BOM WAKTU INFRASTRUKTUR: Skema Kerja Sama Pemerintah dan Swasta Dalam Penyediaan Infrastruktur Di Era Pemerintahan Baru
Roundtable Discussion Report 9 September 2014
Center for Infrastructure Development Prasetiya Mulya Business School
© Center for Infrastructure Development Prasetiya Mulya Business School September 2014
Roundtable Discussion ini diadakan oleh CID-PMBS bekerja sama dengan Seknas Jokowi. CID-PMBS adalah pusat studi yang berfokus pada pengembangan infrastruktur dan tata kelola. Seknas Jokowi merupakan suatu gerakan relawan untuk perubahan yang dapat memberikan rekomendasi kepada calon pemerintahan yang baru. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada: Dr. Ir. Wahyu Utomo, M.S (Kemenko Perekonomian / KKPIP), Dr. Deddy S. Priatna (Deputi Sarana dan Prasarana Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Bappenas), Dr. Ir. Bastary Pandji Indra, MSP (Direktur Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta, Bappenas), Freddy R. Saragih (Ketua Pusat Pengelola Risiko Fiskal, BKF, Kemenkeu), Sri Bagus Guritno (Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kemenkeu), Emma Sri Martini (Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur), Sinthya Roesly (Direktur Utama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia), Hernadi Buhron (KDIV IPP, PT Perusahaan Listrik Negara), Hermanto Dwi Atmoko (Dirjen Perkeretaapian Kemenhub), Ananda Laksmi (Kemenko Perekonomian / KKPIP), Djoko Dwiyatno (PT PLN), Mahdi Manfaluthi (PT PII), dan para peserta roundtable discussion lainnya Pengarah: Prof. Dr. Djisman Simandjuntak Prof. Djoko Wintoro, Ph.D. Muhammad Yamin, S.H. Acara: Dr. Achmad Setyo Hadi Ifdhal Kasim, S.H. Yanwar Malaming, S.H. Bely Utarja, MBA. Moderator & Penyaji Laporan: Bely Utarja, MBA. Notulen: Augustinus Widyaputranto M.Si. Sekretariat: Dra. Lina B. Chandra, Gloria Situmorang, M.Psi. Dokumentasi: Umaruri Perlengkapan: Misbah, Andika, Johan Media Partner: Prasetiya Mulya Publishing Alamat:
CID-PMBS: Kampus Prasetiya Mulya Business School, Jl. R.A. Kartini (T.B. Simatupang), Cilandak Barat, Jakarta 12430, Indonesia. Email:
[email protected]. Telepon: +62-217500463. Fax: +62-21-7500460. Seknas Jokowi: Jl. Brawijaya No. 35, Kebayoran Baru – Jakarta Selatan
i
09.00 – 12.00 WIB 9 September 2014 Center for Infrastructure Development Prasetiya Mulya Business School
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF Krisis infrastruktur sudah di hadapan kita. Kepemimpinan yang baru harus segera turun tangan menetapkan sikap serta fokus kebijakan yang tepat untuk menghindarkan negara ini dari krisis yang lebih parah. Adalah tugas pemerintah dalam menyediakan layanan publik melalui infrastruktur. Namun dengan segala upayanya, dalam lima tahun terakhir pemerintah hanya mampu memobilisasi pembiayaan sekitar sepertiga dari total kebutuhan infrastruktur. Sedangkan dalam lima tahun mendatang, kemampuan fiskal pemerintah hanya mampu membiayai sekitar 25%-30% dari total kebutuhan investasi infrastruktur. Sumber pembiayaan dari sektor swasta mutlak diperlukan sebagai salah satu cara utama untuk mengurangi kesenjangan pembiayaan yang sangat besar. Indonesia telah memiliki institutional set up dan regulatory framework yang cukup lengkap untuk skema Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS) dalam penyediaan infrastruktur. Namun implementasinya masih berjalan sangat lambat. Banyak hal yang dapat diidentifikasi sebagai penyebabnya namun yang paling mengemuka adalah tidak adanya leadership yang bisa memberikan championship. Ini menyebabkan kelengkapan yang memadai tadi tidak berfungsi dengan efektif dan efisien akibat: kurangnya koordinasi antar institusi, kurangnya komitmen dan dukungan pemerintah (pusat, sektor dan pemerintah daerah) kepada pelaksanaan skema KPS, serta lambatnya peningkatan kapasitas aparatur pemerintah untuk berhadapan dengan pihak swasta dalam rangka KPS. Di samping itu, skema ini juga harus berhadapan dengan lingkungan regulasi yang rumit akibat tumpang tindih peraturan perundangan multi sektor dan daerah yang menimbulkan ketidakpastian sehingga mengurangi: (1) insentif aparat pemerintahan untuk menjalankan skema ini dan (2) kepastian bagi swasta untuk terlibat dalam skema ini. Melalui skema KPS, pemerintah dapat melakukan optimalisasi anggaran dalam upaya mempercepat pembangunan infrastruktur untuk pelayanan publik. Dengan ketersediaan fiskal yang terbatas pemerintah dapat lebih fokus kepada penyediaan bentuk-bentuk dukungan maupun jaminan kepada pihak swasta yang akan mengeluarkan pembiayaan untuk infrastruktur. Fokus juga diberikan dalam penerapan regulasi dan kontrak sehingga misi pelayanan publik melalui infrastruktur dapat tercapai. Dengan demikian, pemerintah sebagai penanggung jawab utama layanan publik dapat tetap menjalankan fungsinya dengan memanfaatkan modal dan kemampuan manajemen swasta. Beberapa rekomendasi awal bagi pemerintah baru untuk menghadapi permasalahan ini: a. Dalam jangka pendek 1) Segera ditetapkan leadership untuk implementasi KPS di level tertinggi untuk mengkoordinasi dan mengarahkan multi sektor dan pemerintah-pemerintah daerah; 2) Membuat quick wins yang ditandai dengan segera berjalannya model proyek KPS PLTU Batang Jawa Tengah dan dilanjutkan dengan model-model proyek KPS lain yang relatif cepat untuk diimplementasikan; 3) Menetapkan kriteria serta target proyek infrastruktur yang akan disediakan melalui skema KPS; 4) Peningkatan kepastian hukum bagi pengambil keputusan maupun pihak swasta melalui pembenahan dan penguatan regulasi-regulasi pada level di bawah Undangundang; 5) Menetapkan KPI untuk infrastructure delivery yang dilakukan oleh K/L dan pemda untuk mengkombinasikan disiplin anggaran dengan disiplin membangun infrastruktur. iii
