1
HISTORIOGRAFI HIZB AL-TAHRIR SURABAYA: MELACAK JARINGAN DAN POLA GERAKAN
Samsuri
Abstract: This paper examines the historiography of Hizb al-Tahrir in Surabaya. By tracking the history starting from its appearance in the history of Syria, the Middle East until he came to Indonesia, it can be concluded that the Hizb al-Tahrir in Surabaya ideologically cling to the Qur'an and the Sunna, and directed by them, in the form of consensus Sahabah and Qiyas, since only four references that are specified by the arguments hujjahnya qath'iy (definitely). Movement made by Hizb al-Tahrir Surabaya begins with the recruitment of members through the student movement, leaflets, and public media such as internet and web. Therefore, the network spread from Surabaya student level to the general public in several mosques and organizations. Key Words: Hizb al-Tahrir, Ideology, Network, Movement.
Pendahuluan Hizb al-Tahrir merupakan kelompok politik, bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial.1 Atas dasar itulah, maka seluruh aktivitas yang dilakukan Hizb al-Tahrir bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek pergolakan pemikiran, dan dalam perjuangan politik.2 Hizb al-Tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan aktifitasnya, dan Islam adalah mabda’-nya. Hizb al-Tahrir bergerak di tengah-tengah umat dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai perkara utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem khilafah dan menegakkan hukum berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah di dalam realita kehidupan ini.3 Tujuan dan Latar Belakang Hizb al-Tahrir adalah mewujudkan kembali Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi. Yang dimaksud khilafah adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat,4 dengan berlandaskan pada
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, JawaTimur. Email:
[email protected] Mengenal Hizb al-Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, terj. Abu Afif, (Cet. 3; Bogor: Hizb al-Tahrir, 2002), h. 1. 2Ibid., h. 16. 3Ibid., h. 1. 4Ibid., h. 2. 1Anonim,
2 suatu asumsi bahwa semua negeri kaum muslimin dewasa ini tanpa kecuali termasuk kategori Darul Kufur (negeri kafir), sekalipun penduduknya kaum muslimin. Karena dalam kamus Hizb al-Tahrir, yang dimaksud Darul Islam adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim. Sedangkan Darul Kufur adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim.5 Hizb al-Tahrir melarang umat Islam pada umumnya dan pengikutnya pada khususnya untuk mengadopsi gagasan-gagasan konseptual dari Barat, seperti demokrasi, pluralisme, multikulturalisme, kesetaraan gender, kapitalisme, dan lain sebagainya. Namun demikian, Hizb al-Tahrir tetap memanfaatkan dan mengadopsi, seperti transportasi, teknologi, komunikasi, dan sebagainya, dengan alasan bahwa hal tersebut bersifat universal sehingga siapapun boleh memanfaatkannya. Metode Penelitian Berdasarkan objek penelitiannya, yaitu sebab-sebab terjadinya fundamentalisme Islam di Indonesia dengan studi kasus Hizb al-Tahrir di Surabaya, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Dengan begitu, maka pendekatan holistic yang berupaya memahami sesuatu dari sudut pandang keutuhannya terasa lebih sesuai untuk dipergunakan dalam penelitian ini. Metodologi kualitatif digunakan untuk menjamin diperolehnya pemahaman terhadap realitas lapangan. Tentunya hal ini tidak bisa diungkap dengan mengandalkan angka-angka kuantitatif. Sehubungan dengan hal itu, maka gabungan antara pendekatan rasionalitas dan fenomenologis lebih sesuai untuk diterapkan. Maksud dari pendekatan rasionalitas dalam penelitian ini adalah membangun kebenaran informasi keilmuan yang bertumpu pada kecermatan pikir, ketajaman nalar, dan kekuatan logika argumentatif, baik ketika menggali data, melakukan analisis, dan memaparkan hasil penelitian. Sedangkan pendekatan fenomenologis adalah bagaimana penelitian ini memiliki fleksibilitas sedemikian rupa dalam memandang permasalahan yang menjadi fokus penelitiannya sehingga kebenaran informasi keilmuan yang diperoleh semaksimal mungkin sesuai dengan realitas alamiah lapangan.6 Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Data literer dari bahan kepustakaan, baik berupa buku, jurnal, maupun majalah ilmiah. Maksud dari bahan literer tersebut adalah untuk memfokuskan diri pada persoalan analisis subjek sasaran; 2) Data tentang historiografi jaringan dan pola gerakan Hizb al-Tahrir di Surabaya diperoleh dari realitas keadaan fisik dan sosial Hizb al-Tahrir, baik langsung maupun tidak langsung. Penelitian ini juga memanfaatkan sumber data sekunder berupa dokumen-dokumen Hizb al-Tahrir, maupun data-data lain yang berhasil diperoleh di lapangan. 5Ibid.,
h. 79. Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), h. 12.
