HIBAH TERHADAP ANAK
Antara Pemerataan dan Keadilan
Oleh: fAJAR IMAMUDllN NIM: 1964312814
Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum fakultas Syari'ah UIN Syarff llidayatullah Jakarta 2002 M/142311
HIBAH TERHADAP ANAK
Antara Pemerataan dan KeadUan Shripsi. Diajuhan Kepada fahultas Syari'ah untuh Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Hullum Islam (SHI)
Oleh: fAJAR IMAMUDIN NIM: 1964312814
Di Bawah Bimbingan
Pembimbinl! II /
Drs. H. Minh jul Falah. M. A\l. NIP: 150031216
Jurusan Perbandingan Mazhab dan Dullum fakttltas Syari'ah UIN Syarif lllidayatullah Jaharta 2002 M/142311
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi
yang
berjudul
H!BAH
TERHADAP
ANAK
ANTARA
PEMERATAAN DAN KEADilAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Syari'ah UlN SyarifHidayatullah Jakarta, pada tanggal 06 Juli 2002. skripsi · ini tclah ditcrima scbagai salah satu syarat lmtuk mcmperolch gclar Sa~jana Program
Strata l (SI) pada Jurusan Perbadingan Mazhab dan Hukum. Jakarta, 06 Juli 2002 Mengesahkan
:r;a:;__ Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA. NIP : 150050917
Panitia Sidang Mnnaqasyah
fo{Lp__
Sekretaris
Prof. Dr. I-1. Hasanuddin AF MA. NIP: 150050917
l'embimbing !l
KATA PENGAN'fAR Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Illahi Rabbi atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap dilimpahkan pada Nabi Muhammad saw. yang telah memberikan obor kehidupan kepada umat manusia di seluruh dunia. Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini banyak mengalami hambatan dan rintangan. Namun berkat bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikannya dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: I. Bapak Prof. Dr. H. Hasanuddin AF., selaku Dekan Fakultas Syari'ah. 2. Bapak Drs. H. Minhajul Falah, M.Ag., dan Bapak Jaenal Aripin, M.Ag., selaku pembimbing skripsi. 3. Thu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo dan Bapak Jaenal Aripin. M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari'ah IAIN SyarifHidayatullah Jakarta. 4. Pimpinan berserta seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari'ah IAIN SyarifHidayatullah Jakarta. 5. Kedua orang tua tercinta, dan adik-adikku yang kucintai.
6. Saudari Aljulaila Annita yang telah banyak memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi. 7. Teman-temanku HAMPA '96 yang telah banyak memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi penulis. 8. Semua pihak yang tel ah membantu yang tidak mungkin penulis menyebutkan satu persatu. Akhirnya penulis berdo'a semoga Jasa mereka dibalas Allah dengan ganda. Penulis menyadari. isi dari skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan dari semua pihak untuk memberikan saran dan usu! demi kesempurnaan. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaai:. Amin.
2002 M Jakarta, Juni Rabiul Awai 1423 H
Penulis
DAFTARISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. . DAFTARISI ................................................................................................. . BAB I
BAB II
BAB ill
Ill
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..... ........ .... .... ... ...... .......... .... ....
I
B. Batasan dan Rumusan Masalah................... .............................
3
C. Tujuan Penelitian ........................................ .............. ........ ... ....
4
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan.................................
4
E. Sistematika Penulisan............ .. ..... ..... ... .... .... .. ... ... .... ... .. ... ... ... ..
5
PANDANGAN UMUM TENTANG IDBAH A. Pengertian Hibah......................................................................
7
B. Legalitas Hibah .... ....... ..................................................... ........
9
C. Rukun Hibah .... ....... ... .... .. ... .... ...... .... .... .... .... .. ... .... ... .. .. .... ... ... .
11
D. Syarat-syarat Hibah..................................................................
12
HAL-HAL YANG BERKENAAN Jl)ENGAN HIBAH A. Menghibahkan Semua Harta .. ..... ...... ... .... ... ... ... ... ... ... .. . .. .. ... ... .
16
B. Hi bah dalam Keadaan Sakit... .. ..... ...... ... .... ... .... .. .... .... .. ... ... ... ..
17
C. Penghibahan Barang yang Tidak I Bel um Ada........................
18
D. Rujuk dalam Hibah ... ... ..... . .... ..... ..... .... .... .... ... ... ... .... ... .. .. . .... ...
19
E. Balasan bagi Penghibah ..... .... ..... ...... ... .... .. . .. ... .... .. .... ... .. .. ..... .
21
111
BAB IV
BAB V
F. Hibah yang Tidak Boleh Ditolak .............................................
22
G. Pujian dan Do'a bagi yang Memberi Hibah.............................
24
KEADILAN DAN PEMERATAAN DALAM HIBAH
A. Aspek Keadilan ............... ,........................................................
26
B. Pen!,>uasaan Orang Tua atas Hibah untuk Anaknya .................
28
C. Pemerataan Pemberian Kepada Anak ......................................
29
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................... ........... ............. .......
40
B. Saran-saran...............................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAUULUAN A. Latar Belakang Masalah Segala sesuatu yang menurut kebiasaannya untuk mendekatkan hubungan di hati manusia, memanamkan rasa cinta di dalamnya dan menguatkan ikatan kasih sayang adalah dituntut dan amat diharapkan dalam pandangan hukum Islam. Tuntutan dan harapan mengenai ha! tersebut memang
berbeda-beda
sesuai
dengan
kehutuhan
manusia
terhadapnya. Apabila yang perlu diulurkan mereka itu merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan mereka, maka melakukan aktifitas hi bah tersebut merupakan yang mesti dilakukan oleh setiap individu seperti zakat ma! (harta) yang diwajibkan oleh Allah SWT. 1 Salah satu bentuk taqarrub kepada Allah SWT. dalam rangka mempersempit
kesenjangan
sosial
serta
menumbuhkan
rasa
kesetiakawanan dan kepedulian sosial, adalah h1bah atau pemberian. Hibah yang dalam pengertian umum shadaqah atu hadiah, dilihat dari aspek vertikal (hubungan n'lanusia dengan Tuhan) memiliki dimensi taqarrub, artinya ia dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, inilah aspek vertikal hibah.
1
Abdurrahman al-Jaziri, a/-Fiqh Ala Mazahib al-Arba ah, (Beirut: Dar al-Fikri, Maktabah at-Tijariyah, 1987), Jilid 4, h. 480
2
Disamping hibah memiliki dimensi taqarrub dan sosial yang mulia di sisi lain juga dapat menimbulkan iri dan dengki, bahkan ada pula yang menimbulkan perpecahan di antara mereka yang menerima hibah, terutama hibah dalam keluarga. Hib.ah seorang ayah dalam keluarga terhadap anaknya tidak sedikit yang menimbulkan iri hati, bahkan perpecahan keluarga. Artinya hibah yang semula memiliki tujuan mulia yaitu taqarrub dan kepedulian sosial dapat menjadi bencana dan malapetaka dalam keluarga. 2 Inilah permasalahan yang mgm penulis bahas dalam skripsi ini, suatu permasalahan yang mungkin banyak dihadapi dan dialami oleh banyak orang baik di kota atau di daerah. Sengketa yang ditimbulkan hibah boleh jadi timbul antara isteri tua dan isteri muda di mana mereka diperlakukan tidak adil oleh suami mereka, atau masalah timbul antara anak laki-laki dan anak perempuan di mana si ayah ingin memberikan hibah lebih banyak kepada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki dengan pertimbangan anak laki-laki kelak akan menerima warisan yang lebih banyak dua kali lipat dibanding anak perempuan, sehingga si ayah perlu memberikan hibah dua kali lebih banyak dibandingkan dengan anaknya yang laki-laki agar terjadi keseimbangan.
