POTENSI SUMBER DAYA LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI INDONESIA Anny Mulyani1, F. Agus1, dan David Allelorung2 1
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Jalan Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111
ABSTRAK Jarak pagar (Jatropha curcas L.) akhir-akhir ini menjadi komoditas primadona karena berpotensi sebagai penghasil bahan bakar nabati (BBN). Selain jarak pagar, BBN juga dapat diperoleh dari kelapa sawit, kelapa, biji kapas, canola, dan rapeseed (untuk biodiesel), serta ubi kayu, tebu, dan sagu (untuk bioetanol). Jarak pagar sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai tanaman obat dan penghasil minyak. Saat ini banyak masyarakat dan investor yang tertarik untuk mengembangkan jarak pagar sehingga perlu diinformasikan wilayah-wilayah yang potensial baik ditinjau dari segi biofisik lahan, iklim maupun lingkungan. Untuk maksud tersebut telah disusun peta kesesuaian lahan untuk jarak pagar pada skala eksplorasi (1:1.000.000) berdasarkan Peta Sumberdaya Lahan dan Arahan Tata Ruang Pertanian, serta Peta Sumberdaya Iklim skala 1:1.000.000. Hasil evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan bahwa lahan yang sesuai untuk jarak pagar seluas 49,50 juta ha. Lahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi kelas sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3) dengan luas berturut-turut 14,30 juta ha, 5,50 juta ha, dan 29,70 juta ha. Untuk perencanaan pengembangan jarak pagar skala nasional, hasil evaluasi tersebut perlu ditumpangtepatkan (overlay) dengan data spasial penggunaan lahan terkini, karena sebagian besar lahan yang sesuai tersebut sudah digunakan untuk komoditas lain atau untuk sektor nonpertanian. Potensi pengembangan jarak pagar yang paling besar adalah pada lahan yang sementara tidak diusahakan (lahan terlantar) yang luasnya mencapai 12,40 juta ha serta padang rumput 3,10 juta ha. Sekitar 1 juta ha lahan alang-alang yang tersebar di 13 provinsi telah diidentifikasi kesesuaiannya pada skala 1:50.000 untuk pengembangan pertanian. Informasi sumber daya lahan hasil identifikasi tersebut dapat digunakan untuk mempercepat delineasi lahan untuk tanaman jarak pagar pada skala yang lebih detail. Kata kunci: Jatropha curcas, sumber daya lahan, Indonesia
ABSTRACT Land resource potential for Jatropha curcas development in Indonesia Jatropha (Jatropha curcas L.) receives growing attention by communities because of its potential as source of biofuels. There are many plants that are potential for the production of biofuels, including oil palm, coconut, jatropha, kapok seeds, canola, and rapeseed (for biodiesel), and cassava, sugar cane, and sago (for bioethanol). Jatropha has long been known as a medicinal and oil producing plant. Recently, there are communities as well as investors interested in producing jatropha. As such, it is important to inform areas potentials for developing the plants, from the perspective of land suitability, climate, and environment. To meet that purpose, a map of jatropha suitability at 1:1,000,000 scale has been developed based on Land Resource Map, Agricultural Spatial Planning Map, as well as Climate Resource Map at 1:1,000,000 scale. The land suitability evaluation revealed that 49.50 million ha of land was suitable for jatropha. The suitability could be divided into highly suitable (S1), moderately suitable (S2), and marginally suitable (S3) with areas 14.30, 5.50, and 29.70 million ha, respectively. For the national level development planning, the jatropha suitability map should be overlaid with the recent land use map, because parts of the suitable lands have been used for other commodities or for non-agricultural uses. The most potential land for jatropha development seems to be located in the 12.40 million ha abandoned land and 3.10 million ha grassland. About 1 million ha of the Imperata grasslands distributed in 13 provinces have been identified for agricultural suitability at 1:50,000 scale. This land resource information could be used to accelerate the delineation of jatropha development areas at the more detail scale. Keywords: Jatropha curcas, land resources, Indonesia
I
ndonesia dengan luas daratan sekitar 188,20 juta ha memiliki sumber daya lahan (jenis tanah, bahan induk, fisiografi dan bentuk wilayah, ketinggian tempat dan iklim) yang sangat bervariasi. Kawasan barat umumnya beriklim basah dan 130
sebaliknya kawasan timur beriklim lebih kering. Keragaman karakteristik sumber daya lahan dan iklim ini merupakan potensi untuk memproduksi komoditas pertanian unggulan di masing-masing daerah sesuai dengan kondisi agroekosistemnya.
