23
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji patogenisitas M. brunneum, M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus dan B. bassiana, M. brunneum, M. roridum terhadap C. curvignathus. Kerapatan konidia semua isolat cendawan entomopatogen yang diuji berpengaruh nyata terhadap mortalitas C. curvignathus dan S. javanicus. Mortalitas rayap C. curvignathus dan S. javanicus meningkat seiring dengan meningkatnya kerapatan konidia, kecuali pada B. bassiana hanya efektif pada kerapatan konidia yang tinggi (Gambar 1 dan 2). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi jumlah konidia, maka peluang kontak konidia dengan tubuh rayap semakin besar sehingga memberi peluang yang lebih baik untuk mempenetrasi ke dalam tubuh rayap. Roberts dan Yendol (1971) menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya infeksi cendawan entomopatogen pada serangga adalah jumlah inokulum. Yoshimura & Takahashi (1998) menyatakan bahwa B. brongniartii kontak selama satu menit dengan rayap pada kerapatan 3,3 x 108 konidia/ml menghasilkan 100% mortalitas serangga uji dalam waktu 5 hari, sedangkan dengan kerapatan konidia yang lebih rendah kontak selama satu hari hanya menghasilkan 50% mortalitas dalam waktu yang sama. Semua spesies cendawan entomopatogen yang diuji mempunyai virulensi yang berbeda terhadap C. curvignathus dan S. javanicus. M. brunneum mempunyai virulensi yang lebih tinggi terhadap C. curvignathus dari pada isolat B. bassiana, dan M. roridum, hal ini terlihat dari rata-rata mortalitas rayap tanah S. javanicus pada pengamatan hari ke-3 setelah aplikasi konidia dengan kerapatan 5.105 konidia/ml telah menghasilkan mortalitas di atas 50% sedangkan pada isolat M. roridum hal tersebut terjadi pada kerapatan 5.106 konidia/ml dan isolat B. bassiana menghasilkan mortalitas sangat rendah walaupun pada pengamatan hari ke-5 masih di bawah 50% pada kerapatan 107 konidia/ml (Gambar 1). Metarhizium brunneum mempunyai virulensi yang lebih tinggi terhadap S. javanicus dari pada M. anisopliae. Hal ini terlihat dari rata-rata mortalitas S. javanicus pada pengamatan hari ke-3 setelah aplikasi konidia dengan kerapatan 106 konidia/ml telah menghasilkan mortalitas di atas 50%, sedangkan pada M. anisopliae hal tersebut terjadi pada kerapatan 5.106 konidia/ml (Gambar 2).
24 Myrothecium roridum
M o r t a lit a s ( % )
100 Kontrol
80
10 5
60
5 x 10 5
40
10 6 5 x 10 6
20
10 7
0 1
2
3
4
5
6
Hari
Metarhizium brunneum
M o r t a lita s ( % )
100 kontrol
80
10 5
60
5 x 10 5
40
10 6 5 x 10 6
20
10 7
0 1
2
3
4
5
6
Hari
Beauveria bassiana 100 Kontrol
M o r t a lit a s ( % )
80
10 5
60
5 x 10 5
40
10 6 5 x 10 6
20
10 7
0 1
2
3
4
5
6
Hari
Gambar 1 Mortalitas C. curvignathus akibat perlakuan berbagai kerapatan konidia M. brunneum, B. bassiana, dan M. roridum.
25
Metarhizium brunneum 10 5 M o r t a lit a s ( % )
100
5 x 10 6
80 60
10 6 5 x 10 6
40 20
10 7
0
Kontrol 1
2
3
4
5
6
Hari
Metarhizium anisopliae 10 5 M o r ta lita s (% )
100
5 x 10 6
80
10 6
60 40
5 x 10 6
20
10 7
0
Kontrol 1
2
3
4
5
6
Hari Gambar 2
Mortalitas S. javanicus akibat perlakuan berbagai kerapatan konidia M. brunneum dan M. anisopliae.
