NaOH 5% terhadap fase MTC. Garam o-HAP akan terbawa ke fase air dan diasamkan dengan HCl 5% (pH diperiksa dengan indikator universal) lalu diekstraksi dengan MTC sampai seluruh o-HAP terambil (dipantau dengan KLT). Fase MTC kemudian dikeringkan menggunakan MgSO4 anhidrat, dipekatkan, dan ditimbang. o-HAP diperoleh sebagai cairan berwarna kuning muda dengan Rf ~ 0.74 menggunakan eluen MTC. Karena fenil asetat juga berupa cairan berwarna kuning dengan nilai Rf yang identik, pembedaan kedua senyawa ini dilakukan dengan menambahkan FeCl3. o-HAP akan menunjukkan hasil positif karena gugus fenol pada o-HAP akan membentuk kompleks ungu dengan Fe3+, sementara fenil asetat memberikan hasil uji negatif. Air yang terbawa bersama distilat yang berwarna putih yang masih menunjukkan keberadaan noda lemah o-HAP juga mendapatkan perlakuan work-up yang sama seperti dijelaskan di atas. p-HAP takatsiri oleh uap dan tertinggal sebagai residu. Residu p-HAP ini direfluks dengan beberapa porsi air mendidih untuk memisahkan p-HAP dari tar yang juga terbentuk. Ekstrak air kemudian didekantasi, dibiarkan mendingin ke suhu kamar, lalu didinginkan di lemari es semalaman untuk mengkristalkan p-HAP. Kristal p-HAP yang terbentuk disaring. Ekstrak air yang tersisa diekstraksi dengan MTC sampai seluruh pHAP terambil (dipantau dengan KLT). Ekstrak MTC dikeringkan dengan MgSO4 anhidrat, dipekatkan, dan seluruh kristal yang terbentuk digabung dan ditimbang. Kristal pHAP berwarna merah dengan titik leleh 108– 110 ˚C.
Sintesis o-Benzoiloksiasetofenon Sebanyak 20 mmol o-HAP dalam labu bulat 50 mL ditambahkan 4 mL piridina, lalu ditambahkan 30 mmol benzoil klorida tetes demi tetes. Reaksi berlangsung eksoterm, dan setelah tidak terbentuk kalor lagi ditambahkan 120 mL HCl 3% dan sekitar 40 g es batu, sambil diaduk kuat dengan pengaduk magnet. Campuran ini membentuk lapisan organik seperti-minyak yang berwarna putih. Campuran diekstraksi dengan MTC, dipekatkan, lalu dilarutkan kembali dalam metanol dan didinginkan semalam di 0 oC agar terbentuk kristal. Setelah cukup kering oleh pengisapan, padatan dikering-udarakan di suhu kamar. Produk ester kasar meleleh pada 79–87 ˚C, lalu ester kasar direkristalisasi dengan metanol dan menghasilkan kristal
putih o-BAP dengan titik leleh sekitar 87–88 ˚C. Titik leleh ini hampir sama dengan yang dilaporkan pada prosedur asli (Wheeler 1963): 81–87 ˚C sebelum rekristalisasi dan 87–88 ˚C setelah rekristalisasi.
Sintesis 1,3-Diketon Gelas piala yang berisi 7.5 mmol o-BAP dalam 7 mL piridina dipanaskan ke 50 ˚C. Sementara itu, 11 mmol (1.5 ekuivalen) KOH 85% digerus dalam mortar yang sebelumnya dipanaskan terlebih dahulu ke 100 ˚C, dan segera ditambahkan panas-panas dalam larutan. Campuran diaduk dengan batang pengaduk kaca selama 15 menit. Selama pengadukan, larutan akan berwarna kuning dan mengental sampai akhirnya menempel di dinding gelas piala. Campuran dibiarkan ke suhu kamar, lalu diasamkan dengan 10 mL asam asetat 10%. Produk 1,3-diketon akan memisah sebagai endapan kuning-muda, kemudian disaring dengan corong Büchner, dikering-udarakan, dan ditimbang. Titik leleh 1,3-diketon kasar ialah 115–118 ˚C, mendekati yang dilaporkan dalam prosedur asli (Wheeler 1963), yaitu 117–120 ˚C.
HASIL Sintesis Fenil Asetat Fenil asetat diperoleh sebagai cairan kuning dengan rendemen 74.4–95.2% (Tabel 1) dan Rf ~ 0.74 (Gambar 2). Spektrum FTIR (Lampiran 3a) menunjukkan pita-pita serapan khas fenil asetat dengan bilangan gelombang 3064, 3044, 1761, 1594, 1493, 1371, 1188, 1163, 749, dan 692 cm-1. Spektrum 1H-NMR fenil asetat (Lampiran 3b) menunjukkan 1 sinyal singlet di 2.28 ppm dan 3 sinyal di daerah aromatik (7.12, 7.24, dan 7.40 ppm). 13 Spektrum C-NMR (Lampiran 3c) menunjukkan 1 sinyal karbon-sp3 (21.0 ppm), 4 sinyal karbon-sp2 bukan karbonil (121.6, 125.8, 129.4, dan 150.7 ppm), dan 1 sinyal karbon-sp2 karbonil (169.4 ppm). Tabel 1 Rendemen sintesis fenil asetat Ulangan
Fenol (mol)
1 2
0.25 0.25
Fenil Asetat (mol) 0.19 0.24
Rendemen (%) 74.4 95.2
3
o-HAP (Lampiran 4e) menunjukkan 1 sinyal karbon-sp3 metil di 26.6 ppm, 6 sinyal karbonsp2 benzena di 118.4–162.4 ppm, dan 1 sinyal karbon karbonil keton di 204.6 ppm.
