KAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DI KOTA PALOPO PROVINSI SULAWESI SELATAN
UMMI MAKSUM MARWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Potensi Pengembangan Industri Pengolahan Ikan di Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014 Ummi Maksum Marwan NIM C452110101
RINGKASAN UMMI MAKSUM MARWAN. Kajian Potensi Pengembangan Industri Pengolahan Ikan di Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN dan ERNANI LUBIS. Besarnya volume produksi hasil tangkapan ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap yang tidak terjual hanya diolah secara tradisional oleh nelayan atau pedagang pengumpul, yakni dengan cara dikeringkan. Pengolahan dengan cara ini tidak memberikan penambahan nilai yang berarti. Sumberdaya yang melimpah karena pengaruh musim, tidak mengindikasikan kesejahteraan nelayan. Diduga karena belum ada kajian tentang potensi industri pengolahan ikan di Kota Palopo maka investor ragu untuk berinvestasi sehingga industri pengolahan ikan tidak berkembang. Karena itu, perlu dilakukan kajian potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo Sulawesi Selatan. Penelitian ini memiliki tiga tujuan, yaitu: (1) menggambarkan kondisi produksi hasil perikanan tangkap di Kota Palopo; (2) mengidentifikasi potensi daerah Kota Palopo untuk pengembangan industri pengolahan ikan; dan (3) menentukan strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang sesuai di Kota Palopo. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kasus yang mengkaji tentang potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo. Analisis dilakukan secara deskriptif terhadap volume, jenis ikan dominan dan sumber produksi hasil tangkapan yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap untuk menggambarkan kondisi produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo. Analisis deskriptif juga dilakukan terhadap arah kebijakan pemerintah daerah; lokasi, fasilitas dan aksesibilitas; daya serap pasar; dan sumberdaya manusia Kota Palopo berkaitan dengan potensi pengembangan industri pengolahan ikan. Selanjutnya menentukan strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang sesuai dengan analisis SWOT. Produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo berpusat pada satu pangkalan pendaratan ikan yakni di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap. Pada tahun 2009 hingga 2012 volume produksi ikan yang didaratkan meningkat dengan laju pertumbuhan 17.28 persen per tahun. Peningkatan volume produksi juga secara langsung meningkatkan nilai produksi ikan. Produksi tersebut juga berasal dari luar Kota Palopo, seperti Bulukumba, Makassar, Pare-pare, Bone, Sinjai, Palu, Ponrang, dan Kendari. Jenis ikan yang dominan adalah kembung, layang, teri, peperek, cakalang, tongkol dan tembang. Dukungan pemerintah Kota Palopo yang mendorong pengembangan Kota Palopo menjadi kota industri terlihat pada kebijakan penetapan struktur ruang wilayahnya (yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palopo Tahun 2012-2032); dan program kerja bidang pemasaran Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Palopo, yang mendukung kegiatan pengolahan dan pemasaran ikan. Kota Palopo telah menetapkan suatu wilayah sebagai Kawasan Industri Palopo yang ditujukan untuk indutri sedang hingga besar sebagai industri pendukung hasil pertanian, perkebunan, perikanan, hutan, dan peternakan. Namun demikian, jarak lokasi
Kawasan Industri Palopo dengan sumber bahan baku (ikan) yaitu di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap cukup jauh. Lokasi pengembangan industri pengolahan ikan yang berpotensi menjadi lokasi pengembangan industri pengolahan ikan yang sesuai adalah di kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap itu sendiri. Oleh karena itu, peningkatan status pelabuhan perikanan dari pangkalan pendaratan ikan menjadi pelabuhan perikanan pantai perlu dilakukan agar dapat mendukung upaya pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo. Fasilitas penanganan hasil tangkapan terpusat di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap, diantaranya: Tempat Pelelangan Ikan, chilling room, pabrik es, gudang dan gedung pengolahan ikan. Kota Palopo memiliki potensi inlet-outlet terhadap lokasi pasar Indonesia Bagian Timur karena secara geografis memiliki akses langsung terhadap Alur Laut Teluk Bone menuju Laut Banda, Selat Makassar dan Laut Flores dengan didukung oleh keberadaan Pelabuhan Tanjung Ringgit. Sistem jaringan transportasi darat meliputi sistem jaringan jalan dan perkeretaapian. Kota Palopo merencanakan pengembangan terminal penumpang, terminal barang, dan jalur angkutan umum, serta pengembangan jaringan jalur kereta api yang merupakan bagian dari jalur keretaapi trans Sulawesi. Akses udara didukung oleh keberadaan Bandar Udara Lagaligo di Kabupaten Luwu yang berbatasan dengan sebelah selatan Kota Palopo. Kota Palopo memiliki akses darat, laut dan udara yang berpeluang besar untuk dikembangkan. Tingkat konsumsi ikan yang tinggi dan perkembangan Kota Palopo yang semakin pesat mengindikasikan adanya daya serap pasar yang tinggi. Sumber daya manusia yang tersedia dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri skala rumah tangga, kecil dan sedang. Strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang ditawarkan adalah: (1) penguatan dan pengembangan kelompok pengolah ikan terpadu masyarakat pesisir; (2) memanfaatkan dan memelihara fasilitas penanganan hasil tangkapan yang tersedia seperti chilling room, pabrik es, dan gedung pengolahan ikan; (3) mengembangkan jangkauan pasar terutama produk olahan ikan; (4) mempermudah akses administrasi industri pengolahan ikan di daerah; dan (5) meningkatkan daya saing volume produksi hasil tangkapan ikan nelayan lokal Kota Palopo di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap. Hasil penelitian menggambarkan potensi yang besar terhadap pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo. Penyuluhan dan pelatihan keterampilan penanganan dan pengolahan ikan perlu diberikan kepada masyarakat pesisir agar dapat mengantisipasi musim puncak ikan. Kata Kunci: industri, palopo, pengembangan, pengolahan ikan, potensi
SUMMARY UMMI MAKSUM MARWAN. The Development Potential Study of Fish Processing Industry In Palopo City South Sulawesi Province. Supervised by BUDY WIRYAWAN and ERNANI LUBIS. In Pontap Fish Landing Base, huge amount of unsold catches production has only been traditionally dry processed by the fishermen or traders. This processing remain not adding significant value to its product. Therefore abundant of fishery resource that influenced by the season did not indicate the fishermen welfare. It was assumed that no study has been found about the potention of fish processing industry in Palopo that affected investors hesitate to invest. This evidence proofed why fish processing industry cannot develop well. Therefore, a study about development potential of fish processing industry in Palopo South Sulawesi province needs to be conducted. This study has three objectives, i.e. : (1) to describe the conditions of capture fisheries production in Palopo, (2) to identify the potential areas in Palopo for fish processing industry development, and (3) to determine the development strategy of the fish processing industry that is appropriate in Palopo City. This study used a case study that examined the potential for the development of fish processing industry in Palopo. The analysis described descriptively based on the volume, dominant fish species and source of catches production that was landed on Pontap Fish Landing Base that describe the conditions of fish production in Palopo. Descriptive analysis was also conducted based on the government policy direction; location, facilities and accessibility; the market absorption; and Palopo human resource which related to the development potential of fish processing industry. Furthermore, the strategy of fish processing industry development will be described based on SWOT analysis. Production of fish catches in Palopo was usually centered on the fish landing base in Pontap Fish Landing Base. In 2009 until 2012, the fish production volume landed increased with growth rate 17.28 percent per year. These volume production increasement also directly increased the fish production value. Fish also come from the outside of Palopo, such as Bulukumba, Makassar, Pare-pare, Bone, Sinjai, Palu, Ponrang, and Kendari. The dominant fish species which were landed in Pontap fish landing base are short mackerel, indian scad, Anchovy, pony fish, Skipjack, mackerel tuna and sardine. The development to industrial city in Palopo has been supported by the government by issuing a policy that was established in a regional law No. 9 of 2012 on Regional Spatial Plan of Palopo Year 2012-2032; marketing field work program of the Palopo Marine and Fisheries Department which supported the processing and marketing of the fish. Palopo has set a region where Palopo Industrial Estate has been intended for medium to large industries as for supporting industries of agriculture, plantation, fisheries, forests, and farms. However, the distance of Palopo Industrial Estate location to the source of raw materials (fish) is far enough to reach the Pontap Fish Landing Base. The location of fish processing industry development that could potentially be the suitable location of the fish processing industry development is in Pontap Fish Landing
Base itself. Therefore, an setting up the fishing port status from fish landing bases into coastal fishing port needs to be done in order to support the fish processing industry development in Palopo. The catches treatment facility centralized in Pontap fish landing base, including: Fish Auction, chilling room, ice factories, warehouses and fish processing building. Palopo has the potential of the inletoutlet on Eastern Indonesia market location as geographically have direct access to the Bone Bay sea lanes to the Banda Sea, Flores Sea and the Makassar Strait, that has been supported by the presence of Tanjung Ringgit Port. Land transport network system includes road and rail network system. Palopo city plan for development of passenger terminal, cargo terminal, and public transit lines, and the railway network development were the parts of the Trans-Sulawesi railway track. Air access was supported by the existence of the Lagaligo Airport in Luwu bordering the southern city of Palopo. Palopo have proper access to land, sea and air that has great opportunity to be developed. High levels of fish consumption and the development of the rapid increasement in Palopo indicates a high market absorption. Great number of human resource will suffice the need of labor for the scale of home, small and mid industry. The strategies of fish processing industry development that can be offered were (1) strengthening and developing an integrated fish processing group from local coastal community; (2) utilizing and maintaining the cold storage, ice factory, and fish processing building; (3) expanding the market especially processed fish products; (4) easy administration access for local fish industry; and (5) improving the competitiveness of the fish catch production volume of local fishermen in Pontap Fish Landing Base. The results illustrated the enormous potential of the fish processing industry development in Palopo. Counseling and skills training of fish handling and processing needs to be given to the coastal communities in order to anticipate the peak fishing season. Key words: development, fish processing, industry, potential, palopo
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DI KOTA PALOPO PROVINSI SULAWESI SELATAN
UMMI MAKSUM MARWAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Ir Anwar Bey Pane, DEA
Judul Tesis
: Kajian Potensi Pengembangan Industri Pengolahan Ikan di Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan
Nama NIM
: Ummi Maksum Marwan : C452110101
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Budy Wiryawan, MSc Ketua
Dr Ir Ernani Lubis, DEA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Prof Dr Ir Mulyono S.Baskoro, MSc
Tanggal Ujian: 10 Februari 2014
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 sampai Maret 2013 ini ialah pengembangan industri pengolahan ikan, dengan judul Kajian Potensi Pengembangan Industri Pengolahan Ikan di Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Budy Wiryawan M Sc dan Dr Ir Ernani Lubis DEA selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2014
Ummi Maksum Marwan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Batasan Penelitian
1 1 2 4 4 4
2 METODOLOGI Waktu dan Tempat Metode Penelitian Metode Pengumpulan Data Metode Analisis
5 5 5 5 7
3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kota Palopo Perikanan Kota Palopo Potensi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kota Palopo
13 13 14 16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Kota Palopo Perkembangan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Kota Palopo dan Ketersediaan Bahan Baku (Ikan) Supply Chain Produks Perikanan Tangkap di Kota Palopo Alternatif Pengolahan Ikan Berdasarkan Spesies Ikan yang Dominan dan Pola Pendaratan Ikan Nelayan Di PPI Pontap Identifikasi Potensi Daerah Kota Palopo Arah Kebijakan Pemerintah daerah dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palopo Lokasi, Fasilitas, dan Aksesibilitas Daya Serap Pasar Sumberdaya Manusia Strategi Pengembangan Industri Pengolahan Ikan di Kota Palopo
16 16
24 29
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
58 58 59
DAFTAR PUSTAKA
60
LAMPIRAN
63
RIWAYAT HIDUP
68
17 20
29 35 42 45 48
DAFTAR TABEL 1 Mapping research 2 Nama kecamatan dan kelurahan pesisir Kota Palopo 3 Jumlah rumah tangga perikanan menurut kecamatan di Kota Palopo tahun 2011 4 Jumlah alat tangkap yang beroperasi pada tahun 2010-2012 5 Volume dan nilai produksi hasil tangkapan di Kota Palopo tahun 2003-2012 6 Volume produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo asal PPI Pontap dan luar PPI Pontap tahun 2009-2011 7 Fasilitas di PPI Pontap Kota Palopo 8 Intake/sumber air baku Kota Palopo dan kapasitasya tahun 2012 9 PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 2005-2011 10 Penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin di Kota Palopo tahun 2012 11 Kumulatif pendaftar pencari kerja di Kota Palopo tahun 2012 12 Jumlah pencari kerja yang ditempatkan menurut tingkat pendidikan di Kota Palopo tahun 2012 13 Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan menurut tingkat pendidikan di Kota Palopo tahun 2012 14 Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan menurut keahlian utama di Kota Palopo tahun 2012 15 Evaluasi faktor internal (EFI) 16 Evaluasi faktor eksternal (EFE)
12 14 15 15 17 18 38 39 43 45 46 46 47 47 51 52
DAFTAR GAMBAR Diagram alir permasalahan 3 Lokasi Penelitian 5 Diagram alir tahapan penelitian 11 Perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo tahun 2003-2012 18 5 Perkembangan nilai produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo tahun 2003-2012 18 6 Sumber-sumber hasil tangkapan ikan Kota Palopo tahun 2012 19 7 Supply chain pada kegiatan perikanan tangkap di Kota Palopo 21 8 Pola integrasi supply chain 23 9 Costumer-facing arc of integration 24 10 Outward-facing arc of integration 24 11 Supplier-facing arc of integration 24 12 Pola pendaratan bulanan hasil tangkapan ikan nelayan menurut Jenis-jenis ikan dominan di PPI Pontap tahun 2006-2011 27 13 Kawasan Industri Palopo 35 14 Pintu Gerbang Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap 36 15 Gedung pengolahan ikan 36 16 Contoh produk olahan perikanan Kota Palopo (terasi, abon, dan teri gurih) 44 1 2 3 4
17 Beberapa daerah promosi produk olahan hasil perikanan Kota Palopo di wilayah hinterland-nya 18 Posisi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo 19 Matriks SWOT kajian pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo
45 52 53
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta RTRW Kota Palopo 2 Fasilitas di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap
63 64
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Arah pengelolaan perikanan saat ini cenderung ke arah peningkatan produksi tanpa memperhatikan aspek nilai tambahnya, sehingga terjadi eksploitasi sumber daya ikan secara berlebihan. Eksploitasi besar-besaran tersebut umumnya tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan yang signifikan pada masyarakat pesisir. Sebagai contoh, kasus pembuangan ikan yang terjadi di Ternate, Maluku Utara sebagai akibat dari tidak adanya kesiapan pasar untuk menerima hasil tangkapan (Ponco 2012). Demikian pula kasus berton-ton ikan yang busuk akibat kurangnya penanganan ikan di tempat pendaratan (kurang pasokan es dan tidak terdapat cold storage) yang terjadi di Aceh Selatan (Harian Analisa 2012). Sifat ikan yang mudah rusak (highly perishable) mengakibatkan mau tidak mau nelayan harus segera menjual hasil tangkapannya sesaat setelah didaratkan. Diperlukan upaya penanganan dan pendistribusian yang cepat, guna menjaga mutu produk. Ikan yang tidak terjual secara segar perlu penanganan yang lebih lanjut (diolah) untuk menjaga stabilitas harga ikan ketika mencapai musim puncak. Pengolahan dalam hal ini memiliki peranan yang penting untuk mempertahankan mutu produk hasil perikanan. Mutu produk perlu untuk dijaga kualitasnya berkaitan dengan rasa, keamanan jika dikonsumsi dan harga produk tersebut. Jadi pengolahan yang dimaksudkan dalam hal ini selain untuk mempertahankan mutu juga bertujuan menambah nilai jual produk ikan tersebut. Potensi perikanan Indonesia yang besar dapat dijadikan peluang dalam membangun industri pengolahan hasil perikanan. Penanganan pascatangkap yang tepat akan mempengaruhi mutu dan nilai jual produk. Pasar dari produk perikanan yang tidak mengalami penambahan nilai mutu tidak dapat meluas. Penelitian awal peneliti memperlihatkan bahwa produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Pontap Kota Palopo hanya dipasarkan di Kota Palopo dan sebagian daerah yang berbatasan dengannya, bahkan dengan pasar yang tidak terlalu luas para pedagang ikan merasa keuntungan yang didapatkannya tidak sebanding dengan biaya bahan bakar dan kebutuhan es. Minimnya kemampuan nelayan dalam menjaga mutu dan menambah nilai jual produknya serta tidak adanya industri pengolahan yang dapat dijadikan penyangga kestabilan harga ketika produksi meningkat, mengakibatkan nelayan tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan di pasar. Di daerah lain, seperti di Pulau Jawa juga memperlihatkan trend produksi perikanan yang meningkat secara signifikan namun tidak diikuti oleh peningkatan pendapatan serta kesejahteraan yang signifikan. Hal ini sangat berbeda dengan sektor lain contohnya pertanian dan perkebunan, dimana arahan produksinya telah mengacu pada pengolahan produk mentah menjadi bahan setengah jadi maupun bahan jadi sehingga terjadi penambahan nilai. Diversifikasi produk sangat mungkin dilakukan jika melihat kondisi ikan hasil tangkapan yang didaratkan. Pada umumnya ikan hasil tangkapan yang didaratkan beranekaragam dan masih banyak ikan hasil tangkapan sampingannya. Ikan hasil tangkapan sampingan, dianggap mempunyai nilai ekonomis yang rendah oleh nelayan. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan adanya produk “value added” yang dianggap lebih
2
menguntungkan jika dibandingkan dengan ikan yang hanya dikeringkan saja. Agustini (2003), mengemukakan bahwa diversivikasi ada dua macam yaitu: pertama, diversivikasi horizontal yaitu pemanfaatan berbagai jenis ikan untuk diolah menjadi jenis produk olahan tertentu. Pemanfaatan berbagai jenis ikan terutama untuk jenis ikan yang kurang ekonomis seperti ikan beloso, ikan kuak (“croacker”), Alaska pollack menjadi “kamaboko”, dan kedua, diversivikasi vertikal yaitu pemanfaatan satu jenis ikan tertentu menjadi berbagai jenis produk olahan. Hal ini dapat dilakukan misalnya pada saat terjadi musim puncak ikan (misalnya ikan tongkol, ikan kembung, dan lain-lain) dan juga pemanfaatan jenis ikan yang berdaging tebal (tenggiri, kakap, tongkol, cucut, dan lain-lain) yang dapat diolah menjadi produk misalnya bakso ikan. Perbedaan karakteristik sumber daya ikan, sumber daya manusia, sumber daya teknologi di setiap daerah mengakibatkan potensi industri perikanan juga berbeda-beda. Dengan demikian penting untuk diketahui dan diidentifikasi potensi suatu wilayah dalam upaya pengembangan industri perikanan tangkap. Pengkajian potensi suatu wilayah untuk pengembangan industri, diperlukan untuk keberlanjutannya. Potensi perikanan tangkap Sulawesi Selatan sebesar 620 480 ton per tahun, dengan rincian; Selat Makassar dengan potensi 307 380 ton per tahun, Laut Flores dengan potensi 168 780 ton per tahun, dan Teluk Bone dengan potensi sebesar 144 320 ton per tahun (Hatta 2007). Menurut Mallawa et al. (2010), bahwa ikan cakalang merupakan salah satu produksi penting perikanan Teluk Bone. Pada bulan Mei, daerah potensi penangkapan ikan cakalang berada pada bagian utara Teluk Bone yaitu perairan Kabupaten Luwu, Palopo, Luwu Utara, dan Luwu Timur. Begitupun pada bulan Agustus, daerah potensi penangkapan ikan cakalang berada pada bagian utara Teluk Bone yaitu perairan Kabupaten Luwu, Palopo, Luwu Utara, tengah Teluk Bone dan selatan Teluk Bone yaitu perairan Kabupaten Bone dan sekitarnya. Salah satu tempat pendaratan ikan di Sulawesi Selatan yang paling sering disinggahi adalah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pontap di Kota Palopo. Hal ini dikarenakan fasilitas yang disediakan di PPI tersebut lebih lengkap dan lebih baik dari PPI lainnya (Suardi 2005). Melihat fakta di atas perlu kiranya diversifikasi usaha di bidang perikanan dari peningkatan produksi menjadi peningkatan nilai tambah produksi. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan.
Perumusan Masalah Besarnya volume produksi hasil perikanan di PPI Pontap yang tidak terjual hanya diolah secara tradisional oleh nelayan atau pedagang pengumpul, yakni dengan cara dikeringkan. Pengolahan dengan cara ini tidak memberikan penambahan nilai yang berarti. Sumberdaya yang melimpah utamanya saat musim puncak, tidak mengindikasikan kesejahteraan nelayan. Sesuai dengan prinsip ekonomi, meningkatnya penawaran dibandingkan permintaan (musim puncak) akan menurunkan harga produk, sebaliknya menurunnya penawaran dibandingkan permintaan (musim paceklik) akan meningkatkan harga produk. Penanganan
3
pascatangkap yang tepat diperlukan guna menjaga kestabilan harga selain bagi konsumen juga bagi produsen (nelayan). Pemerintah Kota Palopo telah menyediakan kawasan industri yakni Kawasan Industri Palopo (KIPA) sebagai industri pendukung produksi pertanian, perikanan, hutan, perkebunan, dan peternakan. Pusat pengembangan industri di Kota Palopo ialah kegiatan agroindustri, selain itu terdapat satu unit gedung pengolahan di PPI Pontap. Namun demikian hingga saat ini belum ada investor yang menanamkan modalnya di bidang industri perikanan, khususnya pengolahan ikan. Diduga karena belum ada kajian tentang potensi industri pengolahan ikan di Kota Palopo sehingga investor ragu untuk berinvestasi. Karena itu, perlu dilakukan kajian potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo Sulawesi Selatan. Secara garis besar, diagram alir perumusan masalah perikanan di Kota Palopo adalah sebagai berikut: Permasalahan - Belum adanya penanganan pascatangkap (jenis olahan) yang lain untuk mengantisipasi musim puncak ikan. - Belum diketahui sejauhmana potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo. - Belum diketahui strategi yang tepat untuk pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo.
