertian ini, religiusitas memiliki peran penting dalam proses belajar mengajar agar menghasilkan prestasi belajar yang diharapkan. Tertanamnya nilai religiusitas pada diri siswa, tidak hanya berimplikasi pada prestasi belajarnya melainkan bagaimana siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan dan potensi kepribadiannya secara optimal, yang akhirnya mempunyai kompetensi untuk memecahkan masalah dalam kehidupan. Faktor internal lainnya yang mempengaruhi prestasi belajar adalah konsep diri (Rola, 2006). Kepribadian (self image), kesadaran diri, ideal diri, motivasi, pengendalian dan harga diri memerlukan harmonisasi dalam proses belajar, yang akan mendukung hasil belajar (Wahyuni, 2007). Persepsi yang positif terhadap kepribadian akan mempengaruhi konsep diri ke arah yang positif, dan mendorong individu untuk meraih prestasi (Sahlan, 2000). Konsep diri adalah semua persepsi terhadap aspek diri yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek psikologis, yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi dengan orang lain (Sobur, 2003). Definisi sederhananya konsep diri merupakan keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya (Rini, 2002). Konsep diri ini ada yang sifatnya positif dan ada yang negatif. Konsep diri positif adalah ketika
seseorang mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal positif yang dapat dilakukannya demi keberhasilan dan prestasi. Sedangkan konsep diri negatif adalah ketika seseorang memiliki keraguan pada dirinya, memandang dirinya lemah, tidak dapat berbuat, tidak kompeten, gagal, tidak menarik, tidak disukai dan lain-lain yang berbau pesimistis (Ubaydillah, 2007). Pengaruh konsep diri ini sangat besar bagi keberhasilan dan prestasi belajar, bahkan dikatakan oleh beberapa ahli bahwa konsep diri lebih penting ketimbang materi pelajarannya (Ari, 2007). Faktor lain yang tidak kalah penting dengan yang telah disebut di atas yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini dikategorikan menjadi faktor eksternal dari diri peserta didik, yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seseorang yang sifatnya berasal dari luar diri seseorang tersebut (Sunarto, 2009). Salah satu peran penting lingkungan pada diri seseorang berupa dukungan sosial. Dukungan sosial adalah suatu bentuk dukungan atau tingkah laku yang menumbuhkan perasaan nyaman dan membuat individu percaya bahwa ia dihormati, dihargai, dicintai, dan bahwa orang lain bersedia memberikan perhatian dan keamanan. Dukungan sosial ini memiliki lima bentuk dasar, yaitu dukungan emosional (emotional support), dukungan penghargaan (esteem support), dukungan instrumental (instrumental support), dukungan informasi (informational support), dan dukungan jaringan sosial (companionship support) (Sarafino, 2006). Dukungan sosial bisa berasal dari orang tua, anggota keluarga yang lain, teman, komunitas, masyarakat, dan lain-lain. Namun yang terpenting dalam penelitian ini memfokuskan pada dukungan yang berasal dari keluarga. Orang tua sebagai bagian dalam keluarga merupakan individu dewasa yang paling dekat dengan anak dan salah satu sumber dukungan sosial bagi anak dari keluarga (Smet, 1994). Orang tua sebagai sistem yang mendukung seorang anak menjajaki dunia sosial yang lebih luas dan kompleks (Santrock, 2002). Berbagai upaya masih perlu dipikirkan dan dijalankan guna meningkatkan mutu pendidikan, khususnya di tingkat menengah. Masalah peningkatan kualitas pendidikan merujuk pada peningkatan proses belajar mengajar (pembelajaran). Proses pembelajaran di sekolah bersifat sangat kompleks, karena di dalamnya terdapat aspek pedagogis, psikologis dan didaktis. Terkait dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan ini, SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta berkomitmen untuk melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif dan senantiasa mendorong dan membantu serta mengembangkan potensi diri siswa sehingga dapat
dikembangkan secara optimal. Selain itu, sekolah ini juga memiliki misi untuk menumbuhkembangkan wawasan keislaman sehingga muncul akhlaqul karimah pada diri siswa. Upaya pengembangan dan pengarahan potensi yang dimiliki siswa diimplementasikan dengan penyelenggaraan berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler. Sedangkan untuk mewujudkan insan yang berakhlak mulia, iman dan takwa, maka kegiatan keagamaan rutin dilakukan, antara lain dengan shalat dhuhur, ashar dan jum’at secara rutin, membaca AlQur’an/Tadarus sebelum memulai pelajaran, pelaksanaan zakat fitrah dan kurban, shalat dhuha secara rutin, pengajian kelas rutin sebulan sekali, dan bakti sosial dalam masyarakat. Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik melakukan penelitian tentang hubungan antara religiusitas, konsep diri, dan dukungan sosial keluarga dengan prestasi belajar siswa SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana hubungan dan pengaruh religiusitas, konsep diri, dan dukungan sosial keluarga dengan prestasi belajar.