Perbedaan virulensi dari semua isolat cendawan entomopatogen yang diuji diduga disebabkan oleh adanya perbedaan karakter interspesies baik secara fisiologis (viabilitas, laju pertumbuhan, kemampuan bersporulasi dan produksi toxin) maupun secara genetik serta pengaruh faktor eksternal seperti lingkungan yang dapat mempengaruhi kemampuan cendawan untuk tumbuh dan berkembang dalam melumpuhkan mekanisme pertahanan serangga inang. Diameter koloni (cm), daya kecambah (%) dan sporulasi (konidia/cawan petri) M. anisopliae (5,47, 27,20, 6,18 x 107) M. brunneum (5,25, 97,20, 223,66 x 107), B. bassiana (4,67, 82,50, 1470,33 x 107), dan M. roridum (4,72, 92,50, 285,33 x 107) (Desyanti 2007). Hajek & Leger (1994) melaporkan bahwa keragaman interspesies pada cendawan entomopatogen terlihat pada perbedaan virulensinya. Keragaman
26 interspesies dipengaruhi oleh sumber isolat, inang, dan faktor daerah geografis asal isolat. Keadaan tersebut akan mengakibatkan keragaman karakter di dalam spesies baik secara fisiologis maupun genetik (Beretta et al. 1998). Persamaan regresi antara log kerapatan konidia dengan nilai probit isolat cendawan entomopatogen terhadap mortalitas rayap tanah C. curvignathus disajikan pada Gambar 3 dan S. javanicus pada Gambar 4. Hubungan positif antara kerapatan konidia dengan mortalitas mengindikasikan bahwa kerapatan konidia yang tinggi meningkatkan kematian S. javanicus. 8 7,5
Probit mortalitas
7 6,5
y = 1,7817x - 5,42
6 5,5
M. brunneum
5 4,5
y = 1,1216x - 2,4107
4
M. roridum B. bassiana
3,5 y = 0,0264x + 3,3296
3 2,5 2 5
5,5
6
6,5
7
Log kerapatan konidia
Probit mortalitas
Gambar 3 Hubungan antara log kerapatan konidia cendawan entomopatogen dan probit mortalitas C. curvignathus pada hari ke-3. 8 7,5 7 6,5 6 5,5 5 4,5 4 3,5 3
y = 1,3949x - 3,2084 M. brunneum M. anisopliae y = 1,098x - 1,9236
5
5,5
6
6,5
7
Log kerapatan konidia
Gambar 4 Hubungan antara log kerapatan konidia cendawan entomopatogen dan probit mortalitas S. javanicus hari ke-3. Keefektifan isolat cendawan entomopatogen untuk mengendalikan C. curvignathus dan S. javanicus diketahui dari nilai Lethal Concentration (LC)95, 50 dan 25 yaitu kerapatan optimal yang dibutuhkan untuk membunuh 25%, 50%, dan 95% C. curvignathus dan S. javanicus. Dari hasil perhitungan persentase mortalitas dilakukan analisis probit untuk mengetahui nilai LC dari masing-
27 masing isolat cendawan terhadap rayap tanah C. curvignathus (Tabel 1) dan S. javanicus (Tabel 2). Tabel 1 Nilai LC hasil analisis probit hari ke-3 M. brunneum, B. bassiana, dan M. roridum terhadap C. curvignathus. Spesies cendawan M. brunneum B. bassiana M. roridum
LC 95% 7,38 x 106 7,52 x 1043 8,15 x 107
50% 6,20 x 105 3,52 x 1023 3,62 x 106
25% 2,24 x 105 1,62 x 1015 10,12 x 105
Tabel 2 Nilai LC hasil analisis probit hari ke-3 M. anisopliae dan M. brunneum terhadap S. javanicus. Spesies cendawan M. brunneum M. anisopliae
LC 95% 1,67 x 107 5,46 x 107
50% 8,75 x 105 2,07 x 106
25% 2,60 x 105 5,43 x 105
Data di atas menunjukkan bahwa untuk dapat membunuh 25%, 50%, dan 95% C. curvignathus dan S. javanicus dibutuhkan kerapatan konidia M. brunneum yang lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan isolat B. bassiana, M. roridum dan M. anisopliae. Semakin rendah nilai LC yang dihasilkan menunjukkan semakin tinggi tingkat tingkat patogenisitas cendawan tersebut. Jika dibandingkan antara C. curvignathus dan S. javanicus dengan kerapatan konidia dan dalam jangka waktu yang sama, nilai LC95,
