Yvonne Yolanda Fransiska dan Evi Kurniawaty| Anemia pada Infeksi HIV
Anemia pada Infeksi HIV Yvonne Yolanda Fransiska1, Evi Kurniawaty2 1Mahasiswa, Fakultas kedokteran, Universitas Lampung 2Bagian Biologi molekuler, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Kejadian Infeksi HIV di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Salah satu komplikasi hematologi yang paling sering dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pada infeksi HIV adalah anemia. Anemia merupakan kelainan hamatologi dimana jumlah sel darah merah dan kapasitas angkut oksigennya tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh. Tiga mekanisme dasar terjadinya anemia pada infeksi HIV adalah penurunan eritropoiesis, peningkatan destruksi eritrosit dan inefektivitas eritropoiesis. Faktor resiko anemia yang berkaitan dengan infeksi HIV antara lain seks, usia, penggunaan zidovudin, CD4, dan stadium klinis HIV. Terdapat beberapa prediktor kesembuhan anemia pada infeksi HIV antara lain stadium klinis (III dan IV) dan seks (Laki-laki). Dampak dari anemia pada infeksi HIV adalah kelelahan, gangguan fungsi fisik dan penurunan kualitas hidup. Strategi penatalaksanaan pertama pada anemia pada infeksi HIV dengan penangan etiologi anemia, pemberian nutrisi suportif serta pelaksanaan skrining secara sering. Penggunaan HAART pada anemia memberikan perbaikan signifikan pada anemia serta memperbaiki keadaan klinis penyakit. Epoetin alfa yang diberikan pada anemia ringan dan sedang, dapat memperbaiki keadaan anemia dan mengurangi kebutuhan pemberian transfusi darah. Transfusi darah dapat diberikan pada anemia berat. Kata kunci: AIDS, Anemia, HIV
Anemia in HIV infection Abstract The incidence of HIV infection in Indonesia increases every year. One of the most common hematological complication which increase the morbidity and mortality of HIV infection is anemia. Anemia is a hematologic disorder in which the number of red blood cells and their capacity in carying oxygen are insufficient to meet the body’s physiologic needs. Three mechanisms of anemia are decreased of erythropoiesis, increased erytrocytes destruction and ineffective erythropoiesis.The risk factors of anemia associated to HIV infection are sex, age, the use of zidovudin, CD4 and HIV clinical stage. Some predictors of anemia recovery in HIV infections are clinical stage (III and IV) and sex (male). Impacts of anemia in HIV infection are fatigue, impaired physical functioning and decrements in quality of life. First strategy of anemia management are treating the etiology of anemia, giving supportive nutrition, and implementation of frequent screening. The use of HAART gives a significant improvement in anemia and clinical outcome of the disease. Epoetin alfa that is given to mild and moderate anemia are able to correct anemia and decrease the need of blood transfusion. Blood transfusion is given to severe anemia. . Keywords: AIDS, Anemia,HIV Korespondensi: Yvonne Yolanda Fransiska, alamat Jl. Prof. SoemantriBrodjonegoro No. 1. Bandar Lampung, HP 087781500704, e-mail
[email protected]
Pendahuluan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit imuno kompromis berbahaya yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV).1 Virus HIV sendiri tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun penurunan imunitas tubuh meningkatkan terjadinya berbagai macam penyakit pada penderita yang membawa pada kesakitan dan kematian. Menurut data tahun 2013, terdapat 35 juta (33,2–37,2 juta) penduduk dunia yang hidup dengan infeksi HIV dan 1,5 juta penduduk (1,4– 1,7 juta) mati akibat penyakit terkait HIV/AIDS.2 Jumlah penderita infeksi HIV di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Pada
