HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA REMAJA KELAS 3 MU’ALLIMIN PONDOK PESANTREN AL-MUKMIN SUKOHARJO
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi
Oleh : Firman Ridlo Mursyidi G 0104023
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul : Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo Nama Peneliti NIM Tahun
: Firman Ridlo Mursyidi : G0104023 : 2004
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari : ...............................................
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
Drs. Makmuroh, MS NIP 195306181980032002
Nugraha Arif Karyanta, S.Psi NIP 197603232005011002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 197608172005012002
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul: Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo Firman Ridlo Mursyidi, G0104023, Tahun 2004
Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Hari
:
Tanggal
:
1. Pembimbing Utama Dra. Makmuroch, MS.
.
( __________________ )
2. Pembimbing Pendamping Nugraha Arif Karyanta, S.Psi..
( __________________ )
3. Penguji I Dra. Emi Dasiemi, MS.
( __________________ )
4. Penguji II H. Arista Adi Nugroho, S.Psi., MM.
( __________________ )
Surakarta, __________________
Koordinator Skripsi
Ketua Program Studi Psikologi
Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 197608172005012002
Drs. Hardjono, M.Si. NIP 195901191989031002
iii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.
Surakarta, Mei 2010
Firman Ridlo Mursyidi
iv
MOTTO
Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Al Insyirah: 5-6) “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS.Al Baqoroh 286) The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams (Eleanor Roosevelt) There are many people who have big plans but their big plans never come true. The reason is, too many people have big plans but fail to keep their small agreements (Robert Kiyosaki)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Allah SWT Dzat Maha Agung yang berkuasa di seluruh alam semesata Muhammad SAW Pemimpin dan Teladan Umat Ibunda, ayahanda, dan kakek-kakakku tercinta Mbak Selly, Mbak Atik dan Mas Oki atas kesabaran dan kasih sayang dalam mendidik ananda Adik-adikku Lina, Dik Bibi dan Dik Devan serta keponakanku Zia atas kasih sayang dan doa kalian P’ de, Bu dhe, Om, Tante atas kasih sayang dan doa kalian
vi
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb Allhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT tidak lupa penulis panjatkan, hanya dengan rahmat dan hidayahNya-lah penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa penulis sampaikan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat guna memperoleh derajat sarjana S-1 pada Bidang Studi Psikologi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tanpa bantuan berbagai pihak, kiranya penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, penghargaan yang setinggi-tingginya dan permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah penulis lakukan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada: 1. Drs. Hardjono, M.Si. Selalu Ketua Program Studi Psikologi yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat menuntut ilmu di Prodi Psikologi serta memberi bimbingan dan arahan kepada penulis. 2. Dra. Makmuroch, MS. selaku dosen pembimbing utama, atas bimbingan, waktu dan masukan yang berarti bagi penulis. 3. Nugraha Arif Karyanta, S.Psi. selaku dosen pembimbing pendamping, atas bimbingan, waktu dan masukan yang sangat berarti bagi penulis. 4. Dra. Emi Dasiemi, MS. dan H. Arista Adi Nugroho, S.Psi., MM. selaku dosen penguji yang memberikan bantuan dan saran yang berarti bagi penulis. 5. KH Wahyuddin selaku Direktur Pondok Pesantren Islam Al Mukmin Sukoharjo, Jawa Tengah yang telah memberi ijin penelitian dan memberikan bantuan dalam pengambilan data pada penelitian ini. 6. Prof. DR. Dr. H Mohammad Fanani, SpKj (K) selaku ustad pengajar Pondok Pesantren Al Mukmin yang telah memberi kesempatan dan meluangkan waktu
vii
kepada penulis untuk menjalankan aktivitas penelitian ini dengan segala bimbingan dan arahan ketika jalannya penelitian. 7. Seluruh remaja kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al Mukmin Sukoharjo yang telah bersedia menjadi subjek penelitian penulis. 8. Seluruh Staf Psikologi, Mas Dimas, Mas Rian, dan Mbak Ana yang penuh kesabaran, dan segala bantuan serta kemudahan dalam pelayanananya yang telah diberikan. 9. Papa dan Mama tercinta atas semua pengorbanannya, kasih sayang, doa, perhatian dan dukungannya selama ini tanpa mengenal lelah yang terus membimbingku menjadi orang yang dewasa, bermanfaat, dan berguna. 10. Kakak-kakakku Mbak Selly, Mbak Atik dan Mas Oki, atas cinta, doa, bantuan, perhatian, kasih sayang, pengertian, dan kebersamaanya selama ini, semoga kita semua selalu kompak dan dapat menjadi anak-anak yang baik dan berguna bagi kedua orangtua kita. 11. Adikku Bibie dan Devan yang selalu memberikan semangat serta Keponakanku yang pertama Zia yang sangat lucu yang selalu menghiburku tatkala suka maupun duka. 12. Mbak Lilis yang memberikan semangat dalam menyelesaikan studi serta dukunganya dalam pencapaian cita-cita kedepan. 13. Lina dan keluarga yang telah banyak memberi inspirasi, semangat terus maju dan telah memberi arti dalam hidupku. 14. Seluruh rekan mahasiswa Program studi Psikologi khususnya angkatan 2004, yang senantiasa saling mendukung penulis, serta semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga Allah membalas jasa-jasa dan kebaikan dengan pahala yang berlimpah amien. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Surakarta, Mei 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................
.... i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................
... ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................
.. iii
PERNYATAAN......................................................................................
.. iv
HALAMAN MOTTO .............................................................................
... v
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................
.. vi
KATA PENGANTAR ............................................................................
. vii
DAFTAR ISI ..........................................................................................
.. ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
. xii
DAFTAR TABEL...................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................
xiv
ABSTRAK ..............................................................................................
. xv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..............................................................
1
B. Rumusan Masalah..........................................................
6
C. Tujuan Penelitian...........................................................
6
D. Manfaat Penelitian.........................................................
6
LANDASAN TEORI A. Kecemasan ......................................................................
8
1. Pengertian kecemasan ..............................................
8
2. Gejala-gejala kecemasan...........................................
10
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan .........
11
ix
4. Aspek-aspek kecemasan............................................
14
5. Klasifikasi tingkat kecemasan...................................
16
6. Manajemen kecemasan .............................................
19
7. Respon kecemasan ....................................................
21
B. Kecerdasan Emosi. ........................................................
23
1. Pengertian kecerdasan emosi .....................................
23
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
28
3. Aspek-aspek kecerdasan emosi..................................
31
C. Remaja ...........................................................................
37
D. Hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo ...................................
BAB III
40
E. Kerangka pikir ............................................................... ....
44
F. Hipotesis ............................................................................
44
METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian.......................................
46
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian........................
46
C. Populasi dan Sampel .......................................................
48
D. Metode dan Alat Pengumpul Data ..................................
49
E. Validitas dan Reliabilitas ...............................................
51
F. Teknik Analisis..............................................................
52
x
BAB IV
BAB V
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN A. Persiapan Penelitian ......................................................
54
1. Orientasi kancah penelitian………………………….
54
2. Persiapan alat ukur ..........…………………………...
60
3. Pelaksanaan uji coba........…………………………...
62
4. Uji validitas dan reliabilitas …………………………
62
5. Penyusunan alat ukur untuk penelitian………………
64
B. Pelaksanaan Penelitian ..................................................
64
1. Penentuan sampel penelitian .......................................
64
2. Pengumpulan data penelitian ......................................
65
3. Pelaksanaan skoring ....................................................
65
C. Analisis data penelitian .................................................
66
1. Uji normalitas .................…………………………....
66
2. Uji linieritas .................………………………….... ...
68
3. Analisis deskriptif ……………………………….....
68
4. Uji hipotesis ……………………….. …………….....
71
D. Pembahasan ……………………………………………
73
PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................
78
B. Saran...............................................................................
78
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
81
LAMPIRAN............................................................................................
86
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Diagram kognitif perilaku .......................................................................... 21 2. Kerangka pikir............................................................................................ 44
xii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Analisis gangguan fungsional kecemasan dari Blackburn dan Davidson . 23 2. Susunan aitem skala kecerdasan emosi ................................................... 61 3. Distribusi aitem shahih dan aitem gugur skala kecerdasan emosi ............ 63 4. Distribusi aitem skala kecerdasan emosi untuk penelitian......................... 64 5. Hasil uji normalitas skala kecerdasan emosi dengan skor kecemasan....... 67 6. Hasil uji linieritas skala kecerdasan emosi dengan skor kecemasan.......... 68 7. Analisis deskriptif kecerdasan emosi dan kecemasan................................ 69 8. Norma kategori skor subyek ...................................................................... 69 9. Kategori subyek berdasar skor skala penelitian kecerdasan emosi ........... 70 10. Kategori subyek berdasar skor kecemasan ............................................... 71 11. Hasil teknik analisis korelasi Product Moment Pearson............................ 72 12. Sumbangan efektif kecerdasan emosi terhadap tingkat kecemasan .......... 73
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
A.
Alat ukur skala kecerdasan emosi sebelum uji coba.............................. 87
B.
Sebaran nilai uji coba alat ukur skala kecerdasan emosi ...................... 92
C.
Validitas dan reliabilitas alat ukur skala kecerdasan emosi ................... 97
D.
Alat ukur untuk penelitian skala kecerdasan emosi dan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale)........................................................................... 100
E.
Sebaran nilai data penelitian kecerdasan emosi dan kecemasan............. 108
F.
Analisis data penelitian .......................................................................... 115
G.
Dokumentasi denelitian........................................................................... 118
H.
Surat Ijin Penelitian................................................................................. 120
xiv
ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA REMAJA KELAS 3 MU’ALLIMIN PONDOK PESANTREN AL-MUKMIN SUKOHARJO Firman Ridlo Mursyidi Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang dapat mendukung majunya suatu bangsa. Pendidikan tidak lepas dari proses pembelajaran dimana tidak hanya bergantung pada aspek intelegensi atau kemampuan yang didasari oleh fungsi kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lain seperti emosi dan sosial. Kecemasan merupakan gangguan emosi yang menjadi salah satu permasalahan paling sering dialami remaja. Kecemasan sangat berpengaruh pada kepribadian dan prestasi belajar. Remaja yang berada pada masa menuju kematangan mempunyai kemungkinan yang besar untuk mengalami kecemasan, orang yang mengalami kecemasan ini biasanya mempunyai penilaian kurang baik terhadap dirinya yaitu mempunyai kecerdasan emosi yang rendah. Kecemasan dapat diatasi bila seseorang mampu mengelola kecerdasan emosinya dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional analitik deskriptif, dengan variabel bebas kecerdasan emosi dan variabel tergantung tingkat kecemasan. Penelitian ini menggunakan populasi seluruh remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo. Sampel berjumlah 95 remaja. Karena sedikitnya populasi maka penelitian ini menggunakan semua populasi untuk penelitian atau studi populasi. Teknik pengambilan data pada variabel kecerdasan emosi menggunakan skala kecerdasan emosi sedangkan variabel kecemasan menggunakan Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS). Metode analisis data yang digunakan adalah korelasi Product Moment Pearson dengan bantuan komputer program SPSS for MS windows versi 16. Berdasarkan perhitungan analisis data diperoleh hasil nilai koefisien korelasi antara variabel kecerdasan emosi dengan variabel tingkat kecemasan (rxy) sebesar -0,329, nilai p-value 0,001<0,05, arah hubungan antara dua variabel adalah negatif artinya semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah kecemasan begitu pula sebaliknya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima yaitu terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja mu’alimin kelas 3 Pondok Pesantren Al Mukmin Sukoharjo. Adapun sumbangan efektif kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan sebesar 10,8%.
Kata kunci : kecerdasan emosi, tingkat kecemasan.
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang dapat mendukung majunya suatu bangsa. Dunia pendidikan diperlukan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang saling berkompetisi dalam lingkup pekerjaan atau studi. Salah satu usaha yang paling umum dan paling sering ditempuh oleh seseorang dalam mengembangkan dirinya adalah dengan menempuh sistem pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena cukup banyak orang yang beranggapan bahwa untuk menjadi seseorang yang berhasil dalam hidupnya, orang itu harus berpendidikan, khususnya pendidikan formal (Tjundjing, 2001). Pendidikan formal tidak lepas dari proses pembelajaran. Proses pembelajaran tidak hanya bergantung pada aspek intelegensi atau kemampuan yang didasari oleh fungsi kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lain seperti emosi dan sosial. Seringkali tujuan proses pembelajaran tidak tercapai bukan karena ketidakmampuan pelajar dalam berpikir, namun karena ia mengalami masalah dalam aspek emosi atau aspek sosial yang mengakibatkan terhambatnya proses pembelajaran tersebut (Rostiana, 1997). Setiap orang pernah mengalami kecemasan yang normal oleh karena suatu sebab, misalnya menghadapi ujian, sidang di pengadilan, promosi, atau penurunan jabatan. Kecemasan dirasakan sebagai akibat dari sesuatu yang jelas penyebabnya dan akan kembali normal setelah objek yang menjadi kecemasan berlalu.
1
2
Kecemasan dapat merupakan manifestasi gangguan kepribadian menghindar atau gangguan fobik. Sebagai gangguan yang berdiri sendiri, kecemasan dapat berupa gangguan cemas umum (menyeluruh), disini cemas dirasakan mengambang (free floating), tidak menentu dan tidak jelas penyebabnya (Kaplan dan Sadock, 1994). Kecemasan merupakan gangguan emosi yang menjadi salah satu permasalahan paling sering dialami remaja. Kecemasan sangat berpengaruh pada kepribadian dan prestasi belajar. Mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang tinggi lebih berhasil dalam kondisi ujian yang kurang menekan, sedangkan mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang rendah lebih berhasil dalam kondisi yang menekan (Martaniah dalam Kusningsih, 1994). Siswa berinisial AA meraih juara IV olimpiade fisika Jawa Tengah tetapi tidak lulus ujian nasional. Di kalangan teman-temannya, AA dikenal sebagai anak pintar. Hampir tiap tahun ia meraih ranking I atau setidaknya ranking II di kelas. Setelah menjuarai olimpiade fisika se-Jawa Tengah, Universitas Semarang siap menerima AA menjadi mahasiswa di jurusan fisika melalui jalur penerimaan siswa berprestasi. Kesempatan ini pupus karena ia tidak lulus ujian nasional (Kompas, 2006). Melihat dari kasus tersebut, menurut analisa penulis sesuai yang diutarakan oleh Toepra (dalam Nasution, 2007) bahwa remaja SMA yang akan menghadapi ujian akhir dan UMPTN sering mengalami ketegangan dan kecemasan, Selanjutnya menurut Davidof (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) orang yang mengalami kecemasan biasanya mempunyai penilaian yang kurang baik terhadap dirinya, mempunyai kecerdasan emosi yang rendah dan kurang percaya diri. Sedangkan Collins (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007)
3
berpendapat bahwa kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai kecerdasan emosional yang baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara tepat. Tetapi dalam kasus diatas, AA tidak dapat mengelola emosi, berpikir realistis sehingga ia gagal dalam ujian. Stroufe (dalam Amir, 2004) mengemukakan bahwa remaja yang berada pada masa menuju kematangan mempunyai kemungkinan yang besar untuk mengalami kecemasan. Pada masa ini, remaja digambarkan aktif menjelajahi berbagai pilihan untuk menentukan identitas diri. Mereka masih bingung untuk menentukan identitas yang sesuai dengan dirinya sehingga emosi mereka sangat labil. Usia remaja merupakan masa stress dan storm dimana remaja mengalami guncangan yang dapat menyebabkan timbulnys stress dan kecemasan. Arnett (dalam Leonni dan Hadi, 2007) mengemukakan bahwa remaja juga mempunyai reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal ini pula yang mendorong remaja berpotensi mudah meningkat kecemasanya karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi salah satu pemicu utama timbulnya perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas yang dapat menyebabkan meningkatnya kecemasan pada remaja. Menurut Danusio (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) emosi berperan besar dalam suatu tindakan bahkan dalam pengambilan keputusan yang paling rasional. Kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu remaja dalam mengatasi konflik secara tepat dan menciptakan kondisi lingkungan yang menyenangkan.