6Noeng
3 Berpijak dari penelitian ini, baik tempat maupun sumber data, maka teknik analisisnya menggunakan pendekatan kualitatif dengan maksud memperoleh kedalaman dan keutuhan informasi tentang Hizb al-Tahrir Surabaya. Pada tingkat pelaksanaannya, analisis data berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data. Strategi analisis bertolak dari data dan bermuara pada simpulan-simpulan umum.7 Dalam penelitian ini, kesimpulan umum bisa berupa kategorisasi maupun proposisi. Sejarah Kemunculan Hizb al-Tahrir 1. Kemunculan Hizb al-Tahrir Pertama Kali Hizb al-Tahrir secara resmi didirikan di kota al-Quds (Yerusalem) pada tahun 1372 H (1953 M) oleh seorang alumnus Universitas al-Azhar Kairo (Mesir) yang berakidah Maturidiyyah dalam masalah asma` dan sifat Allah, dan berpandangan Mu’tazilah dalam sekian permasalahan agama. Dia adalah Taqiyuddin al-Nabhani, warga Palestina yang dilahirkan di Ijzim Qadha Haifa pada tahun 1909. Markas tertua mereka berada di Yordania, Syiria dan Lebanon.8 Kelompok besarnya adalah Ikhwanul Muslimin yang pusatnya di Ismailiah, Mesir. Organisasi ini berdiri pada tahun 1928, dua tahun setelah Nahdalutl Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926. Pendiri Ikhwanul Muslimin adalah Syaikh Hasan alBanna yang berpikiran moderat. Dia berusaha mengakomodasi kelompok salafy yang wahabi, merangkul kelompok tradisional yang mungkin perilaku keagamaannya sama dengan NU dan juga merangkul kelompok pembaharu yang dipengaruhi oleh Muhammad Abduh. Syaikh al-Banna menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin itu harkah islamiyah, sunniyah, salafiyah. Jadi, diakomodasi semua sehingga ikhwanul muslimin menjadi besar. Dalam Ikhwanul Muslimin, ada lembaga bernama Tandhimul Jihad. Yaitu institusi jihad dalam struktur Ikhwanul Muslimin yang sangat rahasia. Kader yang berada dalam Tandhimul Jihad ini dilatih secara militer dengan menerapkan doktrin kesetiaan seperti keterikatan seorang sufi kepada mursyidnya. Ini dibawah komando langsung Ikhwanul Muslimin. Para militer atau milisi menarik kelompokkelompok sekuler yang ingin belajar tentang disiplin militer. Ketika tahun 1948, Israel memproklamerkan dirinya sebagai negara, maka terjadi perang. Tandhimul Jihad ini ikut perang, dan kelompok ini yang punya prakarsaprakarsa. Pada waktu itu, Mesir masih di bawah kerajaan Raja Faruk dan sistemnya masih perdana menteri, Nugrasi. Tapi akhirnya, Arab kalah dan Israel berdiri. Kemudian Tandhimul Jihad balik lagi ke Mesir. Dalam kelompok ini, ada Taqiuddin Nabhani yang kemudian mendirikan Hizb al-Tahrir. Jadi Taqiuddin itu awalnya bagian dari Ikhwanul Muslimin. Namun antara Hasan al-Banna dan Taqiuddin ini kemudian terjadi perbedaan. Hasan al-Banna berprinsip kita terus melakukan perjuangan dan memperbaiki sumber daya manusia. Sedangkan Taqiuddin bersikukuh agar terus melakukan perjuangan bersenjata, militer. Taqiuddin 7Ibid.,
h. 209. dan Jajang Jahroni (ed.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), h. 168. 8Jamhari
4 berpendapat kekalahan Arab atau Islam karena dijajah oleh sistem politik demokrasi dan nasionalisme. Sedangkan Hasan al-Banna berpendapat sebaliknya. Menurut dia, tidak masalah umat Islam menerima sistem demokrasi dan nasionalisme, yang penting kehidupan syariat Islam berjalan dalam suatu negara. Pada tahun 1949, Hasan al-Banna meninggal karena ditembak agen pemerintah dan dianggap syahid. Sedangkan Taqiuddin terus berkampanye di kelompoknya di Syria, Libanon, dan Yordania. Kemudian Tandhimul Jihad diambil alih Sayid Qutub, ideolognya Ikhwanul Muslimin. Ia dikenal sebagai sastrawan dan penulis produktif, termasuk tafsir yang banyak dibaca oleh kita di Indonesia. Sayid Qutub mendatangi Taqiuddin agar secara ideologi tetap di Ikhwanul Muslimin, tapi Taqiuddin tidak mau karena ia beranggapan bahwa Ikhwanul Muslimin sudah masuk lingkaran jahiliyah karena menerima nasionalisme. Akhirnya Taqiuddin mendirikan Hizb al-Tahrir sebagai sebuah partai pembebasan. Maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat dan dalam jangka dekat membebaskan Palestina dari Israel dengan mengadopsi konsep ideologi khilafah Islamiyah. Karena berideologi khilafah Islamiyah, sementara di negaranya sendiri telah berdiri negara nasional, maka akhirnya berbeda dengan masyarakatnya. Di Lebanon, sudah berdiri negara nasionalis yang multi karena rakyatnya terdiri dari banyak agama, undang-undangnya sesuai jumlah penduduknya, misalnya; Presidennya harus orang Kristen Maronit, Perdana Menterinya harus orang Islam Sunni, Ketua Parlemennya harus orang Islam Syiah. Di Syiria juga telah menjadi negara sosialis, begitu juga Yordania telah berdiri sebagai negara sesuai kondisi masyarakatnya. Akhirnya Hizb al-Tahrir itu menjadi organisasi terlarang di negara asal berdirinya. Karena ia menganggap nasionalisme itu sebagai jahiliah modern. Namun meski menjadi organisasi terlarang, Hizb al-Tahrir tetap bekerja dan menyusup ke tentara, ke berbagai organisasi profesi, dan masuk juga ke parlemen. Hizb al-Tahrir masuk ke partai politik dengan menyembunyikan identitasnya. Dari situlah kemudian terjadi upaya-upaya untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah pada jaman Raja Husen, sehingga sebagian anggota Hizb al-Tahrir diajukan ke pengadilan dan dihukum mati. Sampai sekarang Hizb al-Tahrir masih jadi organisasi terlarang di Yordania.9 Yang melarang HT adalah rezim-rezim di Timur Tengah dan Asia Tengah yang dikenal diktator, Seperti; rezim Mubarak (Mesir), Saddam Husain (saat masih berkuasa di Irak), Hafedz Assad (Suriah), Raja Abdullah (Yordan), dan penguasa Saudi yang dikenal merupakan pemimpin represif. Termasuk yang bersikap kejam terhadap HT adalah Karimov, penguasa tangan besi Uzbekistan. Organisasi HAM internasional secara terbuka telah mempublikasikan kekejaman Karimov ini. Tidak sedikit aktivis Hizb al-Tahrir dijebloskan ke penjara, disiksa, dan direbus hidup-hidup hanya karena satu alasan, yaitu menyebarkan leaflet (selebaran) yang menyerukan syariah dan Khilafah. Persoalannya, karena Hizb al-Tahrir secara konsisten
9Wawancara
dengan Ghazali Said dalam Harian Bangsa, 05 September 2006.