akhir tahun 2013, terdapat 29.037 orang yang terlapor terinfeksi HIV/AIDS.3 Anemia merupakan salah satu komplikasi hematologi yang paling sering ditemukan pada orang dengan infeksi HIV. Prevalensi Anemia pada infeksi HIV berkisar adalah 1,3%–95%, dipengaruhi oleh stadium klinis penyakit. Peningkatan progresifitas penyakit akan meningkatkan kejadian anemia serta memperburuk keadaan klinis. Sebuah studi menunjukan bahwa anemia merupakan faktor risiko independen kematian pada infeksi HIV/AIDS, disamping jumlah CD4 (cluster of differentiation) dan viral load.4,5 Sebaliknya, telah dibuktikan bahwa perbaikan dari anemia
Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |123
Yvonne Yolanda Fransiska dan Evi Kurniawaty| Anemia pada Infeksi HIV
dapat menurunkan resiko progresi penyakit serta meningkatkan harapan hidup.6 Data mengenai prevalensi anemia pada infeksi HIV di Indonesia belum mendalam. Sebuah studi mengenai prevalensi dan faktor resiko anemia di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, menunjukan prevalensi anemia pada penderita HIV/AIDS sebesar 41,6% dengan faktor resiko Body Mass Index (BMI) ≤22,9, kandidiasis oral, antiretroviral therapy (ART) dan kadar CD4 ≤50.7 Pada tahun 2002, dilaporkan kejadian anemia pada 60,2% penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo.8 Anemia terkait dengan ART, terjadi pada 16.2% pasien penerima Zidovudin.9 Mekanisme terjadinya anemia yang pada infeksi HIV, diklasifikasikan secara luas menjadi suatu hubungan dengan poses hematopoeisis yang inefisien, yang disebakan oleh: malnutrisi, koinfeksi, neoplasma, penurunan produksi eritropoeitin dan penggunaan obat antiretroviral. Mekanisme lainnya dapat berhubungan dengan peningkatan aktivitas destruksi eritrosit dan blood loss akibat perdarahan pada saluran gastrointestinal atau genotourinaria.10 Terapi antiretroviral (ART) diberikan dengan tujuan menghambat perbanyakan virus dan memperbaiki keadaan klinis.11 Selain meningkatkan CD4 dan menurunkan viral load, ART juga terbukti meningkatkan kesembuhan dari anemia terutama pada pasien pada stadium III dan IV.6 Hal ini dapat dimengerti karena adanya hubungan antara perbaikan anemia dengan keadaan klinis penderita HIV/AIDS.4 Meskipun perbaikan anemia dapat terlihat dalam 3 bulan pertama seiring perbaikan keadaan klinis penderita,6 pemeberian antiretroviral juga dikaitkan dengan penyebab anemia, terutama Zidovudin.12,13 Untuk meningkatkan kualitas dan harapan hidup penderita HIV/AIDS,
penanganan anemia sangat penting. Tujuan penanganan anemia adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan hemoglobin ≥12 g/dL pada laki-laki dan ≥11 g/dL pada wanita.14 Pengawasan terhadap kadar hemoglobin harus dilakukan secara rutin. Evaluasi terhadap penyebab anemia harus dilakukan untuk mengeksklusi penyebabpenyebab bila memungkinkan. Pentalaksanaan farmakologi, yaitu dengan Highly Active Antiretroviral Thrapy(HAART) dan epoetin alfa memberikan perbaikan yang signifikan. Transfusi darah pada anemia berat dapat diperlukan.5 Isi Menurut WHO, Anemia merupakan keadaan dimana jumlah sel darah merah tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh, dimana konsekuensinya ialah penurunan kapasitas angkut oksigen. Golongan yang termasuk anemia adalah laki-laki dewasa dengan Hb <130g/l dan Hb <120g/l. Anemia digolongkan menadi anemia ringan, sedang dan berat (tabel 1).15 Persentase eritrosit dari volume darah total adalah 47% ± 5% untuk laki-laki dan adalah 42% ± 5% untuk wanita. Mean Corpuscular Volume (MCV) digunakan untuk membedakan tipe-tipe anemia. Nilai rujukan MCV adalah 80–95fL. Nilai MCV dibawah nomal disebut anemia mikrositik dan nilai MCV diatas normal disebut anemia makrositer.16 Patogenesis anemia terkait dengan infeksi HIV bersifat kompleks dan multifaktorial. Pertama, banyak infeksi oportunistik atau keganasan yang sangat mungkin terjadi pada infeksi HIV dapat menyebabkan anemia. Hal ini dapat menjadi masalah yang membingungkan pada kasus infeksi HIV yang terjadi di negara berkembang, dimana terdapat endemi penyakit infeksi seperti malaria dan kecacingan, yang dapat menyebabkan anemia sekalipun penderita tidak terinfeksi HIV. Prevalensi HIV juga tinggi
