TESIS
HbA1c YANG TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO RENDAHNYA SEKRESI AIR MATA PASIEN DIABETES MELITUS PASCA FAKOEMULSIFIKASI
NI MADE AYU SURASMIATI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
1
TESIS
HbA1c YANG TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO RENDAHNYA SEKRESI AIR MATA PASIEN DIABETES MELITUS PASCA FAKOEMULSIFIKASI (7,6
NI MADE AYU SURASMIATI NIM 1014128102
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
2
HbA1c YANG TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO RENDAHNYA SEKRESI AIR MATA PASIEN DIABETES MELITUS PASCA FAKOEMULSIFIKASI
(7,6 Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI MADE AYU SURASMIATI NIM 1014128102
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
3
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 6 MARET 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
dr. W. G. Jayanegara, SpM(K) NIP. 19640229 1991031002
Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes NIP. 19610505 1990022001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur, Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie,I.Pangkahila,SpAnd,FAACS Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,SpS(K) NIP. 19461213 1971071001 NIP. 19590215 1985102001
4
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 6 Maret 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 0518/UN 14 4/HK/2014 Tertanggal 4 Maret 2014
Ketua
: dr. I W.Gede Jayanegara, Sp.M (K)
Sekretaris
: Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes
1. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro 2. Dr. dr. I D Made Sukrama, M.Si., Sp.MK (K) 3. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC.,Sp.And
5
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada : 1.
Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp OT(K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Universitas Udayana.
2.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. AA Raka Sudewi, SpS(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3.
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr. Wimpie, I. Pangkahila, SpAnd., FAACS yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Biomedik combined degree.
4.
Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.
5.
Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. Putu Budhiastra, SpM (K) yang telah memberikan kesempatan
6
mengikuti program pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. 6.
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. AAA Sukartini Djelantik, SpM (K) yang telah memberikan kesempatan serta bimbingan mengikuti program pendidikan spesialisasi.
7.
dr. W. G. Jayanegara, SpM (K), sebagai pembimbing I yang telah meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan, sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini.
8.
Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes selaku pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya tesis ini.
9.
Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, M.SC, SpAnd, Prof. Dr. dr. I Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro, PA(K) dan Dr. dr. Dewa Made Sukrama, SpMK(K) selaku penguji atas semua masukan, koreksi dan saran dalam penyelesaian tesis ini.
10. Direktur RS Indera Denpasar atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar. 11. dr. IGN Md. Sugiana, SpM, sebagai Kepala SMF Mata RS Indera Denpasar, yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar 12. dr. IGAM Juliari, SpM dan dr I Wayan Gede Artawan Eka Putra, S.Ked, M.Epid atas masukannya mengenai penulisan dan statistik penelitian 13. Seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya.
7
14. Seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini 15. Dr. dr. Anak Agung Wiradewi Lestari, S.Ked, Sp.PK dan seluruh petugas laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah atas izin dan kerjasamanya dalam pengambilan sampel penelitian. 16. Seluruh paramedik di Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera atas bantuan dan kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian. Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda kami I Ketut Sukajaya (alm) dan Ni Wayan Murniathi, yang telah memberikan bekal pendidikan yang cukup, motivasi dan semangat kepada penulis. Ayahanda dan Ibunda Mertua Drs I Made Legawa dan Dra Sayu Kade Sutarmi, terimakasih atas dorongannya selama ini. Akhirnya kepada suami tercinta dr. I Putu Agus Lastya Eka Permana, S.Ked dan Ananda tersayang Ayu Ananda Melati Pramitaswari dan Ngurah Bagus Satyananda Narotama, atas dorongan semangat dan pengertian selama penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini. Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan Mata. Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Denpasar, Januari 2014
Penulis
8
ABSTRAK
HbA1c YANG TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO RENDAHNYA SEKRESI AIR MATA PASIEN DIABETES MELITUS PASCA FAKOEMULSIFIKASI
Gangguan sekresi air mata dapat menimbulkan rasa tidak nyaman karena mengganggu aktivitas dan kualitas hidup. Pasien diabetes melitus (DM) sering mengalami gangguan sekresi air mata yang disebabkan komplikasi neuropati perifer. Hal ini mempengaruhi reflek lakrimasi. Kadar HbA1c sebagai kontrol glikemik pasien DM menggambarkan komplikasi yang terjadi. Tindakan pembedahan yang melibatkan kornea seperti fakoemulsifikasi diduga menggangu sekresi air mata. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan kadar HbA1c yang tinggi sebagai faktor risiko rendahnya sekresi air mata pasien DM pasca fakoemulsifikasi. Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol yang dilaksanakan di Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar Bali, mulai bulan Juni 2013 sampai bulan November 2013. Subjek penelitian adalah pasien DM pasca pembedahan fakoemulsifikasi 12-16 minggu. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus yaitu sekresi air mata rendah (hasil tes Schirmer 1 <10mm). Kelompok kontrol yaitu sekresi air mata normal (hasil tes Schirmer 1 ≥10mm). Kedua kelompok dilakukan pemeriksaan HbA1c untuk melihat kontrol glikemik 3 bulan. Dari 70 subjek penelitian, 35 subjek dimasukkan ke kelompok kasus dan 35 kelompok kontrol. Setelah dilakukan hasil analisis multivariat dengan regresi logistik didapatkan hasil adjusted odd ratio sebesar 2,44. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan kadar HbA1c yang tinggi meningkatkan risiko terjadinya penurunan sekresi air mata pasien DM pasca fakoemulsifikasi.
Kata kunci : sekresi air mata, kadar HbA1c, fakoemulsifikasi
9
ABSTRACT
HIGH HbA1c AS RISK FACTOR OF LOWER TEAR SECRETION IN DIABETES MELLITUS PATIENTS AFTER PHACOEMULSIFICATION Impaired tear secretion can cause discomfort because it can interfere activity and quality of life. Patients with diabetes mellitus (DM) often have disturbance of tear secretion which was caused by complications of peripheral neuropathy. This affects the lacrimation reflex. HbA1c levels as glycemic control in diabetic patients describe the complications that occur. Corneal surgery such as phacoemulsification assumed to disrupt tear secretion. This study aimed to determine whether high levels of HbA1c as risk factor of lower risk of tear secretion in diabetes mellitus patients after phacoemulsification. This is a case-control study conducted at the Eye Clinic Sanglah Hospital and Indera Hospital Denpasar Bali, from June 2013 to November 2013. The subjects were diabetes mellitus patients 12-16 weeks after phacoemulsification surgery. Subjects were divided into case group with low tear secretion (Schirmer 1 test < 10mm). Control group with normal tear secretion (Schirmer 1 test results ≥ 10mm). Both groups were performed HbA1c test to evaluate glycemic control in 3 months. From 70 subjects, 35 subjects were case group and 35 subjects were control group. After analysis of multivariate logistic regression, odds ratio is obtained by 2.44. Based on the results of this study concluded that high HbA1c levels as risk factor of lower tear secretion in diabetes mellitus patients after phacoemulsification.
Keywords : tear secretion , HbA1c levels , phacoemulsification
10
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ..............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...........................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...........................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
vi
ABSTRAK ..................................................................................................
ix
ABSTRACT .................................................................................................
x
DAFTAR ISI………………………………………………………………
xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG……………………………..
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang…………………………………………………….
1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………
4
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………….
4
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………...…
4
1.4.1 Manfaat teoritis ..………………………………………...…
4
1.4.2 Manfaat praktis…………………………………….....……..
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Air Mata…………………………………...........………………....
6
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Lapisan Air Mata...............................
6
2.1.1.1 Lapisan aqueous air mata.........................................
11
7
2.1.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi sekresi air mata ..
8
2.1.1.2.1 Reflek lakrimasi.........................................
10
2.1.2 Evaluasi Sekresi Air Mata………...............……….....……..
12
2.2 Diabetes Melitus…………………………….. .......……......……..
14
2.2.1 Definisi dan Diagnosis Diabetes Melitus ....……………......
14
2.2.1.1 Kontrol glikemik pada diabetes melitus.....................
16
2.2.1.2 Hemoglobin terglikasi (HbA1c) ……………………
16
2.2.2 Komplikasi Diabetes Melitus…….........................................
18
2.2.2.1 Komplikasi diabetes melitus pada sekresi air mata ...
19
2.2.2.1.1 Sensitivitas kornea pada diabetes melitus....
20
2.3 Katarak dan Pembedahan Katarak………………………………..
21
2.3.1 Katarak……………………………………………………...
21
2.3.2 Operasi Pembedahan Katarak………………………………
22
2.4 Lapisan Air Mata Pasien Diabetes Pasca Fakoemulsifikasi……...
25
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir .……………………………………………….
27
3.2 Konsep Penelitian…………...........……………………………….
28
3.3 Hipotesis Penelitian ………….………………………………......
28
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………...
29
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………...
29
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian……........………………………...
29
4.3.1 Populasi penelitian........……………………………………..
29
4.3.2 Sampel penelitian …………………………………….........
30
4.3.2.1 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ......................
30
4.3.2.2 Besar sampel...…………………………………....….
31
4.3.2.3 Cara pemilihan sampel…..................………………...
32
4.4 Variabel Penelitian………………………………………………...
32
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel……………………........
32
12
4.4.2 Definisi operasional variabel………………………………..
33
4.5 Instrumen Penelitian.........................................................................
35
4.6 Prosedur Penelitian...........................................................................
35
4.6.1 Tahap persiapan......................................................................
35
4.6.2 Pelaksanaan penelitian............................................................
36
4.7 Alur Penelitian ................................................................................
37
4.8 Analisis Data .......………………………………………….……...
38
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian….....……………………………...
39
5.2 Hasil Analisis Bivariat Hubungan Kadar HbA1c Dengan Sekresi Air Mata Pasien DM Pasca Fakoemulsifikasi .................................
40
5.3 Hasil Analisis Multivariat Hubungan Kadar HbA1c Dengan Sekresi Air Mata Pasien DM Pasca Fakoemulsifikasi………........
41
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian….....………......................……………………...
43
6.2 Hubungan Kadar HbA1c Dengan Sekresi Air Mata Pasien DM Pasca Fakoemulsifikasi ...................................................................
49
6.3 Kelemahan Penelitian …………………………………………….
52
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ….....……………………………....................................
53
7.2 Saran….....……………………........................................………...
53
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
54
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..........................................................................
61
13
DAFTAR TABEL Halaman
5.1
Karakteristik Subjek Penelitian ............................................................. 39
5.2
Hubungan Kadar HbA1c dengan Sekresi Air Mata Pasien DM Pasca
5.3
Fakoemusifikasi ...........................................................……….............
41
Hasil Analisis Multivariat dengan Regresi Logistik…………………
42
14
DAFTAR GAMBAR Halaman
2.1
Unit Lakrimasi Fungsional..................................................................... 11
2.2
Insisi Kornea Pembedahan Katarak………..……….............................
23
3.1
Bagan Konsep Penelitian ......................................................................
28
4.1
Skema Rancangan Penelitian ...............................................................
29
4.2
Skema Hubungan Antar Variabel ........................................................
33
4.3
Skema Alur Penelitian ........................................................................... 37
15
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
AGEs
= Advanced Glycation End Products
ATD
= Aqueous Tear Deficiency
DES
= Dry Eye Syndrome
DM
= Diabetes Melitus
EKEK
= Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular
EKIK
= Ekstraksi Katarak Intrakapsular
ETD
= Evaporative Tear Dysfunction
HbA1c
= Haemoglobin Adult 1c (hemoglobin terglikasi)
IDF
= International Diabetes Federation
IFCC
= International Federation of Clinical Chemistry
KAD
= Ketoasidosis Diabetika
LASIK
= Laser insitu keratomileusis
N.VII
= nervus tujuh
OAD
= Obat Anti Diabetes
Perkeni
= Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
RSUP
= Rumah Sakit Umum Pusat
SS
= Sindrom Sjogren
TINIA
= Turbidimetric Inhibitor Immunoassy
TTGO
= Tes Toleransi Glukosa Oral
UKPDS
= UK Prospective Diabetes Study
WHO
= World Health Organization
16
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Penjelasan Penelitian ...............................................
61
Lampiran 2
Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan .................
63
Lampiran 3
Kuisioner Penelitian ..........……….........................
64
LLampiran 4
Tabel Induk penelitian ............................................
65
Lampiran 5
Hasil Pemeriksaan HbA1c.......................................
67
LLampiran 6
Out Put SPSS...........................................................
69
LLampiran 7
Kelaikan Etik ..........................................................
77
Lampiran 8
Surat Ijin Penelitian di RSUP Sanglah.....................
78
LLampiran 9
Surat Ijin Penelitian di RS Indera………………….
79
17
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rasa tidak nyaman pada mata merupakan masalah yang sering diungkapkan pasien karena dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan rasa tidak nyaman dapat berupa rasa pedih pada mata, rasa terbakar, terganggunya aktivitas membaca dan mengemudi, sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien. Hal ini terjadi akibat gangguan pada lapisan air mata yang melindungi permukaan bola mata. Air mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan lipid, aqueous, dan musin. Lapisan aqueous menempati hampir 90% ketebalan lapisan air mata. Lapisan aqueous berfungsi sebagai pelarut nutrisi, oksigen, protein spesifik yang berperan sebagai anti mikroba (Tsubota
et al., 2008; American Academy of
Ophthalmology, 2011-2012a). Sekresi air mata terutama lapisan aqueous dihasilkan sebagian besar oleh kelenjar lakrimal. Sekresi air mata dipengaruhi oleh sistem persarafan yang melibatkan suatu unit lakrimal fungsional yang kompleks. Rangsangan dari permukaan bola mata akan merangsang reflek lakrimasi. Reflek lakrimasi penting terutama sebagai proteksi bola mata (Rios et al.,; Lemp, 2008). Gangguan sekresi air mata akan menimbulkan dry eye syndrome (DES) atau mata kering yang merupakan penyakit multifaktorial dari air mata
18
19
dan permukaan bola mata. DES menimbulkan rasa tidak nyaman, gangguan penglihatan, dan gangguan stabilitas lapisan air mata serta berpotensi untuk terjadi kerusakan pada permukaan bola mata (Dry Eye Workshop, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b). Prevalensi DES meningkat dengan bertambahnya usia. Dry Eye Workshop, tahun 2007, menyatakan prevalensi DES pada populasi di atas umur 50 tahun sekitar 5-30%. Selain umur, jenis kelamin juga mempengaruhi prevalensi DES. Berdasarkan penelitian di Amerika, diperkirakan 3,23 juta perempuan dan 1,68 juta laki-laki dari 4,91 penduduk Amerika usia lebih dari 50 tahun menderita DES (Schaumberg et al., 2003; Chia et al., 2003). Rendahnya sekresi air mata dapat dievaluasi dengan tes Schirmer yaitu bila hasil tes Schirmer kurang dari 10 mm (Tsubota et al., 2008; Dry Eye Workshop, 2007). Faktor-faktor yang diduga menyebabkan penurunan sekresi air mata antara lain penuaan, inflamasi, dan penggunaan obat-obatan tertentu seperti beta-bloker, diuretik dan anti-depresan (Muchnick, 2008; Fraunfelder, 2011). Suatu tindakan pembedahan yang melibatkan kornea seperti bedah refraktif dan katarak akan mengganggu reflek lakrimasi (Donnenfeld, et al., 2003; Cho et al., 2009). Selain itu, penyakit sistemik seperti diabetes melitus juga akan mempengaruhi sekresi air mata (Grus, et al., 2002; American Academy of Opthalmology, 2011-2012b). Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia (American Diabetes Association, 2010). World Health Organization (WHO) memprediksi peningkatan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) memprediksi
20
peningkatan penderita DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (IDF, 2005; Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). Salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM adalah kadar HbA1c (American Diabetes Association, 2010). HbA1c menggambarkan pemantauan gula darah pada penderita DM atau yang disebut sebagai kontrol glikemik. Kontrol glikemik yang buruk ditandai dengan tingginya kadar HbA1c yaitu lebih dari 7% (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). Buruknya kontrol glikemik pada pasien DM akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi akut maupun kronis dari DM (Schneider et al., 2003; American Diabetes Association, 2010). Komplikasi DM antara lain makroangipati, mikroangiopati, dan neuropati perifer. Neuropati inilah yang menimbulkan penurunan sensitivitas kornea dan dicurigai sebagai penyebab gangguan persarafan baik aferen atau eferen pada reflek lakrimasi (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a). Penelitian Manaviat et al., 2008, mengungkapkan sekitar 54,3% pasien DM terjadi gangguan pada lapisan air mata ditunjang dengan penelitian lain yang menyatakan kontrol glikemik yang buruk pada pasien DM meningkatkan kejadian DES (Oktaviani et al., 2011). Rendahnya sekresi air mata dapat dipicu karena tindakan pembedahan yang melibatkan kornea (Li et al., 2007; Cho et al., 2009). Pembedahan katarak akan menyebabkan terpotongnya persarafan sensori kornea (Kim et al., 2009). Penelitian tentang lapisan air mata pada pasien DM mendapatkan bahwa terdapat korelasi antara kadar HbA1c dengan kuantitas sekresi air mata (Oktaviani et al., 2011). Penelitian lain tentang lapisan air mata pasca pembedahan katarak
21
mendapatkan fakoemulsifikasi dapat memicu terjadinya DES (Li et al., 2007; Cho et al., 2009). Namun penelitian yang mencari hubungan antara sekresi air mata dan HbA1c pada pasien pasca fakoemulsifikasi belum pernah dipublikasikan. Kadar HbA1c belum menjadi perhatian dalam perioperatif fakoemulsifikasi di RSUP Sanglah maupun RS Indera. Atas dasar itulah penelitian ini dilakukan dengan harapan mampu menggambarkan besarnya risiko kontrol glikemik yang buruk yang ditandai dengan tingginya kadar HbA1c terhadap rendahnya sekresi air mata pada pasien pasca fakoemulsifikasi.
