Artikel Penelitian
Hubungan Antara Kerja Jarak Dekat dengan Miopia pada Penjahit Wanita Departemen Stitching Atletik II Pabrik Sepatu “X” Tahun 2004 Indah Nurkasih,* Astrid B. Sulistomo,* Tri Rahayu** *Program Pascasarjana, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Program Studi Kedokteran Kerja, Jakarta, **Departemen Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Penelitian bertujuan mengetahui prevalensi miopia pada penjahit dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya serta hubungan antara kerja jarak dekat dengan miopia. Desain penelitian adalah cross sectional dengan subjek penelitian terdiri dari 310 penjahit wanita di Departemen Stitching Atletik II Pabrik Sepatu “X”. Pengumpulan data dilaksanakan mulai April sampai dengan Mei 2004 dengan pengukuran jarak kerja langsung pada subjek, pengukuran iluminasi di tempat kerja dan wawancara menggunakan kuesioner. Status refraksi ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan berkala tahun 2003. Variabel bebas terdiri dari usia, ras, lama pendidikan, masa kerja, lama kerja, aktivitas jarak dekat di luar jam kerja, aktivitas jarak dekat total, jarak kerja, iluminasi, vibrasi dan tingkat pengetahuan tentang higiene mata. Variabel tergantung adalah miopia. Terdapat 39 orang (12,6%) penjahit wanita yang mengalami miopia, terdiri dari 36 (92,3%) orang miopia ringan dan 3 (7,9%) orang miopia sedang. Dengan regresi logistik ditemukan hubungan yang bermakna antara kerja jarak dekat dengan miopia (OR 1,206; p=0,001). Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara faktor lain dengan miopia. Perlu diteliti lebih lanjut, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pekerja bekerja pada jarak dekat. Kata Kunci: kerja jarak dekat, miopia, penjahit sepatu.
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
107
Kerja Jarak Dekat dengan Miopia pada Penjahit Wanita
The Association between Nearwork and Myopia Among Female Shoe Stitchers at “X” Shoe Factory, 2004 Indah Nurkasih,* Astrid B. Sulistomo,* Tri Rahayu** *Occupational Medicine Master Program, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta **Opthalmology Department, Faculty of Medicine, University of Indonesia/ Cipto Mangunkusumo National Hospital, Jakarta
Abstract: The aim of this study was to investigate myopia prevalence among stitchers, influential factors and the relationship between nearwork and myopia. A cross sectional study was performed among 310 female shoe stitchers in Athletic Shoes Stitching II Department of “X” Shoe Factory. Data was collected from April until May 2004, including measurement of work distance and illumination and interview using questionnaire. Subject’s refraction status was determined based on 2003 medical check-up record. Independent variables were age, race, education, working hours, nearwork outside working hour, total hours of nearwork, working distance, illumination, vibration and knowledge about visual hygiene. Dependent variable was myopia. There were 39 (12.6%) miopic female shoe stitchers, consisted of 36 (92.3%) mild myopia and 3 (7.9%) moderate myopia. Logistic regression model revealed a significant association between nearwork and myopia (OR 1.206; p=0.001). No association was found between other factors and myopia. Further study is needed to determine factors that influence nearwork. Key Words: nearwork, myopia, shoe stitchers.