Sintesis o-Benzoiloksiasetofenon
Gambar 2
Kromatogram sebelum dan (eluen: MTC).
fenil sesudah
asetat KCV
Sintesis o-Hidroksiasetofenon o-Hidroksiasetofenon diperoleh dengan mengadaptasi proedur Hocking (1980). Rendemen o-HAP (Lampiran 4a) kira-kira 33% dari 2 ulangan. Rf o-HAP (Gambar 2) identik dengan fenil asetat, yaitu 0.74. Produk o-HAP dicirikan dengan spektroskopi UVVis, FTIR, dan NMR. Seperti ditunjukkan pada Lampiran 4b, spektrum UV-Vis o-HAP menunjukkan 3 puncak serapan di 211, 251, dan 323 nm. Setelah penambahan 2 tetes NaOH, pita ΙΙ (251 nm) berubah menjadi bahu di 254 nm dan pita ΙΙΙ (323 nm) bergeser ke 362 nm. Penambahan AlCl3 menggeser puncak di 251 dan 323 nm berturut-turut sebesar 20 dan 55 nm ke 271 dan 378 nm.
Kristal o-BAP yang dihasilkan berwarna putih (Gambar 3) dengan titik leleh sebelum dan sesudah rekristalisasi berturut-turut 79–87 dan 87–88 °C. Rendemen o-BAP pada penelitian ini sangat rendah dibandingkan dengan prosedur asli (Wheeler 1963), yaitu sebesar 27.0 dan 43.5 % (Tabel 2). Pencirian produk o-BAP dilakukan dengan spektroskopi ESI-MS, FTIR, serta 1H- dan 13C-NMR. Spektrum ESI-MS modus kation (Lampiran 5a) menghasilkan m/z 241.0870, sesuai dengan rumus molekul o-BAP terprotonasi, C15H13O3. Spektrum FTIR o-BAP (Lampiran 5b) tidak lagi menunjukkan serapan ulur –OH fenolik yang mengindikasikan bahwa reaksi benzoilasi o-HAP telah berlangsung.
Gambar 4 Kristal o-BAP. Tabel 2 Rendemen sintesis o-BAP Ulangan 1 2
Gambar 3
Kromatogram lapis tipis fenil asetat (kiri) dan o-HAP (kanan) (eluen: MTC).
Spektrum FTIR o-HAP menunjukkan serapan di 3049, 1643, 1617, 1488, 1245, 755 cm-1 (Lampiran 4c). Spektrum 1H-NMR oHAP (Lampiran 4d) menunjukkan 1 sinyal singlet di 12.26 ppm, sinyal-sinyal aromatik di 6.86, 6.94, 7.43, dan 7.69 ppm, serta 1 sinyal proton asetil di 2.59 ppm. Spektrum 13C-NMR
o-HAP (mmol) 20.01 20.00
o-BAP (mmol) 8.70 5.41
Rendemen (%mol) 43.5 27.0
Spektrum 1H-NMR o-BAP (Lampiran 5c) juga tidak lagi menunjukkan sinyal proton fenolik di sekitar 12 ppm. Sinyal singlet proton asetil terdapat di 2.54 ppm dan sinyalsinyal aromatik di 7.2–8.2 ppm menunjukkan 2 cincin benzena. Spektrum 13C-NMR (Lampiran 5d) menunjukkan 1 sinyal karbon metil di 30.0 ppm, sinyal karbon karbonil ester di 165.3 ppm, dan sinyal karbon karbonil keton terkonjugasi di 197.7 ppm. Selain itu, terdapat 9 sinyal karbon-sp2 (90–160 ppm).
4
Sintesis 1,3-Diketon 1,3-Diketon dihasilkan sebagai padatan kuning (Gambar 4) dengan titik leleh dan rendemen (Tabel 3) berturut-turut 115–118 °C dan 82.0–85.4%. Spektrum ESI-MS modus kation (Lampiran 6a) menghasilkan m/z 241.0871, sesuai dengan rumus molekul 1,3diketon terprotonasi, C15H13O3. Spektrum UVVis 1,3-diketon (Lampiran 6b) menunjukkan puncak serapan di daerah tampak, yaitu di 368 nm. Spektrum FTIR produk menunjukkan bentuk enol dari 1,3-diketon, dengan ciri khas pita ulur lebar di daerah 1607 cm-1 dan menunjukkan kemiripan dari spektrum FTIR produk komersial (Lampiran 6d). Sinyal-sinyal dalam spektrum 1H-NMR (Lampiran 6e) menunjukkan 2 sinyal proton khas yang sangat ke medan bawah, yaitu di 12.09 dan 15.54 ppm. Selain itu terdapat 9 sinyal aromatik dan 1 sinyal vinilik di 6.84 ppm. Spektrum 13C-NMR (Lampiran 6f) menunjukkan 1 sinyal keton terkonjugasi di 195.9 ppm, 1 sinyal karbon oksiaril di 162.7 ppm, sinyal karbon-α dalam sistem keton takjenuh-α,β sangat ke medan atas (92.5 ppm), serta 9 sinyal lain dari atom-atom karbon-sp2 cincin benzena.
