BAB II PENGATURAN HIBAH DAN HIBAH WASIAT DALAM PEWARISAN MENURUT KUHPERDATA
A. Ketentuan Umum Pewarisan Menurut KUHPerdata 1. Pengertian Hukum Waris Definisi hukum waris atau pewarisan sangat banyak ditemui dalam buku-buku
tentang
waris,
pewarisan,
hibah,
dan
lain
sebagainya.
Keanekaragaman definisi tersebut berbeda-beda tergantung pada perspektif kalangan yang membuat definisi. Adapun beberapa definisi tentang hukum waris yang dikemukakan oleh para ahli hukum antara lain : a. Wirjono Projodikoro menggunakan istilah “warisan dan mengartikannya menjadi soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban tentang harta kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup”.50 b. Hazairin menggunakan istilah “hukum kewarisan, yang artinya peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.51 c. Soepomo menggunakan istilah “hukum waris yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang harta benda dan barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akut disebabkan oleh orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut”.52 d. Menurut H.M. Idris Ramulyo, “hukum waris ialah himpunan aturanaturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris atau badan 50
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : IS Gravennage Vorkink van Hove, 1962), hal. 8. 51 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadits, Cet. Kelima, (Jakarta : Tintamas, 1983), hal. 2. 52 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta : Universitas, 1999), hal. 72-73.
25
Universitas Sumatera Utara
26
e.
f.
g.
h.
i.
j.
hukum mana yang berhak mewaris harta peninggalan, bagaimana kedudukan masing-masing ahli waris serta berapa perolehan masingmasing secara adil dan sempurna”.53 Menurut R. Santoso Pudjosubroto, “hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajibankewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.54 Menurut R. Abdul Djamali, “hukum waris adalah ketentuan hukum yang mengatur tentang nasib kekayaan seseorang setelah meninggal dunia”.55 Menurut B. Ter Haar Bzn., “hukum waris adalah aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan perolehan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi”.56 Menurut A. Pitlo, “hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini dari orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.57 Menurut Gregor van der Burght, “hukum waris adalah himpunan aturan yang mengatur akibat-akibat hukum harta kekayaan pada kematian, peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan orang yang meninggal dunia, dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan peralihan ini bagi para penerimanya, baik dalam hubungan dan perimbangan di antara mereka satu dengan yang lain maupun dengan pihak ketiga”.58 Menurut Wahyo Darmabrata, “hukum waris adalah peraturan yang mengatur akibat hukum kematian atau meninggalnya seseorang terhadap harta kekayaan yang ditinggalkan. Dengan kata lain, hukum waris diartikan semua kaidah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Selain mengatur mengenai nasib harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris, hukum waris juga mengatur siapa di antara para anggota keluarga pewaris yang berhak untuk mewaris”.59
53
M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 28. R. Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari, (Yogyakarta : Hien Hoo Sing, 1964), hal. 8. 55 R. Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung : Mandar Madju, 2002), hal. 112. 56 K.N.G. Soebakti Poesponoto, Asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1960), hal. 197. 57 A. Pitlo, Op.cit., hal. 1. 58 Gregor van der Burght, Hukum Waris Buku Kesatu, diterjemahkan oleh F. Tengker, Cet. Kesatu, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 1. 59 Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata Asas-asas Hukum Waris, (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 3. 54
Universitas Sumatera Utara
27
Meskipun pengertian hukum waris atau pewarisan beranekaragam dan diambil dari perspektif yang berbeda-beda, namun definisi-definisi tersebut tetap memiliki kesamaan. Kesamaan ini dirangkum menjadi unsur pengertian hukum waris atau pewarisan sehingga dapat dikatakan hukum waris atau pewarisan mengandung beberapa unsur yaitu sebagai berikut : a. Adanya seorang peninggal warisan (erf later) pada saat wafat meninggalkan kekayaan. Unsur ini menimbulkan persoalan yaitu bagaimana dan sampai di mana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekayaannya yang dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan di mana si peninggal warisan berada. b. Adanya seorang atau beberapa ahli waris (erf genaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. Unsur ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di mana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan beralih kepada ahli waris. c. Adanya harta warisan (halaten schap) yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris itu. Unsur ini menimbulkan persoalan yaitu bagaimana dan sampai mana wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana si peninggal warisan dan ahli waris bersamasama berada. 60
2. Penempatan Pengaturan Hukum Waris dan Hukum Harta Kekayaan Dalam KUHPerdata Hukum waris dan hukum harta kekayaan sendiri sebenarnya merupakan bagian yang tidak terlepas dari hukum perdata.61 Sistematika hukum perdata dibagi menjadi dua macam yaitu sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan hukum (doktrin) dan sistematika hukum perdata yang terdapat dalam KUHPerdata.62
60
Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hal. 7-8. Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUHPerdata dan Perkembangannya, (Bandung : Refika Aditama, 2012), hal. 1. 62 Ibid., hal. 3. 61
Universitas Sumatera Utara
28
Sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan (doktrin) mengelompokkan seluruh ketentuan hukum perdata ke dalam empat bidang atau subsistem yaitu : a. Bidang Hukum Orang Pengelompokkan ini menunjukkan manusia sebagai subjek hukum harus mempunyai ciri khas atau identitas diri, seperti nama, domisili, kewenangan hukum, kecakapan bertindak dalam hukum, pencatatan peristiwa hukum sehubungan dengan hak perorangan. b. Bidang Hukum Keluarga Dalam bidang ini, diatur mengenai hukum perkawinan, akibat perkawinan, hubungan hukum antara suami istri serta keturunan, dan lain sebagainya. c. Bidang Hukum Harta Kekayaan Bidang ini mengatur objek dari harta kekayaan itu, hubungan manusia dengan benda yang melahirkan hak-hak kebendaan, serta hubungan hukum pribadi lainnya dengan perantaraan benda. d. Bidang Hukum Waris Hukum waris mengatur tentang bagaimana pengalihan dari harta kekayaan yang ditinggalkan tersebut, siapa yang berhak menerimanya dan bagaimana cara peralihannya. 63
Pengelompokkan hukum perdata di atas didasarkan pada siklus kehidupan manusia yang harus dilindungi. Siklus ini dimulai sejak seorang manusia dilahirkan diperlukan hukum atau norma tentang ketentuan orang sebagai subjek hukum. Manusia kemudian akan membentuk keluarga sesuai kodratnya dan tidak terlepas dari harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga diperlukan aturan/petunjuk hidup yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam membentuk keluarga dan mengatur harta kekayaannya.
Selanjutnya, ketika manusia sebagai
subjek hukum meninggal dunia yang akan menimbulkan masalah tentang
63
Ibid., hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
29
harta kekayaan yang dimilikinya atau ditinggalkannya sehingga diperlukan hukum atau norma tentang ketentuan hukum waris. Adapun sistematika hukum perdata menurut KUHPerdata juga disusun dalam empat kelompok atau pembidangan yang disebut buku dan masing-masing dibagi dalam beberapa bab, dan kemudian bab tersebut terdiri dari beberapa bagian dan bagian terdiri dari pasal, serta pasal tersebut berkemungkinan terdiri dari beberapa ayat, antara lain : a. Buku Pertama mengatur tentang Orang; b. Buku Kedua mengatur tentang Benda; c. Buku Ketiga mengatur tentang Perikatan/Perutangan; d. Buku Keempat mengatur tentang Pembuktian dan Daluarsa. 64 Jika pembagian atau sistematika dari KUHPerdata dibandingkan dengan sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan (doktrin), maka sebenarnya sistematika KUHPerdata tersebut sudah memuat pembagian hukum perdata menurut ilmu pengetahuan. Hukum tentang orang dan keluarga sama-sama diatur dalam Buku Pertama (Orang),
hukum waris,
diatur dalam Buku Kedua (Benda), dan Hukum harta kekayaan terperinci dalam Buku Kedua (Benda) dan Buku Ketiga (Perikatan).65 Pengaturan hukum waris dalam Buku Kedua KUHPerdata yakni Bab XII sampai dengan Bab XVIII dengan rincian sebagai berikut : a. Bab XII tentang pewarisan karena kematian; b. Bab XIII tentang surat wasiat;
64 65
Ibid., hal. 5. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
30
c. Bab XIV tentang pelaksana wasiat dan pengurusan harta peninggalan; d. Bab XV tentang hak memikir dan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan; e. Bab XVI tentang menerima atau menolak suatu warisan; f. Bab XVII tentang pemisahan harta peninggalan; dan g. Bab XVIII tentang harta peninggalan yang tidak terurus. 66
Penempatan hukum waris dalam Buku Kedua KUHPerdata seperti terurai di atas masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena masalah pewarisan tidak hanya mencakup hukum benda saja, melainkan juga menyangkut aspek hukum lainnya, misalnya hukum perorangan dan kekeluargaan.67 Namun menurut pembuat Undang-undang, hukum waris merupakan hak kebendaan yaitu hak kebendaan atas boedel dari orang yang meninggal dunia sehingga harus diatur dalam Buku Kedua yang mengatur tentang benda itu sendiri, dan hak-hak atas benda.68 Pendapat tersebut juga diperkuat dengan Pasal 528 KUHPerdata yang berbunyi “Atas suatu hak kebendaan, seorang dapat mempunyai, baik suatu kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai hasil, baik hak pengabdian tanah, baik hak gadai atau hipotik”69 dan Pasal 584 KUHPerdata yang berbunyi : “Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluarsa, karena pewarisan, baik menurut Undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dank arena penunjukkan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa
66