Pendahuluan Miopia timbul akibat gangguan pada regulasi pertumbuhan mata. Gangguan regulasi dapat bersifat herediter, yang biasanya mengakibatkan miopia onset muda (usia kurang dari 20 tahun), atau merupakan pengaruh lingkungan, yang biasanya mengakibatkan miopia onset dewasa (usia 20 tahun ke atas). Lingkungan yang mempengaruhi regulasi pertumbuhan mata antara lain adalah nearwork (kerja jarak dekat).1 Beberapa penelitian telah melaporkan prevalensi miopia yang tinggi di kalangan pekerja dengan jenis pekerjaan jarak dekat antara lain penelitian oleh Simensen et al2 dan McBrien et al.3 Pada pabrik sepatu, risiko untuk timbulnya miopia termasuk cukup tinggi khususnya di bagian produksi penjahitan sepatu karena pekerjaan ini dikerjakan dalam jarak dekat. Pabrik sepatu biasanya mempekerjakan sampai ribuan pekerja di Departemen Stitching (menjahit). Jika prevalensi miopia pada pekerjaan jarak dekat sesuai dengan kepustakaan Barat, yaitu berkisar 30%, maka diperkirakan miopia dialami ratusan penjahit. Jika koreksi kaca mata tidak akurat sedangkan pekerja terpajan faktor risiko, yaitu menjahit atau membaca, maka derajat miopia dapat bertambah dan dapat menimbulkan komplikasi yang akan membutuhkan banyak biaya selain semakin banyak jam kerja yang hilang.
108
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko miopia, khususnya hubungan antara miopia dengan kerja jarak dekat pada penjahit di pabrik sepatu. Metode Desain penelitian adalah cross sectional dengan subjek penelitian adalah 310 penjahit wanita di Departemen Stitching Atletik II Pabrik Sepatu “X”. Kriteria inklusi adalah seluruh penjahit wanita di Departemen Stitching Atletik II yang berada di tempat sewaktu penelitian, minimal telah bekerja selama 2 tahun di bagian menjahit, dan bersedia ikut dalam penelitian. Kriteria eksklusi adalah penjahit dengan riwayat memakai kacamata minus sebelum bekerja di pabrik sepatu “X” dan riwayat trauma mata. Pengumpulan data dilaksanakan mulai April sampai dengan Mei 2004. Data primer dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner, pengukuran jarak kerja langsung pada subjek, serta pengukuran iluminasi di tempat kerja dengan luksmeter. Jarak kerja diukur dengan pita meteran dari mata pada posisi kerja ke objek kerja. Pengukuran dilakukan saat responden berada pada posisi kerja yang terlama pada saat menjahit. Iluminasi yang diukur adalah iluminasi lokal pada masing-masing tempat kerja dengan meletakkan luksmeter setinggi meja kerja pada lima titik yang
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
Prevalensi Telur Cacing Tambang pada Pasien Anemia berbeda, dan iluminasi merupakan nilai rata-rata dari kelima titik tersebut. Observasi lama kerja dilakukan dengan menghitung berapa lama waktu yang diperlukan oleh responden untuk menyelesaikan satu jahitan dengan menggunakan stopwatch. Hasil penghitungan kemudian dikalikan dengan jumlah jahitan yang dihasilkan pada hari itu, sehingga didapatkan lama kerja dalam jam per hari. Data sekunder didapatkan dari rekam medis, data kepegawaian a dan data hasil pengukuran vibrasi. Status refraksi ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan berkala tahun 2003. Variabel bebas terdiri dari usia, ras, lama pendidikan, masa kerja, lama kerja, aktivitas jarak dekat di luar jam kerja, aktivitas jarak dekat total, jarak kerja, iluminasi, vibrasi dan tingkat pengetahuan tentang higiene mata. Variabel tergantung adalah miopia. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui nilai mean dan standar deviasi. Analisis bivariat melalui penentuan OR dengan interval kepercayaan b95%, untuk mengetahui hubungan antara dua variabel dengan uji Chi Square dan korelasi Pearson.4-6 Variabel bebas dikatakan berhubungan bermakna secara statistik dengan myopia apabila mempunyai nilai p<0,05. Analisis multivariat melalui uji regresi logistik dengan melakukan pengolahan variabel bebas yang memiliki nilai p<0,25 pada analisis bivariat. Seluruh data diolah dan dianalisis dengan program SPSS 11.0. Hasil Dari penelusuran data kepegawaian dan rekam medis didapatkan 638 responden yang memenuhi kriteria inklusi, sedangkan 2 orang dieksklusi. Jumlah responden dibagi rata untuk tiap-tiap line, masing-masing 15-16 responden per line yang dipilih secara acak, sehingga didapat 310 responden. Jumlah total jam aktivitas jarak dekat berkisar antara 55,6-79,7 jam/minggu (Tabel 1). Responden rata-rata telah bekerja hampir sepuluh tahun dengan lama kerja tujuh jam perhari. Sebanyak 42,6% responden bekerja dengan jarak <30 cm dan 37,4% bekerja dengan iluminasi <300 luks (Tabel 2). Nilai vibrasi yang didapat dari data perusahaan menunjukkan nilai yang masih di bawah nilai ambang (4 m/s2) pada tiap aksis yaitu 1,28 m/s2 (aksis x), 0,52 m/s2 (aksis y), dan 3,75 m/s2 (aksis z). Tabel 1. Sebaran Responden Menurut Karakteristik dan Riwayat Pekerjaan (n=310) Karakteristik
Kisaran
Mean
SD
Usia Lama pendidikan Aktivitas jarak dekat lain Aktivitas jarak dekat total Masa kerja Lama kerja
22-45 thn 6-12 thn 8-29 j/mgg 55,6-79,7 j/mgg 2-15 thn 6,8-7,2 j/hr
30,42 11,26 16,12 65,02 9,89 6,99
3,65 1,215 3,76 3,86 3,66 0,11
Tabel 2. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Lingkungan Kerja (n=310) Karakteristik
Kisaran
Jarak kerja 21-47 cm - <30 cm - >30 cm Iluminasi 262-417 luks - <300 luks - 300-500 luks*
Mean
SD
32,03
4,01
343
Jumlah
%
132 178
42,6 57,4
116 194
37,4 62,6
61,16
*Iluminasi tidak ada yang melebihi 500 luks
Pengetahuan Responden Tentang Kesehatan Mata Berdasarkan tingkat pengetahuan tentang kesehatan mata, hanya 28 (9,0%) responden yang memiliki pengetahuan yang cukup, sedangkan lainnya kurang. Terlihat dari Tabel 3 semua responden tidak mengetahui mengenai higiene visual, namun semuanya memahami bahwa kerja jarak dekat dan iluminasi yang buruk dapat menimbulkan gangguan kesehatan mata. Tabel 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pengetahuan Mengenai Kesehatan Mata (n=310) Pengetahuan
Benar (%)
Pengaruh membaca, menjahit dan menonton TV pada jarak dekat dengan kesehatan mata Pengaruh lampu yang kurang terang terhadap kesehatan mata Perlunya pemeriksaan mata saat medical check-up Pengaruh istirahat terhadap gangguan mata lelah Pengaruh mata tidak berakomodasi untuk mengurangi gangguan mata Gangguan mata lelah dapat sembuh dengan sendirinya Pengaruh posisi kerja terhadap gangguan kesehatan mata Pemakaian kacamata minus sebagai alat bantu kerja Pengaruh pekerjaan menjahit terhadap kesehatan mata
100 100 100 7,1 0 0 0 5,8 4,2
Prevalensi Miopia Prevalensi miopia pada penjahit wanita di Departemen Stitching Atletik II Pabrik “X” adalah 12,6%. Klasifikasi miopia pada 39 pekerja ditampilkan di Tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi Miopia pada Penjahit Wanita Departemen Stitching Atletik II (N=39) Klasifikasi Menurut derajat miopia: - Miopia ringan - Miopia sedang Menurut lokasi miopia: - Miopia pada kedua mata - Miopia pada satu mata
Jumlah
%
36 3
92,3 7,7
31 8
79,5 20,5
thn=tahun, j=jam, mgg=minggu, hr=hari
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
109
Kerja Jarak Dekat dengan Miopia pada Penjahit Wanita Analisis Bivariat Tabel 5. Hubungan Bivariat antara Karakteristik, Lingkungan Kerja dan Tingkat Pengetahuan Responden dengan Miopia (n=310) Variabel
