HIDRODINAMIKA FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI PORONG SIDOARJO Indah Wahyuni Abida 1)
1)
Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Abstract
Lapindo mud loading in Porong river will cause change chemical physycal hydrodynamic at estuarine. This observation was measured with April-Mei 2009. This research use discriptive methodology of ex post facto. Value of concentration Nitrat in three measure are 3,71-6,94 µM, Orthophospat are 15,58-28,32µM, Ammonium are 72,78-148,89µM, pH 7,1-7,9, Dissolved Oksigen are 2,1-6,9 mg/L, Salinity are 11-13. Value phisical parameter that Temperature are 29-32oC, Transparancy are 7-45cm, Total Suspended Solid (TSS) are 2004 mg/L - 2584 mg/L after rainfall, when normal situation are 20 mg/L - 252 mg/L. There are 8-130% increase of TSS. Keywords: Hydrodinamic, Porong Estuarine.
1. Pendahuluan Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan lautan. Wilayah ini sangat kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai kegiatan yang ada diluar maupun di dalam wilayah itu sendiri. Kesalahan pengelolaan wilayah pessisir menjadikan wilayah ini sebagai tempat pembuangan limbah yang dapat mengakibatkan hilangnya potensi yang ada. Masuknya bahan organik ke pesisir ini cepat atau lambat akan dapat mempengaruhi kualitas air, yang selanjutnya berpengaruh pada keberadaan organisme yang ada di perairan khususnya plankton yang merupakan organisme yang pertama merespon perubahan kualitas air tersebut. Salah satu kasus yang terjadi pada pengelolaan wilayah pesisir yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan adalah pembuangan lumpur yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas ke sungai Porong. Beban masukan yang nyata berupa lumpur tersebut, membawa partikel tersuspensi, nutrien dan bahan organik terlarut yang akan mendukung terjadinya eutrofikasi atau bahkan kematian masal organisme dan bisa menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya pada kolom air. Hal ini akan berakibat pada keberadaan organisme terutama plankton yang langsung merespon dari keberadaan nutrien dan kualitas air tersebut. Adanya masukan bahan-bahan organik dan buangan lumpur lapindo pada perairan sungai Porong dapat menyebabkan tingkat kekeruhan yang terjadi pada muara sungai tersebut sangat tinggi, sehingga menyebabkan ketersediaan unsur hara yang tersebar tidak merata dan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan akan berkurang dan sangat mempengaruhi aktivitas fitoplankton dalam berfotosintesis. Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dilakukan kajian atau penelitian mengenai hidrodinamika fisika dan kimia setelah terjadinya pembuangan lumpur lapindo di muara sungai Porong Kab. Sidoarjo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hidrodinamika fisika dan kimia di perairan muara sungai Porong Sidoarjo. 2. Metode Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan pengambilan sampel di muara sungai Porong Kab. Sidoarjo. Lokasinya secara geografis terletak pada 112˚50‟48.2‟‟BT dan 07˚33‟0.96‟‟LS. Pengambilan sampel dilakukan pada 3 stasiun dengan jarak 1,5km antar stasiun, yang dimulai pada jam 09.00 – selesai. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur parameter fisika meliputi suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman dan kimia pada muara sungai Porong yang diantaranya :, DO (oksigen yang terlarut), Nitrat (NO3), Amonium (NH4) dan Fosfat (PO4). Pengambilan sampel dilakukan secara horisontal. Pengambilan sampel air dilakukan setiap seminggu sekali selama 3 kali. Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Tanah dan Laboratorium Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo. Metode penelitian dilakukan dengan metode deskriptif yang bersifat ex post facto. Data hasil pengamatan yang didapatkan, disajikan dalam bentuk tabel dan grafik serta dideskripsikan. Analisis data dilakukan secara komputasi dengan menggunakan program Excel, Kgraph dan SPSS versi 9.0.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 31
