HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan puyuh jenis Coturnix-coturnix japonica. Faktor manajemen yang menjadi perlakuan dalam penelitian adalah kepadatan kandang. Menurut North dan Bell (1990), sistem perkandangan sangat penting untuk menciptakan iklim mikro yang sangat diperlukan agar fungsi fisologis tubuh ternak dapat berjalan dengan sempurna secara alami. Ukuran tubuh serta aktivitas puyuh sangat mempengaruhi luasan kandang yang diperlukan (Appleby et al., 1992). Puyuh yang digunakan dalam penelitian ini berumur 9 minggu untuk jantan dan 10 minggu untuk betina. Menurut Peraturan Kementerian Pertanian (2008), kepadatan kandang yang diperlukan dalam memelihara puyuh yang berumur 9-10 minggu yaitu sebesar 185-225 cm2/ekor. Kepadatan kandang dapat dimodifikasi. Kepadatan kandang yang tinggi dapat digunakan, akan tetapi keadaan sirkulasi udara dikandang sangat baik dan ternak juga dapat menjangkau tempat pakan dan minum dengan mudah (Appleby et al., 1992). Kandang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kandang yang tersedia di lapang, yaitu terdiri dari bahan utama kayu sebagai rangka dan kawat yang digunakan sebagai alasnya. Selain kepadatan kandang, kondisi lingkungan sekitar kandang juga sangat mempengaruhi tingkah laku ternak. Data suhu yang diambil dalam penelitian kali ini disajikan pada Table 2. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu Pagi Siang 1
24
27
2
25
28
3
25
26
4
25
27
Berdasarkan data pengamatan suhu lingkungan sekitar kandang dapat dilihat bahwa rataan suhu pada pagi hari sebesar 24,5 ºC dan rataan suhu pada siang hari sebesar 27 ºC. Menurut Priyanto (1990), suhu lingkungan yang optimal untuk
16
pertumbuhan puyuh adalah 20-25 ºC. Suhu kandang pada siang hari sedikit lebih panas dibandingkan suhu optimal puyuh, tetapi hal ini tidak terlalu mempengaruhi produksinya karena puyuh sudah mulai beradaptasi dengan suhu lingkungan. Suhu fisiologis tubuh untuk puyuh adalah 42,2 ºC dan suhu kulit 39 ºC. Kepadatan kandang yang tinggi dapat meningkatkan suhu tubuh, suhu kulit, detak jantung dan laju pernafasan (Azeem, 2010). Tingkah Laku Puyuh Jantan Tingkah laku puyuh jantan yang diamati meliputi, tingkah laku seksual, tingkah laku agonistik dan tingkah laku Ingestive. Rataan persentasi tingkah laku disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan frekuensi tingkah laku puyuh jantan, tingkah laku Ingestive memiliki jumlah frekuensi tertinggi di setiap perlakuan. Kemudian tingkah laku yang memiliki frekuensi terendah adalah agonistik. Rendah frekuensi tingkah laku agonistik dalam penelitian ini sangatlah diharapkan karena dapat mengurangi frekuensi tingkah laku seksual dan Ingestive. Tabel 3. Frekuensi Tingkah Laku Puyuh Jantan dengan Kepadatan Kandang yang Berbeda Frekuensi Tingkah Laku (%) Perlakuan Seksual Agonistik Ingestive Makan Minum P1 (jantan 4 ekor)
0,11
0,01
0,47
0,41
P2 (jantan 5 ekor)
0,11
0,07
0,42
0,40
P3 (jantan 6 ekor)
0,08
0,02
0,34
0,56
Tingkah Laku Ingestive Tingkah laku Ingestive merupakan tingkah laku memasukan makanan atau unsur hara ke dalam mulut atau paruh, dalam penelitian ini tingkah laku Ingestive yang dimaksud adalah tingkah laku makan dan minum. Pengamatan tingkah laku ini dinilai sangat penting di dalam peternakan pembibit, karena baik jantan ataupun betina memerlukan asupan energi untuk dapat melakukan aktivitas sepanjang hari (Setyaningrum, 2007). Berdasarkan data penelitian, frekuensi tingkah laku Ingestive tertinggi terdapat pada kepadatan kandang P3 sebesar 0,90 (tingkah laku makan 0,34 dan minum 0,56) diikuti P1 sebesar 0,88 (tingkah laku makan 0,47 dan minum 0,41) dan
17
