54
BAB III PEMENUHAN ASAS KEADILAN DALAM MENETAPKAN BESARNYA NPOPTKP WARIS DAN HIBAH WASIAT DAN BUKAN WARIS DAN HIBAH WASIAT
A. Keadilan Menurut Hukum. Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. Di antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.58 Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini. Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan 58
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), hal 239.
54
Universitas Sumatera Utara
55
aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan. Namun tentu tidak demikian halnya jika ingin memainkan peran menegakkan keadilan.59 Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenangwenang. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya. Teori-teori hukum alam sejak Scorates tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam mengutamakan the search for justice.60 Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum dan teori-teori sosial lainnya. Dua titik ekstrim keadilan, adalah keadilan yang dipahami sebagai sesuatu yang irasional dan pada titik lain dipahami secara rasional. Tentu saja banyak varian-varian yang berada diantara kedua titik ekstrim tersebut.61 Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan
59
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 137 60 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintas sejarah, cet VIII, (Yogyakarta, Kanisius, 1995), hal 196 61 Berbagai macam permasalahan keadilan dan kaitannya dengan hukum yang berkembang dari berbagai aliran pemikiran dapat dibaca pada buku: W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan II, (Legal Theory), diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, cetakan Kedua, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1994
Universitas Sumatera Utara
56
kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut teori keadilan Aristoteles dan teori keadilan sosial John Rawls. 1.
Teori Keadilan Aristoteles. Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam
karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.62 Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa 62
Carl Joachim Friedrich, OpCit, hlm 24
Universitas Sumatera Utara
57
imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan pembuktian matematis jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya yakni nilainya bagi masyarakat.63 Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan, jika suatu kejahatan telah dilakukan maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.64 Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang 63 64
Ibid, hlm 25 Ibid
Universitas Sumatera Utara
58
didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampur-adukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.65 2.
Keadilan Sosial Menurut John Rawls. John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan
sosial sebagai the difference principledan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosial-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan
dalam
prospek
seorang
untuk
mendapatkan
unsur
pokok
kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. 65
Carl Joachim Friedrich, op.cit, hlm 26
Universitas Sumatera Utara
59
Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
Universitas Sumatera Utara
60
keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.66 Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan yang dialami kaum lemah. B. Keadilan Dalam Perpajakan. Keadilan merupakan asas yang menjadi substansi utama dalam pemungutan pajak di samping anasir hukum itu sendiri. Sebagai dasar berpijak, sudah seharusnya asas (keadilan) tersebut dipegang teguh agar tercapainya sistem perpajakan yang baik.67 Akan tetapi prinsip keadilan adalah sesuatu yang sangat abstrak dan subjektif. Meskipun demikian di dalam hukum pajak, keadilan dikemukakan sebagai berikut :68 “Asas keadilan mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk
66
John Rawls, A Theory of Justice, London, Oxford University Press, 1973, terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006 67 Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan, OpCit, hlm 119 68 Ibid, hlm 121
Universitas Sumatera Utara
61
membayar pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara”. Adolf Wagner mengemukakan bahwa asas keadilan adalah dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lainnya, harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).69 Lantas apakah yang menjadi parameter terakomodasinya prinsip keadilan di dalam pemungutan pajak? Menurut Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti mengatakan, akomodasi asas atau prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada saat dimulainya penyusunan undang-undang pajak.70 1.
Teori dan Asas Pemungutan Pajak. Pada pelaksanaannya, para pembuat undang-undang pajak harus selalu
memegang teguh kepada asas keadilan. Hal ini sering dipersoalkan, apakah pemungutan pajak oleh suatu negara berdasarkan pula kepada asas keadilan. Dari abad ke abad selalu timbul pertanyaan, apakah dasar hukumnya maka ada kewajiban membayar pajak atau dengan kata lain atas dasar apakah maka negara seakan-akan memberi hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyatnya dengan apa yang disebut pajak. Karena itu sejak abad ke-18 timbul berbagai teori guna memberi dasar penentuan keadilan (justification) kepada negara untuk memungut pajak dari rakyatnya. Teori-teori tersebut selalu didengung-dengungkan oleh para pencipta dan para penganutnya kepada masyarakat dengan maksud agar segala peraturan yang berhubungan dengan pajak diinsyafi dan ditaati tanpa reserve. Sudah barang tentu 69
http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 3 Agustus 2015 Rochman Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, edisi revisi, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2004), hlm 12 70
Universitas Sumatera Utara
62
kesemua teori tersebut harus sesuai dengan pandangan hidup masyarakat pada jamannya sehingga masing-masing teori tersebut bersifat relative, dalam arti teori pada abad ke-17 misalnya akan menjadi usang setelah memasuki abad ke-18 baik sebagian saja atau parsial maupun secara keseluruhan. Menurut Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, pemungutan pajak menurut falsafah hukum harus dilakukan berdasarkan asas keadilan, asas yuridis, asas ekonomi, dan asas finansial. Adapun asas keadilan dijelaskan dengan beberapa teori yaitu: teori asuransi, teori kepentingan, teori gaya pikul, teori bakti, teori gaya beli, dan teori pembangunan71 Teori-teori tersebut antara lain adalah sebagai berikut :72 a.
Teori Asuransi. Menurut teori ini negara mempunyai tugas melindungi orang dan segala kepentingannya, keselamatan dan keamanan jiwa serta harta bendanya. Maka untuk perlindungan tersebut diperlukan pembayaran premi seperti asuransi, dan dalam hal ini adalah pembayaran pajak. Atau pajak dianggap sebagai premi asuransi yang harus dibayar oleh masyarakat suatu bangsa karena telah mendapat perlindungan dari negara.
b. Teori Kepentingan. Teori ini menitikberatkan kepada pembagian beban pajak yang harus dipungut dari masyarakat seluruhnya. Pembagian beban ini harus
71
Sony Devano, Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan, Konsep, Teori, dan Isu, (Jakarta : Kencana, 2006), hal. 49 72 R. Santoso Brotodihardjo, S,H, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung : PT. Eresco, 1993), hlm 30
Universitas Sumatera Utara
63
didasarkan kepada kepentingan orang masing-maisng dalam tugas-tugas pemerintah, termasuk juga perlindungan atas harta benda dan jiwa dari masing-masing orang tersebut. Orang yang banyak kepentingannya yang harus dipenuhi oleh negara harus membayar pajak lebih besar, demikian pula sebaliknya apabila kepentingan orang tersebut yang harus dipenuhi oleh negara sedikit akan membayar pajak yang lebih kecil. c.
Teori Gaya Pikul. Menurut teori ini bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada wargamya.untuk keperluan ini diperlukan biaya-biaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang menikmati jasa-jasa pemerintah tersebut. Biaya-biaya tersebut adalah dalam bentuk pajak yang harus dibayar oleh setiap orang penikmat jasa yang diberikan oleh pemerintah. Tekanan pajak harus sama atas setiap orang dalam arti bahwa pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang dan ukuran gaya pikul adalah selain besarnya penghasilan dan kekayaan juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang.
d. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti. Berlawanan dengan ketiga teori diatas, teori ini tidak mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan warganya. Teori ini berdasarkan atas paham bahwa karena sifat negara maka timbullah hak-hak mutlak untuk memungut pajak (asas Organische Staatsleer). Hak semacam ini telah
diakui
semenjak
beberapa
abad
dan
orang-orang
selalu
Universitas Sumatera Utara
64
menginsyafnya sebagai kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya terhadap negara dalam bentuk pembayaran pajak. e.
Teori Asas Gaya Beli. Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari masing-masing rumah tangga dalam
masyarakat
untuk
rumah
tangga
negara
dan
kemudian
menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini megajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan dalam pemungutan pajak, bukan kepentingan individu bukan pula kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya. Sebagai pedoman untuk menentukan terpenuhinya prinsip keadilan dalam perundang-undangan, menurut Adam Smith harus dipenuhi 4 (empat) syarat sebagai berikut :73 a.