1.2
Rumusan Masalah Apakah kadar HbA1c yang tinggi sebagai faktor risiko rendahnya sekresi air mata pasien DM pasca fakoemulsifikasi?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan kadar HbA1c yang tinggi sebagai faktor risiko rendahnya sekresi air mata pasien DM pasca fakoemulsifikasi.
1.4
Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis Manfaat yang ingin diberikan pada penelitian ini adalah untuk menambah wawasan peranan kontrol glikemik yaitu HbA1c terhadap komplikasi yang ditimbulkan pasca pembedahan katarak terutama pada lapisan air mata.
22
1.4.2
Manfaat praktis 1. Sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan terapi tetes mata yang dapat melindungi lapisan air mata pasca pembedahan katarak. 2. Sebagai bahan konseling dan edukasi pada pasien pasca pembedahan terutama pasien DM tentang keluhan pada permukaan bola mata. 3. HbA1c sebagai kontrol glikemik dapat sebagai bahan pertimbangan dalam evaluasi perioperatif pasien DM yang menjalani pembedahan katarak untuk memantau komplikasi permukaan bola mata yang mungkin terjadi.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Air Mata 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Lapisan Air Mata Permukaan bola mata dilindungi oleh lapisan air mata yang berfungi untuk menyediakan permukaan refraktif dalam menjaga tajam penglihatan. Air mata mengandung protein spesifik seperti lysozym, lactoferin, lipocalin, imunoglobulin A sekretarius dan fosfolipase A2 yang berperan sehingga dapat melindungi permukaan bola mata (O’Callaghan et al., 2003). Lapisan air mata juga berfungsi menyediakan nutrisi dan oksigen untuk kornea yang avaskular. Lapisan ini membuat lingkungan lembab bagi sel epitel, melicinkan permukaan bola mata sekaligus melarutkan stimulus yang mengganggu (Tsubota et al., 2008; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a). Air mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu lipid, aqueous, dan musin. Ketebalan lapisan air mata sekitar 8-9 µm. Lapisan lipid merupakan lapisan superfisial dengan ketebalan sekitar 0,1-0,2 µm. Lapisan aqueous di bagian tengah dengan ketebalan 7-8 µm dan lapisan musin di bagian basal dengan ketebalan 1 µm. Lapisan lipid dihasilkan oleh kelenjar meibom yang berfungsi untuk mencegah penguapan air mata dan mempertahankan stabilitas air mata. Lapisan aqueous dihasilkan oleh kelenjar lakrimal utama yang terletak dalam orbita maupun kelenjar lakrimal tambahan seperti kelenjar Krause dan Wolfring pada konjungtiva. Lapisan ini berfungsi sebagai pelarut nutrisi, penyedia oksigen, antibakterial dan antiviral, serta menjaga regularitas
23
24
kornea. Lapisan musin yang kaya akan glikoprotein kontak dengan permukaan epitel kornea berperan sebagai barier dari perlekatan maupun penetrasi partikel asing atau bakteri ke permukaan bola mata. Musin diproduksi oleh sel goblet konjungtiva (Gipson et al., 2003; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b). 2.1.1.1 Lapisan Aqueous Air Mata Hampir seluruh ketebalan lapisan air mata diisi oleh lapisan aqueous. Lapisan ini mengandung air, elektrolit dan protein. Lapisan aqueous dihasilkan terutama oleh kelenjar lakrimal selain dari kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring (Gipson et al., 2003; Tsubota et al., 2008; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a). Kelenjar lakrimal merupakan kelenjar eksokrin yang berlokasi dalam fossa lakrimal. Fossa ini dibentuk oleh tulang frontal pada kuadran supero-lateral orbita. Kelenjar lakrimal dibagi menjadi dua bagian oleh aponeurosis levator, yaitu bagian palpebra dan bagian orbita. Bagian palpebra terletak dekat dengan bola mata dan tampak saat dilakukan pelipatan palpebra (eversi) yaitu pada superolateral konjungtiva (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012c). Kelenjar Krause dan Wolfring disebut juga kelenjar lakrimal tambahan yang menghasilkan 10% dari seluruh lapisan aqueous. Kelenjar Krause berlokasi sebagian besar pada forniks superior bagian lateral selain di forniks inferior. Kelenjar Wolfring terdapat sepanjang tarsus (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a). Kelenjar lakrimal memproduksi lapisan aqueous air mata yang selanjutnya akan membasahi seluruh permukaan bola mata melalui proses berkedip (Lemp, 2008). Setelah itu, air mata akan menuju ke pungtum lakrimal yang berbentuk lubang kecil
25
pada bagian dalam palpebra medial di superior dan inferior. Air mata akan diekskresikan ke sakus lakrimal melalui kanalis lakrimal. Dari sakus, air mata turun ke duktus nasolakrimal menuju meatus inferior hidung (Tsubota et al., 2008; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012c). 2.1.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi sekresi air mata Semua jaringan pada permukaan bola mata, kelenjar sekretorius, palpebra dan saluran ekskretorius dari jalur nasolakrimal terhubung oleh jaringan neural yang kompleks/unit fungsional lakrimal (American Academy of Opthalmology, 20112012a). Jalur sensori aferen berasal dari saraf ofthalmik cabang dari saraf trigeminus. Jalur eferen bersifat otonom yaitu simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis berasal dari ganglion servikal superior. Saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivarius superior yang berlokasi di pons, keluar dari batang otak bersama saraf fasialis (n.VII). Saraf lakrimalis kemudian meninggalkan n VII menuju kelenjar lakrimal. Persarafan yang kompleks ini berfungsi untuk mengontrol fungsi kelenjar lakrimal sehingga menjaga homeostasis lapisan air mata dan berespon terhadap stress dan trauma (Zoukhri, 2006; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b). Mekanisme hormonal juga berperan dalam pengaturan sekresi air mata dimana hormon androgen memiliki peranan penting. Hormon androgen mengatur anatomi, fisiologi dan sistem imun pada kelenjar lakrimal. Hormon lain seperti luteinizing hormon, follicle stimulating hormone, prolactin, thyroid stimulating hormone, progesterone dan estrogen juga berpengaruh terhadap fungsi lakrimal (Dry Eye
26
Workshop, 2007; Lemp, 2008). Pada pasien menopause terjadi penurunan sekresi air mata yang diyakini karena defisiensi estrogen (Schaumberg et al., 2003). Kelenjar lakrimal sering menjadi target sistem imun dan menunjukkan tandatanda inflamasi pada kondisi patologis tertentu. Hal ini dapat terjadi pada penyakit autoimun (Sindrom Sjogren) atau pada proses penuaan. Inflamasi kelenjar lakrimal akan mengganggu sekresi air mata. Pada proses penuaan akan terjadi perubahan struktur kelenjar lakrimal yang dipicu karena inflamasi (Ríos et al., 2005; Lemp, 2008). Sindrom Sjogren (SS) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik dimana secara primer mempengaruhi kelenjar lakrimal dan kelenjar air liur. Etiologi dari SS multifaktorial, meliputi virus, genetik dan faktor lingkungan (Mariette et al., 2004). Pasien dengan SS biasanya akan mengeluhkan rasa kering pada mata dan mulut. Umumnya SS dikaitkan dengan hipergamaglobulinemia, artritis rematoid atau antibody antinuklear. Pemeriksaan histologi kelenjar lakrimal dan kelenjar saliva menunjukkan infiltrasi limfosit dengan adanya area destruktif kelenjar (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b). Gangguan pada jalur aferen dan atau eferen pada lengkung reflek menurunkan sekresi lakrimal. Gangguan jalur aferen dapat disebabkan antara lain karena pengunaan lensa kontak, akibat operasi seperti laser insitu keratomileusis (LASIK) ataupun ekstraksi katarak ekstrakapsular (EKEK). Gangguan jalur eferen dipengaruhi oleh konsumsi obat antikolinergik seperti antihipertensi; antidepresan; antiaritmia; antiparkinson; dekongestan seperti efedrin dan pseudoefedrin; antihistamin; antiulkus dan obat untuk spasme otot. Obat antihipertensi yang terbukti menurunkan produksi air mata antara lain clonidine, prazosin, propanolol, reserpine, methyldopa
27
dan guanethidine. Antidepresan dan psikotropik seperti amitriptilin, imipramide, phenothiazine, dan diazepam menimbulkan DES. Disopyramide dan mexiletine adalah obat untuk antiaritmia yang berpotensi menimbulkan penurunan sekresi air mata. Antiparkinson seperti trihexyphenidyl, benztropine, biperiden dan procyclidine berpotensi menurunkan produksi air mata (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b). Gangguan kelenjar lakrimal dapat berhubungan dengan penyakit sistemik dan autoimun lainnya. Walaupun kelenjar lakrimal bukan sebagai target primer, namun proses inflamasi dapat terjadi. Salah satu penyakit yang dapat mengganggu sekresi air mata adalah diabetes melitus (Goebbels, 2000; Nepp et al., 2000; Grus et al., 2002). 2.1.1.2.1 Reflek Lakrimasi Sekresi kelenjar lakrimal dipengaruhi oleh reflek lakrimasi yang dipicu oleh suatu iritasi pada permukaan bola mata. Reseptor sensori merespon kondisi permukaan bola mata yaitu pada kornea dan konjungtiva. Reseptor ini selanjutnya akan mengirimkan sinyal aferen ke sistem saraf pusat yang kemudian akan memberikan impuls eferen berupa parasimpatis dan simpatis pada kelenjar lakrimal. Kondisi emosi seseorang juga dapat memicu reflek lakrimasi dan menghasilkan sekresi air mata dalam jumlah yang banyak, dimana penting untuk melarutkan material asing seperti debu, alergen dan toksin pada permukaan bola mata (Zoukhri, 2006; Lemp, 2008; Tsubota et al., 2008;). Kornea dipersarafi oleh serabut saraf yang paling sensitif yaitu 300-600 kali lebih sensitif daripada kulit dan memiliki ketebalan 7000 nosiseptor/mm 2. Selain sebagai sensori, persarafan kornea juga berfungsi untuk menjaga struktur dan fungsi kornea
28
dalam regulasi epitel, proliferasi dan penyembuhan luka karena penyakit, trauma dan pembedahan (Muller et al., 2003; Gallar et al., 2004). Persarafan kornea utamanya berasal dari cabang oftalmik saraf trigeminus, melalui saraf siliaris anterior dan saraf maxillaris. Limbus dan kornea perifer juga menerima persarafan simfatetik dari ganglion servikal superior (Marfurt et al., 2001). Saraf tersebut memasuki kornea pada sepertiga tengah stroma menuju anterior secara radial ke arah pusat kornea. Sekitar 1 mm dari limbus, saraf kornea mulai kehilangan selubung myelin sehingga disebut saraf telanjang. Saraf ini mempersarafi lapisan anterior dan pertengahan stroma. Pada pertengahan antara lapisan Bowman dan stroma anterior, persarafan stroma membentuk pleksus saraf subepitel yang kemudian berjalan menembus membran Bowman dan membentuk pleksus saraf epitel subbasal. Pleksus saraf epitel subbasal ini akan menginervasi lapisan sel epitel basal yang kemudian menjadi lapisan epitel superfisial (Guthoff et al., 2005).
Gambar 2.1 Unit Lakrimasi Fungsional (American Academy of Opthalmology 2011-2012b)
29
Pada pasien DES terjadi perubahan morfologi pada saraf kornea yaitu penurunan jumlah dan densitas dari saraf subbasal dan peningkatan tortuositas serat saraf. Hal inilah yang menyebabkan terjadi penurunan sensitivitas kornea dan berpengaruh terhadap reflek lakrimasi (Castillo et al., 2007; Tuisku et al., 2008). 2.1.2 Evaluasi Sekresi Air Mata Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur sekresi lapisan aqueous air mata adalah dengan tes Schirmer. Tes ini menggunakan strip kertas filter 35 mm x 5 mm yang berisikan ukuran yang distandarisasi. Kertas diletakkan pada palpebra bawah sampai ke cul-de-sac, biasanya pada sepertiga temporal palpebra lateral. Pasien dianjurkan menutup mata selama 5 menit. Panjang dari kertas yang basah karena air mata diukur. Nilai panjang kertas yang basah lebih dari 10 mm berarti tes Schirmer negatif yaitu produksi air mata normal. Nilai dibawah 5,5 mm merupakan diagnostik dari aqueous tear deficiency (ATD) (Dry Eye Workshop, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a). Tes Schirmer dapat dilakukan dengan atau tanpa anestesi topikal. Tes Schirmer 1 dilakukan tanpa didahului pemberian tetes mata anestesi. Schirmer 1 berfungsi untuk mengukur sekresi basal dan sekresi reflek lakrimasi. Tes Schirmer-sekresi basal dikerjakan dengan penetesan anestesi topikal sebelum meletakkan kertas schirmer. Tes ini dilakukan untuk mengukur sekresi basal saja (Lemp, 2011). Walaupun dengan anestesi pada kornea dan konjungtiva, sekresi air mata juga dapat dipengaruhi oleh rangsangan sensori seperti rangsangan pada palpebra, bulu mata, udara dan sinar, sehingga tes Schirmer 1 lebih sering digunakan untuk mengetahui sekresi air mata (Dry Eye Workshop, 2007).