P2 sebesar 0,82 (tingkah laku makan 0,42 dan minum 0,40). Kepadatan kandang yang berbeda tidak menunjukkan persentase rataan tingkah laku Ingestive yang tidak berbeda jauh. Data ini didukung dengan data rataan konsumsi. Rataan konsumsi ransum per ekor per hari yaitu 18,77±0,53 g/ekor/hari untuk kepadatan kandang P1 12 ekor, 19,02±0,55 g/ekor/hari pada kepadatan kandang P2 15 ekor dan 19,34±0,10 g/ekor/hari pada kepadatan kandang P3 18 ekor. Berdasarkan pengamatan selama penelitian bahwa pemberian pakan sebesar 20 g/ekor/hari pada pagi hari, pakan tersebut sudah mulai hampir habis pada pukul 10.00-11.00. Konsumsi puyuh tidak dipengaruhi kepadatan kandang yang berbeda, hal ini disebabkan karena tiap puyuh memiliki akses untuk memperoleh makanan yang sama. Kepadatan kandang P2 yang memiliki luasan kandang yang paling pas, sebesar 206,67 cm2/ekor memiliki presentasi terendah, hal ini dikarenakan letak posisi kandang P2 dekat dengan akses keluar masuk, sehingga menyebabkan tingkat stres yang cukup tinggi. Selain itu 0,56
0.6
Frekuensi Tingkah Laku
0.5
0,47
0,41
0.4
0,42
0,40 0,34
0.3
Makan Minum
0.2 0.1 0 P1
Keterangan:
P2 Perlakuan Kepadatan Kandang
P3
P1 = Kepadatan kandang 258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan 4 ekor dan betina 8 ekor P2 = Kepadatan kandang 206,67 cm2/ekor dengan jumlah jantan 5 ekor dan betina 10 ekor P3 = Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan 6 ekor dan betina 12 ekor
Gambar 7. Tingkah Laku Ingestive Puyuh Jantan pada Kepadatan Kandang yang Berbeda
18
faktor lain yang menyebabkan sedikitnya frekuensi tingkah laku Ingestive pada kepadatan kandang P2 adalah tingginya frekuensi agonistik. Tingginya frekuensi agonistik tersebut mengindikasikan bahwa adanya persaingan di dalam kandang, bisa berupa persaingan memperebutkan pakan ataupun persaingan memperebutkan betina. Puyuh pada kepadatan kandang P3 yang memiliki kepadatan kandang lebih tinggi dibandingkan P2 tetapi memiliki frekuensi tingkah laku Ingestive yang lebih tinggi. Hal ini bukan dikarenakan terbatasnya akses, melainkan kepadatan kandang yang cukup tinggi akan meningkatkan panas tubuh yang dihasilkan, sehingga memacu sistem homeothermic untuk mencegah suhu di dalam badan naik dengan mengurangi asupan pakan sementara. Hal ini dapat dilihat bahwa frekuensi minum pada kepadatan kandang P3 lebih tinggi dibandingkan frekuensi makannya. Tingginya kepadatan mendorong puyuh untuk banyak minum. Prilaku minum sangat dekat hubungannya dengan prilaku makan (Appleby et al., 1992). Air yang diminum mempunyai tujuan penting, yaitu sebagai makanan yang penting untuk metabolisme dalam tubuh ternak, serta dapat membantu melepaskan panas tubuh dengan cara konduksi dan penguapan (Williamson dan Payne, 2003). Selain itu pada kepadatan kandang P3 frekuensi tingkah laku agonistik tidak terlalu tinggi, sehingga persaingan dalam memperebutkan makanan tidak terlalu tinggi dan puyuh dapat makan dan minum dengan tenang tanpa gangguan. Frekuensi tingkah laku Ingestive pada kepadatan P1 sebesar 0,88 . Nilai ini lebih besar dari kepadatan kandang P2 dikarenakan kepadatan kandang yang rendah memberikan kenyamanan pada kandang untuk berekspresi dan dapat meminimalisir adanya dominasi pakan. Selain itu frekuensi tingkah laku agonistiknya juga paling rendah diantara kepadatan kandang yang lain. Tingkah Laku Seksual Tingkah laku seksual merupakan jenis tingkah laku yang menunjukkan terjadi interaksi antara ternak jantan dengan ternak betina yang sedang estrus. Interaksi yang terjadi ditunjukkan dengan cara ternak jantan yang sudah dewasa kelamin melakukan kopulasi (memasukan kelamin) kepada ternak betina (Septiana, 1996). Pengamatan tingkah laku seksual ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi tingkah laku seksual tersebut selama penelitian dengan kepadatan yang berbeda. Peternakan yang bertujuan untuk pembibitan, jumlah frekuensi tingkah laku seksual ini sangat