50
dan
25
untuk menyebabkan
mortalitas pada S. javanicus lebih rendah dari pada C. curvignathus. Hal ini disebabkan oleh perbedaan spesies inang sehingga tingkat kerentanannya juga berbeda. Desyanti (2007) melaporkan bahwa cendawan entomopatogen M. brunneum merupakan spesies cendawan yang paling efektif sebagai agens pengendalian rayap tanah C. gestroi karena tingkat patogenisitasnya lebih tinggi dengan nilai LC50 terrendah (1,80 X 105/ml) dibanding spesies M. anisopliae, B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus. Setiap spesies cendawan entomopatogen mempunyai tingkat virulensi dan cara untuk menyerang rayap, cendawan entomopatogen menghasilkan beberapa
28 metabolit sekunder sebagai toxin untuk melumpuhkan pertahanan inangnya. Destruxins merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cendawan entomopatogen M. anisopliae. (Das & Ferron 1981; Roberts & Renwick 1989; Roberts 1981 dalam Amiri-Besheli et al. 2000). Sedangkan beauvericin, bassianolide, cyclosporin A, oosporein adalah toxin yang dihasilkan oleh B. bassiana (Boucias & Pendland 1998) dan myrotoxin B oleh M. roridum (Murakami dan Yasui 1999). Kerapatan konidia yang digunakan untuk uji LT95,
50,
dan
25
adalah 107
konidia/ml yang ditetapkan berdasarkan uji LC95. Berdasarkan hasil perhitungan persentase mortalitas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis probit, untuk mengetahui nilai Lethal Time (LT)95,
50,
dan
25
dari masing-masing isolat
cendawan entomopatogen terhadap C. curvignathus dan S. javanicus. Tabel 3 Nilai LT M. brunneum, B. bassiana, dan M. roridum terhadap C. curvignathus pada kerapatan 107 (konidia/ml). Spesies cendawan M. brunneum B. bassiana M. roridum
95% 2,91 6,38 3,47
LT (hari) 50% 2,71 4,88 2,72
25% 2,63 4,37 2,46
Tabel 4 Nilai LT M. brunneum dan M. anisopliae terhadap S. javanicus pada kerapatan 107 (konidia/ml). Spesies cendawan M. brunneum M. anisopliae
LT (hari) 95% 2,78 3,63
50% 2,04 2,21
25% 1,79 1,80
Data di atas menunjukkan bahwa M. bruneum untuk dapat membunuh 95%, 50% dan 25% C. curvignathus diperlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan S. javanicus. Perbedaan nilai LT ini juga berkaitan dengan virulensi isolat dan tingkat kerentanan inang. Neves dan Alves (2004) mengemukakan bahwa waktu kematian serangga dipengaruhi oleh dosis aplikasi dan virulensi dari isolat. Lamanya waktu kematian C. curvignathus dan S. javanicus akibat infeksi cendawan disebabkan karena cendawan membutukan beberapa tahap untuk
29 menginfeksi dan mematikan serangga, yaitu mulai dari penempelan konidia pada tubuh serangga, perkecambahan, penetrasi, invasi, dan kolonisasi dalam hemosel, jaringan dan organ. Waktu masing-masing tahap tersebut bervariasi tergantung pada jenis cendawan, inang, dan lingkungan. Menurut MacLeod (1963) dalam Tanada & Kaya (1993), periode proses awal infeksi sampai kematian serangga terjadi dalam kurun waktu yang singkat yaitu hanya 3 hari dan selambat-lambatnya 12 hari. Namun pada umumnya terjadi dalam waktu 5 - 8 hari dan periode tersebut dapat berbeda tergantung pada ukuran inang. Desyanti (2007) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen M. brunneum pada metode aplikasi kontak lebih efektif dan dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih cepat dengan LT95, 50, 25 (4,37, 2,01, 1,46) hari. Tanada & Kaya (1993) menyatakan bahwa isolat yang bersifat virulen