Hubungan antara Gratitude dengan Coping pada Mahasiswa Penerima Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi) Ribka Amanda, Lifina Dewi Pohan, Adhityawarman Menaldi Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara gratitude dengan coping pada mahasiswa penerima Bidikmisi. Sebanyak 100 partisipan yang merupakan mahasiswa penerima Bidikmisi di Universitas Indonesia angkatan 2011 hingga 2014 diminta untuk mengisi kuesioner gratitude dan coping. Pengukuran gratitude menggunakan The Gratitude Questionnaire-Six Item Form (GQ-6) yang disusun oleh McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) dan pengukuran coping dilakukan dengan menggunakan The Brief COPE yang dikembangkan oleh Carver (1997). Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara gratitude dengan coping pada mahasiswa penerima Bidikmisi (p >.01). Artinya, tinggi rendahnya tingkat gratitude individu tidak dapat memprediksi tinggi rendahnya tingkat coping yang dilakukan individu saat menghadapi masalah. Hasil penelitian ini juga menemukan hubungan yang positif dan signifikan antara gratitude dengan problemfocused coping maupun adaptive coping (p <.01). Kata kunci : adaptive coping; Bidikmisi; coping; gratitude; problem-focused coping Abstract The purpose of this research is to examine the relationship between gratitude and coping among Bidikmisi student. A total of 100 participants, who are Bidikmisi recipients and Universitas Indonesia’s students class of 2011-2014, were asked to fill out a questionnaire which assesses gratitude and coping. Gratitude was measured using The Gratitude Questionnaire-Six Item Form (GQ-6) created by McCullough, Emmons, and Tsang (2002), and coping was measured using The Brief Cope created by Carver (1997). The results do not indicate a significant relationship between gratitude and coping among Bidikmisi student (p >.01), that is, gratitude does not predict coping. In addition, positive and significant correlations were found between gratitude and problem-focused coping, as well as adaptive coping (p <.01). Keywords: adaptive coping; Bidikmisi students; coping; gratitude; problem-focused coping
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Pendahuluan Beasiswa merupakan salah satu jawaban atas kebutuhan finansial mahasiswa tidak mampu di Indonesia. Sejak tahun 2010, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional telah memberikan bantuan program Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi). Bidikmisi merupakan pemberian bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dan biaya hidup kepada mahasiswa yang memiliki potensi akademis baik, tetapi tidak mampu secara ekonomi (Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional, 2014). Berbeda dari beasiswa pada umumnya yang berfokus pada pemberian penghargaan kepada mahasiswa berprestasi, Bidikmisi adalah bantuan biaya pendidikan yang memfasilitasi mahasiswa dengan keterbatasan finansial untuk mengenyam pendidikan tinggi (www.bidikmisi.dikti.go.id). Walau demikian, keterbatasan finansial tidak menjadi faktor tunggal dalam proses seleksi penerima Bidikmisi. Mahasiswa penerima Bidikmisi terseleksi ialah mereka yang benar-benar mempunyai kemauan untuk menyelesaikan pendidikan tinggi. Sejak pertama kali diselenggarakan hingga saat ini, jumlah mahasiswa yang menerima Bidikmisi terus bertambah. Di tahun 2013, Ditjen Dikti memberikan Bidikmisi kepada 150 ribu mahasiswa. Jumlah tersebut meningkat menjadi 160 ribu mahasiswa di tahun 2014 (Ningtyas, 2014). Program Bidikmisi membuka kesempatan yang lebih luas kepada mahasiswa tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Seiring dengan kesempatan tersebut, tanggung jawab dan tuntutan besar pun menanti mahasiswa penerima Bidikmisi. Dari segi akademis, mahasiswa penerima Bidikmisi harus menjaga Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) agar tidak berada di bawah 3,00. Terdapat monitoring Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan Indeks Prestasi Semester (IPS) penerima beasiswa per semester melalui pelaporan IPK yang dikirimkan pihak perguruan tinggi ke Dikti (www.bidikmisi.dikti.go.id). Di saat yang bersamaan, mahasiswa penerima Bidikmisi juga dituntut untuk aktif di dalam kegiatan kurikuler, co-kurikuler, dan ekstrakurikuler (Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional, 2014). Dengan demikian, selain mengikuti kegiatan perkuliahan di dalam kelas, mereka juga dituntut untuk aktif berorganisasi di dalam atau di luar kampus. Apabila mahasiswa penerima Bidikmisi tidak mampu memenuhi tuntutan yang diberikan, beasiswa mereka terancam dicabut. Selain tantangan-tantangan di atas, mahasiswa penerima Bidikmisi juga masih memiliki beberapa masalah yang seringkali mereka hadapi. Menurut psikolog BKM UI, IM, salah satu hambatan terbesar para mahasiswa penerima Bidikmisi adalah masalah finansial (Marella, 2013). Pengiriman uang tunjangan bulanan terkadang tidak dilakukan dengan tepat
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
