TINJAUAN PUSTAKA
Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap Tata Laksana Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede RS PGI Cikini, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK Anemia sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tata laksana anemia pada PGK saat ini meliputi pemberian besi, pemberian erythropoiesis-stimulating agents (ESA), dan transfusi sel darah merah. Hepsidin (hepcidin) adalah suatu peptida yang diproduksi di hepar dan merupakan regulator penting homeostasis besi sistemik yang mencegah terjadinya kelebihan besi dengan cara menyebabkan sekuestrasi besi di makrofag dan menurunkan absorpsi besi enteral. Produksinya ditingkatkan oleh inflamasi dan pemberian besi; dihambat oleh hipoksia, anemia, defisiensi besi, peningkatan aktivitas eritropoiesis dan pemberian ESA. Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien PGK terdapat peningkatan kadar hepsidin serum. Peningkatan kadar hepsidin berperan menyebabkan anemia pada PGK dengan cara menciptakan keadaan iron-restricted erythropoiesis, menghambat pembentukan koloni eritroid dan mengurangi kesintasan sel darah merah. Implikasinya adalah bahwa hepsidin diharapkan bisa menjadi biomarker penting status besi, panduan prediksi dan pemantauan respons terapi besi, dan prediktor respons terapi dan resistensi ESA. Selain itu hepsidin juga dapat dijadikan target terapi suatu antagonis hepsidin untuk penatalaksanaan anemia pada PGK yang lebih efektif. Kata kunci: anemia, penyakit ginjal kronis, hepsidin
ABSTRACT Anemia is prevalent in chronic kidney disease (CKD) patients and associated with increased morbidity and mortality. Current management of anemia in CKD resolves around iron supplementation, erythropoiesis-stimulating agents (ESA), and red cell transfusion. Hepcidin is a peptide produced in liver and is a key regulator of systemic iron homeostasis to prevent iron overload by iron sequestration in macrophages and decreasing enteral iron absorption. The production is increased by inflammation and iron supplementation; attenuated by hypoxia, anemia, iron deficiency, increased erythropoiesis activity and ESA. Studies have shown that hepcidin serum level in patients with CKD is increased. High hepcidin serum level contributes to anemia in CKD by mediating iron-restricted erythropoiesis, inhibiting erythroid colony formation, and impairing red blood cell survival. Its implication is that hepcidin has the potential to be an important biomarker of iron status, a guide to predict and monitor iron therapy response, and a predictor of ESA response and resistance. Also, hepcidin has the potential to become a therapeutic target for hepcidin antagonist agent which could lead to effective treatment of anemia in CKD. Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede. Hepcidin: Role in the Pathogenesis and Implications for Management of Anemia in Chronic Kidney Disease. Key words: anemia, chronic kidney disease, hepcidin
PENDAHULUAN Anemia sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dan berkontribusi menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien PGK. Anemia pada PGK juga dikaitkan dengan berbagai penyulit seperti perawatan di rumah sakit, penyakit kardiovaskuler, gangguan kognitif, dan kematian. Berkurangnya produksi eritropoietin merupakan faktor terpenting dalam patogenesisnya.1,2 Erythropoiesisstimulating agents (ESA) telah merevolusi Alamat korespondensi
penanganan anemia pada PGK dan dapat menangani kebanyakan pasien PGK dengan anemia secara efektif. Akan tetapi sekitar 10-20% pasien dilaporkan hipo- atau nonresponsif terhadap ESA sementara pemberian ESA dosis lebih tinggi menyebabkan peningkatan mortalitas.1-3 Resistensi terhadap ESA sering dikaitkan dengan kelainan metabolisme besi dan inflamasi. Pada pasien PGK sering dijumpai kelainan metabolisme besi dan keadaan inflamasi kronis.