Tinjauan Pustaka Prestasi Belajar Ada banyak sekali pengertian belajar yang diungkapkan oleh para ahli. Menurut Skinner (Syah, 2008), belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Namun, pengertian ini banyak dibantah oleh ahli lain karena dalam penelitiannya Skinner mengambil hasil eksperimennya yang menggunakan hewan. Sementara Walker (Sobur, 2003), mengemukakan arti belajar dengan kata-kata yang singkat, yaitu perubahan perbuatan sebagai akibat dari pengalaman. Definisi singkat ini tampaknya mencakup segala sesuatu yang diinginkan dalam pengertian belajar. Ini jelas mencakup pengertian dari variabilitas-variabilitas yang merupakan syarat mutlak bagi tiap-tiap perubahan dari perbuatan. Morgan (Sobur, 2003), merumuskan belajar sebagai suatu perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang lalu. Berbagai perubahan tingkah laku yang bisa diamati pada perkembangan seseorang sejak bayi hingga dewasa, terdapat pada tiga hal, yaitu: a. Perubahan yang terjadi akibat dari proses-proses fisiologis, misalnya sakit atau penyakit.
b. Perubahan yang terjadi akibat adanya proses-proses pematangan (maturation). c. Perubahan yang terjadi karena adanya proses-proses belajar. Biggs (Sobur, 2003) mendefinisikan belajar dalam tiga macam rumusan, yaitu: rumusan kuantitatif; rumusan institusional; dan rumusan kualitatif. Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai siswa. Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses “validasi” atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah dipelajari. Validasi dapat ditunjukkan dengan bukti institusional yang menunjukkan siswa telah belajar dapat diketahui sesuai dengan proses mengajar. Ukurannya semakin baik mutu guru yang mengajar akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor. Secara kualitatif (tinjauan mutu), belajar diartikan sebagai proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti akan dihadapi siswa. Berdasarkan berbagai definisi yang diurai di atas, belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sehubungan dengan pengertian itu perlu diutarakan sekali lagi bahwa perubahan tingkah laku yang timbul akibat dari proses kematangan, keadaan gila, mabuk, lelah, dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses belajar. Menurut Syah (Abdullah, 2008), prestasi belajar adalah taraf keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. Bloom (Abdullah, 2008), mendefinisikan prestasi belajar sebagai hasil akhir yang diharapkan dapat dicapai oleh seseorang setelah melalui kegiatan belajar. Hasil belajar ini diklasifikasikan ke dalam tiga ranah yaitu: ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor (psychomotor domain).
Prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Slameto (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat digolongkan ke dalam dua golongan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang bersumber pada diri siswa dan faktor eksternal adalah faktor yang bersumber dari luar diri siswa. Sutrisno (1997) juga mengemukakan pendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari inteligensi, bakat, minat, motivasi, dan kesehatan mental. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Menurut Rola (2006), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, yaitu: a. Pengaruh keluarga dan kebudayaan. Besarnya kebebasan yang diberikan orang tua kepada anaknya, jenis pekerjaan orang tua dan jumlah serta urutan anak dalam keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan prestasi. Produk-produk kebudayaan pada suatu daerah seperti cerita rakyat, sering mengandung tema prestasi yang bisa meningkatkan semangat. b. Peranan konsep diri. Konsep diri merupakan bagaimana individu berpikir tentang dirinya sendiri. Apabila individu percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu, maka individu akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut sehingga berpengaruh dalam tingkah lakunya. c. Pengakuan dari prestasi. Individu akan berusaha bekerja keras jika dirinya merasa diperdulikan oleh orang lain. Prestasi sangat dipengaruhi oleh peran orang tua, keluarga dan dukungan lingkungan tempat di mana individu berada. Individu yang diberi dorongan untuk berprestasi akan lebih realistis dalam mencapai tujuannya.