Tabel. 1 Kadar hemoglobin dalan mendiagnosis anemia15 Populasi
Tidak Anemia
Ringan
Anemia Sedang
Berat
Anak usia 6-59 bulan
≥110
100-109
70-99
<70
Anak usia 5-11 tahun
≥115
110-114
80-109
<80
Anak usia 12-14 tahun
≥120
110-119
80-109
<80
Wanita tidak hamil (≥15 tahun)
≥120
110-119
80-109
<80
Wanita hamil
≥110
100-109
70-99
<70
Laki-laki (≥15 tahun)
≥130
110-129
80-109
<80
Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |124
Yvonne Yolanda Fransiska dan Evi Kurniawaty| Anemia pada Infeksi HIV
pada populasi thalasemia dan sickle cell. Defisiensi mikronutrien juga banyak berperan dalam anemia pada infeksi HIV, sama seperti pada kasus non-HIV. Berbeda pada anemia non-HIV, anemia pada infeksi HIV dapat disebabkan karena ART yang memiliki efek samping gangguan hematopoeisis.17 Terdapat tiga mekanisme terjadinya anemia pada infeksi HIV: penurunan produksi sel darah merah, peningkatan destruksi sel darah merah, dan prosuksi sel darah merah yang inefektif.5 Penurunan produksi eritrosit kemungkinan disebabkan oleh infiltrasi sumsum tulang oleh neoplasma, atau infeksi pengobatan myelosupresive, infeksi HIV itu sendiri, penurunan produksi eritropeitin endogen, tidak adanya respon terhadap eritropoeitin, atau hypogonadisme.5 Peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis) atau destruksi imatur dari eritrosit di lien sering terjadi pada infeksi HIV. Anemia Hemolitik dapat disebabkan oleh auto antibodi eritrosit, hemophagocytic syndrome, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), Thrombotic Thrombocytopenic Purpura (TTP), atau defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD). Hemolisis juga mungkin berkembang dari obat-obatan yang dikonsumsi.5 Produksi eritrosit yang inefektif merupakan mekanisme lain dari anemia. Infektivitas produksi eritrosit dapat disebabkan oleh defisiensi nutrisi yang menjadi bahan baku pembentuk eritrosit, sehingga anemia akibat hal ini disebut anemia nutrisional—paling sering adalah defisiensi zat besi, asam folat dan Viamin B12. Pada pasien dengan infeksi HIV, defisiensi asam folat secara umum disebabkan oleh baik defisiensi dalam diet maupun oleh keadaan patologis dari jejunum. Vitamin B12 kemungkinan diakibatkan oleh malabsorpsi pada ileum atau dari kerusakan lambung yang disebabkan infeksi oportunistik pada mukosa lambung.5 Setiap individu dengan infeksi HIV memiliki kerentanan dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia. Pada beberapa studi terdahulu, ada beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya anemia pada infeksi HIV, antara lain seks18, ras19, BMI6,7, stadium klinis, jumlah CD4, viral load,6,7 pengangguran6, usia, kandidiasis oral, pneumonia, dan penggunaan Zidovudin.5,7
