HIGH-LEVEL ROUNDTABLE DISCUSSION “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT”
Dalam rangka Memperingati Lima Tahun Pemberlakuan OPCAT (22 Juni 2011) dan Hari Anti-Penyiksaan Internasional (26 Juni 2011)
Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
DAFTAR ISI
High-Level Meeting: “Mencegah Penyiksaan: Langkah ke depan bagi Indonesia”................................. 1 Protokol Opsional untuk Konvensi PBB Menentang Penyiksaan: Pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan ................................................................................................................................................... 7 Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan: Apa Nilai Tambah dari Pencegahan? ..... 10 Definisi Tempat-tempat Penahanan berdasarkan OPCAT .................................................................... 13 Monitoring Tempat-tempat Penahanan melalui Kunjungan-kunjungan .............................................. 14 Monitoring Tempat-tempat Penahanan oleh Lembaga-lembaga Negara ............................................ 16 Monitoring Tempat-tempat Penahanan oleh LSM Nasional ................................................................ 18 Indonesia & OPCAT: Komitmen dan Rekomendasi untuk Ratifikasi ..................................................... 20
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempattempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT”
ADVOKASI OPCAT LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT(ELSAM)
Hotel Borobudur 23 Juni 2011
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
High-Level Meeting: “Mencegah Penyiksaan: Langkah ke depan bagi Indonesia” Jakarta, 12 November 2007
RINGKASAN DISKUSI Pada tanggal 12 November 2007, di tengah kehadiran Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, Manfred Nowak, dan anggota Sub-komite PBB untuk Pencegahan Penyiksaan, Wilder Tayler, para perwakilan dari beberapa lembaga negara yang memiliki relevansi terhadap upaya pencegahan penyiksaan (Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Komnas HAM dan Komnas Perempuan) berkumpul di Jakarta untuk mendiskusikan tantangan-tantangan penting terkait dengan implementasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (Konvensi) dan kemungkinan ratifikasi atas Protokol Opsional untuk Konvensi (OPCAT). A. SEKILAS MENGENAI OPCAT OPCAT adalah sebuah alat praktis yang dimaksudkan untuk membantu Negara-Negara Pihak pada Konvensi di dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk mencegah penyiksaan dan bentukbentuk lain dari tindakan sewenang-wenang, yakni melalui pembentukan sebuah sistem kunjungan rutin dan independen ke semua tempat penahanan oleh badan-badan nasional dan internasional. Dalam menjalankan tugasnya, mekanisme-mekanisme kunjungan nasional dan internasional ini akan saling melengkapi dan akan berfungsi sebagai sebuah sistem. Berangkat dari fakta bahwa badan internasional ini dibentuk berdasarkan OPCAT, Sub-komite untuk Pencegahan Penyiksaan (SPT) sangatlah mustahil untuk dapat mengunjungi setiap Negara Pihak lebih dari sekali dalam beberapa tahun. Oleh karena itu, bagian terbesar dari tugas kunjungan akan dilakukan oleh Mekanisme-mekanisme Pencegahan Nasional (NPMs). Sangat jelas, kedudukan NPMs yang permanen di Negara Pihak akan memungkinkan mereka untuk membangun hubungan yang konstruktif dengan pejabat-pejabat yang relevan atas dasar rasa saling percaya dan hasrat bersama untuk menciptakan situasi dan kondisi yang menghormati hak-hak mereka yang terampas kemerdekaannya, yang tersebar luas di seluruh negeri. SPT dan NPMs akan diberikan kewenangan untuk melakukan kunjungan-kunjungan tanpa pemberitahuan ke semua tempat di mana orang dirampas kemerdekaannya termasuk, tetapi tidak terbatas pada, penjara, kantor-kantor polisi, lembaga-lembaga psikiatris, dan pusat-pusat rehabilitasi untuk anak-anak. Badan-badan kunjungan ini dapat melakukan wawancara secara tertutup dengan para tahanan dan staf yang bekerja di fasilitas-fasilitas tersebut. Sebagai tindak lanjut dari kunjungan yang dilakukan, kedua mekanisme diharapkan membuat rekomendasi-rekomendasi praktis yang ditujukan bagi para pejabat yang berwenang. Pada saat diskusi ini dilakukan, SPT baru saja melakukan misi lapangannya yang pertama ke Mauritius pada Oktober 2007, dan sedang mempersiapkan kunjungan keduanya ke Maldives. Empat kunjungan yang dijadwalkan untuk tahun 2008, sebagai tambahan terhadap sejumlah kunjungan awal, dimaksudkan untuk memberikan SPT kesempatan untuk menghargai proses pembentukan NPMs di Negara-Negara Pihak, dan untuk lebih mengenal kerangka hukum dan kelembagaan mereka.
1
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Meskipun pekerjaan yang dilakukan oleh SPT dan NPMs baru akan terasa pengaruhnya dalam jangka panjang, namun kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh kedua mekanisme tersebut memiliki konsekuensi positif yang bersifat segera, sebagaimana yang terjadi di Mauritius, di mana kunjungan SPT menyebabkan ditutupnya penjara yang memiliki tingkat keamanan yang tinggi oleh karena kondisi di dalam penjara dipercaya tidak memenuhi standard-standard internasional yang berlaku. B. RATIFIKASI OPCAT OLEH INDONESIA Departemen Luar Negeri menekankan bahwa Indonesia mendukung sepenuhnya sistem pencegahan yang ditetapkan di dalam Protokol Opsional, dan bahwa Indonesia berkeinginan untuk menjadi pihak pada OPCAT tahun 2008 mendatang, sebagaimana ditetapkan di dalam Rencana Aksi Nasional untuk Hak Asasi Manusia 2004-2009 (RANHAM). Namun, Departemen Luar Negeri mengakui bahwa sejumlah lembaga kunci belum memperoleh pemahaman yang jelas mengenai OPCAT. Para peserta diskusi mendapat informasi bahwa Pemerintah berinisiatif untuk melakukan studi akademis mengenai implikasi ratifikasi OPCAT bagi Indonesia, yakni sebuah proses penting bagi Parlemen untuk mempertimbangkan sebuah ratifikasi. Implementasi OPCAT di Indonesia Di satu sisi, OPCAT secara jelas menetapkan mandat, kewenangan, dan jaminan-jaminan yang diberikan kepada NPMs. Di sisi lain, OPCAT memberikan fleksibilitas kepada Negara-Negara Pihak untuk memutuskan bentuk kelembagaan yang paling cocok bagi mereka (badan tunggal atau ganda; penunjukan mekanisme yang ada atau membentuk sebuah struktur baru). Sebagian besar peserta berpendapat bahwa Indonesia sudah memiliki cukup banyak lembaga negara, dan bahwa membentuk sebuah badan baru yang berfungsi sebagai NPMs akan sedikit tidak praktis dan ekonomis. Komnas HAM dinilai sebagai badan yang cukup potensial untuk mengambil peran NPMs, baik sendiri atau pun bersama-sama dengan lembaga negara yang lain. Negara-Negara Pihak pada OPCAT, yang berkeinginan untuk membentuk atau menunjuk pelbagai badan sebagai NPMs, perlu menggarisbawahi isu koordinasi kerja dan hubungan dengan SPT dan pemangku-pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya di tingkat nasional, regional dan/atau internasional. Tanggung jawab ini dapat diberikan kepada satu komponen dari mekanisme, seperti halnya di New Zealand, di mana Komisi Nasional Hak Asasi Manusia diberikan kepercayaan untuk menjalankan peran ini, atau jika diperlukan, membentuk sebuah sekretariat. Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan mengambil contoh Austria, di mana pemangku kepentingan di tingkat nasional menolak ide untuk membentuk mekanisme ganda karena mereka merasa bahwa akan lebih baik apabila badan-badan kunjungan tidak membatasi diri mereka pada satu jenis fasilitas penahanan. Di Austria, NPMs mengambil bentuk badan tunggal dengan kantor-kantor cabang di berbagai negara bagian (Länder). Model seperti ini dinilai lebih murah ketimbang bentuk satu tim tunggal yang berkedudukan di ibukota negara yang nantinya akan berpergian ke seluruh wilayah negeri.
2
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Departemen Luar Negeri mengingatkan para peserta bahwa Indonesia memiliki badan-badan hak asasi manusia di sebagian besar propinsi, misalnya kantor-kantor perwakilan daerah Komnas HAM dan Komite untuk Implementasi Rencana Aksi Nasional, yang dibentuk di tingkat Kabupaten untuk menampung pengaduan-pengaduan individu terkait dengan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Namun, penilaian secara seksama mengenai tingkat kesesuaian antara mekanismemekanisme yang ada tersebut dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam OPCAT sampai saat ini belum dilakukan. Departemen Hukum dan HAM menyoroti beberapa tantangan penting di dalam menjamin bahwa kondisi penahanan telah sesuai dengan standard-standard internasional. Lebih lanjut, Departemen Hukum dan HAM menginformasikan kepada para peserta bahwa saat ini sebuah draf undang-undang sedang dikerjakan. Undang-Undang yang baru ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan untuk memonitor, secara rutin, semua fasilitas yang berada di bawah jurisdiksinya. Tampaknya Direktorat Hak Asasi Manusia sedang mengerjakan sebuah buku panduan yang akan digunakan oleh semua petugas lembaga pemasyarakatan. Ada optimisme yang kuat bahwa ratifikasi OPCAT oleh Indonesia akan memperkuat usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi penahanan di seluruh negeri dan untuk mencegah praktik penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang. C. PRAKTIK MONITORING TEMPAT-TEMPAT PENAHANAN DI INDONESIA Selain Komite Palang Merah Internasional, yang telah melakukan kunjungan ke tempat-tempat penahanan di Indonesia selama bertahun-tahun, dan kunjungan prosedur-prosedur khusus hak asasi manusia PBB, seperti misalnya Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, beberapa badan nasional juga telah melakukan kunjungan ke tempat-tempat penahanan, sekalipun tidak secara sistematis: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Meskipun Komnas HAM memiliki kewenangan untuk memonitor tempat-tempat penahanan, ia tidak memiliki kapasitas untuk melakukan kunjungan-kunjungan tersebut secara rutin. Kunjungankunjungan yang telah dilakukan bersifat sporadis, dan kebanyakan didasarkan atas pengaduan yang spesifik. Pada tahun 2005, Komnas HAM menandatangani sebuah MoU dengan POLRI. Namun, Komnas HAM belum dapat menyepakati MoU serupa dengan pejabat-pejabat lain yang memiliki kewenangan penahanan, termasuk dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Hal ini membuat Komnas HAM menahan diri untuk melakukan kunjungan ke tempat-tempat penahanan di luar kantor-kantor polisi. Sampai saat ini, kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh Komnas HAM belum pernah dilakukan tanpa pemberitahuan (mendadak). Lebih lanjut, waktu kapan kunjungan akan dilakukan harus selalu dinegosiasikan terlebih dahulu dengan pejabat yang berwenang. Selama kunjungan, Komnas HAM dapat melakukan wawancara dengan orang-orang yang terampas kemerdekaannya, namun wawancara biasanya dilakukan di hadapan sipir penjara. Tim kunjungan terdiri dari penasihatpenasihat hukum, namun tidak mencakup kriminolog atau dokter forensik. Akibatnya, temuantemuan yang diperoleh dari kunjungan sebagian besar menyangkut proses-proses hukum. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden yang disahkan pada tahun 2005. Salah satu mandatnya adalah untuk melakukan monitoring terhadap implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan.
3
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Komnas Perempuan telah melakukan kunjungan ke tempat-tempat penahanan, khususnya dalam kerangka program yang ditujukan untuk memonitor kekerasan terhadap perempuan di Aceh. Kunjungan-kunjungan ini umumnya dilakukan bersama dengan organisasi-organisasi di tingkat akar rumput, yang membantu di dalam mengumpulkan informasi dan menganalisa data. Di Aceh, Komnas Perempuan tidak akan mendapatkan akses ke pusat-pusat penahanan jika tanpa persetujuan dari pemerintah lokal dan hanya diizinkan untuk bertemu dengan tahanan perempuan. Sejauh ini, Komnas Perempuan belum mengunjungi tempat-tempat penahanan di luar Aceh. Komnas Perempuan tidak dapat memprediksi perkembangan yang akan terjadi dan tidak berambisi untuk menjalankan program monitoring dalam waktu dekat, mengingat kendala-kendala sumber daya yang dihadapi. Monitoring yang dilakukan oleh LSM: Pengalaman LBH Jakarta Tahun 2005, LBH Jakarta melakukan sebuah studi mengenai kondisi penjara di ibukota Jakarta. Untuk tujuan tersebut, LBH Jakarta memperoleh izin dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk masuk ke pusat-pusat penahanan. Selain contoh tersebut di atas, akses LSM untuk masuk ke tempat-tempat penahanan sangat dibatasi. LBH Jakarta mengungkapkan keinginannya agar peran LSM diperkuat dan diberikan akses ke tempattempat penahanan. Pada saat OPCAT diratifikasi, penting untuk dipertimbangkan bagaimana NPMs nantinya akan melibatkan LSM dalam menjalankan fungsi-fungsinya. D. LANGKAH-LANGKAH DAN STRATEGI KE DEPAN UNTUK RATIFIKASI OPCAT Perlunya peningkatan kesadaran lebih lanjut mengenai OPCAT: 1. Meskipun telah disahkan pada tahun 2002, kebanyakan orang masih belum mengenal betul tentang OPCAT, termasuk pejabat-pejabat pemerintah. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menyadarkan berbagai pihak mengenai pentingnya OPCAT, baik melalui acara-acara publik atau sesi-sesi briefing khusus. Kampanye harus menjangkau semua pejabat-pejabat pemerintah yang memiliki aktivitas yang bersinggungan dengan OPCAT, seperti misalnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Polri, dan TNI. 2. Materi-materi mengenai OPCAT (dalam Bahasa Indonesia) yang baru-baru ini diterbitkan oleh ELSAM dan APT harus didiseminasikan untuk kampanye ratifikasi. 3. Pentingnya kerja sama antar departemen untuk mengangkat isu ini telah dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM, dalam rangka koordinasi untuk segera meratifikasi OPCAT. Departemen Luar Negeri mengusulkan agar organisasi-organisasi seperti APT dan ELSAM turut andil di dalam konsultasi-konsultasi antar departemen. 4. Rekomendasi Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan agar Indonesia meratifikasi OPCAT dan memperkuat kapasitas badan-badan independen seperti Komnas HAM untuk melakukan kunjungan-kunjungan yang lebih sistematis, dapat digunakan untuk mendesak para pemangku kepentingan untuk melakukan terobosan. 5. Diskusi-diskusi lanjutan mengenai ratifikasi OPCAT akan sangat terkait erat dengan isu-isu seperti kriminalisasi penyiksaan dan bentuk-bentuk lain dari tindakan sewenang-wenang.