Usia (tahun): - <30 - >30 Lama pendidikan (tahun): - >9 - <9 Masa kerja (tahun): - >10 - <10 Lama kerja (jam): - >7 - <7 Aktivitas jarak dekat lain per minggu: - >16 jam - <16 jam Aktivitas jarak dekat total per minggu: - >65 jam - <65 jam Jarak kerja (cm): - <30 - >30 Iluminasi (luks): - <300 - 300-500 Tingkat pengetahuan: - Kurang - Cukup
Miopia n=310 Ya Tidak n=39 n=271 n % n %
Nilai p
OR
95% CI Min Maks
20 19
6,5 6,1
136 135
43,9 43,5
1,04 1,00*
0,53
2,04
0,89
34 5
11,0 1,6
219 52
70,6 16,8
1,62 1,00*
0,60
4,33
0,34
21 18
6,8 5,8
146 125
47,1 40,3
0,99 1,00*
0,51
1,96
0,99
21 18
6,8 5,8
180 91
58,1 29,4
0,59 1,00*
0,29
1,16
0,12
14 25
4,5 8,1
90 181
29 58,4
1,13 1,00*
0,56
2,27
0,74
17 22
5,5 7,1
104 167
33,5 53,9
1,24 1,00*
0,63
2,45
0,53
23 16
7,4 5,2
109 162
35,2 52,3
2,14 1,00*
1,08
4,23
0,03
14 25
4,5 8,1
102 169
32,9 54,5
0,93 1,00*
0,46
1,87
0,83
33 6
10,6 1,9
249 22
80,3 7,1
0,49 1,00*
0,19
1,29
0,14**
*sebagai pembanding, **Fisher’s Exact test
Analisis dengan korelasi Pearson menghasilkan korelasi yang bermakna antara faktor iluminasi dengan jarak kerja (p=0,002) dengan arah korelasi positif, walaupun kekuatan korelasi lemah (koefisien korelasi 0,174). 6 Analisis Multivariat Berdasarkan analisis multivariat didapatkan bahwa faktor yang berhubungan dengan miopia adalah jarak kerja (p=0,001) dengan peningkatan risiko miopia sebanyak 20% (OR 1,206; 95% CI 1,08–1,345) pada pekerja yang melakukan aktivitas jarak dekat dibandingkan dengan pekerja yang tidak. Diskusi Dalam melaksanakan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yang dihadapi, antara lain dalam desain penelitian dan keakuratan data. Dengan desain studi cross sectional hanya dapat diamati kondisi responden dalam waktu sesaat, sehingga tidak dapat diamati kondisi yang ada sebelum penelitian dilaksanakan misalnya cara kerja responden, kondisi tempat kerja, dll. Namun dari perusahaan 110
didapatkan informasi bahwa tidak ada perubahan proses kerja selama ini, sehingga keadaan sekarang dapat mewakili kondisi selama ini. Selain itu juga tidak dapat diketahui bagaimana perkembangan miopia responden apakah statis atau menjadi miopia sedang. Selain itu, pekerja yang mengalami miopia berat mungkin sudah tidak bekerja di situ lagi, karena mengganggu kemampuan kerjanya. Beberapa data diperoleh berdasarkan pernyataan responden yang sangat tergantung pada daya ingat, misalnya dalam menjawab pertanyaan mengenai lama waktu melakukan aktivitas jarak dekat lain per hari, sehingga mungkin saja terdapat data yang tidak menggambarkan hal yang sesungguhnya. Tetapi hal tersebut terjadi secara random, sehingga bila terjadi akan menurunkan risiko yang sebenarnya. Selain itu, data sekunder berupa hasil pengukuran vibrasi diambil secara acak pada satu jenis mesin jahit pada satu line produksi, tetapi pada umumnya jenis dan tahun pembuatan mesin jahit sama Prevalensi miopia yang ditemukan pada penelitian ini (12,6%) berbeda dengan prevalensi miopia pada kerja jarak dekat yang lain. Pada kerja jarak dekat membaca di kalangan Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
Kerja Jarak Dekat dengan Miopia pada Penjahit Wanita mahasiswa, prevalensi miopia ditemukan sebesar 66%, pada pekerja dengan mikroskop prevalensi miopia ditemukan sebesar 33% sedangkan pada operator komputer prevalensi miopia sebesar 79%.3,7,8 Perbedaan prevalensi ini dapat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Pada pekerja dengan mikroskop, penggunaan lensa mikroskop dengan pembesaran yang dapat diubah-ubah dapat mempengaruhi daya akomodasi mata.3 Demikian pula halnya dengan pengaruh gelombang sinar yang dihasilkan dari layar komputer pada operator