F.X. Suhardana, Hukum Perdata I Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 20. 67 Surani Ahlan Syarif, Op.cit., hal. 10. 68 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Loc.cit. 69 Pasal 528 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
31
perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”. 70
Terkait dengan penempatan hukum harta kekayaan dalam Buku Kedua (Benda) dan Buku Ketiga (Perikatan), pembuat Undang-undang berpendapat bahwa hukum benda dan hukum perikatan merupakan pembentuk dari hukum harta kekayaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukum harta kekayaan selain memuat aturan atau ketentuan tentang kebendaan, juga memuat aturan atau ketentuan tentang hubungan hukum yang bersifat kebendaan, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, dan lain sebagainya.71
3. Ruang Lingkup Harta Kekayaan Dalam Warisan Pada dasarnya, hukum waris sangat erat kaitannya dengan hukum harta kekayaan. Hal ini karena hukum waris mengatur tentang proses perpindahan harta kekayaan dari orang meninggal dunia (pewaris) kepada para ahli warisnya. Ruang lingkup harta kekayaan (vermogen) yang dapat dialihkan meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.72 Adapun hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan meskipun mempunyai nilai uang, namun tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain :
70
Pasal 548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Op.cit., hal. 6. 72 H. Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 83. 71
Universitas Sumatera Utara
32
a. Hubungan kerja atau hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan yang sifatnya sangat pribadi, mengandung prestasi yang kaitannya sangat erat dengan pewaris, misalnya pelukis yang berjanji untuk membuat lukisan potret seseorang (Pasal 1601 KUHPerdata); b. Keanggotaan dalam suatu perseroan (Pasal 1646 ayat 4 KUHPerdata), sehingga perseroan akan berakhir kalau seorang persero meninggal atau di bawah pengampuan; c. Lastgeving (Pasal 1813 KUHPerdata), pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa; d. Hak untuk menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian, berakhir dengan meninggalnya si anak (Pasal 314 KUHPerdata); e. Hak pakai hasil (vruchtgebruik) berakhir dengan meninggalnya orang yang memiliki hak tersebut (Pasal 807 KUHPerdata); dan f. Hak bunga cagak hidup (lijfrente) berakhir dengan meninggalnya orang yang memiliki hak tersebut (Pasal 1776 jo. Pasal 1779 KUHPerdata). 73
Selain dalam lapangan hukum harta kekayaan, hak dan kewajiban dalam lapangan hukum keluarga juga ada yang dapat diwariskan kepada ahli waris antara lain : a. Hak suami untuk menyangkal keabsahan anak dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya (Pasal 257 jo. Pasal 252 jo. Pasal 259 KUHPerdata); dan b. Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dilanjutkan oleh ahli warisnya, kalau tuntutan tersebut sudah diajukan oleh anak yang menuntut keabsahan, yang sementara perkaranya berlangsung telah meninggal dunia (Pasal 269 KUHPerdata, Pasal 270 KUHPerdata, dan Pasal 271 KUHPerdata). 74
Hak mengingkari keabsahan anak dan hak menuntut keabsahan anak itu tidak hilang dengan sendirinya meskipun si bapak atau si anak meninggal dunia. Artinya kedua hak tersebut dapat diwariskan oleh ahli waris baik dalam kondisi kedua hak tersebut belum digunakan maupun yang sudah
73 74
Wahyono Darmabrata, Loc.cit. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
33
digunakan namun belum selesai diputus. Terkait dengan hak mengingkari anak, adapun pembatasan waktu yang harus dipatuhi yaitu hak si bapak dari anak yang akan diingkari keabsahannya harus digunakan dalam jangka waktu satu bulan (kalau ia berada di tempat anak tersebut dilahirkan) dan 2 bulan sesudah ia kembali (kalau ia tidak berada di tempat pada waktu anak tersebut dilahirkan) atau sejak diketahui olehnya kalau kelahiran anak tersebut dirahasiakan.75
4. Syarat dan Prinsip Umum Pewarisan Sebagai salah satu cara memperoleh hak kebendaan, suatu peralihan dikatakan pewarisan apabila memenuhi syarat-syarat umum sebagai berikut: a. Pewarisan hanya terjadi karena kematian (Pasal 830 KUHPerdata), yang dimaksud kematian di sini adalah kematian alamiah dan wajar (natuurlijke dood), bukan kematian perdata (burgelijke dood) sebagaimana diatur dalam Pasal 718 Code Civil dan tidak dikenal dalam hukum positif di Indonesia. Jika seseorang disangka meninggal dunia, maka harta bendanya akan berpindah kepada orang-orang yang disangka akan menjadi ahli warisnya sepanjang pemindahan itu bersifat sementara dan dengan syarat. Oleh karena itu, jika suatu ketika orang yang disangka meninggal dunia itu masih hidup maka harta bendanya menjadi miliknya lagi dan berhak menuntutnya dari orang-orang yang diduga sebagai ahli warisnya.76 b. Ahli waris harus ada atau hidup pada waktu warisan terbuka (Pasal 836 KUHPerdata). Namun pada Pasal 2 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya”.77 Dari pasal ini, dapat disimpulkan bahwa Pasal 2 KUHPerdata adalah pengecualian dari Pasal 836 KUHPerdata. Terkait kedudukan bayi dalam kandungan, Pasal 2 ayat 2 KUHPerdata dengan jelas mengatur bahwa bayi dalam kandungan ibu dianggap sebagai subjek hukum dengan syarat telah dibenihkan, lahir 75
J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 13. R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit., hal. 4. 77 Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 76
Universitas Sumatera Utara
34
dalam keadaan hidup, dan ada kepentingan yang menghendakinya (warisan).78
Terkadang dalam hal pewarisan timbul suatu keadaan di mana tidak dapat diketahui siapakah yang mati terlebih dahulu antara pewaris dan ahli waris karena mereka meninggal dunia dalam keadaan dan waktu yang sama. Oleh karena itu, digunakan ketentuan dalam Pasal 831 KUHPerdata yang berbunyi : “Jika beberapa orang, di mana yang satu dipanggil sebagai ahli waris dari yang lain, meninggal dunia dalam kecelakaan yang sama, atau pada hari yang sama tanpa diketahui mana yang meninggal lebih dahulu, maka diadakan dugaan bahwa mereka meninggal pada saat yang sama, sehingga tidak ada peralihan harta peninggalan dari yang satu kepada yang lain”. 79
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa pewaris dan ahli waris yang samasama meninggal dunia dalam waktu dan keadaan yang sama tidak saling mewarisi satu sama lain. Jika ada bantahan bahwa pewaris dan ahli waris meninggal tidak pada saat yang sama, maka bantahan itu harus dibuktikan karena perbedaan waktu meninggal walaupun satu detik saja dianggap tidak meninggal bersama-sama.80 Dalam hukum waris, setelah seseorang meninggal dunia, maka pada saat itu juga segala hak dan kewajibannya beralih dengan sendirinya kepada para ahli warisnya. Hal tersebut secara jelas diatur dalam Pasal 833 ayat 1 KUHPerdata dan disebut dengan prinsip saisine yang berasal dari bahasa Perancis yakni le mort saisit le vif, artinya yang mati dianggap digantikan 78
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 14-15. Pasal 831 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 80 Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2014), hal. 5. 79
Universitas Sumatera Utara
35
oleh yang masih hidup.81 Hak dan kewajiban berupa keuntungan dan utang yang diperoleh secara mewaris disebut dengan titel umum (algemene titel) sehingga tidak perlu dengan penyerahan atau levering.82 Selain prinsip saisine, hukum waris juga mengenal prinsip hereditatis petitio yang artinya hak menuntut bagian dari harta warisan (Pasal 834 KUHPerdata). Dengan adanya prinsip ini, maka setiap ahli waris berhak menuntut setiap barang atau uang yang termasuk harta peninggalan untuk diserahkan kepadanya apabila harta peninggalan itu dikuasai oleh orang lain. Prinsip hereditatis petitio ini menjadi gugur karena daluarsa dengan tenggang waktu selama 30 (tiga puluh) tahun (Pasal 835 KUHPerdata).83 Hukum waris KUHPerdata menganut sistem pembagian waris berdasarkan individual. Oleh karena itu, harta warisan dibagikan berdasarkan jumlah ahli waris dengan menganut asas persamaan yang berarti bagian lakilaki dan perempuan adalah sama. Adapun prinsip pembagian warisan yakni dalam Pasal 1066 KUHPerdata yang berisi : a. Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tak terbagi; b. Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu; c. Dapat diperjanjikan bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu; dan d. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun, tetapi dapat diadakan lagi jika tenggang lima tahun itu telah lalu. 84
81
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit., hal. 6. Effendi Perangin, Op.cit., hal. 8. 83 Pasal 835 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 84 Pasal 1066 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 82
Universitas Sumatera Utara
36
Dengan pasal di atas, ketika pewaris meninggal dunia, segala harta miliknya akan langsung dibagi-bagikan kepada ahli waris. Jika hal tersebut tidak dilakukan, para ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan segera dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentangan dengan itu. Dengan kesepakatan ahli waris, dimungkinkan juga penangguhan atau penahanan pembagian harta warisan, namun penangguhan atau penahanan tersebut tidak boleh lewat dari lima tahun, kecuali dalam keadaan luar biasa.85
5. Jenis-jenis Pewarisan Berdasarkan KUHPerdata, dikenal dua macam pewarisan yaitu sebagai berikut : a. Pewarisan secara ab-intestato yakni pewarisan dilakukan menurut ketentuan Undang-undang di mana hubungan darah merupakan faktor penentu dalam hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris. b. Pewarisan secara testamentair yakni pewarisan terjadi karena ditunjuk atau ditetapkan dalam suatu surat wasiat atau testament yang ditinggalkan oleh pewaris. 86
Pewarisan secara ab-intestato sepenuhnya mengikuti ketentuan dalam KUHPerdata dan digunakan apabila pewaris tidak membuat ketentuan lain dalam surat wasiat. Lain halnya jika pewaris membuat wasiat, maka wasiat lebih diutamakan sehingga terjadilah pewarisan secara testamentair. Hal ini tercantum secara jelas pengaturannya dalam Pasal 874 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Seluruh harta kekayaan yang meninggalkan 85
N.M. Wahyu Kuncoro, Hukum Waris Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2015), hal. 32. 86 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 16-17.