4
Steinberg (dalam Nasution, 2007) mengungkapkan bahwa remaja pada usia 15-18 tahun mengalami banyak perubahan secara kognitif, emosional dan sosial, mereka berpikir lebih kompleks, secara emosional lebih sensitif dan lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Menurut Lestari dan Purwanto (2003) kecerdasan emosi mencakup kemampuan untuk memotivasi diri dan bertahan terhadap frustasi, kemampuan untuk mengontrol impuls dan menunda pemuasannya, kemampuan untuk mengatur mood dan mencegah keadaan yang berbahaya yang mempengaruhi kemampuan berpikir, serta kemampuan untuk empati dan menolong. Penelitian dari Hill (dalam Hasan, 2009) yang melibatkan 10.000 siswa Sekolah Dasar dan Menengah di Amerika menunjukkan bahwa sebagian besar siswa yang mengikuti tes, gagal menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya disebabkan oleh situasi dan suasana tes yang membuat mereka cemas. Sebaliknya, para siswa ini memperlihatkan hasil yang lebih baik jika berada pada kondisi yang lebih optimal, dalam arti unsur-unsur yang membuat siswa berada dibawah tekanan dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya para siswa tersebut menguasai materi yang diujikan tapi gagal memperlihatkan kemampuan mereka yang sebenarnya karena kecemasan yang melanda mereka saat menghadapi tes. Goleman (2007) melakukan sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kesuksesan mahasiswa di masa yang akan datang. Hasil penelitianya membuktikan bahwa para mahasiswa di Harvard University yang berprestasi tinggi, ternyata banyak yang tidak mempunyai keberhasilan yang lebih
5
tinggi daripada mahasiswa yang berprestasi biasa-biasa saja. Sebaliknya mahasiswa yang mempunyai prestasi yang biasa-biasa saja justru mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi dibandingkan dengan yang berprestasi akademik tinggi di kemudian hari. Hal itu dikarenakan mahasiswa yang berprestasi tinggi kebanyakan memiliki emosi yang terlampau ditekan, terlampau ekstrim dan bila berlangsung secara terus menerus akan menjadi sumber penyakit. Selain itu, emosi dengan intensitas yang tinggi akan melampaui titik wajar akan beralih menjadi kecemasan kronis, amarah yang tidak terkendali dan depresi, begitu pula dengan remaja santri yang belajar, menuntut ilmu di pondok pesantren dan terbiasa hidup jauh dari keluarga. Kalangan remaja santri di domunasi oleh remaja yang memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi di masa remaja. Menurut uraian hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi yang tinggi akan berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang karena seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi tidak akan mudah cemas. Ohman dan Soares (dalam Adrian, 2009) melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif untuk mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Stimuli yang relevan dengan rasa takut menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan terjadi. Terlihat bahwa rasa takut mempersiapkan individu untuk antisipasi datangnya hal tidak menyenangkan yang mungkin akan terjadi. Secara otomatis individu akan bersiap menghadapi hal-hal buruk yang mungkin terjadi bila muncul kecemasan dan rasa takut.
6
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul
“Hubungan Antara Kecerdasan Emosi
Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian ini adalah: Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara kecerdasan
emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Bagi orang tua, dapat memberikan wawasan tentang kecerdasan emosi dan kecemasan sehingga dapat memberikan perlakuan yang sesuai pada anaknya yang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren. 2) Bagi pendidik, dapat memberikan masukan dalam rangka menerapkan pendidikan yang sesuai pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-
7
Mukmin Sukoharjo, dimana kondisi emosional pada remaja di lingkungan pondok berbeda dengan kondisi emosional remaja diluar lingkungan pondok. 3) Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk peneliti selanjutnya, khususnya mengenai tingkat kecemasan pada santri pondok pesantren, dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian selanjutnya.
8
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tingkat Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan Iskandar (1992) menjelaskan istilah anxietas atau kecemasan sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi. Orang Romawi menyebutnya anxietas yang berarti troubled in mind. Dalam bahasa inggris perkataan itu menjadi anxiety. Istilah ini dipakai mulai dari keadaan takut yang normal, ketegangan jiwa yang normal, gejala dari berbagai gangguan psikiatri, atau dari penyakit. Menurut Abidin (1992) istilah kecemasan berasal dari kata anxietas yang secara linguistik adalah dari bahasa latin “anxietas” berasal dari kata “ango” (sempit), yang mengingatkan pada sesak nafas. Kecemasan merupakan gejala penting serangan cemas atau perasaan tercekik. Kecemasan adalah keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram dan sebagainya disertai berbagai keluhan fisik. Keadaan ini dapat terjadi atau menyertai berbagai kondisi atau situasi kehidupan, berbagai gangguan fisik ataupun mental (Wibisono dalam Kusningsih, 1994). Sitanggang (1994) mengartikan kecemasan sebagai ketakutan yang samarsamar dan yang tidak jelas terarah pada suatu realisasi obyektif yang didapat karena pengalaman atau melalui generalisasi rangsangan, seringkali terjadi sebagai akibat frustasi/kekecewaan. Hal ini merupakan ciri dari berbagai gangguan syaraf dan mental. Sedangkan Daradjat (dalam Nugraheni, 2005)
8
9
mengungkapkan kecemasan merupakan adanya perasaan tidak menentu, rasa panik, adanya perasaan takut dan ketidakmampuan individu untuk memahami sumber ketakutannya. Menurut Speilberger (dalam Purboningsih, 2004), kecemasan adalah suatu reaksi emosional yang tidak menyenangkan terhadap bahaya yang tidak nyata atau imaginer dimana reaksi ini muncul bersama pengalaman otonom dan subyektif yang dirasakan sebagai ketegangan, ketakutan dan kegelisahan. Nuhriawangsa (2004) menjelaskan kecemasan merupakan perasaan cemas atau takut yang disebabkan oleh dugaan adanya bahaya yang akan mengancam yang datangnya bisa dari dalam maupun luar dirinya. Selanjutnya Wibisono (dalam Kusningsih dkk, 1994) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram dan sebagainya disertai berbagai keluhan fisik. Keadaan ini dapat terjadi atau menyertai berbagai kondisi atau situasi kehidupan, berbgai gangguan fisik ataupun mental. Prawirohusodo mengidentifikasikan kecemasan sebagai pengalaman emosi yang tidak menyenangkan dalam kadar yang bervariasi mulai perasaan cemas yang ringan sampai ketakutan yang intensif, yang berhubungan dengan ancaman bahaya, yang umumnya tidak atau kecil sekali kaitanya dengan kausa eksternal. Hal ini biasanya diiringi oleh perubahan-perubahan somatik, fisiologik, autonomik, biokimiawi, hormonal dan perilaku yang spesifik. (Kusningsih dkk, 1994). Kecemasan menurut Syamsulhadi (1996) adalah perasaan cemas yang sangat kurang menyenangkan yang bersifat difus, kadang-kadang samar-samar
10
yang disertai satu atau lebih perasaan-perasaan di tubuh misalnya perasaan kosong di ulu hati, tertekan dada, jantung berdebar keras, berkeringat banyak, sakit kepala dan tiba-tiba terasa ingin buang air kecil, rasa tidak bisa istirahat dan keinginan untuk berpindah-pindah. Dari pengertian diatas kecemasan merupakan pengalaman emosi yang tidak menyenangkan dalam kadar bervariasi, mulai perasaan cemas ringan sampai hebat, berhubungan dengan ancaman bahaya. Keadaan ini biasanya diiringi oleh perubahan somatik, fisiologik, autonomik, biokimiawi, hormonal dan berilaku spesifik. 2. Gejala-Gejala Kecemasan Simtom-simtom somatis yang dapat menunjukkan ciri-ciri kecemasan menurut Stern (dalam Trismiati, 2004) adalah muntah-muntah, diare, denyut jantung yang bertambah keras, seringkali buang air, nafas sesak disertai tremor pada otot. Kartono (dalam Trismiati, 2004) menyebutkan bahwa kecemasan ditandai dengan emosi yang tidak stabil, sangat mudah tersinggung dan marah, sering dalam keadaan excited atau gelisah. Daradjat (dalam Nugraheni, 2005) mengklasifikasikan gejala kecemasan sebagai berikut: a. Gejala fisik (fisiologis) Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf. Ciri-cirinya: ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat, keringat bercucuran,
11
tekanan darah meningkat, tidur tidak nyenyak, nafsu makan menghilang, kepala pusing, nafas sesak. b. Gejala mental (psikologis) Kecemasan sebagai gejala-gejala kejiwaan. Ciri-cirinya: takut, tegang, bingung, khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak berdaya, rendah diri, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup, perubahan emosi, turunya kepercayaan diri, tidak ada motivasi. Dari uraian diatas gejala kecemasan merupakan hal-hal yang nampak sebagai tanda-tanda orang yang mengalami kecemasan baik dari dalam maupun dari luar, baik gejala fisik maupun gejala psikis. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menurut Ancok (dalam Nugraheni, 2005), kecemasan timbul karena adanya pikiran yang keliru tentang suatu hal dan bereaksi yang berlebihan terhadap hal-hal tersebut. Kecemasan muncul karena terdapat beberapa situasi yang mengancam manusia sebagai makhluk sosial. Ancaman ini berasal dari adanya konflik, ancaman terhadap harga diri dan adanya tekanan untuk melaksanakan sesuatu diluar kemampuanya. Page (dalam Nugraheni, 2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah sebagai berikut: a. Faktor fisik, b. Trauma dan konflik, pengalaman emosional atau konflik mental yang terjadi pada individu akan memudahkan timbulnya gejala-gejala kecemasan,
12
c. Conditioning, emosi-emosi, impuls-impuls yang dialami dalam suatu kondisi tertentu dapat menjadi kuat apabila berhubungan dengan kejadiankejadian yang hampir sama yang pernah dialami individu sebelumnya, d. Konstitusi, hereditas, lingkungan awal dan latihan adalah faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi kecemasan individu, Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kecemasan menurut Roan (dalam Sudiyanto, 2005) yaitu faktor genetik, faktor organik dan faktor psikologi. Pada pasien yang akan menjalani operasi, faktor predisposisi kecemasan yang sangat berpengaruh adalah faktor psikologis, terutama ketidakpastian tentang prosedur dan operasi yang akan dijalani. Sebab-sebab munculnya kecemasan, menurut Freud (dalam Trismiati, 2004) mengemukakan bahwa lemahnya ego akan menyebabkan ancaman yang memicu munculnya kecemasan. Freud berpendapat bahwa sumber ancaman terhadap ego tersebut berasal dari dorongan yang bersifat insting dari id dan tuntutan-tuntutan dari superego. Ego disebut sebagai eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi lingkungan kemana ia akan memberikan respon, dan memutuskan insting-insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif ini, ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan id, superego, dan dunia luar yang sering bertentangan. Hal ini sering menimbulkan tegangan berat pada ego dan menyebabkan timbulnya kecemasan Faktor penyebab timbulnya kecemasan menurut Carnegie (2007) dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
13
a. Faktor Kognitif. Kecemasan dapat timbul sebagai akibat dari antisipasi harapan akan situasi yang menakutkan dan pernah menimbulkan situasi yang menimbulkan rasa sakit, maka apabila ia dihadapkan pada peristiwa yang sama ia akan merasakan kecemasan sebagai reaksi atas adanya bahaya. b. Faktor Lingkungan. Salah satu penyebab munculnya kecemasan adalah dari hubunganhubungan dan ditentukan langsung oleh kondisi-kondisi, adat-istiadat, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan sebagai akibat dari perubahan sosial yang amat cepat, dimana tanpa persiapan yang cukup, seseorang tiba-tiba saja sudah dilanda perubahan dan terbenam dalam situasi-situasi baru yang terus menerus berubah, dimana perubahan ini merupakan peristiwa yang mengenai seluruh lingkungan kehidupan, sehingga seseorang akan sulit membebaskan dirinya dari pengalaman yang mencemaskan ini. c. Faktor Proses Belajar Kecemasan timbul sebagai akibat dari proses belajar. Manusia mempelajari respon terhadap stimulus yang memperingatkan adanya peristiwa berbahaya dan menyakitkan yang akan segera terjadi. Speilberger
(dalam
Purboningsih,
2004)
mengemukakan
bahwa
kecemasan dasar terbentuk dari pengalaman-pengalama di masa lalu dan dari hasil pemikiran individu tentang kecemasan tersebut. Setiap orang akan memiliki pengalaman dan pemikiran akan kecemasan yang berbeda-beda tergantung
14
bagaimana kecenderungan persepsinya mengenai situasi disekitarnya, apakah situasi di sekitar dipersepsi sebagai situasi mengancazm atau tidak. Pengalamanpengalaman tersebut berisi stimulus-stimulus yang dapat mengancam bagi dirinya dan menempatkan individu pada kecenderungan untuk bereaksi cemas, sehingga setiap orang memiliki rentang kecemasan yang berbeda-beda. Dari
uraian diatas kecemasan timbul dikarenakan beberapa hal yang
mempengaruhinya, baik dari dalam maupun dari luar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan membentuk perilaku terhadap tingkat kecemasan yang berbdea-beda 4. Aspek-Aspek Kecemasan Kecemasan selalu melibatkan komponen psikis (afektif, kognitif, perilaku) dan biologis (somatik dan neurofisiologik). Gejala somatik sangat bervariasi pada masing-masing individu, tetapi pada dasarnya merupakan manifestasi keterlibatan saraf otonom dan sistem viseral, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, sistem respiratorik, sistem muskuloskeletal. Selain komponen motorik dan visera, kecemasan juga menimbulkan gangguan pada proses pikir, konsentrasi belajar, persepsi sehingga dapat menimbulkan hendaya dalam kehidupan seseorang yang masih belajar (Kusningsih, 1994). Greenberger & Padesky (dalam Carnegie, 2007) menyatakan bahwa kecemasan berasal dari dua aspek, yakni aspek kognitif dan aspek kepanikan yang terjadi pada seseorang. diantaranya adalah :
15
a. Aspek kognitif 1) Kecemasan disertai dengan persepsi bahwa seseorang sedang berada dalam bahaya atau terancam atau rentan dalam hal tertentu, sehingga gejala fisik kecemasan membuat seseorang siap merespon bahaya atau ancaman yang menurutnya akan terjadi, 2) Ancaman tersebut bersifat fisik, mental atau sosial, diantaranya adalah: a) Ancaman fisik terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan terluka secara fisik, b) Ancaman mental terjadi ketika sesuatu membuat khawatir bahwa dia akan menjadi gila atau hilang ingatan, c) Ancaman sosial terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan ditolak, dipermalukan, merasa malu atau dikecewakan. 3) Persepsi ancaman berbeda-beda untuk setiap orang, 4) Sebagian orang, karena pengalaman mereka bisa terancam dengan begitu mudahnya dan akan lebih sering cemas. Orang lain mungkin akan memiliki rasa aman dan keselamatan yang lebih besar. Tumbuh di lingkungan yang kacau dan tidak sabil bisa membuat seseorang menyimpulkan bahwa dunia dan orang lain selalu berbahaya, 5) Pemikiran tentang kecemasan berorientasi pada masa depan dan sering kali memprediksi malapetaka. Pemikiran tentang kecemasan sering dimulai dengan keragu-raguan dan berakhir dengan hal yang kacau. Pemikiran tentang kecemasan juga sering meliputi citra tentang bahaya.