Data (informasi) sumber daya lahan sangat diperlukan untuk memberikan gambaran potensi sumber daya lahan dan kesesuaiannya untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian. Namun, data berupa peta atau informasi sumber daya Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
lahan dan iklim yang mencakup seluruh kawasan Indonesia baru tersedia pada skala eksplorasi (1:1.000.000), yang meliputi Atlas Sumberdaya Lahan (Tanah) Eksplorasi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 2000), Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2001), Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2002), dan Atlas Sumberdaya Iklim Indonesia (Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi 2003). Peta ini sangat bermanfaat untuk memberikan gambaran secara umum tentang potensi sumber daya lahan di Indonesia serta untuk mendukung perencanaan dan pembangunan pertanian secara nasional. Data yang lebih detail pada skala tinjau (skala 1:250.000) baru mencakup 60% dari seluruh wilayah Indonesia. Kawasan barat Indonesia (Sumatera dan Kalimantan) relatif lebih lengkap datanya dibandingkan kawasan timur. Peta pada skala tinjau ini bermanfaat untuk perencanaan dan pengembangan pertanian pada tingkat provinsi. Peta yang lebih detail yang bermanfaat untuk operasional di lapangan pada tingkat kabupaten atau kecamatan adalah pada skala semidetail atau tinjau mendalam (skala 1:50.000− 1:100.000). Data pada skala ini masih sangat terbatas (baru mencakup 15% dari luas daratan Indonesia) dan untuk luasan kecil dan terpencar-pencar. Berdasarkan hasil evaluasi karakteristik sumber daya lahan dan iklim, dari luas daratan Indonesia 188,20 juta ha, lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian seluas 100,80 juta ha, baik untuk lahan basah (sawah, perikanan air payau atau tambak) maupun lahan kering (tanaman pangan, tanaman tahunan/ perkebunan, dan padang penggembalaan ternak). Hasil evaluasi potensi sumber daya lahan tersebut dituangkan dalam Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2001). Seiring dengan gencarnya pengembangan jarak pagar sebagai sumber bahan bakar nabati (BBN), diperlukan informasi tentang kesesuaian lahan untuk tanaman tersebut. Selain jarak pagar, tanaman yang berpotensi sebagai penghasil BBN adalah kelapa sawit, kelapa, biji kapas, canola, dan rapeseed (untuk biodiesel), serta ubi kayu, tebu, dan sagu (untuk bioetanol). Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
Jarak pagar (Jatropha curcas L.) sudah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai tanaman obat dan penghasil minyak. Minyak jarak pagar dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar serta untuk bahan pembuatan sabun dan kosmetik. Jarak pagar merupakan tanaman yang tahan kekeringan, mampu tumbuh dengan cepat, serta dapat digunakan sebagai sumber kayu bakar, mereklamasi lahan yang tererosi, dan sebagai pagar hidup di pekarangan atau pembatas lahan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2006a). Penanaman jarak pagar untuk bahan baku minyak sebaiknya menggunakan bahan tanaman hasil pembibitan dari biji, karena tanaman dapat hidup lebih lama dan produksinya lebih tinggi daripada tanaman asal setek. Untuk tanaman pagar dan pencegah erosi dapat digunakan bahan tanaman yang ditanam langsung dari biji maupun setek (Mahmud et al. 2006). Saat ini telah terjadi demam bertanam jarak pagar di kalangan masyarakat (termasuk swasta dan BUMN) maupun pemerintah tanpa disertai perencanaan yang matang. Banyak yang beranggapan bahwa jarak pagar adalah tanaman “serba super” yang dapat ditanam di mana saja tanpa pemeliharaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika semua daerah memrogramkan pengembangan jarak pagar. Di satu sisi hal ini dapat memacu produksi biji jarak pagar, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan kekecewaan karena produktivitas tanaman tidak sesuai dengan yang diinginkan akibat kesalahan dalam pemilihan lokasi. Untuk diketahui, produktivitas tanaman dipengaruhi oleh potensi genetik, kondisi lingkungan, dan teknologi (manajemen) pengelolaan. Meskipun jarak pagar dikenal dapat tumbuh di daerah beriklim kering dan lahan marginal, tanaman tetap membutuhkan air dan hara yang cukup untuk dapat berproduksi secara optimal (David et al. 2006). Makalah ini menyajikan dukungan data dan informasi tentang kesesuaian lahan untuk pengembangan jarak pagar di Indonesia.
PENYEBARAN DAN SYARAT TUMBUH Penyebaran Jarak pagar diperkirakan berasal dari Amerika Tengah, khususnya Meksiko. Di daerah tersebut, tanaman tumbuh secara
alami di kawasan hutan pinggiran pantai. Di Afrika dan Asia, jarak pagar hanya ditemukan sebagai tanaman pagar atau pembatas lahan pertanian (Heyne 1950; Heller 1996 ). Jarak pagar menyebar di Malaka setelah tahun 1700-an dan di Filipina sebelum tahun 1750 (Heller 1996). Di Malaka, jarak pagar disebut sebagai Dutch castor oil dan di Jawa sebagai Chinese castor oil. Di Afrika dan Asia, jarak pagar disebut sebagai castor oil plant yang menunjukkan bahwa tanaman ini dibawa dari daerah lain dan ditanam untuk diambil minyaknya. Selanjutnya jarak pagar dikenal luas sebagai hedge castor oil plant yang menunjukkan bahwa tanaman ini biasanya ditanam di pagar-pagar (Heyne 1950; Heller 1996; Fundora et al. 2004). Penyebaran jarak pagar di Thailand terjadi lebih dari dua abad yang lalu oleh saudagar-saudagar Portugis. Terdapat lima spesies jarak di Thailand, yaitu J. curcas, J. gossypifolia, J. multifida, J. integrrima, dan J. podagrica. Menurut catatan setempat, orang Portugis menggunakan biji jarak untuk membuat sabun cuci dan lainnya (Sadakorn 1984). Di Indonesia tidak ada catatan yang pasti kapan jarak pagar masuk ke wilayah Nusantara, tetapi diperkirakan bersamaan dengan di Malaysia. Jarak pagar dapat ditemukan di berbagai tempat, namun umumnya tumbuh di pagar-pagar atau tepi jalan di pedesaan (Heyne 1950). Jarak pagar dikenal dengan berbagai nama daerah, antara lain nawaih nawas di Aceh, jarak wolanda di Manado, jirak di Minangkabau, jarak kosta di Jawa Barat, jarak budeg, jarak gundul, jarak iri, jarak pager, jarak cina, kaleke di Madura, jarak pageh di Bali, tangang-tangan kali kanjoh di Makassar, malate (hoti) di Seram Timur, bolacai di Halmahera Utara, dan balacai hisa di Tidore (Heyne 1950).