Equality and Equity
b. Certainty c.
Convienience Of Collection
d. Economics Of Collection Keempat pedoman ini disebut “the four canons of Adam Smith” atau sering juga disebut “the four maxim”.74 Dalam penjabaran lebih lanjut, keempat syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 73
Ibid, hlm 14
Universitas Sumatera Utara
65
a.
Equality atau kesamaan, mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.75 Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara melakukan diskriminasi di antra sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus diberlakukan pajak yang sama juga.76 Sementara itu, asas equity/kepatutan, merupakan keadilan yang bersifat khusus yang diterapkan pada suatu kasus tertentu. Keadilan mensyaratkan bahwa setiap sumbangan Wajib Pajak untuk pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta. Keadilan dalam pemungutan pajak dibedakan menjadi dua, antara lain :77 1.
Keadilan Horizontal. Keadilan Horizontal berarti beban pajak yang sama kepada Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dengan jumlah tanggungan yang sama pula tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber penghasilan.
2.
Keadilan Vertikal. Keadilan Vertikal berarti pemungutan pajak adil. Jika wajib pajak dalam kondisi ekonomi yang sama maka akan dikenakan pajak yang sama.
74
Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Edisi Revisi, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2007), hlm 43 75 Op. Cit, hlm 115 76 Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak (Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak), (Bandung : PT. Refika Aditama, 2006), hlm 11 77 Supramono dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia (Mekanisme dan Perhitungan), (Yogyakarta : CV. ANDI OFFSET, 2010), hlm 3
Universitas Sumatera Utara
66
b. Certainty atau kepastian hukum, adalah tujuan setiap undang-undang.78 UU Pajak yang baik senantiasa dapat memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak, kapan ia harus membayar, apa hak-hak dan kewajiban mereka, siapa subjek dan objek pajak dan berapa besarnya pajak. c.
Convenience of payment, maksudnya adalah pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang atau saat sedekat-dekatnya
dengan
detik
diterimanya
penghasilan
yang
bersangkutan.79 d. Economics of collection, maksudnya dalam membentuk undang-undang pajak yang baru para konseptor wajib mempertimbangkan bahwa biaya pemungutan harus relatif lebih kecil dibandingkan dengan uang pajak yang masuk.80 Akomodasi prinsip keadilan di dalam pembentukan undang-undang secara umum bukanlah monopoli ketentuan Hukum Pajak belaka, lebih dari itu, prinsip tersebut juga harus melandasi setiap perumusan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, prinsip keadilan tercermin pada asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtgelijkheidbrginsel) yang merupakan salah satu dari lima asas material yang wajib dipenuhi oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan oleh Van der Vlies. I.C van der Vliesdi mengatakan asas-asas
78
Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op. Cit. Hal.21 Wiratni Ahmadi, Op. Cit. Hal. 11 80 Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op. Cit. Hal.25 79
Universitas Sumatera Utara
67
pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas formal dan asas materil.81 Asas formal mencakup: a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling) b. Asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ); c. Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel); d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid); e. Asas konsensus (het beginsel van consensus). Sedangkan yang masuk asas materiil adalah sebagai berkut : a. Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het beginsel van duitdelijke terminologie en duitdelijke systematiek) b. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid); c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel); d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel); e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuale rechtsbedeling). Dari apa yang dikemukakan sebelumnya dapat dipahami bahwasanya parameter prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada adanya pemerataan dan perlakuan yang sama serta adanya perlindungan terhadap warga negara terhadap tindakan semena-mena penguasa dalam pemungutan pajak tersebut itu sendiri
81
Widodo Ekatjahjana, Pengujian Peraturan Perundang-undangan Menurut UUD 1945, Bandung, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, 2007, hal. 114-115.
Universitas Sumatera Utara
68
2.
Pentingnya Keadilan Dalam Pemungutan Pajak. Banyak ahli hukum yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan. Pajak harus dipungut berdasarkan undangundang, undang-undang adalah manifestasi hukum jadi harus adil, pasti, dan manfaat. Seperti pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 merupakan aturan pelaksana Undang-Undang Pajak Penghasilan, hanya saja dalam konsideransnya hanya untuk memberikan kemudahan, tetapi tidak menyebutkan untuk menciptakan keadilan sebagai tujuan setiap hukum. Pengenaan Pajak Penghasilan dengan tarif 1% dan bersifat final dapat menimbulkan ketidak adilan, tetapi karena ini sudah menjadi ketentuan maka kita harus menganggap itulah keadilan, dalam arti keadilan legalis atau keadilan yang ditetapkan dalam peraturan. Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti berpendapat bahwa setiap orang harus diperlakukan secar adil, tidak boleh dibedakan yang satu dengan yang lain, dalam keadaan yang sama. Dalam undangundang pajak, prinsip nondiskriminasi ini harus dipegang teguh. Apa yang diartikan sama, harus ditentukan dalam undang-undang dan diberikan tolak ukurnya82. Di samping pada saat penyusunan regulasinya, akomodasi asas atau prinsip keadilan juga dinilai penting pada saat pemungutan pajak itu sendiri. Menurut Santoso Brotodihardjo :83 “hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni pihak fiscus dan wajib pajak”.
82
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan I, Edisi Revisi, (Bandung : Refika Aditama, 2004), hal. 11 83 Y. Sri Pudyatmoko, Op. Cit. Hal.40
Universitas Sumatera Utara
69
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wiratni Ahmadi, menurutnya :84 “agar dapat terpenuhi asas keadilan, maka hukum pajak menempuh suatu pola pemungutan pajak yang diselenggarakan secara umum dan merata. Artinya, seluruh individuindividu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hukum pajak”. Untuk mengetahui pentingnya keadilan dalam pemungutan pajak haruslah diketahui terlebih dahulu fungsi dan tujuan hukum itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Bahwa hukum menjamin keteraturan (kepastian) dan ketertiban, bukan tujuan akhir dari hukum melainkan lebih baik disebut fungsi hukum, sedangkan tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup bermasyarakat itu, yang akhirnya bermuara pada keadilan85. Berdasarkan pendapat tersebut maka tujuan hukum positif di Indonesia adalah tujuan bansa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Menurut Sudikno Mertokusumo fungsi hukum adalah sebagai perlindungan kepentingan manusia, caranya dengan ditegakkan jika terjadi pelanggaran. Penegakan tersebut merubah norma hukum menjadi nyata. Penegakkan hukum harus
84
Wiratni Ahmadi, Op. Cit. Hal. 10 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengantar Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Cetakan Kedua, (Bandung : Alumi, 2009), hal. 52 85
Universitas Sumatera Utara
70
memperhatikan tiga unsur yaitu: Kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan86. Dalam Pasal 23A UUD NKRI 1945 (amandemen) "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang." Menurut A.M. Fatwa perubahan Pasal 23A karena sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat, pemerintah tidak boleh memaksakan berlakunya ketentuan bersifat kewajiban material yang mengikat dan membebani rakyat tanpa terlebih dahulu disetujui oleh rakyat itu sendiri melalui wakil-wakilnya di DPR. Selain ketentuan perpajakan yang diatur dengan undang-undang, rencana penerimaan perpajakan tiap tahunnya juga diatur dalam undang-undang APBN.87 Dalam Pasal 23A UUD 1945 mengamanatkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Pajak memang pelaksanaannya bisa dipaksakan, tetapi tetap harus adil, ukuran adil salah satunya dapat diukur dengan jika aturan itu diatur dengan undang-undang karena undang-undang adalah kesepakatan bersama antara rakyat selaku pemilik kedaulatan negara dengan pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan. Ahli hukum lainnya, R. Otje Salman dalam bukunya Ikhtisar Filsafat Hukum mengemukakan bahwa para pakar hukum membedakan keadilan dalam enam macam yaitu, keadilan distributif, komutatif, vindikatif, kreatif, protektif, dan legalis. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a.
Keadilan distributif, memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya, bukan persamaan melainkan kesebandingan.