5 mengkritik kebijakan penguasa tiran itu yang menyengsarakan rakyat dan menyerukan syariah Islam dan Khilafah sebagai solusinya. Para penguasa tersebut melarang, karena agenda Hizb al-Tahrir mengancam kekuasaan diktator mereka yang represif dan menindas rakyat. Larangan ini juga merupakan agenda negara-negara imperialis yang menekan penguasa-penguasa Timur Tengah yang sebagian besar adalah kaki tangan mereka. Negara-negara Imperialis ini sangat mengerti tegaknya Khilafah dan syariah akan menghentikan penjajahan negara imperialis ini. Walaupun demikian, Hizb al-Tahrir tetap berkembang dengan pesat. Ia menyerukan kepada anggotanya untuk menyebar ke seluruh dunia. Akhirnya Hizb alTahrir melakukan diaspora di banyak negara Timur Tengah setelah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Di Mesir, Hizb al-Tahrir dilarang secara resmi pada tahun 1974. Di Iraq, pengikut Hizb al-Tahrir mengalami tekanan yang luar biasa dari rezim Saddam Husein. Di Pakistan, anggota Hizb al-Tahrir mengalami tekanan dari Jenderal Musharraf. Demikian halnya di Turki, Aljazair, dan Maroko. Sebaliknya, di beberapa negara termasuk di Indonesia, Hizb al-Tahrir diakui sebagai organisasi yang legal.10 2. Cikal Bakal Hizb al-Tahrir Indonesia Hadirnya Hizb al-Tahrir di Indonesia tidak terlepas dari fundamentalisme keyakinan dan mengarah kepada gerakan keagamaan. Meskipun pada mulanya istilah fundamentalisme menunjuk sebuah fenomena gerakan Kristen Protestan, namun sekarang istilah ini secara luas dipakai untuk menyebut gerakan yang terjadi di kalangan masyarakat Katolik, Islam (Sunni dan Syiah), Yahudi, Hindu, Buddha, dan Zoroaster,11 sehingga istilah ini menjadi umum dan dimiliki oleh agama manapun tanpa terkecuali, bahkan Hizb al-Tahrir di Indonesia sekalipun. Fenomena fundamentalisme bagi Hizb al-Tahrir di Indonesia ini tidak hanya dipahami sebagai sebuah gejala agama, sosial, budaya dan bahkan politik, juga dapat dilihat dalam perspektif kelompok fundamentalisme dalam Islam. Istilah fundamentalisme Islam ini sering juga digunakan untuk menggeneralisasi beragam gerakan Islam yang muncul dalam satu tarikan nafas kebangkitan Islam (Islamic Revival).12 Hizb al-Tahrir di Indonesia kental dengan fundamentalisme dapat diperhatikan dari beberapa agenda dan aktivitasnya. Dalam hal ini, setidaknya ada beberapa hal menarik yang perlu dicermati ulang: Pertama, ideologi gerakan yang direfleksikan dengan jihad untuk membela agama dan mempertahankan keyakinan agama dengan militansi yang kuat. Kedua, kelompok ini meniscayakan relasi harmonis antara agama dan negara, dengan mengusung formalisasi syariat Islam, isu negara Islam, mempertanyakan konsep dan gerakan gender serta simbol-simbol keagamaan lainnya. Ketiga, pandangan yang stigmatis terhadap Barat, terutama Amerika yang tidak hanya dianggap sebagai monster imperialisme tetapi juga sebagai the great satan. Keempat, 10Jamhari,
Gerakan, h. 168-169. Jainuri, Orientasi Ideologis Gerakan Islam (Surabaya: Lpam, 2004), h. 69. 12Umi Sumbulah, "Fundamentalisme Sebagai Fenomena Keagamaan," dalam Akademika: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor 2 (Surabaya: PPS IAIN Sunan Ampel, 2004), h. 3. 11Achmad
6 mendeklarasikan perang terhadap paham sekuler dan setumpuk isme yang berbau Barat.13 Kelompok fundamentalisme Islam yang berkeyakinan bahwa Islam mencakup segala aspek dan ruang kehidupan ini (shalih li kulli zaman wa makan), berusaha bagaimana Islam dapat diwujudkan dalam kehidupan, yang karenanya menuntut struktur dan piranti kekuasaan yang menjamin terlaksananya syariat Islam. Untuk konteks Indonesia, munculnya fundamentalisme Islam di Indonesia ini ada yang lahir berbarengan dengan peristiwa politik nasional, sedangkan yang lain merupakan reaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang menyangkut konflik antar umat Islam dan Kristen yang terjadi di berbagai daerah. Masing-masing organisasi mempunyai latar belakang dan raison de etre sendiri dan tentunya mempunyai persamaan dan kesamaan. Fenomena ini dapat ditemukan dalam beberapa kelompok gerakan kontemporer di antaranya seperti: Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama'ah (FKAWJ), dan Hizb al-Tahrir