16
Pemikiran-pemikiran ini semua adalah masa depan dan semuanya memprediksi hasil yang buruk, b. Aspek kepanikan Panik merupakan perasaan cemas atau takut yang ekstrem. Rasa panik terdiri atas kombinasi emosi dan gejala fisik yang berbeda. Seringkali rasa panik ditandai dengan adanya perubahan sensasi fisik atau mental, dalam diri seseorang yang menderita gangguan panik, terjadi lingkaran setan saat gejala-gejala fisik, emosi, dan pemikiran saling berinteraksi dan meningkat dengan cepat. Pemikiran ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan serta merangsang keluarnya adrenalin. Pemikiran yang katastrofik dan reaksi fisik serta emosional yang lebih intens yang terjadi bisa menimbulkan dihindarinya aktivitas atau situasi saat kepanikan telah terjadi sebelumnya. Menurut Haber dan Runyon (dalam Halim dan Atmoko, 2005) kecemasan termanifestasi melalui 4 dimensi, yaitu kogitif, motorik, somatis dan afektif. Dari uraian diatas kecemasan timbul dikarenakan atas hal-hal dasar yang membentuk perilaku kecemasan, aspek-aspek yang membentuk kecemasan beberapa diantaranya adalah aspek fisik dan psikis. 5. Klasifikasi Tingkat Kecemasan Menurut Setyonegoro dan Iskandar (dalam Sudiyanto, 2005) kecemasan dapat bersifat positif dan negatif. a. Kecemasan bersifat positif terjadi apabila disalurkan secara sehat melalui mekanisme koping (coping mechanism), yaitu usaha mengatasi perasaan cemas yang tidak menyenangkan tersebut dengan melakukan secara sadar
17
hal-hal konstruktif, misalnya giat belajar agar lulus ujian, latihan intensif agar menang pertandingan dan sebagainya. b. Kecemasan yang bersifat negatif terjadi apabila perasaan cemas yang ada sampai menganggu keseimbangan emosi, konsentrasi, dan aktifitas harian yang bersangkutan. Dalam hal ini kecemasan dapat berderajat ringan, sedang, sampai berat yang selanjutnya disebut gangguan kecemasan. Townsend (dalam Sudiyanto, 2005) mengemukakan ada empat tingkat kecemasan yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat dan panik. a. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari
dan
menyebabkan
seseorang
menjadi
waspada
dan
meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi, b. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan
meningkat,
kecepatan
denyut
jantung
dan
pernapasan
meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal,
18
kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis, c. Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi, d. Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi. Menurut Atwater (dalam Halim dan atmoko, 2005), bahwa kecemasan pada tingkat rendah sampai menengah akan membuat individu waspada dan
19
responsif terhadap situasi, tetapi pada tingkat tinggi akan menyita kesadaran dan menganggu kemampuannya. Dari uraian klasifikasi tingkat kecemasan diatas kecemasan bisa bersifat positif ataupun negatif yang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu rendah, sedang, dan tinggi, dimana di setiap tingkatan mengidentifikasikan perilaku yang berbedabeda. 6. Manajemen Kecemasan a. Manajemen kecemasan dengan penggunaan obat Papp melakukan percobaan pengontrolan terhadap placebo yang mengalami gangguan kecemasan meninggalkan beberapa keraguan, bahwa anti-depressan yang paling baru efektif untuk gangguan kecemasan. Karena bekerja lebih cepat dan memiliki efek samping yang lebih kecil daripada obat-obatan tricyclic dan inhibitors monoamine oxidase, sebagai permulaan, penulisan resep obat kepada pasien-pasien kecemasan harus terus dilanjutkan. Akan tetapi, kebanyakan ahli klinis percaya bahwa hasil terbaik untuk gangguan kecemasan berasal dari kombinasi obat-obatan dengan satu atau lebih tipe psikoterapi. b. Manajemen kecemasan melalui psikoterapi Salah satu metode yang efektif untuk mengatasi gangguan kecemasan adalah pemberian psikoterapi untuk kognitif dan tingkah laku. Walaupun terdapat banyak klaim yang menyatakan bahwa sulit untuk mengganti perawatan psikologis dengan percobaan penyelidikan, ilmuwan telah mengembangkan kapasitas untuk menerapkan rancangan penelitian
20
yang tepat termasuk randomisasi dan penilaian buta untuk terapi tingkah laku-kognitif. Sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Lawrence welkowitz, hasilnya telah didokumentasikan bahwa terapi tingkah lakukognitif itu efektif untuk mayoritas gangguan kecemasan (Kaplan dan Sadock, 1994). Psikoterapi yang paling efektif untuk mengatasi kecemasan adalah terapi
kognitif
perilaku
(Cognitive
Behavior
Therapy),
yaitu
mengembangkan cara berpikir yang lebih adaptif. Asumsi dasar Terapi Kognitif Perilaku (TKP) adalah adanya hubungan timbal balik antara proses berpikir (apa yang dipikirkan) dengan afeksi (pengalaman emosional), fisik dan perilaku. TKP menekankan pentingnya perubahan kognitif dan perilaku untuk mengurangi simtom dan meningkatkan fungsi afek seseorang. TKP tidak hanya memperbaiki kognitif, namun juga mengubah perilaku, karena perubahan perilaku dapat berpengaruh kuat pada pola pikir. Tujuan TKP adalah memperbaiki pikiran yang salah, dimana pikiran tersebut sering berubah dan hal tersebut akan berpengaruh pada suasana hati, fisik dan perilaku. Proses tersebut berpengaruh terhadap pembelajaran untuk mengevaluasi pemikiran serta mengubah seseorang menjadi rasional dan adaptif dengan cara mengubah pola pikir yang berpengaruh pada perasaan dan perilakunya. Stallard berpendapat bahwa TKP menghubungkan antara apa yang dipikirka, apa yang dirasakan, dan apa yang akan dilakukan (Mawandha dan Ekowarni, 2009). Hal tersebut dapat digambarkan pada diagram berikut ini :
21
Pemikiran
Apa yang akan dilakukan
Perasaan tidak menyenangkan Gambar 1. Diagram Kognitif Perilaku (Mawandha dan Ekowarni, 2009)
7. Respon Kecemasan Menurut Carnegie (2007) ada 2 respon kecemasan yaitu respon fisiologis dan respon psikologis terhadap kecemasan : a. Respon fisiologis terhadap kecemasan 1) Kardio vaskuler Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan lain-lain, 2) Respirasi Napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik, 3) Kulit perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatalgatal,
22
4) Gastro intestinal Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di epigastrium, nausea, diare, 5) Neuromuskuler Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, kejang, wajah tegang, gerakan lambat. b. Respon psikologis terhadap kecemasan 1) Perilaku Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik diri, menghindar, 2) Kognitif Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang berlebihan, kawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut kecelakaan, takut mati dan lain-lain, 3) Afektif Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat gelisah dan lain-lain. Blackburn dan Davidson (dalam Dwita dan Natalia, 2002) membuat analisis fungsional gangguan kecemasan yang menjelaskan reaksi terhadap kecemasan. Analisis tersebut digambarkan dalam Tabel 1 berikut ini:
23
Tabel 1. Analisis Gangguan Fungsional Kecemasan dari Blackburn dan Davidson Simtom-simtom psikologis Suasana hati Motivasi
Perilaku Gejala biologis
Keterangan Kecemasan, mudah marah, perasaan sangat tegang Khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong, membesar-besarkan ancaman, memandang diri sebagai sangat sensitif, tidak berdaya Gelisah, gugup, kewaspadaan berlebihan Gerakan otomatis meningkat: berkeringat, gemetar, pusing, berdebar-debar, mual, mulut kering
B. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Kecerdasan Emosi Dari segi etimologi, emosi berasal dari akar bahasa latin “movere” yang berarti “menggerakkan, bergerak”. Kemudian awalan “e-“ untuk memberi arti “bergerak menjauh”. Makna ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Emosi dalam makna paling harfiah menurut Oxford, English Dictionary yang mendefinisikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu dan setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 2007). Kata emosi bisa secara sederhana didefinisikan sebagai “gerakan” baik secara metafora maupun harfiah untuk mengeluarkan perasaan. Sedangkan dalam bahasa latin emosi dapat dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya “jiwa yang menggerakkan kita” (Cooper dan Sowaf, 2002). Selanjutnya menurut Suryabrata (2004), emosi didefinisikan sebagai gejala psikis yang bersifat
24
subjektif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenal, dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. Goleman dan Steiner (dalam Suryanti dkk, 2002), mendefinisikan emosi sebagai kekuatan pribadi (personal power) yang memungkinkan manusia untuk berpikir secara keseluruhan, mampu mengenali emosi diri sendiri dan orang lain serta tahu bagaimana mengekspresikannya secara tepat. Menurut Albin (dalam Fauziah dan Hery, 2006), emosi adalah perasaan yang kita alami. Kemampuan untuk memikirkan emosi kita juga membantu meningkatkan kemampuan untuk menguasainya. Mengetahui latar belakang mengapa terjadi emosi hingga pada cara untuk menanggapi emosi tersebut. Emosi-emosi dapat merangsang pikiran baru, khayalan baru, dan tingkah laku baru. Albin (dalam Rostiana, 1997) mengartikan emosi sebagai perasaan yang kita alami, misalnya: rasa senang, sedih, marah, cemas, cinta dan sebagainya. Goleman (2007) mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar, yaitu: a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, marah, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan barangkali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis, b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri sendiri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat, c. Rasa takut : cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, kecut; sebagai patologi, fobia dan panik,
25
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan inderawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali dan, batas ujungnya manja, e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih, f. Terkejut : terkejut, terkesiap, takjub, terpana, g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah, h. Malu rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib dan hati hancur lebur. Menurut Ahmadi dan Umar (1982), ada beberapa faktor yang mempengaruhi emosi, yaitu: a. Keadaan jasmani, misalnya badan kita dalam keadaan sakit, perasaan kita lebih mudah tersinggung daripada kalau badan kita dalam keadaan sehat dan segar, b. Pembawaan, ada orang yang mempunyai pembawaan berperasaan halus, sebaliknya ada pula yang kebal perasaanya, c. Perasaan seseorang berkembang sejak ia mengalami sesuatu, karena itu mudah dimengerti bahwa keadaan yang pernah mempengaruhinya dapat memberikan corak dalam perkembangan perasaanya. Selain itu ada faktor lain misalnya keadaan keluarga, suasana rumah tangga, lingkungan sosial, pendidikan, jabatan, pergaulan sehari-hari, cita-cita hidup dan sebagainya. Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa emosi adalah perasaan yang muncul baik dari dalam maupun dari luar, senang ataupun tidak senang pada
26
diri individu yang mendorong individu tersebut untuk meresepon atau bertingkah laku karena dipengaruhi oleh suatu stimulus. Akar kecerdasan emosional berawal dari bidang psikologi ketika pada tahun 1928, E. L Thorndike mengidentifikasi aspek kecerdasan emosional yang disebutnya dengan kecerdasan sosial (sosial intelligence). Pada tahun 1952 Weschler meneruskan penelitian yang dilakukan oleh E. L Thorndike dan menyatakan bahwa kemampuan non-kognitif, yang disebutnya sebagai hal yang bersifat nonintelektual, juga merupakan hal yang esensial dalam memprediksi kemampuan individu untuk sukses dalam organisasi. Penelitian selanjutnya tentang peran emosi dalam kesuksesan individu pada tahun 1983 ketika Gardner menyebutkan faktor yang disebutnya sebagai intelegensi ganda (multiple intelligence) sebagai kunci sukses individu dalam organisasi. Gardner berargumen bahwa kemampuan intrapribadi (intrapersonal) dan antarpribadi (interpersonal) juga diklasifikasikan sebagai kecerdasan yang sama pentingnya dalam intelegensi yang diukur dengan tes IQ. Secara khusus penelitian tentang faktor non-kognitif dalam kesuksesan individu dalam dunia kerja baru berkembang sejak awal 1990an setelah Bar-On mampu mengembangkan tes baku untuk mengukur kemampuan non kognitif individu. Kemudian tahun 1990, Salovey dan Mayer menerbitkan artikel dan menggunakan kata ”kecerdasan emosional” yang kemudian dipakai sebagai istilah yang baku dalam bidang psikologi dan perilaku. (Susilawati, 2002) Kecerdasan emosi diciptakan dan secara resmi didefinisikan oleh Jack Mayer dari Universitas New Hampshire dan Peter Salovey dari Universitas Yale pada tahun 1990. Mereka mengembangkan konsep Profesor Gardner yang
27
menetapkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual (Stein dan Book, 2002). Cooper dan Sawaf (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosional menuntut pemilikan perasaan untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu Steiner (dalam Riani dan Farida, 2006) memberikan pengertian bahwa kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk mengerti emosi diri sendiri dan orang lain serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk peningkatan maksimal secara etis sebagai kekuatan pribadi. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan hubungan dengan orang lain. Wang dan Ahmed (dalam Riani dan Farida, 2006) menyatakan bahwa untuk mengatur kondisi emosi manusia dibutuhkan kecerdasan emosional. Salovey dan Mayer (dalam Yen dan Atmadji, 2003) mengartikan kecerdasan
28
emosi sebagai himpunan dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milahnya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Sedangkan kecerdasan emosi menurut Mayer (dalam Goleman, 2007) adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Dari pengertian diatas kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi dan hasrat orang lain, yang merupakan kunci pengetahuan diri dan akan menuntun pada tingkah laku yang tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Tiga unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain). 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi Menurut Solovey dan Meyer (dalam Goleman, 2007) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang antara lain : a. Fisik Secara fisik menurut Le Doux bagian yang paling menentukan atau berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi syaraf emosinya atau bagian otaknya. Bagian otak yang berpikir adalah korteksnya.