2
Huzaemah T. Y., Prob/ema/ika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), Buku 3, h. 81
3
Bo Ieh jadi karena fakior bahwa anak laki-laki diberikan pendidikan yang lebih tinggi sebagai bekal hidupnya kelak, sedangkan yang perempuan dengan pendidikan yang pas pasan karena menurut orang tua nantinya hanya menjadi pendamping suami sebagai ibu rumah tangga, atau bisa jadi karena faktor kecondongan hati, seorang ayah boleh jadi membeda-bedakan pemberian kepada anak-anaknya. Inilah pokok masalah yang ingin penulis bahas dalam skripsi ini. Dalam ha! ini terkadang kita berfikir kembali untuk memberikan hibah kepada keluarga atau khususnya kepada anak-anak.
Apakah
membeda-bedakan pemberian terhadap anak laki-laki dan perempuan ataupun menyamaratakannya sudah mencakup keadilan di dalamnya ?, pembahasan ini merupakan tema pokok dari skripsi yang akan penulis bahas. Kemudian JUga tidak ketinggalan pula keadaan-keadaan atau kondisi tertentu yang berkenaan dengan hibah, seperti halnya dengan menghibahkan semua harta yang dimiliki, hibah dalam keadaan sakit, rujuk dalam hibah, ha! ini juga yang melatar belakangi dalam pembahasan 1111.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berangkat dari berbagai macam persoalan yang ada dalam masalah hibah, maka penulis membatasi permasalahan hibah ini ditinjau dari
4
hukum Islam, bukan dari aspek ekonomi, sosial dan budaya. Yaitu penulis akan lebih menekankan masalah ini dengan hibah terhadap anak, antara pemerataan dan keadilan. Untuk memudahkan dalam penibahasan skripsi ini kiranya penulis merumuskan masalah sebagai berikut: I. Bagaimana jalan yang terbaik dalam menghibahkan harta, apakah disamaratakan ataukah dibeda-bedakan sesuai d1mgan jenis kelamin, ataukah menurut kondisinya agar tercapai keadilan ? 2. Bagaimana nilai keadilan yang terkandung dalam hibah? C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitin skripsi ini antara lain : I. Untuk mengetahui jalan yang terbaik dalam menghibahkan harta terhadap anak-anak. 2. Untuk mengetahui nilai keadilan yang terkandung dalam hibah. D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif analisis. Penulis menganalisis data secara induktif yaitu dari yang khusus menuju umum. Sedangkan data-data penelitian penulis peroleh dari buku-buku sumber baik primer maupun skunder yang ada relevannya
dengan
topik
pembahasan.
Deqgan
demikian
teknik
5
pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (/ibrm}' research).
Adapun teknik penulisan berpedoman kepa.da buku "l'edoman Sknps1,
Tesis dan Desertasi hag1 JAIN Jakarta." Dengan ketentuan
sebagaiberikut: 1. Dalam daftar kepustakaan, al-Quran ditulis pada urutan pertama lalu disusul dengan yang lain sesuai abjad. 2. Kutipan
ayat-ayat
al-Quran tidak diberi
footnote,
tetapi
hanya
diberikan nama surat dan nomor ayat diakhirnya, dan terjemah dari ayat-ayat
al-Quran
tersebut berpedoman
kepada ''Al-Quran dan
Terjemahnya" terbitan Departemen Agama RI. 3. Dalam
menterjemahkan
al-Quran,
hadis,
kutipan
dari
aslinya
menggunakan satu spasi.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan masalah, maka perm.asalahan skripsi ini dibahas dalam lima bab, sebagai berikut: BAB!.
PENDAHULUAN, dalam bab ini diuraikan tenteng
latar
belakang permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
6
BAB II
PENDANGAN UMUM TENT ANG HIBAH, dalam bab ini diuraikan tentang pengertian hibah, legalitas hibah, serta rukun dan syarat hibah.
BAB III
HAL HAL YANG BE!}KENAAN DENGAN HIBAH, dalam bab ini diuraikan tentang merighibahkan semua harta, hibah ketika dalam keadaan sakit, penghibahan barang yang tidak atau belum ada, rujuk dalam hibab, hibah yang tak boleh ditolak, balasan bagi penghibah, pujian dan do' a bagi pemberi hibah.
BAB IV
KEADILAN DAN PEMERATAAN DALAM HIBAH,dalam bab ini diuraikan tentang aspek keadilan dan pemerataan hi bah.
BAB V
PENUTUP, dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan dari rangkaian pembahasan dan sedikit saran yang penulis tujukan kepada beberapa pihak.
BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG HlBAH
A. Pengertian Hibah Kata hibah merupakan rangkaian kata dalam bahasa arab yang berasal
dari
kata
wahaba-yahabu-hibatan
berarti
memberi
atau
pemberian. 1 Dalam al-Quran terdapat kata-kata yang bermakna hibah seperti dalam firman Allah SWT.: 0
c Artinya:
"Ya Tuhanku, berilah aku dari sisili Engkau seorang anak yang baik, sesungguhnya Engkau maha mendengar do 'a". ( S. Ali Imran :38)
Dalam penggunaannya hibah merupakan bentuk pemberian suka rela kepada orang lain, baik pemberian itu berupa bidang hukum
syara'
hibah
diartikan
h~.rta
sebagai
atau bukan. Dalam
aqad
yang
pokok
persoalannya adalah pemberian harta milik seseornng kepada orang lain tatkala masih hidup tanpa adanya imbalan. 2
1
Luwis Mahluf, al-Mmyidji al-Lughah, (Beirut: Dar al-Ma,,yriq, 1973), cet.21, h.920
2
Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Jilid 3, h. 388
7
8
Wahbah Zuhaili mengartikan hibah sebagai akad yang dapat memindahkan milik sesuatu tanpa perlu menukar ganti, karena dibuat secara suka re la. 3 Mazhab Hanafi mengartikan hibah adalah memberikan suatu benda dengan tanpa menjanjikan sesuatu imbalan.4 Mazhab Maliki mengartikan hibah sebagai akad yang memberikan hak milik sesuatu zat tanpa imbalan kepada orang yang diberi 5 Mazhab Syafii memberikan pengertian hibah adalah memberikan milik secara sadar, bukan untuk menghormat, bukan karena mengharapkan pahala atau karena sesuatu hajat dengan ijab dan qabul. 6 Mazhab Hambali memberikan pengertian hibah adalah pemberian milik yang dilakukan orang dewasa terhadap sejumlah harta yang diketahui atau tidak diketahui karena sulit mengetahuinya, harta tersebut memang ada dapat diserahkan dalam kondisi tidak wajib dalam hidup ini dan tanpa imbalan7 Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat dikecualikan beberapa ha!, yaitu orang yang diperbolehkan hartanya dipergunakan oleh orang 3
Wabbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), Juz 5,
4
al-Jaziri, Op cit, h.481
5
Ibid, h.483
6
Ibid, h 484
7
Ibid, h 485
h. 1
9
lain tanpa bermaksud memiliki harta tersebut kepadanya yang disebut sebagai peminjam, artinya apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan hak pemilikan, maka ha! tersebut disebut i'arah (pinjaman). Sedangkan bila pemberian suatu barang dilakukan setelah ia meninggal dunia, disebut wasiat. Apabila pemilikan tersebut disertai dengan imbalan maka disebut sebagai jual beli. Hibah tidak menghendaki adanya imbalan, baik hibah kepada orang yang sederajat ataupun kepada yang lebih rendah atau yang lebih tinggi kedudukannya. Inilah pengertian hibah secara khusus. Adapun hibah dalam makna umum maka ia meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Ibraa, yaitu menghibahkan hutang kepada orang yang berhutang. 2. Sedekah, yaitu menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain dengan mengharapkan pahala di akhirat. 3. Hadiah, yaitu suatu pemberian kepada orang lain dengan harapan si penerima merasa terikat untuk membalasnya. B. Legalitas Hibah Allah SWT mensyariatkan hibah karena di dalamnya terkandung upaya menjinakkan hati dan memperkuat tali kasih sayang diantara manusia, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah:
10
...dt'a
,,,..)1(J,Jl./)*d,,,'
J.J--"")
J~ -~ ".&1
Artinya: "Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw. Bersabda: "Saling memberi hadiahlah kamu, maka kamu akan sa/ing mencintai ". (HR.Bukhari)
Rasulullah telah mganjurkan untuk menenma hadiah sekalipun hadiah itu sesuatu yang kurang berharga oleh sebab itu ulama berpendapat makruh hukumnya menolak hadiah dan jangan menganggap sepele atas pemberian orang lain meskipun hanya berupa kikil kambing. 9 Sabda Nabi saw:
Artinya: "Dari Anas ia berkata: telah bersabda Rasulu/lah saw: "Seandainya aku diberi hadiah sepotong kaki binatang tentu aku akan menerimanya,dan seandainya aku diundang untuk memakan sepotong kaki tentu aku akan mengabulkan undangan tersebut ".(HR.Ahmad dan Tirmidzi)
8
Abdurrahman bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Maktabah alAshriyyah, 1997), h. 776 9 10
As-Shan'ani, Subulu as-Salam, (Beirut: Daral-Fikr), Juz 3, tt., h 93
Abdurrahman Jalaluddin bin Abi (Beirut:Maktabah al·lslami, 1988), Jilid 2, h 280
Bakar
as-Suyuthi,
Jami'
as-Shaghir,
11
Di dalam al-Quran j uga Allah menganjurkan agar kita selalu tolong menolong dalam kebaikan, firman Allah: ,,,. . . . .