Syarat Tumbuh Jarak pagar tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Kisaran curah hujan daerah penyebarannya bervariasi yaitu 200−2.000 mm/tahun (Heller 1996), 480−2.380 mm/ tahun (Jones dan Miller 1992), tetapi tanaman tumbuh baik pada curah hujan 900−1.200 mm/tahun (Becker dan Makkar 1999). Di Indonesia, jarak pagar dapat dijumpai di beberapa daerah dengan curah hujan lebih dari 3.000 mm/tahun, seperti di Bogor, Sumatera Barat, dan Minahasa. 131
Ketinggian tempat berkisar 0−1.700 m dpl, dengan suhu 11−38°C. Jarak pagar tidak tahan cuaca yang sangat dingin (frost) dan tidak sensitif terhadap panjang hari (daylength) karena tanaman berasal dari daerah tropis (Heller 1996). Menurut Henning (2004), jarak pagar membutuhkan curah hujan minimal 600 mm/tahun. Jika curah hujan kurang dari 600 mm/tahun maka tanaman tidak dapat tumbuh, kecuali dalam kondisi tertentu seperti di Kepulauan Cape Verde dengan curah hujan hanya 250 mm/tahun tetapi kelembapan udaranya sangat tinggi. Di daerah-daerah dengan kelengasan tanah bukan menjadi faktor pembatas (misalnya irigasi atau curah hujan cukup merata), jarak pagar dapat berproduksi sepanjang tahun, tetapi tidak dapat bertahan dalam kondisi tanah jenuh air. Iklim yang kering akan meningkatkan kadar minyak biji, tetapi kekeringan yang berkepanjangan menyebabkan tanaman menggugurkan daun sehingga pertumbuhan tanaman terhambat (Jones dan Miller 1992). Sebaliknya, pada daerah dengan curah hujan tinggi seperti di Bogor, tanaman memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebat tetapi pembentukan bunga dan buah kurang. Arivin et al. (2006) melaporkan bahwa di Desa Cikeusik Malingping, Banten, dengan curah hujan 2.500−3.000 mm/tahun, tanaman jarak pagar dapat berbunga dan berbuah, tetapi hal ini masih perlu diteliti apakah pembungaan tersebut berlangsung sepanjang tahun. Walaupun curah hujan daerah ini cukup tinggi, yang memungkinkan radiasi rendah, pembuahan cukup baik. Hal ini diduga merupakan hasil interaksi antara potensi genetik dan lingkungan seperti suhu yang selalu panas (±27°C) karena letaknya di tepi pantai, serta tekstur tanahnya berpasir yang menjamin drainase dan aerasi yang baik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (2006b) mengemukakan bahwa tipe iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi jarak pagar. Jarak pagar tumbuh baik di lahan kering dataran rendah beriklim kering dengan ketinggian tempat < 500 m dpl, curah hujan 300−1.000 mm/tahun, serta suhu > 20°C. Jarak pagar dapat tumbuh pada semua jenis tanah, tetapi pertumbuhan yang baik dijumpai pada tanah-tanah ringan atau lahan dengan drainase dan aerasi yang baik (terbaik mengandung pasir 60−90%). Tanaman jarak pagar dapat
132
beradaptasi di lahan marginal dan dapat tumbuh pada tanah berbatu, berpasir, berliat, dan pada lahan yang tererosi (Mal dan Joshi 1991). Tanaman ini dapat pula dijumpai di wilayah perbukitan atau sepanjang saluran air dan batas kebun (Heller 1996; Arivin et al. 2006). Menurut Okabe dan Somabhi (1989), jarak pagar yang ditanam pada tanah bertekstur lempung berpasir menghasilkan biji lebih tinggi daripada di tanah bertekstur lainnya. Selanjutnya Jones dan Miller (1992) mengemukakan bahwa meskipun jarak pagar dapat tumbuh dengan baik di tanah yang dangkal dan umumnya ditemukan tumbuh di tanah berkerikil, berpasir, dan berliat, pada tanah yang tererosi berat pertumbuhannya kerdil. Di daerah yang sangat kering, umumnya tinggi tanaman hanya 2−3 m. Jarak pagar dapat tumbuh pada tanah yang ketersediaan air dan unsur-unsur haranya terbatas atau lahan marginal, tetapi lahan yang berdrainase baik merupakan tempat yang sesuai bagi tanaman ini untuk tumbuh dan berproduksi secara optimal. Bila perakarannya sudah berkembang, jarak pagar toleran terhadap kondisi tanah masam atau alkalin (terbaik pada pH tanah 5,50−6,50) (Heller 1996; Arivin et al. 2006). Jones dan Miller (1992) menyatakan untuk mendapatkan produksi yang tinggi pada tanah miskin hara dan alkalin, tanaman perlu dipupuk dengan pupuk anorganik maupun organik, yang mengandung sedikit kalsium, magnesium, dan sulfur. Pada daerah-daerah dengan kandungan fosfat rendah, penggunaan mikoriza dapat membantu pertumbuhan tanaman jarak.
EVALUASI KESESUAIAN LAHAN Kriteria Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Secara spesifik, kesesuaian lahan untuk suatu komoditas dinilai berdasarkan sifat-sifat fisik lingkungan seperti tingkat kesuburan tanah, iklim, topografi (kelas lereng), hidrologi, dan drainase (Balai Penelitian Tanah 2003).
Kriteria kesesuaian lahan untuk jarak pagar disusun berdasarkan ketersediaan data sumber daya lahan (tanah dan iklim), yaitu: 1) data (peta) sumber daya lahan (tanah) eksplorasi pada skala eksplorasi (skala 1:1.000.000) yang mencakup seluruh wilayah Indonesia (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 2000), 2) Peta Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2001), dan 3) Peta Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi 2003). Selain itu, evaluasi juga mengacu data syarat tumbuh tanaman jarak pagar yang dihimpun dari berbagai sumber (Heyne 1950; Jones dan Miller 1992; Heller 1996; Henning 2004; Arivin et al. 2006). Kelas kesesuaian lahan digolongkan menjadi empat, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), kurang sesuai atau sesuai marginal (S3), dan tidak sesuai (N). S1 terdapat pada