Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Kecemasan Performa Musik pada Performer Musik Remaja Panji Muhammad Rifqi dan Sri Hartati D. Reksodiputro Suradijono Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16242, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara regulasi emosi dengan kecemasan performa musik pada performer musik remaja. Pengukuran regulasi emosi menggunakan alat ukur Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) yang dikembangkan oleh Gross dan John (2003) dan pengukuran kecemasan performa musik dengan menggunakan Music Performance Anxiety Inventory for Adolescents (MPAI-A) yang dikembangkan oleh Osborne dan Kenny (2005a dalam Kenny & Osborne, 2006). Partisipan berjumlah 73 performer musik remaja yang berdomisili di Jabodetabek. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara strategi cognitive reappraisal dalam regulasi emosi dengan kecemasan performa musik pada performer musik remaja (r = -0.027, dan tidak signifikan pada l.o.s 0.05 (p = 0.818), dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara strategi expressive suppression dalam regulasi emosi dengan kecemasan performa musik pada performer musik remaja (r = -0.045, dan tidak signifikan pada l.o.s 0.05 (p = 0.707)). Artinya, strategi regulasi emosi tidak berhubungan dengan tingkat kecemasan performa musik. Hal ini mungkin disebabkan oleh, perlunya mengukur state and trait anxiety sebelum mengukur kecemasan performa musik, dan perlunya menggunakan alat ukur yang dapat mengukur tingkat seberapa jauh seseorang sudah mampu mengontrol kecemasannya pada tingkat optimum. Berdasarkan hasil tersebut, perlu pengkajian lebih dalam faktor-faktor, serta kemungkinan yang memengaruhi hubungan tersebut.
The Correlation Between Emotion Regulation and Music Performance Anxiety on Adolescent Music Performer Abstract The study was conducted to get a description about the correlation between emotion regulation and music performance anxiety on adolescent music performer. Emotion regulation was measured by using Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) developed by Gross and John (2003) and music performance anxiety was measured by using Music Performance Anxiety Inventory for Adolescent (MPAI-A) developed by Osborne and Kenny (2005a in Kenny & Osborne, 2006). Participants were 73 adolescent music performer in Jabodetabek. The result shows that there is no significant correlation between cognitive reappraisal strategy in emotion regulation and music performance anxiety on adolescent music performance (r = -0.027, and is not significant at l.o.s 0.05 (p = 0.818)), and that there is no significant correlation between expressive suppression strategy in emotion regulation and music performance anxiety on adolescent music performace (r = -0.045, and is not significant at l.o.s 0.05 (p = 0.707)). This leads us to a conclusion that emotion regulation does not correlate with music performance anxiety. The indication maybe caused by the need to measure whether the anxiety is a state or trait before measuring music performance anxiety and to use a measurement qualified for measuring how far someone can control their anxiety at optimum level. There is a need to conduct an exploration about factors and possibilities that affect the correlation. Key words: emotion regulation, music performance anxiety, adolescent music performer.
1
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
Pendahuluan Musik adalah urutan atau rangkaian nada-nada yang beraturan sesuai dengan ritme tertentu (Miller, 2005). Menurut Seashore (1938) untuk menjelaskan musik, perlu adanya the performer, the music, the listener. Musik tidak bisa tercipta begitu saja tanpa adanya individu yang menciptakan karya musik, tidak ada yang menampilkan musik tersebut, dan tidak ada yang mendengarkan musik tersebut. The music di satu sisi dianggap sebagai ekspresi perasaan musik dan di sisi lain sebagai stimulus untuk membangkitkan perasaan musik, atau berkaitan dengan music creation (Seashore, 1938). The listener dianggap penting sebagai apresiasi musik, untuk menafsirkan dan menghidupkan kembali emosi musik yang ingin disampaikan oleh seniman (Seashore, 1938). The performer adalah penyanyi atau pemain instrumen musik, dengan instrumennya. Organisme fisik dan kondisi fisiknya yang merupakan bagian fisik individu. Kognitif, afektif, dan aspek motorik dari performanya yang merupakan bagian dari psikologis individu (Seashore, 1938). Dengan kata lain, jika terdapat hal-hal yang memengaruhi pada suatu bagian atau kondisi dari diri performer, baik itu fisik atau psikologis, bisa memengaruhi performanya. MPA telah lama menjadi fenomena yang melekat pada musisi dan siswa sekolah musik (Clark, 1989; Quantz, 1752 dalam Picard, 1999). Musisi dituntut untuk tampil dalam berbagai situasi yang menekan, sangat rentan dengan kecemasan performa, atau biasa disebut dengan demam panggung (Ely, 1991). Setiap musisi yang telah tampil di depan publik yang tidak menampilkan gejala kecemasan merupakan individu yang langka. Kecemasan performa musik didefinisikan sebagai pengalaman cemas yang berkaitan dengan pertunjukan musik yang muncul melalui kerentanan biologis dan/atau psikologis dan/atau pengalaman pengkondisian cemas yang spesifik (Kenny, 2009b, p.433 dalam Kenny, 2011). Berdasarkan definisi tersebut yang merujuk juga kepada definisi kecemasan menurut Kring (2010), bahwa kecemasan adalah kekhawatiran atas masalah yang diantisipasi. Kecemasan performa musik dapat diartikan secara singkat yaitu kekhawatiran atas masalah yang berkaitan dengan pertunjukkan musik yang muncul melalui beberapa kerentanan. Hal yang dapat dilihat dari kecemasan performa musik adalah Somatic and Cognitive Features yaitu manifestasi fisik dari kecemasan performa sesaat sebelum dan selama pertunjukan. Performance Context yaitu preferensi yang dimiliki para performer baik konteks solo atau kelompok dan sifat penonton, dan Performance Evaluation yaitu evaluasi dari penonton dan pemain yang dapat mempengaruhi kinerja, konsekuensi yang berasal dari evaluasi (terutama ketika terjadi kesalahan), dan kesulitan berkonsentrasi di depan penonton saat pertunjukkan