~
.Jt//
..- ....
I~ J t.,,___; J
Artinya: ".. tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan." (QS. al-Maidah :2) Dan dalam ayat yang lain juga Allah berfirman:
/
(\VY :oji.}I)
'."..\\
Artinya: "Dan berikanlah sebagian harta yang dicintainya kepada orang yang punya hutang, anak-anak yatim, fakir miskin dan ibn sabil "(QS. al-Baqarah : 177)
C. Rukun Hibah
Adapun rukun hibah menurut jumhur ulama itu ada empat yaitu: 11 1. Pemberi, adalah orang yang memiliki barang yang diberikan, jikalau benar ia pemilik yang sah, maka dia berhak memberi. 2. Penerima, adalah semua orang yang diberi hibah, artinya orang yang menerima pemberian tersebut.
11
Wahbah az-Zuhaili, Op cit, h. 4
12
3. Barang yang dihibahkan, adalah sesuatu zat barang yang diserahkan pernberi kepada penerima. 4. Shighat, adalah segala perkataan yang dituntut dalam ijab dan qabul berupa perkataan atau perbuatan Hibah itu sah melalui ijab dan qabul, bagaimanapun bentuk ijab clan qabul yang ditujukan oleh pemberi harta tanpa imbalan. Misalnya penghibah berkata: aku hibahkan kepadamu, aku berikan kepadamu atau
.
yang serupa dengan itu; sedang yang lain berkata "ya aku terima pemberianmu. Malik dan Syafii berpendapat bahwa qabul-lah yang dipegang dalam hibah. Sedang Hanafiyah berpendapat bahwa ijab saja sudah cukup, sedang Hambaliyah berpendapat hibah itu sah dengan menunjukkan pemberian kepadanya, karena Nabi diberi dan memberi hadiah, begitu pula yang dilakukan oleh para sahabat serta tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka mensyaratkan ijab qabul dan yang serupa dengan itu.
D. Syarat-syarat Hibah
Adapun mengenai syarat-syarat hi bah adalah sebagai berikut: 12 I. Syarat-syarat penghibah: a.
Penghibah memiliki apa yang dihibahkan.
----------~--
12
.. ------·--·-··
. ·--·-
Sayid Sabiq, Op cit, h. 389
13
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan. c.
Penghibah
itu
orang
dewasa,
sebab
anak-anak
kurang
kemampuannya. d. Penghibah tidak dipaksa, sebab hibah itu harus dilandasi dengan keridhaan dalam keabsahannya. 2. Syarat-syarat yang diberi hibah: a. Benar-benar ada
waktu diberi
hibah,
bi la
tidak
ada
atau
diperkirakan adanya misalnya berbentuk janin, maka hibahnya tidak sah. b. Apabila orang yang diberi hibah itu masih kecil atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya. 3. Syarat-syarat barang yang dihibahkan: a. Benar-benar ada atau wujud dalam kenyataanya sewaktu dilakukan hi bah. b. Hendaknya yang mempunyai nilai harga. c. Dapat
dimiliki
zatnya,
dapat
diterimakan,
yakni
apa
yang
dihibahkan itu apa yang biasanya dimiliki, diterima peredarannya, dapat dipindah tangan, maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan dilaut dan burung di udara. d. Tidak berhubungan dengan tempat milik penghibah,
seperti
menghibahkan tanaman, pohon atau bangunan tanpa tanahnya.
14
e. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, kecuali bila ditentukan.