waktu. Hal tersebut membuat mahasiswa harus berpandai-pandai dalam mengatur keuangan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang harus mencari pekerjaan sampingan untuk tetap bertahan hidup dan membiayai keperluan kuliah. Di sisi lain, kondisi keuangan keluarga yang miskin secara ekonomi membuat mahasiswa penerima Bidikmisi terkadang harus merelakan uang tunjangan bulanan mereka diberikan kepada keluarga di rumah (Marella, 2013). Menurut Lazarus (dalam Carver, Weintraub & Scheier, 1989), saat menghadapi stres individu akan berusaha memilih satu respons dari berbagai alternatif respons yang dimilikinya dan berupaya menjalankannya. Upaya individu dalam menghadapi situasi yang menimbulkan stres tersebut disebut coping. Menghadapi tuntutan eksternal maupun internal dalam suatu situasi yang menimbulkan stres, individu memiliki dua alternatif pilihan coping, yakni problem-focused coping dan emotion-focused coping (Lazarus & Folkman dalam Carver, Weintraub, & Scheier, 1989). Problem-focused coping merupakan tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah ataupun mencari informasi yang relevan dengan solusi, sementara emotion-focused coping merupakan usaha untuk mengurangi reaksi emosional negatif yang ditimbulkan oleh stres. Menurut Peterson dan Seligman (2004), di tengah ketidakberdayaannya manusia selalu memiliki kesempatan untuk melihat hidup secara lebih positif. Kekuatan dan keutamaan karakter merupakan kunci kesehatan mental, di mana melaluinya individu dapat menggunakan potensi yang ia miliki dengan maksimal. Menurut Park, Peterson, dan Seligman (dalam Krause, 2006), gratitude merupakan salah satu kekuatan yang paling memberikan keuntungan bagi diri individu. Emmons dan McCullough (2004) menerangkan bahwa gratitude merupakan sebuah respons positif terhadap sebuah hadiah atau keberuntungan, di mana di dalamnya terdapat kebahagiaan dan rasa berterima kasih. Menurut Emmons (2013), tekanan dan penderitaan yang dialami manusia pada dasarnya dapat membantu individu untuk menumbuhkan atau memperdalam gratitude. Ketika kehidupan berjalan dengan baik tanpa masalah yang berarti, individu cenderung menyepelekan dan menyia-nyiakan berbagai hal yang dimilikinya, serta menganggap dirinya tak tergoyahkan. Sebaliknya, di masa-masa yang penuh dengan ketidakpastian, manusia akan menyadari ketidakberdayaannya dalam mengendalikan takdirnya. Melalui berbagai situasi tersebut, manusia belajar untuk tidak menyia-nyiakan apa yang dimilikinya. Berbagai masalah dan tekanan dapat membuat individu mengalami gratitude. Di samping itu, berbagai penelitian lain telah menunjukkan bahwa gratitude dapat membantu individu dalam melakukan coping (Emmons, 2013). Sebagai trait, gratitude juga merupakan salah satu faktor kepribadian yang dapat memengaruhi coping (Wood, Joseph, & Linley,
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
2007). Penelitian yang dilakukan Wood, Joseph, dan Linley (2007) terhadap mahasiswa di Amerika Serikat menemukan bahwa individu yang bersyukur lebih cenderung melakukan coping positif daripada menghindari masalah yang dihadapinya. Lebih lanjut, menurut Watkins (2014), berbagai studi juga menunjukkan bahwa coping yang efektif merupakan salah satu karakteristik yang paling menonjol dari individu yang bersyukur. Individu yang bersyukur mampu melakukan coping secara efektif karena ia cenderung memandang situasi negatif dengan lebih positif. Individu yang bersyukur akan lebih mampu melakukan coping dalam situasi yang buruk, menyadari dan mengingat kejadian-kejadian positif, memperluas jaringan sosialnya, serta mencegah timbulnya depresi dalam dirinya (Watkins, Woodward, Stone & Kolts, 2003). Watkins et. al. (2003) juga menambahkan, gratitude dapat mendorong individu untuk lebih menyadari dan mensyukuri kehidupannya, termasuk hal-hal kecil sekalipun. Meski saat ini penelitian terkait manfaat-manfaat dari gratitude sedang berkembang, belum banyak penelitian yang berusaha mempelajari coping sebagai salah satu psychological resources pada individu yang bersyukur (Wood, Joseph & Linley, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wood, Joseph, dan Linley (2007) telah menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara gratitude dengan coping. Penelitian tersebut dilakukan di Amerika Serikat dengan menggunakan mahasiswa Fakultas Psikologi sebagai sampel penelitiannya. Respons yang dimunculkan mahasiswa Fakultas Psikologi untuk menghadapi stressor dapat berbeda dengan mahasiswa pada umumnya yang tidak mempelajari perilaku manusia, regulasi emosi, serta mekanisme coping dalam kesehariannya. Selain itu, stres tidak hanya menjadi masalah bagi populasi mahasiswa Fakultas Psikologi, melainkan juga seluruh mahasiswa lain. Dari paparan di atas, peneliti tertarik untuk mempelajari hubungan antara gratitude dengan coping pada mahasiswa di Indonesia. Bagaimana individu merespons karunia yang diperolehnya tentu berbeda-beda antar budaya, oleh karenanya hasil penelitian Wood, Joseph, dan Linley (2007) tersebut belum tentu dapat digeneralisasikan pada populasi lain. Penelitian ini secara khusus akan dilakukan terhadap mahasiswa penerima Bidikmisi karena mahasiswa penerima Bidikmisi memiliki stressor yang lebih banyak dari mahasiswa lain pada umumnya. Selain itu, bagaimana mahasiswa tersebut melakukan coping saat menghadapi masalah juga menjadi penting untuk diteliti karena hal tersebut dapat memengaruhi keberlangsungan beasiswa yang mereka peroleh. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk mempelajari hubungan antara gratitude dan coping pada mahasiswa penerima Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi).