Religiusitas Ada beberapa istilah untuk menyebutkan agama, antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio/relegare (Latin), dan dien (Arab). Kata religion (Inggris) dan religie (Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu Bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat (Kahmad, 2002). Menurut Cicero (Ismail, 1997), relegare berarti melakukan sesuatu perbuatan dengan penuh penderitaan, yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulangulang dan tetap. Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti. Kata al-din bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al-tadzallul wa al-khudu (tunduk dan patuh), al-tha’at
(taat), al-islam al-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan) (Kahmad, 2002). Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Meski berakar kata sama, namun dalam penggunaannya istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau agama. Kalau agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban; religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di dalam hati (Mangunwijaya, 1982). Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam (Nashori dan Mucharam, 2002). Hawari (1996) menyebutkan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan dan kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci. Ancok dan Suroso (2001) mendefinisikan religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber jiwa keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Adanya ketakutanketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia itu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan. Religiusitas atau keagamaan seseorang ditentukan dari banyak hal, di antaranya: pendidikan keluarga, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada waktu kecil atau pada masa kanak-kanak. Seorang remaja yang pada masa kecilnya mendapat pengalaman-pengalaman agama dari kedua orang tuanya, lingkungan sosial dan teman-teman yang taat menjalani perintah agama serta mendapat pendidikan agama baik di rumah maupun di sekolah, sangat berbeda dengan anak yang tidak pernah mendapatkan pendidikan agama di masa kecilnya, maka pada dewasanya ia tidak akan merasakan betapa pentingnya agama dalam hidupnya. Orang yang mendapatkan pendidikan agama baik di rumah mapun di sekolah dan masyarakat, maka orang tersebut mempunyai
kecenderungan hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, dan takut melanggar larangan-larangan agama (Syahridlo, 2004). Thoules (Azra, 2000) menyebutkan mempengaruhi religiusitas, yaitu:
beberapa
faktor
yang
a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan, termasuk pendidikan orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh lingkungan. b. Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai: Keindahan, keselarasan dan kebaikan di dunia lain (faktor alamiah) Adanya konflik moral (faktor moral) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif) c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhankebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri, dan ancaman kematian. d. Proses pemikiran verbal atau proses intelektual. Sementara itu menurut Glock & Stark (Ancok dan Suroso, 1995) religiusitas memiliki lima dimensi, yaitu: a. Dimensi keyakinan (ideologis). Dimensi Keyakinan berisi pengharapanpengharapan di mana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. b. Dimensi praktik agama (ritualistik). Dimensi praktik agama mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. c. Dimensi pengalaman (experensial). Dimensi pengalaman berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsipersepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang, sebagai suatu komunikasi dengan Tuhan, misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa sering do’anya dikabulkan, merasa diselamatkan Tuhan, dan sebagainya. d. Dimensi pengamalan (konsekuensi). Dimensi pengamalan berkaitan dengan sejauhmana perilaku individu dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial. Misalnya, apakah seseorang mengunjungi tetangganya yang sakit, mau menolong orang yang sedang dalam kesulitan dan mau mendermakan hartanya. Dimensi pengamalan meliputi konsekuensi-konsekuensi duniawi dari keyakinan, pengalaman dan pengetahuan keagamaan individu yang mencakup apa yang harus dilakukan dan bagaimana sikap yang harus dipegang individu sebagai konsekuensi agama yang dianutnya.
e. Dimensi pengetahuan agama (intelektual). Dimensi pengetahuan agama berkaitan dengan sejauhmana individu mengetahui dan memahami tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada dalam kitab suci dan sumber lainnya.