Hepsidin (hepcidin) adalah protein dengan berat molekul rendah yang belum lama ini ditemukan, berperan penting dalam metabolisme besi dan produksinya dipengaruhi oleh inflamasi. Keberadaan hepsidin mungkin dapat menjelaskan ketidakseimbangan metabolisme besi yang sering ditemukan pada pasien PGK dengan anemia dan resisten terhadap ESA. Oleh karena itu peran hepsidin dalam patogenesis dan implikasinya terhadap tata laksana anemia pada PGK banyak diteliti.1,2,4-6
email:
[email protected]
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
337
TINJAUAN PUSTAKA ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS Menurut National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative, anemia didefinisikan jika kadar hemoglobin (Hb) < 12 g/dL (hematokrit < 37%) pada pria dewasa dan wanita pasca-menopause atau Hb < 11 g/dL (hematokrit < 33%) pada anak pre-pubertas dan wanita pre-menopause.7 Anemia sering dijumpai pada pasien PGK dan berkontribusi menurunkan kualitas hidup. Anemia pada PGK juga dikaitkan dengan berbagai penyulit seperti perawatan rumah sakit, penyakit kardiovaskuler, gangguan kognitif dan kematian.1 Tata laksana anemia pada PGK meliputi pemberian besi oral dan/atau parenteral, pemberian Erythropoiesis-Stimulating Agent (ESA), dan transfusi sel darah merah.8 Pemberian besi berisiko menyebabkan kelebihan besi sedangkan transfusi memiliki banyak risiko seperti hiperkalemia, volume overload, kelebihan besi, toksisitas sitrat, reaksi transfusi, hipotermi, koagulopati, transfusion-related acute lung injury dan infeksi.8,9 ESA telah merevolusi penanganan anemia pada PGK dan dapat menangani kebanyakan pasien PGK dengan anemia secara efektif, akan tetapi sekitar 10-20% pasien dilaporkan hipo- atau non-responsif terhadap ESA sementara pemberian ESA dosis lebih tinggi meningkatkan mortalitas.1-3,8,9 Hiporesponsivitas ESA (didefinisikan sebagai tidak adanya kenaikan Hb setelah bulan pertama pemberian ESA dosis adekuat atau dalam upaya menjaga kadar Hb tetap stabil dibutuhkan peningkatkan dosis ESA sebanyak dua kali hingga 50% dosis pemeliharaan) sering dikaitkan dengan defisiensi besi dan inflamasi.4,5,8 Meskipun berkurangnya produksi eritropoietin merupakan faktor terpenting, kenyataannya patogenesis anemia pada PGK bersifat multifaktorial. Faktor lain yang juga berperan antara lain: pemendekan kesintasan eritrosit, kehilangan darah, hemolisis, stres oksidatif, akumulasi toksin uremik yang menghambat eritropoiesis, dan kelainan metabolisme besi.1,2,5 Kelainan metabolisme besi sering dijumpai pada pasien PGK berupa defisiensi besi absolut atau defisiensi besi fungsional/ blokade retikuloendotelial. Defisiensi besi fungsional yang dicirikan dengan rendahnya
338
ketersediaan besi di sirkulasi untuk eritropoiesis meskipun kadarnya di penyimpanan tinggi, juga merupakan ciri anemia karena inflamasi/ penyakit kronis.1 Pada pasien PGK juga sering ditemukan keadaan inflamasi kronis yang disebabkan peningkatan insidens infeksi dan/atau induksi sitokin proinflamasi karena prosedur hemodialisis. Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa kelainan metabolisme besi yang dijumpai pada pasien PGK, seperti pada pasien dengan anemia karena inflamasi, mungkin disebabkan oleh peningkatan kadar hepsidin.1 HEPSIDIN: STRUKTUR, AKTIVITAS BIOLOGIS, DAN REGULASI Hepsidin adalah peptida dengan 25 asam amino, 8 residu sistein, dan 4 ikatan disulfida yang belum lama ini ditemukan dalam rangka pencarian peptida antimikrobial baru.5,10-12 Karena diproduksi di hepar dan memiliki sifat antimikrobial, Park dkk. menamakan peptida ini sebagai hepcidin (hepatic bactericidal protein).11 Hepsidin ditemukan pada berbagai spesies dan merupakan produk dari gen HAMP yang memproduksi 84-asam amino pre-prohepsidin, untuk kemudian mengalami pembelahan menjadi 60-asam amino prohepsidin selanjutnya