Analisis - Analisis deskriptif perkembangan produksi hasil tangkapan ikan, supply chain, pola musim dan alternatif pengolahan ikan berdasarkan spesies yang dominan; - Analisis identifikasi berkaitan dengan arah kebijakan pemerintah daerah Kota Palopo; lokasi, fasilitas dan aksesibilitas; daerah pemasaran; dan sumber daya manusia; dan - Analisis perencanaan strategi dengan menggunakan SWOT.
Hasil Potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo Gambar 1 Diagram alir permasalahan
4
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini sesuai dengan judul yaitu untuk mengkaji potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo. Tujuan ini akan tercapai melalui tujuan khusus sebagai berikut: 1) Mengetahui gambaran produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo; 2) Mengidentifikasi potensi daerah Kota Palopo untuk pengembangan industri pengolahan ikan; dan 3) Menentukan strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang sesuai di Kota Palopo.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada: 1) Akademisi, untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang industri perikanan tangkap, khususnya di Kota Palopo; 2) Investor, sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan usaha pengolahan ikan di Kota Palopo; dan 3) Informasi untuk Pemerintah Kota Palopo, dalam pengembangan industri perikanan tangkap khususnya di bidang pengolahan.
Batasan Penelitian Ruang lingkup pembahasan penelitian ini dibatasi hanya pada aspek teknis penentuan lokasi industri pengolahan ikan saja. Kriteria penentuan lokasi industri pengolahan ikan ini dilihat berdasarkan kriteria penentuan lokasi industri secara komprehensip yakni mencakup bahan baku, transportasi, tenaga kerja, pasar, prasarana dan sarana, utilitas, serta kekesuaian dengan rencana tata ruang wilayah. Pembahasan akan dibagi menjadi tiga bagian, pertama: gambaran kondisi produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo yang di dalamnya mencakup ketersediaan dan sumber bahan baku (ikan) sebagai salah satu kriteria penentuan lokasi industri. Kedua: identifikasi daerah untuk melihat kriteria penentuan lokasi industri lainnya mencakup arah kebijakan pemerintah daerah dan rencana RTRW Kota Palopo, ketersediaan lokasi dan fasilitas pendukung, utilitas, aksesibilitas, pasar, dan sumberdaya manusia untuk kebutuhan tenaga kerja. Ketiga: penentuan strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang sesuai di Kota Palopo, setelah mempertimbangkan hasil dari pembahasan pertama dan kedua.
5
2 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga bulan Maret tahun 2013 bertempat di Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan (Gambar 2).
Gambar 2 Lokasi penelitian Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yang mengkaji tentang potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui: a. Pengamatan atau observasi langsung Pengamatan atau observasi langsung di lokasi penelitian dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami secara langsung kegiatan yang berkaitan dengan kasus penelitian. Pengamatan yang dilakukan meliputi: - Pengamatan terhadap kondisi fasilitas utama dan pendukung kegiatan perikanan dan industri perikanan di Kota Palopo, yakni mencatat jumlah, jenis, kondisi dan pemanfaatan fasilitas yang ada dan menunjang kegiatan industri. Fasilitas yang diamati adalah semua yang terdapat di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap.
6
- Pengamatan terhadap infrastruktur adalah berupa keberadaan dan kondisi jalan dan sarana transportasi untuk memperlancar kegiatan pendistribusian produk antar lokasi di dalam Kota Palopo dan antar daerah lainnya. - Pengamatan terhadap peluang pasar produk olahan perikanan, yakni berupa kebiasaan mengkonsumsi hasil laut, jenis ikan olahan yang disukai, dan jarak daerah pemasaran ke lokasi pendirian industri. - Pengamatan terhadap prasarana penunjang berupa ketersediaan dan kondisi sumber air bersih dan listrik. - Pengamatan terhadap keberadaan dan aktivitas kelembagaan yang terkait. b. Wawancara Wawancara dengan responden kunci dilakukan melalui pengisian kuesioner. Data primer utama yang dikumpulkan dari masing-masing responden kunci adalah sebagai berikut: (a) Pegawai Pemerintah daerah dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Palopo Responden berjumlah 5 orang. Data yang dikumpulkan antara lain: rencana strategis atau arah kebijakan pemerintah daerah Kota Palopo untuk jangka pendek, menengah, dan panjang; prioritas pembangunan pemda; kendala yang dihadapi dalam penerapan kebijakan; dan potensi daerah Kota Palopo; rencana strategis atau program Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Palopo untuk jangka pendek, menengah, dan panjang; program prioritas; dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program. (b) Nelayan Responden berjumlah 40 orang. Data yang dikumpulkan dari nelayan diantaranya: fishing ground; ukuran kapal; jumlah dan jenis hasil tangkapan; tempat pendaratan; tempat pemasaran ikan; harga jual ikan; besarnya pendapatan; kemampuan memenuhi kebutuhan hidup; keterampilan dan tingkat pendidikan; pendapatnya tentang pendirian industri pengolahan ikan; serta pendapatnya tentang rencana atau arah kebijakan yang diinginkan. (c) Pedagang Responden berjumlah 10 orang. Data yang dikumpulkan dari pedagang diantaranya: asal, jenis dan tujuan ikan yang dijual; pendapatnya tentang jalur distribusi ikan; harga ikan; pangsa pasar produk hasil perikanan; peluang bisnis di bidang perikanan; dan pendapatnya tentang pendirian industri pengolahan ikan. (d) Pengolah ikan Kelompok pengolah ikan di Kota Palopo baru terbentuk tahun 2012 sebanyak 8 kelompok. Kelompok ini dibentuk oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Palopo, dimaksudkan sebagai kelompok percontohan. Responden yang dipilih adalah ketua kelompok. c. Sumber-sumber data sekunder Data sekunder dikumpulkan dari instansi atau lembaga-lembaga pemerintah, non pemerintah maupun swasta. Data sekunder dapat juga diperoleh dari studi literatur. Berdasarkan data sekunder akan diperoleh informasi yang
7
relevan untuk mengetahui kondisi saat ini dari kegiatan perikanan di lokasi penelitian. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi: (1) Data statistik produksi perikanan di Kota Palopo selama 10 tahun terakhir; (2) Data asal produksi perikanan di Kota Palopo; (3) Dokumen tata ruang wilayah (RTRWK/RTRWP); (4) Rencana stategis pembangunan daerah (jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang); (5) Rencana strategis pembangunan perikanan (jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang); (6) Kebijakan perikanan, hukum/peraturan perikanan yang ada dan programprogram pembangunan perikanan yang sedang berjalan dan yang akan dikerjakan khususnya terhadap pengembangan industri perikanan pasca tangkap.
Metode Analisis Secara umum metode analisis yang digunakan adalah secara deskriptif. Pemilihan lokasi harus didasarkan atas pengkajian seksama karena sifatnya yang strategis. Rincian jenis data dan analisis yang digunakan disajikan melalui mapping research pada Tabel 1. Tahapan-tahapan analisis untuk menjawab tujuan penelitian adalah sebagai berikut (Gambar 3): 1. Gambaran produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo Gambaran kondisi perikanan tangkap di Kota Palopo akan diperoleh dengan menganalisis beberapa hal berikut ini: a. Analisis perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo dan ketersediaan bahan baku Volume dan sumber produksi ikan di PPI (bahan baku) akan dianalisis secara deskriptif setelah memperoleh data time series produksi hasil tangkapan di Kota Palopo dan daerah-daerah yang mendatangkan ikan ke Kota Palopo. Berdasarkan data time series volume produksi ikan akan diketahui trend produksinya dan selisih pertumbuhan produksi ikan setiap tahunnya di Kota Palopo. Ketersediaan bahan baku (ikan) untuk industri pengolahan ikan diperoleh dengan telebih dahulu dilakukan perkiraan jumlah kebutuhan atau estimasi terhadap besarnya daya serap pasar lokal untuk ikan segar di Kota Palopo. Hal ini penting untuk mengetahui ada atau tidaknya bahan baku untuk diolah. Daya serap pasar lokal untuk ikan segar diestimasi dengan cara mengalikan antara jumlah penduduk dengan tingkat konsumsi ikan perkapita. Oleh karena tingkat konsumsi ikan per kapita Kota Palopo tidak diketahui maka tingkat konsumsi ikan perkapita yang dipakai adalah tingkat konsumsi ikan perkapita Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2012, yakni sebesar 42.91 kilogram per kapita per tahun (Ditjen P2HP 2013). Perkiraan jumlah kebutuhan = Jumlah penduduk X Jumlah konsumsi perkapita
8
b. Analisis supply chain produk perikanan tangkap Data alur distribusi/pemasaran hasil tangkapan ikan mulai dari produsen sampai konsumen, yang melibatkan beberapa stakeholder lainnya seperti pedagang dan pengolah ikan akan dianalisis untuk memperoleh Supply Chain. Hal ini perlu diketahui untuk menjaga kesinambungan bahan baku (ikan) dan mengetahui pola integrasi supply chain yang sesuai untuk setiap stakeholders. c. Analisis alternatif pengolahan dan pola pendaratan ikan Alternatif penanganan atau pengolahan hasil tangkapan akan dianalisis secara deskriptif setelah mengetahui jenis pengolahan yang sesuai untuk setiap jenis ikan yang dominan didaratkan di PPI Pontap. Pola pendaratan hasil tangkapan akan dianalisis dengan metode dekomposisi multiplikatif (Gasperz 1992), yang merupakan analisis proyeksi yang dapat menggambarkan trend, siklus dan pola musim. Data yang akan diolah adalah data time series produksi hasil tangkapan ikan yang didaratkan di PPI Pontap. Langkah-langkah penyelesaian model multiplikatif untuk memperoleh indek musim untuk menggambarkan pola pendaratan bulanan ikan adalah sebagai berikut: dari data aktual (Yt), ditentukan rata-rata bergerak 12 bulan (Mt), dilanjutkan dengan menghitung rasio data aktual terhadap Mt dengan formula [(Yt/Mt) x 100 %], selanjutnya menentukan rata-rata medial dengan cara menghitung rata-rata rasio data aktual terhadap rata-rata bergerak 12 bulan dengan terlebih dahulu membuang nilai maksimum dan minimum, selanjutnya penentuan indeks musim dengan cara mengalikan nilai rata-rata medial dengan faktor koreksi. 2. Analisis identifikasi potensi daerah Kota Palopo Pemilihan lokasi harus didasarkan atas pengkajian seksama karena sifatnya yang strategis. Bayak teori yang mengemukakan tentang kriteria pemilihan lokasi industri. Tarigan menyatakan bahwa faktor yang dipertimbangkan sebagai daerah yang menguntungkan sebagai lokasi industri antara lain: ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal, dan aksesibilitas dari tempat produksi kewilayah pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran keluar negeri). Belakangan ini faktor stabilitas politik merupakan faktor yang penting bagi pertimbangan para investor. Hal ini berkaitan dengan kelangsungan usaha jangka panjang daripada sekedar laba yang besar tetapi tidak terdapat kepastian berusaha dalam jangka panjang. Oleh sebab itu penting untuk mengetahui kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah. Secara garis besar kriteria atau indikator yang diteliti diantaranya ialah bahan baku, aksesibilitas, tenaga kerja, pasar, sarana dan prasarana (fasilitas), utilitas, kesesuain lokasi, serta kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah. Analisis ketersediaan dan sumber bahan baku telah dianalisis pada sub bab gambaran produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo. Faktor lain yang dianalisis untuk mengidentifikasi daerah untuk pendirian industri diantaranya sebagai berikut: a. Analisis arah kebijakan pemerintah daerah dan rencana tata ruang wilayah Kota Palopo Arah kebijakan dan rencana tata ruang wilayah Kota Palopo dianalisis untuk mengetahui kesesuaian perencanaan pengembangan industri pemerintah daerah dengan tujuan penelitian yaitu pengembangan industri pengolahan ikan. Pada
9
penelitian ini akan dideskripsikan arah kebijakan pemerintah daerah untuk melihat sejauhmana dukungan terhadap pengembangan industri, khususnya industri pengolahan ikan. Rencana tata ruang wilayah dianalisis secara deskriptif untuk menunjukkan lokasi-lokasi yang ditetapkan sebagai lokasi pemusatan industri untuk melihat kompatibilitas antara perencanaan daerah dengan pengembangan industri pengolahan ikan. b. Analisis lokasi, fasilitas, dan aksesibilitas Analisis deskriptif mengenai kondisi lokasi pendirian industri dilakukan setelah diperoleh data pembebasan dan luas lahan, sarana perhubungan (infrastruktur), listrik, air bersih, transportasi dan jarak dengan pusat kegiatan kota. Sarana perhubungan (infrastuktur) berupa kondisi jalan dan alat transportasi serta jarak antar lokasi akan mempengaruhi waktu tempuh yang sangat menggambarkan tingkat aksesibilitas lokasi (Tarigan 2009). Tingkat aksesibilitas akan mempengaruhi keuntungan, dimana semakin mudah suatu lokasi dicapai maka akan semakin kecil biaya yang dikeluarkan. Semakin kecil biaya produksi maka akan semakin besar keuntungan yang diperoleh, demikian pula sebaliknya. c. Analisis daya serap pasar Daerah pemasaran dianalisis secara deskriptif setelah mengetahui informasi tentang area pemasaran yang mengkaji daya serap (utamanya pasar lokal). Daya serap pasar dilihat dari pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi Kota Palopo. Data yang dikumpulkan adalah data jumlah penduduk dan Pendapatan Domestik Regional Bruto Kota Palopo. d. Analisis sumberdaya manusia Mengenai sumberdaya manusia (SDM) akan dianalisis secara deskriptif. Hal yang akan dikaji adalah ketersediaan SDM dalam jumlah dan kualitas yang diperlukan untuk tenaga kerja di sekitar daerah yang bersangkutan, ataukah ada keharusan untuk mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah. 3. Perumusan strategi dengan analisis SWOT Analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) (Rangkuti 2006). Analisis SWOT mempertimbangkan faktor lingkungan internal strength dan weaknesses serta lingkungan eksternal opportunities dan threats yang dihadapi dunia bisnis. Dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat, maka perlu melalui tahapan-tahapan proses sebagai berikut (Marimin 2004 diacu dalam Nazdan et al. 2008): (1) Tahap evaluasi faktor eksternal dan internal. Tahap ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dengan menganalisis data-data yang relevan dengan lingkup penelitian (2) Tahap analisis (analisis SWOT), yaitu pembuatan matrik internal dan matriks eksternal serta matriks SWOT. Bobot (B) setiap unsur faktor internal dan eksternal merupakan kunci keberhasilan (Key Success Factor/KSF) yang
10
memiliki nilai antara 0 (tidak penting) sampai 1 (sangat penting). Bobor KSF tersebut ditentukan dengan membandingkan derajat kepentingan setiap KSF yang satu dengan KSF yang lain dengan mengunakan pendekatan matrik banding berpasangan. Faktor-faktor kunci keberhasilan tersebut kemudian diberi rating (R) yang menandakan nilai dukungan masing-masing faktor dalam pencapaian tujuan. Penilaian menggunakan skala Likert yang dimulai dari rating 4 (sangat berpengaruh), 3 (berpengaruh), 2 ( kurang berpengaruh) dan 1 (tidak berpengaruh). Bobot faktor dan rating akan menentukan skor (BxR) atau nilai bobot dukungan terhadap pengembangan industri perikanan pasca tangkap di Kota Palopo. Dalam tahap ini peneliti membuat justifikasi sendiri terhadap nilai tingkat kepentingan dan rating dari setiap KSF berdasarkan data dan kondisi aktual di lapangan yang berpengaruh terhadap pencapaian pengelolaan minapolitan yang optimal dan berkelanjutan. Selanjutnya dari jumlah skor dalam setiap faktor SWOT diperoleh total skor faktor internal dan skor faktor eksternal yang digunakan untuk mengetahui posisi strategi pengembangan industri perikanan pasca tangkap di Kota Palopo pada posisi kuadran tertentu dalam kuadran strategi SWOT. (3) Tahap pengambilan keputusan (penentuan alternatif strategi). Dalam tahap ini dilakukan dengan merujuk kembali terhadap KSF yang memiliki bobot yang paling berpengaruh terhadap pencapaian tujuan. Strategi pada matriks hasil SWOT dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang (SO), penggunaan peluang yang ada untuk menghadapi ancaman (ST), penggunaan kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan penggunaan kelemahan untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Strategi yang dihasilkan terdiri dari berbagai alternatif (tema-tema) strategi yang dibuat berdasarkan posisi kuadran SWOT.
11
Mulai
Pengumpulan data
Analisis produksi HT*
Analisis identifikasi daerah
- Trend produksi dan ketersediaan bahan baku (ikan) - Supply chain - Jenis ikan dominan dan pola musim
- Arah kebijakan dan tata ruang wilayah Kota Palopo - Lokasi berkaitan dengan fasilitas, utilitas dan aksesibilitas - Daerah pemasaran - SDM (tenaga kerja)
Analisis SWOT
Strategi yang diambil Keterangan: * HT = Hasil Tangkapan
Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian
12
Tabel 1 Mapping research No. 1
Jenis Data/Input a. Produksi hasil tangkapan ikan dan daerah sumber bahan baku (ikan); b. Alur distribusi dan tujuan pasar; c. Produksi hasil tangkapan ikan menurut spesies
2
a. RTRW kota dan RTRW provinsi; rencana strategis pembangunan daerah dan perikanan serta kebijakan tentang perikanan. b. Status dan luas lahan, utility, fasilitas penunjang serta tingkat aksesibilitas; c. Daya serap pasar, budaya konsumsi, spesifikasi produk, dan aksesibilitas; d. Kuantitas dan kualitas SDM. Data kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pendirian industri
3
Analisis a. Analisis deskriptif perkembangan produksi dan ketersediaan bahan baku (ikan); b. Analisis Supply Chain; c. Analisis deskriptif tentang alternatif pengolahan dan pola musim tangkapan ikan dengan metode dekomposisi multiplikatif (Gasperz, 1992) a. Analisis arah kebijakan pemerintah daerah; b. Analisis lokasi; c. Analisis area pemasaran; d. Analisis SDM.
Analisis SWOT
Output a. Diketahui perkembangan produksi ikan diketahui sumbersumber penghasil ikan (bahan baku industri); b. Diketahui rantai suplai produk perikanan tangkap di Kota Palopo; c. Diperoleh gambaran alternatif jenis olahan dan pola musim penangkapan
Informasi Diperoleh gambaran kondisi produksi hasil perikanan tangkap di Kota Palopo
a. Diperoleh gambaran tata ruang wilayah dan arah kebijakan untuk kegiatan industri. b. Diperoleh status dan luas lahan, utiliti serta tingkat aksesibilitas lokasi industri; c. Diperoleh gambaran jangkauan pasar produk olahan ikan; d. Diperoleh jumlah pencari kerja dan keterampilan yang dimiliki.
Kesiapan wilayah/daerah untuk pengembangan industri perikanan tangkap
Diperoleh strategi perencanaan untuk pendirian industri
Diketahui rencana strategi yang harus diambil
13
3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kota Palopo Kota Palopo terletak antara 2 o 53' 15" - 3 o 04' 08" Lintang Selatan dan 120 03' 10" - 120 o 14' 34" Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : o
Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Timur Sebelah Barat
: : : :
Kabupaten Luwu Kabupaten Luwu Teluk Bone Kabupaten Tanah Toraja Utara
Secara umum, luas wilayah Kota Palopo kurang lebih 247.52 km2 dan secara administrasi pemerintahan terdiri dari 9 wilayah kecamatan dengan jumlah kelurahan sebanyak 48. Jumlah penduduk Kota Palopo tahun 2011 tercatat sebanyak 149 419 jiwa. Kesembilan kecamatan di Kota Palopo adalah sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Kecamatan Wara terdiri dari 6 Kelurahan Kecamatan Wara Utara terdiri dari 6 Kelurahan Kecamatan Wara Selatan terdiri dari 4 Kelurahan Kecamatan Wara Timur terdiri dari 7 Kelurahan Kecamatan Wara Barat terdiri dari 5 kelurahan Kecamatan Sendana terdiri dari 4 Kelurahan Kecamatan Mungkajang terdiri dari 4 Kelurahan Kecamatan Bara terdiri dari 5 Kelurahan Kecamatan Telluwanua Terdiri dari 7 Kelurahan
Tata guna lahan di Kota Palopo dibedakan atas penggunaan lahan perkotaan (urban) dan lahan non perkotaan (rural). Luas wilayah Kota Palopo untuk kegiatan perkotaan sekitar 105 km2 atau 43 persen dari luas wilayah, panjang garis pantai kurang lebih 24 km, dan luas perairan budidaya 2975.50 ha. (DKP Kota Palopo 2013). Dari 9 Kecamatan dan kelurahan dalam wilayah Kota Palopo terdapat 5 kecamatan dan 20 kelurahan yang menjadi wilayah pesisir (Tabel 2). Kondisi tofografi Kota Palopo sebagian besar yakni 62 persen merupakan dataran rendah dengan kemiringan 0-3 persen dan berbukit sampai bergunung dengan kemiringan 25 persen dan berada pada ketinggian 0-500 m di atas permukaan laut, dengan kemiringan lereng berkisar 0-40 persen. Hal ini sesuai dengan posisinya yang berada di pesisir pantai. Selain itu, sekitar 24 persen terletak pada ketinggian 501 – 1000 m dan 14 persen terletak di atas ketinggian lebih dari 1000 m. Musim hujan berlangsung antara bulan November sampai bulan April, sedangkan musim kemarau berlangsung mulai bulan Mei sampai Oktober. Curah hujan berkisar 214.5 mm pertahun. Data dari statis meteorologi menunjukkan bahwa suhu udara di wilayah ini berkisar antara 22.00o C – 33.00o C. (BPS Kota Palopo 2012)
14
Tabel 2 Nama kecamatan dan kelurahan pesisir Kota Palopo Tahun 2012 Kecamatan Kelurahan Wara Utara
Wara Selatan
Wara Timur
Bara
Telluwanua
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 1. 2.