Konsep Diri Menurut Sobur (2003), konsep diri adalah semua persepsi kita terhadap aspek diri yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek psikologis, yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain. Menurut Hurlock (1989), konsep diri merupakan gambaran dan penilaian terhadap diri sendiri yang mencakup seluruh aspek kepribadiannya. Artinya, konsep diri merupakan penilaian terhadap dirinya sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikis, sosial-emosional, aspirasi, dan prestasi. Hurlock (1989) menambahkan bahwa ada lima macam konsep diri, yaitu: konsep diri fisik, konsep diri psikis, konsep diri sosial dan emosional, konsep diri aspirasi, dan konsep diri prestasi. Setiap individu yang memandang dan mengevaluasi terhadap kelima jenis konsep diri tersebut dengan positif, maka akan mempengaruhi perilaku dan perilakunya positif. Konsep diri dibedakan menjadi konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif adalah ketika seseorang mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Dasar dari konsep diri yang positif adalah adanya penerimaan diri. Hal ini dikarenakan orang yang memiliki konsep diri yang positif mampu mengenal dirinya sendiri dengan baik. Penerimaan diri yang dimaksud meliputi penerimaan diri atas informasi yang positif maupun yang negatif tentang dirinya. Artinya, orang yang memiliki konsep diri yang positif akan menerima dan memahami kenyataan yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri. contohnya, saya orang yang pintar dalam matematika, tetapi saya lemah di pelajaran bahasa (Ubaydillah, 2007). Konsep diri positif akan membuat seseorang optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan baginya tidak dipandang sebagai akhir segalanya, namun malah dijadikan sebagai pelajaran dan pengalaman berharga demi kesuksesannya di masa depan. Konsep diri positif akan memunculkan harga diri yang positif, sehingga seseorang memiliki motivasi kuat untuk mengembangkan potensinya dalam meraih keinginan-keinginannya dan konsep diri positif akan menjadi sumber kekuatan untuk mencapai cita-cita (Rini, 2002).
Seorang anak yang memiliki konsep diri positif akan merasa puas dengan dirinya sendiri, dan memandang dunia sebagai tempat yang menyenangkan. Konsep diri positif memungkinkan anak untuk menerima tanggung jawab, untuk mencapai keberhasilan di sekolah, dan tumbuh menjadi anggota masyarakat yang produktif. Pandangannya tentang kehidupan sangat baik (Rini, 2002). Konsep diri positif ditunjukkan dengan karakteristik sebagai berikut (Rola, 2006): a. Memiliki keyakinan bahwa dirinya sanggup mengatasi masalah. Setiap masalah pasti memiliki jalan keluarnya, dan orang yang konsep dirinya positif yakin dengan hal ini. Oleh karenanya dirinya akan selalu optimis dan tidak putus asa menghadapi segala sesuatu yang dialaminya. b. Tidak minder, bahwa dirinya dan orang lain adalah setara. Semua manusia dilahirkan sama, tidak dengan membawa pengetahuan dan kekayaan. Pengetahuan dan kekayaan didapatkan dari proses belajar dan bekerja sepanjang hidup. Pemahaman tersebut menyebabkan individu tidak merasa lebih atau kurang terhadap orang lain. c. Menyikapi pujian dengan tepat. Orang yang konsep dirinya positif, ketika menerima pujian tidak malu-malu. Ia memahami makna pujian atau penghargaan, bahwa penghargaan dan pujian itu layak diberikan terhadap individu berdasarkan dari hasil apa yang telah dikerjakan sebelumnya. d. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan dan keinginan serta perilaku yang bisa tidak selalu disetujui oleh masyarakat. Ia peka terhadap perasaan orang lain sehingga akan menghargai perasaan orang lain meskipun kadang tidak disetujui oleh masyarakat. e. Memiliki dorongan untuk mau dan mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang. Kebalikan dari konsep diri positif adalah konsep diri negatif. Konsep diri negatif akan berpengaruh pada munculnya emosi negatif, misalnya kesedihan, tekanan, depresi, dan seterusnya. Selanjutnya, emosi negatif ini kerap menjadi sumber harga diri negatif. Harga diri negatif inilah yang nantinya menjadi biangnya kerusakan emosi (Ubaydillah, 2007). Orang yang memiliki konsep diri negatif sangat sedikit mengenal tentang dirinya, pengenalan diri yang mencakup diri idealnya, citra dirinya, dan harga dirinya. Ia kurang mengenal siapa dirinya, apa kekuatan dan kelemahannya atau apa yang dihargai dalam hidupnya. Seorang anak yang memiliki konsep diri negatif akan meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Pandangannya terhadap segala sesuatu