4
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Studi akademis dan proses legislasi: 1. Departemen Luar Negeri menyambut baik tawaran ini dan mengusulkan agar partner lokal APT di Indonesia, yakni ELSAM, dilibatkan di dalam proses tersebut. 2. Terdapat usulan agar ratifikasi OPCAT dimasukkan ke dalam agenda legislatif sebagai prioritas utama. Memperkuat kapasitas NPMs yang potensial: 1. Hal serupa, penting untuk mulai melakukan penilaian terhadap kapasitas dari sistem-sistem monitoring yang ada terkait dengan syarat-syarat yang ditetapkan di dalam OPCAT. 2. Pentingnya melatih lembaga-lembaga yang ada – yang pada suatu kondisi tertentu dapat ditunjuk sebagai NPMs – mengenai bagaimana cara melakukan kunjungan ke tempattempat penahanan, disoroti sebagai sebuah prioritas. Badan-badan pengawas ini pada akhirnya harus memperluas cakupan kerja mereka dan mempertimbangkan tempat-tempat penahanan yang tidak konvensional, seperti misalnya lembaga-lembaga psikiatris. APT menegaskan kembali komitmennya untuk terlibat di dalam kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas pada tahun 2008 mendatang, dengan menggunakan Pedoman APT yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia tentang monitoring tempattempat penahanan. 3. Perlu diingat bahwa proses ratifikasi OPCAT akan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, sambil menunggu ratifikasi dilakukan, akan lebih baik apabila kita mulai memikirkan bentuk seperti apa yang paling tepat untuk NPMs di Indonesia. E. LANGKAH-LANGKAH PENCEGAHAN LAIN YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN Masih terdapat cara lain untuk mencegah penyiksaan selain daripada kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh pakar-pakar independen, sebagaimana telah disampaikan oleh Komite PBB Menentang Penyiksaan di dalam Komentar Umum tentang Pasal 2 Konvensi. Memiliki kerangka legislatif yang secara efektif memungkinkan dilakukannya investigasi dan penuntutan terhadap kasus-kasus penyiksaan merupakan salah satu cara yang paling efektif dari skema pencegahan yang komprehensif. Namun, seperti halnya Negara-Negara Pihak lainnya pada Konvensi, Indonesia belum mengkriminalisasi penyiksaan di dalam peraturan hukum pidananya. Rekomendasi diberikan kepada Pemerintah Indonesia untuk melanjutkan rencananya untuk mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru dan menjamin bahwa kejahatan penyiksaan akan diatur secara terpisah. Beberapa peserta menggarisbawahi fakta bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini tidak memberikan kesempatan untuk dilakukannya penuntutan yang efektif terhadap tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang. KUHP yang berlaku saat ini tidak memberikan sanksi yang memadai kepada mereka yang terbukti bersalah melakukan tindakan-tindakan semacam itu dan tidak secara jelas melarang penggunaan bukti-bukti yang diperoleh melalui penyiksaan. Rancangan KUHP dan KUHAP harus segera diserahkan kepada Parlemen. APT menegaskan kembali keinginannya untuk memberikan dukungan dalam bentuk nasihat-nasihat hukum atau bantuan teknis, apabila dirasa perlu oleh Pemerintah Indonesia.
5
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
F. KESIMPULAN Tahun 2008 mendatang menjanjikan peristiwa-peristiwa penting bagi Indonesia di dalam forum hak asasi manusia internasional. Selain akan diuji pada bulan April 2008 terkait dengan Universal Periodic Review (UPR), laporan berkala kedua Indonesia juga akan didiskusikan di dalam sesi Komite Menentang Penyiksaan pada bulan Mei 2008. Meskipun Indonesia telah mengambil beberapa langkah penting pada bulan-bulan terakhir, khususnya dengan menjadi pihak pada dua kovenan internasional (ICCPR dan ICESCR), penilaian awal yang dibuat oleh Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan setelah selesai melakukan kunjungan lapangannya1 memperlihatkan masalah-masalah yang serius. Oleh karena itu, ia mendesak Pemerintah Indonesia untuk menyikapi masalah-masalah tersebut dengan segera. Menariknya, terkait dengan fokus kita, yakni pencegahan penyiksaan, Pelapor menyatakan bahwa: “Tidak ada badan nasional independen yang secara rutin memonitor tempat-tempat penahanan. Menurut pengalaman, mekanisme-mekanisme monitoring semacam itu, yang memiliki kewenangan untuk melakukan kunjungan-kunjungan tanpa pemberitahuan (mendadak), merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencegah penyiksaan. Pelapor Khusus memberikan pujian terhadap Rencana Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia (20042009), yang pada tahun 2008, menetapkan ratifikasi OPCAT yang mensyaratkan pembentukan mekanisme semacam itu. Ia beranggapan bahwa aksesi pada instrumen penting ini dan implementasinya yang efektif, akan mendasari langkah-langkah ke depan yang sangat penting di dalam mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang di masa yang akan datang.” Pelapor Khusus juga bersemangat untuk melihat Komnas HAM meningkatkan kapasitasnya untuk melakukan kunjungan-kunjungan secara rutin, dan secara formal mengusulkan agar Indonesia “mendukung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk menjadi pemain yang efektif di dalam perjuangan melawan penyiksaan, terkait dengan peran mereka di dalam melakukan monitoring dan menghapus impunitas”. APT dan ELSAM menyadari bahwa Indonesia menghadapi pelbagai tantangan yang luar biasa, dan bahwa transformasi struktural yang mungkin diperlukan, akan memakan waktu dan usaha yang berkelanjutan. Namun demikian, kami tetap berkomitmen pada proses ini, sebagaimana dapat dilihat dari niat kami untuk terlibat di dalam upaya melakukan pengembangan kapasitas mengenai metodologi kunjungan dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan pemangku kepentingan yang relevan lainnya. Meskipun ratifikasi OPCAT akan memakan waktu yang lebih lama dari yang dijadwalkan, APT dan ELSAM tetap ingin menyarankan agar instrumen ini ditandatangani sebelum proses Universal Periodic Review (UPR) dan sesi Komite Menentang Penyiksaan berlangsung. Hal ini akan memberikan gambaran yang jelas bahwa Indonesia memiliki komitmen yang tinggi untuk mencegah penyiksaan.
1
Lihat siaran pers, 23 November 2007: http://www.unhchr.ch/huricane/huricane.nsf/view01/1AA22BE858AA5 DA9C125739C00342359?opendocument.
6
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempattempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT”
MENGENAL PROTOKOL OPSIONAL UNTUK KONVENSI PBB MENENTANG PENYIKSAAN (OPCAT)
Hotel Borobudur 23 Juni 2011
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Protokol Opsional untuk Konvensi PBB Menentang Penyiksaan: Pertanyaanpertanyaan yang sering diajukan Apakah Protokol Opsional? Pada tanggal 18 Desember 2002, Sidang Umum PBB mengesahkan Protokol Opsional untuk Konvensi PBB menentang Penyiksaan (OPCAT). Tujuan dari OPCAT adalah untuk mencegah penyiksaan dan bentuk-bentuk tindakan tidak manusiawi lainnya dengan membentuk suatu sistem kunjungan regular ke tempat-tempat penahanan yang dilakukan oleh badan-badan independen internasional dan nasional. Siapa yang dapat meratifikasi? Hanya negara yang telah meratifikasi atau menerima Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dapat meratifikasi atau menerima OPCAT. Apa yang diperlukan? Meskipun penyiksaan dan bentuk-bentuk tindakan tidak manusiawi lainnya dilarang berdasarkan hukum internasional, tindakan-tindakan kejam ini masih terus dilakukan secara meluas. Orang yang dirampas kebebasannya adalah mereka yang paling berisiko karena mereka diputuskan dari dunia luar dan sepenuhnya tergantung pada yang berwenang dalam pemenuhan kebutuhan dan hak mereka yang paling dasar. OPCAT menawarkan pendekatan baru karena tidak satu pun perjanjian internasional yang menawarkan langkah-langkah konkrit untuk mencegah terjadinya pelanggaranpelanggaran ini di tempat-tempat penahanan di seluruh dunia. Bagaimana kunjungan-kunjungan regular tersebut dapat mencegah penyiksaan dan bentuk-bentuk tindakan sewenang-wenang lainnya? Pengalaman praktis menunjukkan bahwa kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat penahanan merupakan salah satu sarana yang paling efektif untuk mencegah penyiksaan dan memperbaiki kondisi penahanan. Kunjungan-kunjungan tersebut tidak hanya memiliki efek jera namun juga memungkinkan para ahli untuk memeriksa secara langsung perlakuan terhadap orang yang dirampas kebebasannya dan kondisi penahanan mereka. Banyak persoalan bermula dari tidak memadainya sistem yang dapat diperbaiki melalui monitoring regular. Para ahli pelaksana kunjungan dapat membuat rekomendasi untuk perbaikan dan membentuk dialog yang konstruktif dengan pejabat berwenang yang terkait untuk membantu mereka mengatasi persoalan yang mereka ketahui atau cermati.
7
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Bagaimana Protokol Opsional bekerja? OPCAT akan membentuk suatu sistem kunjungan regular ke tempat-tempat penahanan yang dilakukan oleh badan ahli independen di tingkat nasional maupun internasional yang saling melengkapi. Setelah ratifikasi atau penerimaan OPCAT, Negara-negara Pihak akan memperoleh kunjungan-kunjungan yang tidak diumumkan dari badan-badan ini ke tempat-tempat penahanan. Sub-komite Internasional Badan pertama dalam sistem kunjungan ini berupa suatu badan internasional baru, ‘Sub-komite’ dari Komite PBB Menentang Penyiksaan. Badan ini pada awalnya terdiri dari 10 ahli independen dari berbagai disiplin yang akan melakukan kunjungan-kunjungan regular ke tempat-tempat penahanan di seluruh Negara Pihak. Mekanisme Pencegahan Nasional Bagian kedua dari sistem ini akan berupa kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh badan-badan nasional. Saat OPCAT mulai berlaku, dalam satu tahun setelah ratifikasi, atau penerimaannya, Negara-negara Pihak harus memiliki satu atau lebih Mekanisme Pencegahan Nasional. Tidak ada satu tipe mekanisme nasional khusus yang diatur, oleh karenanya, Komisi Hak Asasi, Ombudsman, Komisi Parlemen, atau NGO dapat ditunjuk untuk menjalankan fungsi ini. Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa badan-badan nasional ini berfungsi tanpa campur tangan dari pejabat-pejabat negara. Apa yang dilakukan oleh badan-badan pelaksana kunjungan? Baik badan internasional maupun nasional akan melakukan kunjungan secara regular ke tempattempat penahanan dan dapat melakukan wawancara pribadi dengan orang-orang yang mereka tentukan atau pilih. Segera sesudah kunjungan, badan-badan ini akan merumuskan rekomendasirekomendasi perbaikan mengenai perlakuan dan kondisi penahanan dari orang-orang yang dirampas kebebasannya. Untuk membentuk suasana kerja sama laporan Sub-komite akan bersifat rahasia, kecuali apabila Negara Pihak yang terkait memberikan persetujuan atas publikasi laporan tersebut, atau gagal bekerja sama dengan ahli-ahli pelaksana kunjungan. Kerahasiaan bukanlah suatu keharusan bagi badan pelaksana kunjungan di tingkat nasional. Badan-badan ini kemudian akan melanjutkan kerja dengan pejabat-pejabat yang relevan mengenai implementasi rekomendasi mereka. Mereka juga akan bekerja bersama, bertukar informasi dan saran. Tempat-tempat apa saja yang akan dikunjungi? Tempat-tempat penahanan secara umum didefinisikan oleh OPCAT dan seharusnya mencakup: kantor-kantor polisi, markas-markas angkatan bersenjata, seluruh pusat-pusat penahanan sebelum persidangan, penjara selama masa persidangan, penjara untuk mereka yang telah dijatuhi pidana, pusat rehabilitasi anak-anak muda, pusat-pusat imigrasi, zona-zona transit di bandara-bandara internasional, pusat penahanan para pencari suaka, institusi-institusi psikiatris, dan tempat-tempat penahanan administratif.