Gambar 5 Padatan 1,3-diketon. Tabel 3 Rendemen sintesis 1,3-diketon Ulangan
o-BAP (mmol)
1 2
7.50 5.13
1,3diketon (mmol) 6.41 4.21
Rendemen (%mol) 85.4 82.0
PEMBAHASAN Sintesis Fenil Asetat Fenil asetat disintesis melalui asetilasi fenol dengan pereaksi anhidrida asetat dan katalis CuSO4 anhidrat. Secara umum, reaksi
asetilasi lazim menggunakan pereaksi anhidrida asetat dengan katalis asam atau basa. Berbagai garam logam seperti CoCl2, TiCl4-AgClO4, Me3SiCl, LiClO4, Mg(ClO4)2, dan beberapa triflat-logam seperti Se(OTf)3, MeSiOTf, In(OTf)3, Cu(OTf)2, dan Bi(OTf)3 juga dapat digunakan sebagai katalis dan telah banyak diteliti untuk memenuhi kebutuhan asetilasi yang lebih efisien dan selektif. CuSO4 merupakan katalis asam Lewis yang murah, mudah didapat, dan sangat aman digunakan dalam berbagai transformasi organik. Heravi et al. (2006) telah menunjukkan bahwa senyawa ini dapat digunakan sebagai katalis yang efisien dalam asetilasi bebas-pelarut berbagai alkohol dan fenol dengan anhidrida asetat pada suhu kamar. Reaksinya ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Reaksi asetilasi fenol. Dalam prosedur asli (Heravi et al. 2006), rendemen fenil asetat ialah 92%, sedangkan rendemen tertinggi hasil sintesis dalam penelitian ini mencapai 95.2%. Kenaikan ini mungkin akibat penggunaan CuSO4 anhidrat sebagai katalis menggantikan CuSO4·5H2O, tetapi kondisi ini belum optimal. Kromatogram lapis tipis menunjukkan bahwa selain noda fenil asetat (Rf ~ 0.74), masih terdapat sisa fenol dengan Rf sebesar 0.41, sehingga dilakukan pemurnian menggunakan KCV dengan eluen MTC. Keterulangan rendemen sintesis ini juga belum terlalu baik (Tabel 1). Spektrum FTIR produk asetilasi fenol (Lampiran 3a) menunjukkan ciri-ciri struktural fenil asetat. Pita serapan di 1761 cm-1 menunjukkan serapan ulur C=O ester. Konjugasi atom oksigen alkohol dengan gugus fenil menggeser serapan tersebut ke bilangan gelombang yang lebih tinggi daripada ulur C=O ester normal (1740 cm-1). Gugus fenil dicirikan oleh serapan vibrasi ulur =C-H aromatik di 3064 dan 3044 cm-1, ulur C=C aromatik di 1594 cm-1, dan tekuk C-H tak-sebidang benzena monosubstitusi di 692 dan 749 cm-1. Spektrum 1H-NMR fenil asetat (Lampiran 3b) menunjukkan 4 jenis atom H. Satu sinyal singlet berasal dari 3 atom H metil yang mengalami tarikan elektron dari gugus karbonil. Tiga sinyal lainnya berasal dari proton cincin benzena monosubstitusi: satu
5
sinyal menunjukkan 2 H di posisi orto terhadap gugus asetil, satu sinyal berasal dari 2 H di posisi meta, dan satu sinyal lainnya berasal dari 1 H di posisi para. Analisis dengan perangkat lunak ACD/NMR Processor Academic Edition versi 12.01 menunjukkan bahwa sinyal-sinyal di posisi meta dan para berturut-turut memiliki pola pembelahan doblet dari doblet dari doblet (ddd) dan triplet dari triplet (tt). Pola pembelahan ini tidak jelas terlihat pada spektrum 1H-NMR fenil asetat. Kedua sinyal tersebut mengalami tumpang tindih pada bagian tengah dari masing-masing multiplet. Sinyal H di posisi orto dan para lebih ke medan atas (upfield) daripada H di posisi meta karena pengaruh dorongan elektron dari substituen oksigen fenolik. Posisi sinyal-sinyal 1H dan 13C-NMR fenil asetat dirangkum pada Tabel 4. Tabel 4 Posisi sinyal-sinyal NMR fenil asetat (CDCl3)
Posisi 1 2 1’ 2’& 6’ 3’& 5’ 4’
δH 500 MHz (ppm) (multiplisitas, J dalam Hz, jumlah H) – 2.29 (s,3 H) – 7.12 (dd, J = 8.59, 1.15, 2 H) 7.40 (ddd, J = 7.45, 6.30, 2.30, 2 H) 7.24 (tt, J = 7.40, 1.10, 1 H)
δC 125 MHz (ppm) 169.4 21.0 150.7 121.6 129.4 125.8
Spektrum 13C-NMR fenil asetat (Lampiran 3c) menunjukkan 1 sinyal karbon-sp3 yang lebih ke medan bawah (downfield) di 21.0 ppm. Sinyal tersebut berasal dari satu-satunya gugus metil yang mengalami tarikan elektron dari gugus karbonil ester. Keberadaan gugus karbonil ester ditunjukkan oleh sinyal di 169.4 ppm. Spektrum ini juga menunjukkan 4 sinyal aromatik di daerah 90–160 ppm. Sinyal karbon orto (121.6 ppm) dan meta (129.4 ppm) memiliki intensitas dua kali lebih tinggi daripada sinyal karbon para (125.8 ppm). Sinyal karbon orto dan para berada lebih ke medan atas daripada sinyal karbon meta karena resonans pasangan elektron bebas dari substituen oksigen. Karbon aril yang mengikat substituen oksigen menghasilkan sinyal di 150.7 ppm karena pengaruh tarikan elektron dari atom oksigen ester.