membunuh serangga dalam waktu yang singkat dan isolat yang kurang virulen membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyebabkan infeksi kronik. Menurut Scholte et al. (2004), proses serangan cendawan entomopatogen hingga menyebabkan inangnya mati adalah sebagai berikut: konidia kontak pada integumen serangga kemudian menempel serta berkecambah dan melakukan penetrasi dengan membentuk tabung kecambah (appresorium), setelah masuk ke dalam hemosel, cendawan membentuk blastospora yang beredar dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lain seperti sistem syaraf, trakea, dan saluran pencernaan. Terjadinya defisiensi nutrisi, adanya toksin yang dihasilkan oleh cendawan, dan terjadinya kerusakan jaringan dalam tubuh serangga akan menyebabkan terjadinya paralisis dan kematian pada serangga. Ferron (1981) dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam studi histopatologi pada jaringan Elateridae yang diinfeksi oleh M. anisopliae, toxin (destruxin) membunuh serangga inang dengan merangsang atau memacu terjadinya kerusakan jaringan serangga sehingga kehilangan keutuhan struktural membran dan kemudian terjadi dehidrasi sel karena kehilangan cairan. Jika terjadi penyumbatan spirakel dapat menyebabkan kematian sebelum serangan pada hemosel dimana pembentukan tubuh hifa masih sedikit. Menurut Yoshimura & Takahashi (1998), M. anisopliae secara umum masuk ke dalam tubuh serangga melalui spirakel dan pori-pori pada seluruh
30 organ. Setelah itu di dalam tubuh serangga terjadi perpanjangan hifa secara lateral dan berkembang serta mengkonsumsi kandungan internal serangga. Pertumbuhan hifa berlanjut sampai serangga terisi dengan miselia, bila kandungan internal serangga telah dikonsumsi, cendawan akan keluar melewati kutikula dan bersporulasi sehingga serangga seperti berbulu halus. Pengujian patogenisitas cendawan pada berbagai tingkat kerapatan konidia bertujuan untuk efisiensi penggunaan propagul cendawan secara optimum sebagai agens hayati dalam pengendalian hama sasaran. Dalam pengendalian C. curvignathus dan S. javanicus perlu diketahui kerapatan konidia tertentu yang dapat menyebabkan mortalitas rayap dalam jumlah dan waktu tertentu (LC dan LT) sesuai dengan target yang diinginkan. Dari semua isolat cendawan yang telah diuji isolat cendawan M. brunneum memiliki LC dan LT yang lebih rendah dibandingkan dengan cendawan entomopatogen lainnya, hal ini mengindikasikan bahwa M. brunneum lebih tinggi tingkat patogenisitasnya terhadap C. curvignathus dan S. javanicus dibandingkan isolat cendawan entomopatogen lainnya sehingga isolat tersebut mempunyai peluang yang besar untuk digunakan dalam pegendalian C. curvignathus dan S. javanicus.
Sporulasi Cendawan Entomopatogen pada Rayap C. curvignathus Jumlah rayap yang bersporulasi pada permukaan tubuh C. curvignathus setelah 7 hari diinkubasi memperlihatkan hasil yang berbeda nyata. M. brunneum memiliki kemampuan bersporulasi lebih tinggi dibandingkan dengan M. roridum maupun B. bassiana (Tabel 1). Hal ini diduga dipengaruhi oleh perbedaan spesies cendawan, sumber isolat dan faktor lingkungan. Pertumbuhan dan perkembangan cendawan terutama dibatasi oleh kondisi lingkungan eksternal kususnya kelembaban yang tinggi dan suhu yang sesuai untuk bersporulasi serta perkecambahan spora. Cendawan dapat tumbuh pada kondisi kelembaban yang tinggi namun tidak semua dapat bersporulasi dengan baik dan terlihat dengan jelas.