8
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Apa yang perlu dilakukan saat ini? OPCAT membutuhkan ratifikasi 20 negara untuk dapat berlaku. Sampai dengan Juni 2011, terdapat 68 Negara Penandatangan dan 59 Negara Pihak pada OPCAT. Negara Pihak pada Konvensi PBB Menentang Penyiksaan harus secara serius mempertimbangkan untuk meratifikasi OPCAT sesegera mungkin. Institusi nasional dan lainnya yang mempromosikan hak asasi manusia dari orang yang dirampas kebebasananya perlu mengetahui peran potensialnya sebagai Mekanisme Pencegahan Nasional berdasar OPCAT. Perdebatan nasional mengenai pencegahan penyiksaan seharusnya didorong dengan pertimbangan pengadopsian OPCAT. Masyarakat sipil seharusnya aktif mempromosikan dan terlibat dalam proses ratifikasi dan implementasi OPCAT.
9
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan: Apa Nilai Tambah dari Pencegahan?2 Protokol Opsional (OPCAT) mulai berlaku pada bulan Juni 2006. Hal ini terbuka untuk diratifikasi oleh Negara-negara Pihak pada Konvensi PBB Menentang Penyiksaan. OPCAT menciptakan sebuah sistem kunjungan pencegahan ke tempat-tempat penahanan oleh para ahli dari Sub-komite internasional untuk Pencegahan Penyiksaan (SPT) dan Mekanisme Pencegahan Nasional (NPM). Negara-negara Pihak sepakat untuk memungkinkan para ahli dari SPT dan NPM, tanpa hambatan, untuk mengakses tempat-tempat penahanan yang tidak terbatas pada penjara, tetapi juga semua tempat di mana orang dirampas kebebasannya. Sub-komite dapat mengeluarkan rekomendasi konkrit yang dimaksudkan untuk mencegah penyiksaan. Berdasarkan OPCAT, Negara diwajibkan untuk mengangkat atau memebentuk sebuah mekanisme pencegahan penyiksaan di tingkat nasional. Fitur inovatif ini yang membedakan OPCAT dari semua perjanjian hak asasi manusia PBB lainnya yang memberikan mandat monitoring atas pelaksanaan perjanjian hanya kepada badan-badan internasional saja. OPCAT juga menetapkan Dana Khusus untuk membantu membiayai implementasi rekomendasi Subkomite serta untuk mendukung program-program pendidikan Mekanisme Pencegahan Nasional. Pelaksanaan mandat Sub-komite berikut dipandu oleh prinsip-prinsip kerahasiaan, kenetralan, universalitas non-selektivitas, dan objektivitas: 1. Untuk mengunjungi tempat-tempat di mana individu dirampas kebebasannya secara teratur, termasuk kunjungan-kunjungan tindak lanjut; 2. Untuk bekerja dengan dan membantu mengembangkan Mekanisme Pencegahan Nasional; 3. Untuk bekerja sama, dalam hal pencegahan penyiksaan secara umum, dengan badan-badan dan mekanisme-mekanisme yang relevan, serta dengan badan-badan internasional, regional dan nasional yang bekerja untuk memperkuat perlindungan bagi semua orang terhadap penyiksaan. Nilai Tambah dari Pencegahan Penyiksaan OPCAT menambahkan lapisan baru pada perlindungan yang telah ditawarkan oleh Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia lainnya melalui mekanisme pemantauan internasional (Sub-komite) dan nasional (NPM). Sub-komite, sebagai badan kunjungan internasional, dan Mekanisme Pencegahan Nasional, masing-masing adalah komponen dari sistem pemantauan yang baru. Kedua mekanisme ini akan bekerja secara simultan dan dengan cara yang saling melengkapi dalam upaya untuk memastikan pencegahan terhadap penyiksaan dan perlakuan buruk sewenang-wenang lainnya.
2
Disarikan dari makalah Wilder Tayler, Anggota Sub-Komite Internasional untuk Pencegahan Penyiksaan yang disampaikan dalam High-Level Meeting “Mencegah Penyiksaan: Langkah ke depan bagi Indonesia”, November 2007.
10
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Sistem kunjungan yang diatur dalam OPCAT memiliki fitur khusus yang membedakannya dari mekanisme-mekanisme perlindungan lain, yakni bahwa sistem kunjungan OPCAT didasarkan pada prinsip-prinsip kerjasama, keteraturan, tindakan pencegahan dan segera. Terdapat 3 nilai tambah dari pencegahan penyiksaan yang ditawarkan oleh OPCAT. Pertama, sistem kunjungan pencegahan yang baru ini sangat penting mengingat bahwa sistem ini melengkapi dan memperkuat sistem perlindungan yang tersedia yang pada umumnya efisien dalam hal reaktif, tetapi tidak selalu dapat mengatasi penyebab langsung dari penyiksaan dan mencegah terjadinya penyiksaan. Kedua, Negara Pihak dapat menunjuk, membentuk atau mempertahankan mekanisme-mekanisme pencegahan penyiksaan di tingkat nasional. Mekanisme-mekanisme ini pada dasarnya melaksanakan fungsi yang sama seperti Sub-komite Pencegahan. Namun, mereka memiliki nilai lebih ketimbang Sub-komite: selain dari kesiapan mereka untuk melakukan kunjungan ke tempat-tempat penahanan - yang juga merupakan fungsi Sub-komite - mereka juga dapat melakukan tugas ini secara permanen dan dengan demikian menjamin kelangsungan fungsi pemantauan. Mekanisme Pencegahan Nasional dapat menjalankan fungsi pencegahan yang diamanatkan oleh OPCAT secara rutin dan berkelanjutan. Sedangkan mekanisme pemantauan hak asasi manusia internasional hanya dapat menjalankan fungsi tersebut secara berkala: misalnya melalui laporanlaporan Negara Pihak mengenai implementasi perjanjian hak asasi manusia yang telah diratifikasi di tingkat nasional. Kehadiran mekanisme pemantauan nasional memiliki fitur penting lainnya yang tidak ditawarkan oleh mekanisme pemantauan hak asasi manusia internasional. Kedekatan dengan Pemerintah dan masyarakat sipil meningkatkan kemampuan NPM untuk mengusulkan, membahas dan menerapkan langkah-langkah pencegahan bersama. Dari sudut pandang operasional, akses cepat terhadap informasi yang relevan (yang disediakan oleh LSM lokal atau kerabat dari orang-orang yang dirampas kebebasannya), serta terhadap para pengambil keputusan, memungkinkan NPM untuk bereaksi terhadap situasi mendesak atau krisis dan dengan demikian membantu mencegah risiko kekerasan. Akhirnya, kehadiran NPM yang berkelanjutan di lapangan seharusnya dapat membangun rasa percaya antara mekanisme pencegahan domestik dan otoritas terkait. NPM dan Sub-komite akan bekerja secara komplementer dan terkoordinasi. Mereka adalah bagian dari sistem yang sama, berbagi tujuan bersama dan akan memiliki metode kerja yang sama. Sebagai mitra alami, mereka akan perlu menetapkan garis-garis komunikasi dan sistem pertukaran informasi yang koheren, permanen dan efisien. Hal ini akan memungkinkan badan-badan internasional dan nasional untuk menyelaraskan rekomendasi, berkoordinasi secara reguler dan melakukan kunjungan tindak lanjut dan bekerjasama dalam pelaksanaan inisiatif-inisiatif pencegahan lainnya. Ketiga, maksimalisasi upaya perlindungan yang ditawarkan oleh sistem kunjungan. Dalam rangka melaksanakan mandat mereka, NPM dan Sub-komite perlu memeriksa dan membuat rekomendasi tentang situasi-situasi yang mempengaruhi hak asasi manusia dari orang-orang yang dirampas kebebasannya. Dalam menganalisis kelemahan-kelemahan sistem penjara atau peradilan yang memfasilitasi penyiksaan atau perlakuan buruk, aspek-aspek berikut harus diperhatikan:
11
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Dasar dan prosedur yang sah berdasarkan hukum untuk merampas kebebasan seseorang, serta upay-upaya perlindungan yang disyaratkan pada saat penangkapan dilakukan. Banyak kasus perlakuan buruk atau penyiksaan terjadi di tahap awal penahanan, dan praktik telah menunjukkan bahwa hal ini memang benar ketika penangkapan dan penahanan dilakukan secara sewenang-wenang. Bagaimana informasi tentang hak-hak tahanan diberikan, termasuk hak untuk mengetahui alasan penahanan seseorang. Orang yang tidak mengetahui alasan penahanan mereka atau hak-hak mereka tidak dapat melakukan apapun untuk membela hak-hak tersebut. Akses terhadap pengacara pilihannya sendiri atau terhadap bantuan hukum merupakan upaya perlindungan yang penting terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Berdasarkan standar internasional, seseorang yang ditangkap harus memiliki akses terhadap pengacara sesegera mungkin, dan pengacara tersebut harus hadir pada saat pemeriksaan pertama. Hak habeas corpus dan upaya-upaya hukum lainnya untuk melindungi tahanan merupakan upaya perlindungan lain yang sangat penting terhadap penyiksaan, seperti halnya hak tahanan untuk memiliki akses terhadap dokter, perawatan medis dan berkomunikasi dengan keluarga mereka. Dipahami secara luas bahwa kondisi incommunicado atau penahanan rahasia adalah situasi yang paling kondusif untuk penyiksaan. Kondisi penahanan juga dapat dipersamakan dengan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan masuk dalam lingkup mekanisme pencegahan OPCAT. Kondisi tersebut meliputi keadaan fisik dari fasilitas penahanan, makanan dan air, kebersihan, rekreasi, kontak tahanan dengan dunia luar, dan lain-lain. Kelompok-kelompok tertentu, seperti perempuan, anak-anak, orang asing atau penyandang cacat sangat rentan dan oleh karenanya berhak atas langkah-langkah perlindungan khusus ketika dirampas kebebasannya. Masalah pembuktian juga perlu dipertimbangkan. Penting bahwa mekanisme pencegahan memeriksa bobot pembuktian sistem hukum tertentu yang bersandar pada pengakuan. Pengalaman menunjukkan bahwa ketika sebuah sistem hukum menetapkan pengakuan sebagai satu-satunya dasar penghukuman tanpa memerlukan bukti yang menguatkan, kejadian penyiksaan atau perlakuan sewenang-wenang lainnya meningkat. Pendekatan komprehensif pencegahan penyiksaan perlu memperhatikan langkah-langkah melawan impunitas dan mekanisme pengaduan yang berlaku.
12
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Definisi Tempat-tempat Penahanan berdasarkan OPCAT Tempat di mana orang-orang mengalami pengurangan atau perampasan kebebasan dirumuskan secara umum dalam OPCAT, yang mencakup:
Kantor-kantor Polisi Kantor-kantor satuan keamanan Pusat-pusat penahanan sebelum persidangan Tempat penahanan dalam masa persidangan Penjara bagi terpidana yang telah dijatuhi hukuman Pusat rehabilitasi anak-anak Pusat-pusat imigrasi Area transit di bandara-bandara internasional Kantor untuk pencari suaka Institusi rehabilitasi mental Tempat penahanan administratif Tempat-tempat lain di mana orang mengalami pengurangan atau perampasan kebebasan
13
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempattempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT”
PENTINGNYA PEMANTAUAN TERHADAP TEMPAT-TEMPAT PENAHANAN
Hotel Borobudur 23 Juni 2011
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Monitoring Tempat-tempat Penahanan melalui Kunjungan-kunjungan3
Apa yang dimaksud dengan Monitoring Tempat-tempat Penahanan? Monitoring menggambarkan proses, sepanjang waktu, dari pemeriksaan regular atas semua aspek dari penahanan. Pemeriksaan dapat melibatkan semua atau beberapa kategori orang yang dirampas kebebasannya dalam satu atau lebih tempat penahanan. Seluruh aspek penahanan saling tergantung satu dengan yang lain dan harus diperiksa dalam kaitannya antara satu dengan yang lainnya.
Kondisi hidup selama masa penahanan Sistem penahanan (aktivitas, kontak dengan dunia luar) Akses pada perawatan kesehatan Pengorganisasian dan pengelolaan tahanan dan personel, juga relasi antara tahanan yang satu dengan lainnya, dan antara tahanan dengan pejabat yang berwenang atas penahanan.