Seks dapat menentukan kerentanan kejadian anemia ataupun kesembuhannya. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalensi anemia pada infeksi HIV lebih tinggi terjadi ada wanita dibanding dengan lakilaki.6,18 Atas hal ini, diasumsikan bawha kehilangan darah dan drainase zat besi terjadi saat menstruasi, kehamilan serta proses melahirkan berkontribusi terhadap tingginya anemia pada wanita dengan HIV. Pada studi prediktor kesembuhan anemia, didapat pula bahwa laki-laki lebih cepat mengalami kesembuhan anemia dibandingkan dengan wanita.6 Usia yang bertambah juga berhubungan dengan pertambahan angka kejadian anemia pada infeksi HIV. Sebuah studi menunjukan bahwa anemia pada infeksi HIV 37,4% terjadi pada usia ≤35 tahun, 40,8% pada usia 36-45 tahun dan 46,7% pada usia ≥36 tahun.20 Zidovudin telah dilaporkan sebagai penyebab ganguan hematologi, terutama anemia, sejak pertamakali Zidovudin diperkenalkan sebagai terapi antiretroviral.21, 13 Dalam guideline terapi ARV oleh WHO juga telah dikatakan bahwa Zidovudin merupakan NRTI yang memilik toksisitas supresi sumsum tulang.13 Penelitian terdahulu telah melaporkan genotoksisitas analog nukleosida yang membawa kepada mutasi, delesi serta kerusakan DNA yang mengakibatkan kerusakan sel tinggi terjadi pada sumsum tulang dan sel darah perifer. Toksisitas ini berkaitan dengan dosis Zidovudin.22, 23 Perburukan parameter penyakit infeksi HIV/AIDS berhubungan dengan peningkatan resiko anemia. Kadar CD4 ≤200 sel/µL dan viral load yang tinggi menjadi faktor yang signifikan terhadap perburukan anemia. Stadium klinis HIV juga menjadi faktor resiko anemia berat terutama stadium 3 dan 4.5 Dampak yang nyata dari anemia adalah kelelahan. Kelelahan pada infeksi HIV berkaitan dengan gangguan fungsional fisik, distres psikologi dan penurunan kulitas hidup. Meskipun penyebab kelelahan pada anemia bersifat multifaktorial, namun diduga anemia merupakan penyebab paling berpengaruh ada kelelahan. Kelelahan yang terjadi terlihat pada gangguan aktivitas sehar-hari, gangguan kerja, gangguan tidur.5 Anemia menjadi prediktor terkuat untuk mortalitas dalam tahun pertama dan semakin tinggi derajat anemia semakin besar resiko kematian.20, 24 Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |125
Yvonne Yolanda Fransiska dan Evi Kurniawaty| Anemia pada Infeksi HIV
Tujuan utama dari tatalaksana anemia pada infeksi HIV adalah untuk mempertahankan hemoglobin normal dan peningkatan hemoglobin. Strategi pertama dalam tatalaksana anemia pada infeksi HIV adalah mengeksklusi etiologi anemia yang dapat disembuhkan (Tabel 2). Strategi selanjutnya adalah pemberian nutrisi adekuat dan perencanaan skrining yang lebih sering. Terapi farmakalogi yang dapat dinisiasi segera adalah HAART dan epoetin alfa (recombinant human erythropoietin). Transfusi darah diberikan pada anemia berat.5,25 Rekomendasi kosensus pada tahun 2002 tentang strategi evidence-based penatalaksanaan anemia pada infeksi HIV adalah sebagai berikut:5,25 a. Rekomendasi kosensus pada tahun 2002 tentang Monitor kadar hemoglobin secara rutin. Nilai keadaan fisik, fungsi fisik, dan kualitas hidup pasien. b. Jika hemoglobin dibawah normal, atau jika pasien menunjukan gejala anemia, koreksi penyebab yang mungkin diobati. c. Inisiasi HAART d. Jika penyebab yang mungkin diobati telah dikoreksi, dan kadar hemoglobin masih dibawah normal, inisiasi epoetin alfa dengan dosis 40.000U per minggu. e. Pemberian epoetin alfa harus sambil memperhatikan cost-benefit. f. Lanjutkan terapi epoetin alfa sampai gejala anemia dapat diatasi da kadar hemoglobin kembali normal. Jaga kadar hemoglobin dengan mentitrasi dosis atau meningkatkan interval dosis. Tabel 2. Penyebab anemia yang dapat ditangani pada infeksi HIV5 Defisiensi nutrisi (malnutrisi dan malabsorbsi) Anemia akibat penyakit kronik Obat yang bersifat mielosupresif (zidovudin, antimikroba, dan obat antineoplasma) Hipogonadisme Defisiensi Vitamin B12, zat besi dan folat Hemophagocytic histocytosis Mielofibrosis atau mielodisplasia Neoplasia (contoh: limfoma non-Hodgkin) Infeksi oportunistik sumsum tulang (contoh: infeksi cytomegalovirus, parvovirus B19, Mycobacterium avium complex, atau Cryptococcus neoformans)