31 Tabel 5 Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap C. curvignathus pada berbagai kerapatan konidia. Kerapatan (konidia/ml) 10 5 5 x 10 5 10 6 5 x 10 6 107
Sporulasi cendawan entomopatogen pada bangkai rayap (%) M. brunneum M. roridum B. bassiana 16b 19b 0b 76a 11b 0b 74a 69a 8b 68a 76a 3b 74a 73a 30a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Isolat yang akan dipilih sebagai agen pengendali hayati harus memiliki kemampuan menghasilkan konidia yang tinggi, karena konidia sangat penting untuk infeksi dan pemencaran cendawan. Isolat yang mampu bersporulasi dengan baik lebih menguntungkan karena isolat tersebut mampu menimbulkan epizootik alam waktu yang lebih singkat dan untuk perbanyakan dengan tujuan produksi bioinsektisida membutuhkan jumlah inokulum yang lebih sedikit (Varela & Morales 1996). Apabila sporulasi isolat cendawan entomopatogen sedikit maka pemencarannya akan terbatas dan kemampuanya sebagai agen pengendali hayati akan berkurang. Kemampuan cendawan untuk membentuk konidia mempunyai arti yang penting karena konidia merupakan propagul cendawan entomopatogen yang berperan untuk pemencaran dan infeksi (Wraight et al. 2001). Untuk penggunaan cendawan entomopatogen sebagai agens pengendali hayati dan dijadikan sebagai bioinsektisida, salah satu aspek utama adalah memilih isolat atau strain dengan kemampuan sporulasi yang tinggi dengan kebutuhan nutrisi yang sederhana (Taborsky 1992). Di samping sifat patogenisitas yang tinggi, kemampuan cendawan mengkolonisasi tubuh inang (in vivo) dan sifat karakterisasi fisiologi cendawan secara in vitro juga perlu, jika agens hayati tersebut akan diformulasi sebagai biotermitisida untuk tujuan komersil. Hal ini bertujuan untuk mengetahui spesies isolat yang mempunyai kemampuan persistensi yang tinggi di alam sehingga propagul yang tersebar di alam dapat tertular pada hama sasaran secara luas. Karakter fisiologi cendawan (kemampuan berkecambah, laju pertumbuhan koloni, dan kemampuan bersporulasi) akan mengindikasikan bahwa isolat yang dapat
32 diperbanyak secara massal untuk tujuan formulasi akan mempunyai kemampuan fisiologi yang baik dalam menyerang inangnya. Isolat M. brunneum dan M. roridum pada penelitian ini memiliki virulensi yang lebih tinggi dari pada B. bassiana, terlihat dari kemampuan mengkolonisasi tubuh
rayap
berkisar
dari
68%-76%.
Keberhasilan
isolat
cendawan
mengkolonisasi inang dengan baik akan mempermudah penyebaran propagul secara sukses ke hama sasaran secara luas di dalam koloni inang.
Daya Kecambah Konidia Daya kecambah konidia antara isolat M. brunneum, B. bassiana, dan M. roridum berbeda nyata (Tabel 6). Daya kecambah konidia semua isolat yang diuji termasuk tinggi, yaitu di atas 90%. Hal ini menunjukkan bahwa semua isolat yang digunakan mempunyai kemampuan berkecambah yang baik. Tabel 6 Daya kecambah konidia berbagai isolat cendawan entomopatogen pada media SDAY 15 jam setelah pengamatan. Spesies cendawan entomopatogen M. roridum M. brunneum B. bassiana
Daya kecambah konidia (%) 99,40 a 97,00 ab 91,60 b
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Perbedaan daya kecambah antar isolat diduga disebabkan oleh adanya perbedaan genetik dari setiap isolat. Kemampuan konidia untuk berkecambah merupakan suatu faktor penting dalam melalukan penetrasi pada inang dan hal tersebut sangat tergantung pada faktor lingkungan. Menurut Hatzipapas et al. (2002) perkecambahan konidia sangat tergantung pada kondisi lingkungan seperti kelembaban, suhu, cahaya, serta nutrisi. Pemicu perkecambahan konidia berhubungan dengan keberadaan nutrisi di luar konidia yang berhubungan dengan karakteristik permukaan spesies inang asal isolat tersebut diperoleh. Dua isolat M. anisopliae memiliki perkecambahan yang berbeda. Isolat yang bersifat patogen pada Homoptera akan berkecambah lebih baik pada media yang mengandung glukosa sedangkan isolat yang bersifat patogen pada Coleoptera akan berkecambah pada kondisi kekurangan glukosa (St. Leger et al. dalam Leland 2001). Toborsky (1992) mengemukakan bahwa kebutuhan nutrisi untuk
33 pertumbuhan cendawan entomopatogen sangat bervarisi tergantung pada spesies dan strain cendawan. Perkecambahan konidia merupakan salah satu tahap yang penting dalam proses infeksi cendawan entomopatogen pada serangga (Bidochka et al. 2000), dan merupakan salah satu faktor yang paling menentukan dalam perkembangan penyakit pada serangga (Hatzipapas et al. 2002). Konidia dinyatakan berkecambah apabila panjang tabung kecambah telah melebihi diameter konidia (Junianto & Sukamto 1995) atau panjangnya lebih dari 3 µm (Inglish et al. 1999). Menurut Jenkins et al. (1998) daya kecambah konidia merupakan salah satu kriteria dalam pemilihan isolat yang akan dikembangkan sebagai bioinsektisida dan daya kecambah konidia pada media harus di atas 90%. Tetapi Kasa (2003) mengemukakan bahwa cendawan yang memiliki daya kecambah konidia di atas 80% telah memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida. Menurut Leland (2001) evaluasi daya kecambah konidia cendawan entomopatogen perlu dilakukan terutama apabila cendawan tersebut akan dikembangkan sebagai bioinsektisida. Dalam pemilihan isolat yang akan digunakan, kecepatan perkecambahan konidia juga harus dipertimbangkan. Isolat yang berkecambah lebih cepat lebih berpotensi untuk menimbulkan infeksi, karena isolat tersebut terhindar dari kekeringan, pengaruh suhu, mikroorganisme lain dan terlepas dari kutikula serangga pada waktu ekdisis.