Monitoring mencakup pengiriman hasil pemeriksaan secara lisan maupun tertulis kepada otoritas yang terkait, dan dalam beberapa kasus, ke pihak lain yang terlibat dalam perlindungan atas orang-orang yang dirampas kebebasannya di tingkat nasional maupun internasional, dan kepada media. Hal ini juga mencakup tindak lanjut berkaitan dengan implementasi dari rekomendasi yang diberikan kepada pejabat yang berwenang. Arti Penting Monitoring Monitoring kondisi tempat penahanan secara mutlak penting untuk berbagai alasan: Perampasan kebebasan seseorang merupakan suatu tindakan “coersive” (kekerasan) yang serius oleh negara, dengan risiko yang inheren terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Dengan hilangnya kebebasan, orang yang ditahan menjadi tergantung hampir seluruhnya kepada otoritas dan pejabat publik untuk menjamin perlindungannya, hak dan sarana untuk keberadaannya. Kesempatan bagi orang yang dirampas kebebasannya untuk mempengaruhi nasib mereka sendiri sangat terbatas, bila tidak dikatakan tidak ada. Tempat-tempat penahanan yang menurut definisinya tertutup dan menjaga orang yang ditahan jauh dari penglihatan masyarakat. Di sepanjang waktu dan semua tempat, orang yang dirampas kebebasannya merupakan orang yang rentan dan berada dalam risiko untuk diperlakukan tidak semestinya dan bahkan disiksa. Hal ini berarti bahwa mereka harus menerima perlindungan yang lebih melalui monitoring kondisi mereka di tempat penahanan.
3
Disarikan dari ELSAM, “Monitoring Tempat-tempat Penahanan: Sebuah Panduan Praktis”, Mei 2007.
14
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Harus dicatat bahwa fakta yang menunjukkan mekanisme monitoring telah diintegrasikan ke dalam sistem perlindungan yang permanen bagi orang-orang yang dirampas kebebasannya tidak selalu berarti terdapat persoalan serius di tempat-tempat penahanan, atau kurangnya rasa percaya diri yang luas terhadap pejabat yang bertanggung-jawab atas tempat penahanan. Ini lebih merupakan suatu hal yang mendudukkan kesenjangan kewenangan yang besar dalam hubungan antara yang ditahan dan yang menahan pada pemeriksaan eksternal oleh suatu badan yang diberikan kekuasan untuk melakukan intervensi dalam kasus penyalahgunaan kewenangan ini. Mekanisme kontrol ini mempromosikan hak asasi manusia, membantu membatasi risiko dari tindakan yang sewenang-wenang dan mengatur tindakan-tindakan yang berlebihan terhadap mereka yang dirampas kebebasannya. Mereka juga berkontribusi terhadap transparansi dan akuntabilitas dari tempat-tempat perampasan kebebasan, dengan demikian meningkatkan legitimasi manajemen tempat-tempat tersebut dan kepercayaan publik terhadap institusi tersebut. Kunjungan ke Tempat-tempat Penahanan - Perangkat Utama untuk Monitoring Tempat-tempat penahanan pada dasarnya dimonitor melalui kunjungan-kunjungan ke tempat orang ditahan. Kunjungan-kunjungan ini memiliki fungsi yang bervariasi: ƒ Fungsi preventif: Fakta sederhana bahwa seseorang dari luar secara regular memasuki suatu tempat penahanan dengan sendirinya berkontribusi atas perlindungan bagi mereka yang ditahan di sana. Perlindungan langsung: Kunjungan lapangan memungkinkan untuk bereaksi secepatnya terhadap persoalan yang menimpa tahanan yang belum ditangani oleh pegawai yang sedang bertugas. Dokumentasi: Selama kunjungan, aspek-aspek yang berbeda dari tempat penahanan dapat diperiksa dan kelayakannya dapat dinilai; informasi yang dikumpulkan menyediakan suatu landasan untuk menyusun suatu penilaian dan mendokumentasikannya, dan untuk melakukan pembenaran atas tindakan pembenahan yang diusulkan. Kunjungan juga memberikan kesempatan untuk mendokumentasikan aspek-aspek tertentu dari tempat penahanan, yang dapat ditanggapi dalam studi tematik. Landasan untuk berdialog dengan pejabat penahanan yang berwenang: Kunjungan memungkinkan untuk membuat dialog langsung dengan pejabat dan petugas yang sedang bertugas di fasilitas tempat penahanan. Dialog ini, sejauh mungkin, karena didasarkan kepada rasa saling menghormati, mengarah ke pengembangan suatu relasi kerja yang konstruktif di mana dapat diperoleh sudut pandang petugas mengenai kondisi kerja mereka, dan persoalanpersoalan yang mungkin telah mereka identifikasi. Selain itu, patut dicatat bahwa orang yang dirampas kebebasannnya memiliki kontak langsung dengan orang di luar yang menaruh perhatian pada kondisi mereka merupakan suatu yang penting dan merupakan suatu bentuk perlindungan sebagaimana juga suatu dukungan moral.
15
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Monitoring Tempat-tempat Penahanan oleh Lembaga-lembaga Negara4 Di Indonesia, terdapat sejumlah lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pemantauan, termasuk di dalamnya pemantauan dan kunjungan terhadap tempat-tempat tahanan. Hal ini tentunya dengan tetap mengefektifkan kinerja lembaga pengawas internal yang berada di masingmasing lembaga atau institusi atau departemen terkait, misalnya hakim pengawas pemasyarakatan (Wasmat) dan Inspektorat Jenderal Pemasyarakatan (Itjenpas) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan atau Bidang Profesi dan Pengamanan di tingkat Polda dan Divisi Profesi dan Pengamanan di tingkat Mabes POLRI. Lembaga-lembaga negara yang memiliki potensi untuk ditunjuk sebagai Mekanisme Nasional Pencegahan Penyiksaan di bawah ketentuan OPCAT, dengan mengupayakan sejumlah penyesuaian melalui lembaga legislatif menyangkut mandat, sumber daya manusia dan sumber daya keuangan, dan penyesuaian praktik-praktik kerja biasanya akan diperlukan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain: Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merupakan lembaga mandiri yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tujuan berdirinya Komnas HAM adalah untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Komnas HAM juga diharapkan mampu meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM diberi tugas dan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia Komnas Perempuan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merupakan lembaga independen yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 dan diperbaharui melalui Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Tujuan berdirinya Komnas Perempuan adalah mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak asasi perempuan dan meningkatkan upaya pencegahan serta penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas Perempuan memiliki wewenang dan tugas, yaitu menyebarluaskan pemahaman dan upaya penghapusan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, pengkajian dan penelitian, pemantauan, memberikan saran kepada pemerintah, eksekutif dan yudikatif serta organisasi masyarakat, serta mengembangkan kerja sama regional dan internasional.
4
Disarikan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, “Kertas Kerja: Standar tentang Mekanisme Nasional untuk Pencegahan Penyiksaan di Indonesia”, Februari 2009.
16
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI memiliki tugas: a) melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; serta b) memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Ombudsman Republik Indonesia (ORI) adalah lembaga negara yang bersifat independen dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, dan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. ORI dibentuk berdasarkan UU No. 37 tahun 2008 dan berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Hukum Negara, serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan layanan publik tertentu. ORI memiliki tugas antara lain: menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melalukan pemeriksaan substansi atas laporan, melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya, serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, ORI tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Selain lembaga-lembaga di atas, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat membantu efektifitas kerja mekanisme nasional pencegahan penyiksaan, terutama dalam kaitan dengan perlindungan saksi dan korban. LPSK adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan bertanggung jawab kepada Presiden. LPSK bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan, bantuan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban yang berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK harus mempertimbangkan syarat-syarat, seperti sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban, tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban, hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban, dan rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban. LPSK berkewajiban memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban, termasuk keluarganya.
17
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Monitoring Tempat-tempat Penahanan oleh LSM Nasional5 Pemantauan Tempat-tempat Penahanan oleh LSM Nasional Di beberapa negara, badan monitoring khusus telah dibentuk di bawah satu kementerian tertentu. Badan-badan ini kerap memiliki mandat ganda, baik untuk mengawasi kondisi tempat penahanan yang berada dalam kontrol kementerian tersebut, maupun untuk emmberika saran perbaikan yang diperlukan kepada menteri yang bersangkutan. Badan-badan semacam ini dapat beranggotakan pejabat pemerintahan, perwakilan LSM, anggota-anggota independen yang berasal dari kelompok masyarakat sipil (orang biasa) atau merupakan kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Badan ini biasanya mengeluarkan rekomendasi yang tidak mengikat. terkadang rekomendasi ini dipublikasikan dalam bentuk laporan-laporan. LSM-LSM hak asasi manusia nasional dan organisasi-organisasi masyarakat sipil telah berhasil memperoleh otoritas dan kesepakatan untuk secara reguler memantau tempat-tempat penahanan. Pemantauan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil biasanya ditandai oleh tingginya tingkat independensi dari otoritas yang berwenang, dan publisitas atas temuan-temuan serta laporanlaporan, lebih sering khususnya hal tersebut disebabkan oleh kemandirian atau independensi dan persepsi bahwa hal tersebut membuat temuan-temuan mereka menjadi lebih jujur dan terbuka. Meskipun demikian, landasan hukum dari pemantauan itu sendiri terkadang lemah, yaitu hanya didasarkan pada kesepakatan tertulis dengan menteri-menteri yang berbeda, atau dengan kementerian yang bersangkutan. Ini menyebabkan pemantau-pemantau tersebut bergantung pada kemauan politik dari pejabat yang berwenang. Di beberapa negara, kurangnya pendanaan bahkan untuk membiayai transportasi perjalanan menyebabkan pemantauan yang konsisten hampir tidak mungkin dijalankan oleh kelompok-kelompok independen tersebut. Perlunya Pelibatan LSM nasional dalam Pemantauan Kondisi Tempat-tempat Penahanan Mengapa LSM perlu didorong untuk terlibat dalam pemantauan tempat-tempat penahanan, mengingat telah ada berbagai bentuk kontrol baik secara teori maupun praktik di tataran nasional? Ada beberapa alasan mengapa LSM harus dilibatkan dalam fungsi ini, yaitu: Inspeksi atau pemantauan oleh organ lembaga pemerintahan itu sendiri itu penting, tetapi, secara definisi, tidak independen. Sistem kontrol eksternal tidak selalu efektif atau tidak cukup sering untuk memenuhi peran dasar mereka sebagai suatu mekanisme pengatur. Inspeksi terkadang bersifat superficial; lebih kepada aspek-aspek formal dan birokratis, bukannya hal-hal yang terkait organisasi atau bagaimana menangani orang-orang yang ditahan, yang mana hal tersebut lebih sulit diperiksa dan lebih sensitif; Pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional, meskipun penting, tapi tidak karakter “kebereadaan yang permanen” yang sangat penting.
5
ELSAM, supra, n. 3.
18
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Kekuatan LSM Nasional Sejauh tindakan-tindakan mereka terikat pada prinsip-prinsip independensi, kompeten, dan etika serta instansi yang berwenang menjamin diberikannya standar minimum untuk melaksanakan kerjakerja mereka secara memadai, LSM nasional memiliki kekuatan yang besar untuk memberikan kontribusi yang membangun bagi perlindungan orang-orang yang dirampas kemerdekaannya. Secara singkat, kekuatan utama mereka adalah sebagai berikut: 1. Keberadaan yang permanen Perlindungan orang-orang yang diramaps kemerdekaannya merupakan suatu proses yang berlanjut, yangmana harus dijalani tanpa melihat situasi sosial dan politik dari suatu negara. LSM Nasional berada di posisi terbaik untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bersifat berkelanjutan. Mereka potensial untuk memiliki kapasitas untuk bertindak dan merespon secara cepatmisalnya, jika ada insiden serius terjadi di tempat-tempat penahanan. 2. Pengetahuan mengenai lingkungan Mereka memiliki, atau setidaknya mempunyai akses terhadap pengetahuan mendalam soal sosial, politis dan hukum untuk membentuk dan menjalankan program pemantauan di tempat-tempat penahanan. Mereka mempunyai, atau setidaknya bisa membangun, jejaring kontak sosial yang kuat, yang akan memungkinkan mereka untuk secara dekat mengikuti evolusi dari permasalahan-permasalah terkait tempat-tempat penahanan. Mereka berada di posisi yang memungkinkan untuk mengidentifikasi strategi-strategi komunikasi terbaik untuk mengingatkan instansi-instansi yang berwenang, media nasional, serta masyarakat secara umum terkait pemasalahan-permasalahan yang terkait dengan atau yang dihasilkan oleh perampasan kemerdekaan. Oleh karena itu, LSM nasional dapat memainkan peran ganda: mereka bertindak sebagai pengawas fungsi-fungsi organiasi negara, atas nama masyarakat sipil, dan mereka berkontribusi secara aktif untuk memelihara atau menciptakan kondisi tempat penahanan yang manusiawi dan layak yang menghormati hak asasi manusia. LSM nasional juga dapat memberikan dukungan lokal untuk kegiatan-kegiatan dan kampanye kampanye untuk peningkatan kesadaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional dan intergovernmental yang bekerja untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia.
19
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempattempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT”
INDONESIA & OPCAT: KOMITMEN DAN REKOMENDASI UNTUK RATIFIKASI
Hotel Borobudur 23 Juni 2011
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
INDONESIA & OPCAT: KOMITMEN DAN REKOMENDASI UNTUK RATIFIKASI RANHAM 2004-2009 & 2011-2014
Tujuan/ sasaran
Program/ kegiatan
Jadwal
Pelaksana
2008
Depkeham, Deplu dan instansi terkait
Tahun ke-3 (2013)
Kemenlu, Kemenkumham, Kepolisian, Kejaksaan, Kemenhan
Indikator keberhasilan (output)
RANHAM 2004-2009 Persiapan ratifikasi sejumlah Instrumen HAM Internasional yang dianggap penting dalam upaya pemajuan HAM di Indonesia.