Kel. Batu Pasi Kel. Penggoli Kel. Sabbangparu Kel. Salubulo Kel. Sampoddo Kel. Songka Kel. Takkalala Kel. Binturu Kel. Benteng Kel. Pontap Kel. Malatunrung Kel. Salekoe Kel. Saletellue Kel. Ponjalae Kel. Rampong Kel. Temalebba Kel. Balandai Kel. Buntu Datu Kel. Salubattang Kel. Batu Walenrang
Sumber: DKP Kota Palopo 2013
Perikanan Kota Palopo Panjang garis pantai Kota Palopo kurang lebih 24 km, dan luas perairan budidaya 2975.50 ha. Jumlah rumah tangga budidaya perikanan Kota Palopo berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi (Sussenas) tahun 2011 berjumlah 1 655 jiwa, sedangkan jumlah rumah tangga perikanan perairan umum adalah 744 jiwa (Tabel 3). Perairan laut dan pesisir Kota Palopo secara administratif terletak di ujung utara kawasan laut Teluk Bone dan sebelah Barat dari perairan laut Sulawesi Tenggara. Perairan laut Kota Palopo mencakup 5 Kecamatan yang berpantai yaitu Wara Selatan, Wara Timur, Wara Utara, Bara dan Telluwanua. Luas wilayah perairan laut Kota Palopo kurang lebih 177 km² dengan panjang garis pantai sekitar 21.05 km. Terdapat 1 unit Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dengan 1 unit Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Jumlah Kapal yang mendarat sebanyak 771 unit dengan jumlah nelayan sebanyak 2 378 orang dari jumlah rumah tangga perikanan (RTP) sebanyak 711 RTP. Terdapat 1 pulau kecil yang bernama Pulau Libukang di perairan Kota Palopo dan terdapat 4 Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS). Jumlah armada penangkapan ikan yang beroperasi di Perairan Kota Palopo Tahun 2012 : Kapal motor 116 unit terdiri dari : - Kapal motor 5-10 GT : 49 unit - Kapal motor < 5 GT : 67 unit Motor tempel : 618 unit
15
Penggunaan alat tangkap nelayan Kota Palopo diarahkan pada usaha diversifikasi sehingga dengan memiliki lebih dari satu alat tangkap dapat menangkap ikan pada seluruh musim penangkapan ikan. Jumlah alat tangkap yang digunakan nelayan Kota Palopo dalam Tahun 2012 sebanyak 734 unit (Tabel 4) . Tabel 3 Jumlah Rumah Tangga Perikanan menurut kecamatan di Kota Palopo tahun 2012 Kecamatan Rumah Tangga Rumah Tangga Jumlah Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap (Jiwa) (Jiwa) Wara Selatan 448 53 613 Sendana 130 130 Wara Wara Timur 351 313 1 035 Mungkajang 49 30 Wara Utara 83 181 420 Bara 191 119 604 Telluwanua 161 45 462 Wara Barat 242 165 Jumlah
1 655
711
Sumber: DKP Kota Palopo tahun 2013
Tabel 4 Jumlah alat tangkap yang beroperasi pada tahun 2010-2012 Jenis Alat tangkap Jumlah (unit) 2010 2011 2012 Bagang Apung 32 31 21 Bagang Tancap 39 34 34 Purse Seine (Gae) 46 29 21 Rawai 24 17 Pukat Dasar 132 118 104 Pukat Pantai 117 103 102 Payang 42 23 21 Trammel Net 23 16 14 Sero 144 110 110 Jaring Insang Tetap 12 10 10 Bubu 274 722 56 JalaTebar 73 61 61 Pancing Tegak 15 10 10 Pancing Ulur 39 32 32 Rakkang 3 048 3 675 73 Tombak 5 5 0 Jaring Insang Hanyut 49 42 42 (Gillnet) Jumlah 4 114 5 038 734 Sumber: DKP Kota Palopo tahun 2013
2 366
16
Produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Pontap didominasi oleh ikan-ikan pelagis, namun terdapat juga ikan-ikan demersal yang umumnya bernilai ekonomis penting. Pada tahun 2012, total produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo adalah sebesar 11 310.10 ton dengan total nilai produksi sebesar Rp156 524 100 000,00. Jika dibandingkan dengan total produksi tahun 2011 yakni sebesar 9 473.75 ton dengan total nilai produksi sebesar Rp145 958 740 000,00 maka diketahui bahwa telah terjadi peningkatan sebesar 19 persen (DKP Kota Palopo 2013). Potensi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kota Palopo Pengolahan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia. Unit Pengolahan Ikan adalah tempat yang digunakan untuk mengolah ikan, baik yang dimiliki oleh perorangan, kelompok maupun badan usaha. Adapun potensi pemasaran dan pengolahan hasil perikanan Kota Palopo adalah : 1) Unit Pengolahan Ikan (UPI) 2) Pemasar Produksi perikanan 3) Pengolah Ikan 4) Pabrik ES 5) Pasar Ikan /Depo
: 69 unit : 421 orang : 130 orang : 5 unit : 4 unit
Di Kota Palopo umumnya perlakuan terhadap ikan hasil tangkapan dan budidaya adalah dengan cara pendinginan dan pengeringan. Bidang usaha dan pemasaran hasil perikanan pada tahun 2012 telah membina kelompok pengolahan dan pemasaran (Poklahsar) sebanyak 56 kelompok yang tersebar di Kec.Wara Utara, Wara Timur, Mungkajang, Benteng, Ponjalae, Songka dan Bara. Poklahsar tersebut bergerak pada usaha pengolahan ikan/rumput laut, pengeringan, penggaraman serta sovenir untuk non-konsumsi. Jumlah produksi pengolahan rumput laut dan ikan pada tahun 2012 adalah 168 270 641 kilogram. Jenis produk olahan yang telah ada adalah teri gurih, dendeng ikan, amplang, bandeng presto, abon dan amplang (DKP Kota Palopo 2013).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Kota Palopo Salah satu pertimbangan dalam pemilihan lokasi industri adalah ketersediaan dan sumber bahan baku, yang dalam hal ini adalah ikan. Oleh sebab itu, pertama-tama dilakukan analisis deskriptif terhadap produksi hasil tangkapan ikan Kota Palopo. Gambaran kondisi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo diperoleh dengan menganalisis beberapa hal berikut ini:
17
a. Perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo dan ketersediaan bahan baku (ikan) Produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo berpusat pada satu pangkalan pendaratan ikan (PPI) yakni di PPI Pontap. Perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo meningkat setiap tahunnya. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2008 volume produksi ikan yang didaratkan di PPI Pontap cenderung stabil di kisaran angka 1 000 - 2 000 ton ikan per tahun. Baru pada tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012 volume produksi ikan yang didaratkan meningkat hingga masing-masing mencapai 7 010.27 ton, 9 442.00 ton, 9 473.75 ton dan 11 310.10 ton (Gambar 4). Peningkatan volume produksi juga secara langsung meningkatkan nilai produksi ikan (Tabel 5). Pada tahun 2012, total produksi ikan yang didaratkan di Kota Palopo adalah sebesar 11 310.10 ton dengan total nilai produksi sebesar Rp156 524 100 000,00. Jika dibandingkan dengan total produksi tahun 2011 yakni sebesar 9473.75 ton dengan total nilai produksi sebesar Rp145 958 740 000,00 maka diketahui bahwa telah terjadi peningkatan sebesar 19 persen. Gambar 4 dan 5 juga memperlihatkan bahwa trend produksi hasil tangkapan ikan Kota Palopo tahun 2003 sampai 2012 adalah positif. Dengan demikian dapat diduga bahwa akan selalu terjadi perkembangan peningkatan produksi hasil tangkapan pada setiap tahunnya. Tabel 5 Volume dan nilai produksi hasil tangkapan di Kota Palopo tahun 20032012 Tahun Volume Produksi (ton) Nilai Produksi (Rp.000) 2003 1 835.80 9 379 610 2004 2 104.87 12 731 500 2005 1 041.34 6 048 998 2006 1 429.83 7 844 065 2007 1 429.83 11 826 471 2008 1 638.44 15 982 843 2009 7 010.27 91 355 405 2010 9 442.00 145 254 997 2011 9 473.75 145 958 740 2012 11 310.10 156 524 100 Sumber: Dinas kelautan dan perikanan Kota Palopo tahun 2004-2013
Sebagai salah satu pusat tempat pendaratan ikan di Sulawesi Selatan, ikan yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pontap tidak hanya berasal dari tangkapan nelayan lokal tetapi juga datang dari beberapa daerah lain seperti Bulukumba, Makassar, Pare-pare, Bone, Sinjai, Palu, Bungku, Ponrang, dan Kendari (Gambar 6). Demikian pun sebaliknya jika hasil tangkapan nelayan di Kota Palopo melimpah maka ikan akan segera dipasarkan ke Makassar, Pare-pare, Masamba, Toraja, Enrekang, Sengkang, Soroako, Soppeng, dan Pinrang. Berdasarkan statistik hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Pontap diketahui bahwa sejak tahun 2009, 2010 dan 2011, hasil tangkapan yang datang dari luar PPI Pontap mengalami peningkatan yakni berturut-turut 37.76 persen, 61.59 persen dan 76.72 persen (Tabel 6). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ikan yang signifikan di Kota Palopo.
18
Tabel 6 Volume produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo asal PPI Pontap dan luar PPI Pontap tahun 2009-2011 Tahun
2009 2010 2011
Volume Produksi se Kota Palopo (ton) 7 010.27 9 442.00 9 473.75
Volume Produksi nelayan PPI Pontap (ton) 4 363.187 3 627.040 2 205.627
Volume Produksi yang datang dari luar PPI (ton) 2 647.083 5 814.960 7 268.123
Persentase HT yang datang dari luar PPI 37,76 61,59 76,72
Sumber: DKP dan BPS tahun 2012 (data diolah kembali)
Gambar 4 Perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo tahun 2003-2012
Gambar 5 Perkembangan nilai produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo tahun 2003-2012
19
Gambar 6 Sumber-sumber hasil tangkapan ikan Kota Palopo tahun 2012 Selama ini kegiatan distribusi hasil tangkapan ini terus berlangsung demi mendapatkan harga yang layak. Gambaran kondisi ini mencerminkan bahwa penyuplai ikan akan selalu mencari pasar yang menguntungkannya. Oleh karena itu, jika Kota Palopo mendirikan industri pengolahan ikan maka dapat menjadikannya pusat tujuan distribusi ikan segar di Sulawesi Selatan. Hal ini tidak hanya menguntungkan Kota Palopo tetapi juga daerah-daerah pesisir lainnya di Sulawesi Selatan yang memiliki sumber daya ikan yang melimpah. Sebagaimana yang terjadi di Negara-negara Eropa, sebagai contoh Pelabuhan Perikanan Boulogne-sur-Mer telah menjadi pusat pengolahan ikan terbesar di Eropa. Ikan yang diolah tidak hanya berasal dari hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan tersebut tetapi juga mengimpor dari negara-negara tetangga (Lubis 2011). Sebelum mengidentifikasi potensi daerah untuk pengembangan produk olahan ikan, telebih dahulu dilakukan perkiraan jumlah kebutuhan atau estimasi terhadap besarnya daya serap pasar lokal untuk ikan segar di Kota Palopo. Hal ini penting untuk mengetahui ada atau tidaknya bahan baku untuk diolah. Estimasi dilakukan pada tahun 2012. Diketahui bahwa jumlah penduduk Kota Palopo tahun 2012 adalah sebanyak 152 703 jiwa. Tingkat konsumsi ikan perkapita Kota Palopo belum diketahui, oleh sebab itu yang yang dijadikan standar (acuan, indikator) adalah tingkat konsumsi ikan perkapita Sulawesi Selatan yakni sebesar 42.91 kg perkapita per tahun. Daya serap masyarakat lokal untuk ikan segar di Kota Palopo diketahui sebesar 6 552.49 ton ikan per tahun. Produksi perikanan tangkap Kota Palopo tahun 2012 diketahui sebesar 11 310.10 ton ikan per tahun, jadi sisa ikan yang dapat diolah adalah sebesar 4 757.61 ton ikan per tahun. Berbagai studi literatur dilakukan dan disimpulkan bahwa kapasitas produksi atau jumlah bahan baku (ikan) untuk skala industri rumah tangga adalah 5–10 kilogram per hari, indutri skala kecil dengan kapasitas 25 kilogram per hari, industri sedang berkapasitas 1 kuintal per hari, dan industri besar berkapasitas 10 ton per hari. Mempertimbangkan estimasi daya serap pasar lokal untuk ikan segar
20
Kota Palopo, serta jumlah ikan yang tersisa untuk diolah maka disimpulkan bahwa skala industri yang dapat berkembang di Kota Palopo adalah skala industri rumah tangga, kecil, dan sedang. Pengembangan industri perikanan tangkap dalam bidang pengolahan ikan, perlu memperhatikan keberlanjutan bahan baku. Suatu perusahaan sangat berkepentingan menjaga agar suplai bahan baku dapat berkesinambungan, dengan harga yang layak dan biaya transportasi rendah. Oleh sebab itu, salah satu pertimbangan dalam memilih lokasi adalah dekat dengan sumber bahan baku (Soeharto 1995). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Tarigan (2009) bahwa salah satu faktor yang dipertimbangkan sebagai daerah yang menguntungkan sebagai lokasi industri adalah ketersediaan bahan baku. Volume produksi perikanan tangkap di Kota Palopo yang cenderung meningkat dan terdapatnya beberapa daerah penyuplai ikan menjadi salah satu indikator positif untuk pendirian industri pengolahan ikan di Kota Palopo. Namun demikian, persentase produksi hasil tangkapan nelayan lokal yang saat ini sangat kecil jika dibandingkan dengan persentase hasil tangkapan ikan yang datang dari luar Kota Palopo juga dapat menjadi suatu ancaman bagi keberlanjutan usaha pengolahan ikan di Kota Palopo. Oleh karena itu, kemandirian menghasilkan bahan baku (dalam hal ini hasil tangkapan) sebaiknya dibangun, dengan cara meningkatkan produksi hasil tangkapan nelayan lokal. b. Supply chain produk perikanan tangkap di Kota Palopo Supply chain sebagai sekumpulan aktivitas (dalam bentuk entitas/fasilitas) yang terlibat dalam proses transformasi dan distribusi barang mulai dari bahan baku paling awal dari alam sampai produk jadi pada konsumen akhir. Supply chain untuk produk perikanan dapat terkait dengan sejumlah besar stakeholder diantara nelayan/petani ikan dan konsumen akhir (De Silva dan Yamao 2006). Kegiatan perikanan pada dasarnya merupakan seluruh kegiatan yang mencakup praproduksi, produksi, dan pascaproduksi. Kegiatan praproduksi untuk perikanan tangkap sendiri terdiri dari persiapan yang di dalamnya mencakup penyediaan segala keperluan proses produksi seperti pengisian bahan bakar minyak, penyediaan es dan bekal (makanan dan minuman). Kegiatan produksi dalam perikanan tangkap ialah proses penangkapan yang membutuhkan kapal, alat tangkap, dan nelayan sebagai unit penangkapannya. Kegiatan pascaproduksi dimulai dari penanganan di atas kapal, pengolahan, dan pemasaran. Pada penelitian kali ini, pembahasan supply chain akan difokuskan pada kegiatan pascaproduksi/pascatangkap. Memperhatikan berbagai aktivitas dalam sektor perikanan tangkap pascatangkap yang terjadi di Kota Palopo mulai dari produsen hingga ke konsumen maka diketahui terdapat beberapa supply chain yang terbentuk. Pada Gambar 7 disajikan aliran supply chain untuk produk perikanan tangkap di Kota Palopo. Stakeholder yang berperan dalam kegiatan ini adalah nelayan dan pencatat (pedagang pertama), pengecer (pedagang ke dua), pengolah ikan dan konsumen. PPI Pontap yang merupakan tempat untuk mendaratkan hasil tangkapan dipandang sebagai satu bagian awal dari rantai suplai yang menyediakan bahan baku (ikan). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ikan yang ada di PPI Pontap berasal dari nelayan setempat dan luar Kota Palopo. Pada kasus perikanan
21
tangkap di Kota Palopo, TPI PPI Pontap sebagai tempat proses berlangsungnya bagian pascaproduksi/pascatangkap. Kota Palopo hingga saat ini baru memiliki jenis olahan ikan secara tradisional yang berskala industri rumah tangga. Pendistribusian hasil perikanan tangkap Kota Palopo berupa ikan segar dilakukan dengan menggunakan sepeda motor dan mobil. Nelayan Kota Palopo
Pencatat /pedagang ikan ke-1
Pedagang Ikan dari luar Kota Palopo
Pengolah Ikan (tradisional)
Pasar/ retail Pedagang ikan ke-2
Konsumen
Gambar 7 Supply chain pada kegiatan perikanan tangkap di Kota Palopo Supply chain untuk produk perikanan tangkap di Kota Palopo terbagi atas beberapa rantai, diantaranya: 1) produsen (nelayan) bertemu langsung dengan konsumen. Setelah kegiatan penanganan, ikan akan langsung dijual di tempat pendaratan ikan di pelabuhan, sehingga pelabuhan adalah sebagai tempat awal dilakukan pemasaran ikan. Kasus pertama, keseluruhan produsen (nelayan pemilik) yang hasil tangkapannya sedikit menerapkan rantai suplai ini; 2) Nelayan akan menyerahkan ikan kepada pencatat atau pedagang pertama. Pencatat atau pedagang pertama ini yang akan memasarkan ikan kepada konsumen dan atau pedagang ke dua (pengecer) dan atau pengolah ikan. Pedagang kedua akan mendistribusikan ikannya ke konsumen. Pengolah ikan memasarkan hasil olahannya ke konsumen langsung atau ke retail-retail; 3) Produsen (nelayan) langsung menjual hasil tangkapannya kepada pengolah ikan. Sebagian besar nelayan bagan tancap melakukan alur pemasaran rantai ini. Pengolah ikan memasarkan produknya ke retail-retail atau langsung ke konsumen; 4) Produsen merupakan pedagang ikan yang berasal dari luar Kota Palopo yang memasarkan ikannya langsung ke konsumen dan atau kepada pedagang kedua. Keseluruhan rantai suplai ini sudah umum menggambarkan produk perikanan tangkap Indonesia.
22
Supply chain berkaitan dengan kegiatan/proses untuk memproduksi produk hingga dikirim ke pasar. Selain itu terdapat hal yang lebih diperhatikan oleh pemerintah dan pengusaha yakni value chain. Kedudukan value chain tidak hanya memperhatikan faktor produksi dan teknologi saja melainkan juga efisiensi transpotasi, sistem informasi pasar dan manajemen. Value chain berkaitan dengan sifat atau kualitas/kuantitas dari setiap kegiatan. Oleh karena itu, supply chain sering juga disebut aliran produk, uang, dan informasi (De Silva dan Yamao 2006). Sebagaimana diketahui bahwa jumlah produksi hasil tangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh musim penangkapan. Selain itu, khusus untuk produk perikanan yang sifatnya hight perishable maka dibutuhkan penanganan yang cepat guna menjaga kualitas produk (ikan). Konsep pengelolaan yang dapat digunakan adalah konsep supply chain management (SCM). Konsep SCM menekankan pada kesadaran akan adanya produk yang murah, cepat, dan berkualitas. Tujuan dari SCM adalah untuk mengintegrasikan proses bisnis utama perusahaan mulai dari pemasok sebenarnya sampai ke pengguna akhir melalui penyediaan produk, jasa dan informasi yang memberikan nilai tambah bagi konsumen dan stakeholder lainnya (Setiawan dan Rahardian 2005). Kontinuitas pengadaan bahan baku dapat dilakukan dengan memperkuat SCMnya. Dengan SCM, setiap lini dari kegiatan perikanan akan saling mendukung sehingga seluruh kegiatan dapat dilakukan sampai akhir dengan lancar. SCM perlu didukung oleh pola integrasi yang baik kepada pemasok maupun konsumen. Frohlich dan Westbrook (2001), menyatakan bahwa pola integrasi menggambarkan arah dan tingkat integrasi perusahaan kepada pemasok dan atau konsumen yang diukur melalui tinggi atau rendahnya kuartil dimana perusahaan melakukan integrasi. Menurut Frohlich dan Westbrook (2001) dalam SCM terdapat lima pola integrasi yang menggambarkan arah dan tingkat integrasi dengan konsumen dan pemasok yaitu : pertama, Inward-facing. Diklasifikasikan dalam kelompok ini jika respon perusahaan kepada pemasok dan konsumen berada pada kuartil bawah. Kedua, Periphery-facing. Diklasifikasikan dalam kelompok ini jika respon perusahaan kepada pemasok dan konsumen berada di atas kuartil bawah tetapi berada di bawah kuartil atas. Ketiga, Supplier-facing. Diklasifikasikan dalam kelompok ini jika respon perusahaan tersebut kepada pemasok berada di kuartil atas dan responnya kepada konsumen berada di bawah kuartil atas. Keempat, Costumer-facing. Diklasifikasikan dalam kelompok ini jika respon perusahaan terhadap konsumen berada di kuartil atas dan responnya kepada pemasok berada dibawah kuartil atas. Kelima, Outward-facing. Termasuk dalam kelompok ini jika respon perusahaan pada pemasok dan konsumen berada di kuartil atas. Gambar pola integrasi supply chain disajikan pada Gambar 8.