Kelimpahan Koloni Hasil penangkapan dan penandaan tiga tahap (triple mark recapture technique) menunjukkan bahwa ukuran populasi rayap tanah S. javanicus di areal asrama TPB, berbeda antar perlakuan dan kontrol (Tabel 7). Ukuran populasi koloni rayap tanah yang diberi perlakuan isolat cendawan M. anisopliae lebih besar dari pada ukuran populasi yang diberi perlakuan isolat cendawan M. bruneum. Dibandingkan dengan populasi kontrol, perlakuan kedua cendawan terbukti dapat menekan populai rayap di lapangan.
34 Tabel 7 Ukuran populasi koloni rayap tanah S. javanicus di areal Asrama TPB Koloni Kontrol M. anisopliae M. brunneum
Ukuran populasi (ekor) 599.086 ± 48.427a 272.314 ± 54.143ab 126.581 ± 26.420b
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa ukuran populasi koloni rayap tanah pada kontrol sebesar 599.086 ± 48.427 ekor. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh umur koloni, keadaan lingkungan seperti jenis tanah, kandungan atau persentase liat atau pasir, sumber makanan, dan adanya ganguan serta predator. Rismayadi (1999) melaporkan bahwa ukuran populasi rayap tanah S. javanicus berkisar antara 379.078 ekor sampai 719.038 ekor. Selanjutnya Nandika (1994) menyatakan bahwa kelimpahan populasi dan penyebaran rayap tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik habitat. Menurut Davies & Richard (1996), ukuran populasi dari suatu koloni rayap tanah juga ditentukan oleh kemampuan bertelur (fecundity) dan tingkat kesuburan (fertility) kasta reproduktif (ratu). Ukuran populasi koloni rayap tanah yang diberi perlakuan isolat cendawan M. anisopliae lebih besar dari pada ukuran populasi yang diberi perlakuan isolat cendawan M. bruneum. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan virulensi dari kedua isolat cendawan tersebut seperti yang telah diuraikan di atas. Butt et al. (2001) menyatakan bahwa tingkat patogenisitas cendawan patogen untuk dapat menyebabkan penyakit ditentukan oleh berbagai faktor, termasuk sifat fisiologi dari cendawan seperti faktor viabilitas, laju pertumbuhan, kemampuan bersporulasi dan metabolisme sekunder yang dihasilkan yaitu berupa kemampuan menghasilkan enzim dan toxin, dan sifat fisiologi dari inang seperti mekanisme pertahanan dari inang serta pengaruh lingkungan.
Keefektifan M. brunneum dan M. anisopliae terhadap Rayap Tanah S. javanicus Mortalitas rayap tanah S. javanicus akibat infeksi M. bruneum lebih tinggi dibandingkan dengan mortalitas rayap tanah akibat infeksi M. anisopliae (Tabel 8). Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan virulensi dari kedua isolat yang diuji.
