How effective is the governance and management of teachers in Aceh Province, Indonesia Nazamuddin Universitas Syiah Kuala
[email protected] Abstract Decentralization in the context of regional autonomy in Indonesia and special autonomy granted to the government of Aceh province through the Law on the governance of Aceh (LoGA) has resulted in a substantial amount of funds being transfered and managed by Aceh and local governments in Aceh. However, the quality of teachers and educational outcomes are not satisfactory. This study is an attempt to observe and assess the flows of funds in relation to teachers' quality and educational outcomes. Descriptive analysis is employed. The results show that a substantial amount of money has been transferred to Aceh and a large proportion has gone to allowances for teachers. School participation rates have improved at all levels. However, Aceh has not performed well in terms of the fulfillment of teacher standard, in which teacher qualifications and competencies are weak, and as a consequence student achievements are relatively low. The quality of teachers, being important determinant of educational outcomes, is very much affected by how education is governed and managed. Further reform is required to shift from directly politically influenced policy making to a separate management of teachers, independent of political influence and teacher recruitment and upgrading will thereby better planned and managed. Keywords: decentralization, special autonomy, education governance, teacher management
Pendahuluan Pada tahun 2006, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disahkan dan mulai tahun 2008 ketika mulai berlaku ketentuan mengenai bagi hasil pendapatan dari minyak dan gas bumi pemerintah pusat telah mentransfer dana dalam jumlah sangat besar untuk percepatan pembangunan ekonomi dan sosial Aceh, termasuk di dalamnya untuk pembangunan sektor pendidikan. Sektor ini mendapat alokasi 30% dari dana tambahan bagi hasil minyak dan gas (Migas) dan 20% dari dana otonomi khusus. Tapi kualitas pendidikan, khususnya kualitas guru dan capaian pendidikan belum memuaskan. Terdapat kekhawatiran apakah sumber-sumber pendanaan pendidikan ini sudah digunakan secara efektif. Pengelolaan guru masih belum baik dan kebijakan reformasi yang dijalankan belum berdampak besar, paling tidak ditunjukkan dari fakta bahwa dana yang dikucurkan dalam bentuk berbagai insentif untuk guru semakin besar tapi capaian pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan mutu pendidikan belum optimal. Telaah Literatur Simkovic (2013) menyimpulkan bahwa mengalokasikan sumberdaya pendidikan secara lebih efisien akan bermanfaat tidak saja bagi individu siswa/mahasiswa tapi juga keluarga mereka. Dengan kasus AS ditemukan bahwa produktivitas dan daya saing tenaga kerja AS meningkat, dengan konsekuensi manfaat bagi keuangan sektor swasta dan sektor publik. Oleh karena itu, dalam jangka panjang, efisiensi demikian selanjutnya dapat 1
meningkatkan sumberdaya yang tersedia untuk investasi lebih lanjut dalam pendidikan dan penelitian. Perlu dicatat bahwa kenaikan partisipasi sekolah terjadi lebih karena membaiknya pengelolaan pendidikan (lihat World Bank, 2013). Zeira (2009) mengungkapkan bahwa adopsi teknologi tergantung secara negatif pada upah pekerja terdidik. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi tergantung secara negatif pada biaya pendidikan atau pada hambatanhambatan memperoleh pendidikan. Jika biaya pendidikan tinggi, maka pertumbuhan ekonomi dapat melamban dan bahkan berhenti sama sekali, sehingga menciptakan perangkap pembangunan. Lewis dan Pattinasarany (2009) menunjukkan bahwa ukuran-ukuran kondisi kualitas layanan dan pengelolaan (governance) merupakan penentu utama probabilitas bahwa rumahtangga puas dengan pendidikan publik di daerah. Oleh karen itu, bagaimana pendidikan dikelola oleh pemerintah daerah, yang tentu terkait dengan dinamika politik dan pemerintahan, akan menentukan capaian-capaian pendidikan. Analisis Capano, Rayner and Zito (2012) menyiratkan adanya hubungan antara institusi dan politik. Suatu sistem pendidikan sebagai sebuah subsistem dari pemerintahan umum. Juka yang terakhir tidak berjalan baik, maka sistem pendidikan juga tidak akan berjalan baik. Politik dan pemerintahan merupakan faktor penentu berjalannya pengelolaan pendidikan dan pada akhirnya menentukan capaian pendidikan, yaitu jumlah lulusan dan mutu lulusan. Hubungan antara pemerintahan dan pengelolaan pendidikan begitu penting. Reformasi pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1999 dan pelimpahan kewenangan kepada Aceh dalam konteks otonomi khusus sejak tahun 2006 berdampak besar pada sektor pendidikan. Indonesia telah meluncurkan paket reformasi pendidikan menyeluruh yang dirancang untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas. Pelimpahan tanggung jawab pendidikan kepada sekolahsekolah dan pemerintah di daerah disertai pendanaan yang meningkat tajam tak dapat dipungkiri telah menghasilkan peningkatan akses pendidikan yang signifikan. Namun peningkatan yang dicapai dalam hal prestasi belajar tidaklah menggembirakan dan anak-anak masih meninggalkan sekolah dengan tingkat keterampilan yang belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan yang diminta oleh pasar tenaga kerja (World Bank, 2013b).