Sintesis o-Hidroksiasetofenon Prosedur sintesis o-HAP diadaptasi dari Hocking (1980) sementara tahap work-up diadaptasi dari Furniss et al. (1989). Keberhasilan sintesis ini sulit dipantau dengan KLT karena Rf o-HAP (Rf ~ 0.74) identik dengan fenil asetat. Oleh karena itu, pada tahap work-up dilakukan ekstraksi dengan pengaturan pH untuk memisahkan keduanya. o-HAP memiliki H-fenolik sehingga dapat diekstraksi dengan basa, sementara fenil asetat tidak. Uji kualitatif menggunakan FeCl3 5% akan memberikan hasil positif (warna ungu) terhadap o-HAP. Penataan ulang Fries fenil asetat (Gambar 7) dengan AlCl3 dan suhu penangas yang berangsur-angsur dinaikkan dari 65 ke 170 oC dalam 1.5 jam memberikan rendemen sekitar 33% (Lampiran 4a). Hasil ini sedikit lebih besar daripada yang dilaporkan dalam prosedur asli, yaitu 30% dari 0.50 mol fenil asetat. Namun, regioselektivitas reaksi ini masih rendah: isomer p-HAP dihasilkan dengan rendemen yang juga tinggi.
Gambar 7 Penataan ulang Fries fenil asetat. Spektrum UV-Vis o-HAP (Gambar 8 dan Lampiran 4b) menunjukkan 3 puncak serapan di 211, 251, dan 323 nm. Penambahan 2 tetes NaOH menggeser puncak di 251 dan 323 nm masing-masing ke 254 dan 362 nm yang menunjukkan keberadaan –OH fenolik. Basa kuat mendeprotonasi gugus ini sehingga memperlancar delokalisasi elektron ke dalam cincin aromatik, dan menimbulkan efek batokromik. Penambahan AlCl3 menggeser puncak di 251 nm ke 271 nm dan 323 nm ke 378 nm. Pergeseran ini tidak dapat dikembalikan ke panjang gelombang semula dengan penambahan HCl. Hal ini menunjukkan bahwa pergeseran batokromik tersebut terjadi akibat terbentuknya kompleks dengan AlCl3 yang kuat antara oksigen karbonil dan ion fenoksida di posisi orto (Markham 1988; Gambar 9).
6
Tabel 5
Posisi sinyal-sinyal NMR o-HAP (CDCl3)
Absorbans
3' 4'
OH 2' 1'
5'
1
2
6'
O Panjang gelombang (nm)
Gambar 8 Spektrum UV-Vis o-HAP dengan penambahan pereaksi geser. AlCl3 O
H
O
Gambar 9
HCl O O O O Al Al Cl C l Cl Cl kompleks tetap bertahan
Pembentukan kompleks o-HAP dengan AlCl3.
Serapan ulur –OH pada spektrum FTIR oHAP (3049 cm-1) agak lebar dan lemah akibat ikatan hidrogen intramolekul yang kuat. Serapan tajam di 755 cm-1 merupakan identitas dari cincin aromatik yang terdisubstitusi orto (Pavia et al. 2009). Spektrum o-HAP juga menunjukkan serapanserapan khas senyawa karbonil aromatik (ulur C=O terkonjugasi, C=C aromatik, dan C–O) (Lampiran 4c). Satu sinyal singlet yang khas untuk proton fenolik yang berikatan hidrogen intramolekul dengan gugus karbonil di posisi orto muncul di 12.26 ppm pada spektrum 1H-NMR o-HAP (Lampiran 4d). Sinyal proton asetil muncul di 2.59 ppm. Proton-proton aromatik pada oHAP terbagi menjadi 4 jenis. Sinyal-sinyal doblet dari doblet di 6.94 dan 7.69 ppm masing-masing dihasilkan dari proton yang berposisi orto terhadap substituen OH dan asetil. Proton yang berposisi orto terhadap OH lebih ke medan atas akibat efek resonans pasangan elektron bebas dari atom oksigen. Sebaliknya, tarikan elektron dari gugus asetil menggeser sinyal proton dari H orto-nya ke medan bawah. Sinyal doblet dari doblet dari doblet di 6.86 dan 7.43 ppm dihasilkan berturut-turut dari proton yang berposisi para terhadap substituen OH dan asetil. Sinyalsinyal 1H-NMR o-HAP dirangkum dalam Tabel 5.
Posisi
δH 500 MHz (ppm) (multiplisitas, J (Hz), jumlah H)
1 2 1’ 2’ 3’ 4’ 5’ 6’
– 2.59 (s, 3H) – – 6.94 (dd, J = 7.9, 1.3, 1 H) 7.43 (td, J = 7.9, 1.5, 1 H) 6.86 (td, J = 7.6, 1.2, 1 H) 7.69 (dd, J = 8.0, 1.3, 1 H)
δC 125 MHz (ppm) 204.6 26.6 119.7 162.4 118.4 136.5 119.0 130.8
Spektrum 13C-NMR o-HAP (Lampiran 4e) menghasilkan 8 jenis sinyal karbon (1 sinyal karbon-sp3 metil di 26.6 ppm, 6 sinyal karbonsp2 benzena di 118.4–162.4 ppm, dan 1 sinyal karbon karbonil keton di 204.6 ppm). Seperti halnya pada spektrum 1H-NMR, sinyal-sinyal karbon aromatik pada posisi orto dan para terhadap gugus OH juga bergeser ke medan atas karena adanya resonans pasangan elektron bebas dari substituen oksigen. Sinyal karbon yang berposisi orto (118.4 ppm) merasakan lebih besar pengaruh dorongan elektron daripada karbon yang berposisi para (119.0 ppm). Intensitas sinyal di 119.7 ppm yang lebih rendah berasal dari karbon kuaterner orto. Pergeseran ke medan bawah dialami oleh sinyal karbon yang berposisi orto dan para terhadap gugus asetil, yakni di 130.8 dan 136.5 ppm, karena adanya pengaruh tarikan elektron. Karbon keton terkonjugasi muncul di 204.6 ppm yang lebih ke medan bawah daripada posisi biasanya akibat dari tarikan elektron oleh ikatan hidrogen intramolekul. Hal yang serupa juga terjadi pada karbon oksiaril (162.4 ppm). Posisi sinyal-sinyal 13C-NMR o-HAP dirangkum pada Tabel 5.
