2
WHO/HTM/TB/2004.330 WHO/HTM/HIV/2004.1
KEBIJAKAN SEMENTARA KEGIATAN KERJASAMA TB/HIV
Terjemahan
Stop TB Department and Department of HIV/AIDS World Health Organization Geneva, Switzerland 2004
3
Penterjemah: Dr. Janto Gunawan Lingga SpP
Tim penyunting: 1. Dr. Sigit Priohutomo, MPH 2. Dr. Fonny J. Silfanus, MKes 3. Dr. Slamet, MHP 4. Dr. Irawan Kosasih, MPH 5. Dr. Nunung B. Priyatni, MEpid 6. Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH 7. Dr. Jusni Emelia 8. Dr. Jeanne Uktolseja, Mkes 9. Dr. Jantje Wingkaa Tatura 10. Dr. Afriana Nurhalina
4
Disiapkan oleh : Haileyesus Getahun, Jeroen van Gorkom, Antony Harries, Mark Harrington, Paul Nunn, Jos Perriens, Alasdair Reid and marco Vitoria on behalf of the TB/HIV policy writing committe for the Global TB/HIV Working Group of the Stop TB Partnership.
The TB/HIV Policy Writing Committee: Francis Adatu, (National TB Control Programme, Uganda), Karin Bergstorm (Stop TB Department, WHO), Leopold Blanc (Stop TB Departmentr, WHO), Hileyesus Getahun (Stop TB Departmentr, WHO), Peter Godfrey-Fausset (London School of Hygiene and Tropical Medicine, England), Jeroen van Gorkom (KNCV TB Faoundation, Namibia), Anthony Harries (National TB Control Programme, Malawi), Mark Harrington (Treatment Action Grooup, USA), George Loth (Department of HIV/AIDS, WHO), Bess Miller (Center of Disease Control and Prevention, USA), Jintana Ngamvithayapong-Yanai (TB/HIV Research Foundation, Thailand), Ya-Diul Mukadi (Family Health international, USA), Wilfred Nkhoma (Regional office for Africa, WHO), Paul Nunn (Stop TB Department, WHO), Paul Pronyk (University of Witwatersrand, South Africa), Pilar Ramon-Pardo (Pan American Health organization, WHO), Jos Perriens (Department of HIV/AIDS, WHO), Alasdair Reid (Stop TB Department, WHO), Ying Ru-Lo (Regional Office for South East-Asia, WHO), Fabio Scano (Stop TB Department, WHO)< Catherine Sozi ( UNAIDS, South Africa), John Stover (The Futures Group International, USA), Marco Vitoria (Department of HIV/AIDS, WHO).
Acknowledgement: In addition to review by the TB/HIV Working Group of the Stop TB Partnership, STAGTB and different international conferences, the following people reviewed the document and provided valuable comments: Marteen van Cleeff (KNCV TB Foundation, The Netherland), Kevin de Cock (CDC, Kenya), Daniel Kibuga (Regional Office for Africa, WHO), Rafael Lopez (Stop TB Department, WHO), Dermot Maher (Stop TB Department, WHO), Mario Raviglione (Stop TB Department, WHO), Satyajit Sarkar (Stop TB Department, WHO), members of the TB/HIV monitoring and evaluation consultation group and participants of the TB/HIV Co-infection Workshop in San Pedro Sula, Honduras (14-15 August 2003)
Overall coordination: Haileyesus Getahun
© World Health Organization, 2004
All rights reserved. The designations employed and the presentation of the material in this publication do not imply the expression of any opinion whatsoever on the part of the World health Organization concerning the legal status of any country, territory, city or area of its authorities, or concerning the delimitation of its frontiers or boundries. Dotted lines on maps represent approximate border lines for which there may not yet be full agreement. The mention of specific companies or of certain manufacturers products does not imply that they are endorsed or recommended by the World Health Organization in preference of others of a similar nature
5
that are not mentioned. Errors and omissions excepted, the names of proprietary products are distinguished by initial capital letters. The World Organization does not warrant that the information contained in this publication is complete and correct and shall not be liable for any damages incurred as a result of its use ©
6
Daftar Isi
1.
2. 3. 4.
5. 6. 7.
Daftar Singkatan ……………………………………………………………….. Pendahuluan …………………………………………………………………… 1 . 1 . Dasar pemikiran ……………………………………………………….. 1 . 2 . Maksud …………………………………………………………………. 1 . 3 . Sasaran buku …………………………………………………………… Proses perumusan kebijakan ………………………………………………….. Tujuan kegiatan kerja sama TB/HIV ........................................................... Kegiatan kerja sama TB/HIV yang dianjurkan .................................................. A. Membangun mekanisme kerja sama …………………………………………. B. Mengurangi beban tuberkulosis pada orang dengan HIV/AIDS .................... C. Mengurangi beban HIV pada pasien tuberkulosis .......................................... Ambang untuk memulai kegiatan kerja sama yang dianjurkan .............................. Target kegiatan kerja sama TB/HIV ............................................................ Daftar Pustaka …………………………………………………………………
8 9 9 9 9 10 10 10 11 16 18 21 23
7
Daftar Singkatan AIDS
Acquired Immuno Deficiency Syndrome
ART
Antiretroviral therapy = Terapi antiretroviral
DOT
Directly Observe Treatment = Pengobatan dengan pengawasan langsung
DOTS
Directly Observe Treatment Short-course Chemotherapy = Pengobatan paduan obat jangka pendek dengan pengawasan langsung
HIV
Human Immunodeficiency Virus
IDU
Intravenous Drug Users = Pengguna Narkotika Suntik
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat
MTCT
Mother- to-child transmission = Transmisi ibu ke anak
ODHA
Orang Dengan HIV/AIDS
PMTCT
Prevention of Mother To Child Transmission (= Pencegahan penularan ibu ke anak
STAG
Strategic and Technical Advisory Group
TB
Tuberkulosis
TB/HIV
Ko-infeksi TB dan HIV
WHO
World Health Organization
UNAIDS
The Joint United Nations programme on HIV/AIDS
8
1. Pendahuluan 1.1 Dasar pemikiran Pandemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menimbulkan tantangan besar pada penanggulangan tuberkulosis (TB) pada semua tingkat. Tuberkulosis juga merupakan salah satu penyebab morbiditas paling sering dan salah satu penyebab kematian utama pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Buku ini akan membantu pembuat keputusan untuk mengerti apa yang harus dilakukan untuk mengurangi beban bersama TB dan HIV. Buku ini dibuat untuk digunakan bersama-sama dengan buku Strategic framework to decrease the burden of TB/HIV (1) mengenai apa yang dapat dilakukan dan Guidelines for implementing collaborative TB and HIV programme activities (2) mengenai bagaimana hal tersebut dapat dilakukan. Buku ini juga sebagai pelengkap dari pedoman monitoring dan evaluasi kegiatan kerja sama TB/HIV (3) dan pedoman surveilans HIV di antara pasien tuberkulosis (4). 