29
1. Korteks. Secara harfiah berarti tudung berpikir otak yang membuat seseorang berada di puncak tangga evolusi. Memahami korteks dan perkembangan membantu individu menghayati mengapa sebagian individu sangat cerdas sedangkan yang lain sulit belajar. Korteks berperan penting dalam memahami kecerdasan emosi, korteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa seseorang mengalami perasaan tertentu, selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Korteks khususnya lobus prefrontalis dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu. 2. Sistem Limbik. Bagian ini sering disebut sebagai bagian emosi yang letaknya jauh dalam hemisfer otak besar terutama bertanggung jawab atas peraturan emosi dan impuls. Sistem limbik meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi, selain itu ada amigdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak. b. Psikis Faktor psikis kecerdasan emosi berupa pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan motivasi. Kecerdasan emosi selalu berpengaruh pada kepribadian individu dan dapat diperkuat dalam diri individu baik dalam lingkungan keluarga maupun non-keluarga.
30
1. Lingkungan Keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Disini peran orang tua sangatlah dibutuhkan. Orang tua adalah subjek pertama yang perilakunya diidentifikasi oleh anak kemudian diinternalisasi akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian yang sangat menguntungkan bagi anak. Orang tua yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan sangat menguntungkan bagi anak, orangtua yang demikian dapat menyesuaikan dan mengerti perasaan anak yang baik. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian hari. Sebagai contoh : kebiasaan dan mendapatkan disiplin dan bertanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian dan kehangatan sikap dan sebagainya. Anak yang secara emosi cakap akan mempunyai pergaulan yang lebih baik, lebih hangat, dan mempunyai sedikit kontra dengan orang lain, mempunyai kadar stres yang rendah, dan tidak mempunyai banyak masalah. 2. Lingkungan Non-keluarga. Hal ini berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak misalnya dengan bermain peran sebagai orang lain di luar dirinya dengan emosi yang menyertai, dengan anak akan belajar mengerti keadaan orang lain. Selain itu juga dapat meningkatkan sikap asertivitas, empati, dan lainlain.
31
Dari uraian faktor diatas kecerdasan emosi timbul dikarenakan beberapa hal yang mempengaruhinya, baik faktor fisik maupun psikis. Faktor-faktor tersebut membentuk perilaku yang timbul akibat kecerdasan emosi yang berbdeabeda. 3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi Menurut Bar-On (dalam Stein dan Book, 2002) kecerdasan emosi merupakan sekumpulan kecakapan dan sikap yang jelas perbedaanya namun saling tumpang tindih. Kumpulan tersebut dikelompokkan ke dalam lima ranah, yaitu: a. Intra pribadi Terkait dengan kemampuan untuk mengenal dan mengendalikan diri sendiri yaitu melingkupi: 1) Kesadaran diri Kemampuan untuk mengenali perasaan dan mengapa individu merasakanya seperti itu dan pengaruh individu tersebut terhadap orang lain, 2) Sikap asertif Kemampuan menyampaikan secara jelas pikiran dan perasaan individu, membela diri dan mempertahankan pendapat, 3) Kemandirian Kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, berdiri dengan kaki sendiri,
32
4) Aktualisasi diri Kemampuan mewujudkan potensi yang individu miliki dan merasa senang dengan prestasi yang di raih di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi, b. Antar pribadi Ranah antar pribadi berkaitan dengan ketrampilan bergaul yang dimiliki individu yaitu kemampuan untuk berinteraksi dan bergaul baik dengan orang lain. Wilayah ini dibagi menjadi tiga skala, yaitu: 1) Empati Kemampuan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain, kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain, 2) Tanggung jawab Kemampuan untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat bekerja sama dan bermanfaat bagi kelompok masyarakatnya, 3) Hubungan antar pribadi Kemampuan untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan, dan ditandai oleh saling memberi dan menerima serta rasa kedekatan emosional, c. Penyesuaian diri Kemampuan untuk bersikap lentur dan realistis, dan untuk memecahkan aneka masalah yang muncul. Wilayah ini dibagi menjadi tiga skala, yaitu:
33
1) Uji realitas Kemampuan untuk melihat sesuatu sesuai dengan kenyataanya, bukan seperti yang individu inginkan atau takuti, 2) Sikap fleksibel Kemampuan untuk menyesuaikan perasaan, pikiran dan tindakan individu dengan keadaan yang berubah-ubah, 3) Pemecahan masalah Kemampuan untuk mendefinisikan permasalahan, kemudian bertindak untuk mencari dan menerapkan permasalahan yang jitu dan tepat, d. Pengendalian stres Ranah pengendalian stres berkaitan dengan kemampuan individu untuk menghadapi stress dan mengendalikan impuls. Wilayah ini dibagi menjadi dua skala, yaitu: 1) Ketahanan menanggung stres Kemampuan untuk tetap tenang dan berkonsentrasi, dan secara konstruktif bertahan menghadapi kejadian yang gawat dan tetap tegar menghadapi konflik emosi, 2) Pengendalian impuls Kemampuan untuk menahan atau menunda keinginan untuk bertindak, e. Suasana hati Ranah suasana hati memiliki dua skala, yaitu: 1) Optimisme Kemampuan untuk mempertahankan sikap positif yang realistis, terutama dalam menghadapi masa-masa sulit,
34
2) Kebahagiaan Kemampuan untuk mensyukuri kehidupan, menyukai diri sendiri dan orang lain, dan untuk bersemangat serta bergairah dalam melakukan setiap kegiatan. Goleman (2007) mengemukakan aspek-aspek kecerdasan emosional sebagai berikut: a. Mengenali emosi sendiri Kemampuan individu untuk mengenali perasaan sesuai dengan apa yang terjadi, mampu memantau perasaan dari waktu ke waktu dan merasa selaras terhadap apa yang dirasakan, b. Mengelola emosi Kemampuan untuk menangani perasaan sehingga perasaan dapat diungkap dengan tepat, kemampuan untuk menenangkan diri, melepaskan diri dari kemarahan yang menjadi-jadi, c. Memotivasi diri sendiri Kemampuan untuk mengatur emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan, menunda kepuasan dan merenggangkan dorongan hati, mampu berada dalam tahap flow, d. Mengenali emosi orang lain Kemampuan mengetahui perasaan orang lain (kesadaran empatik), menyesuaikan diri terhadap apa yang diinginkan orang lain,
35
e. Membina hubungan Kemampuan mengelola emosi orang lain dan berinteraksi secara mulus dengan orang lain. Menurut Mayer dan Salovey (2000), kecerdasan emosional dibagi menjadi empat cabang, yaitu: (1) penerimaan emosi, (2) penggunaan emosi untuk memfasilitasi pemikiran/gagasan, (3) pemahaman emosi dan (4) pengaturan emosi di dalam mempertinggi perkembangan pribadi dan hubungan sosial. Bentuk keempat cabang tersebut dengan mengidentifikasi emosi dalam diri dan orang lain sebagai sesuatu yang sangat fundamental dan memanage emosi; kemampuan untuk meregulasi emosi dalam diri dan orang lain. Cabang-cabang tersebut lebih jelasnya, yaitu: a. Kemampuan menerima emosi 1) Kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi emosi secara fisik dan psikologis, 2) Kemampuan untuk mengidentifikasi emosi orang lain, 3) Kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara akurat untuk mengekspresikan kebutuhan mereka, 4) Kemampuan untuk mendeskriminasikan kejujuran dan ketidakjujuran perasaan, b. Kemampuan menggunakan emosi untuk memfasilitasi pemikiran 1) Kemampuan mengarahkan pemikiran prioritas pada bagian dasar perasaan yang diasosiasikan,
36
2) Kemampuan menggeneralisasikan emosi untuk membenarkan dan memori, 3) Kemampuan
memberikan
pemilihan
mood
yang
baik
untuk
mengapresiasikan berbagai sudut pandang, 4) Kemampuan menggunakan emosi untuk problem solving dan berfikir kreatif, c. Kemampuan untuk memahami emosi 1) Kemampuan memahami hubungan macam-macam emosi, 2) Kemampuan menerima konsekuensi emosi, 3) Kemampuan memahami perasaan kompleks, dan status yang berlawanan, 4) Kemampuan untuk memahami perpindahan emosi, d. Kemampuan untuk mengatur emosi 1) Kemampuan untuk membuka perasaan, yakni antara senang dan tidak senang, 2) Kemampuan untuk memonitor dan merefleksikan emosi, 3) Kemampauan menggunakan emosi, 4) Kemampuan mengatur emosi seseorang dan mengatur emosi orang lain, Bradberrry dan Graves (2009) mengemukakan bahwa terdapat empat komponen yang secara bersama-sama membentuk kecerdasan emosi, yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan sosial. Kesadaran diri dan manajemen diri lebih mengenai diri seseorang, dua skill
37
ini membentuk kompetensi seseorang dalam menyadari keberadaan emosi serta mengelola perilaku kecenderungan dirinya. Sedangkan kesadaran sosial dan manajemen hubungan sosial adalah lebih mengenai bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain dalam memahami perilaku dan alasan orang lain, keduanya akan membentuk kompetensi seseorang dalam memahami perilaku dan alasan orang lain serta kemampuanya dalam mengelola konflik antarpersonal. Jack Block menemukan bahwa tanda-tanda kecerdasan emosi adalah keyakinan diri, optimisme, dan keseimbangan sosial. Kecerdasan emosi memiliki kontrol diri yang lebih unggul dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Mereka mengatur dan mengekspresikan emosi dengan wajar, bersikap terbuka tapi simpatik dan peduli dalam suatu hubungan. Kehidupan emosional menjadi kaya tetapi seimbang; nyaman terhadap diri sendiri, orang lain, dan kehidupan sosial. Dapat mengatur stress tidak ada perasaan khawatir yang berlebihan, cenderung mudah berteman, spontan, suka bermain, dan terbuka dengan pengalaman sensual (Kaplan dan Sadock, 1994). Dari uraian aspek-aspek diatas kecerdasan emosi timbul dikarenakan atas hal-hal dasar yang membentuknya, aspek-aspek yang membentuk kecerdasan emosi beberapa diantaranya adalah aspek dari dalam maupun dari luar.
C. Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata belanda, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini
38
mempunyai arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, spasial dan fisik (Hurlock, 1990). Piaget (dalam Hurlock, 1990) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintregrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang kebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Hurlock (1990) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Monks (dalam Nasution, 2007) mengungkapkan bahwa remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun untuk remaja awal, 15-18 tahun untuk remaja pertengahan dan 18-21 tahun untuk remaja akhir. Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya. Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1990), antara lain: a. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya, b. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya
39
hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya, c. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan, d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat, e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi takut, f. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiridan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita, g. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan. Dari pengertian diatas remaja adalah individu yang berusia 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari kanak-kanak ke masa dewasa. Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren.
40
Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa. Remaja santri kelas 3 mu’allimin di pondok pesantren Al-Mukmin Sukoharjo rata-rata berusia antara 17 sampai 19 tahun.
D. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo. Goleman (2007), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Menurut Goleman (dalam Bastian, 2005) kecerdasan emosi mencakup susunan kualitas yang sangat banyak, seperti: kontrol diri, semangat, ketekunan, keterbukaan,
motivasi,
pengaturan
mood,
empati,
optimisme,
harapan,
kepercayaan diri, kontrol impuls, menunda kepuasan, mengatasi kecemasan dan stress untuk membangun hubungan interpersonal yang sukses. Salovey (dalam Bastian, 2005) menyatakan bahwa kecerdasan emosi terhubung dengan coping melalui gabungan 3 proses (ruminasi, dukungan sosial dan penyikapan trauma) yang terhubung dengan kemampuan koping. Ruminasi adalah pemikiran berulang-ulang yang fokus terhadap pemikiran negatif seseorang tentang gejala-gejala penderitaan yang dirincikan dengan kecemasan
41
dan depresi. Individu yang mengalami ruminasi cenderung memiliki fokus yang berlebihan terhadap persepsi dan penilaian mood mereka tanpa benar-benar berusaha untuk mengaturnya supaya dapat meringankan konflik. Menurut penelitian LeDoux (dalam Goleman, 2007) disebutkan bahwa di dalam otak manusia terdapat amigadala yang berfungsi sebagai penjaga emosi, penjaga yang mampu mengambil alih kendali apa yang kita kerjakan bahkan sewaktu otak berpikir, neokorteks, masih menyusun keputusan. Fungsi-fungsi amigadala dan pengaruhnya pada neokorteks merupakan inti kecerdasan emosional. Kecemasan kecerdasan,
emosi,
adalah dan
keadaan sikap.
fisiologis
yang
Komponen-komponen
memiliki tadi
komponen
berkombinasi
membentuk perasaan yang dikenal dengan ketakutan atau khawatir. Kecemasan selalu disertai oleh sensasi fisik seperti jantung berdebar-debar, perasaan ingin mnuntah, sakit dada, nafas pendek, sakit perut dan sakit kepala. Jaras syaraf melibatkan amigadala dan hippocampus yang diduga terlibat dapat memicu kecemasan. Ketika berhadapan dengan keadaan tidak menyenangkan dan stimulus berbahaya seperti salah membau, akan terjadi kenaikan aliran darah pada amigadala. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara kecerdasan emosi, dimana sedikit banyak emosi dikontrol oleh amigadala, dengan terjadinya kecemasan pada seseorang (Kaplan dan Sadock, 1994). Kecemasan menyebabkan seseorang merasa bingung dan tidak tahu apa yang akan diperbuatnya, mereka yang mengalami kecemasan ini biasanya mempunyai penilaian yang kurang baik terhadap dirinya, mempunyai kecerdasan
42
emosi yang rendah dan kurang percaya diri. Kecemasan itu terasa menyakitkan karena sifatnya menyerang, mengancam dan menghancurkan keadaan dirinya, namun kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai kecerdasan emosional yang baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara tepat (Davidoff dan Collings, dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007). Ohman dan Soares (dalam Adrian, 2009) melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif untuk mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Stimuli yang relevan dengan rasa takut menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan terjadi. Terlihat bahwa rasa takut mempersiapkan individu untuk antisipasi datangnya hal tidak menyenangkan yang mungkin akan terjadi. Secara otomatis individu akan bersiap menghadapi hal-hal buruk yang mungkin terjadi bila muncul kecemasan dan rasa takut. Goleman (2007) menyatakan bahwa emosi yang terlampau ditekan, terlampau ekstrim dan terus menerus akan menjadi sumber penyakit. Selain itu, emosi dengan intensitas yang tinggi akan melampaui titik wajar akan beralih menjadi kecemasan kronis, amarah yang tidak terkendali dan depresi. Menurut Rooprai (2009) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mencegah timbulnya perasaan negatif seperti marah, kurang percaya diri, kecemasan dan sebaliknya fokus pada perasaan positif salah satunya percaya diri, empati dan keserasian. Pengembangan kecerdasan emosi harus lebih ditekankan untuk mengatasi stress dan kecemasan.