Metodologi Penelitian ini adalah studi deskriptif di mana informasi dikumpulkan tanpa mengubah kondisi yang ada. Observasi dilakukan melalui data-data skunder dan korelasi antar variabel dianalisis. Dengan demikian, penelitian ini bukan studi eksperimental. Studi deskriptif ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. Apa atau kecenderungan apa yang sedang berlangsung atau sebelumnya terjadi (“what is” or “what was") dan tidak ditujukan secara khusus untuk menjawab mengapa hal itu terjadi atau bagaimana terjadinya (“why” or “how”) yang merupakan bagian dari studi eksperimental. Namun demikian, dugaan-dugaan tentang hubungan kausal dideskripsikan sebagai hipotesis yang tidak diuji. Data diperoleh dari BPS Aceh berupa data deret silang (cross-section) dan data urut waktu (time-dseries) diobservasi melalui pengamatan interaksi satu-waktu (one-time interaction) antar variabel. Data juga diperoleh dari Pemerintah Provinsi Aceh dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan. Statistik deskriptif ditampilkan untuk menarik kesimpulan umum dari data, yang tidak seluruhnya merupakan populasi, melainkan sampel. Ukuran-ukuran yang digunakan adalah kecenderungan umum (central tendency) terutama rerata (mean) dan ukuran-ukuran variabilitas atau dispersi. Ukuran variabilitas sederhana yang dipakai adalah nilai minimum dan nilai maksimum. Statistik disajikan dalam bentuk tabel-tabel dan grafik-grafik. 2
Analisis Pada tahun 2001, desentralisasi Indonesia membawa perubahan besar dalam hal kewenangan pemerintah daerah. Desentralisasi pendidikan dimulai pada tahun 2002 pada saat mana sebagian besar tanggungjawab fungsional dan sumber-sumber keuangan dialihkan kepada pemerintah daerah untuk penyediaan layanan pendidikan. Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama tetap memiliki kewenangan terhadap kebijakan dan standar pendidikan. Tapi pengelolaan layanan pendidikan pada sekolah-sekolah publik (negeri) menjadi kewenangan pemerintah daerah, khususnya pemerintah kabupaten/kota, sementara pengelohaan madrasah menjadi tanggung jawab Kementerian Agama di masing-masing daerah. Kemudian pada tahun 2003 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional. Mulai saat itu penyediaan layanan pendidikan didasarkan pada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di mana sekolah diwajibkan mengelola sekolah dengan standar-standar yang ditetapkan. Reformasi pendidikan berlanjut. Pada tahun 2005 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, di mana pengelolaan guru difokuskan pada program sertifikasi, penetapan standar kualifikasi dan peningkatan kompetensi. Peraturan Pemerintah dikeluarkan pada 2007 untuk menetapkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru. . Pada 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor No. 8/2009 tentang Selekssi Guru di mana pengangkatan guru didasarkan pada kebutuhan riil, yang berbeda dengan kebijakan sebelumnya