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Tinjauan Teoritis Gratitude Secara etimologis kata gratitude berasal dari bahasa Latin, gratia, yang berarti keanggunan atau keberterimakasihan. Gratitude dapat dipandang sebagai suatu short-term emotional state atau affective trait (Peterson & Seligman, 2004). McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) menggunakan istilah grateful disposition untuk menggambarkan gratitude sebagai affective trait. Mereka mendefinisikan grateful disposition sebagai kecenderungan individu untuk mengenali dan merespons kebaikan dan manfaat yang didapatkan dari orang lain dengan emosi positif. Sebagai emotional state, gratitude merupakaan keadaan yang dihasilkan dari atribusi yang dilakukan individu dalam proses kognitif. Weiner (dalam McCullough et. al., 2001) mendefinisikan gratitude sebagai emosi yang dihasilkan ketika individu mengatribusikan keadaannya yang menguntungkan kepada tindakan atau usaha yang dilakukan oleh orang lain. Individu dapat dikatakan bersyukur ketika ia menyadari dan menghargai hal-hal positif yang terjadi padanya, serta mengekspresikan rasa berterima kasih tersebut sebagai tanggung jawabnya. Terdapat tiga komponen dari gratitude yang dikemukakan oleh Fitzgerald (dalam Emmons & McCullough, 2004; Peterson & Seligman, 2004), yaitu: 1) Rasa apresiasi yang hangat untuk seseorang atau sesuatu, meliputi perasaan cinta dan kasih sayang. Individu yang bersyukur akan merasa bahagia dan memunculkan rasa apresiasi yang hangat ketika memperoleh suatu kebaikan atau keberuntungan; 2) Niat baik (goodwill) yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu. Setelah adanya suatu rasa apresiasi, individu yang bersyukur akan memiliki suatu perasaan untuk berkehendak baik, baik terhadap individu yang telah terlebih dahulu memberikan kebaikan kepadanya, maupun kepada individu lain; 3) Kecenderungan untuk bertindak positif berdasarkan rasa apresiasi dan kehendak baik. Individu yang bersyukur akan memunculkan tindakan-tindakan positif karena adanya penghargaan dan perasaan untuk berkehendak baik yang dirasakan sebelumnya. Emmons dan McCullough (2004) memandang gratitude sebagai suatu disposisi yang memiliki empat faset. Pengukuran gratitude dapat dilakukan berdasarkan faset-faset tersebut. Keempat faset disposisi gratitude tersebut ialah: 1) Gratitude intensity. Ketika individu dengan disposisi gratitude yang tinggi mengalami kejadian positif, ia diperkirakan akan lebih merasa bersyukur dibandingkan orang lain dengan disposisi gratitude yang rendah; 2) Gratitude frequency. Individu dengan disposisi gratitude yang tinggi akan lebih sering melaporkan perasaan bersyukur dalam rentang waktu tertentu; 3) Gratitude span. Individu
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
dengan disposisi gratitude yang tinggi dapat merasa bersyukur pada lebih banyak aspek kehidupan, seperti keluarga, pekerjaan, kesehatan, dan lainnya; 4) Gratitude density. Individu dengan disposisi gratitude yang tinggi, ketika mendapatkan kebaikan, akan berterima kasih kepada lebih banyak pihak dibandingkan dengan individu yang memiliki disposisi gratitude yang rendah. Coping Menurut Lazarus dan Folkman (1984), terdapat tiga proses yang berlangsung dalam penilaian individu terhadap stres. Tahap pertama, primary appraisal, merupakan proses mempersepsi keberadaan suatu ancaman. Tahap kedua, secondary appraisal, merupakan proses memikirkan respons potensial yang dapat dimunculkan untuk menghadapi ancaman tersebut. Tahap terakhir, coping, ialah proses pengeksekusian respons terpilih. Lazarus dan Folkman mendefinisikan coping sebagai tingkah laku dan cara pandang yang secara konstan berubah untuk mengatur tuntutan eksternal dan/atau internal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya dari individu. Saat menghadapi situasi yang menimbulkan stres, individu dapat melakukan coping dengan berbagai cara. Terdapat dua alternatif pilihan coping yang diklasifikasikan oleh Lazarus dan Folkman (1984), yakni problem-focused coping dan emotion focused coping. Problem-focused coping merupakan tindakan langsung yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah ataupun mencari informasi yang relevan dengan solusi. Sementara itu, emotionfocused coping merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi reaksi emosional negatif yang ditimbulkan oleh stres. Carver (1997) mengembangkan rumusan dua jenis coping yang telah dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman sebelumnya. Ia membagi coping menjadi 14 dimensi, yaitu active coping, planning, self-distraction, denial, substance use, use of emotional support, use of instrumental support, behavioral disengagement, venting, positive reframing, humor, acceptance, religion, dan self-blame. Gratitude dan Coping pada Mahasiswa Penerima Bidikmisi Seperti semua mahasiswa dan manusia, seorang penerima Bidikmisi tidak terlepas dari berbagai masalah dalam kesehariannya. Seringkali mahasiswa dihadapkan dengan berbagai masalah, baik masalah akademis, hubungan interpersonal, kesehatan, finansial, dan lain-lain. Dengan status penerima Bidikmisi yang diembannya, mahasiswa penerima Bidikmisi juga secara otomatis memiliki tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhinya, antara lain menjaga
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) agar tidak berada di bawah 3,00 dan aktif di dalam kegiatan kurikuler, co-kurikuler, dan ekstrakurikuler. Berbagai masalah dan tuntutan yang ada mendorong mahasiswa untuk melakukan coping dengan berbagai cara. Meski demikian, di tengah situasi yang menimbulkan stres sekalipun, mahasiswa memiliki kesempatan untuk memandang hidup secara lebih positif dan menunjukkan respons yang lebih positif, seperti gratitude. Tidak jarang, di tengah tekanan dan penderitaannya, individu justru belajar untuk tidak menyia-nyiakan apa yang dimilikinya dan pada akhirnya mengalami gratitude (Emmons, 2013). Gratitude merupakan respons yang dihasilkan ketika individu menyadari dan menghargai hal-hal positif yang terjadi padanya, serta mengekspresikan rasa berterima kasih tersebut sebagai tanggung jawabnya (Peterson & Seligman, 2004; Emmons & McCullough, 2004). Berbagai masalah dan tekanan dapat membuat individu mengalami gratitude, namun tidak hanya itu, gratitude juga dapat membantu individu dalam melakukan coping, bahkan gratitude merupakan salah satu faktor yang