86
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Cetakan Keempat, (Yogyakarta : Liberty, 2008), hal. 160. 87 A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Kompas, 2009, hal. 129
Universitas Sumatera Utara
71
b. Keadilan komutatif, memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa perseorangan. c.
Keadilan vindikatif, memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya.
d. Keadilan kreatif, memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. e.
Keadilan protektif, memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia, sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenangwenang.
f.
Keadilan legalis, keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang.
Adanya keadilan dapat ditemukan dalam konsiderans sebuah peraturan perundang-undangan. Lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan angka 19 mengatur bahwa pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
Universitas Sumatera Utara
72
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Peraturan perundang-undangan apapun baik itu pajak maupun yang lainnya harus memenuhi unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis. Muara filosofis peraturan undang-undang adalah keadilan. Tetapi para ahli hukum juga mendefinisikan keadilan legisme yaitu keadilan berdasarkan undang-undang, seperti PP 46 Tahun 2013 merupakan undang-undang organik yang merupakan amanat Undang-Undang PPh, jadi PP 46 Tahun 2013 juga memenuhi keadilan legisme. 3.
Keadilan Vertikal, Keadilan Horizontal dan Keadilan Geografis. Sejarah pemungutan pajak pada umumnya secara singkat dapat diawali pada
jaman purbakala. Pada jaman itu orang menganggap sangat bijaksana dan berbudi luhur untuk secara sukarela turut serta memelihara kelangsungan kehidupan negaranya, seperti halnyadengan pikiran rakyat dari negara Yunani purba. Pandangan seperti ini dianggap sebagai pandangan yang baik sampai pada abad pertengahan yaitu antara tahun 476 Masehi, tahun jatuhnya kerajaan Romawi Barat dan tahun 1492 yaitu tahun diketemukannya benua Amerika, sehingga pungutan pajak secara paksa belum dikenal. Pengeluaran-pengeluaran para raja pada waktu itu dibiayai dengan penghasilan dan kekayaan pribadi, bahkan pengeluaran-pengeluaran bagi keperluan negara pun ditutup dengan penghasilan dan kekayaan pribadi para raja.hanya dalam keadaan yang sangat mendesak sekali apabila pengeluaranpengeluaran akan melebihi pendapatan pribadi raja, baru kemudian raja menyampaikan permintaan kepada rakyat akan sumbangan berupa barang atau uang.
Universitas Sumatera Utara
73
Permintaan raja seperti itu dalam Bahasa Belanda disebut “bede”. Lambat laun sifat permintaan itu berubah menjadi suatu paksaan. Proses sifat paksaan tersebut dimulai setelah kerajaan-kerajaan memperluas wilayahnya dengan cara menundukkan suku-suku bangsa lain, karena rakyat yang berada dibawah kekuasaannya tanpa ada paksaan tidak akan memberikan sumbangan untuk memelihara berlangsungnya negara.88 Pelaksanaan pemungutan pajak pada waktu itu diserahkan kepada alat-alat bersenjata yang pada saat tertentu mendatangi pasar-pasar atau menghadang pedagang-pedagang di persimpangan jalan untuk meminta sebagian harta kekayaannya bagi keperluan pemeliharaan negara. Pemungutan pajak secara sewenang-wenang tersebut dalam jaman modern sekarang sudah tidak pada tempatnya. Jaman sekarang pelaksanaan pemungutan pajak harus didasarkan pada asas-asas dan norma-norma hukum, dan dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal seperti : 1. Keadilan, dalam arti bahwa pungutan itu harus bersifat umum, merata dan menurut kekuatan. 2. Elonomis dapat diterima, yakni pungutan itu tidak akan merusak sumbersumber kemakmuran rakyat. 3. Dapat mencapai tujuannya, dalam arti pungutan itu jangan sampai mengakibatkan adanya kemungkinan penyelundupan atau pengurangan hasil karena tarifnya terlalu tinggi. 88
H. Mustaqiem, Pajak Daerah Dalam Transisi Otonomi Daerah (Yogyakarta : FH UII PRESS, 2008), hlm 238
Universitas Sumatera Utara
74
Hukum pajak dalam kebijakan di bidang perpajakan haus mengabdi kepada keadilan. Keadilan inilah yang kita namakan asas pemungutan pajak yang termasuk dalam lapangan filsafah hukum (Rechtfilosofich) di samping asas-asas lainnya seperti yurudis, ekonomis, dan finansiil. Lepas dari kenyataan bahwa pada proses pembuatan peraturan perundang-undangan pajak harus selalu memegang teguh asas keadilan sering kali juga dipersoalkan, yaitu apakah pemungutan pajak yang dilakukan oleh suatu negara berdasarkan atas keadilan. Dari abad ke abad selalu timbul pertanyaan di dalam benak banyak orang, apakah dasar hukum kewajiban membayar pajak. Istilah lainnya adalah atas dasar apa negara seakan-akan memberi hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan sebutan pajak.89 Sesuai dengan tujuan hukum, kebanyakan sarjana menganggap bahwa tujuan hukum pajak adalah membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak. Persoalan keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya, maupun prakteknya sehari-hariinilah sendi pokok yang harus diperhatikan baik-baik oleh setiap negara dalam melancarkan usahanya melakukan pemungutan pajak. Dengan demikian, syarat mutlak bagi pembuat undang-undang pajak merupakan juga syarat mutlak bagi aparatur setiap pemerintah yang berkwajiban melaksanakan, hal tersebut merupakan pertimbangan dan perbuatan-perbuatan yang adil pula. Sebaliknya menurut sejarah, pemungutan pajak tidak selalu mengabdi kepada keadilan. Seperti pada jaman para raja, ada suatu pemungutan pajak yang tidak terbatas tetapi tetap dirasakan adil pada waktu itu, tetapi pada saat sekarang ini tidak 89
Ibid., hlm 239
Universitas Sumatera Utara
75
demikian karena pemungutan pajak didasarkan pada peraturan perundang-undangan agar dapat mencerminkan rasa keadilan. Contoh lainnya, pada jaman dahulu suatu negara yang kalah dalam peperangan harus membayar sejumlah uang atau hasil bumi setiap tahun kepada yang menaklukkannya, hal seperti ini pada waktu dahulu dianggap adil, tetapi pada negara modern waktu sekarang ini hal tersebut dinilai tidak adil. Sebaliknya prins berpendapat bahwa hukum pajak sebagai himpunan peraturanperaturan yang mengatur pemungutan pajak akan selalu mengabdi pada keadilan.90 Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia, membicarakan hubungan antar manusia sama dengan membicarakan masalah keadilan. Salah satu pengertian keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya. Keadilan ini merupakan keadilan rasional tidak memerlukan instansi yang transcendental, melainkan bertumpu pada pemahaman akal manusia terhadap dunia pengalaman. Menurut Charles Merriam E, seperti yng dikutip Satjipto Rahardjo, keadilan atau adil akan terbayang apabila di dalam perumusannya haruslah mengandung beberapa unsur : 1. A system of understanding 2. Prosedures through which each is according Selain persoalan keadilan, peraturan perundang-undangan pemungutan pajak harus memuat ketentuan yang menjelaskan bahwa pemungutan pajak itu bersifat umum dan merata.91
90 91
Ibid Ibid., hlm 241
Universitas Sumatera Utara
76
Adagium ini berasal dari paham liberalistis yng berpangkal tolak pada dictum individualism “man are created free and equal”, manusia bebas merdeka terpisah satu sama lain dan sejajar. Karena itu terhadap pemungutan pajak dinyatakan bahwa setiap orang harus membayar pajak, tidak dibedakan kelas, keturunan, keyakinan dan pembebasan pajak hanya masuk akal terhadap mereka yang justru makmur. Selain itu, unsur keadilan dalam pajak dapat ditemukan dalam cara pemungutannya, keadilan juga akan terasa apabila pajak dipergunakan untuk merealisasi tujuan negara yang berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Di Indonesia keadilan yang diikuti dalam pemungutan pajak adalah keadilan “umum dan merata”. Karena kebijakan tersebut tidak akan menimbulkan diskriminasi, baik dari aspek social ekonomi, keyakinan, maupun status kewarganegaraan. Hal tersebut terlihat dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Wajib Pajak adalah : “orang pribadi atau badan yang menurut perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotong pajak tertentu”. Ketetapan Pasal 1 ayat (1) ini dikuatkan oleh penjelasan Pasal 16 B ayat (1) yang menegaskan bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh dalam undang-undang pajak adalah diberlakukan dan diterapkan perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini
Universitas Sumatera Utara
77
bertujuan untuk mencegah timbulnya diskriminasi dalam pemungutan pajak. Keadilan dalam perpajakan memiliki tiga dimensi, antara lain : 92 1.