di mana guru diangkat berdasarkan kuota yang tergantung pada ketersediaan dana.Sejak tahun 2005 juga Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diperkenalkan. Dana block grants untuk sekolah ditransfer ke sekolah atas dasar formula per siswa. Mekanisme ini memberi insentif kepada kepala sekolah dan guru untuk menjaga dan meningkatkan partisipasi sekolah. Dana ini hingga tahun 2011 dikelola langsung oleh pemerintah pusat, tapi kemudian dana BOS disalurkan dan dikelola oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan kronologi reformasi sektor pendidikan di Indonesia. Tabel 2 menunjukkan besaran anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah menurut komponen. Sebagian besar anggaran dibelanjakan untuk pos-pos belanja sesuai peruntukan. Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (DBH Migas) merupakah lebih separuh dari anggaran yang ditransfer ke daerah. Di urutan berikutnya adalah Dana Alokasi Umum (DAU) untuk pendidikan yang sebagian besar adalah gaji. Ada juga tambahan insentif untuk guru yang berasal dari tambahan DAU. Dana BOS untuk menjalankan MBS hanya sekitar 5% dari total transfer. Tabel 1 Kronologi Reformasi Sektor Pendidikan Di Indonesia Tahun 2001
Kebijakan • Desentralisasi Indonesia dan desentralisasi pendidikan sejak 2002 • Sebagian tanggungjawab kewenangan dan sumberdaya anggaran diserahkan kepada pemerintah daerah untuk penyediaan layanan pendidikan • Kemendikbud dan Kemenag mempertahankan kewenangan bidang kebijakan dan standar pendidikan. 3
•
Manajemen penyediaan layanan pendidikan adalah tanggungjawab pemerintah daerah, sekolah umum di bawah pemerintah daerah, madrasah di bawah Kemenag kantor daerah
2003
• •
UU No. 20, 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Penyediaan layanan pendidikan didasarkan pada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang menjadi tanggungjawab sekolah dan masyarakat
2005
•
UU No. 14/ 2005 tentang Guru dan Dosen ditujukan untuk mereformasi manajemen guru Pada 2005, subsidi dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah ( BOS) diperkenalkan Dana disalurkan secara terpusat didasarkan pada formula per siswa dan ditujukan untuk menyediakan insentif kepada kepala sekolah dan guru untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat pendaftaran sekolah.
• •
2007
•
Permendiknas No. /2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
2009
•
Kemendiknas No. 8/2009 tentang Seleksi Guru di mana pengangkatan guru didasarkan pada kebutuhan.
2011
•
Dana BOS disalurkan dan dikelola oleh pemerintah daerah.
Tabel 2 Anggaran Pendidikan melalui Transfer ke Daerah Komponen Alokasi DBH Migas yang dialokasikan untuk Pendidikan DAK Pendidikan Alokasi Anggaran Pendidikan di dalam DAU Tambahan Penghasilan Guru PNSD Tambahan DAU untuk Tunjangan Profesi Guru Dana Otsus yang dialokasikan untuk pendidikan Dana Insentif Daerah Bantuan Operasional Sekolah Jumlah Sumber: Kemendikbud, 2014.