menjadi pesimis, motivasinya untuk berprestasi lemah dan tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Selain itu, anak tersebut akan mudah menyerah ketika mengalami suatu kegagalan, dan selanjutnya menyalahkan diri sendiri dan atau menyalahkan orang lain atas kegagalan tersebut (Ubaydillah, 2007). Konsep diri negatif ditunjukkan dengan karakteristik sebagai berikut (Rola, 2006): a. Gampang tersinggung dan peka terhadap kritik, yaitu kurangnya kemampuan untuk menerima kritik dari orang lain sebagai proses refleksi diri. b. Responsif terhadap pujian. Bersikap yang berlebihan terhadap tindakan yang telah dilakukan, sehingga merasa segala tindakannya perlu mendapat penghargaan. c. Sering merasa tidak disukai orang lain. Perasaan subyektif bahwa setiap orang lain di sekitarnya memandang dirinya dengan negatif. d. Gemar memberikan kritik negatif. Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain. e. Interaksi sosialnya kurang baik, mengalami hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya serta merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan orang-orang lain. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain. Pembentukan konsep diri dipengaruhi oleh orang lain yang dekat di sekitar kita. Konsep diri terbentuk karena adanya interaksi individu dengan orang-orang di sekitarnya. Apa yang dipersepsi individu mengenai diri individu lain, tidak terlepas dari struktur, peran, dan status sosial yang disandang seorang individu. Struktur, peranan, dan status sosial merupakan gejala yang dihasilkan dari adanya interaksi antara individu satu dengan individu yang lain, antara individu dan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok lain (Sobur, 2003). Seorang anak mulai belajar berpikir dan merasakan dirinya seperti apa yang telah ditentukan oleh orang lain dalam lingkungannya; misalnya, orang tuanya, gurunya, atau teman-temannya, sehingga apabila seorang guru mengatakan secara terus menerus pada seorang muridnya bahwa murid tersebut kurang mampu, semakin lama anak akan mempunyai konsep diri semacam itu. Konsep diri seorang anak di dalam keluarga mulai terbentuk berdasarkan penilaian orang tua terhadap diri anak. Penilaian tersebut menyangkut penghargaan dan hukuman terhadap perilaku anak berdasarkan pedoman dan standar nilai yang dimiliki orang tua (Sobur, 2003).
Dukungan Sosial Keluarga Dukungan sosial adalah kehadiran orang lain yang dapat membuat individu percaya bahwa dirinya dicintai, diperhatikan dan merupakan bagian dari kelompok sosial, yaitu keluarga, rekan kerja dan teman dekat (Sheridan dan Radmacher,1992). Menurut Jacob (Orford, 1992), dukungan sosial adalah suatu bentuk tingkah laku yang menumbuhkan perasaan nyaman dan membuat individu percaya bahwa individu dihormati, dihargai, dicintai dan bahwa orang lain bersedia memberikan perhatian dan keamanan. Dukungan sosial merupakan cara untuk menunjukkan kasih sayang, kepedulian, dan penghargaan untuk orang lain. Individu yang menerima dukungan sosial akan merasa dirinya dicintai, dihargai, berharga, dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya (Sarafino, 2006). Dukungan sosial diperoleh dari hasil interaksi individu dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya, dan bisa berasal dari siapa saja, keluarga, guru, teman, dan lain-lain. Menurut Kahn dan Antonoucci (Orford, 1992), dukungan sosial dapat bersumber dari tiga kategori yaitu: a. Sumber dukungan sosial yang stabil sepanjang waktu perannya, yaitu yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang menyertai dan mendukung individu tersebut. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suami/isteri) atau teman dekat. b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung berubah sesuai sepanjang waktu. Misalnya teman kerja, tetangga, sanak keluarga dan teman sepergaulan. c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Sumber dukungan ini misalnya tenaga ahli/ professional dan keluarga jauh dan sesama pekerja. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah hadirnya seseorang untuk menunjukkan atau memberikan kasih sayang, perhatian, penghargaan atau bantuan kepada orang lain. Adapun dukungan sosial bisa berasal dari beberapa sumber yaitu keluarga, pasangan, teman dekat, tetangga, dan tenaga ahli profesional. Menurut Gilligan (1995), sumber dukungan sosial keluarga (family support) dapat dibagi menjadi :