2
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
(Kenny, 2011). Kecemasan performa dapat mengakibatkan penurunan kualitas performa, dan penghentian karir kinerja dengan cepat. Meningkatkan kemungkinan mencapai performa musik yang baik, kita harus menemukan cara untuk mengendalikan kecemasan (Ely, 1991). Hal ini sejalan dengan Picard (1999), dengan mengurangi tingkat kecemasan dapat meningkatkan kualitas performa musik. Ketika seseorang gagal mengatasi kecemasan performa musiknya, ia tidak mampu mengontrol dirinya dan tentu akan menyebabkan penurunan kualitas performa musik. Sedangkan jika seseorang mampu mengatasi kecemasan performa musiknya, maka ia mampu mempersiapkan dirinya lebih baik dan dapat menunjukkan kualitas performa musik yang baik. Namun kecemasan tidak selalu berarti negatif, menurut Kring (2010), kecemasan adalah adaptif dalam membantu kita melihat dan merencanakan masa depan terhadap ancaman, yaitu untuk meningkatkan kesiapan, untuk membantu orang menghindari situasi yang berpotensi berbahaya, dan untuk memikirkan masalah potensial sebelum terjadi. Melihat kepada penjabaran di atas, peneliti melihat pentingnya untuk mengendalikan kecemasan performa musik. Menurut Ely (1991), kecemasan performa timbul akibat merasakan suatu situasi darurat, individu menanggapi secara emosional terhadap persepsi situasi darurat tersebut, oleh karena individu menanggapi secara emosional, maka diperlukan juga kontrol emosi yang baik. Berkaitan dengan pengertian dari kecemasan performa musik, serta penyebab timbulnya kecemasan performa di atas dan di mana kecemasan performa timbul dari situasi yang merangsang emosinya, maka penulis berusaha menemukan cara untuk mengatasi kecemasan performa musik dengan melihat hubungan kecemasan performa musik dan bagaimana individu meregulasi emosinya. Jika kecemasan performa musik dan regulasi emosi memiliki hubungan yang signifikan, nantinya pelatihan regulasi emosi ini bisa diberikan kepada performer musik yang mengalami kecemasan performa musik. Hal ini juga dilihat berdasarkan pernyataan Kenny (2011) yang menggambarkan proses pembelajaran emosional yang terjadi pada pertunjukkan musik memperoleh sifat emosional melalui pengkondisian respons takut. Hal ini berdasarkan pengalaman masa lalu, modeling, dan rangsangan rasa takut yang mengarah ke pengembangan dari pemaknaan cemas. Ia menekankan bahwa terdapat kebutuhan untuk mengurangi kecemasan sebelum perasaan takut yang timbul karena adanya bahaya nyata dan perasaan takut akibat respon yang terjadi karena tidak adanya bahaya nyata dalam situasi performa, serta respon dari kondisi kecemasan terhadap kinerja. Berdasarkan hal tersebut, identifikasi akan kebutuhan regulasi emosi untuk
3
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
mengurangi pengembangan dan tingkat kecemasan sebelum respon kecemasan menjadi termanifestasi mempengaruhi kinerja merupakan suatu hal yang perlu dilakukan. Regulasi emosi merupakan kemampuan yang fleksibel dan kemampuan yang bisa dilatih (Thompson, 2009). Regulasi emosi merupakan bagaimana kita mencoba untuk memengaruhi emosi yang kita miliki, ketika kita memiliki suatu emosi, dan bagaimana kita mengalami dan mengekspresikan emosi tersebut (Gross, 1998b). Regulasi emosi merupakan bagaimana seseorang mengarahkan tingkah laku mereka akibat situasi yang merangsang emosi. Regulasi emosi juga didefinisikan sebagai kontrol proses. Dengan demikian, regulasi emosi merupakan proses di mana orang mengarahkan kontrol atas perilaku mereka sendiri (Koole, Van Dillen, & Sheppes, 2011). . Menurut Gross dan Thompson (2007 dalam Lane, Beedie, Jones, Uphill & Devonport, 2011) regulasi emosi adalah penggunaan otomatis atau sengaja strategi untuk menginisiasi, mempertahankan, mengubah, atau menampilkan emosi. Strategi regulasi emosi, yaitu cognitive reappraisal yang merupakan suatu bentuk perubahan kognitif yang melibatkan penafsiran situasi yang berpotensi memunculkan emosi dengan cara mengubah dampak emosional (Lazarus & Alfert, 1964 dalam Gross & John, 2003), dan expressive suppression yang merupakan suatu bentuk modulasi respon yang melibatkan penghambatan perilaku emosi-ekspresif (Gross, 1998 dalam Gross & John, 2003). Jadi jika disimpulkan, regulasi emosi adalah bagaimana seseorang mengarahkan dan mengontrol tingkah lakunya dengan menggunakan strategi untuk mengawasi, mengevaluasi, dan memodifikasi tingkah laku akibat adanya situasi yang merangsang emosi untuk menyelesaikan suatu tujuan. Penelitian mengenai kecemasan performa musik menjadi sangat penting karena kecemasan performa musik (MPA) adalah sebuah fenomena psikologis yang relatif terabaikan yang jarang muncul dalam jurnal psikologi atau buku teks. Sampai saat ini, penelitian mengenai kecemasan performa musik telah difokuskan terutama pada musisi dewasa profesional dan amatir atau mahasiswa musik tingkat perguruan tinggi (Kenny & Osborne, 2006). Namun pada penelitian ini difokuskan kepada remaja, karena pada masa remaja, kegembiraan pada masa kanak-kanak untuk tampil di depan publik digantikan oleh kesadaran diri (Ely, 1991). Penelitian ini dilakukan kepada remaja yang paling tidak sudah pernah melakukan satu kali pertunjukkan musik serta merupakan performer solo, alasan serta karakteristik mengenai sampel penelitian akan dijelaskan lebih detail pada BAB III. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) yang dikembangkan oleh Gross dan John (2003) untuk mengukur regulasi emosi, dan Music 4
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
Performance Anxiety Inventory for Adolescents (MPAI-A) yang dikembangkan oleh Osborne dan Kenny (2005a dalam Kenny & Osborne, 2006) untuk mengukur kecemasan performa musik.