35 Tabel 8 Mortalitas S. javanicus pada uji lapang. Spesies cendawan M. brunneum M. anisopliae
Mortalitas rayap tanah S. javanicus (%) 78,87 54,54
Perbedaan virulensi tersebut terjadi karena adanya perbedaan antara lain daya kecambah dan kemampuan bersporulasi diantara kedua isolat tersebut. Puterka et al. (1994) menyatakan bahwa isolat cendawan entomopatogen yang avirulen berkecambah dan bersporulasi lebih lambat dari pada isolat yang virulen. Desyanti (2007) melaporkan bahwa daya kecambah M. bruneum hingga mencapai 97,20% membutuhkan waktu 12 hingga 24 jam setelah inkubasi, sedangkan isolat M. anisopliae memiliki daya kecambah berkisar antara 85 hingga 90% (Ekesi et al. 2003). Kemampuan konidia untuk berkecambah merupakan suatu faktor penting untuk berhasilnya melakukan penetrasi pada inang. Isolat yang berkecambah lebih cepat lebih berpotensi untuk menimbulkan infeksi, karena isolat ini akan terhindar dari pengaruh kekeringan, pengaruh mikroorganisme lain dan terlepas dari kutikula serangga pada waktu ekdisis. Samson et al. 1988 dalam Tanada & Kaya 1993, menyatakan bahwa perkecambahan yang sukses mempenetrasi inang tergantung pada total persentase perkecambahan konidia, lamanya waktu berkecambah, dan kerentanan inang. Selain faktor daya kecambah konidia, kemampuan sporulasi juga dapat digunakan sebagai indikator isolat. Isolat yang virulen juga memiliki kemampuan sporulasi yang lebih baik dibandingkan dengan isolat yang avirulen. Desyanti (2007) melaporkan bahwa jumlah konidia yang dihasilkan oleh M. bruneum 223,66 x 107/cawan petri sedangkan M. anisopliae 6,18 x 107/cawan petri. Kemampuan sporulasi cendawan pada tubuh inang menjadi sangat penting untuk penularan di dalam koloni karena cendawan yang mampu bersporulasi pada inang dengan baik akan membentuk infective propagul baru dan dapat tersebar luas ke seluruh individu di dalam koloni. Menurut Goettel & Inglis (1997) dalam Scholte et al. (2004) setelah inang mati pada kondisi abiotik yang menguntungkan maka hifa akan muncul dari bangkai serangga dan menghasilkan konidia pada permukaan tubuh inang, kemudian konidia akan tersebar melalui angin atau air.
36 Sun et al. (2003) dalam Trizelia (2005) menyatakan bahwa isolat B. bassiana yang lebih cepat bersporulasi dengan total sporulasi yang tinggi menghasilkan epizootik yang lebih baik dalam koloni rayap C. formosanus Shiraki. Patogenisitas cendawan entomopatogen juga dipengaruhi oleh lama waktu konidia cendawan entomopatogen berada di lapangan, semakin lama konidia cendawan berada dilapangan maka aktivitasnya akan semakin berkurang. Inyang et al. (1998) menyatakan bahwa persistensi konidia cendawan entomopatogen M. anisopliae pada tanaman menurun seiring dengan lama waktu berada di lapangan. Menurut Yokoyama et al. (1998), populasi konidia M. anisopliae di dalam tanah menurun setelah aplikasi di lapangan. Hasil penelitian Johnson & Goettel (1993) menunjukkan bahwa infeksi B. basianna pada belalang setelah aplikasi cendawan menurun seiring dengan waktu, yaitu dari 70% pada hari kedua menjadi 5% pada hari ke 19. Pengaruh lingkungan sebagai faktor eksternal juga berpengaruh terhadap kemampuan cendawan untuk tumbuh dan berkembang serta melumpuhkan mekanisme pertahanan serangga inang. Menurut McCoy et al. (2004) faktorfaktor yang mempengaruhi persistensi konidia di lapangan adalah cahaya, suhu, kelembaban udara, tipe tanah, suhu tanah, kadar air tanah, dan mikroorganisme antagonis. Boucias & Pendland (1998) menyatakan bahwa kelembaban relatif yang tinggi sangat dibutuhkan untuk perkecambahan konidia pada kutikula inang, sedangkan kelembaban relatif yang rendah dibutuhkan untuk pembentukan konidia untuk penyebaran ke inang yang baru. Sinar matahari merupakan salah satu faktor penting dalam kelangsungan hidup cendawan entomopatogen. Sinar matahari dengan panjang gelombang 290 400 nm akan mempengaruhi persistensi cendawan entomopatogen pada daun dan substrat lain (Fuxa 1987). Di samping faktor radiasi matahari, faktor tanah seperti tekstur, pH, dan bahan organik juga mempengaruhi persistensi konidia di lapangan. Kandungan pasir yang tinggi diduga tidak mampu menahan konidia lebih lama. Menurut Li & Holdum (1993) dalam McCoy et al. (2004) tekstur tanah bisa mempengaruhi sporulasi, efikasi, persistensi, dan kerapatan konidia di dalam tanah. Storey & Gardner (1988) menyatakan bahwa kehilangan konidia terjadi lebih tinggi pada tanah yang berpasir dibandingkan dengan tanah yang