Indonesia (HTI).14 Dalam hal ini, Tidak ada keterangan pasti kapan sebenarnya Hizb al-Tahrir datang ke Indonesia. Namun diperkirakan ia masuk ke Indonesia pada era 1980-an.15 Pembawa Hizb al-Tahrir ke Indonesia adalah orang Libanon yang bernama Abdurrahman al-Baghdadi. Dia bermukim di Jakarta pada tahun 80-an. Kemudian juga dibawa Mustofa bin Abdullah bin Nuh. Mereka adalah orang-orang yang mendidik tokoh-tokoh Hizb al-Tahrir di Indonesia, seperti Ismail Yusanto dan tokoh-tokoh Hizb al-Tahrir sekarang ini. Tapi sebenarnya diantara mereka ada friksi, karena tokoh-tokoh Hizb al-Tahrir yang sekarang merasa dilangkahi oleh Ismail Yusanto ini.16 Ismail Yusanto termasuk orang yang paling awal memasuki Hib alTahrir. Sekarang ini, ia menjabat sebagai juru bicara Hizb al-Tahrir Indonesia.17 Di Indonesia, Hizb al-Tahrir secara terus terang menganggap Pancasila jahiliah. Nasionalisme bagi mereka jahiliah, tapi karena reformasi memberi angin kepada kelompok-kelompok ini sehingga mereka dibiarkan saja, dan tidak ada dialog. Akhirnya mereka memanfaatkan institusi (seolah-olah) "mendukung" pemerintah untuk mempengaruhi MUI (Majelis Ulama Indonesia). Tapi mereka taqiah (menyembunyikan agenda perjuangan aslinya), sebab mereka menganggap Indonesia itu sebenarnya jahiliah.18 Sejak awal berdirinya sampai dalam perkembangannya saat ini, khittah pergerakan Hizb al-Tahrir adalah politik. Baginya, politik adalah instrumen yang sangat penting dalam mengentas persoalan keterpurukan umat Islam dan membawanya kembali seperti pada masa kejayaannya. Politik yang dikehendaki oleh Hizb al-Tahrir adalah suatu sistem yang benar-benar memiliki landasan kuat dalam al-Qur'an dan hadis. 13Abdurahman Kasdi, "Fundamentalisme Islam Timur Tengah; Akar Teologi, Kritik Wacana dan Politisasi Agama," dalam Taswirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, edisi 13 (Jakarta: LAKPESDAM, 2002), h. 23-24. 14Jamhari, Gerakan …, h. 19-28. 15Ibid. 16Wawancara dengan Ghazali Said. 17Jamhari, Gerakan …, h. 171. 18Wawancara dengan Ghazali Said.
7 Dalam hal ini, sistem khilafah adalah satu-satunya sistem politik yang wajib ditegakkan kembali oleh umat Islam dan memiliki watak universal yang bisa diterapkan di dalam suatu rentang waktu sejarah yang panjang. Di samping itu, corak fundamentalis Hizb al-Tahrir adalah sikap terhadap modernitas. Hal ini didasarkan kepada dua kategori konseptual dalam Hizb al-Tahrir, yaitu hadarah, sebuah persepsi tentang kehidupan (way of life),dan madaniyah, sebagai simbol-simbol keagamaan dalam aktifitas kehidupan. Berdasarkan kategori konseptual pertama di atas, maka Hizb al-Tahrir melarang umat Islam pada umumnya dan pengikutnya pada khususnya untuk mengadopsi gagasan-gagasan konseptual dari Barat, seperti demokrasi, pluralisme, kapitalisme, sekulerisme, industrialisasi, kesetaraan gender, dan lain sebagainya. Namun berdasarkan kategori komseptual kedua, maka Hizb al-Tahrir memanfaatkan dan mengadopsinya, seperti transportasi, teknologi, komunikasi, dan sebagainya, dengan alasan bahwa hal tersebut bersifat universal sehingga siapapun boleh memanfaatkannya. Hizb al-Tahrir di Surabaya: Jaringan dan Pola Gerakan Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Syamsul Arifin bahwa dalam penelitian ini, Hizb al-Tahrir sebagai salah satu eksemplar kelompok fundamentalis Islam, ingin dipahami antara lain melalui perspektif teori gerakan sosial. Dalam hal ini, gerakan sosial juga dipengaruhi oleh basis massa dan strategy for action. Gerakan sosial mengandalkan kolektivitas tindakan. Lazimnya gerakan sosial muncul karena dipicu oleh situasi yang menjadi keprihatinan suatu kelompok sosial. Blumer menyebut situasi tersebut dengan structural condusiveness. Adanya keprihatinan yang dirasakan individu dalam suatu kelompok sosial memudahkan munculnya gerakan sosial. Dengan menggunakan kekuatan kelompok suatu gerakan akan lebih mudah mencapai tujuan yang dirumuskan dalam ideologi. Gerakan sosial juga meniscayakan pada strategi yang dirancang secara cermat. Strategi ini berkaitan dengan tatacara dalam memperluas basis, pembinaan basis, serta strategi lainnya yang bisa mengarahkan gerakan sosial, bisa meraih tujuan secara cepat