30
Tes Schirmer II mengukur reflek lakrimasi. Tahap yang dilakukan sama dengan tes Schirmer 1, namun setelah dipasang kertas filter kemudian dilakukan rangsangan pada mukosa nasal dengan kapas. Nilai normalnya adalah di atas 15 mm selama 5 menit (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a). 2.1.3 Dry Eye Syndrome Gangguan pada salah satu lapisan air mata akan menimbulkan sindroma mata kering atau dry eye syndrome (DES). DES adalah suatu penyakit multifaktorial dari air mata dan permukaan bola mata yang menimbulkan rasa tidak nyaman, gangguan penglihatan, dan gangguan stabilitas lapisan air mata serta berpotensi untuk terjadi kerusakan pada permukaan bola mata. DES dapat disertai dengan peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan inflamasi permukaan bola mata (Dry Eye Workshop, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a). DES dibagi dalam dua tipe yaitu tipe aqueous tear deficiency (ATD) yang berhubungan dengan penurunan produksi air mata dan tipe evaporative tear dysfunction (ETD) karena penguapan air mata berlebih (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a). Berdasarkan mekanisme penyebabnya, DES dibagi menjadi hiperosmolaritas air mata dan ketidakstabilan lapisan air mata. Derajat keparahan DES tergantung dari gejala visual, hiperemi konjungtiva, pewarnaan konjungtiva dan kornea, kelenjar meibom, tear breakup time dan hasil tes Schirmer (Dry Eye Workshop, 2007). Gejala yang biasanya dikeluhkan antara lain rasa benda asing, rasa panas, sensasi kering pada mata, silau dan gangguan penglihatan. Keluhan ini semakin sore akan memberat seiring dengan lamanya akomodasi mata atau pada lingkungan yang ekstrem.Tandatanda yang biasanya didapatkan adalah hiperemi konjungtiva, penurunan meniscus air
31
mata, permukaan kornea yang iregular dan debris pada air mata (Lemp, 2008; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a). Rasa tidak nyaman pada mata sering dikeluhkan pasien karena sering menggangu aktivitas dan mempengaruhi kualitas hidup pasien. DES dapat mengakibatkan gangguan penglihatan seperti sensitif terhadap sinar, gangguan membaca, dan kesulitan saat mengemudi malam hari (Lemp, 2008). Selain itu, DES dapat memicu infeksi bakteri sekunder karena terganggunya mekanisme proteksi air mata. Kondisi ini dapat memyebabkan terjadinya jaringan parut dan perforasi kornea (Riordan-Eva et al., 2003).
2.2 Diabetes Melitus 2.2.1 Definisi dan Diagnosis Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, aktifitas insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2010). Hiperglikemia kronis dihubungkan dengan kerusakan, disfungsi dan kegagalan organ-organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). Diabetes adalah salah satu penyebab kebutaan pada penduduk berumur 20-74 tahun (Branwald et al., 2001). Prevalensi DM diseluruh dunia sekitar 2,8% pada tahun 2000 dan diperkirakan mencapai 4,4% pada tahun 2030 berdasarkan International Diabetes Federation. Total penduduk dengan DM di seluruh dunia diperkirakan akan bertambah dari 171 juta tahun 2000 menjadi 366 juta penduduk pada tahun 2030 (Wild et al., 2004). Pertumbuhan populasi penduduk, perubahan
32
gaya hidup, penuaan dan meningkatnya prevalensi kegemukan akan meningkatkan prevalensi DM (Wild et al., 2004; Braunwald et al., 2005). Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: sering lelah dan lemas, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Cara kedua yaitu pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga adalah dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). American Diabetes Association tahun 2010 menambahkan pemeriksaan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) dapat mendiagnosis DM selain sebagai kontrol glikemik pasien DM. Berdasarkan Perkeni 2011 digunakan kadar HbA1c yang kurang dari 7% sebagai kontrol glikemik baik.
33
2.2.1.1 Kontrol Glikemik pada Diabetes Melitus Kontrol glikemik merupakan salah satu hal penting dalam evaluasi pasien DM karena berhubungan dengan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskuler akibat DM yang akan atau telah terjadi (Montori et al., 2009; Lehman et al., 2009). UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) menyatakan bahwa kontrol glikemik dengan obat anti diabetes (OAD) akan menurunkan komplikasi mikrovaskular. Dari beberapa rekomendasi terapi menyatakan bahwa penurunan kadar gula darah secara baik dan tepat mendekati nilai normal dapat menurunkan komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular (Skyler, 2004; Stolar, 2010; WHO, 2011). Kontrol glikemik berperan penting dalam managemen DM karena dapat mengetahui efektivitas dari terapi diabetes yang telah dilakukan dan kepatuhan dalam berobat (Skyler, 2004; Qaseem et al., 2007). Kontrol glikemik pada pasien DM dapat memprediksi komplikasi yang telah dan akan terjadi dan memperkirakan prognosis dari pasien DM. Selain itu juga dapat dipakai sebagai pegangan dalam penyesuaian diet, latihan jasmani dan obat-obatan untuk mencapai kadar glukosa senormal mungkin sehingga terhindar dari hiperglikemia maupun hipoglikemia (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). 2.2.1.2 Hemoglobin Terglikasi (HbA1c) Kontrol glikemik pada pasien DM dapat dilihat dari dua hal yaitu glukosa darah sesaat dan glukosa darah jangka panjang. Pemantauan glukosa darah sesaat dilakukanantara lain dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, puasa dan 2 jam postprandial. Kontrol glikemik jangka panjang dievaluasi dengan kadar hemoglobin terglikasi (Qaseem et al., 2007).
34
Hemoglobin terglikasi atau HbA1c adalah salah satu fraksi hemoglobin didalam tubuh manusia yang berikatan dengan glukosa secara enzimatik. Kadar HbA1c yang terukur mencerminkan kadar glukosa rata-rata pada waktu 3 bulan yang lalu sesuai dengan umur sel darah merah manusia yaitu 100-120 hari (Nathan et al., 2008). HbA1c diidentifikasikan dengan menggunakan teknik kromatografik oleh Huisman dan Meyering tahun 1958 dan pertama kali dikategorikan sebagai glikoprotein oleh Bookchin dan Gallop tahun 1968. Samuel Rahbar tahun 1969 pertama kali menemukan bahwa HbA1c meningkat pada pasien dengan DM. Penggunaan HbA1c sebagai monitoring dari derajat kontrol metabolisme glukosa pada pasien DM diajukan oleh Anthony Cerami, Ronald Koenig et al, pada tahun 1976 (John et al., 2007). Keuntungan dalam melakukan pemeriksaan HbA1c dalam mendiagosis DM antara lain tidak diperlukan puasa sehingga nyaman untuk pasien, hasil yang stabil untuk memantau kondisi hiperglikemik selama tiga bulan yang lalu tanpa dipengaruhi kondisi stres dan sakit. Selain itu, HbA1c dapat digunakan sebagai tes saring bagi seseorang dengan risiko tinggi terkena DM (Kilpatrick et al., 2009; WHO, 2011). Kerugiannya antara lain biaya yang lebih mahal dan hasil yang tidak bermakna pada kondisi tertentu. Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil dari HbA1c antara lain konsumsi zat besi, vitamin B12, zat eritropoetin, alkohol dalam jumlah banyak, aspirin, vitamin C dan E, penggunaan obat anti retroviral seperti ribavirin dan dapsone. Kondisi yang mempengaruhi HbA1c antara lain hemoglobinopati, penyakit hati kronis, penyakit ginjal kronis, methaemoglobin, menjalani splenektomi, splenomegali, arthritis rematoid dan hipertrigliserida (WHO, 2011).
35
Dalam memeriksa HbA1c dilakukan dengan berbagai macam teknik seperti kromatografi dan immunoassay. Hasil dari HbA1c dilaporkan dalam International Federation of Clinical Chemistry (IFCC) (Geistanger et al., 2008). 2.2.2 Komplikasi Diabetes Mellitus Diabetes merupakan penyakit metabolik kronis yang diderita seumur hidup, sehingga progresifitas penyakit ini akan terus berjalan dan menimbulkan komplikasi baik akut maupun kronis. Komplikasi akut yang terjadi secara mendadak dapat berupa hipoglikemia yaitu menurunnya kadar gula darah < 60 mg/dl; keto asidosis diabetika (KAD) yaitu DM dengan asidosis metabolik dan hiperketogenesis; koma laktoasidosis
yaitu
penurunan
kesadaran
hipoksia
yang
ditimbulkan
oleh
hiperlaktatemia; dan koma hiperosmolar non ketotik yaitu penurunan kesadaran hipoksia namun tidak ada hiperketogenesis dan hiperlaktatemia (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). Komplikasi kronis biasanya terjadi pada penderita DM yang tidak terkontrol dalam jangka waktu kurang lebih 5 tahun. Komplikasi kronis yang dapat terjadi antara lain makroangiopati yang mengenai pembuluh darah besar yaitu pembuluh darah yang dapat terlihat secara makroskopis seperti pada jantung, pembuluh darah otak, dan pembuluh darah tepi. Komplikasi kronis lain berupa mikroangiopati yang mengenai pembuluh darah mikroskopis seperti di retina mata (retinopati diabetika) dan pembuluh darah di ginjal (nefropati diabetika). Komplikasi lainnya berupa neuropati yang mengenai saraf tepi. (Braunwald et al., 2005; Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011).
36
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik. DM dikatakan terkendali baik, apabila kadar glukosa darah, kadar lipid
dan kadar HbA1c
mencapai kadar yang diharapkan (Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia, 2011). Kontrol glikemik yang baik berhubungan dengan terjadinya penurun komplikasi DM. Hasil dari The United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan setiap penurunan 1% HbA1c akan menurunkan risiko komplikasi sebesar 35%. UKPDS juga menemukan bahwa setiap penurunan HbA1c 1% akan menurunkan insiden kematian yang berhubungan dengan DM sebesar 21%, infark miokard 14%, penyakit pembuluh darah tepi 43% dan komplikasi mikrovaskular 37% (Stratton et al., 2000). 2.2.2.1 Komplikasi Diabetes Melitus pada Sekresi air mata Komplikasi DM pada mata dapat berupa retinopati diabetika, glaukoma neovaskular, katarak, dan kelainan refraktif. Retinopati dan katarak adalah komplikasi yang sering dijumpai pada pasien DM. Namun akhir-akhir ini mulai dilaporkan gangguan permukaan bola mata seperti rasa benda asing, tidak nyaman, kemerahan, rasa terbakar pada mata pasien DM (Branwald et al., 2001). Kondisi hiperglikemia kronis meningkatkan stres oksidatif yang bertanggung jawab terhadap komplikasi yang terjadi pada pasien DM (King et al., 2004). Salah satu komplikasinya adalah pada jaringan saraf yang memiliki peranan pada perubahan kondisi permukaan bola mata dan kelenjar lakrimal. Suatu neuropati perifer yang terjadi pada saraf sensori aferen yang mempersarafi permukaan bola
37
mata dan saraf eferen yang mempersarafi kelenjar lakrimal mempengaruhi sekresi air mata pada pasien DM (Grus et al., 2002; Cousen et al., 2007). Namun diperkirakan enzim aldose reduktase, suatu enzim pada jalur pembentukan sorbitol, memegang peranan penting. Enzym ini berfungsi untuk mengkatalisasi glukosa ke bentuk sorbitol melalui jalur polyol dan reduksi dari advanced glycation end products (AGEs) (Srivastava et al., 2005). Akumulasi AGEs pada membran basal kornea pada pasien DM akan mengganggu fungsi barier epitel kornea dan berakibat menurunnya sensitivitas kornea (Nakahara et al., 2005). Reflek air mata dipengaruhi oleh sensitivitas kornea (Goebbels, 2000). Pemberian aldose reduktase oral dapat memperbaiki epitel kornea yang berakibat perbaikan sensitivitas kornea dan peningkatan sekresi air mata (Fujishima et al., 2002; Nakahara et al., 2005). Selain karena neuropatinya, komplikasi DM berupa kerusakan mikrovaskular yang terjadi pada kelenjar lakrimal akan mempengaruhi sekresi air mata karena mengganggu fungsi kelenjar (Cousen et al., 2007). 2.2.2.1.1 Sensitivitas Kornea pada Diabetes Melitus Dalam fungsi kornea sebagai proteksi, saraf kornea mengatur integritas epitel kornea, proliferasi dan penyembuhan luka. Pada pasien diabetes melitus (DM), sensitivitas kornea menurun dikarenakan hilangnya atau berkurangnya serat saraf kornea. Berdasarkan pemeriksaan dengan mikroskop konfokal pada pasien DM ditemukan kerusakan pleksus saraf subbasal kornea berupa berkurangnya jumlah serat saraf, percabangan dan pola percabangan saraf, serta bertambahnya tortousitas
38
saraf. Hal inilah yang berhubungan dengan kejadian neuropati perifer (Tavakoli et al., 2007). Berkurangnya sensitivitas kornea pada pasien DM dapat diperiksa dengan aesthesiometer kontak maupun non kontak (Takavoli et al., 2007). Penurunan sensitivitas kornea pada pasien DM berkaitan dengan penurunan persepsi vibrasi sehingga diduga berhubungan dengan neuropati perifer diabetik. Murphy et al tahun 2004, mengungkapkan penurunan sensitivitas kornea terjadi seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Kadar glukosa darah yang tinggi dalam jangka waktu yang lama akan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang berhubungan langsung dengan saraf. Lamanya menderita DM dan onset menderita DM dikatakan berpengaruh terhadap penurunan sensitivitas kornea disamping karena kontrol metabolik yang buruk (Sitompul et al., 2004).
2.3 Katarak dan Pembedahan Katarak 2.3.1 Katarak Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang mengenai satu atau kedua mata yang disebabkan oleh kelainan kongenital, gangguan metabolik, traumatik dan proses degenerasi (American-Academy of Ophthalmology, 20112012d). Katarak adalah penyebab terbesar penurunan penglihatan dan kebutaan di seluruh dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2002 menunjukkan angka kebutaan diseluruh dunia sekitar 37 juta penduduk, dimana 47,8 % disebabkan oleh katarak (Resnikoff et al., 2004; American-Academy of Ophthalmology, 2011-2012d).