Persiapan ratifikasi sejumlah Instrumen HAM Internasional dengan skala prioritas, termasuk Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan.
Tersusunnya draft RUU ratifikasi sejumlah Instrumen HAM Internasional.
RANHAM 2011-2014 Persiapan pengesahan Instrumen HAM Internasional.
1. Membentuk mekanisme persiapan pengesahan instrumen internasional HAM. 2. Membentuk Pokja Tetap persiapan pengesahan instrumen internasional HAM. 3. Menyusun Naskah Akademik dan RUU oleh Pokja Persiapan Pengesahan Instrumen Internasional HAM 4. Sosialisasi muatan instrumen Internasional HAM yang akan disahkan.
1. Terbentuknya mekanisme persiapan pengesahan instrumen internasional HAM. 2. Terbentuknya Pokja Tetap Persiapan Pengesahan Instrumen Internasional HAM. 3. Tersusunnya Naskah Akademik dan RUU persiapan pengesahan instrumen HAM internasional. 4. Tersosialisasinya instrumen HAM internasional yang akan disahkan.
REKOMENDASI KOMITE PBB MENENTANG PENYIKSAAN (CAT) TAHUN 20086 39. Berkenaan dengan komitmen Indonesia untuk meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi sebelum tahun 2009, sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Kedua, Komite mendorong Negara Pihak untuk secara aktif mempertimbangkan pembentukan Mekanisme Pencegahan Nasional.
6
Komite PBB Menentang Penyiksaan, “Pembahasan terhadap Laporan-laporan yang Disampaikan oleh Negaranegara Pihak berdasarkan Pasal 19 Konvensi: Kesimpulan Observasi Komite Menentang Penyiksaan: Indonesia”, Sesi ke-40, CAT/C/IDN/CO/2, 16 Mei 2008.
20
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
REKOMENDASI UPR TAHUN 20087 77. Rekomendasi-rekomendasi yang dirumuskan dalam dialog interaktif ini telah diperiksa oleh Indonesia dan rekomendasi-rekomendasi yang tercantum di bawah diterima oleh Indonesia: 2. Indonesia, sejalan dengan Rencana Aksi Nasional, didorong untuk menindaklanjuti niatnya untuk mengaksesi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional, Protokol Opsional untuk Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata, Protokol Opsional untuk Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak dan Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia. Indonesia lebih lanjut didorong untuk mempertimbangkan penandatanganan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. REKOMENDASI PELAPOR KHUSUS PBB TENTANG PENYIKSAAN TAHUN 20088
ISU Monitoring
SITUASI YANG DIAMATI Tidak ada badan monitoring yang independen dan efektif Kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia diumumkan dan tidak mencakup seluruh negeri.
REKOMENDASI Mengaksesi OPCAT dan membentuk NPM yang benar-benar independen yang melakukan kunjungan-kunjungan mendadak ke semua tempat penahanan. Memperkuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk dapat bekerja secara efektif dan independen dalam hal pertarungan melawan penyiksaan.
PENGAMATAN Sehubungan dengan kerangka hukum Negara, Pelapor Khusus menyayangkan bahwa Indonesia belum melarang penyiksaan di bawah hukum pidananya. Hukum Indonesia tidak mengandung larangan yang eksplisit mengenai penyiksaan. Hal ini, dikombinasikan dengan ketiadaan perlindungan prosedural terhadap penyiksaan, kurangnya mekanisme pengawasan independen dan mekanisme pengaduan yang efektif, akan berakibat pada sistem impunitas.
7
Dewan HAM PBB, “Universal Periodic Review: Report of the Working Group on the Universal Periodic Review Indonesia”, A/HRC/8/23, 14 Mei 2008. 8 Dewan HAM PBB, “Laporan Pelapor Khusus tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Manfred Nowak”, Lampiran: Kunjungan ke Indonesia, A/HRC/7/3/Add.7, 10 Maret 2008.
21
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Berkenaan dengan hal di atas, Pelapor Khusus merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia sepenuhnya melaksanakan kewajibannya berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional. Secara khusus, ia mendesak Pemerintah untuk mengkriminalisasi penyiksaan, secara terbuka mengutuk dan melawan impunitas, untuk mencegah penggunaan kekerasan yang berlebihan dalam kaitan dengan tindakan polisi dan militer, dan untuk memastikan bahwa sistem peradilan pidana bersifat non-diskriminatif, antara lain melalui pemberantasan korupsi. Selanjutnya, ia menyerukan kepada Pemerintah untuk meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT) dan untuk membentuk Mekanisme Pencegahan Nasional (NPM) yang dimandatkan untuk melakukan pemantauan terhadap tempat-tempat penahanan secara independen dan mendadak, dan memasukkan perlindungan terhadap penyiksaan ke dalam peraturan perundang-undangan dan memastikan bahwa perlindungan tersebut dilaksanakan. Pelapor Khusus mendorong Pemerintah untuk melanjutkan upaya untuk memperbaiki kondisi penahanan, khususnya dengan tujuan untuk menyediakan perawatan kesehatan. Selain itu, ia merekomendasikan bahwa perhatian khusus harus dberikan untuk memerangi dan mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak dan bahwa usia pertanggungjawaban pidana anak dinaikkan. 60. Pelapor Khusus mengamati bahwa tidak ada mekanisme pemantauan yang berfungsi di Indonesia. ICRC memiliki akses ke beberapa tahanan, LSM dapat melakukan kunjungan ke penjara, dan Komnas HAM telah melakukan kunjungan yang diumumkan ke kantor-kantor polisi. Namun, tidak ada mekanisme independen dan efektif yang akan memiliki kewenangan untuk melakukan kunjungan mendadak ke semua tempat penahanan di seluruh negeri. Dalam hal ini Pelapor Khusus menghargai Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (2004-2009) yang menjadwalkan ratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan pada tahun 2008. Instrumen ini (OPCAT) mensyaratkan pembentukan Mekanisme Pencegahan Nasional (NPM) yang diberikan mandat untuk melakukan pemantauan independen yang didasarkan pada kunjungan-kunjungan mendadak ke semua tempat di mana orang dirampas kebebasannya. Ia menganggap bahwa aksesi pada instrumen penting ini dan penerapannya yang efektif akan menjadi sebuah langkah besar ke arah pencegahan penyiksaan dan perlakuan buruk di masa depan. REKOMENDASI 84. Pemerintah Indonesia harus secara bijaksana mengaksesi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan, dan membentuk Mekanisme Pencegahan Nasional (NPM) yang benarbenar independen untuk melakukan kunjungan mendadak ke semua tempat penahanan.
22
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
23
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempattempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT”
LAMPIRAN: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KOMITE PBB MENENTANG PENYIKSAAN
Hotel Borobudur 23 Juni 2011
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Distribusi: UMUM CAT/C/IDN/CO/2 16 Mei 2008 Bahasa asli: INGGRIS
KOMITE MENENTANG PENYIKSAAN SESI KE-40 28 April-16 Mei 2008
PEMBAHASAN TERHADAP LAPORAN-LAPORAN YANG DISAMPAIKAN OLEH NEGARA-NEGARA PIHAK BERDASARKAN PASAL 19 KONVENSI Kesimpulan Observasi Komite Menentang Penyiksaan INDONESIA 1. Komite mempertimbangkan laporan berkala kedua Indonesia (CAT/C/72/Add.1) dalam pertemuannya yang ke-819 dan ke-822, yang diselenggarakan pada tanggal 6 dan 7 Mei 2008 (CAT/C/SR.819 dan CAT/C/SR.822), dan mengadopsi, dalam pertemuannya yang ke-832 pada tanggal 15 Mei 2008 (CAT/C/SR.832), kesimpulan observasi berikut. A. Pendahuluan 2. Komite menyambut baik laporan berkala kedua Indonesia, yang, walaupun secara umum mengikuti pedoman-pedoman pelaporan Komite, kekurangan data statistik dan informasi praktis mengenai implementasi ketentuan-ketentuan Konvensi dan peraturan perundang-undangan domestik yang relevan. 3. Komite menyampaikan apresiasinya untuk tanggapan tertulis yang luas terhadap daftar permasalahan (CAT/C/IDN/Q/2). Komite juga menghargai keahlian, jumlah dan jabatan tingkat tinggi para delegasi Negara Pihak dan dialog yang komprehensif dan membuahkan hasil yang dilakukan serta informasi tambahan yang disampaikan secara lisan oleh para perwakilan Negara Pihak atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan keprihatinan-keprihatinan yang disampaikan pada saat pembahasan laporan. B. Aspek-aspek positif 4. Komite menyambut baik upaya-upaya berkelanjutan dari Negara Pihak untuk memperkuat institusi-institusi dan peraturan perundang-undangannya untuk melindungi hak asasi manusia universal, termasuk pembentukan Mahkamah Konstitusi, Komisi Hukum Nasional, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut pasal 2 dan pasal 10 Undang-Undang No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
5. Komite selanjutnya menyambut baik pembaharuan yang sedang berjalan terhadap kerangka hukum Negara Pihak dengan pengesahan undang-undang berikut: a) b) c) d) e) f) g)
UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga; UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak; Keputusan Presiden No. 40/2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Kedua (2004-2009); dan Keputusan Presiden No. 87/2003 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual terhadap Perempuan dan Anak, No. 88/2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, No. 87/2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, dan No. 59/2002 tentang Rencana Aksi Nasional tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, serta Peraturan Pemerintah No. 9/2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Komite menyambut baik aksesi yang dilakukan Indonesia terhadap Kovenan Internasional 6. tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada tahun 2006. 7. Komite juga mencatat dengan penghargaan bahwa Indonesia menanggapi secara positif rekomendasi Komite untuk menerima Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia dan bahwa kunjungan ke Negara Pihak berlangsung pada bulan November 2007. Komite lebih lanjut mencatat bahwa Pemerintah Indonesia juga telah menerima Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia lainnya, termasuk Pelapor Khusus tentang Hak Asasi Para Buruh Migran, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB tentang Situasi Para Pembela Hak Asasi Manusia, dan Pelapor Khusus tentang Independensi Hakim dan Pengacara. 8. Komite lebih lanjut mencatat dengan penghargaan bahwa laporan-laporan yang khusus disampaikan kepada Komite oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan menyesalkan bahwa Komnas HAM tidak dapat menghadiri pertemuan-pertemuan Komite. 9. Komite juga menyambut baik upaya-upaya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi nonpemerintah, khususnya organisasi-organisasi nasional dan lokal, untuk memberikan Komite laporanlaporan dan informasi yang relevan, dan mendorong Negara Pihak untuk lebih memperkuat kerjasamanya dengan organisasi-organisasi tersebut terkait dengan implementasi ketentuanketentuan Konvensi.
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
C. Pokok-pokok perhatian dan rekomendasi Penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang yang meluas dan perlindungan yang tidak memadai selama penahanan di kepolisian 10. Komite sangat prihatin mengenai banyaknya dugaan berkelanjutan yang kredibel dan konsisten, yang dipertegas oleh laporan dari Pelapor Khusus tentang Penyiksaan (A/HRC/7/3/Add.7) dan sumber-sumber lainnya, mengenai penggunaan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang secara rutin dan meluas terhadap para tersangka yang berada dalam penahanan di kepolisian, khususnya untuk memperoleh pengakuan atau informasi yang akan digunakan dalam proses persidangan pidana. Lebih lanjut, terdapat perlindungan hukum yang tidak memadai bagi para tahanan, termasuk: a)
b)
c)
Kegagalan untuk dengan segera membawa para tahanan ke hadapan hakim, yang dengan demikian membuat mereka berada dalam penahanan yang berkepanjangan di kepolisian sampai dengan 61 hari; Ketiadaan pendaftaran yang sistematis terhadap semua tahanan, termasuk tahanan anak-anak dan kegagalan untuk menyimpan catatan-catatan semua periode penahanan pra-persidangan; dan Akses yang terbatas bagi para pengacara dan dokter yang independen dan kegagalan untuk memberitahu para tahanan mengenai hak mereka pada saat penahanan, termasuk hak mereka untuk menghubungi anggota keluarga. (pasal 2, 10 dan 11)
Sebagai suatu keadaan yang mendesak, Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah segera untuk mencegah tindakan-tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang di seluruh negeri, dan untuk mengumumkan kebijakan tanpa toleransi mengenai setiap perlakuan sewenang-wenang atau penyiksaan oleh pejabat-pejabat Negara. Sebagai bagian dari hal ini, Negara Pihak harus dengan segera menerapkan langkahlangkah yang efektif untuk menjamin bahwa semua tersangka yang ditahan diberikan, dalam praktiknya, semua perlindungan hukum yang fundamental selama penahanan mereka. Perlindungan-perlindungan ini meliputi, khususnya, hak untuk mengakses seorang pengacara, pemeriksaan kesehatan yang independen, untuk memberitahu anggota keluarga, dan untuk diberitahu mengenai hak-hak mereka pada saat penahanan, termasuk mengenai tuduhan-tuduhan yang dihadapkan terhadap mereka, dan juga untuk disajikan di hadapan hakim dalam batas waktu yang sesuai dengan standard-standard internasional. Negara Pihak juga harus menjamin bahwa semua tersangka yang berada di bawah penyelidikan pidana didaftarkan, khususnya anak-anak. Negara Pihak juga harus memperkuat program-program pelatihan untuk semua personil penegak hukum, termasuk semua anggota pengadilan dan jaksa mengenai pelarangan mutlak terhadap penyiksaan, sebagaimana Negara Pihak diwajibkan untuk melaksanakan pelatihan tersebut menurut Konvensi. Lebih lanjut, Negara Pihak harus menekan aturanaturan, instruksi-instruksi, metode-metode, dan praktik-praktik interogasi yang sistematis dengan maksud untuk mencegah kasus-kasus penyiksaan.