1.2 Maksud Kebijakan ini dimaksud untuk menanggapi permintaan negara-negara akan pedoman tentang pelaksanaan kegiatan kerja sama TB/HIV. Kebijakan ini merupakan pelengkap dan selaras dengan kegiatan inti dari program pencegahan dan pengendalian TB dan HIV/AIDS yang sudah ada. Pelaksanaan strategi DOTS merupakan kegiatan inti penanggulangan TB. Demikian pula dengan kegiatan pencegahan infeksi dan penyakit dan promosi kesehatan serta ketentuan perawatan dan pengobatan yang membentuk dasar dari pengendalian HIV/AIDS. (Ringkasan mengenai rekomendasi yang bermanfaat bagi kegiatan kerjasama TB/HIV ada pada tabel1 dan saat dimana negara-negara mulai melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut terdapat pada Tabel 2). Kebijakan ini tidak bermaksud untuk membentukinstitusi atau program baru maupun yang berdiri sendiri. Yang dimaksudkan disini hanya mempromosikan peningkatan kerjasama antara program TB dan HIV/AIDS dalam ketentuan memberikan perawatan berkualitas yang berkesinambungan pada tingkat layanan orang dengan, atau berisiko TB dan orang dengan HIV/AIDS. Disamping telah dibuktikannya efektifitas biaya strategi DOTS dan beberapa pencegahan HIV (5, 6), namun terdapat sedikit bukti mengenai kegiatan kerjasama TB/HIV dan masih dikembangkan dalam situasi yang berlainan. Bukti yang ada dari penelitian terkendali secara acak, penelitian tidak-acak, serta penelitian observasional analitik dan deskriptif lainnya, penelitian operasional dan pendapat para pakar berdasarkan pengalaman klinis dan lapangan digunakan untuk membuat kebijakan ini. Ini merupakan kebijakan yang berkembang dan dapat berubah serta akan diperbaharui terus menerus agar mencerminkan bukti baru dan pengalaman yang terbaik. 1.3 Sasaran buku Pedoman ini diperuntukkan bagi pengambil keputusan di bidang kesehatan, untuk manajer program TB dan HIV/AIDS yang bekerja pada semua tingkatan dalam sektor kesehatan, demikian pula bagi lembaga donor dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
9
mendukung program TB dan HIV/AIDS. Rekomendasi yang dibuat dalam pedoman ini juga berdampak penting untuk arah strategi dan kegiatan sektor lain. 2. Proses perumusan kebijakan Kelompok Kerja Global TB/HIV menyumbang dalam perumusan kebijakan ini, dengan komisi penulis yang menyiapkan versi awal dan berikutnya. Kelompok Kerja mengkoordinasikan tanggapan global terhadap epidemi TB dan HIV yang saling bersilangan, menempa kerja sama antara komunitas HIV/AIDS dan TB. Keanggotaannya meliputi manajer program, lembaga donor, LSM, lembaga pendidikan, aktivis dan kelompok pendukung pasien yang bekerja dengan WHO dan UNAIDS baik untuk program TB maupun HIV. Komisi penulis meliputi pakar teknis tuberkulosis dan HIV, pembuat kebijakan dalam manajemen kesehatan, orang yang hidup dengan HIV dan penasehatnya, manajer program TB dan HIV nasional maupun internasional, dan lembaga donor. Naskah kebijakan telah dibicarakan pada konperensi internasional oleh stakeholder nasional dan internasional dalam program HIV dan TB serta telah disahkan oleh Kelompok Kerja Global TB/HIV dan Strategic and Technical Advisory Group untuk TB (STAG), yang memberikan kepada WHO strategi eksternal dan nasehat teknis dalam penanggulangan TB.
3. Tujuan kegiatan kerja sama TB/HIV Tujuan umum kebijakan ialah mengurangi beban TB dan HIV pada populasi yang terkena kedua penyakit tersebut. Tujuan khusus kegiatan kerja sama TB/HIV adalah: (1) membangun mekanisme kerja sama antara program TB dan HIV/AIDS; (2) mengurangi beban TB pada orang dengan HIV/AIDS; dan (3) mengurangi beban HIV pada pasien TB.
4. Kegiatan kerja sama TB/HIV yang dianjurkan Pedoman ini berpusat pada kegiatan kerjasama dalam menghadapi epidemi TB dan HIV/AIDS yang harus dilaksanakan sebagai bagian dari rspons sektor kesehatan terhadap epidemi TB dan HIV yang saling bersilangan.
10
Tabel 1. Kegiatan kerja sama TB/HIV yang dianjurkan A. Membangun mekanisme kerja sama A1. Membentuk badan koordinasi untuk kegiatan TB/HIV yang efektif pada semua tingkat A2. Melaksanakan surveilans prevalensi HIV di antara pasien tuberkulosis A3. Mengadakan perencanaan bersama TB/HIV A4. Melaksanakan monitoring dan evaluasi
B. Mengurangi beban TB pada orang dengan HIV/AIDS B1. Menetapkan penemuan kasus TB yang diintensifkan B2. Memperkenalkan terapi pencegahan isoniazid B3. Menjamin pengendalian infeksi tuberkulosis pada upaya pelayanan kesehatan dan tempat umum
C. Mengurangi beban HIV pada pasien TB C1. Menyediakan konseling dan testing HIV C2. Memperkenalkan metoda pencegahan HIV C3. Memperkenalkan terapi pencegahan kotrimoksasol C4. Menjamin perawatan dan dukungan HIV/AIDS C5. Memperkenalkan terapi antiretroviral
Kegiatan kerjasama ini akan lebih berhasil jika strategi nasional pengendalian HIV/AIDS dan TB berdasarkan pedoman internasional tersebut dilaksanakan secara efektif. Kegiatan yang dianjurkan dapat dilaksanakan oleh program TB dan HIV/AIDS, lembaga swadaya masyarakat, organisasi berdasarkan komunitas atau sektor swasta di bawah koordinasi program nasional TB dan HIV/AIDS.
A. Membangun mekanisme kerja sama A.1. Membentuk badan koordinasi untuk kegiatan TB/HIV yang efektif pada semua tingkat
Bahkan pada keadaan prevalensi HIV tinggi, program TB dan HIV/AIDS mengikuti jalan yang terpisah. Badan koordinasi diperlukan untuk menjamin upaya kerja sama antara program HIV/AIDS dan TB yang sudah ada pada semua tingkat. Tanggung jawab yang penting untuk badan koordinasi bersama meliputi: • Menentukan dan menggerakkan sumber daya untuk kegiatan TB/HIV • Capacity-building termasuk pelatihan • Menjamin pertalian komunikasi tentang TB/HIV • Menjamin partisipasi masyarakat dalam kegiatan bersama TB/HIV • Mengawasi persiapan bukti-bukti (evidence base) Penelitian operasional dan pendapat pakar telah membuktikan bahwa bila badan koordinasi TB/HIV bekerja pada semua tingkat, sehingga semua stakeholder dari program penanggulangan HIV/AIDS dan TB dapat berpartisipasi, dapat dikerjakan dan menjamin komitmen rasa memiliki. Badan koordinasi demikian harus mengedepankan masalah penentuan dalam pelaksanaan suatu perencanaan bersama TB/HIV .(7,8,9)
11
Rekomendasi Program HIV/AIDS dan TB harus menciptakan badan koordinasi nasional bersama TB dan HIV, yang bekerja pada tingkat provinsi, kabupaten dan secara lokal (tergantung kepada negara), dengan perwakilan yang sama dan layak dari dua program termasuk kelompok dukungan pasien TB dan HIV. A2. Melaksanakan surveilans prevalensi HIV di antara pasien TB Surveilans penting untuk menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan program. Terdapat tiga metode utama dalam surveilans HIV di antara pasien TB; survai periodik/ khusus (survai seroprevalensi HIV cross-section dari sekelompok kecil pasien TB yang mewakili dalam suatu negara); survai sentinel (menggunakan pasien TB sebagai kelompok sentinel di dalam keseluruhan sistem surveilans sentinel HIV); dan data dari konseling dan testing HIV secara rutin dari pasien TB. Metoda surveilans yang dipilih tergantung kepada keadaan epidemi HIV yang mendasarinya (untuk definisi lihat catatan kaki 1-3), situasi TB secara menyeluruh, dan tersedianya sumber daya dan pengalaman. Penelitian deskriptif (10,11,12) dan pendapat pakar (13) membuktikan bahwa surveilans HIV di antara pasien TB menjadi suatu kegiatan kritis untuk mengerti trend epidemi dan dalam perkembangan strategi bagi epidemi ganda TB/HIV.