dan tepat. Selain memiliki ideologi, Hizb al-Tahrir juga merancang gerakan sosial untuk mewujudkan ideologinya. Untuk meraih target ini membutuhkan basis massa yang luas dan solid sebagai pendukung sekaligus aktor dalam melakukan aksi gerakan yang dirancang Hizb al-Tahrir. Menyadari pentingnya basis massa ini, langkah awal yang dilakukan Hizb al-Tahrir di Surabaya adalah seperti yang telah dilakukan di beberapa tempat lainnya, yaitu dengan melakukan rekruitman anggota melalui kegiatan tathqif. Untuk menjadi anggota Hizb al-Tahrir, seseorang harus melewati tahapan yang relatif panjang. Pertama-tama harus mengikuti halaqah amm yang berlangsung kira-kira selama satu tahun. Setelah mengikuti halaqah amm, masih ada tahapan berikutnya yang harus dilewati, yaitu tathqif murakkaz. Dalam tahapan ini, Hizb al-Tahrir membagi peserta halaqah ke dalam dua jenjang. Jenjang pertama disebut dengan jenjang darisin, yakni seseorang yang (sebatas) mengkaji secara mendalam ide-ide Hizb al-Tahrir. Jenjang kedua, hizbiyyin. Pada jenjang ini seseorang dinyatakan sebagai anggota Hizb al-Tahrir. Hizb al-Tahrir sengaja menempuh tahapan yang cukup panjang dalam
8 merekrut anggota karena ingin membentuk anggota yang betul-betul mampu menginternalisasi ide-ide Hizb al-Tahrir serta mempunyai komitmen untuk memperjuangkannya.19 Kekuatan Hizb al-Tahrir di Surabaya antara lain terletak pada aktivisnya yang militan serta jaringan yang kuat, walaupun pada kenyataannya Surabaya adalah kota yang memiliki iklim dan atmosfir yang relatif lebih panas dibanding dengan kota lainnya di Indonesia. Selain itu, dari segi jumlah anggota yang cukup banyak, mereka dapat merancang dan melaksanakan berbagai macam kegiatan dengan melakukan penggalangan massa yang sangat banyak pula, karena Surabaya memiliki infrastruktur yang dapat menunjang kegiatan mereka, salah satunya adalah aset perguruan tinggi yang cukup banyak.. Selain tathqif sebagai tahap pertama gerakan sosial Hizb alTahrir, mereka memiliki tahapan berikutnya, yaitu tafa’ul ma’a al-ummah (berinteraksi dengan ummat) dan istilam al-hukm (mengambil alih kekuasaan). Kedua tahapan terakhir ini merupakan tahapan yang amat menentukan karena Hizb al-Tahrir dihadapkan secara langsung dengan masyarakat. Pada tahapan ini, Hizb al-Tahrir secara terbuka mulai berinteraksi dengan masyarakat untuk melakukan sosialisasi gagasan politiknya dan mencari dukungan dari masyarakat.20 Tujuan, dasar, dan metode Hizb al-Tahrir dengan gampang dapat dilihat di buku-buku resmi Hizbut Tahrir, seperti kitab Ta’rif (Mengenal Hizb al-Tahrir) dan Manhaj Hizb al-Tahrir fit Taghyir (Strategi Dakwah Hizb al-Tahrir). Dengan gampang pula pemikiran Hizb al-Tahrir ini, diakses di situs resmi Hizb al-Tahrir, seperti www.hizbut-tahrir.or.id (Bahasa Indonesia) atau (www. hizb-ut-tahrir.org dalam berbagai bahasa termasuk bahasa arab). Hizb al-Tahrir juga tiap minggu mengeluarkan buletin al-Islam yang menjadi suara resmi Hizb al-Tahrir lebih kurang 700.000 eksemplar di seluruh Indonesia, ditambah pula dengan penyebaran ribuan nasyrah (selebaran), bulletin, dan booklet.21 Hal ini sejalan dengan pendapat Nur Syams bahwa sejalan dengan arus perubahan pasca reformasi. Fenomena gerakan radikalisme Islam di Indonesia, khususnya di propinsi Jawa Timur, berkembang sangat pesat. Hal itu ditandai dengan muncul dan berkembangnya beragam organisasi Islam radikal melalui berbagai cara dan media, baik cetak maupun elektronik. Media massa telah mereka buat seperti bulletin dan majalah. Lalu mereka sebar media itu ke setiap masjid, terutama tiap hari jum’at. Hampir semua masjid mendapat selebaran dan bulletin dari kelompok mereka. Akibatnya, pengaruhnya cukup kuat dan sangat pesat.22 Bahkan untuk lingkungan IAIN Sunan Ampel Surabaya, bulletin lembaran ini dengan mudah dapat ditemukan di serambi masjid Ulul Albab setiap hari Jum’at. Selain itu, ia sudah merebak dan berada di beberapa tempat, seperti di Kantor Rektorat IAIN Sunan Ampel Surabaya, fakultas-fakultas di lingkungan IAIN Sunan Ampel Surabaya, perpustakaan IAIN Sunan Ampel Surabaya, perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, kantor Pascasarjana IAIN Sunan Ampel 19Ibid.,
h. 17-18.