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Karakteristik Muara Sungai Porong Sungai Porong dibangun tahun 1800 oleh Pemerintah Belanda sebagai pengendali banjir untuk induk Kali Brantas, yang berada di Mojokerto. Pengendalian banjir di wilayah Kecamatan Porong, Sidoarjo dilakukan khususnya di musim penghujan atau saat debit air Kali Brantas melebihi ambang batas yang membahayakan Surabaya. Selain digunakan sebagai sarana transportasi antar desa yang ada di selatan dan utara sungai, Sungai Porong juga dimanfaatkan sebagai sumber galian pasir. Pada muara sungai porong terdapat berbagai aktivitas yaitu adanya penambangan pasir, pengurukan tanggul sungai serta adanya pengurukan untuk reklamasi pantai yang berpengaruh pada keadaan topografi muara sungai porong sehingga akan mempengaruhi pola hidrodinamika perairan. Hal ini seperti yang dikemukakan Kasim (2005), daerah Estuaria adalah daerah peralihan antara laut dan sungai dengan salinitas yang lebih rendah dari laut dan sedikit lebih tinggi dari perairan tawar. Pada zona peralihan ini terjadi percampuran antara air laut dan air sungai. Pola percampuran ini sangat di pengaruhi oleh topografi dari pantai itu sendiri dan pola percampurannya memberikan stratifikasi yang berbeda pula terhadap estuaria. 3.2. Parameter fisika-kimia perairan Parameter fisika dan kimia perairan dari hasil pengukuran di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Kimia di Lokasi Penelitian Kecerahan DO TSS Stasiun Pengukuran Suhu pH Salinitas o Ke(cm) (mg/L) (mg/L) ( C) (‰ ) 1 50 6,1 60 32 7,6 11 2 10 2,1 1296 A 29 7,8 11 3 34 6,1 92 31 7,9 12 31,3 4,7 482,6 Rerata 30,67 7,76 11,3 1 29 6,5 28 32 7,8 11 2 8 2,6 2004 B 29 7,8 13 3 43 6,2 252 31 7,7 12 26,7 5,1 684,6 Rerata 30,67 7,76 12 1 50 5,9 20 30 7,7 12 2 7 3,2 2584 C 29 7,6 13 3 35 6,9 176 32 7,1 13 30,7 5,3 926,6 Rerata 30,33 7,4 12,67 Suhu (C) Suhu perairan selama penelitian di perairan muara Sungai Porong relatif sama pada 3 kali pengamatan. Pada stasiun A, B, dan C suhu berkisar antara 29-32C (Tabel 4.). Hal ini disebabkan pada waktu pengukuran berlangsung, keadaan cuaca cenderung sama. Sebaran suhu pada kolom perairan hampir sama. Secara umum kisaran suhu pada lokasi pengamatan tergolong cukup tinggi meskipun pada saat pengukuran ke-2 setelah terjadi hujan. Kisaran suhu yang terukur diperairan ini masih dalam kisaran yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20o 30 C(Effendi, 2003). Salinitas (‰) Salinitas pada suatu perairan akan mempengaruhi densitas perairan selain suhu. Salinitas di perairan muara Sungai Porong selama pengamatan, besarnya antara 11-13‰ (Tabel 4.). Nilai salinitas dimuara sungai ini relatif sama pada semua stasiun pengamatan, hal ini disebabkan pada lokasi pengambilan sampel antar stasiun tidak terlalu jauh yaitu sekitar 1,5km, sehingga perubahan salinitas tidak terlalu besar. Disamping itu adanya pemasukan air tawar dari sungai porong akibat
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 32
adanya hujan dimalam hari menyebabkan salinitas yang terukur hampir sama, meskipun pada saat pengukuran di minggu ke-2 terjadi pasang. Besarnya salinitas di muara sungai tergantung dari pemasukan air tawar, pasang surut dan pola topografi muara yang menimbulkan pola percampuran massa air yang berbeda (Kasim, 2005; Effendi, 2003). pH Nilai pH selama pengamatan pada lokasi penelitian berkisar antara 7,1-7,9 (Tabel 4.). Sebaran rata-rata nilai pH di stasiun C cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai pH pada stasiun A dan stasiun B. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH. Nilai pH juga sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan misalnya nitrifikasi. Namun demikian nilai pH ini masih dalam kisaran nilai yang sesuai dengan kebutuhan fitoplankton dan organisme perairan lainnya yaitu 7-8,5 (Effendi, 2003). Kecerahan Nilai kecerahan perairan berkorelasi negatif dengan nilai TSS (Total Suspended Solid). Semakin kecil nilai kecerahan, maka nilai TSS dan tingkat kekeruhan semakin tinggi. Dari hasil pengukuran kecerahan dapat dijelaskan bahwa pada stasiun A kecerahan perairan rata-rata sebesar 31,3cm, sedangkan pada stasiun B kecerahan rata-rata sebesar 26,7cm, sedangkan pada stasiun C kecerahan