Sintesis o-Benzoiloksiasetofenon Sintesis 1,3-diketon [1-(2-hidroksifenil)-3fenilpropana-1,3-dion] dilakukan dalam 2 tahap. Pertama-tama, o-HAP dibenzoilasi menjadi o-BAP. Penataan ulang terhadap oBAP menghasilkan 1,3-diketon (Wheeler 1963). Benzoil klorida digunakan sebagai pereaksi benzoilasi. Piridina ditambahkan untuk menggaramkan HCl yang terbentuk
7
selama reaksi menjadi garam piridinium klorida. Reaksinya ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10 Reaksi benzoilasi o-HAP. Dalam penelitian ini, campuran reaksi hasil benzoilasi ketika dituang ke dalam HCl 3% dingin tidak langsung membentuk kristal seperti dalam prosedur asli. Campuran ini membentuk lapisan organik seperti-minyak yang berwarna putih kekuningan. Setelah dipisahkan dari fase air, fase organik (minyak) ini diekstraksi MTC, dipekatkan, lalu dilarutkan kembali dalam metanol, didinginkan, dan kristal putih yang terbentuk direkristalisasi dengan metanol. Rendemen produk tertinggi dihasilkan pada ulangan 1, yakni mencapai 43.5%. Namun, hasil ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan prosedur asli (Wheeler 1963) yang mencapai 79–83%. Rendahnya rendemen produk dalam penelitian ini masih perlu dipelajari lebih lanjut dengan menambah ekuivalen benzoil klorida atau mengatur waktu reaksi dan lamanya penambahan pereaksi. Pemantauan dengan KLT tidak menunjukkan tertinggalnya produk dalam air dan metanol. Meskipun demikian, kemurnian produk yang didapat cukup baik. Titik lelehnya 79–87 oC sebelum direkristalisasi dan 87–88 oC setelah direkristalisasi, hampir sama dengan yang dilaporkan Wheeler (1963), yaitu berturutturut 81–87 dan 87–88 °C. Spektrum ESI-MS modus kation (Lampiran 5a) menghasilkan m/z 241.0870, sesuai dengan rumus molekul o-BAP terprotonasi, C15H13O3. Galat massa eksaknya kecil, hanya 2.1 ppm. Keberhasilan reaksi benzoilasi o-HAP pada penelitian ini ditunjukkan oleh spektrum FTIR o-BAP (Lampiran 5b) yang tidak lagi menunjukkan serapan ulur OH fenolik. Serapan-serapan ulur C=O di 1687 cm-1 berasal dari gugus keton terkonjugasi dan di 1737 cm-1 dari gugus ester. Tidak seperti pada fenil asetat (Lampiran 3a), gugus fenoksi tidak menggeser serapan C=O ester ke frekuensi lebih tinggi, agaknya karena faktor sterik menghalangi delokalisasi elektron dari atom oksigen hidroksil ester ke cincin fenil. Sebaliknya, delokalisasi elektron
dari cincin fenil melemahkan sifat ikatan rangkap C=O keton terkonjugasi sehingga bilangan gelombangnya lebih rendah daripada keton normal (sekitar 1710 cm-1) (Silverstein et al. 2005). Serapan kuat di daerah sidik jari (705 dan 766.5 cm-1) menunjukkan pola monosubstitusi pada cincin aromatik. Pola disubstitusi-orto agaknya tertutupi oleh serapan di 766.5 cm-1. Sinyal proton fenolik di sekitar 12 ppm tidak ditemukan lagi dalam spektrum 1HNMR o-BAP (Lampiran 5c) yang memberikan bukti lebih kuat bahwa o-HAP telah terbenzoilasi. Sinyal singlet proton asetil terdapat di 2.54 ppm. Sinyal-sinyal proton aromatik di 7.2–8.2 ppm menunjukkan 2 cincin benzena. Cincin monosubstitusi dengan substituen karbonil mempunyai 3 jenis sinyal proton. Sinyal yang berposisi orto (8.21 ppm) dan para (7.65 ppm) terhadap substituen karbonil lebih ke medan bawah dibandingkan dengan sinyal di posisi meta (7.52 ppm). Hal ini diakibatkan oleh sifat tarikan elektron dari substituen karbonil. Sinyal di 7.52 ppm seharusnya terbelah menjadi doblet dari doblet dari doblet akibat 2 proton yang berposisi orto terhadap proton tersebut tidak setara secara magnetik. Selain akibat resolusi instrumen yang kurang, hal ini mungkin juga akibat gangguan dari sinyal td di 7.58 ppm yang berasal dari proton cincin aromatik tetangga. Sinyal di posisi orto terhadap substituen oksigen memiliki multiplisitas doblet dari doblet di 7.23 ppm yang lebih ke medan atas karena dipengaruhi dorongan elektron dari gugus oksigen. Hal serupa juga dialami oleh proton di posisi para (7.37 ppm). Dua sinyal di medan bawah berasal dari atom hidrogen yang orto (7.86 ppm) dan para (7.58 ppm) terhadap substituen karbonil. Resolusi instrumen yang kurang peka