Rekomendasi 1. Harus ada surveilans HIV di antara pasien TB di semua negara dengan mengabaikan angka prevalensi nasional HIV pada orang dewasa. 2. Negara yang belum mengetahui angka prevalensi HIV di antara pasien TB harus melakukan survai seroprevalensi (periodik atau sentinel) untuk mengkaji situasi. 3. Pada negara dengan keadaan epidemi generalized1, konseling dan testing HIV untuk semua pasien TB akan membentuk dasar surveilans. Jika hal ini belum dilakukan, pilihan yang sesuai ialah survai periodik atau sentinel. 4. Pada negara dengan keadaan epidemi concentrated2 dimana kelompok berisiko tinggi terdapat di suatu daerah tertentu, konseling dan testing HIV pada semua pasien tuberkulosis akan membentuk dasar surveilans pada daerah tersebut. Jika hal ini belum dilakukan, maka sebagai pilihan yang sesuai adalah survai periodik atau survai sentinel. 5. Pada negara dengan keadaan epidemi low-level3, dianjurkan melakukan survai periodik atau survai sentinel.
1 2
3
Keadaan epidemi generalized: prevalensi HIV secara konsisten > 1% pada ibu hamil Keadaan epidemi concentrated: prevalensi HIV secara konsisten > 5% pada paling sedikit satu kelompok populasi tertentu dan < 1% pada ibu hamil di daerah perkotaan Keadaan epidemi low-level: prevalensi HIV tidak secara konsisten melebihi 5% pada kelompok populasi tertentu
12
A.3. Mengadakan perencanaan TB/HIV secara bersama Program TB dan HIV/AIDS memerlukan perencanaan strategis secara bersama untuk melakukan kerjasama secara sistematis dan berhasil. Mereka harus melengkapi dengan rencana TB/HIV bersama, atau memperkenalkan komponen TB/HIV pada rencana pengendalian nasional TB dan rencana pengendalian nasional HIV/AIDS. Peran dan tanggung jawab masing-masing program dalam pelaksanaan kegiatan TB/HIV yang spesifik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah harus dinyatakan dengan jelas. Unsur yang penting dalam perencanaan bersama adalah kegiatan-kegiatan yang dirinci pada bagian A – C buku ini, demikian juga mobilisasi sumber daya, membangun kapasitas dan pelatihan, komunikasi TB/HIV (advokasi, program komunikasi dan mobilisasi sosial), memperkuat keterlibatan masyarakat, dan penelitian operasional. A.3.1 Mobilisasi sumber daya untuk TB/HIV Kegiatan kerjasama TB/HIV, yang berdasarkan sumber daya yang baik dari TB dan strategi HIV/AIDS, tidak memerlukan banyak biaya tambahan. Jika salah satu atau kedua program kekurangan dana atau sumber daya manusia, pertama kali harus dimobilisasi sumber daya tambahan untuk memperkuat masing-masing program. Proposal bersama untuk mengumpulkan sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan kerjasama TB/HIV harus dipersiapkan, di dalam kerangka kerja badan koordinasi bersama tersebut, berdasarkan kekuatan komparatif kedua program dan kebutuhan spesifik suatu negara. Rekomendasi 1. Rencana bersama harus menjelaskan peran dan tanggung jawab masing-masing program dalam pelaksanaan kegiatan TB/HIV yang spesifik pada tingkat pusat maupun daerah seperti terlihat dalam Tabel 1 (sebagaimana dijelaskan dalam pedoman pelaksanaan kerjasama kegiatan TB/HIV (2) 2. Negara-negara harus menjamin mobilisasi dan penyebaran sumber daya manusia yang terlatih untuk melaksanakan kegiatan kerjasama TB/HIV menurut keadaan suatu negara. 3. Badan koordinasi TB/HIV harus bertanggung jawab untuk menentukan dan memobilisasi sumber daya untuk melaksanakan kegiatan kerjasama TB/HIV, sehingga menghindari terjadinya persaingan untuk sumber daya yang sama. A.3.2 Membangun kapasitas TB/HIV termasuk pelatihan Membangun kapasitas untuk kegiatan TB/HIV secara bersama harus meliputi pelatihan tenaga kesehatan mengenai masalah TB/HIV. Kapasitas harus diperkuat dalam sistem layanan kesehatan, misalnya, dalam sistem laboratorium dan rujukan, sehingga memungkinkan mereka menghadapi dengan lebih baik peningkatan permintaan akan kebutuhan kegiatan TB/HIV. Rekomendasi 1. Program TB dan HIV/AIDS harus menyusun rencana pelatihan bersama untuk memberikan pelatihan pra-layanan dan dalam-layanan (in-service) serta pendidikan
13
kedokteran berkelanjutan mengenai kegiatan kerjasama TB/HIV untuk semua kategori tenaga kesehatan. 2. Program TB dan HIV/AIDS harus menjamin bahwa kapasitas layanan kesehatan sudah mencukupi (misalnya, laboratorium, obat dan rujukan) demi efektifitas pelaksanaan kegiatan kerjasama TB/HIV. A.3.3 Komunikasi TB/HIV: advokasi, komunikasi program dan mobilisasi sosial Advokasi yang ditujukan untuk mempengaruhi kebijakan, pelaksanaan rogram dan mobilisasi sumber daya sangat penting untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan kerjasama TB/HIV. Komunikasi dua arah antara program dan masyarakat umum yang menginformasikan dan menciptakan kesadaran tentang TB/HIV, penting untuk menjamin bahwa pasien secara aktif mencari layanan dan memanfaatkannya. Mobilisasi sosial yang membangkitkan keinginan publik dan memperoleh konsensus luas serta komitmen sosial di antara semua stakeholder penting untuk mengurangi stigma serta pencegahan tuberkulosis dan HIV, demikian juga untuk mendorong partisipasi dalam kegiatan kerjasama TB/HIV. Rekomendasi 1. Kegiatan advokasi TB/HIV yang diatur dengan baik, yang direncanakan bersama untuk menjamin hubungan antara pesan-pesannya, ditujukan pada stakeholder dan pengambil keputusan yang penting, harus diadakan pada tingkat global, nasional, regional dan lokal. 2. Program HIV/AIDS dan TB harus mengembangkan komunikasi program TB/HIV secara bersama serta strategi mobilisasi sosial, yang ditujukan pada kebutuhan pasien secara individu dan masyarakat yang dipengaruhi oleh HIV/AIDS dan TB. 3. Strategi komunikasi bersama harus menjamin komponen HIV mengalir dalam komunikasi TB dan komponen TB dalam komunikasi HIV.
A.3.4 Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan kerjasama TB/HIV Kegiatan kerjasama TB/HIV yang diperluas di luar sektor kesehatan melalui keterlibatan masyarakat adalah sangat penting. Melalui kelompok pendukung untuk orang dengan HIV/AIDS serta organisasi berbasis komunitas, pencegahan dan perawatan TB dapat diintegrasikan dengan pencegahan, perawatan dan dukungan dari HIV/AIDS. Masyarakat dapat dimobilisasi secara efektif untuk mengadvokasi sumber daya dan peluang untuk melaksanakan kegiatan kerjasama TB/HIV. Organisasi berbasis komunitas, seperti yang memberikan perawatan berbasis rumah (home-based care), juga dapat dilibatkan dalam mengidentifikasi orang dengan gejala dan tanda TB,dan menjamin pengobatan yang diawasi secara langsung (directly observered treatment). Terapi pencegahan isoniazid dapat diberikan kepada orang dengan HIV/AIDS yang kontak erat dengan penderita TB menular. Hal ini dapat dilakukan dengan sedikit biaya tambahan oleh organisasi yang sudah ada.