komputer karena sinar biru dikatakan paling bersifat miopigenik,8 serta aktivitas saccadic mata pada saat membaca dapat mempengaruhi akomodasi mata.9 Pada penjahit, yang dihadapi adalah objek jahitan yang berukuran kecil dan jahitan yang harus dijahit menurut pola tertentu dengan target jahitan per jam. Penjahit juga terpajan vibrasi yang dihasilkan mesin jahit dan menurut penelitian vibrasi dapat mempengaruhi terjadinya miopia. Pada penjahit kesempatan untuk tidak berakomodasi lebih banyak dibandingkan dengan jenis pekerjaan pada studi lain. Pajanan vibrasi tidak dapat diteliti karena hanya terdapat data pada satu sampel. Jika dibandingkan dengan prevalensi pada masyarakat umum di Riau, prevalensi ini pun masih lebih rendah. Saw et al10 menyatakan bahwa karakteristik masyarakat Riau menyerupai masyarakat Singapura karena banyak dijumpai ras Cina. Oleh karena itu, ras mungkin mempengaruhi prevalensi miopia di Riau,10 selain jenis pekerjaan (kerja jarak dekat), riwayat keluarga miopia, dan faktor lainnya. Pada desain cross sectional ini, diagnosis miopia diperoleh dari rekam medis berdasarkan medical check-up yang dilakukan satu tahun sebelumnya. Berdasarkan literatur, progresivitas miopia rata-rata 0,05 D per tahun.8 Literatur lain mengatakan progresivitas miopia selama 2 tahun adalah -0,58 D.3 Dalam penelitian ini miopia didiagnosis dengan koreksi minimal -0,5 D, sehingga diagnosis miopia pada rekam medis tersebut masih dianggap mewakili keadaan mata subjek penelitian pada saat penelitian dilakukan. Diagnosis miopia dilakukan secara subjektif dengan menggunakan kartu Snellen dan lensa coba karena murah dan mudah untuk dilakukan, dengan hasil yang cukup akurat.11 Berdasarkan klasifikasi miopia, terlihat bahwa sebagian besar subjek penelitian (92,3%) menderita miopia ringan. Hal ini sesuai dengan literatur1 bahwa pada individu tanpa faktor predisposisi miopia yang terpajan faktor miopigenik secara terus-menerus (misalnya kerja jarak dekat) pada akhirnya dapat mengalami miopia ringan. Menurut analisis bivariat, kerja jarak dekat (jarak <30 cm) merupakan faktor risiko miopia pada penjahit sepatu. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari US National Academy of Sciences yang menyatakan bahwa mengerjakan kerja jarak dekat menempatkan seseorang pada risiko miopia.12 Penelitian lain pada berbagai jenis kerja jarak dekat juga menunjukkan hal yang sama.2,6,7,12-15 Pada penelitian ini hubungan ras dengan risiko miopia Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
tidak dapat diteliti, karena seluruh subjek ras Indonesia asli. Ras yang dianggap mempengaruhi risiko terjadinya miopia adalah ras Cina, seperti disebutkan dalam beberapa penelitian sebelumnya.13-17 Usia tidak menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik dengan risiko terjadinya miopia, walaupun sebuah literatur mengatakan bahwa miopia onset dewasa dapat terjadi pada usia di atas 20 tahun dan dianggap dipengaruhi oleh lingkungan (misalnya jenis pekerjaan atau iluminasi).3,11 Walaupun demikian, terlihat kecenderungan penderita miopia lebih banyak dijumpai pada usia 30 tahun. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan lingkungan dapat mempengaruhi miopia sampai dengan usia 20-30 tahun.16 Penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang bermakna antara lama pendidikan dengan risiko miopia. Beberapa literatur dan penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pencapaian pendidikan dengan prevalensi dan progresivitas refraksi miopia. Hal ini mungkin disebabkan pada penelitian ini responden adalah penjahit yang kurang mempunyai kebiasaan membaca dibandingkan dengan mahasiswa, manajer atau juru tulis yang merupakan responden pada penelitian lain. 1,13,18 Masa kerja sebagai penjahit pada penelitian ini secara statistik tidak berhubungan dengan miopia. Diasumsikan bahwa semakin lama masa kerja menjahit, berarti pajanan kerja jarak dekat semakin lama dan risiko untuk timbulnya miopia semakin besar pula. Pada penelitian ini terlihat kecenderungan semakin lama masa kerja (>10 tahun) semakin banyak dijumpai penderita miopia, walaupun hubungan yang ditemukan tidak bermakna secara statistik. Dalam penelitian ini lama kerja tidak berhubungan bermakna dengan miopia, karena kisarannya sangat sempit, yaitu 6,8-7,2 jam. Bisa dikatakan semua pekerja mempunyai lama kerja yang sama jumlah jam kerja per harinya, sehingga hasil uji statistik tidak menunjukkan kemaknaan. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kinge et al 18 terhadap mahasiswa teknik yang menemukan hubungan bermakna antara lama membaca dan kerja jarak dekat lain dengan risiko terjadinya miopia. Mungkin hal ini juga dipengaruhi oleh jenis kerja jarak dekat yang dilakukan, yaitu pada saat membaca terdapat komponen saccadic mata yang mempengaruhi kerja otot mata, sehingga kelelahan mata lebih cepat timbul dan risiko timbulnya miopia lebih besar.9,15 Aktivitas jarak dekat yang dilakukan di luar jam kerja tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan miopia. Hal ini mungkin disebabkan rata-rata lama responden melakukan aktivitas jarak dekat adalah 2 jam per hari. Literatur menyatakan bahwa miopia temporer yang diinduksi oleh kerja jarak dekat terjadi setelah 4 jam kerja jarak dekat terus-menerus per hari.19 Aktivitas jarak dekat total juga tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan miopia. Hal ini mungkin disebabkan lama kerja tiap responden yang tidak jauh berbeda 111
Kerja Jarak Dekat dengan Miopia pada Penjahit Wanita dan rata-rata aktivitas jarak dekat di luar jam kerja yang kurang dari 4 jam per hari. Iluminasi yang diukur di tempat kerja sebagian besar (62,6%) telah sesuai dengan peraturan Menteri Perburuhan No. 7 tahun 1964, yaitu sebesar 300-500 luks, walaupun masih terdapat tempat kerja dengan iluminasi kurang dari 300 luks.9 Walaupun dengan uji chi-square iluminasi tidak berhubungan secara bermakna dengan miopia pada penelitian ini, namun didapatkan korelasi yang bermakna antara iluminasi dengan jarak kerja (p=0,002) dengan kekuatan korelasi 0,174. Korelasi tersebut positif yang berarti perubahan iluminasi akan diikuti perubahan miopia namun kekuatan korelasi hanya 0,174 menunjukkan korelasi antara iluminasi dengan miopia sangat lemah.6 Berdasarkan literatur, iluminasi yang kurang memadai dapat menimbulkan kelelahan mata akibat kontraksi otot siliaris yang terus-menerus untuk mendapatkan penglihatan yang baik. Kelelahan mata pada akhirnya dapat mempengaruhi timbulnya miopia, sehingga masalah iluminasi sebaiknya diperhatikan oleh perusahaan. Selain itu karena iluminasi yang kurang memadai, pekerja cenderung untuk mendekatkan objek ke mata guna memperoleh penglihatan yang lebih jelas. Pada pengamatan di lapangan, di beberapa tempat kerja kebersihan lampu kurang terjaga sehingga terkesan suram dan beberapa diletakkan tidak sesuai dengan bidang kerja, sehingga cahaya yang mengenai bidang kerja tidak mencukupi. Intervensi iluminasi yang dapat dilakukan misalnya dengan maintenance yang baik pada lampu kerja, penempatan lampu yang tepat atau penambahan jumlah luks sehingga memenuhi standard yang ditetapkan. Pada penelitian ini, data vibrasi diperoleh berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh perusahaan secara acak terhadap penjahit