Universitas Sumatera Utara
37
seseorang pada saat kematiannya, menjadi hak kepunyaan para ahli warisnya menurut Undang-undang, sepanjang mengenai hal itu tidak diadakannya suatu ketetapan yang sah dengan surat wasiat”. 87 Hal-hal yang termuat dalam surat wasiat dapat menyimpang dari ketentuan yang termuat dalam Undangundang, namun ada ahli waris tertentu yakni para ahli waris dalam garis lurus baik ke atas maupun ke bawah tidak dapat sama sekali dikecualikan. Mereka kemudian dijamin dengan adanya ketentuan Pasal 913 KUHPerdata yaitu ketentuan bagian mutlak atau legitime portie. Pewarisan secara ab-intestato sendiri terbagi menjadi dua macam yakni mewaris berdasarkan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde) dan mewaris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling). Adapun istilah lain mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) yaitu disebut juga mewaris secara langsung.88 Pewarisan yang dimaksud menganut asas individual di mana mereka yang terpanggil untuk mewaris dikarenakan kedudukan atau haknya sendiri. Dasar hukum pewarisan berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) terdapat pada Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata yang berbunyi “Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat ke satu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekadar sebagian mereka bertindak sebagai pengganti”. 89 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang mewaris dengan kedudukannya sendiri dalam susunan keluarga pewaris 87
Pasal 874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 18. 89 Pasal 852 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 88
Universitas Sumatera Utara
38
mempunyai posisi yang memberikannya hak untuk mewaris. Hak yang dimaksud bukanlah hak menggantikan hak orang lain melainkan murni haknya sendiri sehingga tiap-tiap ahli waris tersebut yang mewaris kepala demi kepala menerima bagian yang sama besarnya. Adakalanya, ahli waris yang mewaris dengan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde) berhalangan untuk mewarisi harta peninggalan pewaris, baik dikarenakan tidak patut mewaris (Pasal 838 KUHPerdata) ataupun karena keinginannya sendiri menolak warisan (Pasal 1058 KUHPerdata). Terkait dengan kondisi tidak patut mewaris (onwaardig), maka keturunan yang sah dari ahli waris yang tidak patut mewaris itu yang menerima warisan. Hal ini didasarkan pada Pasal 840 KUHPerdata yang menyatakan : “Apabila anak-anak dari seorang yang telah dinyatakan tak patut menjadi waris, atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka tidaklah mereka karena kesalahan orang tua tadi, dikecualikan dari pewarisan; namun orang tua itulah sama sekali tak berhak menuntut supaya diperbolehkan menikmati hasil barang-barang dari warisan, yang mana, menurut Undang-undang hak nikmat hasilnya diberikan orang tua atas barang-barang anaknya.” 90
Terkait dengan pasal di atas, keturunan yang sah dari ahli waris yang tidak patut mewaris ini bukanlah menggantikan kedudukan orang tuanya karena orang tuanya masih hidup, melainkan mereka mewaris berdasarkan kedudukannya sendiri dan masing-masing dari mereka mendapatkan bagian yang sama besar. Hampir sama dengan kondisi tidak patut mewaris, ahli waris yang mewaris dengan kedudukannya sendiri (iut eigen hoofde) namun menolak 90
Pasal 840 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
39
warisan, maka keturunan dari mereka yang menolak warisan yang akan mendapatkan warisan. Dasar hukumnya ada pada ketentuan Pasal 1060 KUHPerdata yang menyatakan : “Siapa yang telah menolak suatu warisan, tidak sekali-sekali dapat diwakili dengan cara pergantian; jika ia satu-satunya yang ahli waris dalam derajatnya, ataupun jika kesemua ahli waris menolak, maka sekalian anak-anak tampil ke muka atas dasar kedudukan mereka sendiri dan mewaris untuk bagian yang sama.” 91
Dengan pasal tersebut, disimpulkan bahwa keturunan yang sah dari ahli waris yang menolak warisan ini bukanlah menggantikan kedudukan orang tuanya karena orang tuanya masih hidup, melainkan mereka mewaris berdasarkan kedudukannya sendiri dan masing-masing dari mereka mendapatkan bagian yang sama besar. Selain mewaris dengan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde), mewaris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling) juga merupakan salah satu jenis pewarisan secara ab-intestato. Pengertian mewaris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling) yakni pewarisan di mana ahli waris mewaris menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris (Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata).92 Dalam KUHPerdata, mewaris karena penggantian lebih rinci diatur dalam Pasal 841 KUHPerdata sampai dengan Pasal 848 KUHPerdata. Mewaris dengan penggantian juga disebut dengan perwakilan atau vertegenwoordigen, dengan maksud untuk memperoleh pengertian yang tepat mengenai
91 92
Pasal 1060 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 852 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
40
penggantian tempat. Namun, sebaiknya istilah perwakilan tidak digunakan karena keluarga sedarah yang jauh tidak mewakili yang meninggal terlebih dahulu serta tidak bertindak atas orang tersebut, melainkan hanya menggantikan tempatnya yang terbuka karena kematian.93 Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pewarisan berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling) yaitu sebagai berikut : a.
b.
Ditinjau dari orang yang digantikan Dasar hukum Pasal 847 KUHPerdata yang berbunyi : “Tiada seorang pun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku penggantinya”.94 Ditinjau dari orang yang menggantikan, maka haruslah : 1) Keturunan sah dari yang digantikan, termasuk keturunan sah dari anak luar kawin, namun anak luar kawin tidak berwenang untuk itu; dan 2) Memenuhi syarat untuk mewaris pada umumnya yaitu hidup pada saat warisan terbuka (Pasal 836 KUHPerdata, dengan pengecualian Pasal 2 ayat 2 KUHPerdata tentang bayi dalam kandungan), bukan orang yang dinyatakan tidak patut mewaris, serta tidak ditiadakan hak mewarisnya oleh pewaris dengan surat wasiat. 95
Dari syarat di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang digantikan harus meninggal terlebih dahulu dari pewaris karena tidak ada penggantian waris bagi orang yang masih hidup. Selain itu, orang yang menggantikan harus keturunan sah dari yang digantikan karena dalam pewarisan dengan penggantian (bij plaatsvervulling) lebih dipentingkan hubungan hukum antara pewaris dengan ahli waris. Jika ternyata orang yang digantikan tersebut tidak patut mewaris (onwaardig) atau menolak warisan (verwerpen), maka
93
Kelompok Belajar Esa, Hukum Waris Bagian I, Literatur Wajib Pada Jurusan Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta : Penerbit Esa, 1979), hal. 28. 94 Pasal 847 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 95 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
41
keturunan dari orang yang tidak patut atau menolak warisan tersebut ini mendapat warisan bukan karena penggantian, melainkan berdasarkan kedudukannya
sendiri
(Pasal
840
KUHPerdata
dan
Pasal
1060
KUHPerdata).96 Hal ini karena syarat utama atau prinsipal dari pewarisan dengan penggantian (bij plaatsvervulling) ini tidak terpenuhi yakni kedudukan ahli waris yang masih hidup tidak dapat digantikan oleh ahli warisnya. Dalam KUHPerdata, juga dikenal tiga macam penggantian tempat, yaitu : a. Pergantian tempat dalam garis lurus ke bawah. Berdasarkan Pasal 842 KUHPerdata, pergantian tempat ini berlangsung terus tanpa batas. Dalam segala hal pergantian ini diperbolehkan, baik bilamana ada beberapa anak pewaris yang mewaris bersama-sama dengan keturunan dari seorang anak yang telah meninggal terlebih dahulu, maupun dalam hal semua keturunan mereka mewaris secara bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya. b. Pergantian tempat dalam garis menyamping. Berdasarkan Pasal 844 KUHPerdata, warisan harus dibagi antara semua keturunan saudara-saudara yang meninggal dunia terlebih dahulu itu, walaupun keturunan tersebut pada derajat yang tidak sama. c. Pergantian tempat dalam garis menyamping yang lebih jauh daripada saudara sekandung. Berdasarkan Pasal 845 KUHPerdata, pergantian tempat yang dimaksud hanya terbatas bagi keturunan dari saudara sekandung yang telah mendahului meninggal dari seorang yang mempunyai hubungan darah terdekat dengan orang yang meninggalkan warisan. 97
KUHPerdata memperbolehkan pergantian tempat dalam garis lurus ke bawah dan menyamping, namun tidak untuk garis lurus ke atas. Hal ini
96 97
Pasal 840 dan Pasal 1060 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 28-33.
Universitas Sumatera Utara
42
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 843 KUHPerdata yang berbunyi “Tiada penggantian terhadap keluarga garis menyamping ke atas, keluarga sedarah ke atas mewaris kepala demi kepala. Keluarga terdekat dalam garis menyamping menutup semua keluarga dalam perderajatan lebih jauh”.98 Terkait dengan penggantian tempat anak luar kawin yang diakui, jika pewaris hanya meninggalkan anak luar kawin maka berdasarkan Pasal 873 ayat 1 KUHPerdata, anak luar kawin dapat menuntut seluruh harta warisan untuk diri sendiri dengan mengesampingkan Negara.99 Selain pewarisan secara ab-intestato, pewarisan juga dapat terjadi secara wasiat atau testamentair. Suatu akta wasiat atau testamen berisi apa yang dikehendaki seseorang setelah meninggal dunia. Pada asasnya, suatu pernyataan kemauan adalah datang dari satu pihak saja (eenzigdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Penarikan kembali itu (herrolpen) boleh secara tegas (uitdrukkelijk) atau secara diam-diam (stilzwijgend).100 KUHPerdata secara jelas melarang dua orang atau lebih menyatakan kemauan terakhir dalam surat wasiat atau testamen yang sama. Hal ini terdapat pada Pasal 930 KUHPerdata yang berbunyi “Dalam satusatunya akta, dua orang atau lebih tak diperbolehkan menyatakan wasiat mereka baik untuk mengaruniai seorang ketiga maupun atas dasar pernyataan bersama atau bertimbal balik”. 101
98
Pasal 834 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 873 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 100 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2005), hal. 107. 101 Pasal 930 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 99
Universitas Sumatera Utara
43
Adapun pewarisan berdasarkan wasiat diatur dalam beberapa pasal dalam KUHPerdata yaitu sebagai berikut : a.
b.
c.
d. e.
f.