37 teksturnya liat. Tanah berpasir yang kadar bahan organik lebih rendah lebih sedikit menahan propagul dibandingkan dengan tanah bertekstur liat dan mengandung bahan organik yang tinggi. Inglis et al. (2001) menyatakan bahwa tingginya persistensi konidia pada tanah berstektur liat berhubungan dengan ukuran pori tanah yang lebih kecil. Hujan juga bisa mempengaruhi persistensi konidia di lapangan. Kehilangan konidia dari tanah akibat tercuci oleh air hujan dapat mengurangi efikasi cendawan entomopatogen. Selama melakukan penelitian, kondisi tempat penelitian sering terjadi hujan sehingga diduga hujan merupakan salah satu faktor penyebab berkurangnya kerapatan konidia didalam tanah. Inyang et al. (2000) menyatakan bahwa curah hujan akan mengurangi jumlah inokulum M. anisopliae di lapangan. Dix & Webster (1995) juga melaporkan bahwa kerapatan konidia cendawan di dalam tanah berkurang akibat dikonsumsi oleh organisme lain seperti tungau dan nematoda yang berada di dalam tanah. Terjadinya penurunan kerapatan konidia di dalam tanah juga disebabkan oleh bentuk formulasi konidia yang digunakan. Dalam penelitian ini formulasi konidia yang digunakan dalam bentuk suspensi di dalam air dan diduga konidia dalam bentuk formulasi ini lebih mudah tercuci. Inglis et al. (2000) mengemukakan bahwa konidia yang disuspensikan dalam air lebih mudah hilang dibandingkan dengan konidia dalam bentuk formulasi minyak. Eaton dan Hale (1993) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen Metarhizium dan Beauveria efektif terhadap rayap, namun penelitian di lapangan mengindikasikan bahwa sifat patogenisitasnya tidak selalu stabil. Persistensi konidia cendawan di lapangan juga dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki formulasi cendawan. Bentuk formulasi konidia sangat mempengaruhi persistensi dan keefektifan konidia di lapangan. Konidia yang diaplikasikan tanpa bahan pelindung menyebabkan konidia akan mudah terdegradasi dan tercuci oleh berbagai faktor lingkungan seperti cahaya matahari dan curah hujan. Sinar UV yang berasal dari matahari merupakan faktor utama penyebab terjadinya penurunan persistensi konidia di lapangan. Kehilangan patogenisitas setelah aplikasi di lapangan merupakan salah satu kelemahan penggunaan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hama (Behle et al.
38 1999). Kemampuan cendawan entomopatogen untuk bertahan pada habitat inang setelah aplikasi merupakan salah satu hal penting dalam efikasi cendawan untuk pengendalian hama (Jacques 1983; Daoust & Pereira 1986). Persistensi konidia yang rendah dan sedikitnya jumlah propogul yang infektif di lapangan merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat infeksi serangga hama di lapangan. Untuk meningkatkan jumlah konidia cendawan entomopatogen di lapangan sehingga tersedia jumlah inokulum yang cukup untuk bisa menimbulkan infeksi pada serangga dapat dilakukan secara inundatif, yaitu aplikasi patogen serangga yang dilakukan secara berulang-ulang dengan harapan potogen tersebut dapat bekerja menekan populasi hama sasaran pada saat diperlukan. Aplikasi konidia B. bassiana secara inundatif yang dilakukan dalam selang waktu 7 hari cukup efektif dalam menggendalikan hama Leptinotarsa decemlineata (Say) (Coleoptera: Chrysomelidae) (Poprawski et al. 1997) Pengujian keefektifan M. brunneum dan M. anisopliae di lapang penting untuk pemilihan isolat yang akan digunakan sebagai agens pengendali S. javanicus. Virulensi dan persistensi isolat cendawan entomopatogen merupakan faktor yang mempengaruhi efikasi cendawan dalam pengendalian rayap tanah S. javanicus. Pengendalian rayap tanah S. javanicus lebih efektif apabila tersedia isolat yang virulen dan persisten di lapangan, sehingga isolat yang virulen dan persisten di lapangan merupakan salah satu kriteria dalam pemilihan isolat yang digunakan sebagai agens hayati. Pemanfaatan M. brunneum di lapangan terlihat cukup efektif sebagai agen hayati pengendali S. javanicus namun dalam aplikasinya perlu dilakukan secara inundatif.