lahan dengan ketinggian tempat < 400 m dpl, curah hujan tahunan 1.000−2.000 mm dengan bulan kering 4−5 bulan (tipe iklim II-B dan II-C) atau curah hujan tahunan 2.000−3.000 mm dengan bulan kering 5−6 bulan (tipe iklim III-A). S2 terdapat pada lahan dengan ketinggian tempat < 400 m dpl, curah hujan tahunan 1.000−2.000 mm dengan bulan kering 6−8 bulan (tipe iklim II-A) atau curah hujan tahunan 2.000−3.000 mm dengan tipe iklim III-B. Lahan yang termasuk kelas S3 terdapat pada ketinggian tempat < 700 m dpl, curah hujan tahunan < 1.000 mm dengan bulan kering > 8 bulan (tipe iklim I-A, I-B, dan I-C), atau curah hujan tahunan 2.000−3.000 mm dengan bulan kering 3−4 bulan (tipe iklim III-C), atau curah hujan tahunan 3.000−4.000 mm dengan bulan kering 3 bulan (tipe iklim IV-C). Daerah yang tidak sesuai (N) terletak pada ketinggian tempat > 700 m dpl, curah hujan tahunan 3.000−4.000 mm dengan bulan kering 0−2 bulan (tipe iklim IV-A, IV-B, dan IV-D), atau curah hujan tahunan > 4.000 mm dengan tipe iklim V-A, B, C, D; VI-A, B, C, D). Kriteria selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Meskipun demikian, tingkat akurasi peta ini masih rendah karena data yang tersedia masih sangat kasar. Sebagai gambaran tingkat akurasi peta, ketinggian tempat yang digunakan dalam peta sumber daya lahan terdiri atas dua kategori yaitu < 700 dan > 700 m dpl dan selang kategori curah hujan tahunan dalam peta sumber daya iklim 1.000 mm/tahun.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
Tabel 1. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan dan iklim untuk tanaman jarak pagar. Kelas kesesuaian
Elevasi (m dpl)
Curah hujan tahunan (mm)
Bulan kering < 100 mm
Bulan basah > 200 mm
S l (sangat sesuai)
< 400
1.000−2.000
4−5
4−5
2.000−3.000
5−6
<6
1.000−2.000
6−8
<4
Ketersediaan air
5−6
Radiasi agak kurang
>8
< 2; 0; < 2
Ketersediaan air
2.000−3.000 3.000−4.000
3−4 3
6−8 7−9
Radiasi kurang Radiasi sangat kurang
3.000−4.000
< 2
7−11
> 4.000
< 2
7−12
Radiasi sangat kurang Radiasi sangat kurang
S2 (sesuai)
< 400
2.000−3.000
S3 (kurang sesuai)
N (tidak sesuai)
< 700
> 700
< 1.000
Unsur pembatas
Satuan peta tata ruang*
Satuan peta iklim (pola CH)**
1B2, 1B3, 1K2, 1K3, 1K4
II-B, II-C
III-A 1B2, 1B3, 1K2, 1K3, 1K4
II-A
III-B
1B2, 1B3, 1K2, 1K3, 1K4
I-A, I-B, I-C
III-C IV-C
−
IV-A, IV-B, IV-D
−
VA-D VIA-D
*Satuan peta tata ruang yang menunjukkan kesesuaian budi daya pertanian. 1B2 sesuai untuk pertanian tanaman semusim lahan kering iklim basah, dataran rendah. 1B3 sesuai untuk pertanian tanaman perkebunan lahan kering iklim basah, dataran rendah. 1K2 sesuai untuk pertanian tanaman semusim lahan kering iklim kering, dataran rendah. 1K3 sesuai untuk pertanian tanaman perkebunan, lahan kering, iklim kering, dataran rendah. 1K4 sesuai untuk ladang penggembalaan, dataran rendah. **Simbol satuan peta wilayah iklim yang tercakup dalam tipe iklim yang sama.
Tahapan Penilaian Tahap pertama penilaian kesesuaian lahan adalah melakukan pemilahan lahan dari data spasial arahan tata ruang pertanian. Lahan yang tidak sesuai dan tidak mungkin dapat dikembangkan tidak diperhitungkan, yang meliputi 1) lahan yang berada di dataran tinggi (> 700 m dpl), 2) lahan sawah, rawa (gambut), tambak (perikanan air payau), danau dan kolam, 3) kawasan hutan lindung, 4) kawasan perkebunan besar (kelapa sawit, karet, jati), dan 5) kawasan konservasi, yaitu lahan yang tidak sesuai dari segi biofisik dan lingkungan untuk pengembangan pertanian. Dari data spasial sumber daya iklim dipilah kawasan-kawasan yang mempunyai tipe iklim IV-A, IV-B, IV-D, serta semua tipe V dan VI karena mempunyai curah hujan tinggi dan tidak sesuai untuk pengembangan jarak pagar. Dari pemilahan tahap pertama tersebut, terpilih lahan yang sesuai untuk jarak pagar yaitu semua lahan kering yang berada di dataran rendah (< 700 m dpl), Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
bentuk wilayah datar sampai berbukit dengan lereng < 30%. Dalam arahan tata ruang pertanian, lahan tersebut mempunyai simbol 1B2 (lahan kering beriklim basah untuk tanaman semusim), 1B3 (lahan kering beriklim basah untuk tanaman tahunan), 1K2 (lahan kering beriklim kering untuk tanaman semusim), 1K3 (lahan kering beriklim kering untuk tanaman tahunan), dan 1K4 (lahan untuk penggembalaan ternak). Pengelompokan tipe iklim didasarkan pada kriteria jumlah curah hujan serta jumlah bulan kering dan bulan basah yang tersedia dalam atlas sumber daya iklim pertanian Indonesia. Kriteria tipe iklim yang digunakan disajikan dalam Tabel 1, yaitu S1 (II-B, II-C, III-A), S2 (II- A, III-B), S3 (I-A, I- B, I- C, III- C, IV-C), dan N (IV-A, IV-B, IV-D, serta semua tipe V dan VI). Tahapan selanjutnya adalah tumpang tepat (overlay) antara lahan yang terpilih berdasarkan data spasial arahan tata ruang 1B2, 1B3, 1K2, 1K3, dan 1K4 dengan data spasial tipe iklim sesuai dengan kriteria kelas kesesuaiannya. Dari
tumpang tepat ini diperoleh lahan yang sesuai dari aspek iklim dan lahan untuk pengembangan jarak pagar. Seluruh proses ini menggunakan data spasial atau peta digital (GIS). Untuk melihat kaitan antara hasil evaluasi kesesuaian lahan dan ketersediaan lahan untuk pengembangannya, dilakukan pembandingan dengan penggunaan lahan saat ini (existing land use). Namun, data penggunaan lahan secara spasial tidak tersedia dan yang tersedia hanya data dari BPS (Badan Pusat Statistik 2004).