Pengunaan HAART cukup baik dalam mengoreksi anemia pada infeksi HIV. Sebuah Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |126
studi menunjukan bawa HAART berhubungan resolusi anemia bahkan hanya dalam waktu 6 bulan terapi. Dilaporkan pula bahwa penggunaan HAART selama lebih dari 12 bulan berhubungan efek protektif melawan perkembangan anemia.26 Epoetin alfa atau recombinant human erythropoietinadalah pilihan terapi yang tepat untuk penderita HIV/AIDS dengan gejala anemia ringan atau berat.5 Epoetin alfa tidak menginduksi efek samping yang diinduksi oleh transfusi darah, namun secara klinis baru akan memberikan efek terpeutik yang berarti setelah 4-8 minggu. Pemberian epoetin alfa mengurangi kebutuhan untuk transfusi darah. Epoetin alfa (100-200 U) yang diberikan 3 kali seminggu dapat meningkatkan hematokrit secara signifikan pada pasien HIV dengan kadar eritropoietin endogen ≤500 IU/L . Epoetin alfa disarankan untuk anemia yang diinduksi Zidovudin.27 Ringkasan Anemia merupakan masalah hematologi yang sering dijumpai pada infeksi HIV. Anemia pada infeksi HIV meningkatkan morbiditas dan mortalitas pendeerita HIV/AIDS Mekanisme anemia pada infeksi HIV adalah akbiat penurunan produksi eritrosit, peningkatan destruksi eritrosit dan produksi eritrosit yang inefektif. Terjadinya anemia pada infeksi HIV bersifat kompleks dan multifaktorial. Faktor resiko yang meningkatkan kejadian anemia pada infeksi HIV anatar lain kadar CD4, jumlahviral load, BMI, Zidovudin, Wanita, stadium klinis, dan kandidiasis oral. Tujuan penatalaksanaan anemia adalah mengembalikan dan mempertahankan kadar hemoglobin normal. Strategi penatalaksanaan anemia pada infeksi HIV diawali dengan eksklusi penyebab anemia yang dapat diobati dan skrining teratur. Penatalaksanaan dengan HAART dan epoetin alfa dapat memberikan perbaikan anemia yang signifikan. Transfusi darah dapat diberikan pada penderita HIV/AIDS dengan anemia berat. Simpulan Anemia merupakan masalah hematologi yang sering dijumpai pada infeksi HIV. Anemia dapat meningkatkan morbididtas dan mortalitas pada infeksi HIV sehingga penatalaksanaan yang tepat dapat
Yvonne Yolanda Fransiska dan Evi Kurniawaty| Anemia pada Infeksi HIV
meningkatkan HIV/AIDS.
kualitas
hidup
penderita 11.
DaftarPustaka 1. Sharp PM, Hahn BH. Origins of HIV and the AIDS Pandemic. Cold Spring HarbPerspect Med. 2011, 1: 1-22 2. World Health Organization. Global Health Observatory (GHO) Data, 2014 [disitasi tanggal 30 Oktober 2015]. Tersediadari: http://www.who.int/gho/hiv/en/ 3. Ditjen PP & PL Kemenkes RI; 2014 [disitasi tanggal 3 Oktober 2015]. Tersedia dari: http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf 4. Belperio PS, Rhew DC. Prevalence and outcomes of anemia in individuals with human immunodeficeincy virus: a systematic review of literature. Am J Med. 2004;116(Suppl 7A):S27-43 5. Volberding PA, Levine AM, Dietrich G, Mildvan D, MituyasuR, Saag M, et al. Anemia in HIV Infection: Clinical Impact and Evidence-Based Management Strategies. Clinical Infectious Diseases. 2004,38(10):1454-63. 6. Ndlovu Z, Chirwa T, Takuva S.Incidence and predictors of recovery from anemia within an HIV-infected South African Cohort 2004-2010. Pan African Medical Journal. 2014,19:114-20 7. Sumantri, R, Wicaksana R, Ariantana AR. PrevalensidanFaktorResiko Anemia pada HIV-AIDS. MKB. 2009,41(4): 187-93 8. Surzamin R. HitungLimfosit Total SebagaiIndikasiMemulaiTerapi Antiretroviral padaPasien HIV/AIDS. Jakarta: BagianIlmuPenyakitDalam FKUI; 2002. 9. Karsono B, Muthalib A. AZT induced anemia in HIV infected persons. Scientific Meeting of the Indonesian Association of Physicians in AIDS Care, Dharmais Cancer Hospital; 2005 Nov 26-28; Jakarta. Indonesia; 2005. 10. Claster S. Biology of anemia, differential diagnosis, and treatment options in