43
Salovey (dalam Berrocal, 2006) berpendapat bahwa hasil penelitian kaitan antara kecerdasan emosi dengan depresi, kecemasan dan keseluruhan psikis serta kesehatan mental telah menunjukkan hasil pada subyek orang dewasa. Sebagai contoh seseorang yang lebih banyak memperhatikan emosinya, seseorang yang memiliki nilai
lebih rendah kejernihan emosinya dan seseorang yang
menunjukkan ketidakmampuan untuk mengatur keadaan emosi menunjukkan rendahnya penyesuaian emosi. Penelitian Gottman dan De Claire (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) menemukan bahwa individu yang belajar mengenali dan menguasai emosinya menjadi lebih percaya diri, sekaligus lebih sehat secara fisik. Mereka juga lebih baik prestasinya atau di dunia kerja dan cenderung akan menjadi orang dewasa yang sehat secara emosional. Individu yang memiliki kecerdasan emosi akan lebih terampil dalam menenangkan diri mereka sendiri bila mereka marah, dibandingkan dengan individu yang tidak dilatih emosinya. Menurut Spielberger dan Rickman kecemasan adalah reaksi normal pada situasi sosial yang merupakan sikap mengancam harga diri atau mental yang sehat. Kecerdasan emosi menurut Bar-On, merupakan pengukuran mental yang sehat pada seseorang dimana kecemasan yang tidak dapat di kontrol tidak akan memiliki mental yang sehat. Pengukuran kecerdasan emosi menurut Emmerling dan Goleman bahwa kecerdasan emosional bisa di kembangkan begitu juga dengan mental yang sehat dan kontrol kecemasan (Rensburg, 2005). Mereka yang gagal menguasai kompetensi kecerdasan emosi menghadapi bermacam-macam resiko gangguan jiwa yang semakin tinggi, seperti gangguan
44
mood dan kecemasan, gangguan makan, dan penyalahgunaan zat kimia. Karena kemampuan kecerdasan emosi ini dapat diajarkan, menawarkan anak-anak dan orang dewasa kesempatan untuk memperkuat kompetensi-kompetensi ini dapat bertindak sebagai suntikan melawan aspek-aspek resiko sosial dan resiko kejiwaan (Kaplan dan Sadock. 1994). Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa terdapat kaitan negatif antara kecemasan dengan kecerdasan emosi dimana individu dengan kecerdasan emosional yang rendah menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi dan sebaliknya individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai tingkat kecemasan yang rendah.
E. Kerangka Pikir Kecerdasan Emosi
Kecemasan
Gambar 2. Kerangka Pikir
Dari gambar diatas dapat diketahui kecemasan merupakan gangguan emosi yang menjadi salah satu permasalahan paling sering dialami remaja. Kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai kecerdasan emosional yang baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara tepat.
45
F. Hipotesis Berdasarkan teori diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah “Terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo”.
46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan cross sectional analitik deskriptif yaitu jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada satu saat (Sastroasmoro, dan Ismael, 1995).
A. Identifikasi Variabel Adapun variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut : 1. Variabel tergantung
: Kecemasan
2. Variabel bebas
: Kecerdasan Emosi
B. Definisi Operasional Pada penelitian ini variabel penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Kecemasan Kecemasan selalu melibatkan komponen psikis (afektif, kognitif, perilaku) dan biologis (somatik, neurofisiologik) yang nantinya menimbulkan gangguan pada proses pikir, konsentrasi, belajar, persepsi sehingga menimbulkan hendaya dalam kehidupan mereka yang masih belajar (Kusningsih, 1994). Spielberger (dalam Nugraheni, 2005) mengutarakan bahwa ada dua komponen utama dari tes kecemasan adalah kecemasan, yaitu efek kognitif
46
47
tentang konsekuensi dari kegagalan dan emosional, yaitu reaksi dari kegugupan yang muncul secara otomatis dan menimbulkan stress tertentu. Pengukuran tingkat kecemasan dengan menggunakan instrumen TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) yang disusun dan dikembangkan oleh Taylor (1951, 1953). Dalam penelitian sebelumnya oleh Sudiyanto (dalam Osman, 2008) mempunyai validitas dan reliabilitas yang tinggi dengan nilai batas pemisah skor 22/23, sensitivitas TMAS cukup tinggi yaitu 90%, spesivitasnya 95%, nilai ramal positif 94,7%, nilai ramal negatif 90,4%, dengan reliabilitas r=0,86. Pengukuran ini terdiri dari jawaban “ya” dan “tidak”, dimana penilaian untuk setiap jawaban “ya” dinilai dengan skor 1 dan untuk jawaban tidak dinilai dengan skor 0. Penilaian kecemasan dinilai dengan menjumlahkan jawaban “ya”. Skor total adalah 50. 2. Kecerdasan Emosi Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang mencakup memantau perasaan diri sendiri atau orang lain, pengendalian diri, mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, menguasai kebiasaan pikiran yang dapat mendorong produktifitas dan mampu mengelola emosi yang dapat digunakan untuk membimbing pikiran dan tindakan yang terarah. Kecerdasan emosi dalam penelitian ini diungkap menggunakan skala kecerdasan emosi yang disusun berdasarkan aspek-aspek menurut Goleman (2007) yang meliputi: mengenali emosi diri (sadar diri), mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), membina hubungan dengan orang lain.
48
Pengukuran skala kecerdasan emosi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala kecerdasan emosi dimodifikasi dari Mumtahani (2008) yang pernah diujikan oleh Lestari (dalam Mumtahani, 2008) dengan hasil koefisien validitas (rbt) bergerak dari 0,237 sampai 0,666; p < 0,05 dan koefisien reliabilitas (rtt) = 0,923. Skor kecerdasan emosi ditunjukkan oleh skor yang diperoleh subjek melalui model alat ukur skala Likert. Range skor untuk pernyataan yang bersifat favorable adalah 4 (SS), 3 (S), 2 (TS), dan 1 (STS). Sedangkan skor untuk pernyataan unfavorabel adalah 1 (SS), 2 (S), 3 (TS), dan 4 (STS). Dari kedua instrumen penelitian diatas, pengukuranya yang dilakukan menghasilkan data interval yang menurut Suryabrata (2003), data interval yaitu data dimana terdapat jarak yang sama diantara hal-hal yang diselidiki atau dipersoalkan.
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo. 2. Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari populasi yaitu kelas 3A, 3B, dan 3C, dimana kelas 3A terdiri dari remaja putra, kelas 3B terdiri dari remaja putri dan kelas 3C terdiri dari remaja putri.
49
D. Metode Pengumpulan Data 1. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai peneliti untuk memperoleh data yang diselidiki. Kualitas data yang ditentukan oleh kualitas alat pengambilan data atau alat ukur pengukurannya (Suryabrata, 2003) antara lain : a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian dan data utama dalam penelitian. Data penelitian tersebut diperoleh dari skala psikologi. Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini meliputi skala kecerdasan emosi, dan TMAS. b. Data sekunder Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari tempat penelitian dilakukan, yakni berupa dokumantasi yang berupa pengumpulan data dan informasi tentang profil sekolah, jumlah pelajaran, dan daftar absen siswa. 2. Alat pengumpulan data Azwar (2008) berpendapat bahwa ada beberapa diantara karakteristik skala sebagai alat ukur psikologi, yaitu: a. Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur dan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan.
50
b. Dikarenakan atribut psikologi yang diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator perilaku sedangkan indikator perilaku terjemahan dalam bentuk aitem-aitem, maka skala psikologi selalu berisi banyak aitem. c. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh. Adapun dalam penelitian ini terdiri dari TMAS dan skala sikap tentang kecerdasan emosi. Skala kecerdasan emosi yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dan berpedoman pada skala Likert yang telah dimodifikasi yaitu menghilangkan pilihan ragu-ragu sehingga subjek akan memilih jawaban yang pasti ke arah yang sesuai atau tidak sesuai dengan dirinya. Menurut Hadi (1995) modifikasi skala Likert meniadakan kategori jawaban yang ditengah, berdasarkan tiga alasan yaitu yang menurut: a. Kategori undecided itu mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum mempunyai jawaban atau belum memberikan keputusan (menurut konse aslinya) bisa juga diartikan netral, setuju, tidak setuju atau bahkan raguragu. Kategori jawaban ganda (multi interpretable) ini tentu saja tidak diharapkan dalam suatu instrument. b. Tersedianya yang ditengah dapat menimbulkan kecenderungan jawaban ke tengah (cental tendency effect) terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas arah kecenderungan jawaban, ke arah setuju ataukah ke arah tidak setuju.
51
c. Maksud kategori jawaban SS-S-TS-STS adalah terutama untuk melihat kecenderungan pendapat responden, ke arah setuju atau ke arah tidak setuju. Jika disediakan kategori jawaban itu, akan menghilangkan banyak data penelitian sehingga akan mengurangi banyaknya informasi yang dapat dijaring dari responden
E. Uji Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas Uji validitas didasarkan pada validitas isi, yakni telaah dan revisi butir pernyataan berdasarkan pendapat professional (professional judgment) dan mencari korelasi antara masing-masing aitem skor total aitemnya yang disebut dengan model uji validitas internal (Suryabrata, 2003). Pengujian validitas internal skala kecerdasan emosi dalam penelitian ini menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson (Hadi, 1995) dengan rumus;
rxy =
∑ x2
( x )( y ) ∑ xy ∑ N ∑ (∑ x ) y − (∑ − ∑ 2
N
2
)
y2 N
Keterangan: rxy = indeks korelasi aitem skor aitem dengan skor total aitem N = jumlah subjek ΣX = jumlah skor tiap-tiap aitem ΣY = jumlah skor total aitem ΣX2 = jumlah kuadrat nilai tiap-tiap aitem ΣY2 = jumlah kuadrat total aitem
52
2. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas digunakan untuk menguji tingkat sejauh mana kestabilan hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama selama aspek yang diukur dalam diri subjek belum berubah (Azwar, 1998). Teknik Alpha yang dikembangkan Cornbach dipilih untuk mengukur reliabilitas antar aitem yang paling populer dan menunjukkan indeks konsistensi yang cukup sempurna. Rumus formula Alpha adalah sebagai berikut: δ .b 2 K ∑ r11 = 1− K − 1 δ .t 2
Keterangan: r11 : Reliabilitas instrumen K : banyaknya butir pertanyaan ∑δ.b2 : Jumlah varians butir δ.t2 : Varians total
Reliabilitas suatu alat dapat dilihat dari hasil out put SPSS dengan menggunakan uji statistik Alpha Cronbach. Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Alpha Cronbach > dari 0,60.
F. Teknik Analisis Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi product moment dari Pearson yaitu mendasarkan pada angka-angka kasar seperti apa
adanya
dengan
alasan,
peneliti
melakukan
pengambilan
datanya
53
menggunakan skala interval, yaitu skala numerik yang tidak memiliki nilai 0 dan skala rasio yang mempunyai nilai 0 alami. (Sastroasmoro dkk, 1995). Korelasi product moment Pearson digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan linier antara dua variabel kontinu yaitu memiliki skala interval atau skala ratio (Uyanto, 2006) Adapun rumus korelasi Product Moment Pearson adalah:
rxy =
∑ x2
( x )( y ) ∑ xy ∑ N ∑ (∑ x ) y − (∑ − ∑ 2
N
2
)
y2 N
Keterangan: rxy = indeks korelasi aitem skor aitem dengan skor total aitem N = jumlah subjek ΣX = jumlah skor tiap-tiap aitem ΣY = jumlah skor total aitem ΣX2 = jumlah kuadrat nilai tiap-tiap aitem ΣY2 = jumlah kuadrat total aitem
54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian 1. Orientasi kancah penelitian Penelitian ini di lakukan di Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin Kelurahan Ngruki, Kabupaten Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah. Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki adalah lembaga pendidikan Islam. Sistem pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan di lembaga ini adalah perpaduan antara sistem pesantren tradisional dengan pendidikan moderen yang berkembang saat ini. Sejak awal berdirinya, para pendiri pesantren telah menegaskan bahwa pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki sebagai pondok milik umat atau milik seluruh lapisan masyarakat Islam. Hal ini didasarkan pada keikutsertaan dan andil dari seluruh lapisan umat Islam dalam membangun dan mengembangkan keberadaan pesantren tersebut sejak awal proses berdirinya sampai saat ini. Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki merupakan pondok yang mandiri, tidak berada dibawah (underbouw) organisasi atau kelompok tertentu, tidak berafiliasi pada golongan atau jam'iyah tertentu, dan tidak berdiri pada satu sekte tertentu. Ia berdiri ditengah-tengah serta bersikap mengambil jarak yang sama dengan berbagai golongan maupun organisasi yang ada dan berkembang di masyarakat.