b. Dalam jangka menengah 1) Harmonisasi peraturan perundangan (pusat, sektor, dan daerah) untuk mengurangi ketidakpastian sehingga meningkatkan insentif bagi aparat pemerintahan dan sektor swasta dalam mendukung implementasi skema KPS; 2) Membangun institusi dengan leadership yang memadai sehingga efektif dalam melakukan koordinasi dan pengarahan untuk penyediaan infrastruktur pada umumnya, khususnya skema KPS. Dalam skema KPS, leadership tersebut digunakan untuk meningkatkan komitmen, dukungan dan kapasitas yang diperlukan; 3) Mengembangkan instrumen-instrumen fiskal yang dapat digunakan untuk optimalisasi anggaran sekaligus mempercepat penyediaan infrastruktur melalui KPS; 4) Mengembangkan kapasitas aparatur pemerintahan dalam menyiapkan proyekproyek infrastruktur; 5) Implementasi skema KPS pada proyek-proyek yang telah ditetapkan. c. Dalam jangka panjang 1) Harmonisasi peraturan perundangan tentang penyediaan infrastruktur, termasuk di dalamnya: pengadaan konvensional, pengadaan melalui BUMN, dan pengadaan melalui skema KPS. 2) Penguatan institusi-institusi pendukung untuk penyediaan infrastruktur, khususnya melalui skema KPS.
---000---
iv
PENDAHULUAN
Dua tahun telah berlalu…..kinerja skema KPS dalam penyediaan infrastruktur belum beranjak jauh.
CID-PMBS dan Seknas Jokowi menggelar roundtable discussion….
….agar pemerintah yang baru mendapatkan rekomendasi terkini ...dari pihak-pihak yang terlibat secara langsung…
Ada tiga hal pokok yang menjadi fokus diskusi kali ini.
Dua tahun yang lalu, di tempat yang sama, CID-PMBS mengadakan business dialog yang diikuti oleh regulator, BUMN, badan usaha swasta, konsultan dan peneliti. Topik yang diangkat pada waktu itu adalah memecahkan masalah kelembaman implementasi skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dalam penyediaan infrastruktur. Dua tahun telah berlalu, dan pemerintahan akan segera berganti. Namun pada saat roundtable discussion ini diadakan, kinerja skema KPS dalam penyediaan infrastruktur belum beranjak jauh. Proyek KPS yang telah melalui proses tender jumlahnya tidak berubah, yaitu satu, Proyek PLTU Batang. Bahkan proyek yang dimenangkan oleh konsorsium investor dari Indonesia dan Jepang tersebut saat ini terancam gagal akibat tidak kunjung tuntasnya pembebasan lahan. Kondisi ini tidak hanya menjadi keprihatinan CID-PMBS, namun juga para pendukung pemerintahan baru yang berharap akan adanya perubahan, khususnya dalam penyediaan infrastruktur oleh pemerintah untuk layanan publik. Bergerak dari latar belakang pemikiran ini, CID-PMBS bersama Seknas Jokowi menggelar roundtable discussion dengan tema “Bom Waktu Infrastruktur: Skema KPS dalam Penyediaan Infrastruktur di Era Pemerintahan Baru”. Diskusi ini dimaksudkan sebagai langkah awal untuk mencatat perkembangan, permasalahan, serta merumuskan beberapa rekomendasi yang akan disampaikan pada penyelenggara pemerintah baru. Tujuannya adalah agar pemerintah yang baru mendapatkan rekomendasi terkini yang berasal dari pihak-pihak yang telah terlibat secara langsung dalam kerumitan pengembangan skema KPS di Indonesia. Dengan peran strategisnya saat ini, Seknas Jokowi akan menjadi menyampaikan secara langsung hasil-hasil dialog ini untuk dipertimbangkan oleh calon pemerintahan yang baru. Ada tiga hal pokok yang menjadi fokus pada diskusi kali ini. Yang pertama adalah bagaimana masa depan KPS di era pemerintahan baru. Kedua adalah bagaimana pemerintahan baru mampu menyelesaikan berbagai masalah yang menghambat jalannya kebijakan KPS. Yang terakhir adalah bagaimana pemerintahan baru bisa mencari jalan keluar yang tepat untuk beberapa proyek KPS yang sedang berlangsung sekarang seperti proyek PLTU Batang, KA Bandara dan lainnya.
PENTINGNYA DISKUSI INI Diskusi ini dibuka oleh Achmad Setyo Hadi selaku ketua CID-PMBS dan Muhammad Yamin selaku ketua Presidium Seknas Jokowi. Setyo mengatakan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mendiskusikan 1
topik mengenai permasalahan infrastruktur, khususnya KPS; karena dapat sekaligus menjadi masukan bagi pemerintahan yang baru mendatang. Hal ini ditegaskan pula oleh Yamin yang mengutarakan bahwa diskusi ini merupakan salah satu dari serangkaian simposium dan pertemuan yang dikonsolidasikan oleh Seknas Jokowi untuk menjadi masukan pemerintahan yang baru.
..menjadi masukan bagi pemerintahan yang baru.