39
Data survei pada empat negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand tahun 2002 mendapatkan sekitar 4,3 juta penduduk mengalami kebutaan dengan 58% disebabkan katarak (Resnikoff et al., 2004). Di Indonesia, angka kebutaan mencapai 1,5%, dimana katarak menempati posisi pertama dengan angka kejadian 0,78% ). Etiopatogenesis katarak bersifat multifaktorial dan sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui secara pasti. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya katarak dibagi menjadi faktor intrinsik seperti umur, jenis kelamin, genetik, serta faktor ekstrinsik seperti DM, diare kronis, kekurangan gizi antara lain defisiensi vitamin A,C,E, serta faktor lingkungan seperti paparan sinar ultraviolet dan merokok (Beebe, 2003; Beebe et al., 2010). 2.3.2 Operasi Pembedahan Katarak Katarak diterapi dengan pembedahan. Teknik pembedahan katarak mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi. Teknik konvensional yang masih digunakan adalah ekstraksi kapsular ekstra kapsular (EKEK) dan ekstraksi katarak intrakapsular (EKIK). Teknik EKEK mengalami suatu modifikasi menjadi fakoemulsifikasi seiring dengan berkembangnya teknologi gelombang ultrasonik (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012d). Fakoemulsifikasi
adalah
tindakan
operatif
penanganan
katarak
yang
diperkenalkan oleh Charles Kelman tahun 1967 namun mulai diterima tahun 1997. Teknik fakoemulsifikasi melakukan ekspresi nukleus lensa yang berbeda dengan EKEK dari
sisi
ukuran insisi
dan metode
dalam
pengeluaran nukleus.
Fakoemulsifikasi menggunakan gelombang ultrasonik melalui tip untuk memecahkan nukleus menjadi fragmen-fragmen kecil. Teknik ini menggunakan sistem aspirasi
40
automatis untuk mengeluarkan material korteks melalui jarum kecil yang memerlukan sayatan kecil pada kornea biasanya 2-3 mm. Dalam teknik fakoemulsifikasi menciptakan sistem operasi tertutup sehingga menjaga kedalaman bilik mata depan selama operasi dan menjaga kemungkinan terjadinya tekanan positif vitreous dan perdarahan koroid (Soekardi and Hutauruk, 2004). Perkembangan dari agen viskoelastik dapat menurunkan kejadian edema kornea sebagai komplikasi fakoemulsifikasi. Dengan menginjeksikan viskoelastik akan menjaga epitel kornea dari tip fako. Perkembangan lensa tanam yang dapat dilipat penting dalam menjaga agar insisi kornea tetap kecil dimana insisi yang diperlukan sekitar 2,75 sampai 3,20 mm (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012d).
Gambar 2.2 Insisi kornea pembedahan katarak (fakoemulsifikasi) (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012d)
2.3.2.1 Pembedahan katarak pasien dengan DM Hampir 20 % pembedahan katarak diperkirakan dilakukan pada pasien DM. Studi Wisconsin memaparkan insiden kumulatif dari operasi katarak selama 10 tahun
41
didapatkan 27% pada pasien dengan DM onset dini dan 44% pada DM onset lanjut (Javadi et al., 2008). Pasien dengan DM mengalami proses kekeruhan lensa lebih awal daripada pasien non DM. Operasi katarak dilakukan bila tajam penglihatan pasien menurun secara signifikan akibat kekeruhan lensa atau bila katarak menggangu visualisasi retina yang menghambat diagnosis dan terapi retinopati diabetika (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012d). Operasi intraokular terutama ekstraksi katarak pada pasien DM memiliki resiko meningkatkan inflamasi. Inflamasi posca operatif dapat mempercepat terjadinya retinopati diabetika, memicu pembentukan darah baru atau neovaskularisasi, dan dapat menyebabkan perubahan makula seperti edema makula atau edema makula cystoid (Liu et al., 2004). Resiko terbesar terjadi neovaskularisasi adalah pada teknik EKIK kemudian diikuti oleh teknik EKEK dengan kapsul posterior utuh. Resiko paling rendah pada teknik insisi kecil. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflamasi posca operatif antara lain durasi operasi, ukuran luka insisi, dan komplikasi intraoperatif seperti ruptur kapsul posterior dan hilangnya vitreous (Liu et al., 2004; Pollreisz and Erfurth, 2010). Komplikasi pasca operatif terhadap permukaan bola mata mulai menjadi perhatian (Robert and Elie, 2007; Liu et al., 2008). Epitel kornea perlu diperhatikan saat operasi karena abrasi kornea akan memperlambat proses penyembuhan pada pasien DM dan memicu terjadinya erosi kornea berulang. Hipoestesi kornea adalah hal umum pada pasien DM dimana operasi katarak dengan insisi kecil dapat meminimalisasi penurunan sensitivitas kornea. Pemasangan lensa tanam harus
42
dilakukan segera karena pasien DM tidak disarankan untuk menggunakan lensa kontak afakia jangka panjang. Hal ini berhubungan dengan hipoestesia kornea dan peningkatan resiko infeksi pada pasien DM (Javadi et al., 2008; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012d).
2.4 Lapisan Air Mata Pada Pasien Diabetes Pasca Fakoemulsifikasi Fungsi normal lapisan air mata adalah hal penting untuk menjaga fungsi kornea dan mempengaruhi tajam penglihatan pasca pembedahan. Pembedahan katarak mengganggu fungsi normal lapisan air mata karena terjadi pemotongan persarafan kornea. Denervasi ini berhubungan dengan sensitivitas kornea pasca operasi dan berpengaruh pada sekresi air mata (Khanal et al., 2008; Gharee et al., 2009). Persarafan sensori kornea diatur oleh saraf siliaris panjang cabang dari saraf trigeminus. Serabut saraf akan memasuki limbus secara dominan pada daerah nasal dan temporal yaitu searah jam 3 dan 9. Tindakan fakoemulsifikasi akan melakukan insisi kornea pada daerah temporal atau superior dengan ukuran kecil yaitu 2-3 mm. Pemotongan persarafan kornea yang minimal pada fakoemulsifikasi diharapkan sedikit mengganggu fungsi sensori kornea (Cho et al., 2009). Penyembuhan sensitivitas kornea pasca pembedahan terjadi dalam tiga bulan namun fungsi air mata akan kembali dalam satu bulan pasca fakoemulsifikasi (Khanal et al., 2008; Kim et al., 2009). Selain karena denervasi kornea, gangguan pada permukaan bola mata dapat diakibatkan karena pemberian tetes mata yang mengandung bahan pengawet. Pasien
43
pasca fakoemulsifikasi akan diterapi dengan tetes mata yang mengandung antibiotika dan anti inflamasi selama 6-12 minggu (Robert et al., 2007). Pasien DM memiliki kecenderungan untuk terjadinya kerusakan pada jaringan epitel seperti pada konjungtiva dan kelenjar lakrimal (Blades et al., 2001). Sensitivitas kornea yang menurun pada pasien DM akan mengurangi reflek lakrimasi (Goebbels, 2000). Pasien DM yang menjalani fakoemulsifikasi akan terjadi kerusakan pada konjungtiva, kelenjar lakrimal, sel goblet dan inervasi saraf perifer lebih parah dari yang non DM. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan sekresi air mata pada pasien DM pasca fakoemulsifikasi (Liu et al., 2008). Kontrol glikemik mempengaruhi fungsi sekresi kelenjar lakrimal karena efek neuropati yang terjadi pada persarafan kelenjar lakrimal (Dogru et al., 2001). Kontrol glikemik buruk yang ditandai dengan tingginya kadar HbA1c akan mendapatkan sekresi air mata yang rendah (Oktaviani et al., 2011).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Rasa tidak nyaman pada mata mulai sering dikeluhkan pasien yang datang ke tempat praktek dokter. Keluhan ini berhubungan dengan gangguan pada lapisan air mata baik karena penurunan sekresi air mata, peningkatan evaporasi air mata, atau keduanya. Rendahnya sekresi air mata dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang mengganggu fungsi kelenjar lakrimal seperti gangguan pada persarafan yang mengatur reflek lakrimasi. Salah satu penyakit sistemik seperti diabetes melitus juga sering menimbulkan gangguan pada lapisan air mata. Pasien dengan diabetes melitus (DM) sering mengeluhkan gejala tidak nyaman pada mata yang disebabkan kondisi neuropati perifer. Hal inilah yang mengakibatkan gangguan pada reflek lakrimasi. Kontrol glikemik yang buruk pada pasien DM dapat mencerminkan komplikasi yang diderita terutama neuropati yang berefek pada penurunan sekresi air mata. Kontrol glikemik pada pasien DM dievaluasi dengan pemeriksaan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c). Rasa tidak nyaman juga sering dikeluhkan pada pasien pasca tindakan pembedahan katarak. Komplikasi ini terjadi karena gangguan pada lapisan air mata akibat penurunan sekresi air mata. Kondisi ini akan berpengaruh pada hasil akhir tindakan pembedahan dan akan mengganggu kualitas hidup pasien. Teknik fakoemulsifikasi merupakan teknik insisi kornea yang kecil sehingga memotong persarafan kornea lebih sedikit dan diharapkan gangguan reflek lakrimasi lebih kecil.
44
45
3.2 Konsep Penelitian Faktor Internal
Faktor Eksternal
- Umur - Jenis Kelamin (hormonal) - Diabetes Melitus (Kontrol glikemik- HbA1c) - Penyakit sistemik seperti Sindrom Sjogren, Sindrom Stevens-Johnson
-
Iritasi polutan Ultraviolet Obat mata Infeksi mata Lensa kontak LASIK Fakoemulsifikasi Obat antiradang antihipertensi, imunosupresan)
Sekresi Air Mata (tes Schirmer)
Gambar 3.1 Bagan konsep penelitian
3.3.
Hipotesis Penelitian HbA1c yang tinggi sebagai faktor risiko rendahnya sekresi air mata pasien DM pasca fakoemulsifikasi.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional, dengan rancangan studi kasus kontrol (case control study) (Schlesselman, 1982). Dalam penelitian ini akan dilihat peran hemoglobin terglikasi (HbA1c) sebagai faktor yang berhubungan dengan sekresi air mata yang diukur dengan tes Schirmer 1 pada pasien yang menjalani pembedahan katarak (fakoemulsifikasi). Rancangan penelitian ini dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut : HbA1c tinggi
Sekresi air mata rendah
HbA1c normal
HbA1c tinggi
Sekresi air mata pasien DM pasca fakoemulsifikasi
Populasi
Sekresi air mata normal
HbA1c normal Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar Bali, mulai bulan Juni 2013 sampai bulan November 2013. 4.3
Populasi dan Sampel Penelitian
46
60
4.3.1 Populasi Penelitian Populasi target penelitian adalah semua pasien diabetes melitus (DM) pasca pembedahan fakoemulsifikasi. Populasi terjangkau penelitian adalah semua pasien DM pasca pembedahan fakoemulsifikasi 12-16 minggu yang datang ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Juni 2013 sampai November 2013. 4.3.2
Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah semua pasien DM pasca pembedahan fakoemulsifikasi 1216 minggu yang datang ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Juni 2013 sampai November 2013 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.3.2.1 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian 4.3.2.1.1
Kriteria inklusi
a. Pasien DM yang saat menjalani pembedahan fakoemulsifikasi berumur lebih dari atau sama dengan 50 tahun b. Pasien bersedia menjalani pemeriksaan tes Schirmer 1 c. Pasien bersedia diambil darah untuk melakukan pemeriksaan HbA1c d. Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani lembar informed concent 4.3.2.1.2
Kriteria eksklusi
a. Menggunakan obat tetes mata (antibiotika, anti glaukoma, lubrikan, dan air mata buatan) dalam waktu 2 minggu terakhir
60
61
b. Menggunakan lensa kontak dalam 3 bulan terakhir c. Pasien memiliki kelainan patologik lokal seperti enteropion, ekteropion, pasca sindrom Steven Johnson, dan Bell’s palsy d. Pasien sindrom Sjogren e. Mengkonsumsi obat-obatan seperti antiinflamasi non steroid, kortikosteroid, anti hipertensi, antidepresan, obat imunosupresan dalam 3 bulan terakhir f. Riwayat pembedahan refraktif sebelumnya, seperti LASIK g. Riwayat operasi pembedahan intraokular sebelumnya h. Sedang menderita infeksi akut mata eksterna dan inflamasi intraokular 4.3.2.2 Besar Sampel Berdasarkan acuan Kirkwood (1988), penentuan jumlah sampel berdasarkan rumus perhitungan besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok seperti pada studi kasus-kontrol, yaitu : n 1 = n 2 = { Zα√2PQ + Zβ√P1Q1 + P2Q2
}2
(P1 – P2)2 1.
Tingkat kemaknaan yang dikehendaki sebesar 95%, yaitu α = 0,05 dan hipotesis satu arah, dipakai Zα = 1,645
2.
Power penelitian yang direncanakan sebesar 80%, yaitu β = 0,20 dan Zβ = 0,842
61
62
3.
P2 adalah proporsi faktor risiko pada kelompok subyek dengan tanpa efek (kontrol) yang didapatkan 0,55 (berdasarkan kepustakaan Dogru et al, 2001)
4.
P1 adalah perkiraan proporsi faktor risiko pada kelompok subyek dengan efek (kasus). Dengan menggunakan data P2 dan rasio odds minimal yang dianggap bermakna adalah 3,5 maka P1 =0,26 P = (P1+P2): 2 = 0,4 Q =1-P = 0,60 P1 = 0,26 Q1 = 1- P1 =0,45 P2 = 0,55 Q2 = 1- P2 =0,74 P1-P2 = 0,29
n 1 = n 2 = 34,08 = 35 sampel Jadi jumlah sampel penelitian sebesar 70 sampel 4.3.2.3 Cara Pemilihan Sampel Sampel dipilih dengan teknik consecutive sampling dari populasi terjangkau. Semua sampel yang teridentifikasi dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.
4.4
Variabel Penelitian
4.4.1. Klasifikasi dan identifikasi variabel 1.
Variabel risiko yaitu kadar HbA1c
62
63
2.
Variabel efek adalah sekresi air mata yang diperiksa dengan tes Schirmer 1
3.
Variabel kendali adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan lama terdiagnosis DM.
Variabel risiko
Variabel efek
HbA1c
Sekresi air mata
Variabel kendali Umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan lama terdiagnosis DM Gambar 4.2 Skema hubungan antar variabel
4.4.2 1.
Definisi operasional variabel
Pasien diabetes melitus (DM) pasca fakoemulsifikasi adalah pasien yang saat dilakukan fakoemulsifikasi memiliki kadar gula darah sewaktu >200mg/dl disertai keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia, polifagia (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011); pasien sedang mendapat terapi obat-obatan anti diabetes dari dokter penyakit dalam; pasien dengan riwayat mengkonsumsi obat anti diabetes sebelumnya; yang didapat dari wawancara dan rekam medis pasien.
2. Kadar HbA1c adalah kadar hemoglobin sel darah merah yang mengikat glukosa, sebagai petunjuk kontrol glikemik dalam 3 bulan. Kadar HbA1c ditetapkan berdasarkan TINIA (turbidimetric inhibitor immunoassay) untuk menghemolisis
63
64
darah dan diperiksa dengan alat cobas 501 tahun 2010. Hasil dinyatakan dalam persentase. Kadar HbA1c dikategorikan tinggi bila ≥7% dan normal bila <7% (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). 3.
Sekresi air mata adalah pengeluaran lapisan aqueous air mata dari kelenjar lakrimal yang dinilai dengan tes Schirmer 1. Sekresi air mata dikategorikan rendah bila didapatkan hasil tes Schirmer 1 <10 mm dan normal bila ≥10mm (Dry Eye Workshop, 2007).
4.
Tes Schirmer 1 adalah pemeriksaan untuk mengetahui kuantitas sekresi air mata. Tes ini dikerjakan dengan meletakkan kertas filter Schirmer pada sepertiga lateral kelopak mata bawah selama 5 menit dengan mata terpejam. Pemeriksaan dilakukan tanpa anestesi topikal. Panjang kertas filter yang basah karena air mata dinyatakan dalam milimeter (Dry Eye Workshop, 2007).