19
penting. Semakin banyak frekuensi tingkah laku seksual yang terjadi maka tingkatan fertilitas yang dihasilkan juga akan meningkat. Meningkatnya persentasi fertilitas tentunya juga dapat meningkatkan daya tetas telur tersebut, sehingga semakin banyak bibit yang dihasilkan. Data penelitian menunjukkan jumlah frekuensi tingkah laku seksual pada masing-masing kepadatan memiliki hasil yang cukup bervariasi. Rataan frekuensi yang ditunjukkan pada kepadatan kandang P1 (258,33 cm2/ekor dengan jumlah 4 jantan dan 8 betina) adalah 0,11. Rataan frekuensi yang ditunjukkan pada kepadatan kandang P2 (206,67 cm2/ekor dengan jumlah 5 jantan dan 10 betina) 0.12
0,11
0,11
Frekuensi Tingkah Laku
0.1
0,08 0.08 0.06 0.04 0.02 0 P1
P2
P3
Perlakuan Kepadatan Kandang Keterangan:
P1 = Kepadatan kandang 258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan 4 ekor dan betina 8 ekor P2 = Kepadatan kandang 206,67 cm2/ekor dengan jumlah jantan 5 ekor dan betina 10 ekor P3 = Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan 6 ekor dan betina 12 ekor
Gambar 8. Tingkah Laku Seksual Puyuh Jantan pada Kepadatan Kandang yang Berbeda. adalah 0,11 dan rataan frekuensi pada kepadatan kandang P3 (172,22 cm2/ekor dengan jumlah 6 jantan dan 12 betina) adalah 0,08. Berdasarkan perolehan data dari Gambar 2, persentasi frekuensi tingkah laku seksual yang tertinggi terdapat pada kepadatan P1 dan P2 yaitu sebesar 0,11%. Hal ini dikarenakan kepadatan kandang P1 memiliki luasan kandang yang lebih besar sehingga puyuh memiliki banyak ruang
20
untuk berekspresi, selain itu rendahnya kepadatan kandang juga mengurangi tingkah laku agonistik. Data ini juga didukung oleh hasil penelitian Ananda, P (2008), dimana hasil penelitian menunjukan kepadatan kandang P1 memiliki tingkat fertilitas yang paling tinggi yaitu sebesar 87,14±4,95 dibandingkan dengan kepadatan kandang P2 dan P3 yaitu sebesar 75,50±4,26 dan 80,21±2,73. Kepadatan kandang P2 sangat sesuai dengan jumlah ternak di dalamnya, sehingga ternak dapat mengekspresikan tingkah lakunya dengan bebas. Menurut Peraturan Kementerian Pertanian (2008), kepadatan kandang yang optimal untuk puyuh adalah sebesar 185225 cm2/ekor. Jika berdasarkan aturan Peraturan Kementerian Pertanian 2008, kandang P3 yang digunakan dalam penelitian, kepadatannya tidak termaksud dalam range tersebut, sehingga menyebabkan kondisi kandang kurang nyaman untuk mengekspresikan tingkah laku tersebut. Tingkah laku seksual juga dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah suhu dan pencahayaan. Kepadatan kandang yang tinggi menyebabkan rendahnya sirkulasi udara di dalam kandang, sehingga cekaman panas yang diterima oleh puyuh akan mengurangi aktivitas demi menjaga kondisi fisiologisnya. Pengaruh cahaya pada ternak unggas adalah memudahkan untuk penglihatan, untuk merangsang siklus internal dalam kaitannya dengan perubahan panjang hari, serta untuk merangsang pelepasan hormon (Nesu, 2006). Pengaruh faktor cahaya dalam tingkah laku seksual pada kepadatan kandang yang tinggi dapat menyebabkan penetrasi cahaya ke dalam kandang menjadi sedikit. Menurut Setyawan (2006), cahaya yang diterima mata unggas akan dilanjutkan ke bagian otak yang disebut hypothalamus. Hypothalamus ini berperan sebagai pengatur fungsi organ-organ tubuh yang menggerakan aktivitas hidup, salah satunya adalah tingkah laku seksual serta sekresi kelenjar anterior pituitary. Hal inilah yang menyebabkan mengapa frekuensi tingkah laku seksual pada kepadatan kandang P3 menjadi paling sedikit karena penetrasi cahaya yang diterima puyuh menjadi sangat sedikit pada kepadatan kandang P3. Frekuensi tingkah laku seksual ini diperoleh dengan cara mengamati tingkah laku yang terjadi secara normal. Apabila terdapat puyuh yang melakukan tingkah laku seksual antar sesama maka tidak dimaksukan ke dalam data penelitian. Hal ini karena data tersebut sangat tidak berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan, karena