mengakibatkan sinyal di 7.37 dan 7.58 ppm, yang seharusnya terbelah menjadi ddd, hanya tampak sebagai td. Spektrum 13C-NMR o-BAP (Lampiran 5d) menunjukkan 1 sinyal karbon metil di 30.0 ppm yang mengalami tarikan elektron oleh gugus karbonil. Sinyal-sinyal aromatik tersubstitusi karbonil menunjukkan 4 jenis sinyal. Seperti halnya pada spektrum 1HNMR, sinyal-sinyal karbon di posisi orto dan para (130.5 dan 133.6/134.0 ppm) terhadap substituen karbonil lebih ke medan bawah dibandingkan dengan yang di posisi meta (128.9 ppm). Intensitas sinyal karbon orto dan meta lebih tinggi daripada karbon para. Sinyal di 129.4 ppm dengan intensitas yang rendah dimiliki oleh karbon C-kuaterner terhadap
8
substituen karbonil. Posisi sinyal-sinyal 1H dan 13C-NMR o-BAP dirangkum pada Tabel 6. Tabel 6
tinggi. Sinyal di 165.3 ppm menunjukkan karbon karbonil ester, dan sinyal di 197.8 ppm menunjukkan karbon karbonil keton terkonjugasi.
Posisi sinyal-sinyal NMR o-BAP (CDCl3)
Posisi
δH 500 MHz (ppm) (multiplisitas, J (Hz), Σ H)
1 1’ 2’ & 6’ 3’ & 5’ 4’ 1” 2” 1”’ 2”’ 3”’ 4”’ 5”’ 6”’
– – 8.21 (dd, J = 8.31, 1.43, 2H) 7.52 (t, J = 8.0, 2 H) 7.65 (tt, J = 7.40, 1.10, 1H) – 2.54 (s, 3H) – – 7.23 (dd, J = 8.02, 1.15, 1H) 7.58 (td, J = 7.7, 1.7, 1H) 7.37 (td, J = 7.73, 1.15, 1H) 7.86 (dd, J = 8.02, 1.72, 1H)
δC 125 MHz (ppm) 165.3 129.4 130.5 128.9 133.6/134.0 197.8 30.0 131.4 149.5 124.1 133.6/134.0 126.3 130.5
Sinyal C-kuaterner lainnya juga dijumpai pada cincin aromatik yang terdisubstitusi oleh oksigen dan gugus karbonil (131.4 dan 149.5 ppm). Sinyal di 149.5 ppm lebih ke medan bawah karena tarikan elektron dari karbon oksiaril. Sinyal di 131.4 ppm juga lebih ke medan bawah dibandingkan dengan sinyal di 129.4 ppm, karena gugus keton merupakan penarik elektron yang lebih kuat daripada gugus ester. Dua sinyal yang agak ke medan atas berasal dari karbon metina orto (124.1 ppm) dan para (126.3 ppm) terhadap substituen oksigen pendorong-elektron. Dua sinyal di 133.6 dan 134.0 ppm berasal dari dua karbon metina para terhadap substituen karbonil, namun identitasnya belum dapat dipastikan karena selisih geseran kimia yang sangat kecil. Penetapan secara pasti memerlukan spektroskopi korelasi duadimensi. Sinyal karbon sp2 lainnya yang belum teridentifikasi ialah karbon metina orto terhadap substituen asetil. Sinyal ini diperkirakan bertumpang tindih dengan sinyal di 130.5 ppm, sinyal yang intensitasnya paling
Sintesis 1,3-Diketon 1,3-Diketon dihasilkan dari penataan ulang Baker-Venkataraman terhadap produk o-BAP dengan basa KOH dalam pelarut piridina. Berbagai jenis basa lain juga dapat digunakan dalam penataan ulang ini, seperti K2CO3 (Furuta et al. 2004), KOH (Muller et al. 2000), NaH (Kalinin et al. 1998), LDA (Lee et al. 2004). Penambahan basa ini akan memicu terjadinya kondensasi Claisen intramolekul membentuk 1,3-diketon. Dalam penataan ulang ini, basa mendeprotonasi hidrogen α dari gugus asetil, lalu enolat yang terbentuk akan melakukan reaksi adisieliminasi terhadap ester benzoil, membentuk 1,3-diketon setelah diasamkan dengan AcOH 10% (Gambar 11).
O 1) KOH 50 oC
O O
OH
2) AcOH
O
O
Gambar 11 Reaksi penataan-ulang BakerVenkataraman o-BAP menjadi 1,3-diketon. Rendemen dan kemurnian produk 1,3diketon dalam penelitian ini cukup tinggi, yaitu 82.0–85.4% (Tabel 3) dengan titik leleh 115–118 oC, tidak jauh berbeda dengan prosedur asli Wheeler (1963) yang melaporkan rendemen sebesar 80–85% dengan titik leleh 117–120 oC. Hasil spektroskopi ESI-MS menghasilkan bobot molekul m/z 241.0871 (Lampiran 5a), sesuai dengan rumus molekul 1,3-diketon terprotonasi, C15H13O3, dengan galat massa eksak yang kecil, yaitu 2.5 ppm. Spektrum UV-Vis 1,3-diketon (Lampiran 6b) menunjukkan puncak serapan di daerah tampak, yakni di 368 nm. Pergeseran batokromik yang sangat besar terjadi karena pemanjangan sistem ikatan rangkap terkonjugasi. Ikatan hidrogen intramolekul pada 1,3-diketon akan lebih menstabilkan bentuk enol dibandingkan keto sehingga lebih dominan. Pada bentuk enol ini, konjugasi dalam 2 cincin benzena akan dihubungkan oleh sistem keton takjenuh-α,β.