memungkinkan individu untuk melakukan coping secara efektif (Watkins, 2014). Sebagai trait, gratitude merupakan salah satu faktor kepribadian yang dapat memengaruhi coping (Wood, Joseph, & Linley, 2007). Individu yang memandang kehidupan sebagai suatu karunia akan mampu menemukan manfaat dan keuntungan dari kondisi kehidupan yang menyulitkannya sekalipun. Individu yang bersyukur juga lebih cenderung melakukan coping positif daripada menghindari masalah yang dimilikinya, bahkan dapat dikatakan bahwa coping yang efektif merupakan salah satu karakteristik yang paling menonjol dari individu yang bersyukur (Watkins et. al., 2003). Individu yang bersyukur mampu melakukan coping secara efektif karena ia cenderung menilai situasi negatif dengan lebih positif. Metode Penelitian Partisipan Penelitian Karakteristik partisipan penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Indonesia berstatus aktif, yang menerima bantuan program Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi) dari Ditjen Dikti. Prosedur dan Teknik Pengambilan Sampel Prosedur pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini ialah probability sampling. Prosedur tersebut digunakan karena dalam penelitian ini besar populasi diketahui secara pasti dan seluruh anggota dari populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
sampel (Gravetter & Forzano, 2009). Teknik pengambilan sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah proportionate stratified random sampling, di mana proporsi subgroup di dalam sampel dibuat menyerupai proporsi subgroup pada populasi secara keseluruhan (Gravetter & Forzano, 2009). Teknik tersebut dipilih untuk memperoleh jaminan bahwa komposisi dari sampel benar-benar mewakili populasi penelitian dan bersifat representatif (Gravetter & Forzano, 2009). Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengambilan data dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini ialah alat ukur The Gratitude Questionnaire-Six Item Form (GQ-6) yang disusun oleh McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) dan The Brief COPE yang dikembangkan oleh Carver (1997). GQ-6 terdiri dari enam item yang mengukur empat faset dari disposisi gratitude, yakni gratitude intensity, gratitude frequency, gratitude span, dan gratitude density. Peneliti melakukan uji coba alat ukur kepada 30 partisipan untuk mengukur kembali validitas dan reliabilitas dari GQ-6 yang akan digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan pengujian reliabilitas dengan menggunakan metode cronbach alpha, alat ukur ini memperoleh koefisien reliabilitas sebesar α = 0,781 Sementara itu, pengujian validitas dengan menggunakan metode konsistensi internal menemukan koefisien validitas lebih dari 0,2 untuk seluruh item, yakni dengan rentang koefisien validitas antara 0,403 sampai 0,690. Dengan demikian alat ukur GQ-6 dinyatakan valid untuk mengukur konstruk gratitude karena telah mencapai batas indeks indeks validitas sebesar 0,2 yang ditetapkan oleh Cronbach (1990). Alat ukur coping yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur The Brief Cope yang dikembangkan oleh Carver (1997). The Brief Cope merupakan hasil pengembangan dari COPE Inventory yang disusun oleh Carver, Weintraub dan Scheier (1989) berdasarkan rumusan dua jenis coping yang telah dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman sebelumnya. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan metode cronbach alpha dan menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar α = 0,821. Selanjutnya, peneliti melakukan uji validitas dengan menggunakan metode internal consistency, yakni dengan mengorelasikan setiap item dengan skor total dari tes (Anastasi & Urbina, 1997). Berdasarkan pengujian validitas yang dilakukan, terdapat enam item yang tidak valid karena tidak mencapai batas indeks validitas sebesar 0,2 yang ditetapkan oleh Cronbach (1990). Item-item tersebut ialah item nomor 1, 4, 6, 8, 11, dan 20. Dua item di antaranya, yakni item nomor 6 dan 8, selanjutnya dieliminasi karena keduanya memiliki indeks validitas yang bernilai negatif. Setelah mengeliminasi
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
kedua item tersebut, uji reliabilitas dengan menggunakan metode cronbach alpha kembali dilakukan dan diperoleh koefisien reliabilitas sebesar α = 0,830. Ke 14 dimensi yang mengukur coping dalam The Brief Cope dapat dibedakan menjadi problem-focused coping dan emotion-focused coping ataupun adaptive coping dan maladaptive coping (Meyer, 2001). Terdapat lima dimensi coping yang tergolong ke dalam jenis problem-focused coping, yaitu active coping, use of instrumental support, behavioral disengagement, positive reframing, dan planning. Sementara itu, sembilan dimensi coping lainnya, yaitu self-distraction, denial, substance use, use of emotional support, venting, humor, acceptance, religion, dan self-blame, tergolong ke dalam jenis emotion-focused coping. Selanjutnya, dimensi-dimensi yang mengukur adaptive coping adalah active coping, planning, use of emotional support, use of instrumental support, positive reframing, acceptance, religion, dan humor. Sebaliknya, dimensi-dimensi yang mengukur maladaptive coping ialah venting, denial, substance use, behavioral disengagement, self-distraction, dan self-blame. Analisis dan Model Statistik Dalam penelitian ini, digunakan beberapa teknik statistik untuk menganalisis data. Statistika deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum dari karakteristik partisipan penelitian berdasarkan nilai rata-rata atau mean, frekuensi, dan persentase dari skor partisipan penelitian. Selanjutnya, pearson correlation digunakan untuk melihat hubungan antara dua variabel dalam penelitian ini, yaitu gratitude dan coping. Sementara itu, teknik statistik oneway ANOVA digunakan untuk melihat perbedaan skor dari kedua variabel pada kelompokkelompok partisipan berdasarkan data demografis dari penelitian ini. Hasil Penelitian Gambaran Umum Partisipan Penelitian Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang menerima Bidikmisi. Terdapat 69% partisipan yang berjenis kelamin perempuan dan 31% partisipan yang berjenis kelamin laki-laki. Usia partisipan dalam penelitian ini berada di rentang usia 17 hingga 24 tahun. Selanjutnya, jika dilihat dari usia partisipan, mayoritas partisipan penelitian berusia 19 tahun dan 20 tahun (26%) dengan mean atau rata-rata usia 19,65 tahun.