FORMAT DISKUSI Diskusi dipandu oleh Bely Utarja dari CID-PMBS. Pada paruh pertama, para narasumber dipersilakan memaparkan pandangan mereka terkait dengan tiga fokus diskusi yang telah ditetapkan selama 15 menit. Narasumber adalah para pelaku yang terlibat langsung dalam pengembangan skema KPS di Indonesia. Pemaparan dilakukan secara berturut-turut oleh personil yang mewakili: pihak yang akan melakukan koordinasi penyediaan infrastruktur (KP2IP), pihak yang merencanakan dan mengembangkan skema KPS (PKPS-Bappenas), pihak yang memberikan dukungan dan jaminan pemerintah (PPRF-Kemenkeu), pihak yang melakukan pembiayaan infrastruktur dan mendapatkan penugasan penyiapan proyek KPS (PT SMI), badan usaha penjaminan infrastruktur (PT PII), dan dua sektor yaitu PT PLN dan Ditjen Perkeretaapian Kemenhub. Berhubung hingga akhir paruh pertama direksi PT PII tidak bisa hadir, maka pendapatnya diwakili oleh peserta dari PT PII. Pada paruh kedua dilakukan diskusi dengan para hadirin, menanggapi pemaparan yang telah diberikan. Dari diskusi ini beberapa poin permasalahan mengemuka dan usulan-usulan rekomendasi dihasilkan. Peserta diskusi; selain personil dari KP2IP, PKPS-Bappenas, PPRFKemenkeu, PT SMI, PT PII, PT PLN, Ditjen perkeretaapian Kemenhub; juga dari Seknas Jokowi, Prasetiya Mulya Business School, praktisi KPS, peneliti serta media. Setelah diskusi, para peserta melakukan makan siang bersama di tempat yang telah disediakan.
Pemaparan dilakukan oleh…pihak yang melakukan koordinasi penyediaan infrastruktur….yang merencanakan dan mengembangkan skema KPS… yang memberikan dukungan dan jaminan pemerintah… yang melakukan pembiayaan dan mendapatkan penugasan penyiapan proyek…badan usaha penjaminan infrastruktur …serta dua sektor.
MASA DEPAN KPS DALAM PENYEDIAAN INFRATRUKTUR DI ERA PEMERINTAHAN YANG BARU Peran KPS ke depan akan tetap penting. Hal ini mengingat besarnya kebutuhan investasi infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan perekonomian. Bastary Pandji Indra, Direktur Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta Bappenas, mengatakan bahwa studi yang dilakukan oleh Bappenas mengenai rencana teknokratik pembangunan ke depan menunjukkan akan adanya peluang terjadinya risiko ekonomi akibat kurangnya dukungan infrastruktur. Kebutuhan investasi
2
..adanya peluang terjadinya risiko ekonomi akibat kurangnya dukungan infrastruktur.
infrastruktur yang dibutuhkan tidak bisa dipikul hanya oleh APBN atau APBD. Peran pendanaan swasta harus didorong.
Peran pembiayaan swasta diharapkan mencapai 20% dari total kebutuhan.
….mau tidak mau pemerintah harus melakukan leveraging dari anggaran yang tersedia
…KPS…memiliki beberapa kelebihan…dananya tidak terbatas dan tidak terlalu membebani ruang fiskal yang tersedia. …disiplin anggaran …harus dikombinasikan dengan disiplin membangun infrastruktur…
Dalam lima tahun ke depan diperlukan pembiayaan sebesar Rp. 4.500 triliun untuk infrastruktur. Pemerintah hanya sanggup membiayai sekitar Rp. 1.200 triliun. Sedangkan peran BUMN dapat didorong hingga menutupi sekitar 6% dari total kebutuhan tersebut. Peran pembiayaan swasta diharapkan mencapai 20% dari total kebutuhan. Bastary melanjutkan bahwa ini pun masih ada gap sekitar 50% yang masih harus dicarikan caranya, misalkan dengan creative financing scheme. Semua ini tidaklah mudah mengingat dalam lima tahun terakhir pemerintah hanya mampu memobilisasi sekitar sepertiga kebutuhan pendanaan infrastruktur. Itu pun setelah mendorong BUMN dan swasta untuk ikut melakukan pendanaan. Emma Sri Martini, Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur, memaparkan bahwa dengan terbatasnya alokasi yang dapat dilakukan melalui APBN untuk investasi infrastruktur, mau tidak mau pemerintah harus melakukan leveraging dari anggaran yang tersedia. Pilihan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengatasi kekurangan pembiayaan untuk infrastruktur ada tiga. Yang pertama adalah menambah hutang dengan merubah rasio defisit anggaran menjadi 4% dari 3%, untuk infrastruktur-infrastruktur produktif. Tetapi ini belum tentu bisa dilakukan. Yang kedua pendanaan melalui BUMN yang masih punya ruang untuk dioptimalkan. Leveraging melalui sektor ini bisa dilakukan melalui B-to-B dengan swasta, misalkan untuk port dan bandara. Pilihan yang ketiga adalah KPS. KPS sebagai moda penyediaan infrastruktur memiliki beberapa kelebihan, yaitu: dananya tidak terbatas dan tidak terlalu membebani ruang fiskal yang tersedia. Hal ini bisa membantu percepatan pembangunan infrastruktur. Dengan moda ini, pemerintah bisa mengoptimalkan anggaran dan fokus pada pemberian insentif-insentif seperti: VGF, PDF, tax incentives, VAT import exemptions dan lainnya. Melalui penyiapan proyek yang baik dan tender yang kompetitif, investor dengan kapabilitas standar internasional dapat ditarik untuk berinvestasi di Indonesia. Namun disiplin anggaran juga harus dikombinasikan dengan disiplin membangun infrastruktur agar moda ini bisa berjalan secara efektif. Emma melanjutkan bahwa KPS juga menawarkan kelebihan yang bisa dimanfaatkan. Kelebihan tersebut berupa efisiensi dalam jangka panjang, termasuk berkurangnya cost overrun, time overrun, biaya operasi dan perawatan yang menjadi tanggung jawab swasta. Hambatan utama KPS adalah persiapan yang membutuhkan komitmen, waktu dan biaya. Akan tetapi dalam satu siklus infrastruktur, efisiensi tersebut dapat memberikan manfaat lebih dibandingkan dengan biayanya. Oleh karena itu KPS perlu menjadi prioritas. 3
Di beberapa sektor, seperti sektor kelistrikan, pembiayaan infrastruktur menggunakan dana swasta sudah dilakukan. Sebagai contoh, sebelum era KPS sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 67 Tahun 2005, PLN telah memiliki skema kerjasama dengan swasta pada Independent Power Producers (IPP). Djoko Dwiyatno, mewakili KDIV IPP PT PLN Hernadi Buhron, mengatakan bahwa pembiayaan pembangkit listrik oleh swasta telah dilakukan sejak tahun 1990an. Ke depan, pembiayaan oleh swasta ini akan tetap merupakan bagian dari rencana penyediaan listrik. Sektor perkeretaapian membuka peluang swasta untuk terlibat dalam pembiayaan infrastruktur dengan diterbitkannya UU no. 23 tahun 2007. UU ini telah diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah dan peraturan menteri terkait. Pembiayaan oleh swasta ini menjadi bagian penting karena dalam rencana jangka panjang sektor perkeretaapian hingga 2030, biaya yang dibutuhkan untuk infrastruktur mencapai Rp. 605 triliun. Pemerintah diperkirakan hanya akan berkontribusi sebesar 30% dari nilai tersebut, sedangkan 70% sisanya akan didapatkan dari BUMN dan swasta. Dengan demikian, skema KPS sangat diperlukan untuk membangun sektor ini ke depan.