Tinjauan Teoritis Pengertian Emosi Sebelum membahas regulasi emosi, akan lebih baik untuk membahas tentang apa itu emosi. Carver dan Scheier (1990 dalam Gross, 1998b) melihat emosi sebagai pembacaan dari sebuah sistem yang memonitor tingkat di mana perbedaan antara tujuan dan realitas yang sedang menurun. Emosi mempunyai peran yang sangat menonjol dalam kehidupan seharihari, sehingga sulit membayangkan jika individu tidak memiliki emosi. Tanpa emosi, seseorang tidak akan merasa sedih bila mengalami kegagalan, merasa bahagia melihat dirinya berhasil dan sukses, atau merasa malu bila melakukan kesalahan di tempat umum (Gross, 1999). Oleh sebab itu, Gross berpendapat bahwa emosi dapat muncul dari suatu kejadian yang tidak biasa, ringan ataupun berat, atau kejadian yang bersifat pribadi maupun umum, sederhana maupun kompleks, kejadian sempit sampai luas (Gross, 1999). Perspektif fungsionalis kontemporer menekankan peran penting emosi bermain dalam kesiapan respon perilaku yang diperlukan, pengambilan keputusan, meningkatkan memori untuk peristiwaperistiwa penting, dan memfasilitasi interaksi interpersonal. Namun, emosi bisa juga menyulitkan, yaitu saat emosi terjadi pada waktu dan intensitas yang tidak tepat (Gross & Thompson, In Press). Pada saat emosi menyulitkan, kita mungkin sangat termotivasi untuk mencoba mengatur emosi kita.
Pengertian Regulasi Emosi Menurut pandangan evolusioner, regulasi emosi sangat diperlukan karena beberapa bagian otak manusia menginginkan individu melakukan sesuatu pada situasi tertentu, sedangkan bagian lainnya menilai bahwa rangsangan emosional ini tidak sesuai dengan situasi saat itu, sehingga membuat individu tersebut melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu (Gross, 1999). Berdasarkan peran penting emosi, individu banyak bergantung pada kemampuan untuk berhasil meregulasi emosi (Gross & Thompson, dalam Gross, 2007). Regulasi emosi diasumsikan menjadi faktor penting dalam menentukan kesejahteraan dan/atau fungsi kesuksesan (Ciccheti, Ackerman, & Izard, 1995; Thompson, 1991 dalam Garnefski, Kraaij, & Spinhoven, 2001). Emotion regulation atau bisa disebut juga dengan
5
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
regulasi emosi dibutuhkan setiap individu untuk mengarahkan dirinya untuk tetap fokus pada tujuan utama mereka. Berikut merupakan definisi regulasi emosi: “Emotion regulation, which refers to how we try to influence which emotions we have, when we have them, and how we experience and express these emotions.” (Gross, 1998b, hal. 275) “Emotion regulation research may illuminate how people direct their actions in emotion-arousing contexts.” (Koole, Van Dillen, & Sheppes, 2011, hal. 22) “Emotion regulation is by definition a control process. As such, emotion regulation belongs to a larger family of processes whereby people exert control over their own behavior.” (Koole, Van Dillen, & Sheppes, 2011, hal. 27) “The general concept of emotion regulation can be understood as ``all the extrinsic and intrinsic processes responsible for monitoring, evaluating and modifying emotional reactions, especially their intensive and temporal features, to accomplish one's goals'' (Thompson, 1994 dalam Garnefski, Kraaij, & Spinhoven, 2001, hal. 1311) “Emotion regulation is the automatic or deliberate use of strategies to initiate, maintain, modify or display emotions” (Gross & Thompson, 2007 dalam Lane, Beedie, Jones, Uphill & Devonport, 2011, hal. 14) Dari beberapa definisi di atas, regulasi emosi adalah bagaimana seseorang mengarahkan dan mengontrol tingkah lakunya saat merasakan sebuah emosi dengan menggunakan strategi untuk mengawasi, mengevaluasi, dan memodifikasi tingkah laku akibat adanya situasi yang merangsang emosi untuk menyelesaikan suatu tujuan.
Strategi-Strategi Regulasi Emosi Strategi regulasi emosi dapat dibedakan dengan kapan mereka memiliki dampak utama mereka pada proses emosi-generatif: 1. Cognitive reappraisal
6
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
Suatu bentuk perubahan kognitif yang melibatkan penafsiran situasi yang berpotensi memunculkan emosi dengan cara mengubah dampak emosional (Lazarus & Alfert, 1964 dalam Gross & John, 2003). 2. Expressive suppression Suatu bentuk perubahan respon yang melibatkan penghambatan perilaku emosiekspresif (Gross, 1998 dalam Gross & John, 2003).