14
Rekomendasi 1. Semua stakeholder, termasuk program HIV/AIDS dan TB, harus menjamin masuknya pencegahan dan perawatan TB dalam layanan pencegahan, perawatan dan dukungan HIV/AIDS berbasis komunitas. Demikian juga, layanan pencegahan dan perawatan TB dalam komunitas harus mencakup kegiatan pencegahan, perawatan dan dukungan HIV/AIDS dalam layanannya. 2. Semua stakeholder, termasuk program HIV/AIDS dan TB, harus menjamin keterlibatan kelompok dukungan pasien TB dan HIV serta komunitasnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan advokasi dari kegiatan kerjasama TB/HIV. A.3.5 Penelitian operasional untuk meningkatkan kegiatan kerjasama TB/HIV Penelitian operasional membantu menentukan alat yang paling efisien dalam pelaksanaan kegiatan kerjasama TB/HIV. Ia akan menginformasikan perkembangan kebijakan dan strategi global serta nasional, dengan memperhatikan keanekaragaman budaya, geografi dan sumber daya. Rekomendasi Semua stakeholder dari kegiatan kerjasama TB/HIV, termasuk program TB dan HIV/AIDS, harus mendukung dan mendorong penelitian operasional TB/HIV berkaitan dengan spesifitas yang ada dinegara tersebut agar dapat dilaksanakan kegiatan kerjasama TB/HIV yang efisien dan efektif berdasarkan bukti. Bukti dari penelitian operasional (7,8,9), pendapat pakar (8,9) dan analisis kebijakan (14) telah memperlihatkan bahwa pelaksanaan kegiatan kerjasama TB/HIV yang efektif dan efisien tergantung kepada perencanaan dan pelaksanaan bersama program TB dan HIV/AIDS serta memerlukan kerjsama yang erat antara layanan perawatan komunitas dan lembaga kesehatan pemerintah. Keterlibatan tenaga perawatan berbasis rumah dan tenaga kesehatan komunitas dalam kegiatanTB dan HIV/AIDS telah berhasil dilaksanakan di berbagai negara. Terdapat bukti efektifitas biaya dalam layanan tuberkulosis berbasis komunitas (5, 15,16) dan layanan perawatan HIV/AIDS (6).
A.4 Monitoring dan evaluasi kegiatan kerjasama TB/HIV Monitoring dan evaluasi menyediakan alat untuk menilai kualitas, efektifitas, cakupan dan layanan kegiatan kerjasama TB/HIV. Monitoring dan evaluasi ini mempromosikan budaya belajar di dalam program sehingga menjamin perbaikan kinerja program secara terus menerus. Selain itu, melibatkan kerjasama antar program dan sistem kesehatan umum, serta perkembangan rujukan antar layanan dan organisasi yang berbeda. Hal ini harus diintegrasikan dengan sistem monitoring dan evaluasi yang sudah ada serta harus menjamin kerahasiaan. Bukti dari penelitian operasional (7,8) di Afrika dan pendapat pakar (7) telah menunjukkan pentingnya monitroing dan evaluasi yang standar dalam kegiatan kerjasama TB/HIV untuk menentukan dampak dari kegiatan dan menjamin pelaksanaan dan manajemen program yang efektif.
15
Rekomendasi 1. Program HIV/AIDS dan TB harus menyetujui seperangkat indikator inti dan alat untuk mengumpulkan data, serta harus mengumpulkan data untuk monitoring dan evaluasi dari kegiatan kerjasama TB/HIV. 2. Pedoman monitoring dan evaluasi dari WHO mengenai kegiatan kerjasama TB/HIV sebaiknya digunakan sebagai dasar melakukan standarisasi kegiatan monitoring dan evaluasi yang spesifik bagi negara yang bersangkutan. B. Mengurangi beban TB pada orang dengan HIV/AIDS
B.1 Menetapkan penemuan kasus TB yang diintensifkan Penemuan kasus TB yang diintensifkan meliputi penapisan (skrining) gejala dan tanda TB pada tempat dimana orang terinfeksi HIV terkonsentrasi. Deteksi dini dari gejala dan tanda TB yang diikuti oleh diagnosis dan pengobatan yang tepat pada orang dengan HIV/AIDS, kontak serumah, kelompok yang berisiko tinggi untuk HIV dan mereka yang tinggal di tempat umum (misalnya, lembaga pemasyarakatan, pekerja di hostel, barak polisi dan militer) meningkatkan kesempatan untuk bertahan hidup, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan transmisi tuberkulosis dalam komunitas. Rekomendasi 1. Penemuan kasus TB yang diintensifkan harus ditetapkan pada semua tempat konseling dan testing HIV dengan menggunakan, paling sedikit, seperangkat pertanyaan yang sederhana untuk mengenal kasus suspek TB secara dini. Pertanyaan tersebut harus ditanyakan oleh konselor yang terlatih. 2. Sistem rujukan harus dibuat antara konseling dan testing HIV dengan pusat diagnostik dan pengobatan TB. 3. Penemuan kasus TB pada orang dengan HIV/AIDS di klinik dan rumah sakit, kontak serumah, populasi yang berisiko tinggi akan HIV, dan tempat umum harus ditingkatkan, dengan secara teratur meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang interaksi antara TB dan HIV pada tenaga kesehatan serta populasi yang mereka layani, mengenal suspek TB dan merujuknya untuk diagnosis. Bukti menunjukkan bahwa penemuan kasus dan pengobatan TB yang diintensifkan di antara orang terinfeksi HIV memutuskan penularan penyakit akibat kasus menular (17,18), mencegah kematian (19), mengurangi risiko penularan nosokomial TB dan kesempatan menawarkan pengobatan pencegahan TB pada pasien HIV positif(20). Juga telah ditetapkan bahwa penemuan kasus TB yang diintensifkan adalah layak (8,19,20,21), tidak membutuhkan banyak waktu dan dapat dilakukan dengan sedikit tambahan biaya pada layanan kesehatan yang sebelumnya sudah ada (7,8). Kuesioner singkat mengenai gejala TB untuk menapis TB aktif dapat dilakukan oleh konselor yang terlatih atau tenaga kesehatan umum (7,8). Pada penelitian operasional di Afrika (8) dan di tempat lain (20), TB yang sebelumnya tidak dideteksi pada orang dengan HIV/AIDS yang didapat melalui konseling dan testing HIV dapat didiagnosisi sampai 11%.
B.2 Memperkenalkan terapi pencegahan isoniazid (INH) Isoniazid diberikan pada orang dengan infeksi laten Mycobacterium tuberculosis untuk mencegah berkembang menjadi penyakit aktif. Menyingkirkan adanya TB aktif sangat penting sebelum memulai terapi ini. Isoniazid diberikan setiap hari sebagai terapi tunggal 16
selama enam sampai sembilan bulan. Orang terinfeksi HIV dapat menderita TB sebelum ada indikasi terapi antiretroviral, dan tidak terdapat bukti adanya kontra indikasi menggunakan obat secara bersamaan, penggunaan obat antiretroviral tidak menyingkirkan penggunaan terapi pencegahan isoniazid. Rekomendasi 1. Program HIV/AIDS harus menyediakan terapi pencegahan isoniazid sebagai bagian dari paket perawatan orang dengan HIV/AIDS jika TB aktif dapat disingkirkan secara aman. 2. Informasi tentang terapi pencegahan isoniazid harus tersedia untuk semua orang dengan HIV/AIDS. Bukti menunjukkan bahwa terapi pencegahan isoniazid lebih efektif (22) dan lebih aman (23) daripada rejimen yang mengandung rifampisin dan pirazinamida yang digunakan untuk pencegahan infeksi laten TB. Beberapa penelitian secara acak menunjukkan bahwa terapi pencegahan isoniazid efektif menurunkan insidens TB, dan kematian akibat TB pada pasien terinfeksi HIV dengan tes tuberkulin yang positif (24). Terapi pencegahan isoniazid juga mengakibatkan penghematan biaya dalam layanan medis dan mengurangi biaya sosial di daerah Afrika sub-Sahara (25). Akan tetapi, terapi ini memerlukan beberapa langkah untuk dikerjakan yaitu identifikasi subyek HIV positif, penapisan untuk menyingkirkan TB aktif dan adherence dalam pengobatan (24). Untuk alasan tersebut, kelayakan terapi ini di negara sedang berkembang kurang jelas (24). Pada beberapa penelitian yang menggabungkan terapi antiretroviral dengan terapi pencegahan isonoazid telah dilaporkan tanpa bukti yang meyakinkan mengenai efektifitasnya (26,27). Hasil penelitian mendatang yang menilai efektifitas kombinasi kedua terapi tersebut perlu diikuti secara ketat agar dapat memperbaiki kebijakansementara.