Menurut Pasal 875 KUHPerdata, “wasiat adalah akta yang memuat kehendak terakhir setelah pewaris meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali”. Menurut Pasal 888 KUHPerdata, “dalam surat wasiat, syarat-syarat yang tidak dimengerti atau tidak mungkin dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan yang baik, dianggap sebagai tidak tertulis”. Menurut Pasal 890 KUHPerdata, “Jika di dalam testamen disebut sebab yang palsu, dan isi dari testamen itu menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan kepalsuannya, maka testamen tidaklah sah”. Menurut Pasal 893 KUHPerdata, “suatu testamen adalah batal, jika dibuat secara paksa, tipu atau muslihat”. Menurut Pasal 895 KUHPerdata, “untuk dapat membuat atau menarik kembali surat wasiat, orang harus mempunyai kemampuan bernalar”. Menurut Pasal 897 KUHPerdata, “seseorang yang belum dewasa (belum genap delapan belas tahun) tidak diperbolehkan membuat surat wasiat”. 102
Dari pasal-pasal di atas, dapat diketahui bahwa surat wasiat adalah kehendak terakhir dari pewaris dan harus dilaksanakan sebagai wujud hormat terhadap orang yang meninggal dunia. KUHPerdata tidak memberikan batasan usia maksimum seseorang yang dapat membuat surat wasiat. Yang diatur dalam KUHPerdata adalah batas usia minimum seseorang yang dapat membuat wasiat. Oleh karena itu, terkait dengan batas usia maksimum seseorang dapat membuat surat wasiat, disimpulkan tidak ada pembatasan usia maksimum karena selama orang tersebut berakal budi atau mempunyai kemampuan bernalar, maka ia dapat membuat surat wasiat.
102
Pasal 875, Pasal 888, Pasal 890, Pasal 893, Pasal 895, dan Pasal 897 Kitab Undangundang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
44
Lazimnya, surat wasiat berisi mengenai ketetapan tentang harta peninggalan, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa ada juga surat wasiat yang berisi tentang hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan harta peninggalan. Lebih rinci, surat wasiat dapat berisi hal-hal sebagai berikut : a. Pengangkatan waris untuk seluruh atau sebagian dari harta peninggalan pewaris. Namun ada perbedaan penting antara ahli waris ab-intestato dengan ahli waris yang diangkat dengan suatu testamen (erfstelling), yakni pewarisan testamentair tidak mengenal pergantian tempat (bij plaatsvervulling) serta ahli waris testamentair tidak menikmati inbreng.103 b. Wasiat yang berisi pemberian suatu benda tertentu atau hibah wasiat (legaat). Menurut Vollmar, “kata barang-barang jenis tertentu menunjuk pada benda atau zaak dan zaak itu dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud. Bahkan, legaat juga meliputi hakhak yang sebenarnya tidak ada di dalam warisan pewaris, tetapi diwajibkan kepada seorang ahli waris untuk dikatakan demi legataris.104 c. Wasiat yang berisi hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan harta peninggalan, misalnya sebagai berikut : 1) Pengangkatan waris dan penunjukan orang yang akan menerima legaat (legataris); 2) Suatu perintah (last), bisa suatu kewajiban melakukan atau larangan untuk melakukan tindakan tertentu atau perintah pemberian barang kepada orang tertentu; 3) Pencabutan wasiat yang terdahulu; 4) Menawarkan suatu barang termasuk dalam harta warisan untuk dibeli, menerima penawaran dalam suatu testamen disebut oblaat; 5) Memberikan suatu hak kebendaan tertentu atau membebaskan suatu utang; 6) Menyingkirkan (onterven) seorang atau beberapa orang ahli waris; dan 7) Mengangkat seorang wali dan seorang testamentair executoir (pelaksana wasiat) atau mengakui seorang anak. 105
103
Maman Suparman, Op.cit., hal. 117. J. Satrio, Op.cit., hal. 198. 105 Maman Suparman, Op.cit., hal. 119. 104
Universitas Sumatera Utara
45
Pada prinsipnya, wasiat harus dibuat dengan bantuan notaris, tetapi ada juga wasiat yang dapat dibuat dengan akta di bawah tangan, asal isinya mengenai
pengangkatan
pelaksana
wasiat
(executeur
trstamentair),
penyelenggaraan penguburan, serta menghibahkan pakaian, perhiasan tertentu, dan mebel yang tertentu. Wasiat seperti itu dinamakan codicil.106 Codicil harus ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pewaris dan diberi tanggal.
6. Ahli Waris Dalam Hukum Waris KUHPerdata Berdasarkan cara memperoleh warisan, maka ahli waris dalam hukum waris KUHPerdata terbagi atas : a. Ahli waris ab-intestato adalah ahli waris yang ditentukan berdasarkan Undang-undang. Ahli waris ini berlaku bagi orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan pewaris atau dengan kata lain mereka adalah anggota keluarga pewaris.107 Namun, semua keluarga sedarah pewaris tidak sekaligus mewaris terhadap pewaris, melainkan yang lebih dekat pertaliannya lebih didahulukan daripada yang lebih jauh pertaliannya. Yang termasuk dalam ahli waris ab-intestato ialah suami atau isteri (duda atau janda) dari si pewaris, keluarga sedarah yang sah (wettige bloedverwanten), dan keluarga alami (natuurlijke bloedverwanten). Sedangkan, untuk keluarga semenda (aanverwanten) dari pewaris tidak mewaris berdasarkan Undang-undang. Keluarga semenda (aanverwanten) hanya berhak mewaris jika pewaris menunjuk atau mengangkatnya sebagai ahli waris dengan surat wasiat.108 b. Ahli waris testamentair yaitu semua orang yang diangkat oleh pewaris dengan surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya. Yang dapat diangkat sebagai ahli waris testamentair tersebut boleh semua orang, sepanjang orang itu tidak dilarang oleh Undang-undang menjadi ahli waris, misalnya Pasal 904 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “seorang anak di bawah umur, meskipun telah mencapai usia delapan 106
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hal. 13. 107 Maman Suparman, Op.cit., hal. 26. 108 M. U. Sembiring, Op.cit., hal.1.
Universitas Sumatera Utara
46
belas tahun, tidak boleh menghibahwasiatkan sesuatu untuk keuntungan walinya”.109
Khusus terkait ahli waris ab-intestato, ada pengaturannya secara rinci dan khusus dalam Undang-undang (KUHPerdata) yang harus ditaati. Keluarga sedarah sah dalam pewarisan ab-intestato tidak mewaris sekaligus atau bersamaan, melainkan ada orang yang lebih didahulukan dari yang lain melalui urutan jalan tertentu. Urutan tersebut diatur oleh KUHPerdata dengan membagi seluruh keluarga sedarah dari pewaris dalam empat golongan atau tingkatan ahli waris. Berdasarkan urutan haknya dalam menerima warisan, golongan atau tingkatan ahli waris ab-intestato secara garis besar yaitu sebagai berikut: a. Golongan I terdiri dari anak-anak dan keturunan selanjutnya serta isteri atau suami; b. Golongan II terdiri dari ayah, ibu, saudara, saudari, serta keturunan dari saudara dan saudari; c. Golongan III terdiri dari kakek dan nenek seterusnya ke atas baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu (keluarga sedarah lurus ke atas di luar ayah dan ibu); dan d. Golongan IV terdiri dari keluarga sedarah garis ke samping di luar saudara dan saudari. 110
Ahli waris golongan I erat kaitannya dengan Pasal 852 KUHPerdata yang berbunyi : “ Anak-anak atau sekalian keturunannya mereka walaupun dilahirkan dari lain-lain perkawinan, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan tiada perbedaan berdasarkan kelahirannya terlebih dahulu. Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka berkaitan keluarga dalam derajat kesatu dan 109 110
Pasal 904 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. M. U. Sembiring, Op.cit., hal. 20-21.