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Regulasi Emosi Salah satu alat yang ampuh untuk memahami regulasi emosi adalah untuk memetakan perkembangan regulasi emosi. Sebagian besar literatur perkembangan pada regulasi emosi telah difokuskan pada periode dari bayi sampai remaja (Thompson, 1990, 1994 dalam Gross & Thompson, in press). Ini adalah periode penting karena saat temperamental, neurobiologis (misalnya, pengembangan lobus frontal), konseptual (misalnya, pemahaman proses emosional), dan kekuatan sosial (misalnya, keluarga, guru, dan teman sebaya) datang bersama-sama untuk meletakkan dasar bagi perbedaan individu dalam regulasi emosi yang kita amati pada orang dewasa (Calkins & Hill; Rothbart & Sheese; Thompson & Meyer dalam Gross & Thompson, in press). Faktor-faktor kontekstual dianggap penting dalam pengembangan regulasi emosi meliputi variasi dari pengaruh pengasuhan bayi dan anak kecil yang digunakan untuk mengelola emosi mereka; pertumbuhan bahasa dimana emosi dipahami, disampaikan, dan dikelola; pengaturan di mana ekspresi emosi mungkin memiliki hasil adaptif atau maladaptif; dan nilai-nilai budaya yang menentukan bagaimana emosi laki-laki dan perempuan harus diatur dalam konteks sosial.
Pengertian Kecemasan Kecemasan merupakan salah satu gangguan psikologis yang paling sering terjadi. Gangguan kecemasan sering ditemukan pada orang dewasa (Antony & Stein, 2009; Antony & Swinson, 2000c; Flint, 1994 dalam Kenny, 2011) dan anak-anak (Antony & Stein, 2009 dalam Kenny, 2011). Hampir setiap ilmuwan sosial mendiskusikan sifat dari kecemasan dan penyebabnya dan berusaha membedakan dengan konsep lainnya yang mirip seperti stres, takut, dan lain-lain (Kenny, 2011). Kecemasan merupakan isyarat peringatan adanya hal yang dapat mengancam nilai yang dianut untuk eksistensinya sebagai sebuah kepribadian. Karakteristik kecemasan adalah merasa ketidakpastian dan ketidakberdayaan menghadapi bahaya (Kenny, 2011). Kecemasan 7
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
didefinisikan sebagai kekhawatiran atas masalah yang diantisipasi (Kring, 2010). Sebaliknya, Fear didefinisikan sebagai reaksi terhadap ancaman bahaya. Psikolog fokus pada aspek "langsung" ketakutan dan aspek "diantisipasi" kecemasan. Takut berkaitan dengan ancaman yang terjadi sekarang, sedangkan kecemasan berkaitan dengan ancaman di masa depan. Dengan demikian, orang yang menghadapi beruang mengalami takut, sedangkan mahasiswa yang khawatir tentang kemungkinan pengangguran setelah lulus mengalami kecemasan. Kecemasan dan ketakutan tidak selalu buruk, pada kenyataannya kedua hal tersebut adaptif. Menurut Kring (2010), kecemasan adalah adaptif dalam membantu kita melihat dan merencanakan masa depan terhadap ancaman, yaitu untuk meningkatkan kesiapan, untuk membantu orang menghindari situasi yang berpotensi berbahaya, dan untuk memikirkan masalah potensial sebelum terjadi. Yerkes dan Dodson (1908 dalam Kring, 2010), menjelaskan kecemasan dengan kurva U terhadap performa, tidak adanya kecemasan adalah masalah, sedikit kecemasan adaptif, banyak kecemasan merugikan.
Pengertian Kecemasan Performa Hampir setiap individu yang tampil di depan publik, terlepas dari sifat performanya, mengalami beberapa derajat kecemasan performa (Ely,1991). Tidak semua performer merasa sangat positif dan bersemangat untuk tampil di depan publik. Bagi sebagian orang, pertunjukkan adalah ketakutan, dan tantangan yang luar biasa (Kenny, 2011). Definisi dari Kecemasan performa adalah “Performance anxiety is a disorder that affects individuals in a range of endeavors, from test taking, mathematics performance, public speaking, sport, and the performing arts in dance, acting, and music.” (Elliott & McGregor, 1999; Ashcraft & Faust, 1994; Merritt, Richards, & Davis, 2001; Hall & Kerr, 1998; Hanton, Mellalieu, & Hall, 2002; Tamborrino , 2001; Wilson, 2002; Deen, 2000; Ryan, 2003, dalam Kenny & Osborne, 2006, hal. 103). Jadi jika diartikan, kecemasan performa adalah sekelompok gangguan yang mempengaruhi individu dalam berbagai usaha, seperti menghadapi tes, performa matematika, berbicara di depan umum, olahraga, dan seni pertunjukan tari, akting, dan musik. Yerkes dan Dodson (1908, dalam Pargman, 2006) memberikan penjelasan mengenai hubungan antara rangsangan kecemasan dengan performa seseorang. Jika seseorang melihat sebuah situasi sebagai ancaman, maka akan timbul dorongan atau motif untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman tersebut. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara kecemasan dan performa kerja berbentuk kurva parabola (U-terbalik). Performa kerja 8
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
seseorang meningkat linear dengan peningkatan kecemasan sampai pada titik tertentu. Namun jika kecemasannya terus meningkat melewati titik optimum, akan menyebabkan penurunan performa. Jadi kecemasan diperlukan sampai titik tertentu untuk mengoptimalkan performa. Tidak adanya kecemasan adalah masalah, sedikit kecemasan adaptif, banyak kecemasan merugikan (Yerkes & Dodson, 1908 dalam Kring, 2010).