yang dianggap mewakili secara keseluruhan. Nilai vibrasi yang didapat masih di bawah nilai ambang batas (NAB), yaitu 4 m/s.2,10 Pada pengamatan di lapangan, terdapat beberapa mesin jahit dengan ukuran dan fungsi yang berbeda, serta terdapat mesin jahit komputer maupun manual. Karena data vibrasi hanya diperoleh secara acak pada satu jenis mesin jahit (jenis komputer) maka tidak dicari hubungan antara vibrasi dengan risiko terjadinya miopia. Berdasarkan wawancara dengan kuesioner, sebagian besar responden (91%) mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang mengenai higiene visual. Hal ini mungkin disebabkan mereka tidak pernah mendapatkan penyuluhan mengenai higiene visual. Secara statistik, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan responden dengan miopia yang mungkin disebabkan lebih dari 90% responden mempunyai tingkat pengetahuan kurang. Selama ini jika responden megabaikan gangguan penglihatan yang dialami, misalnya penglihatan buram, mata pegal atau perih. Selain itu, di lapangan juga dijumpai beberapa responden yang sebelum penelitian ini telah didiagnosis miopia (dan telah dikonfirmasi dengan hasil rekam medis)
112
namun tidak menggunakan kacamata dengan alasan mengganggu pekerjaan, tidak sempat membuat kacamata atau sekarang tidak ada keluhan penglihatan. Dari pertanyaanpertanyaan yang diajukan mengenai higiene visual, pekerja tidak mengetahui apa yang harus dilakukan jika mata mereka mengalami gangguan kelelahan akibat kerja menjahit yang dilakukan. Semua pekerja tidak mengistirahatkan mata ataupun melihat benda-benda jauh agar mata tidak berakomodasi. Sebagian besar menjawab bahwa mata lelah akan sembuh dengan sendirinya. Mereka juga tidak mengetahui bahwa posisi kerja yang nyaman akan mengurangi gangguan tersebut. Selain itu, sebagian besar menjawab bahwa kacamata minus tidak harus selalu dipakai pada saat bekerja. Sebagian besar responden juga tidak mengetahui bahwa pekerjaan menjahit dapat mengganggu kesehatan mata. Namun, mereka telah mengetahui bahwa aktivitas yang dilakukan dalam jarak dekat dan penerangan yang kurang dapat menimbulkan gangguan kesehatan mata, serta bahwa mata perlu diperiksa secara rutin saat medical check-up. Dapat dilihat bahwa penyuluhan higiene visual mengenai posisi kerja yang nyaman dan alamiah (jarak tidak dekat) dan usaha mencegah kelelahan mata perlu dilakukan oleh perusahaan. Pada regresi logistik hanya kerja jarak dekat yang menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik dengan miopia, yaitu meningkatkan risiko menderita miopia sebesar 1,2 kali dibandingkan dengan pekerja yang tidak melakukan aktivitas jarak dekat. Hal ini sesuai dengan beberapa literatur seperti yang telah disebutkan sebelumnya.2,7,10,13-16 Secara keseluruhan, lebih dari separuh responden tidak bekerja pada jarak dekat, iluminasi sebagian besar ruangan telah memadai dan prevalensi miopia relatif rendah (12,6%) maka bisa disimpulkan lingkungan kerja di Departemen Stitching Atletik II telah cukup baik dan cenderung bukan merupakan risiko miopia. Kesimpulan dan Saran Didapatkan prevalensi miopia 12,6%. Sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang mengenai higiene visual. Kerja jarak dekat berhubungan dengan miopia, sedangkan faktor-faktor lain (usia, lama pendidikan, masa kerja, aktivitas jarak dekat lain, dan iluminasi) tidak berhubungan bermakna dengan miopia. Pihak perusahaan disarankan memberikan penyuluhan mengenai higiene visual terutama kepada para penjahit, antara lain bagaimana jarak kerja dan posisi kerja yang nyaman sehingga mereka terhindar dari gangguan mata akibat pekerjaannya. Daftar Pustaka 1. 2.