Ke depan, pembiayaan oleh swasta ini akan tetap merupakan bagian dari rencana penyediaan listrik.
…rencana jangka panjang sektor perkeretaapian hingga 2030, biaya yang dibutuhkan..70% …akan didapatkan dari BUMN dan swasta.
Meskipun berpendapat bahwa KPS adalah arah yang benar untuk dikembangkan di masa pemerintahan baru, Timur Sukirno dari Seknas Jokowi mengingatkan bahwa masih banyak gerakan di negara-negara berkembang yang ditularkan melalui LSM-LSM yang tidak setuju dengan KPS. Gerakan ini ada di Indonesia, seperti kriminalisasi terhadap kontrak kerjasama di sektor air minum yang ditandatangani sebelum Perpres 67/2005. Untuk itu perlu kesamaan persepsi untuk menyikapinya.
…masih banyak gerakan di negara-negara berkembang …yang tidak setuju dengan KPS.
Menanggapi hal tersebut, Bastary mengungkapkan adanya sebagian orang yang tidak setuju dengan adanya KPS. Hal ini disebabkan oleh pendapat bahwa penguasaan negara terhadap segala sesuatu yang menguasai hidup orang banyak adalah melalui pembangunan, pengoperasian dan kepemilikan oleh negara. Keterlibatan swasta tidak diperkenankan karena melanggar prinsip ini. Bastary melanjutkan bahwa definisi dikuasai oleh negara tidak harus sesempit itu. Selama negara masih memiliki kewenangan untuk membuat regulasi, menentukan tarif, mencabut hak dan mengambil alih kepemilikan swasta kapan saja bila dibutuhkan; prinsip penguasaan oleh negara tetap dipenuhi.
…definisi dikuasai oleh negara tidak harus sesempit itu.
Yanwar Malaming, praktisi KPS, menambahkan bahwa permasalahan dengan LSM terkait dengan KPS adalah persepsi yang harus dikelola. Salah satu persepsi yang harus dikedepankan adalah infrastruktur erat hubungannya dengan pemenuhan hak asasi manusia juga. Dalam konstitusi peran pemerintah adalah memberikan layanan publik, tidak
4
…infrastruktur erat hubungannya dengan pemenuhan hak asasi manusia…
harus memiliki aset. Sehingga dalam hal ini, perlu dicari jalan untuk merubah persepsi LSM-LSM tersebut bahwa peran pemerintah adalah memberikan layanan publik. Sedangkan keputusan kepemilikan aset bergantung pada tujuan kebijakan dan regulasinya. Jangan sampai justru pemerintah memiliki banyak aset tetapi layanannya buruk.
…perlunya kewajiban / mandatory bagi proyekproyek dengan kriteria tertentu untuk disediakan melalui skema KPS.
Basis untuk membangun KPS dapat berupa lahan yang disiapkan swasta atau Barang Milik Negara / Daerah.
…pentingnya perencanaan infrastruktur secara terintegrasi….
Secara umum para peserta diskusi sependapat dengan pentingnya peran KPS untuk menghindari krisis infrastruktur di masa mendatang. Pemerintah yang baru harus memandang serius mengenai masa depan KPS. Emma menandaskan perlunya kewajiban / mandatory bagi proyek-proyek dengan kriteria tertentu untuk disediakan melalui skema KPS, dan dijadikan prioritas. Hal senada juga dinyatakan oleh Djoko mengenai kriteria proyek pembangkit yang dipilih untuk dibiayai melalui skema KPS. Adinda Laksmi, mewakili Wahyu Utomo dari Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur Prioritas (KP2IP), mengatakan bahwa KP2IP yang dibentuk dengan Perpres 75 tahun 2014 diharapkan akan menawarkan bantuan koordinasi, fasilitasi pra-FS, peningkatan kualitas pra-FS; untuk mendorong implementasi skema KPS. Lebih jauh bahkan menurut Sri Bagus Guritno, Kepala Bidang Peraturan PPRF, setiap proyek infrastruktur dapat di KPS-kan untuk memberikan efek peningkatan kualitas pelayanan. Sehingga KPS dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu: komersial, semi-komersial dan sosial. Kuncinya adalah penetapan KPI yang tepat. Basis untuk membangun KPS dapat berupa lahan yang disiapkan swasta atau Barang Milik Negara / Daerah. Untuk mendukung implementasi KPS, saat ini PPRF sedang melakukan reorganisasi. Salah satu direktorat yang akan dibentuk adalah direktorat pengelola dukungan untuk KPS yang akan memberikan opsi-opsi dukungan seperti: Project Development Facilty, Dukungan Kelayakan, Penjaminan dan stand by lending. Menanggapi pentingnya perencanaan infrastruktur secara terintegrasi yang dilontarkan oleh Timur, Bastary menegaskan perlunya suatu otoritas atau badan usaha strategis yang menyediakan dan mengelola integrated infrastruktur. Misalkan kombinasi antara pelabuhan dengan kereta api atau airport dengan jalan tol. Ke depan, model-model seperti ini akan banyak.