Pengertian Kecemasan Performa Musik Berikut adalah definisi dari kecemasan performa musik: “Music performance anxiety is the experience of marked and persistent anxious, apprehension related to musical performance that has arisen through underlying biological and/or psychological vulnerabilities and/or specific anxiety conditioning experiences. It is manifested through combinations of affective, cognitive, somatic, and behavioral symptoms. It may occur in a range of performance settings, but is usually more severe in settings involving high ego investment, evaluative threat (audience), and fear of failure. It may be focal (i.e. focused only on music performance), or occur comodbidly with other anxiety disorders, in particular social phobia. It affects musicians across the lifespan and is at least partially independent of years of training, practice, and level of musical accomplishment. It may or may not impair the quality of the musical performance” (Kenny, 2009b, p.433 dalam Kenny, 2011, hal. 83)
Jika diartikan, kecemasan performa musik adalah pengalaman cemas yang ditandai yang berkaitan dengan pertunjukan musik yang muncul melalui kerentanan biologis dan/atau psikologis dan/atau pengalaman pengkondisian cemas yang spesifik. Hal ini diwujudkan melalui kombinasi dari afektif, kognitif, somatik, dan tingkah laku. Dapat terjadi dalam keadaan yang melibatkan performa, tetapi biasanya lebih parah dalam keadaan yang melibatkan investasi atau penanaman ego yang tinggi, ancaman dievaluasi (penonton), dan takut akan gagal. Dapat menjadi hal yang focal (yaitu terfokus hanya pada pertunjukan musik), atau terjadi secara komorbid dengan gangguan kecemasan lain, khususnya fobia sosial. Ini memengaruhi musisi di seluruh jangka hidup dan setidaknya sebagian independen terhadap pelatihan, latihan, dan tingkat pencapaian musik. Mungkin dapat mempengaruhi performa musik. Performer musik menghadapi berbagai tekanan kerja dalam domain fisik, sosial, dan psikologis yang harus diatasi jika ingin karir musik mereka baik dan berkelanjutan (Kenny, 2011) 9
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
Model Kecemasan Barlow Model kecemasan Barlow (2000 dalam Kenny & Osborne, 2006) berguna dalam membantu pemahaman kita tentang kecemasan performa secara umum dan MPA pada khususnya. Modelnya mengusulkan serangkaian tiga kerentanan terpadu yang dapat menjelaskan terciptanya kecemasan, yaitu: 1. Kerentanan biologis umum (diwariskan). 2. Kerentanan psikologis umum berdasarkan pengalaman awal dalam mengembangkan kemampuan mengontrol pada suatu peristiwa yang menonjol. 3. Kerentanan psikologis yang lebih spesifik di mana kecemasan diasosiasikan dengan rangsangan lingkungan tertentu melalui proses belajar seperti responden atau vicarious conditioning.
Komponen Kecemasan Performa Musik Memahami komponen dari kecemasan performa dan mempelajari bagaimana cara untuk mengatasi efeknya merupakan tahap penting untuk meningkatkan performa musik. Ely (1991) mengungkapkan 4 komponen utama performance anxiety yaitu: 1. Komponen fisiologis (peningkatan detak jantung, berkeringat, bergetar, dan lain-lain). Komponen fisiologis dari kecemasan performa merupakan komponen yang paling mudah diukur dan diobservasi. 2. Komponen kognitif (pikiran dan kekhawatiran tentang situasi yang ada). 3. Komponen perilaku (mengubah cara berpikir dan berperilaku untuk menghindari penyebab situasi kecemasan). 4. Komponen psikologis (bagaimana persepsi akan situasi tertentu mempengaruhi respon individu).
Variabel yang Memengaruhi Kecemasan Performa Musik LeBlanc (1994), menyatakan bahwa terdapat sejumlah variabel yang dapat memengaruhi tingkat kecemasan performa musik seseorang. Variabel ini dapat berdiri sendiri dan dapat juga saling terintegrasi. Variabel-variabel ini tersusun ke dalam suatu hirarki yang dimulai dari tingkat ke sebelas sampai tingkat ke satu. Tingkatan tersebut menunjukkan pejalanan waktu yang diawali dengan persiapan pertunjukkan sampai pertunjukkan selesai.
10
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
Metode Penelitian Variabel penelitian ini adalah regulasi emosi dan kecemasan performa musik. Responden penelitian sebanyak 73 performer musik remaja yang paling tidak sudah pernah melakukan satu kali pertunjukkan musik. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik accidental sampling dan teknik snowball. Penelitian ini ialah penelitian korelasional, karena bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel, yaitu regulasi emosi dan kecemasan performa musik. Penelitian ini juga merupakan studi one-shot yang berarti penelitian ini hanya melakukan satu kali pengambilan data. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Partisipan diminta untuk mengisi alat ukur Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) yang dikembangkan oleh Gross dan John (2003) dan Music Performance Anxiety Inventory for Adolescents (MPAI-A) yang dikembangkan oleh Osborne dan Kenny et al., 2004 (dalam Kenny & Osborne, 2006). Kedua alat ukur tersebut digabungkan menjadi satu rangkaian kuesioner.. Dalam pengolahannya peneliti menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science).
Hasil Penelitian Untuk mengetahui hubungan antara regulasi emosi dan kecemasan performa musik dari sampel 73 responden, maka peneliti menggunakan teknik Pearson correlation. Berikut merupakan hasil perhitungan yang telah dilakukan:
Tabel 1 Hubungan antara Cognitive Reappraisal dengan Kecemasan Performa Musikal Variabel Cognitive Reappraisal dengan Music Performance Anxiety
r
Sig (p)
-0.027
0.818
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan Pearson’s product moment, didapatkan koefisien korelasi sebesar r = -0.027, dan tidak signifikan pada l.o.s 0.05 (p = 0.818). Analisis perhitungan ini memberikan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara cognitive reappraisal dalam regulasi emosi dengan kecemasan performa musik karena p > 0.05 yang menunjukkan Ho diterima dan Ha ditolak. Koefisien korelasi yang negatif menunjukkan bahwa arah hubungan antara cognitive reappraisal dan kecemasan performa musik memiliki hubungan yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kecenderungan seseorang mengubah kognitifnya untuk
11
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
menafsirkan kembali sebuah situasi, semakin rendah kecemasan performa musiknya, namun korelasi yang ada tidak signifikan.