f. Barang tersebut memang secara sah milik pemberi. Di antara syarat-syarat hibah yang terkenal adalah penerimaan (alqabdh), dalam ha! ini ulama berselisih pendapat apakah penerimaan itu menjadi syarat sahnya akad atau tidak. Imam ats-Tsauri, Syafi'i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa syarat sahnya hibah adalah penerimaan, apabila tidak diterima maka pemberi hibah tidak terikat. Imam Malik berpendapat bahwa hibah menjadi sah dengan adanya penerimaan, dan boleh dipaksa untuk menerima seperti halnya jual beli, jadi menurut Imam Malik penerimaan merupakan kelengkapan hibah bukan syarat sahnya hibah. !mama Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa hibah menjadi sah dengan terjadinya akad, sedang penerimaan tidak menjadi syarat sama sekali, baik sebagai syarat kelengkapan ataupun syarat sahnya hibah. Pendapat ini juga dikemukakan oleh golongan Zhahiri. Tetapi dari Imam Ahmad juga diriwayatkan bahwa penerimaan menjadi syarat sahnya hibah pada barang yang dapat ditakar dan ditimbang. 13 13
Ibn Rusd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), h. 347
15
Fuqaha yang tidak mensyaratkan penerimaan pada hibah berpegang dengan dipersamakannya hibah dengan jual beli. Disamping bahwa pada dasarnya untuk sahnya akad itu tidak dipersyaratkan adanya penerimaan, kecuali jika ada dalil yang mensyaratkan penerimaan Akan halnya Imam Malik menjadikan penerimaan dalam hibah sebagai syarat kelengkapan dan sebagai kewajiban bagi orang yang diberi hibah. Kemudian jika ia berlambat-lambat sehingga masa penerimaan habis, karena pemberi hibah menderita sakit atau m.engalami pailit, maka orang yang diberi hi bah ini gugur haknya. 14
14
Ibid, h. 349
BAB HI HAL HAL YANG BERKENAAN DENGAN HIBAH
A. Menghibahkan Semua Harta Dalam masalah menghibahkan semµa harta ada dua pendapat, menurut jumhur ulama orang boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain. Yang kedua pendapat Muhammad Ibn Hasan dan sebagian menghibahkan
pentahqiq~
semua
harta
Hanafi berkata bahwa tidak sah
meskipun
untuk
kebaikan,
mereka
menganggap orang yang berbuat demikian sebagai orang yang dungu dan waj ib dibatasi tindakannya. Orang yang sanggup bersabar atas kemiskman dan kekurangan harta, maka tidak ada halangan baginya untuk menyedakahkan sebagian besar hartanya atau semua hartanya, dan barang siapa menjaga dirinya dari meminta-minta kepada manusia diwaktu dia merlukan, maka tidak halal baginya untuk menyedekahkan sebagian hartanya atau semua hartanya. 1 Dalam ha! ini alangkah baiknya dalam memberikan harta kepada orang lain hendaknya tidak lebih atau tidak melampaui dari sepertiga hartanya karena menJaga diri dari meminta-minta kepada orang lain di
1
Sayid Sabiq ,Op. cit., h. 390
16
17
waktu masih memerlukan harta akan lebih mulia dari pada ia memintaminta kepada orang lain. B. Hibah Ketika dalarn Keadaan Sakit
Dalam ha! ini apabila seseorang dalam keadaan sakit yang membawa kematian memberikan hartanya kepada orang lain, maka hukum hibahnya sama dengan hukum wasiat, yaitu dianggap sah bila yang dihibahkan tidak lebih dari sepertiga hartanya. Kemudian jika orang dalam keadaan sakit memberikan hartanya kepada ahli warisnya kemudian si wahib (pemberi) ini meninggal dunia, sementara ahli waris lainnya berpendapat bahwa pemberian itu dilakukan dalam keadaan sakit yang membawa kematian, sementara yang menerima hibah beranggapan bahwa pemberian itu dilakukan ketika masil) hidup, maka orang yang menerima hibah harus mempertahankan ucapannya, jika ia tidak dapat mempertahankan ucapannya maka hibah tersebut dianggap diberikan dalam keadaan sakit. Dengan demikian berlakulah ketentuan yang ada bahwa pemberian tersebut dapat diluluskan sepanjang para ahli warisnya menyetujuinya. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa sakit yang dapat menghalangi hibah ialah sakit yang menghawatirkan. Imam Malik menambahkan keadaan-keadaan yang menghawatirkan, seperti t>erada diantara dua
18
barisan perang, menjelang persalinan bagi orang hamil, serta penumpang kapal laut yang tinggi gelombangnya. Tetapi dalam ha! ini masih terdapat perselisihan, akan halnya mengenai penyakit menalirnn, maka menurut pendapat mreka tidak menjadi penghalang hibah. Dan dalam ha! lain jika seorang yang sakit memberikan hibah kepada orang lain atau ahli warisnya, kemudian ternyata ia sembuh dari sakitnya maka hibahnya dianggap sah. 2 C. Penghibahan Barang yang Tidak/Belum Ada Dalam hal ini
tidak diperselisihkan lagi dalam Mazhab Maliki
tentang kebolehan menghibahkan barang yang tidak jelas (majhul) dan barang yang tidak (belum) ada (ma'dum), tetapi dapat dinantikan keberadaannya. Pendek kata adalah barang yang tidak sah dij ual menurut syara 'dari segi ketidakjelasannya. Sedangkan menurut Imam Syafi'i berpendapat bahwa setiap barang yang boleh dijual boleh pula dihibahkan. Dan setiap barang yang tidak boleh dijual tidak boleh dihibahkan, j uga setiap barang yang tidak sah diterima maka menurutnya tidak sah pula dihibahkan, :seperti piutang dan gadai. 3
h. 346
2
Ibid, h. 391
3
lbn Rusd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972),
19
D. Rujuk dalam Hibah
Rujuk dalam hibah atau menarik kembali pemberian, menurut jumhur ulama berpendapat bahwa rujuk di dalam hibah itu haram sekalipun rujuk itu dilakukan antara suami isteri, kecuali bila hibah itu dilakukan orang tua kepada anaknya maka rujuknya diperbolehkan. 4 Sabda Nabi saw:
,,.-·,,,.,
/
/
/
()
......
"' .\'.iii ~) .,.y1b iY' /
/
,,, .I
J>--)
/
-
/
&
.A//'/
.o..U)
• ,>
/
I•
"
/
/
....
-'...
,,.,.
~:; ....
~
'
.,,,.
/
a
• ..Ul_,_JI :JI,,,. I€.. / ,,,
•.,,... /
.
• 11
5
"
(<..>~ _r)I) 4>.-L. j!I) (£WI).;, )by.I ol)J)
M /
Artinya:
,.
/
g
/ / ,r..J-
j
...
.;,\_p -(
II
Dari Jabir radhiallahu 'anhuma dari Nabi saw. Bersabda: Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah kemudian ia mengambil kembali pemberiannya, kecuali bila hibah itu dari orang tua kepada anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk dida!amn)'a (menarik kembali pemberiannya) maka ia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu makan kenyang ia muntah, kemudian ia makan muntahannya kembali." (HR. Abi Dawud, an-Nasa 'i, lbn A1ajah, At-Tirmid:;i)
4 5
Ibid
Sulaiman bin Asy-ats as-Sajastani, Sunan Abu Dawud, (Riyadh: Maktabah Ma'arif, 1988), Jilid 3, h. 368
20
Hadis ini jelas sekali menerangkan haramnya menarik kembali hibah yang telah diberikan. Imam Malik berkata; ora.ng tua diperbolehkan rujuk dalam hibah yang diberikan kepada anaknya, kecuali bila barang yang dihibahkannya telah berubah keadaanya, maka dia tidak boleh lagi menarik kembali apa yang telah dihibahkannya. Imam Abu Hanifah berkata; orang tua tidak boleh rujuk dalam hibah yang diberikan kepada setiap orang yang mempunyai hubungan kerabat dengannya, dia hanya boleh menarik kembali pemberiannya, jika hibah yang diberikan kepada orang lain. Demikian pnla diperbolehkan menarik kembali hibah dimana penghibah menghibahkan
hartanya guna mendapatkan balasan
imbalan
sedang
atas
membalasnya.
hibahnya,
orang
yang
diberi
hibah
dan
belum
6
Sabda Nabi saw:
Artinya: "Dari Umar Jbn Kha/tab berkata; dari Na bi saw. bersabda: Barang siapa hendak memberi hadiah, maka ia /ebih berhak terhadapnya se/ama ia be/um dibalas. (HR. Tirmidzi)
260
6
Sayid Sabiq, Op. Cit., h.390
7
Imam at-Tirmidzi, Sunan at-llrmidzi, (Riyadh: Maktabah Ma'arif, 1988), jilid 3, h.
21
Ibnul
Qayyim
berpendapat
bahwa
penghibah
yang
tidak
diperbolehkan ditarik kembali adalah penghibah yang semata-mata mernberikan tanpa merninta irnbalan, dan penghibah yang diperbolehkan ditarik kembali pemberiannya adalah penghibah yang mernbrkan agar pemberiannya itu diberi imbalan dan diba!a's sedang orang diberi hadiah tidak rnembalasnya, 8 E. Balasan Bagi Penghibah Dalam rnasalah hibah atau hadiah disunatkan membalas hibah atau hadiah tersebut, sekalipun hadiah itu dari orang yang lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah, Sabda Rasulullah saw,:
;
9
(cf.l,,.. rJIJ ;:, )\;:, y.I) c,?}-"~'1)
.