Keadilan Secara Vertikal, hubungan dalam pembebanan pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Secara umum pajak itu baik kalau pajak tersebut “progressief”, yaitu persentase pendapatan seseorang yang dibayarkan untuk pajak bertambah sesuai dengan tingkat pendapatannya. Pembebanan masih dapat diterima kalua dikenakan secara proporsional, yaitu kalau persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak sama untuk semua tingkatan pendapatan. Pajak tidak baik apabila pembebananya “regresif”, maksudnya adalah persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak mengalami penurunan dengan adanya kenaikan tingkat pendapatan. Meskipun pandangan tersebut diterima secara luas, tetapi terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahwa pajak itu dinilai adil kalau bebannya proporsional atas pendapatan atau kekayaan. Apabila dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan, baik penyimpangan progresif atau maupun regresif akan berakibat negative.
2.
Keadilan Secara Horizontal, hubungan pembebanan pajak dengan sumber pendapatan. Seseorang yang menerima gaji seharusnya tidak membayar pajak lebih besar dari pada seseorang dengan pendapatan yang sama dari bisnis atau pertanian. Seorang petani yang mengusahakan tanaman ekspor seharusnya tidak membayar pajak lebih besar dari pada petani dengan pendapatan yang sama di bidang tanaman pangan.
92
Ibid., hlm 242
Universitas Sumatera Utara
78
3.
Keadilan Secara Geografis, maksudnya pembebanan pajak harus adil antara penduduk di berbagai daerah. Orang seharusnya tidak dibebani pajak lebih berat hanya karena mereka tinggal di suatu daerah tertentu seperti halnya kadangkadang terjadi pada perbatasan kota. Dihubungkan dengan keadilan vertikal, horizontal dan geografis, maka
pemungutan pajak di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut :93 1.
Ditinjau Dari Aspek Keadilan Vertikal Pemungutan pajak di Indonesia menganut juga keadilan vertikal, hal ini dapat
diketahui dalam pengenaan pajak penghasilan. Subjek pajak penghasilan yang mempunyai penghasilan kena pajak akan dikenakan tarif pajak yang bersifat progressief, artinya subjek pajak yang mempunyai penghasilan kena pajak berjumlah besar akan dikenakan pajak yang besar pula, demikian juga sebaliknya. Contoh pemberlakuan keadilan vertikal, sebagai berikut : a.
Wajib Pajak bernama X masih bujangan. Dalam tahun pajak 2004 mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp. 10.000.000,- ia akan dikenakan pajak penghasilan dengan satu tarif pajak, ialah : Rp. 10.000.000,- x 5% = Rp. 500.000,-/ pajak peghasilan
b.
Wajib Pajak bernama Y, masih bujangan, selama tahun pajak 2004 mempunyai penghasilan kena pajak Rp. 30.000.000,-, selanjutnya yang bersangkutan akan dikenakan pajak dengan dua tarif pajak penghasilan yaitu 5% dan 10%. Adapun tentang proses penentuan besarnya pajak adalah sebagai berikut : Rp. 25.000.000,- x 5% 93
= Rp. 1.250.000
Ibid., hlm 244
Universitas Sumatera Utara
79
Rp. 5.000.000,- x 10%
= Rp. 500.000
Jumlah = Rp. 1.750.000,-/ pajak penghasilan Keadilan vertikal dipergunakan pula dalam pemungutan pajak daerah seperti pemungutan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Penetapan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor didasarkan atas penyerahan pertama dan penyerahan kedua. Penyerahan pertama memiliki arti bahwa kendaraan yang diserahkan masih baru, sehubungan hal tersebut Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dikenai tarif yang lebih tinggi dari pada penyerahan kedua, maupun penyerahan karena warisan kendaraan bermotor. 2.
Ditinjau Dari Aspek Keadilan Horizontal Sasaran pemungutan pajak di Indonesia khususnya Pajak Penghasilan tidak
didasarkan atas perbedaan status sosial, tetapi didasarkan pada banyak sedikitnya jumlah Penghasilan kena Pajak. Apakah wajib pajak adalah seorang pengusaha, pegawai, maupun petani tidak mempengaruhi pengenaan pajak. Bagi semua subjek pajak tersebut akan diterapkan tarif pajak yang sama dan tergantung pula dengan jumlah Penghasilan Kena Pajak. Contoh pemungutan pajak yang berpedoman pada keadilan horizontal akan diawali dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang mengatur tentang tarif pajak penghasilan. Ketentuan tarif pajak sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
80
Tabel III.1 Tarif Pajak Penghasilan Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak 5% 10% 15% 25% 35%
a. Sampai dengan Rp. 25.000.000 b. Di atas Rp. 25.000.000 s/d Rp. 50.000.000 c. Di atas Rp. 50.000.000 s.d Rp. 100.000.000 d. Di atas Rp. 100.000.000 s.d Rp. 200.000.000 e. Di atas Rp. 200.000.000 Sumber : Tarif Pajak Penghasilan
Sehubungan dengan ketentuan tarif tersebut, maka wajib pajak yang memiliki Penghasilan Kena Pajak dengan jumlah yang sama (misalnya masing-masing Rp. 25.000.000) akan dikenakan presentase tarif pajak yang sama (keadilan horizontal) yaitu masing-masing 5% x Rp. 25.000.000,- meskipun status wajib pajak berbeda (pegawai, pedagang atau petani). Tetapi bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan kena pajak lebih banyak jumlahnya dari pada wajib pajak yang lain, maka dia akan dikenakan presentase tarif pajak lebih dari satu macam (menggunakan tarif progresif atau keadilan vertikal). Keadilan horizontal berlaku pula dalam pemungutan pajak daerah, seperti pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor yang tidak didasarkan atas status wajib pajak. Hal tersebut ditegaskan dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2000, Pasal 1 ayat (10) : “Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah pajak yang dipungut atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor”. Semua pemilik kendaraan bermotor tanpa melihat statusnya (pria, wanita, usia, agama) setiap tahun akan dikenakan pajak kendaraan bermotor.
Universitas Sumatera Utara
81
3.
Dilihat Dari Aspek Keadilan Geografis Pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia tidak hanya didasarkan atas satu
tempat domisili wajib pajak tetapi didasarkan pada berbagai tempat domisili, sehingga wajib pajak yang berdomisili di perkotaan, pedesaan, pegunungan, maupun di pantai apabila memenuhi persyaratan peraturan perundng-undangan perpajakan akan dikenakan pajak. Semua wajib pajak yang berdomisili di berbagai tempat di Indonesia terebut dibelakukan satu peraturan perundang-undangan perpajakan yang sama. Berdasarkan uraian tersebut, maka aspek keadilan geografis dipergunakan juga sebagai salah satu pedoman pelaksanaan pemungutan pajak selama ini (baik pemungutan pajak pusat maupun pajak daerah). Dalam pembahasan yang sama, menurut Prof. R. Mansury, menjelaskan bahwa dalam pemungutan pajak juga harus mencakup aspek keadilan vertikal dan keadilan horizontal, dengan syarat-syarat sebagai berikut : 94 1. Syarat Keadilan Horizontal a.