Tabel 2 Hubungan antara Expressive Suppression dengan Kecemasan Performa Musikal Variabel Expressive Suppression dengan Music Performance Anxiety
r
Sig (p)
-0.045
0.707
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan Pearson’s product moment, didapatkan koefisien korelasi sebesar r = -0.045, dan tidak signifikan pada l.o.s 0.05 (p = 0.707). Analisis perhitungan ini memberikan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara expressive suppression dalam regulasi emosi dengan kecemasan performa musik karena p > 0.05 yang menunjukkan Ho diterima dan Ha ditolak. Koefisien korelasi yang negatif menunjukkan bahwa arah hubungan antara antara expressive suppression dan kecemasan performa musik memiliki hubungan yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kecenderungan seseorang menghambat ekspresi perilakunya, semakin rendah kecemasan performa musiknya, namun korelasi yang ada tidak signifikan.
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara cognitive reappraisal dalam regulasi emosi dengan kecemasan performa musik pada performer musik remaja. Ini berarti bahwa hipotesis null yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara cognitive reappraisal dalam regulasi emosi dan kecemasan performa musik pada performer musik remaja diterima. Berikutnya, tidak ada hubungan yang signifikan antara expressive suppression dalam regulasi emosi dengan kecemasan performa musik pada performer musik remaja. Ini berarti bahwa hipotesis null yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara expressive suppression dalam regulasi emosi dan kecemasan performa musik pada performer musik remaja diterima. Kedua hubungan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang negatif, jadi jika individu dapat meregulasi emosinya dengan baik, maka kecemasan performa musiknya akan berkurang, namun hasil pada penelitian ini tidak signifikan. Sehingga berdasarkan hal tersebut, setiap sub skala dari regulasi emosi atau penggunaan strategi
12
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
regulasi emosi tidak berhubungan dengan kecemasan performa musik. Ketika total skor dari setiap sub skala regulasi emosi tinggi, hal tersebut tidak berhubungan dengan kecemasan performa musik. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara regulasi emosi dan kecemasan performa musik. Sehingga peneliti perlu membahas banyak hal yang berkaitan dengan hasil penelitian ini. Penelitian ini dilakukan karena belum adanya penelitian yang membahas hubungan regulasi emosi dengan kecemasan performa musik, sehingga belum ada hal-hal yang menguatkan atau dapat menjelaskan hubungan ini. Penelitian berangkat dengan dasar berpikir bahwa kecemasan performa timbul akibat merasakan suatu situasi darurat, individu menanggapi secara emosional persepsi situasi darurat tersebut (Ely, 1991), oleh karena individu menanggapi secara emosional, maka individu perlu meregulasi emosinya dengan baik. Kemudian Kenny (2011) menggambarkan proses pembelajaran emosional yang terjadi pada pertunjukkan musik memperoleh sifat emosional melalui pengkondisian respons takut. Hal ini berdasarkan pengalaman masa lalu, modeling, dan rangsangan rasa takut yang mengarah ke pengembangan dari pemaknaan cemas. Ia menekankan bahwa terdapat kebutuhan untuk mengurangi kecemasan sebelum perasaan takut yang timbul karena adanya bahaya nyata dan perasaan takut akibat respon yang terjadi karena tidak adanya bahaya nyata dalam situasi performa, serta respon dari kondisi kecemasan terhadap kinerja. Berdasarkan hal tersebut, identifikasi akan kebutuhan regulasi emosi untuk mengurangi pengembangan dan tingkat kecemasan sebelum respon kecemasan menjadi termanifestasi mempengaruhi kinerja merupakan suatu hal yang perlu dilakukan. Mungkin terdapat kesalahan dengan penalaran ini, karena banyaknya faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan performa musik, dan regulasi emosi hanya menyelesaikan salah satu masalah yang dapat mengontrol kecemasan performa musik dan masih banyak lagi sumber kecemasan yang tidak terselesaikan dengan regulasi emosi. Pembahasan pertama yang peneliti lakukan adalah Caske dan Craig (1984 dalam Kenny, 2006) membandingkan performer-performer musik yang memiliki trait anxiety yang tinggi dan trait anxiety yang rendah pada saat tampil dalam situasi menekan yang melibatkan evaluasi terhadap penampilan mereka. Hasilnya adalah individu yang memiliki trait anxiety yang rendah mengalami peningkatan detak jantung tetapi tidak menunjukkan simtom kognitif atau perilaku dalam performanya, sedangkan individu yang memiliki trait anxiety yang tinggi mengalami peningkatan simtom pada semua area (biologis, kognitif, dan perilaku).