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Penggunaan kekerasan yang tidak seimbang (disproportionate) dan penyiksaan yang meluas selama operasi-operasi militer 11. Komite juga sangat prihatin mengenai banyaknya dugaan berkelanjutan yang kredibel dan konsisten, yang dipertegas oleh laporan dari Pelapor Khusus tentang Penyiksaan dan sumber-sumber lainnya, mengenai penggunaan kekerasan secara rutin dan tidak seimbang dan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang meluas oleh anggota-anggota pasukan keamanan dan kepolisian, termasuk oleh anggota-anggota TNI, Brimob, dan kelompok-kelompok paramiliter, selama operasi-operasi militer dan “sapu bersih”, secara khusus di Papua, Aceh, dan provinsi-provinsi lain di mana telah berlangsung konflik bersenjata. (pasal 2, 10 dan 11) Negara Pihak harus dengan segera mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah pasukan-pasukan keamanan dan kepolisian untuk menggunakan kekerasan yang tidak seimbang dan/atau penyiksaan selama operasi-operasi militer, khususnya terhadap anak-anak. Negara Pihak harus dengan segera mengimplementasikan langkah-langkah yang efektif untuk menjamin bahwa semua orang diberikan semua perlindungan hukum yang fundamental selama penahanan mereka. Perlindungan-perlindungan ini meliputi, secara khusus, program-program pelatihan untuk semua personil militer mengenai pelarangan mutlak terhadap penyiksaan. Negara Pihak juga harus menjamin bahwa semua orang yang ditahan selama operasi-operasi militer harus selalu didaftarkan. Impunitas 12. Komite sangat prihatin bahwa dugaan-dugaan yang kredibel mengenai penyiksaan dan/atau perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh para penegak hukum, personil militer dan badanbadan intelijen jarang diselidiki dan dituntut dan bahwa para pelaku jarang dinyatakan bersalah atau sebaliknya dihukum dengan sanksi yang ringan yang tidak sesuai dengan beratnya sifat alami dari kejahatan-kejahatan mereka. Komite menegaskan kembali keprihatinannya yang besar terhadap iklim impunitas bagi para pelaku tindak penyiksaan, termasuk militer, polisi dan pejabat-pejabat Negara lainnya, khususnya mereka yang memegang posisi senior yang diduga telah merencanakan, memerintahkan atau melakukan tindak-tindak penyiksaan. Komite mencatat, dengan kekecewaan, bahwa tidak ada pejabat Negara yang diduga melakukan penyiksaan telah dinyatakan bersalah, sebagaimana ditegaskan oleh Pelapor Khusus tentang Penyiksaan. (pasal 2 dan 12) Negara Pihak harus menjamin bahwa semua dugaan penyiksaan dan/atau perlakuan sewenang-wenang diselidiki dengan segera, efektif dan imparsial dan bahwa para pelaku dituntut dan dihukum sesuai dengan beratnya tindakan-tindakan, sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi. Terkait dengan komitmen Indonesia, yang ditegaskan kembali pada saat Tinjauan Periodik Universal, (Universal Periodic Review) untuk memerangi impunitas (A/HRC/WG.6/1/IDN/4, paragraf 76.4), pejabat-pejabat Negara harus mengumumkan di depan umum kebijakan tanpa toleransi bagi para pelaku tindak-tindak penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan mendorong penuntutan.
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Definisi penyiksaan dan hukuman yang sesuai untuk tindak penyiksaan 13. Meskipun mencatat pengakuan Negara Pihak bahwa tidak ada “undang-undang Indonesia yang mencakup definisi penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1” Konvensi, Komite tetap prihatin bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia tidak memuat definisi penyiksaan dan bahwa kejahatan penyiksaan yang didefinisikan dalam Pasal 1 bagian 4 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan dalam Pasal 9, ayat (f) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia terbatas sehingga pasal tersebut hanya berlaku untuk “pelanggaran-pelanggaran berat hak asasi manusia”. Tidak ada pelaku tindak penyiksaan pernah dihukum di bawah UU No. 26/2000. Komite juga prihatin mengenai ketiadaan hukuman-hukuman yang sesuai yang dapat diterapkan untuk tindak-tindak penyiksaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dikualifikasikan sebagai “penganiayaan” dalam Pasal 351-358 KUHP. (pasal 1 dan 4) Komite menegaskan kembali rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan sebelumnya (CAT/C/XXVII/Concl.3), dan juga rekomendasi-rekomendasi Pelapor Khusus tentang Penyiksaan mengenai laporan kunjungannya ke Indonesia, bahwa Negara Pihak harus, tanpa penundaan, memasukkan definisi penyiksaan dalam hukum pidananya saat ini sesuai dengan pasal 1 Konvensi. Dua pendekatan patut mendapat pertimbangan: (1) pengesahan yang segera terhadap draf KUHP yang komprehensif; atau (2) pengesahan sebuah rancangan undang-undang khusus tentang penyiksaan, mengikuti contoh yang pernah dilakukan oleh Indonesia, yakni mengesahkan udang-undang tersendiri dalam bidang hak asasi manusia, seperti undang-undang yang disebutkan di paragraf 5. Negara Pihak juga harus menjamin bahwa semua tindak penyiksaan dapat dihukum dengan hukuman yang sesuai yang mempertimbangkan beratnya kejahatan tersebut, sebagaimana diatur dalam paragraf 2, Pasal 4, Konvensi. Pengakuan yang dipaksakan Komite prihatin bahwa sistem penyelidikan yang berlaku saat ini di Negara Pihak bergantung 14. pada pengakuan-pengakuan sebagai bentuk pembuktian yang umum untuk penuntutan, dengan demikian menciptakan kondisi-kondisi yang dapat memungkinkan penggunaan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap tersangka. Komite menyesalkan bahwa Negara Pihak tidak secara memadai menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah dibuat di bawah penyiksaan harus tidak digunakan sebagai bukti dalam proses apapun, sebagaimana diharuskan oleh Konvensi, dan tidak memberikan informasi statistik mengenai kasuskasus tersebut. Negara Pihak juga harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin bahwa penghukuman-penghukuman pidana menghendaki bukti selain dari pengakuan tahanan dan menjamin bahwa pernyataan-pernyataan yang telah dibuat di bawah penyiksaan tidak akan digunakan sebagai bukti dalam proses apapun kecuali terhadap seseorang yang diduga melakukan penyiksaan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi. Negara Pihak diminta untuk meninjau penghukuman-penghukuman pidana yang sematamata didasarkan pada pengakuan-pengakuan dalam rangka mengidentifikasi peristiwaperistiwa penghukuman yang salah berdasarkan atas bukti yang diperoleh melalui penyiksaan atau perlakuan sewenang-wenang, untuk mengambil langkah-langkah perbaikan yang tepat dan untuk memberitahu Komite mengenai temuan-temuannya.
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Peraturan-peraturan daerah dan pelanggaran-pelanggaran terhadap Konvensi 15. Komite sangat prihatin bahwa peraturan-peraturan lokal, seperti Hukum Acara Pidana Aceh (Hukum Syariah) yang disahkan pada tahun 2005, memperkenalkan penghukuman fisik untuk beberapa pelanggaran baru. Komite prihatin bahwa penegakan ketentuan-ketentuan tersebut berada di bawah wewenang “polisi moral”, Wilayatul Hisbah, yang menggunakan kewenangan tanpa batas dan di mana pengawasan oleh lembaga-lembaga Negara publik tidak jelas. Lebih lanjut, Komite prihatin bahwa perlindungan-perlindungan hukum yang fundamental dan penting tidak tersedia bagi orang-orang yang ditahan oleh pejabat-pejabat semacam itu, termasuk ketiadaan hak atas bantuan hukum, praduga bersalah yang nyata, pelaksanaan penghukuman di depan umum dan penggunaan metode-metode kekerasan secara fisik (pencambukan, pemukulan dengan menggunakan tongkat, dsb) yang bertentangan dengan Konvensi dan hukum nasional. Sebagai tambahan, dilaporkan bahwa penghukuman-penghukuman yang dilaksanakan oleh badan penjaga ketertiban tersebut memiliki dampak yang tidak seimbang terhadap perempuan. Negara Pihak harus meninjau semua peraturan perundang-undangan pidana nasional dan lokalnya, khususnya Hukum Pidana Aceh tahun 2005, yang mengizinkan penggunaan penghukuman badan sebagai sanksi pidana, dengan tujuan untuk menghapus semua undang-undang semacam itu dengan segera, karena penghukuman-penghukuman tersebut merupakan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh Konvensi. Lebih lanjut, badan penjaga ketertiban tersebut meruntuhkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang No. 23/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menetapkan bahwa hukum, agama, dan sektor-sektor keamanan tetap berada di bawah kewenangan Pemerintah Pusat. Negara Pihak juga harus menjamin bahwa para anggota Wilayatul Hisbah menggunakan jurisdiksi yang pasti, dilatih dan berfungsi dengan baik untuk memastikan kesesuaian mereka dengan ketentuan-ketentuan Konvensi, khususnya tentang pelarangan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang, dan tunduk pada peninjauan oleh pejabat-pejabat judisial biasa. Lembaga-lembaga Negara harus mengawasi tindakan-tindakan Wilayatul Hisbah dan menjamin bahwa usaha-usaha perlindungan hukum yang fundamental berlaku bagi semua orang yang dituduh melanggar hal-hal yang menjadi pokok masalahnya. Negara Pihak harus pula memastikan bahwa mekanisme bantuan hukum tersedia untuk menjamin bahwa setiap orang memiliki hak atas pengacara dan jaminan-jaminan proses hukum lainnya, sehingga semua tersangka mempunyai kesempatan untuk membela dirinya, dan untuk mengajukan keluhan-keluhan mengenai perlakuan kejam yang melanggar hukum nasional dan Konvensi. Negara Pihak harus meninjau, melalui lembaga-lembaga yang terkait, termasuk mekanisme-mekanisme pemerintahan dan judisial pada semua tingkat, semua peraturan daerah dalam rangka menjamin bahwa peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan Konstitusi dan instrumen-instrumen internasional yang diratifikasi, terutama Konvensi.