Definisi penghasilan, semua tambahan kemampuan ekonomis, yaitu semua tambahan kemampuan untuk dapat menguasai barang dan jasa, dimasukkan dalam pengertian objek pajak atau definisi penghasilan.
b.
Goblality, semua tambahan kemampuan itu merupakan ukuran dari keseluruhan kemampuan membayar atau “the global ability to pay”, oleh karena itu harus dijumlahkan menjadi satu sebagai objek pajak.
94
R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, (Jakarta : PT. Bina Rena Pariwara, 1996), hlm
101
Universitas Sumatera Utara
82
c.
Nett Income, yang menjadi ability to pay adalah jumlah neto setelah dikurangi semua biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.
d.
Personal Exemption, untuk wajib pajak orang pribadi suatu pengurangan untuk memelihara diri Wajib Pajak, dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) disebut PTKP atau Penghasilan Tidak Kena Pajak.
e.
Equal Treatment For The Equals, jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi definisi penghasilan, apabila jumlahnya sama, dikenakan pajak dengan tarif pajak sama, tanpa membedakan jenis-jenis pengasilan atau sumber penghasilan.
2. Syarat Keadilan Vertikal a.
Unequal treatment for the unequals, yang membedakan besarnya tarif adalah jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis, bukan karena perbedaan sumber penghasilan atau perbedaan jenis penghasilan.
b.
Progression, apabila jumlah penghasilan seorang Wajib Pajak lebih besar, dia harus membayar pajak lebih besar dengan menerapkan tarif pajak yang prosentasenya lebih besar
Adil dalam peraturan perundang-undangan diantaranya adalah dengan mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing orang atau badan. Sedangkan adil dalam pelaksanaan adalah dengan
Universitas Sumatera Utara
83
memberi hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, banding maupun mengajukan permohonan penundaan dalam pembayaran. C. Asas-Asas Dan Landasan Dalam Peraturan Perundang-undangan. 1.
Pendapat I.C. Van Der Vlies Dan Hamid Attamimi. Pembahasan tentang asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sangat berkaitan dengan pemahaman ihwal ilmu perundang-undangan. Ilmu perundang-undangan, dalam arti sempit, adalah suatu ilmu yang bersifat normative dan yang berhubungan dengan pembentukan norma-norma dalam Peraturan Perundang-undangan.95 Profesor Maria Farida Indrati mengemukakan dua pendapat ahli yang selama ini berkecimpung dalam bidang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu pendapat I.C. Van Der VLies dan pendapat A. Hamid S. Attamimi.96 I.C. Van Der Vlies membagi asas-asas dalam pembetukan Peraturan Perundang-undangan yang patut ke dalam asas formal dan material. Asas-asas formal yang dimaksud adalah :97 a.
Asas tujuan yang jelas.
b.
Asas organ/lembaga yang tepat.
c.
Asas perlunya pengaturan.
d.
Asas dapat dilaksanakan.
e.
Asas consensus.
95
Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), hlm 34 96 Ibid 97 Ibid
Universitas Sumatera Utara
84
Sedangakan asas material yang dimaksud adalah : a.
Asas terminology dan sistematika yang benar.
b.
Asas dapat dikenali
c.
Asas perlakuan yang sama.
d.
Asas kepastian hukum.
e.
Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual. Pandangan A. Hamid S. Attamimi tentang asas-asas pembentukan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia juga bersimpul pada dua asas penting, yang relative sama dengan konsepsi Van Der Vlies, yaitu asas formal dan material. Menurutnya pembentukan suatu undang-undang harus dilandasi asas-asas formal, yaitu :98 a.
Asas tujuan yang jelas.
b.
Asas perlunya pengaturan
c.
Asas organ/lembaga yang tepat.
d.
Asas materi muatan yang tepat.
e.
Asas dapatnya dilaksanakan.
f.
Asasnya dapat dikenali. Akan halnya asas material pembentukan suatu undang-undang, Attamimi
menggarisbawahi, sepatutnya memenuhi beberapa penyesuaian, antara lain :99 a.
Asas harus sesuai dengan cita hukum dan norma fundamental negara.
b.
Asas harus sesuai dengan hukum dasar negara. 98
99
Ibid, hlm 35
Ibid
Universitas Sumatera Utara
85
c.
Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum.
d.
Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem konstitusi. Berdasarkan asas-asas formal dan material tersebut, Profesor Attamimi
membuat suatu urutan dari asas-asas yang patut bagi pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Susunan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :100 a.
Cita hukum Indonesia, yaitu Pancasila.
b.
Asas negara berdasarkan atas hukum dan asas pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi.
c.
Asas-asas lainnya, yaitu : Asas-asas negara berdasarkan atas hukum yang menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum dan Asas pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
2.
Asas-asas Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Ihwal asas-asas yang baik dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
juga diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Apabila
dicermati,
asas-asas
pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan yang di dalam undang-undang tersebut relative sama dengan asas-asas formal dan material, baik dari Van Der Vlies maupun Hamid Attamimi.101 100 101
Ibid, hlm 36 Ibid
Universitas Sumatera Utara
86
Dalam Bab II tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 dirumuskan bahwa dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus didasarkan pada asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi :102 a.
Kejelasan tujuan.
b.
Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat.
c.
Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan.
d.
Dapat dilaksanakan.
e.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan.
f.
Kejelasan rumusan.
g.
Keterbukaan. Dalam bagian penjelasan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 dijelaskan dari tiap-
tiap asas tersebut adalah sebagai berikut :103 a.
Asas “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas dan hendak dicapai.
b.
Asas “kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
102 103
Ibid Ibid, hlm 37
Universitas Sumatera Utara
87
c.
Asas “kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan.
d.
Asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e.
Asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
f.
Asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g.
Asas “keterbukaan” adalah bahwa dalam pembentukan Peraturan Perundangundangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, serta pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluasluasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Universitas Sumatera Utara
88
Dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 juga dirumuskan asas-asas yang harus tercermin dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan, yakni sebagai berikut :104 a.
Asas pengayoman.
b.
Asas kemanusiaan.
c.
Asas kebangsaan.
d.
Asas kekeluargaan.
e.
Asas kenusantaraan.
f.
Asas bhinneka tunggal ika.
g.
Asas keadilan.
h.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
i.
Asas ketertiban dan kepastian hukum.
j.
Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain asas-asas sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 6 ayat (2) UU Nomor
12 Tahun 2011 mengisyaratkan, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam bagian penjelasan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 dijelaskan maksud dari tiap-tiap asas dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan tersebut, yaitu :105
104 105
Ibid, hlm 38 Ibid
Universitas Sumatera Utara
89
a.
Asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b.
Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia, serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c.
Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundanganundangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
d.
Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundanganundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e.
Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundanganundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundangan-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f.
Asas “bhinneka tunggal ika” adalah bahwa materi muatan Peraturan Perundangan-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Universitas Sumatera Utara
90
g.
Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundanganundangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
h.
Asas “kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundangan-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status social.
i.
Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundangan-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j.
Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundangan-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Sementara itu, yang dimaksud dengan asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundangan-undangan yang bersangkutan, yaitu :106 a.
Dalam hukum pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah.
b.
Dalam hukum perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. Dalam
pembentukan
Peraturan
Perundangan-undangan
juga
harus
memperhatikan beberapa landasan, yaitu : Landasan Filosofis, Sosiologis dan 106
Ibid, hlm 40
Universitas Sumatera Utara
91
Yuridis. Landasan Filosofis adalah merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan Sosiologis adalah merupakan peetimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Landasan Yuridis adalah merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibrntuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan peraturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundangan-undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari undang-undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.107 D. Keadilan Dalam Menetapkan Besarnya NPOPTKP. Pentingnya keadilan dalam menetapakan besarnya NPOPTKP haruslah memenuhi asas keadilan yang ada, sebab dimana keadaan setiap orang berbeda-beda 107
Ibid, hlm 253
Universitas Sumatera Utara
92
mengenai status sosialnya. Menurut UU UU PDRD Pasal 85 ayat (4), (5) dan (6) besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Kemudian untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat NPOPTKP ditetapkan paling rendah Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). NPOPTKP menurut UU PDRD tersebut akan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah, seperti yang disebutkan di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 1 ayat (7) dan (8) adalah sebagai berikut : “Ayat (7) :
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Ayat (8) :
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.”