Dengan demikian subtansi ajaran Islam yang menjadi basic sistem
pendidikan dan pengajaran di pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki senantiasa
54
55
bertumpu pada Al-Qur'an dan Sunah Shohihah yang difahami secara kaffah (universal), syumuu l (komprehenship) dan mutakaamil (integratif). Dengan cara pandang ini diharapkan para alumnus pondok pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki menjadi generasi yang kritis dan taktis sehingga tidak mudah terjebak dalam sikap fanatisme golongan dan tidak taqlid buta (mengekor atau mengikuti pendapat orang lain yang tidak dilandasi kebenaran). Berdirinya pondok pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki bermula dari adanya kegiatan pengajian selepas dhuhur di masjid Agung Surakarta. Selanjutnya para da'i dan mubaligh mengembangkan bentuk pengajian tersebut dengan mendirikan Madrasah Diniyah dijalan Gading Kidul 72 A Solo. Perkembangan Madrasah ini cukup pesat karena didukung oleh media massa yaitu RADIS ( Radio Dakwah Islam). Dinamika madrsah yang menggembirakan tersebut selanjutnya mengilhami gagasan para mubaligh yang ada untuk mengasramakan para siswa dalam bentuk lembaga pendidikan pondok pesantren. Realitas sosial masyarakat Solo pasca tahun 1965 dan timbulnya berbagai ancaman yang dianggap membahayakan eksistensi Islam serta umatnya pada waktu itu, semakin memotivasi semangat para mubaligh se-Surakarta untuk segera mewujudkan pendidikan pondok pesantren. Hal ini juga didasarkan pada perspektif dan pertimbangan sejarah bahwa pesantren pada zaman dulu telah memiliki andil dan peran yang sangat besar dalam membela, memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia . Akhirnya, pada tanggal 10 Maret 1972 berdirilah Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin di jalan Gading Kidul No 72 A Solo, di
56
bawah naungan Yayasan Pendidikan Islam dan Asuhan Yatim Al-Mukmin (YPIA) dengan akte Notaris No. 130 b 1967. Pada waktu itu jumlah santri yang diasramakan sebanyak 30 siswa termasuk didalamnya 10 siswa dari Asuhan YPIA. Adapun para perintis dan pendirinya pada waktu itu adalah Ustadz Abdullah Sungkar , Ustadz Abu Bakar Ba'asyir , Ustadz Abdullah Baraja' , Ustadz Yoyok Rosywadi , Ustadz H. Abdul Qohar Daeng Matase dan Ustadz Hasan Basri, BA serta para pendukung yang lain. Mengingat perkembangan santri yang sangat pesat dengan sarana dan prasarana yang masih terbatas pada waktu itu, maka dua tahun berikutnya yaitu tahun 1974 pengurus Yayasan Pendidikan dan Asuhan Yatim/Miskin Al-Mukmin (YPIA) memindahkan lokasi madrasah ke Dukuh Ngruki Kelurahan Cemani Kecamatan Grogol kabupaten Sukoharjo dengan menempati tanah KH. Abu Amar. Sejak saat itulah pondok pesantren ini terkenal dengan pondok pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki. a. Visi Terbentuknya generasi muslim yang siap menerima dan mengamalkan Islam secara secara kaffah, b. Misi 1. Mencetak kader Ulama dan cendekia yang amilin fi sabilillah, 2. Melaksanakan kegiatan pendidikan dan da'wah secara "Independen" dan bertanggung jawab kepada umat melalui YPIA,
57
3. Melaksanakan
proses
pembelajaran
secara
integral
dalam
satu
kepemimpinan mudirul Ma'had, c. Tujuan 1. Lahirnya kader ulama dan cendekia yang amilin fi sabilillah, 2. Lahirnya generasi yang siap menerima dan mengamalkan Islam secara kaffah. Dalam rangka mewujudkan sasaran dan tujuan di atas serta sebagai upaya untuk menyalurkan siswa sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan yang dimilikinya, maka pondok pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki membuka berbagai unit pendidikan sebagai berikut : a. Madrasah Tsanawiyah (MTs) Merupakan unit pendidikan setingkat SLTP yang memadukan pendidikan nasional dan pendidikan pesantren. Masa pendidikan 3 tahun sebagai kelanjutan dari jenjang SD/MI. Program unggulan pada Unit ini antara lain: 1. Kelas Al Qur'an (kelas ini dititik beratkan pada aspek quroatul Qur'an dan tahfidz) 2. Kelas Olimpiade (kelas ini dititik beratkan pada aspek pengembangan materi Matematika dan IPA) 3. Kelas Internasional (kelas ini dititik beratkan pada pengembangan bahasa
internasional
yaitu
bahasa
Arab
dan
Inggris)
Pada unit MTs ini telah terakreditasi dan dapat mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN). Materi pelajaran Aqidah, Syari'ah, bahasa Arab dan
58
Inggris sebagai materi dasar yang diajarkan di setiap kelas. Mendidik santri agar memiliki dasar-dasar keimanan, berwawasan IPTEK, berakhlakul karimah, memiliki kemampuan berbahasa Arab dan Inggris serta siap melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA (KMI atau MA). Unit ini menerima putra dan putri dari lulusan SD dan MI b. Takhasus (Pra SLTA) Unit ini merupakan unit persiapan selama satu tahun. Diperuntukkan siswa putra dan putri dari jenjang SLTP maupun MTS (non pondok pesantren). Dalam unit ini diperdalam pelajaran bahasa Arab dan Inggris serta materi khusus kepesantrenan sehingga selama satu tahun diharapkan memiliki kemampuan untuk menguasai ilmu yang seimbang dengan lulusan MTs / SLTP Pondok Pesantren Islam Al Mukmin. Dari unit ini santri dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan Madrsah Aliyah kelas satu atau ke jenjang Kuliyyatul Mu'alimin kelas I. Hasil evaluasi dari ujian akhir di unit takhasus ini hanya berupa keterangan untuk bisa melanjutkan ke unit MA atau KMI Pondok Pesantren Islam Al Mukmin. c. Kulliyyatul Mu'allimin Al Islamiyyah (KMI) Dibukanya unit ini bertujuan untuk mendidik kader dakwah dan guru agama yang siap pakai. Unit ini merupakan jenjang pendidikan yang setara dengan SLTA. Menerima siswa putra dan putri dari lulusan SLTP Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin atau pondok pesantren lain yang memiliki kemiripan kurikulum dengan SLTP Pon Pes Al Mukmin. Lama pendidikan tiga tahun dengan materi pelajaran terdiri dari 70 persen program
59
kepesantrenan dan 30 persen program non kepesantrenan (Materi SLTA yang telah disesuaikan). d. Madrasah Aliyah (MA) Madrsah Aliyah Al-Mukmin (MAAM) mendidik kader dakwah dan intelektual muslim yang beraqidah lurus. Lama pendidikan 3 tahun. Menerima santri (siswa) dari lulusan SLTP pondok pesantren Al-Mukmin serta pondok pesantren lain yang sederajat. Dari SLTP atau MTS non pesantren Al-Mukmin harus lulus seleksi lisan Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan psikotest. Unit ini telah terakreditasi A. e. Ma'had Aly (Sekolah Tinggi) Pesantren Tinggi (Ma'had Aly) Al-Mukmin sebagai kelanjutan dari jenjang pendidikan setingkat SLTA pondok pesantren Al-Mukmin (KMI/KMT/MAAM) dan SLTA pondok pesantren yang lain. Unit ini menyelenggarakan pendidikan strata 1 (S1) dengan kurikulum perpaduan antara kurikulum Ma'had Aly Al-Islam yang berkembang di Indonesia, STAIN, Al-Jami'ah Al-Islamiyah Umul Quro di Mekah dan Universitas Islam Timur Tengah yang lain. Tujuan
diselenggarakan
Ma'had
Aly
sebagai
upaya
untuk
menghadirkan lahirnya ulama' dengan dibekali kemampuan untuk dapat memanfaatkan
IPTEK,
profesional
pada
bidangnya,
trasnparansi,
bertanggung-jawab, berdedikasi tinggi serta peka terhadap situasi dan perkembangan zaman.
60
Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kulliyyatul Mu'allimin Al Islamiyyah (KMI) kelas 3 secara keseluruhan, dimana merupakan populasi penelitian. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini adalah penelitian populasi. 2. Persiapan Alat Ukur Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah skala kecerdasan emosi, dan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). a. Skala kecerdasan emosi. Skala kecerdasan emosi digunakan untuk mengungkap sejauh mana tingkat kecerdasan emosi subjek dalam penelitian ini. Penyusunan skala kecerdasan emosi mengacu berdasarkan aspek-aspek menurut Goleman (2007) yang meliputi: mengenali emosi diri (sadar diri), mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), membina hubungan dengan orang lain. Jumlah aitem dalam skala ini sebanyak 50 aitem, yang terdiri dari 25 aitem favorable dan 25 aitem unfavorable. Skala kecerdasan emosi ini terdiri dari 4 pilihan jawaban yaitu : sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Penilaian aitem favorable bergerak dari skor 4 (sangat setuju), 3 (setuju), 2 (tidak setuju), 1 (sangat tidak setuju). Sedangkan penilaian aitem unfavorable bergerak dari skor 1 (sangat setuju), 2 (setuju), 3 (tidak setuju), 4 (sangat tidak setuju). Distribusi aitem skala kecerdasan emosi sebelum uji coba dapat dilihat pada tabel berikut.
61
Tabel 2. Susunan Aitem Skala Kecerdasan Emosi No 1 2 3 4 5
Aspek Mengenali emosi diri Mengelola emosi Memotivasi diri sendiri Mengenali emosi orang lain Membina hubungan dengan orang lain Jumlah
Nomor Aitem Favourable Unfavourable 10,20,30,40,50 5,15,25,35,45 4,19,24,29,44 9,14,34,39,49 13,18,38,43,48 3,8,23,28,33 2,12,22,27,47 7,17,32,37,42
Total 10 10 10 10
1,16,21,31,36
6,11,26,41,46
10
25
25
50
b. TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) Skala kecerdasan emosi digunakan untuk mengungkap sejaumana tingkat kecemasan subjek dalam penelitian ini. TMAS merupakan kuesioner yang terdiri dari 50 butir pernyataan yang kesemuanya menunjukkan skor kecemasan yang muncul. Banyak butir-butir ini menunjukkan gejala kecemasan yang mencolok seperti berkeringat, muka merah, keguncangan, gemetaran dan lain-lain. Sebagian mengandung keluhankeluhan somatik seperti mual, pusing, diare, gangguan lambung dan lain-lain. Butir-butir lainya menunjukkan konsentrasi, perasaan eksitasi atau tidak bisa istirahat, menurunya kepercayaan diri, sensitifitas ekstra terhadap orang lain, perasaan akan bahaya dan tidak berguna. Pengukuran ini terdiri dari jawaban “ya” dan “tidak”, dimana penilaian untuk setiap jawaban “ya” dinilai dengan skor 1 dan untuk jawaban tidak dinilai dengan skor 0. Penilaian kecemasan dinilai dengan menjumlahkan jawaban “ya”. Skor minimal adalah 0 dan skor maksimal adalah 50.
62
3. Pelaksanaan uji coba Skala yang akan digunakan dalam penelitian harus di uji cobakan terlebih dahulu agar memenuhi syarat-syarat sebagai alat ukur yang baik, yakni valid dan reliabel. Pengambilan subjek untuk uji coba diberikan kepada kelas 3 remaja pondok pesantren mu’alimin Sukoharjo. Adapun alat ukur yang di uji cobakan adalah skala kecerdasan emosi sedang TMAS tidak di uji cobakan karena sudah baku. Skala kecerdasan emosi yang diberikan bersifat universal. Pelaksanaan uji coba dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2009 yang dikenakan pada keseluruhan remaja kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren AlMukmin Sukoharjo yang berjumlah 95 orang. Dari 95 eksemplar yang dibagikan, kesemuanya dapat terkumpul kembali dan memenuhi syarat untuk diskor dan dianalisis. Data inilah yang dipergunakan untuk menghitung validitas dan reliabilitas dari alat ukur tersebut. 4. Uji validitas dan reliabilitas Perhitungan validitas aitem untuk skala kecerdasan emosi dan kecemasan dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson, yaitu mencari korelasi antara skor aitem dengan skor total aitem. Sedangkan perhitungan reliabilitasnya dihitung dengan teknik analisis reliabilitas Cronbach’s Alpha. Perhitungan validitas dan reliabilitas skala pada pendekatan ini menggunakan program analisis validitas dan reliabilitas butir program statistik SPSS 16.0 for Windows. Uji validitas akan menentukan aitem yang gugur atau sahih.
63
a. Uji validitas skala kecerdasan emosi Hasil uji validitas skala kecerdasan emosi dapat diketahui bahwa dari 50 aitem yang diujicobakan, diperoleh indeks korelasi aitem berkisar antara -0,305 sampai dengan 0,632. Ada 10 aitem dinyatakan gugur, yaitu 3, 5, 11, 12, 14, 20 , 24, 29, 30, 34 dikarenakan rhitung < rtabel, nilai rtabel sebesar 0,202 dimana taraf signifikansi 5% dan N = 95 dengan nilai kritis 0,209. Selanjutnya dari analisis korelasi aitem total yang telah dikoreksi, diperoleh 40 aitem sahih dengan indeks korelasi aitem berkisar antara 0,209 sampai dengan 0,632. b. Uji reliabilitas skala kecerdasan emosi Sedangkan reliabilitas skala yang ditunjukkan dengan koefisien Alpha sebesar 0,825. Dengan demikian, skala kecerdasan emosi ini dianggap cukup andal sebagai alat ukur penelitian. Adapun perincian aitem yang sahih dan gugur dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3. Distribusi Aitem Sahih dan Aitem Gugur Skala Kecerdasan Emosi
No 1 2 3 4 5
Aspek
Nomor Aitem Total Favourable Unfavourable Valid Gugur Valid Gugur 10,40,50 20,30 15,25,35,45 5 10
Mengenali emosi diri Mengelola emosi 4,19,44 Memotivasi diri 13,18,38,43,48 sendiri Mengenali emosi 2,22,27,47 orang lain Membina hubungan 1,16,21,31,36 dengan orang lain 20 Jumlah 25
24,29
9,39,49 8,23,28,33
12
7,17,32,37,42
5
14,34 3
10
6,26,41,46
11
20
5 25
10 10
10 50
64
5. Penyusunan alat ukur untuk penelitian Setelah melakukan uji validitas dan reliabilitas, langkah selanjutnya adalah menyusun alat ukur yang dipakai untuk penelitian. Dalam penyusunan alat ukur ini hanya aitem yang sahih saja yang diambil, dengan nomor urut yang baru. Sedangkan yang gugur tidak diikutsertakan. Adapun distribusi aitem skala kecerdasan emosi yang digunakan sebagai penelitian dapat dilihat pada tabel 3. berikut ini: Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Kecerdasan Emosi untuk Penelitian No
Aspek
1 2 3
Mengenali emosi diri Mengelola emosi Memotivasi diri sendiri
4
Mengenali emosi orang lain Membina hubungan dengan orang lain Jumlah
5
Nomor Aitem Total Favourable Unfavourable 10(8),40(30),50(40) 15(10),25(18),35(25),45(35) 7 4(3),19(14),44(34) 9{7),39(29),49(39) 6 13(9),18(13),38(28), 8(6),23(17),28(21),33(24) 9 43(33),48(38) 2(2),22(16),27(20),47(37) 7(5),17(12),32(23), 9 37(27),42(32) 1(1),16(11),21(15), 6(4),26(19),41(31),46(36) 9 31(22),36(26) 20 20 40
Keterangan : nomor dalam tanda kurung ( ) adalah nomor aitem baru untuk penelitian.