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual dan rumah tangga 16. Komite prihatin dengan tuduhan-tuduhan tingginya pemerkosaan dalam wilayah-wilayah konflik yang dilakukan oleh anggota militer sebagai bentuk penyiksaan dan perlakuan sewenangwenang dan mengenai ketiadaan penyelidikan dan penuntutan dan penghukuman terhadap para pelaku. Sebagai tambahan, Komite juga prihatin mengenai definisi pemerkosaan yang sempit dalam KUHP dan mengenai persyaratan pembuktian dalam Pasal 185(2) KUHAP, mewajibkan pengaduanpengaduan pemerkosaan diperkuat oleh dua orang saksi. Sementara mengakui pengesahan Undang-Undang No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Ruman Tangga, Komite tetap prihatin mengenai tingginya pengaduan kekerasan domestik di Negara Pihak, ketiadaan peraturan-peraturan pelaksana, kurangnya kesadaran dan pelatihan bagi aparat penegak hukum dan kurangnya alokasi dana-dana pemerintah untuk mendukung sistem yang baru dan juga ketiadaan data statistik atas fenomena tersebut. Komite juga mencatat informasi yang diberikan oleh delegasi tentang sunat perempuan, tetapi tetap sangat prihatin atas meluasnya praktik tersebut di Negara Pihak. Negara Pihak harus menjamin penyelidikan-penyelidikan yang segera, imparsial dan efektif atas semua tuduhan pemerkosaan dan kekerasan seksual, termasuk yang dilakukan di dalam wilayah-wilayah konflik militer, dan menuntut dan menghukum para pelaku dengan hukuman yang sesuai dengan beratnya sifat kejahatan-kejahatan tersebut. Negara Pihak harus, dengan segera, membatalkan semua undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan, termasuk pasal 185(2) KUHAP. Negara Pihak harus mengambil semua langkah yang memadai untuk menghapuskan praktik sunat perempuan yang berkelanjutan, termasuk melalui kampanye-kampanye peningkatan kesadaran dengan bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Negara Pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang 23/2004, termasuk melalui pelatihan bagi para aparat penegak hukum, khususnya dengan bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil, alokasi pendanaan yang cukup dan pengumpulan informasi yang terkait untuk mencegah dan menghapuskan kekerasan domestik. Sistem peradilan anak 17. Mencatat bahwa Negara Pihak berniat untuk menaikkan usia pertanggungjawaban pidana menjadi dua belas tahun, Komite sangat prihatin bahwa usia pertanggungjawaban pidana masih ditetapkan pada usia delapan tahun, bahwa tahanan anak tidak sepenuhnya dipisahkan dari tahanan dewasa, bahwa sejumlah besar anak dijatuhi hukuman penjara untuk pelanggaran-pelanggaran kecil dan bahwa penghukuman badan sah dan sering digunakan di penjara-penjara anak, seperti di Penjara Kutoarjo. Komite juga prihatin mengenai ketiadaan sistem peradilan pidana anak yang menyeluruh yang berorientasi pada pendidikan dan sosialisasi terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Lebih lanjut, tidak ada perlindungan yang memadai untuk anak-anak jalanan terhadap tindak kekerasan. (pasal 2 dan 16)
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Negara Pihak harus menaikkan, sebagai sesuatu hal yang mendesak, usia pertanggung jawaban pidana minimum untuk membuatnya sesuai dengan norma-norma internasional yang diterima secara umum dan untuk menghapuskan semua penghukuman badan terhadap anak-anak. Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin fungsi yang memadai dari sistem peradilan pidana anak termasuk, inter alia, dengan memperlakukan anak kecil sesuai dengan usianya, sejalan dengan United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (the Beijing Rules), the United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (the Riyadh Guidelines) dan the United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty (the Tokyo Rules). Pengungsi internal (internally displaced persons) 18. Komite prihatin terhadap situasi para pengungsi dan pengungsi internal sebagai akibat dari konflik bersenjata, terutama anak-anak yang tinggal di kamp-kamp pengungsi, termasuk anak-anak Timor-Timur yang terpisah dari keluarga mereka, yang kerap menjadi subyek perlakuan sewenangwenang. (pasal 14 dan 16) Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang efektif untuk mencegah kekerasan yang mempengaruhi para pengungsi dan pengungsi internal, terutama anak-anak, dengan mencatatkan kelahiran mereka dan mencegah mereka untuk digunakan di dalam konflik bersenjata. Negara Pihak juga harus memperkuat langkah-langkah yang diambil untuk menjamin pemulangan yang aman bagi semua pengungsi internal, dalam kerja sama dengan PBB. Kekerasan terhadap Ahmadiyah dan orang-orang yang termasuk dalam kelompok-kelompok minoritas yang lain 19. Komite menyatakan keprihatinannya mengenai hasutan dan tindakan kekerasan terhadap orang-orang yang termasuk dalam kelompok-kelompok minoritas, secara khusus Ahmadiyah dan kelompok-kelompok minoritas keagamaan lainnya. Lebih lanjut, terdapat tuduhan-tuduhan yang secara berkelanjutan mengganggu terhadap kegagalan rutin untuk menyelidiki kekerasan tersebut dan keengganan di sisi polisi dan pejabat yang berwenang untuk memberikan perlindungan yang memadai kepada Ahmadiyah atau untuk melakukan penyelidikan yang segera, imparsial dan efektif atas tindakan-tindakan tersebut. Komite khususnya prihatin bahwa Jaksa Agung telah mengumumkan rencana-rencana untuk mengeluarkan surat keputusan bersama yang akan mengkriminalisasi kegiatan-kegiatan Ahmadiyah. Komite mencatat dengan keprihatinan laporan Pelapor Khusus tentang Kebebasan Beragama berkenaan dengan niat Negara Pihak untuk melarang kegiatan-kegiatan Ahmadiyah (E/CN.4/2006/5/Add.1, paragraf 163), dan Pelapor Khusus menegaskan kembali pandangannya bahwa “tidak ada alasan untuk penggunaan kekerasan terhadap para anggota Ahmadiyah”. Komite khususnya prihatin bahwa para pejabat Negara Pihak yang berwenang untuk mengeluarkan surat keputusan bersama yang melarang Ahmadiyah, dengan demikian menempatkan para anggota tersebut dalam risiko perlakuan sewenang-wenang dan kekerasan fisik lebih lanjut, juga menyatakan pandangan bahwa Ahmadiyah harus menahan diri dari “memprovokasi” para anggota masyarakat – yang berarti menyalahkan kelompok yang berada dalam risiko. (pasal 2, 12, dan 16)
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Mengingat kembali Komentar Umum Komite No. 2 (CAT/C/GC/2, paragraf 21), Negara Pihak harus menjamin perlindungan terhadap para anggota kelompok yang secara khusus berada dalam risiko akan diperlakukan secara buruk, dengan menuntut dan menghukum semua tindak kekerasan dan perlakuan buruk terhadap para individu ini dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah pencegahan dan perlindungan yang positif. Negara Pihak harus menjamin penyelidikan-penyelidikan yang segera, imparsial dan efektif atas semua kekerasan yang dimotivasi oleh etnis dan diskriminasi, termasuk kekerasan yang diarahkan terhadap orang-orang yang termasuk dalam kelompok-kelompok minoritas etnis dan agama, dan menuntut dan menghukum para pelaku dengan hukuman yang sesuai dengan sifat tindakan-tindakan mereka. Negara Pihak juga harus mengutuk secara terbuka kejahatan-kejahatan kebencian dan tindakan-tindakan diskriminasi rasial dan kekerasan terkait lainnya dan harus bekerja untuk menghapus hasutan dan peran para pejabat publik atau aparat penegak hukum yang mungkin menyetujui atau mendukung kekerasan tersebut. Negara Pihak harus menjamin bahwa para pejabat yang berwenang bertanggung jawab atas tindakan atau pengabaian yang melanggar Konvensi. Negara Pihak harus mempertimbangkan dengan segera perluasan terhadap rekruitmen orang-orang yang termasuk dalam kelompok-kelompok etnis dan keagamaan ke dalam penegakan hukum, dan untuk menanggapi secara positif permohonan Pelapor Khusus tentang Kebebasan Beragama untuk berkunjung ke Indonesia. Perdagangan orang dan kekerasan terhadap para pekerja migran 20. Mencatat pengesahan Undang-Undang No. 21/2007 tentang Perdagangan Orang, Komite tetap prihatin atas tingginya perkiraan mengenai jumlah korban perdagangan orang yang disampaikan oleh Negara Pihak, dibandingkan dengan terbatasnya jumlah penyelidikan terhadap kasus-kasus tersebut, dan juga mengenai ketiadaan informasi mengenai penuntutan dan penghukuman terhadap kasus-kasus tersebut. Komite juga prihatin mengenai kasus-kasus perlakuan sewenang-wenang terhadap para pekerja migran yang dilaporkan, secara khusus para perempuan yang dilaporkan telah diperlakukan secara buruk oleh perusahaan-perusahaan penyalur tenaga kerja Indonesia, yang kerap menempatkan mereka dalam situasi-situasi yang menghalangi penikmatan terhadap hak-hak asasi mereka selama di luar negeri, termasuk lilitan hutang, kerja paksa dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, termasuk kekerasan seksual. (pasal 16) Negara Pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menerapkan undang-undang terkini untuk memerangi perdagangan orang dan memberikan perlindungan bagi para korban dan akses mereka atas kesehatan, rehabilitasi sosial dan layanan hukum, termasuk layanan-layanan konseling, sebagaimana diperlukan. Negara Pihak juga harus menciptakan kondisi-kondisi yang memadai bagi para korban untuk menggunakan hak mereka untuk menyampaikan keluhan, melakukan penyelidikan yang segera, imparsial dan efektif atas semua tuduhan perdagangan orang dan menjamin bahwa para pelaku diadili dan dihukum dengan hukuman yang sesuai dengan sifat kejahatan-kejahatan mereka.
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Negara Pihak sangat dianjurkan untuk memperkuat peran misi-misi diplomatik dan konsuler Indonesia di luar negeri, sesuai dengan Instruksi Presiden No. 6/2006, memperkuat Citizens’ Advisory Services, dan juga untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara yang menerima para pekerja migran Indonesia. Negara Pihak harus menjamin pengawasan independen terhadap terminal 3 bandara internasional Jakarta, termasuk oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil. Pelecehan dan kekerasan terhadap para pembela HAM 21. Komite menyatakan keprihatinannya mengenai informasi tentang pola pelecehan dan kekerasan terhadap para pembela HAM yang umum, yang ditegaskan oleh laporan Wakil Khusus Sekretaris-Jenderal PBB untuk Situasi Para Pembela HAM pada saat kunjungannya ke Indonesia (A/HRC/7/28/Add.2) bulan Juni 2007. Tindakan-tindakan tersebut sungguh menghambat kapasitas kelompok-kelompok pengawas masyarakat sipil untuk berfungsi dengan baik. Komite mencatat dengan puas putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 yang menyatakan bersalah dan menghukum satu orang atas pembunuhan Munir Said Thalib untuk 20 tahun penjara tetapi menyesalkan bahwa para dalang kejahatan ini belum diadili. Negara Pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua orang, termasuk orang-orang yang melakukan pengawasan hak asasi manusia, dilindungi dari intimidasi atau kekerasan sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan mereka dan penggunaan jaminan-jaminan hak asasi manusia, dan untuk menjamin penyelidikan yang segera, imparsial dan efektif atas tindakan-tindakan tersebut. Administrasi hukum dan peradilan 22. Komite prihatin mengenai banyaknya tuduhan yang luas, yang diperkuat oleh laporan Pelapor Khusus tentang Independensi Para Hakim (E/CN.4/2003/65/Add.2) dan pengacara dan sumber-sumber lainnya, mengenai korupsi di dalam administrasi hukum, khususnya di dalam peradilan, dan mengenai kolusi dan nepotisme di lingkup Pelayanan Penuntutan Umum, dan juga dengan para anggota profesi hukum yang resmi. (pasal 2 dan 12) Mengingat Negara Pihak tengah melanjutkan proses transisinya ke arah rezim demokratis dan berkomitmen untuk menegakkan kepastian hukum dan hak asasi manusia, Negara Pihak harus memperkuat independensi peradilan, mencegah dan memerangi korupsi, kolusi dan nepotisme di dalam administrasi hukum dan mengatur profesi hukum. Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc 23. Komite merasa terganggu bahwa Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc, yang dirancang untuk menyelesaikan “khususnya pelanggaran-pelanggaran HAM berat”, termasuk penyiksaan, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai dengan Undang-Undang No. 26/2000, tidak dapat memastikan penghukuman terhadap para tersangka pelaku pelanggaran HAM berat dalam kaitan dengan kasus Tanjung Priok (1984), Timor-Timur (1999) dan Abepura (2000), terlebih saat ini Mahkamah Agung telah membebaskan Eurico Guterres. (pasal 2, 6 dan 12)
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk mengamendemen peraturan perundangundangan tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia oleh karena pengadilan-pengadilan HAM tersebut menghadapi kesulitan-kesulitan yang serius di dalam menjalankan mandat hukumnya, yang telah mendorong ke arah impunitas de facto bagi para pelaku pelanggaran HAM berat. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 24. Komite tetap prihatin mengenai kesulitan-kesulitan yang Komnas HAM miliki di dalam menjalankan fungsi-fungsinya, yang sebagian dikarenakan ketiadaan kerja sama dari lembagalembaga Negara Pihak lainnya, kegagalan pejabat-pejabat Negara untuk menerbitkan laporanlaporan penyelidikannya, ketidakmampuan untuk menggugat keputusan Kejaksaan Agung untuk tidak melakukan penuntutan atas sebuah kasus, dan juga ketiadaan jaminan penunjukan para anggotanya. Mengingat Komnas HAM memiliki tanggung jawab satu-satunya, menurut UU No. 26/2000, untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan awal atas “pelanggaran berat hak asasi manusia”, termasuk penyiksaan, pembatasan-pembatasan ini dapat menghalangi upaya-upaya untuk menuntut para pelaku penyiksaan. Komite prihatin bahwa para pejabat pemerintah telah menyatakan agar pejabat-pejabat militer mengabaikan panggilan-panggilan Komnas HAM terkait dengan penyelidikan-penyelidikannya atas pelanggaran berat hak asasi manusia, seperti kasus pembunuhan di Talang Sari, Lampung. (pasal 2 dan 12) Negara Pihak harus menjamin agar Komnas HAM dapat berfungsi secara efektif dengan setuju, inter alia, untuk memperkuat independensi, mandat, sumber daya dan prosedur Komnas HAM, dan memperkuat independensi dan keamanan para anggotanya. Pejabatpejabat Pemerintah dan pejabat-pejabat tinggi lainnya harus secara penuh bekerja sama dengan Komnas HAM. Ketiadaan penyelidikan dan penuntutan yang efektif oleh Kejaksaan Agung Komite prihatin atas ketiadaan penyelidikan-penyelidikan yang segera, imparsial dan efektif 25. atas dugaan-dugaan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang oleh Kejaksaan Agung, termasuk yang berkenaan dengan kasus-kasus yang disampaikan oleh Komnas HAM, seperti kasus Wasior, Wamena, penghilangan paksa tahun 1997/1998 atau Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. (pasal 12) Negara Pihak harus mereformasi Kejaksaan Agung untuk menjamin bahwa lembaga tersebut melakukan penuntutan pidana atas tuduhan-tuduhan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang dengan independensi dan imparsialitas. Sebagai tambahan, Negara Pihak harus membentuk sebuah mekanisme pengawasan yang efektif dan independen untuk menjamin dilakukannya penyelidikan-penyelidikan yang segera, imparsial dan efektif atas tuduhan-tuduhan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang. Negara Pihak juga harus mempublikasikan, tanpa penundaan, laporan-laporan penyelidikan Komnas HAM.