20Ibid. 21Ismail
Yusanto dalam www.hizbut-tahrir.or.id Nur Syam, 04 Juni 2007 dalam dalam www.syirah.com
22Wawancaradengan
9 Surabaya, walaupun hanya beberapa lembar saja, baik dengan disengaja maupun tidak disengaja ada yang membawanya. Target dan sasaran Hizb al-Tahrir, khususnya di Jawa Timur adalah semua kelompok, terutama masyarakat perkotaan, profesional, pelajar, maupun mahasiswa. Di Surabaya, kelompok Islam radikal sudah merambah dan menguasai kegiatan mahasiswa kampus. Mahasiswa-mahasiswa kampus yang sudah banyak dipengaruhi oleh gerakan ini adalah kampus ITS (Institut Tehnologi Surabaya), (Fakultas) Kedokteran Unair (Universitas Airlangga), Unesa (Universitas Esa Tunggal), Universitas Hang Tuah, Untag (Universitas Tujuhbelas Agustus) dan lain-lain. Wujudnya adalah Lembaga Dakwah Kampus (LDK), KAMMI dan mereka semua memiliki jaringan nasional dan internasional, terikat maupun tidak.23 Sedangkan fenomena yang terjadi di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di beberapa kampus lainnya. Karena sukses di beberapa kampus umum, maka Hizb al-Tahrir terus merengsek, dan di sini Hizb alTahrir dengan menggunakan organisasi mahasiswa berupa KAMMI telah melakukan berbagai kegiatan kemahasiswaan, baik dari diskusi, seminar, penjaringan mahasiswa baru, bimtes masuk IAIN, maupun kegiatan lainnya. Basis dan tempat mereka melakukan berbagai kegiatan ini adalah Masjid Ulul Albab lantai dua. Bahkan tidak jarang dari mereka juga melakukan diskusi kelompok di beberapa tempat di sekitar kampus, seperti yang dilakukan oleh mereka di lapangan IAIN Sunan Ampel pada jam kantor atau perkuliahan. Tujuan dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh mereka adalah menarik simpati dan ghirah mahasiswa IAIN Sunan Ampel ke dalam kelompok mereka. Walaupun pada kenyataannya, tidak banyak dari kalangan mahasiswa IAIN Sunan Ampel yang berminat mengikutinya. Tidak hanya itu, belakangan gerakan Islam radikal ini juga sudah memengaruhi warga Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, khususnya anak-anak muda NU dan Muhammadiyah. Akhir-akhir ini sudah banyak kasus mengenai hijrahnya warga NU dan Muhammadiyah mengikuti kelompok gerakan Islam radikal dan fundamental itu. Memang secara kultural adalah masih warga NU, tetapi bukan secara formal dan sudah sebagai anggota dan pengurus kelompok Islam radikal. Misal saja, ada kasus bahwa bapaknya alumni Tebuireng dan dosen, tetapi justru anaknya jadi aktivis Hizb al-Tahrir, dan yang menjadi imam di rumah adalah anaknya bukan bapaknya. Menariknya lagi, Anak Kiai jadi ketua FPI. Di salah satu pertemuan PBNU, ada yang mengeluhkan sebagian pengurus mengundurkan diri karena sudah menjadi anggota dan pengurus organisasi itu. Cara yang ditempuh kelompok Islam radikal, di Jawa Timur khususnya, dalam memengaruhi dan mengembangkan konsep dan gerakan ideologi mereka ke dalam Ormas Islam cukup banyak. Kelompok ini sungguh luar biasa dan memiliki daya penarik kuat. Tetapi bisa dipahami sesungguhnya mereka menggunakan sistem “taqiyah”, yaitu dengan cara memasuki dan membaur dalam sebuah kelompok. Setelah cara itu berhasil, lalu kemudian ketika mereka sudah memiliki taring, lantas dia menampakkan diri. Misalnya Di beberapa daerah, ada banyak pengurus NU yang 23Ibid.
10 sesungguhnya anggota kelompok gerakan radikal Islam itu. Cara kedua yang ditempuh kelompok ini adalah menggunakan metode sel (sel system). Metode ini telah berhasil mereka jalankan dan sangat ampuh, karena mereka mendidik satu atau dua orang. Kemudian hasil didikan itu disuruh mengembangkan dan memengaruhi orang lain dan begitu seterusnya.24 Dalam mengambil dan menetapkan ide-ide dan hukum-hukum Islam, Hizb alTahrir di Surabaya sebagaimana layaknya Hizb al-Tahrir Indonesia dan di beberapa negara lainnya, hanya mendasarkan kepada al-Qur’an dan Sunah, serta yang ditujukan oleh keduanya, berupa Ijma’ sahabat dan Qiyas, karena hanya keempat rujukan itu saja yang hujjahnya ditetapkan dengan dalil yang qath’iy (pasti).25 Sedangkan dalam mengkonstruks ideologinya, al-Nabhani, sang pendiri Hizb al-Tahrir, bertolak dari salah satu doktrin fundamental Islam, yaitu Aqidah. Pemahaman al-Nabhani terhadap aqidah memiliki kemiripan dengan pemahaman umat Islam pada umumnya yakni keimanan kepada Allah, malaikat, Kitab Allah, Rasul, Kiamat, Qada dan Qadar. Hanya saja al-Nabhani kemudian menjadikan keimanan terhadap keenam hal tersebut sebagai titik tolak mengembangkan paradigma kehidupan. Paradigma yang dimaksud al-Nabhani adalah pandangan mendasar dan menyeluruh terhadap manusia, alam, Tuhan (Allah). Dari ketiga unsur ini, al-Nabhani meletakkan Allah sebagai unsur yang paling menentukan karena sebagai titik awal dan titik akhir kehidupan. Dengan pandangannya ini, al-Nabhani ingin memberikan suatu affirmasi teologis bahwa eksistensi alam dan manusia sangat tergantung kepada eksistensi Allah sebagai zat yang mendahului ciptaannya serta zat yang menentukan kehidupan di masa yang akan datang (akhirat). Sebagai akibat dari adanya keberlangsungan kehidupan akhirat, manusia tidak bisa menjalankan kehidupan secara semena-mena. Seluruh perbuatan manusia kelak dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Agar manusia terhindar dari segala akibat yang merugikan baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat, Allah menyediakan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manuisa dengan sesamanya, manusia dengan alam. Hal yang menarik, ternyata al-Nabhani tidak mencukupkan pada kataatan individu untuk menyangga efektifitas pelaksanaan hukum syara’. Menurut al-Nabhani, pelaksanaan hukum syara’ harus ditopang oleh Negara yang berbentuk daulah khalifah Islam. Dalam institusi ini, terdapat lembaga pengadilan yang bertugas melaksanakan ketentuan ‘uqubat (pemberian sanksi) terhadap pelanggaran hukum syara’ yang meliputi hudud, jinayat, ta’zir. Selain diposisikan sebagai pilar bagi pelaksanaan hukum syara’, daulah oleh al-Nabhani juga diposisikan sebagai metode dalam menyebarkan misi Islam yang meliputi aqidah dan hukum syara’. Paparan di atas memberikan petunjuk penting terhadap corak konstruks ideologi Hizb al-Tahrir yang serba meliputi. Jika menggunakan pembagian unsur ideologi yang lazim digunakan oleh para aktivis Hizb al-Tahrir, konstruks ideologi Hizb al-Tahrir meliputi dua unsur, yaitu ide (fikrah) dan metode (tariqah). 24Ibid. 25Anonim,
Mengenal …, h. 31.