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Gambaran Gratitude dan Coping Rata-rata skor total gratitude yang dimiliki oleh partisipan dalam penelitian ini adalah 34,73. Partisipan dengan nilai terendah dari skor total gratitude dalam penelitian ini memiliki skor sebesar 22, sedangkan partisipan dengan nilai tertinggi memiliki skor sebesar 42. Jika dilihat dari rata-rata skor total di atas, pada penelitian ini terdapat 36 partisipan yang memiliki skor gratitude di bawah skor rata-rata dan 64 partisipan yang memiliki skor gratitude di atas skor rata-rata. Rata-rata skor total coping yang dimiliki oleh partisipan dalam penelitian ini adalah 76,25. Partisipan dengan nilai terendah dari skor total coping dalam penelitian ini memiliki skor sebesar 36, sedangkan partisipan dengan nilai tertinggi memiliki skor sebesar 93. Jika dilihat dari rata-rata skor total di atas, pada penelitian ini terdapat 49 partisipan yang memiliki skor coping di bawah skor rata-rata dan 51 partisipan yang memiliki skor coping di atas skor rata-rata. Dalam proses adaptasi alat ukur coping yang dilakukan, satu item dari dimensi denial dan behavioral disengagement dieliminasi, sehingga masing-masing dimensi hanya terdiri dari satu item. Oleh karenanya, dalam bagian ini gambaran kedua dimensi tersebut tidak turut serta diperbandingkan dengan dimensi lainnya. Hasil penghitungan di atas menunjukkan bahwa skor mean untuk masing-masing dimensi coping berada di rentang 2,09 – 7,28. Selanjutnya, dimensi coping yang memiliki mean tertinggi ialah religion, sementara dimensi coping dengan nilai mean terendah adalah substance use. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mahasiswa penerima Bidikmisi cenderung melakukan coping religion dan paling jarang menggunakan coping substance use saat menghadapi masalah. Hubungan antara Gratitude dengan Coping Berdasarkan penghitungan statistik yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara gratitude dengan coping. Dengan demikian, hipotesis null yang menyatakan bahwa “tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gratitude dengan coping pada mahasiswa penerima Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi)” diterima. Lebih lanjut, hasil penelitian ini juga menunjukkan korelasi positif yang signifikan antara jenis coping problem-focused coping dengan gratitude, dengan koefisien korelasi sebesar r = 0,374 dan p < 0,01 (2-tailed). Besaran koefisien r = 0,374 menurut Guilford dan Fruchter (1978) menunjukkan bahwa gratitude dan problem-focused coping memiliki korelasi yang lemah.
Sementara itu, emotion-focused coping tidak berkorelasi secara signifikan
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
dengan gratitude. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat gratitude individu, maka semakin tinggi pula tingkat penggunaan problem-focused coping individu tersebut. Selain itu, terdapat pula korelasi positif yang signifikan antara gratitude dengan adaptive coping, dengan nilai koefisien korelasi sebesar r = 0,394 dan p < 0,01 (2-tailed). Sementara itu, gratitude dan maladaptive coping juga ditemukan berkorelasi negatif secara signifikan, dengan koefisien korelasi sebesar r = -0,248 dan p < 0,05 (2-tailed). Menurut Guilford dan Fruchter (1978), besaran koefisien tersebut menunjukkan bahwa gratitude dan adaptive coping memiliki korelasi positif yang lemah, sementara gratitude dan maladaptive coping memiliki korelasi negatif yang lemah. Dengan kata lain, individu dengan tingkat gratitude yang tinggi cenderung menggunakan strategi coping adaptif dan tidak menggunakan strategi coping yang bersifat maladaptif. Variabel 1
Gratitude
Variabel 2
Korelasi
Signifikansi
Coping
-0,004
0,966
Problem-focused coping
0,374
0,000*
Emotion-focused coping
0,051
0,616
Adaptive coping
0,394
0,000*
Maladaptive coping
-0,248
0,013**
Self-distraction
-0,065
0,520
Active coping
0,292
0,003*
Substance use
-0,288
0,004*
Use of emotional support
0,276
0,005*
Use of instrumental support
0,184
0,066
Venting
-0,117
0,246
Positive reframing
0,515
0,000*
Planning
0,510
0,000*
Humor
-0,177
0,078
Acceptance
0,236
0,018**
Religion
0,359
0,000*
Self-blame
0,056
0,580
*korelasi signifikan pada LOS 0,01 (2-tailed) **korelasi signifikan pada LOS 0,05 (2-tailed)
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Peneliti juga melakukan pengujian korelasi antara gratitude dengan dimensi-dimensi coping, terkecuali dimensi denial dan behavioral disengagement. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam proses adaptasi alat ukur coping yang dilakukan, satu item dari dimensi denial dan behavioral disengagement dieliminasi, sehingga masing-masing dimensi hanya terdiri dari satu item. Oleh karenanya, korelasi antara kedua dimensi tersebut dengan gratitude tidak dapat diujikan. Berdasarkan penghitungan statistik yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara gratitude dengan beberapa dimensi coping, yakni dimensi active coping, use of emotional support, positive reframing, planning, acceptance, dan religion. Terdapat pula korelasi negatif yang signifikan antara gratitude dengan dimensi substance use. Sementara itu, tidak terdapat korelasi yang signifikan antara gratitude dengan dimensi self-distraction, use of instrumental support, venting, humor, dan self-blame. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gratitude dengan coping pada mahasiswa penerima Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi). Hasil tersebut berbeda dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wood, Joseph, dan Linley (2007) yang menemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara gratitude dengan coping. Dalam penelitiannya, Wood, Joseph, dan Linley (2007) menggunakan dua alat ukur yang sama dengan alat ukur yang digunakan di dalam penelitian ini, yakni ukur The Gratitude Questionnaire-Six Item Form (GQ-6) untuk mengukur gratitude dan The Brief COPE untuk mengukur coping. Dengan demikian, perbedaan alat ukur tidak menjadi penyebab perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Wood, Joseph, dan Linley. Dalam alat ukur coping yang digunakan, terdapat 17 item yang mengukur subskala emotion-focused coping dan 9 item yang mengukur subskala problem-focused coping, sehingga dapat dikatakan bahwa alat ukur tersebut lebih mengukur emotion-focused coping daripada problem-focused coping individu. Hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang membedakan hasil penelitian ini dengan penelitian Wood, Joseph, dan Linley (2007) sebelumnya. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan korelasi yang positif dan signifikan antara gratitude dengan problem-focused coping, sementara hubungan yang signifikan antara gratitude dengan emotion-focused coping tidak ditemukan di dalam penelitian ini. Korelasi antara gratitude dengan emotion-focused coping yang tidak signifikan dapat memengaruhi
