PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
Boks 1 HASIL KAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN BUDIDAYA JATROPHA DI PROVINSI NTT Latar Belakang Perkembangan industri di dunia tentunya berpengaruh terhadap kebutuhan energi. Untuk itu peningkatan kapasitas serta aktivitas produksi sumber energi menjadi faktor utama yang memainkan peranan penting. Kebutuhan energi paling besar pada sektor transportasi, kemudian disusul oleh sektor industri. Sampai saat ini salah satu sumber energi yang paling dominan digunakan adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Kebutuhan dunia terhadap minyak mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya waktu. Sampai dengan akhir tahun 2006 konsumsi minyak di seluruh dunia diperkirakan mencapai 84.454 juta barel/hari, meningkat dibandingkan tahun 2005 dimana diperkirakan sebesar 83.636 juta barel/hari. Dengan kebutuhan minyak yang cenderung meningkat setiap tahunnya, maka perlu menjadi perhatian terhadap kondisi cadangan minyak bumi di dunia secara menyeluruh. Mengingat minyak bumi merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Kondisi global tersebut tentunya juga ikut mempengaruhi Indonesia dimana tingkat konsumsi juga menunjukkan tren yang terus meningkat setiap tahunnya. Salah satu jenis BBM yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah solar. Tingginya angka penggunaan solar, seharusnya tidak perlu ditutup melalui impor. Ada beberapa sumber energi alternatif yang
bisa
disubstitusikan
sebagai
pengganti
solar.
Sebagian
negara
ada
yang
mengembangkan biodiesel, sebagian lainnya mengaktifkan bioetanol. Pengembangan biofuel merupakan pilihan strategis untuk jangka panjang. Indonesia dengan kekayaan alam yang berlimpah didukung dengan luas lahan yang besar memiliki peluang yang cukup terbuka untuk melakukan pengembangan serupa. Salah satu jenis komoditi untuk pengembangan bahan bakar alternatif adalah melalui tanaman jarak.
Pembahasan Jarak Pagar ( Jatropha Curca L ) tumbuh baik di lahan kering dataran rendah beriklim kering. Tanam ini ditemukan juga di lahan kering dataran rendah beriklim basah dan lahan kering dataran tinggi beriklim kering / basah sebagai pagar dapat tumbuh dilahan-lahan marginal/kritis, serta dapat digunakan sebagai pencegah erosi karena permukaannya yang cukup padat di lapisan atas tanah. Menurut BPPT lahan kering atau kritis di Indonesia mencapai 25 juta hektar. Adapun Luas lahan kritis di NTT mencapai 2.195.756 hektar atau 46 % dari luas wilayah sebesar 4.735.000 ha yang tersebar pada seluruh kabupaten. Sedangkan
28 BANK INDONESIA KUPANG
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
potensi lahan kritis di wilayah NTT yang siap ditanami jarak pagar mencapai lebih dari 1,7 juta hektar. Bila melihat kondisi fisik wilayah NTT terkait dengan syarat tumbuh Jatropha, NTT potensial untuk pengembangan Jatropha. Hal ini dapat diartikan, secara teknis produksi Jatropa dapat dikembangkan di sebagian besar wilayah NTT. Berdasarkan data diperoleh, sampai tahun 2006 terdapat sekitar 4.268,58 ha kebun Jatropha yang tersebar di provinsi NTT. Luas areal terbesar berada di Kab. Sumba Barat dan Sumba Timur. Luas Lahan Jatropha di Provinsi NTT No
Kabupaten/
Luas Areal (Ha)
Kota
TBM
1 2 3 4 5
Kota Kupang TTS Flores Timur Sikka Sumba Timur
50,00 26,80 272,08 119,20 520,90
6
Sumba Barat TOTAL
TM -
TT/TR -
JUMLAH
334,37 172,25
24,40 13,00
50,00 31,38 272,08 477,97 706,15
2.316,00
340,00
75,00
2.731,00
3.304,98
851,20
112,40
4.268,58
4,58
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi NTT