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
human immunodeficiency virus infection. J Infect Dis. 2002; 185(Suppl 2):105–09. Katzung, BG. FarmakologiDasardanKlinik.Edisike-10. Jakarta: EGC; 2010. Agarwal D, Chakravarty J, Chaube L, Rai M, Agrawal NR, SundarS. High incidence of zidovudine induced anaemia in HIV infected patients in eastern India. Indian J Med Res.2010,132:380–86 WHO. 2010. Antiretroviraltherapy for HIV infection in Adults And Adolescents, Recommendations for a public health approach 2010 revision[diakses tanggal 23 Maret 2015, pukul 11.35 WIB]. Tersesdia dari: http://whqlibdoc.who.int/publications/20 10/9789241599764_eng.pdf?ua=1 Volberding P. Consensus statement: anemia in HIV infection-current trends, treatment options, and practice strategies. ClinTher. 2000,22(9):1004-20 WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva, World Health Organization, 2011. Moyle G. Anemia and Persons with HIV Infection: Prognostic Marker and Contributor to Morbidity. AIDS Rev.2002, 4:13-20 Redig AJ, Berliner N. Pathogenesis and Clinical Implication of HIV-related Anemia in 2013. Hemathology. 2013, 2013:377-81 Creagh T, Mildvan D. Greater prevalence of anemia in women and African Americans with HIV/AIDS in the HAART era: a study of 10,000 patients [abstract 475]. The Anemia Prevalence Study Group. In: Program and abstracts of the 40th Annual Meeting of the Infectious Diseases Society of America (Chicago). Alexandria, VA: Infectious Diseaes Society of America. 2002:127. Semba RD, Shah N, Klein RS, Mayer KHSchuman P, Vlahov D. Prevalence and cumulative incidence of and risk factors
Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |127
Yvonne Yolanda Fransiska dan Evi Kurniawaty| Anemia pada Infeksi HIV
20.
21.
22.
23.
for anemia in a multicenter cohort study of human immunodeficiency virus– infected and –uninfected women. Clin Infect Dis. 2002, 34(2):260–6. Rodriguez EJS, Mayor AM, Santos DMF, Candelia YR, Mellado FRH. Anemia in a cohort of HIV-infected Hispanics: prevalence, associated factors and impact on one-year mortality. BMC Research Notes. 2014, 7:439. Richman DD, Fischl MA, Grieco MH, Gotlieb, MS, Volberding PA, Laskin OL, et al. The toxicity of azidothymidine (AZT) in the treatment of patients with AIDS and AIDSrelated complex. A double-blind, placebo-controlled trial. N Engl J Med. 1987; 317(4):192–197. Olivero OA. Mechanism of Genotoxicity of Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors. Enviro Mo Mutagen.2007; 48:215-23 Guerard M, Koening J, Festag M, Destinger SD, Singer T, Schmitt G, et al. Assesment of the Genotoxic Potential of Azidothymidine in the Comet, Micronucleus and Pig-a Assay.
Majority | Volume 4 | Nomor 9 | Desember 2015 |128
24.
25.
26.
27.
Toxicological Sciences. 2013, 135(2):309– 316 Meidani M, Rezaei, Maracy MR, Avijgan M, Tayer K. Prevalence, severity, and related factors of anemia in HIV/AIDS patients. J Res Med Sci. 2012, 17(2): 138– 42. Ferri RS, Adinolfi A, Orsi AJ,Sterken DJ, Keruly JC, Davis S, et al. Treatment of anemia in patients with HIV infection— part 2: guidelines for management of anemia. J Assoc Nurses AIDS Care.2002, 13:50–9. Levine AM, Berhane K, Karim R, Cohen MH, Lavine LM, Young M, et al. Impact of Highly Active Antiretroviral Therapy on Anemia and Relationship Between Anemia and Survival in a Large Cohort of HIVInfected Women: Women's Interagency HIV Study. Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes. 200, 37(2):1245-52 Claster S. Biology of Anemia, Differential Diagnosis, adn Treatment Options in Human Immunodeficiency Vius Infection. The Journal of Infectious Diseases. 2002;185(Suppl 2):S105–09