9
Spektrum FTIR 1,3-diketon (Lampiran 6c) juga menunjukkan bentuk enolnya, dengan ciri khas pita lebar di daerah 1607 cm-1. Intensitas serapan ini lebih kuat dan frekuensinya lebih rendah daripada keton normal yang terkonjugasi dengan gugus alkenil atau fenil (1685–1666 cm-1). Penyebabnya ialah resonans pada bentuk enol yang berikatan hidrogen intramolekul sangat melemahkan sifat ikatan rangkap C=O keton (Silverstein et al. 2005). Hasil FTIR dalam sintesis ini mirip dengan spektrum FTIR produk komersial dari Sigma-Aldrich (Lampiran 6d). Spektrum 1H-NMR 1,3-diketon (Lampiran 6e) menunjukkan 2 sinyal proton yang sangat ke medan bawah, yakni di 12.09 dan 15.54 ppm yang memperkuat adanya kesetimbangan tautomerisasi keto-enol. Sinyal di 12.09 ppm berasal dari proton fenolik yang berikatan hidrogen intramolekul dengan atom oksigen karbonil di posisi orto. Sinyal serupa dijumpai pada spektrum 1H-NMR o-HAP (Lampiran 4d). Sinyal kedua khas untuk proton enolik dalam bentuk enol dari 1,3-diketon. Ikatan hidrogen intramolekul dalam bentuk enol ini sangat kuat sehingga proton enolik lebih terawaperisai daripada proton pertama. Tidak tampak sinyal CH2 keto dalam spektrum tersebut, yang apabila ada letaknya di 3.0–4.0 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa kesetimbangan 1,3-diketon sangat mengarah ke bentuk enol. Sangat sedikit, jika ada, bentuk keto yang terisolasi. Dua cincin fenil pada struktur 1,3-diketon membuat bentuk enol ini sangat terkonjugasi dan terstabilkan. Posisi sinyal-sinyal NMR 1,3-diketon ditunjukkan oleh Tabel 7. Sinyal di 6.84 ppm merupakan sinyal proton vinilik dari 1,3-diketon yang lebih ke medan bawah dibandingkan dengan kelaziman sinyal proton ini di 5.0–6.0 ppm. Hal ini diakibatkan tarikan elektron yang sangat kuat dari gugus-gugus di sekitarnya. Sinyal dengan tinggi integrasi 3.162 di 7.44– 7.52 ppm diidentifikasi sebagai tumpang tindih 2 sinyal dari 2 cincin fenil yang berbeda. Salah satu sinyal dihasilkan oleh 1 proton metina di 7.47 ppm yang berposisi para terhadap gugus karbonil dan sinyal yang lain berasal dari 2 proton metina di cincin monosubstitusi dengan substituen enol (7.49 ppm). Selain itu, sinyal di cincin monosubstitusi menghasilkan sinyal 2 H yang berasal dari atom-atom hidrogen orto dengan multiplisitas doblet dari doblet di 7.93 ppm. Sinyal di 7.55 ppm berasal dari 1 H para terhadap substituen enol. Proton di posisi meta
lebih terawaperisai dari pengaruh dorongan elektron atom oksigen sehingga lebih ke medan bawah dibandingkan proton di posisi orto dan para. Cincin yang terdisubstitusi oleh oksigen dan gugus karbonil menghasilkan 2 kelompok sinyal. Dua sinyal di medan atas berasal dari atom hidrogen yang orto (7.01 ppm) dan para (6.92 ppm) terhadap substituen oksigen pendorong-elektron. Dua sinyal di medan bawah berasal dari atom hidrogen yang orto (7.78 ppm) dan para (7.47 ppm) terhadap substituen karbonil. Posisi sinyal-sinyal NMR 1,3-diketon dirangkum pada Tabel 7. Tabel 7 Posisi sinyal-sinyal NMR 1,3-diketon (CDCl3)
Posisi 1 2 3 1’ 2’ 3’ 4’ 5’ 6’ 1” 2” & 6” 3” & 5” 4” Fenolik Enolik
δH 500 MHz (ppm) (multiplisitas, J (Hz), Σ H) – 6.84 (s, 1 H) – – – 7.01 (d, J = 8.6, 1 H) 7.47 (t, J = 7.4, 1 H) 6.92 (t, J = 7.7, 1 H) 7.78 (d, J = 8.1, 1 H) – 7.93 (d, J = 8.1, 2 H) 7.49 (t, J = 8.0, 2 H) 7.55 (t, J = 7.5, 1 H) 12.09 (s, 1 H) 15.54 (s, 1 H)
δC 125 MHz (ppm) 195.9 92.5 177.7 119.2 162.7 119.0 128.7/129.1 119.3 128.7/129.1 133.8 129.0 127.0 132.6 – –
Spektrum 13C-NMR 1,3-diketon (Lampiran 6f) memperlihatkan ciri-ciri tautomer enol. Puncak di 195.9 ppm dimiliki oleh satu karbon keton terkonjugasi (180–200 ppm). Karbon enol menghasilkan sinyal yang lebih ke medan bawah (177.7 ppm) dibandingkan dengan karbon oksiaril, akibat tarikan elektron dari ikatan hidrogen intramolekul yang kuat. Satu-satunya karbon oksiaril pada diketon diperlihatkan oleh sinyal di 162.7 ppm. Muatan negatif akibat resonans pada karbon-α sistem keton takjenuh-α,β menggeser sinyal karbon tersebut lebih ke medan atas (92.5 ppm). Atom-atom karbon-sp2 cincin benzena ditunjukkan oleh sembilan sinyal lainnya. Dua karbon kuaterner diperlihatkan oleh sinyalsinyal berintensitas rendah di 119.2 dan 133.8