B. Pelaksanaan Penelitian Penentuan sampel penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah remaja mu’alimin kelas 3 Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo sebanyak 104 siswa yang tidak masuk sebanyak 9 orang sehingga subyek yang digunakan dalam penelitian sebanyak 95 orang.
65
Subjek yang digunakan sebagai penelitian adalah semua populasi, sehingga disebut studi populasi. Pengumpulan data penelitian Proses pengambilan sampel penelitian dilaksanakan Pondok Al-Mukmin Sukoharjo. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2009. Pengumpulan data dilakukan secara klasikal dengan memberikan skala kecerdasan emosi dan TMAS secara langsung kepada masing-masing subjek dan pengambilan skala dilakukan pada saat itu juga setelah skala selesai diisi. Karena terdapat 9 siswa mu’alimin yang tidak masuk sekolah, maka data penelitian yang di peroleh sebanyak 95 eksemplar. Pelaksanaan skoring Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah memberikan skor untuk keperluan analisis data. Skor untuk skala kecerdasan emosi bergerak dari 1-4 dengan memperhatikan sifat aitem favorable dan unfavorable. Skor dari aitem favorabel adalah 4 untuk pilihan jawaban sangat setuju (SS), 3 untuk pilihan jawaban setuju (S), 2 untuk tidak setuju (TS), dan 1 untuk sangat tidak setuju (STS). Sedangkan skor aitem unfvorabel adalah 1 untuk pilihan jawaban sangat setuju (SS), 2 untuk setuju (S), 3 untuk jawaban tidak setuju (TS), dan 4 untuk jawaban sangat tidak setuju (STS). Kemudian skor yang diperoleh dari subjek penelitian dijumlahkan untuk masing-masing skala. Total skor skala yang diperoleh dari subjek penelitian ini dipakai dalam analis data.
66
Pengukuran tingkat kecemasan dengan menggunakan instrumen TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) yang disusun dan dikembangkan oleh Taylor (1951, 1953). Dalam penelitian sebelumnya oleh Sudiyanto (dalam Osman, 2008) mempunyai validitas dan reliabilitas yang tinggi dengan nilai batas pemisah skor 22/23, sensitivitas TMAS cukup tinggi yaitu 90%, spesivitasnya 95%, nilai ramal positif 94,7%, nilai ramal negatif 90,4%, dengan reliabilitas r=0,86. Pengukuran ini terdiri dari jawaban “ya” dan “tidak”, dimana penilaian untuk setiap jawaban “ya” dinilai dengan skor 1 dan untuk jawaban tidak dinilai dengan skor 0. Penilaian kecemasan dinilai dengan menjumlahkan jawaban “ya”. Skor total adalah 50.
C. Analisis Data Penelitian Perhitungan analisis data dilakukan sebelum uji asumsi yang meliputi uji normalitas sebaran dan analisis diskriptif, dan perhitungan data dilakukan setelah uji asumsi yaitu sumbangan efektif. Perhitungan dalam analisis ini dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan program statistik SPSS for MS Windows release versi 16. 1. Uji Normalitas Uji normalitas sebaran dimaksudkan untuk mengetahui apakah dalam variabel yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Hal ini berarti bahwa uji normalitas diperlukan untuk menjawab pertanyaan apakah syarat sampel yang representatif terpenuhi atau tidak, sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasi pada populasi (Hadi, 2004).
67
Uji normalitas sebaran ini menggunakan teknik one sample KolmogorovSmirnov test (ks-z) yang dikatakan normal jika p (asym sig (2-tailed)) > 0,05. Hasil uji normalitas sebaran terhadap kedua variabel akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Hasil uji normalitas sebaran variabel kecerdasan emosi, nilai ks-z adalah 1,017 dengan asym sig (2-tailed) 0,252 > 0,05 termasuk kategori normal. 2) Hasil uji normalitas sebaran variabel kecemasan, nilai ks-z adalah 0,62 dengan asym sig (2-tailed) 0,837 > 0,05 termasuk kategori normal. Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Skala Kecerdasan Emosi dengan Skor Kecemasan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kecerdasan Kecemasan emosi N 95 95 Normal Mean 23.9474 1.1905E2 Parametersa Std. Deviation 4.37685 1.05944E1 Most Absolute .064 .104 Extreme Positive .064 .104 Differences Negative -.063 -.050 Kolmogorov-Smirnov Z .620 1.017 Asymp. Sig. (2-tailed) .837 .252 a. Test distribution is Normal. Hal ini berarti bahwa data pada variabel kecerdasan emosi dan kecemasan memiliki sebaran yang normal dan sampel dalam penelitian ini dapat mewakili populasi.
68
2. Uji Linieritas Pengujian linieritas dimaksudkan untuk mngetahui linieritas hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung, selain itu uji linieritas ini juga diharapkan dapat mengetahui taraf signifikansi penyimpangan dari linieritas hubungan tersebut. Apabila penyimpangan yang ditemukan tidak signifikan, maka hubungan variabel bebas dan variabel tergantung adalah linier (Hadi, 2004). Uji linieritas hubungan ini menggunakan teknik compare means test for linierity. Berdasarkan hasil pengujian linieritas variabel kecerdasan emosi dengan kecemasan diperoleh nilai Fbeda sebesar 1,261 dengan probabilitas sebesar 0,213 (>0,05) adalah linier. Berdasarkan uji linieritas yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa asumsi linier dalam penelitian ini terpenuhi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6 dibawah ini : Tabel 6. Hasil Uji Linieritas Skala Kecerdasan Emosi dengan Skor Kecemasan
Kecemasan* Between Kecerdasan Groups emosi Within Groups Total
(Combined) Linearity Deviation from Linearity
Sum of Squares 924.648 194.8301
Mean F Sig. Square 38 24.333 1.555 .065 1 194.830 12.454 .001
729.8178
37
19.725
876.0889 1800.737
56 94
15.644
df
1.261
3. Analisis deskriptif Dari skor kasar kecerdasan emosi dan kecemasan diperoleh hasil statistik diskriptif subjek penelitian. Hasil statistik deskrptif dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
.213
69
Tabel 7. Analisis Deskriptif Kecerdasan Emosi dan Kecemasan Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation 95 15.00 34.00 23.9474 4.37685
Kecemasan Kecerdasan 95 emosi Valid N (listwise) 95
94.00
143.00 1.1905E2
10.59443
Berdasarkan tabel statistik diatas, kemudian dilakukan kategorisasi subjek secara normatif guna memberikan intepretasi terhadap skor skala. Kategorisasi yang digunakan adalah kategorisasi jenjang yang berdasarkan pada model distribusi normal. Tujuan dari kategorisasi ini adalah menempatkan subjek ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar, 2008). Kontinum jenjang ini akan dibagi menjadi 3 kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Norma kategorisasi yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 8. Norma Kategori Skor Subjek Kategorisasi Rendah Sedang Tinggi
Norma Χ < (µ −1,0σ ) (µ −1,0σ) ≤ Χ < (µ +1,0σ ) (µ + 1,0σ) ≤ Χ
Keterangan : X : raw score skala µ : mean atau nilai rata-rata σ : standart deviasi Berdasarkan norma kategorisasi diatas maka kategori skor skala penelitian Kecerdasan emosi dan TMAS dijelaskan lebih lanjut pada urian dibawah ini :.
70
a. Kecerdasan Emosi Skala kecerdasan emosi dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai subjek. Skor minimal yang diperoleh subjek adalah 40 X 1 = 40 dan skor maksimal yang dapat diperoleh subjek adalah 40 X 4= 160, maka jarak sebarannya adalah 160 - 40 = 120 dan setiap satuan deviasi standarnya bernilai 120:6 = 20 sedangkan rerata hipotetiknya adalah (40 + 160) : 2 = 100. Apabila subjek digolongkan dalam 3 kategori, maka didapat kategorisasi serta distribusi skor subjek seperti pada tabel berikut: Tabel 9. Kategori Subjek Berdasarkan Skor Skala Penelitiaan Kecerdasan Emosi Variabel Kecerdasan Emosi
Kategorisasi Skor Kategorisasi Rendah X < 80 Sedang 80 ≤ X 120 Tinggi 120 ≤ X
Komposisi Jumlah Prosentase 0 0% 51 53,68% 44 46,32%
Rerata Empirik 119 -
b. Kecemasan TMAS dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai kecemasan subjek. Skor minimal yang diperoleh subjek adalah 0 X 1 = 0 dan skor maksimal yang dapat diperoleh subjek adalah 50 X 1= 50, maka jarak sebarannya adalah 50 - 0 = 50 dan setiap satuan deviasi standarnya bernilai 50:6 = 8,33 sedangkan rerata hipotetiknya adalah (50 + 0) : 2 = 25. Apabila subjek digolongkan dalam 3 kategori, maka didapat kategorisasi serta distribusi skor subjek seperti pada tabel berikut:
71
Tabel 10. Kategori Subjek Berdasarkan Skor Kecemasan Variabel Kecemasan
Kategorisasi Kategorisasi Skor Rendah X < 16,67 Sedang 16,67 ≤ X 33,33 Tinggi 33,33 ≤ X
Komposisi Jumlah Prosentase 5 5,26% 88 92,63% 2 2,11%
Rerata Empirik 23,94 -
Dari tabel statistik deskriptif, dapat dilihat bahwa rerata empirik kecerdasan emosi adalah 119, berarti rata-rata subjek penelitian termasuk dalam kategori sedang. Rerata empirik kecemasan adalah 23,94 yang berarti termasuk dalam kategori sedang. 4. Uji hipotesis a. Korelasi Product Moment Pearson Setelah dilakukan uji asumsi, langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang diajukan dengan teknik analisis korelasi product moment dari Pearson yang bertujuan untuk mengetahui hubungan pengaruh antar variabel bebas (kecerdasan emosi) dan variabel tergantung (kecemasan) dapat dilihat dalam tabel berikut
72
Tabel 11. Hasil Teknik Analisis Korelasi Product Moment Pearson Correlations Kecemasan Kecemasan Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Kecerdasan Pearson emosi Correlation Sig. (1-tailed) N
Kecerdasan emosi
1
-.329**
95
.001 95
-.329**
1
.001 95
95
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Uji korelasi menunjukkan hubungan kecerdasan emosi dengan kecemasan (rxy) sebesar - 0,329, hal ini berarti terdapat korelasi negatif antara kecerdasan emosi dengan kecemasan. Menurut Nugroho (2005) koefisien korelasi yang dihasilkan menunjukan bahwa korelasi antara keduanya tergolong lemah. Sedangkan arah hubungan antara dua variabel adalah negatif karena nilai r negatif (-). Tingkat signifikansi atau probabilitas sebesar p = 0,001 (p < 0,05) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dan kecemasan, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan dapat diterima. b. Sumbangan efektif Sumbangan efektif kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo dapat dilihat pada tabel 10 berikut:
73
Tabel 12. Sumbangan Efektif Kecerdasan Emosi Terhadap Tingkat Kecemasan Measures of Association R R Squared Eta Kecemasan * Kecerdasan emosi
-.329
.108
Eta Squared
.717
.513
Angka dalam tabel tersebut mengandung pengertian bahwa dalam penelitian ini peranan atau sumbangan efektif kecerdasan emosi dengan kecemasan 10,8% ditunjukkan oleh nilai RSquared 0,108. Hal ini berarti masih terdapat 89,2% faktor lain yang mempengaruhi kecemasan remaja Mu’alimin Pondok Pesantren Al-Mukmin selain variabel kecerdasan emosi.
D. Pembahasan Analisis uji asumsi variabel kecerdasan emosi dan kecemasan yaitu berupa uji normalitas. Uji normalitas dalam penelitian ini berupa variabel kecerdasan emosi yang menghasilkan nilai ks-z sebesar 1,017 dengan asym sig (2-tailed) 0,837 > 0,05 termasuk kategori normal sedangkan variabel kecemasan menghasilkan nilai ks-z sebesar 0,62 dengan asym sig (2-tailed) 0,837 > 0,05 juga termasuk kategori normal. Ini berarti bahwa variabel kecerdasan emosi dan kecemasan memenuhi syarat sampel yang representatif, sehingga hasil penelitian dapat di generalisasikan pada populasi. Hasil analisis deskriptif kategorisasi menunjukkan kecerdasan emosi remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo secara umum termasuk dalam kategori sedang sebesar 53,68%, yakni rerata empirik sebesar 119 dan rerata hipotetik sebesar 100 dengan jumlah 51 remaja sedangkan yang
74
memiliki kecerdasan emosi rendah sebanyak 0% atau tidak ada dan yang memiliki kecerdasan emosi tinggi sebanyak 44 remaja atau 46,32%. Selanjutnya tingkat kecemasanya secara umum termasuk dalam kategori sedang sebesar 92,63%, yakni rerata empirik sebesar 23,94 dan rerata hipotetiknya sebesar 25 dengan jumlah 88 remaja, sedangkan yang memiliki kecemasan rendah sebanyak 5 remaja atau sebesar 5,26% dan yang memiliki kecemasan tinggi sebanyak 2 remaja atau sebesar 2,11%. Hasil dari analisis data hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja mu’alimin kelas 3 Pondok Pesantren Al Mukmin Sukoharjo dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson diperoleh nilai koefisien korelasi antara variabel kecerdasan emosi dengan variabel tingkat kecemasan (rxy) sebesar -0,329 dan p < 0,05. arah hubungan antara dua variabel adalah negatif karena nilai r negatif (-) menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi dan kecemasan, artinya semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah kecemasan begitu pula sebaliknya maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima yaitu terdapat hubungan yang negatif antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja mu’alimin kelas 3 Pondok Pesantren Al Mukmin Sukoharjo. Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan Davidoff dan Collings (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) dimana orang yang mengalami kecemasan ini biasanya mempunyai penilaian yang kurang baik terhadap dirinya, mempunyai kecerdasan emosi yang rendah dan kurang percaya diri. Namun kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai kecerdasan emosional yang
75
baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara tepet. Temuan dalam penelitian yang penulis lakukan ini juga sejalan dengan yang diungkapkan oleh Coopersmith (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) yang menyatakan bahwa individu dengan kecerdasan emosional yang rendah menunjukkan tingkat kecemasan tinggi. Tidak jauh beda seperti yangi di utarakan Salovey (dalam Berrocal, 2006) berpendapat bahwa hasil penelitian kaitan antara kecerdasan emosi dengan depresi, kecemasan dan keseluruhan psikis serta kesehatan mental menunjukkan bahwa seseorang yang lebih banyak memperhatikan emosinya, seseorang yang memiliki nilai lebih rendah kejernihan emosinya dan seseorang yang
menunjukkan
ketidakmampuan
untuk
mengatur
keadaan
emosi
menunjukkan rendahnya penyesuaian emosi. Begitupula penelitian yang dilakukan Rooprai (2009) bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mencegah timbulnya perasaan negatif seperti marah, kurang percaya diri, kecemasan dan sebaliknya fokus pada perasaan positif salah satunya percaya diri, empati dan keserasian. Pengembangan kecerdasan emosi harus lebih ditekankan untuk mengatasi stress dan kecemasan. Selanjutnya menurut Spielberger dan Rickman kecemasan adalah reaksi normal pada situasi sosial yang merupakan sikap mengancam harga diri atau mental yang sehat. Kecerdasan emosi menurut Bar-On, merupakan pengukuran mental yang sehat pada seseorang dimana kecemasan yang tidak dapat di kontrol tidak akan memiliki mental yang sehat. Pengukuran kecerdasan emosi menurut Emmerling dan Goleman bahwa kecerdasan emosional bisa di kembangkan begitu juga dengan mental yang sehat dan kontrol kecemasan (Rensburg, 2005). Hal tersebut diperkuat dengan
76
penelitian yang dilakukan oleh Sulistyana (2009) dimana penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan kecemasan. Semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin rendah kecemasan, sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin tinggi kecemasan seorang. b.