B.3 Menjamin penanggulangan infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat umum Pada sarana layanan kesehatan dan tempat umum (misalnya, lembaga pemasyarakatan, barak polisi dan militer), dimana orang dengan TB dan HIV sering berkumpul bersamasama, infeksi TB meningkat. Standart untuk menurunkan penularan TB termasuk administratif, perlindungan lingkungan dan perorangan, dengan maksud menurunkan pajanan secara umum terhadap M. tuberculosis pada tenaga kesehatan, petugas lembaga pemasyarakatan, polisi dan kliennya, dan orang lain yang hidup dalam tempat umum. Standart administratif berupa pengenalan dini, diagnosis dan pengobatan suspek TB, terutama kasus TB paru, dan pemisahan suspek TB dari yang lain, sampai diagnosis dipastikan atau disingkirkan. Proteksi lingkungan harus termasuk memaksimalkan ventilasi alamiah, dan menggunakan penyinaran ultraviolet (jika dapat). Proteksi perorangan sebaiknya termasuk proteksi orang dengan HIV positif dari kemungkinan terpajan dengan TB (misalnya, memindahkan tenaga yang terinfeksi HIV dari ruang perawatan) dan menawarkan terapi pencegahan isoniazid. Bukti menunjukkan terdapanyat peningkatan risiko terhadap TB di antara tenaga kesehatan, mahasiswa kedokteran dan mahasiswa keperawatan akibat kontak dengan pasien (17,28), narapidana (29) dan prajurit di barak militer (30) yang diperburuk oleh epidemi HIV. HIV membantu terjadinya TB aktif pada orang yang baru baru teinfeksir atau dengan infeksi laten Mycobacterium tuberculosis (1).
Rekomendasi Masing-masing tempat layanan kesehatan dan tempat umum harus memiliki rencana penanggulangan infeksi TB dengan didukung oleh stakeholder, yang meliputi standart 17
administratif, perlindungan lingkungan dan perorangan untuk mengurangi penularan TB pada layanan kesehatan dan tempat umum.
C. Mengurangi beban HIV pada pasien TB C.1 Menyediakan konseling dan testing HIV Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV tidak tahu akan status HIVnya dan berobat pada layanan kesehatan umum. Konseling dan testing HIV untuk pasien TB dengan menggunakan rapid tes, menawarkan pintu masuk menuju pencegahan, dukungan dan pengobatan yang berkesinambungan untuk HIV/AIDS dan TB. Manfaat bertambah untuk pasien, keluarganya, dan masyarakat umum. Testing harus sudah tersedia, dan dilakukan dengan cara sukarela dengan surat persetujuan (informed consent), serta kerahasiaannya harus dijaga. Pendapat para pakar (7) dan penelitian operasional (8,9) membuktikan bahwa konseling dan testing HIV menawarkan pintu masuk langsung kepada perawatan dan dukungan untuk pasienTB dengan HIV. Pasien TB yang di tes HIV juga tinggi (8,9,31). Efektifitas biaya konseling dan testing HIV secara sukarela meningkat secara bermakna jika testing ditujukan pada populasi dengan prevalensi HIV yang tinggi (32).
Rekomendasi 1. Konseling dan testing HIV harus ditawarkan pada semua pasien TB jika prevalensi HIV di antara pasien tuberkulosis melebihi 5%. 2. Program penanggulangan tuberkulosis harus menetapkan konseling dan testing HIV dalam kegiatan utamanya atau membuat rujukan yang saling berhubungan dengan program HIV/AIDS untuk melakukan hal tersebut. C.2 Memperkenalkan metoda pencegahan HIV Penurunan transmisi HIV secara seksual, parenteral dan vertikal terjadi akibat dari pelaksanaan program penyuluhan HIV/AIDS yang luas. Tindakan untuk menurunkan transmisi HIV secara seksual termasuk dalam melaksanakan perilaku hubungan seksual yang lebih aman dan bertanggung jawab, memperlambat mulainya kegiatan hubungan seksual, mengurangi jumlah mitra seksual, menggunakan kondom (laki-laki dan perempuan) dan mendiagnosis serta mengobati infeksi menular seksual lain. Tindakan untuk menurunkan transmisi HIV secara parenteral adalah menjamin keamanan supplai darah dan menggunakan peralatan jarum suntik serta bedah yang steril. Di antara pengguna obat narkotika suntik, dapat dilakukan strategi harm reduction, seperti akses yang lebih luas terhadap penyediaan peralatan jarum suntik steril, pengobatan ketergantungan obat, dan layanan jangkauan untuk mengurangi frekuensi penggunaan napza suntik. Transmisi HIV secara vertikal dapat dikurangi dengan memberikan obat antiretroviral kepada ibu hamil dan bayinya. Bukti menunjukkan bahwa metoda pencegahan HIV merupakan metoda yang efektif dalam pembiayaan (6). Ketentuan metoda pencegahan HIV oleh program penanggulangan TB atau rujukan pasien yang efektif ke program AIDS adalah layak pada keadaan prevalensi TB dan HIV yang tinggi (7,8,9). Kemajuan pengobatan infeksi menular seksual telah menunjukkan dapat menurunkan insidens HIV pada situasi dimana terdapat epidemi HIV (3 3 ) .