HASIL EVALUASI KESESUAIAN LAHAN Berdasarkan hasil evaluasi data spasial arahan tata ruang pertanian dan sumber daya iklim, sesuai kriteria yang tercantum dalam Tabel 1, diperoleh data luas dan penyebaran lahan yang sesuai untuk masing-masing kelas kesesuaian lahan, 133
yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3) di setiap provinsi (Tabel 2). Lahan yang sesuai untuk pengembangan jarak pagar seluas 49,53 juta ha, yang terdiri atas kelas sangat sesuai 14,28 juta ha, cukup sesuai 5,53 juta ha, dan sesuai marginal 29,72 juta ha. Data ini masih sangat kasar karena data sumber daya lahan dan iklim yang digunakan adalah skala eksplorasi (skala peta 1:1.000.000). Namun demikian, data ini sangat bermanfaat untuk perencanaan secara nasional untuk menentukan arah pengembangan jarak pagar. Kelas lahan sangat sesuai (S1) terluas terdapat di Kalimantan yaitu 4,72 juta ha, (terluas di Kalimantan Timur), disusul Papua dan Maluku 2,56 juta ha (terluas di Papua dan Maluku Utara), dan Sulawesi (terluas di Sulawesi Tenggara). Untuk kelas cukup sesuai (S2), penyebaran terluas terdapat di Kalimantan yaitu 1,71
juta ha (terluas di Kalimantan Barat) dan di Nusa Tenggara 1,26 juta ha (terluas di Nusa Tenggara Timur). Kelas sesuai marginal (S3) mempunyai penyebaran terluas di Sumatera yaitu 11,09 juta ha (terluas di Sumatera Selatan, Riau, dan Sumatera Utara), dan Kalimantan 11,03 juta ha (terluas di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur). Meskipun lahan yang sesuai sangat luas (49,53 juta ha), kenyataannya terdapat kelemahan dalam penilaian ini. Lahan yang dinilai adalah seluruh lahan yang berada pada ketinggian < 700 m, padahal untuk kelas Sl dan S2, data ketinggian yang dikehendaki adalah < 400 m dpl. Oleh karena itu, lahan yang termasuk kelas S1 dan S2 kemungkinan ada yang terdapat pada ketinggian 400−700 m dpl yang seharusnya masuk pada kelas S3, sehingga luas lahan yang termasuk kelas S3 akan lebih besar dari 29,70 juta ha.
Tabel 2. Penyebaran lahan yang sesuai untuk jarak pagar di Indonesia. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Indonesia
Luas (ha) Sangat sesuai
Cukup sesuai
Sesuai marginal
Jumlah (ha)
180.139 215.393 4.269 80.718 218.284 530.207 − 718.823 156.319 231.011 494.630 35.227 960.595 134.484 19.892 37.877 595.421 67.463 171.063 833.745 3.643.059 143.760 506.887 435.483 1.015.825 290.146 766.888 809.470 980.457
160.764 − − − − − − 66.023 − 445.022 74.416 33.999 574.121 116.576 51.423 428.539 833.293 984.340 − 48.559 680.468 − − 122.407 27.248 13.701 162.982 − 711.030
836.001 1.390.475 781.189 1.600.844 993.134 3.229.784 602.022 706.931 947.881 306.989 338.824 8.454 255.722 36.646 24.265 124.466 322.174 3.897.005 3.632.324 623.326 2.878.161 538.555 373.638 613.780 177.833 − 316.223 716.909 3.445.699
1.176.904 1.605.868 785.458 1.681.562 1.211.418 3.759.991 602.022 1.491.777 1.104.200 983.022 907.870 77.680 1.790.438 287.706 95.580 590.882 1.750.888 4.948.808 3.803.387 1.505.630 7.201.688 682.315 880.525 1.171.670 1.220.906 303.847 1.246.093 1.526.379 5.137.186
14.277.535
5.534.911
29.719.254
49.531.700
Sumber: Data diolah dari data spasial arahan tata ruang pertanian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2001) dan sumber daya iklim (Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi 2003).
134
Hasil evaluasi kesesuaian lahan juga baru mempertimbangkan kondisi biofisik lahan, iklim, dan lingkungannya sehingga sangat luas penyebarannya. Apabila ingin diketahui luas lahan yang tersedia untuk pengembangan jarak pagar di luar lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk penggunaan lain, baik di sektor pertanian maupun nonpertanian, perlu dilakukan penilaian khusus.
PENGGUNAAN LAHAN VS KESESUAIAN LAHAN Penggunaan Lahan Penggunaan lahan pertanian selama ini mengacu kepada data penggunaan lahan dari BPS (Badan Pusat Statistik 2004). Penggunaan lahan dikelompokkan menjadi delapan, yaitu sawah, pekarangan, ladang (huma dan tegalan), padang penggembalaan (rumput-rumputan), tambak dan kolam, lahan yang sementara tidak diusahakan, perkebunan, dan areal tanaman kayu-kayuan. Luas dan penyebaran penggunaan lahan tersebut disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan data BPS pada Tabel 3, lahan yang telah digunakan sebagai lahan pertanian seluas 69,15 juta ha. Penggunaan lahan untuk perkebunan adalah yang terluas, sekitar 19,60 juta ha, terutama untuk perkebunan kelapa sawit, karet, dan kelapa (12,90 juta ha), sisanya untuk kopi, kakao, cengkih, lada, teh, kapas, tebu, dan tembakau. Lahan yang sementara tidak diusahakan (lahan terlantar) dan tegalan (ladang) masing-masing seluas 12,40 juta ha dan 10,60 juta ha. Lahan yang sementara tidak diusahakan termasuk dalam lahan pertanian, namun merupakan lahan terlantar yang berupa semak belukar. Demikian juga padang penggembalaan yang luasnya mencapai 3,10 juta ha. Untuk mengetahui lahan yang betulbetul sudah digunakan dan kaitannya untuk pengembangan jarak pagar, dapat digunakan dua skenario. Skenario I merupakan pengelompokan lahan yang mencakup seluruh lahan kering yang telah digunakan, yaitu lahan pekarangan, ladang (huma dan tegalan), padang penggembalaan, lahan yang sementara tidak diusahakan, perkebunan, dan areal kayu-kayuan. Secara ringkas, total luas penggunaan lahan kering adalah total penggunaan lahan (69,15 juta ha) dikurangi lahan sawah, kolam, dan tambak Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
Tabel 3. Penyebaran dan luas penggunaan lahan di Indonesia. Provinsi
Penggunaan lahan (ha)
Jumlah penggunaan lahan (ha)
Skenario I
Skenario II
3.326.089 3.463.754 2.193.043 4.944.504 3.099.844 4.681.100 1.088.090 2.131.422 1.031.517 20.607 2.444.883 2.498.210 274.449 3.388.936 618.496 392.004 814.218 3.054.167 6.780.238 4.171.065 2.086.528 8.382.111 857.284 2.332.911 3.204.880 1.417.730 454.447
2.836.033 2.898.055 1.936.206 4.788.684 2.969.676 4.160.579 999.749 1.794.575 1.027.424 16.925 1.598.150 1.489.411 216.820 2.259.082 412.094 314.244 580.823 2.925.290 6.459.716 3.990.956 1.649.948 8.133.969 790.786 2.149.966 2.541.055 1.328.834 420.735
2.015.779 2.587.260 1.611.568 4.200.342 2.641.102 3.380.760 828.420 1.704.436 792.967 16.756 1.553.992 1.481.853 216.145 2.248.370 382.819 313.817 490.290 1.321.364 4.134.709 2.967.434 1.079.539 3.422.410 708.858 1.594.919 2.185.190 998.602 282.290
69.152.527
60.689.785
45.161.991
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Indonesia 1) Tidak termasuk Maluku dan Papua. Sumber: Badan Pusat Statistik (2004). 1)
(8,46 juta ha) yang hasilnya seluas 60,69 juta ha (Tabel 3). Skenario II mencakup lahan kering yang betul-betul telah digunakan, yaitu lahan pekarangan, ladang (huma dan tegalan), perkebunan, dan kayu-kayuan. Total penggunaan lahan kering skenario II adalah total penggunaan lahan (69,15 juta ha) dikurangi sawah dan kolam (8,46 juta ha) dikurangi lahan yang sementara tidak diusahakan (12,42 juta ha) dikurangi padang penggembalaan (3,11 juta ha) yang hasilnya seluas 45,16 juta ha.