..Li'-\ o\J_;) ~~
Artinya: "Dari A 'isyah dia berkata; adalah Rasuluflah saw tefah menerima hadiah dan memba!asnya, Dan lafaz Jbn Abi Syaibah; dan memba!as dengan apa yang lebih baik darinya," (HR.Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi)
8
lbnu al-Qayyim al-juz'iyyah, !'lam al-Muwaqi 'in,(Beirut: Dar al-Jail, tt), Juz 2, h,
9
Abdullah bin lsma'il al-Bukhari, Op, cit,, h, 778
163
22
Rasulullah berbuat demikian itu untuk membalas kebaikan dengan kebaikan yang semisal atau yang lebih baik lagi, sehingga tak ada seorangpun yang menghutangkan kebajikan kepada beliau. Diantara para ulama ada yang menjadikan keadaan manusia dalam ha! hadiah ke dalam tiga tingkatan: 10 1. Pemberian seseorang kepada orang lain yang lebih rendah dari
dirinya, perti kepada pembantu dan yang serupa dengan itu karena menghormati dan mengasihinya, pemberian yang demikian tidak menghendaki balasan. 2. Pemberian orang kecil kepada orang besar untuk mendapatkan kebutuhan manfaat, pemberian yang demkian wajib dibalas. 3. pemberian dengannya,
dari
seseorang
pemberian
m1
kepada
orang
mengandung
la.in makna
yang
setingkat
kecintaan
dan
pendekatan, dikatakan pula pemberian ini wajib dibalas. Ada.pun orang yang diberikan suatu pemberian dan disyaratkan membalasnya maka wajib baginya untuk membalasnya.. F. Ilibah Yang Tidak Boleh Ditolak
Dalam ha! ini ada hibah dan hadiah yang tidak boleh ditolak, Rasulullah saw bersabda:
10
Sayid Sabiq, Op. cit, h. 183
23
Artinya:
"Dari lbn Umar dia berkata; relah bersabda Rasulullah saw : tiga pemberian tidak bofeh "dito/ak, yailu bantal, minyak wangi dan susu. "(HR. Tirmidzi)
Dalam hadis yang lain juga Rasulullah bersabda:
Artinya: "Dari Abi Hurairah ia berkata; telah bersabda Rasulullah saw; barang siapa lelah diberi wewangian, maka janganlah ia menolak, karena wewangian itu enteng dibawa dan harum baunya ".(HR. Muslim) Juga dalam hadisnya yang lain Rasulullah bersabda:
Artinya: "Dari Anas bahwasanya Nabi saw tidak pernah menolak hadiah yang berupa wewangian ". (HR. Muslim)
Dari keterangan hadis di atas ada tiga macam barang yang kalau diberikan kepada seseorang tidak boleh ditolak, yaitu bantal, susu dan
11
Imam at-Tirmidzi, Op. cit. h. 261
12
Abi al-Husein Muslin bin al-Hajaj al-Qusairi, Shahih Muslim, (Cairo: Dar alHadits, 1994), Juz 6, h. 72 13
Ibid, h. 73
24
minyak wangi. Nabi juga pernah menenma pemberian dari selain orang Islam dan Rasulullah menerima pemberian tersebut. 14 G. Pujian dan Do'a bagi yang Memberi Hibah
Bagi orang yang telah memberikan. hibahnya kepada seseorang, maka Rasulullah pun menerangkan dalam hadisnya:
15
((f~ _;:)IJ ~ Jb ..ti\ o\JJ)
'II,,,,,.,,,,,.,,.,,,,
~y <...r'-'°YS'
J)j
~
...;.
/
Artinya: "Dari Jabir dari Nabi saw bersabda; barang siapa yang diberi suatu pemberian maka hendaklah ia membalasnya, bi/a tidak ada maka hendalklah ia memuji pemberiannya karena orang yang telah memuji itu adalah orang yang telah bersyukur, dan barang siapa yang telah mnyembunyikannya berarli ia telah mengkufiirinya, dan barang siapa yang menyembunyikan pemberian maka bagaikan orang yang berdusta yang mengatakan apa yang tidak ada." (/-JR. Abu Dawud dan Tinnid:::i) Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda: ...>
r
•J'q/
?
a/'/
o//
/
;_,,..;'
•'-'-',
J J .T-" ..,_JI ~ Lr" ~ J ~ /
/
.
.,,,.
./ ,..,
'6 ((f-Y _;.l I , IJ .J)
,_ l!_J I /
14
...
J
/ /
4\) I ., /
,.
~
,,,.,
9/
,,,.,,,,,.,,,,;.,,.....
J-"" "',~I r' .J ,j \j .-:..-~j 0-!,,.. I :t.,.L,, I .y "1,,,.. .,, .I
9/ .)\
/
./ ./
,,.
./
//
,,;
/
/ ...
J L...<.; ...
~I ...L.i_! Ift"'- 4\) I ~I _r- . .cl____y Li.l
Ahmad bin Ali lbn Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr, It.), Juz 5,
h. 511
" Sulaiman bin Asy-Ats as-Sajastani, Op. cit., h. 369 16
•.-'/<"''/
!mam at-Tirmidzi, Op. cit, h. 261
25
Artinya: "Dari Usamah bin Zaid berkata; Rasulullah saw bersabda; barang siapa yang mendapatkan kebajikan lalu ia mengatakan kepada orang yang membuat kebajikan itu "Jazaakallahu khaira" (semoga Allah membalasmu), maka cukup besarlah pujian itu." (HR. Tirmidzi)
Dari hadis di atas dikatakan bahwa memberikan balasan bagi pemberi suatu pemberian itu sangat dianjurkan,
tapi apabila tidak bisa
membalasnya maka cukup memuji dan mendo'akannya.
BAB IV KEADILAN DAN PEMERATAAN DALAM HIBAH A. Aspek Keadilan
Keadilan merupakan suatu tujuan dari risala.h ilahi,sesungguhnya keadilan merupakan salah satu dari nilai-niiai Islam yang tinggi. hal ini disebabkan menegakkan keadilan dan kebenaran dapat menebarkan ketentraman, meratakan keamanan, memperkuat hubungan antara individu dengan individu yang lain, menambah kesejahteraan dan meneguhkan tradisi sehingga tradisi itu tidak mengalami kerusakan atau kekacauan. Sesungguhnya
keadilan
itu
dapat
diwujudkan
dengan
menyampaikan setiap hak kepada yang berhak dan dengan melaksanakan hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah dan dengan menjauhkan diri dari hawa nafsu melalui pembagian yang adil diantara sesama manusia. 1 Sebenarnya tugas dari para rasul tidak lain dan tidak bukan untuk menjalankan dan melaksanakan urusan ini, sebagaimam firman Allah dalam al-Quran:
..
('l'O :~...\;:l\) _b.,.
Sayid Sabiq, Op. cit., h. 387
26
27
bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. al-Hadid :25)
Demikian juga dengan hibah, hibah dalam ha! ini diharapkan agar memenuhi aspek keadilan. Yaitu membagikan suatu• hibah kepada yang berhak menerimanya menurut
kebutuhan
atau
proporsinya
masrng-masing.
Hal
mi
haruslah
dimusyawarahkan dengan anggota keluarga, agar antara penerima hibah yang satu dengan yang lainnya tidak terjadi kesalahfahaman dan dapat merasakan keadilan hibah tersebut Dalam penjelasan tentang hukum
Islam dari
literatur barat
ditemukan definisi "keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya, da.ri defnisi ini lebih dekat ke pengertian syariah". 3 Hasbi a.s-Shiddiqi
memberikan definisi hukum Islam dengan
"koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat, pengertian ini lebih mendekati ke makna fikih. 4 Untuk memberikan kejelasan tentang arti hukum Islam, perlu diketahui arti dari kata hukum, sebenarnya tidak ada arti yang sempurna tentang hukum. Namun untuk mendekatkan pengertian yang mudah ---
·----~--------------
2
Fathurrahman Djamil, Fi Isa/at Hukum ]slam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet 5, h.