menjadi bentuk matur/aktif yaitu hepsidin-25 yang memiliki kemampuan regulator besi dan antimikrobial. Selain hepsidin-25, dihasilkan juga dua isoform lebih kecil lainnya yaitu hepsidin-20 dan -22 yang kepentingan biologisnya belum diketahui.2,5,9,10,12 Hepsidin merupakan regulator penting homeostasis besi sistemik yang berperan mencegah terjadinya kelebihan besi; mutasi gen hepsidin seperti pada hemokromatosis dapat menyebabkan gejala klinis akibat kelebihan besi. Hepsidin menyebabkan degradasi dan internalisasi feroportin, yaitu eksportir besi (pengangkut efluks besi transmembran) yang terdapat di permukaan sel makrofag, enterosit dan hepatosit. Kadar hepsidin yang tinggi menghambat pelepasan simpanan besi di dalam makrofag dan hepatosit serta mencegah pergerakan absorpsi besi melalui feroportin di enterosit ke sirkulasi. Sekuestrasi besi di makrofag dan penurunan absorpsi besi enteral dalam jangka panjang akan menyebabkan anemia dengan cara menurunkan ketersediaan besi untuk eritropoiesis. Sebaliknya, kadar hepsidin yang rendah menyebabkan tidak terkendalinya
absorpsi besi usus dan mengakibatkan kelebihan besi.1-3,5,9,10,12 Regulator utama kadar hepsidin darah adalah status besi, anemia, hipoksia, inflamasi dan aktivitas eritropoiesis. Inflamasi dan pemberian besi menginduksi produksi hepsidin sedangkan hipoksia, anemia, defisiensi besi, peningkatan aktivitas eritropoiesis dan pemberian ESA menghambat produksinya.1-3,5,6,9,10,12 Inflamasi menyebabkan kenaikan kadar hepsidin secara cepat dan hipoferemia sebagai akibatnya, dengan interleukin-6 (IL-6) sebagai mediator utamanya, menyebabkan pengikatan Signal Transducer and Activator of Transcription 3 (STAT3) ke promotor hepsidin sehingga meningkatkan aktivitasnya. Pemberian infus IL-6 atau lipopolisakarida yang menginduksi peningkatan kadar IL-6 pada sukarelawan sehat menyebabkan peningkatan hepsidin diikuti hipoferemia. Penelitian pada manusia dengan infeksi kronis dan penyakit inflamasi berat juga menunjukkan peningkatan kadar hepsidin yang mengindikasikan bahwa peningkatan kadar hepsidin berperan penting dalam anemia karena inflamasi dan blokade retikuloendotelial.1,3,10 Pemberian besi, baik oral maupun parenteral, secara cepat meningkatkan kadar mRNA hepsidin hepatik dan hepsidin plasma. Peningkatan kadar hepsidin selanjutnya menghambat absorpsi besi usus dan melindungi dari kelebihan besi.10 Meskipun mekanisme molekular yang sebenarnya belum sepenuhnya dimengerti, regulasi hepsidin melalui induksi transkripsi gen hepsidin oleh pemberian besi diperantarai jalur pengiriman sinyal bone morphogenic protein-6 (BMP-6)/ SMAD yang meliputi protein hemojuvelin (HJV), protein hemokromatosis HFE, tranferrin receptor (TFR) 1 dan 2. Sebaliknya, kondisi defisiensi besi menghasilkan kadar hepsidin yang rendah. Protease serin transmembran hepar yang dikenal sebagai TMPRSS6 atau matriptase-2, dibutuhkan untuk menekan gen hepsidin dalam kondisi tersebut. Protease ini membelah dan melarutkan HJV, menghambat jalur pengiriman sinyal BMP-6/SMAD.1,3,10 Mekanisme molekular regulasi hepsidin oleh hipoksia atau anemia belum diketahui dengan jelas. Penelitian menunjukkan bahwa hypoxia inducable factor (HIF) -1 alpha, yaitu suatu faktor transkripsi heterodimer yang juga memperantarai tingkat ekspresi eritropoietin dan berbagai gen terinduksi hipoksia,