Sebagai contoh adalah Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 Kota Medan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Di dalam Perda Kota Medan, Pasal 4 ayat (7) dan (8) disebutkan besarnya NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak dan untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
Universitas Sumatera Utara
93
derajat ke bawah dengan pemberi wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00 ( tiga ratus juta rupiah). Perbedaan besarnya NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat akan mengakibatkan perbedaan beban pajak yang harus ditanggung oleh penerima waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat. Hal tersebut secara jelas akan terlihat pada ilustrasi perhitungan sebagai berikut : Hibah wasiat : Pada tahun 2014, A menerima hibah wasiat dari orang tuanya, sebidang tanah seluas 350 M, dengan harga pasar sebesar Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah). Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). NPOPTKPnya adalah sebesar Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). BPHTB terutang yang harus dibayar adalah : BPHTB
= 5% x (NJOP-NPOPTKP) = 5% x (500.000.000 - 300.000.000) = 5% x 200.000.000 = Rp. 10.000.000
BPHTB terutang yang harus dibayar A adalah sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Bukan Hibah Wasiat : Pada tahun 2014, B membeli sebidang tanah seluas 350 M, dengan harga transaksi sebesar Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah). Berdasarkan data SPPT PBB atas objek tersebut ternyata NJOPnya sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Universitas Sumatera Utara
94
NPOPTKP sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). BPHTB terutang yang harus dibayar adalah : BPHTB
= 5% x (NJOP-NPOPTKP) = 5% x (500.000.000 – 60.000.000) = 5% x 440.000.000 = 22.000.000
BPHTB terutang yang harus dibayar B adalah Rp. 22.000.000 (dua puluh dua juta rupiah). Tabel berikut ini secara lebih jelas akan memperlihatkan perbedaan besarnya BPHTB terutang antara A sebagai penerima waris dan B sebagai pembeli dalam NPOP yang sama, yaitu sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Tabel III.2 Ilustrasi Perhitungan Uraian/Deskripsi A B NPOP sebagai Rp. 500.000.000 Rp. 500.000.000 dasar pengenaan pajak NPOPTKP Rp. 300.000.000 Rp. 60.000.000 BPHTB terutang Rp. 10.000.000 Rp. 22.000.000 yang harus dibayar Sumber : Ilustrasi Perhitungan
Perbedaan -
Rp. 240.000.000 Rp. 12.000.000
Berdasarkan tabel di atas, beban BPHTB terutang yang harus dibayar si A sebagai penerima waris adalah sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), dengan si B sebagai si pembeli tanah adalah sebesar Rp. 22.000.000 (dua puluh dua juta rupiah). Sudah terpenuhinya asas keadilan dalam hal menetapkan besarnya NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat, karena pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih ada hubungan
Universitas Sumatera Utara
95
keluarga dengan pemberi hibah wasiat atau orang yang kurang mampu,108 Seperti pada contoh di atas, bahwa beban pajak si A yang menerima waris dan hibah wasiat, kemampuan membayar pajaknya (ability to pay the tax) lebih kecil dibandingkan dengan si B, oleh karena hal tersebut, maka ditetapkanlah NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat paling rendah Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). Beda halnya terhadap Wajib Pajak yang bukan menerima waris dan hibah wasiat maka ditetapkanlah NPOPTKP paling rendah Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Hal ini dikaitkan dengan landasan sosiologis dan keadilan secara vertikal, yang artinya adalah pemungutan pajak yang adil apabila Wajib Pajak dalam kondisi status ekonomi yang sama maka akan dikenakan pajak yang sama, begitu juga sebaliknya, apabila Wajib Pajak dalam kondisi ekonomi yang berbeda maka akan dikenakan pajak yang berbeda pula, seperti yang telah disebutkan oleh John Rawls dengan teori keadilannya yang menyebutkan situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah.
Aturan-aturan tersebut harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk
mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengkoreksi ketidakadilan yang dialami oleh kaum lemah.
108
Muda Markus, Perpajakan Indonesia Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm 456
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PEMENUHAN ASAS KEPASTIAN HUKUM TENTANG KETENTUAN BESARNYA BPHTB TERUTANG TERHADAP PENERIMA WARIS DAN HIBAH WASIAT
A. Asas Kepastian Dalam Hukum. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaankeadaan yang bersifat subjektif. Bahwa dalam hal penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga, bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di mata hukum”.
96
Universitas Sumatera Utara
97
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah suatu norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan peraturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.109 Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut :110 1. Asas Kepastian Hukum (rechtmatigheid), asas ini meninjau dari sudut yuridis. 2. Asas Keadilan Hukum (gerectigheid), asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. 3. Asas Kemanfaatan Hukum (zwecmatigheid atau doelmatigheid atau utility) Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum positivisme lebih menekankan kepada kepastian hukum, sedangkan kaum fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat 109
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm 158 Dwika, Keadilan Dari Dimensi Sistem Hukum, http://hukum.kompasiana.com (02/04/2011), yang diakses pada tanggal 20 Agustus 2015 110
Universitas Sumatera Utara
98
menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substansif adalah keadilan.111 Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.112 Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.113 Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir,
111
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari : Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2010), hlm 59 112 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti, 1999), hlm 23 113 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta : Penerbit Toko Gunung Agung, 2002), hlm 82
Universitas Sumatera Utara
99
tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada. B. Asas Kepastian Hukum Dalam Pemungutan Pajak. Pemungutan pajak dimanapun juga harus memenuhi asas kepastian dalam suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk memenuhi ketentuan dalam asas ini, di Negara kita dilakukan berdasarkan undang-undang, dengan demikian untuk memberikan kepastian hukum dalam pemungutan pajak di Negara kita telah dijamin dalam ketentuan konstitusional, yang dimuat dalam Pasal 23 A UUD 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Pemerintah
tidak
dibenarkan
membuat
suatu
ketentuan
untuk
mengadakan/memungut pajak dari rakyatnya dengan dengan peraturan yang lebih rendah daripada bentuk undang-undang.114 Sedangkan di Amerika Serikat berlaku suatu dalil yang mengatakan bahwa “taxtation without representation is robbery” yang maksudnya adalah “pajak tanpa 114
Rochmat Soemitro, Asas-asas Hukum Perpajakan, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departmen Kehakiman, 1991), hlm 14
Universitas Sumatera Utara
100
dasar pengaturannya dalam undang-undang adalah perampokan”. Lain lagi halnya di Inggris berlaku dalil “no taxtation without representation” yang artinya “tiada pajak tanpa undang-undang” Hukum pajak yang merupakan bagian dari hukum publik ialah keseluruhan norma yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak (fiskus) dengan rakyat sebagai pembayar pajak.115 Dengan demikian demi kepastian hukum, semua hal yang berkaitan dengan struktur inti perpajakan harus dimuat dan ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan
pengaturan
yang
bersifat
teknis
pelaksanaan,
dapat
dialihkan
wewenangnya kepada pemerintah. Wewenang menetapkan tarif suatu pajak yang pada pokoknya termasuk dalam golongan inti (utama, pada dasarnya tidak bisa dipetimbangkan untuk didelegasikan). Secara normatif, sesuai dengan hirarkinya, setiap peraturan perundangundangan harus tegas berdasar dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi tingkatnya. Tetapi, dalam prakteknya, tidak selalu suatu peraturan perundangundangan yang berada di bawah merupakan pelaksanaan langsung dari peraturan di atasnya. Badan atau Pejabat Tata Usaha dalam rangka pelaksanaan tugasnya adakalanya mengeluarkan apa yang sering disebut sebagai peraturan kebijaksanaan (beleidsregel)116, peraturan kebijaksanaan ini dikeluarkan berdasarkan freies ermessen, yang seringkali diterjemahkan sebagai suatu kewenangan ekstra bagi