5.
Teknik pembedahan katarak yaitu dengan menggunakan mesin fakoemulsifikasi dimana insisi kornea dilakukan pada sisi temporal 2-4mm.
6.
Umur adalah lama waktu hidup terhitung dari tanggal kelahiran sampai saat dilakukan penelitian dan dinyatakan dalam tahun. Data diperoleh dari anamnesa.
7.
Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.
8.
Pendidikan adalah pendidikan terakhir yang ditempuh oleh subjek penelitian. Pendidikan dinyatakan rendah bila kurang dari wajib belajar 9 tahun (SMP) dan cukup bila lebih atau sama dari wajib belajar 9 tahun.
64
65
9.
Pekerjaan adalah pekerjaan utama yang ditekuni oleh subjek penelitian pada sebagian besar kehidupannya. Pekerjaan dibedakan menjadi outdoor dan indoor yang didapatkan dari wawancara.
10. Lama terdiagnosis diabetes melitus adalah lamanya pasien mengetahui dirinya terkena diabetes melitus sampai dengan penelitian dilakukan. Data diperoleh dari anamnesa dan dinyatakan dalam tahun. 4.5 Instrumen Penelitian 1. Alat tulis menulis 2. Pemeriksaan sekresi air mata dengan menggunakan kertas filter Schirmer dan menghitung waktu pemeriksaan dengan stopwatch. 3. Pemeriksaan kadar HbA1c: spuit 3 cc dengan jarum G23, kapas alkohol, sarung tangan steril, tabung berisi K2-EDTA
4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1 Tahap persiapan Subjek penelitian diseleksi di poliklinik mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar. Wawancara dan pemeriksaan mata dilakukan oleh peneliti. Setelah diperoleh subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian, terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian dan kemudian menandatangani informed consent. Pada subjek dilakukan identifikasi tentang karateristik subjek penelitian. Seluruh data penelitian tiap subjek dicatat dalam formulir penelitian.
65
66
4.6.2
Pelaksanaan penelitian
Adapun urutan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Anamnesis meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, riwayat penyakit sebelumnya (riwayat diabetes melitus), riwayat penyakit sekarang, riwayat pengobatan berdasarkan lembar kuisioner penelitian. Data dicatat dalam bentuk tabel induk
2. Penentuan pasien DM pasca pembedahan fakoemulsifikasi 12-16 minggu dilakukan dengan melihat catatan rekam medis untuk mengetahui riwayat DM, teknik pembedahan yang dilakukan dan waktu dilakukan pembedahan. Lakukan konfirmasi dengan wawancara dan pemeriksaan mata. 3.
Pemeriksaan tes Schirmer 1 dilakukan tanpa pemberian anestesi tetes mata dengan memakai kertas filter Schirmer. Sebelum dilakukan pemeriksaan, mata dikeringkan dengan menggunakan kertas tissue halus agar tidak mengiritasi permukaan bola mata. Setelah kertas filter dilipat pada area lipatan, strip yang lebih pendek diletakkan pada sepertiga lateral kelopak mata bawah dengan mata terpejam. Setelah 5 menit, kertas filter dilepaskan dari forniks inferior. Bila didapat hasil tes Schirmer 1 kurang dari 10mm dimasukkan ke kelompok kasus, dan bila ≥10mm dimasukkan ke kelompok kontrol.
4.
Semua subjek kelompok kasus dan kontrol dilakukan pengambilan sampel darah vena. Setelah dilakukan disinfektan pada daerah cubiti dengan kapas alkohol, sebanyak 3 cc darah diambil dengan menggunakan spuit 3 cc dan jarum G23. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung yang berisi K2-EDTA. Selanjutnya
66
67
sampel darah di kirim ke Laboratorium Patologi Klinik di Rumah Sakit Sanglah untuk pemeriksaan HbA1c. Tabung berisi sampel darah tersebut dimasukkan ke alat cobas c 501 selama 30 menit. Hasil dinyatakan dalam bentuk persentase.
4.7. Alur Penelitian Untuk mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka dibuat alur penelitian yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada gambar 4.3 Pasien DM pasca fakoemulsifikasi
Pasien DM pasca fakoemulsifikasi 12-16 minggu yang datang ke Poliklinik Mata RS Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Juni 2013 sampai November 2013. Memenuhi kriteria Inklusi dan eksklusi Subjek Penelitian
Informed consent
Eligible subject
Kuantitas sekresi air mata
Kasus: sekresi air mata rendah Tes Schirmer 1 <10 mm
Kontrol: sekresi air mata normal Tes Schirmer 1 ≥10 mm
Pengambilan sampel darah vena
Pengambilan sampel darah vena 67
68
Pemeriksaan kadar HbA1c
Pemeriksaan kadar HbA1c
Analisis Data
Gambar 4.3 Skema alur penelitian
4.8 Analisis Data Data dimasukkan ke dalam formulir penelitian kemudian direkam dalam tabel induk. Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan serangkaian tahapan analisis data. 1.
Seleksi data yaitu editing, coding dan tabulasi dimasukkan pada file navigator program Stastical Package for The Social Sciences (SPSS).
2.
Analisis statistik deskriptif Untuk menggambarkan karakteristik umum, dan distribusi frekuensi variabel yaitu: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, lama terdiagnosis diabetes melitus, hasil pengukuran tes Schirmer 1, dan kadar HbA1c. Skala data numerik yaitu umur dan lama terdiagnosis DM ditampilkan dalam bentuk rerata dan standar deviasi. Skala data katagorikal yaitu jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan kadar HbA1c ditampilkan dalam bentuk frekuensi dan proporsi. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk narasi dan tabel-tabel.
68
69
3.
Analisis Inferensial (non parametrik) Hasil penelitian dilakukan analisis bivariat untuk menilai pengaruh kasar antara kadar HbA1c dengan tes Schirmer 1. Besarnya asosiasi menggunakan crude odd ratio. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-square. Analisis multivariat digunakan untuk menilai pengaruh murni dari kadar HbA1c dengan tes Schirmer 1 dengan menggunakan uji binary regresi logistik. Besaran asosiasi yang dihasilkan digambarkan dengan adjusted odd ratio yaitu ukuran asosiasi yang telah memperhitungkan adanya variabel perancu.
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah pasien DM pasca pembedahan fakoemulsifikasi 12-16 minggu yang datang ke RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar. Pengambilan subjek dilakukan selama periode 1 Juni 2013 sampai 31 November 2013 secara konsekutif. Penelitian ini melibatkan 70 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Seluruh subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu 35 subjek kelompok kasus dan 35 subjek kelompok kontrol. Kelompok kasus yaitu pasien DM pasca fakoemulsifikasi 12-16 minggu dengan tes Schirmer 1 <10mm. Kelompok kontrol
69
70
yaitu pasien DM pasca fakoemulsifikasi 12-16 minggu dengan tes Schirmer 1 ≥10mm. Tabel 5.1 memperlihatkan karakteristik subjek penelitian. Subjek pada kelompok kasus memiliki rerata umur 63,06 ±6,7 tahun dan rerata umur subjek kelompok kontrol adalah 58,94±4,7 tahun. Jenis kelamin perempuan ditemukan lebih banyak dibandingkan laki-laki pada kelompok kasus yaitu 60%. Derajat pendidikan rendah dan cukup pada kedua kelompok hampir sama. Subjek pada kelompok kontrol didapatkan 60% adalah laki-laki. Jenis pekerjaan indoor maupun outdoor hampir seimbang pada kedua kelompok kasus maupun kontrol Rerata lama terdiagnosis DM didapatkan pada kelompok kasus 4,69 ±3,94 tahun dan kelompok kontrol 4,83 ±4,89 tahun.
Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik
Umur (Tahun) (Rerata±SD)
Sekresi Air Mata Tes Schirmer 1 Tes Schirmer 1 <10mm ≥10mm n=35 n =35
Nilai p
63,06±6,7
58,94±4,7
0,004*
Jenis Kelamin {n (%)} Laki-laki Perempuan
14 (40) 21 (60)
21 (60) 14 (40)
0,094**
Pendidikan {n(%)} Rendah Cukup
18 (52) 17 (48)
21 (60) 14 (40)
0,521**
Pekerjaan{n(%)}
70
71
Outdoor Indoor Lama Terdiagnosis DM (tahun) (Rerata±SD)
7 (10,0) 28 (40,0)
6 (8,6) 29 (41,4)
0,759**
4,69±3,94
4,83±4,89
0,893*
* Uji t tidak berpasangan ** Uji Pearson Chi square 5.2 Hasil Analisis Bivariat Hubungan Kadar HbA1c Dengan Sekresi Air Mata Pasien DM Pasca Fakoemulsifikasi Tabel 5.2 memperlihatkan hubungan kadar HbA1c dengan sekresi air mata pasien DM pasca fakoemulsifikasi. Kelompok kasus yaitu dengan hasil tes Schirmer 1 <10 mm terdapat 27 subjek (77,1%) dengan faktor risiko yaitu kadar HbA1c ≥7%. Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan kadar HbA1c dengan sekresi air mata pasien DM pasca fakoemulsifikasi dengan hasil crude odd ratio sebesar 2,25. Nilai crude odd ratio yang diperoleh dari analisis bivariat tidaklah murni sebagai faktor risiko, namun masih ada pengaruh dari variabel perancu. Variabel yang memiliki nilai kemaknaan p < 0,25 diikutkan dalam analisis multivariat.
Tabel 5.2 Hubungan Kadar HbA1c dengan Sekresi Air Mata Pasien DM Pasca Fakoemulsifikasi
Variabel
Tes Schirmer 1 ≥10 mm < 10mm
Odd Ratio
Nilai p
HbA1c ≥ 7% n (%)
27(77,1)
21(60,0)
71
2,25
0,122*
72
HbA1c < 7% n (%)
8 (22,9)
14(40,0)
*Uji Pearson Chi Square
5.3 Hasil Analisis Multivariat Hubungan Kadar HbA1c Dengan Sekresi Air Mata Pasien DM Pasca Fakoemulsifikasi Tabel 5.3 merupakan hasil analisis multivariat untuk mengetahui pengaruh murni dari kadar HbA1c terhadap sekresi air mata dengan mengontrol variabel perancu. Variabel yang dianggap perancu adalah umur dan jenis kelamin. Analisis multivariat dilakukan dengan uji binary regresi logistik dengan dependent adalah tes Schirmer dan covariates adalah kadar HbA1c, umur dan jenis kelamin. Metode eliminasi yang dipakai adalah enter. Hasil analisis ini mendapatkan adjusted odd ratio sebesar 2,44 yaitu pasien DM pasca fakoemulsifikasi dengan kadar HbA1c yang tinggi memiliki risiko 2,44 kali lebih besar untuk terjadi penurunan sekresi air mata dibandingkan kadar HbA1c yang normal. Confidence Interval atau rentang nilai jika diterapkan di populasi berkisar antara 0,778 sampai 7,633 dengan nilai probabilitas 0,126 tidak bermakna secara statistik. Hal ini berarti HbA1c yang tinggi sebagai faktor risiko rendahnya sekresi air mata pasien DM pasca fakoemulsifikasi. Variabel umur yang lebih muda memiliki nilai proteksi terhadap sekresi air mata sebesar 1/0,88 atau 1,14 kali dibandingkan umur yang lebih tua. Jenis kelamin lakilaki memberikan nilai proteksi terhadap sekresi air mata sebesar 1/0,42 atau 2,36 kali dibandingkan jenis kelamin perempuan.
72
73
Tabel 5.3 Hasil Analisis Multivariat dengan Regresi Logistik Variabel
Odd Ratio
95% CI
Nilai p
HbA1c
2,44
0,778-7,633
0,126
Umur
0,88
0,796-0,973
0,012
Jenis Kelamin
0,42
0,150-1,198
0,105
Nilai p berdasarkan uji binary regresi logistik
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian Penelitian ini melibatkan 70 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu kasus dan kontrol. Kelompok kasus adalah 35 pasien DM pasca pembedahan fakoemulsifikasi 12-16
73
74
minggu dengan sekresi air mata rendah (hasil tes Schirmer 1 <10mm). Kelompok kontrol adalah 35 pasien DM pasca pembedahan fakoemulsifikasi 12-16 minggu dengan sekresi air mata normal (hasil tes Schirmer 1 ≥10mm). Seluruh subjek penelitian telah menandatangani informed consent. Subjek penelitian kemudian dilakukan pengambilan darah dari vena cubiti sebanyak 3 cc untuk mengukur kadar HbA1c yang menggambarkan kontrol glikemik selama 3 bulan. Karakteristik subjek penelitian dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan lama terdiagnosis DM Penurunan sekresi air mata yang diukur dengan tes Schirmer mengindikasikan suatu sindroma mata kering/ dry eye syndrome (DES) tipe aqueos tear deficiency (ATD). Penurunan sekresi air mata dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, penyakit autoimun sistemik seperti sindroma Sjogren, tindakan pembedahan yang melibatkan kornea, terapi glaukoma baik topikal maupun oral, dan terapi lainnya seperti mengkonsumsi antidepresan (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a). Faktor-faktor selain umur dan jenis kelamin pada penelitian ini sudah dieksklusi. Karakteristik umur pada penelitian ini mendapatkan rerata umur pasien katarak dengan DM yang menjalani pembedahan fakoemulsifikasi adalah 61,0± 6,12 tahun. Rerata umur kelompok kasus yaitu pasien DM yang menjalani pembedahan fakoemulsifikasi dengan sekresi air mata rendah adalah 63,06 ± 6,7 tahun sedangkan pada kelompok sekresi air mata normal didapatkan 58,94 ±4,7 tahun.