Universitas Sumatera Utara
47
masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang demi pancang, jika mereka semua atau sebagian dari mereka bertindak sebagai pengganti”. 111
Dari pasal tersebut, dapat diketahui bahwa ahli waris golongan I adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah meliputi anak-anak beserta keturunannya dengan bagian yang sama besar, mewaris kepala demi kepala dan mengenal penggantian,112 serta tanpa membedakan jenis kelamin, waktu kelahiran dari perkawinan pertama atau kedua, serta tidak ada perbedaan antara anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu . Hal ini berbeda dengan sistem hukum di Inggris di mana berlaku apa yang dinamakan the right of primogeniture (hak anak yang lahir pertama atau anak sulung). Dengan asas tersebut, di Inggris jika seorang ayah meninggal dunia meninggalkan tiga orang anak laki-laki, maka seluruh warisannya jatuh pada anak sulung sedangkan adik-adiknya tidak memperoleh apapun.113 Sepanjang memperoleh pewarisan ab-intestato, kedudukan janda atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan pewaris yang hidup paling lama) disamakan dengan kedudukan anak terhitung sejak tanggal 1 Januari 1936 berdasarkan Staatsblad nomor 486 tahun 1935. Sebelumnya, kedudukan janda atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan pewaris yang hidup paling lama) tersebut hanya berhak mewaris jika pewaris tidak meninggalkan keluarga sedarah sampai derajat kedua belas.114
111
Pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Dasar-dasar Hukum Waris Barat : Suatu Pembahasan Teoretis dan Praktik), (Bandung : Tarsito, 1988), hal. 8. 113 M. U. Sembiring, Op.cit., hal.23-24. 114 Ibid., hal. 22-23. 112
Universitas Sumatera Utara
48
Dalam hal pembagian warisan, berdasarkan Pasal 852 (a) KUHPerdata, bagian janda atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan pewaris yang hidup paling lama) dari perkawinan pertama adalah sama besar dengan bagian anak, kecuali bagian janda atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan pewaris yang hidup paling lama), mendapat bagian maksimal ¼ (seperempat) bagian dari harta warisan atau tidak boleh melebihi bagian anak yang terkecil, apabila dari perkawinan pertama dilahirkan anak.115 Selanjutnya, pembagian warisan untuk ahli waris golongan II mengacu pada Pasal 854 KUHPerdata, Pasal 857 KUHPerdata, dan Pasal 859 KUHPerdata yakni sebagai berikut : a. Orang tua menerima bagian yang sama dengan bagian saudara lakilaki atau perempuan tetapi tidak kurang dari ¼ (seperempat) (Pasal 854 ayat 2 KUHPerdata);116 b. Jika hanya ada orang tua (bapak dan ibu), maka bapak dan ibu masing-masing menerima ½ (setengah) bagian. Apabila hanya ada ahli waris bapak atau ibu saja, maka bapak atau ibu yang hidup terlama mendapatkan seluruh harta peninggalan (Pasal 855 KUHPerdata);117 c. Masing-masing orang tua menerima 1/3 (sepertiga) bagian, jika kecuali mereka masih ada seorang saudara laki-laki atau perempuan (Pasal 854 KUHPerdata);118 d. Jika hanya ada seorang ibu atau bapak dan seorang saudara laki-laki atau perempuan, maka ibu atau bapak itu mendapat ½ (setengah), dan bila ada dua orang saudara perempuan, maka ia mendapat 1/3 (sepertiga) dan bila tiga atau lebih saudara laki-laki atau perempuan, maka ia mendapat ¼ (seperempat) bagian (Pasal 855 KUHperdata);119 e. Apabila bagian orang tua yang sudah ditentukan, maka sisanya dibagi antara saudara laki-laki atau perempuan untuk bagian yang sama, bila semuanya itu saudara-saudara sekandung atau semuanya sebapak 115
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung : Refika Aditama, 2005), hal. 30. 116 Pasal 854 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 117 Pasal 855 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 118 Pasal 854 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 119 Pasal 855 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
49
atau seibu. Apabila saudara-saudara itu dari perkawinan yang berlainan, maka sisanya harta peninggalan setetlah dikurangi bagian orang tua dibelah menjadi dua (sistem kloving), sebagian untuk garis bapak dan sebagian untuk garis ibu, saudara-saudara kandung mendapat bagian dari dua garis tersebut. Sedangkan mereka yang setengah hanya mendapat bagian dari garis di mana mereka berada (Pasal 857 KUHPerdata).120
Mencermati pengaturan di atas, dapat disimpulkan bahwa ahli waris golongan II adalah keluarga dalam garis lurus ke atas dan menyamping meliputi
orang
tua,
saudara-saudara
laki-laki
dan
perempuan
dan
keturunannya. Perlu diingat bahwa ahli waris golongan II hanya mewaris jika si pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan janda atau duda dan/atau keturunannya (ahli waris golongan I) atau jika janda atau duda dan/atau keturunannya (ahli waris golongan I) menolak atau tidak patut menerima warisan. Selanjutnya, ahli waris golongan III meliputi leluhur (adscendent) yang lebih jauh dari ayah dan ibu berupa kakek dan nenek seterusnya ke atas baik dari sisi ayah maupun dari sisi ibu. Ahli waris ini hanya mewaris jika si pewaris tidak mempunyai baik ahli waris golongan I dan ahli waris golongan II.121 Mengacu pada Pasal 850 KUHPerdata dan Pasal 853 ayat 1 KUHPerdata, harta peninggalan harus dibagi atau dibelah atau kloving menjadi dua bagian yang sama besarnya, satu bagian untuk semua keluarga sedarah dalam garis si bapak lurus ke atas serta satu bagian lainnya untuk semua keluarga sedarah yang sama dalam garis si ibu. Ahli waris yang
120 121
Pasal 857 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. M. U. Sembiring, Op.cit., hal.28.
Universitas Sumatera Utara
50
terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah dari bagian dalam garisnya, dengan mengesampingkan semua ahli waris lainnya (Pasal 853 ayat 2 KUHPerdata).122 Semua keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dalam derajat yang sama mendapat bagian yang sama besar secara kepala demi kepala (Pasal 853 ayat 3 KUHPerdata).123 Para ahli waris golongan IV ialah semua keluarga sedarah garis ke samping di luar saudara saudari dan keturunannya yang dibatasi sampai dengan derajat keenam, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu (Pasal 861 KUHPerdata). Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah dalam derajat yang mengizinkan untuk mewaris, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh warisan (Pasal 861 ayat 2 KUHPerdata). Pertama-tama harta peninggalan dibelah menjadi dua, sebagian untuk pihak bapak dan sebagian lainnya untuk pihak ibu. Apabila ada salah satu pihak tidak terdapat ahli waris yang berhak menerima sampai derajat keenam, maka bagian itu dipindahkan ke pihak yang lain dan pihak lain itu mewaris seluruh harta peninggalan, dibagi menurut pasal-pasal yang ada.124 Selain golongan-golongan di atas, anak luar kawin juga merupakan salah satu ahli waris ab-intestato apabila diakui. Dengan kata lain, apabila anak luar kawin tidak diakui sah oleh ayahnya, maka mereka tidak dapat menuntut haknya atas harta warisan karena tanpa pengakuan, tidak ada hubungan perdata antara anak tersebut dengan orang tuanya serta tanpa 122
Pasal 853 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 853 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 124 R.H. Soerojo Wongsowidjojo, Hukum Waris Perdata (BW), Bahan Kuliah Program Pendidikan Keahlian Kenotariatan, Universitas Indonesia, Jilid I, (Jakarta : Universitas Indonesia, tanpa tahun), hal. 26. 123
Universitas Sumatera Utara
51
hubungan perdata, maka tidak ada pula hubungan pewarisan antara mereka.125 Anak luar kawin baru mendapat bagian dari warisan apabila ia diakui oleh ayahnya (berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata lahirlah hubungan perdata antara si anak dengan si ayah).126 Tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun anak luar kawin yang diakui mempunyai hak waris terhadap orang tuanya, namun hak warisnya bersifat inferior jika dibandingkan dengan hak waris anak-anak sah karena anak luar kawin tidak mempunyai hak waris tersendiri, artinya anak luar kawin akan selalu mewaris bersama-sama dengan keluarga sedarah pewaris (salah satu dari empat golongan ahli waris ab-intestato), kecuali jika pewaris sama sekali tidak meninggalkan keluarga sedarah serta bagian yang diterima anak luar kawin adalah lebih kecil dari bagian yang seharusnya diterima sekiranya ia anak sah.127 Ada dua macam pewarisan anak luar kawin yaitu sebagai berikut : a.
Hak waris aktif anak luar kawin (Pasal 862 KUHPerdata sampai dengan Pasal 866 KUHPerdata, Pasal 872 KUHPerdata, dan Pasal 873 ayat 1 KUHPerdata). Dalam pembagian warisan, anak luar kawin mewaris bersama dengan semua golongan ahli waris. Besar bagian yang diterima anak luar kawin tergantung dengan golongan mana anak luar kawin tersebut mewaris, atau tergantung dari derajat hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah.128 Jika anak-anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan keturunan yang sah dari pewaris atau dengan suami atau istri (golongan I), maka anak-anak luar kawin mewaris 1/3 (sepertiga) dari bagian, yang sedianya mereka akan mendapat bagian andaikata mereka anak-anak sah. Kemudian, apabila anak luar kawin mewaris bersama-sama saudara-saudara dan/atau orang tua dari si pewaris
125
M. U. Sembiring, Op.cit., hal. 46. R.H. Soerojo Wongsowidjojo, Op.cit., hal. 28. 127 M.U. Sembiring, Loc.cit. 128 Effendi Perangin, Op.cit., hal. 65. 126
Universitas Sumatera Utara
52
b.