11 Apabila dikaitkan dengan kajian teoritik, konstruksi ideologi Hizb al-Tahrir sebagaimana yang diungkapkan oleh Syamsul Arifi, bisa dijelaskan antara lain melalui pandangan Austin Ranny dan Roy C. Macridis. Inti gagasan dari kedua ilmuwan ini adalah suatu ide dikatakan sebagai ideologi apabila memuat penjelasan yang lengkap (komperhensip) tentang nilai, sifat manusia (human nature), visi kehidupan masa depan dan strategi for action; berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat (pervasiveness); memainkan peran besar dalam percaturan politik bangsa (extensiveness); dan memberikan suatu komitmen yang kuat bagi pengikutnya.26 Mereka sampai kini punya konstitusi yang terdiri dari 187 pasal. Dalam konstitusi ini, ada program-program jangka pendek. Yaitu dalam jangka 13 tahun, menurut Taqiuddin, sejak berdirinya pada tahun 1953, Negara Arab itu sudah harus jadi sistem Islam dan sudah ada khalifah. Taqiuddin juga menarget, setelah 30 tahun dunia Islam sudah harus mempunyai khalifah yang terkonstruk dalam tatanan khilafah Isamiyah internasional. Salah satu agenda yang dilakukan oleh Hizb al-Tahrir di Surabaya dalam rangka mensukseskan ide dan gagasannya ini, mereka melakukan launching booklet yang berjudul “Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia” sekaligus diskusi publik diselenggarakan di Graha Sawunggaling lantai 6 kompleks Pemerintah Kota Surabaya Jl. Jimerto pada hari Ahad tanggal 18 Maret 2007 dari jam 09.00 sampai 13.00 WIB. Gedung yang berkapasitas 600 orang tidak mampu menampung peserta yang menghadiri diskusi publik tersebut.Dalam pelaksanaannya, diskusi dibuka oleh Ketua DPD II Hizb al-Tahrir Surabaya Ust. Fikri A. Zudiar, dilanjutkan dengan sambutan dari MUI Surabaya Ust. Abdul Wahid Syukur. Untuk sesi-sesi berikutnya, forum dipandu oleh moderator Ust. Faiq Furqon. Narasumber yang dihadirkan dalam lounching tersebut ada tiga orang: pakar sejarah dari Unesa Surabaya Prof. DR. Aminuddin Kasdi; Ketua MUI Jawa Timur KH Drs. Abdush Shomad Buchori; Humas DPD II Hizb al-Tahrir Surabaya KH Dr. Muhammad Usman, AFK. Ketika even besar yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia tanggal 12 Agustus 2007 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Konperensi Khilafah Internasional yang memiliki tema ‘Saatnya Khilafah Memimpin Dunia’, mampu menarik massa dari berbagai penjuru tanah air maupun dari berbagai Negara Asia, Eropa, Timur Tengah dan Australia. Sedangkan dari Surabaya, sebanyak 71 bus aktivis Hizbut Tahrir Indonesia se-Jatim, Sabtu pagi, berangkat dari Surabaya ke Jakarta untuk menyemarakkan dan memberi dukungan Konferensi Khilafah Internasional di Gelora Bung Karno, Jakarta.27 Sebagaimana diberitakan, Stadion Utama yang berkapasitas 100.000 kursi itu seolah tidak mampu menampung massa, baik aktivis maupun simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia dari yang dengan antusias datang ke tempat itu, guna mendukung khilafah Islamiyah sebagaimana yang mereka dambakan.