PERMASALAHAN IMPLEMENTASI KPS DI INDONESIA Permasalahan implementasi KPS dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam diskusi ini muncul beragam pandangan
5
permasalahan yang dilihat dari sudut pandang pemerintah pusat, BUMN pendukung KPS maupun sektor – yang diwakili oleh kelistrikan dan perhubungan. Bastary mengemukakan lima permasalahan utama yang menghambat implementasi KPS selama lima tahun terakhir. Yang pertama adalah lack of commitment. Masih rendahnya komitmen aparatur pemerintahan – pusat, sektor maupun daerah – terhadap pelaksanaan KPS. Hal ini disebabkan karena aparatur tersebut telah terbiasa dengan APBN, APBD dan pinjaman dibandingkan memanfaatkan skema KPS.
……lack of commitment….lack of championship….lack of capacity….limited budget support….uncertainty in regulation…
Yang kedua adalah lack of championship. Tidak adanya satu komando yang dapat mengarahkan pembangunan infrastruktur secara umum dan KPS secara khusus. Dahulu ada KKPPI (Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur) yang tidak dapat efektif karena kebijakan yang dikeluarkan tidak terlaksana di kementerian sektor. Ketiga adalah lack of capacity. Kapasitas aparatur pemerintah tidak memadai untuk menjalankan implementasi KPS sesuai dengan praktikpraktik terbaik internasional. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keahlian dalam menyiapkan proyek KPS. Oleh karena itu pelaksanaan KPS menjadi lambat. Limited budget support merupakan permasalahan yang keempat. Pemerintah masih kurang memberikan dukungan pada proyek-proyek KPS sehingga sektor swasta ragu menginvestasikan dananya. Misalkan dukungan penyediaan lahan sebaiknya lebih dibebankan kepada pemerintah, sedangkan konstruksi pada swasta. Yang terakhir adalah uncertainty in regulation. Banyak peraturan yang tumpang tindih seperti: peraturan sektor, pembiayaan, daftar negatif investasi, peraturan daerah dan lainnya. Hal ini menimbulkan konflik pada pelaksanaan KPS. Sebagai contoh ada tiga peraturan setingkat Peraturan Pemerintah dan Presiden yang terkait dengan KPS, yaitu: Perpres 67/2005 tentang KPS, PP 50/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah, dan PP 27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah. Selain itu ada pula Undang-undang sektoral. Meskipun UU sektor sudah mulai menghilangkan peran monopoli BUMN sejak tahun 2007, implementasinya masih sulit karena masih ada peraturan yang tumpang tindih. Sedangkan Emma justru mengatakan bahwa institutional set up dan regulatory framework untuk KPS di Indonesia sudah lengkap. Bahkan pada tahun 2009, negara-negara lain seperti Pakistan dan Bangladesh meniru Indonesia untuk kedua hal tersebut. Namun sayangnya dalam hal eksekusi, Indonesia ketinggalan. Yang jadi permasalahan adalah perubahan mindset aparatur pemerintahan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelayanan publik melalui infrastruktur ketika menjalankan skema KPS. Swasta diberikan risiko yang terlalu besar termasuk yang seharusnya menjadi porsi pemerintah. Misalkan risiko6
…institutional set up dan regulatory framework …sudah lengkap.
…yang jadi permasalahan adalah perubahan mindset aparatur pemerintah..ketika menjalankan skema KPS,..tidak adanya kesatuan antara disiplin anggaran dengan disiplin membangun infrastruktur,…tidak adanya championship untuk skema KPS…juga..karena kenyamanan dan kepastian hukum bagi eksekutif dalam mengambil keputusan kurang terjamin.
risiko yang tidak bisa dialokasikan pada swasta seperti: licensing, pengadaan lahan, dan government support. Dengan tingginya risiko, swasta tidak akan masuk ke dalam skema ini. Seharusnya pemerintah membawa serta pilihan insentif-insentif yang dapat diberikan ketika melakukan bargaining dengan swasta. Yang kedua adalah tidak adanya satu kesatuan antara disiplin anggaran dengan disiplin membangun infrastruktur, seperti yang telah disebutkan di bagian sebelumnya. Untuk dapat menjalankan skema KPS, perlu adanya kombinasi antara kontrol anggaran – melalui APBN, DAU dan DAK – dengan mekanisme insentif untuk reward and punishment yang menyertai Key Performance Indicators (KPI). Dengan tidak berjalannya hal ini maka kementerian/lembaga akan cenderung mengadakan infrastruktur melalui traditional procurement dan komitmen pada skema KPS cenderung tidak menarik. Tidak adanya championship untuk skema KPS juga menyebabkan kurangnya koordinasi yang berimbas pada lamanya penyiapan suatu proyek KPS. Oleh karena itu ada pihak yang memiliki kewenangan cukup untuk mengarahkan seluruh pemangku kepentingan ke arah yang sama. Lambannya implementasi KPS juga disebabkan karena kenyamanan dan kepastian hukum bagi eksekutif dalam mengambil keputusan kurang terjamin. Hal ini disebabkan karena belum samanya persepsi antara pemerintah dengan lembagalembaga yang melakukan supervisi seperti BPK, KPK dan KPPU. Persepsi tersebut adalah terkait dengan proses pengadaan barang dan jasa di pemerintah dan swasta. Dengan persepsi yang belum sama tersebut, banyak pihak bisa melihat suatu peraturan dari sudut pandang yang berbeda. Hal ini membuat eksekutif merasa ragu menjalankan skema KPS dan lebih memilih pengadaan tradisional.