3
Joseph Schaht, An Jntruduction of Islamic Law, (Oxford: University Press, 1964\, h. l
11 4
Muhammad Hasbi As-Shiddiqi, Fi/sajat Hukum Js/am,{Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet.5, h. 44
28
difahami meski masih mengandung kelemahan, difinisi yang diambil oleh Muhammad Muslehuddin perlu diungkapkan, menurutnya hukum adalah sekumpulan aturan baik yang berasal dari aturan formal ataupun adat yang dikui oleh masyarakat dan bangsa. tertentu
sebagai pengikat bagi
anggotanya". 5 Bila hukum dihubungkan dengan Islam maka hukum Islam adalah seperangkat peraturan yang berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukaliaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat semua umat yang beragama Islam. 6 B. Penguasaan Orang Tua Atas HiJ>ah Untuk Anaknya
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa seorang ayah boleh menguasa1 barang yang diberikan olehnya sendiri kepada anaknya yang kecil yang berada dalam kekuasaanya juga kepada orang dewasa yang bodoh. Demikian pula ia boleh menguasai hibah yang diberikan orang lain kepada keduanya.
Dan
cukup
baginya
dalam
ha!
penguasaan
itu
untuk
mempersaksikan adanya hibah dan mengumumkan nnya. Semua ini adalah pada selain emas dan perak serta pada barang yang tidak tertentu.
5
Muslehuddin, Philosophy of Islamic Lmv and the Orientalist, (Lahore: Islamic Publication, 1980), cet 2, h. 17 6
Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumher Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, Bumi Aksara, 1992), b. 14
29
Imam Malik dan pengikutnya berpendapat tentang harus adanya penguasaan pada barang yang ditempati dan dipakai. Jika pemberian tersebut rumah yang ditempati, maka rumah tersebut harus dikosongkan, begitu pula halnya dengan pakaian. Jika pakaian tersebut dipakai sendiri oleh pemberi hibah, maka hibahnya tersebut batal. Adapun pada barangbarang lainnya mereka sependapat dengan para foqaha lainnya. Yakni bahwa dalam hal ini cukup dengan pemberitahuan dan persaksian. Mengenai emas dan perak maka pendapat yang diriwayatkan dari Imam Malik berbeda-beda. Diriwayatkan dari padanya tentang tidak bolehnyaseorang ayah menguasai hibahnya sendiri kepada anaknya yang berupa
emas
dan
perak.kecuali
jika
rn
mengerluarkannya
dari
penguasaannya kepada penguasaan orang lain. tetapi dari padanya juga diriwayatkan tentang kebolehannya, yakni jika ia menempatkan emas dan perak itu
pada
suatu
wadah (peti misalnya) dan
terkunci
serta
dipersaksikan kepada beberapa saksi. C. Pemerataan Pemberian Kepada .Anak
Pada bab ini akan diuraikan bagaimana sika.p yang harus diambil oleh orang tua jika ingin memberikan hibah kepada anak-anaknya menurut tinjauan syariat Islam tanpa mengabaikan faktor-faktor lain yang menunjang tercapainya "Maqashid Syari'ah".
30
Tidak ada perbedaan di kalangan mayoritas ulama bahwa bagi orang tua disunnatkan bersikap adil dan menyamaratakan pemberian kepada anak-anaknya, dan makruh membeda bedakannya. Akan tetapi mereka (ulama) berbeda pendapat dalam mengartikan apa yang dimaksud dengan pemerataan (taswiyah) dalam pemberian itu. Abu Ysuf dari kalangan Hanafiyah serta dari golongan Malikiyah dan Syafi'iyah ini merupakan kelompok mayoritas berpendapat bahwaorang tua disunnatkan menyamaratakan pemberian dan tidak membeda bedakan dalam pemberian kepada
anak-anak,
baik
laki-laki
maupun
perempuan.
Anak-anak
perempuan akan menerima pemberian yang sepadan dengan apa yang diberikan anak Iaki-laki. 7seperti petunjuk yang diberikan Nabi saw:
Artinya:
"Dari Ibn Abbas; dari Nabi saw bersabda; bersikaplah sr;una dalam pemberian kepada anak-anakmu, jika akan melebihkan lebihkanlah anak-anak perempuan atas laki-laki. " (HR.Baihaqi)
Dari hadis di atas tampak Nabi menceritakan bersikap adil dalam pemberian kepada anak-anak, dan kalau akan bersikap melebihkan maka kita diperintahkan untuk melebihkan pemberian kepada anak-anak 7
Sayid Sabiq, Op. cit., h. 388
8
Abu Bakar bin Jisain al-Baihaqi, S1ma11 al-Baihaqi, (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
lt.),h. 140
31
perempuan. Sikap adil dalam pmberian dan dalam muamalat memang merupakan hal yang dituntut agama. Hanya saja mayoritas ulama memandang perintah ini sebagai sunnah saja 9 Musyawarah merupakan peintah Tuhan yang langsung kepada Nabi saw sebagai teladan untuk umat. Musyawarah adalah suatu proses pengambilan keputusan dalam masyarakat yang menyangkut kepentingan bersama. Sedangkan mufakat adalah terjadinya persetujuan atas suatu keputusan
yang
diambil
melalui
musyawarah.
Musyawarah
JUga
merupakan gambaran tentangbagaimana kaum beriman menyelesaikan urusan sosiat mereka. 10 Sementara itu menurut Hanabilah dan Imam Muhammad dari kelompok Hanafiyah, seorang ayah harus memberikan bagian yang sama dalam pemberiannya seperti pembagian yang ditetapkan Allah SWT dalam warisan. Seorang laki-laki mesti memperoleh dua bagian dari seorang perempuan. Mereka dengan memandang bahwa pemberian ketika masih hidup harus disamakan dan diqiyaskan dengan pemberian ketika sudah meninggal. Imam Ahmad sendiri mengharamkan pelebihan diantara anak bila tidak ada ha! yang mendorong ke arah itu. Apabila ada yang mendorong atau menghendaki pelebihan diantara anak-anak maka tidak ada halangan 9
Wahbah aj-Zuhaili, Op. cit., h. 34
10
Nurcholis Majid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet.2, h. 8
32
untuk melebihkannya. Misalnya anak itu sangat membutuhkan, cacat, buta, banyak keluarga, sibuk dengan ilmu atau kelebihan-kelebihan lain · II yang serupa dengan 1tu.
Sayid Sabiq lebih tegas lagi menyatakan bahwa tidak dihalalkan bagi seseorang melebihkan pemberian antar a'nak-anaknya, karena ha! itu mengandung
usaha
menaburkan
benih
permusuhan
JUga
dapat
memutuskan hubungan silaturrahmi yang justru dilarang oleh Allah. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Imam Ahmad, Ishaq, at-Tsauri, Thawus, dan sebagian Malikiyah. Menurut mereka melebihkan diantara anak-anak
dalam
pemberian
merupakan
tindakan
yang
batil
dan
menyimpang, oleh karena itu wajib bagi pelakunya untuk membatalkan perbuatannya dan menarik pemberian tersebut. 12 Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari lbn Abbas dari Nabi saw:
..> •
~
./..,.
//.,,
/
~
..,.
/
.
1--L> I '),-..,,,,,_,....•
, •. L;, .;I
Artinya: "Dari /bn Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
Persamakanlah
diantara
anak-anakmu
didalam
pemberian,
" Ibnu Qudamah, Al-Muglmy, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadis, It.), Juz. 4, h.