23
Kuartil atas
Perluasan integrasi PEMASOK
Kuartil bawah
Kuartil bawah
Tanpa integrasi PERUSAHAAN
Kuartil atas
Perluasan integrasi KONSUMEN
Gambar 8 Pola integrasi supply chain Melihat dari posisi nelayan Kota Palopo sebagai produsen, maka pola integrasi SCM yang sesuai adalah costumer-facing (Gambar 9) (Frohlich dan Westbrook 2001). Costumer-facing artinya nelayan sebagai produsen harus memperluas integrasinya kepada konsumen. Hal ini mengingat produk yang ditawarkan ialah ikan segar yang sifatnya mudah rusak sehingga harus dijual dengan cepat. Oleh karena itu, nelayan harus dapat mengetahui pasar yang potensial untuk mendapatkan konsumen yang potensial juga. Pola integrasi ini juga berlaku bagi pencatat ikan (pedagang pertama) yang memang bertugas untuk menjual hasil tangkapan ikan nelayan. Pencatat ikan bisa merupakan pemilik modal atau pedagang yang secara khusus ditugaskan oleh nelayan atau pemilik modal untuk menjual hasil tangkapan ikannya. Nelayan yang menugaskan pencatat ikan untuk menjual hasil tangkapannya umumnya merupakan nelayannelayan yang produksi hasil tangkapannya dalam jumlah besar. Ada juga nelayannelayan kecil yang menyerahkan hasil tangkapannya kepada pencatat ikan. Pencatat ikan yang seperti ini mengumpulkan ikan dari beberapa nelayan kecil untuk kemudian dijualkan. Pencatat ikan umumnya mendapatkan komisi sebesar 10 persen dari hasil penjualan ikan. Pola integrasi SCM untuk pengecer (pedagang ke-2) yang sesuai adalah outward-facing (Gambar 10). Outward-facing berarti pengecer harus memperluas integrasi kepada pemasok dalam hal ini nelayan atau pencatat ikan juga kepada konsumen. Jumlah pengecer ikan yang sangat banyak membuat persaingan juga besar. Oleh sebab itu, para pengecer perlu menerapkan pola integrasi outwardfacing sebagai upaya efisiensi usaha. Pola integrasi yang sesuai untuk pengolah ikan atau pelaku kegiatan industri pengolahan ikan di Kota Palopo adalah Supplier-facing (Gambar 11), yaitu pola integrasi yang luas kepada pemasok (nelayan atau pencatat ikan). Hal ini karena dalam kondisi karakteristik perusahaan pengolahan ikan membutuhkan kontinuitas bahan baku, dalam hal ini ikan segar. Penerapan pola integrasi yang sesuai akan meningkatkan performa usaha. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dan Rahardian (2005), kepada beberapa perusahaan jasa
24
makanan, diketahui bahwa semakin perusahaan melakukan integrasi kepada pemasok dan konsumen maka performa akan semakin meningkat.
Gambar 9 Costumer-facing arc of integration
Gambar 10 Outward-facing arc of integration
Gambar 11 Supplier-facing arc of integration
c. Alternatif pengolahan ikan berdasarkan spesies ikan yang dominan dan pola pendaratan ikan Data statistik produksi hasil tangkapan ikan dari nelayan lokal memperlihatkan terdapat 36 jenis ikan yang didaratkan di PPI Pontap. Jenis ikan dominan yang didaratkan diantaranya ikan kembung (Rastrelliger sp), layang (Decapterus spp), teri (Stolephorus commersoni), peperek (Leiognathus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus affinis) dan tembang (sardinella sp). Hal ini sesuai dengan sumber daya ikan yang tersedia di Teluk Bone yaitu jenis pelagis kecil. Berdasarkan jenis ikan tersebut akan dipaparkan jenis olahan yang sesuai. Jenis alat tangkap yang dominan beroperasi di PPI Pontap juga merupakan jenis alat tangkap yang sasaran tangkapnya adalah ikan pelagis kecil diantaranya purse seine (pukat cincin/gae), gill net (jaring insang), bagan perahu, dan bagan tancap. Produksi hasil tangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh musim, sedangkan industri pengolahan sangat bergantung pada kontinuitas bahan baku (ikan). Oleh
25
sebab itu penting untuk mengetahui pola pendaratan bulanan ikan-ikan yang dominan didaratkan di PPI Pontap agar dapat mengantisipasi kemungkinan kekurangan bahan baku. Mengetahui pola pendaratan bulanan ikan (Gambar 12) akan membantu dalam pengelolaan hasil tangkapan yang jumlahnya sangat fluktuatif setiap bulannya menurut jenis ikan. Ikan kembung tergolong ke dalam marga Rastrelliger, suku Scombridae. Meskipun bertubuh kecil, ikan ini masih sekerabat dengan tenggiri, tongkol, tuna, madidihang, dan makerel. Di Ambon, ikan ini dikenal dengan nama lema atau tatare, di Makassar disebut banyar atau banyara. Dari sini didapat sebutan kembung banjar dan di medan 'kembung kuring. Ikan kembung termasuk ikan pelagis kecil yang memiliki nilai ekonomis menengah, sehingga terhitung sebagai komoditas yang cukup penting bagi nelayan lokal. Di Kota Palopo ikan kembung ditangkap dengan menggunakan alat tangkap payang, jaring insang hanyut (gillnet), jaring insang tetap, pukat dasar, sero, bagan apung dan bagan tancap. Ikan kembung biasanya dijual segar atau diproses menjadi ikan pindang dan ikan asin agar lebih tahan lama. Menurut Agustini (2003), jenis olahan lain yang menggunakan bahan baku ikan kembung adalah “Aji Furai” atau ikan bumbu kentucky, yang merupakan jenis yang paling di gemari di Jepang. Berdasarkan hasil analisis pola pendaratan bulanan untuk ikan kembung di PPI Pontap diketahui bahwa musim puncak pendaratan pada bulan Februari, September, dan Desember, musim pacekliknya pada bulan April, Mei, Juni, dan Juli. Ikan layang (Decapterus spp) merupakan salah satu komunitas perikanan pelagis kecil yang penting di Indonesia. Ikan yang tergolong suku Carangidae ini bisa hidup bergerombol. Di Kota Palopo ikan layang ditangkap menggunakan alat tangkap payang, pukat cincin (gae), gillnet, dan bagan apung. Ikan layang dapat diolah menjadi ikan asin, pindang, dan dikalengkan. Hasil analisis pola pendaratan bulanan ikan layang memperlihatkan bahwa musim puncak pendaratan berada pada bulan Februari dan September, sedangkan musim pacekliknya pada bulan Mei, Juni dan Juli. Ikan teri (Stolephorus commersoni) umumnya hidup di dekat pantai, tetapi pula yang masuk ke muara-muara sungai di air payau, kebanyakan ikan teri hidup dalam bergerombolan sangat besar. Sebetulnya banyak sekali nama ikan teri ini atau spesiesnya. Di Kota Palopo ikan teri ditangkap menggunakan alat tangkap pukat pantai, bagan apung, bagan tancap dan sero. Pengolahan yang umum untuk ikan teri adalah pengasinan, sedangkan di Kota Palopo sendiri selain diasinkan, ikan teri juga diolah menjadi terih gurih. Hasil analisis pola pendaratan bulanan ikan teri memperlihatkan bahwa musim puncak pendaratan berada pada bulan Maret, April dan Oktober, sedangkan musim pacekliknya pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Namun demikian secara keseluruhan pola musim pendaratan ikan teri ini tidak terlalu berfluktuatif, diduga karena sifatnya yang menyebar merata sepanjang tahun di pesisir pantai. Ikan peperek adalah jenis ikan pelagis yang umum ditangkap dengan mengunakan alat tangkap bagan, gillnet, payang dan purse seine. Di PPN Palabuhanratu ikan peperek sebagai bahan baku pemindangan dan pengasinan (Lubis dan Sumiati 2011) ikan peperek dapat digunakan sebagai bahan baku surimi. Di Kota Palopo sendiri, ikan peperek ditangkap menggunakan alat tangkap pukat pantai, bagan apung dan bagan tancap. Analisis pola pendaratan bulanan tangkapan ikan peperek memperlihatkan musim puncaknya berada pada bulan
26
Januari, September dan Oktober, sedangkan musim pacekliknya pada bulan Februari, Maret dan Juli. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara biologis suka hidup bergerombol (schooling fish), pemangsa yang rakus dan merupakan ikan perenang cepat lebih dari 10 mil per jam. Jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang berbeda-beda tergantung daerah. Menurut Lumi et al. (2013), di Sulawesi Utara ikan cakalang ditangkap dengan alat huhate (pole and line) dan pukat cincin (purse seine). Berdasarkan penelitian Lubis dan Sumiati (2011), nelayan PPN Palabuhanratu menangkap ikan cakalang menggunakan jaring insang (gillnet), pancing tonda dan payang. Nelayan PPI Pontap sendiri menangkap ikan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine (gae), jaring insang tetap, bagan perahu, rawai tetap dan pancing ulur. Ikan cakalang juga merupakan jenis ikan ekonomis penting yang memberikan kontribusi besar di beberapa daerah, misalnya Provinsi Sulawesi sulawesi Utara khususnya di wilayah administrasi Kota Bitung (Lumi et al. 2013) dan wilayah PPN Palabuhanratu, Sukabumi yang berlokasi di Pantai Selatan Jawa (Lubis dan Sumiati 2011). Industri pengolahan yang menggunakan bahan baku ikan cakalang diantaranya pemindangan, pembekuan, fillet, loin dan pengalengan ikan (Lubis dan Sumiati 2011). Di Kota Palopo sendiri ikan cakalang diolah menjadi abon ikan. Analisis pola pendaratan bulanan untuk ikan cakalang yang didaratkan di PPI Pontap menunjukkan bahwa ikan cakalang berada pada musim puncak pendaratan pada bulan Februari dan Maret, sedangkan musim paceklik di bulan Juni, Juli, September dan Oktober. Ikan tongkol merupakan jenis ikan yang hidup bergerombol (schooling fish). Jenis alat tangkap yang dapat digunakan untuk menangkap ikan tongkol yang umum di Indonesia diantaranya payang, gillnet, pukat cincin, bagan, dan pancing tonda. Di PPI Pontap alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tongkol adalah pukat cincin (gae), rawai tetap, dan pancing ulur. Industri pengolahan yang menggunakan bahan baku ikan tongkol diantaranya pemindangan, pengalengan ikan, pembekuan, fillet dan sashimi (Lubis dan Sumiati 2011). Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa musim puncak pendaratan ikan tongkol adalah pada bulan Januari, September, Oktober, November dan Desember, sedangkan musim paceklik jatuh pada bulan Februari, Maret, April dan Mei. Ikan tembang merupakan jenis ikan pelagis kecil yang cukup penting bagi perikanan, termasuk ke dalam marga sardinella, anggota suku clupeidae. Karena cepat membusuk, ikan ini lebih banyak dijadikan ikan asin, ikan pindang, atau dikalengkan. Ikan tembang sering ditemukan berenang dalam kelompok besar, dekat permukaan laut tidak jauh dari pantai (pesisir). Ikan tembang termasuk komoditas perikanan yang penting, utamanya sebagai bahan baku industri pengalengan ikan. Di Indonesia, ikan-ikan ini biasa ditangkap dengan jaring insang, pukat cincin (purse seine), dan beberapa bentuk jaring yang lain. Di Kota Palopo sendiri ikan tembang ditangkap menggunakan alat tangkap payang, purse seine (gae), gillnet, bagan apung, bagan tancap, dan sero. Hasil analisis pola pendaratan bulanan memperlihatkan musim puncak pendaratan ikan tembang adalah bulan Februari dan Maret. Dan musim paceklik pada bulan Januari, Juli, September, Oktober, dan Desember.
27
Pola 1
Pola 2
Pola 3
kembung
layang
teri
I n d e k s
peperek
m u s i m
cakalang
tongkol
tembang
Bulan
Gambar 12 Pola pendaratan bulanan hasil tangkapan ikan nelayan menurut jenis-jenis ikan dominan di PPI Pontap Tahun 2006-2011
28
Produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Pontap didominasi oleh jenis ikan pelagis baik kecil. Jenis ikan pelagis kecil yang dominan tersebut diantaranya ikan kembung, layang, teri, dan tembang, selain itu juga terdapat ikan pelagis besar yakni ikan cakalang dan tongkol. Setiap jenis ikan dapat diolah sesuai dengan skala olahannya baik secara tradisional maupun modern seperti yang telah jelaskan sebelumnya. Jenis pengolahan tradisional/konvensional yang telah diterapkan di Kota Palopo yaitu pengasinan dan pengeringan, abon ikan, teri gurih, dan amplang, sedangkan pengolahan tradisional yang diharapkan dan berpotensi tumbuh adalah pemindangan dan pengasapan. Melihat jenis ikan yang dominan di Kota Palopo adal jenis ikan pelagis kecil maka jenis pengolahan modern yang diharapkan dan berpotensi untuh tumbuh adalah pengalengan ikan. Pola pendaratan bulanan ikan di PPI Pontap berbeda-beda per jenis ikan. Namun demikian, secara keseluruhan membentuk tiga pola yaitu pola pertama, volume hasil tangkapan di atas rata-rata; dan pola kedua, volume hasil tangkapan berada di bawah rata-rata; dan pola ketiga, volume hasil tangkapan normal. Pola pertama dikatakan juga musim puncak pendaratan ikan berada pada bulan Januari sampai Maret dan pola kedua disebut musim paceklik berada pada bulan April sampai Agustus. Diduga hal ini dikarenakan pada bulan Januari sampai Maret merupakan musim Barat dimana perairan Kota Palopo sedang dalam keadaan tenang. Sedangkan pada bulan April hingga Agustus adalah musim Timur, yang menyebabkan kondisi perairan Kota Palopo lebih berangin dan bergelombang. Pola ketiga memasuki musim peralihan, oleh karena itu sebagian besar volume hasil tangkapan ikan normal (tidak kurang dan tidak lebih). Diketahuinya pola pendaratan bulanan dari tiap-tiap jenis ikan diatas dapat dijadikan acuan untuk mengatur pengelolaan stok bahan baku industri olahan yang akan didirikan. Saat musim puncak ikan, dapat disiasati dengan menyimpan ikan yang tersisa ke dalam cold storage sehingga dapat diolah saat musim paceklik ikan tiba. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat suplai ikan yang didatangkan dari luar Kota Palopo. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai pilihan rencana dalam mengatur kontinuitas bahan baku. Dengan mengetahui pola musim tangkapan, dapat diatur kapan dan berapa besarnya ikan yang harus disuplai dari luar Kota Palopo. Seperti yang dikemukakan oleh Mahyuddin (2007), PPN Palabuhanratu menyuplai ikan-ikan seperti peperek, tembang dan tongkol dari daerah-daerah Pantura Jawa. Ikan-ikan tersebut dijadikan sebagai bahan baku industri pengolahan pemindangan. Hal ini dilakukan karena terkait harga dan mutu ikan yang lebih baik serta suplai yang ditawarkan dalam jumlah besar sehingga biaya transportasi per kilogramnya relatif kecil. Demikian juga kasus yang terjadi di PPP Muncar yang mendatangkan pasokan bahan baku industri dari luar daerah seperti Grajagan, Tuban dan Puger, bahkan terkadang impor dari Cina dan Taiwan di saat pasokan bahan baku dari PPP Muncar sangat sedikit. Kurangnya bahan baku juga dapat diantisipasi oleh pihak industri dengan cara mengganti bahan baku jenis ikan tertentu dengan jenis ikan lain yang sesuai dengan kebutuhan industri tersebut (Lubis et al. 2013).
29
Identifikasi Potensi Daerah Kota Palopo Identifikasi daerah dilakukan pada arah kebijakan pemerintah daerah, lokasi, daerah pemasaran, dan sumber daya manusia Kota Palopo. Suatu perusahaan sangat berkepentingan menjaga agar suplai bahan baku dapat berkesinambungan, dengan harga yang layak dan biaya transportasi rendah dari daerah asal. Oleh sebab itu, salah satu pertimbangan dalam memilih lokasi adalah dekat dengan sumber bahan baku. Hal ini telah dijelaskan pada sub bab gambaran produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo. Kesesuaian lokasi juga dilihat dari ketersediaan fasilitas, utilitas dan sarana transportasi untuk melihat tingkat aksesisbilitasnya. Daerah pemasaran dianalisis mengingat berbagai macam perusahaan atau industri memilih menempatkan fasilitas produksinya di dekat area pemasaran. Tujuannya memperpendek jaringan distribusi produk sehingga cepat sampai ke tangan konsumen. Hal yang perlu diperhatikan tentang sumber daya manusia adalah berkaitan dengan tersedianya tenaga kerja dalam jumlah dan kualitas yang diperlukan di sekitar daerah atau wilayah yang bersangkutan (Soeharto 1997). a. Arah kebijakan pemerintah daerah dan rencana tata ruang wilayah Kota Palopo Pola industrialisasi pada suatu wilayah yang terlihat dari kebijakan yang diterapkan merupakan salah satu cara untuk melihat apakah suatu daerah dapat mengembangkan industrinya. Menurut Tambunan (2003), salah satu faktor yang membuat intensitas proses industrialisasi berbeda antar negara adalah kebijakan atau strategi pemerintah yang diterapkan. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan analisis deskriptif tentang arah kebijakan pemerintah daerah Kota Palopo yang diperlihatkan dari rencana tata ruang wilayah Kota Palopo tahun 2012-2032. Visi penataan ruang Kota Palopo tahun 2011-2031 yakni “Penataan Ruang yang Mengakomodasi Peluang Investasi dalam Rangka Menciptakan Kota Palopo Sebagai Pusat Perkembangan Ekonomi Sulawesi Selatan Bagian Utara”, demikian pula misiya yaitu (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012) : (1) Mewujudkan pusat-pusat pelayanan ekonomi dan pelayanan jasa skala regional; (2) Mewujudkan pengembangan sarana prasarana wilayah dalam rangka mendorong peluang investasi dan pemerataan wilayah Kota Palopo; (3) Mewujudkan keseimbangan fungsi budidaya dan fungsi lindung dalam upaya membentuk Kota Palopo yang berkelanjutan; (4) Mewujudkan kepastian hukum dan peran serta masyarakat dalam mendorong kegiatan yang produktif. Kebijakan penetapan struktur ruang wilayah Kota Palopo meliputi (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012) : (1) Perwujudan pusat kegiatan yang memperkuat kegiatan agro industri, perdagangan dan jasa serta pariwisata dan kegiatan kota lainnya secara optimal.
30
(2) Peningkatan aksesibilitas dan transportasi yang dapat mengarahkan peningkatan fungsi dan keterkaitan antar pusat kegiatan dan sistem sirkulasi kota yang optimal. (3) Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan sarana dan prasarana yang dapat mendorong perkembangan kegiatan dan perbaikan lingkungan permukiman kota. Kebijakan di atas memperlihatkan adanya dukungan pemerintah Kota Palopo dalam upaya pendirian industri di Kota Palopo. Hal ini merupakan langkah awal yang baik atau peluang yang dimiliki Kota Palopo untuk menuju kota agroindustry, termasuk dalam agroindustri adalah industri pengolahan ikan. Selanjutnya disajikan rencana tataruang wilayah Kota Palopo untuk melihat lebih lanjut tahapan implementasi dari visi dan kebijakan diatas serta pola pembangunan sektor industri di Kota Palopo. Penataan ruang dan arah kebijakan pemerintah daerah sangat mempengaruhi keberhasilan program yang akan direncanakan. Oleh karena itu, perlu sinkronisasi antara pola penataan ruang wilayah dan arah kebijakan pemerintah dengan program yang akan diterapkan. Seperti yang dikemukakan oleh Abubakar (2002), kebijakan adalah arahan untuk mengambil suatu tindakan atau tidak bertindak yang dipilih oleh individu atau lembaga untuk menangani suatu masalah tertentu atau rangkaian masalah yang saling berkaitan. Rencana struktur ruang Kota Palopo Pusat-pusat pelayanan di dalam wilayah Kota Palopo terdiri dari pusat pelayanan sosial, ekonomi dan administrasi pemerintahan untuk pelayanan masyarakat, melayani wilayah kota dan regional bahkan nasional. Dalam pembagian pusat-pusat kegiatan perkotaan dalam sistem tata ruang nasional (RTRW Nasional) dan propinsi Sulawesi Selatan (RTRW Propinsi Sulawsei Selatan), Kota Palopo ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) bersama dengan Kota Watampone Parepare, Barru, Pankajene, jeneponto dan Bulukumba. Selain itu, Kota Palopo juga ditetapkan sebagai pusat utama pengembangan Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya. Dalam hal ini sebagai Pusat Pengembangan Ekonomi bagian utara Propinsi Sulawesi Selatan. Rencana struktur ruang wilayah kota dituangkan dalam bentuk hirarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan, yakni pusat pelayanan kota (pusat kota), sub pusat pelayanan kota, dan pusat pelayanan lingkungan yang ditunjang dengan sistem jaringan transportasi dan prasarana kota (Lampiran 1) . Dalam hal ini rencana struktur ruang wilayah Kota Palopo diarahkan pada terbentuknya struktur pemanfaatan ruang wilayah yang terintegrasi antara kawasan terbangun kota yang telah ada dengan pengembangan kawasan baru, baik secara spasial maupun fungsional. Selain itu rencana struktur ruang disusun untuk mewujudkan efisiensi pemanfaatan ruang, keserasian pengembangan tata ruang, dan efektivitas pelayanan (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012). Pada dasarnya struktur ruang Kota Palopo yang terbentuk saat ini tidak terlepas dari karakteristik kegiatan yang selama ini telah berkembang dengan didukung oleh fungsi yang diembannya. Untuk masa yang akan datang, struktur pemanfaatan ruang wilayah kota dibentuk untuk memberikan keseimbangan pertumbuhan pada tiap Sub Wilayah Kota serta mengoptimalkan fungsi pelayanan
31
masing-masing pusat terhadap wilayah pengaruhnya. Dalam hal ini dasar pertimbangannya adalah sebagai berikut (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012) : 1) Ditetapkannya peran Kota Palopo dalam RTRW Nasional sebagai ; - Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) - Pusat pengembangan ekonomi Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya. - Bagian dari Blok Migas Teluk Bone bagian utara - Salah satu kabupaten/kota yang memiliki Pelabuhan Laut Nasional. 2) Ditetapkannya peran Kota Palopo dalam RTRW Propinsi sebagai : - Pusat Kegiatan Wilayah (PKW). - Pusat pengembangan ekonomi Sulawesi selatan bagian utara (Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya). - Salah satu Kabupaten/Kota yang dilintasi jaluir kerata api bagian timur Sulawesi Selatan. - Pusat Pelayanan Kesehatan Regional bagian utara Sulawesi Selatan (RSU Regional). - Pusat Pelayanan Terminal Angkutan Penumbang Tipe A di bagian utara Sulawesi Selatan. - Salah satu Pusat Pendaratan dan Pelelangan Ikan di bagian utara Sulawesi Selatan. 3) Adanya kawasan-kawasan yang memiliki fungsi primer dan menjadi pusat orientasi pergerakan, yaitu: Pusat Kota Palopo, Pelabuhan Tanjung Ringgit, Rumah Sakit Umum Regional dan RS Kusta Rampoang, TPI/PPI Palopo. 4) Adanya kawasan-kawasan yang cenderung berkembang dengan karakteristik kegiatan yang khas, yaitu pusat Kota Palopo sebagai pusat perdagangan dan jasa, terminal angkutan umum penumpang, pelayanan umum/sosial meliputi pemerintahan (kantor Walikota, Gabungan Dinas, instansi vertikal, Kodim, Polres, Mejid Jami Tua, Mesjid Agung Palopo, Gereja Peniel/Protestan, Gereja Katholik, RSUD Sawerigading, RSU Tentara, Universitas dan Sekolah Tinggi), Pelabuhan Tanjung Ringgit sebagai pusat/simpul transportasi laut, TPI/PPI sebagai pusat pendaratan dan pelelangan ikan, dan kawasan kesehatan regional (RSU Regional Palopo) sebagai pusat pelayanan kesehatan regional. 5) Adanya sistem jaringan jalan primer dan sekunder (arteri dan kolektor) yang menghubungkan simpul-simpul kegiatan perkotaan yang ditunjang dengan pembangunan jalan lingkar luar timur (sebagian telah dibangun) yang akan menjadi faktor utama pendorong perkembangan fisik kota di bagian timur, selatan dan utara. 6) Adanya rencana melanjutkan pembangunan jalan lingkar (Palopo Outo Ring Road)/PORR) timur dan pengembangan jalan lingkar (Palopo Outo Ring Road) barat yang menghubungkan bagian utara dengan bagian selatan wilayah kota, yang melintasi wilayah pesisir di bagian timur dan wilayah perbukitan di bagian barat Kota Palopo. 7) Adanya rencana pengembangan Kawasan Industri Palopo (KIPA) dan kawasan pergudangan Palopo di bagian utara dan Terminal Regional Tipe A Palopo di bagian selatan, serta pengembangan Depo Kontainer di sekitar Pelabuhan Tanjung Ringgit yang akan dihubungkan dengan jalan lingkar luar timur (Palopo Outo Ring Road).