rata-rata mencapai 30,7cm. Nilai kecerahan ini tergolong kecil atau bisa diartikan bahwa tingkat kekeruhan perairan ini tergolong tinggi. Hal ini bisa dilihat pada saat pengukuran pada minggu ke-2 tingkat kecerahan pada semua stasiun hanya berkisar 10cm, hal ini disebabkan air hujan yang terbawa dari sungai bagian hulu banyak membawa partikel tersuspensi baik berupa bahan organik maupun padatan sedimen (pasir dan lumpur). Hal ini terjadi dimungkinkan akibat adanya pembuangan lumpur lapindo ke sungai Porong yang apabila terkena limpasan air dari bagian atas sungai akan ikut mengalir ke bagian hilir sehingga tingkat kekeruhannya tinggi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai TSS yang terukur pada minggu ke-2 pada masingmasing stasiun A,B dan C adalah sebesar 1296 mg/L, 2004 mg/L dan 2584 mg/L, sedangkan pada minggu ke-1 dan ke-3 yang dalam keadaan normal berkisar antara 20 mg/L sampai 252 mg/L. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan antara 8 sampai 130 kali lipat dibandingkan kondisi normal tidak ada hujan. Selain itu, tingginya nilai TSS dibagian kolom air ini disebabkan oleh terjadinya resuspensi sedimen yang terjadi dari dasar perairan pada saat terjadinya air pasang dan adanya aktivitas penambangan pasir sehingga menyebabkan teraduknya kolom perairan. Menurut Effendi (2003), kekeruhan perairan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut dalam air misalnya lumpur atau pasir halus maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain. Nilai kekeruhan berkorelasi positif dengan padatan tersuspensi, semakin tinggi nilai padatan tersuspensi semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Nilai kekeruhan akan berkorelasi dengan tingkat kecerahan, dan tingkat kecerahan ini akan berpengaruh pada aktivitas fitoplankton yang berada dalam kolom perairan. Unsur Hara Konsentrasi unsur hara yang diperoleh selama pengamatan antar stasiun menunjukkan fluktuasi berbeda pada tiap waktu pengamatan (Tabel 5.). Konsentrasi ammonium selama pengamatan pada stasiun A diperoleh kisaran antara 76,11-85,56 µM , pada stasiun B berkisar antara 73,89101,67µM dan pada stasiun C berkisar 72,78-148,89µM. Konsentrasi ammonium ini nilainya diperoleh lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi ammonium yang diperoleh di Teluk Jakarta pada musim hujan dengan nilai sebesar 25,79 µM NH 4-N dan hampir sama dengan konsentrasi yang ditemukan di Teluk Lampung dekat muara sungai yaitu sebesar 2,40-299,01 µM NH4-N (Damar 2003). Tingginya proses dekomposisi bahan organik di kolom perairan seperti yang dikemukakan oleh Paasche (1988) dalam Blackburn & Sorensen (1988) pada perairan dangkal, akan menyebabkan tingginya konsentrasi ammonium, nitrogen di recycled menjadi amonium oleh mikrobial benthik dan komunitas hewan yang penting bagi fitoplankton yang dapat menyediakan lebih besar atau semua N yang dikonsumsi di kolom air. Hal ini juga dimungkinkan akibat masuknya bahan organik dari air
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 33
sungai porong yang merupakan tempat buangan limbah lumpur lapindo dan juga dari limbah domestik dari pemukiman penduduk yang berada di sekitar perairan sungai Porong mulai dari hulu sampai hilir. Tabel 5. Konsentrasi Unsur Hara di Lokasi Penelitian Selama Pengamatan Pengamatan Unsur Hara (µM) Stasiun KeNO3-N NH4-N PO4-P A 1 4,52 76,67 15,58 2 4,52 85,56 22,52 3 4,19 76,11 16,63 Rerata 4,41 79,44 18,24 B 1 3,87 73,89 16,21 2 6,93 101,67 28,32 3 5,16 85,56 15,89 Rerata 5,32 87,04 20,14 C 1 6,94 73,89 16,95 2 3,71 72,78 25,05 3 5,48 148,89 24,63 Rerata 5,37 98,52 22,21 Konsentrasi nitrat yang diperoleh selama pengamatan berkisar antara 4,19-4,52 µM pada stasiun A, 3,87-6,93 µM pada stasiun B dan 3,71-6,94 µM pada stasiun C. Nilai sebaran Nitrat masih dalam kisaran hasil penelitian yang dilakukan Damar (2003) di Teluk Jakarta pada muara Sungai Priok yaitu berkisar antara 0,58 – 35,17µM NO3-N dan di area pantai diperoleh konsentrasi nitrat berkisar antara 0,22-16,81µM NO3-N, sedangkan di area offshore yang ditemukan lebih rendah yaitu berkisar antara 0,02-3,62µM NO3-N. Nitrat yang ditemukan mempunyai kisaran yang lebih rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi ammonium, hal ini dimungkinkan karena nitrat yang tersedia di perairan sudah dimanfaatkan oleh fitoplankton sehingga konsentrasi yang terukur lebih rendah. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Goes et al., (2004) bahwa konsentrasi nitrat yang menurun sampai sekitar 6 μM menunjukkan telah terjadi penyerapan nitrat dengan cepat oleh fitoplankton. Kisaran konsentrasi ortofosfat yang diperoleh selama pengamatan pada stasiun A sebesar 15,5822,52µM PO4-P, pada stasiun B dan C masing-masing berkisar 15,89-28,32µM PO4-P dan 16,9525,05µM PO4-P. Kisaran konsentrasi ortofosfat yang diperoleh dimuara Sungai Porong ini kisarannya hampir sama dengan konsentrasi ortofosfat yang ada di perairan Selat Madura daerah Kwanyar yang terukur sebesar 4,32 – 27,70 µM PO4-P dan menunjukkan peningkatan konsentrasi dengan meningkatnya kedalaman dan padatan tersuspensi (Abida, 2008). Konsentrasi ortofosfat yang ada di lokasi penelitian ini juga menunjukkan nilai yang hampir sama dengan penelitian di Teluk Jakarta pada area dekat dengan muara sungai Priok yaitu antara 5,78 – 54,52 µM PO4-P (Damar, 2003). Tingginya konsentrasi ortofosfat dilokasi pengamatan ini diduga karena adanya masukan dari daratan dan adanya resuspensi sedimen yang menyebabkan ortofosfat yang terjerap dalam sedimen didasar perairan akan terlepas kembali menjadi ortofosfat tersedia. Konsentrasi ortofosfat ini juga menunjukkan konsentrasi di atas kebutuhan minimal untuk kebutuhan fitoplankton seperti yang dikatakan Millero dan Sohn (1991) bahwa pertumbuhan semua jenis fitoplankton tergantung pada konsentrasi ortofosfat, bila konsentrasi ortofosfat di bawah 0,3 µM perkembangan sel menjadi terhambat. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan Dari hasil Penelitian dapat disimpulkan bahwa parameter kimia diperoleh nilai konsentrasi nitrat antara 3,71-6,94 µM, Ortofosfat sebesar 15,58-28,32µM, Ammonium berkisar 72,78-148,89µM, pH perairan berkisar antara 7,1-7,9, Oksigen terlarut sebesar 2,1-6,9 mg/L, Salinitas sebesar 11o 13. Sedangkan parameter fisika menunjukkan nilai suhu berkisar antara 29-32 C, Kecerahan berkisar 7-45cm, TSS sebesar 2004 mg/L - 2584 mg/L pada saat setelah hujan, sedangkan pada cuaca cerah berkisar antara 20 mg/L - 252 mg/L. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan antara 8 sampai 130 kali lipat dibandingkan kondisi normal tidak ada hujan.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 34
4.2 Saran Dilakukan penelitian lanjutan tentang hubungan TSS dengan kelimpahan plankton pada saat musim hujan, sehingga akan mengetahui dampak ekologis bagi keanekaragaman hayati perairan. Daftar Pustaka [37]
[38] [39]
[40] [41]
[42]
[43]
Abida, I. W., 2008. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya dengan Intensitas Cahaya dan Ketersediaan Nutrien Pada Perairan Selat Madura Kabupaten Bangkalan. Prosiding SENTA 2008. ITS. Surabaya Blackburn dan Sorensen Jan, 1985. Nitrogen Cycling in Coastal Marine Environments. John Willey & Sons. Damar, A., 2003. Effects of Enrichment on Nutrient Dynamics, Phytoplankton Dynamics and Productivity in Indonesian Tropical Water: A Comparison Between Jakarta Bay, Lampung Bay and Semangka Bay. Ph.D Dissertation Christian Albrechts University. Kiel.Germany. Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius Yogyakarta. Goes, J.I, Kosei, S., Helga, D. R.G., Sei-Ichi, S., & Toshiro, S., 2004. A Comparison of the Seasonality and Interannual Variability of Phytoplankton Biomass and Production in the Western and Eastern Gyres of the Subartic Pacific Using Mulati Sensor Satellite Data. J. of Oceanography 60: 75-91 Lonsdale, D.J., Greenfield, D.I., Hillebrand, E.M., Nuzzi R., & Taylor, G.T., 2006. Contrasting microplanktonic composition and food web structure in two coastal embayments (Long Island NY. USA). J.of Plankton Res. 28 : 907-918 Millero, F. J. & Sohn, M. L., 1991. Chemical Oceanography. CRC Pres, Boca Raton Ann Arbor London.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 35
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 36