13
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
Berdasarkan hal tersebut mungkin penelitian ini menjadi tidak signifikan karena tidak adanya assessment terlebih dahulu kepada calon partisipan, apakah partisipan tersebut memiliki trait anxiety yang tinggi atau tidak. Mungkin jika dilakukan hal ini sebelumnya, penelitian ini akan dilakukan kepada partisipan yang memiliki trait anxiety yang rendah, sehingga kecemasan yang timbul hanya karena situasi untuk tampil. Hal ini juga sesuai dengan penjelasan mengenai regulasi emosi yang dapat mengarahkan perilaku individu dalam konteks rangsangan emosi (Koole, Van Dillen, Sheppes, 2011), dan rangsangan emosi ini adalah situasi yang dianggap darurat dalam pertunjukkan musik. Berdasarkan data gambaran umum partisipan, skor kecemasan yang diperoleh cenderung berada pada jawaban-jawaban “agak tidak setuju” mengarah ke “agak setuju”, yang berarti berada pada tengah-tengah namun cenderung cukup cemas. Mungkin penggunaan strategi regulasi emosi bisa sangat terlihat jika mendapatkan sekumpulan data partisipan yang cenderung ekstrim, seperti rata-rata menjawab “sangat setuju”, atau sebaliknya. Hal ini baru bisa dilakukan jika melihat kepada state dan trait kecemasannya terlebih dahulu seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Kemudian berkaitan dengan hasil yang tidak signifikan adalah melihat pada 3 fungsi utama emosi menurut Bretherton et al. (1986 dalam Santrock, 2001), yaitu adaptasi dan ketahanan hidup, regulasi, dan komunikasi. Pada penelitian ini hanya dibahas tentang regulasi emosi saja, mungkin untuk mengatasi MPA, di mana MPA timbul akibat merasakan suatu situasi darurat, dan individu menanggapi secara emosional persepsi situasi darurat tersebut (Ely, 1991). Tanggapan emosi ini mungkin bisa diatasi tidak hanya dengan bagaimana seseorang meregulasi emosi, tetapi bisa jadi dilihat bagaimana individu beradaptasi dengan pengalaman kecemasan tersebut dan mampu bertahan dalam bidang musik. Adaptasi ini juga tentu didukung oleh faktor-faktor yang memengaruhi MPA (seperti, kemampuan di bidang musik), dengan kemampuan di bidang musik individu berusaha untuk beradaptasi dengan segala situasi pertunjukkan musik. Tanggapan emosi ini juga mungkin bisa diatasi dengan bagaimana individu tersebut bisa berkomunikasi dengan penonton menggunakan musiknya, sehingga emosinya terlepaskan dan mengontrol kecemasannya. Hal ini juga didukung oleh faktor-faktor yang memengaruhi MPA (seperti, kemampuan di bidang musik), dengan kemampuan di bidang musik tersebut, individu mampu menunjukkan performa yang lebih baik dan menyampaikan pesan dalam musik yang dimainkan. Berkaitan dengan banyaknya faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan performa musik. Masih banyak faktor yang perlu dikontrol pada penelitian ini, terutama konteks pertunjukkan, karena terdapat kemungkinan perbedaan persepsi situasi pertunjukkan dari setiap partisipan. Perbedaan persepsi situasi ini seperti jumlah penonton, hanya konser di 14
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
sekolah atau konser besar di luar sekolah, situasi perlombaan atau bukan, dan lain sebagainya. Sehingga yang mungkin dilakukan pada penelitian berikutnya adalah dibuatkan sebuah skenario situasi, agar tidak ada perbedaan persepsi situasi pertunjukkan. Pembahasan penting berikutnya adalah melihat pada ungkapan Yerkes dan Dodson (1908 dalam Kring, 2010) yang menjelaskan kecemasan dengan kurva U terhadap performa, tidak adanya kecemasan adalah masalah, sedikit kecemasan adaptif, banyak kecemasan merugikan. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara kecemasan dan performa kerja berbentuk kurva parabola (U-terbalik). Performa kerja seseorang meningkat linear dengan peningkatan kecemasan sampai pada titik tertentu. Namun jika kecemasannya terus meningkat melewati titik optimum, akan menyebabkan penurunan performa. Jadi kecemasan diperlukan sampai titik tertentu untuk mengoptimalkan performa. Sehingga mengatasi kecemasan performa musik bukan hanya sekedar melihat individu mampu meregulasi emosi untuk menurunkan atau meningkatkan kecemasannya, tetapi bagaimana individu mampu mengontrol kecemasannya pada titik tertentu. Hasil pada penelitian ini adalah hubungan tidak signifikan yang negatif antara dua strategi regulasi emosi dengan kecemasan performa musik. Maksud dari kata negatif tersebut adalah jika individu mendapat skor yang tinggi pada strategi regulasi emosi berarti kecemasan menurun, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan teori Yerkes dan Dodson (1908 dalam Kring, 2010), seharusnya hubungan antara regulasi emosi dan kecemasan performa musik adalah dengan tingginya regulasi emosi bukan hanya menurunkan kecemasan pada individu yang mendapatkan skor tinggi pada kecemasannya, tetapi juga meningkatkan kecemasan pada individu yang tidak merasa cemas sama sekali namun sampai titik optimum. Dalam hal ini perlu dibuat alat ukur yang lebih spesifik untuk dapat melihat hubungan dua variabel tersebut, yang dapat mengukur sejauh mana penggunaan strategi regulasi emosi dapat mengontrol kecemasan performa musik pada titik optimum. Mungkin dengan adanya alat ukur apakah seseorang sudah mampu mengontrol kecemasan performa musiknya pada titik optimum, lalu dilihat bagaimana penggunaan strategi regulasi emosinya. Jika hasilnya individu sudah mendapatkan skor tinggi pada salah satu atau kedua strategi regulasi emosi, serta individu mempunyai skor tinggi juga bahwa ia bisa mengontrol kecemasan performa musik pada titik optimum, baru dapat terlihat hubungan antara regulasi emosi dengan kecemasan performa musik.