a. Parent support. Merupakan dukungan yang berasal dari orangtua. Dukungan orangtua ini merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan remaja. Dukungan orangtua tidak hanya mencegah atau mengurangi stres remaja, tetapi juga dapat meningkatkan efek dari faktor-faktor protektif yang membangun seperti akademis, kompetensi dan coping behaviour. b. Sibling support. Dukungan dari saudara juga merupakan hal yang penting. Di dalam keluarga, anggota-anggota keluarga haruslah saling mendukung. Menurut Sarafino (2006), ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu: a. Dukungan emosional (emotional support). Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional merupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaan didengarkan. Kesediaan untuk mendengarkan keluhan seseorang akan memberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram, diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka. b. Dukungan penghargaan (esteem support). Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan penghargaan yang positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain, seperti misalnya perbandingan dengan orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya. Hal seperti ini dapat menambah penghargaan diri. Individu melalui interaksi dengan orang lain, akan dapat mengevaluasi dan mempertegas keyakinannya dengan membandingkan pendapat, sikap, keyakinan, dan perilaku orang lain. Jenis dukungan ini membantu individu merasa dirinya berharga, mampu, dan dihargai. c. Dukungan instrumental (instrumental support). Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung yang dapat berupa jasa, waktu, atau uang. Misalnya pinjaman uang bagi individu atau pemberian pekerjaan saat individu mengalami stres. Dukungan ini membantu individu dalam melaksanakan aktivitasnya. d. Dukungan informasi (informational support). Dukungan informasi mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik. Dukungan ini membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara praktis. Dukungan informatif ini juga membantu individu mengambil keputusan karena mencakup mekanisme penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk. e. Dukungan jaringan sosial (companionship support). Dukungan jaringan sosial mencakup perasaan keanggotaan dalam kelompok. Dukungan
jaringan sosial merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok, saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial. Menurut Cohen dan Wills (Orford, 1992) dukungan ini dapat berupa menghabiskan waktu bersama dengan orang lain dalam aktivitas rekreasional di waktu senggang. serta Dukungan ini juga dapat diberikan dalam bentuk menemani seseorang beristirahat atau rekreasi. Dukungan ini dapat mengurangi stress dengan memenuhi kebutuhan afiliasi dan kontak dengan orang lain, membantu mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang mengganggu serta memfasilitasi suatu suasana hati yang positif.
Metode Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel terikat: Prestasi Belajar. 2. Variabel bebas: a. Religiusitas. b. Konsep diri. c. Dukungan sosial keluarga. Subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta yang terdaftar pada tahun ajaran 2011/2012 sebanyak 137 orang, yang terdiri dari kelas VIII A, VIII B, VIII C, dan VIII D. Data variabel prestasi belajar diungkap melalui dokumentasi nilai rapor, sedangkan data peneltian variabel-variabel bebas diungkap dengan skala, yaitu skala religiusitas, skala konsep diri, dan skala dukungan sosial keluarga. Pengujian reliabilitas untuk Skala Religiusitas menghasilkan koefisiensi Alpha sebesar 0,899. Koefisiensi Alpha tersebut berada dalam kategori tinggi, sehingga Skala Religiusitas dinyatakan memiliki nilai reliabilitas yang tinggi. Pengujian reliabilitas untuk Skala Konsep Diri menghasilkan koefisiensi Alpha sebesar 0,847. Koefisiensi Alpha tersebut berada dalam kategori tinggi, sehingga Skala Konsep Diri dinyatakan memiliki nilai reliabilitas yang tinggi. Adapun pengujian reliabilitas untuk Skala Dukungan Sosial Keluarga menghasilkan koefisiensi Alpha sebesar 0,923. Koefisiensi Alpha tersebut berada dalam kategori tinggi, sehingga Skala Dukungan Sosial Keluarga dinyatakan memiliki nilai reliabilitas yang tinggi.