Ketersediaan Lahan Lahan kering yang sesuai untuk jarak pagar cukup luas, sekitar 49,53 juta ha (Tabel 2). Namun, luas lahan yang tersedia untuk pengembangan jarak pagar belum diketahui secara pasti. Untuk mendapatkan data ini, dapat dilakukan tumpang tepat antara data spasial kesesuaian lahan dengan data spasial penggunaan lahan, Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
dan NTB (10.059 ha) yang masih tersedia lahan untuk pengembangan jarak pagar. Di Maluku, Maluku Utara, dan Papua, data penggunaan lahan tidak tersedia sehingga lahan yang tersedia untuk pengembangan masih cukup luas yaitu 5,14 juta ha di Papua, 1,53 juta ha di Maluku Utara, dan 1,25 juta ha di Maluku. Apabila menggunakan skenario II maka masih tersedia lahan yang dapat digunakan untuk pengembangan jarak pagar seluas 4,39 juta ha, yaitu pada lahan yang sementara diterlantarkan dan padang penggembalaan. Lahan tersebut terdapat di Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua, Maluku, dan Maluku Utara. Berdasarkan kedua skenario tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengembangan jarak pagar dalam skala luas atau perkebunan besar akan mengalami hambatan dalam penyediaan lahan. Lahan yang mungkin dapat dimanfaatkan adalah lahan terlantar karena masih cukup luas. Lahan ini pun, apabila status lahannya bukan lahan negara, akan sulit dideteksi.
Alternatif Pengembangan
sehingga diperoleh data luas dan penyebaran lahan yang sesuai dan belum dimanfaatkan untuk penggunaan lain. Namun, data spasial penggunaan lahan yang mencakup seluruh kawasan Indonesia saat ini belum tersedia, terutama untuk tegalan, pekarangan, dan kebun campuran yang biasanya tidak tergambar dalam peta penggunaan lahan. Untuk memprediksi lahan yang mungkin masih tersedia dan dapat digunakan untuk pengembangan jarak pagar dalam skala besar (perkebunan), digunakan pendekatan dengan mengurangi lahan yang sesuai dengan lahan yang telah digunakan dari data BPS (skenario I dan II pada Tabel 4). Berdasarkan skenario I, lahan yang sesuai untuk jarak pagar pada umumnya telah dimanfaatkan untuk penggunaan lain, yang ditandai dengan angka minus pada Tabel 4. Di seluruh Indonesia, lahan yang tersedia adalah minus 11,14 juta ha, kecuali di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (76.776 ha)
Pada tahap awal, pengembangan jarak pagar diarahkan ke provinsi yang kondisi lahan dan iklimnya sesuai untuk jarak pagar, yaitu pada wilayah dengan kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1). Lahan tersebut tersebar di Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Selatan (Tabel 2). Namun, dengan kondisi lahan yang terbatas seperti tersebut di atas, akan sulit apabila pengembangan jarak pagar secara besarbesaran dilakukan di lahan kering bukaan baru (ekstensifikasi), kecuali pada lahan terlantar atau lahan kawasan hutan konversi (lahan negara). Apabila lahan tersebut tidak tersedia, salah satu alternatif pengembangannya adalah secara diversifikasi dengan tanaman lain, baik dengan sistem tumpang sari, tanaman sela, tanaman pagar, atau rotasi. Lahan pekarangan di Indonesia yang luasnya 5,55 juta ha dapat pula dimanfaatkan untuk jarak pagar yang ditanam sebagai tanaman pagar atau tumpang sari. Demikian pula lahan tegalan (ladang dan huma) yang luasnya sekitar 10,59 juta ha; 135
Tabel 4. Selisih lahan yang sesuai untuk pengembangan jarak pagar dengan lahan yang telah digunakan. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Jumlah
Luas lahan kering yang sesuai (ha)
Skenario I
Skenario II
Skenario I
Skenario II
1.176.904 1.605.868 785.458 1.681.562 1.211.418 3.759.991 602.022 1.491.777 1.104.200 983.022 907.870 77.680 1.790.438 287.706 95.580 590.882 1.750.888 4.948.808 3.803.387 1.505.630 7.201.688 682.315 880.525 1.171.670 1.220.906 303.847 1.246.093 1.526.379 5.137.186
2.836.033 2.898.055 1.936.206 4.788.684 2.969.676 4.160.579 999.749 1.794.575 1.027.424 1.598.150 1.489.411 216.820 2.259.082 412.094 314.244 580.823 2.925.290 6.459.716 3.990.956 1.649.948 8.133.969 790.786 2.149.966 2.541.055 1.328.834 420.735 td td td
2.015.779 2.587.260 1.611.568 4.200.342 2.641.102 3.380.760 828.420 1.704.436 792.967 1.553.992 1.481.853 216.145 2.248.370 382.819 313.817 490.290 1.321.364 4.134.709 2.967.434 1.079.539 3.422.410 708.858 1.594.919 2.185.190 998.602 282.290 td td td
-1.659.129 -1.292.187 -1.150.748 -3.107.122 -1.758.258 -400.588 -397.727 -302.798 76.776 -615.128 -581.541 -139.140 -468.644 -124.388 -218.664 10.059 -1.174.402 -1.510.908 -187.569 -144.318 -932.281 -108.471 -1.269.441 -1.369.385 -107.928 -116.888 1.246.093 1.526.379 5.137.186