32
Rencana kegiatan fungsional Kota Palopo sebagai pusat pelayanan Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya (Sulawesi Selatan bagian utara) sehingga Kota Palopo memiliki fasilitas perdagangan jasa, pemerintahan, industri, perumahan, perhubungan, dan akomodasi wisata berupa hotel, penginapan, dan warung/restoran. Pengembangkan pusat-pusat kegiatan perkotaan meliputi (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012): 1) Pusat Kegiatan komersial (perdagangan dan jasa) 2) Pusat Kegiatan perumahan 3) Pusat Kegiatan pemerintahan dan perkantoran 4) Pusat Kegiatan pariwisata 5) Pusat Kegiatan industri dan pergudangan 6) Pusat Kegiatan peternakan 7) Pusat Kegiatan kepelabuhanan 8) Pusat Kegiatan terminal (Regional Tipe A dan Terminal Kota) 9) Pusat Kegiatan terminal (stasiun) Kereta Api Regional 10) Pusat Kegiatan TPI/PPI 11) Pusat Kegiatan pelayanan umum dan sosial (kesehatan dan pendidikan, peribadatan/keagamaan, kegiatan kesenian dan konvensi) 12) Pusat Sentra Produksi Pertanian dan Perikanan Batasan penelitian ini ialah pada kawasan peruntukan industri di Kota Palopo. Rencana pengembangan kawasan peruntukan industri di Kota Palopo meliputi industri dan pergudangan, industri-industri baru, industri kecil, Home industry. Lokasi industri besar berupa industri dan pergudangan saat ini cenderung menyebar. Lokasi kawasan industri kecil dan menengah cenderung mengelompok pada lingkungan perumahan dengan produk yang serupa seperti bahan makanan, meubel dan penggergajian. Pada masa yang akan datang sampai tahun 2031, pengembangan indstri akan disediakan kawasan khusus, kecuali industri meubel dan makanan, saat ini dapat dipertahankan sepanjang tidak mengganggu arus lalu lintas dan lingkungan lainnya. Rencana tata ruang diatas telah diperkuat dengan dikeluarkannya “Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palopo 2012-2032. Berikut ini disajikan perda yang mengatur kawasan industri dan pergudangan di Kota Palopo: Paragraf 4 Kawasan Peruntukan Industri dan Pergudangan Pasal 49 (1) Kawasan peruntukan industri dan pergudangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf e terdiri atas: a. Kawasan peruntukan industri; dan b. Kawasan peruntukan pergudangan. (2) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Kawasan peruntukan industri besar dan industri sedang; dan b. Kawasan peruntukan industri kecil/rumah tangga.
33
(3) Kawasan peruntukan industri besar dan sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kawasan industry pengolahan dan manufaktur ditetapkan di Kawasan Industri Palopo (KIPA) Kelurahan Maroangin Kecamatan Telluwanua. (4) Kawasan industri kecil/usaha mikro non polutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan di sebagian wilayah Kecamatan Wara Selatan, sebagian wilayah Kecamatan Sendana, sebagian wilayah Kecamatan Wara, sebagian wilayah Kecamatan Wara Timur, sebagian wilayah Kecamatan Mungkajang, sebagian wilayah Kecamatan Wara Utara, sebagian wilayah Kecamatan Bara, sebagian wilayah Kecamatan Telluwanua, dan sebagian wilayah Kecamatan Wara Barat; (5) Kawasan peruntukan pergudangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diarahkan peruntukannya pada Kawasan Industri Palopo (KIPA) di Kelurahan Maroangin Kecamatan Telluwanua. a. Kawasan pergudangan yang terpadu dengan kawasan industry ditetapkan di Kawasan Industri Palopo (KIPA) Kelurahan Maroangin Kecamatan Telluwanua; dan b. Rencana pengembangan kawasan pergudangan peti kemas ditetapkan di Kawasan Pelabuhan Tanjung Ringgit Kelurahan Pontap Kecamatan Wara Timur.
Penetapan Kota Palopo sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) menjadi peluang dalam pengembangan industri. Sebagaimana diketahui bahwa PKW ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut: (1) kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua ekspor-impor yang mendukung Pusat Kegiatan Nasional (PKN); (2) kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten; dan atau (3) kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten. Jika dikaitkan dengan bidang perikanan tangkap, kriteria kedua sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini, yaitu banyak hasil tangkapan ikan yang datang dari luar Kota Palopo seperti beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan bahkan dari Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Kriteria ketiga menjadi indikator akan adanya tingkat aksesibilitas yang tinggi di Kota Palopo. Rencana struktur ruang Kota Palopo dan rencana kegiatan fungsional memperlihatkan suatu sistem perkotaan yang baik dan mendukung pengembangan industri di Kota Palopo. Hal ini sejalan dengan kriteria kawasan perkotaan yang memiliki karakteristik mata pencaharian penduduknya terutama di bidang industri, perdagangan dan jasa. Juga memiliki karakteristik sebagai pemusatan dan distribusi pelayanan barang dan jasa didukung prasarana dan sarana termasuk pergantian moda transportasi dengan pelayanan skala kabupaten atau beberapa kecamatan. Hal ini menjadi landasan yang baik dalam upaya mengeksplor sumberdaya alam yang dimiliki Kota Palopo utamanya di sektor pertanian (pertanian secara luas, termasuk di dalamnya pertanian, perikanan, hutan, perkebunan, dan peternakan), mengingat sebelumnya perekonomiannya telah diperkuat dengan sistem perkotaan. Penelitian yang dilakukan oleh Stanford et al. (2013), menyatakan bahwa kejadian kemiskinan di sektor pertanian (termasuk di dalamnya perikanan) menurun ketika ada kekuatan ekonomi yang besar (daerah perkotaan). Penguatan ekonomi yang luas dan pembangunan mata pencaharian non-pertanian adalah jalan yang penting untuk keluar dari kemiskinan, sebelum
34
pertumbuhan di sektor pertanian dan perikanan perlu untuk menjadi prioritas dalam program dan kebijakan pengentasan kemiskinan pemerintah. Arah kebijakan dan penetapan RTRW Kota Palopo yang mendukung kegiatan agroindustri merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan. Sosialisasi akan potensi ini menjadi suatu promosi bagi investor untuk menanamkan modalnya di bidang agroindustri, demikian pula untuk industri pengolahan ikan. Pusat pengembangan industri di Kota Palopo ialah kegiatan agroindustri. Industri ringan/menengah dimaksudkan sebagai industri pendukung produksi pertanian, perikanan, hutan, perkebunan dan peternakan berupa hasil produksi pertanian, perikanan, perkebunan, hutan produksi, peternakan Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya. Kegiatan ini akan beraglomerasi di Kawasan Industri Palopo (KIPA). Untuk mendukung kegiatan perdagangan dan industri maka direncanakan kawasan pergudangan yang berlokasi di yaitu Kecamatan Bara dari Kelurahan To’Bulung sampai ke Palangerang. Juga akan dikembangkan juga kawasan Depo Kontainer (Container Yard) di jalan lingkar timur di dekat Pelabuhan Laut Tanjung Ringgit Palopo dan pengembangan areal pergudangan di dalam kawasan pelabuhan laut Tanjung Ringgit yang pengelolaannya oleh BUMN (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012). Akan tetapi industri pengolahan ikan, sebagai konsekuensi logis bahwa sifat ikan yang mudah rusak maka perencanaan, pembangunan, dan pengembangan industri pengolahan ikan haruslah dilakukan di pelabuhan perikanan, dalam hal ini di PPI Pontap yang dikembangkan. Hal diatas juga sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 08 Tahun 2012 tentang Kepelabuhanan Perikanan bahwa industri pengolahan ikan dilakukan di pelabuhan perikanan (tipe A, B,C). Pemerintah Kota Palopo kiranya perlu menata ulang RTRW-nya terkait industri pengolahan, terutama yang terkait dengan industri pengolahan ikan. Dukungan pengembangan industri perikanan juga terlihat dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Palopo, utamanya bidang pemasaran. Pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan Kota Palopo ke depan akan dikembangkan melalui berbagai industri kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar dan berbasis pada kelestarian lingkungan. Program kerja bidang pemasaran DKP Kota Palopo yaitu (1) pengembangan sarana dan prasarana pengolahan dan pemasaran produksi perikanan; serta (2) promosi atas hasil produksi perikanaan unggulan daerah. Upaya lain yang telah dilakukan oleh bidang pemasaran DKP Kota Palopo adalah membentuk kelompok pengolah ikan sebanyak 8 kelompok yang terdiri dari 5 sampai 10 orang. Arah kebijakan pemerintah daerah, rencana tata ruang wilayah (RTRW), dan arah kebijakan dinas kelautan dan perikanan di atas, memperlihatkan adanya dukungan pada upaya pengembangan agroindustri, termasuk di dalamnya adalah industri perikanan tangkap. Sebuah teori pemilihan lokasi industri secara komprehensif menyatakan bahwa belakangan ini faktor stabilitas politik merupakan faktor yang penting bagi pertimbangan para investor. Hal ini berkaitan dengan kelangsungan usaha jangka panjang daripada sekedar laba yang besar tetapi tidak terdapat kepastian berusaha dalam jangka panjang (Tarigan 2009). Kepastian dukungan terhadap pengembangan industri yang diperlihatkan dari arah kebijakan pemerintah daerah dan tataruangnya, menjadi peluang bagi investor untuk mendirikan industri.
35
Melihat arah kebijakan pemerintah daerah Kota Palopo, diketahui bahwa ada ciri industrialisasi di Kota Palopo. Sebagaimanan yang dikemukakan oleh Tambunan (2003), bahwa ciri industrialisasi suatu daerah dapat dilihat melalui tahapan dari implementasi, jenis industri yang diunggulkan, dan pola pembangunan sektor industri. b. Lokasi, fasilitas dan aksesibilitas Pemerintah daerah Kota Palopo telah menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan industri. Pengembangan industri di Kota Palopo skala sedang hingga besar dipusatkan di Kawasan Industri Palopo (KIPA) (Gambar 13). Luas area KIPA yang direncanakan oleh pemerintah Kota Palopo adalah seluas 360 ha. Produk yang diunggulkan adalah produk pertanian, perikanan, hutan, perkebunan, dan peternakan. Kawasan ini ditujukan untuk industri ringan/menengah, yang mana pendirian industri ini dimaksudkan sebagai industri pendukung produksi pertanian, perikanan, hutan, perkebunan dan peternakan Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya. Oleh karena itu, dikatakan pula bahwa pusat pengembangan industri di Kota Palopo adalah kegiatan agroindustri. Kawasan ini berlokasi di Kecamatan Telluwanua.
Gambar 13 Kawasan Industri Palopo Terdapat satu kawasan khusus yang merupakan kawasan yang menjadi pusat kegiatan perikanan tangkap di Kota Palopo yaitu Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pontap (Gambar 14) dengan luas lahan 2.5 ha. Hasil tangkapan ikan nelayan lokal dan luar Kota Palopo dikumpulkan di PPI ini, untuk kemudian didistribusikan dan dipasarkan kembali. Hingga saat ini, fasilitas yang disediakan untuk mendukung kegiatan perikanan tangkap mulai dari praproduksi, produksi, hingga pascaproduksi terdapat di PPI Pontap. Jenis dan kapasitas fasilitas disajikan pada Tabel 7. Khusus untuk mendukung kegiatan pengolahan ikan (Gambar 15), di PPI Pontap telah dibagun satu unit gedung pengolahan ikan namun tidak beroperasi sebagaimana mestinya. Gedung pengolahan yang awalnya ditujukan untuk industri pengolahan ikan kaleng, saat ini telah berubah fungsi menjadi gudang rumput laut. PPI Pontap terletak di Kelurahan Pontap Kecamatan Wara Timur yang termasuk ke dalam wilayah pusat pelayanan lingkungan (PPL) (Lampiran 1). Wilayahnya sangat strategis, yakni dekat dengan pusat pelayanan
36
kota (PPK)/pusat kota sehingga mempermudah pemasaran ikan untuk konsumsi lokal dan berada di tengah-tengah perbatasan wilayah Luwu dan Luwu Utara sehingga mempermudah pemasaran ikan ke luar Kota Palopo.
Gambar 14 Pintu Gerbang Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap
Gambar 15 Gedung pengolahan ikan KIPA berada di Kecamatan Telluwanua, yang merupakan bagian utara Kota Palopo (Lampiran 1). Meskipun infrastruktur jalan menuju lokasi KIPA sangat baik (beraspal), melihat jarak Kawasan Industri Palopo dengan PPI Pontap yang cukup jauh, maka dapat dikatakan bahwa lokasi industri ini kurang sesuai untuk kegiatan industri perikanan tangkap, khususnya pengolahan ikan. Industri pengolahan ikan menuntut bahan baku (ikan) yang segar, oleh sebab itu lokasi pendirian industinya harus dekat dengan sumber bahan baku (ikan). Kawasan PPI Pontap menjadi pilihan yang tepat untuk pengembangan industri pengolahan ikan. Pendirian industri perikanan sangat baik jika didirikan di dalam area PPI Pontap mengingat jarak antara tempat pendaratan ikan dengan tempat pengolahan bisa menjadi lebih dekat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Lubis (2011) bahwa pelabuhan perikanan sangat berperan terhadap pengembangan industri perikanan. Keuntungan dari industri perikanan yang berlokasi di pelabuhan akan menghemat biaya transportasi darat khususnya apabila apabila bahan bakunya sebagian besar dari pelabuhan tersebut. Peryataan lainya yang mendukung yaitu, Pane (2013) menyatakan bahwa industri perikanan di pelabuhan perikanan (PP) disebut Industri Kepelabuhanan Perikanan (IKP). Industri Kepelabuhanan Perikanan (IKP) adalah industri-industri yang terdapat di dalam suatu kompleks
37
pelabuhan perikanan yang memanfaatkan sumberdaya pelabuhan perikanan di dalam kegiatannya dan pengelolaannya penting untuk memajukan pelabuhan perikanan. Menurutnya industri di pelabuhan perikanan adalah “unik”, karena satu-satunya jenis pelabuhan dari banyak jenis pelabuhan yang ada (pelabuhan niaga, pelabuhan wisata bahari (port de plaisance), pelabuhan perikanan, pelabuhan tambang, dll) yang memiliki aktivitas dan lahan industri di dalamnya. Industri Kepelabuhanan Perikanan (IKP) terdiri dari tiga kelompok industri (Pane 2013), yaitu: (1) industri penangkapan ikan (ikan dalam arti luas); (2)) industri pengolahan ikan (ikan dalam arti luas); (3) industri tambahan/pendukung. Keistimewaan dari pelabuhan perikanan ini tidak lepas dari karakteristik produknya yakni ikan (dalam arti luas), yang memang berbeda dengan jenis produk lainnya (termasuk produk hasil pertanian lainnya), yaitu sifatnya yang mudah rusak (highly perishable). Pada Tabel 7 disajikan fasilitas yang tersedia di PPI Pontap. Fasilitas pokok PPI Pontap yakni dermaga, kolam pelabuhan dan jalan dalam kondisi baik dan tingkat pemanfaatannya tinggi namun hingga saat ini belum perlu penambahan kapasitas. Lahan kosong yang tersedia belum dimanfaatkan dengan baik oleh stakeholders. Tingkat pemanfaatan fasilitas Fungsional PPI Pontap bermacammacam. Fasiltas yang tingkat pemanfaatannya tinggi diantaranya bak menara air, pabrik es, SPBN, tempat perbaikan jaring, dan gudang rumput laut. Ketiga fasilitas ini perlu penambahan kapasitas. Pemanfaatn fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dikatakan tidak ada karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan fungsinya yaitu tempat untuk melelang ikan. Namun oleh sebagian nelayan fasilitas ini dijadikan tempat untuk meletakkan box-box yang berisi ikan yang akan dijual. Chilling room juga tidak dimanfaatkan sesuai fungsinya. Nelayan tidak memanfaatkan fasilitas ini karena tidak ingin membayar biaya listrik yang dirasakan lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya menyimpan ikan di dalam box yang diberi es. Selain itu, volume produksi ikan yang tersisa tidak cukup banyak sehingga masih bisa disimpan dalam coolbox saja. Gedung pengolahan ikan juga tidak dimanfaatkan sebagaimana fungsinya hingga saat ini. Jaringan listrik di PPI Pontap dikategorikan kurang karena seluruh kegiatan di PPI Pontap berlangsung pada pagi hari yakni pukul 05.00 – 10.00 dan sore hari yakni pukul 16.00-18.00, sehingga tidak terlalu membutuhkan pasokan listrik. Pemanfaatan fasilitas yang juga masih kurang adalah bengkel kapal (dock). Hal ini karena fasilitas tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk semua kapal yang mendarat di PPI Pontap, hanya terbatas untuk ukuran kapal kecil saja yakni kapal dengan ukuran kurang dari 5 GT. Tingkat pemanfaatan fasilitas penunjang di PPI Pontap yakni kios dan kantin termasuk tinggi dan perlu penambahan kapasitas, karena melihat banyaknya pedagang yang memasarkan dagangannya di pelataran PPI. Fasilitas Musallah, MCK, dan Balai Pertemuan Nelayan (workshop) masih kurang dimanfaatkan oleh stakeholders. Hal ini karena PPI Pontap tidak beroperasi sepanjang hari (24 jam) dan kegiatan penyuluhan jarang dilakukan. PPI Pontap memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk skala PPI.
38
Tabel 7 Fasilitas di PPI Pontap Kota Palopo Fasilitas Jumlah/Kapasitas Pokok Dermaga 2 unit/260 m2 dan 150 m2 Kolam Pelabuhan Ada Jalan 2 jalur Lahan Ada Fungsional Tempat Pelelangan Ikan dan Kantor Administrasi Bak dan Menara Air Bersih Pabrik Es Balok dan Curah Tempat Penyimpanan Ikan (Chilling room) Jaringan Listrik Bengkel kapal/ Dock Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) Tempat perbaikan Jaring Gedung Pengolahan Ikan Gudang Rumput Laut Gedung Unit Pembuat Pakan Ikan Penunjang Kios Balai Pertemuan Nelayan (Workshop) Mushallah dan MCK Kantin Pos jaga
Kondisi
Pemanfaatan
Baik Baik Baik Baik
Tinggi Tinggi Tinggi Kurang
1 unit/400 m2
Baik
Tidak
1 unit/60 m3
Baik
Tinggi
1 unit/2500 m3
Baik
Tinggi
1 unit/42 m2
Baik
Tidak
1 unit 117 m2 1 unit Kios/50 m3 dan Tangki BBM/51 m3
Baik Baik Baik
Kurang Kurang Tinggi
100 m2
Baik
Tinggi
1 unit
Baik
Tidak
1 unit 1 unit
Baik Baik
Tinggi -
Ada 1 unit
Baik Baik
Tinggi Tidak
1 unit 3 unit/28 m2 2 unit/12 m2
Baik Baik Baik
Kurang Tinggi Tinggi
Kelengkapan fasilitas PPI dengan kondisinya yang baik, trend produksi ikan yang cenderung meningkat, serta semakin meningkatnya aktifitas di PPI Pontap dapat dijadikan alasan pengajuan peningkatan status pelabuhan, yakni dari pangkalan pendaratan ikan (pelabuhan tipe D) menjadi pelabuhan perikanan pantai (PPP/pelabuhan tipe C). Pelabuhan tipe C/PPP telah memiliki tata ruang (zonasi) pengolahan/industri perikanan sehingga dapat dijadikan langkah awal yang baik untuk mengelola dan mengintegrasi kegiatan pengolahan ikan di dalam kawasan pelabuhan perikanan di Kota Palopo. Gambar fasilitas di PPI Pontap disajikan pada Lampiran 2.