115 116
Ibid Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, (Yogyakarta : Andi, 2002), hlm 51
Universitas Sumatera Utara
101
pejabat tata usaha negara dalam memberikan suatu kebijakan tertentu yang diperlukan, yang ada padanya.117 Untuk memenuhi ketentuan asas kepastian hukum dalam pemungutan pajak, kita perlu memperhatikan adanya kepastian dalam beberapa hal : 1. Harus pasti, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak. 2. Harus pasti, apa yang menjadi dasar untuk mengenakan pajak kepada subjek pajak. 3. Harus pasti, berapa jumlah yang harus dibayar berdasarkan ketentuan tarif pajak. 4. Harus pasti, bagaimana jumlah pajak yang terutang tersebut harus dibayar.118 Juga termasuk di dalamnya peraturan-peraturan yang memuat kenaikankenaikan, denda-denda dan sanksi-sanksi serta tentang cara-cara pemberian pembebasan dan pengembalian pajak, juga ketentuan-ketentuan yang memberi hak tagihan utama kepada fiskus dan sebagainya.119 Berdasarkan filosofi yang demikian itu, pemungutan pajak yang di dasarkan pada ketentuan hukum yang ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, keputusan Menteri Keuangan dan sebagainya tidak dapat dibenarkan, kecuali apabila hal tersebut memang diatur di dalam Undang-Undang itu bukan hanya karena diatur di dalam UUD 1945, tetapi lebih dari itu ada falsafah pajak yang terkandung di dalamnya.120
117
Ibid R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, (Jakarta : Ind-Hill Co., 1996), hlm 5 119 R. Santoso Brotodiharjo, Op Cit, hlm 42 120 Y. Sri Pudyatmoko, Op Cit, hlm 54 118
Universitas Sumatera Utara
102
C. Kepastian Besarnya BPHTB Terutang Terhadap Penerima Waris dan Hibah Wasiat Sebelum Dan Setelah Berlakunya UU PDRD. Sebelum berlakunya UU PDRD, didalam UU BPHTB Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tertulis tentang besarnya BPHTB terutang terhadap penerima waris dan hibah wasiat serta dengan pengurangannya. Didalam pasal 3 UU BPHTB, yang berbunyi : “Ayat 2 : objek pajak yang diperoleh karena waris hibah wasiat dan pemberian hak pengelolaan pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Didalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU BPHTB ditetapkannya NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat, yang berbunyi : 1. Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah, wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). 2. Ketentuan NPOPTKP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan
Pemerintah
yang
dimaksud
adalah
Peraturan
Pemerintah
(selanjutnya akan disebut dengan PP) Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, pasal 2 yang berbunyi : “bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang atas
Universitas Sumatera Utara
103
perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang seharusnya terutang”. Contoh perhitungannya : Pada tahun 2005, A menerima hibah wasiat dari orang tuanya, sebidang tanah seluas 350 M, dengan harga pasar sebesar Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah). Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)nya sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). NPOPTKPnya adalah sebesar Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). BPHTB terutang yang harus dibayar adalah : BPHTB
= 5% x (NJOP-NPOPTKP) = 5% x (500.000.000 - 300.000.000) = 5% x 200.000.000 = Rp. 10.000.000 = 50% x 10.000.000 = Rp. 5.000.000
BPHTB terutang yang seharusnya dibayar adalah sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah). Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, seperti yang disebut didalam Pasal 3 PP Nomor 111 Tahun 2000. Pengajuan pengurangan BPHTB ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/ PMK.03/ 2004 jo. PMK No. 104/ PMK. 03/ 2005 jo. PMK No. 91/PMK.03/2006 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang menyebutkan permohonan pengurangan BPHTB diajukan
Universitas Sumatera Utara
104
secara tertulis dengan disertai alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak saat terutang BPHTB. Namun, setelah diterbitkannya UU PDRD, maka ketentuan di dalam UU BPHTB tidak berlaku lagi, dan secara otomatis Peratutan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan yang lama tidak berlaku lagi. Di dalam UU PDRD perihal NPOPTKP yang dalam Pasal 87 ayat (5) dan ayat (6) dinyatakan bahwa: Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Selanjutnya perihal NPOPTKP berdasarkan Pasal 87 ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Berbeda dengan PP Nomor 111 Tahun 2000 terdahulu yang tersebut diatas yang memberikan keringanan dengan cukup membayar 50% (lima puluh persen) saja dari BPHTB yang terutang karena hibah dan hibah wasiat, di dalam UU PDRD Pasal 88 ayat (1) ditentukan : Tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditetapkan Paling tinggi sebesar 5 % (lima persen). Diperjelas lagi dalam Pasal 88 ayat (2) ditentukan tarif Bea Perolehan Hak Atas tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dalam hal pemberian pengurangan dalam UU PDRD diatur di dalam Pasal 107 ayat (2) dan (3), yang berbunyi : “Ayat (2) : Kepala daerah dapat :
Universitas Sumatera Utara
105
a.
Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahanya.
b.
Mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar.
c.
Mengurangkan atau membatalkan STPD.
d.
Membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tat acara yang ditentukan, dan
e.
Mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.”
Ayat (3) : Ketetuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Daerah.” Sebagai bahan perbandingan, dapat dilihat Peraturan Daerah (selanjutnya akan disebut PERDA) dari beberapa daerah. Sebagai contoh daerah Kota Jakarta dan Kota Medan. Di dalam Perda Kota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 tidak dicantumkan tentang pengurangan BPHTB. Mereka menerbitkan suatu Perda tersendiri tentang pengurangan BPHTB, yaitu Perda Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah, yang menyebutkan :
Universitas Sumatera Utara
106
“Pasal 42 : 1. Atas permohonan Wajib Pajak, Gubernur dapat memberikan pengurangan pajak setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen) dari pokok pajak. 2. permohonan pengurangan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , disampaikan secara tertulis dengan sekurang-kurangnya memuat : a. nama dan alamat Wajib Pajak; b. jenis pajak dan besar pengurangan pajak yang dimohon; c. alasan yang mendasari diajukannya permohonan pengurangan pajak. Pasal 43 : 1. Gubernur karena jabatannya dapat memberikan keringanan pajak setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen) dari dasar pengenaan pajak atau pokok pajak. 2. Pemberian keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan pertimbangan atau keadaan tertentu. Pasal 45 :
Persyaratan dan tata cara pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak, diatur dengan Peraturan Gubernur.”
Selanjutnya, diterbitkanlah Peraturan Gubernur (selanjutnya akan di sebut PERGUB) Nomor 103 Tahun 2011 Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang Pemberian Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan BPHTB, atas dasar pertimbangan :
Universitas Sumatera Utara
107
a.
Bahwa pelaksanaan pengurangan, keringanan dan pembebasan BPHTB yang sebelumnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PKM.03/2006 tanggal 13 Desember 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB yang berpedoman UndangUndang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB, dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
b.
Bahwa ketentuan mengenai pengurangan, keringanan dan pembebasan saat ini telah diatur berdasarkan ketentuan Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2010 tentang BPHTB.
c.
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Pemberian Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan BPHTB.
Di dalam Pergub Nomor 103 Tahun 2011 Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan : “ Ayat 1 : atas permohonan Wajib Pajak, Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan pengurangan BPHTB setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen) dari pokok pajak. Ayat 2 : pengurangan BPHTB 50% (lima puluh persen) untuk Wajib pajak yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah.”
Universitas Sumatera Utara
108
Pasal tersebut di atas mengatakan setiap Wajib Pajak yang menerima hibah wasiat harus mengajukan permohonan kepada Gubernur agar diberi pengurangan sebesar 50% (lima puluh persen). Namun, seiring berjalannya waktu dan pergantian Gubernur, diterbitkannya Pergub baru yaitu Pergub Nomor 112 Tahun 2011 tentang Prosedur Pengenaan BPHTB. Di dalam Pasal 5 Pergub Nomor 112 Tahun 2011, disebutkan : “Ayat 1 :
pengenaan BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang.