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
korelasi keseluruhan antara gratitude dengan coping hingga menjadi tidak signifikan dalam penelitian ini. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Wood, Joseph, dan Linley (2007) sebelumnya juga dapat disebabkan oleh adanya variabel yang menjadi moderator di antara kedua variabel tersebut. Hubungan antara gratitude dan coping dapat bergantung kepada variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini, baik yang berasal dari dalam diri individu maupun dari lingkungan luar individu. Variabel yang dapat menjadi moderator pada hubungan gratitude dengan coping ialah reciprocity. Individu dengan tingkat gratitude yang tinggi tidak dapat menampilkan performa yang baik dalam situasi yang menimbulkan stres karena ia merasa bersalah, malu, ataupun berutang kepada pihak-pihak yang telah memberikannya suatu karunia atau kebaikan (Li et. al., 2012). Saat menghadapi stres, individu dengan tingkat gratitude yang tinggi cenderung menganggap diri gagal karena ia tidak mampu membalas kebaikan yang diterimanya. Li et. al. (2012) juga menjelaskan, tekanan untuk membalas kebaikan yang diterima tersebut secara khusus seringkali ditemukan di budaya Timur, di mana reciprocity atau pembalasan merupakan hal yang terikat kepada gratitude. Penelitian yang dilakukan oleh Wood, Joseph, dan Linley (2007) dilakukan di Amerika Serikat dalam konteks budaya Barat, sementara penelitian ini dilakukan di Indonesia dalam konteks budaya Timur. Oleh karenanya, perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Wood, Joseph, dan Linley (2007) sebelumnya juga dapat disebabkan oleh perbedaan populasi dan sikap terhadap reciprocity yang berbeda dari kelompok partisipan di kedua penelitian. Selain itu, hubungan yang tidak signifikan antara gratitude dengan coping dalam penelitian ini juga dapat dijelaskan oleh Fredrickson dan Cohn (2008). Layaknya emosiemosi positif pada umumnya, gratitude jarang dirasakan individu saat sedang berhadapan dengan masalah. Dalam situasi yang menimbulkan stres, individu dengan tingkat disposisi gratitude yang tinggi belum tentu mengalami gratitude sehingga ia pun tidak dapat memperoleh manfaat dari disposisi gratitude yang dimilikinya. Dengan demikian, tingkat disposisi gratitude yang tinggi pada individu belum tentu beriringan dengan tingginya coping yang dilakukan individu tersebut saat menghadapi masalah. Korelasi yang tidak signifikan antara gratitude dengan coping dalam penelitian ini juga dapat disebabkan oleh data-data dari subpopulasi mahasiswa angkatan 2014 yang tidak representatif. Sebagai mahasiswa baru, dapat dikatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa tersebut belum mengalami stres yang diakibatkan oleh berbagai tuntutan yang dimilikinya sebagai penerima Bidikmisi. Sebagai contoh, di semester awal, beban perkuliahan tidaklah seberat
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
beban perkuliahan di semester-semester selanjutnya. Kebanyakan dari mereka pun belum merasakan tantangan untuk mempertahankan IPK agar tidak berada di bawah 3,00. Peneliti mencoba melakukan analisis data dengan mengeliminasi data-data dari partisipan yang merupakan mahasiswa angkatan 2014. Hasil analisis tersebut menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan antara gratitude dengan coping, dengan nilai koefisien korelasi sebesar r = 0,333 dan p < 0,01 (2-tailed). Selanjutnya, penelitian ini juga menemukan korelasi yang positif dan signifikan antara gratitude dan problem-focused coping. Problem-focused coping dapat dipahami sebagai perilaku coping yang berorientasi pada masalah, berbeda dengan emotion-focused coping yang lebih berorientasi kepada emosi. Menurut Fredrickson (dalam Wood, Joseph, & Linley, 2007), individu dengan tingkat disposisi gratitude yang tinggi lebih sering mengalami gratitude sebagai respons penerimaan karunia, keberuntungan, ataupun kebaikan yang diberikan oleh pihak lain. Oleh karenanya, dunia dipandang lebih menyenangkan dan bersahabat oleh individu yang bersyukur (Adler & Fagley, 2005; Watkins et. al., dalam Wood, Joseph, & Linley, 2007). Dengan pandangan sedemikian rupa, saat berhadapan dengan masalah, mahasiswa penerima Bidikmisi yang bersyukur akan melakukan coping dengan mendekati masalah tersebut dan tidak menghindarinya. Menurut Watkins et. al. (2003), individu yang bersyukur tidak mudah merasa terbiasa dengan hal-hal positif di sekitar mereka dan cenderung menyadari kebaikan-kebaikan yang ditemuinya setiap hari. Dalam dimensi problem-focused coping, terdapat dimensi positive reframing yang merujuk kepada coping yang dilakukan dengan mencari sisi positif dari masalah yang dihadapi (Carver, 1997). Oleh karenanya, penggunaan problem-focused coping berkaitan dengan tingkat gratitude mahasiswa penerima Bidikmisi dalam penelitian ini. Akan tetapi, hal menarik lainnya yang ditemukan adalah dimensi coping dengan mean tertinggi dalam penelitian ini tidak tergolong ke dalam jenis problem-focused coping, melainkan jenis emotion-focused coping. Dimensi coping dengan mean tertinggi dalam penelitian ini ialah dimensi religion yang memiliki rata-rata skor total sebesar 7,28. Hal tersebut dapat didasari oleh tingkat status sosial ekonomi (SSE) partisipan penelitian. Bidikmisi merupakan pemberian tunjangan bulanan kepada mahasiswa yang memiliki potensi akademis baik, tetapi tidak mampu secara ekonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa mahasiswa penerima Bidikmisi merupakan mahasiswa dengan status sosial ekonomi menengah ke bawah. Albrecht dan Heaton (1984) menuturkan bahwa individu dengan tingkat SSE yang rendah lebih cenderung mencari Tuhan melalui doa. Dalam penelitiannya, Schieman (2010) menemukan bahwa tingkat SSE