Alokasi 2014 (Rp. milyar) 238619,5 51,1% 982,5 0,2% 135651,9 29,0% 1853,6 0,4% 60540,7 13,0% 4094,6 0,9% 1387,8 0,3% 24074,7 5,2% 467205,3 100,0%
4
DAU sebagian besar (90%) dibelanjakan untuk pembayaran gaji, sehingga tersisa sedikit saja untuk komponen belanja lainnya. Dalam upaya reformasi pendidikan, guru adalah komponen utama. Melalui beberapa peraturan baru sejak 1999, guru disyaratkan memenuhi sertifikasi, kualifikasi, dan kompetensi tertentu. Semua guru ditargetkan menjadi guru yang tersertifikasi (certified) pada tahun 2015. Untuk mencapai target itu, pemerintah menjalan Program Pendidikan Guru (PPG) untuk para guru yang ada. Untuk pengangkatan guru baru, kualifikasi minimal S1 diberlakukan. Guru juga diharapkan mempunyai kompetensi yang dipersyaratkan. Untuk ini pemerintah menjalankan program Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah Program Pre-service di mana program ini diberlakukan satu semester untuk guru SD dan dua semester untuk guru sekolah menengah sesudah kelulusan. Program ini dirancang untuk memfokuskan pada keterampilan praktis di kelas dan menyajikan bahan ajar yang menjadi elemen penting dari pe ngajaran yang berhasil. Hal ini sangat penting bagi pengajaran berkualitas dan prestasi siswa yang tinggi. Dalam pelaksanaan, seringkali ditemukan bahwa standar kelulusan diperlonggar dan guru yang kurang kualitasnya juga lulus dan menjadi guru. Sementara itu, program Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) adalah program In-service melibatkan guruguru yang sudah diangkat untuk meningkatkan kualitas mereka dari waktu ke waktu. Insentif untuk guru juga ditingkatkan dalam jumlah yang besar. Dari pemerintah Aceh sendiri, dari sumber bagi hasil minyak dan gas pada tahun 2013 dialokasikan sekitar Rp. 140 milyar. Sebagian besar dalam bentuk tunjangan tambahan untuk guru di luar gaji. Namun karena dana yang tersedia, khususnya dari sumber bagi hasil minyak dan gas yang semakin berkurang, sejak tahun 2014 dana ini dihentikan untuk insentif guru, hanya dibelanjakan untuk peningkatan mutu guru. Pada tahun 2014 jumlah gaji yang dibayarkan kepada guru kontrak dan guru bantu mencapai Rp. 61 milyar. Sementara guru PNS menerima gaji dan tunjangan sertifikasi melalui alokasi DAU. Guru yang diangkat oleh pemerintah provinsi biasanya adalah NON PNS sebagai Guru kontrak. Selain itu, sekolah sendiri juga mengangkat guru yang disebut guru honor dan dibayarkan melalui dana BOS. Selain itu, disediakan juga dana otonomi khusus untuk keperluan sama. Tunjangantunjangan tambahan dalam berbagai program juga disediakan melalui anggaran pemerintah pusat (APBN). Sebagai dampak dari reformasi pendidikan baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, belanja pendidikan pendidikan meningkat tajam di Aceh sejak tahun 2008, pada tahun 2013 angkanya meningkat tiga kali lipat dibandingkan tahun 2007 (Gambar 1).
5
Gambar 1 Belanja Pendidikan Pendidikan Meningkat Tajam Di Aceh
Sumber penerimaan dari anggaran pemerintah daerah adalah sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3 Sumber Dana Pendidikan Aceh Source of Education financing
Allocation
Additional shared revenue from oil and natural gas
30%
Special autonomy fund
20 %
Provincial and district budgets
20%
Belanja pendidikan sebagai persentase dari anggaran total terus meningkat hingga pada tahun 2013 mencapai Rp. 27 triliun di mana pendidikan menggunakan 23% anggaran (Gambar 2).
6
Rp Triliyun
Gambar 2 Belanja Pendidikan Sebagai % Dari Anggaran Total
30
Rp 27 T
Nominal
25 20 15 10
18%
5
50%
22%
24% 25%
27%
25%
34%
33%
31%
33%
20%
7% 21%
0
8%
8%
11%
33%
10%
10%
18%
17%
10%
13%
23% 31% 10%
14%
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Ekonomi
Infrastruktur
Kesehatan
Pelayanan Umum
Belanja pendidikan per kapita di Aceh berada di urutan 5 di Indonesia pada tahun 2014. Gambar 3 menunjukkan bahwa Aceh hanya berada di bawah beberapa provinsi, tapi dari rata-rata Indonesia Aceh unggul.