Ayat 2 :
penetapan saat terutang Pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris adalah sejak
tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke kanwil BPN atau kantor pertanahan. Ayat 3 :
penetapan saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.”
Dapat dilihat dari Pasal di atas, Wajib Pajak mendapatkan potongan langsung dan di dalam Pergub-nya tertulis nilai pengenaan sebesar 50% (lima puluh persen) atas objek pajak yang diterimanya melalui waris dan hibah wasiat tanpa harus mengajukan permohonan apapun lagi. Lain halnya dengan ketentuan Perda Kota Medan. Perda Nomor 1 Tahun 2011 Kota Medan tentang BPHTB, Pasal 21 tentang Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan atau Pengurangan Sanksi Administratif mengikuti UU PDRD
Universitas Sumatera Utara
109
Pasal
107
tentang
Pembetulan,
Pembatalan,
Pengurangan
Ketetapan
atau
Pengurangan Sanksi Administratif. Diperjelas lagi dengan diterbitkannya Peraturan Walikota (yang selanjutnya akan disebut PERWAL) Nomor 24 Tahun 2011 Kota Medan tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, atas dasar pertimbangan : a. Bahwa Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2011 tentang BPHTB telah ditetapkan dan diundangkan dalam Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 1 tanggal 4 Februari 2011. b. Bahwa untuk efektifitas pelaksanaan pemungutan BPHTB, perlu adanya pedoman berupa sistem dan prosedur pemungutan BPHTB. c. Bahwa untuk maksud tersebut pada huruf b, perlu membentuk Peraturan Walikota tentang Sistem dan Prosedur Hak Atas Tanah dan Bangunan. Di dalam Perwal Nomor 24 Tahun 2011 Kota Medan Pasal 12, disebutkan : “Ayat (1) :
pengurangan BPHTB khusus hibah mati dan waris diajukan oleh wajib pajak dan disampaikan kepada Kepala SKPKD melalui fungsi pelayanan untuk diteliti.
Ayat (2) :
pengurangan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ayat (3) :
tata cara pengurangan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam lampiran VII yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.”
Isi lampiran VII yang dimaksud pada Ayat (3) adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
110
“prosedur pengurangan BPHTB merupakan proses yang dilakukan fungsi pelayan dalam menetapkan persetujuan/penolakan atas pengajuan pengurangan BPHTB terutang dari wajib pajak, fungsi pelayanan kemudian menelaah dan memeriksa pengajuan pengurangan berdasarkan dokumen pendukung pengajuan dan data terkait objek. Pemberian pengurangan sendiri dilakukan berdasarkan Peraturan Kepala Daerah yang berisi tentang kriteria dan kategori pengurangan untuk daerah yang bersangkutan. Prosedur ini melibatkan fungsi pengolahan data dan informasi sebagai pihak yang memiliki dan mengelola database objek pajak di wilayah administratifnya dan di sahkan oleh Kepala Daerah ataupun Pejabat yang diberikan wewenang untuk itu.” Diberlakukannya pengurangan BPHTB dengan mengajukan Surat Keterangan (SK) Permohonan Pengurangan BPHTB di Kota Medan agar untuk menghindari penipuan pajak, seperti Wajib Pajak yang tidak ingin membayar pajak BPHTB. Kepala Dinas yang mempunyai kebijakan untuk menerima atau menolak SK Permohonan Pengurangan BPHTB yang telah diajukan oleh Wajib Pajak. Apabila SK Permohonan Pengurangan BPHTB tersebut telah diterima oleh Kepala Dinas, maka Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) Kota Medan akan mengeluarkan Nomor Pelayanan Pendaftaran Pengurangan BPHTB.121 Adapun tata cara untuk mengajukan SK Permohonan Pengurangan BPHTB harus melampirkan : Fotocopy sertifikat, KTP pemberi dan penerima hibah wasiat, Kartu Keluarga pemberi dan penerima hibah
121
Hasil wawancara dengan Staff Bidang Bagi Hasil Pajak Dispenda Kota Medan, Bapak Muhammad Akhyar Hasibuan, pada tanggal 1 Maret 2016
Universitas Sumatera Utara
111
wasiat dan Akta lahir penerima hibah wasiat. Kalau pemberi hibah wasiat masih hidup harus melampirkan akta nikah.122 Hal tersebut di atas menimbulkan ketidakpastian hukum, karena di setiap daerah berbeda-beda sistem dan prosedur pengurangan BPHTB-nya. Di Perwal Kota Medan tidak tertulis berapa jumlah pengurangan yang diberikan dan setiap wajib pajak yang mengajukan SK Permohonan Pengurangan BPHTB bisa saja ditolak permohonannya apabila data yang diberikan tidak lengkap atau tidak jelas keasliannya. Berbeda dengan Kota Jakarta yang di dalam Pergub-nya tertulis jumlah pengurangan yang diberikan dan tanpa harus mengajukan apapun, setiap wajib pajak yang menerima hibah wasiat langsung diberi pengurangan sebesar 50% (lima puluh persen). Hal tersebut juga bertolak belakang dengan makna kepastian hukum yang menyebutkan harus adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir dan tidak menimbulkan kontradiktif.
122
Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT, Bapak Winston, SH, MKn, pada tanggal 18 Februari 2016
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1.
Besarnya NPOPTKP dalam menghitung BPHTB terutang untuk waris dan hibah wasiat berbeda dengan bukan waris dan hibah wasiat. Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak dan dalam perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 300.000.000 (tiga ratus jutah rupiah). Ketentuan mengenai besarnya NPOPTKP tersebut berdasarkan Pasal 87 angka (6) harus ditetapkan dengan peraturan daerah masing-masing Kabupaten/Kota yang memungut BPHTB. Akan tetapi setiap daerah dapat berbeda-beda dalam menetapkan NPOPTKP. Tergantung dari ketentuan atau kebijakan yang ada pada masing-masing Perda tentang BPHTB di masing-masing daerah tersebut.
2.
Penetapan besarnya NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat paling rendah sebesar RP. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan untuk bukan waris dan hibah wasiat paling rendah sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) telah memenuhi prinsip keadilan vertikal dan horizontal, karena berdasarkan landasan sosiologis, kemampuan membayar pajak (ability to pay the tax) penerima waris
112
Universitas Sumatera Utara
113
dan hibah wasiat pada umumnya lebih rendah dari bukan penerima waris dan hibah wasiat. 3.
Asas kepastian hukum ketentuan tentang pengurangan dan besarnya pengurangan BPHTB terutang terhadap penerima waris dan hibah wasiat tidak terpenuhi, karena tidak dimuat secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Perda tentang BPHTB pada masing-masing
Kabupaten/Kota,
dan
peraturan
perundang-undangan
di
bawahnya.
B. Saran 1.
Hendaknya Pasal 87 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di revisi sehingga besarnya NPOPTKP diubah dari ditetapkan dengan Perda menjadi ditetapkan dengan peraturan Kepala Daerah, agar untuk mengubah besarnya NPOPTKP sesuai dengan kondisi daerah masing-masing menjadi lebih sederhana.
2.
Agar lebih terpenuhinya asas keadilan vertikal dan horizontal dalam memungut pajak, hendaknya Perda tentang BPHTB pada masing-masing Kabupaten/Kota menetapkan perbedaan besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.
3.
Untuk memenuhi prinsip kepastian hukum tentang pengurangan BPHTB bagi penerima waris dan hibah wasiat, Perda tentang BPHTB di masing-masing daerah
Kabupaten/Kota
hendaknya
mencantumkan
ketentuan
tentang
pengurangan dan besarnya pengurangan BPHTB terutang untuk waris dan hibah wasiat.
Universitas Sumatera Utara