21
dalam pembibitan, hasil yang diharapkan dari perkawinan adalah mendapatkan keturunan yang sempurna. Tingkah Laku Agonistik Tingkah laku agonistik ini merupakan tingkah laku yang menunjukkan konflik dan dapat dinyatakan sebagai perkelahian (Ensminger, 1991). Pengamatan mengenai tingkah laku agonistik ini sangat diperlukan terutama dalam peternakan pembibitan, karena pada umumnya tingkah laku agonistik muncul karena ada persaingan, terutama puyuh jantan. Puyuh jantan memiliki tingkah laku berkelahi yang lebih tinggi dibandingkan betina, hal ini dipengaruhi hormon, terutama hormon testosteron. Frekuensi tingkah laku agonistik yang tinggi sangat tidak diharapkan, karena dapat menyebabkan cedera pada puyuh-puyuh yang lain ataupun dapat menghambat produksi puyuh betina.
0.08
0,07
Frekuensi Tingkah Laku
0.07 0.06 0.05 0.04 0.03
0,02
0.02
0,01 0.01 0 P1
P2
P3
Perlakuan Kepadatan Kandang Keterangan:
P1 = Kepadatan kandang 258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan 4 ekor dan betina 8 ekor P2 = Kepadatan kandang 206,67 cm2/ekor dengan jumlah jantan 5 ekor dan betina 10 ekor P3 = Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan 6 ekor dan betina 12 ekor
Gambar 9. Tingkah Laku Agonistik Puyuh Jantan pada Kepadatan Kandang yang Berbeda
22
Berdasarkan data yang diperoleh, persentase frekuensi tingkah laku agonistik terbesar terdapat pada kandang dengan perlakuan P2, dengan nilai sebesar 0,07. Hal ini terjadi karena ada dominasi jantan, sehingga menyebabkan adanya persaingan dalam memperebutkan pakan serta kawin. Pola tingkah laku agonistik merupakan interaksi sosial antara ternak yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart, 1985). Selanjutnya dinyatakan bahwa tingkah laku agonistik ini merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies (Tomazweska, et,al.,1991). Frekuensi tingkah laku agonistik yang paling rendah terdapat pada kepadatan kandang P1 yaitu sebesar 0,01. Hal ini disebabkan kepadatan kandang yang rendah, yaitu sebesar 258,33 cm2/ekor yang dapat meminimalisasi terjadinya interaksi fisik ataupun persaingan dalam memperebutkan pakan pada puyuh jantan. Tingkah laku agonistik ini juga berkaitan erat dengan tingkah laku mematuk. Prilaku mematuk merupakan aktivitas untuk mencari kesibukan lain dan mengalihkan aktivitas makan (Sahroni, 2001). Perilaku kanibalisme ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain jika kelompok ternak yang dipelihara secara bersamaan mempunyai ukuran tubuh, jenis kelamin dan umur yang berbeda. Penelitian ini menggunakan puyuh jantan yang berumur seragam. Sifat kanibalisme ini dapat diminimalisasi apabila puyuh dipelihara dengan sistem lantai kawat berupa lantai (Wood-Gush, 1971). Tingkah Laku Pagi dan Siang pada Perlakuan yang Berbeda Perbedaan kepadatan kandang akan mempengaruhi tingkah laku yang dihasilkan. Tingginya kepadatan kandang akan berkorelasi dengan tinggi suhu di dalam kandang itu sendiri, suhu tiap waktunya tentu akan berbeda, baik pagi hari maupun siang hari. Unggas merupakan jenis hewan diurnal, dimana aktivitas dipengaruhi oleh panjang hari terang dan lingkungan sosial di sekitar (Moris, 1967). Pagi hari merupakan saat dimana puyuh memenuhi kebutuhan pokok, seperti makan dan minum (Setyaningrum, 2007). Siang hari adalah waktu puyuh menurunkan sedikit aktivitas sambil beristirahat. Hal ini sangat penting bagi puyuh karena aktivitas yang terus menerus dapat menyebabkan stres dan mengganggu kesehatan serta menurunkan produksi. Hal inilah yang menyebabkan perlu diamati tingkah laku