18
Rekomendasi 1. Program penanggulangan TB harus mengembangkan dan melaksanakan strategi pencegahan HIV yang komprehensif bagi pasien-pasiennya, dengan sasaran pada penularan secara seksual, parenteral atau vertikal atau harus membangun jejaring rujukan dengan program HIV/AIDS. 2. Semua pasien yang datang ke klinik TB harus ditapis (skrining) akan infeksi menular seksual dengan menggunakan kuesioner yang sederhana atau pendekatan lain yang dianjurkan. Mereka yang mempunyai gejala infeksi menular seksual harus diobati dan dirujuk ke sarana layanan pengobatan yang terkait. 3. Program pengendalian TB, dalam layanannya harus melaksanakan prosedur untuk mengurangi pajanan terhadap infeksi HIV pada pekerja dan penularan nosokomial ditempat kerjanya. 4. Program pengendalian TB sebaiknya menyediakan standart harm reduction bagi pasien TB jika penggunaan narkotika suntik merupakan masalah atau membangun jejaring rujukan dengan program HIV/AIDS. 5. Program pengendalian TB harus menjamin bahwa penularan secara vertikal dicegah, dengan merujuk pasien infeksi HIV yang hamil ke pemberi layanan untuk mencegah penularan ibu ke anaknya (PMTCT). C.3 Memperkenalkan terapi pencegahan kotrimoksasol Terapi pencegahan kotrimoksasol dipromosikan oleh WHO dan UNAIDS untuk mencegah beberapa infeksi bakteri dan parasit sekunder pada orang dewasa dan anak-anak yang diketahui dengan HIV/AIDS memenuhi syarat di Afrika. Pasien TB merupakan salah satu dari kelompok yang memenuhi syarat untuk terapi ini. Kebijakan ini berdasar pada rekomendasi sekretariat WHO/UNAIDS tentang penggunaan profilaksis kotrimoksasol pada orang dewasa dan anak-anak dengan HIV/AIDS di Afrika. Bukti dari penelitian terkontrol secara acak mengenai terapi pencegahan kotrimoksasol telah memperlihatkan menurunkan kematian pada pasien HIV denganTB-BTA positifs (34) dan menurunkan angka rawat inap dan kesakitan pada orang dengan HIV/AIDS (35). Penelitian secara tidak acak yang lain menunjukkan bahwa terapi pencegahan kotrimoksasol adalah layak (7,36,37), aman (36) dan menurunkan angka kematian pada pasien TB (31,36,37,38). Akan tetapi, satu penelitian terkontrol secara acak memperlihatkan tidak ada efek yang bermanfaat mengenai terapi ini (39) . Kurangnya efek tersebut disebabkan oleh penelitian yang tidak adekuat (40). Angka resistensi terhadap kotrimoksasol di antara patogen yang biasa, mungkin juga tinggi pada beberapa keadaan dan ini dapat membahayakan efektifitas terapi pencegahan kotrimoksasol (40).
Rekomendasi Program TB dan HIV/AIDS harus membangun suatu sistem untuk menyediakan terapi pencegahan kotrimoksasol bagi orang dengan HIV/AIDS yang memenuhi syarat serta menderita TB aktif. C.4 Menjamin perawatan dan dukungan HIV/AIDS Akses kepada layanan kesehatan untuk orang dengan HIV/AIDS merupakan hak asasi manusia mendasar yang meliputi ketentuan layanan klinis sebagai strategi layanan AIDS secara komprehensif dan berkesinambungan. Strategi tersebut meliputi manajemen klinis (profilaksis, diagnosis dini, pengobatan yang rasional dan layanan follow-up untuk infeksi oportunistik), layanan keperawatan (mempromosikan dukungan higiene dan nutrisi), 19
perawatan paliatif, perawatan di rumah (penyuluhan untuk pemberi layanan perawatan dan keluarga pasien, mempromosikan kewaspadaan universal), dukungan konseling dan sosial. Orang dengan HIV/AIDS yang menerima atau telah menyelesaikan pengobatan TB harus diberikan perawatan dan dukungan berkesinambungan untuk HIV/AIDS yang didukung oleh sistem rujukan pasien. Rekomendasi 1. Semua orang dengan HIV/AIDS yang didiagnosis menderita TB harus diberikan layanan perawatan dan dukungan HIV/AIDS. 2. Program penanggulangan TB sebaiknya membangun jejaring rujukan dengan program HIV/AIDS untuk memberikan perawatan dan dukungan yag berkesinamnbungan bagi orang dengan HIV/AIDS yang sedang menerima atau telah menyelesaikan pengobatan TB nya. Bukti menunjukkan bahwa program pencegahan, perawatan dan dukungan yang berhubungan membangkitkan sinergi dan kekuatan program HIV/AIDS (41). Terapi aniretroviral yang diamati langsung untuk orang dengan HIV/AIDS dengan model dari upaya penangulangan TB yang berhasil digunakan untuk memperluas dukungan moral dan sosial pada orang dengan HIV/AIDS (42). Penelitian opreasional (31,35) dan pendapat pakar (7,8,9) telah memperlihatkan bahwa kerjasama antara program TB dan HIV dapat dengan efisien meningkatkan kegiatan layanan perawatan dan dukungan pada pasien HIV yang terinfeksi TB.
C.5 Memperkenalkan terapi antiretroviral Terapi antiretroviral (ART) memperbaiki kualitas hidup dan meningkatkan kelangsungan hidup orang dengan HIV/AIDS. Tersedianya terapi antiretroviral dapat berlaku sebagai perangsang agar orang mau dites HIV. Juga mengubah infeksi HIV menjadi keadaan kronis melalui efek positif pada harapan hidupnya. Ini merupakan pengobatan seumur hidup yang membutukan adherence yang tinggi untuk mencapai manfaat jangka panjang dan meminimalkan timbulnya resistensi obat. Terdapat bukti bahwa terapi antiretroviral yang poten dapat menurunkan insidens TB pada orang dengan HIV positif lebih dari 80% (26,43). Akan tetapi, dibutuhkan untuk mulai terapi dengan antiretroviral sejak awal perjalanan infeksi HIV dan diperlukan angka kepatuhan yang tinggi agar dapat mencegah kasus TB secara bermakna (44).Pada awal terapi antiretroviral pasien HIV yang terinfeksiTB dapat mengakibakant perburukan sementara dari gejala dan tandaTB sampai 30% pasien di negara maju (45,46). Pendapat pakar (38,45,47) dan penelitian observasional (42,48,49) menganjurkan bahwa program pengobatan yang diamati langsung dari TB dapat digunakan sebagai model dalam pemberian terapi antiretroviral pada beberapa keadaan. Tetapi, terdapat pendapat yang bertentangan tentang strategi ini karena kurangnya bukti (50). Prakarasa "3 by 5" yang bermaksud mengobati 3 juta orang dengan ART pada tahun 2005 akan meningkatkan akses ART pada pasien TB yang memenuhi syarat.
Rekomendasi 1. Terapi antiretroviral harus ditawarkan kepada semua pasien TB yang HIV positif tergantung kepada kriteria memenuhi syarat untuk terapi pada pasien TB di masingmasing negara dan interaksi obat (dengan rifampisin). 2. Program TB dan HIV/AIDS harus menciptakan mekanisme untuk memberikan terapi antiretroviral kepada pasien TB dengan HIV positif yang memenuhi syarat.
20
5. Ambang untuk memulai kegiatan kerja sama yang dianjurkan Tidak seperti infeksi oportunistik yang terkait HIV lainnya, TB dapat terjadi pada semua tingkat status imunitas (diukur melalui jumlah limfosit CD4) pada orang dengan HIV/AIDS dan sekaligus sebagai penyumbang dari keseluruhan beban penyakit di antara kelompok ini. Karena itu, negara-negara dengan status epidemi apapun dan dengan epidemi TB dan HIV yang bersilangan harus melaksanakan kegiatan kerjasama TB/HIV sebagaimana dimaksud dalam Tabel 2. Prevalensi HIV di antara pasien TB merupakan indikator yang sangat sensitif dan dapat dipercaya untuk epidemi ganda di suatu negara. Jika tidak ada data tersebut, angka prevalensi HIV pada orang dewasa dapat digunakan sebagai indikator untuk memulai kegiatan kerjasama TB/HIV. Data prevalensi HIV pada orang dewasa sering ada pada tingkat nasional dan dapat digunakan untuk mengklasifikasi keadaan epidemi suatu negara. Tetapi, ini akan menimbulkan estimasi dibawah angka prevalensi HIV yang tinggi pada kelompok risiko tinggi untuk HIV dan pada beberapa daerah tertentu dalam suatu negara, terutama negara dengan letak geografi yang luas. Karena itu, negara harus mempertimbangkan variasi regional (dalam negara) angka prevalensi HIV agar dapat memutuskan jenis kegiatan kerjasama yang dapat dilakukan. Untuk menggunakan sumber dayanya dengan efisien, negara dengan prevalensi HIV rendah sebaiknya memusatkan prioritasnya pada kelompok berisiko tinggi untuk HIV dan TB seperti pengguna napza suntik, pekerja seks komersial dan tempat umum (misalnya, pekerja hostel, lembaga pemasyarakatan, barak polisi dan militer)..