74
75
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan jumlah kasus pasien DM yang menjalani pembedahan katarak meningkat sesuai dengan peningkatan umur (Sihota and Tandan, 2007; Beebe et al., 2010). Pembedahan katarak diperkirakan lebih dari 20% dilakukan pada pasien DM (Javadi et al., 2008). Di Amerika Serikat, prevalensi katarak pada pasien DM meningkat dari 5% pada usia 65 tahun menjadi 50% pada penduduk usia 70 tahun ke atas (Beebe et al., 2010). Goyal et al., (2010) menemukan rerata umur pasien katarak dengan DM adalah 66,6±7,83 tahun. Penelitian Deepa et al., (2011) di India menemukan rerata umur pasien katarak dengan DM adalah 60,36± 7,46 tahun. Penelitian ini mendapatkan rerata umur pasien katarak dengan DM yang menjalani pembedahan fakoemulsifikasi adalah 61,0± 6,12 tahun. Pasien DM onset dewasa memiliki prevalensi lebih tinggi menderita katarak senilis dengan onset yang sedikit lebih awal dibandingkan pasien tanpa DM (Javadi and Ghanavati, 2008). Penelitian Klein et al., tahun 1995 mengungkapkan frekuensi terjadinya katarak pada pasien DM dua sampai lima kali lebih sering dibandingkan pasien tanpa DM. Hal ini kemungkinan karena pada pasien DM mengalami tingkat stres oksidatif yang lebih tinggi (Deepa et al., 2011). Stres oksidatif disebabkan produksi radikal bebas yang berhubungan dengan peningkatan produk glikosilasi yaitu advanced glycation end products (AGEs). Produk AGEs inilah yang berperan dalam perusakan sel karena mengganggu struktur protein intraseluler dan ekstraseluler seperti kolagen. Penimbunan AGEs dalam waktu lama menyebabkan gangguan fungsi metabolisme lensa, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak larut air (water insoluble
75
76
protein) sehingga menyebabkan gangguan transparansi lensa dan terjadi katarak (Srivastava et al., 2005; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012d). Pasien DM sering mengeluhkan sindroma mata kering. Penelitian Manaviat et al., tahun 2008 mengungkapkan 54,3% pasien DM mengeluhkan DES dimana kelompok umur 65-85 tahun memiliki frekuensi tertinggi yaitu 66,7%. Rerata umur pasien DM yang mengeluhkan DES berdasarkan penelitian Priyatna et al., tahun 2007 yaitu 67,3 ±11,7 tahun. Penelitian ini mendapatkan rerata umur pasien DM yang menjalani pembedahan fakoemulsifikasi dengan hasil tes Schirmer rendah adalah 63,06 ±6,7 tahun. Hal ini didukung oleh penelitian di Amerika yang memperkirakan hampir lima juta penduduk berumur di atas 50 tahun menderita DES derajat sedangberat (Lemp, 2008). Pada usia lanjut terjadi penurunan produksi air mata yang diikuti perubahan komposisi lapisan air mata seperti protein dan anti bakterial. Keadaan ini akan menimbulkan hiperosmolaritas lapisan air mata dan memperberat reaksi inflamasi dan perubahan permukaan epitel bola mata (Pflugfelder, 2004). Defisiensi hormon androgen karena usia akan mempengaruhi produksi air mata dari kelenjar lakrimal. Hormon androgen juga berfungsi sebagai anti inflamasi. Proses inflamasi pada permukaan bola mata makin berat karena tidak adanya androgen sehingga memperberat gejala DES (Moss et al., 2000). Pasien DM sering dikaitkan dengan peningkatan stres oksidatif dan produk radikal bebas yang akan merusak komponen seluler seperti membran plasma yang mengakibatkan sel lisis. Radikal bebas merusak konjungtiva dan kelenjar lakrimal. Hal ini dihubungkan dengan berkurangnya sel goblet dan metaplasia squamous konjungtiva yang berefek pada berkurangnya lapisan
76
77
musin air mata. Gangguan pada kelenjar lakrimal menyebabkan berkurangnya lapisan aqueous air mata (Priyanka et al., 2007). Karakteristik jenis kelamin pada penelitian ini mendapatkan kelompok kasus yaitu pasien DM pasca pembedahan fakoemulsifikasi dengan sekresi air mata rendah didominasi oleh perempuan (60%). Hasil ini didukung penelitian di Amerika, diperkirakan 3,23 juta perempuan dan 1,68 juta laki-laki dari 4,91 penduduk Amerika usia lebih dari 50 tahun menderita DES (Schaumberg et al., 2003; Chia et al., 2003). Pasien DM yang menderita DES pada penelitian Manaviat et al., tahun 2008 mendapatkan 58% perempuan dan 48,8% laki-laki. Jenis kelamin perempuan sering mengeluhkan dry eye syndrome. Hal ini dihubungkan dengan menurunnya kadar androgen pada perempuan berusia lebih dari 50 tahun (menopause) yang dapat menyebabkan defisiensi sekresi air mata (Baudoin, 2001; Stern et al., 2004). Penelitian oleh Susiyanti, tahun 2001 mendapatkan bahwa tingkat keparahan DES sesuai dengan lamanya amenorrhoe post menopause menunjukkan peranan dari estrogen, namun pemberian terapi sulih hormon estrogen pada perempuan menopause meningkatkan prevalensi DES dibandingkan yang tidak mendapatkan terapi estrogen. Estrogen dapat menginduksi regresi kelenjar lakrimal, fungsi metabolik dan pengurangan sekresi air mata (Baudouin, 2001). Hormon androgen penting dalam regulasi fungsi kelenjar meibom dan sekresi lipid pada air mata. Androgen bekerja pada sel epitel asinus kelenjar sehingga menjaga stabilitas air mata dengan mencegah evaporasi. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan fungsi
77
78
androgen karena penuaan adalah sama pada kedua jenis kelamin akibat atropi kelenjar meibom dan disfungsi lipid (Sullivan, 2004). Tingkat pendidikan pada kelompok kasus maupun kontrol tidak berbeda (komparabel). Tingkat pendidikan dibawah SMP (tidak memenuhi program pemerintah wajib belajar 9 tahun) pada kelompok kasus 52% dan kontrol 60%. Tingkat pendidikan pada penderita DM dikaitkan dengan kemampuannya menerima edukasi. Edukasi merupakan salah satu dari empat pilar pengendalian diabetes selain nutrisi, latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Edukasi yang diberikan adalah mengenai tanda dan gejala DM, perawatan pasien DM dan komplikasi yang dapat terjadi (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). Karakteristik lama terdiagnosis DM pada penelitian ini mendapatkan hasil ratarata 4,69 ±3,94 tahun pada kelompok kasus dan 4,83 ±4,89 tahun pada kelompok kontrol. Kondisi hiperglikemia kronis dapat menimbulkan komplikasi vaskulopati dan neuropati melalui patofisiologi yang kompleks seperti jalur polyol. Komplikasi neuropati perifer pada mata mempengaruhi sensitivitas kornea. Sensitivitas kornea yang menurun akan mengurangi reflek lakrimasi sehingga menurunkan produksi air mata (Goebbels, 2000). Reflek lakrimasi mengontrol sekresi kelenjar lakrimal. Kondisi iritasi permukaan bola mata yaitu kornea dan konjungtiva akan direspon oleh reseptor sensori dan berakhir di kelenjar lakrimal (Lemp, 2008; Tsubota et al., 2008). Secara epidemiologik DM sering tidak terdeteksi dan dikatakan mulai terjadi DM adalah sekitar 5-7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Penelitan Sahalash et al.,
78
79
2011 mengungkapkan adanya hubungan antara neuropati perifer dengan keratopati dan disfungsi air mata pada pasien DM. Penelitian ini mendapatkan 17,5% pasien DM dengan neuropati perifer terjadi penurunan sekresi air mata sedangkan semua pasien DM tanpa disertai neuropati perifer didapatkan hasil tes Schirmer yang normal. Durasi menderita DM pada pasien dengan neuropati lebih lama dibandingkan tanpa neuropati yaitu rata-rata 6,6 ±3,09 tahun dengan 4,6 ±3,51 tahun. Pasien dengan neuropati umumnya usia tua, periode menderita DM yang lama, dan terdapat komplikasi kronis DM yang lain (Tavakoli et al., 2007). Hal ini dikaitkan dengan rusaknya atau hilangnya serabut saraf kornea akibat metabolisme glukosa yang abnormal.
6.2 Hubungan Kadar HbA1c dengan Sekresi Air Mata Pasien DM pasca Fakoemulsifikasi Penelitian mengenai kejadian DES pasca pembedahan katarak diteliti oleh Robert et al., tahun 2006 mengungkapkan bahwa tindakan pembedahan memperberat kondisi sindroma mata kering yang sudah ada. Penelitian lain tentang lapisan air mata pasca pembedahan katarak mendapatkan fakoemulsifikasi dapat memicu terjadinya DES (Li et al., 2007; Liu et al., 2008; Cho et al., 2009). Liu et al., 2008, meneliti pasien DM yang dilakukan fakoemulsifikasi selama 180 hari. Penelitian Liu et al., mendapatkan hasil tes Shirmer pasien DM pada hari ke 180 menurun sampai 86% dibandingkan preoperatif. Penelitian Liu et al., juga mendapatkan hasil tes Schirmer kelompok non DM kembali ke nilai preoperatif setelah 90 hari. Namun penelitian
79
80
yang dilakukan oleh Ram et al., 2002 terhadap pasien DES yang menjalani fakoemulsifikasi menyimpulkan bahwa fakoemulsifikasi aman dan tidak merubah hasil tes Schirmer pada pasien dengan DES. Kadar HbA1c menunjukkan jumlah hemoglobin yang terglikasi akibat paparan glukosa serum dalam jangka lama. Kadar HbA1c yang tinggi menandakan kondisi hiperglikemia yang tidak terkendali selama 3 bulan yang lalu (Nathan et al., 2008). Efek kontrol gula darah ini berhubungan dengan komplikasi DM yang terjadi. Dengan melakukan kontrol HbA1c yang baik (<7%) dapat menurunkan progresifitas komplikasi yang terjadi. Penelitian Nuho et al., 2004 meneliti hubungan neuropati dengan sensitivitas kornea dan sekresi kelenjar lakrimal pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini mendapatkan kadar rata-rata HbA1c pasien DM dengan neuropati lebih tinggi dari kelompok non neuropati yaitu 7,4% dibandingkan 6,5%. Patofisiologi neuropati terdiri dari beberapa faktor yaitu metabolik, vaskular, stres oksidatif dan neurohormonal growth factor (NGF). Keadaan hiperglikemia kronis menyebabkan aktivasi jalur polyol meningkat sehingga terjadi akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf akan menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga terjadi edema sel saraf. Faktor stress oksidatif yang diduga menyebabkan neuropati adalah akumulasi dari AGEs pada membran basal kornea sehingga mengganggu fungsi barier epitel kornea. Kadar neurohormonal growth factor (NGF) pada pasien DM cenderung turun dan berhubungan dengan derajat neuropati. NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf (Nuho et al., 2004; Nakahara et al., 2005).
80
81
Komplikasi neuropati perifer yang terjadi pada permukaan bola mata dapat mengenai saraf sensori aferen pada permukaan bola mata dan saraf eferen pada kelenjar lakrimal. Persarafan sensori aferen saraf trigeminus yang mempersarafi kornea berperanan dalam menjaga regulasi epitel, proliferasi dan penyembuhan luka (Muller et al., 2003; Gallar et al., 2004). Gangguan persarafan kornea dapat menurunkan sensitivitas kornea dan menimbulkan kondisi hipoestesia kornea. Kondisi hipoestesia kornea meningkatkan resiko terjadinya keratitis neurotropik. Sensitivitas kornea dimediasi oleh serabut saraf bermielin A dan C dan dapat dievaluasi dengan menggunakan alah aesthesiometer Cochet-Bonnet. Penelitian yang dilakukan Takavoli et al., tahun 2007 menemukan terjadinya penurunan sensitivitas kornea pada pasien DM. Penggunakan mikroskop konfokal kornea dapat untuk melihat perubahan morfologi persarafan kornea. Perubahan yang terjadi pada pasien DM antara lain berkurangnya jumlah saraf, berkurangnya percabangan dan pola percabangan saraf, dan meningkatnya tortuisitas saraf terutama pada pleksus saraf sub-basal kornea (Muller et al., 2003). Penelitian Midena et al., tahun 2006 menghubungkan perubahan yang terjadi pada persarafan kornea dikaitkan dengan kondisi neuropati perifer pasien DM. Penelitian ini menyimpulkan bahwa morfologi saraf kornea dapat digunakan sebagai diagnosis, evaluasi dan monitoring dari neuropati perifer pasien DM. Kerusakan saraf sensori mengakibatkan pembengkakan sel epitel kornea, rusaknya mikrovilli dan abnormal dari lamina basalis lapisan kornea. Hal ini akan
81
82
menghambat proses mitosis sel sehingga terjadi gangguan pertumbuhan epitel. Selain itu peranan neurotransmitter di kornea penting dalam mitosis sel epitel kornea (Tsubota et al., 2008). Peningkatan kadar intranuclear cyclic guanosine monophosphate
(cGMP)
dan
penurunan
intracellular
cyclic
adenosine
monophosphate (cAMP) juga berpengaruh pada proses mitosis sel epitel kornea. Penelitian Dogru et al., 2001 mendapatkan rata-rata hasil tes Schirmer pada pasien DM dengan kontrol gula yang baik (HbA1c <7,8%) 9,40 ±0,53 mm. Kelompok DM dengan kontrol gula buruk didapatkan sekresi air mata yang lebih rendah yaitu rata-rata 6,60 ± 0,46 mm. Oktaviani et al., 2011 menggunakan metode potong lintang terhadap 35 pasien DM untuk dilakukan pemeriksaan tes Schirmer dan kadar HbA1c. Penelitian Oktaviani et al., menyimpulkan terdapat korelasi antara kadar HbA1c dan kuantitas air mata. Penelitian ini menggunakan pasien DM pasca fakoemulsifikasi 12-16 minggu sebagai sampel penelitian. Kriteria waktu 12-16 minggu mengacu pada proses penyembuhan luka insisi kornea yang dilakukan selama tindakan fakoemulsifikasi. Proses penyembuhan luka kornea dipengaruhi oleh lapisan sel endotel kornea. Lapisan endotel kornea memiliki kemampuan mitosis yang terbatas. Hilangnya sel endotel akan diikuti proses pembesaran sel dan pengisian ruang yang kosong oleh sel endotel yang lain. Stabilisasi perubahan lapisan endotel kornea terjadi dalam waktu kurang lebih tiga bulan (Riordan-Eva et al., 2003). Penelitian ini mendapatkan kadar HbA1c yang tinggi (>7%) dapat meningkatkan risiko terjadinya penurunan sekresi air mata sebesar 2,44 kali pada pasien DM pasca
82
83
tindakan fakoemulsifikasi. Penurunan sekresi air mata dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Pada penelitian ini didapatkan faktor usia juga berpengaruh dimana usia yang lebih tua terdapat kecenderungan untuk terjadi penurunan sekresi air mata. Namun penelitian ini berusaha untuk mencari HbA1c sebagai faktor risiko setelah mempertimbangkan umur dan jenis kelamin. 6.3 Kelemahan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol untuk mencari faktor risiko HbA1c terhadap sekresi air mata pasien DM yang menjalani fakoemulsifikasi. Kelemahan penelitian ini antara lain tidak dapat mengetahui kemungkinan sudah terjadi penurunan sekresi air mata sebelum operasi maupun sebelum terdiagnosis DM.
83
84
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Penelitian ini mendapatkan bahwa kadar HbA1c yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya penurunan sekresi air mata pada pasien DM pasca fakoemulsifikasi 12-16 minggu. 7.2 Saran Kadar HbA1c menjadi indikator penting terutama dalam preoperatif maupun perioperatif pasien DM. Kadar HbA1c dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam evaluasi tindakan, terapi dan edukasi yang akan diberikan pada pasien DM yang akan menjalani pembedahan fakoemulsifikasi.
84
85
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tindakan fakoemulsifikasi mempengaruhi sekresi air mata pasien diabetes melitus dihubungkan dengan kontrol glikemik.
DAFTAR PUSTAKA American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012a. Fundamental and Principles of Ophthalmology. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p.237-246 American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. External Eye Disease and Cornea. Unitead State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 4866. American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012c. Orbit, Eyelid and Lacrimal System. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 243246. American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012d. Lens and Cataract. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 5-17. American Diabetes Association. 2010. Position Statement: Standards of Medical Care in Diabetes 2010. Diab Care, 33(Suppl.1) Baudouin, C. 2001. The pathology of dry eye. Surv Ophthalmol, 45: 211-20 Beebe, D.C. 2003. Lens. In: Koufman P.L., Alm A., Editors. Adler’s Physiology of The Eye.St Louis: Mosby. p. 117-57.