23
pada kepadatan kandang berbeda di pagi dan siang hari. Sore dan malam hari tidak dilakukan pengamatan, karena pada interval waktu puyuh betina sedang bertelur, sehingga membutuhkan suasana yang nyaman. Selain itu pada malam hari saat cahaya sudah mulai berkurang akan membuat hypothalamus pada otak yang mengatur aktivitas hidup juga membuat ternak mengurangi aktivitasnya (North dan Bell, 1990). Berdasarkan data yang diperoleh ditunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku seksual di pagi hari, yang paling tinggi berada pada perlakuan P1 yaitu sebesar 21%. Tingkat kepadatan yang rendah menyebabkan suhu di dalam kandang terutama pada pagi hari menjadi pas untuk ternak melakukan aktifitasnya, dan kecilnya kemungkinan puyuh yang stres, sehingga puyuh lebih nyaman untuk melakukan tingkah laku seksual Hal ini didukung juga oleh hasil laporan Nataamijaya (2003) bahwa frekuensi kopulasi pada suhu yang tidak terlalu tinggi. 100% 90%
Frekuensi Tingkah Laku
80% 70% 60%
Minum
50%
Makan
40%
Agonistik
30%
Seksual
20% 10% 0% P1
P2
P3
Perlakuan Kepadatan Kandang Keterangan:
P1 = Kepadatan kandang 258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan 4 ekor dan betina 8 ekor P2 = Kepadatan kandang 206,67 cm2/ekor dengan jumlah jantan 5 ekor dan betina 10 ekor P3 = Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan 6 ekor dan betina 12 ekor
Gambar 10. Tingkah Laku Ingestive Puyuh Jantan pada Kepadatan Kandang yang Berbeda pada Pagi Hari Frekuensi tingkah laku seksual yang paling rendah terdapat pada kepadatan kandang P2, hal ini bisa dilihat karena sangat tingginya frekuensi tingkah laku
24
agonistik yang terjadi dibandingkan kedapadatan kandang yang lain yaitu sekitar 9%. Tingginya tingkah laku agonistik ini dapat mengganggu aktifitas puyuh lainnya. Hal ini dapat terjadi karena memang lebih tingginya tingkat kepadatan dibandingkan P1, selain itu letak posisi kandang pada P2 terletak pada akses keluar masuk manusia dan inilah yang menyebabkan puyuh menjadi jauh lebih stres sehingga menjadi lebih sedikit agresif. Frekuensi tingkah laku yang paling tinggi adalah tingkah laku Ingestive dimana pada kepadatan kandang P1 dan P2 frekuensi tingkah laku Ingestive sebesar 0,77% (makan 0,56 dan minum 0,21) dan 0,78% (makan 0,49 dan minum 0,29) serta frekuensi P3 sebesar 0,75% (makan 0,48 dan minum 0,28). Berdasarkan data tersebut disini terlihat bahwa perbedaan frekuensinya tidak terlalu jauh, karena semua puyuh memperoleh akses yang sama untuk mendapatkan makanan, selain itu jumlah frekuensi yang tinggi mengindikasikan puyuh sedang memasuki fase produksi membutuhkan banyak asupan pakan guna untuk menjaga kualitas produksi. 100% 90%
Frekuensi Tingkah Laku
80% 70% 60%
Minum
50%
Makan
40%
Agonistik
30%
Seksual
20% 10% 0% P1
P2
P3
Perlakuan Kepadatan Kandang Keterangan:
P1 = Kepadatan kandang 258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan 4 ekor dan betina 8 ekor P2 = Kepadatan kandang 206,67 cm2/ekor dengan jumlah jantan 5 ekor dan betina 10 ekor P3 = Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan 6 ekor dan betina 12 ekor
Gambar 11. Tingkah Laku Ingestive Puyuh Jantan pada Kepadatan Kandang yang Berbeda pada Siang Hari
25