456 12
Sayd Sabiq, Op. cit., h. 389
13
Abu Bakar Ibn Jisain a!Baihaqi, Op. cit., h. 242
33
seandainya aku hendak melebihkan seseorang, tentulah aku me!ebihkan anak-anak perempuan." (HR. Thabrani, Baihaqi)
Ada hadis lain menyatakan : /
l' •
.,.,1
'-:
/
jl,.,...J\
v·
/
•
/
'-'
,.
~
,. ~\ ,.
·,.>-
. ·,.Y
'-' /
///,p/r1
Jw ,1/1
//
/\
_,,._.,
J.v
..:Jj\ Ju ..:.\J~ /
.,,.
/
Ju ,...
/
0
/
,/
/
/
.. ,.Jf
/
• ,I" {
..:JJ~ ,.
4.l
/
./
/~
o-'
•/
11<"'/
.!J~I ,. 01 ~L' ,. •
/
9/ .. "':.
~0w.:J1 ~1 L. ~ ~1
1
Ju .'-f_;:);- 1h
~ /.
~\
14
Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwiny, Suna11 lb1111 Majjah, (Riyadh: Maktabah Ma'arif, 1988), Juz. 3, h. 368
34
Artinya: "Dari Sya 'bi dari Nu 'man bin Basyir ia mengatakan: Ayahku telah memberikan suatu pemberian kepadaku "-menurut Ismail bin Salim yang diberikan adalah seorang hamba- selanjutnya ia (Nu 'man) berkata lagi: kemudian ihuku Amrah binti Rawahah, berkata kepada ayahku: Datang/ah menghadap Rasulullah dan mintalah beliau menyaksikannya, maka ayahku datang kepada Rasulullah dan iapun berkata: Ya Rasulullah aku telah memberikan sesuatu kepada anakku Nu 'man, sementara isteriku Amrah meminta agar paduka mempersaksikan pemberian tersebut. Rasulu/lah balik bertanya; Apakah engkau mempunyai anak selain Nu 'man?" Ayahku menjawab: "Ya". Rasululah kemudian bertanya lagi: "Apakah kepada yang lain engkau berikan juga seperti yang engkau berikan kepada Nu 'man?" Ayahku menjawab: "Tidak ". Menurut sebagian ahli hadis Rasulullah kemudian berkata: "Jni adalah ketidakadilan Oaur) ". Menurut yang lain Rasu/ul/ah berkata: "Jni adalah pilih kusih (talj 'iah), maka persaksikanlah kepada se/ain aku! ". Menurut Mughirah Nabi mengatakan: "Tidakkah engkau ingin seandainya mereka (anak-anakmu) berbuat baik dan kasih sayang yang sama? ". Maka ayahku menjawab: "!ya". Menurut mujahid Nabi kemudian berkata: "bahwasanya engkau berkewajiban untuk bersikap adil kepada mereka seperti halnya mereka berkewajiban berbuat baik kepadamu". (HR. Baihaqi, Nasa'i, Jbn Nfajjah~
Hadis ini berarti menjelaskan tentang penncian keadilan yang diperintahkan Allah di dalam kitab-Nya, yang dengannya langit dan bumi dapat tegak berdiri dan atasnya syari'at menetapkan hukum-hukum-Nya, maka keadilan itulah yang sesuai dengan al-Quran ketimbang qiyas manapun dimuka bumi ini" Itulah petunjuk (dilalah) yangjelas dan kukuh. Dengan begitu tertolaklah anggapan semua fihak yang mengatakan bahwa setiap orang lebih berhak atas hartanya ketimbang anaknya atau manusia lainnya, (kullu ahadin ahaqqu bimaalihi min waladihi wannaasi ajma'in), bila seseorang lebih berhak atas hartanya , ini berarti ia boleh
35
membelanjakan hartanya sesuka hatinya termasuk memberikan kepada orang lain, pengertian ini jelas bersifat umum, sedangkan perintah keadilan bersifat khusus, jadi yang khusus mesti didahulukan dari yang um um.
15
Tapi mazhab hambali berpendapat bahwa yang sebenarnya yang
dimaksud persamaan itu adalah menjadikan l:iagian untuk seorang laki-laki sama dengan dua orang perempuan berdasarkan pembagian harta pusaka. Dalam pada itu seperti dikemukakan dimuka yaitu kelompok Hanafiyah, Asy-Syafi'i, Malik dan mayoritas ulama berpandangan bahwa mempersamakan terhadap anak-anaknya itu hukumnya sunat, sedang membeda-bedakan
makruh
hukumnya.
Mereka
menjawab
hadis
an_nu'man dengan sepuluh jawaban, semua jawaba:n itu ternyata ditol
103
mengisyaratkan
15
Ibn al-Qayyim al-Juziyyah, Op. cit., h. 168
16
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, (Beirut: Dar al-Kutub al-llmiyah, 1983), Juz. 6, h.
36
kepadanya
agar
tidak
melakukannya,
maka
rnpun
meninggalkan
rencananya demikian riwayat at-Thabari. Jawaban ini ditolak karena adanya perintah Nabi untuk menarik kembali pemberiannya, hal ini menunjukkan bahwa pemberian itu benar-benar terlaksana (tanjiz), bukan reneana belaka. Jawaban ketiga, bahwa Nu,man itu sudah besar dan ia belum melakukan timbang terima (qabadh) atas pemberian itu, demikian kata atThahawi. Jawanban ini menurutnya menyalahi kebanyakan riwayat hadis, khususunya arja 'alw yang berarti ia menarik kembacli pemberiannya, ini menunjukkan bahwa sebelumnya telah terjadi timbang terima, akan tetapi yang banyak didukung banyak riwayat adalah bahwa Nu'man masih keeil, maka ayahnyalah yang melakukan penerimaan. Jawaban
keempat,
sesungguhnya
ucapan
Nabi
Arji'hu
(kembalikanlah) adalah dalil yang sah sebab seandainya tidak sah maka rujuknya pun tidak sah pula, Nabi menyuruh menarik kembal bukan berarti karena hibah itu tidak sah , tapi memang seorang ayah berhak menarik kembali pemberian atas anaknya, sekalipun yang lebih utama orang tua tidak boleh berbuat yang demikian, namun disunatkan mempersamakan diantara anak-anaknya. Oleh karena menarik kembali lebih utama (rajih) maka Nabi pun memerintahkan untuk melakukannya. Jawaban ini mengandung kelemahan, sebab yang jelas perintah tariklah
37
kembali berarii janganlah dibiarkan hibah tersebut terjadi, dan m1 tidak berarti bahwa hibah telah dianggap sah sebelumnya. Jawaban
kelima,
bahwa
ucapan
Nabi
"asyhid
'ala
hadza
ghairi"(persaksikanlah ha! ini kepada selainku), ini menunjukkan izin dari Nabi untuk melakukan persaksian kepada orang lain, Nabi menolak melakukan persaksian karena kedudukan beliau sebagai imam, seakan akan Nabi menyatakan jangan aku menyaksikan, karena imam tidak Jayak menyaksikan (bersaksi ), yang layak bagi imam adalah menghukumi, demikian riwayat at-Thahawi dan didukung oleh lbn Qashar. Jawaban ini dapat disanggah bahwa tidak mesti jika imam itu tidak layak untuk menjadi saksi, berarti ia tidak boleh menjadi saksi jika tidak ada saksisaksi Jain, izin yang diberikan Nabi itu bersifat mencerca, bukan benarbenar izin. Jawaban keenam, bahwa memperhatikan sabda Nabi "hendaklah kamu memperlakukan sama antara mereka", maka ini menunjukkan perintah yang disunahkan, menurutnya jawaban ini menarik, seandainya benar ada kata-kata Nabi seperti itu. Ini hanyalah tarnbahan atas teks hadis yang sebenamya tidak ada. Jawaban ketujuh, mereka mengatakan bahwa yang dipesan Nabi dalam hadis Nu'man adalah perintah mendekatkan bukan menyamakan (Qaribu baina awladikum, la sawwu). Sanggahannya mereka tidak dapat
38
memenuhi perintah untuk mendekatkan, sepe1ii halnya tidak dapat memenuhi perintah menyamakan. Jawaban
kedelapan,
dalam
tasybih