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA berkontribusi menghambat produksi hepsidin. Hypoxia inducable factor diduga menekan ekspresi hepsidin secara tidak langsung dengan menurunkan induksi hepsidin termediasi BMP-SMAD dan/atau induksi hepsidin termediasi HFE/TFR2. Penelitian lain menunjukkan bahwa induksi eritropoiesis akibat hipoksia atau anemia itu sendiri yang menghambat produksi hepsidin.1,2 Regulasi hepsidin oleh eritropoiesis juga belum dimengerti sepenuhnya. Peningkatan aktivitas eritropoiesis yang juga dapat disebabkan oleh pemberian ESA menurunkan kadar hepsidin di sirkulasi dan menyebabkan mobilisasi cepat besi dari penyimpanannya untuk memenuhi kebutuhan sumsum tulang.2 Hubungan antara produksi hepsidin dan eritropoiesis menandakan adanya regulator antara eritron dan hepar yaitu soluble transferrin receptor (sTfR) dan growth differential factor 15 (GDF15).2,3 PENGUKURAN HEPSIDIN Kadar hepsidin sulit diukur meskipun berbagai metode pemeriksaan telah dikembangkan. Pemeriksaan hepsidin yang pertama adalah dengan imunodot untuk mengukur hepsidin urin, akan tetapi pemeriksaan ini sifatnya semi-kuantitatif, sulit, dan tidak cocok untuk mengukur hepsidin serum. Selanjutnya dikembangkan pemeriksaan lebih komersial yang mendeteksi kadar prohepsidin, tetapi tidak berkorelasi dengan aktivitas biologis, status besi, inflamasi dan tidak lagi dianggap memiliki kegunaan klinis. Teknik pemeriksaan lain adalah dengan mass spectroscopy yang mengukur hepsidin matur di urin dan serum. Meskipun teknik ini memiliki keuntungan dapat membedakan hepsidin-25, hepsidin-22, dan hepsidin-20, tetapi masih mengandalkan peralatan mahal yang tidak tersedia luas dan bersifat semi-kuantitatif. Belakangan telah dikembangkan pemeriksaan imunologis (immunoassay) dan pemeriksaan berdasarkan kompetisi terhadap ikatan 125I-hepsidin-25 ke peptida yang identik dengan tempat ikatan hepsidin feroportin yang dapat mengukur hepsidin-25 secara kuantitatif.1,2,5,10,12 Rentang kadar hepsidin normal pada individu sehat menurut satu penelitian menggunakan metode competitive enzymelink immunosorbent assay adalah 29-254 ng/ mL (rerata 112 ng/mL) pada pria dan 17286 ng/mL (rerata 65 ng/mL) pada wanita.13 Sementara penelitian lain melaporkan rerata
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Gambar 1 Regulasi hepsidin10 Pemberian besi/status besi yang cukup dan inflamasi meningkatkan produksi hepsidin di hepar. Peningkatan kadar hepsidin menurunkan ekspresi ferroportin (FPN) di permukaan sel duodenum dan retikuloendotelial, menyebabkan berkurangnya absorpsi besi di usus, pelepasan besi dari penyimpanannya, dan saturasi transferin (TrFn). Sebaliknya, stimulasi eritropoiesis, stabilisasi hypoxia inducible factor (HIF) pada hipoksia, dan defisiensi besi menekan produksi hepsidin, menyebabkan meningkatnya absorpsi besi di usus, pelepasan besi dari penyimpanannya, dan saturasi transferin sehingga besi digunakan secara lebih efisien untuk eritropoiesis.
kadar hepsidin serum pada anak 25,3 ng/mL dan pada dewasa 72,9 ng/mL, menandakan adanya variasi kadar hepsidin terkait jenis kelamin dan usia. Selain itu juga dilaporkan adanya variasi diurnal kadar hepsidin pada individu sehat dengan kadar puncak di sore hari, pola diurnal ini tidak terlalu tampak pada pasien PGK yang menjalani dialisis karena berkurangnya bersihan hepsidin di ginjal akibat penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).9 Satu penelitian yang membandingkan berbagai metode pemeriksaan menggunakan mass spectroscopy dan imunokimia untuk mengukur hepsidin matur di serum dan urin secara kuantitatif menunjukkan perbedaan besar hasil pengukuran kadar hepsidin sehingga metode pemeriksaan hepsidin yang ada masih perlu distandarisasi.1 HEPSIDIN PADA PASIEN PGK Penelitian terdahulu yang menggunakan prohepsidin untuk mengukur hepsidin secara tidak langsung, melaporkan peningkatan kadar prohepsidin pada pasien PGK. Akan tetapi karena kurang berkorelasi dengan