10
ppm. Sinyal di 119.2 ppm berasal dari Ckuaterner yang berposisi orto terhadap substituen oksigen karena letaknya lebih ke medan atas. Dengan demikian, sinyal di 133.8 ppm berasal dari C-kuaterner cincin benzena monosubstitusi. Sinyal di 127.0 dan 129.0 ppm memiliki intensitas dua kali lebih tinggi karena masingmasing berasal dari dua C-metina yang ekuivalen. Efek pemerisaian akan semakin besar seiring dengan semakin jauhnya posisi suatu atom dari gugus penarik elektron. Berdasarkan fakta tersebut, sinyal di 129.0 ppm berasal dari karbon orto dan sinyal di 127.0 ppm dari karbon meta. Sementara itu, sinyal karbon orto dan para terhadap substituen oksigen pendorong elektron lebih ke medan atas (119.0 dan 119.3 ppm). Gugus (C=O)Me menimbulkan pergeseran –0.4 ppm pada karbon orto dan 2.8 ppm pada karbon para (Silverstein et al. 2005). Berdasarkan hal tersebut, sinyal di 132.6 ppm diidentifikasi berasal dari karbon para terhadap gugus enol. Dua sinyal di 128.7 dan 129.1 ppm berasal dari dua karbon metina, orto dan para terhadap gugus keton, namun identitasnya belum dapat dipastikan karena selisih geseran kimia yang sangat kecil. Penetapan secara pasti memerlukan spektroskopi korelasi duadimensi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Senyawa 1-(2-hidroksifenil)-3-fenilpropana-1,3-dion (1,3-diketon) telah berhasil disintesis sebagai zat antara untuk menyintesis flavon. Reaksi dilakukan dalam empat-tahap dari bahan awal fenol dengan rendemen asetilasi fenol 74–95%, penataan-ulang Fries fenil asetat membentuk o- dan p-hidroksiasetofenon (HAP) berturut-turut 33.7 dan 33.6%, lalu benzoilasi o-HAP dan penataanulang Baker-Venkataraman ester yang dihasilkan memberikan rendemen masingmasing 27–44% dan 82–85%. Secara keseluruhan rendemen empat-tahap reaksi ini ialah 5.5 %.
Saran Produk 1,3-diketon dapat disiklisasi menjadi flavon dengan berbagai katalis asam. Selain itu, gugus baru seperti prenil dapat ditambahkan untuk mendapatkan flavon dengan aktivitas yang lebih beragam. Flavon
sintetik yang dapat dihasilkan dari zat antara ini diharapkan memiliki aktivitas yang sama atau lebih baik dari flavon alami. Regioselektivitas reaksi penataan-ulang Fries mungkin dapat diperbaiki dengan memperbanyak jumlah katalis AlCl3, atau dengan mencobakan katalis asam Lewis lain.
DAFTAR PUSTAKA Barros A, Silva AMS. 2006. Efficient synthesis of nitroflavones by cyclodehydrogenation of 2’hydroxychalcones and by the BakerVenkataraman method. Monatshefte für Chemie 137:1505-1528. Furniss BS, Hannaford AJ, Smith PWG, Tatchell AR, editor. 1989. Vogel’s Textbook of Practical Organic Chemistry. Ed ke-5. Essex: Longman Scientific and Technical. Furuta T et al. 2004. Concise total synthesis of flavone C-glycoside having potent anti-inflammatory activity. Tetrahedron 60:9375-9379. Göker H, Boykin DW, Yildiz S. 2005. Synthesis and potent antimicrobial activity of some novel 2-phenyl or methyl-4H-1-benzopyran-4-ones carrying amidinobenzimidazoles. Bioorg Med Chem 13:1707-1714. Heravi M, Behbahani FK, Zadsirjan F, Oskooie H. 2006. Copper(II) sulfate pentahydrate (CuSO4·5H2O) a green catalyst for solventless acetylation of alcohols and phenols with acetic anhydride. J Braz Chem Soc 17:10451047. Hocking MB. 1980. 2-Hydroxyacetophenone via fries rearrangement and related reactions, a comparative applied study. J Chem Tech Biotechnol 30:626-641. Kabalka GW, Mereddy AR. 2005. Microwave-assisted synthesis of functionalized flavones and chromones. Tetrahedron Lett 46:6315-6317. Kalinin AV, da Silva AJM, Lopes CC, Lopes RS, Snieckus V. 1998. Palladiumcatalyzed synthesis of flavones and chromones via carbonylative coupling of α-iodophenols with terminal acetylenes. Tetrahedron Lett 39:4995-4998. Lee JI, Son HS, Park H. 2004. An efficient synthesis of flavones from 2-
11