Saran Pada penelitian kecemasan performa musik, penting untuk melakukan assessment state
15
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
and trait anxiety terlebih dahulu. Hal ini penting karena jika individu cenderung mempunyai trait anxiety yang tinggi akan tinggi pula kecemasan performa musiknya. Jadi bisa dilihat perbedaan regulasi emosi antar individu yang memiliki trait anxiety yang tinggi dan yang tidak. Hal ini bisa memperkaya penelitian seperti ini. Memahami teori secara lebih luas lagi, seperti pada penelitian ini yang membahas regulasi emosi, perlu memahami juga secara dalam mengenai emosi itu sendiri (seperti, fungsi emosi). Menemukan alat ukur yang sangat sesuai untuk penelitian sejenis, seperti alat ukur untuk melihat apakah seseorang sudah mampu mengontrol kecemasan sampai pada titik optimum atau belum. Penelitian sejenis atau berkaitan dengan regulasi emosi dan kecemasan peforma musik perlu dikembangkan dengan pendekatan kualitatif lebih dalam lagi, agar bisa menggali perasaaan serta keunikan setiap individu. Hal ini perlu dilakukan karena, faktor yang memengaruhi partisipan sangat banyak, dan regulasi perlu untuk dilihat bagaimana prosesnya. Pada penelitian ini, kontrol mengenai situasi pertunjukkan tidak dilakukan karena sulit untuk melakukan kontrol tersebut. Pada penelitian berikutnya mungkin akan lebih baik jika dibuatkan sebuah skenario situasi, agar tidak ada perbedaan persepsi situasi pertunjukkan Kepustakaan Aiken, L. R. & Groth-Marnat, G. (2006). Psychological testing and assessment, 12th edition. USA: Pearson Education Group, Inc. Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological testing, 7th edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Bryman, A. & Cramer, D. (2001). Quantitative Data Analysis with SPSS 12 and 13. New York: Routledge Taylor & Francis Group. Cohen, R. J. & Swerdlik, M. (2010). Psychological testing and assessment: an introduction to tests and measurements (7th ed.). New York: McGraw-Hill Ely, M. C. (1991). Stop Performance Anxiety! Music Educators Journal , 78, 35-39. Garnefski, N., Kraaij, V., & Spinhoven, P. (2001). Negative Life Events, Cognitive Emotions Regulations and Emotional Problems. Personality and Individual Differences, 30 (2001) 1311-1327. Godlovitch, S. (1998). Musical Performance. London: Routledge. Goldin, P. R., K. McRae, et al. (2008). "The neural bases of emotion regulation: reappraisal and suppression of negative emotion." Biol Psychiatry 63(6): 577-86. Gravetter, F. J. & Forzano, L. B. (2009). Research methods for the behavioral sciences. USA: 16
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
Wadsworth. Gravetter, F. J. & Wallnau, L. B. (2007). Essential of statistics for the behavioral sciences, 6th ed. USA: Thomson Wadsworth. Gross, J. J. (1999). Emotion and emotion regulation. Dalam L. A. Pervin, & D. P. John (Ed.). Theory and Research (2nd Edition) (P.525-552). New York: Guilford. Gross, J. J., & John, O. P. (2003). Individual Differences in Two Emotion Regulation Processes: Implications for Affect, Relationships, and Well-Being . Journal of Personality and Social Psychology , 85, 348-362. Gross, J.J., & Thompson, R.A. (in press). Emotion regulation: Conceptual foundations. Dalam J.J. Gross (Ed.), Handbook of emotion regulation. New York: Guilford Press. Gross, J. J. (1998b). The emerging field of emotion regulation: an integrative review. Review of General Psychology, 2, 271-299. Gross, J, J. (n.d.). Emotion Regulation. Dalam M. Lewis, M. Haviland-Jones, & L. F. Barret, Handbook of Emotions (hal. 497-512). New York: The Guilford Press. Hanna-Pladdy, B., & Mackay, A. (2011). The Relation Between Instrumental Musical Activity and Cognitive Aging. American Psychological Association, 25, 378-386. Hoffman, S. L., & Hanrahan, S. J. (2012). Mental Skills for Musicians: Managing Music Performance Anxiety and Enhancing Performance. Sport, Exercise, and Performance Psychology , 1, 17-28. Kaplan, R. M., & Saccuzzo, D., P. (2005). Psychological testing: Principles, applications, and issues. Belmont: Wadsworth Kenny, D. T. (2011). The Psychology of Music Performance anxiety. New York: Oxford University Press. Kenny, D. T., & Osborne, M. S. (2006). Music performance anxiety: New insights from young musicians . Advances in Cognitive Psychology , 2, 103-112. Koole, S. L., Van Dillen, L. F. & Sheppes, G. (2011). The Self-Regulation of Emotion. Dalam K. D. Vohs & R. F. Baumeister, Handbook of self-regulation: Research, theory, and applications (2nd edition) (hal. 81-99). New York: The Guilford Press. Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. C., & Neale, J. M. (2010). Psychology, Abnormal. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Kumar, R. (2005). Research methodology: A step by step guide for beginners. London: SAGE Publications. Lane, A., Beedie, C., Jones, M., Uphill, M., & Devonport, T. (2011). The BASES Expert Statemet on Emotion Regulation in Sport. The Sport and Exercise Scientist (29), 14-15. 17
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014
LeBlanc, A. (1994). A Theory of Music Performance Anxiety. The Quarterly , 60‐ 68. Miller, M. (2005). The Complete Idiot’s Guide to Music 2nd Edition. USA: Alpha Penguin Group. Murphy, K. R. & Davidshoter, C. O. (2001). Psychological testing: principles and applications (5th ed.). New Jersey: Prentice Hall Pargman, D. (2006). Managing Performance Stress: Models and Methods. New York: Taylor & Francis Group, LLC. Picard, A. (1999). Qualitative Pedagogical Inquiry into Cognitive Modulation of Musical Performance Anxiety. Bulletin of the Council for Research in Music Education , 62-76. Pisitsungkagarn, K., & Busayaprateep, P. Emotion Regulation: A Critical Review of Crosscultural Validity of Emotion Suppression . The Asian Conference on Psychology & the Behavioral Sciences 2013 (pp. 291-301). Osaka: Official Conference Proceedings 2013. Rottenberg, J., & Gross, J. J. (2007). Emotion and Emotion Regulation: A Map for Psychotherapy Researchers. South Florida: Blackwell Publishing. Ryan, C., & Andrews, N. (2009). An Investigation into the Choral's Singers's Experience of Music Performance Anxiety. Journal of Research in Music Education , 57, 108-126. Santrock, J. W. (2001). Adolescence (8th Edition). New York: McGraw-Hill. Sarwono, S. W. (2001). Psikologi Remaja. Jakarta: Radja Grafindo Persada. Seashore, C. E. (1938). Psychology of Music. New York: McGraw-Hill. Thompson, E. (2009). Contemplative Neuroscience as an Approach to Volitional Consciousness. In N. Murphy, G. Ellis, O. ’. R., & Timothy, Downward Causation and the Neurobiology of Free Will (pp. 187-197). Berlin: Springer.
18
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Panji Muhammad Rifqi, FPSI, 2014