39
Utilitas Tenaga listrik dan air merupakan variabel yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan lokasi industri. Di Kota Palopo terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan kapasitas 12 MW dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang berlokasi di Bambalu Kecamatan Wara Barat. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) merupakan sistem jaringan interkoneksi jaringan regional Sulawesi Saluran transmisi tegangan menengah 150 KV dan rencana Saluran Transmisi Tegangan Tinggi (SUTT). Sistem jaringan listrik yang terdapat di Kota Palopo terdiri dari Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT), Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) dan Saluran Udara Tegangan Rendah (SUTR) (Lampiran 1). Gardu induk untuk jaringan listrik wilayah Kota Palopo terdapat di Kecamatan Mungkajang. Selain itu, Kota Palopo juga telah melakukan peramalan akan tingkat pelayanan jaringan listrik di wilayah Kota Palopo hingga tahun 2031 (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012). Pemakaian listrik di Tahun 2011 yang tercatat dalam laporan statistik Palopo dalam angka Tahun 2012 adalah sebesar 61.528.456 KWH. Kondisi air tanah sebagai baku air bersih di Kota Palopo saat ini masih relatif baik. Dari data yang diperoleh, cadangan air tanah paling banyak di Kecamatan Battang, Mungkajang dan Telluwanua. Rencana sumber air baku Kota Palopo untuk kebutuhan masyarakat di Kota Palopo bersumber dari Sungai Mangkaluku, Sungai Latuppa, Sungai Magandang dan Sungai Buludatu yang masih sangat potensil untuk dikembangkan. Lebih jelasnya mengenai sumber air baku beserta kapasitasnya dapat dilihat pada Tabel 8. Pada tahun 2011, pemakaian air bersih di Kota palopo adalah sebanyak 5.077.493 liter (BPS Kota Palopo 2012). Tabel 8 Intake/Sumber Air Baku Kota Palopo dan Kapasitasnya Tahun 2011 Sumber Air Baku Lokasi Sumber Jenis Sumber Kapasitas Sungai Mangkaluku Sungai Mangkaluku Sungai 120 l/detik Sungai Latuppa Sungai Latuppa Sungai 400 l/detik Sungai Magandang Sungai Magandang Sungai 20 l/detik Sungai Buludatu Sungai Buludatu Sungai 5 l/detik Sungai Bambalu Sungai Bambalu Sungai 400 l/detik Sungai Babak Sungai Babak Sungai 100 l/detik Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012
Saat ini terdapat beberapa lokasi instalasi pengolahan air (IPA) di Kota Palopo yang tersebar di 3 kelurahan di Kota Palopo, yaitu :
IPA Saringan Pasir Lambat (SPL) di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas produksi 40 L/detik. IPA 1 di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas produksi 40 l/detik. IPA 2 di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas produksi 100 l/detik. IPA 3 di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas produksi 70 l/detik. IPA 4 di Kelurahan Magandang dengan kapasitas produksi 50 l/detik. IPA 5 di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas produksi 50 l/detik.
40
IPA 6 di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas produksi 20 l/detik. IPA Bronceptering di Kelurahan Buludatu dengan kapasitas produksi 2.5 l/detik.
Tenaga listrik dan air menjadi variabel penting karena tenaga listrik sangat diperlukan untuk menunjang proses produksi olahan ikan, demikian juga dengan air bersih dibutuhkan untuk pengembangan industri pengolahan perikanan dalam proses produksi dan memenuhi kebutuhan para pekerja. Melihat kapasitas tenaga listrik dan air yang dimiliki Kota Palopo, dapat disimpulkan bahwa pengembangan industri masih dapat dilakukan di Kota Palopo. Aksesibilitas Kegiatan perindustrian, pertambangan, perikanan, atau kegiatan lainnya dalam pelaksanaan usaha pokoknya memerlukan fasilitas pelabuhan. Menjadikan pelabuhan sebagai suatu kawasan yang terintegrasi dengan pergudangan sebagai penunjangnya, maka pelabuhan dapat berperan sebagai pintu gerbang kegiatan perekonomian daerah dan nasional bahkan internasional; tempat kegiatan alih moda transportasi; serta tempat distribusi, konsolidasi dan produksi. Kota Palopo memiliki potensi inlet-outlet terhadap lokasi pasar Indonesia Bagian Timur karena secara geografis memiliki akses langsung terhadap Alur Laut Teluk Bone menuju Laut Banda, Selat Makassar dan Laut Flores dengan didukung oleh keberadaan Pelabuhan Tanjung Ringgit. Pelabuhan Tanjung Ringgit juga berperan sebagai Pelabuhan Nasional sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Provinsi Sulawesi Selatan dan RTRW Nasional. Oleh karena itu, pemerintah daerah Kota Palopo berencana untuk mengembangkan kawasan pelabuhan pengumpul yang berintegrasi dengan pergudangan sebagai fasilitas penunjangnya dan mengembangkan terminal kargo di dalam kawasan Pelabuhan Nasional Tanjung Ringgit (Lampiran 1). Selain meningkatkan kawasan pelabuhan yang merupakan akses jalur laut, akses darat juga ditingkatkan. Sistem jaringan transportasi darat meliputi sistem jaringan jalan dan perkeretaapian. Sistem jaringan transportasi darat merupakan sistem yang memperlihatkan keterkaitan kebutuhan dan pelayanan transportasi antar kawasan dan antar wilayah. Secara garis besar pengembangan sistem transportasi darat akan dibedakan pada pengembangan jaringan jalan arteri, kolektor dan lokal. Jaringan jalan arteri dan kolektor sebagai jaringan jalan pendukung sistem transportasi regional untuk mendukung pola aliran barang regional, dan jaringan jalan lokal sebagai pendukung sistem transportasi internal di Kota Palopo sekaligus dikembangkan sebagai pendukung jalur rute wisata yang dikembangkan di berbagai tempat di Kota Palopo. Jaringan jalan arteri dengan status Jalan Nasional akan dikembangkan di jalan lingkar timur, dimana jaringan jalan arteri saat ini (Jl. Andi Djemma, Jl. Sudirman, Jl. Ahmad Yani dan Jl. DR Ratulangi)) diturunkan fungsinya sebagai jalan kolektor primer. Maksud pengembangan jalan lingkar tersebut adalah untuk menghindari pergerakan regional yang melintas di Kota Palopo, sehingga tidak lagi melalui bagian wilayah tengah kota (pusat kota). Jaringan jalan kolektor tetap mempertahankan poros Rantepao-Palopo (sampai ke pelabuhan Tanjung Ringgit) dan mengembangkan jaringan jalan lingkar barat yang akan melintasi Kota Palopo dari arah selatan (Kelurahan Sampoddo) ke utara sampai ke wilayah
41
Kabupaten Luwu (Desa Tombang Kecamatan Walenrang). Pengembangan kedua jaringan jalan ini (arteri primer dan kolektor primer) dilengkapi dengan pengembangan terminal penumpang dan angkutan barang serta menghubungkan langsung kawasan Industri, pergudangan dan Pelabuhan Tanjung Ringgit. Jaringan jalan ini dilengkapi juga dengan halte, dan di beberapa lokasi di kembangkan jembatan penyeberangan. Jaringan jalan lokal dikembangkan kapasitasnya. Jaringan jalan dikembangkan untuk mendukung pengembangan rute angkutan yang dapat melayani pergerakan antar entitas wisata yang dikembangkan di Kota Palopo Jalan lokal di beberapa ruas didesain secara khusus untuk mendukung pengembangan koridor wisata dan jalur festival wisata di Kota Palopo yang diadakan setiap tahun. Pengembangan jaringan jalan ini dilengkapi dengan pengembangan halte dan halte khusus wisata. Akses darat yang baik juga diperlihatkan dengan kondisi jalannya, yakni beraspal sepanjang 264.727 km (66,43 persen), krikil sepanjang 113.549 km (28.50 persen), hanya tanah sepanjang 10.698 km (2.68 persen), dan jenis permukaan beton, lapen, dan rabat sepanjang 9.511 km (2.39 persen). Jarak Kota Palopo dengan Ibu Kota Provinsi Sulawesi-Selatan adalah 367 km dengan waktu tempuh kurang lebih 7 jam. Pada rencana pengembangannya, pemerintah daerah juga akan meningkatkan fungsi Pelabuhan Tanjung Ringgit, pembangunan jalur kereta api bagian timur Sulawesi Selatan, serta pengembangan terminal penumpang, terminal barang, dan jalur angkutan umum. Sistem jaringan perekeretaapian terdiri dari jaringan jalur kereta api dan stasiun kereta api. Pengembangan jaringan jalur kereta api yang akan dikembangkan di Kota Palopo adalah merupakan bagian dari jalur keretaapi trans Sulawesi yang melintasi wilayah Kecamatan Sendana, Kecamatan Wara Selatan, Kecamatan Wara, Kecamatan Wara Barat, Kecamatan Wara Utara, Kecamatan Bara dan Kecamatan Telluwanua. Pengembangan Stasiun kereta api berlokasi di Kecamatan Wara Selatan. Dengan pertimbangan tersebut maka rencana pengembangan sistem jaringan prasarana perkeretaapian meliputi: (1) pembangunan sistem jaringan pelayanan kereta api yang terkoneksi dengan sistem angkutan umum penumpang dan barang dan (2) pembangunan Stasiun Kereta Api Kota Palopo di Kelurahan Songka Kecamatan Wara Selatan (Lampiran 1). Selain itu, tingginya tingkat aksesibilitas juga di perlihatkan dengan keberadaan Bandar Udara Lagaligo yang terdapat di Kabupaten Luwu yang berbatasan dengan sebelah selatan Kota palopo. Jaringan transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan suatu wilayah, yaitu memberi kemudahan atau meningkatkan interaksi antar wilayah/pusat pelayanan. Dengan demikian akan diperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan kewilayahan (membuka keterisolasian dengan wilayah lainnya), karena hubungan antar wilayah yang semakin mudah akan mendorong pergerakan penduduk. Dengan terbukanya wilayah yang terisolasi maka wilayah tersebut akan semakin berkembang, yang pada akhirnya akan meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Posisi Kota Palopo sangat strategis karena merupakan daerah perbatasan. Sebagaimana yang telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa pemerintah daerah provinsi Sulawesi Selatan telah menetapkan Kota Palopo sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat pengembangan ekonomi Sulawesi Selatan bagian utara
42
(Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya). Hal ini membuat pemerintah daerah lebih memperkuat aksesibilitas menuju dan keluar Kota Palopo. Rencana penguatan aksesibilitas menjadi peluang dalam pengembangan kegiatan industrialisasi, termasuk di dalamnya industri pengolahan ikan. c. Daya serap pasar Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang merupakan negara kepulauan. Indonesia khususnya Sulawesi sebagian besar populasinya mengkonsumsi ikan. Saat ini rata-rata tingkat konsumsi ikan perkapita nasional di Indonesia mencapai 33.89 kg per kapita. Rata-rata tingkat konsumsi ikan perkapita Provinsi Sulawesi-Selatan tahun 2012 mencapai 42.91 kg per kapita (Ditjen P2HP 2013). Sejak tahun 2001 sampai 2012 penduduk Kota Palopo meningkat, dengan laju pertumbuhan 2.72 persen (BPS Kota Palopo 2013). Secara umum masyarakat Sulawesi Selatan dan khususnya masyarakat Kota Palopo lebih menyukai mengkonsumsi ikan segar dibandingkan produk olahan. Namun demikian, melihat semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dan urbanisasi serta kemajuan pembangunan di tiap-tiap daerah di Sulawesi Selatan dan beragamnya jenis produk olahan ikan yang menggugah selera, tidak menutup kemungkinan mereka untuk mengkonsumsi produk olahan. Berdasarkan data, sekitar 70 persen produksi ikan nasional digunakan sebagai bahan pangan (Ditjen P2HP 2013). Pada level internasional/global, tingkat konsumsi ikan dunia semakin meningkat. Berdasarkan data, 71 persen produk perikanan dunia yang diekspor berbentuk produk konsumsi untuk manusia. Pada tahun 2011, penduduk dunia mengkonsumsi 130,8 juta ton produk perikanan untuk kebutuhan pangan. Sekitar 23.2 juta ton lainnya digunakan untuk kebutuhan non pangan (Ditjen P2HP 2013). Pertumbuhan ekonomi Kota Palopo juga mengalami peningkatan. Diketahui bahwa sejak tahun 2005 hingga 2011 Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita atas dasar harga konstan Kota Palopo meningkat setiap tahunnya dengan laju pertumbuhan 4.51 persen (Tabel 9). PDRB adalah nilai tambah bruto seluruh barang dan jasa yang tercipta atau dihasilkan di wilayah domestik suatu daerah yang timbul akibat berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu periode tertentu tanpa memperhatikan faktor produksi dimiliki oleh residen atau non residen. PDRB bisa dijadikan alat untuk melihat kondisi perekonomian suatu wilayah atau region. Kemampuan ekonomi suatu daerah tercermin dari PDRBnya. Perikanan berada di dalam sektor pertanian. Pada sektor pertanian, sub sektor perikanan dan sub sektor perkebunan masih tetap mendominasi dalam pembentukan nilai tambah. Berdasarkan laporan PDRB Kota Palopo tahun 2011, meskipun sektor pertanian mengalami penurunan setiap tahunnya tetapi tetap masuk ke dalam tiga besar sektor yang memberikan kontribusi terbesar di Kota Palopo setelah sektor perdagangan dan jasa. Kontribusi subsektor perikanan terhadap sektor pertanian mencapai 58.22 persen atau 10 persen bagi pembentukan PDRB Kota Palopo. Kontribusi subsektor perkebunan terhadap pembentukan nilai tambah sektor pertanian mencapai 28.58 persen atau 5,15 persen bagi pembentukan PDRB Kota Palopo. Sisanya yakni untuk sub sektor tanaman bahan makanan, peternakan, dan kehutanan hanya memberikan kontribusi sebasar 13.20 persen terhadap sektor pertanian atau sekitar 2,59 persen bagi pembentukan PDRB Kota Palopo.
43
Tabel 9 PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 2005-2011 Tahun PDRB Perkapita Atas Dasar Laju Harga Konstan (Rupiah) Pertumbuhan (%) 2005 5 139 549 2006 5 212 094 2007 5 406 985 2008 5 629 236 4.51 2009 5 980 642 2010 6 253 428 2011 6 696 399 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Palopo tahun 2006-2012
Menurut Tambunan (2003), besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat pendapatan nasional rill perkapita (dengan asumsi faktor lain mendukung). Meningkatnya jumlah populasi berarti kebutuhan akan bahan makanan juga meningkat. Produk perikanan tidak hanya berperan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan biasa tetapi memiliki peran penting sebagai sumber protein. Melihat kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, jika dikelola dengan optimal maka kebutuhan akan protein dari produk perikanan dapat disediakan dalam jumlah yang banyak dan dengan harga yang relatif murah. Sama halnya dengan Kota Palopo yang semakin berkembang, secara nasional pertumbuhan penduduk Indonesia juga meningkat. Dengan demikian kebutuhan akan pangan dan sumber protein juga meningkat. Agustini (2003), dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemanfaatan hasil perikanan melalui penganekaragaman produk-produk “value-added” memiliki prospek yang bagus di masa mendatang dan dapat mendukung suksesnya pelaksanaan Program Ketahanan Pangan Nasional bila disertai dengan kerjasama yang baik antar lembaga terkait. Produk olahan perikanan (produk “value-added”) memiliki keuntungan yang tinggi dengan jangkauan pemasaran yang lebih luas, utamanya ke Jepang, USA, dan beberapa negara di Eropa (Agustini 2003). Tingkat pertumbuhan populasi, sebaran usia serta kesukaan makan ikan merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi fungsi permintaan ikan dan produk perikanan. Banyak negara berkembang memiliki tingkat pertumbuhan populasi positif dan secara luas adalah populasi pemuda. Pola konsumsi makanan dan kesukaan makanan dari sebagian besar populasi yang telah berumur memiliki dampak yang lebih besar pada rantai suplai makanan global. Konsumen ikan terbesar di dunia, Jepang telah mengalami pertumbuhan populasi yang sangat rendah namun memiliki tingkat umur yang panjang dalam populasi tersebut. Dua puluh lima persen dari populasi berumur diatas 65 tahun. Pola makan mereka yaitu ikan dan nasi. Permintaan lebih besar berasal dari populasi yang berumur panjang sebagai langkah kecil berdiet (De Silva and Yamao 2006). Kota Palopo yang berada pada posisi yang strategis yakni sebagai daerah perbatasan, dapat mempermudah alur distribusi produk keluar kota. Semakin gencarnya penyuluhan “gemar makan ikan “ oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan dan beberapa instansi membuat kesadaran akan pentingnya mengkonsumsi ikan semakin meningkat. Keberadaan toko-toko swalayan juga semakin menambah peluang pemasaran produk perikanan. Promosi besar-besaran
44
dan menarik dari tiap-tiap toko swalayan menarik perhatian konsumen dan meningkatkan permintaan akan produk perikanan. Berbagai peluang diatas memungkinkan meluasnya pasar dari produk perikanan. Kegiatan pengolahan hasil perikanan mulai dibentuk di Kota Palopo pada tahun 2011 dalam bentuk kelompok industri rumah tangga. Setiap kelompok terdiri dari 5 sampai 21 orang. Beberapa jenis produk olahan yang dihasikan diantaranya teri gurih , dendeng ikan, kerupuk ikan, bandeng presto, abon, terasi dan amplang (Gambar 16). Hasil olahan produk perikanan telah dipasarkan di Kota Palopo dan Luwu Utara. Sampai saat ini, produk olahan hasil perikanan ini dapat ditemukan di toko yang menjajakan oleh-oleh khas Kota Palopo dan beberapa rumah industri kelompok pengolahan. Karena lebih umum dijadikan sebagai oleh-oleh, maka produk olahan perikanan ini menjadi salah satu produk unggulan Kota Palopo. Beberapa produk di atas merupakan produk olahan perikanan yang telah ada di Kota Palopo yang berskala industri rumah tangga. Sebagaimana diketahui bahwa beberapa jenis ikan yang dominan di Kota Palopo adalah kembung, layang, tembang, cakalang, dan tongkol. Jenis-jenis ikan tersebut sangat cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku ikan kaleng. Hal ini juga didukung oleh fasilitas yang telah ada di dalam kawasan PPI Pontap, yakni gedung untuk pengalengan ikan yang saat ini dijadikan sebagai gudang rumput laut. Sejak tahun 2011, DKP Kota Palopo di bawah bidang usaha dan pemasaran hasil perikanan dan pengusaha-pengusaha pengolahan ikan merencanakan sasaran pemasaran produk hasil olahan perikanan daerah ini ke beberapa daerah di Indonesia dengan mengikuti PENAS (Pekan Kontak Tani Nasional) di Provinsi Kalimantan Timur. Keikutsertaan ini bertujuan sebagai promosi dari produkproduk olahan hasil perikanan yang telah dibuat. Selain mengikuti PENAS, promosi juga dilakukan dengan mengikuti pameran di beberapa kota besar lainnya seperti Makassar, Menado, Batam, dan Jakarta (Gambar 17). Saat penelitiaan ini berlangsung, diketahui bahwa beberapa toko swalayan yang ada di Kota Palopo telah mengajukan permintaan akan produk olehan perikanan dari kelompok industri pengolahan ikan. Hal ini diindikasikan oleh adanya prasarana dan sarana transportasi yang semakin baik, baik transportasi darat, laut, maupun udara, akan semakin mempermudah menjangkau pasar-pasar di Provinsi Sulawesi Selatan dan luar Sulawesi Selatan (nasional), bahkan ekspor. Terdapat bandara udara internasional di Makassar yang memudahkan untuk ekspor produk hasil olahan ke luar negeri.