2,00
1,50
1,29 1,04
1,00
Banten
NTB
Lampung
Sumsel
Yogyakarta
Kalbar
Bali
Bambel
Jambi
Riau
Bengkulu
Sumbar
Kepri
Sultra
Aceh
0,00
Kalteng
0,50
KalDm
Rp Juta
Gambar 3 Belanja Pendidikan per kapita
7
Dampak positif langsung dari anggaran yang meningkat adalah meningkatnya Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan angka capaian Aceh relatif lebih tinggi pada semua jenjang dibandingkan dengan provinsi-provinsi di Sumatera (lihat Gambar 4). Gambar 4 Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut kelompok umur di Aceh Menurut Jenjang Dibandingkan Dengan Provonsi-Provinsi Di Sumatera, 2013 APS 19-‐24 (2013) Kepulauan Riau Kepulauan Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Aceh
APS 16-‐18 (2013)
APS 13-‐15 (2013)
14,85
APS 7-‐12 (2013) 73,66
9,46
56,42
16,19
84,63 98,13
64,41
24,12 14,08
71,21 60,74
20,25 22,04 30,66 21,81 29,18
96,67 98,63
91,06 99,03 93,16 99,50 89,47 98,57
63,97 69,79 74,10 71,24 74,70
91,96 98,81 90,35 98,59 92,20 98,81 92,11 99,03 95,23 99,66
Gambar 5 hingga 7 menunjukkan bahwa dari 8 standar, capaian pemenuhan standar untuk guru (Pendidik dan Tenaga Kependidikan) pada Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas relatif rendah.
8
Gambar 5 Capaian Pemenuhan 8 Standar pada Sekolah Dasar di Aceh
Sumber: e-eds2012.kemdikbud.go.id Gambar 6 Capaian Pemenuhan 8 Standar pada Sekolah Menengah Pertama di Aceh
9
Gambar 7 Capaian Pemenuhan 8 Standar pada Sekolah Menengah Atas
Selain, standar sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5-7 di atas, persentase guru berkualifikasi ≥ S1/D4 sebagaimana dikehendaki undang-undang juga belum terpenuhi (Gambar 8). Walaupun persentase guru berkualifasi terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, tapi sulit mencapai target nasional. Gambar 8 Kualifikasi Kesarjanaan Guru pada jenjang pendidikan dasar & menengah di Aceh
100% 60,48% 43,54% 47,15% 52,56%
Target 2009 nasional 2015
2010
2011
2012
Sumber : TKPPA, LPPA 2012 Dari sudut capaian siswa, Hasil Ujian Nasional (UN) SMA/sederajat tahun 2014 di Aceh berada dibawah Papua atau berada pada urutan ke 27 dari 33 Provinsi seluruh Indonesia (http://diliputnews.com/read/27674/strategi-peningkatan-mutu-pendidikanaceh.html#sthash.AWEP44Sz.dpuf). 10
Dari sudut kualitas guru, Tabel 4 memperlihatkan nilai rata-rata hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) pada tahun 2012. Tabel 4 Hasil Uji Kompetensi Guru di Aceh menurut jenjang dan kabupaten/kota, 2012. KAB/KOTA
SD
Kab. Aceh Singkil 40,27 Kab. Simeulue 44,42 Kota 38,46 Lhokseumawe Kota Sabang 37,56 Kota 38,23 Subulussalam Kab. Aceh 38,35 Tamiang Kota Banda Aceh 36,94 Kab. Gayo Luas 40,15 Kota Langsa 37,34 Kab. Aceh Jaya 38,06 Kab. Pidie 36,15 Kab. Aceh Utara 35,56 Kab. Aceh Barat 35,15 Kab. Aceh Selatan 35,58 Kab. Aceh Timur 36,42 Kab. Aceh Barat 35,03 Daya Kab. Aceh Besar 35,25 Kab. Aceh 33,64 Tenggara Kab. Bireuen 34,60 Kab. Aceh Tengah 34,35 Kab. Bener 34,15 Meriah Kab. Aceh Nagan 34,44 Raya Kab. Pidie Jaya 34,18 Sumber; LPMP Aceh.