.…pada saat pasca pengadaan..ada permasalahan koordinasi…tidak ada koordinator untuk KPS.
Pengalaman implementasi KPS di sektor pembangkit listrik dipaparkan oleh Djoko. Dari pengalaman model proyek KPS PLTU Batang, proses pengadaan badan usaha cukup sukses. PT PLN saat itu berjalan bersama Bappenas, Kementerian Keuangan dan PT PII. Seiring proses pengadaan pada saat itu, regulasi terkait dengan KPS juga sedang mengalami penyempurnaan. Penyesuaian regulasi, institusi dan koordinasi memang menyebabkan proses pengadaan jadi relatif lama. Namun yang menjadi masalah adalah pada saat pasca pengadaan, terjadi kendala penyediaan lahan. Sayangnya pada tahap ini ada permasalahan koordinasi. Banyak pihak yang terlibat – pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor – namun tidak ada koordinator untuk KPS. Penyelesaian masalah ini difasilitasi oleh Menko Perekonomian tetapi belum berhasil. PLN juga telah menandatangani Service Level Agreement (SLA) 7
dengan 11 kementerian /lembaga; namun hal ini tidak begitu membantu KPS secara khusus. Proyek pembangkit swasta di PT PLN saat ini ada tiga, yaitu: IPP regular (tanpa jaminan), IPP skema KPS (Perpres 67/2005) dan IPP FTP 2 (dengan penjaminan SJKU). Dengan demikian skema KPS bersaing dengan skema lainnya, termasuk pengadaan pembangkit oleh PLN sendiri. Namun menurut Djoko, proses penjaminan untuk proyek KPS memakan waktu lama, terutama pembicaraan masalah struktur penjaminan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian jadwal perencanaan proyek dan pemenuhan beban di suatu sistem kelistrikan. Peraturan KPS dinilai terlalu panjang dan implementasinya perlu memakan waktu yang lama, demikian tutur Heru. Contoh yang pertama adalah proyek KPS Kereta Api Bandara Soekarno-Hatta. Meskipun sudah mendapat fasilitasi dari PT SMI sejak 2011 hingga sekarang masih dalam tahap penyiapan. Tahap pra-kualifikasi belum dilakukan karena ternyata proyek KPS ini membutuhkan VGF yang sangat besar. Dengan demikian pemerintah perlu memberikan kas kepada pemenang tender dalam jumlah yang sangat besar itu. Hal ini masih menjadi pertanyaan bagi sebagian orang, mengapa pemerintah memberikan kas kepada pemenang tender. Contoh yang kedua, sebuah proyek angkutan perkotaan di Surabaya. Karena penyiapan untuk proyek KPS terlalu lama, akhirnya proyek tersebut didanai dengan APBN dan APBD. Di sisi lain, Reikman Aritonang, dari Prasetiya Mulya Business School, melihat dari sisi pandang swasta. Regulasi dan ownership menjadi hambatan bagi swasta untuk terlibat dalam skema KPS. Sebagai contoh dari sisi regulasi, untuk kerjasama dengan swasta, pemerintah bisa memiliki dua peraturan presiden yang berbeda. Kemudian dalam hal ownership, regulasi kurang memiliki kekuatan memaksa sehingga tidak bisa menjadi pengaman bagi pihak swasta. Dengan regulasi yang lebih kuat dan memaksa, misalkan dengan level undang-undang, diharapkan pihak swasta akan semakin berminat dengan skema ini. Imbal hasil yang diharapkan oleh swasta pun tidak akan besar bila berhadapan dengan risiko investasi yang rendah. Permasalahan dari sudut pandang komunitas diutarakan oleh Osmar Tanjung dari Seknas Jokowi. Osmar menyebutkan bahwa setiap infrastruktur yang dibangun akan memberikan beban pada bumi dan manusia. Oleh karena itu, beban ini harus diatasi dahulu sebelum infrastruktur yang dimaksud dibangun. Infrastruktur harus menjawab permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, termasuk masyarakat di sekitar aset tersebut. Pendekatan yang tepat dengan masyarakat juga akan mengurangi biaya penyediaan infrastruktur. Osmar melanjutkan bahwa apakah infrastruktur tersebut disediakan melalui skema KPS atau
8
…SLA…tidak membantu KPS secara khusus.
Peraturan KPS dinilai terlalu panjang dan implementasinya …. memakan waktu yang lama….
…regulasi kurang memiliki kekuatan memaksa sehingga tidak bisa menjadi pengaman bagi pihak swasta.
..setiap infrastruktur yang dibangun akan memberikan beban pada bumi dan manusia.
tidak, tidak begitu relevan. Yang penting adalah niat baik pemerintah dalam memberikan manfaat bagi masyarakat.
BAGAIMANA PEMERINTAHAN BARU DAPAT MENYELESAIKAN PERMASALAHAN KPS? Dari identifikasi berbagai permasalahan implementasi yang telah dilakukan oleh para pemangku kepentingan, permasalahan yang paling mengemuka adalah kepastian regulasi dan leadership.
…agar perencanaan yang dibuat untuk lima tahun mendatang tidak berbenturan dengan peraturan perundangan yang ada.
Secara regulasi, aturan main untuk KPS telah terdeliver, namun tidak executable.
Banyak loopholes yang masih harus diisi dengan peraturan setingkat undang-undang….