Fredrick DR. Myopia clinical review. Br Med J. 2002;324:11959. McBrien NA, Adams DW. A longitudinal investigation of adult-
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
Kerja Jarak Dekat dengan Miopia pada Penjahit Wanita onset and adult-progression of myopia in an occupational group: refractive and biometric findings. Invest Ophthalmol Vis Sci. 1997;38:321-33. 3. Simensen B, Thorud L. Adult-onset myopia and occupation. Acta Ophtalmologica. 1994;72:469-71. 4. Sastroasmoro S, Ismed S, editor. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Binarupa Aksara;1995. 5. Basuki B. Aplikasi metode kasus-kontrol. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI; 2000. 6. Basuki B. Statistik parametrik. Dalam: Kumpulan bahan kuliah epidemiologi biostatistik. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI; 2004. 7. Loman J, Quinn GE, Kamoun L, Ying GS, Maguire MG, Huderman D, et al. Darkness and nearwork: myopia and its progression in third-year law students. Ophthalmology. 2002;109:1032-8. 8. Muhdahani. Pengaruh monitor komputer terhadap timbulnya miopia pada operator komputer [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 1994. 9. Kroemer KHE, Grandjean E, editors. Fitting the task to the human. 5th edition. London: Taylor&Francis Ltd; 2000. 10. Saw SM, Gazzard G, Koh D, Farook M, Widjaja D, Lee J, et al. Prevalence rates of refractive errors in Sumatra, Indonesia. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2002;43:3174-80. 11. Abrams DA. Duke-Elder’s practice of refraction. 10th edition. Edinburgh: Churchill Livingstone;1993.
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
12. Goss DA. Nearwork and myopia (commentary). The Lancet. 2000;356:1456-7. 13. Shimizu N, Nomura H, Ando F, Niino N, Miyake Y, Shimokata H. Refractive errors and factors asociated with myopia in an adult japanese population. Jpn J Ophthalmol. 2003;47:6-12. 14. Saw SM, Wu HM, Seet B, Wong TY, Yap E, Chia KS, et al. Academic achievement, close up work parameters, and myopia on Singapore military conscripts. Br J Ophthalmol. 2001;85:85560. 15. Saw SM, Chin SE, Chan SJ. Relation between work and myopia in Singapore women. Optom Vis Sci. 1999;76:393-6. 16. Seet B, Wong TY, Tan DTH, Saw SM, Balakrishnan V, Lee LKH, et al. Myopia in Singapore: taking a public health approach. Br J Ophthalmol. 2001;85:521-6. 17. Saw SM, Zhang MZ, Hong RZ, Fu ZF, Pang MH, Tan DT. Nearwork activity, night-lights, and myopia in the Singapore-China study. Arch Ophthalmol. 2002;120:620-7. 18. Kinge B, Midelfart A, Jacobsen G, Rystad J. The influence of nearwork on development of myopia among university students: a three-year longitudinal study among engineering students in Norway. Acta Ophthalmol Scand. 2000;778:26-9. 19. Ciuffreda KJ, Lee M. Differential refractive susceptibility to sustained nearwork. Ophthalmic Physiol Opt. 2002;22:372-9. EV
113