besi dan inflamasi, kini prohepsidin tidak lagi dianggap representatif.2,3 Tomosugi dkk. menggunakan mass spectroscopy yang mampu mengukur hepsidin matur, melaporkan peningkatan kadar hepsidin pada pasien PGK hemodialisis. Selain itu juga dilaporkan bahwa hepsidin dibuang saat dialisis pada beberapa pasien.14 Penelitian lain menggunakan mass spectroscopy pada pasien PGK predialitik dengan LFG < 30 mL/menit juga melaporkan peningkatan kadar hepsidin.3 Zaritsky dkk. menggunakan competitive enzyme-linked immunosorbent assay untuk mengukur hepsidin dan melaporkan peningkatan kadar hepsidin serum pada pasien anak (rerata: 127,3 ng/ mL) dan dewasa (rerata: 269,9 ng/mL) dengan PGK stadium 2 sampai 4 dan pada pasien anak dengan dialisis peritoneal (rerata: 652,4 ng/ mL) dibanding kontrol (rerata anak: 25,3 ng/ mL, rerata dewasa: 72,9 ng/mL).4 Ashby dkk. juga melaporkan peningkatan konsentrasi hepsidin pada pasien PGK dewasa dan pasien hemodialisis dengan konsentrasi tertinggi ditemukan pada kelompok hemodialisis.15
339
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2 Jalur pengiriman sinyal untuk transkripsi hepsidin hepatik10 Interleukin-6 (IL-6) berikatan dengan reseptornya dan bekerjasama dengan Janus kinase (JAK) mengaktivasi pengiriman sinyal STAT3. Status besi yang cukup meningkatkan produksi hepsidin melalui ikatan antara besi terikat transferin (transferrinbound iron) dan transferrin receptor 1 (TFR1) yang menggeser HFE, suatu produk gen hemokromatosis. HFE dan besi terikat transferin berikatan dengan transferrin receptor 2 (TFR2) dan meningkatkan transkripsi hepsidin baik secara langsung maupun bersama bone morphogenic protein-6 (BMP-6)/ hemojuvelin (HJV)/ kompleks reseptor BMP. Mutasi pada HFE, HJV, dan TFR2 dapat mengganggu transkripsi hepsidin termediasi besi, menyebabkan kelebihan besi progresif. Defisiensi besi mengganggu transkripsi hepsidin melalui HJV terikat protease TMPRSS6 pembelah membran (protease TMPRSS6 cleaving membrane-bound HJV), menghasilkan HJV terlarut (soluble HJV) (sHJV) yang mengganggu pengiriman sinyal kompleks reseptor BMP secara kompetitif.
Dari berbagai penelitian yang sudah ada, tampak jelas terdapat peningkatan kadar hepsidin serum pada pasien PGK; pada pasien PGK predialitik terdapat peningkatan serum hepsidin sekitar dua hingga empat kali lipat sedangkan pada PGK dialisis sekitar enam hingga sembilan kali lipat jika dibandingkan kontrol.1,3,9,10 Hepsidin terutama diekskresi melalui ginjal dan terdeteksi di urin. Penelitian menunjukkan bahwa LFG berkorelasi terbalik dengan hepsidin serum, mengindikasikan bahwa penurunan LFG berkontribusi meningkatkan kadar hepsidin serum pada pasien PGK. Penelitian lain yang mendukung hal ini adalah fungsi ginjal sisa, yang diukur dari luaran urin, berhubungan dengan kadar hepsidin serum yang lebih rendah pada pasien hemodialisis dan dialisis peritoneal dibandingkan pasien yang anuri. Mekanisme lain yang berperan menyebabkan peningkatan kadar hepsidin adalah akibat adanya inflamasi kronis dan pemberian besi pada pasien PGK.1-3,5,9,10 HEPSIDIN DAN ANEMIA PADA PGK Pada pasien PGK, peningkatan kadar hepsidin seperti yang sudah diperlihatkan
340
oleh berbagai penelitian juga berkorelasi dengan anemia sehingga diduga berperan dalam patogenesis terjadinya anemia. Kadar hepsidin yang berlebih menghambat pelepasan besi dari simpanannya ke sirkulasi (blokade retikuloendotelial) dan menurunkan absorpsi besi enteral sehingga mengurangi ketersediaan besi untuk eritropoiesis yang lama-kelamaan menyebabkan anemia defisiensi besi. Mekanisme ini juga diduga berperan dalam terjadinya resistensi ESA. Selain itu, penelitian in vitro juga menunjukkan bahwa peningkatan kadar hepsidin dapat berkontribusi menyebabkan anemia pada PGK dengan menghambat pembentukan koloni eritroid saat konsentrasi eritropoietin rendah dan mengurangi kesintasan sel darah merah.1-3,5,9,10 IMPLIKASI KLINIS HEPSIDIN DALAM TATA LAKSANA ANEMIA PADA PGK Karena pentingnya peran hepsidin dalam patogenesis anemia pada PGK, diharapkan hepsidin juga mempunyai implikasi penting dalam tata laksana anemia pada PGK. Hepsidin diharapkan berguna sebagai parameter diagnostik dan target terapi anemia pada PGK.