SMA
SMK
SMP TK
43,44 42,18
59,00 41,78
49,72 35,25 40,78 40,67
Grand Total 43,21 42,95
43,89
48,09
45,84 39,94
42,42
43,71
47,60
47,99 36,29
42,15
45,92
45,59
48,94 40,25
41,90
42,00
37,28
44,92 38,77
40,69
40,44 40,10 38,18 38,62 41,14 40,90 40,43 39,97 36,18
46,23 45,00 46,59 36,00 41,08 43,84 40,95 44,40 46,60
44,51 40,36 45,35 42,47 41,35 43,40 43,49 45,11 44,02
37,31 38,00 40,05 35,14 36,20 36,83 32,64 34,46 39,91
40,60 40,36 40,35 39,11 38,88 38,74 38,68 38,25 37,95
30,00
42,71
44,17
42,86 35,14
37,90
30,00
38,48
52,00
41,79 33,84
37,89
38,77
48,50
45,31 39,45
37,82
37,56
39,90 38,95
44,57 49,11
40,94 33,68 40,91 36,09
37,69 37,57
17,00
39,42
37,14
39,76 39,00
36,64
38,59
27,00
39,26 33,17
36,33
37,39
29,00
40,31 30,44
36,14
SDLB
30,00
38,00
35,25 39,00
Semua reformasi kebijakan pendidikan di Indonesia berdampak pada pengelolaan dan capaian pendidikan di Aceh. Ditambah lagi dengan adanya regulasi di tingkat provinsi untuk mengatur pengelolaan dan pendanaan pendidikan dalam konteks otonomi khusus. Sebagai akibat dari reformasi kebijakan pendidikan itu, anggaran pendidikan yang ditransfer kepada pemerintah daerah meningkat tajam. Tabel 2 di bawah memperlihatkan alokasi anggaran pemerintah pusat yang ditransfer ke daerah. 11
Kesimpulan Dana dalam jumlah besar sudah dikucurkan dan insentif untuk guru sudah ditingkatkan. Hasilnya tampak pada meningkatnya angka partisipasi sekolah pada semua jenjang. Tapi pengelolaan guru sejauh ini belum efektif dan banyak dari mereka yang belum memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang dikehendaki. Capaian siswa yang relatif rendah adalah sampai batas tertentu merupakan hasil dari mutu guru yang rendah. Walaupun akses pendidikan di Aceh secara relatif sudah baik, tapi terdapat masalah dalam hal mutu pendidikan, terutama dalam aspek mutu guru dan manajemen pengelolaan satuan pendidikan. Belanja pendidikan tidak berhubungan langsung dengan kinerja pendidikan, tapi bagaimana pendidikan dikelola mulai dari jenjang pengelolaan di tingkat provinsi dan kabupaten hingga tingkat sekolah menentukan kualitas output pendidikan. Dua kebijakan diperlukan untuk mengatasi masalah di atas. Pertama, suatu rencana komprehensif untuk pengangkatan guru baru diperlukan. Hal ini menghendaki adanya penghitungan keperluan guru menurut menurut jenjang, menurut kategori, menurut mata pelajaran dan menurut wilayah. Kedua, rencana manajemen guru tidak langsung di bawah pemerintah kabupaten/kota langsung perlu disiapkan. Pengelolaan guru dapat dilakukan secara terpisah di luar hirarki pemerintahan. Kepustakaan Capano, Giliberto, Jeremy Rayner and Anthony R. Zito (2012). Governance From The Bottom Up: Complexity And Divergence In Comparative Perspective. Public Administration, Vol. 90, No. 1, 2012 (56–73). Faruq, H. A. (2011). Quality of education, economic performance and institutional environment. International Advances in Economic Research , 17 (2), 224-235. Lewis, Blane D. and Daan Pattinasarany (2009). Determining Citizen Satisfaction with Local Public Education in Indonesia: The Significance of Actual Service Quality and Governance Conditions. Growth and Change, Vol. 40 No. 1 (March 2009), pp. 85–115. World Bank. (2013a). Indonesia Economic Quarterly : Continuing Adjustment. World Bank. (2013b). Tata Kelola Pemerintahan Daerah dan Kinerja Pendidikan: Survei Kualitas Tata Kelola Pendidikan pada 50 Pemerintah Daerah di Indonesia.
12