Dari data diatas, Kabupaten Sumba Barat, Timur dan Kab. Sikka sangat potensial untuk pengembangan tanaman Jatropha. Dengan curah hujan rata-rata per tahun sekitar 1200 mm/th (Sumba Barat) dan 1800 mm/th (Sumba Timur) kabupaten tersebut cocok untuk pengembangan budidaya Jatropha. Sampai saat ini pengembangan tanaman Jatropha di kabupaten tersebut terus dilaksanakan. Dukungan pemerintah daerah melalui dinas terkait memiliki peran yang penting. Luas Lahan Jatropha di Kabupaten Sumba Barat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kecamatan Kodi Kodi Bangedo Lamboya Wanokaka Wewewa Barat Wewewa Selatan Wewewa Timur Wewewa Utara Loli Kota Waikabubak Loura Tanarighu Mamboro Katikutana Umbu Ratu Nggay Total
Luas Area (ha) 139 111 114 95 133 147 119 101 90 61 373 230 383 122 2731
Sumber : Dinas Perkebunan Kab. Sumba Barat
29 BANK INDONESIA KUPANG
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
Potensi lahan yang dapat dikembangkan di Kab. Sumba Barat sekitar 200.000 ha. Pada tahun 2006 Dinas Perkebunan Kab. Sumba Barat telah melakukan pengembangan tanaman jarak seluas 400 ha, dimana biaya pengembangan berasal dari DAU. Kemudian tahun 2007 dilakukan pemesanan benih kepada PTP 12 Surabaya untuk kebutuhan lahan seluas 120 ha. Selain itu Dinas Perkebunan memiliki lahan binaan di Desa Oleate, Kec. Mamboro seluas 10 ha. Di desa tersebut terdapat mesin pengolah biji jarak yang mampu memprose biji jarak sampai menjadi crude oil, bantuan dari Dinas Perindustrian. Minyak yang dihasilkan dibeli oleh PLN dengan harga Rp.5000/lt. Pemda Sumba Barat dalam hal ini cukup mendukung, terbukti dengan pengalokasian dana sebesar Rp.200 juta untuk dana pendampingan. Untuk Kab. Sumba Timur luas lahan Jatropa yang sudah ada sebesar 606.80 ha (2006), sementara itu potensi lahan yang dapat dikembangkan sebesar 103.400 ha. Pemerintah daerah Sumba Timur dalam hal ini Dinas Perkebunan selama tahun 2007 juga ikut mendukung pengembangan Jatropa, dengan pengembangan lahan seluas 100 ha di Kec. PinuPahar, Desa Tawui yang menghabiskan dana sebesar 342 juta. Kemudian untuk Kec. Tabundung, Desa Pinduharani dikembangkan diversifikasi Jatropa dengan Mete di tanah seluas 100 ha yang berasal dari dana provinsi. Luas Lahan Jatropha di Kabupaten Sumba Timur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kecamatan Lewa Nggaha Ori Angu Tabundung Pinu Pahar Paberiwai Karera Matawai Lai Pawu Kahaungu Eti Pahunga Lodu Wula Waijelu Rindi Umalulu Pandawai Kota Waingapu Haharu Pambata Kambera Total
Luas Area (ha) 36,80 35,00 9,80 8,80 5,20 362,90 3,70 4,10 2,70 2,00 0,90 4,30 4,20 1,80 124,60 606,80
Sumber : Dinas Perkebunan Kab. Sumba Timur
Perhatian terhadap tanaman Jatropa bukan hanya dari Dinas Perkebunan saja, namun Dinas Kehutanan dan Pertanian Kab. Sumba Timur juga ikut mendukung, masing- masing telah mengembangkan 100 ha dan 60 ha, yang dibiayai dari DAK. Sementara itu di Kab. Sumba Timur telah terdapat kebun Jarak milik PT RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) seluas 60
30 BANK INDONESIA KUPANG
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
ha yang diharapkan dapat menjadi kebun benih. Pada tanggal 23 Mei 2006 lalu telah dihasilkan MOU antara RNI-Pemda-DPR, yang secara umum isinya menyangkut : •
Kewajiban Pemda untuk menyediakan lahan seluas 100.000 ha, baik lahan milik masyarakat ataupun milik Negara
•
Pemda wajib menyediakan lahan untuk lokasi pabrik seluas 1 ha
•
PT. RNI akan menyediakan bibit tanaman (baik benih maupun anakan)
•
Koperasi tetap diberikan kesempatan oleh PT. RNI untuk membeli biji jarak dari petani (tidak monopoli)
•
Sistem bagi hasil 30% PT RNI ; 70% masyarakat. Untuk Kab. Sikka, luas lahan yang dapat dikembangkan sesuai informasi dari Disbun
Kab. Sikka meliputi 5 (lima) kecamatan kurang lebih seluas 760 ha terdiri dari : 1.