Hepsidin Sebagai Parameter Diagnostik Anemia Pada PGK Marker status besi yang paling sering digunakan saat ini yaitu kadar feritin dan saturasi transferin yang dianggap kurang optimal dan tidak dapat memprediksi respons terapi besi dengan akurat. Hepsidin secara langsung menggambarkan ketersediaan dan kebutuhan besi untuk eritropoesis dan karena berhubungan dengan inflamasi dan eritropoiesis, dapat menggambarkan status homeostasis besi lebih baik dibandingkan parameter tunggal seperti saturasi transferin, feritin, dan c-reactive protein. Kadar hepsidin yang tinggi disertai feritin yang tinggi menandakan kurangnya ketersediaan besi untuk eritropoiesis meski simpanan besinya berlebih. Keadaan ini disebut hepcidinmediated iron-restrictive erythropoiesis, membutuhkan terapi besi intravena; sehingga kadar hepsidin dapat memprediksi kebutuhan terapi besi intravena pada pasien PGK. Sebaliknya, kadar hepsidin yang rendah dapat memprediksi kemungkinan respons yang baik dengan terapi besi oral saja. Peningkatan kadar hepsidin setelah pemberian besi juga dapat membantu klinisi memantau respons terapi besi sekaligus dapat memperingatkan bila terjadi kelebihan besi. Oleh karenanya, sebagai regulator homeostasis besi yang sesungguhnya, hepsidin diharapkan dapat menjadi biomarker penting status besi dan panduan prediksi dan pemantauan respons terapi besi untuk anemia pada PGK.1-4,9,10,12 Hepsidin berkorelasi terbalik dengan dosis ESA yang merupakan inhibitor ekspresi hepsidin. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa hepsidin mungkin memiliki peran diagnostik sebagai prediktor respons terapi ESA. Penurunan kadar hepsidin pada awal terapi ESA merupakan indikator responsivitas jangka panjang terhadap pemberian ESA. Selain itu hepsidin juga dapat digunakan sebagai prediktor resistensi ESA. Makin tinggi kadar hepsidin, makin tinggi juga dosis ESA yang dibutuhkan untuk menurunkannya yang menandakan makin tingginya resistensi terhadap ESA.1-3,9,10,12 Meskipun hepsidin memiliki potensi sebagai modalitas diagnostik dan prediktor terapi dalam tata laksana anemia pada PGK, saat ini data tentang hal tersebut masih terbatas. Beberapa penelitian justru meragukan kegunaan diagnostik hepsidin. Kato dkk.
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA yang meneliti kegunaan hepsidin sebagai prediktor responsivitas ESA pada sejumlah kecil pasien dialisis dengan menggunakan mass spectroscopy melaporkan bahwa kadar hepsidin pada kelompok pasien yang responsif ESA dan tidak responsif ESA tidak berbeda.16 Karena itu, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengkonfirmasi potensi kegunaan diagnostik hepsidin.2,10 Hepsidin Sebagai Target Terapi Anemia pada PGK dan Agen Penurun Kadar Hepsidin Seperti dijelaskan sebelumnya, peningkatan kadar hepsidin menyebabkan keadaan ironrestricted erythropoiesis dan berkontribusi menyebabkan anemia pada PGK. Oleh karenanya, penghambatan kerja hepsidin diharapkan dapat memperbaiki anemia, mengatasi defisiensi besi fungsional dan menurunkan kebutuhan ESA melalui peningkatan ambilan besi dari saluran cerna dan pelepasannya dari makrofag. Atas dasar inilah muncul pemikiran untuk
mengembangkan suatu antagonis hepsidin dan menjadikan hepsidin suatu target terapi.13,5,9,10
Berbagai penelitian untuk mencari dan mengembangkan antagonis hepsidin telah dilakukan. Penelitian pada tikus percobaan melaporkan bahwa pemberian antibodi monoklonal dapat menetralisasi hepsidin dan memperbaiki respons terhadap eritropoietin. Penelitian lain pada hewan menunjukkan bahwa inhibitor BMP, termasuk HJV terlarut, dan suatu molekul kecil penghambat BMP yaitu dorsomorphin, dapat berfungsi menurunkan kadar hepsidin untuk meningkatkan mobilisasi besi dari limpa dan meningkatkan kadar besi serum.1,9,10 Pemberian anti-IL-6 seperti tocilizumab dilaporkan dapat menekan produksi hepsidin dan memperbaiki anemia pada penyakit Castleman, suatu gangguan limfoproliferatif yang dicirikan dengan kadar IL-6 yang tinggi, menunjukkan bahwa terapi anti-sitokin secara umum mungkin dapat menurunkan