85
86
Beebe, D.C., Shui,Y.B., and Holekamp, N.M. 2010. Biochemical Mechanism of AgeRelated Cataract. In: Levin L.A., Albert D.M. editors. Ocular Disease Mechanisms and Management. Philadelphia: Saunders.p. 231-237. Bhatnagar, K.R., Sapovadia, A., Gupta, D., Kumar, P., Jasani, H. 2014. Dry Eye Syndrome : A rising occupational hazard in tropical countries. Medical Journal of Dr D.Y. Patil University;7(1):13-18. Blades, K.J, Patel, S., Aidoo, K.E. 2001.Oral antioxidant therapy for marginal dry eye. Eur J Clin Nutr;55(7):589–597 Branwald, E., Fauci, S., Kasper, D., Hauser, L.S., Longo, D., and Jameson J.L 2005. Diabetes Mellitus. In Harrison Principle of Internal Medicine. Harrison, T.R. 16th ed.. USA. Mc Grow-Hill, 2121 Castillo, J.M., Acosta, M.C., Wassfi, M.A., Diaz-Valle, D., Gegundez, J.A., Fernandez, C., Garcia-Sanchez, J. 2007. Relation between corneal innervation with confocal microscopy and corneal sensitivity with noncontact esthesiometry in patients with dry eye. Invest Ophthalmol Vis Sci, 48;p :173-181. Chia, E.M., Mitchell, P., and Rochtchina, E. 2003. Prevalence and Associations of Dry Eye Syndrome in an Older Population: the Blue Mountains Eye Study. Clin Experiment Ophthalmol, 31: 229-232. Cho, Y.K.,and Kim, M.S. 2009. Dry Eye After Cataract Surgery and Associated Intraoperative Risk Factors. Korean Journal of Ophthalmology,23: 65-73. Cousen, P., Cackett, P., and Bennett, H. 2007. Tear Production and Corneal Sensitivity in Diabetes. J Diabetes Complications, 21(6): 371-373. Deepa K., Goud M., Nandini M., Kamoth A., Sudhir, and Nayol B. 2011. Oxidative Stress and Calcium Levels in Senile ang Type 2 Diabetic Cataract Patient. Biochemistry, 2: 109-15 Dogru, M., Katakami, C., and Inoue, M. 2001. Tear Function and Ocular Surface Changes in Noninsulin-dependent Diabetes Mellitus. Ophthalmology, 108(3): 586-592. Donnenfeld, E.D., Solomon, K., Perry, H.D., Doshi, S.J., Ehrenhaus, M.,Solomon, R., and Biser, S. 2003. The effect of hinge positio on corneal sensation and dry eye after LASIK. Opthalmology, 110; 1023-1029. Dry Eye Workshop. 2007. The Definition and Classification Subcommittee of the International Dry Eye Workshop. Ocul Surf, 5(2):75-92.
86
87
Fraunfelder, F.W and Santaella, R.M. 2007. Ocular adverse effects associated with systemic medications. Drugs.,67(1):75-93. Fujishima, H., and Tsubota, K. 2002. Improvement of Corneal Fluorescein Staining in Post Cataract Surgery of Diabetic Patients by an Oral Aldose Reductase Inhibitor. Br J Ophthalmol, 86:860–863. Gallar, J., Acosta, M.C., Moilanen, J.A., Holopainen, J.M., Belmonte, C., and Tervo, T.M. 2004. Recovery of corneal sensitivity to mechanical and chemical stimulation after laser in situ keratomileusis. J Refract Surg;20,p :229-235. Geistanger, A., Arends, S., and Berding, C. 2008. Statistical Methods for Monitoring the Relationship Between the IFCC Reference Measurement Procedure for Hemoglobin A1c and the Designated Comparison Methods in the United States, Japan, and Sweden". Clin. Chem. 54: 1379–1385. Gharee, H., Mousavi, M., Daneshvar, R., Hosseini, M., and Sazande, S. 2009. Effect of Clear Corneal Incision Location on Tear Film Following Phacoemulsification Surgery. Iranian Journal of Ophthalmology, 21(3):29-34 Gipson, I.K., and Argueso, P. 2003. Role of Mucins in the Function of the Corneal and Conjunctival Epithelia. Int Rev Cytol, 231: 1–49. Goebbels, M. 2000. Tear Secretion and Tear Film Function in Insulin Dependent Diabetics. Br J Ophthalmology, 84: 19 – 21. Goyal, M.M., Vishwajeet P., Mittal R., and Sune P. 2010. A Potential Correlation between Systemic Oxidative Stress and Intracellular Ambiance of the Lens Epithelia in Patients with Cataract. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 4:2061-2067 Grus, F., Sabuncuo, P., Dick, H., Augustin, A., and Pfeiffer, N. 2002. Changes in the Tear Proteins of Diabetic Patients. BMC Ophthalmology, 2: 4. Gsianturi. 2004. Angka Kebutaan di Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara. Available from http://www.AngkakebutaandiIndonesiatertinggidiAsiaTenggara.htm.Last update: 15 Mei 2004, access 10 Juni 2012 Guthoff, R.F., Wienss, H., Hahnel, C, and Wree, A. 2005 Epithelial innervation of human cornea: a three-dimensional study using confocal laser scanning fluorescence microscopy . Cornea ;24,p :608–613 International Diabetes Federation. 2005. IDF Guidelines Task Force. Global guideline for Type 2 diabetes. Brussels.
87
88
Javadi, M.A., Ghanavati, S.Z. and Beheshti, S. 2008. Cataracts in Diabetic Patients: A Review Article. J Ophthalmic Vis Res, 3: 52-65. John, W.G., Mosca, A. Weykamp, C., and Goodall, I. 2007. HbA1c Standardisation: History, Science and Politics. Clin Biochem Rev, 28: 163-169. Khanal, S., Tomlinson, A., and Esakowitz, L. 2008. Changes in Corneal Sensitivity and Tear Physiology After Phacoemulsification. Ophthalmic Physiol Opt , 28(2): 127-134. Kilpatrick, E.S., Rigby, A.S., Atkin, S.L. 2009. The Diabetes Control and Complications Trial: the gift that keeps giving.Nat Rev Endrocinol, 5(10),p: 53745. Kim, J.H., Chung, J.L., Kang, S.Y., Kim, S.W., and Seo, K.Y. 2009. Change in Corneal Sensitivity and Corneal Nerve after Cataract Surgery. Cornea, 28 (11) : 20-25. King, G.L., and Loeken, M.R. 2004. Hyperglycemia-induced Oxidative Stress in Diabetic Complication. Histochem Cell Biol, 122: 333-338. Kirkwood, B. 1988. Calculation of Required Sample Size. In B. Kirkwood (Ed), Essentials of Medical Statistics,1st Ed. New York: Blackwell Science. p: 191-200 Lehman, R., and Krumholz, H.M. 2009. Tight Control of Blood Glucose in Long Standing Type 2 Diabetes. BMJ , 338 Lemp, M.A. 2008. Perspective Advances in Understanding and Managing Dry Eye Disease. American Journal of Ophthalmology, 146(3): 350-356. Lemp, M.A. 2011. Tear Film Evaluation. In : Krachmer, Mannis, Holland, editors. Cornea: Fundamentals, Diagnosis and Management. 3rd.Ed. Elsevier-Mosby. p:79-85. Li, X.M., Hu, L., Hu, J., and Wang, W. 2007. Investigation of Dry Eye Disease and Analysis of the Pathogenic Factors in Patients After Cataract Surgery. Cornea, 26(9 Suppl 1):16-20. Liu, X., Gu, Y.S., and Xu, Y.S. 2008. Changes of Tear Film and Tear Secretion after Phacoemulsification in Diabetic Patients. Journal of Zhejiang University Science B, 9(4): 324-328. Liu, Y., Luo, L., He, M., and Liu, X. 2004. Disorders of The Blood-Aqueous Barrier After Phacoemulsification in Diabetic Patients. Eye, 18( 9) : 900–904.
88
89
Manaviat, M.R., Rashidi, M., Afkhami-Ardekani M., and Shoja, M.R. 2008. Prevalence of Dry Eye Syndrome and Diabetic Retinopathy in Type 2 Diabetic Patients. BioMed Central Ophthalmology , 8(10) :1-5. Marfurt, C. F., Murphy, C. J. and Florczak, J. 2001. Morphology and neurochemistry of the canine corneal innervation. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci, 42,p:2242-2251. Mariette, X., Ravaud, P., Steinfeld, S., Baron, G., Goetz, J., Hachulla, E., Combe, B., Puechal, X., Pennec, Y.,Sauvezie, B., Perdriger, A., Hayem, G., Janin, A., and Sibilia, J. 2004. Inefficacy of Infliximab in Primary Sjögren's Syndrome: Results of the Randomized, Controlled Trial of Remicade in Primary Sjögren's Syndrome (TRIPSS). Arthritis Rheum, 50: 1270–1276. Midena, E., Brugin, E., Ghirlando, A., Sommavilla, M., and Avogaro, A. 2006. Corneal Diabetic Neuropathy : a Confocal Microscopy Study. J Refr Surg, 22(9): 1047-52. Montori, V.M., and Balsells, M.F. 2009. Glycemic Control in Type 2 Diabetes: Time for an Evidence- Based About-Face? Annals of Internal Medicine, 150: 803-808. Muchnick, B.G. 2008. Identify the Ocular Side Effects of Systemic Medications. Rev Optom, 145(1): 60-73. Muller, L.J., Marfurt, C.F., Kruse, F., and Tervo, T.M. 2003. Corneal Nerves: structure, contents and function. Exp Eye Res, 76(5), p: 521-42. Nakahara, M., Miyata, K., Otani, S., Miyai, T., Nejima, R., Yamagami, S., and Amano, S. 2005. A randomised, Placebo Controlled Clinical Trial of the Aldose Reductase Inhibitor CT-112 as Management of Corneal Epithelial Disorders in Diabetic Patients. Br J Ophthalmol, 89:266–268. Nathan, D.M., Kuenen, J., Borg, R., Zheng, H., Schoenfeld, D., and Heine, R.J. 2008. Translating the A1C Assay into Estimated Average Glucose Values. Diabetes Care, 31 (8): 1473–1478. Nepp, J., Abela, C., Polzer, I., Derbolav, A., and Wedrich, A. 2000. Is There a Correlation Between the Severity of Diabetic Retinopathy and Keratoconjunctivitis Sicca? Cornea, 19:487–491. Nuho, A., Subekti, I., Ismail, D., and Sitompul, R. 2004. Correlation of Neuropathy with Corneal Sensitivity and Lacrimal Gland Secretion in Type 2 Diabetes Mellitus Patient. Acta Med Indones, 36(3):130-135.
89
90
O’Callaghan, R.J., Girgis, D.O., Dajcs, J.J., Sloop, G.D. 2003. Host Defense Against Bacterial Keratitis. Ocul Immunol Inflamm, 11: 171–181 Oktaviani, L.I., Supono, T.S., and Suharno. 2011. Korelasi Kadar Glokohemoglobin (HbA1c) dengan Kuantitas Sekresi Air Mata Pada Pasien Diabetes Melitus Studi Di RSUD Margono Soekarjo. Mandala of Health, 5(3): 1-5. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta. Pflugfelder, S.C. 2004. Antiinflammatory Therapy for Dry Eye. Am J Ophthalmol, 137(2): 337-42 Pollreisz, A., and Erfurth, U.S. 2010. Diabetic Cataract: Pathogenesis, Epidemiology and Treatment. Journal of Ophthalmology, 10: 1-8. Priyanka, P., Kalpana, S., and Viswanathan, P. 2007. Tear Film Changes After Antioxidant Supplementation in Type 2 Diabetes Mellitus. Int J Diab Dev Ctries, 27(1): 5-7. Qaseem, A., Vijan, S., Snow, V., Cross, T., Weiss, K.W., and Owens, D.K. 2007. Glycemic Control and Type 2 Diabetes Mellitus: The Optimal Hemoglobin A 1c Targets. A Guidance Statement from the American College of Physicians. Annals of Internal Medicine, 147:417-422. Ram, J., Gupta, A., Brar, G., and Kaushik, S. 2002. Outcomes of Phacoemulsification in Patients with Dry Eye. Journal Cataract Refraction Surgery, 28(8): 1386-9. Resnikoff, S., Pascolini, D., Etya’ale, D., Kocur, I., Pararajasegaram, R., Pokharel, G.P., and Mariotti, S. P. 2004. Global Data on Visual Impairment in the year 2002. World Health Organ. 82, 844-851. Riordan-Eva, Asbury, T., and Whitcher, J.P. 2003. Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology.Ed 16. USA, McGraw-Hill Medical: 308-310. Ríos, J., Horikawa, Y., Chen, L., Kublin, K., Hodges, R., Dartt, D., and Zoukhri, D. 2005. Age-dependent Alterations in Mouse Exorbital Lacrimal Gland Structure, Innervation and Secretory Response. Exp Eye Res, 80:477–491. Robert, C.W., and Elie, E.R. 2007. Dry Eye Symptoms Following Cataract Surgery. Insight The Journal of the American Society of Ophthalmic Registered Nurses, 32:14-23.
90
91
Schaumberg, D.A., Sullivan, D.A., Buring, J.E., and Dana, M.R. 2003. Prevalence of Dry Eye Syndrome Among US Women. Am J Ophthalmol, 136: 318-326. Schlesselman, J.J. 1982. Case Control Studies. Design, conduct, analysis. New York: Oxford University Press. Schneider, H., Shaw, J., and Zimmet, P. 2003. Guidelines for the Detection of Diabetes Mellitus: Diagnostic Criteria and Rationale for Screening. Clin Biochem Rev, 24: 77-80. Sihota, R.and Tandan, R. 2007.Parson’s Diseases of The Eye. Indian: Elsevier. 24769 Skyler, J.S. 2004. Effects of Glycemic Control on Diabetes Complications and on the Prevention of Diabetes. Clinical Diabetes, 22 (4): 162-166. Soekardi, I., dan Hutauruk, J.A. 2004. Komplikasi Pasca Operasi. In Transisi Menuju Fakoemulsifikasi. Kelompok Yayasan Obor Indonesia. Jakarta,p 243-253 Srivastava, S.K., Ramana, K.V., and Bhatnagar, A. 2005. Role of Aldose Reductase and Oxidative Damage in Diabetes and the Consequent Potential for Therapeutic Options. Endocrine Reviews, 26: 380–392. Stolar, M. 2010. Glycemic Control and Complications in Type 2 Diabetes Mellitus. The American Journal Medicine. 123:3-11 Stratton, I.M., Adler, A.I., Neil, H.A.W., Matthews, D.R., Manley, S.E., Cull, C.A., Hadden, D., Turner, R.C., and Holman, R.R. 2000. Association of Glycaemia with Macrovascular and Microvascular Complications of Type 2 Diabetes (UKPDS 35): Prospective Observational Study. BM J, 321:405. Sullivan, D.A. 2004. Androgen Deficiency and Dry Eye Syndromes. Arch Soc Esp Oftalmol, 79:49–50. Susiyanti, M. 2001. Karakteristik Lapisan Air Mata dan Tingkat Keparahan Dry Eye Pasca Menopause.Tesis Jakarta. Bagian Ilmu Penyakit Mata FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Tavakoli, M., Petropoulos, I.N., Malik, R.A., and Daubs, J.G. 2012. Assessing Corneal Nerve Structure and Function in Diabetic Neuropathy. Clin Exp Optom, 95: 338–347.