(golongan II), maka bagian anak luar kawin yang diakui sah adalah sebesar ½ (setengah) bagian dari harta peninggalan. Jika anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan golongan III, maka bagiannya adalah ½ (setengah) dari harta peninggalan. Jika anak luar kawin mewaris bersama golongan IV, maka ia mendapat ¾ (tiga per empat) bagian dari seluruh harta peninggalan. Khusus bila anak luar kawin mewaris bersama dengan golongan III dan IV, maka yang menjadi dasar perhitungan adalah golongan terdekat dengan si pewaris, yakni golongan III. Anak luar kawin akan mendapat seluruh harta warisan apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris yang sah (golongan I sampai IV). Hak waris pasif anak luar kawin (Pasal 870 KUHPerdata, Pasal 871 KUHPerdata, Pasal 873 ayat 2 dan 3 KUHPerdata). Menurut Pasal 866 KUHPerdata, jika seorang anak luar kawin meninggal dunia, maka sekalian anak dan keturunannya yang berhak menuntut bagian-bagian yang diberikan kepada mereka menurut Pasal 863 KUHPerdata dan Pasal 865 KUHPerdata. Selain anakanak yang sah, suami atau istri anak-anak luar kawin yang diakui sah juga berhak mendapat warisan. Bapak atau ibu yang mengakui sah seorang anak luar kawin baru terpanggil sebagai ahli waris, bila anak luar kawin itu tidak meninggalkan keturunan yang sah dan/atau suami atau istri (Pasal 870 KUHPerdata). Dalam hal hanya bapak dan ibu yang terpanggil menjadi ahli waris anak luar kawin yang diakui, maka bapak dan ibu masing-masing mendapat ½ (setengah) bagian. 129 Perlu diketahui bahwa pengakuan terhadap anak luar kawin harus dilakukan sebelum anak meninggal dunia, dan jika pengakuan dilakukan setelah anak meninggal, maka hal itu tidak memberikan kepada ayah atau ibu yang mengakui itu hak atas warisan anak yang diakui tersebut.130
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat perbedaan pengertian antara hak waris aktif anak luar kawin dan hak waris pasif anak luar kawin. Hak waris aktif anak luar kawin membicarakan tentang bagaimana cara anak luar kawin yang diakui sah mendapat warisan, sedangkan hak waris pasif lebih membahas mengenai bagaimana cara mewaris harta peninggalan seorang anak luar kawin yang diakui sah. 129 130
Maman Suparman, Op.cit., hal 42-49. R.H. Soerojo Wongsowidjojo, Op.cit., hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
53
Lain halnya dengan ahli waris ab-intestato, ahli waris testamentair, tidak ada pengaturan secara rinci siapa saja yang dapat dijadikan sebagai ahli waris testamentair dan berapa bagiannya. KUHPerdata hanya mengatur ketetapan yang dapat dibuat di dalam surat wasiat atau testamen. Mengacu pada Pasal 876 KUHPerdata, berdasarkan isinya, wasiat dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu : a. Wasiat yang berisi erfstelling atau wasiat pengangkatan ahli waris (Pasal 954 KUHPerdata) Erfstelling ini diberikan alas hak yang umum artinya pemberian meliputi hak-hak (aktiva) maupun kewajiban-kewajiban (pasiva) pewaris serta dalam wasiat tidak ditentukan bendanya secara tertentu. Dalam hal ini, orang yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam yakni ahli waris menurut surat wasiat. Ahli waris yang dimaksud adalah ahli waris yang memperoleh segala hak dan kewajiban si peninggal (conder algemene titel).131 b. Wasiat yang berisi legaat atau hibah wasiat (Pasal 957 KUHPerdata) di mana wasiat jenis ini diberikan alas hak khusus, artinya bahwa barang-barang yang dihibahwasiatkan disebutkan secara tegas dan jelas karena disyaratkan adanya penunjukkan barang-barang tertentu atau semua barang-barang dari jenis tertentu. Di sini, penerima hibah wasiat hanya menerima hak-hak (aktiva) tertentu saja dan tidak menanggung kewajiban-kewajiban (pasiva). Orang yang menerima legaat dinamakan legataris. 132
Berdasarkan Pasal 838 KUHPerdata, ahli waris baik ab-intestato maupun testamentair dapat kehilangan hak warisnya dan dikategorikan tidak patut mewaris (onwaardig). Hal-hal yang menyebabkannya adalah sebagai berikut : a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau setidaknya mencoba membunuh si yang meninggal; b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena memfitnah si yang meninggal dengan mengadukan pengaduan telah 131 132
M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 24. Maman Suparman, Op.cit., hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
54
melakukan kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat; c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah menghalangi atau mencegah si yang meninggal untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat; dan d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal. 133
Mereka yang tersebut di atas secara otomatis kehilangan bagian mutlak atau legitime portie dan tidak mempengaruhi kepada perhitungan bagian mutlak atau legitime portie. Kedudukan mereka yang tidak patut mewaris sama dengan kedudukan orang yang menolak harta warisan. Dalam hal anak-anak dari orang yang tidak patut mewaris, mewaris secara pribadi atau
langsung
(uit
eigen
hofde)
bukan
sebagai
penggantian
(bij
plaatsvervulling).134 Jika ternyata orang yang tidak patut mewaris tersebut berpura-pura sebagai ahli waris dan menguasai sebagian atau seluruh harta peninggalan, maka ia wajib mengembalikan semua harta yang dikuasainya termasuk hasil-hasil yang telah dimanfaatkan atau dinikmatinya.135
B. Pengaturan Hibah dan Hibah Wasiat Dalam Pewarisan Menurut KUHPerdata 1. Pengertian Hibah dan Hibah Wasiat Menurut kamus ilmiah popular internasional, secara umum “hibah adalah pemberian sedekah, pemindahan hak”.136 Ada beberapa istilah lain yang dapat dinilai sama dengan hibah yakni schenking dalam bahasa Belanda
133
Pasal 838 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal. 21. 135 Pasal 839 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 136 Budiono, Kamus Ilmiah Popular Internasional, (Surabaya : Alumni, 2005), hal. 217. 134
Universitas Sumatera Utara
55
dan gift dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, antara istilah gift dengan hibah terdapat perbedaan mendasar, begitu juga antara istilah schenking dengan hibah. Contoh perbedaan istilah schenking dengan hibah adalah menyangkut masalah kewenangan istri. Schenking tidak dapat dilakukan oleh istri tanpa bantuan suami dan juga tidak dapat terjadi antara suami istri, sedangkan hibah dapat dilakukan oleh seorang istri tanpa bantuan suami, demikian pula hibah antara suami istri tetap dibolehkan.137 Menurut KUHPerdata, hibah dibagi menjadi dua bentuk yakni hibah dan hibah wasiat. Masyarakat seringkali bingung dan menyamakan istilah hibah dan hibah wasiat dalam KUHPerdata tersebut. Padahal, sebenarnya istilah hibah dan hibah wasiat dalam KUHPerdata meskipun hampir sama namun ada unsur yang membedakan keduanya. Salah satu perbedaan mendasar dari hibah dan hibah wasiat adalah pelaksanaan hibah dilakukan semasa pemberi hibah masih hidup sedangkan untuk hibah wasiat, pelaksanaannya hanya dapat dilakukan setelah pemberi hibah wasiat (pewaris) meninggal dunia. Adapun para ahli hukum yang memberikan definisi terkait hibah yaitu sebagai berikut : a. Menurut Eman Suparman, “hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup. Biasanya pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu. Oleh karena itu, pada dasarnya seorang pemilik harta kekayaan
137
Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal. 343.
Universitas Sumatera Utara
56
berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada siapapun”.138 b. Menurut Kansil, “hibah adalah suatu perjanjian di mana pihak pertama akan menyerahkan suatu benda karena kebaikannya kepada pihak lain yang menerima kebaikannya itu”.139 c. Menurut R. Subekti, “hibah atau pemberian adalah perjanjian obligatoir di mana pihak yang satu menyanggupi dengan cuma-cuma (omniet) dengan secara mutlak (onnerroepelijk) memberikan suatu benda pada pihak lainnya, pihak mana yang menerima pemberian itu. Sebagai suatu perjanjian, pemberian itu seketika mengikat dan tidak dapat ia cabut kembali begitu saja menurut kehendak satu pihak”.140
Selain ahli hukum, KUHPerdata sendiri juga ada memberikan definisi terkait hibah ataupun hibah wasiat yaitu sebagai berikut : a.
b.
Pasal 1666 KUHPerdata menyebutkan bahwa ”hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma, dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”.141 Pasal 957 KUHPerdata menyebutkan bahwa “hibah wasiat adalah penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barang-barang bergerak atau tidak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya”.142
Dari rumusan pasal-pasal di atas, dapat diketahui unsur-unsur dari hibah ataupun hibah wasiat yaitu sebagai berikut : a. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan cuma-cuma, artinya tidak ada kontra prestasi dari penerimaan hibah (Pasal 1666 KUHPerdata); b. Dalam hibah selalu disyaratkan bahwa penghibah mempunyai maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah;
138
Eman Suparman, Op.cit., hal. 81. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hal. 252. 140 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 95. 141 Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 142 Pasal 957 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 139
Universitas Sumatera Utara
57
c. Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala harta benda milik penghibah, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, benda tetap maupun benda bergerak, termasuk juga segala piutang penghibah; d. Hibah tidak dapat ditarik kembali (Pasal 1688 KUHPerdata); e. Penghibahan harus dilakukan pada waktu penghibah masih hidup (Pasal 1682 KUHPerdata); f. Pelaksanaan penghibahan dapat juga dilakukan setelah penghibah meninggal dunia; g. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata).143