Kecamatan Mage Panda
: 150 ha
2.
Kecamatan Tali Bura
: 90 ha
3.
Kecamatan Waigete
: 200 ha
4.
Kecamatan Waibleler
: 120 ha
5.
Kecamatan Tamai
: 200 ha
Pada tahun 2006 oleh Dinas Perkebunan melalui anggaran PLA (Pengelolaan Lahan dan Air) telah dibangun kebun percontohan seluas kurang lebih 30 ha di Desa Watu Merah Kec. Doren. Adapun bibit yang ditanamkan pada kebun percontohan berasal dari Hokeng Kab. Flores Timur dengan jumlah anakan sekitar 40.500 batang. Selain hasil penelitian Disbun Kab.Sikka, pengembangan Jatropha yang lebih tepat untuk masyarakat berupa multikultur (tumpang sari) dan kurang efisien apabila dikembangkan secara monokultur, kecuali bersifat skala plasma inti. Selain itu Disbun Kab. Sikka telah ada mesin pengolah dengan kapasitas 100kg/jam dengan daya listrik 7000 watt. Dari hasil uji coba 4 kg biji kering dapat menghasilkan 1 liter crude oil.
Simpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha/investasi budidaya tanaman Jatropha di provinsi NTT (sampel di Kab. Sumba Barat, Sumba Timur dan Kab. Sikka) secara keseluruhan dapat dikatakan layak (feasible), tercermin dari indikator kelayakan investasi yang digunakan dalam penelitian ini (NPV, IRR, PI, BCR). Pemanfaatan biji Jatropha sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak dimasa mendatang akan sangat dibutuhkan, mengingat kecenderungan harga minyak yang selalu mingkat. Konversi sumber energi ini juga dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi beban anggaran pemerintah terhadap subsidi BBM.
31 BANK INDONESIA KUPANG
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
Namun demikian investasi budidaya Jatropha membutuhkan waktu yang relatif lama, maka sebaiknya penanaman Jatropha tidak dengan sistem monokultur melainkan sitem tumpang sari. Salah satu komoditi perkebunan yang dapat ditanam dengan Jatropha pada satu lahan adalah mete. Dukungan pemerintah pada tahap awal pengembangan sangat diperlukan. Sampai dengan saat ini kontribusi pemerintah dalam pengembangan Jatropha cenderung dari segi pengadaan bibit atau anakan. Untuk pengembangan kedepan alangkah baiknya jika pemerintah memberi subsidi terhadap harga jual biji Jatropha, sehingga harganya bisa sedikit meningkat. Ketersediaan mesin pengolah biji Jatropha masih sangat terbatas. Dengan harga diatas Rp.100 juta tentu saja akan menjadi masalah. Bantuan pemerintah akan mesin pengolah biji Jatropha akan sangat membantu karena akan meningkatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan (value added). Pemerintah daerah dapat mengusahakan kerja sama dengan PLN NTT yang pernah melakukan pembelian terhadap minyak Jatropha di desa Mamboro Kab. Sumba Barat, agar dapat memacu para petani untuk mulai menanam Jatropha.
32 BANK INDONESIA KUPANG