91
92
Tsubota, K. Tseng, S.C., and Nordlund, M.L. 2008 Anatomy and Physiology of the Ocular Surface. In Holland, E.J., Mannis, M.J.3rd.Ocular Surface Disease : Medical and Surgical Management. Newyork, Springer, chap 1,p 9-12 Tuisku, I.S., Konttinen, Y.T., Konttinen, L.M., Tervo, T.M. 2008. Alterations in corneal sensitivity and nerve morphology in patients with primary Sjogren's syndrome . Exp Eye Res; 86:879-885. Wild, S., Roglic, G., Green, A., Sicree, R., and King, H. 2004. Global Prevalence of Diabetes Estimates for the Year 2000 and Projections for 2030. Diabetes Care, 27: 1047-1053. World Health Organization. 2011. Use of Glycated Haemoglobin (HbA1c) in the Diagnosis of Diabetes Mellitus. Abbreviated Report of a WHO Consultation :125. Zoukhri, D. 2006. Effect of Inflammation on Lacrimal Gland Function. Exp Eye Res, 82(5): 885–898.
Lampiran 1. Penjelasan Penelitian
INFORMASI YANG DIBERIKAN KEPADA SUBYEK PENELITIAN HbA1c Yang Tinggi Meningkatkan Risiko Rendahnya Sekresi Air Mata Pasien Diabetes Melitus Pasca Fakoemulsifikasi
Bapak/Ibu yang telah menjalani operasi katarak (fakoemulsifikasi) sekitar 12-16 minggu yang lalu mungkin mengeluhkan mata terasa tidak nyaman setelah operasi. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa rasa pedih, ngeres seperti kemasukan pasir, rasa panas, dan sepet. Rasa tidak nyaman tersebut dapat disebabkan oleh efek awal
92
93
dari operasi, obat-obatan yang diberikan setelah operasi atau bahkan sudah ada sebelum operasi. Rasa tidak nyaman pada mata dapat disebabkan karena kurangnya pengeluaran air mata. Hal ini dapat diukur dengan tes Schirmer, yaitu dengan menggunakan kertas strip khusus yang steril. Penyakit kencing manis/diabetes melitus (DM) dapat memicu kurangnya pengeluaran air mata. Kontrol glikemik buruk pada penderita DM meningkatkan risiko gangguan lapisan air mata yang menyebabkan ketidaknyamanan pada mata. Kontrol glikemik diketahui dengan pemeriksaan kadar HbA1c dari darah yang diambil di vena daerah siku bagian dalam. Kadar HbA1c ini selain dipakai sebagai pemantau terhadap keberhasilan pengobatan pasien DM, juga dapat dipakai untuk mengetahui kemungkinan seseorang terkena DM. Pada saat ini akan dilakukan penelitian yang mencari besar risiko seseorang dengan HbA1c yang tinggi untuk terjadinya pengeluaran air mata yang rendah pada pasien-pasien setelah operasi katarak fakoemulsifikasi. Bapak/Ibu memenuhi persyaratan pada penelitian yang sedang kami lakukan. Apabila Bapak/Ibu bersedia ikut dalam penelitian, kami mohon kesediaannya untuk menandatangani surat persetujuan. Data mengenai Bapak/Ibu akan kami rahasiakan. Apabila dalam pemeriksaan kami temukan sekresi air mata rendah dan menimbulkan rasa tidak nyaman kami akan memberikan tetes mata buatan. Apabila dalam pemeriksaan kadar HbA1c yang tinggi kami akan membuat surat konsul ke dokter penyakit dalam untuk mendapatkan terapi dan penanganan lebih lanjut.
93
94
Apabila sewaktu-waktu Bapak/Ibu membutuhkan penjelasan atau terdapat keluhan, Bapak/Ibu dapat menghubungi dokter yang merawat selama penelitian ini:
Dr. Ni Made Ayu Surasmiati Bagian Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/RSUP Sanglah Telepon: 081338341860
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Inform Consent)
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:
Umur
:
Alamat
:
Jenis kelamin : No Telepon
:
Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan dan manfaat penelitian ini, maka saya menyatakan setuju dan bersedia ikut serta dalam penelitian. Saya bersedia mentaati semua peraturan yang diberikan. Saya mempunyai hak untuk
94
95
mengundurkan diri dari penelitian ini bila saya menginginkan dan tidak akan merusak hubungan dokter-pasien dengan saya. Denpasar, ..............................2013 Tanda tangan
Peneliti
.....................................
dr Ni Made Ayu Surasmiati
Nama jelas Saksi
…………………………
Lampiran 3. Kuisioner Penelitian Nama
:
No. Penelitian :
Umur
:
Kelompok
Alamat
:
Jenis kelamin : Pendidikan
:
Pekerjaan
:
No Telepon
:
Pemeriksaan (Tanggal........................ / Pk..........................)
95
:
96
Tanggal operasi katarak Mata yang dioperasi Lama menderita DM Tes Schirmer 1 (mm) Kadar HbA1c (%)
Lampiran 4. Tabel Induk Penelitian Kelompok Kasus No Nama Umur JK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
GDW NWM MDS MDS INR NSR Sumai KKR KKR NLT
63 62 61 61 62 73 62 76 76 57
L P P P L L L P P L
Lama DM(th) 5 5 2 2 10 9 7 1 1 15
Penddk
Pekerjaan
SD SD SMA SMA SMA SD SMP Tdk Tdk SMP
petani wiraswasta pens PNS pensPNS pensPNS tdk bekerja wiraswasta tdk bekerja tdk bekerja Petani
96
Schirmer HbA1c 7 6 5 5 4 7 5 4 3 5
8,87 10,86 5,66 5,66 7,03 13,30 8,5 6,01 6,01 10,05
97
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
GRW GRW IKT IKT MRD MRD DAS DAS WSY WSY NWM NWM NWP NWP GAS GAS WSL WSL PGH DNS DNS IDA IDA WJY AST
66 66 73 73 56 56 65 65 56 56 58 58 59 59 76 76 57 57 60 59 59 65 65 59 55
P P L L L L P P P P P P P P P P P P L P p L L L L
1 1 10 10 1 1 2 2 1 1 7 7 10 10 2 2 3 3 7 1 1 8 8 8 1
SMA SMA SD SD SMP SMP SD SD SMA SMA SMP SMP S1 S1 SMA SMA SMA SMA S1 SMP SMP S1 S1 S1 SMP
IRT IRT Petani Petani wiraswasta wiraswasta Petani Petani wiraswasta wiraswasta IRT IRT pens PNS pens PNS pens PNS Pens PNS IRT IRT Pens PNS IRT IRT pensPNS pensPNS pensPNS petani
5 5 1 1 1 4 8 8 3 1 4 5 8 4 2 4 2 1 4 6 8 2 2 1 2
6,81 6,81 16,3 16,3 9,54 9,54 14,76 14,76 6,7 6,7 9,75 9,75 8,40 8,40 13,35 13,35 9,60 9,60 11,03 8,52 8,52 7,78 7,78 13,01 9,91
Schirm er 14 12 11 13 12 11 13 18 13 12 15
HbA1c
Kelompok Kontrol No
Nama
Umur
JK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
NMR NMR PPA PPA NSR NKR NKR MPA MPA NSD NSD
56 56 63 63 73 57 57 58 58 69 69
p P L L L L L L L P P
Lama Penddk DM(th) 4 SMA 4 SMA 12 SMP 12 SMP 9 TDK 14 SMA 14 SMA 15 S1 15 S1 2 SMP 2 SMP
97
Pekerjaan wiraswasta wiraswasta wiraswasta wiraswasta tdk bekerja wiraswasta wiraswasta pensPNS pensNS IRT IRT
8,88 8,88 6,2 6,2 13,30 7,90 7,90 7,9 7,9 10,56 10,56
98
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
GND GND TKM TKM IWS IWS GWR GWR KPG KPG NSC NSC NMS NMS WJP WJP WRN WRN TRA TRA TUK TUK RER RER
63 63 52 52 61 61 59 59 58 58 62 62 53 53 56 56 56 56 55 55 57 57 60 60
L L L L L L L L L L P P P P P P P P L L L L P P
2 2 10 10 2 2 2 2 1 1 8 8 1 1 2 2 1 1 1 1 2 2 1 1
TDK TDK SMA SMA S1 S1 SD SD SMA SMA SMP SMP SMP SMP SD SD SD SD SD SD SMA SMA SD SD
Petani Petani wiraswasta wiraswasta pensPNS pensPNS petani petani wiraswasta wiraswasta wiraswasta wiraswasta IRT IRT IRT IRT wiraswasta wiraswasta Petani Petani wiraswasta wiraswasta IRT IRT
14 11 11 12 10 11 13 15 10 14 20 18 11 16 16 11 12 11 21 15 20 20 12 11
Lampiran 5. Hasil Pemeriksaan Kadar HbA1c
Kelompok Kasus No 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12 13
Nama HbA1c (%) GDW 8,87 NWM 10,86 MDS 5,66 MDS 5,66 INR 7,03
98
NSR SMI KKR KKR NLT GRW GRW IKT
13,30 8,5 6,01 6,01 10,05 6,81 6,81 16,3
6,7 6,7 13,48 13,48 8,47 8,47 6,70 6,70 5,31 5,31 8,58 8,58 6,34 6,34 7,10 7,10 6,21 6,21 6,45 6,45 10,42 10,42 8,17 8,17
60
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
IKT MRD MRD DAS DAS WSY WSY NWM NWM NWP NWP GAS GAS WSL WSL PGH DNS
16,3 9,54 9,54 14,76 14,76 6,7 6,7 9,75 9,75 8,40 8,40 13,35 13,35 9,60 9,60 11,03 8,52
Kelompok Kontrol No 1 2 3 4 5
Nama NMR NMR PPA PPA NSR
31 32 33 34 35
DNS IDA IDA WJY AST
HbA1c (%) 8,88 8,88 6,2 6,2 13,30
8,52 7,78 7,78 13,01 9,91
60
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
NKR NKR MPA MPA NSD NSD GND GND TKM TKM IWS IWS GWR GWR KPG KPG NSC NSC NMS NMS WJP WJP WRN WRN TRA
31 32 33 34 35
TRA TUK TUK RER RER
7,90 7,90 7,9 7,9 10,56 10,56 6,7 6,7 13,48 13,48 8,47 8,47 6,70 6,70 5,31 5,31 8,58 8,58 6,34 6,34 7,10 7,10 6,21 6,21 6,45
6,45 10,42 10,42 8,17 8,17
60
60
61
Lampiran 6. Hasil Output SPSS UMUR Group Statistics Kategori Schirmer 1 Umur
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
<10 mm
35
63.06
6.704
1.133
>10 mm
35
58.94
4.740
.801
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
Sig. (2F Umur Equal
Sig.
t
5.078 .027 2.965
df
Mean
Std. Error
tailed) Difference
Difference
Difference Lower Upper
68
.004
4.114
1.388
1.345 6.884
2.965 61.199
.004
4.114
1.388
1.339 6.889
variances assumed Equal variances not assumed
61
62
JENIS KELAMIN Crosstab Kategori Schirmer 1 <10 mm Jenis Kelamin
Laki-laki
Count % within Kategori Schirmer
>10 mm
Total
14
21
35
40,0%
60,0%
50,0%
21
14
35
60,0%
40,0%
50,0%
35
35
70
100,0%
100,0%
100,0%
1 Perempuan
Count % within Kategori Schirmer 1
Total
Count % within Kategori Schirmer 1
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1 ,094
2,057
1 ,151
2,819
1 ,093
2,800 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
,151 2,760
1 ,097
70
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.50. b. Computed only for a 2x2 table
62
,076
63
PENDIDIKAN Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
wajibbelajar9tahun *
70
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 70
100.0%
Kategori Schirmer 1
wajibbelajar9tahun * Kategori Schirmer 1 Crosstabulation Count Kategori Schirmer 1 <10 mm wajibbelajar9tahun
>10 mm
Total
rendah
18
21
39
cukup
17
14
31
35
35
70
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.470
Continuity Correction
.232
1
.630
Likelihood Ratio
.522
1
.470
Pearson Chi-Square
.521 b
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.631 .514
1
.474
70
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.50. b. Computed only for a 2x2 table
63
.315
64
PEKERJAAN Case Processing Summary Cases Valid N kelompok kerja * Kategori
Missing
Percent 70
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 70
100.0%
Schirmer 1
kelompok kerja * Kategori Schirmer 1 Crosstabulation Kategori Schirmer 1 <10 mm kelompok kerja
outdoor
Count
>10 mm
Total
7
6
13
% within kelompok kerja
53.8%
46.2%
100.0%
% within Kategori Schirmer
20.0%
17.1%
18.6%
10.0%
8.6%
18.6%
28
29
57
% within kelompok kerja
49.1%
50.9%
100.0%
% within Kategori Schirmer
80.0%
82.9%
81.4%
40.0%
41.4%
81.4%
35
35
70
50.0%
50.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
50.0%
50.0%
100.0%
1 % of Total indoor
Count
1 % of Total Total
Count % within kelompok kerja % within Kategori Schirmer 1 % of Total
Chi-Square Tests
Value
df
64
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
65
Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.759
.000
1
1.000
.095
1
.758
.094 b
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association
.093
N of Valid Cases
1
.500
.760
70
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.50. b. Computed only for a 2x2 table
LAMA TERDIAGNOSIS DM Group Statistics Kategori Schirmer 1 Riwayat DM (Tahun)
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
<10 mm
35
4.69
3.937
.666
>10 mm
35
4.83
4.890
.827
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
Sig. (2-
Riwayat Equal DM
variances
F
Sig.
2.211
.142
t
df -
Mean
Std. Error
Difference
tailed) Difference Difference Lower Upper 68
.893
-.143
1.061
.135
- 1.975 2.260
(Tahun) assumed Equal variances
- 65.039
.893
-.143
.135
1.061
- 1.976 2.262
not assumed
BIVARIAT Case Processing Summary
65
66
Cases Valid N
Missing
Percent
Kategori HbA1C * Kategori
70
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 70
100.0%
Schirmer 1
Kategori HbA1C * Kategori Schirmer 1 Crosstabulation Count Kategori Schirmer 1 <10 mm Kategori HbA1C
>10 mm
Total
>=7%
27
21
48
<7%
8
14
22
35
35
70
Total
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.122
1.657
1
.198
2.409
1
.121
2.386 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.197
Linear-by-Linear Association
2.352
N of Valid Cases
1
.125
70
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.00. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Kategori
Lower
2.250
.796
HbA1C (>=7% / <7%)
66
Upper 6.360
.099
67
For cohort Kategori
1.547
.843
2.837
.688
.438
1.078
Schirmer 1 = <10 mm For cohort Kategori Schirmer 1 = >10 mm N of Valid Cases
70
MULTIVARIAT Variables in the Equation 95% C.I.for EXP(B) B Step a
1
kathba1c
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
.891
.583
2.337
1
.126
2.437
.778
7.633
umur
-.128
.051
6.253
1
.012
.880
.796
.973
jeniskelamin
-.859
.531
2.623
1
.105
.423
.150
1.198
Constant
7.895
3.275
5.811
1
.016 2682.495
a. Variable(s) entered on step 1: kathba1c, umur, jeniskelamin.
67
68
Lampiran 7. Surat Keterangan Kelaikan Etik
68
69
Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian di RSUP Sanglah
69
70
Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian di RS Indera Denpasar
70