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
berkorelasi secara negatif dengan kepercayaan akan kontrol dan keterlibatan Tuhan di dalam hidupnya. Dengan kata lain, semakin rendah SSE individu maka ia akan semakin mengakui dan menggantungkan dirinya kepada kekuasaan Tuhan. Tingginya rata-rata skor total dimensi religion dalam penelitian ini juga sejalan dengan teori deprivasi yang mengemukakan bahwa individu dengan tingkat SSE yang rendah cenderung menggunakan agama dalam melakukan coping terhadap kondisi hidupnya yang berat (Schieman, 2010). Tidak hanya itu, individu yang berasal dari kalangan sosial ekonomi menengah ke bawah juga cenderung memperoleh dampak psikologis yang lebih besar dari religiusitasnya, jika dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kalangan sosial ekonomi menengah ke atas (Ellison, 1991; Pollner dalam Schieman, 2010). Di Indonesia, religiusitas juga merupakan nilai yang dijunjung tinggi. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila dimensi religion merupakan dimensi yang paling sering digunakan mahasiswa penerima Bidikmisi dalam menghadapi masalahnya. Selanjutnya, studi ini juga mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara gratitude dengan adaptive coping. Sebaliknya, gratitude berhubungan secara negatif dan signifikan dengan maladaptive coping. Tidak hanya itu, dalam penelitian ini juga tidak ditemukan hubungan positif yang signifikan antara gratitude dengan dimensi-dimensi coping yang maladaptif (e.g. venting, substance use, dan lain-lain), maupun hubungan negatif yang signifikan antara gratitude dengan dimensi-dimensi coping yang bersifat adaptif (e.g. active coping, planning, acceptance, dan lain-lain). Hal tersebut semakin memperkuat simpulan yang mengemukakan bahwa individu yang bersyukur akan melakukan coping yang adaptif dan tidak melakukan coping yang bersifat maladaptif (Wood, Joseph, & Linley, 2007). Individu yang bersyukur cenderung menggunakan strategi coping positif yang ditandai dengan kecenderungan untuk menghadapi masalah daripada menghindari masalah tersebut. Salah satu komponen dari gratitude yang dikemukakan oleh Fitzgerald (dalam Emmons & McCullough, 2004; Peterson & Seligman, 2004) ialah rasa apresiasi yang hangat untuk seseorang atau sesuatu. Menurut Carver, Scheier, dan Weintraub (1989), dimensi use of emotional support merujuk kepada coping yang dilakukan individu dengan mencari dukungan moral, simpati atau pemahaman dari orang lain. Individu yang melakukan coping dengan cara tersebut seringkali memperoleh kebaikan dari orang lain yang kemudian akan memunculkan rasa apresiasinya terhadap orang tersebut serta gratitude dalam dirinya. Selain itu, gratitude juga merupakan salah satu karakteristik individu dengan kepribadian yang berorientasi kepada hubungan sosial (McCullough et. al., 2001). Individu yang melakukan coping dengan mencari dukungan sosial juga memiliki orientasi yang serupa (Wood, Joseph, & Linley, 2007). Hal
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
tersebutlah yang mendasari hubungan yang positif dan signifikan antara gratitude dengan dimensi use of emotional support dalam penelitian ini. Kesimpulan Kesimpulan yang didapat berdasarkan analisis data dalam penelitian ini ialah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gratitude dengan coping pada mahasiswa penerima Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi). Artinya, tinggi rendahnya tingkat gratitude individu tidak dapat memprediksi tinggi rendahnya tingkat coping yang dilakukan individu saat menghadapi masalah. Selanjutnya, ditemukan pula hubungan positif yang signifikan antara gratitude dengan problem-focused coping dan adaptive coping, serta hubungan negatif yang signifikan antara gratitude dengan maladaptive coping. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa mahasiswa penerima Bidikmisi dengan tingkat gratitude yang tinggi akan cenderung menggunakan strategi coping yang bersifat adaptif dan berorientasi kepada masalah. Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan antara gratitude dengan seluruh dimensi coping, didapatkan hubungan positif yang signifikan antara gratitude dengan dimensi active coping, use of emotional support, positive reframing, planning, dan acceptance. Terdapat pula hubungan negatif yang signifikan antara gratitude dengan dimensi substance use dari coping pada mahasiswa penerima Bidikmisi. Saran Dalam pelaksanaan penelitian ini, beberapa kuesioner tidak diberikan kepada partisipan secara langsung atau tatap muka. Hal tersebut membuat partisipan tidak dapat bertanya secara langsung kepada peneliti apabila terdapat bagian dalam kuesioner yang tidak dipahaminya. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya perlu dipastikan bahwa pendistribusi kuesioner juga memahami konten dari kuesioner tersebut. Pendistribusi kuesioner perlu diberikan penjelasan singkat terkait penelitian yang dilakukan dan kuesioner yang digunakan. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya jumlah sampel juga diperbesar. Dengan menggunakan teknik pengambilan sampel proportionate stratified random sampling, peneliti harus membuat pemetaan persebaran partisipan berdasarkan subgroup-subgroup yang ada di dalam populasi penelitian. Oleh karena dalam penelitian ini besar sampel yang digunakan hanyalah seratus partisipan, terdapat beberapa subgroup yang hanya diwakili oleh satu partisipan, yakni ketika subgroup tersebut memang hanya mewakili 1% dari keseluruhan
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
populasi.