21
Tabel 2 Ambang bagi negara untuk memulai kegiatan kerjasama TB/HIV yang dianjurkan Kategori
Kriteria Negara dengan angka nasional prevalensi HIV pada orang dewasa > 1%
Kegiatan kerjasama TB/HIV yang dianjurkan A. Membangun mekanisme kerjasama A1. Membentuk badan koordinasi kegiatan TB/HIV yang efektif pada semua tingkat A2. Melaksanakan surveilans prevalensi HIV di antara pasien TB A3. Mengadakan perencanaan bersama TB/HIV A4. Melaksanakan monitoring dan evaluasi
ATAU B. Mengurangi beban TB pada orang dengan HIV/AIDS I
angka nasional prevalensi HIV di antara pasien TB > 5%
B1. Menetapkan penemuan kasus TB yang diintensifkan B2. Memperkenalkan terapi pencegahan isoniazid B3. Menjamin penanggulangan infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat kerumunan
C. Mengurangi beban HIV pada pasien TB C1. Menyediakan konseling dan testing HIV C2. Memperkenalkan metoda pencegahan HIV C3. Memperkenalkan terapi pencegahan kotrimoksasol C4. Menjamin perawatan dan dukungan HIV/AIDS C5. Memperkenalkan terapi antiretroviral
Negara dengan angka nasional prevalensi HIV pada orang dewasa < 1%
Daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1%: melaksanakan semua kegiatan seperti kategori I
DAN
Daerah lain: melaksanakan kegiatan seperti pada kategori III
II
Jika ada daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1% Negara dengan angka nasional prevalensi HIV pada orang dewasa < 1% III
DAN Jika tidak ada daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1%
A. Perencanaan nasional bersama TB/HIV untuk melaksanakan: A2. Melaksanakan surveilans prevalensi HIV di antara pasien TB
B. Untuk mengurangi beban TB pada orang dengan HIV/AIDS (dengan memusatkan pada kelompok berisiko tinggi untuk HIV dan risiko TB, misalnya: pengguna napza suntik, pekerja seksual komersial, yang tinggal di tempat umum) B1. Menetapkan penemuan kasus TB yang diintensifkan B2. Memperkenalkan terapi pencegahan isoniazid B3. Menjamin penanggulangan infeksi tuberkulosis pada layanan kesehatan dan tempat kerumunan
22
6. Target kegiatan kerja sama TB/HIV
Target global WHO untuk TB ialah menyembuhkan 85% pasien BTA positif yang mendapat pengobatan dan untuk mendeteksi 70% kasus pada tahun 2005. Millennium Development Goal mengikuti target WHO untuk TB dan juga bermaksud menurunkan angka prevalensi dan kematian sebanyak 50% dari tahun 2000 yang diperkirakan akan terlaksana pada tahun 2015. United Nations General Assembly Special Session on AIDS telah menetapkan – di antara yang lainnya – target global HIV/AIDS sebagai berikut, yang kemudian didukung oleh WHO Global Health Sector Strategy for HIV/AIDS: •
•
•
Pada tahun 2005, menurunkan prevalensi HIV di antara laki-laki dan perempuan muda berusia 15 – 24 tahun pada negara-negara yang paling terkena sebanyak 25 % dan yang serupa adalah menurunkan prevalensi HIV secara global sebanyak 25% pada tahun 2010. Pada tahun 2005, menjamin bahwa paling sedikit 90% laki-laki dan perempuan muda berusia 15 – 24 tahun memiliki akses bahan informasi khusus remaja, penyuluhan dan komunikasi mengenai HIV/AIDS dan pada tahun 2010 proporsi ini meningkat menjadi paling sedikit 95%. Pada tahun 2005, menurunkan proporsi bayi yang terinfeksi HIV menjadi 20%, dan 50% pada tahun 2010.
Pelaksanaan kegiatan kerjasama TB/HIV yang efektif menyumbang ke arah pencapaian target HIV/AIDS dan TB. Tetapi, terdapat sedikit bukti yang menunjukkan pola dan mekanisme yang tepat bagaimana sumbangan kegiatan kerjasama TB/HIV untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Karena itu, dibutuhkan perhatian yang sangat tinggi dalam menetapkan target kuantitatif untuk kegiatan kerjasama TB/HIV. Negara-negara, organisasi dan lembaga dimungkinkan untuk berkonsentrasi pada masalah dan bekerja menuju tujuan yang sama melalui target. Target kegiatan kerjasama TB/HIV diperlukan untuk meningkatkan cakupan global dan untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan kerjasama TB/HIV dalam suatu negara. Berikut adalah target global untuk kegiatan kerjasama TB/HIV: Target global kegiatan kerjasama TB/HIV 1. Pada tahun 2005, semua negara dalam kategori I dan kategori II membentuk paling sedikit badan koordinasi nasional TB/HIV untuk menciptakan mekanisme kerjasama antara program TB dan HIV. 2. Pada tahun 2007, semua negara dalam kategori I dan kategori II mengembangkan rencana pelaksanaan bersama TB/HIV. 3. Pada tahun 2007, semua negara dalam kategori I dan kategori II membentuk sistem surveilans HIV di antara pasien TB Rekomendasi Negara yang melaksanakan kegiatan kerjasama TB/HIV harus menetapkan targetnya masing-masing untuk kegiatan kerjasama TB/HIV. 23
7. Daftar Pustaka
1. Strategic framework to decrease the burden of TB/HIV. World Health Organization, Geneva, 2002. (WHO/CDS/TB/2002.296, WHO/HIV_AIDS/2002.2) 2. Guidelines for implementing collaborative TB and HIV programme activities. World Health Organization, Geneva, 2003. (WHO/CDS/TB/2003.319 WHO/HIV/2003.01) 3. A guide to monitoring and evaluation for collaborative TB/HIV activities. World Health Organization, Geneva (Document in preparation 2003). 4. Guidelines for the surveillance of HIV among people with tuberculosis. World Health Organization, Geneva (Document in preparation 2003). 5. Borgdorff MW, Floyd K, Broekmans JF. Interventions to reduce tuberculosis mortality and transmission in low- and middle-income countries. Bulletin of the World Health Organization, 2002, 80: 217- 27. 6. Creese A, Floyd K, Alban A, Guiness L. Cost effectiveness of HIV/AIDS interventions in Africa: a systematic review of the evidence. Lancet, 2002, 359:1635-1642. 7. Second meeting of the Global Working Group on TB/HIV. 14-16 June 2002, Durban, South Africa. World Health Organization, Geneva, 2002. (WHO/CDS/TB/2002.311) 8. Report on the “lessons learnt” workshop on the six ProTEST pilot projects in Malawi, South Africa and Zambia. 3- 6 February 2003, Durban, South Africa. World Health Organization, Geneva (Document in preparation 2003). 9. Godfrey-Faussett P, Maher D, Mukadi Y, Nunn P, Perriens J, Raviglione M. How human immunodeficiency virus voluntary testing can contribute to TB control. Bulletin of the World Health Organization, 2002, 80:939- 945. 10. Range N, Ipuge YA, O’Brien RJ, et al. Trends in HIV prevalence among TB patients in Tanzania, 1991-1998. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 2001, 5:405412. 11. Talbot EA, Hone NM, Moffat HJ et al. The validity of HIV testing using sputum from suspected tuberculosis patients, Botswana, 2001. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 2003, 7:710- 713. 12. Bowen EF, Rice PS, Cooke NT, Whitefield RJ, Rayner CF. HIV seroprevalence by anonymous testing in patients with Mycobacterium tuberculosis and in tuberculosis contacts. Lancet, 2000, 356:1488- 1489. 13. Guidelines for using HIV testing technologies in surveillance. Selection, evaluation and implementation. World Health Organization, Geneva, 2001. (WHO/CDS/CSR/EDC.2001.16 and UNAIDS/01.22E) 14. Anderson S, Maher D. An analysis of interaction between TB and HIV/AIDS programmes in subSaharan Africa. World Health Organization, Geneva, 2001. (WHO/CDS/2001.294) 15. Floyd K, Wilkinson D, Gilks C. Comparison of cost effectiveness of Directly Observed Treatment (DOT) and conventional delivered treatment for tuberculosis: experience from rural South Africa. British Medical Journal, 1997, 315:1407-1411. 16. Floyd K. Cost and effectiveness - the impact of economic studies on TB control. Tuberculosis, 2003, 83:187- 200. 17. Harries AD, Maher D, Nunn P. Practical and affordable measures for protection of health care workers from tuberculosis in low-income countries. Bulletin of the World Health Organization, 1997, 75:477- 489. 18. DeCock K, Chalsson R. Will DOTS do it? A reappraisal of tuberculosis control in countries with high rates of HIV infection. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 1999, 3:457- 467. 19. Nachega J, Coetzee J, Adendorff T et al. Tuberculosis active case finding in a mother-tochild HIV transmission prevention programme in Soweto, South Africa. AIDS, 2003, 17:13981400.