Hasil Penelitian
Uji normalitas sebaran menggunakan One-Sample Kolmogorof Smirnof Test. Pedoman untuk mengetahui normalitas sebaran adalah jika p>0,05 sebarannya normal, dan jika p<0,05 maka sebarannya tidak normal. Hasil uji normalitas variabel prestasi belajar KS Z=0,459, dan p=0,984 atau p>0,05; variabel religiusitas KS Z=0,923 dan p=0,361 atau p>0,05; variabel konsep diri KS Z=0,887 dan p=0,411 atau p>0,05; variabel dukungan sosial keluarga KS Z=0,689 dan p=0,730 atau p>0,05. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa variabel prestasi belajar, religiusitas, konsep diri, dan dukungan sosial keluarga berdistribusi normal. Uji linearitas menunjukkan F=5,510 dan p=0,025 (p<0,05); F=52,960 dan p=0,000 (p<0,05); F=44,906 dan p=0,000 (p<0,05). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa semua variabel mempunyai nilai p lebih kecil dari 0,05, dengan demikian hubungan antara prestasi belajar dengan religiusitas, hubungan antara prestasi belajar dengan konsep diri, dan hubungan prestasi belajar dengan dukungan sosial keluarga adalah linier. Uji multikolonieritas dilakukan dengan bantuan program SPSS, dengan patokan nilai VIF (variance inflation factor) dan Tolerance. Kriteria yang digunakan adalah jika nilai VIF di sekitar angka 1 atau memiliki toerance mendekati 1, maka dikatakan tidak terdapat masalah multikolinieritas dalam model regresi (Candiasa, 2003). Hasil uji multikolinieritas menunjukkan, variabel religiusitas nilai VIF sebesar 1,180 dengan tolerance=0,848; variabel konsep diri nilai VIF sebesar 1,776 dengan tolerance=0,563; dan variabel dukungan sosial keluarga nilai VIF sebesar 1,643 dengan tolerance=0,609. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa nilai VIF mendekati 1 untuk semua variabel bebas. Demikian pula, nilai tolerance mendekati 1 untuk semua variabel bebas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam regresi antara variabel bebas religiusitas (x1), konsep diri (x2), dan dukungan sosial keluarga (x3) terhadap prestasi belajar (y) tidak terjadi multikolinieritas antar variabel bebas. Analisis data menggunakan analisis regresi berganda metode enter. Metode enter adalah memasukkan semua prediktor ke dalam analisis sekaligus. Hasil analisis memperoleh nilai F=20,630 dan p=0,000 (p<0,01), hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara religiusitas (X1), konsep diri (X2) dan dukungan sosial keluarga (X3) secara bersamasama terhadap prestasi belajar (Y). Uji t memperoleh hasil; nilai t hitung untuk variabel religiusitas adalah sebesar 0,064 dan p=0,949 (p>0,05). Variabel konsep diri memiliki nilai t hitung sebesar 3,634 dan p=0,001 (p<0,05). Variabel dukungan sosial memiliki nilai t hitung sebesar 2,999 dan p=0,004 (p<0,05).
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Ada hubungan positif yang signifikan antara religiusitas, konsep diri dan dukungan sosial keluarga dengan prestasi belajar secara bersama-sama pada siswa SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta. Semakin tinggi religiusitas, konsep diri dan dukungan sosial keluarga, maka semakin tinggi prestasi belajar. Sebaliknya, semakin rendah religiusitas, konsep diri dan dukungan sosial keluarga, maka semakin rendah prestasi belajar. 2. Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara religiusitas dengan prestasi belajar pada siswa SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta. Artinya, tinggi rendahnya religiusitas tidak memberi pengaruh terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar. 3. Ada hubungan positif yang signifikan antara konsep diri dengan prestasi belajar pada siswa SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta. Semakin tinggi konsep diri, maka semakin tinggi prestasi belajar. Sebaliknya, semakin rendah konsep diri maka semakin rendah prestasi belajar. 4. Ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan prestasi belajar pada siswa SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta. Semakin tinggi dukungan sosial keluarga, maka semakin tinggi prestasi belajar. Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial keluarga maka semakin rendah prestasi belajar.
Saran Untuk siswa hendaknya selalu berusaha mengembangkan konsep diri dengan cara memiliki penilaian yang positif terhadap diri sendiri, yaitu memiliki keyakinan diri untuk sanggup mengatasi masalah, tidak minder, dan memiliki dorongan untuk mau dan mampu memperbaiki diri. Untuk keluarga hendaknya selalu memberi dukungan kepada anak agar mampu meningkatkan prestasi belajarnya, dengan cara memberi perhatian kepada anak, memberi penghargaan atas sekecil apapun prestasi yang diraih anak, memberikan bantuan, dan memberikan nasehat-nasehat. Bagi pihak sekolah hendaknya dapat mengambil kebijakan tentang kegiatan-kegiatan sekolah yang dapat mengembangkan dan meningkatkan religiusitas, konsep diri dan dukungan sosial agar prestasi belajar siswa menjadi semakin baik. Pengembangan dan peningkatan religiusitas dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan keagamaan di sekolah seperti shalat berjamaah, peringatan hari besar Islam, pesantren
ramadhan dan lain-lain. Sementara itu, pengembangan dan peningkatan konsep diri dapat dilakukan dengan cara: menciptakan situasi sekolah yang dapat mengembangkan konsep diri positif bagi peserta didik, yaitu yang memungkinkan peserta didik mendapat penghargan, sokongan dan pengakuan diri dari guru-guru dan teman; menciptakan situasi belajar yang memungkinkan peserta didik merasa sukses melalui pengalaman belajar yang menyenangkan, yaitu dengan cara peserta didik aktif belajar, suasana belajar yang menyenangkan, dan sesuai dengan perkembangannya; berusaha untuk banyak memberikan penghargaan bukan mencela, mengejek, mencemooh, dan menyalahkan serta menghukumnya. Sedangkan pengembangan dan peningkatan dukungan sosial dapat dilakukan dengan cara: menciptakan hubungan sosial yang baik dengan peserta didik yang penuh kehangatan dan bersahabat; menghargai setiap usaha yang dilakukan peserta didik melalui hasil yang dia peroleh dengan memberi nilai kepadanya; berusaha mengembangkan bakat, dan keterampilan peserta didik sehingga mereka merasa berguna, berarti, dan dihargai.