Satu
partisipan
tentunya
tidak
dapat
diandalkan
untuk
benar-benar
merepresentasikan keseluruhan subgroup. Penelitian selanjutnya yang terkait dengan stres mahasiswa penerima Bidikmisi sebaiknya tidak mengikutsertakan mahasiswa baru sebagai partisipan penelitian. Mahasiswa baru belum benar-benar merasakan tuntutan yang diperolehnya sebagai penerima Bidikmisi, oleh karenanya stres yang dialami maupun coping yang dilakukannya juga cenderung berbeda dari mahasiswa penerima Bidikmisi lainnya. Tidak hanya itu, pemilihan alat ukur yang akan digunakan juga perlu dilakukan dengan lebih seksama. Sebaiknya alat ukur yang digunakan memiliki jumlah item yang tidak terlalu sedikit, sehingga item-item tersebut dapat benarbenar mewakili konstruk yang ingin diukur. Selain itu, hal tersebut juga dapat meminimalisir error yang ditimbulkan oleh social desirability. Kepustakaan Albrecht, S. L., & Heaton, T. B. (1984). Secularization, Higher Education, and Religiosity. Review of Religious Research, 26, 43-58. Adler, M. G., & Fagley, N. S. (2005). Appreciation: Individual Differences in Finding Value and Meaning as a Unique Predictor of Subjective Well-being. Journal of Personality, 73, 79-114. Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological Testing (7th ed.). New Jersey: Prentice-Hall. Carver, C. S., Scheier, M. F., & Weintraub, J. K. (1989). Assessing Coping Strategies: A Theoretically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology, 56, 267-283. Carver, C. S. (1997). You Want to Measure Coping But Your Protocol’s Too Long: Consider the Brief COPE. International Journal of Behavioral Medicine, 4(1), 92-100. Cronbach, L. (1990). Essential of Psychology Testing. New York: Harper Collings Publisher, Inc. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Pedoman Penyelenggaraan Bantuan Biaya Pendidikan Bidikmisi Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (n.d.). Pertanyaan Umum Seputar Bidikmisi. http://www.bidikmisi.dikti.go.id, diakses pada 17 Oktober 2014 pukul 11.04 Ellison, C. G. (1991). Religious Involvement and Subjective Well-being. Journal of Health and Social Behavior, 32, 80-99.
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Emmons, R. A., & McCullough, M. E. (ed.). (2004). The Psychology of Gratitude. New York: Oxford University Press. Emmons, R. A. (2013). Gratitude Works!: A 21-Day Program for Creating Emotional Prosperity. San Francisco: Jossey-Bass. Fredrickson, B. L., & Cohn, M. A. (2008). Positive Emotions. Dalam M. Lewis, J. M. Haviland-Jones, & L. F. Barrett (Ed.). Handbook of Emotions (3rd ed.). (hal. 777796). New York: Guilford Press. Guilford, J. P., & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education (6th ed.). New York: McGraw-Hill. Gravetter, F. J., & Forzano, L. A. B. (2009). Reseacrh Methods for the Behavioral Sciences. California: Wadsworth Cengage Learning. Krause, N. (2006). Gratitude toward God, stress, and health in late life. Research on Aging, 28(2), 163. Lazarus, R. S., dan Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer. Li, D., Zhang, W., Li, X., Li, N., & Ye, B. (2012). Gratitude and Suicidal Ideation and Suicide Attempts Among Chinese Adolescents: Direct, Mediated, and Moderated Effects. Journal of Adolescence, 35, 55-66. Marella, A. (2013). Intervensi Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk Mengurangi Simtomsimptom Depresi pada Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Tahun Pertama Penerima Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi. Tesis. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. McCullough, M. E., Emmons, R. A., Kilpatrick, S. D., & Larson, D. B. (2001). Is Gratitude a Moral Affect?, Psychology Bulletin, 127(2), 249-266. McCullough, M. E., Emmons, R. A., & Tsang, J. A. (2002). The Grateful Disposition: A Conceptual and Empirical Topography. Journal of Personality and Social Psychology, 82, 112–127. Meyer, B. (2001). Coping with Severe Mental Illness: Relations of the Brief COPE with Symptoms, Functioning, and Well-Being. Journal of Psychopathologyand Behavioral Assessment, 23(4), 265-277. Ningtyas,
I.
(2014).
Hanya
30
Persen
Pelajar
Bisa
Kuliah.
7
Juni
2014.
http://www.tempo.co/read/news/2014/06/07/079583184/Hanya-30-Persen-Pelajar-BisaKuliah, diakses pada 17 Oktober 2014 pukul 11.51. Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character, Strength, and Virtues: A Handbook & Classification. New York: Oxford University Press.
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014
Schieman, S. (2010). Socioeconomic Status and Beliefs about God’s Influence in Everyday Life. Sociology of Religion, 71(1), 25-51. Stevenson, H. W., & Stigler, J. W. (1994). The Learning Gap: Why Our Schools Are Failing and What We Can Learn from Japanese and Chinese Education. New York: Simon & Schuster Paperbacks. Watkins, P. C., Woodward, K., Stone, T., & Kolts, R. L. (2003). Gratitude and Happiness: Development of a Measure of Gratitude, and Relationships with Subjective WellBeing. Social Behavior and Personality, 31(5), 431-452. Watkins, P. C. (2014). Gratitude and the Good Life. Dordrecht: Springer Netherlands. Wood, A. M., Joseph, S., & Linley, P. A. (2007). Coping Style as a Psychological Resource of Grateful People. Journal of Social and Clinical Psychology, 26(9), 1076-1093.
Hubungan antara gratitude dengan..., Ribka Amanda, F.PSIKOLOGI UI, 2014