produksi hepsidin. Penelitian pada manusia lainnya menunjukkan bahwa inhibitor HIF prolyl hydrolase dapat meningkatkan HIF, memperbaiki anemia pada PGK, meningkatkan produksi eritropoietin endogen, dan menurunkan kadar hepsidin. Selain itu ada juga penelitian in vitro yang menunjukkan bahwa inhibitor STAT3 seperti curcumin dapat menekan ekspresi gen hepsidin meskipun telah distimulasi oleh IL6.9,10 Tetap diperlukan penelitian lain untuk membuktikan efektivitas antagonis hepsidin tersebut dalam penatalaksanaan anemia pada PGK dan potensi efek sampingnya. SIMPULAN Hepsidin sebagai regulator homeostasis besi sistemik berperan penting dalam patogenesis terjadinya anemia pada PGK. Karena itu, hepsidin diharapkan memiliki implikasi penting sebagai modalitas diagnostik dan terapeutik untuk penatalaksanaan anemia pada PGK yang lebih efektif di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Babitt JL, Lin HY. Molecular mechanisms of hepcidin regulation: implications for the anemia of CKD. Am J Kidney Dis. 2010; 55: 726-41
2.
Swinkels DW, Wetzels JFM. Hepcidin: a new tool in the management of anaemia in patients with chronic kidney disease? Nephrol Dial Transplant. 2008; 23: 2450-3.
3.
Young B, Zaritsky J. Hepcidin for clinicians. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: 1384-7.
4.
Zaritsky J, Young B, Wang HJ, Westerman M, Olbina G, Nemeth E, dkk. Hepcidin - a potential novel biomarker for iron status in chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: 1051-6.
5.
Malyszko J, Mysliwiec M. Hepcidin in anemia and inflammation in chronic kidney disease. Kidney Blood Press Res. 2007; 30: 15-30.
6.
Deicher R, Horl WH. Hepcidin: a molecular link between inflammation and anemia. Nephrol Dial Transplant. 2004; 19: 521-4.
7.
Nurko S. Anemia in chronic kidney disease: causes, diagnosis, treatment. Cleve Clin J Med. 2006; 73: 289-97.
8.
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work Group. KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney Int., suppl. 2012; 2: 279-335.
9.
Atkinson MA, White CT. Hepcidin in anemia of chronic kidney disease: review for the pediatric nephrologist. Pediatr Nephrol. 2012; 27: 33-40.
10. Coyne DW. Hepcidin: clinical utility as a diagnostic tool and therapeutic target. Kidney Int. 2011; 80: 240-4. 11. Park CH, Valore EV, Waring AJ, Ganz T. Hepcidin, a urinary antimicrobial peptide synthesized in the liver. J Biol Chem. 2001; 276: 7806-10. 12. Kemna EHJM, Tjalsma H, Willems HL, Swinkels DW. Hepcidin: from discovery to differential diagnosis. Haematologica. 2008; 93: 90-7. 13. Ganz T, Olbina G, Girelli D, Nemeth E, Westerman M. Immunoassay for human serum hepcidin. Blood. 2008; 112: 4292-7. 14. Tomosugi N, Kawabata H, Wakatabe R, Higuchi M, Yamaya H, Umehara H, dkk. Detection of serum hepcidin in renal failure and inflammation using proteinchip system. Blood. 2006; 108: 1381-7. 15. Ashby DR, Gale DP, Busbridge M, Murphy KG, Duncan ND, Cairns TD, dkk. Plasma hepcidin levels are elevated but responsive to erythropoietin therapy in renal disease. Kidney Int. 2009; 75: 976-81. 16. Kato A, Tsuji T, Luo J, Sakao Y, Yasuda H, Hishida A. Association of prohepcidin and hepcidin-25 with eryhtropoietin response and ferritin in hemodialysis patients. Am J Nephrol. 2008; 28: 115-21.
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
341