2. Ketentuan Hibah dan Hibah Wasiat Menurut KUHPerdata a.
Ketentuan Hibah Dalam KUHPerdata KUHPerdata mengatur hibah dan hibah wasiat dalam Buku yang
berbeda. Lebih rinci, hibah dalam KUHPerdata dikategorikan dalam hukum perikatan yakni di dalam Buku Ketiga Bab X tentang hibah (Pasal 1666-1693 KUHPerdata) daripada Buku Kedua tentang pewarisan. Hal ini karena pelaksanaan hibah dilakukan saat seseorang masih hidup sehingga salah satu syarat untuk proses pewarisan yakni adanya seseorang yang meninggal dunia yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan tidak terpenuhi. Berdasarkan Pasal 1667 KUHPerdata, penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekadar mengenai barang-barang yang belum ada.144 Kemudian, Pasal 1668 KUHPerdata menyebutkan bahwa penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menggunakan 143 144
Maman Suparman, Op.cit., hal. 136. Pasal 1667 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
58
hak miliknya atas barang yang telah dihibahkan karena penghibahan demikian dipandang tidak sah.145 Akan tetapi, penghibah boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berhak menikmati atau memungut hasil barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dihibahkan, atau menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain dengan syarat memperhatikan ketentuan-ketentuan Buku Kedua Bab X tentang hak pakai hasil (Pasal 1669 KUHPerdata).146 Pada prinsipnya, hibah tidak dapat ditarik kembali (Pasal 1666 KUHPerdata). Namun berdasarkan alasan yang telah ditetapkan oleh KUHPerdata dan mengingat keadaan tertentu, hibah dimungkinkan untuk ditarik kembali oleh si pemberinya.147 Penarikan hibah oleh si pemberinya hanya dapat dilakukan dengan alasan tertentu dengan dasar hukum Pasal 1688 KUHPerdata yaitu sebagai berikut : 1) Apabila syarat-syarat tidak terpenuhi, sedangkan penghibahan telah dilakukan (Pasal 913 KUHPerdata); 2) Apabila si penerima hibah telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan yang bertujuan untuk mengambil nyawa si penghibah; dan 3) Apabila si penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah si penerima hibah ini jatuh dalam keadaan miskin atau pailit. 148
Alasan-alasan di atas membatasi tindakan pemberi hibah agar tidak bertindak seenaknya membatalkan hibah yang telah dilakukannya. Perlu ditegaskan bahwa alasan-alasan di atas bukan bersifat kumulatif,
145
Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1669 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 147 Maman Suparman, Op.cit., hal. 137. 148 Pasal 1688 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 146
Universitas Sumatera Utara
59
melainkan bersifat alternatif artinya salah satu saja alasan di atas terpenuhi, maka suatu tindakan hibah dapat ditarik kembali. Dalam hal terjadi penarikan hibah, maka segala barang yang telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada penghibah dalam keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas barang tersebut. Misalnya barang yang dihibahkan yang sedang dijadikan jaminan hak tanggungan atau fiducia, maka penerima hibah harus segera melunasinya sebelum barang tersebut dikembalikan kepada pemberi hibah.149 Jika penerima hibah beritikad tidak baik atau buruk sehingga ia tidak mau mengembalikan barang yang dihibahkan atau membebaskan barang yang dihibahkan dari beban-beban di atas barang tersebut, maka pemberi hibah dapat menuntut pengembalian atau pembebasan tersebut. Dasar hukumnya dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1689 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “si penghibah dapat menuntut hibah kembali, bebas dari beban hipotik (hak tanggungan) beserta hasilnya dan pendapatan yang diperoleh si penerima hibah atas benda yang dihibahkan”. 150 Hal ini untuk menjamin agar pemberi hibah tidak dirugikan karena tindakan penerima hibah terhadap barang yang dihibahkan tersebut. Adapun menurut Pasal 1690 KUHPerdata, pada pokoknya berarti benda yang dihibahkan dapat tetap pada si penerima hibah meskipun sebelumnya benda-benda hibah tersebut telah didaftarkan lebih dahulu oleh penerima hibah. Hal ini karena apabila penuntutan kembali 149 150
Eman Suparman, Op.cit., hal. 87. Pasal 1689 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
60
yang dilakukan oleh pemberi hibah dikabulkan maka semua perbuatan si penerima hibah dianggap batal.151 Tuntutan hukum pemberi hibah terhadap penerima hibah ini gugur dengan lewatnya waktu satu tahun terhitung mulai hari terjadinya peristiwa yang menjadi alasan tuntutan itu, dan dapat diketahuinya peristiwa itu oleh si pemberi hibah (Pasal 1692 KUHPerdata).152 Ahli waris si pemberi hibah tidak dapat melakukan tuntutan hukum tersebut, kecuali si pemberi hibah semula telah mengajukan tuntutan ataupun orang tersebut telah meninggal lewat satu tahun setelah terjadinya peristiwa yang dituduhkan.153 Hibah
antara
suami
istri
selama
perkawinan
tidak
diperbolehkan, kecuali mengenai benda-benda bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlampau mahal. Demikian juga terkait anak yang belum dilahirkan, hibah tidak boleh dilakukan, kecuali apabila kepentingan si anak tersebut menghendaki. Adapun orang yang sama sekali dilarang menerima penghibahan yaitu sebagai berikut : 1) Orang yang menjadi wali atau pengampu si pemberi hibah; 2) Dokter yang merawat si pemberi hibah ketika sakit; dan 3) Notaris yang membuat surat-surat milik si pemberi hibah. 154 Tindakan penghibahan diwujudkan dengan adanya suatu akta atau perjanjian hibah. Perjanjian hibah termasuk perjanjian formil dengan mensyaratkan adanya akta notaris atau akta otentik sehingga dapat
151
Maman Suparman, Loc.cit. Pasal 1692 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 153 M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 59. 154 Ibid., hal. 86. 152
Universitas Sumatera Utara
61
disimpulkan bahwa akta notaris atau akta otentik ini merupakan syarat mutlak adanya akta atau perjanjian hibah. Fungsi akta hibah adalah selain sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum, juga sebagai alat pembuktian satu-satunya. Keharusan pembuatan akta hibah (secara otentik) diperkuat dengan ketentuan Pasal 1682 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “Tiada suatu penghibahan kecuali yang dimaksud dalam Pasal 1687 KUHPerdata dapat, atas ancaman batal, dilakukan tanpa akta notaris, yang aslinya (minuta) harus disimpan oleh notaris itu”. 155 Dari uraian Pasal 1682 KUHPerdata di atas, dapat diketahui bahwa suatu penghibahan yang dilakukan tanpa akta notaris atau akta otentik, maka penghibahan tersebut dianggap tidak sah. Meskipun demikian, dalam Pasal 1687 KUHPerdata dijelaskan bahwa hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak berwujud atau surat piutang yang akan dibayar atas tunjuk, tidak memerlukan akta notaris adalah sah, bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang yang diberi hibah sendiri atau kepada orang lain yang menerima hadiah itu untuk diteruskan kepada yang diberi hibah.156 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Pasal 1687 KUHPerdata adalah pengecualian Pasal 1682 KUHPerdata di mana terhadap objek tertentu tidak dibutuhkan penghibahan dengan akta notaris.
155 156
Pasal 1682 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1687 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
62
Tindakan penghibahan harus dibuat dan dilakukan sewaktu pemberi hibah hidup. Begitu juga dengan penerima hibah, juga harus ada saat menerima hibah. Hal ini mengacu pada Pasal 1679 KUHPerdata di mana hibah tidak boleh diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia atau kepada anak-anak yang belum lahir. Hibah kepada anak dalam kandungan diperbolehkan, namun dilihat apakah anak yang dimaksud benar-benar ada di dalam kandungan. Keberadaan anak dalam kandungan harus dibuktikan dengan kelahiran anak tersebut, yang harus terjadi kurang lebih sembilan bulan setelah tanggal hibah.157 Terkait dengan penerimaan hibah, harus diterima dengan katakata tegas dari penerima hibah. Hal ini dijelaskan pula dalam Pasal 1683 KUHPerdata yang berbunyi : “Tiada suatu penghibahan pun mengikat penghibah atau mengakibatkan sesuatu sebelum penghibahan diterima dengan kata-kata tegas oleh orang yang diberi hibah atau oleh wakilnya yang telah diberi kuasa olehnya untuk menerima hibah yang telah atau akan dihibahkannya itu. Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan di dalam surat hibah sendiri, maka penerimaan itu dapat dilakukan di dalam akta otentik kemudian, yang naskah aslinya harus disimpan oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu asal saja hal itu terjadi waktu penghibah masih hidup, dalam hal demikian maka bagi penghibah, hibah tersebut hanya sah sejak penerimaan hibah itu diberitahukan dengan resmi kepadanya dan penerima hibah menerimanya”. 158
b.