Gambar 16 Contoh produk olahan perikanan Kota Palopo (terasi, abon, dan teri gurih)
45
Gambar 17 Beberapa daerah promosi produk olahan hasil perikanan Kota Palopo di wilayah hinterland-nya
d. Sumberdaya manusia Penduduk Kota Palopo pada akhir tahun 2012 tercatat sebanyak 152 703 jiwa. Secara rinci menurut jenis kelamin masing-masing 74 870 jiwa laki-laki dan 77 833 jiwa perempuan. Jika diamati menurut kelompok umur, seperti pada Tabel 10 dapat dijadikan bahan evaluasi dan perencanaan pembangunan di bidang kependudukan, di sana terlihat bahwa dari 152 703 jiwa penduduk tercatat sekitar 30.14 persen berada pada usia muda (0-14 tahun) dan 3.78 persen pada kelompok usia tua (65 tahun ke atas), selebihnya sekitar 66.08 persen yang berada pada kelompok usia produktif (usia 15-64 tahun). Penduduk usia kerja (PUK) didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 10 tahun ke atas. Penduduk tersebut terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah mereka yang bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan bukan angkatan kerja adalah mereka yang sedang bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh keuntungan paling sedikit satu jam berturut-turut selama seminggu yang lalu. Tabel 10 Penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin di Kota Palopo tahun 2012 Golongan Laki-laki Perempuan Jumlah Seks Rasio Persentase Umur (orang) (orang) (orang) (%) 0 – 14 23 652 22 375 46 027 105.71 30.14 15 – 64 48 853 52 053 100 906 93.85 66.08 65 + 2 365 3 405 5 770 69.46 3.78 Jumlah 74 870 77 833 152 703 96.19 100.00 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Polopo Tahun 2013
Tabel 11 menggambarkan hasil rekapitulasi pencari kerja oleh dinas sosial dan tenaga kerja Kota Palopo, dari sana diketahui bahwa pada keadaan akhir tahun 2012 jumlah pencari kerja tercatat sebanyak 4 678 orang yang terdiri dari 2 103 laki-laki dan 2 575 orang perempuan. Bila diamati menurut waktu pendaftaran pencari kerja ternyata dari 4 678 orang pencari kerja, diantaranya
46
tercatat sebanyak 3 710 orang adalah pencari kerja pada tahun 2011 sisanya sebanyak 968 orang yang merupakan pencari kerja baru selama tahun 2012. Tabel 12 menunjukkan informasi mengenai pencari kerja yang telah berhasil ditempatkan menurut jenjang pendidikan. Dengan mencermati secara teliti keadaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pencari kerja yang telah ditempatkan dilihat dari sisi pendidikan ternyata potensi mereka cukup baik. Dikatakan demikian karena dari 338 orang pencari kerja yang telah berhasil ditempatkan tercatat sekitar 1.69 persen berpendidikan S1 ke atas; 0.56 persen berlatar belakang pendidikan Sarjana Muda/D3; 33.71 persen berpendidikan SLTA Kejuruan dan DI/D2; 64.04 persen berpendidikan SLTA Umum. Ini adalah suatu indikasi yang cukup membanggakan dan menjanjikan jika mereka diberdayakan sesuai dengan bidang atau keterampilan sesuai latar belakang pendidikan mereka. Berikut pada Tabel 13 menunjukkan informasi mengenai pencari kerja yang belum ditempatkan menurut jenjang pendidikan. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa pencari kerja yang belum ditempatkan dilihat dari sisi pendidikan ternyata juga memiliki potensi atau kualitas yang cukup baik. Hal ini terlihat dari tingkat pendidikan pencari kerja tersebut yang sebanyak 20.50 persen sarjana, 11.17 persen Sarjana Muda/D3/Akte 3, 12.17 persen SLTA Kejuruan,D1/D2, 55.78 persen SLTA Umum, 0.29 persen SLTP Umum, dan hanya 0.10 persen SD/sederajat. Tabel 11 Kumulatif pendaftar pencari kerja di Kota Palopo tahun 2012 Uraian Sisa Pencari Kerja 2011 Pencari Kerja Baru 2012 Jumlah Penempatan Penghapusan Pencari Kerja Sisa Pencari Kerja yang belum Ditempatkan Akhir Tahun 2012
Laki-laki Jumlah % 1 698 80.74 405 19.26 2 103 100.00 97 131
Perempuan Jumlah % 2 012 78.14 563 21.86 2 575 100.00 81 188
1 875
2 306
Jumlah Jumlah 3 710 968 4 678 178 319
% 79.31 20.69 100
4 181
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Polopo Tahun 2013
Tabel 12 Jumlah pencari kerja yang ditempatkan menurut tingkat pendidikan di Kota Palopo tahun 2012 Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase (orang) (orang) (orang) (%) Tamat SD dan Sederajat SLTP Umum SLTA Umum 53 61 114 64.04 SLTA Kejuruan,D1/D2 42 18 60 33.71 Sarjana Muda/D3/Akte 3 1 1 0.56 Sarjana 1 2 3 1.69 JUMLAH 97 81 178 100.00 Tahun 2011 221 117 338 100.00 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Polopo Tahun 2013
47
Tabel 13
Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan menurut tingkat pendidikan di Kota Palopo tahun 2012 Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase (orang) (orang) (orang) (%) Tamat SD dan Sederajat 4 4 0.10 SLTP Umum 8 4 12 0.29 SLTA Umum 1 070 1 254 2 332 55.78 SLTA Kejuruan,D1/D2 286 223 509 12.17 Sarjana Muda/D3/Akte 3 106 361 467 11.17 Sarjana 393 464 857 20.50 JUMLAH 1 875 2 306 4 181 100.00 Tahun 2011 1 698 2 012 3 710 100.00 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Polopo Tahun 2013
Tabel 14 Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan menurut keahlian Utama di Kota Palopo tahun 2012 No. Keahlian Utama Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase (orang) (orang) (orang) (%) 1 Tenaga Profesional, 431 664 1 095 26.19 Teknisi 2 Tenaga Kepemimpinan 203 14 217 5.19 dan Ketatalaksanaan 3 Tenaga Tata Usaha dan 1 094 1 537 2 631 62.93 Tenaga yang berhubungan 4 Tenaga Usaha Penjualan 11 16 27 0.65 5 Tenaga Usaha Jasa 13 18 31 0.74 6 Tenaga Usaha Pertanian, 42 28 70 1.67 Peternakan, Kehutanan, Perkebunan dan Perikanan 7 Tenaga Produksi, 81 29 110 2.63 Operator dan Buruh Kasar JUMLAH 1 875 2 306 4 181 100 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Polopo Tahun 2013
Pengadaan industri sangat besar manfaatnya dalam penyerapan tenaga kerja. Utamanya untuk kebutuhan tenaga produksi dan buruh kasar. Menurut Syahruddin (2010), pengembangan kawasan industri akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Melalui pertumbuhan ekonomi satu persen saja dapat menyerap tenaga kerja sekitar seratus ribu orang (Soeling 2007). Mengacu pada Tabel 14 di atas, diketahui bahwa total pencari kerja di Kota Palopo adalah 4 181 orang. Lebih rinci terdapat 70 orang tenaga usaha pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Suatu industri akan sangat membutuhkan banyak tenaga produksi dan buruh kasar. Kota Palopo sendiri memiliki 110 orang tenaga produksi, operator dan buruh kasar. Oleh karena itu disimpulkan bahwa industri yang dapat berdiri di Kota Palopo yakni industri skala rumah tangga, kecil dan sedang. Kebutuhan akan tenaga professional dan teknisi juga dapat terpenuhi dengan melihat banyaknya jumlah tenaga professional dan teknisi yakni 563 orang tetapi tidak dijelaskan menurut bidangnya. Tenaga kepemimpinan dan
48
ketatalaksaaan berjumlah 217 orang yang berpotensi untuk menduduki jabatan tersebut. Gambaran di atas mengindikasikan bahwa kebutuhan akan tenaga kerja untuk industri pengolahan ikan skala rumah tangga, kecil hingga sedang dapat dipenuhi secara kuantitatif. Oleh karena sebagian pencari kerja tersebut tidak dikelompokkan berdasarkan bidangnya masing-masing maka secara kualitatif kebutuhan akan tenaga kerja tidak dapat dipastikan. Namun demikian, berdasarkan tingkat pendidikan pencarai kerja Kota Palopo dapat disimpulkan bahwa kualitas SDM cukup baik. Peningkatan keterampilan SDM di bidang perikanan pascatangkap (pengolahan) dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan, pendampingan serta konsultasi. Jadi secara keseluruhan kebutuhan akan SDM yang tepat dan mumpuni telah tersedia di Kota Palopo, namun mendatangkan tenaga kerja dari luar Kota Palopo masih tetap bisa dilakukan khususnya untuk tenaga professional dan teknisi jika diketahui bahwa tidak ada tenaga professional dan teknisi di bidang pengolahan hasil perikanan. Oleh karena itu, perlu dibangun pusat pelatihan perikanan (pengolahan, penangkapan ikan, dan pemasaran) setingkat diploma di Kota Palopo sebagai upaya pemenuhan dan pengembangan kualitas SDM.
Strategi Pengembangan Industri Pengolahan Ikan di Kota Palopo Karakteristik dan potensi daerah Kota Palopo telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Langkah berikut yang harus dilakukan ialah mengetahui sejauhmana karakteristik dan potensi tersebut dapat dimanfaatkan dan dikelola menjadi suatu strategi yang dapat mengambangkan industri perikanan pasca tangkap di Kota Palopo. Penentuan strategi ini menggunakan analisis SWOT yang mempertimbangkan faktor lingkungan internal strength dan weaknesses serta lingkungan eksternal opportunities dan threats yang dihadapi. Tahap pertama pembuatan analisis SWOT adalah tahap evaluasi faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal kajian pendirian industri pengolahan ini secara detail telah dijelaskan pada subbab gambaran produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo dan identifikasi potensi daerah Kota Palopo. Pada subbab tersebut digambarkan tentang kondisi Kota Palopo secara umum dan sektor perikanan tangkap secara khusus. Berdasarkan hal tersebut, maka kekuatan (strength) dan kelemahan (weak) dapat teridentifikasi. Faktor internal terdiri dari kekuatan dan kelemahan. Kekuatan mencakup: 1. Trend volume produksi ikan terus meningkat. Peningkatan produksi ikan seperti yang telah dijelaskan pada bab gambaran produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo. Peningkatan signifikan terjadi pada empat tahun terakhir. Estimasi daya serap pasar lokal untuk ikan segar juga dilakukan dan diketahui pada tahun 2012 terdapat sisa 4 757.61 ton ikan yang dapat menjadi bahan baku industri pengolahan ikan. 2. Lokasi pendirian industri telah tersedia dan letaknya strategis. Pada bab identifikasi daerah, disimpulkan bahwa lokasi yang cocok untuk pengembangan industri perikanan/pengolahan ikan adalah di pelabuhan perikanan. Oleh karena itu, lokasi yang sesuai untuk pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo adalah di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap.
49
3.
Fasilitas pendukung kegiatan industri perikanan pascatangkap (termasuk pengolahan) tersedia. PPI Pontap yang menjadi pusat kegiatan perikanan tangkap di Kota Palopo memiliki fasilitas yang cukup lengkap jika dibandingkan dengan PPI lain di Sulawesi Selatan, juga fasilitas untuk menunjang kegiatan pengolahan ikan seperti: gedung pengolahan ikan, chilling room, pabrik es, dan gudang. 4. Tingkat aksesibilitas lokal tinggi. Hal ini telah dijelaskan pada sub bab identifikasi daerah, diketahui bahwa rencana sistem jaringan trasnportasi yang ada di Kota Palopo, terdiri atas sistem jaringan transportasi darat meliputi sistem jaringan jalan, dan sistem jaringan perkeretaapian, serta sistem jaringan transportasi laut. Kelemahan mencakup: 1. Volume produksi hasil tangkapan ikan nelayan lokal sangat sedikit dibandingkan produksi yang datang dari luar Kota Palopo. Pada sub bab gambaran produksi hasil tangkapan ikan dijelaskan bahwa produksi ikan Kota Palopo tidak hanya berasal dari nelayan lokal Kota Palopo tetapi juga berasal dari luar Kota Palopo. Pada sub bab tersebut diketahui bahwa volume produksi hasil tangkapan nelayan lokal yang melakukan aktivitas di PPI Pontap lebih sedikit dibandingkan produksi hasil tangkapan yang datang dari luar Kota Palopo. 2. Kurangnya modal. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa salah satu kendala tidak berkembangnya kegiatan pengolahan ikan di Kota Palopo adalah kurangnya modal. 3. Keterampilan sumber daya manusia dibidang pengolahan ikan masih kurang. Selain kendala modal yang kurang, keterampilan masyarakat Kota Palopo tentang proses pengolahan ikan juga kurang. Berdasarkan wawancara diketahui pada tahun 2012, program pelatihan keterampilan penanganan pascatangkap (termasuk pengolahan ikan) telah dilakukan oleh pegawai dinas Kelautan dan Perikanan Kota Palopo. Namun pelatihan ini baru dilakukan pada beberapa kelompok masyarakat pesisir, sebagai percontohan. Saat penelitian berlangsung terdapat 8 kelompok pengolah ikan yang dibina oleh DKP Kota Palopo. Faktor eksternal yang terdiri dari peluang dan ancaman. Peluang mencakup: 1. Pasar lokal dan nasional besar dengan melihat pertumbuhan/perkembangan penduduk yang semakin pesat. Pembahasan faktor ini lebih rinci telah dijelaskan sebelumnya pada sub bab identifikasi daerah bagian daya serap pasar. Kota Palopo berkembang setiap tahun, yang diperlihatkan oleh pertumbuhan penduduk dan ekonominya. Tidak hanya Kota Palopo, secara nasional Indonesia juga mengalami pertambahan penduduk, yang mengindikasikan peningkatan kebutuhan pangan nasional. Hal tersebut menjadi indikator akan permintaan suatu produk. 2. Adanya dukungan pemerintah lokal (pemerintah daerah Kota Palopo). Sistem perencanaan wilayah Kota Palopo mengarah pada pengembangan kota indutri. Hal ini terlihat dari arah kebijakan dan rencana tata ruang Kota Palopo yang telah dijelaskan pada sub bab identifikasi daerah. Dukungan pemerintah daerah terlihat dengan penyediaan suatu Kawasan Industri Palopo
50
(KIPA) dan perbaikan serta peningkatan fungsi kawasan PPI Pontap dan pelabuhan niaga Tanjung Ringgit. 3. Adanya dukungan pemerintah nasional melalui kebijakan gemar makan ikan dan meningkatnya nilai investasi bidang pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yakni mencapai Rp 2.067 triliun (Ditjen P2HP 2013). 4. Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Pontap merupakan daerah pendistribusian dan pemasaran ikan segar yang paling sering disinggahi oleh nelayan dan pedagang ikan di Sulawesi Selatan. Pada bab gambaran produksi hasil tangkapan di Kota Palopo, telah dijelaskan secara rinci bahwa hasil tangkapan ikan di Kota Palopo juga datang dari luar Kota Palopo seperti: Bulukumba, Makassar, Pare-pare, Bone, Sinjai, Palu, Ponrang, dan Kendari. 5. Adanya dukungan masyarakat sekitar akan pendirian industri untuk meningkatkan lapangan pekerjaan. Faktor ini diketahui berdasarkan hasil wawancara. Berbagai alasan masyarakat mendukung adanya pengembangan industri pengolahan adalah untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yakni dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru, serta untuk memanfaatkan produksi ikan yang tidak habis terjual segar. Ancaman mencakup: 1. Adanya pola musim penangkapan yang mempengaruhi fluktuasi volume produksi ikan setiap bulan. Kontinuitas bahan baku (ikan) menjadi kriteria yang menjadi pertimbangan pendirian suatu industri. Pada sub bab gambaran kondisi produksi hasil tangkapan diketahui bahwa pola pendaratan hasil tangkapan ikan nelayan lokal berfluktuatif setiap bulan, yang dipengaruhi oleh faktor musim. Musim puncak ikan berada pada bulan Januari, Februari, Maret, September, Oktober dan November. Musim Paceklik berada pada bulan April, Mei, Juni, Juli dan Agustus. Hal ini dapat mempengaruhi kontinuitas bahan baki (ikan). 2. Budaya konsumsi ikan masyarakat Sulawesi Selatan adalah mengkonsumsi ikan segar. Budaya konsumsi masyarakat dapat menentukan jenis produk yang diminta. 3. Kemungkinan pencemaran lingkungan. Sebagaimana pendirian industri pada umumnya, pencemaran lingkungan oleh limbah industri menjadi pertimbangan pemerintah dan masyarakat setempat untuk pendirian suatu industri. Tahap kedua yaitu pembuatan tabel internal eksternal dan matriks SWOT. Pada tabel internal eksternal dilakukan penyusunan terhadap semua faktor-faktor menjadi faktor internal dan eksternal serta pemberian bobot dan rating (Tabel 15 dan 16). Strategi yang tepat dipilih berdasarkan posisi kuadran yang diperoleh dari nilai total pembobotan untuk masing-masing faktor internal dan eksternal untuk kemudian dilakukan pembuatan matriks SWOT yang akan menjelaskan alternatif strategi yang dapat dilakukan (Gambar 19). Hasil Evaluasi Faktor Internal (EFI) memperlihatkan total skor yang diperoleh sebesar 2.680 dan Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) sebesar 2.983 yang menyimpulkan bahwa konsep ini memiliki respon yang baik terhadap berbagai kondisi lingkungannya yang ada saat ini (Tabel 15 dan 16). Berdasarkan hasil analisis IFE menunjukkan faktor kekuatan (Strengths) memiliki nilai lebih besar yaitu 2.002 dibanding dengan nilai faktor kelemahan (Weakness) yang bernilai 0.678. Hal ini dapat diartikan bahwa kekuatan yang dimiliki dapat
51
memaksimalkan faktor kekuatan untuk meminimalkan faktor-faktor kelemahannnya. Faktor pengembangan strategi berdasarkan perhitungan dari nilai skoring faktor internal ialah pengurangan antara faktor kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakness) yaitu 2.002 – 0.678 = 1.324 dijadikan titik koordinat pada sumbu X. Berdasarkan hasil analisis EFE menunjukkan faktor peluang (Opportunities) memiliki nilai lebih besar yaitu 2.457, dibanding dengan nilai faktor ancaman (Threaths) yang bernilai 0.526. Hal ini dapat diartikan bahwa peluang yang dimiliki dapat memanfaatkan faktor peluang yang ada untuk mengatasi faktor ancaman. Faktor pengembangan strategi berdasarkan perhitungan dari nilai rating faktor eksternal ialah pengurangan antara faktor peluang (Opportunities) dan ancaman (Threaths) yaitu 2.457-0.526 = 1.931 yang dijadikan sebagai sumbu Y. Hasil kualitatif antara faktor internal dan faktor eksternal akan diformulasikan pada diagram SWOT agar dapat diketahui letak kuadrannya. Setelah nilai tertimbang dijabarkan dalam diagram maka diketahui bahwa konsep berada pada posisi kuadran I atau strategi agresif (Gambar 18). Analisis dilanjutkan dengan pengambilan keputusan atau perumusan strategi. Beberapa alternatif strategi yang ditawarkan disajikan pada Gambar 19. Oleh karena posisi konsep berada pada kuadran I atau strategi agresif maka strateri yang dipilih adalah strategi stenght-opportunity (SO). Tabel 15 Evaluasi Faktor Internal (EFI) Uraian Faktor-faktor Internal Kekuatan 1. Trend volume produksi terus meningkat 2. Lokasi pendirian industri telah tersedia dan letaknya strategis 3. Fasilitas pendukung kegiatan industri perikanan pascatangkap (termasuk pengolahan) tersedia seperti gedung pengolahan ikan, chilling room, pabrik es, dan gudang. 4. Tingkat aksesibilitas lokal tinggi Kelemahan 1. Volume produksi hasil tangkapan ikan nelayan lokal sangat sedikit dibandingkan produksi yang datang dari luar Kota Palopo 2. Kurangnya modal 3. Keterampilan sumber daya manusia di bidang pengolahan ikan masih kurang Total skor faktor kekuatan – kelemahan
Bobot
Rating
Skor
0.167 0.155
4 3
0.668 0.465
0.083
3
0.249
0.155
4
0.620
0.107
2
0.214
0.202 0.131
1 2
0.202 0.262
1.00
2.680
52
Tabel 16 Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Uraian Faktor-faktor Eksternal Peluang 1. Pasar lokal dan nasional masih sangat besar 2. Adanya dukungan pemerintah lokal dengan penyediaan suatu Kawasan Industri Palopo (KIPA) dan perbaikan serta peningkatan kawasan PPI Pontap dan pelabuhan niaga Tanjung Ringgit 3. Adanya dukungan pemerintah nasional melalui kebijakan gemar makan ikan dan peningkatan modal investasi untuk industri di bidang perikanan 4. PPI Pontap merupakan daerah pendistribusian dan pemasaran ikan segar yang paling sering disinggahi oleh nelayan dan pedagang ikan Sulawesi Selatan 5. Adanya dukungan masyarakat sekitar akan pendirian industri untuk meningkatkan lapangan pekerjaan Ancaman 1. Adanya pola musim penangkapan yang mempengaruhi fluktuasi volume produksi ikan setiap bulan 2. Budaya konsumsi ikan masyarakat Kota Palopo dan Sulawesi Selatan adalah mengkonsumsi ikan segar 3. Kemungkinan pencemaran lingkungan Total skor faktor peluang – ancaman
Bobot
Rating
Skor
0.143
4
0.572
0.152
4
0.608
0.080
3
0.240
0.152
4
0.608
0.143
3
0.429
0.134
1
0.134
0.080
2
0.160
0.116 1.00
2
0.232 2.983
Peluang 1.32; 1.93 III
I
Kelemahan
Kekuatan
IV
II Ancaman
Gambar 18 Posisi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo
53
Kelemahan (W) Kekuatan (S) 1. Trend volume produksi 1. Volume produksi yang terus meningkat hasil tangkapan ikan Internal 2. Lokasi pendirian nelayan lokal lebih industri telah tersedia sedikit dibandingkan dan letaknya strategis produksi yang datang 3. fasilitas pendukung dari luar Kota Palopo kegiatan industri 2. Kurangnya modal pengolahan ikan 3. Keterampilan sumber tersedia seperti daya manusia di gedung pengolahan bidang pengolahan Eksternal ikan, chilling room, ikan masih kurang pabrik es, dan gudang. 4. Tingkat aksesibilitas lokal tinggi. Peluang (O) SO WO 1. Pasar lokal dan nasional sangat 1. Penguatan dan 1. Meningkatkan daya besar pengembangan saing volume 2. Dukungan pemerintah lokal kelompok pengolah produksi hasil dengan arah kebijakan ikan terpadu tangkapan ikan pengembangan kota industri dan masyarakat pesisir nelayan lokal Kota perbaikan serta peningkatan 2. Memanfaatkan dan Palopo kawasan PPI Pontap dan memelihara fasilitas 2. Melakukan promosi pelabuhan niaga Tanjung penanganan hasil kepada investor Ringgit tangkapan yang 3. Meningkatkan 3. Dukungan pemerintah nasional tersedia pengetahuan dan melalui kebijakan gemar makan 3. Mengembangkan keterampilan ikan dan peningkatan modal jangkauan pasar masyarakat dalam investasi untuk industri di terutama produk bidang perikanan bidang perikanan olahan ikan khususnya di bidang 4. PPI Pontap merupakan daerah 4. Mempermudah akses pengolahan ikan pendistribusian dan pemasaran administrasi industri ikan segar yang paling sering pengolahan ikan di disinggahi oleh nelayan dan daerah pedagang ikan Sulawesi Selatan 5. Dukungan masyarakat sekitar akan pendirian industri untuk meningkatkan lapangan pekerjaan Ancaman (T) ST WT 1. Adanya pola musim 1. Menjalin kerjasama 1. Melakukan penangkapan yang dengan nelayan dan pembinaan kepada mempengaruhi fluktuasi volume pedagang di nelayan dan produksi ikan setiap bulan pangkalan pendaratan masyarakat 2. Budaya konsumsi ikan ikan daerah lain guna masyarakat Kota Palopo dan mendukung suplai Sulawesi Selatan adalah bahan baku (ikan) mengkonsumsi ikan segar 2. Melakukan kerja sama 3. Kemungkinan pencemaran dengan nelayan dan lingkungan masyarakat setempat
Gambar 19 Matriks SWOT kajian pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo
54
Alternatif strategi yang ditawarkan setelah melakukan analisis SWOT diantaranya: Strenght – Opportunity (SO) 1. Penguatan dan pengembangan kelompok pengolah ikan terpadu masyarakat pesisir. Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor kekuatan internal nomor 1 dan peluang eksternal nomor 2 dan 5. Langkah awal penerapan strategi ini dapat dilakukan dengan arahan atau bimbingan instansi yang kompeten di bidang pengolahan hasil perikanan. Oleh karena permasalahan utama adalah modal, maka prinsip penguatan dan pengembangan kelompok ini adalah untuk meminimalisir kebutuhan modal. Penguatan dilakukan pada manajemen kelompok pengolah ikan yang telah berdiri, sedangkan pengembangan dilakukan dengan membentuk kelompok pengolah ikan baru. Kelompok dibentuk dari anggota keluarga nelayan agar dapat sekaligus membantu perekonomian keluarga. Kelompok dapat dibentuk berdasarkan daerah tempat tinggal atau pun jenis alat tangkap. Pemukiman nelayan di Kota Palopo sebagian besar terkonsentrasi pada satu daerah menurut jenis alat tangkap yang dioperasikannya. 2. Memanfaatkan, memelihara dan meningkatkan fungsi fasilitas penanganan hasil tangkapan yang tersedia seperti chilling room, pabrik es, dan gedung pengolahan ikan. Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor kekuatan internal nomor 1 dan 3 serta peluang nomor 1. Penerapan strategi ini utamanya bertujuan untuk menjaga mutu hasil tangkapan yang tidak habis terjual saat musim puncak. Oleh karena itu perhatian difokuskan pada PPI Pontap sebagai tempat penanganan bahan baku (ikan). Menurut Lubis (2011), pelabuhan perikanan sebagai pusat aktivitas ekonomi perikanan tangkap di Indonesia kondisinya masih sangat terbatas. Kondisi ini menjadi penyebab sulitnya mengharapkan investor domestik dan asing untuk berinvestasi. Strategi ini sangat baik diaplikasikan guna menjadikan PPI Pontap sebagai pusat kegiatan perikanan terpadu. Seperti yang terjadi di PPN Pengambengan yang melakukan revitalisasi, penyempurnaan, pemeliharaan dan pengembangan untuk dapat menjadi pusat kegiatan perikanan terpadu (Suherman 2011). 3. Mengembangkan jangkauan pasar terutama produk hasil olahan perikanan. Strategi ini memperhatikan faktor kekuatan internal nomor 4 dan peluang eksternal nomor 1 sampai 4. Pemasaran produk olahan ikan harus dilakukan dengan penanganan yang hati-hati untuk menjaga mutu produk olahan. Pengembangan pemasaran perlu dilakukan secara terus menerus. Walaupun demikian, pemasaran atau pendistribusian produk olahan bisa dilakukan dalam waktu lebih lama bila dibandingkan pemasaran/pendistribusian ikan segar karena mutu produk tidak akan menurun dalam jangka waktu yang singkat. Manajemen pemasaran yang baik termasuk memperkuat akses informasi pasar perlu dilakukan untuk memperluas jangkauan pasar.