26Syamsul Arifin, “Pertautan Agama dalam Ideologi dan Gerakan Sosial: Pengalaman Hizb alTahrir Indonesia (HTI),” dalam Akademika Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18 No. 2 (Maret 2006), h. 12-13. 27 www.hizbut-tahrir.or.id
12 Bukti lain dari paham perlawanan (oppositionalism) Hizb al-Tahrir di Surabaya ini adalah perlawanan terhadap industrialisasi di Madura. Untuk mendukung tujuannya, maka Hizb al-Tahrir melakukan kunjungan terhadap beberapa kyai dan ulama di Madura untuk bersama-sama menyikapi pembangunan jembatan Suramadu yang mempunyai dampak negatif industrialisasinya. Di antara kyai dan ulama tersebut antara lain KH Moch. Rofi’ie Baidlowi (PP Al Hamidi Banyuanyar Pamekasan), KH Fachrillah Aschal (Ketua PP Syaikhona Cholil Bangkalan), KH Mahfudz Hadi BA (Koordinator MUI Kabupaten se-Madura), ditambah beberapa masukan dari KH Tidjani Djauhari, MA (PP Al Amin Prenduan Sumenep). Setelah mendapat dukungan dari beberapa kiai (sebagaimana pengakuan mereka), maka DPD I Hizb al-Tahrir Jawa Timur merealisasikan aspirasi tersebut dengan menetapkan program Tabani Masholih Industrialisasi Madura. Setelah itu, mereka menyelenggarakan halaqoh ulama Madura. Tepatnya di Aula SMKN 3 Pamekasan pada hari Kamis tanggal 22 Maret 2007 jam 09.00–14.00 WIB dengan tema sentral, “Menyatukan Sikap dan Meningkatkan Jalinan Ulama untuk Membendung Dampak Negatif Industrialiasi di Madura Pasca Jembatan Suramadu”.28Halaqoh yang dipandu oleh Ust. Abu Khoir menampilkan dua pembicara pengantar diskusi yaitu Dr. Muhammad Usman (Humas DPD I Hizb al-Tahrir Jatim) dan KH. Nailurrahman Lc. Diskusi berlangsung akrab dan penuh semangat ini menghasilkan keputusan penting tentang rekomendasi membangun Madura dengan syariah Islam. Hizb al-Tahrir juga melakukan aksi unjuk rasa untuk menolak kapitalisasi pendidikan. Unjuk rasa ini dilakukan didepan Gedung DPRD Jatim saat rapat paripurna istimewa DPR RI tengah berlangsung dengan tujuan menolak kapitalisasi pendidikan di Indonesia yang selama ini menurut mereka sangat kapitalistik dan tidak Islami.Juru bicara Hizb al-Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto, menyerukan kepada pemerintah Indonesia melalui Pemerintah Prop. Jatim dan DPRD Jatim agar meninjau ulang kebijakan penetapan sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang telah terbukti makin membuat mahal biaya pendidikan, sehingga sangat memberatkan dan menyakiti rakyat. "Pemerintah diharapkan juga mengawasi agar otonomi penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah tidak membuat biaya makin melambung dan tidak terjangkau oleh rakyat banyak." Menghentikan kapitalisasi pendidikan, kata Ismail, karena secara pasti kapitalisasi itu akan mengancam terpenuhinya hak seluruh rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu tinggi, murah dan Islami. "Negara harus memberikan publik servis kepada rakyatnya, sehingga terlahir secara massal SDM yang berkepribadian Islami dan berkualitas unggul yang memiliki daya saing internasional, sehingga nantinya mampu mengangkat bangsa dan negara dari keterpurukan." Bahkan Hizb al-Tahrir di Surabaya, sedikitnya sekitar 800 aktivis Hizb al-Tahrir Surabaya, telah menggelar aksi walau secara damai untuk mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar menerapkan sistem syariah (hukum) Islam. Dalam aksi yang dilakukan, mereka menyatakan tuntutannya sebagaimana yang diungkapkan 28
www.hizbut-tahrir.or.id
13 oleh Ust Saifuddin Zuhri, salah seorang orator dalam aksi di Taman Bungkul Surabaya (TBS). ''Tuntutan kami cukup wajar, karena 87 persen lebih rakyat Indonesia, adalah umat Islam. Apalagi sistem sekuler sudah terbukti gagal. Selain itu, kegagalan sistem sekuler terlihat dari banyaknya angka kriminalitas, penderita HIV/AIDS, pengangguran, dan sebagainya,”29 yang banyak terjadi di berbagai pelosok nusantara, khususnya di Surabaya. Oleh sebab itu, maka penerapan syariah Islam adalah alternatif pemecahannya. Penutup Berdasarkan penelusuran terhadap Hizb al-Tahrir di Surabaya secara historiografis, maka dapat disimpulkan bahwa dari aspek jaringan dan pola gerakan Hizb al-Tahrir Surabaya melakukan rekruetmen dan kaderisasi terhadap mahasiswa dari campus to campus dan majlis ta’lim di beberapa masjid. Selain itu, pola gerakannya yang terselubung juga menelusup di beberapa organisasi masyarakat (ormas) Surabaya, semisal Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dengan pola gerakan yang sangat massif dan terstruktur. Sedangkan dalam mengambil dan menetapkan ide-ide dan hukum-hukum Islam, Hizb al-Tahrir Surabaya mendasarkan kepada al-Qur’an dan Sunah, serta yang ditujukan oleh keduanya, berupa Ijma’ sahabat dan Qiyas, karena hanya keempat rujukan itu saja yang hujjahnya ditetapkan dengan dalil yang qath’iy (pasti). Bagi Hizb al-Tahrir, penerapan syariat Islam adalah kewajiban atas kaum muslim sekaligus merupakan konsekuensi dan tanda keimanan mereka terhadap Islam. Sebaliknya, apabila mereka mereka menolaknya, maka hal itu merupakan pembangkangan dari suatu kewajiban dan dapat menghapuskan keimanan seorang muslim. Walaupun demikian, dalam mencapai tujuan ini dibutuhkan kendaraan atau sarana penerapannya. Maka dalam hal ini, khilafah Islamiyah menjadi salah satu keharusan yang tidak bisa dibantah lagi.
29
Suara Merdeka, 25 Oktober 2004.
14
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Mengenal Hizb al-Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, terj. Abu Afif, cet. 3.Bogor: Hizb al-Tahrir, 2002. Arifin, Syamsul. “Pertautan Agama dalam Ideologi dan Gerakan Sosial: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia (HTI),” dalam Akademika Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18 No. 2. Maret 2006. Ismail Yusanto dalam www.hizbut-tahrir.or.id Jamhari dan Jajang Jahroni (ed.).Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.Jakarta: Grafindo Persada, 2004. Wawancara dengan Ghazali Said dalam Harian Bangsa, 05 September 2006. Wawancara dengan Nur Syam, 04 Juni 2007 dalam dalam www.syirah.com