(perumpamaan)
antara
mempersamakan anak-anak dalam pemberian dengan perlakuan sama dalam berbuat kebaikan, ini terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa perintah tersebut adalah untuk menunjukkan kesunahan. Jawaban ini disanggah bahwa diucapkannya kata-kata al jaur (perbuatan yang curang atau tidak adil) untuk menunjuk sikap tidak menyamakan pemberian dan adanya larangan untuk membeda-bedakan, ini berarti larangan ini menunjukkan waj ib, dengan demikian maka alasan tersebut tidak pantas untuk memalingkan dari wajib ke sunat, kalaulah ucapan itu pantas tentulah perintah itu menunjukkan kepada sunat. Jawaban kesembilan, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar bahwa dia memberikan kepada A'isyah suatu pemberian tidak kepada yang lain, demikian pula apa yang diriwayatkan oleh at-Thahawi dari Umar bin Khattab, bawa dia memberikan sesuatu kepada anaknya Ashim dan tidak memberikanya kepada semua anak-anaknya, seandainya pelebihan tidak dibolehkan, tentulah perbuatan itu tidak akan terjadi dari kedua khalifah di atas. Jawaban ini disanggah bahwa dalam kisab A'isyah bahwa saudarasaudaranya semua ridha akan ha! tersebut, dan seperti itu pula dijawab daiam kisah Ashirn, yakni bahwa perbuatan kedua khalifah tersebut tidak
39
dapat menjadi hujjah khususnya bila bertentangan dengan yang marfu' (yang disandarkan kepada Nabi). Jawaban
kesepuluh,
adanya
ijma'
bahwa
seseorang
boleh
memberikan hartanya kepada orang Jain (selain kepada anaknya). Apabila seseorang diperbolehkan mengecualikan semua anaknya dari hartanya dan memberikan kepad orang lain, mak ia boleh pula mengecualikan memberikan hartanya kepada selain anaknya, dan jika ia boleh tidak memperhatikan anaknya dan memperhatikan orang lain tentunya baginya boleh
tidak
memperhatikan
sebagian
dari
anak-anaknya
dan
memperhatikan sebagian yang lain. jawaban ini Jemah karena didalamnya terdapat analogi (qiyas ), padahal nash ada. Orang-orang yang mewajibkan persamaan, berselisih pendapat mengenai cara mempersamakan. Sebagian orang-orang Maliki dan Syafi'i mengatakan bahwa yang namanya adil adalah memberikan kepada anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan seperti dalam warisan, sedang yang Jain berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara anak lakilaki dan anak perempuan, karena perintah yang je:las dari masalah ini adalah memerintahkan persamaan.
BABV PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Pada dasarnya berbuat adil dalam segala hal itu wajib hukumnya, demikian juga dalam hibah .Dalam memberikan hibah kepada ankanak sebaiknya anak laki-laki diberikan dua bagian dari pada perempuan, karena hal ini dikiaskan pada harta pusaka dalam waris. Karena pada akhirnya nanti anak laki-laki memberikan nafkah kepada
nanti berkewajiban
istri dan anak-anaknya.
Sedangkan
perempuan nantinya akan mengikuti suami. Hal ini berdasarkan pada ketentuan Allah dalam al-Qur'an tentang waris. 2. Nilai keadilan yang terkandung dalam hibah adalah memberikan bagian kepada anak laki-laki dengan dua bagian anak perempuan. Dan apabila akan melebihkan pemberian pada yang lain, maka ha! inipun harus ada faktor yang dibolehkan oleh syara' rnisalnya keadaan cacat yang menjadikan seseorang tidak dapat bekerja untuk mencari nafkah seperti lumpuh, buta, tidak mampu bekerja, sibuk mencari ilmu, sakit yang membutuhkan biaya besar dalam penyembuhan, dan lain-lain. Hal ini jika ada faktor-faktor seperti di atas, maka hibah hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan, dan jika tidak ada maka pemberian hibah sesuai dengan pembagian warisan. 40
41
B. Saran-saran I. Kepada seluruh lapisan masyarakat khususnya umat Islam diharapkan untuk dapat berlaku adil dalam segala hal. Karena keadilan yang sesuai dengan hukum Allah dan · rasu!Nya akan dapat rnenciptakan damai dan tentram. 2. Untuk orang tua yang hendak menghibahkan hartanya kepada anakanaknya, hendaklah pemberian
itu disesuaikan dengan pembagian
wansan, dan hendaklah dalam memberikan hibah itu dilandasi musyarawah dengan para anggota keluarga
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim Asqalani, Ahmad bin Ali Ibn Hajar, Fathul Bari, Beirut: Dar al-Fikri, tt., Juz 5 Baihaqi, Abu Bakar bin Jissain, Sunan al-Baihaqi, Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997 Bukhari, Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Beirut: Maktabah alAshriyyah, 1997 Djamil, Fathurrahman, DR., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997 Hasbi, Muhammad, as-Shiddiqi, Filsafat Hkum Jslam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet. Ke-5 Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh 'alaMazahibi al-Arba'ah, Beirut: Dar al-Fikri, 1987 Juziyyah, Ibn al-Qayyim, !'lam al-Muwaqi 'ian, Beirut: Dar al-Jail, tt. Mahluf, Luwis, Al-Mur!}id Ji al-Lughah wa A 'lam, Beirut: Dar al- Masyriq, 1973, Cet. Ke-21 Majid, Nurcholis, Masyarakat Religiz1s, Jakarta: Paramadina, 2000, Cet.ke-2 Muslehuddin, Philsopy of Islamic Law and The Orientalist, Lahore: Islamic Publication, 1980, Cet. Ke-2 Qazwini, Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Jbn lvfaJ1ah, Riyadh: Maktabah Ma'arif, 1988, Juz 3 Qudamah, Tun, Al- Mughyi, Riyadh: Maktabah Riyadh al-Hadits, tt., Juz. 4 Qusairi, Abi al-Husein Muslim bin al-Hajaj, Shahih Muslim, Cairo: Dar al-Hadits, 1994, Juz 6 Rusd, Ibn, Bidayah al-Mujtahidwa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikri, 1972 Sabiq, Sayid, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikri, 1981, Cet. Ke-4, Jilid 3
Sajastani, Sulaiman bin Asy-ats, Sunan Abu Dcnvud, Riyadh: Maktabah Ma'arif, 1988, Juz 3 Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, Oxford: University Press, 1964 Shan'ani, Subulu as-Salam, Beirut: Dar al-Fikri, tt., Juz 3 Suyuthi, Abdurrahman Jalaluddin bi Abi Bakar, Jami' as-.Shaghir, Beirut: Dar alFikri, 1988, Jilid 2 Syrifuddin, Amir, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama, Bumi Aksara, 1992 Syaukani, Nail al-Authar, Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1983, Jilid 6 Tahido Y., Huzaemah, Prof, DR., Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997 Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Riyadh: Maktabah Ma'arif, 1988 Zujaili, Wahbah, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikri, 1998, Juz 5