55
4. Mempermudah akses administrasi pendirian indutri pengolahan ikan di daerah. Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor kekuatan internal untuk mengambil peluang nomor 2 sampai 5. Langkah penerapan strategi ini dengan menerapkan tata pengelolaan yang baik (good governance) guna membentuk birokrasi yang lebih profesional dan berkinerja tinggi. Diharapkan seluruh proses dalam upaya pengembangan industri yang dilakukan saling berkaitan antara kegiatan sebelumya dengan rencana selanjutnya atau antara kegiatan yang satu dengan kegiatan lainnya dalam suatu rangkaian tahapan yang saling terintegrasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward III (1980) dalam Syahruddin (2010) bahwa suatu implementasi kebijakan akan efektif dan berdayaguna apabila perintah pelaksanaannya konsisten. Sehingga perlu adanya dukungan dari berbagai lembaga. Seperti kasus yang terjadi di PPN Untia Makassar yang perlu adanya dukungan dari berbagai lembaga dalam proses percepatan pembangunannya (Danial et al. 2011). Strenght – Treath (ST) 5. Menjalin kerjasama dengan nelayan dan pedagang di pangkalan pendaratan ikan daerah lain guna mendukung suplai bahan baku (ikan). Strategi ini dirumuskan untuk meminimalisir faktor kelemahan internal nomor 1 guna menangkap peluang eksternal. Kerjasama yang ditawarkan berupa kesediaan untuk menyediakan pasokan bahan baku (ikan) jika di Kota Palopo sedang musim paceklik. Kerjasama ini akan bersifat saling menguntungkan karena dengan hal ini harga ikan di daerah yang bersangkutan juga akan stabil. Mahyuddin (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa PPN Palabuhanratu menyuplai ikan-ikan seperti peperek, tembang dan tongkol dari daerah-daerah Pantura Jawa. Ikan-ikan tersebut dijadikan sebagai bahan baku industri pengolahan pemindangan. Hal ini dilakukan karena terkait harga dan mutu ikan yang lebih baik serta suplai yang ditawarkan dalam jumlah besar sehingga biaya transportasi per kilogramnya relatif kecil. Demikian juga yang dikemukakan oleh Lubis et al. (2013), bahwa PPP Muncar juga mendatangkan pasokan bahan baku industri dari luar daerah seperti Grajagan, Tuban dan Puger. 6. Menjalin kerjasama dengan nelayan dan masyarakat pesisir setempat Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor kekuatan seluruh faktor internal untuk menangkap peluang eksternal. Langkah penerapan strategi ini dengan mengaktifkan kelompok nelayan, koperasi nelayan, dan lembaga masyarakat pesisir (seperti LSM) agar tercipta lingkungan yang saling mendukung sehingga kinerja bidang perikanan menjadi lebih baik. Lembagalembaga non-pemeritah ini dapat membantu untuk memulai dan mengembangkan industri kecil. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi dalam penelitian yang dilakukan oleh Resi et.al. (2009), menyatakan bahwa lembaga swadaya masyarakat Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan (LSM LPIP) sukses bekerja sama dengan pemerintah daerah Banyuwangi dalam memberdayakan masyarakat pesisir. Hingga saat ini, lembaga non-pemerintah dibidang perikanan tangkap yang aktif di Kota Palopo hanya kelompok nelayan saja. Oleh karena itu, perlu upaya pengaktifan lembaga lainnya.
56
Weak – Opportunity (WO) 7. Meningkatkan daya saing volume produksi hasil tangkapan ikan nelayan lokal Kota Palopo di PPI Pontap. Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor kelemahan internal nomor 1 untuk menangkap peluang yang lebih jauh ke depan dan agar dapat menjaga stabilitas ketersediaan bahan baku (ikan), walaupun ketersediaan bahan baku ikan untuk industri dapat disuplai dari luar Kota Palopo. Peningkatan daya saing volume produksi hasil tangkapan nelayan lokal Kota Palopo di PPI Pontap juga berarti dapat meningkatkan daya saing industri pengolahan di kota ini, mengingat mutu hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Pontap sebagian besarnya adalah bermutu prima karena fishing trip-nya satu hari. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas faktor-faktor produksi perikanan, dalam hal ini khususnya bidang perikanan tangkap seperti peningkatan jumlah armada penangkapan ikan, modernisasi armada penangkapan ikan agar jangkauan fishing ground dan kapasitas meningkat, serta penyedian fasilitas pendukung kegiatan penangkapan ikan seperti peningkatan kapasitas es, SPBN, dan tempat perbaikan kapal dan jaring (yang diketahui saat ini masih tidak mencukupi) di PPI Pontap. 8. Melakukan promosi kepada investor-investor dan pengelolaan modal usaha. Strategi ini dirumuskan untuk meminimalisir faktor kelemahan internal nomor 2 guna menangkap peluang eksternal. Langkah strategi yang dilakukan tidak hanya dilakukan dengan sekedar menawarkan kemudahan-kemudahan. Promosi investasi di masa depan harus dilakukan dengan memberikan keyakinan yang bersifat struktural. Dengan kata lain, harus meyakinkan calon investor akan kecilnya resiko jika mereka melakukan investasi. Pemerintah daerah Kota Palopo harus berupaya memperkecil resiko usaha yang bersumber dari kondisi politik, keamanan, sosial, ketidakpastian hukum termasuk peraturan investasi dan bisnis, pelayanan birokrasi dan seterusnya. Langkah lain yang dilakukan adalah pengelolaan modal usaha. Soejono (2008) dalam penelitiannya di Kecamatan Puger Kabupaten Jember, menyatakan perlunya pengelolaan modal usaha, melalui (a) memperoleh kemudahan untuk mengakses modal dari lembaga keuangan; (b) penerapan manajemen keuangan; dan (c) mengurangi ketergantungan terhadap lembaga keuangan yang “menekan” pengusaha; (4) rekayasa kelembagaan, melalui pengembangan industri-industri penunjang kegiatan agroindustri berbasis perikanan laut, misal industri es, kemasan, dan bahan baku penunjang lainnya. 9. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam bidang perikanan khususnya di bidang pengolahan ikan. Strategi ini dirumuskan untuk meminimalisir faktor kelemahan internal nomor 3 guna menangkap peluang eksternal. Hal ini dapat direalisasikan dengan memberikan beasiswa kepada putra daerah untuk sekolah di jurusan perikanan dan memberikan pelatihan-pelatihan keterampilan, pendampingan dan konsultasi dalam bidang perikanan khususnya bidang pengolahan ikan kepada masyarakat pesisir.
57
Weak – Treath (WT) 10. Melakukan pembinaan kepada nelayan dan masyarakat Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor internal kelemahan dan faktor eksternal ancaman. Dengan semua kelemahan dan ancaman yang ada maka strategi ini yang paling utama dilakukan. Langkah penerapannya yaitu dengan melakukan penyuluhan kepada para nelayan dan sosialisasi manfaat dan pentingnya industri pengolahan ikan kepada masyarakat. Posisi Konsep yang berada pada kuadran I, menunjukkan bahwa prioritas strategi yang sebaiknya diambil adalah strategi Strengh-Opportunity (SO), meskipun demikian, alternatif strategi lainnya juga dapat diambil. Oleh karena itu, strategi yang menjadi pilihan adalah keseluruhan dari strategi StrenghOpportunity (SO) dan salah satu strategi Weak-Opportunity (WO) yang dianggap penting untuk mendukung pengembangan industri pengolahan ikan, yaitu meningkatkan daya saing volume produksi hasil tangkapan ikan nelayan lokal Kota Palopo di PPI Pontap. Pilihan strategi ini mempertimbangkan kontinuitas bahan baku industri yang sebagian besar bergantung pada suplai bahan baku dari luar Kota Palopo sehingga dianggap sangat beresiko terhadap kelangsungan usaha industri pengolahan ikan. Faktor internal eksternal lingkungan yang mempengaruhi, memperlihatkan posisi konsep yang menganjurkan dilakukannya strategi agresif, diketahui bahwa sebagian besar fokusnya berada pada aspek sumberdaya manusia. Peningkatan SDM dalam bidang manajerial akan mengoptimalkan pengaplikasian setiap strategi. Oleh sebab itu, untuk aspek SDM perlu dilakukan peningkatan pengetahuan manajemen berbasis perikanan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, pendampingan, dan konsultasi. Alternatif strategi yang ditawarkan dari hasil analisis menunjukkan pentingnya peran pemerintah daerah dan lembaga non-pemerintah (dalam hal ini adalah koperasi, kelompok nelayan, lembaga masyarakat lainnya atau LSM) dalam upaya pengembangan. Kekuatan-kekuatan yang dimiliki yang belum dioptimalkan, kelemahan-kelemahan yang harus dikurangi bahkan dihilangkan, peluang-peluang yang harus diambil, serta ancaman-ancaman yang harus diatasi, menunjukkan bahwa perlu kerjasama dari seluruh stakeholders untuk menghadapinya. Pemerintah daerah sebagai salah satu stakeholder hingga saat ini telah menjalankan perannya dengan melakukan pembangunan dan penyediaan fasilitas yang dibutuhkan oleh nelayan, pengawasan terhadap pemanfaatan fasilitas dan kelancaran kegiatan praproduksi penangkapan dan pascatangkap, serta melakukan pembinaan kepada kelompok-kelompok nelayan dan masyarakat pesisir dalam upaya mengoptimalkan kinerja mereka. Penerimaan yang baik terhadap upaya pemerintah daerah diperlihatkan oleh nelayan dan masyarakat pesisir dengan mengikuti setiap arahan yang diberikan. Namun hal tersebut belum cukup mengingat banyaknya kegiatan yang harus dilakukan. Oleh karena itu, perlu pengaktifan lembaga non-pemerintah dalam upaya mengoptimalkan pengembangan industri perikanan di Kota Palopo.
58
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan yang diperoleh diantaranya : 1) Produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo meningkat setiap tahun. Hasil tangkapan ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pontap tidak hanya berasal dari nelayan lokal (nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan di PPI Pontap) tetapi juga berasal dari luar Kota Palopo yakni dari Bulukumba, Makassar, Pare-pare, Bone, Sinjai, Palu, Ponrang, dan Kendari. Daya serap pasar lokal akan ikan segar tinggi, meskipun demikian berdasarkan hasil estimasi untuk tahun 2012 diketahui bahwa volume produksi ikan yang tersisa dan dapat dijadikan bahan baku industri pengolahan ikan adalah sebesar 4 757.61 ton per tahun. Jenis ikan dominan yang didaratkan di PPI Pontap diantaranya ikan kembung, layang, teri, peperek, cakalang, tongkol dan tembang. Jenis pengolahan tradisional yang umum di Kota Palopo yaitu pengasinan dan pengeringan. Produk olahan lain yang sudah dihasilkan diantaranya abon ikan, teri gurih, dendeng ikan, kerupuk ikan dan amplang. Pengolahan tradisional yang diharapkan dan berpotensi tumbuh ialah pemindangan dan pengasapan dan jenis pengolahan modern yang diharapkan dan berpotensi untuh tumbuh adalah pengalengan ikan. Musim tangkapan per jenis ikan yang dominan berfluktuatif, namun demikian secara keseluruhan hasil tangkapan ikan berada pada musim puncak di bulan Januari, Februari, Maret, September, Oktober dan November. Musim Paceklik berada pada bulan April, Mei, Juni, Juli dan Agustus. 2) Potensi daerah Kota Palopo berkaitan dengan pengembangan industri pengolahan ikan diperlihatkan dari: (1) adanya dukungan pemerintah daerah melalui arah kebijakan dan rencana tata ruang wilayah yang mengarah pada pengembangan industri. Tidak terkecuali untuk industri pengolahan ikan, mengingat perikanan merupakan salah satu subsektor unggulan daerah yang memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah regional bruto (PDRB) di Kota Palopo; (2) lokasi yang sesuai untuk dijadikan tempat pengembangan industri pengolah ikan adalah kawasan PPI Pontap, oleh sebab itu perlu dilakukan peningkatan status dari pangkalan pendaratan ikan (PPI) menjadi pelabuhan perikanan pantai (PPP) agar pengelolaan dan pengintegrasian aktivitas pengolahan/industri perikanan dapat dilakukan di pelabuhan perikanan tersebut; (3) daya serap pasar lokal akan produk pengolahan ikan memiliki peluang, yang terlihat dari semakin berkembangnya Kota Palopo. Selain itu, produk olahan perikanan sering menjadi oleh-oleh sehingga menjadi produk unggulan daerah. Produk olahan perikanan juga menjadi prospek yang bagus untuk pasar skala nasional karena sejalan dengan program ketahanan pangan nasional; dan (4) gambaran sumberdaya manusia Kota Palopo memperlihatkan bahwa dari segi tingkat pendidikan, kualitas SDM cukup baik. Berdasarkan jumlah pencari kerja yang ada di Kota Palopo diketahui bahwa kebutuhan tenaga kerja industri skala rumah tangga, kecil dan sedang dapat dipenuhi. 3) Strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang ditawarkan adalah: (1) penguatan dan pengembangan kelompok pengolah ikan terpadu masyarakat pesisir; (2) memanfaatkan dan memelihara fasilitas penanganan hasil
59
tangkapan yang tersedia seperti chilling room, pabrik es, dan gedung pengolahan ikan; (3) mengembangkan jangkauan pasar terutama produk olahan ikan; (4) mempermudah akses administrasi industri pengolahan ikan di daerah; dan (5) meningkatkan daya saing volume produksi hasil tangkapan ikan nelayan lokal Kota Palopo di PPI Pontap Saran : Perlu dilakukan promosi kepada investor berkaitan dengan potensi pengembangan industri pengolahan ikan yang dimiliki Kota Palopo, melalui pengembangan unit pengolahan ikan skala kecil. Namun demikian, kajian kelayakan yang detail perlu dilakukan. Selain itu perlu memberikan pelatihan keterampilan kepada pencari kerja atau masyarakat pesisir dalam bidang pengolahan ikan agar dapat memanfaatkan sumberdaya ikan yang tersedia.
60
DAFTAR PUSTAKA Abubakar M. 2002. Analisis Implementasi Rencana Strategis Pengelolaan sumberdaya Perikanan Pantai Provinsi Lampung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Agustini TW, Swastawati F. 2003. Pemanfaatan Hasil Perikanan Sebagai Produk Bernilai Tambah (Value-Added) dalam Upaya Penganekaragaman Pangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. XIV(1): 74-81. [BPS Kota Palopo] Badan Pusat Statistik Kota Palopo. 2013. Palopo Dalam Angka periode 2004-2013. Palopo (ID): BPS Danial, Haluan J, Mustaruddin, Darmawan. 2011. Model Pengembangan Industri Perikanan berbasis Pelabuhan Perikanan Di Kota Makassar Sul-Sel. Jurnal Ilmiah Forum Pascasarjana IPB Bogor. 34(2): 1-11. De Silva DAM, Yamao M. 2006. Regional preferences in the Japanese Seafood consumption: An empirical analysis of consumer purchasing behavior on domestic versus imported seafood. Journal of the Regional Fisheries Society. 46(2): 83-104. [DKP Kota Palopo] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Palopo. 2013. Laporan Tahunan Produksi Hasil Tangkapan Periode 2003-2013. Palopo (ID): DKP. [DTRCK] Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo. 2012. Laporan Akhir Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palopo Tahun 2011-2031. Palopo (ID): DTRCK. [Ditjen P2HP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2013. Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Jakarta (ID): Ditjen P2HP. Frohlich MT, Westbrook R. 2001. Arch of Integration: an International Study of Supply Chain Strategies. Journal of Operation Management. 19: 185-200. Gasperz V. 1992. Analisis Sistem Terapan: Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri. Bandung (ID): Tarsito. 270 hlm. Harian Analisa. 2012. Akibat Kekuranga Es, Berton-ton Ikan Terbuang. Aceh (ID): [diunduh 2012 Nov 29]. Tersedia pada: http://www. analisadaily.com/ news/kanal/9/aceh/. Hatta L. 2007. Degradasi Sumberdaya Pesisir dan Kelautan Sulawesi Selatan. Di dalam: Pangkajene Kepulauan, Coral Reef Rehabilitation and Management Program [Internet]. Pangkajene (ID): [diunduh 2012 Des 12]. Tersedia pada: http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=34480. Lubis E. 2011. Kajian Peran Strategis Pelabuhan Perikanan terhadap Pengembangan Perikanan Laut. Akuatik (Jurnal Sumberdaya Perairan). 5(2): 1-7. Lubis E, Sumiati. 2011. Pengembangan Industri Pengolahan Ikan Ditinjau dari Produksi Hasil Tangkapan di PPN Palabuhanratu. Jurnal Marine Fisheries. 2(1): 39-49. Lubis E, Nugroho T, Witry SDB. 2013. Produksi Hasil Tangkapan Sebagai Bahan Baku Industri Pengolahan: Kasus Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar Kabupaten Banyuwangi. Buletin PSP. 21(1): 77-95.
61
Lumi KW, Mantjoro E, Wagiu M. 2013. Nilai Ekonomi Sumberdaya Perikanan di Sulawesi Utara (Studi Kasus Ikan Cakalang, Katsuwonus pelamis). Jurnal Ilmiah Platax. 1-2: 74-80. Mahyuddin B. 2007. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Tryptique Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mallawa A, Syafruddin, Palo M. 2010. Aspek Perikanan dan Pola Distribusi Ikan Cakalang (katsuwonus pelamis) di Perairan Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan). 20(1): 17 – 24. Nazdan, Setiawan B, Sukandar D. 2008. Analisis potensi dan pengelolaan perikanan dalam perspektif ketahanan pangan di wilayan perisir Kabupaten Lampung Barat. J Giz Pangan 3(3):149-155. Pane AB. 2013. Bahan Ajar Industri Kepelabuhanan Perikanan (IKP) Pada Mata Kuliah Kepelabuhanan dan Industri. Pascasarjana Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut. Laboratorium Hasil Tangkapan dan Manajemen Industri Kepelabuhanan, Bagian Keilmuan KPP. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ponco AA. 2012. Tidak Terjual, Ikan Dikubur Di Pasir. [diunduh 2012 Nov 29]. Tersedia pada: http://bisniskeuangan. kompas.com / read /2012/09/12/ 1316052/ Tidak.Terjual.Ikan.Dikubur.di.Pasir. Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Industri. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Resi A, Zauhar S, Ismail HP. 2009. Interaksi Birokrasi Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembangunan (Sinergi Birokrasi Pemerintah dengan Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan (LPIP) dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Muncar, Banyuwangi ). Jurnal Wacana.10(1): 54-77. Setiawan IA, Rahardian R. 2005. Pengaruh Pola Integrasi Supply Chain terhadap performa Perusahaan pada Industri Makanan di Surakarta. Jurnal Bisnis dan Manajemen. 5(1): 11-22. Soeharto I. 1997. Manajemen Proyek dari Konseptual Sampai Operasional. Jakarta (ID): Erlangga. Soejono D. 2008. Pola Pengembangan Agroindustri Berbasis Perikanan Laut di Kecamatan Puger Kabupaten Jember. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. 2(1):30-37. Soeling, PD. 2007. Pertumbuhan Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi. 15(1). Stanford RJ, Wiryawan B, Bengen DG, Febriamansyah R, Haluan J. 2013. Exploring Fisheries Dependency and Its Relationship to Poverty: A Case Study of West Sumatra, Indonesia. Jurnal Elsevier: Ocean and Coastal Management. 84(2013): 140-152. Suardi. 2005. Pengembangan Perikanan Tangkap Pelagis Kecil untuk Pemberdayaan Nelayan di Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suherman, A. 2011. Formulasi Strategi Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan Jembrana. Marine Fisheries Journal. 2(1): 87-99.
60 62
Syahruddin. 2010. Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Industri. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. 17(1): 31-43. Tambunan TTH. 2003. Perekonomian Indonesia, Beberapa Permasalahan Penting. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Tarigan R. 2009. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.
Lampiran 1 Peta RTRW Kota Palopo
63
64
Lampiran 2 Fasilitas di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap
a. Dermaga dan kolam pelabuhan
b. Tempat pelelangan ikan dan Kantor administrasi
c. Stasiun pengisian bahan bakar nelayan
65
Lanjutan lampiran 2
Pabrik es
Chilling room
d. Chilling room dan Pabrik es
e. Tempat perbaikan jaring
f. Gudang
66 64
Lanjutan lampiran 2
g. Pelataran tempat menjual ikan
h. Kios dan Kantin
i. Tempat menjual ikan
65 67
Lanjutan lampiran 2
j. Mushallah dan bak menara air
k. Balai pertemuan nelayan
l. Pos Jaga
68 64
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Belopa pada tanggal 19 Juni 1987 sebagai anak ke-dua dari pasangan Muchtar Basir dan Miswani. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2014.