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Monitoring fasilitas-fasilitas penahanan dan mekanisme pencegahan 26. Komite prihatin mengenai ketiadaan mekanisme monitoring yang independen dan efektif terhadap situasi para tahanan, termasuk kunjungan mendadak ke semua tempat penahanan atau penjagaan. Komite selanjutnya prihatin bahwa rencana Negara Pihak untuk menyerahkan pelbagai mekanisme monitoring semacam itu kepada pejabat-pejabat lokal yang berwenang dapat mengarah pada standard-standard monitoring yang berbeda terhadap fasilitas-fasilitas penahanan di seluruh wilayah negeri. Negara Pihak harus menetapkan standard-standard yang komprehensif dan konsisten untuk mekanisme monitoring yang independen terhadap semua tempat penahanan, memastikan agar badan apapun yang akan dibentuk, di tingkat lokal atau nasional, memiliki mandat yang kuat dan imparsial dan sumber daya yang memadai. Kerja sama judisial internasional 27. Komite prihatin atas kurangnya kerja sama judisial internasional Negara Pihak di dalam menyelidiki, menuntut atau mengekstradisi para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia, terutama yang berkenaan dengan tindakan-tindakan yang terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999. Lebih lanjut, Komite merasa sangat terganggu dengan adanya bukti bahwa para tersangka pelaku kejahatan perang yang dicari oleh Interpol, seperti Kolonel Siagian Burhanuddin, yang terhadapnya Interpol telah mengeluarkan red notice, saat ini mengabdi dalam TNI. Komite menyesalkan penolakan Negara Pihak untuk memberikan informasi tentang hasil kerja samanya dengan PBB dan lembaga-lembaga Timor-Timur, terutama karena kerja sama penuh direkomendasikan oleh Komite dalam observasi kesimpulannya yang sebelumnya. Komite selanjutnya prihatin bahwa Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Indonesia dan Timor-Leste memiliki mandat untuk mengusulkan amnesti, termasuk untuk mereka yang terlibat dalam pelanggaran berat hak asasi manusia. (pasal 5, 6, 7, 8 dan 9) Negara Pihak harus bekerja sama secara penuh dengan pihak Timor-Leste, PBB dan lembaga-lembaga internasional terkait lainnya, khususnya dengan memberikan bantuan dalam penyelidikan-penyelidikan atau proses-proses persidangan, termasuk memberikan akses penuh terhadap dokumen-dokumen terkait, mengizinkan kunjungan-kunjungan, dan menyerahkan para tersangka yang dicari oleh Interpol atau badan-badan yang berwenang terkait lainnya. Negara Pihak harus secara aktif menyelidiki dan mengamankan para tersangka pelaku pelanggaran hak asasi manusia, yang harus diekstradisi atau dituntut di Negara Pihak. Negara Pihak harus tidak membentuk ataupun terlibat dalam mekanisme rekonsiliasi apapun yang mempromosikan amnesti bagi para pelaku tindak penyiksaan, kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Non-refoulement dan risiko penyiksaan (pasal 3) 28. Komite prihatin atas kegagalan Negara Pihak untuk menjelaskan bagaimana Negara Pihak memasukkan, di dalam hukum atau praktik nasional, larangan untuk mengembalikan seseorang ke suatu Negara di mana orang tersebut menghadapi risiko penyiksaan yang besar, dan bagaimana Negara Pihak menjamin bahwa kewajiban-kewajibannya di bawah pasal 3 Konvensi terpenuhi. (pasal 3)
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Dalam situasi apapun Negara Pihak harus tidak mengusir, mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke suatu Negara di mana terdapat alasan-alasan-alasan yang kuat untuk menduga bahwa orang itu akan berada dalam bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan. Pada saat menetapkan pelaksanaan kewajiban-kewajibannya di bawah pasal 3 Konvensi, Negara Pihak harus meninjau secara seksama kepatutan dari masing-masing kasus individu, memastikan bahwa mekanisme-mekanisme judisial untuk meninjau kembali suatu keputusan tersedia dan pembelaan hukum yang memadai tersedia bagi setiap orang yang akan ekstradisi, dan menjamin pengaturan-pengaturan pengawasan pascapengembalian yang efektif. Negara Pihak harus mengesahkan peraturan perundang-undangan yang sesuai untuk memasukkan, ke dalam hukum domestiknya, kewajibannya di bawah pasal 3 Konvensi, yakni mencegah siapapun untuk diusir, dikembalikan atau diekstradisi ke Negara lain di mana terdapat alasan-alasan yang kuat bahwa orang tersebut akan berada dalam bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan. Jurisdiksi Universal 29. Komite menyesalkan ketiadaan kejelasan dan informasi mengenai keberadaan langkahlangkah legislatif yang diperlukan untuk menetapkan jurisidksi Negara Pihak atas tindakan-tindakan penyiksaan. (pasal 5, 6, 7 dan 8) Negara Pihak harus menetapkan jurisdiksinya atas tindakan-tindakan penyiksaan dalam kasus-kasus di mana tersangka pelaku berada di wilayah di bawah jurisdiksinya, baik untuk mengekstradisi atau menuntut orang tersebut, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 30. Komite mencatat bahwa Mahkamah Konstitusi telah mencabut Undang-Undang No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi karena undang-undang tersebut telah menyetujui pemberian amnesti untuk pelanggaran-pelanggaran yang bersifat non-derogable. Meskipun demikian, Komite tetap prihatin mengenai mandat Komisi di masa mendatang, sebagaimana dikutip dalam jawaban Negara Pihak atas daftar permasalahan (list of issues) Komite. (pasal 2, 12 dan 14) Negara Pihak harus mempertimbangkan secara seksama mandat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di masa mendatang, mengingat pengalaman-pengalaman internasional yang serupa dan sesuai dengan kewajibannya di bawah Konvensi. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus, inter alia, diberikan kewenangan untuk menyelidiki pelanggaranpelanggaran berat hak asasi manusia dan memberikan kompensasi kepada para korban dengan tetap melarang pemberian amnesti bagi para pelaku tindak penyiksaan.
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Perlindungan saksi dan korban 31. Sementara menyambut baik pengesahan Undang-Undang No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Komite tetap prihatin mengenai ketiadaan peraturan-peraturan pelaksana untuk undang-undang tersebut, perlakuan yang tidak pantas terhadap saksi dan korban, kurangnya pelatihan bagi para aparat penegak hukum dan alokasi dana pemerintah untuk mendukung sistem yang baru ini. (pasal 12, 13 dan 14) Negara Pihak harus, dengan segera, membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dengan semua langkah terkait yang disyaratkan untuk mengimplementasikan Undang-Undang No. 13/2006, termasuk alokasi pendanaan yang diperlukan untuk berfungsinya sistem yang baru tersebut, pelatihan yang cukup untuk para aparat penegak hukum, khususnya bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan memiliki komposisi jender yang seimbang. Kompensasi dan rehabilitasi 32. Komite menyatakan keprihatinannya mengenai tidak adanya kompensasi bagi para korban penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, dan juga mengenai terbatasnya upaya-upaya rehabilitasi bagi para korban penyiksaan, perlakuan sewenangwenang, perdagangan orang, kekerasan domestik dan seksual. (pasal 14) Negara Pihak harus menjamin bahwa kompensasi yang memadai diberikan kepada para korban penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang dan bahwa program-program rehabilitasi yang sesuai diberikan kepada semua korban penyiksaan, perlakuan sewenangwenang, perdagangan orang, kekerasan domestik dan seksual, termasuk bantuan medis dan psikologis. Bantuan hukum 33. Komite menyatakan keprihatinannya mengenai kesulitan-kesulitan yang dialami oleh orangorang, termasuk para anggota kelompok-kelompok rentan dalam upaya mereka untuk menggunakan hak untuk mengadu, dan untuk memperoleh ganti rugi dan kompensasi yang adil dan memadai sebagai korban tindak penyiksaan. Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah untuk menetapkan sebuah sistem bantuan hukum gratis yang efektif, terutama bagi orang-orang yang berisiko atau termasuk dalam kelompok-kelompok rentan. Negara Pihak harus memastikan bahwa sistem ini memiliki sumber daya yang memadai untuk menjamin bahwa semua korban tindak penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang dapat menggunakan hak-hak mereka di bawah Konvensi. Pelatihan hak asasi manusia 34. Sementara mencatat pelbagai program dan pedoman yang dipersiapkan oleh Negara Pihak, Komite menyesalkan kurangnya pelatihan mengenai ketentuan-ketentuan Konvensi bagi para penegak hukum, anggota militer dan keamanan dan juga para hakim dan penuntut umum. Komite juga mencatat dengan keprihatinan kurangnya pelatihan khusus bagi para tenaga medis yang bekerja di fasilitas-fasilitas penahanan untuk mendeteksi tanda-tanda penyiksaan dan perlakuan sewenangwenang. (pasal 10 dan 11)
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
Negara Pihak harus memperkuat program-program pelatihan bagi semua aparat penegak hukum dan anggota militer mengenai larangan absolut terhadap penyiksaan, dan juga bagi semua anggota badan peradilan dan penuntut umum mengenai kewajiban-kewajiban khusus di bawah Konvensi. Negara Pihak juga harus menjamin tersedianya pelatihan yang memadai bagi semua tenaga medis yang terlibat dengan para tahanan, untuk mendeteksi tanda-tanda penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang sesuai dengan standard-standard internasional, seperti yang diuraikan di dalam Istanbul Protocol. Pengumpulan data 35. Komite menyesalkan ketiadaan data-data yang komprehensif dan terpisah mengenai pengaduan, penyelidikan, penuntutan dan penghukuman terhadap kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dan anggota militer, dan juga mengenai perdagangan orang, penghilangan paksa, pengungsi internal, kekerasan terhadap anak-anak, perlakuan sewenang-wenang terhadap pekerja migran, kekerasan terhadap kelompok minoritas dan kekerasan seksual. Negara Pihak harus menyusun data statistik yang terkait dengan monitoring terhadap implementasi Konvensi di tingkat nasional, termasuk pengaduan, penyelidikan, penuntutan dan penghukuman terhadap kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan sewenangwenang, perdagangan orang, penghilangan paksa, pengungsi internal, kekerasan terhadap anak-anak, perlakuan sewenang-wenang terhadap pekerja migran, kekerasan terhadap kelompok minoritas dan kekerasan domestik dan seksual, terutama di wilayah-wilayah konflik, dan juga mengenai kompensasi dan rehabilitasi yang diberikan kepada para korban. 36. Komite mendorong Negara Pihak untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasi yang termuat dalam laporan Pelapor Khusus tentang Penyiksaan yang terkait dengan kunjungannya pada bulan November 2007 (A/HRC/7/3/Add.7), laporan Pelapor Khusus tentang Hak Asasi Para Buruh Migran yang terkait dengan kunjungannya pada bulan Desember 2006 (A/HRC/4/24/Add.3), laporan Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB tentang Situasi Para Pembela Hak Asasi Manusia yang terkait dengan kunjungannya pada bulan Juni 2007 (A/HRC/7/28/Add.2), dan laporan Pelapor Khusus tentang Independensi Hakim dan Pengacara yang terkait dengan kunjungannya pada bulan Juli 2002 (E/CN.4/2003/65/Add.2). 37. Komite juga mendorong Negara Pihak untuk mempertimbangkan membuat deklarasi di bawah pasal 22 Konvensi, dengan demikian mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan mempertimbangkan komunikasi-komunikasi individu. 38. Komite menegaskan kembali rekomendasinya bahwa Negara Pihak harus menarik reservasi dan deklarasinya terhadap Konvensi. 39. Berkenaan dengan komitmen Indonesia untuk meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi sebelum tahun 2009, sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) kedua, Komite mendorong Negara Pihak untuk secara aktif mempertimbangkan pembentukan Mekanisme Pencegahan Nasional.
High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT” Hotel Borobudur, 23 Juni 2011
40. Negara Pihak harus mempertimbangkan meratifikasi perjanjian-perjanjian hak asasi manusia PBB yang utama yang belum diratifikasi, yakni Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Hak-Hak Semua Buruh Migran. Negara Pihak harus menyebarluaskan laporannya, jawaban-jawabannya atas daftar 41. permasalahan yang disampaikan oleh Komite, ringkasan pertemuan-pertemuannya dan kesimpulan observasi Komite, melalui website resmi dan media, terutama kepada kelompok-kelompok rentan. 42. Komite mengundang Negara Pihak untuk menyerahkan dokumen intinya sesuai dengan persyaratan Dokumen Inti Umum (Common Core Document) dalam Pedoman Pelaporan yang Diselaraskan, yang direkomendasikan oleh badan-badan perjanjian hak asasi manusia internasional (HRI/MC/2006/3 dan Corr.1). 43. Komite meminta Negara Pihak, dalam jangka waktu setahun, untuk memberikan informasi mengenai jawabannya atas rekomendasi-rekomendasi Komite yang terkandung dalam paragraf 10, 15, 18, 19, 20 dan 24 di atas. 44. Negara Pihak diundang untuk menyerahkan laporan periodik yang berikutnya, yakni laporan periodi ketiga, sebelum tanggal 30 Juni 2012.