Sumbangan efektif dalam penelitian ini ditunjukkan melalui Rsquare
atau disebut juga sebagai koefisien determinan yaitu sebesar 0,108 (nilai Rsquare 0.adalah pengkuadratan dari koefisien korelasi (R)). Artinya 10,8% kecemasan pada remaja mu’allimin kelas 3 Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo dapat dijelaskan oleh variabel kecerdasan emosi. Variabel kecerdasan emosi memberikan sumbangan efektif sebesar 10,8%. Sedangkan sisanya (100% 10,8% = 89,2%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Faktor-faktor lain di luar variabel kecerdasan emosi mungkin mempunyai hubungan terhadap kecemasan yang tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Faktor-faktor lain itu di antaranya faktor fisik, trauma dan konflik, conditioning, konstitusi, hereditas, lingkungan awal dan latihan dan lain lain. Secara umum hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo, namun hasil penelitian ini belum dapat digeneralisasikan pada remaja di Pondok Pesantren lain. Penerapan populasi yang lebih luas dengan karakteristik yang berbeda perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan atau menambah variabel-variabel lain
77
yang belum disertakan dalam penelitian ini, ataupun dengan menambah dan memperluas ruang lingkupnya.
78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Ada hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo. Hal ini telah dibuktikan dengan hasil analisis menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson (rxy) sebesar -0,329 dan taraf signifikansi sebesar 5 %. Arah hubungan antara dua variabel adalah negatif karena nilai r negatif (-) menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi dan kecemasan, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah kecemasan begitu pula sebaliknya. 2. Sumbangan efektif yang diberikan variabel kecerdasan emosi terhadap tingkat kecemasan sebanyak 10,8. Hal ini berarti masih terdapat 89,2 % faktor lain yang mempengaruhi kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa saran sebagai berikut : 1. Bagi orang tua Orang tua diharapkan mengetahui lebih dalam perkembangan emosi anak. Akibat dari pendidikan yang diberikan orang tua kepada anak menimbulkan 78
79
perkembangan emosi yang salah sebagai contoh selalu memarahi anak ketika melakukan kesalahan bahkan sampai tindak kekerasan yang menyebabkan emosi anak tidak stabil, mengakibatkan perasaan cemas dan tertekan yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan kepribadian. Oleh karena itu, hendaknya orang tua selalu memberikan pendampingan dan arahan yang positif dalam menyikapi hal tersebut. Peran orangtua yang berkualitas dalam mengembangkan kecerdasan dan perkembangan emosi anak secara bertahap, akan mendorong potensi anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kemampuan kecerdasan yang yang tinggi dan pengendalian emosi yang baik 2. Bagi pendidik Hendaknya setiap pendidik terutama guru yang mengajar remaja mu’allimin pada pondok pesantren dapat memahami anak didiknya, mengetahui karakteristik perkembangan emosi anak, sehingga akan membantu dalam memberikan perlakuan yang sesuai dengan tingkat kemampuannya, agar perkembangan emosi anak dapat berkembang dengan baik. 3. Bagi peneliti lain a. Penelitian ini hanya meninjau sebagian hubungan saja sehingga bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mengadakan penelitian yang sejenis diharapkan agar memperhatikan faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi kecemasan. b. Peneliti
selanjutnya
diharapkan
dapat
memperluas
populasi
dan
memperbanyak sampel, agar ruang lingkup dan generalisasi penelitian
80
menjadi lebih luas dan mencapai proporsi yang seimbang sehingga kesimpulan yang diperoleh lebih komprehensif. 4. Rata-rata tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo menunjukkan sedang yang artinya masih dibutuhkanyya perhatian yang lebih baik dari orang tua maupun pendidik sehingga tingkat kecemasan diharapkan rendah dimana tingkat kecemasan yang tinggi berpengaruh negatif pada proses pembelajaran, sebaliknya ratarata kecerdasan emosi menunjukkan sedang dimana peran orang tua dan pendidik sangat berpengaruh dalam upaya peningkatan kecerdasan emosi pada remaja khususnya remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo.
81
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, N. dan Siregar, I. M. 2002. Anxietas-GAD konsep diagnosis dan penatalaksanaan mutakhir. Jakarta: Yayasan penerbitan IDI Adrian, D. 2009. Penyesuaian Diri Terhadap Ambang Masa Pensiun. http://www.psikomedia.com/art/artikel.php?id=2 Ahmadi, A dan Umar, M. 1982. Psikologi Umum (edisi revisi). Surabaya: PT Bina Ilmu Amir, N. 2004. Pengembangan Instrumen Kecemasan Olah Raga. Anima, Indonesian Psychological Journal 2004, Vol. 20, No. 1, 55-69 Kompas. 2006. Juara IV Olimpiade Fisika Jateng Tidak Lulus UN http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=CwYFAAACBVJR Azwar, S. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. ________. 2008. Pengukuran Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Bastian, V. A. 2005. Are The Claim Of Emotional Intelligence Justified? Emotional Intelligence Predicts Life Skills, But Not As Well As Personality And Cognitive Abilities. http:// digital.library .adelaide. edu.au/dspace/handle/2440/37831 Berrocal, P. dkk. 2006. The Role of Emotional Intelligence in Anxiety and Depression among Adolescents. Individual Differences Research, 2006, 4(1). University of Malaga and University of California, Irvine: IDR Publishing Ltd. Co. www.idr-journal.com Bradberry dan Graves, 2009. The Way of Emotional Quotient for Your Better Life. Yogyakarta: Penerbit Garailmu Carnegie, D. 2007. Mengatasi Rasa Cemas dan Depresi Guna Meraih Motivasi Kuat Dalam Memulai Hidup. Yogyakarta: Think Cooper, R. dan Sawaf, A. 2000. Kecerdasan Emosi dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta : Gramedia Putra. Dwita, A dan Natalia, J. 2002. Pengaruh Musik Terhadap Kecemasan Penderita Katarak Menjelang Operasi. Anima, Indonesian Psychological Jurnal 002. Vol. 17. No 2. 179-195
81
82
Fauziah, N dan Hery. 2006. Dinamika Kecerdasan Emosi Pada Siswa Akeselerasi di SDN Kendangsari Surabaya. Yogyakarta. Jurnal Psikologi UGM Goleman, D. 2007. Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih Penting daripada IQ. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Ilmu Hadi, S. 1995. Metodologi Research jilid III. Yogyakarta: Andi Offset. ______. 2004. Statistik 2. Yogyakarta: Andi Offset Hasan, D. C. 2009. Sisi Lain dari Ujian Nasional. http:// 202.146.4.119 / read / artikel / 29839 Halim, M. S. dan Atmoko, W. D. 2005. Hubungan Antara Kecemasan Akan HIV/AIDS dan Psychological Well-Being Pada Waria yang Menjadi Pekerja Seks Komersial. Jurnal Psikologi. Vol. 15, No. 1. Maret 2005: Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Hurlock, E. B. 1990. Perkembangan Anak (terjemahan Meitasari Tjandrasa dan Muslichan Zarkasi). Jakarta : PT. Gramedia. Iskandar, H. Y. 1992. Anti Stress And Generalized Anxiety Disorder. Jakarta: PT. Gagas Medicapharma Communications (GMC) Kaplan dan Sadock. 1994. Kaplan&Sadock Comprehensive Textbook of Psychiatry Seventh Edition. Cooperate Technology Ventures Kusningsih, dkk. 1994. Hubungan Stressor Psikososial dan Bantuan Sosial dengan Ansietas Pada Remaja Pelajar 2 SLTA di Yogyakarta. Jiwa Majalah Psikiatri, Indon. Psychiat. Quart. XXVII:1:1994.Jakarta. Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa. Leonni, R dan, Hadi, C. 2007. Bagaimana lebih memahami seorang diri remaja?. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Lestari, S dan Purwanto, Y. 2003. Kecerdasan Emosional: Tinjauan Psikoprofetik. Jurnal Kognisi. Mawandha, H. G. dan Ekowarni, E. 2009. Terapi Kognitif Perilaku dan Kecemasan Menghadapi Prosedur Medis Pada Anak Penderita Leukemia. Jurnal Intervensi Psikologi, Vol. 1, No. 1. Juni 2009. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Maslim, R. 1991. Diagnosis dan Terapi Sindrom Cemas. Jakarta: PT. Heochst Pharmaceuticals of Indonesia
83
Mayer, J. D dan Salovey, P. 2000. Emotional Intelligence. Imagination, Cognition, and Personality. (9) 185-211. http://www.er.uqam.ca Melianawati dkk. 2001. Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Kinerja Karyawan. Anima, Indonesian Psychological Journal 2001, Vol .17. No. 1, 57-62 Mumtahani, Z. 2008. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan Remaja. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan. Nasution, I. K. 2007. Stress Pada Remaja. http:// library.usu.ac.id/ download/ fk/132316815(1).pdf
Nugraheni, S. D, 2005. Hubungan Antara Kecerdasan Ruhaniah Dengan Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Usia Lanjut. Indigenous, Jurnal Berkala Ilmiah Berkala Psikologi Vol. 7, No. 1, Mei 2005: 1838. Nugroho, B. A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: Andi Offset Nuhriawangsa, I. 2004. Symptomatologi Psikiatri. Surakarta. KPS PPDSI PSIKIATRI, KPS S2 MKK Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Osman, A. Z. Keefektifan Cognitive Behavior Theraphy (CBT) Untuk Menurunkan Tingkat Kecemasan dan Meningkatkan Kualitas Hidup Para Tahanan/Narapidana Penyalahguna NAPZA di Rumah Tahanan Kelas I Surakarta. Tesis, (tidak dipublikasikan). Universitas Sebelas Maret Surakarta Purboningsih, E.R. 2004. Hubungan Antara Orientasi Locus Of Control Dengan Tingkat Kecemasan. Jurnal Psikologi. Vol. 14. No. 2. September 2004: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Jakarta. Rensburg, M. 2005. The Role of Emotional Intelligence in Music Performance Anxiety. http://etd.uovs.ac.za : University of the Free State Riani, A. L dan Farida, H, 2006. Pengaruh Kompetensi Utama Kecerdasan Emosional dan Efikasi Diri Terhadap Kenyamanan Supervisor dalam Melakukan Penilaian Kinerja. Jurnal Bisnis dan Manajemen Vol 6 : 43-60
84
Rooprai, K. 2009. Role of Emotional Intelligence in Managing Stress and Anxiety at workplace. Proceedings of ASBBS Volume 16 number 1: Gautam Buddha University, Greater Noida (U.P) India Rostiana. 1997. Peranan Kecerdasan Emosional Dalam Proses Pembelajaran. Jurnal Ilmiah Psikologi “ARKHE” th.2/No.3/1997 Sastroasmoro, S dan Ismael, S. 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binapura Aksara Setyonegoro, K. 1993. Anxietas-GAD dan Keluhan Somatik. Jakarta: Yayasan penerbitan IDI Sitanggang, H. 1994. Kamus Psikologi. Bandung: CV. Armico Bandung Stein, S. J. dan Book. H. E. 2002. Ledakan EQ, 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa Sudiyanto, A. 2005. Keefektifan Psikoterapi Untuk Menurunkan Skor Kecemasan Pasian Gangguan Anxietas. Indigeous, Jurnal Berkala Ilmiah Berkala Psikologi. Vol. 7. No. 2. Nopember 2005.: 158-170 Sulistyana, Y. S. 2009. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Tingkat Kecemasan Pada Mahasiswa Angkatan 2006 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan. Suryabrata, S. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Perss __________ . 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta. Rajawali Perss Suryanti, V dkk. 2002. Pengaruh Pelatihan Emotional Literacy Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja. Surabaya. Anima, Indonesian Psychological Journal 2002, Vol. 17, No. 3, 243-256 Susilawati. 2004. Kecerdasan Emosional dan Keefektifan Kepemimpinan Dalam Membentuk Iklim Kerja. Majalah Ekonomi Tahun XII No. 2, Agustus 2002. Syahraini, K dan Rohmatun. 2007. Kecerdasan Emosional dan Kecemasan Pramenopause pada Wanita di RW IV dan XI Kelurahan Gebang Sari Semarang. Jurnal Psikologi Proyeksi, Volume 2, Nomor 1, Februari 2007 Syamsulhadi, M. 1996. Ilmu Penyakit, Jiwa Gangguan Kecemasan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta
85
Tjundjing, S. 2001. Hubungan antara IQ, EQ, dan AQ dengan Prestasi Studi Pada Siswa SMU. Surabaya. Anima Indonesian Psychological Journal 2001, Vol 17. No. 1, 69-92 Trismiati. 2004. Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan Wanita Akseptor Kontrasepsi Mantap Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal PSYCHE 22 Vol. 1 No. 1, Juli 2004 Uyanto, S. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu Yen, L dan Atmadji, G. 2003. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Kerja Distributor Multi Level Marketing (MLM). Indonesian Psychological Journal. Vol 19, No. 2. 187-194 Yusof, Y dan Pelajar, J. H. 2005. Kecerdasan Emosi. Jurnal Akademik MPTAR tahun 2005. http:// www.iptar.edu.my / iptarrd / pdf / JA2005.pdf.