-838.875 -981.392 -826.110 -2.518.780 -1.429.684 379.231 -226.398 -212.659 311.233 -570.970 -573.983 -138.465 -457.932 -95.113 -218.237 100.592 429.524 814.099 835.953 426.091 3.779.278 -26.543 -714.394 -1.013.520 222.304 21.557 1.246.093 1.526.379 5.137.186
49.531.700
60.672.860
45.145.235
-11.141.160
4.386.465
apabila 5% dari tegalan ini dapat ditanami jarak pagar sebagai tanaman pagar atau pembatas kepemilikan lahan, atau tanaman rotasi (0,50 juta ha), maka akan dihasilkan biji jarak pagar sekitar 2,50 juta ton (asumsi hasil panen 2 kg/pohon, populasi 2.500 pohon/ha) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2006b). Lahan yang juga potensial adalah lahan terlantar dan semak belukar, termasuk lahan alangalang yang luasnya sekitar 12,42 juta ha. Berdasarkan ulasan di atas, potensi sumber daya lahan Indonesia sangat besar dan berpeluang untuk pengembangan jarak pagar. Meskipun demikian, permasalahan masih dijumpai baik secara teknis (budi daya, penyediaan benih, kualitas buah, kadar minyak, dan lain-lain) maupun sosial (status lahan, kemampuan masyarakat tani, pascapanen, dan pemasaran). Masalah penyediaan benih dapat diatasi dalam 4−5 tahun ke depan dengan tersedianya varietas unggul dan benih sumber dari Badan Litbang Pertanian yaitu 136
Penggunaan lahan (ha)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Unit kerja tersebut akan menghasilkan tiga populasi komposit jarak pagar, yang dinamakan IP-1A, IP-1M, dan IP-1P yang berasal dari Asembagus, Muktihardjo, dan Pakuwon. Benih dalam bentuk biji sebanyak 6−7 ton tersedia pada September−Desember 2006 sehingga dapat mencukupi kebutuhan penanaman komersial seluas 5.000−6.000 ha pada tahun 2006−2007, dan akan menghasilkan minyak pada tahun 2008−2009 (Hasnam dan Hartati 2006). Pengembangan jarak pagar secara besar-besaran (perkebunan) dapat diarahkan ke lahan terlantar dan belum dimanfaatkan secara optimal, seperti lahan alangalang dan semak belukar. Di antara lahan terlantar tersebut, 1,08 juta ha sudah diidentifikasi kesesuaiannya untuk pengembangan lahan pertanian (Mulyani et al. 2000) (Tabel 5). Penyebaran dan luas lahan alangalang di masing-masing provinsi disajikan
Lahan tersedia (ha)
pada peta skala 1:50.000, yang dapat digunakan untuk operasional di lapangan. Lahan alang-alang tersebut berada pada ketinggian < 400 m dpl, dengan bentuk wilayah datar-bergelombang (lereng < 15%). Lahan alang-alang yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan jarak pagar mempunyai curah hujan < 3.000 mm/ tahun, sehingga sesuai dengan persyaratan tumbuh jarak pagar. Tabel 5 menunjukkan hampir seluruh areal yang diidentifikasi sesuai untuk jarak pagar. Sebagian lahan terlantar tersebut terdapat pada kawasan transmigrasi dan dimiliki oleh petani transmigran, seperti di di Kabupaten Banjar, Tanah Laut dan Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan), serta di Kabupaten Kendari, Buton, dan Kolaka (Sulawesi Tenggara) (Tabel 5). Namun, lahan terlantar tersebut diidentifikasi pada tahun 1998/1999, sehingga saat ini mungkin sudah dibuka dan dimanfaatkan untuk penggunaan lainnya.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
Tabel 5. Arahan pengembangan lahan untuk perluasan areal jarak pagar di 13 provinsi.
I
II
III
Pasaman Agam Bengkalis Indragiri Hulu Kampar Batanghari Bungotebo Sorolangun Baturaja Bengkulu Utara Tulangbawang Way Kanan Pontianak Sanggau Kota Waringin Barat Pasir Kutai Banjar Tanah Laut Kotabaru Sukabumi
16.038 1.893 2.374 10.773 33.966 11.888 10.489 13.933 34.845 36.206 41.052 34.869 90.595 21.260 25.268 2.607 1.912 4.466 96.506 5.437 1.953
1.297 − 22.379 33.281 53.233 1.046 2.991 7.511 8.910 4.222 − − 38.618 28.752 − 15.608 35.002 1.917 28.831 10.720 −
− − 10.988 56.573 67.350 2.619 1.316 14.783 670 − − − − − − − − − − − −
17.335 1.893 35.741 100.627 154.549 15.553 14.796 36.227 44.425 40.428 41.052 34.869 129.213 50.012 25.268 18.215 36.914 6.383 125.337 16.157 1.953
Kupang Timor Timur Selatan Belu Manggarai Ngada Kendari Buton Kolaka
2.348 784 1.630 6.654 5.374 59.675 17.232 7.178
1.268 2.412 3.286 3.115 948 2.525 7.756 772
2.760 1.903 1.805 3.943 4.961 − − −
6.376 5.099 6.721 13.712 11.283 62.200 24.988 7.950
599.205
316.400
169.671
1.085.276
Kabupaten
Sumatera Barat Riau
Jambi
Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Selatan
Jawa Barat Nusa Tenggara Timur Pulau Timor
Pulau Flores Sulawesi Tenggara
Perluasan areal (ha) prioritas ke
Jumlah (ha)
Provinsi
Jumlah
Curah hujan (mm/tahun) 3.830 2.332−2.840
2.038−2.698
2.300−3.100 1.731−3.716 2.964 2.772−2.810 2.090 2.158 2.233−2.525
2.497−3.274 1.000−1.700
822−1.492 1.645−1.785
Sumber data: Mulyani et al. (2000).