Menurut penelitian Sumbawati (1992), tingkat konsumsi pakan puyuh baik jantan dan betina sebesar 109,69-135,59 g/ekor/minggu. Rataan konsumsi pakan burung baik jantan maupun betina pada penelitian Kusumowati (1992) berkisar antara 127,12-165,15 g/ekor/minggu. Frekuensi tingkah laku yang paling banyak disiang hari adalah tingkah laku Ingestive, baik pada perlakuan P1, P2 maupun P3. Tingginya frekuensi tingkah laku Ingestive pada P3 yaitu sebesar 100% mengindikasikan bahwa tingginya kepadatan kandang disertai suhu panas siang hari menyebabkan ternak mengurangi aktifitasnya dan lebih menjaga suhu didalam tubuh agar tidak terlalu panas, yaitu dengan cara mengkonsumsi banyak air. Hal ini sesuai dengan Bell dan Weaver (2002) yang menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi tingkat cekaman, suhu lingkungan dan aktivitas ternak. Suhu lingkungan yang tinggi (cekaman panas) aktivitas tubuh berkurang konsumsi pakan berkurang dan konsumsi air minum meningkat. Rendahnya tingkah laku seksual pada kepadatan kandang P3 dan P1 yaitu sebesar 0% dan 1%, disebabkan karena tingginya suhu didalam kandang menyebabkan ternak malas beraktifitas, selain itu sesuai dengan Nataamijaya (1984) bahwa tingginya suhu kandang menyebabkan rendahnya durasi fertilitas pada puyuh jantan. Suhu tinggi juga menyebabkan kesuburan sperma puyuh jantan juga berkurang. Frekuensi seksual pada kepadatan kandang P2 lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan kandang yang lain yaitu sebesar 8% karena pada siang hari kondisi kandang P2 jauh lebih tenang dikarenakan kepadatan kandang yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah ini menyebabkan puyuh tidak terlalu banyak aktivitas di pagi hari sehingga masih menyimpan energi untuk melakukan kopulasi dan juga pada siang hari ini tingkah laku agonistik juga jauh berkurang yaitu sebesar 4%. Kemudian pada siang hari puyuh cenderung mengurangi aktivitas sebab suhu yang tinggi menyebakan sistem homeothermik pada puyuh untuk mengurangi panas yang dikeluarkan tubuh dengan panting.
Panting atau hiperventilasi thermik adalah
penguapan air melalui saluran pernafasan yang dilakukan secara cepat (Yuawanta, 2004). Anatomi serta fisiologis puyuh lebih mendukung untuk penyimpanan panas daripada untuk pelepasan panas, hal ini lah yang menyebabkan puyuh harus mengkonsumsi banyak air ataupun mengatur sistem pernafasan untuk mendinginkan
26
tubuh (Mulyatini, 2011).
Puyuh tidak memiliki kelenjar keringat sehingga
membutuhkan pengeluaran panas melalui penguapan air (Card dan Nesheim, 1972). Pembahasan Umum Tingkah Laku A P1 2 P2 3 P3 1 Keterangan:
A = Ingestive B = Seksual C = Agonistik
Tingkah Laku B 1 2 3
Tingkah Laku C 3 1 2
1 = Paling Tinggi 2 = Sedang 3 = Paling Rendah
Tabel 3. Scoring Tingkah laku terhadap Kepadatan Kandang Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil penilaian seluruh tingkah laku yang diekpresikan terhadap kepadatan kandang yang bebeda memberikan hasil sebagai berikut: 1) Kepadatan kandang yang paling optimal dalam penelitian ini adalah kepadatan kandang P1 (258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan empat ekor dan betina delapan ekor) yaitu ditandai dengan frekuensi tingkah laku seksual yang paling tinggi dan frekuensi tingkah laku agonistik yang paling rendah. Selain itu berdasarkan Ananda, P (2012) tingkat fertilitas telur tertinggi juga berada pada kepadatan kandang P1. 2) Kepadatan kandang yang optimal kedua adalah kepadatan kandang P3 (Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan enam ekor dan betina 12 ekor) hal ini ditandai dengan hasil frekuensi tingkah laku ingestive yang paling tinggi dan tingkah laku agonistik yang sedang walaupun tingkah laku seksual paling rendah. Hal ini membuktikan bahwa kepadatan kandang tersebut masih cukup optimal untuk puyuh penggemukan. 3) Kepadatan kandang yang paling tidak optimal terdapat pada kepadatan kandang P2 (Kepadatan kandang 206,67 cm2/ekor dengan jumlah jantan lima ekor dan betina 10 ekor) hal ini ditandai dengan tingginya tingkah laku agonistik yang menggangu kenyamanan kandang khususnya puyuh pembibit. Frekuensi tingkah laku ingestive yang rendah membuktikan bahwa efek dari agonistik yang tinggi menggangu aktivitas makan dan minum puyuh.
27