Daftar Pustaka Abdullah, A. Muhammad Ibnu. 2008. Prestasi Belajar. Diambil 5 Januari 2012 pukul 09.00 dari http://spesialis-torch.com. Ancok , J dan Suroso. 2001. Psikologi Islam: Solusi Islam Atas ProblemaProblema Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ari. 2007. Konsep Diri Lebih Penting. Diambil 15 Januari 2012 pukul 12.20 dari http://www.konsepdiri.com. Azra, A. 2000. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Depag R.I. Baiquni. 2007. Inteligensia Bukan Satu-Satunya. Diambil 15 Januari 2012 pukul 23.30 dari http://www.e-psikologi.com/inteligensia/acs34/html. Gilligan, R. 1995. Family Support and Child welfare: Realising the promise of the child care act 1991. London: British Agencies of Adoption and Fostering. Glock, C.Y. & Stark, R. 1965. Religion and Society Intension. Chicago: Rand Mc. Nally dan Co. Hawari. 1996. Al-quran: Ilmu Kesehatan dan Ilmu Jiwa. Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf.
Hurlock, E.B. 2000. Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Penerjemah: Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hurlock, E.B. 2001 Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi ke 5. Jakarta: Erlangga. Jalaluddin. 2002. Psikologi Agama. Edisi Revisi 2002. Cetakan keenam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Muhari. 2002. Teknik Mengajar Secara Sistematis. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nashori, F. dan Rachmy DM. 2002. Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islam. Yogyakarta: Menara Kudus. Orford, J. 1992. Community Psychology: Theory and Practical. New York: John Wiley and Sons, Ltd. Rini, J.F. 2002. Konsep Diri. Diambil 25 Desember 2011 pukul 10.00 dari http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=398. Rola, F. 2006. Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi Pada Remaja. Diambil 12 Januari 2012 pukul 14.45 dari http://www.Digitizedlibrary.usu.ac.id/psikologi/html. Sahlan. 2000. Ajari Anak Sejak Dini Berprestasi. Diambil 13 Desember 2011 pukul 18.30 dari http://www.AAsb/blogspot. Santrock, J.W. 2002. Life Span Development Jilid 2. Alih bahasa Achmad Chusairi & Juda Damanik. Jakarta: Erlangga. Sarafino. 2006. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions 5th. New York: John Wiley & Sons, Inc. Sheridan & Radmacher. 1992. Health Psychology: Challenging The Biomedical Model. Singapore: John Wiley & Sons, Inc. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Grasindo. Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia. Sunarto. 2009. Pengertian Prestasi Belajar. Diambil 21 Desember 2011 pukul 21.00 dari http://sunartombs.wordpress.com. Sutrisno, M. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Syah, M. 2006. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Cetakan kedua belas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Syahridlo. 2004. Pengaruh Prestasi Pelajaran Agama Terhadap Sikap Keagamaan Siswa Madrasah Aliyah Negeri Bantul. Tesis. Magister Psikologi UNY. Tilaar, H. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ubaydillah, AN. 2007. Membangun Konsep Diri Positif Pada Anak-anak. Diambil 29 Januari 2012 pukul 20.12 dari http://www.epsikologi.com/epsi/anak_detail.asp?id=414 Wahyuni, A. 2007. Kegiatan Belajar Terhadap Prestasi Yang Dicapai. Diambil 3 Desember 2011 pukul 05.30 dari http://www.achievement.com.