Dalam hal ini, Bastary menawarkan reformasi regulasi. Tujuan dari reformasi ini adalah agar tercapai integrasi dan keadaan saling mendukung. Bappenas, lanjut Bastary, saat ini membuat suatu komite yang melakukan peninjauan terhadap peraturan perundangundangan yang ada. Saat ini banyak perencanaan yang tidak dapat berjalan karena berbenturan dengan peraturan perundangan. Dari hasil review tersebut, dibuatlah rekomendasi untuk perbaikan agar perencanaan yang dibuat untuk lima tahun mendatang tidak berbenturan dengan peraturan perundangan yang ada. Namun Bastary berpendapat bahwa menaikan level regulasi KPS ke level undang-undang belum tentu menyelesaikan masalah. Jadi yang diperlukan adalah pembenahan pada level peraturan presiden. Menaikkan level regulasi ke level undang-undang tidak mudah, prosesnya panjang dan hasilnya belum tentu efektif. Apalagi bila undang-undang yang dihasilkan tetap berbenturan dengan undangundang sektoral yang ada. Emma memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, terlalu banyak konflik yang tidak bisa diselesaikan oleh seorang pemimpin atau aparat pemerintahan terkait dengan regulasi. Regulasi KPS di Indonesia sudah baik, namun banyak undang-undang terkait untuk implementasinya seperti: UU sektor, UU keuangan negara, UU otonomi daerah, dan UU perimbangan keuangan. Secara regulasi, aturan main untuk KPS telah ter-deliver, namun tidak executable. Hal ini disebabkan karena kenyamanan dan keamanan dalam mengambil keputusan – seperti disebutkan pada bagian sebelumnya – tidak ada jaminannya. Banyak loopholes yang masih harus diisi dengan peraturan setingkat undang-undang untuk mengatasi hal ini. Undang-undang ini bertujuan memberikan payung hukum untuk kepentingan publik terutama dalam keadaan tidak adanya kepastian hukum. Yang pasti, lanjut Emma, undang-undang ini tidak digunakan untuk membereskan atau membatalkan undang-undang yang telah ada. Emma memberikan contoh UU untuk geothermal. UU ini menyelesaikan konflik yang terjadi sebelumnya antara UU kehutanan dan UU ESDM, sehingga sumber daya negara bisa dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
9
Rambun Tjajo dari Seknas Jokowi memandang masalah regulasi erat hubungannya dengan leadership. Regulasi tidak membatasi, tetapi pengambil keputusan yang membatasi, terutama pimpinan tertinggi. Sebagai contoh, potensi mobilisasi pendanaan melalui Sukuk untuk infratruktur tidak dapat dimanfaatkan karena tidak ada kebijakan untuk menghilangkan PPN. Padahal loophole di peraturan perundangan ada. Untuk kepentingan publik semacam ini seharusnya presiden dapat mengusahakan peraturan pemerintah, tidak perlu undang-undang. Keberanian mengambil keputusan semacam ini sangat diperlukan, terutama dalam lima tahun ke depan. Percepatan penyediaan infrastruktur memerlukan tindakan-tindakan cepat. Bila kesempatan ini terlewatkan, kondisi infrastruktur yang ada akan memberikan risiko yang besar. Oleh karena itu, lanjut Tjajo, Seknas Jokowi sebagai pressure group di luar pemerintah, bermaksud memberikan dukungan kepada aparat pemerintah yang berani mengambil tindakan yang tepat. Dukungan ini berupa pendapat hukum maupun perlindungan dalam kenyamanan dan keamanan mengambil keputusan. Yanwar menawarkan cara pandang bahwa regulatory and policy merupakan satu klaster permasalahan. Policy objective yang kuat akan membimbing regulasi ke arah yang lebih baik. Dalam jangka pendek dan menengah, policy objective yang kuat terkait dengan KPS harus segera ditetapkan sehingga regulasi dapat dibenahi. Hal ini sejalan dengan pendapat Emma yang mengusulkan bahwa quick wins yang bisa dilakukan oleh pemerintahan yang baru adalah penguatan level regulasi di bawah undang-undang. Dalam tiga bulan penguatan PP, Perpres; mandatory untuk KPS; KPI untuk infrastructure delivery oleh sektor; dan pengaturan disiplin monitoring budget; merupakan sasaran yang dapat dicapai. Dengan kata lain, penetapan kebijakan non undang-undang dapat dijadikan quick wins. Sedangkan dalam jangka menengah dan panjang, permasalahan-permasalahan yang belum terpecahkan akan diatasi dengan undang-undang; misalkan dalam 3 sampai 5 tahun mendatang. Dalam permasalahan leadership, Bastary mengutarakan bahwa leadership harus ditempatkan pada institusi yang bisa menjalankan championship untuk KPS. Ia mengusulkan agar institusi tersebut berada di bawah Wapres langsung. Hal ini akan menjawab problem championship dan implementasinya tidak terpusat di satu kementerian. Dengan PPP center ada di bawah Wapres, Bappenas berharap dalam lima tahun ke depan ada 33 PPP unit yang tersebar di provinsi-provinsi. Masing-masing provinsi memiliki setidaknya satu PPP unit. Hal ini sejalan dengan UU desentralisasi yang telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyediakan infrastruktur seperti air minum.
10
Keberanian mengambil keputusan semacam ini sangat diperlukan, terutama dalam lima tahun ke depan.
Dalam jangka pendek dan menengah, policy objective…harus segera ditetapkan… Dalam tiga bulan, penguatan PP, Perpres; mandatory untuk KPS; KPI untuk infrastructure delivery oleh sektor; dan pengaturan disiplin monitoring budget; merupakan sasaran yang dapat dicapai.
Dengan PPP center ada di bawah Wapres, Bappenas berharap dalam lima tahun ada 33 PPP unit yang tersebar di provinsiprovinsi.
Lebih lanjut Bastary mengatakan bahwa leadership yang ditawarkan oleh institusi KP2IP tidak akan berjalan efektif. Hal ini mengingat institusi sejenis sebelumnya, KKPPI pun tidak efektif. Penyebabnya adalah penempatan institusi di bawah menteri (menteri coordinator perekonomian) dan sifatnya yang ad hoc. Tetapi institusi ini pun tidak perlu langsung di bawah Presiden, karena telah terlalu banyak badan di bawah Presiden.
..koordinasi antar stakeholder dalam KPS sudah semakin membaik….
…institusi ini tidak sekedar melakukan koordinasi namun juga melakukan implementasi dan mengambil keputusan.