24
20. Burgess A, Fitzgerald D, Severe P et al. Integration of tuberculosis screening at an HIV voluntary counselling and testing center in Haiti. AIDS, 2001, 15:1875-1879. 21. Nachega J, Coetzee J, Adendorff T et al. Tuberculosis active case-finding in mother-to-child transmission programme in Soweto, South Africa. AIDS, 2003, 17:1398- 1400. 22. WHO and UNAIDS Policy statement on preventive therapy against tuberculosis in people living with HIV. Weekly Epidemiological Record, 1999, 74:385- 400. 23. LoBue PA, Moser KS. Use of isoniazide for latent tuberculosis infection in a public health clinic. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 2003,168:443- 447. 24. Wilkinson D. Drugs for preventing TB in HIV infected persons. Cochrane Database Syst Rev. 2000, (4):CD000171. 25. Bell J, Rose D, Sacks H. Tuberculosis preventive therapy for HIV infected people in subSaharan Africa is cost effective. AIDS, 1999, 13:1549- 1556. 26. Giarardi E, Antonucci G, Vanacore P et al. Impact of combination antireteroviral therapy on the risk of tuberculosis among persons with HIV infection. AIDS, 2000, 14:1985-1991. 27. Santoro-Lopez G, Pinho A, Harrison L, Schechter M. Reduced risk of tuberculosis among Brazilian patients with advanced Human Immunodeficiency Virus infection treated with highly active antiretroviral therapy. ClD, 2002, 34:543-546. 28. Guidelines for the prevention of tuberculosis in health care facilities in resource limited settings. World Health Organization, Geneva, 1999. (WHO/CDS/TB/99.269) 29. Tuberculosis control in prisons. A manual for programme managers. World Health Organization, Geneva, 2003. (WHO/CDS/TB/2000.281). 30. Miles S. HIV in insurgency forces in sub-Saharan Africa - a personal view of policies. International Journal of STD and AIDS, 2003, 14:174-178. 31. Zachariah R, Spielmann M, Chinji C, et al. Voluntary counselling, HIV testing and adjunctive cotrimoxazole reduces mortality in tuberculosis patients in Thyolo, Malawi. AIDS, 2003,17:1053- 1061. 32. Sweat M, Gregorich S, Sangiwa G et al. Cost effectiveness of voluntary HIV-1 counselling and testing in reducing sexual transmission of HIV-1 in Kenya and Tanzania. Lancet, 2000, 356:113- 121. 32. Wilkinson D, Rutherford G. Population-based intervention for reducing sexually transmitted infections including HIV infections. Cochrane Database Syst Rev. 2001,(2):CD001220. 33. Wiktor SZ, Sassan-Morokro, Grabt AD et al. Efficacy of trimethoprim-sulphamehoxazole prophylaxis to decrease the morbidity and mortality in HIV-1 infected patients with tuberculosis in Abidjan, Cote d’Ivoire: a randomised controlled trial. Lancet, 1999, 353:1469-1475. 34. Anglaret X, Chene G, Attia A et al. Early chemoprophylaxis with trimethoprimsulphanmethoxazole for HIV-1 infected adults in Abidjan, Cote d' Ivoire : a randomised trial. Cotrimo-CI study group. Lancet, 1999, 353:1463- 1468. 35. Zachariah R, Spielmann M, Harries AD, Gomani P, Bakali E. Cotrimoxazole prophylaxis in HIV infected individuals after completing anti-tuberculosis treatment in Thyolo, Malawi. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 2002, 6:1046- 1050. 36. Zachariah R, Harries AD, Arendt V et al. Compliance with cotrimoxazole prophylaxis for the prevention of opportunistic infections in HIV-positive tuberculosis patients in Thyolo district, Malawi. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 2001, 5:843- 846. 37. Third Meeting of the Global Working Group on TB/HIV. Montreux, 4-6 June, 2003. World Health Organization, Geneva, 2003. (WHO/CDS/TB/2003.327) 38. Maynart M, Lievre L, Sow PS et al. Primary prevention with cotrimoxazole for HIV-1 infected adults: results of the pilot study in Dakar, Senegal. Journal of Acquired immunodeficiency syndrome, 2001, 26:130- 136. 39. Godfrey-Faussett P. District-randomised phased implementation: strengthening the evidence base for cotrimoxazole for HIV positive tuberculosis patients. AIDS, 2003, 17:1079- 1081. 40. Improving access to care in developing countries: lessons from practice, research, resources and partnerships. Report from a meeting: Advocating for access to care and sharing experiences. 29 November-1 December 2001. UNAIDS, Paris. 41. Farmer P, Leandre F, Mukherjee JS et al. Community-based approaches to HIV treatment in resource poor settings. Lancet, 2001, 358:404- 409.
25
42. Badri M, Wilson D, Wood R. Effect of highly active antiretroviral therapy on incidence of tuberculosis in South Africa: a cohort study. Lancet, 2002, 359:2059-2064. 43. Williams B, Dye C. Antiretroviral drugs for tuberculosis control in the era of HIV/AIDS. Science Express, 2003, 10:1126/science 1086845 accessed on August 14, 2003. 44. Scaling up antiretroviral therapy in resource limited settings. Guidelines for a public health approach. World Health Organization, Geneva, 2002. 45. Narita M, Ashkin D, Hollander E, Pitchenik A. Paradoxical worsening of tuberculosis following antiretroviral therapy in patients with AIDS. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine 1998, 158:157- 161. 46. Consensus statement on antiretroviral treatment for AIDS in poor countries, Harvard University, Boston, 2001. 47. Mitty J, Macalino G, Taylor L, Harwell J, Flanigan T. Directly observed therapy (DOT) for individuals with HIV: successes and challenges. Medscape General Medicine, 2003:5, accessed on April 2, 2003. 49. Farmer P, Learndre F, Mukherjee J, Gupta R, Tartar L, Kim J. Community based treatment of advanced HIV disease: introducing DOT-HAART(Directly Observed Therapy with Highly Active Antiretroviral Therapy). Bulletin of the World Health Organization, 2001, 79:1145-1151 48. Liechty C, Bangsberg D. Doubts about DOT: antiretroviral therapy for resource-poor countries. AIDS 2003, 17:1383-1387
26