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil evaluasi kesesuaian lahan berdasarkan data pada peta skala eksplorasi menunjukkan bahwa lahan yang sesuai untuk jarak pagar seluas 49,53 juta ha, yang terdiri atas kelas sangat sesuai 14,28 juta ha, cukup sesuai 5,53 juta ha, dan sesuai marginal 29,72 juta ha. Namun, lahan yang tersedia hanya sekitar 4,39 juta ha yang tersebar di 12 provinsi. Pengembangan jarak pagar dapat diprioritaskan pada lahan yang sangat sesuai dan cukup sesuai, yang tersebar luas di Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Papua, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Maluku, dan Maluku Utara. Karena pesatnya perubahan penggunaan lahan saat ini, data spasial kesesuaian lahan perlu ditumpangtepatkan dengan data spasial penggunaan lahan saat ini (paling tidak pada skala 1:1.000.000), sehingga dapat diketahui luas Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006
lahan yang tersedia untuk pengembangan jarak pagar (ekstensifikasi). Alternatif lain untuk pengembangan jarak pagar adalah melalui diversifikasi dengan tanaman lain yang sudah ada (existing land use), baik dengan tumpang sari, sebagai tanaman sela, tanaman rotasi, atau tanaman pagar. Jarak pagar umumnya diusahakan sebagai tanaman pagar atau pembatas kepemilikan kebun atau tegalan. Pengembangan jarak pagar dalam skala luas (perkebunan besar) dapat diarahkan pada lahan terlantar atau tidak diusahakan (lahan alang-alang dan semak belukar) seluas 12,40 juta ha. Di antara lahan terlantar tersebut, sekitar 1 juta ha telah diidentifikasi kesesuaiannya pada skala 1:50.000, yang memadai untuk operasional di tingkat kabupaten dan kecamatan. Namun, status dan kepemilikan lahan terlantar tersebut belum diketahui, kecuali untuk beberapa lokasi transmigrasi di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tenggara.
DAFTAR PUSTAKA Arivin, A.R., D. Allorerung, Z. Mahmud, D.S. Effendi, Sumanto, dan F. Isa. 2006. Karakteristik fisik lingkungan daerah pertanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Cikeusik, Banten. Makalah disampaikan pada Lokakarya II Status Teknologi Tanaman Jarak Pagar. Hotel Pangrango, Bogor, 29 November 2006. Badan Pusat Statistik. 2004. Indonesia dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. www.bps.go.id (6 Juni 2006). Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 2003. Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor. 42 hlm. Balai Penelitian Tanah. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. 154 hlm. Becker, K. and H.P.S. Makkar. 1999. Jatropha and Moringa: Source of renewable energy for fuel, edible oil, animal feed and pharmaceutical products, ideal trees for increasing
137
cash income. Presented at Daimler Chrysler/ The World Bank Environment Forum, Magdeburg. 3 pp David, A., Z. Mahmud, A.A. Rivaie, D.S. Effendi, dan A. Mulyani. 2006. Peta kesesuaian lahan dan iklim jarak pagar (Jatropha curcas L.). Makalah disampaikan pada Lokakarya Status Teknologi Budidaya Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, 11−12 April 2006. 14 hlm. Fundora-Mayor, L. Castineiras, T. Shagarodsky, V. Mareno, M. Garcia, C. Girandy, O. Barrios, L. Fernandes, G.R. Cristobal, V. Fuentes, A. Valiente, and T. Hernandez. 2004. Seed Systems and Genetic Diversity in Home Garden: a Cuban Approach. p 68−77. In Proceeding of Seed Systems and Crop Genetic Diversity on Farm. International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy. Hasnam dan Rr. Sri Hartati. 2006. Penyediaan benih unggul harapan jarak pagar (Jatropha curcas L.). Makalah disampaikan pada Lokakarya Status Teknologi Budidaya Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, 11−12 April 2006. 13 hlm. Heller, J. 1996. Physic Nut (Jatropha curcas L.). Promoting the conservation and use of underutilised and neglected crops. 1. Institute of Plant Genetics and Crop Plant Research. Gatersleben/International Plant Genetic Resources Institute, Rome. 66 pp.
138
Henning, R.K. 2004. The Jatropha System. Economy and dissemination strategy. International Conference of Renewable Energy. Bonn, Germany, 1−4 June 2004. Heyne, K. 1950. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Jones, N. and J.M. Miller. 1992. Jatropha curcas. A multipurpose species for problematic sites. The World Bank. Asia Technical Department, Agriculture Division. 11 pp. Mahmud, Z., A.A. Rivaie, dan D. Allorerung. 2006. Kultur teknis jarak pagar. (Jatropha curcas L.). Makalah pada Lokakarya Status Teknologi Budidaya Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, 11−12 April 2006. 8 hlm. Mal, B. and V. Joshi. 1991. Underutilized plant resources. p 211−229. In R.S. Paronda and R.K. Arora (Eds.). Plant Genetic Resources - Conservation and Management. Malhotra Publishing House, New Delhi, India. Mulyani, A., Sukarman, dan D. Subardja. 2000. Evaluasi ketersediaan lahan untuk perluasan areal pertanian. Laporan Penelitian No. 15/ Puslittanak/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. 52 hlm. Okabe, T. and M. Somabhi. 1989. Ecophysiological studies on drought tolerant crops suited to the Northeast Thailand. Technical Paper No. 5. Agricultural Devel-
opment Research Center in Northeast Thailand. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Lahan Eksplorasi Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. 41 hlm. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. 37 hlm. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2002. Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. 43 hlm. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2006a. Petunjuk Teknis Budidaya Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Edisi 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. 35 hlm. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2006b. Panduan Umum Perbenihan Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Edisi 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. 25 hlm. Sadakorn, J. 1984. Physic nut (Jatropha curcas Linn.), a potential source of fuel oil from seeds for an alternative choice of energy. Thai. Agric. Res. J. 2: 67−72.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006