Ketentuan Hibah Wasiat Dalam KUHPerdata Berbeda dengan hibah, hibah wasiat dalam KUHPerdata
termasuk dalam materi hukum waris yakni Buku kedua Bab XIII Bagian 157
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007), hal. 584. 158 Pasal 1683 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
63
VI tentang hibah wasiat (Pasal 957-972 KUHPerdata). Hibah wasiat adalah salah satu jenis pewarisan melalui surat wasiat atau testamen. Ketentuan Pasal 875 KUHPerdata berbunyi “surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali”.159 Telah dijelaskan sebelumnya, berdasarkan isinya, surat wasiat atau testamen dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu erfsteling atau pengangkatan ahli waris dan legaat atau hibah wasiat. Dengan merujuk pada Pasal 957, diketahui bahwa “legaat atau hibah wasiat yaitu suatu penetapan wasiat khusus berupa pemberian beberapa benda dari suatu jenis tertentu kepada seseorang atau lebih”.160 Perbedaan pengangkatan ahli waris (erfstelling) dengan hibah wasiat (legaat) adalah sebagai berikut : 1) Dalam hal pengangkatan ahli waris (erfstelling), belum tentu bagian yang diperoleh ahli waris yang diangkat itu. Hanya disebutkan berapa bagian hak dari ahli waris yang diangkat itu. Misalnya, A mewasiatkan ½ (setengah) dari harta bendanya kepada X. Sedangkan dalam hibah wasiat (legaat), bagian yang menjadi hak dari orang yang diberi hibah sudah tertentu. Misalnya, A mewasiatkan rumah di Jalan Serdang No. 118 kepada X. 2) Orang yang diangkat sebagai ahli waris kedudukannya sama dengan sebagai ahli waris menurut Undang-undang dalam hal tentang utang piutang si pewaris. Jika ternyata pewaris meninggalkan utang, maka ahli waris yang diangkat itu juga turut bertanggung jawab atas utang itu. Orang yang menerima hibah wasiat tidak sama kedudukannya dengan ahli waris menurut Undang-undang terhadap utang piutang pewaris. Ia tidak bertanggung jawab atas utang pewaris dan ia pun
159 160
Pasal 875 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 957 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
64
tidak punya hak atas harta pewaris, kecuali yang dihibahkan secara wasiat kepadanya. 161
Penerima legaat atau hibah wasiat disebut legataris. Legataris bukan ahli waris testamenter karena ia tidak mempunyai hak untuk menggantikan pewaris, tetapi ia mempunyai hak menagih pada para ahli waris agar legaat atau hibah wasiat dilaksanakan. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 1107 KUHPerdata yang berbunyi ”Semua orang yang mengutangkan kepada si meninggal dan semua penerima hibah wasiat dapat menuntut dari orang-orang yang mengutangkan kepada si waris, supaya harta peninggalan dipisahkan dari harta kekayaan si waris tersebut”.162 Adapun kewajiban-kewajiban legataris yaitu sebagai berikut: 1) Menanggung semua beban pajak, kecuali ditemtukan lain (Pasal 961 KUHPerdata); dan 2) Umumnya legataris tidak menanggung beban utang kecuali ditentukan lain. 163 Dalam kondisi tertentu, suatu legaat atau hibah wasiat dapat dibatalkan. Sebab-sebab batalnya legaat atau hibah wasiat, karena : 1) Bendanya tidak ada lagi atau musnah di luar kesalahan ahli waris (Pasal 999 KUHPerdata); 2) Orang yang akan dapat wasiat tidak ada karena di dalam pelaksanaan legaat atau hibah wasiat tidak dikenal plaatsvervulling (Pasal 975 KUHPerdata); dan 3) Orang yang menerima hibah wasiat menolak atau dinyatakan tidak cakap untuk menikmati (Pasal 1000 KUHPerdata). 164
161
Effendi Perangin, Op.cit., hal. 80. Pasal 1107 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 163 Effendi Perangin, Op.cit., hal. 79. 164 Ibid. 162
Universitas Sumatera Utara
65
Selain sebab di atas, pemberian legaat atau hibah wasiat juga harus sesuai dengan ketentuan dalam KUHPerdata. Salah satu ketentuan yang harus dipatuhi adalah ketentuan legitime portie atau bagian mutlak yang diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata. Sama dengan hibah, pelanggaran ketentuan legitime portie atau bagian mutlak dalam legaat atau hibah wasiat akan menyebabkan legaat atau hibah wasiat batal karena adanya tuntutan dari para ahli waris yang berhak atas legtime portie atau bagian mutlak. Ahli waris harus menyerahkan benda yang dihibahwasiatkan dalam keadaan yang sama seperti eksistensinya pada hari pewaris meninggal dunia (Pasal 983 KUHPerdata).165 Hal ini untuk menghindari kecurangan dari ahli waris yang mungkin mengurangi atau mengubah barang yang dihibahwasiatkan untuk keuntungan sendiri. Selain itu, khusus untuk benda tidak bergerak, apabila pewaris telah memperbesar atau menambahkan benda bergerak (misalnya tanah atau bangunan), maka penambahan barang bergerak itu tidak termasuk dalam hibah, kecuali ditentukan lain dalam surat wasiat (Pasal 964 KUHPerdata).166 Oleh karena pemberian legaat atau hibah wasiat melalui surat wasiat atau testamen, maka perlu diketahui macam-macam wasiat atau testamen menurut bentuknya (Pasal 931 KUHPerdata) yaitu sebagai berikut :
165 166
Pasal 983 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 964 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
66
1) Openbaar testamen dalam Pasal 938 KUHPerdata dan Pasal 939 KUHPerdata Jenis testamen ini dibuat oleh seorang notaris. Orang yang akan meninggalkan warisan menghadap kepada notaris dan menyatakan kehendaknya kepada notaris tersebut dengan dihadiri dua orang saksi. Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro, ”wasiat umum dapat dilakukan secara lisan dan tertulis”. Pada wasiat lisan, kalimat yang ditulis hanya pokoknya saja serta harus dihadiri oleh saksi yang harus mendengarkan keterangan itu. Sedangkan pada wasiat tertulis, misalnya si pewaris dalam keadaan sakit sehingga tidak bias berbicara sehingga memberikan keterangannya secara tertulis. Notaris di sini akan membacakan tulisannya dan menanyakan apakah betul kehendaknya. Jika pewaris mengangguk, maka keterangan dianggap betul.167 2) Olographis testamen dalam Pasal 932 KUHPerdata Suatu testamen yang ditulis sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan dan diserahkan kepada notaris untuk disimpan. Kemudian notaris membuat akta penyimpanan notaris (akta van depot) dan ditandatangani oleh yang membuat wasiat, notaris, dan dua orang saksi. Jika wasiat disampaikan secara tertutup (dalam sampul tertutup), maka hal tersebut harus dibuat di atas kertas tersendiri, dan di atas sampul itu harus diberi catatan bahwa sampul itu berisi surat wasiat dan catatannya harus ditandatangani. Apabila wasiat diserahkan dalam keadaan terbuka, maka akta dapat ditulis di bawah surat wasiat itu sendiri.168 Wasiat olographis dapat ditarik sewaktu-waktu oleh yang membuatnya (Pasal 934 KUHPerdata). Penarikan wasiat ini dapat dilakukan dengan cara yang bersangkutan datang kepada notaris di mana wasiat itu disimpan dan selanjutnya, ia menyatakan kehendaknya untuk meminta kembali wasiat yang pernah disimpan tersebut dan dibuatkan akta tersendiri untuk pegangan notaris.169 Pelaksanan wasiat ini jika dalam keadaan tertutup, maka notaris yang menyimpannya akan membawa wasiat itu ke Balai Harta Peninggalan (selanjutnya disebut BHP). Setelah wasiat dibuka, dibuatkan aktanya (proses verbal) dan BHP menyerahkan kembali pelaksanaan wasiat kepada notaris yang menyimpannya.170 3) Testamen tertutup atau rahasia (geheim) dalam Pasal 940 KUHPerdata dan Pasal 941 KUHPerdata
167
Maman Suparman, Op.cit., hal. 109. Ali Afandi, Op.cit., hal. 17. 169 Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Op.cit., hal. 45. 170 Ibid. 168
Universitas Sumatera Utara
67
Suatu testamen yang dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan menulis dengan tangannya sendiri, namun harus selalu tertutup dan disegel. Dalam penyerahannya kepada notaris harus dihadiri empat orang saksi. Pewaris harus menerangkan bahwa kertas itu berisi wasiatnya yang ia tulis sendiri atau orang lain dan ditandatangani pewaris. Keterangan ini oleh notaris harus ditulis dalam akta yang dinamakan akta superscriptie (akta pengalamatan).Akta tersebut kemudian harus ditulis di atas kertas atau sampul yang diberi alamat dan ditandatangani oleh notaris dan empat orang saksi tersebut. Jika pewaris meninggal dunia, notaris menyerahkan wasiat kepada BHP dan BHP harus mebuat proses verbal dan kemudian menyerahkan kembali wasiat kepada notaris yang menyimpan wasiat itu agar dilaksanakan.171
Dari uraian di atas, olographis testamen dan testamen tertutup samasama dibuat sendiri oleh pewaris, namun ada perbedaan terpenting antara keduanya yaitu testamen tertutup dapat ditulis oleh orang lain selain pewaris, sedangkan dalam olographis testamen, hal tersebut tidak dibolehkan. Olographis testamen setelah berada dalam penyimpanan notaris mempunyai kekuatan yang sama dengan surat wasiat yang dibuat dengan akta umum (openbaar testamen) (Pasal 933 KUHPerdata).172 Dalam testamen tertutup, surat wasiat dapat ditulis oleh pewaris atau orang lain, tetapi harus ditandatangani oleh pewaris sendiri. Selanjutnya, menurut Pasal 944 KUPerdata, adapun syaratsyarat untuk menjadi saksi dalam pembuatan openbaar testamen yaitu sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah, dan mengerti bahasa Indonesia atau bahasa yang dipakai dalam surat wasiat
171 172
Ali Afandi, Op.cit., hal. 20. Pasal 933 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
68
tersebut. Ada beberapa orang yang tidak boleh menjadi saksi dalam pembuatan openbaar testamen yaitu : 1) Semua ahli waris legataris; 2) Semua keluarga sedarah dan keluarga, berdasarkan perkawinan (semenda) sampai derajat keenam; 3) Anak-anak atau cucu-cucu dari keluarga tersebut sampai derajat keenam; dan 4) Pembantu-pembantu notaris pada waktu membuat testamen. 173
Pembatasan saksi di atas diperlukan agar orang-orang yang menjadi ahli waris jangan sampai tahu isi dari testamen tersebut. Pewaris hanya dapat menghibahwasiatkan barang miliknya sendiri sesuai pada Pasal 966 KUHPerdata yakni “Apabila si yang mewasiatkan telah menghibahkan sesuatu barang tertentu milik orang lain, maka batallah hibah wasiat yang demikian, baik kesalahan ini disadari atau tidak disadari”. 174 Pengaturan di atas dapat saja menyangkut suatu benda yang dimiliki oleh ahli waris atau legataris, bahkan oleh seorang pihak ketiga. Setelah pewaris meninggal dunia, legataris belum merupakan pemilik benda yang dihibahwasiatkan kepadanya, melainkan kedudukannya hanya sebagai kreditur. Dapat disimpulkan bahwa hibah wasiat bukan cara memperoleh hak milik, melainkan sama halnya dengan persetujuan jual beli, tukar menukar, atau hibah suatu alas hak untuk pengalihan hak milik.175
173
Ali Afandi, Op.cit., hal. 21. Pasal 966 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 175 Gregor van der Burght, Op.cit., hal. 422. 174
Universitas Sumatera Utara