..siapa yang akan menjadi ‘dirigen’ untuk koordinasi antar instansi terkait dengan pemanfaatan BMN yang tersebar di berbagai institusi tersebut.
Leadership untuk KPS ini haruslah….Presiden.
..pentingnya Presiden yang baru…turun tangan langsung dalam menyelamatkan proyekproyek yang mandek dan ekspektasi publik…
Hal ini berbeda dengan pendapat Laksmi yang mengatakan bahwa meskipun KP2IP belum berjalan sempurna, ke depan institusi ini menawarkan koordinasi untuk implementasi KPS. Di samping itu, koordinasi antar stakeholder dalam KPS sudah semakin membaik saat ini. Hal tersebut dapat terlihat dari implementasi UU pengadaan lahan yang baru dan adanya SLA yang dapat dihubungkan dengan proyek KPS. Sehubungan dengan adanya KP2IP, Mahdi dari PT PII berharap bahwa institusi ini tidak hanya sekedar melakukan koordinasi namun juga dapat melakukan implementasi dan mengambil keputusan. Dengan demikian, penyiapan proyek dapat lebih cepat dilakukan dan segera dikembalikan kepada PJPK untuk ditransaksikan. Penguatan institusi KP2IP ini juga sejalan dengan peran Menteri Keuangan dalam skenario ini seperti yang diungkapkan oleh Bagus. Selain rencana adanya direktorat pengelola dukungan untuk KPS dalam lingkunan kementerian keuangan, Menteri Keuangan juga sebagai pengelola Barang Milik Negara (BMN). Berdasarkan PP No. 27/2014, BMN tersebut dapat digunakan untuk Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI). Peraturan pelaksanaannya berupa PMK telah diterbitkan, yaitu PMK No. 164/2014 tentang tata cara pemanfaatan BMN dalam rangka penyediaan infrastruktur. PP dan PMK ini akan digunakan pertama kali pada proyek KPS KA Bandara Soetta. Hal ini menjawab pertanyaan Heru mengenai siapa yang akan menjadi ‘dirigen’ untuk koordinasi antar instansi terkait dengan pemanfaatan BMN yang tersebar di berbagai instansi tersebut. Timur berpendapat bahwa leadership untuk KPS ini haruslah top leadership, atau dengan kata lain Presiden. Hal ini sesuai dengan pengalaman negara lain seperti misalnya China. Pemimpin tertinggi di China kala itu, Deng Xiao Ping, dapat menyederhanakan masalah dengan berfokus pada tiga hal yaitu: ekonomi pedesaan, sumber daya dan transportasi. Fokus pada beberapa hal penting ini yang menjadi tantangan bagi presiden. Namun pendekatan berhasil yang diambil oleh Jokowi pada permasalahan di Pluit dan MRT merupakan suatu contoh yang dapat dikerjakan lagi ke depan. Sejalan dengan ini, Yanwar menekankan pentingnya Presiden yang baru untuk segera turun tangan langsung dalam menyelamatkan proyek-proyek yang
11
mandek dan ekspektasi publik terkait dengan proyek-proyek tersebut. Untuk itu perlu adanya rekomendasi kepada presiden yang baru mengenai breakthrough yang perlu diambil untuk melakukan hal tersebut. Emma pun mengusulkan agar proyek-proyek KPS yang saat ini penyiapannya telah setengah jalan agar dijadikan model proyek untuk quick wins. Pembenahan masalah regulasi dan leadership di atas diharapkan juga bisa mengatasi tantangan untuk mendapatkan pembiayaan jangka panjang murah bagi skema KPS. Hal ini meliputi penurunan risiko infrastruktur dan dukungan pemerintah yang sesuai. Sedangkan bagi sektor, KPS haruslah menjadi lebih menarik agar dipilih menjadi skema untuk penyediaan infrastruktur. Untuk itu, permasalahan-permasalahan seperti: kurangnya leadership, sulitnya koordinasi antar pemangku kepentingan yang jumlahnya banyak, kurang jelasnya peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam KPS, banyaknya perijinan yang harus diurus oleh badan usaha, kerangka waktu proses penyiapan yang tidak jelas, tidak adanya dukungan terhadap sarana penunjang proyek KPS, ketidakjelasan kriteria proyek yang akan di-KPSkan, serta tidak harmonisnya peraturan perundangan; harus dapat diselesaikan.
PENUTUP Pada saat penutupan, disadari oleh para peserta bahwa diskusi ini baru permulaan. Masih lebih banyak pembahasan mengenai permasalahan dibandingkan dengan kesepakatan mengenai rekomendasi kongkrit yang bisa ditawarkan. Walaupun demikian, Yamin menegaskan bahwa telah ada beberapa titik temuan yang bisa dijadikan dasar untuk pendalaman ke depan, yaitu: leadership, regulasi, kewenangan yang tersebar, ketidaksatupandangan para aparat hukum, serta keraguan mengambil keputusan karena adanya risiko hukum. Sebagai moderator, Bely juga tidak berupaya merumuskan kesimpulan rekomendasi, namun berjanji bahwa CID-PMBS akan mencatat segala sesuatu yang muncul dari diskusi ini, yang akhirnya disajikan pada laporan ini. Setelah diskusi ditutup, CID-PMBS memberikan cendera mata kepada para narasumber dan Seknas Jokowi sebagai penghargaan atas terselenggaranya acara diskusi ini. Para hadirin kemudian melanjutkan pembicaraan secara informal dengan makan siang yang telah disediakan.(jbu)
---000---
12
…dijadikan model proyek untuk quick wins.
Pembenahan masalah regulasi dan leadership …diharapkan juga bisa mengatasi…pembiayaan jangka panjang murah…KPS ..menjadi lebih menarik agar dipilih menjadi skema untuk penyediaan infrastruktur.
Center for Infrastructure Development Prasetiya Mulya Business School Jl. R.A. Kartini (T.B. Simatupang) Cilandak Barat, Jakarta 12430 Email:
[email protected] Telepon: +62-21-7500463 Fax : +62-21-7500460